You are on page 1of 26

Clinical Science Session

LARINGOTRAKEOMALASIA

Oleh:
Agdha Fitriana 03120069
Rahma Tsania Zhuhra 06120130
Dona Ariska 06120138
Indah Indriani 06923037
Wydia Iryani 06923058

Pembimbing :
Dr. Novialdi, Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT


TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2010
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan ilmu, akal, pikiran dan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Laringotrakeomalasia”. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Novialdi, Sp.THT-KL selaku
pembimbing referat dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat
bagi kita semua.

Padang, Desember 2010

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………….. 4
1.2. Batasan Masalah….………………………………………………………... 5
1.3. Manfaat Penulisan………………………………………………………..... 5
1.4. Metode Penulisan..………………………………………………………… 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi......................................................................................................... 6
2.2. Epidemiologi................................................................................................ 6
2.3. Anatomi dan Fisiologi.................................................................................. 7
2.4. Etiologi dan Patogenesis.............................................................................. 13
2.5. Manifestasi Klinis........................................................................................ 16
2.6. Diagnosis...................................................................................................... 18
2.7. Penatalaksanaan.......................................................................................... 22
2.8. Prognosis...................................................................................................... 24
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 26

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942.
Laringomalasia merupakan penyebab utama gejala stridor pada bayi.. Kelainan ini dapat
hadir bersama dengan trakeomalasia. Pada laringotrakeomalasia biasanya struktur glotis
dan subglotis normal.1
Laringomalasia biasanya bermanifestasi pada saat lahir atau dalam usia beberapa
minggu kehidupan berupa stridor inspirasi. Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65-
75% kelainan laring pada bayi baru lahir disebabkan oleh laringomalasia, dan masih
mungkin dianggap sebagai fase normal perkembangan laring, karena biasanya gejala
akan menghilang setelah usia 2 tahun, namun dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau
masa anak-anak.
Trakeomalasia dapat pula terjadi sebagai kelainan tunggal, tidak berhubungan
dengan laringomalasia, yang dapat menimbulkan gejala stridor inspirasi, ekspirasi atau
bifasik.
Pada penelitian Holinger pada 219 pasien dengan stridor, kelainan kongenital
pada laring dan trakea menempati urutan pertama (60,3%) dan kedua (16%). Penyebab
tersering keadaan stridor pada bayi adalah laringomalasia dan trakeomalasia sebagai dua
kelainan kongenital yang tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) pada
neonatus, bayi dan anak-anak. Kejadian laringomalasia pada laki-laki dua kali lebih
banyak daripada perempuan.
Sebagian besar laringomalasia dan trakeomalasia bersifat ringan dan dapat
menghilang sendiri. Dalam persentase yang kecil, keadaan laringotrakeomalasia yang
berat yang menimbulkan keadaan apnea, kesulitan makan, gagal tumbuh dan kor
pulmonal akan membutuhkan intervensi bedah untuk penatalaksanaannya
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laringotrakeomalasia menempati
urutan kelainan kongenital tersering pada neonatus, bayi dan anak-anak. Oleh karena itu
perlunya kita mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan mutakhir
laringotrakheomalasia, sehingga dalam makalah ini akan dibahas segala aspek penting
mengenai laringotrakheomalasia.

4
1.2 Batasan Masalah
Pembahasan tulisan ini dibatasi pada definisi, patogenesis, diagnosis, dan
penatalaksanaan Laringotrakeomalasia

1.3 Tujuan Penulisan


Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
penulis khususnya mengenai Laringotrakeomalasia.

1.4 Metode Penulisan


Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1 Definisi
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya struktur
supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang
menimbulkan gejala utama berupa stridor. Kelainan ini dapat hadir sebagai
laringomalasia atau trakeomalasia saja.

Gambar Laringomalasia
2.2 Epidemiologi
Laringomalasia diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942.1
Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi. Anak
laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak
perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan tetapi
dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu,
laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan
pertumbuhan pada anak. Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua kelainan
kongenital tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus,bayi,dan anak yang
sering menyebabkan stridor.2

2.3 Anatomi dan Fisiologi Laring dan Trakea

6
2.3.1 Laring
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu
masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di bagian atas, laring
membuka ke dalam laringofaring dan di bawah bersambung dengan trakea. Kerangka
laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan, yang dihubungkan melalui membran dan
ligament yang digerakkan oleh otot dan dilapisi oleh mukosa.3
Laring adalah bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya
menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian
bawah. Batas atas laring adalah aditus laring dan batas bawahnya adalah batas kaudal
kartilago krikoid.4
Kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid yang berbentuk
seperti huruf U dan beberapa buah tulang rawan. Permukaan atas tulang hyoid
dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendo dan otot. Saat menelan,
kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, dan saat laring diam,
maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.4
Tulang rawan yang menyusun laring terdiri dari kartilago epiglottis, kartilago
tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago
kuneiformis.4 Kartilago-kartilago ini secara embriologis dibentuk dari unsur rawan pada
lengkung faring ke-4 dan ke-6 yang bersatu. Lengkung faring ini mulai tampak pada
pertumbuhan embrio di minggu ke-4 dan ke-5 intra uterin.5

7
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan instrinsik. Otot-
otot ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan, terletak di suprahioid
(m.digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, m.milohioid) dan infrahioid (m.sternohioid,
m.omohioid, m.tirohioid). Otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian laring
tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara, yakni m.krikoaritenoid lateral,

8
m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, m.krikotiroid, m.aritenoid
transversum, m.aritenoid oblik, m.krikoaritenoid posterior.4

9
Rongga laring terdiri atas tiga bagian, yaitu supraglotis, glottis, dan subglotis.
Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan gabungan
dari permukaan epiglottis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan vestibulum terdiri
dari pangkal epiglottis, plika vestibular dan ventrikel. Daerah glottis terdiri dari pita suara
dan 1 cm di bawahnya. Daerah subglotis adalah dari batas bawah glottis sampai dengan
batas bawah kartilago krikoid.4

10
Fungsi laring terdiri dari :4
1. Proteksi, yakni untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea
dengan menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan
2. Refleks batuk, dapat mengeluarkan benda asing yang telah masuk ke dalam trakea
serta mengeluarkan sekret
3. Respirasi, yakni dengan mengatur besar kecilnya rima glottis
4. Sirkulasi, dengan terjadinya perubahan tekanan udara dalam traktus
trakeobronkial maka sirkulasi darah dari alveolus akan terpengaruh, demikian
juga sirkulasi darah tubuh
5. Proses menelan, dengan menggerakkan laring bagian bawah ke atas, menutup
aditus laringis dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak
mungkin masuk ke dalam laring
6. Emosi, yakni dapat mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh,
menangis dan lain-lain
7. Fonasi, yakni membuat suara dengan menentukan tinggi rendahnya nada

2.3.2 Trakea
Trakea merupakan pipa yang terdiri dari tulang rawan dan otot yang dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu bersilia, mulai dari kartilago krikoid sampai percabangan ke
bronkus utama kanan dan kiri, pada setinggi iga kedua pada orang dewasa dan setinggi
iga ketiga pada anak-anak.
Trakea terletak di tengah-tengah leher dan makin ke distal bergeser ke sebelah
kanan dan masuk ke rongga mediastinum di belakang manubrium sterni. Trakea sangat
elastis, dengan panjang dan letak yang berubah-ubah tergantung pada posisi kepala dan
leher. Lumen trakea ditunjang oleh kira-kira 18 cincin tulang rawan yang bagian
posteriornya tidak bertemu. Terdapat jaringan yang merupakan batas dengan
esofagus,yang disebut dinding bersama antara trakea dan esofagus (tracheoesophageal
party wall).4

11
Panjang trakea kira-kira 12 cm pada pria dan 10 cm pada wanita. Diameter
antero-posterior rata-rata 13 mm, dan diameter transversal rata-rata 18 mm. Cincin trakea
yang paling bawah meluas ke inferior dan posterior di antara bronkus utama kanan dan
kiri, membentuk sekat yang lancip di sebelah dalam yang disebut karina. Mukosa di
daerah subglotik merupakan jaringan ikat jarang yang disebut tonus elastikus. Jaringan
ini mudah mengalami edema dan akan terbentuk jaringan granulasi bila rangsangan
berlangsung lama. Pada pemeriksaan endoskopi, trakea merupakan tabung yang datar
pada bagian posterior, dan di bagian anteriornya tampak cincin tulang rawan. Mukosa di
atas cincin berwarna putih dan di antara cincin berwarna merah muda. Trakea berbentuk
oval di bagian servikal dan torakal karena tertekan oleh kelenjar tiroid dan arkus aorta.4

12
2.4 Etiologi dan Patogenesis
2.4.1 Laringomalasia
Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori yang
menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan
model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada
laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang
keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.
Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi
dan teori neurogenik.
Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan
tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Teori
anatomi pertama kali disampaikan oleh Sutherland dan Lack, 1897, setelah mempelajari
18 kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini

13
merupakan kelainan kongenital disertai dengan imaturitas jaringan pada bayi yang baru
lahir. Pada kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal
dominan.6
Teori ini didukung oleh penemuan Presscott yang mempelajari 40 pasien dengan
laringomalasia. Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek. Dan sebanyak
68% mempunyai bentuk epiglotis infantile yang semuanya bermanifestasi berat yang
membutuhkan intervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan
laringomalasia didapatkan bentuk laring infantile pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglotis
melipat seperti omega dan 5 sisanya memiliki epiglottis yang normal.
Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah
terlambatnya perkembangan kontrol neuromuscular dibanding dengan teori anatomi.
Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolap struktur supraglotis setelah
dilakukan pemotongan saraf laring pada percobaan binatang. Penelitian ini didukung
dengan beberapa laporan tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah
mengalami luka neurologi. Peron, dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika
ariepliglotika setelah mengalami kerusakan otak berat. Keadaan ini digolongkan sebagai
“laringomalasia didapat”. Dua dari 7 pasien ini mengalami perbaikan keadaan neurologi
yang diikuti dengan kembali normalnya fungsi laring. Dilaporkan pula terjadinya
laringomalasia pada pasien yang mengalami paresis serebral (cerebral palsy), overdosis
obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi 21.
Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas
neurogenik lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 80% dari 30 anak dengan
laringomalasia mempunyai penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi
hipotonia dan 10% mengalami apnea tidur sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi
atau imaturitas dari control neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan
tersebut. Pada kepustakaan lain disebutkan PRGE ditemukan pada 35-68% bayi dengan
laringomalasia dan dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotik sehingga
terjadi peningkatan hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi
nafas. Namun dapat pulaterjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PRGE
akibat perubahan gradien tekanan intraabdominal/ intratorakal.

14
Meskipun laringomalasia merupakan penyebab utama stridor dan obstruksi napas
pada bayi, namun laringomalasia dapat pula bermanifestasi akibat yang lain, seperti pada
atlet yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga menarik plika
ariepliglotika ke endolaring dan terjadi obstruksi nafas. Keadaan ini disebut dengan
laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalacia/ EIL), yang dapat
terjadi baik pada anak-anak atau dewasa dan sering terjadi kesalahan diagnosis dan
dianggap asma, keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL merupakan sindrom
dimana terjadi sesak nafas yang berat, stridor dan mengi minimal selama latihan fisik
yang berlebihan yang tidak berespons dengan pengobatan β-agonis dan kromolin sodium,
namun gejala dapat berkurang bila latihan fisik dikurangi.
2.4.2 Trakeomalasia
Berdasarkan penyebabnya, kelainan trakeomalasia dapat terjadi primer atau
intrinsik dan sekunder. Pada trakeomalasia primer, abnormalitas terjadi hanya pada
dinding trakea, sedangkan pada trakeomalasia sekunder, penyebabnya adalah adanya
penekanan dari luar trakea yang menyebabkan melemah dan kolapnya trakea.
Trakeomalasia primer relative jarang, dibandingkan yang sekunder. Kondisi yang dapat
menyebabkan trakeomalasia sekunder adalah fistel trakeoesofagus, abnormalitas jantung
dan pembuluh darah, trakeostomi, masa di mediastinum dan celah laring.7
Berdasarkan luas kelainannya, trakeomalasia dapat terjadi di sepanjang trakea
disebut juga trakeomalasia umum atau terbatas pada segmen tertentu atau trakeomalasia
lokal.
Terjadinya trakeomalasia umum, diduga berhubungan dengan proses pemisahan
trakea dari esophagus pada masa embrional, dimana trakea terlalu banyak menerima
jaringan. Pada pemeriksaan patologi rasio antara kartilago trakea dan membran posterior
menurun menjadi 2:1 sedangkan pada trakea normal rasio ini sekitar 4:1 atau 5:1. Wallo
dan Emery menggap anomaly trakea ini sebagai kelainan congenital.
Trakeomalasia lokal dapat terjadi oleh beberapa penyebab. Diantaranya adalah
abnormalitas pembuluh darah yang menyebabkan penekanan eksternal saluran nafas.
Penekanan dari anterior trakea ini biasanya oleh arteri inominata atau arkus aorta atau
adanya penekanan oleh masa atau tiroid.

15
Trakeomalasia lokal dapat pula terjadi setelah trakeostomi, biasanya mengenai
bagian superior dari stoma trakea. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan kanul
trakeostomi yang lama, ukuran terlalu besar atau bersudut tajam, sehingga kanul
bergesekan dengan cincin trakea di atas trakeostomi, menekannya ke posterior dan dapat
merusak kartilago, sehingga menyebabkan hilangnya rigitas kartilago.7

2.5 Manifestasi Klinis


2.5.1 Laringomalasia
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada
70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah
lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan kemudian. Pada beberapa bayi tidak
menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipresipitasi oleh
infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor
akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan kemudian
bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat anak
aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin
membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi
antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan.6
Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan epigastrium akibat
usaha pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam keadaan pektus ekskavatum.
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita
laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah
makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh.
Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi
pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari
tekanan negative yang tinggi di esophagus intratorak pada saat inspirasi.
Pneumonitis aspirasi dilaporkan terjadi pada 7% anak dengan laringomalasia.
Mekanisme kelainan ini belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan tekanan
negative dan masalah makan.
Apne obstruksi tidur (23%) dan apnea sentral (10%) juga ditemukan. Keadaan
hipoksia dan hiperkapnia akibat hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas

16
yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa
dan timbul hipertensi pulmonal, yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung,
penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder
dari laringomalasia.6
Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat
klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk mempermudah pemilihan
teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya adalah sebagai berikut: tipe 1, yaitu
prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu memendeknya
plika ariepiglotika; tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior. Bentuk omega
epiglotis tidak selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada 30-50% pasien,
dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor.6

2.5.2 Trakeomalasia
Keadaan trakeomalasia akan memberikan gejala bila kolapsnya anteroposterior
lumen trakea lebih dari 40%. Pada keadaan trakeomalasia, dapat terjadi stridor inspirasi,
ekspirasi atau bifasik. Stridor inspirasi, ekspirasi, atau bifasik. Stridor inspirasi terjadi
pada trakeomalasia ekstratoraks, stridor ekspirasi pada trakeomalasia intratoraks dan
bifasik jika mencakup ekstra dan intratoraks. Namun pada umumnya stridor ekspirasi
yang sering ditemui. Stridor dapat terdengar bernada tinggi, menyerupai mengi asma.
Munculnya stridor dapat terjadi saat lahir, tetapi biasanya baru terdengar setelah bayi
lebih aktif atau terdapat infeksi saluran nafas. Stridor juga dapat dicetuskan bila
menangis, batuk, dan makan. Pada keadaan yang berat, stridor terdengar bahkan saat
istirahat.
Seperti halnya pada laringomalasia, terdapat pula kesulitan makan akibat
koordinasi kurang baik antara proses bernafas dengan menelan. Stridor dapat menjadi
lebih keras saat makan namun aspirasi biasanya tidak terjadi.7
Penyempitan lumen oleh karena trakeomalasia dapat bersifat parsial, yaitu bila
penyempitan lumen antara 40-80% dan bersifat berat bila lebih dari 80% lumen kolaps.
Trakeomalasia yang terjadi akibat trakeostomi terletak di atas stoma.
Trakeomalasia diharapkan membaik sejalan dengan perkembangan traktus

17
trakeobronkial yang makin membesar, dan biasanya menghilang setelah usia 18 sampai
24 bulan.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Laringomalasia
Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi.
Dari anamnesis ditemukan riwayat stridor inspiratoris mulai 2 bulan awal
kehidupan, suara biasa muncul pada minggu 4-6 awal, stridor berupa tipe inspiratoris dan
tidak terdapat sekret nasal, stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika
menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus,
selama dan setelah makan. Tangisan bayi biasanya normal. Biasanya tidak terdapat
intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi
makan jika ada refluks pada bayi. Bayi gembira dan tidak menderita.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan bayi dapat berinteraksi secara wajar, dapat
terlihat takipneu ringan, tanda-tanda vital normal. Biasanya terdengar aliran udara nasal,
Suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang. Tangisan bayi biasanya normal, penting
untuk mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan. Stridor murni berupa inspiratoris.
Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis.
Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis laringomalasia adalah dengan
menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark menyatakan bahwa laringoskopi
fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan dilakukan pada
anak dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa adanya
premedikasi. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring, dan supraglotis.
Pada laringomalasia, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun pada keadaan berat,
sulit memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis.2
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko
terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan penilaian
keadaan subglotis kurang akurat.
Masih menjadi perdebatan apakah setiap bayi dengan dugaan laringomalasia
harus melalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi meskipun pemeriksaan tersebut

18
masih merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan ini
memiliki beberapa kelemahan bagi neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi,
alat endoskopi yang khusus, ahli anestesi yang handal, mahal dan waktu yang lebih lama,
sehingga mungkin ada keterlambatan diagnosis.
Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi
dan bronkoskopi. Kriterianya adalah:
1. Bayi dengan gangguan pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase
apnea, atau pneumonia berulang.
2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia pada
laringoskopi fleksibel.
3. Bayi dengan lesi lain di laring.
4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti.6
Nusbaum dan Maggi melaporkan 68% dari 297 anak dengan laringomalasia
mempunyai kelainan pernafasan lainnya yang ditemukan dengan bronkoskopi.6

2.6.2 Trakeomalasia
Diagnosis trakeomalasia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang dengan trakeobronkoskopi. Pemeriksaan penunjang lainnya
esofagogram, sine-tomografi komputer atau ultrafast, pencitraan resonansi magnetik.
Esofagogram berguna untuk melihat anomali vaskular seperti arkus aorta dobel serta
dapat menilai bila ada perubahan pada dimensi anteroposterior trakea. Sine-tomografi
komputer atau ultrafast merupakan modalitas terbaru yang tidak invasif dan dapat
menunjukkan letak, luas, derajat dan dinamika kolapnya trakea dan bronkus. Sementara
itu pencitraan resonansi magnetik baik untuk menilai adanya anomali vaskuler dan masa
mediastinum tapi kurang sensitif untuk membedakan stenosis trakea dari trakeomalasia.7

19
Gambaran endoskopi trakea normal

Peran radiologi konvesional posisi posterioranterior dan lateral pada


laringotrakeomalasia tidak terlalu banyak membantu karena kelainan ini merupakan suatu
proses dinamik, namun dapat membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.
Bila foto diambil saat inspirasi, maka bergeraknya aritenoid, plika ariepiglotika dan
epiglotis ke inferior dan medial dapat terlibat sebagai pengembungan dari ventrikel laring
dan hipofaring. Fluoroskopi akan lebih baik menggambarkan proses dinamik ini dan letak
kolaps dapat terlihat pada saat inspirasi disertai dilatasi pada hipofaring akibat obstruksi
di daerah laring. Pada trakeomalasia pembuatan foto tidak dapat hanya menggunakan
film tunggal. Namun bila pada film tunggal ditemui penyempitan segmen trakea yang
panjang maka dapat dicurigai adanya trakeomalasia. Proses dinamik trakea dapat
diperlihatkan melalui film multipel pada posisi yang sama atau dengan fluoroskopi. Letak
penyempitan trakea intermiten akan terllihat berbeda pada setiap siklus pernapasan.

20
Gambaran radiografi trakeomalasia pada bayi usia 2 bulan

Trakea kolaps lebih dari 50 % saat ekspirasi merupakan poin diagnostik dari
trakeomalasia

21
The mechanism of tracheal narrowing is shown here in healthy cases and in cases of
tracheomalacia. Adapted from Feist JH, et al. Chest 68:3, Sept, 1975.

2.7 Diagnosis Banding


Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring dan trakea merupakan
diagnosis banding dari laringotrakeomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi,
trauma, benda asing, tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea.

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Laringomalasia
Kira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak memerlukan
intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi keterangan
dan keyakinan utnuk menenangkan orang tua pasien tentang prognosis dan tindak lanjut
yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dapat
dicapai.

22
Pada laringomalasia yang berat, akan tampak gejala obstruksi nafas yang disertai
retraksi strenal dan interkosta, baik saat tidur atau terbangun, sulit makan, refluks berat,
dan gagal tumbuh. Anak-anak yang mengalami hal ini beresiko mengalami serangan
apnea. Keadaan hipoksia akibat obstruksi nafas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal
dan terjadi cor pulmonal.
Menurut Jackson dan Jackson, 1942, pada keadaan berat ini maka intervensi
bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas
berupa trakeostomi sampai masalah teratasi. Namun pada anak-anak, resiko morbiditas
dan mortalitas trakeostomi beresiko tinggi.
Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat
dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1,
dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih,
dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan
menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi
dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya
struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara
eksisi melewati ligament glosoepiglotika untuk menarik epiglottis ke depan dan
menjahitkan sebagian dari epiglottis ke dasar lidah.

2.8.2 Trakeomalasia
Seperti halnya laringomalasia, penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1-2
tahun tanpa membutuhkan tindakan bedah. Orang tua pasien harus diberikan dukungan
serta informasi dan diajari mengenai resusuitasi jika anaknya mempunyai riwayat apnea.
Resusitasi yang dapat diajarkan adalah memberikan tekanan positif pada trakea, melalui
pernafasan mulut ke mulut atau denga sungkup (mask) atau balon (ambubag). Orang tua
juga dipesankan untuk mencegah anak menangis.
Pendekatan penanganan trakeomalasia tergantung pada penyebab yang
melatarbelakanginya.
Pada penekan trakea oleh arteri inominata perlu dipikirkan untuk melakukan
arteriopeksi yang dapat disertai dengan trakeopeksi. Aortopeksi yaitu pengikatan dinding

23
luar aorta ke sternum merupakan tindakan yang dipilih pada penekanan oleh arkus aorta.
Prosedur ini hanya diperbolehkan bila derajat obstruksinya berat.
Penggunaan kanul trakeostomi yang agak besar efektif menyangga trakeomalasia
yang terjadi di bagian tengah, namun kurang efektif bila kolaps trakea terjadi di bagian
bawah atau bronkus. Dengan adanya trakeostomi akan mempermudah pemberian
ventilasi dan menaikkan tekanan pada saluran nafas. Kanul yag panjang dengan bagian
ujung yang rata bukan miring dapat diletakkan diatas karina, namun beresiko terjadinya
stenosis pada daerah ujung kanul. Baru-baru ini telah ada kanul yang menyangga karina
membentuk bifurkasio dan bercabang dua untuk masuk ke bronkus dan bersifat fleksibel.
Tindakan operasi lainnya pada keadaaan yang berat adalah pemasangan bidai
eksternal atau internal, reseksi segmen dan tandur kartilago.7

2.9 Prognosis
Laringotrakeomalasia mempunyai prognosis yang baik, karena hampir sebagian
kasus dapat hilang sendirinya dalam 1-2 tahun.2

24
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
1. Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya struktur
supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas
yang menimbulkan gejala utama berupa stridor. Kelainan ini dapat hadir sebagai
laringomalasia atau trakeomalasia saja.
2. Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi dan
teori neurogenik. Berdasarkan penyebabnya, kelainan trakeomalasia dapat terjadi
primer atau intrinsik dan sekunder sedangkan berdasarkan luas kelainannya,
trakeomalasia dapat terjadi di sepanjang trakea disebut juga trakeomalasia umum atau
terbatas pada segmen tertentu atau trakeomalasia lokal.
3. Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laringoskopi
fleksibel dan radiologi. Sedangkan untuk Trakeomalasia, diagnosis ditegakkan
dengan trakeobronkoskopi.
4. Kira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak memerlukan
intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi
keterangan dan keyakinan untuk menenangkan orang tua pasien tentang progonosis
dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan
yang normal dapat dicapai. Pada keadaan berat ini maka intervensi bedah tidak dapat
dihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas berupa trakeostomi
sampai masalah teratasi.
5. Trakeomalasia dapat sembuh sendiri dalam waktu 1-2 tahun tanpa membutuhkan
tindakan bedah. Orang tua pasien harus diberikan dukungan serta informasi dan
diajari mengenai resusuitasi jika anaknya mempunyai riwayat apnea. Resusitasi yang
dapat diajarkan adalah memberikan tekanan positif pada trakea, melalui pernafasan
mulut ke mulut atau dengan sungkup (mask) atau balon (ambubag). Orang tua juga
dipesankan untuk mencegah anak menangis. Pendekatan penanganan trakeomalasia
tergantung pada penyebab yang melatarbelakanginya.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman, M. Sleep apnea and Snoring: Surgical and Non Surgical Therapy.
2009. Saunders Elsevier, WA
2. Cotton RT, Myer CM. Practical Pediatric Otolaryngology. Philadelphia :
Lippincott-Raven Publisher; 1999. p 497-501.
3. Snell RS. Anatomi Klinik Edisi Ketiga Bagian Ketiga. Jakarta : EGC ;1997. h
156-7.
4. Hermani B, Kartosoediro S, Syahrial MH. Disfonia. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ;2007. h 231-4.
5. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman Edisi Ke-7. Jakarta : EGC ;2000. h
233-5.
6. Lusk RP. Congenital Anomalies of The Larynx. Dalam Ballenger JJ, Snow JB.
Otolaryngology Head and Neck Surgery 15th Edition. Baltimore : William &
Wilkins ;1996 p 498-501.
7. Albert D. Tracheobronchomalacia. Dalam Cotton RT, Myer CM. Practical
Pediatric Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher; 1999. p 625
-34.

26

You might also like