You are on page 1of 10

Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta

hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul “ Al-Hulul, Wahdat Al-Wujud dan Insan Kamil”.

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun tidak lupa mengucapkan banyak terima

kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini

sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dan tidak lupa juga kami

ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.

Bandung, 02 April 2011

Penulis

BAB I
1
PEMBAHASAN
1. AL HULUL

a. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Hulul

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,

yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.

Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution,

adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk

mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad

(tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat

kemanusiaan”.

b. Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulul

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-

Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun

244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal

sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar

pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri

Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-

Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga

seorang sufi.

c. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj

Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya

sebenarnya berpijak dari kedekatannya denganTuhan. Kedekatan berikut dengan segala

atribut nuansa spiritualnyabertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor

spiritualitasIslam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam14 yang senantiasa identikdengan

2
upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan

dalam kemutlakan Realitas-Nya yangmelampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang

Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.

Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhandipahami

mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil

melenyapkan sifat kemanusiaan yangada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan

mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat

kemanusiaan).Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena

itu,antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasipemahaman ini dibangun

berdasarkan kandungan makna dari sebuahhadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya

Allah menciptakan Adamsesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh

Bukhari,Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits inimemberikan

wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhanyang disebut al- lahut.

Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentukmanusia yang disebut al-nasut.

Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusiatersebut, maka

integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangatmungkin terjadi. Proses bersatunya

antara Tuhan dn manusia dalampemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.

Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana

manakala manusia berkeinginan menyatu denganTuhannya, maka ia harus mampu

melenyapkan sifat al-nasutnya.Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi

dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadipengalaman hulul.

Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah.

Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini,

maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan

3
turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul1 dan peristiwa ini

terjadi hanya sesaat.

2. WAHDAT AL- WUJUD

a. Pengertian dan Tujuan Wahdat al-Wujud

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-

wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.

Dengan demi¬kian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya

digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang

mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang

lebih kecil.

Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa

dalam paham wahdat al-wujud, nast yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk)

dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua bagian sesuatu. Aspek yang

sebelah luar disebut Khalq dan yang sebelah dalam disebut Haqq. Kata-kata khalq dan haqq

inj; merupakan padanan kata al-’Arad (accident) dan al-Jauhar (substance) dan al-Zahir

(lahir-luar-tampak), dan al-bathin (da¬lam, tidak tampak).

Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang

disebut al-Khalq (makhluk) Al’arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan aspek

dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).

b. Tokoh yang Membawa Paham Wahdatul Wujud

Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia,

Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan

di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekkah dan meninggal di

Damaskus di tahun 1240 M.

4
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada

puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan

pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang

agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum

awam sebagaimana dialami al-Hallaj

c. Essensi dan Eksistensi Wujud menurut Ibn Arabi

Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi.Sesuatu bisa dianggap

wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-

wujûd),yang terdiri atas 4 hal;

(1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd al-syai’ fî ainih),

(2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujûd al-syai’ fî al-ilm),

(3) eksis dalam ucapan (wujûd al-syai’ fî al-alfazh),

(4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî ruqûm). Segala

sesuatu dianggap wujud jika ada didalam salah satu empat‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang

tidak ada diantaranya tidakbisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak

bisadibicarakan.32

Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punyaeksistensi, dalam perspektif

ontologis Ibn Arabi, terbagi dalamdua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak

adalahsuatu sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untukdirinya sendiri, dan itu

adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatuyang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud

lain (wujûd bi

al-ghair).

Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud bebas dan wujud ‘bergantung’, yang disebut

kedua ini berupa atribut-atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang

5
bersifatspesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa substansi-substansi,

dan ia terbagi dalam dua bagian; material dan spiritual

3. Insan Kamil

Sedangkan konsep insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi terbagi menjadi dua bagian,

yakni manusia Sempurna tingakt unniversal dan manusia sempurna pada tingkat partikular

atau individual. Manusia Sempurna pada tingkat universal, seperti dikatakan W.C. Chittick,

adalah model asli yang abadi dan permanen dari manusia Sempurnya individual. Sedangkan

manusia Sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia para Nabi dan para

Wali Allah.

Dalam padangan al-Arabi setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majla,

mazhar) Tuhan dan manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling

sempurna. Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada manusia sempurna karena

ia menyerap semua nama dan sifat secara sempurna dan seimbang.

Kesempurnaan terletak pada apa yang disebut “perpaduan”, “percakupan,” atau

“sintesis’” (jam’iyyah) atau “paduan,” “cakupan,’ atau “totalitas,” (majmu). “perpaduan”

6
berarti bahwa manusia memadukan atau mecakup dalam dirinya semua dan sifat Tuhan dan

semua realitas alam.

Perpaduan (jam’iyyah) pada diri manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat yang

berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang berlawanan, yang

terminifestasi pada alam. Ibn Arabi berkata; Ia adalah manusia yang baharu, yang azali; Ia

adalah bentuk yang kekal, yang abadi, yang memisahkan dan yang memadukan. Manusia

adalah baharu (hadits) dari aspek badanianya dan yang azali (azali) dari aspek ilahinya, aspek

teomorfisnya. Jasad manusia adalah baharu (hadits) badaniahnya dan ruhnya adalah azali.

Masih dalam hal perpaduan, Ibn Arabi bekata: manusia terdiri dari dua salinan (nukhatani),

yaitu salinan yang tampak (nuskhah zahirah) dan salinan dua salinan yang

tersembunyi.salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhan dan

salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran ilahi.

Perpaduan adalah keutamaan manusia di atas makhluk-makhluk lain yang

memberinya kedudukan khilafah (kewakilan) sebagai hak istemewa yang tidak diberikan

Allah kepada makhluk-makhluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak untuk memadahi syarat

khalifah. Satu-satunya yang memenuhi syarat ini adalah manusia, atau mausia Sempurna.

Sementara manusia sempurna pada tingkat partikular, Ibn Arabi menunjukkan perbedaan

antara manusia Sempurna (insan kamil) dan manusia Binatang (al-insan hayawan). Dengan

menunjukkan perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia mejadi

sempurna; hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia Sempurna.

Manusia-manusia pilihan itu adalah para Nabi dan para Wali Allah. Tentang perbedaan ini,

Ibn Arabi berkata:“Karena manusia Sempurna adalah menurut gambar Sempurna, maka ia

berhak menerima khalifah dan kewakilan dari Allah di alam. Mari kita jelaskan pada bagian

ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan

manusia dengan manusia binatang belaka, tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan

7
kemanusiaan dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia

bukanlah khilafah. Menurut pedapat ini manusia binatang benar-benar bukan khilafah.”

Kesempurnaan manusia adalah terletak pada “perpaduan” yang memberinya hak istimewa

untuk menjadi khilafah. Bagi Ibn Arabi, manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan

(rubat al-kamal) adalah binatang yang lahirnya menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak

memperoleh jabatan khilafah.

Ibn Arabi tidak setuju manusia dikatakan “binatang berakal” seperti yang dilakukan

banyak orang, bahkan pendapat itu suatu kekeliruan besar yang menyesatkan. Kemampuan

berfikir bukanlah sifat utama yang mebedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain karena

keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula. Sifat utama yang menjadi ciri khusu

manusia, yang membedakan dengan makhluk-makhluk lainnya, adalah “bentuk ilahi”,

“bentuk Tuhan”. (al-surah al-Ilahiyah). Teori ini didasarkan atas hadits Imago Dei, yang

menyatakan bahwa Allah meciptakan manusia menurut bentuk-Nya.

Bagi Ibn Arabi manusia sempurna tergantug pada ubudiyah, yakni membentuk

ketaatan mutlak kepada Allah dengan mengikuti syari’at yang diturunkannya. Manusia

diharuskan “berakhlak dengan akhlak Allah” (al-takhulluqu bi akhlaq Allah). Takhalluq

adalah perwujudan Allah; ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah; dan ubudiyah tidak lain

khalifah. Perpaduan sempurna antara ubudiyah dan khilafay terwujud pada Nabi Muhamad

Saw manusia yang paling sempurna.

Jadi manusia Sempurna adalah manusia yang mengaktualisasikan ubudiayahnya.

Sehingga pada saat yg sama, manusia Sempurna itu adalah manusia yang “meninggi” dalam

arti, derajatnya tinggi dan mulia karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara

sempurna dan seimbang; ia mengaktualisasikan khilafahnya. Semakin “merendah” manusia

dihadapan Tuhan, semakin “tinggi” derajatnya. Demikian gambaran konsep manusia

sempurna (insan kamil) bagi Ibn Arabi.

8
BAB II
PENUTUP
Alhamdulillah, dengan selesainya makalah tasawuf yang fokus pada pembahasan Al-

Hulul, Wahdat Al-wujud dan Insan Kamil ini, penulis ucapkan terima kasih atas bimbingan

dan arahan dari Bpk. Asep Sulaiman selaku dosen mata kuliah tasawuf . Semoga penjelasan

yang singkat ini mampu menambahkan wacana dalam pembelajaran akhlak tasawuf ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, 2008

 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, 2005

10

You might also like