Perkembangan hukum laut internasional modern dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II Diawali dengan Konferensi Hukum Laut PBB I dan II di Jenewa pada Tahun 1958 dan Tahun 1960 hingga berlangsungnya Konferensi Hukum Laut PBB III yang dimulai Tahun 1973 dengan memakan waktu 9 (sembilan) tahun akhirnya pada 10 Desember 1982 menghasilkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) yang ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi ini dinyatakan berlaku 16 Nopember 1994, yaitu 12 (dua belas) bulan setelah ratifikasi negara ke 60 (pasal 308 KHL 1982). UNCLOS 1982 memuat ketentuan-ketentuan baru yang dianggap sebagai perkembangan dari Hukum Laut Internasional, antara lain diterimanya hukum zona ekonomi eksklusif dan hukum Negara kepulauan. Selain itu dimuat juga ketentuan lama, yaitu konsepsi landas kontinen (Konvensi Hukum Laut 1958), tetapi pada UNCLOS 1982 diberikan rumusan yang lebih jelas karena telah mendapat kepastian dalam menentukan batas terluar landas kontinen. Demikian juga mengenai eksploitasi terhadap kekayaan alamnya. Diterimanya hukum zona ekonomi eksklusif dalam UNCLOS 1982 mempengaruhi hukum landas kontinen, karena kedua hukum ini mempunyai kaitan permasalahan dalam pengaturan eksploitasi kekayaan alam. Dalam Konvensi Den Haag 1930, laut dibagi menjadi laut teritorial dan laut lepas. Meskipun Konferensi Den Haag tidak berhasil merumuskan lebar laut teritorial, namun praktek negara-negara di Eropa Barat pada umumnya menetapkan 3 mil laut teritorial. Keadaan berubah setelah Perang Dunia II. Beberapa faktor yang menyebabkan perubahan itu yaitu : 1. banyak negara yang merdeka, mengakibatkan perubahan peta bumi politik di dalam dunia internasional setelah Perang Dunia II. 2. kemajuan teknologi selama Perang Dunia II. 3. makin bergantungnya bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam mineral termasuk minyak dan gas bumi. Ketiga faktor tersebut menyebabkan terjadinya tindakan sepihak dari negara-negara untuk melindungi, memelihara dan mencadangkan sumber- sumber kekayaan alamnya tidak saja di laut teritorial, tetapi juga menghendaki hak berdaulat yang lebih luas lagi, yaitu di laut lepas. Tindakan tersebut membawa pengaruh yang penting sekali terhadap perkembangan hukum laut internasional, yaitu lahirnya konsepsi landas kontinen dan dalam perkembangannya disusul dengan lahirnya konsepsi zona ekonomi eksklusif. ditandai dengan tindakan sepihak Amerika Serikat memperluas yurisdiksinya yang dinyatakan dalam Proklamasi Truman pada tanggal 28 September 1945 tentang “Continental Shelf”.Tindakan ini bertujuan untuk mencadangkan kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat. Sebagai alasan dari tindakan tersebut, karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (“natural prolongation”) dari pada wilayah daratan. Proklamasi Truman diikuti oleh negara-negara lain, seperti Negara-negara pantai di Eropa, Asia dan Afrika serta Autralia. Konsepsi “continental shelf” diterima dalam Konferensi Hukum Laut PBB I Tahun 1958 di Jenewa. Tetapi perumusan pengertian “continental shelf” yang terdapat dalam Konvensi Laut 1958 berbeda dengan pengertian “continental shelf” aslinya (pengertian “continental shelf” dalam arti geologis) menurut Proklamasi Truman 1945. Untuk membedakan dua pengertian “continental shelf” ini, Mochtar Kusumaatmadja dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “dataran kontinen” untuk “continental shelf” dalam arti geologis yang pada pantai di dunia ini kira- kira sampai kedalaman 200 meter. Sedangkan istilah “landas kontinental shelf” dalam arti yuridis (hukum) sebagaimana dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958. Pengertian landas kontinen di muat dalam Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen, yaitu pasal 1. Pasal 1 tersebut menentukan batas landas kontinen, yaitu : (1) dasar laut dan tanah di bawahnya di luar laut teritorial sampai kedalaman 200 meter untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alamnya; (2) dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas kedalaman 200 meter sampai di mana kemampuan teknologi dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya (kriteria “technical exploitability”). (3) Batasan tersebut di atas jelas berbeda dengan batasan pengertian “continental shelf” dalam arti geologis semata-mata sebagaimana yang terdapat dalam Proklamasi Truman. Dengan kemajuan teknologi kelautan yang sangat pesat, interprestasi ketentuan pasal 1 tersebut di atas hanya ditekankan pada ukuran “technical exploitability”, sehingga batas yang dicapai oleh teknik pengambilan kekayaan di laut. Karena itulah ketentuan landas kontinen dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 tersebut (kriteria “technical exploitability”) sudah tidak memuaskan lagi terutama bagi Negara-negara yang sedang berkembang dan tidak mempuyai kemampuan dan teknologi untuk memanfaatkannya. Dalam perkembangannya, pada tahun 1970 PBB menerima Resolusi 2750 (XXV) yang menetapkan diadakannya Konperensi Hukum Laut PBB III pada Tahun 1973, yang merupakan cikal bakal UNCLOS 1982. Konvensi Hukum Laut 1982 memuat ketentuan-ketentuan baru yang dapat dianggap sebagai perkembangan progresif dari Hukum Laut Internasional, juga memuat ketentuan-ketentuan lama yang telah mendapat perumusan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 diantaranya ketentuan mengenai landas kontinen. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 ada empat alternatif cara mengukur luas landas kontinen, yaitu : (1). Sampai batas terluar tepian kontinen (“the continental margin”). (2). Sampai jarak 200 mil dari garis pangkal laut teritorial, apabila tepian kontinen tidak mencapai batas tersebut. (3). Dan apabila tepian kontinen melebihi 200 mil ke arah laut maka batas terluar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil. (4). Boleh melebihi 100 mil dari kedalaman (“isobath”) 2500 meter. Cara mengukur luas landas kontinen tersebut telah memberikan batas terluar landas kontinen, yaitu tergantung dari konfigurasi tepian kontinen dari suatu Negara pantai. Oleh karena itu suatu Negara pantai dapat menetapkan batas terluar landas kontinennya yang berbeda-beda disekeliling wilayahnya. zona ekonomi eksklusif (“exclusive economic zone”) adalah suatu jalur laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut teritorial dari suatu Negara pantai yang lebarnya 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alamnya baik hayati maupun non hayati di perairan, di dasar laut dan tanah di bawahnya. Latar belakang lahirnya konsepsi zona ekonomi eksklusif tidak terlepaskan dari tindakan sepihak Amerika Serikat dalam bentuk Proklamasi Truman Tahun 1945. Klaim Negara-negara Amerika Latin dalam mengikuti tindakan Amerika Serikat ini, seperti Chili, Peru Dan Equador sudah jauh menyimpang dari pengertian “:continental shelf” dalam arti geologis. Negara-negara ini bukan saja menuntut perluasan yurisdiksi yang ditujukan kepada penguasaan kekayaan alamnya yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya, tetapi juga meliputi perairan diatasnya. Sebagaimana landas kontinen, zona ekonomi eksklusif juga merupakan perluasan yurisdiksi Negara pantai atas laut lepas yang diterima dalam Kovensi Hukum Laut 1982. status hukum perairan di atas landas kontinen tidak dinyatakan secara jelas baik dalam Konvensi Hukum Laut 1958 maupun dalam Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi dari pengertian landas kontinen yang dirumuskan dalam Konvensi-konvensi tersebut memberi petunjuk tentang hal ini. Dalam pasal 1 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen dan pasal 76 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982, menyatakan bahwa, di landas kontinen mempuyai hak berdaulat atas kekayaan alamnya untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, dan hak berdaulat ini dinyatakan sebagai hak eksklusif, dalam arti apabila Negara pantai tidak mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan tersebut tanpa persetujuan Negara pantai yang bersangkutan. Dengan demikian status hukum landas kontinen merupakan “sovereign right” atas kekayaan alamnya yang bersifat eksklusif dari negara pantai. status perairan di atas landas kontinen berbeda menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 dan 1982. Di dalam pasal 3 Konvensi Hukum laut 1958 tentang Landas Kontinen menyatakan, bahwa hak Negara pantai di landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan di atasnya sebagai laut lepas dan ruang udara di atasnya. Oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas. Berbeda dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, dengan diterimanya konsepsi zona ekonomi eksklusif, maka terdapat dua rejim hukum di perairan di atas landas kontinen 200, yaitu perairan zona ekonomi eksklusif 200 mil dari garis pangkal laut teritorial dan perairan di atas landas kontinen diluar 200 mil sebagai laut lepas. Dapat disimpulkan bahwa perairan di atas landas kontinen 200 mil yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomi eksklusif. Di perairan ini Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan alamnya di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya yang meliputi kekayaan hayati dan nonon hayati dan juga mineral. Sedangkan perairannya tetap merupakan laut lepas yang dapat dilalui oleh kapal-kapal dari semua negara. Di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil sesuai dengan statusnya sebagai laut lepas, maka pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas yang dapat dinikmati oleh semua negara-negara baik terhadap pelayarannya maupun sumber-sumber kekayaan alam hayati maupun nin hayati termasuk sumber mineral di perairan tersebut. Dalam perkembangannya dalam Konvensi Hukum Laut 1982 konsepsi landas kontinen dirumuskan kembali dengan memberikan pengertian yang lebih jelas dengan ditetapkannya kepastian batas terluar landas kontinen. Dengan kehadiran konsepsi hukum zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terdapat kaitan permasalahan, karena kedua konsepsi hukum tersebut mengatur hal yang sama, yaitu mengenai hak berdaulat Negara pantai atas sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai hak eksplorasi dan eksploitasi Negara pantai di landas kontinen pengaturannya di jumpai dalam pasal 77 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut : “Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasi dan mengeksploiasi sumber kekayaan alamnya”. Hak Negara pantai di landas kontinen dinyatakan sebagak hak eksklusif dalam arti apabila Negara pantai tidak mengeksploitasinya, tidak seorangpun dapat melakukannya tanpa persetujuan tegas dari Negara pantai tersebut. Di Zona Ekonomi Eksklusif , Negara pantai diberikan hak-hak berdaulat yang lebih luas lagi, yaitu selain untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam hayati di perairan zona ekonomi eksklusif juga meliputi kekayaan alam non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya. Selain itu juga hak berdaulat berkenaan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sepertui produksi energi dari air, arus dan angin serta wewenang untuk pembuatan dan pemakaian pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan, riset ilmiah serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dari penjelasan di atas dapat dilihatkaitan permasalahan antara dua konsepsi hukum, yaitu landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif dalam mengatur hal yang sama mengenai hak berdaulat Negara pantai atas sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. Dalam hal ini seolah-olah konsepsi zona ekonomi eksklusif akan melenyapkan konsepsi landas kontinen. Tetapi hal ini dipertegas oleh pasal 56 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk pada ketentuan hukum landas kontinen. Demikian juga mengenai hak berdaulat atas kekayaan alamnya di dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif, meskipun tidak dinyatakan sebagai hak eksklusif, tetapi sejalan dengan ketentuan pasal 56 ayat (3) tersebut di atas hak-hak tersebut tetap dianggap sebagai hak eksklusif Negara pantai. Pasal 82 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa bagi Negara pantai diwajibkan untuk membayar sumbangan bertalian dengan kegiatan eksploitasi di landas kontinennya di luar 200 mil. Sumbangan ini diberikan melalui Otorita Dasar Laut Internasional yang kemudian disampakan kepada Negara-negara yang sedang berkembang terutama yang masih terkebelakang dan tidak mempunyai pantai. Pembayarannya diberikan setelah produksi 5 tahun pertama pada tempat itu sebesar 1 % dari jumlah produksi di tempat itu kemudian akan naik 1 % untuk tiap tahun berikutnya hingga tahun ke 12 akan tetap 7 %. Perlu dijelaskan sumbangan ini hanya menyangkut kegiatan eksploitasi sumber mineral dan tidak dikenakan pada kegiatan landas kontinen 200 mil dari garis pangkal yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif. Keadaan ini menunjukkan bagian landas kontinen di luar 200 mil, baik fisik maupun ketentuan hukumnya ada hubungannya dengan zona ekonomi eksklusif, kedua konsepsi ini berlaku secara terpisah dan berdampingan. Sebagai dua konsepsi yang berlaku secara terpisah atau berdampingan, masing-masing konsepsi mempunyai latar belakang kelahirannya yang berbeda. Konsepsi landas kontinen yang kelahirannya mendahului konsepsi zona ekonomi eksklusif perluasan Negara pantai atas laut teritorial ingin mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya, sedangkan dizona ekonomi eksklusif Negara pantai ingin mendapatkan hak berdaulat yang lebih luas lagi, yaitu meliputi kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya dan kekayaan alam yang terdapat di perairan (water column) nya. Bagi Indonesia yang masih tetap berlaku Undanh-undang No. 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen, yang mempergunakan kriteria kedalaman 200 meter atau kriteria “technical exploitability”, oleh karenatidak diwajibkan membayar konstribusi atau sumbangan berkenaan kegiatan di landas kontinen di luar 200 mil. Terhadap masalah ini kiranya Indonesia perlu untuk menyesuaikan diri dengan Konvensi Hukum Laut 1982 untuk lebih memberikan kepastian dalam menentukan batas-batas terluar kontinen Indonesia. Mengenai sumber kekayaan alam di landas kontinen pengaturannya tunduk pada ketentuan pasal 77 ayat (4) Konvensi Hukum Laut 1982. Di dalam zona eksklusif yang mengatur mengenai sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya terdapat pada pasal 56 ayat (1)(a). Adapun yang termasuk sumber kekayaan mineral dalam pembahasan ini seperti minyak dan gas bumi, sedangkan termasuk sumber organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, antara lain termasuk koral, bunga karang, tripang, tiram mutiara, kulit mutiara, sacred dari India dan Ceylon, rumput laut dan trocus. Termasuk juga ke dalam jenis sedenter, yaitu tiram, kepiting, udang dan remis. Untuk jenis udang dan kepiting masih terdapat pertentangan untuk dimasukkan ke dalam jenis sedenter, dan telah menimbulkan pertentangan antara Amerika Serikat dan Jepang mengenai penangkapan kepiting besar di bagian Timur Laut Behring dan juga pertentangan antara Prancis dan Brazilia kategorisasi dari pada sumber-sumber hidup dasar laut ini dapat di dasarkan pada berbagai jenis hubungan antara organisme hidup tersebut dengan lingkungannya. Sekurang-kurangnya ada empat macam yang telah diidentifikasi yaitu : 1. ketergantungan mahkluk-mahkluk hidup pada dasar laut lokasi dan gerak (mahluk hidup di bawah dasar laut, menempel pada dasar laut, dalam air langsung di atas dasar laut dan bergerak pada dasar laut ); 2. ketergantungan mahluk hidup pada dasar laut untuk fungsi phisiologis mereka yang tepat yang dapat meliputi berbagai faktor, termasuk kondisi-kondisi kimia sesuai dengan metabolisme mahluk-mahluk hidup, seperti cahaya, suhu, salinitas, itensitas cahaya dan gerak air ; 3. ketergantungan mahluk-mahluk hidup, seperti pada dasar laut untuk tujuan reproduksi, yang hanya bertelur di dasar laut dan menganggap hal ini sebagai syarat pengembangan larva ; 4. ketergantungan mahluk-mahluk hidup pada dasar laut untuk tujuan makanan. untuk jenis sedenter yang hidup di landas kontinen di luar 200 mil laut pengaturannya tunduk pada hukum landas kontinen yang merupakan yurisdiksi Negara pantai. Sedangkan jenis yang bukan sedenter yang hidup di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil pengaturannya tunduk pada hukum laut lepas. Mengenai status hukum dari organisme hidup jenis sedenter yang hidup di dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif dalam pasal 68. Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa persediaan jenis ikan di zona ekonomi eksklusif, tidak termasuk jenis ikan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 77 ayat (4). Dengan demikian jenis ikan sedenter di zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan landas kontinen termasuk jenis ikan di dasar laut. Oleh karenanya sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat (3) pengaturannya tunduk pada rejim hukum landas kontinen. Dalam pasal 60 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan Negara pantai mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan, dan termasuk yurisdiksi (kewenangan) bertalian dengan peraturan bea-cukai, fiskal, keselamatan, kesehatan dan imigrasi. Dalam membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan- bangunan sehubungan dengan kegiatan dasar laut dan tanah di bawahnya, Negara pantai berkewajiban memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut dan hak-hak serta kewajiban negara lain. Untuk menjaga keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif Negara pantai berhak untuk menetapkan zona keselamatan di sekeliling pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan. Penetapan zona keselamatan ini tidak boleh mengganggu penggunaan alur laut yang diakui penting bagi pelayaran internasional. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak mempunyai status pulau dan tidak mempunyai laut teritorial sendiri. Apabila ditinggalkan atau tidak dipakai lagi, untuk keselamatanpelayaran, Negara pantai berkewajiban untuk membongkar pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan. Di landas kontinen pengaturan mengenai hak-hak untuk membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, yaitu pasal 80. Pasal 80 memberi petunjuk bahwa pasal 60 yang mengatur pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan banguna zona ekonomi eksklusif, berlaku secara mutatis muatandis untuk pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di landas kontinen. Pengaturan ini menunjukkan bahwa kedua konsepsi hukum yaitu landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif hidup berdampingan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan saling melengkapi dalam pengaturan mengenai kegiatan dasar laut dan tanah di bawahnya tanpa yang satu melenyapkan yang lainnya. Dalam pasal 83 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan, bagi negara- negara yang landas kontinennya berhadap atau berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinen harus dilakukan dengan persetujuan atau atas dasar hukum internasional sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil. Cara penentuan garis batas tersebut berarti Konvensi menunjuk pada dua pilihan, yaitu menunjuk kepada dua pilihan, yaitu menunjuk pada penyelesaian yang adil dan menunjuk kepada hukum internasional yang disebut dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Tidak diaturnya secara tegas prinsip yang digunakan dalam menetapkan garis batas landas kontinen antara negara-negara yang berdampingan dan berhadapan dalam ketentuan tersebut, sebab ketentuan Konvensi ini merupakan kompromi antara negara-negara yang berpandangan bahwa penetapan garis batas landas kontinen diselesaikan berdasarkan “equidistance prinsiple” dengan negara-negara yang menghendaki berdasarkan keadilan (“equitable solution”). Apabila dalam penyelesaian ini tidak tercapai dalam waktu yang layak, negara bersangkutan harus menggunakan cara-cara yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, seperti negosisasi, penyelidikan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian secara hukum melalui badan-badan regional atau persetujuan, atau dengan cara- cara yang dipilih. Selain cara-cara ini dapat juga dilakukan menurut ketentuan pasal 287, yaitu melalui : (1). Mahkamah Internasional Hukum Laut yang dibetuk berdasarkan Lampiran VI. (2). Mahkamah Internasional. (3). Mahkamah Arbitrase yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VII. (4). Mahkamah Arbitrase Khusus yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VIII. pasal 83 ayat (3) menyatakan, sambil menunggu persetujuan, negara-negara yang bersangkutan dengan saling pengertian dan kerjasama untuk mengadakan pengaturan sementara dengan tidak boleh merugikan penetapan garis batas yang akan ditentukan dalam persetujuan. ketentuan pasal 56 ayat (3) yang menyatakan bahwa sepanjang yang berkaitan dengan kegiatan di dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif tunduk pada ketentuan landas kontinen. Dengan demikian semua pengaturan dalam penetapan garis batas di dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan landas kontinen diatur oleh pasal 83 tersebut di atas. (1). Kepentingan Pelayaran. perairan di atas landas kontinen 200 mil yang merupakan perairan zona ekonomi eksklusif dan perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil yang merupakan laut lepas. Tetapi menyangkut kepentingan negara lain dalam hal ini kepentingan pelayaran tetap dijamin keberadaannya di perairan tersebut. dalam pasal 56 dan 58, bahwa di zona ekonomi eksklusif Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya, namun terhadap kebebasan pelayaran bagi kapal- kapal asing tetap di jamin keberadaannya di perairan zona ekonomi eksklusif sebagai laut lepas. kaitan permasalahan konsepsi zona ekonomi eksklusif dengan landas kontinen, yaitu secara terpisah dalam mengatur masalah kebebasan pelayaran bagi kapal- kapal asing di perairan yang sama, yaitu di perairan zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan perairan di atas landas kontinen 200 mil. Sedangkan di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil atau diluar perairan zona ekonomi eksklusif diatur oleh hukum landas kontinen (2). Kepentingan Untuk menangkap Ikan Di Perairan Di Atas Landas Kontinen. Kebebasan menangkap ikan di perairan di atas landas kontinen pengaturannya tidak tunduk pada yurisdiksi Negara pantai. Mengingat perairan di atas landas kontinen adalah perairan laut lepas, maka semua negara berhak untuk menangkap ikan di perairan tersebut. Namun dengan diterimanya konsepsi zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 hak menangkap ikan oleh negara lain di atas kontinen 200 mil berbeda dengan di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil. Di perairan di atas landas kontinen 200 mil yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk pada hukum zona ekonomi eksklusif. Sedangkan di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil adalah laut lepas yang tunduk pada pengaturan hukum laut lepas. Dengan tunduk pada hukum zona ekonomi eksklusif, sesuai dengan pasal 56 ayat (1)(a) Konvensi Hukum Laut 1982 di perairan di atas landas kontinen yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomu eksklusif di mana Negara pantai tidak saja mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya, tetapi juga mempunyai hak berdaulat atas kekayaan hayati (ikan) di perairan tersebut. Sedangkan di perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil hak menangkap ikan di perairan tersebut sesuai dengan statusnya sebagai laut lepas maka dapat dinikmati oleh semua negara. mengenai jenis ikan sedenter di dasar laut di zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan landas kontinen 200 mil, tidak termasuk jenis ikan di perairan zona ekonomi eksklusif maka pengaturannya tunduk pada hukum landas kontinen. Ini dinyatakan dalam pasal 68 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa untuk jenis ikan sedenter di zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk pada pasal 77 mengenai landas kontinen. (3). Kepentingan Untuk Melakukan Riset Ilmiah Kelautan Di Zona Ekonomi Eksklusif Dan Di Landas Kontinen. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, mengenai riset ilmiah kelautan di laut teritorial, di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen di atur dalam BAB XIII dari pasal 238 sampai dengan pasal 265. Negara pantai berkewajiban memberikan ijin riset ilmiah kelautan kepada negara lain atau organisasi yang berkompeten dalam zona ekonomi eksklusif maupun di landas kontinen hanya untuk tujuan damai dan menambah pengetahuan ilmiah kelautan demi untuk kepentingan ummat manusia (pasal 246 ayat (5). Dalam pelaksanaan riset ilmiah ini disertai persyaratan-persyaratan sebagaimana disebutkan dalam pasal 246 ayat (5), bahwa tidak boleh mempunyai arti langsung bagi sumber alam dan tidak boleh memasukkan bahan peledak, tidak boleh meliputi konstruksi, operasi dan penggunaan pulau-pulau buatan serta instalasi lainnya. Terhadap pelanggaran persyaratan-persyaratan dan kewajiban tersebut Negara pantai dapat memberhentikan atau menangguhkan riset ilmiah yang sedang berjalan. Kewajiban lain, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 253 untuk membayar ganti rugi oleh penyelenggara riset kepada Negara pantai terhadap kerusakan-kerusakan akibat dari tindakan atau kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran laut yang timbul akibat riset ilmiah kelautan tersebut. Pembayaran ganti rugi ini harus dilakukan segera dan memadai. Konsepsi ZEE dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tepatnya pada BAB V, pasal 55 - 75. Di ZEE, Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, juga pelestarian dan pengelolaan sumber kekayaan alam (“natural resources”), baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Dengan kehadiran konsepsi ZEE dalam Konvensi Hukum Laut 1982 terdapat dua rejim hukum, yaitu hukum ZEEdan hukum landas kontinen dalam mengatur masalah yang sama mengenai pengaturan hak eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. konsepsi ZEE dan landas kontinen harus berlaku secara terpisah atau berdampingan tanpa yang satu melenyapkan yang lainnya. Hal ini diatur dalam : a. Pasal 80 Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan di zona ekonomi eksklusif berlaku secara mutatis mutandis di landas kontinen. b. Pasal 68 Konvensi Hukum Laut 1982 ketentuan mengenai jenis “sedentary species” dan semacamnya di zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk pada rejim hukum landas kontinen, tepatnya pada BAB VI pasal 77. c. Mengenai penetapan garis batas dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi eksklusif yang berhimpit dengan landas kontinen sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat (3), maka pengaturannya tunduk pada rejim hukum landas kontinen yaitu pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982. Beberapa kaitan permasalahan yang diatur secara terpisah dan berdampingan yang menyangkut kepentingan negara lain, yaitu : a. Kepentingan Pelayaran b. Kepentingan Untuk Menangkap Ikan c. Kepentingan Untuk Melakukan Riset Ilmiah Kelautan Pengaturan mengenai riset ilmiah kelautan di landas kontinen dan dalam zona ekonomi eksklusif yang diselenggarakan oleh negara asing atau organisasi internasional yang berkompeten diatur secara berdampingan tepatnya pada BAB XIII, pasal 238 sampai dengan 265. Untuk dapat terselenggaranya riset ilmiah tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Konvensi dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Negara pantai. Di Indonesia mengenai hubungan landas kontinen dengan zona ekonomi eksklusif dijumpai dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1983 mengenai hak berdaulat atas kekayaan alam dasar laut dan tanah dibawahnya pengaturannya tunduk pada pengaturan hukum landas kontinen. Sedangkan yang menyangkut kepentingan negara lain seperti perikanan, pelayaran dan riset ilmiah kelautan diatur secara terpisah. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat diketahui bahwa dengan diterimanya konsepsi zona ekonomi eksklusif dalam Konperensi Hukum Laut PBB III tidak bermaksud untuk melenyapkan konsepsi landas kontinen, kedua rejim hukum tersebut masing-masing bersiri sendiri dan berlaku secara terpisah dan berdampingan. Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang berpedoman kepada Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen, dalam beberapa hal sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali terutama mengenai batas terluar landas kontinen. Penyesuaian ini penting agar dapat saling berco-eksistensi dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Untuk dapat mengembangkan segala kemampuan nasional perlu ditata kembali Undang-undang tentang Landas Kontinen Indonesia, untuk membuat peraturan-peraturan hukum bidang sumber-sumber kekayaan alam, bidang pelayaran, bidang riset ilmiah kelautan dan bidang penegakan hukum.