You are on page 1of 8

KORUPSI DALAM PENGELOLAAN APBD

Oleh. Paul SinlaEloE (paulsinlaeloe@yahoo.co.id)

Kenyataan dalam kehidupan bernegara di Provinsi Nusa Tenggara Timur memperlihatkan hanya sedikit
sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang tidak tersentuh atau dipengaruhi oleh anggran publik Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD).  APBD sangat memnentukan apakah kita akan tinggal dalam
lingkungan yang baik dengan kualitas prasarana dasar yang memadai, atau tinggal dalam lingkungan
yang kumuh. Tidak hanya itu saja, APBD juga sangat berpengaruh pada kemudahan kita untuk
memperoleh kualitas fasilitas pendidikan maupun kesehatan yang memadai. Lebih jauh, APBD juga
berpengaruh terhadap mobilitas penduduk bahkan lapangan kerja, dan bahkan kegiatan kita juga
dipengaruhi oleh kebijakan anggaran yang tercantum dalam APBD.
Menurut Prof. Mardiasmo (1999), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan anggaran
publik yang berfungsi untuk: Pertama, Alat Kebijakan Fiskal. Fungsi untuk menstabilkan ekonomi dan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua,  Alat Politik. Anggaran merupakan dokumen politik sebagai
komitmen antara eksekutif dan legislatif atas penggunaan dana publik. Oleh karena itu, dibutuhkan
political skill, keahlian bernegosiasi, dan pemahaman prinsip manajemen. Ketiga, Alat koordinasi dan
komunikasi. Setiap unit kerja terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran harus
dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi yang dilaksanakan. Keempat, Alat menciptakan Ruang
Publik. Kelompok masyarakat yang baik akan mencoba mempengaruhi anggaran publik untuk
kepentingannya. Kalau tidak ada ruang publik kelompok tersebut akan demo, boikot, vandalisme. Kelima,
Alat Motivasi. Memotivasi manajer & staff bekerja ekonomis, efesien dan efektif dalam mencapai target
dan tujuan organisasi. Keenam, Alat Penilaian Kinerja. Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan
pencapaian target anggaran dan efesiensi pelaksanaan anggaran.
APBD adalah Rencana Pendapatan dan Belanja suatu Daerah untuk satu tahun berjalan (1 periode)
yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Itu berarti, APBD dapat dipahami sebagai hasil
terjemahan berbagai kebijakan, komitmen politik dan prioritas kerja dalam bentuk keputusan tentang
gambaran darimana uang didapat dan dipergunakan untuk apa uang tersebut. Ironisnya, fakta
menunjukan bahwa hampir tidak ada lagi bagian dari kehidupan kita yang tidak tersentuh oleh kewajiban
untuk membayar pajak maupun retribusi yang merupakan sumber pendapatan utama dari APBD. Namun,
fakta juga  membuktikan bahwa sebagian besar  APBD selalu di korupsi oleh para koruptor.
Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) di
Kupang, selama tahun 2004 sampai dengan 2008, tercatat 1267 kasus dugaan penyimpangan
pengelolaan keuangan daerah pada level Propinsi maupun di seluruh Kabupaten Kota di NTT dengan
nilai nominal Rp. 3.711,89 triliun. Data BPK perwakilan NTT di Kupang juga menunjukan bahwa kasus
dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah di Propinsi dan seluruh kabupaten Kota di NTT
yang sudah di tindaklanjuti hanya sebanyak 670 kasus dengan angka indikasi korupsi sebesar Rp.
1.404,81 triliun. Itu berarti,  terdapat 597 kasus yang belum ditindaklanjuti  dengan total penyelewengan
mencapai nilai nominal Rp. 2.307.08 triliun.
Temuan BPK perwakilan NTT juga menunjukan bahwa penyelewengan paling banyak terjadi di lingkup
Setda propinsi NTT yaitu 150 kasus. Total niali nominalnnya adalah Rp. 423,61 miliar. selanjutnya Secara
bertururt-turut adalah Kabupaten Sumba Timur mencatat 87 kasus indikasi penyelewengan, dengan nilai
nominal Rp. 294,83 miliar. Diikuti oleh Kota Kupang dengan 85 kasus indikasi penyelewengan dengan
nilai kerugian Rp. 156,29 miliar.
Pada tahun 2008, PIAR NTT melakukan Pemantauan terhadap 108 (Seratus Delapan) kasus dugaan
korupsi yang terjadi di 13 Kabupaten/Kota dan 1 Provinsi. Dari 108 (Seratus Delapan) kasus korupsi yang
dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar  Rp.  217.070.432.044,00. Kasus
yang dipantau oleh PIAR NTT ini jika dilihat dari usia kasus, dapat dipilah menjadi 2 (dua) kategori, yakni:
Kasus Lama dan Kasus Baru. Kasus Lama adalah Kasus korupsi usaianya lebih dari 2 (dua) tahun
(Kasus yang terjadi dari tahun 2000 S/D 2006), sedangkan Kasus Baru ialah Kasus korupsi usaianya
belum mencapai dari 2 (dua) tahun (Kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008). Dengan
pengkategorian seperti ini, maka terdapat 93 (85%) kasus yang merupakan Kasus Lama dan Kasus Baru
sebanyak 16 (15%) kasus.
Dengan data dugaan korupsi yang demikian, maka dalam tulisan ini akan diuraikan secara singkat
tentang Titik Rawan terjadinya tindak korupsi dalam tahapan pengelolaan APBD sekaligus dengan
modus operandinya.
Secara konseptual, ada 3 (tiga) tahapan dalam sistem pengelolaan anggaran, yakni: Pertama, tahap
perencanaan. Kedua, tahap pelaksanaan. Ketiga, Pengendalian dan Pengawasan. Dari pengalaman
PIAR NTT dalam melakukan advolasi anggaran menunjukan bahwa dari ketiga tahapan dalam sistem
pengelolaan anggaran ini, pada setiap tahapannya terdapat sejumlah titik rawan terjadinya korupsi.
Dalam tahap perencanaan ada 18 (delapanbelas) kegiatan yang harus dilaksanakan, yakni: JARING
ASMARA, MUSRENBANGDES, FORUM SKPD, MUSRENBANG KABUPATEN, MUSRENBANG
PROPINSI, PENENTUAN ARAH KEBIJAKAN UMUM APBD, MUSRENBANGNAS, PENENTUAN
STRATEGI DAN PRIORITAS APBD, PENYUSUNAN RASK, PEMBAHASAN AKU APBD, SURVEY/
STUDY KELAYAKAN, EVALUASI DAN SELEKSI RENCANA ANGGARAN SATUAN KERJA,
PEMBAHASAN PRA RAPBD (ASISTENSI RASK), SIDANG PARI PURNA PEMBAHASAN RAPBD DAN
PENETAPAN APBD, KEPUTUSAN PENJABARAN APBD, PENYUSUNAN DAN PENGESAHAN DASK,
PENETAPAN BUD DAN PEMBANTU BUD DAN SATUAN PEMEGANG KAS.
Dalam tahap perencanaan ini ada sejumlah titik rawan terjadinya korupsi yakni: Pertama,
MUSRENBANGDES.  biasanya MUSRENBANGDES dilakukanakan tetapi design program yang
disususn adalah design program dari instansi tertenu, dan MUSRENBANGDES hanya sebagai sosialisasi
program. Masyarakat dipaksa dan secara terpaksa mengikuti keinginan atau kebutuhan instansi. Kedua,
MESRENBANGCAM. Seluruh desa pada kecamatan di undang untuk mengikuti Mesrenbangcam, akan
tetapi biasanya hasil yang diusulkan sudah di design sedemikian rupa sehingga kepentingan pemerintah
kecamatan akan lebih dominan. Masalah lain dari proses musrenbang baik itu pada level desa maupun
kecamatan adalah Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya
Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP
No. 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (NB bisa via
Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat
edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
Selain itu, Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (Misalnya, PERMENDAGRI No. 66 tahun
2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah
pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan
dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
Ketiga, Pembahasan Tim anggaran (eksekutif) dengan Panitia Anggaran (DPRD). DPRD menekan
eksekutif agar eksekutif mengikuti “keinginan” sejumlah kepentingan anggota DPRD. Biasanya DPRD
menitipkan sejumlah proyek pada instansi tertentu (agar dapat lolos), maka instansi terkait “mengiyakan”
keinginan sejumlah anggota DPRD, dari pada usulannya ditolak. Disamping itu, ada juga fakta bahwa
usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark-
down; ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya. Fakta lainnya adalah dalam tahap perencanaan,
biasanya Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-
kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal
reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru
DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil
Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari
dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek.
Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan
tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek
pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali
mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan
legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya
dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos)
ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk
menjawab permintaan masyarakat.
Keempat, Sidang Pari Purna Pembahasan RAPBD dan Penetapan APBD. Biasanya DPRD maupun
eksekutif  mengundang beberapa stekholders untuk mengikuti persidangan sebagai pendengar, dan
dengan melibatkan DPRD dan eksekutif memandang bahwa proses penyusunan APBD dilakukan sudas
secara transparan dan partisipatif. Padahal, cuma sekedar simbolis semata.
Tahap pleksananan meliputi 6 (enam) kegiatan, yaitu: ASISTENSI DASK, PENYERAHAN DASK,
PEMBENTUKAN PANITIA DAN PROSES TENDER, KONTRAK/KONSTRUKSI, PERUBAHAN APBD,
PHO (Provisional Hand Over/Penyerahan tahap Pertama). Walaupun demikian sebenarnya aktivitas
utama dalam tahap pelaksanaan adalah realisasi penerimaan daerah dan Realisasi pengeluaran daerah
(belanja barang, belanja langsung dan belanja tidak langsung). Titik rawan terjadinya korupsi pada
tahapan pelaksanaan ini adalah: Pertama, pada saat belanja barang. Tindak korupsi yang terjadi pada
momen ini diantaranya Mark Up (penggelembungan harga), Mark Down, manipulasi kwitansi, manipulasi
barang, memberikan uang komisi, sisa diskon yang tidak dilaporkan. Kedua, belanja langsung. Biasanya
yang terjadi Proyek penunjukan langsung dan yang ditunjuk  adalah orang yang dekat dengan pengelola
proyek atau penguasa, uang komisi mark up, pembelian barang, dsb. Ketiga, belanja tidak langsung. 
Bisanya disini terjadi Mark Up (penggelembungan harga), Mark Down, manipulasi kwitansi, manipulasi
barang, memberikan uang komisi, sisa diskon yang tidak dilaporkan, inefisiensi dalam pembelanjaan,
dsb. Keempat, untuk kegiatan Pembentukan panitia tender, proses tender, pada saat pelaksanaan
proyek modus korupsinya bisa dilihat dalam tulisan KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN
JASA.
Untuk tahap Pengendalian dan Pengawasan ada 4 (empat) aktivitas yaitu: MONITORING, RAPAT
KOORDINASI DAN EVALUASI, PELAPORAN, BERITA ACARA PENYERAHAN PROGRAM
/KEGIATAN. Titik rawan terjadinya korupsi dalam tahap Pengendalian dan Pengawasan ini adalah:
Pertama, Evaluasi/pemeriksaan proyek oleh BAWASDA/BPKP/BPK. Pada aktivitas ini biasanya tim
pemeriksa diberikan uang sogokan, fasilitas yang mewah dengan pelayanan yang istimewa, agar hasil
pemerikasaan tidak dipersoalkan oleh tim pemeriksa. Kedua, LKPJ Kepala Daerah. Dalam kegiatan ini
yang sering terjadi Kepala daerah memberikan laporan yang menggambarkan tingkat keberhasilan
program pada hal realitanya adalah sebaliknya. Pada saat melakukan LKPJ, biasanya DPRD melakukan
kritik yang tajam terhadap LKPJ kepala daerah akan tetapi ujung-ujungnya menerima begitusaja cacat-
cacat yang ada.
Banyaknya Titik rawan terjadinya korupsi dalam pengelolaan APBD ini tidak terlepas dari buruknya
sejumlah produk perUndang-Undangan. Pengalaman PIAR NTT dalam melakukan advokasi anggaran
publik dan “membongkar” berbagai kasus korupsi APBD di NTT, menunjukan ada masalah/kelemahan
serius berkaitan dengan produk hukum. Sebab, dari segi produk hukum tentang alur perencanaan dan
penganggaran terdapat 4 (empat) produk perundang-undangan saling kontradiksi dan menyebabkan
multy-interpretasi. Contohnya, sebagai berikut: Pertama, Pada UU No. 17/2003, tentang Keuangan
Negara dan UU No. 33/2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Renja SKPD disusun
berdasarkan prestasi kerja, sementara UU No. 25/2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, dan UU No. 32/2004, tentang Pemerintah Daerah tidak memerintahkan hal ini. UU 32/2004,
tentang Pemerintah Daerah, menyatakan RKA SKPD yang disusun berdasarkan prestasi kerja.
Pertanyaannya, apakah Renja SKPD dan RKPD sama. Kedua, Pada UU No. 25/2004, tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Renja SKPD berpedoman pada Renstra SKPD dan mengacu
pada RKPD. Sementara pada UU No. 32/2004, tentang Pemerintah Daerah, Renja SKPD dirumuskan
dari Renstra SKPD, tanpa memerintahkan mengacu kepada RKPD. Sedangkan pada UU No. 33/2004,
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menyatakan Renja SKPD penjabaran dari RKPD
tanpa berpedoman pada Renstra SKPD.
Ketiga, Pada UU No. 32/2004, tentang Pemerintah Daerah, KDH menetapkan prioritas dan plafon.
Sementara pada UU No. 17/2003, tentang Keuangan Negara dan UU No. 33/2004, tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah, prioritas dan plafon dibahas bersama DPRD dan Pemda. Keempat, Pada
UU No. 32/2004, tentang Pemerintah Daerah, prioritas dan plafon yang telah ditetapkan kepala daerah
dijadikan dasar penyusunan RKA SKPD. Sedangkan UU No. 17/2003, tentang Keuangan Negara dan UU
No. 33/2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, prioritas dan palofon sementara yang
dibahas DPRD dengan Pemda yang dijadikan acuan penyusunan RKA SKPD.
Kelima, Pada UU No.  32/2004, tentang Pemerintah Daerah, RKA SKPD disampaikan kepada PPKD
(Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) sebagai dasar penyusunan RAPBD. Sedangkan UU No. 17/2003,
tentang Keuangan Negara dan UU No. 33/2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah RKA
SKPD disampaikan ke DPRD untuk dibahas, hasilnya disampaikan ke PPKD. Keenam, Pada UU No.
17/2003, tentang Keuangan Negara, hak DPRD untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dan antisipasinya jika RAPBD tidak disetujui. Sedangkan pada UU
No. 33/2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU No. 32/2004, tentang
Pemerintah Daerah,  tidak memerintahkan hal ini.
Keseluruhan pemaparan diatas pada dasarnya menghendaki agar korupsi dalam pengelolaan APBD
dapat diatasi atau paling tidak diminimalisir. Untuk itu, upaya yang dapat dilakukan dalam rangka 
mengatasi penyimpangan anggaran dan atau korupsi dalam proses pengelolaan Anggaran, diantaranya:
Pertama, Mereview kembali ke-empat undang-undang yang mengatur perencanaan dan penganggaran
di atas, merevisinya dan sinkronisasi antara undang-undang secara lintas departemen dan
menghilangkan ego masing-masing departemen, serta membuka ruang keterlibatan publik seluas-
luasnya. Kedua, Merumuskan mekanisme proses penganggaran yang jelas, transparan dan akuntabel
kepada publik. Ketiga, Masyarakat harus terlibat  (Partisipasi Otonom) dalam setiap tahap penganggaran.
Keempat, Membentuk lembaga kontrol yang kuat yang senantiasa bersinergi dengan masyarakat.
Model Ideal Pengelolaan Keuangan Daerah
Ke
Hulu ber-Transparansi, Ke Hilir ber-Partisipasi
Pengalamanadalah guru yang paling berharga dan saya yakin anda akan sepakat dengan
pernyataan ini. Terkadang kiasan itu hanya untuk menyenangkan hati bagi orang yang telah
gagal merencanakan masa depannya. Namun, terkadang justru dari pengalaman juga didapat
sebuah pencerahan demi pengembangan perencanaan yang lebih matang ke depannya. Kiranya
tepat menunjuk faktor ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari jalannya mekanisme evaluasi
terhadap kegiatan yang telah dilakukan, demi perbaikan kegiatan yang lebih baik di masa depan.

Pun seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah
Kabupaten Bengkalis, Riau dan Pemerintah Kabupaten Jepara dalam hal pengelolaan keuangan
daerahnya. Permasalahan yang ditimbulkan adalah, besaran minimal partisipasi dan transparansi
yang disuguhkan masih sangatlah kecil. Pemerintah daerah seharusnya lebih mampu dalam
memberikan dua aspek tersebut. Mengingat keduanya menjadi indikator utama dalam
pembentukan good governance, yang biasa disebut sebagai tatanan kepemerintahan yang
dilakukan oleh semua (pemerintah, swasta dan masyarakat), yang dalam prakteknya sangat
inklusif dan berciri kepada kemanfaatan kepada komunitas.

Duluan Mana: Partisipasi-kah? atau Transparansi-kah?

Titik awal permasalahan yang kerap terjadi dalam hal pengelolaan keuangan daerah adalah
pendahuluan partisipasi masyarakat dan sedikit mengabaikan transparansi pengelolaan keuangan
daerah. Pengedepanan partisipasi menjadi bagian utama karena hal itu diatur dengan terang
dalam runutan aturan main sampai pengeluaran juklak dan juknisnya dalam Surat Edaran
Bersama (SEB) antara Mendagri dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional setiap
tahunnya. Kapasitas inilah yang justru menjadi distorsi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Meski Permendagri 13/2006 telah diturunkan dalam kapasitas juklak dan juknis untuk
pengelolaan keuangan daerah dalam tataran kejelasan akuntansi keuangan dan model
pengadministrasian yang jelas pula dengan mengedepankan code (kode, tanda, atau simbol),
tetapi out put dokumen yang dihasilkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain masih
sangat beragam.

Keberagaman memang tidak harus diberangus. Kalau keberagamannya merujuk pada


keanekaragaman kegiatan inovatif pemerintah daerah untuk mewujudkan katalis kondisi yang
megarah ke peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka hal itu adalah sebuah keharusan, tetapi
realitas yang terjadi tidak demikian, justru keberagaman yang dianut oleh sebagian besar
pemerintah daerah adalah, keberagaman dalam hal pengadministrasian pengelolaan keuangan
daerah. Banyak dokumen-dokumen APBD yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang
lain. Misalnya, saat yang bersamaan sekitar medio Juni-Juli 2007, saya membandingkan
dokumen antara Pemprov Jawa Tengah dengan Pemkab Bengkalis, Riau.
Administrasi yang dikembangkan oleh Pemprov. Jawa Tengah hanya sampai pada harga
gelondongan yang tertera pada rekening Permendagri 13/2006 saja, sedangkan administrasi yang
dikembangkan oleh Pemkab Bengkalis sampai rincian dari rekening terakhir yang disebut
Permendagri. Sebut saja – misalnya, Belanja Alat Tulis Kantor yang diturunkan dari Belanja
Bahan Pakai Habis, yang diturunkan juga dari Belanja Barang dan Jasa.

Kalau Pemprov. Jawa Tengah langsung menulis harga dari rekening terakhir tersebut (Belanja
Alat Tulis Kantor) – misalnya, 17 juta rupiah, tetapi Pemkab Bengkalis tidak hanya
menuliskannya dalam bentuk demikian, melainkan dalam porsi yang lebih rinci, yaitu dengan
penambahan rincian harga kertas, harga ballpoint, harga tinta, harga snelhecter, dan lain-lain,
yang kesemuanya terinci sampai berapa banyak kebutuhan untuk satu kegiatan itu dan berapa
harga satuan barangnya, yang hasil akhirnya adalah penjumlahan dari rincian-rincian tersebut,
yang berjumlah 17 juta rupiah. Keduanya tidak berbeda dalam hal jumlah, dan yang
membedakannya hanya masalah rincian dari jumlah tersebut. Ada satu subyek penggambarannya
dan dapat dijadikan sebagai bahan analisa yaitu, transparansi.

Kajian transparansi merupakan sebuah pertentangan yang cukup panjang antara kelompok yang
berada dalam lingkaran dalamnya (selanjutnya saya sebut sebagai, internal line circles) dengan
kelompok yang berada di luarnya (selanjutnya saya sebut dengan external line circles).
Golongan yang termasuk internal line circles menganggap bahwa transparansi hanya akan
diberikan dalam batas-batas tertentu, karena alasan ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sedangkan golongan external line circles justru menuding itu semua dilakukan untuk
menutupi kemungkinan-kemungkinan timbulnya korupsi.
Terlepas dari perdebatan itu, yang jelas antara kedua golongan mempunyai kapasitas masing-
masing, internal line circles lebih meguasai dan memahami seluk beluk pengelolaan keuangan
daerah dan golongan external line circles sedikit memahami dan/atau tidak memahami
pengelolaan keuangan daerah.

Kapasitas pada akhirnya menuntut golongan yang lebih, agar ber-sodaqoh pengalaman dan kena
hukum kewajiban memberikan pembelajaran kepada golongan yang kurang. Kalau itu
disepakati, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap pemerintah daerah untuk memerinci setiap
satuan-satuan rekening akhirnya dengan indeks harga satuan. Bahkan kalau perlu dengan adanya
itikad yang baik, masyarakat diberikan sebuah informasi yang telah diolah mengenai pengelolaan
keuangan daerah, dan selanjutnya disebarkan kepada masyarakat tanpa kecuali, dengan media
massa seperti koran, majalah, atau website – misalnya.

Transparansi menjadi domain yang paling penting ketika kita mengkonversi partisipasi yang
dilakukan masyarakat dalam forum musrenbang ke dalam dokumen APBD. Selama ini saya,
anda dan masyarakat umum lainnya tidak pernah tahu dengan pasti besaran kegiatan (baik
nominal atau kwantitas) yang diajukan oleh masyarakat yang menjadi bagian tak terpisahkan
dalam dokumen APBD. Untuk kasus ini, saya memakai dokumen Pemkab Bengkalis dengan
Pemkab Jepara. Saya tidak menggunakan dokumen Jawa Tengah karena pertimbangan tidak
bersentuhan langsung dengan masyarakat, tetapi mekanisme musrenbang mensyaratkan di
tingkatan provinsi harus melewati tahapan utusan masing-masing pemerintah kabupaten/kota.
Meski transparansi telah jelas disebutkan dalam Permendagri 13/2006 pasal…ayat…., tetapi
yang menjadi catatan adalah, bahwa transparansi yang terwujud sebagai hasil akhir Permendagri
dalam bentuk dokumen APBD kota/kabupaten tidak cukup untuk menjelaskan besaran
partisipasi masyarakat dalam forum-forum musrenbang. Akomodasi kegiatan masyarakat dengan
besaran berapa, dan berapa yang masuk keseluruhan tetap tidak dapat dibaca oleh masyarakat
awam. Kegiatan-kegiatan yang diajukan masyarakat telah ter-integral ke dalam semua kegiatan-
kegiatan yang diajukan oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Sebuah distorsi
partisipasi dalam ranah transparansi yang tercermin dalam dokumen APBD. Itulah realitas yang
terjadi.

Konsep Ideal Pengelolaan Keuangan Daerah

Bangunan asumsi yang hendak dibangun adalah, bahwa besaran partisipasi masyarakat sejalan
dengan peningkatan transparansi yang dilakukan oleh pemerintah. Tanpa adanya transparansi
dari pemerintah, maka partisipasi tidak akan berjalan dengan baik. Bangunan asumsi diatas
menjelaskan dengan baik, bahwa unsur transparansi harus berada di depan, berperan sebagai
variabel independent, yang berpengaruh kepada partisipasi masyarakatnya. Ada miniatur untuk
membuktikan asumsi tersebut di tingkat desa, tepatnya di Desa Pelemkerep Kabupaten Jepara,
pada penelitian medio November – Desember 2006.

Penelitian itu menemukan tiga buah kasuistik yang jarang terjadi di tempat-tempat yang lain.
Kasus pertama, kegiatan hasil musrenbang tahun 2004-2006 tidak satu pun yang lolos dan
didanai APBD. Kasus kedua, pada APBD 2006, justru ada kegiatan yang didanai APBD
walaupun kegiatan itu tidak pernah masuk dalam musrenbang Desa Pelemkerep tahun 2005.
Kasus ketiga, desa yang mendapat dana blok grant ternyata dapat pengelolaannya lebih bagus
dibanding APBD. Data saya untuk Desa Pelemkerep, dana blok grant pada 2006 hanya sekitar
31,1%-nya dari total dana pembangunan Desa Pelemkerep, yang berasal dari pemerintah
Kabupaten Jepara. Sedangkan pendapatan asli desa hanya menyumbang sekitar 5,6% dan sisanya
berasal dari dana swadaya masyarakat atau sekitar 63,3%-nya dari
total APBDesa. Besaran dana APBDes Pelemkerep adalah Rp 168.802.000,00 pada tahun 2006.

Kasus pertama, ditengah-tengahnya menimbulkan distorsi ketidak-jelasan penyebab, karena


partisipasi dalam proses ini meletakkan penilaian hampir mutlak pada pemerintah (lihat pasal 81
ayat 2 Permendagri 13/2006). Porsi pemerintah lebih besar dibandingkan dengan masyarakatnya.
Syamsul Hadi, dkk juga menemukan itu di Kabupaten Tuban dan bahkan dipublikasikan dengan
nama partisipasi semu untuk menyebut proses musrenbang tersebut (2004). Kausalitas kasus
pertama itu dengan temuan partisipasi semu-nya Syamsul Hadi akan terlihat dengan jelas, ketika
kita melihat dokumen APBD kabupaten/kota. Tidak satu pun pengadministrasian kegiatan dalam
dokumen itu yang menjelaskan bahwa kegiatan A berasal dari hasil musrenbang dan kegiatan B
berasal dari SKPD. Faktor out put saya kira mempunyai peran yang lebih besar, karena
seharusnya masyarakat dapat memprosentase sendiri berapa besaran kegiatan dari masyarakat
hasil musrenbang dan berapa kegiatan yang diajukan oleh SKPD, tetapi kondisinya tidak
demikian, bahkan tak jarang masih ditemukan beberapa daerah yang menyembunyikan
dokumen-dokumen APBD kepada publik.

Kasus kedua adalah sebentuk bukti nyata bahwa sebenarnya politik (kepentingan) masih
mendominasi kehidupan pemerintahan kita. Kalau ranah politik-nya mengarah kepada
pembuatan kebijakan publik yang baik dan dibutuhkan masyarakat, maka hal itu menjadi sebuah
cermin yang dapat diteladani oleh siapapun. Tetapi konteks politik yang dilakukan adalah
menjadikan kepentingan segolongan masyarakat menjadi lebih tinggi dibandingkan masyarakat
umum, itulah sebuah cerminan yang tidak seharusnya dilakukan. Kondisi kasus kedua merujuk
kepada hal tersebut, yaitu sebentuk penelikungan kepentingan masyarakat umum dan meletakkan
semua proses-proses kepentingan masyarakat umum di bawah kepentingan sebagian kelompok.

Kasus ketiga, lebih diorientasikan kepada pembentukan miniatur pengelolaan keuangan daerah
yang paling ideal. Konteks transparansi harus dikedepankan, agar masyarakat tahu bahwa
kemampuan keuangan daerah adalah sekian dan keperluan untuk pembangunan adalah sekian.
Miniatur pengelolaan keuangan model transparansi-partisipasi yang demikian dapat
memberikan sebuah pembelajaran kepada masyarakat untuk menempatkan dirinya masing-
masing dalam ikut serta mengelola keuangan daerah. Tujuan kedewasaan masyarakat menjadi
prioritas yang hendak dijangkau oleh model ini. Masyarakat harus diberikan sebuah pemahaman,
pengajaran, tentang metode membaca dokumen APBD, sosialisasi indikator-indikator ukuran
kegiatan dalam musrenbang dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan dalam hal pengelolaan
informasi APBD.

Miniatur penelitian di Desa Pelemkerep itu mengajarkan bahwa, transparansi pengelolaan APBD
akan memberikan gambaran tentang kemampuan dan target pembangunan yang hendak
dijangkau oleh daerah tersebut. Buktinya, masyarakat kita bukanlah masyarakat yang pelit, kikir,
dan tidak mau tahu dengan masyarakat yang lain, melainkan masyarakat yang masih kental
dengan budaya gotong royong, terutama dalam hal pembangunan di Desa Pelemkerep. Dari
kondisi yang sudah dapat ditangkap oleh citra msyarakat, maka persepsi mereka akan ketahuan
dengan mengedepankan yang mana, mempertahankan budaya gorong royong atau acuh terhadap
lingkungan sekitar. Hal mana masyarakat menjadi tahu tentang seluk beluk APBD, mereka tidak
akan mungkin melarikan diri untuk tidak ikut serta dalam pengelolaannya. Saya masih
mempunyai keyakinan, sebesar keyakinan saya bahwa pemerintah tidak akan melakukan hal
tersebut, karena ilmu itu mahal harganya, sedangkan yang menguasai (golongan internal line
circles) di seluruh Indonesia itu tidak banyak, mungkin hanya kurang dari 5%-nya saja.

Kesalahan berfikir kita adalah, mengedepankan rutinitas partisipasi yang dilakukan pada setiap
tahunnya, dan meninggalkan klausul wajib tentang transparansi pengelolaan keuangan daerah,
baik sistemnya, maupun dokumen yang menjadi out put-nya.
Musrenbang pada akhirnya menjadi ajang legalisasi, atau hanya partisipasi semu, dan sebentuk
formalitas untuk mengabsahkan kegiatan yang menjadi perencanaan pemerintah daerah. Hal
penting yang menjadi catatan adalah, bahwa transparansi harus diberikan tanpa batas apapun
tentang semua dokumen APBD, sistem pengelolaan APBD, dan mekanisme yang terjadi pada
tingkat-tingkat tertentu, semuanya saya pikir harus diberikan kepada masyarakat, hanya semata
untuk memberikan sebuah titik awal, bahwa masyarakat-lah yang akan menjadi pengawas bagi
pemerintah daerah (baik eksekutif maupun legislatif).

Oleh: Yeni Prasetyo, SIP.


Sekretaris Eksekutif CINDE 3G (Centre for Information and DevelopingGood Goverment
Governance). Tinggal di Semarang.

You might also like