You are on page 1of 6

Nama : Dessy Noor Farida

NIM : C4C009049
TUGAS PERILAKU ORGANISASI
Dosen : Drs. Fuad Mas’ud, MIR

Pendapat mengenai isi artikel yang mengatakan bahwa semua orang pada dasarnya mementingkan diri sendiri
dan menginginkan kesenangan dan menghindari kesusahan. Kita mulai dari pengertian paham-paham yang
disebutkan pada artikel tersebut. Paham hedonism adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa
kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-
senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau
tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup
senikmat-nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi
memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas.(wikipidia)
Sedangkan sikap self interest, dalam filsafat plato diposisikan sebagai sesuatu yang negatif karena hanya akan
mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sedangkan aristoteles, self interest terbagi menjadi 2
yaitu bad self interest dan good self interest. Namun demikian, pada akhirnya, yang disebut good
interest menurut Aristotle adalah kepentingan umum (common interest) yang memungkinkan terbentuknya suatu
unanimitas masyarakat. Lalu dalam pandangan Agustinus, keberadaan self-interest disubordinasikan kepada
kecintaan dan pengabdian kepada Yang Ilahiah. Dengan kata lain, di mata Agustinus, self-interest merupakan
gerak vertikal penghambaan diri kepada Allah. (Wildan Pramudya)
Pada dasarnya manusia memang makhluk yang secara fitrah mempunyai keinginan untuk memperoleh
kesenangan dan menghindari kesusahan. Fitrah manusia juga cenderung menyukai harta, tahta, lawan jenis,
emas dan lain sebagainya yang merupakan symbol kesenangan. Selain itu manusia juga dianugerahi nafsu,
dimana jika manusia memperturutkan hawa nafsunya maka dia akan menjadi orang yang celaka. Dengan
pengendalian nafsu yang lemah, maka dapat menyebabkan manusia, yang pada dasarnya memiliki sifat
menyukai kesenangan, akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan kesenangan tersebut tanpa
memperhatikan kepentingan orang lain atau akan merugikan hak orang lain. Untuk mengendalikan nafsu
tersebut, Allah memberikan manusia akal dan keimanan. Dengan akal, manusia dapat membedakan mana yang
boleh dilakukan dan mana yang tidak. Dengan keimanan, manusia dapat selalu berada di jalan yang lurus.
Dan menurut pendapat saya, orang yang beribadah (haji, romo, pastur dll), dokter, guru dan lain-lain memang
mempunyai self interest, dalam konteks kebutuhan private tanpa mengganggu hak orang lain. Sedangkan untuk
orang-orang yang mengikuti paham hedonism atau kapitalis atau materialistis, maka self interest di sini lebih
kepada pemenuhan nafsu yang tanpa batas, dengan tidak memikirkan hak orang lain yang nantinya akan
merugikan orang lain. Dan semua itu kembali kepada individu masing-masing apakah mereka dapat
mnegendalikan hawa nafsu mereka atau tidak.
PERBINCANGAN mengenai self-interest tetap memikat. Ini karena konsep self-interestmenyeruak ke tengah
arena diskursus secara dinamis, dan senantiasa berada dalam suatu tegangan pro-kontra. Baik itu dalam
diskursus filosofis, sosiologi maupun politik. Dalam filsafat Plato, misalnya, self-interets diposisikan sebagai
sesuatu yang negatif. Dikatakan Plato,self-interest merupakan biang kejahatan dan dosa. Baginya self-
interest hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara itu, Aristoteles
memandang secara ambigu keberadaan self-interest. Menurutnya, self-interest tidak melulu negatif, melainkan
juga positif. Sebab, menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dangood
self-interest. Namun demikian, pada akhirnya, yang disebut good interest menurut Aristotle adalah
kepentingan umum (common interest) yang memungkinkan terbentuknya suatu unanimitas masyarakat. Lalu
dalam pandangan Agustinus, keberadaan self-interestdisubordinasikan kepada kecintaan dan pengabdian
kepada Yang Ilahiah. Dengan kata lain, di mata Agustinus, self-interest merupakan gerak vertikal penghambaan
diri kepada Allah. Sampai di sini, sejatinya, self-interest masih diletakkan sebagai yang sekunder. Konsep self-
interest yang partikular dideduksikan kepada yang universal, yaitu masyarakat atau Allah, misalnya.

Akan tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi yang sangat berbeda daripada era-
era sebelumnya. Di sini, self-interest seolah betul-bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja
Bentham yang melihat self-interest sebagai perkara psikologis individual. Meski – kata Bentham – selain self-
interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namunself-interest dianggap lebih prioritas. Selanjutnya
Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn
Rand, yang melihat self-interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas. 

Penjelasan singkat tentang dinamika self-interest di atas menunjukkan bahwa konsep self-interest telah


menempuh perjalanan filosofis-dialektis yang begitu panjang. Ini menunjukkan bahwa pada tataran filosofis
konsep self-interest masih merupakan konsep yang selalu terbuka. Akan tetapi tidak demikian di dalam
konteks teori ekonomi. Di dalam ekonomi, pengertian self interest sudah dianggap barang jadi yang stabil dan
tidak bisa diganggu-gugat. Di wilayah ini,self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas
tindakan manusia. Mengutip Hirschman, di dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang
sehingga menjadi suatu paradigma dan doktrin. 
Tulisan ini pada dasarnya hendak (1) menjabarkan bagaimana konsep interest menjadi suatu doktrin yang
begitu kuat dalam ilmu ekonomi, (2) menunjukkan bahwa self-interest tidak cukup memadai untuk
menjelaskan tindakan manusia. Untuk menjelaskan semua itu, penulis akan mengacu pada kritik ekonom
Amartya K. Sen terhadap dasar-dasar asumsi dari teori ekonomi. 

Ilmu ekonomi yang egois

Dalam tulisannya, Sen hendak melakukan kritik terhadap dasar-dasar asumsi teori ekonomi. Dan konsep
sentral yang diproblematisasi oleh Sen adalah self-interest, yang menjadi penyangga bagi aplikasi dari teori
ekonomi. Dalam melakukan kritik ini, sengaja Sen mengangkat pemikiran F.Y. Edgeworth di dalam
bukunya Mathematical Psychics: An Essay on the Application of Mathematics to Moral Sciences, karena di
dalamnya secara eksplisit menerangkan prinsip dasar dari ilmu ekonomi. 

Menurut Sen, ilmu ekonomi pada dasarnya sangat egois. Dikatakan egois karena dalam ekonomi diasumsikan
bahwa tindakan manusia diungkapkan hanya karena adanya self-interest.Pendapat Sen ini bertolak dari
pendapat Edgeword yang mengatakan begini: the first principle of Economics is that every agent is actuated
only by self-interest. Dikatakan Sen, dalam kenyataannya pendapat ini memang tidak realistik, karena dalam
banyak hal tindakan manusia tidak murni egois, melainkan kombinasi dengan utilitarian. Artinya pada derajat
tertentu manusia akan selalu memikirkan kepentingan orang banyak. 

Namun demikian, nampaknya utilitarianisme tidak juga membantu menutupi pekatnya egoisme tersebut.
Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-
interest) atas nama keluarga, teman, kelas social, dsb.

Pertanyaannya sekarang jika ekonomi mengasumsikan tindakan manusia didasari self-interest,mengapa


ekonomi cenderung mengonsepsikan manusia sebagai seorang egois yang bertindak demi kepentingan diri
sendiri?

Untuk menjawab ini, Sen mencoba mendedah pengandaiaan epistemologis dibalik konsepsi manusia itu.
Menurut Sen, semua itu berawal dari pandangan behavioralistik yang melihat perilaku rasional manusia dalam
kerangka “preferensi” dan konsistensi untuk mendapatkan pencapaian yang maksimal. Yang dimaksud dengan
preferensi adalah pilihan yang diambil secara sistematik atas dasar pertimbangan utilitas personal. Dengan
konsep self-interest,tindakan manusia dilihat sebagai tindakan individu yang terisolasi, serta merupakan pilihan
bebas dan rasional dari sekian banyak alternatif tindakan yang ada. Pilihan tindakan ini dilakukan setelah
adanya kalkulasi tentang biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh dirinya.
Sementara biaya dan keuntungan bagi orang lain serta kolektivitas yang lebih luas, yaitu masyarakat,
cenderung dikesampingkan. 
Di luar interpretasi seperti itu, tidak ada lagi konsep yang bisa diterima secara rasional dan karenanya tidak
memadai untuk memahami tindakan manusia. Konsep yang bisa diterima adalah konsep yang mampu
memahami tindakan manusia tidak saja dalam konteks hari ini, melainkan juga dalam konteks
kemungkinannya di masa depan. Dengan kata lain, konsep yang digunakan haruslah konsep yang memiliki
kemampuan prediktif mengenai perilaku manusia. Dan kemampuan prediktif itu hanya ada pada konsep
kalkulasi yang terpola (perilaku). 

Komitmen: melampaui self-interest

Bagaimana mungkin ekonomi yang egoistik ini dapat mencapai kebaikan bersama? Kalau ekonomi masih
diandaikan berpegang pada konsep tindakan manusia rasional yang bertolak dari self-interest, maka menurut
Sen, ekonomi tidak cukup memadai untuk menjawab pertanyaan di atas. Sekaligus juga, ekonomi tidak cukup
kuat untuk menjelaskan bagiamana suatu tata masyarakat itu terbentuk. Mengapa? Karena konsep  self-
interest -- dalam konteks perilaku rasional -- diletakkan sebagai tindakan manusia yang terisolasi, suatu
tindakan yang hanya relevan dengan upaya pemenuhan kebutuhan privat, sementara di dalam realitasnya
ekonomi tidak hanya berbicara mengenai pemenuhan private goods, melainkan juga kebutuhan bersama atau
pulik.

Oleh kerana itu, menurut Sen, dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mencapai kebaikan bersama serta
membangun tata sosial tertentu, semestinya ada sesuatu yang melampaui self-interest di dalam ilmu ekonomi.
Sesuatu yang melampaui itu tentu saja adalah sesuatu yang memungkinkan sebuah persentuhan antara diri
individual dengan yang sosial . Sen menyebutkan sesuatu yang memungkinkan persentuhan self dengan the
others, dalam hal ini, adalah simpati dan komitmen.

Meski simpati dan komitmen adalah element yang menghubungkan diri dengan orang lain, namun di mata Sen
keduanya memiliki perbedaan pengertian dan implikasi fundamental. Diilustrasikan Sen, jika kita mengetahui
orang lain disiksa, lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan itu, inilah yang disebut simpati. Jika penyiksaan
terhadap orang lain, secara personal tidak memberikan dampak buruk bagi kita, namun kita sadari bahwa
penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk menghentikan tindakan penyiksaan tersebut, maka ini yang disebut
komitmen. 

Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya menempatkan perasaan dan perhatian (diri) kita kepada
situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain. Sedangkan komitmen adalah suatu kehendak yang
muncul – didorong oleh pengetahuan kita mengenai situasi orang – untuk melibatkan diri guna melakukan
perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di atas, nampak bahwa simpati
adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif dan masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan
komitmen merupakan tindakan aktif, antisipatif dan ada keterlibatan dengan yang lain. 
Penyediaan kebutuhan publik, misalnya, bukan lagi merupakan hasil getok tular antara kepentingan orang per
orang, melainkan semacam tugas yang harus diemban untuk diwujudkan. Dalam konteks tugas, tindakan
seorang dokter di suatu institusi rumah sakit dalam mengobati seorang pasien, komitmen untuk
menyembuhkan pasien lebih utama daripada pertimbangan besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk
pengobatannya. Dengan komitmen, keputusan dokter untuk menyembuhkan melampaui pertimbangan
apakah si pasien sebaiknya dirawat di kelas I atau II, misalnya. Sehingga dengan komitmen ini, kasus penolakan
rumah sakit terhadap seorang pasien karena alasan keterbatasan atau ketiadaan biaya, misalnya, tidak perlu
terjadi. 

Pada tingkat ini Sen lebih menetapkan kommitmen – daripada simpati -- sebagai elemen penting untuk
dijadikan salah satu dasar asumsi dalam mengonsepsikan tindakan manusia. Akan tetapi, lanjut Sen, dalam
pendekatan rasional-behavioralistik, elemen ini tidak dimasukkan sebagai pertimbangan. 

Komitmen sebagai preferensi etis

Pendekatan pilihan rasional (rational choice) sebagai turunan pendekatan behavioral tidak memasukkan
komitmen sebagai dasar pertimbangan, karena secara logis bisa kontraproduktif – yaitu jika dikaitkan dengan
preferensi tindakan dan pencapaian hasil yang maksimal. 

Komitmen – dijelaskan Sen – sangat erat kaitannya dengan moralitas tertentu. Sementaa berbicara mengenai
moralitas adalah perkara yang kompleks sehingga seringkali mengundang banyak perdebatan yang
berkepanjangan. Oleh karenanya, bisa “dipahami” jika ilmu ekonomi dengan pendekatan behavioralistiknya,
memasukkan unsur moralitas adalah sebuah pilihan atau preferensi yang tidak rasional. Jika moralitas
dikaitkan dengan prinsip efisiensi, katakan saja, akan menjadi faktor penghambat bagi tercapainya keuntungan
yang maksimal. Mengenai ini, nampaknya Sen mengakui bahwa memasukkan komitmen sebagai dasar
pertimbangan preferensi tindakan manusia bisa menorehkan sebuah retakan antara pilihan pribadi dengan
keuntungan pribadi, di mana keduanya merupakan variable signifikan dalam mengukur konsistensi perilaku
manusia.

Kendati demikian, bagi Sen, hal ini tidak bisa dijadikan pembenar bahwa komitmen yang mengandaikan
moralitas tertentu dikeluarkan sebagai dasar asumsi dalam mengonsepsikan manusia di dalam ilmu ekonomi.
Dengan mengutip Harsanyi, Sen berpendirian bahwa komitmen tetaplah penting dimasukkan sebagai
pertimbangan tindakan rasional manusia, yaitu sebagai preferensi etis. Hanya saja, dengan preferensi etis ini,
Sen tidak mengandaikan bahwa ada suatu tingkatan-tingkatan moral tertentu, bahwa terdapat suatu moral
tertentu yang paling layak dijadikan dasar bagi manusia bertindak, melainkan sebuah meta-ranking. Meta-
ranking di sini – dalam penggambaran Sen – merupakan suatu struktur diskursif-praktis yang terbuka, yang
lebih kaya, yang memungkinkan adanya upaya mendialogkan ragam moralitas dan tindakan. Klaim moral
sebagai preferensi etis yang dihasilkan dari struktur ini pun bukan suatu klaim moral yang mapan, akan tetapi
suatu klaim moral yang masih terus berproses. Artinya sangat dimungkinkan terjadinya perubahan demi
terbentuknya preferensi etis yang lebih baik dan tinggi. Pada gilirannya, dengan adanya struktur yang
demikian, maka kita dapat malampaui pandangan yang mendikotomikan perilaku manusia secara dikotomis,
yaitu antara egoistik dan utilitarianistik, antara self-interest dan other interest. 

Penutup

Dalam ilmu ekonomi, self-interest dimaknai sebagai preferensi kalkulatif untung-rugi untuk mencapai


keuntungan maksimal individu. Pengertian konsep ini diakui sebagai konsep yang sudah teruji dan mapan
sehingga konsep ini dijadikan dasar asumsi teoritik bagi kebanyakan ekonom dalam menganalisis tindakan
manusia. Lebih dari itu self-interest bukan hanya menjadi prinsip konstitutif bagi teori-teori ekonomi, akan
tetapi sekaligus menjadi fokus kajian. Dengan kata lain ilmu ekonomi pada dasarnya adalah studi mengenai
pengembangan self-interest itu sendiri.

Meksi dalam ilmu ekonomi self-interest memperoleh pengertian konseptual yang terang-benderang, tapi pada
saat yang sama perjalanan diskursif yang panjang dari konsep self-interestseolah mandek di situ. Konsep self
interest melulu diinterpreasikan secara parsimonik sebagai tindakan kalkulatif-individual tentang untung-rugi
tadi. 
Kehadiran Amartya Sen seperti kembali memberikan ruang bagi upaya meninjau kembali konsep self-
interest itu, dengan pernyataannya bahwa konsep self-interest tidak cukup memadai dalam memahami
tindakan manusia dan bagaimana sebuah masyarakat tertata. Bagi Sen, konsep self-interest hanya bisa
memadai untuk menjelaskan tindakan manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhan privat. Sementara
untuk pemenuhan kepentingan atau kebutuhan publik, ada yang lebih penting dari sekedar self-interest, yaitu
komitmen. Tidak berlebihan kiranya jika kita katakan, pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen telah
memberi pukulan telak bagi konsep self-interest yang telah berurat-akar dalam teori ekonomi.

Yang menarik dari Sen, meski konsep komitmen dipromosikan sebagai preferensi etis dalam tindakan manusia,
namun tidak membuat Sen terjebak pada moralisme yang ujung-ujungnya bisa menyeretnya pada dogmatisme
moral. Ini terlihat ketika Sen sendiri menolak pengandaian adanya hierarki moral tertentu untuk dijadikan
preferensi. Sebaliknya, melainkan manawarkan suatu struktur terbuka yang memungkinkan adanya dialog
antara etika denganself-interest sebagai tindakan kalkulatif. Struktur terbuka yang dimaksudkan Sen ini kiranya
lebih mendekati tepat kalau diinterprestasikan sebagai demokrasi politik.*** 

You might also like