You are on page 1of 3

ASPEK MEDIKOLEGAL PENGGANTUNGAN 

(HANGING)

Penggantungan (hanging) dapat terjadi sebagai suatu bentuk penganiayaan, bunuh diri
maupun hukuman mati. Prosedur medikolegal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan
dan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum.
Secara garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundangundangan
yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter
dan etika kedokteran1. Ruang lingkup medikolegal dapat disimpulkan sebagai yang berikut1:
a. pengadaan visum et repertum, 
b. tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka.
c. pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan
ahli di dalam persidangan, 
d. kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran,
e. tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan Medik , 
f. tentang kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik,

Pada abad ke-19, Hindia Belanda mengeluarkan peraturan hukum pidana Intermaire
Strafbepalingen LNHB Nr. 6 Pasal 1 yang isinya menentukan bahwa pidana mati hanya boleh
dilakukan dengan cara digantung. Selanjutnya pada tahun 1915 diberlakukan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana Belanda (WvSNI) oleh pemerintah Hindia Belanda, dimana pelaksanaan
pidana mati dilakukan dengan cara penggantungan. Hal ini berlanjut sampai tahun 1944 saat
pemerintahan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, menurut Pasal II Aturan Peraturan Peralihan UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 1945 dikatakan bahwa “peraturan lama dipandang tetap berlaku”, dalam hal ini WvSNI
dan peraturan hukum pidana pemerintah Jepang, sehingga cara pelaksanaan hukuman mati
masih sama dengan cara yang berlaku pada masa pendudukan Jepang, yaitu ditembak atau
digantung2. 
Pada tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1946.
Pasal 1 mengatakan bahwa peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang ialah peraturan
hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, dimana hukuman mati dilaksanakan
dengan cara digantung. Setelah pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 73
Tahun 1958 yang isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 untuk seluruh
Indonesia, maka cara pelaksanaan seluruh pidana mati dilakukan dengan digantung, sesuai
dengan ketentuan Pasal 11 KUHP. Pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung berlaku
sampai dengan tahun 1964. Pelaksanaan pidana mati di Indonesia tidak lagi dilaksanakan
dengan cara digantung, karena dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa bangsa Indonesia.
Sesuai Ketetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 Pasal 1 pelaksanaan hukuman mati
dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati, yang berlaku sampai hari ini2.

Berikut adalah undang-undang yang berhubungan dengan penggantungan 3:


o KUHP Pasal 11
Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali
yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan
papan tempat terpidana berdiri
o KUHP Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
o KUHP Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana,
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari
pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan
barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
o KUHP Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan
pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.
o KUHP Pasal 344
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
o KUHP Pasal 345
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri
o KUHP Pasal 351
(I) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

Daftar Pustaka:
1. Irwan Ashari. 2009. Penggantungan. http://www.irwanashari.com/2009/12/. Diakses
pada 22 Februari 2010
2. Marten L. Zebua. 2007. Pidana Mati di Indonesia.
http://hukumbisnislucky.blogspot.com /2007/04/pidana-mati-di-indonesia.html. Diakses
pada 22 Februari 2010
3. KUHP dan KUHAP. 2008. Cetakan Kesebelas. Jakarta. Asa Mandiri.

You might also like