Professional Documents
Culture Documents
Baru-baru ini kita membaca dan mendengar pemberitaan Fatwa MUI yang salah satu
isinya adalah penganut Ahmadiyah diharamkan termasuk pluralisme. Isi Fatwa MUI
tersebut meskipun hanya berlaku bagi umat Islam namun cukup menimbulkan kecemasan
di kalangan minoritas seperti Ahmadiyah dan kalangan minoritas lainnya. Sebenarnya,
apakah kecemasan itu sesuatu yang wajar atau sesuatu yang harus supressikan?
Hal mendasar yang perlu diungkapkan adalah kecemasan kaum minoritas seperti
Ahmadiyah. Penganut Ahmadiyah cemas bahwa keberadaan mereka tidak diakui alias
fatwa itu mungkin akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam pergaulan sosial mereka
di tengah masyarakat. Pastilah imej (image) mereka akan rendah bagi kacamata mereka
yang menerima Fatwa MUI.
Kecemasan itu wajar sebab penganut Ahmadiyah menghadapi benih-benih
ancaman tindakan seperti disingkirkan, diasingkan, direndahkan, dianiaya, ditindas dan
dijauhkan dari kehidupan masyarakat yang sebenarnya sedang menggalakkan semangat
demokrasi, pluralisme dan multikulturalisme. Mengapa tidak, ketika penganut
Ahmadiyah sedang melakukan aktivitas rutin harian, bulanan, dan tahunan selalu
dibayang-bayangi kecemasan akan diserang oleh sekelompok orang yang tidak
mengehendaki keberadaan mereka. Kita masih ingat betul peristiwa pengejaran penganut
Ahmadiyah di Parung, Bogor beberapa waktu yang lalu. Itulah kecemasan Ahmadiyah
dan mungkin juga bagi kalangan minoritas lainnya.
Aneka Kecemasan
Dalam disiplin ilmu psikiatri ada kurang lebih 3 macam kecemasan. Kecemasan
pertama adalah kecemasan alamiah (natural anxiety). Kecemasan tersebut bersumber dari
ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan. Kecemasan ini seringkali muncul di tengah
masyarakat sejak peristiwa gempa dan tsunami pada bulan Desember 2004 lalu, setiap
kali terjadi gempa di berbagai tempat di Indonesia. Kecemasan ini bersifat realistik dan
masuk akal. Kecemasan alamiah ini juga dialami kaum Yahudi ketika Adolf Hitler,
pemimpin NAZI Jerman mengejar-ngejar mereka.
Kedua, kecemasan toksik (toxic anxiety). Kecemasan ini timbul dari keinginan,
perasaan, pikiran dan memori yang disupresikan. Seringkali kecemasan ini bersifat kabur,
non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Kecemasan tersebut bersifat
melumpuhkan atau meracuni diri si subjek. Sebab, apa yang dicemaskan tidak jelas dan
selalu dipengaruhi afeksi bawah sadar dan kepentingan-kepentingan egoistik. Kecemasan
semacam ini kita alami pada saat kita gelisah dan cemas, namun tidak jelas pasalnya.
Bisa juga terjadi, kita cemas akan keberadaan kita karena ketakutan tak beralasan atas
keberadaan yang lain. Padahal keberadaan yang lain itu sendiri tidak mengurangi atau
merendahkan kehormatan eksistensi kita. Kekejaman NAZI terhadap kaum Yahudi
barangkali juga disebabkan oleh kecemasan tak beralasan dari pimpinan NAZI terhadap
eksistensi orang-orang Yahudi di negeri itu.
Ketiga, kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan kecemasan yang terjadi
akibat interaksi rasionalitas sadar manusia, afeksi bawah sadar dan sesuatu yang
adikodrati (Allah) di luar diri kita. Kecemasan tersebut bersumber dari ketidaktahuan
eksistensial yang mendalam, yang direpresentasikan oleh pertanyaan-pertanyaan
meditatif seperti: siapakah diriku?; siapakah manusia di mata Tuhan?; siapakah sesamaku
manusia? Juga termasuk pertanyaan berikut ini: apakah makna dan tujuan hidupku?; apa
nasibku setelah kematian? Masih banyak lagi, misalnya: mengapa keberadaan yang ada
di alam raya semesta majemuk (plural)?; siapakah atau apakah Tuhan itu?; mengapa
terjadi kejahatan dan kekerasan?
Ketiga kecemasan itu sesungguhnya ada pada semua orang disadari atau tidak.
Ketiga kecemasan tersebut benar-benar ada. Tinggal bagaimana kita mengelola dan
memaknainya sehingga membuahkan kebaikan bagi eksistensi yang lain.
Tepatnya, tafsiran atas teks itu tidak saya tahu secara ilmiah atau konteksnya. Namun
dalam ayat tersebut tersirat “obat penyembuh” kecemasan toksik ketika dikatakan: “…
Jika Allah menghendaki, niscaya Ia kan membuat kamu satu umat…” Namun
kenyataannya Allah tidak menhendaki demikian. Juga ketika dikatakan: “…Ia akan
memberitahukan kepada kamu (Kebenaran) apa yang kamu berselisih di dalamnya”.
Selanjutnya teks itu mengajak orang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan!
Jika kita belum lupa peristiwa dahsyat yaitu gempa dan tsunami yang terjadi pada
Minggu (26/12/2004), maka kita akan mengingat bahwa semua pengkotak-kotakan
selama ini bisa hilang akibat dahsyat korban manusia. Peristiwa menggetarkan itu
menjawab kecemasan luhur bagi mereka yang masih hidup. Mereka yang masih hidup
menjadi saksi kematian, saksi makna kehidupan, saksi keterbatasan manusia, saksi
keagungan Allah dan saksi betapa luhurnya martabat manusia di mata sesama manusia.
Pada itu pulalah hal-hal yang baik, luhur, mulia dan patut dipuji muncul ke permukaan
kehidupan kita.
Demikian juga dengan insan-insan yang peduli Aceh, tanpa kenal agama, suku,
golongan, dan ras, rela mengorbankan tenaga, materi dan uang bahkan jiwa mereka
untuk menolong sesama yang mengalami penderitaan mahadahsyat itu.Menurut pendapat
penulis, dalam diri orang-orang Aceh yang masih hidup dan para insan yang peduli Aceh
terdapat buah-buah dari kecemasan luhur. Buah-buah itu adalah bela rasa (compassion),
mau mengerti dan menerima (willingness to understand and to accept), pengharapan
untuk hidup (hope for life), keyakinan diri (self confidence) dan hal-hal yang patut dipuji
lainnya.Sebab, kecemasan luhur mereka terjawab dalam diri korban-korban tsunami di
Nanggroe Aceh Darussalam. Di sanalah mereka tercerahkan ketika menyaksikan
martabat manusia dan keagungan Allah di tengah dunia.Kecemasan itu wajar sejauh
spesifik, realistis, masuk akal dan sejauh mempertanyakan makna dan tujuan keberadaan
manusia itu sendiri. Namun kecemasan itu akan merugikan, meracuni dan melumpuhkan
diri kita sendiri, bila kecemasan itu bersifat kabur, berkabut, non-realistik, tak masuk
akal, repetitif dan tidak efektif.
Baru-baru ini, kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah kembali mengemuka. Kali ini
terjadi di Desa Gegerung, Kecamatan Lingsat, Kabupaten Lombok Barat, NTB.
Sebelumnya nasib ‘naas’ mereka alami juga di berbagai daerah dari sabang sampai
merauke. Pertanyaan yang patut diajukan adalah bagaimana peran pemerintah dan kaum
agamawan dalam merespons kasus tersebut?
Ironis, mungkin sepenggal kata itu tepat untuk melukiskan keadaan pengikut Ahmadiyah
saat ini. Sebab, berdasarkan data sementara, perusakan dan pembakaran tempat tinggal
milik 31 keluarga (129 jiwa) Ahmadiyah di NTB itu mengakibatkan kerugian sekitar Rp
400 juta.
Sebetulnya tindak kekerasan seperti itu tidak mereka alami sekali ini, tetapi sudah
berkali-kali. Pada tahun 2000, ketika penulis belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN) Mataram,NTB, ada peristiwa penggrebekan yang ujung-ujungnya pengusiran
dan kekerasan terhadap Ahmadiyah oleh sekelompok organisasi mayoritas di NTB.
Alasannya, ajaran-ajaran ahmadiyah “menyesatkan” akibatnya “meresahkan”
masyarakat. Anggapan inilah ‘titik api’ yang membuat emosi masyarakat NTB meluap-
luap sehingga ingin selalu mengusir bahkan ‘membunuh’ jika pengikut Ahmadiyah masih
tetap tinggal dan menyebarkan ajaran yang dianggap “sesat” di negeri yang dikenal
sebagai pulau “seribu masjid” itu.
Nasib malang Jemaah Ahmadiyah ini, seharusnya membuat kita kembali untuk bersikap
kritis terhadap fatwa ataupun pendapat yang bisa memancing emosi masa. Tentu saja,
dalam materi fatwa MUI, tidak ada klausul untuk menyerang dan melakukan tindakan
kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang dianggap "sesat" dan "diharamkan" itu.
Namun, sepanjang sejarah umat Islam, fatwa bermodel seperti itulah yang paling efektif
menggerakkan nalar dan emosi manusia untuk melakukan tindakan kekerasan dan main
hakim sendiri.
Dalam konteks umat Islam yang masih dibelenggu doktrin fikih klasik, kelompok atau
individu yang sudah divonis "murtad", "kafir", atau "sesat" berarti telah dihalalkan untuk
dibunuh! Secara sewenang-wenang, mereka menggunakan dasar hadis yang bunyinya,
"man baddala dînahu faqtulûhu" ("barang siapa yang mengganti agamanya, maka
bunuhlah ia"). "Mengganti agama" dimaknai murtad, kafir, atau sesat. Dasar tersebut
seperti vonis dalam pengadilan in absentia, tanpa klarifikasi dan pembelaan, tentu dengan
dakwaan sepihak. Meski demikian, umat Islam yang awam tidak mau tahu dengan
prosedur yang tidak sehat itu; yang ditangkap hanya ujungnya: orang ini murtad,
kelompok itu sesat, maka dibunuh saja!. Pemahaman inilah yang perlu kita luruskan.
Sebagai informasi, kekerasan serupa pernah terjadi di tempat lain di NTB serta di
Kuningan dan Parung (Jabar) yang sempat mendapat porsi liputan luas media massa
secara nasional. Peristiwa Parung-yang terkait dengan Fatwa MUI 2005-bahkan telah
memancing reaksi keras banyak tokoh Islam, tetapi tak mendapat perhatian serius para
pejabat tinggi, termasuk Presiden. Banyak pihak berharap, apa yang terjadi di Parung
akan menjadi yang terakhir. Tak ayal, mendengar peristiwa di Lombok Barat, minggu
lalu, banyak pihak amat terkejut dan amat kecewa terhadap aparat pemerintah yang
dinilai gagal memberi rasa aman terhadap para penganut Ahmadiyah. Apalagi, sejauh ini
tidak pernah ada penjelasan tuntas dari pemerintah. Dan mungkin DPR juga belum
pernah meminta penjelasan dari pemerintah untuk soal ini.
Dawam Rahardjo (2006) menengarai bahwa kekerasan Ahmadiyah tidak bisa ditolerir
lagi. Lanjut dia, kita harus segera mendesak Presiden RI-wakil, Menko Polkam, Menteri
Agama, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua Komnas HAM, Ketua MUI, kaum intelektual dan
pimpinan ormas Islam agar segera membahas masalah ini secara menyeluruh dan tuntas.
Pembahasan harus lugas, tidak bersifat basa-basi lagi, dengan memerhatikan hak hidup
Ahmadiyah dan jaminan perlindungan terhadap keselamatan diri dan aset para penganut
organisasi ini, sesuai ketentuan UUD dan UU yang berlaku.
Sebab, ditengarai oleh banyak pihak, aparat selalu canggung ketika melihat kasus
kekerasan di masyarakat yang dilatari oleh kesamaan SARA dan etnis. Hingga kini,
Pemerintah, termasuk kepolisian, dinilai tidak serius menegakkan pluralisme. Pernyataan
pemerintah tentang pluralisme-multikulturalisme (anti-diskriminasi) sebetulnya tak lebih
sekadar basa-basi (lips service). Peristiwa perusakan rumah penganut Ahmadiyah untuk
kali kesekian - terakhir, Sabtu lalu, di Lombok, NTB – merupakan puncak gunung es
(snow ball) dan kian gamblang menunjukkan sikap pemerintah yang tidak serius atau
sekedar basa basi dalam menegakkan pluralisme, dan multikulturalisme di negeri ini.
Oleh karena itu, pembahasan dan pengusutan terhadap pelaku kekerasan disertai sanksi
hendaknya perlu segera direalisasikan, agar kelak tidak terjadi prilaku anti-humanis
tersebut. Dalam pembahasan sebaiknya melibatkan cendekiawan dan ulama dengan
spektrum luas, sehingga semua pendapat masyarakat dapat didengar. Juga perlu
dibicarakan bagaimana cara menjelaskan kepada masyarakat bahwa agama Islam tidak
mengajarkan kekerasan, dan tindakan kekerasan adalah melanggar hukum. Karena itu,
yang terbukti bersalah harus dikenai sanksi hukum, tak terkecuali Ahmadiyah itu sendiri.
Dialog dan diskusi mutlak dilakukan dengan pemrakarsa bisa Presiden, Menko Polkam,
Menteri Agama, atau Ketua Komnas HAM. Bagaimana pun prakarsa Komnas HAM akan
memperkuat posisinya di tengah masyarakat sekaligus akan memperluas jaringannya bagi
akses komunikasi ke berbagai ormas Islam. Sikap saling menunggu harus dihindari agar
peristiwa kekerasan semacam itu tidak terulang lagi di berbagai tempat. Sedikit atau
banyak, cepat atau lambat, hal itu akan memperlemah persatuan bangsa yang kini kian
tergerus. Harapan kita, semoga para pejabat tinggi cepat tanggap, tidak menghindari
"bola panas" yang menjadi tanggung jawab mereka dan yang terpenting adalah tidak ada
lagi kekerasan yang disebabkan perbedaan. Perbedaan hendaknya tidak menjadikan
penghalang bagi kita semua untuk bersatu, damai dan bekerja sama penting dijadikan
fondasi dan sikap bersama dalam mewujudkan masyarakat multikultural. Semoga.
***
Indonesia
Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2006
(english)
Dikeluarkan oleh Kantor Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh.
(Bagian II)
Bagian | 1 |
Pemerintah mengharuskan warga negara yang berusia dewasa untuk membuat Kartu
Tanda Penduduk (KTP), yang menunjukkan identitas, di antaranya identitas agama.
Pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah umumnya tidak dapat memperoleh KTP
kecuali bila mereka mengaku sebagai pemeluk agama yang diakui. Selama periode
pelaporan, sebagian petugas Kantor Catatan Sipil menolak permohonan dari pemeluk
agama yang tidak diakui, tetapi sebagian menerima permohonan mereka, tetapi
mengeluarkan KTP yang menyebutkan agama yang salah. Sejumlah penganut animisme
menerima KTP yang menyebutkan Islam sebagai agama mereka. Hingga pada bulan
Februari 2006 ketika pemerintah mulai menyediakan layanan untuk pemeluk Kong Hu
Cu, sejumlah penganut Kong Hu Cu menerima KTP yang menyebutkan Buddha sebagai
agama mereka. Bahkan beberapa orang Kristen dan Katolik menerima KTP yang
menyebutkan bahwa agama mereka adalah Islam. Nampaknya petugas Kantor Catatan
Sipil secara “otomatis” menuliskan Islam sebagai agama untuk para pemeluk agama yang
tidak diakui. Islam tetap menjadi satu-satunya agama yang dapat diklaim tanpa
pembuktian dan paling mudah secara administratif.
Sebagian warga negara yang tidak memiliki KTP kesulitan untuk mencari pekerjaan.
Sejumlah LSM dan kelompok advokasi keagamaan terus mendesak pemerintah untuk
menghapus kolom agama dari KTP.
Pegawai pemerintah harus bersumpah untuk taat kepada bangsa dan negara serta dasar
negara Pancasila, termasuk mempercayai Tuhan Yang Maha Esa.
Hukum tidak membeda-bedakan tiap pemeluk agama dalam hal mendapatkan pekerjaan,
pendidikan, atau kesehatan. Namun, sejumlah pemeluk agama Krisen dan agama
minoritas lain yakin bahwa mereka sering kali tidak diprioritaskan dalam menduduki
jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan penerimaan mahasiswa baru di perguruan
tinggi negeri.
Pria dan wanita dari agama yang berbeda menghadapi hambatan dalam menikah dan
mendaftarkan pernikahan mereka. Para pasangan ini mengalami kesulitan dalam mencari
petugas dari kantor urusan agama yang mau melangsungkan upacara pernikahan
antaragama. Padahal, diperlukan suatu upacara agar pernikahan dapat didaftarkan.
Akibatnya, beberapa orang terpaksa berpindah agama agar bisa menikah. Sebagian lain
pergi ke luar negeri untuk menikah dan mendaftarkan pernikahannya di Kedutaan Besar
Republik Indonesia. Walaupun diakui secara resmi, para pemeluk Hindu mengatakan
bahwa mereka sering harus pergi jauh ke luar daerah mereka untuk mendaftarkan
pernikahan karena pemerintah daerahnya tidak bisa atau tidak mau melakukan
pendaftaran.
Selama periode pelaporan, beberapa kebijakan, UU, dan tindakan pemerintah tertentu
membatasi kebebasan beragama komunitas Ahmadiyah. Sementara organisasi massa
Islam mengutuk penggunaan kekerasan, pemerintah secara tersirat menoleransi tindakan
diskriminatif dan pelanggaran yang dilakukan sebagian anggota masyarakat terhadap
Ahmadiyah dengan membiarkan saja status hukum mereka dan pelarangan yang
diberlakukan pemerintah daerah.
Walaupun jumlah pasukan polisi yang diturunkan pada dua penyerangan terpisah
terhadap jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli 2005 banyak, polisi tidak
menangkap siapa pun. Pemerintah daerah kemudian memberlakukan pelarangan terhadap
Ahmadiyah dan mereka tidak diperkenankan menggunakan kompleks mereka. Menyusul
dua insiden terpisah pada bulan Februari dan Maret 2006, ketika massa membakar dan
menghancurkan rumah-rumah yang dihuni pengikut Ahmadiyah di Lombok, 182 orang
terpaksa tinggal di barak-barak pengungsian yang disediakan pemerintah tanpa rencana
yang jelas kapan mereka akan kembali atau berpindah.
Setelah pemerintah memberlakukan Peraturan Bersama tentang Pendirian Rumah Ibadah
pada tahun 2006, yang merupakan revisi SKB tahun 1969, kelompok militan secara paksa
menutup dua gereja tanpa adanya campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam
Peraturan Bersama terdapat masa tenggang (grace period) selama dua tahun untuk
memperoleh izin. Pada akhir periode pelaporan, gereja-gereja tersebut tetap ditutup. Dua
puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat tekanan dari kelompok militan, tetap
ditutup. Meski selalu hadir di lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk
mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok
militan dalam penutupannya.
Pada awal bulan Juni 2006, pemerintah pusat menyatakan akan memberantas kekerasan
yang dilakukan kelompok militan, tetapi hingga akhir periode pelaporan, tidak ada
tindakan khusus yang diambil pemerintah.
Selama periode pelaporan, pemerintah juga terus membatasi, secara eksplisit dan implisit,
kebebasan beragama dari kelompok-kelompok aliran yang dipandang menyimpang dari
arus utama Islam.
Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama Nusa Tenggara Barat
mengeluarkan larangan terhadap 13 sekte, termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehovah, Hari
Krishna, dan sembilan aliran kepercayaan dan menyatakan sekte-sekte menyimpang dari
ajaran Islam, Kristen, dan Hindu.
Pada tanggal 28 Desember 28 2005, polisi menangkap Lia Eden, pemimpin Jamaah
Salamullah, dan mengevakuasi dua puluh pengikutnya untuk menghindari kekerasan saat
terjadi keributan yang menuntut pembubaran kelompok sekte kecil itu. Pada tanggal 29
Juni 2006, Pengadilan Negeri di Jakarta memvonis Lia Eden dua tahun penjara atas
dakwaan penodaan terhadap ajaran agama. Para pengikut Jamaah Salamullah yang
berjumlah sedikit itu meyakini bahwa malaikat Jibril (Gabriel) menyampaikan wahyu
melalui Eden dan mencampuradukkan unsur-unsur agama Kristen dan Islam. MUI
mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan bahwa ajaran Lia Eden sesat.
Sejumlah penganut kelompok kecil yang berbasis ajaran Islam, meski tidak tegas,
bentrok dengan aparat kepolisian pada bulan Oktober 2005 di sebuah desa terpencil di
Palu, Sulawesi Tengah. Polisi berupaya melakukan perundingan dengan pemimpin
karismatik kelompok ini yang dikenal dengan nama "Madi” agar ia mau menghadap ke
kantor polisi dan menjelaskan mengapa ia mengancam penduduk desa dan melarang
mereka berpuasa dan salat pada bulan Ramadan. Tiga anggota kepolisian dan dua
anggota sekte ini tewas di tempat. Anggota sekte ini dilaporkan menyandera dua orang
petugas, tetapi kemudian melepaskannya kembali. Jaksa penuntut pada bulan Januari
2006 menuntut hukuman mati bagi lima anggota kelompok ini.
Polisi menangkap lima orang wanita dari Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di
Indramayu, Jawa Barat dan pada bulan September 2005 pengadilan memvonis kelimanya
tiga tahun penjara atas tuduhan pemurtadan dan Kristenisasi sesuai dengan UU
Perlindungan Anak. Jaksa menuntut kelima wanita ini setelah ada laporan warga yang
mengatakan bahwa para wanita ini menggunakan program rekreasi pemuda Kristen untuk
memurtadkan anak-anak muslim. Para wanita ini mengaku bahwa mereka sudah
memperoleh izin dari keluarga anak-anak tersebut. Para saksi gagal memberi kesaksian
yang mendukung para terdakwa di pengadilan karena tekanan dari masyarakat. Pada saat
laporan ini dibuat, kasus ini ada pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Pada bulan November 2005, aparat kepolisian menahan seorang warga negara asing dan
seorang warga negara Indonesia yang bekerja pada proyek kemanusiaan Kristen pada
pembangunan bendungan di wilayah muslim konservatis di Madura. Polisi bertindak
setelah para tokoh agama setempat menuduh bahwa keduanya melakukan pemurtadan.
Tuduhan itu nampaknya dipicu kemarahan dari para tokoh dan masyarakat setempat yang
tidak mendapatkan proyek serupa. Jaksa mendakwa mereka dengan pelanggaran
keimigrasian dan pengadilan memvonis mereka lima bulan penjara. Jaksa mendakwa
warga negara Indonesia yang tetap menyebarkan ajaran Islam yang modern dengan
dakwaan penodaan ajaran agama dan pengadilan memvonisnya lima bulan penjara.
Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri di Jawa Timur memvonis Muhammad
Yusman Roy dua tahun penjara karena mempraktikkan salat dengan dua bahasa, Arab
dan Indonesia, yang oleh MUI disebut sebagai menodai keaslian ajaran Islam yang
berbahasa Arab.
Pada bulan September 2005 pengadilan di Jawa Timur memvonis enam orang terapis
narkoba dan kanker lima tahun penjara dan tiga tahun penjara atas dakwaan melanggar
ajaran Islam. Fatwa MUI setempat menyatakan bahwa ajaran pusat rehabilitasi ini sesat.
Polisi menangkap para terapis ini saat mereka sedang mempertahankan diri dari serangan
ratusan orang ke kantor mereka.
Pada bulan Januari 2006, pemerintah mendakwa Sumardi Tappaya, guru agama sebuah
SMU di Sulawesi, atas penghinaan agama yang dapat dipidana maksimal 5 tahun penjara.
Polisi menahan Tappaya setelah seorang kerabatnya menuduhnya melakukan salat sambil
bersiul. MUI setempat menyatakan perbuatan itu sesat. Pada tanggal 28 Juni 2006,
Pengadilan Negeri Polewali memvonis Sumardi enam bulan penjara.
Pemerintah melarang sebuah ceramah agama dengan menangkap pelakunya atas tuduhan
mengkritik Islam atau umat Islam.
Pada bulan June 2005, 2000 orang berdemonstrasi memprotes sebuah artikel yang
berjudul “Islam Agama yang Gagal”, yang ditulis oleh seorang staf pengajar di
Universitas Muhammadiyah, Palu. Artikel tersebut sebagian besar membahas
merajalelanya korupsi di Indonesia. Polisi menahan penulisnya selama lima hari atas
tuduhan penghinaan terhadap agama kemudian mengenakan tahanan rumah terhadapnya.
Pada bulan Agustus 2005 polisi mencabut perkara yang dituduhkan kepada seorang
kartunis dan redaktur sebuah surat kabar di Medan, Sumatra Utara karena kurangnya
bukti. Awalnya, pada bulan Oktober 2004, polisi menangkap mereka karena menerbitkan
karikatur yang menggambarkan bahwa orang Islam umumnya mendukung politikus yang
mencalonkan diri yang korup.
Pada tanggal 6 dan 7 Maret 2006, anggota Falun Dafa (juga dikenal dengan nama Falun
Gong) melakukan aksi mogok makan di depan Kedubes Cina sebagai protes atas
penyerangan terhadap wartawan Falun Dafa. Pada tanggal 12 April 2006, aparat
kepolisian di Banyuwangi, Jawa Timur, menangkap lima aktivis Falun Dafa, dua di
antaranya warga negara asing, karena mengedarkan selebaran ke penduduk setempat.
Polisi kemudian mengaku bahwa mereka menahan kelima orang tersebut karena
selebaran yang diedarkan berisi informasi tentang Partai Komunis Cina, bukan karena
mereka anggota Falun Dafa. Penyebaran literatur tentang komunisme masih dianggap
ilegal. Pada tanggal 26 April 26 2006 sejumlah orang tak dikenal menyerang anggota
Falun Dafa di Jakarta yang hendak menggelar demonstrasi bersama anggota lainnya.
Polisi tidak menyelediki penyerangan itu.
Media massa memberitakan bahwa pada bulan Mei 2006, DPRD Kabupaten Banyuwangi
memutuskan untuk memberhentikan Bupati Ratna Ani Lestari. Mereka yang mendukung
pemecatan menuduh bahwa Ratna, seorang muslimah sejak lahir, telah menghina Islam
karena diduga mempraktikkan ibadah yang tidak sesuai dengan agama yang tercantum di
KTPnya. Mereka juga menuduh dia mengurangi bantuan terhadap pesantren-pesantren di
wilayah itu, mencantumkan ayat-ayat Alquran secara sembarangan di dokumen-dokumen
Pilkada, dan memasukkan harga daging babi dalam APBD. Menurut para pendukungnya,
Ratna menjadi sasaran kampanye negatif yang bermotif agama karena pernikahannya
dengan seorang Hindu.
Tidak ada laporan tentang pemaksaan untuk berpindah agama, termasuk tentang warga
AS yang diculik atau dipindahkan secara ilegal dari AS ataupun pelarangan
pengembalian warga AS tersebut ke AS.
Antisemitisme (Anti-Yahudi)
Sabili, majalah Islam yang bertiras luas, menerbitkan artikel-artikel dan pernyataan-
pernyataan yang berbau antisemit. Majalah ini mengklaim bahwa ada aktivitas rahasia
konspirasi Zionis di negeri ini. CD yang diproduksi oleh sebuah perusahaan bernama
Trustco Multimedia yang berisi informasi tentang Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai
yang menduduki 8 persen kursi di DPR, juga dilengkapi dengan sebuah permainan
(game) yang berjudul “Tembak Yahudi”. PKS kemudian meminta Trustco Multimedia
untuk menarik CD tersebut dari pasaran.
Sejumlah kalangan dari umat Islam mengkritik penahanan dan pengadilan Abu Bakar
Ba’asyir, pemimpin kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI), yang dinyatakan bersalah
dan dipenjara selama tiga bulan atas keterlibatannya pada peledakan bom Bali 2002 dan
dituduh melakukan sejumlah tindakan terorisme yang lebih berat. Selama Ba’asyir
dipenjara, pemerintah, sesuai dengan hukum yang berlaku, memberikan Ba’asyir satu
tahun remisi karena telah berkelakuan baik. Pada tanggal 14 Juni 2006, dia dibebaskan
dari penjara setelah menjalani hukuman selama 26 bulan.
Pemerintah telah berhsil mendakwa lebih dari 52 teroris bermotifkan agama dan rekan-
rekan mereka selama periode pelaporan. Mereka yang didakwa tidak hanya anggota JI,
tetapi juga anggota kelompok teroris dan ekstremis agama lainnya. Pemerintah berhasil
mendakwa 6 orang atas serangan bunuh diri pada bulan September 2004 di depan
Kedubes Australia yang telah menewaskan 10 orang dan melukai lebih dari seratus
orang. Pengadilan memvonis Rois dan Ahmad Hasan dengan hukuman mati, Saipul
Bahri dengan hukuman penjara selama 10 tahun, dan tiga terdakwa lainnya dengan
hukuman penjara antara tiga dan tujuh tahun. Pengadilan negeri di Maluku terus
mengadili perkara-perkara dari orang-orang yang terlibat kekerasan di provinsi itu.
Selama periode pelaporan, pengadilan Maluku memvonis 32 orang dengan UU Tindak
Pidana Terorisme atas dakwaan keterlibatan dalam tindak kekerasan di sana. Hukuman
bervariasi dari lima tahun hingga seumur hidup di penjara.
Pada pidatonya dalam rangka merayakan Tahun Baru Imlek 2006, Presiden berjanji
bahwa pemerintah akan memberikan pelayanan kepada pemeluk Kong Hu Cu sebagai
agama resmi yang diakui. Kemudian pada awal tahun 2006, Presiden memerintahkan
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk merealisasikan janji itu. Hasilnya, para
pemeluk Kong Hu Cu bisa memperoleh KTP yang menuliskan agama mereka dan
mendaftarkan pernikahan dan kelahiran.
Aparat kepolisian di Sulawesi Tengah lebih aktif dalam menghukum mereka yang diduga
terlibat dalam tindak kekerasan yang mungkin terkait konflik antaragama. Pada bulan
Juni 2005, polisi menahan 18 tersangka pengeboman di Tentena tanggal 28 Mei 2005.
Kepala Lembaga Permasyarakatan Poso Hasman juga ditangkap, tetapi kemudian polisi
melepas kembali Hasman dan semua tersangka lainnya karena kurangnya bukti. Di
Sulawesi Tengah, polisi menangkap Papa Siti, tersangka penembak Jaksa Ferry Silalahi
tahun 2004, pada tanggal 17 Juli 2005, di Desa Malino, Kabupaten Tojo Una-Una. Pada
tanggal 15 Maret 2006, aparat kepolisian Sulawesi Tengah menahan Andi Makasau, otak
dari sejumlah perampokan, penembakan, dan peledakan bom di provinsi ini, bersama
dengan enam orang lainnya yang diduga terlibat dalam tindakan kekerasan. Penyelidikan
perkara masih berlanjut. Pada tanggal 7 Mei 2006, polisi mengangkap lima orang pria
yang terkait dengan tindakan terorisme dan kejahatan berat lainnya di Sulawesi Tengah.
Secara umum umat Islam Indonesia masih toleran dan mempunyai pandangan yang
majemuk. Namun, pada bulan Januari 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI)
menyimpulkan bahwa konservatisme meningkat. Pada survei yang mencakup seluruh
Indonesia itu, 40 persen responden setuju dengan hukuman rajam bagi pezina, 34 persen
tidak ingin mempunyai presiden perempuan lagi, dan 40 persen responden berpendapat
bahwa poligami diperbolehkan.
Ketegangan yang dipicu masalah ekonomi antara penduduk lokal atau pribumi, yang
kebanyakan nonmuslim, dan para pendatang yang sebagian besar muslim amat berperan
dalam sejumlah peristiwa kekerasan antaragama dan antarsuku di Sulawesi Tengah,
Papua, dan Kalimantan.
Di Sulawesi Tengah, ketegangan politik dan ekonomi antara penduduk Kristen dan
Muslim yang jumlahnya hampir seimbang terus menyulut berbagai tindak kekerasan
yang mengakibatkan kematian selama periode pelaporan. Sampai kini tidak jelas apakah
peristiwa-peristiwa itu timbul dari konflik antaragama, tindak kriminal murni, atau
gabungan keduanya. Pada tanggal 29 Oktober 2005, sejumlah orang tak dikenal
menyerang dan memenggal kepala tiga siswi Kristen di Poso, Sulawesi Tengah. Polisi
masih menyelidiki kasus ini. Beberapa hari setelah peristiwa itu, sejumlah orang tak
dikenal menembak mati dua remaja, satu muslim dan lainnya Kristen di sebuah halte bus
di Poso. Peristiwa itu kemungkinan adalah serangan balas dendam. Pada pekan yang
sama, para penyerang menembak dan melukai seorang profesor sebuah universitas di
Palu dan istrinya. Pada tanggal 31 Desember sejumlah pelaku yang tidak diketahui
identitasnya mengebom pasar di Palu yang menjual daging babi dan menewaskan 7 orang
dan melukai lebih dari 50 orang lainnya. Polisi menangkap satu tersangka, tetapi
kemudian melepaskannya kembali karena kurangnya bukti. Pada tanggal 7 Mei 2006,
media memberitakan bahwa polisi menangkap lima orang yang diduga terkait tindak
terorisme dan kekerasan di wilayah itu, termasuk pemenggalan dan penembakan tahun
2004 terhadap Pendeta Susianti.
Pada tanggal 21 Oktober 21 2005 di Sulawesi Tengah, seorang pria yang mengendarai
motor menembaki sebuah rumah yang digunakan untuk tempat beribadat oleh jemaat
Kristiani dan melakui pemilik rumah itu.
Sebuah bom kecil meledak di luar sebuah pura di desa dekat Poso, Sulawesi Tengah pada
bulan Maret 2006 dan melukai seorang pria penjaga kompleks pura itu.
Di Provinsi Maluku, jumlah orang yang terbunuh dalam peristiwa sektarian terus
menurun secara signifikan selama periode pelaporan. Maluku tetap tenang semenjak
terjadi keributan saat perayaan kelompok separatis pada bulan April 2004 yang
membunuh puluhan warga Ambon. Namun, pada tanggal 24 Agustus 2005, bom rakitan
yang diletakkan di dalam becak meledak di pasar Mardika, Kota Ambon dan melukai
sembilan orang dan merusak motor dan mobil yang berada di sekitar pasar. Polisi
menangkap 5 orang, tetapi terus mencari otak pelaku pengeboman.
Sejumlah besar rumah ibadah diserang, dirusak, dipaksa tutup, atau dicegah
pembangunannya oleh kelompok militan dan massa di seluruh negeri.
Warga muslims secara rutin melaporkan adanya kesulitan dalam membangun masjid di
wilayah-wilayah minoritas muslim di Papua, Sulawesi Utara, dan sebagainya.
Konflik terus berlanjut di Sekolah Katolik Sang Timur di sekitar Jakarta. Pada tahun
2004, kelompok Islam lokal, Karang Tengah Islam Community Foundation (KTICF),
dengan bantuan dari anggota FPI, mendirikan tembok yang memblokir jalan masuk ke
Sekolah Katolik Sang Timur. Pemerintah kemudian merubuhkan tembok itu, tetapi pada
bulan November 2005 warga setempat kembali memblokir jalan masuk ke sekolah untuk
mencegah agar sekolah tidak membuat jalan masuk lagi. Insiden itu dilaporkan tidak
mengganggu kegiatan sehari-sehari sekolah.
Pada tanggal 5 Februari 2006, ratusan orang menutup sebuah rumah mewah yang
digunakan sebagai pura yang bernama Pura Guedwara Dharma Kalsa di Kecamatan
Karang Tengah, Kota Tangerang, Provinsi Banten. Warga setempat keberatan dengan
penggunaan rumah tersebut sebagai pura karena menurut mereka tidak ada pemeluk
Hindu yang tinggal di sekitar situ.
Massa menyerang dan merusak setidaknya 7 masjid Ahmadiyah di Jawa Barat dan dua
masjid lainnya di Sulawesi Selatan selama periode pelaporan.
Pada tanggal 15 Juli 2005, meski kepolisian sudah menurunkan banyak aparat, FPI
memimpin sekelompok massa untuk menyerang markas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) di Bogor, Jawa Barat. Dengan bersenjatakan batu dan tongkat, para penyerang
merusak bangunan dan membakar sebuah gedung asrama putri. Penyerangan ini adalah
kelanjutan dari penyerangan sebelumnya pada bangunan yang sama oleh sekelompok
orang yang terkait dengan FPI pada tanggal 9 Juli yang batal dilakukan. Polisi tidak
menangkap siapa pun dalam kedua serangan itu. Pada tanggal 20 Juli 2005, Musyawarah
Pimpinan Daerah Kabupaten Bogor, Jawa Barat mengeluarkan pernyataan yang melarang
kegiatan Ahmadiyah di kabupaten itu. Para pelaku penyerangan mendasarkan serangan
mereka dengan mengacu pada fatwa tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah
“menyimpang” dari ajaran Islam.
Dalam dua peristiwa terpisah pada bulan Februari dan Maret 2006, massa menyerang,
membakar, atau merusak puluhan rumah di Lombok yang menyebabkan 182
penghuninya mengungsi dan tinggal di tempat-tempat penampungan. Hingga akhir
periode pelaporan tidak ada rencana yang jelas untuk merelokasi mereka.
Pada tanggal 16 Juni 2006, puluhan warga mengusir setidaknya 50 orang anggota Jamaah
Salafi keluar dari desa mereka, Beroro, di Nusa Tenggara Barat. Para penyerang
menyeret pemimpin Salafi keluar dari masjid dan memaksanya menandatangani
perjanjian yang menyatakan bahwa jamaah Salafi tidak akan kembali lagi ke rumahnya.
Warga mengaku mereka telah berulang kali memperingatkan anggota Salafi bahwa
ceramah yang disampaikan bernada ofensif. Polisi sudah turun tangan untuk mencegah
kekerasan fisik lebih lanjut, tetapi tidak menangkap siapa pun terkait dengan peristiwa
itu. Setelah mencari perlindungan di kantor polisi, para anggota jamaah pulang kembali
ke rumah dengan selamat setelah adanya dialog dengan masyarakat.
Beberapa kali publikasi yang terkait dengan tema-tema agama menyulut keributan. Pada
bulan Desember 2005 World Hindu Youth Organization (WHYO) memprotes film
pendek berjudul "Shinta Obong," yang diambil dari kisah "Ramayana," kitab suci Hindu,
karena menyimpang dari cerita aslinya. Si pembuat film, Garin Nugroho bertemu dengan
masyarakat Hindu di Bali pada bulan Januari 2006 untuk meminta maaf.
Banyak terjadi perpindahan agama secara suka rela, sebagaimana diperbolehkan secara
hukum, tetapi tetap saja menuai kontroversi. Sebagian orang berpindah agama karena
menikah dengan orang beragama lain, sebagian berpindah agama akibat penyebaran
agama atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh kelompok agama. Sebagian muslim
menuduh para misionaris Kristen menggunakan makanan dan program kredit mikro
untuk memancing umat Islam agar berpindah agama. Sebagian orang yang berpindah
agama terpaksa tidak mempublikasikan kepindahan agama mereka karena alasan
keluarga dan tekanan masyarakat.
Organisasi sosial berbasis agama terkadang dilaporkan memperoleh sumbangan dari para
pedagang nonmuslim, terutama sebelum hari raya besar Islam. Seringnya, tindakan ini
adalah akibat tekanan masyarakat yang mayoritas muslim. Kebanyakan dari mereka
adalah keturunan Tionghoa, yang umumnya beragama Buddha, Kristen, atau Kong Hu
Cu.
Pada akhir bulan Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pluralisme,
sekularisme, dan bentuk-bentuk Islam yang liberal serta pernikahan antaragama dan doa
bersama pemeluk agama lain. Walau memicu perdebatan sengit dan mendorong tindakan
militan, fatwa tersebut tidak memiliki dampak substantif terhadap hukum.
Misi diplomatik ini menekankan pada pentingnya kebebasan dan toleransi beragama di
masyarakat yang demokratis. Selama periode pelaporan, misi ini mempromosikan
pluralisme dan toleransi melalui program-program pertukaran dan masyarakat madani.
Lebih dari 220 orang Indonesia mengunjungi AS dalam program jangka pendek untuk
menelaah peran agama di masyarakat dan politik AS. Para peserta program dapat melihat
langsung bagaimana pluralisme agama, dialog antaragama, dan multikulturalisme
menjadi bagian integral dalam masyarakat yang demokratis. Sepuluh penerima beasiswa
Fulbright melanjutkan studi ke AS untuk mengambil program-program studi yang terkait
dengan agama di masyarakat yang demokratis. Enam akademisi dari AS datang ke
Indonesia untuk mengajar dan melakukan penelitian pada topik yang sama.
Salah satu kunjungan yang utama pada periode ini adalah kunjungan dari Diana Eck
sehubungan dengan peluncuran bukunya yang sudah diterjemahkan oleh kedutaan,
berjudul "A New Religious America" (Amerika Baru yang Religius). Program semacam
(seluruhnya ada 25) memberikan pemikiran akademis dan berimbang terhadap wacana
terkini di Indonesia mengenai posisi agama di masyarakat.
Misi diplomatik AS menghabiskan jutaan dalam produksi siaran media yang amat
penting untuk memberikan liputan tajam mengenai isu kebebasan beragama berdasarkan
perspektif AS. Misi ini turut mensponsori sebuah siaran radio yang mengangkat
pandangan-pandangan dalam perbedaan agama, toleransi, dan pluralisme dari perspektif
pelajar asal Indonesia yang tinggal di AS. Kunjungan media dan serial dokumenter yang
diproduksi bersama dapat memberikan liputan positif tentang masyarakat madani dan
kesukarelaan di Amerika, dengan menampilkan bagaimana kelompok berbasis agama
menjadi bagian dari masyarakat yang majemuk yang menggambarkan tindakan warga
yang positif di Amerika. Misi ini menyumbangkan 1000 set keping VCD yang
merupakan serial dokumenter di televisi yang diproduksi bersama, berjudul "The Colors
of Democracy"/ Warna Demokrasi dan mengangkat dampak positif pluralisme agama
dan aktivitas antaragama ke sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan.
When
18 November 2006
Where
Organizer
Category
Departemen
Description
Pembicara :
Prof.Suyanto (Dirjen Diknas)
’Sistem Pendidikan Nasional’
Ir. Akbar Tanjung (Mantan Ketua DPR)
’NKRI Yang didirikan atas Multikultural’
Romo Magni Suseno (Budayawan)
’Paham Multikultural’
Dr. H.A.R Tilaar (Dosen UNJ)
’Pendidikan Multikultural)
I Gede Raka (Dosen ITB)
’Implementasi ITB sebagai salah satu Pusat Budaya’
Keynote speaker: Sri Hartanto (Dirjen seni,budaya,film)
’Pengaruh Kebudayaan Terhadap Keberhasilan Pendidikan dan Sebaliknya’
tiket:
mahasiswa: Rp 20.000,00
umum: Rp 35.000,00
Saat ini di Indonesia baru diramaikan tentang kasus penyerbuan markas Ahmadiah di
Bogor. Mungkin ada banyak pembaca yang ingin tahu juga, Apa sih Ahmadiah itu?
Smoga artikel berikut bisa membantu:
1.Aliran Ahmadiyah-Qadiyani itu berkeyakinan bahwa Mirza hulam Ahmad adalah Nabi
dan Rasul, kemudian barangsiapa yang tidak mempercayainya adalah kafir murtad
4. Kitab suci"Tadzkirah" tersebut adalah kumpulan wahyu yang diturunkan > "tuhan"
kepada Mirza Ghulam Ahmad yang kesuciannya sama dengan kitab suci Al-Qur'an,
karena sama-sama wahyu dari Tuhan, tebalnya lebih tebal dari Al-Qur'an, dan kitab suci
Ahmadiyah tersebut ada di kantor LPPI
5. Kalangan Ahmadiyah mempunyai tempat suci tersendiri untuk melakukan ibadah haji
yaitu Rabwah dan Qadiyan di India. Mereka mengatakan:
"Alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam haji
akbar ke Qadiyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadiyan adalah haji yang kering lagi
kasar".
6. Kalau dalam keyakinan umat Islam para nabi dan rasul yang wajib dipercayai hanya 25
orang, dalam ajaran Ahmadiyah Nabi dan Rasul yang wajib dipercayai harus 26 orang,
dan Nabi dan Rasul yang ke-26 tersebut adalah "Nabi Mirza Ghulam Ahmad"
7. Dalam ajaran Islam, kitab samawi yang dipercayai ada 4 buah yaitu: Zabur, Taurat,
Injil dan Al-Qur'an. Tetapi bagi ajaran Ahmadiyah Qadiyan bahwa kitab suci yang wajib
dipercayai harus 5 buah dan kitab suci yang ke-5 adalah kitab suci "Tadzkirah" yang
diturunkan kepada "Nabi Mirza Ghulam Ahmad"
8. Orang Ahmadiyah mempunyai perhitungan tanggal, bulan dan tahun sendiri. Nama
bulan Ahmadiyah adalah: 1. Suluh 2. Tabligh 3. Aman 4. Syahadah 5. Hijrah 6. Ihsan 7.
Wafa 8. Zuhur 9. Tabuk 10. Ikha' 11. Nubuwah 12. Fatah. Sedang tahunnya adalah Hijri
Syamsi yang biasa mereka singkat dengan H.S. Dan tahun Ahmadiyah saat ini adalah
tahun 1373 H.S (1994 M atau 1414 H). Kewajiban menggunakan tanggal, bulan dan
tahun Ahmadiyah tersendiri tersebut di atas perintah khalifah Ahmadiyah yang kedua
yaitu Basyiruddin Mahmud Ahmad
9. Berdasarkan firman "tuhan" yang diterima oleh "nabi" dan "rasul" Ahmadiyah yang
terdapat dalam kitab suci "Tadzkirah" yang artinya: "Dialah tuhan yang mengutus
rasulnya "Mirza Ghulam Ahmad" dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar
Dia memenangkannya atas segala agama-agama semuanya.("kitab suci Tadzkirah" hal.
621)
10. Ahmadiyah mempunyai nabi dan rasul sendiri, kitab suci sendiri, tanggal, bulan dan
tahun sendiri, tempat untuk haji sendiri serta khalifah sendiri yang sekarang khalifah
yang ke-4 yang bermarkas di Inggris bernama: Thahir Ahmad. Semua anggota
Ahmafiyah di seluruh dunia wajib tunduk dan taat tanpa reserve pada perintah dia. Orang
di luar Ahmadiyah adalah kafir dan wanita Ahmadiyah haram kawin dengan laki-laki di
luar Ahmadiyah. Jika tidak mau menerima Ahmadiyah tentu mengalami kehancuran
11. Berdasarkan "ayat" kitab suci Ahmadiyah "Tadzkirah" bahwa tugas dan fungsi Nabi
Muhammad saw sebagai nabi dan rasul yang dijelaskan oleh kitab suci umat Islam Al-
Qur'an, dibatalkan dan diganti oleh "nabi" orang Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad
11.1. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab suci'Tadzkirah" ini dekat dengan Qadiyan-India. Dan dengan
kebenaran Kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun." ("kitab suci"
Tadzkirah hal.637.)
11.2. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Katakanlah-wahai Mirza
Ghulam Ahmad-jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku" ("kitab suci"
Tadzkirah hal. 630)
11.3. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah Artinya: "Dan Kami tidak mengutus
engkau-wahai Mirza Ghulam Ahmad-kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam".
(kitab suci "Tadzkirah" hal. 634)
11.4. Firman "tuhan" dalam kitab suci "Tadzkirah": Artinya: "Katakan wahai Mirza
Ghulam Ahmad-sesungguhnya aku ini manusia biasa seperi kamu, hanya diberi wahyu
kepadaku".("kitab suci Tadzkirah hal. 633)
11.5. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu - wahai Mirza Ghulam Ahmad - kebaikan yang banyak" ("kitab
suci" Tadzkirah hal.652)
11.6. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah
menjadikan engkau - wahai Mirza Ghulam Ahmad - imam bagi seluruh manusia" ("kitab
suci" Tadzkirah hal. 630)
11.7. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" "Tadzkirah": Artinya: "Oh, pemimpin sempurna,
engkau - wahai Mirza Ghulam Ahmad - seorang dari rasul, yang menempuh jalan betul,
diutus oleh Yang Maha Kuasa, Yang Rahim" ("kitab suci" Tadzkirah hal. 658-659)
11.8. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya pada malam lailatul qadr" (kitab suci Tadzkirah hal. 519)
11.9. Firman "tuhan" dalam "kitab suci" Tadzkirah: Artinya: "Dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar tetapi Allah-lah yang melempar. (Tuhan) Yang Maha
Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur'an" ("kitab suci" Tadzkirah hal.620)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang dibajaknya. Ayat-ayat "kitab
suci" Ahmadiyah Tadzkirah yang dikutip di atas, adalah penodaan dan bajakan-bajakan
dari kitab suci Umat Islam Al-Qur'an. Dan Mirza Ghulam Ahmad mengaku pada
umatnya -orang Ahmadiyah-bahwa ayat-ayat tersebut adalah wahyu yang dia terima dari
"tuhannya" di INDIA.
12.1 Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sbb:
PASAL 56 a: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
12.2 Surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/BA.01/3099/84 tanggal
20 September 1984, a.l.: 2. Pengkajian terhadap aliran Ahmadiyah menghasilkan bahwa
Ahmadiyah-Qadiyan dianggap menyimpang dari Islam karena mempercayai Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Nabi, sehingga mereka percaya bahwa Nabi Muhammad saw
bukan nabi terakhir.
13.2. Brunei Darussalam juga telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Brunei
Darussalam.
13.3. Rabithah `Alam Islami yang berkedudukan di Makkah telah mengeluarkan fatwa
bahwa Ahmadiyah adalah KAFIR dan KELUAR DARI ISLAM.
13.4. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah
adalah KAFIR dan TIDAK BOLEH pergi haji ke Makkah.
14. K E S I M P U L A N
a. Ahmadiyah sebagai perkumpulan atau jemaat didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di
Qadiyan - I N D I A (sekarang Pakistan) tahun 1889, yang karena perbedaan pandangan
tentang penerus kepemimpinan dalam Ahmadiyah dan ketokohan pendirinya berkembang
dua aliran, yaitu Anjuman Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadiyan) dan Anjuman Ishaat Islam
Lahore (Ahmadiyah Lahore). Kedua aliran tersebut mengakui kepemimpinan dan
mengikuti ajaran serta paham yang bersumber pada ajaran Mirza Ghulam Ahmad.
b. Jemaat Ahmadiyah masuk dan berkembang di Indonesia sejak tahun 1920-an dengan
menamakan diri Anjuman Ahmadiyah Qadiyan Departemen Indonesia dan kemudian
dinamakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dikenal dengan Ahmadiyah
Qadiyan, dan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GIA) yang dikenal dengan
Ahmadiyah Lahore.
c. Mirza Ghulam Ahmad mengaku telah menerima wahyu, dan dengan wahyu itu dia
diangkat sebagai nabi, rasul, al-Masih Mau`ud dan Imam Mahdi. Ajaran dan faham yang
dikembangkan oleh pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia khususnya terdapat
penyimpangan dari ajaran Islam berdasarkan Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menjadi
keyakinan umat Islam umumnya, antara lain tentang kenabian dan kerasulan Mirza
Ghulam Ahmad sesudah Rasulullah saw.(BALITBANG DEPAG RI, Jakarta, 1995 hal.
19, 20,21)
PENUTUP
Sebagai penutup brosur ini, kami kutip sebuah ayat Al-Qur`an yang mengancam orang
yang mengaku menerima wahyu serta menulis kitab dengan tangannya sendiri, kemudian
dikatakannya dari Allah swt dengan dusta yang amat keji seperti yang dilakukan oleh
"nabi" Mirza di atas. Allah swt berfirman:
"Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan
mereka sendiri lalu dikataknnya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaanlah bagi mereka, akibat
dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka
akibat dari apa yang mereka kerjakan. " (Q.S. Al-Baqarah 79)
Catatan : Apabila PB Ahmadiyah berkeberatan dengan isi brosur ini, alangkah baiknya
diselesaikan melalui debat terbuka yang disaksikan oleh umat.
Sumber: Buletin LPPI. Masjid Al-Ihsan Lt.III Proyek
Pasar Rumput Jakarta 12970 Telp/Fax. (021)8281606
Catatan kaki:
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240
--------------------------------------------------------------------------------
Apa itu Ahmadiyah?
Ahmadiyah adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900 M, yang dibentuk oleh
pemerintah kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum muslimin dari
agama Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran/bentuk khusus, sehingga tidak
lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan ini
dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah "majalah
al-Adyan" yang diterbitkan dengan bahasa Inggris.
Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka. Sehingga dia dan pengikutnya
pun memperlihatkan loyalitas kepada pemerintah Inggris.
Di antara yang melawan dakwah Mirza Ghulam adalah Syaikh Abul Wafa', seorang
pemimpin Jamiah Ahlul Hadits di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza
Ghulam, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan
pengakuannya.
Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran,
Syaikh Abul Wafa' mengajaknya bermubahalah (berdoa bersama), agar Allah mematikan
siapa yang berdusta di antara mereka, dan yang benar tetap hidup. Tak lama setelah
bermubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908 M.
Pada awalnya Mirza Ghulam berdakwah sebagaimana para dai Islam yang lain, sehingga
berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia
mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaharu). Pada tahap berikutnya
dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu
mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari
kenabian nabi kita Muhammad SAW.
Dia mati meninggalkan lebih dari 50 buku, buletin serta artikel hasil karyanya.
Di antara kitab terpenting yang dimilikinya berjudul Izalatul Auham, I'jaz Ahmadi,
Barohin Ahmadiyah, Anwarul Islam, I'jazul Masih, at-Tabligh dan Tajliat Ilahiah.
1Rasulullah SAW mengabarkan bahwa di akhir zaman nanti -sebelum terjadinya kiamat-
Allah SWT akan mengutus al-Masih (Nabi Isa) ke bumi untuk memerangi Dajjal. Mirza
Ghulam tanpa rasa malu mengklaim bahwa dirinyalah Nabi Isa yang ditunggu
kedatangannya itu. Bukan hanya itu, dia juga mengaku sebagai Imam Mahdi.
Diambil dari http://forsitek.brawijaya.ac.id.[]
Pengikut Ahmadiyah tidak mau bergabung dengan kaum muslim. Mereka tidak mau
menjadi makmum jika iman dalam salat tidak dari kalangannya sendiri. Bahkan mereka
tidak menjalankan salat Jumat.
Hazmi Hamzar mengemukakan, penyimpangan dari ajaran Islam tersebut sudah jelas
menunjukkan Ahmadiyah sebagai aliran yang bisa meresahkan masyarakat.
Diambil dari http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2002/9/13/nt1.htm
Di antara kitab terpenting yang dimilikinya berjudul Izalatul Auham, I'jaz Ahmadi,
Barohin Ahmadiyah, Anwarul Islam, I'jazul Masih, at-Tabligh dan Tajliat Ilahiah.
Pemikiran dan Keyakinan Ahmadiyah
1. Meyakini bahwa Mirza Ghulam adalah al-masih1 yang dijanjikan.
2. Meyakini bahwa Allah berpuasa dan melaksanakan shalat; tidur dan mendengkur;
menulis dan menyetempel; melakukan kesalahan dan berjimak. Maha tinggi Allah
setinggi-tingginya dari apa yang mereka yakini.
3. Keyakinan Ahmadiyah bahwa tuhan mereka adalah Inggris, karena dia berbicara
dengannya menggunakan bahasa Inggris.
4. Berkeyakinan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan
memberikan wahyu dengan diilhamkan sebagaimana al-Qur'an.
5. Menghilangkan aqidah/syariat jihad dan memerintahkan untuk mentaati pemerintah
Inggris, karena menurut pemahaman maereka pemerintah inggris adalah waliul amri
(pemerintah Islam) sebagaimana tuntunan Al-Qur'an
6. Seluruh orang Islam menurut mereka kafir sampai mau bergabung dengan Ahmadiyah.
Seperti bila ada laki-laki atau perempuan dari golongan Ahmadiah yang menikah dengan
selain pengikut Ahmadiyah, maka dia kafir.
7. Membolehkan khamer, opium, ganja, dan apa saja yang memabukkan.
8. Mereka meyakini bahwa kenabian tidak ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad
akan tetapi terus ada. Allah mengutus rasul sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Dan Mirza
Ghulam Ahmad adalah nabi yang paling utama dari para nabi yang lain.
9. Mereka mengatakan bahwa tidak ada al-Qur'an selain apa yang dibawa oleh Mirza
Ghulam Ahmad. Dan tidak ada al-Hadits selain apa yang disampaikan di dalam majelis
Mirza Ghulam. Serta tidak ada nabi melainkan berada di bawah pengaturan Mirza
Ghulam Ahmad.
10. Meyakini bahwa kitab suci mereka diturunkan (dari langit), bernama `Al-Kitab al-
Mubin', bukan al-Qur'an al-Karim yang ada di tangan kaum muslimin.
11. Mereka meyakini bahwa al-Qadian (tempat awal gerakan ini) sama dengan Madinah
al-Munawarrah dan Mekkah al-Mukarramah; bahkan lebih utama dari kedua tempat suci
itu, dan suci tanahnya serta merupakan kiblat mereka dan ke sanalah mereka berhaji.
12. Mereka meyakini bahwa mereka adalah pemeluk agama baru yang independen,
dengan syariat yang independen pula; seluruh teman-teman Mirza Ghulam sama dengan
sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ahmadiyah adalah kelompok sesat yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Aqidah
(keyakinan) mereka berbeda dengan keyakinan agama Islam dalam segala hal. Kaum
muslimin perlu diperingatkan atas aktifitas mereka, setelah para ulama Islam
memfatwakan bahwa kelompok ini kufur.
Diambil dari http://www.harianbangsa.com.
--------------------------------------------------------------------------------
Dr. Khaled Abou El Fadl:
Hak Asasi Manusia di atas Hak Asasi Tuhan
Dalam persepsi umum umat Islam, hak asasi manusia tak boleh melanggar hak asasi
Tuhan. Ketika sekelompok orang dianggap sesat dan mengancam kemurnian akidah
Islam, hak-hak mereka yang asasi tidak lagi layak diindahkan. Benarkah demikian?
Berikut perbincangan Novriantoni dan Ramy El Dardiry dari Jaringan Islam Liberal (JIL)
dengan Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam di Fakultas Hukum di
UCLA, Amerika Serikat, yang sedang berkunjung di Indonesia.
JIL: Dr. Khaled, aksi bom bunuh diri nampaknya kini menjadi tren umat Islam. Hashem
Saleh menyebut umat Islam kini fokus pada kamikaze kematian, bukan kamikaze
kehidupan. Komentar Anda?
KHALED ABOU EL FADL: Pertama, saya menolak tren tersebut disangkutkan dengan
konsep jihad. Pengertian jihad berbeda sekali dengan tren-tren bom bunuh diri sekarang.
Jihad juga berbeda dengan gagasan perang suci di masa Perang Salib yang berkembang
dari doktrin penyucian diri dengan menumpahkan darah atau membunuh nyawa. Pada
konsep perang suci, pembunuhan dianggap mekanisme mendekatkan diri pada Tuhan.
Dengan itu, Yesus menjadi rela, dan perang dianggap suci. Apapun kebengisan yang
terjadi dalam peperangan lalu tidak dianggap nista dan bagian dari barbarisme.
Pengertian jihad berbeda, karena selalu mengandalkan kekuatan dakwah dan tidak
mendendam orang yang tidak memerangi kita. Dalam jihad, Anda tidak boleh berpretensi
untuk menjadi penghancur atau menjadikan lawan tumbal untuk keinginan Tuhan. Dalam
konsep jihad, perang selalu dipandang buruk (syarr), atau pun keburukan yang tidak bisa
dihindari lagi (syarrun dlarûrî). Ia perlu dihindari (kurhun). Ia hanya bisa dibenarkan
untuk melepaskan diri dari tirani yang tidak lagi memberi kesempatan untuk menyebut
nama Tuhan, atau upaya membela diri kita dari serangan-serangan. Itulah konsep jihad.
Konsep jihad dengan bom bunuh diri, saya kira lebih terkait dengan persoalan modern,
bukan berakar dari khazanah moderasi Islam. Secara psikologis, fantasi tentang hidup
yang kekal di akhirat memang ikut memberi nyali bagi para pembunuh itu. Kritik saya,
konsep jihad yang diterapkan sekarang telah mengabaikan prasyarat Qur’an tentang
persiapan segala sesuatu secara cermat. Tujuannya juga bukan untuk membebaskan
(fath). Konsep fath itulah yang tidak kita lihat kini. Yang ada hanya gagasan untuk
membuat kekacauan, yang seakan-akan dengan itu dapat melawan dominasi Barat. Di
sini kita dapat melihat perbedaan antara konsep jihad bersendi pada prinsip-prinsip moral,
dengan ideologi bunuh diri-ofensif yang lebih banyak dipengaruhi ideologi revolusioner
tahun 1960-an.
JIL: Jadi Anda menolak tren bom bunuh diri dikaitkan dengan konsep jihad dalam Islam?
Poinnya bukan pada bom bunuh dirinya, tapi pembunuhan tanpa membedakan antara
agresor (muhârib) dengan bukan agresor (ghaira muharib). Padahal, dalam fikih itu
disebut qatlul ghîlah (pembunuhan serampangan) yang diharamkan. Qatlul ghilah lebih
luas berarti membunuh tanpa memberi kesempatan pada si objek untuk membela dirinya,
atau yang tidak mampu mencegah tertumpahnya banyak darah. Dalam buku-buku fikih,
khususnya pada bahasan tentang peperangan (hirâbah), Anda akan dipertemukan dengan
banyak sekali etika-etika yang perlu diperhatikan. Misalnya soal memberi peringatan
pada musuh, dan etika menyikapi tawanan. Kita dilarang membunuh tawanan, anak-anak,
perempuan, dan orang tak berdaya. Pandangan sovinistik kini betul-betul merasuki
ideologi jihad. Anak-anak muda yang melakukan bom bunuh diri itu sedang berfantasi
soal perlawanan atas Barat, dan mengkafirkan banyak sekali umat Islam.
Kita melihat itu sangat jelas pada kasus pembunuhan Duta Besar Mesir di Irak, dan
penyerangan yang bekali-kali atas kelompok Syiah. Saya kira, semua itu bagian dari pola
pikir Wahabisme yang melihat Syiah telah keluar dari Islam dan halal diperangi. Orang-
orang seperti Abdurrahman al-Zarqawi mengafirkan semua orang Islam, dan
menghalalkan pembunuhan itu dengan alasan mereka murtad. Saya kira, ia tidak pernah
membuka buku fikih tentang teori perbauran (nazariyyat tatharrus). Artinya, ketika
musuh berbaur dengan umat Islam, apakah dibolehkan membunuh mereka untuk sampai
pada musuh?
Saya memang tidak memungkiri adanya problem hegemoni Barat. Tapi kita harus
bertanya: apa inti hegemoni itu dan bagaimana negara-negara seperti Cina, Jepang, Iran,
Korsel, Korut, dan Turki (sebagian) mampu keluar dari hegemoni? Kita lupa, senjata
ampuh dan simbol kejayaan masa kini adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Jangan
dilupakan juga membangun sistem bernegara yang tidak korup dan tidak otoriter. Kita
harus memilih antara sistem yang dipimpin seorang despot dan sistem yang
memperhatikan hajat hidup banyak orang. Kita perlu sistem yang memberi akses pada
keluasan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kita perlu sistem yang mampu mengatasi
problem penataan kota, mananggulangi pencemaran lingkungan, mampu menyediakan
sumber air bersih, memenuhi swasembada pangan dan menekan penyebaran penyakit.
Semua itu hanya dijawab oleh teknologi. Saya kira, hegemoni Barat hanya dapat dimulai
dengan memerangi sistem pemerintahan yang korup dan anti ilmu pengetahuan. Kata
khail (kuda perang) yang harus disiapkan untuk memerangi musuh di dalam Alqur’an itu,
kini telah bermakna ilmu pengetahuan dan teknologi. Barangsiapa yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, mereka akan menguasai dunia.
JIL: Bagaimana dengan reformasi agama seperti yang sudah lama didengungkan Afghani
dan Abduh?
Ya, reformasi agama perlu di samping reformasi bidang lain. Di bidang agama,
hendaknya fikih jangan dijadikan instrumen penindasan. Gagasan tentang despotisme
sekali-kali jangan dikukuhkan oleh agama. Buku saya tentang fatwa yang otoritatif dan
otoriter itu maksudnya membendung penyelewengan agama untuk tujuan seperti itu.
Reformasi agama perlu juga melandaskan diri pada mengingat Tuhan. Ini poin yang tidak
sederhana. Banyak yang menganggap kemajuan akan tercapai dengan memperbanyak
kekangan hukum, implementasi syariat atau (lebih tepatnya) sebagian mazhab fikih. Tapi
bagi saya, tiang dan sendi agama adalah mengingat Tuhan, dan itu sangat personal dan
berkaitan dengan moral. Kita harus membiasakan diri hidup dengan ideal-ideal moral.
Semua peradaban tidak bisa tegak di atas fondasi pragmatisme. Setiap peradaban pada
mulanya berdiri pada sebentuk idealisme atau impian-impian. Impian-impian moralis
itulah yang meletakkan diri Anda pada posisi mulia.
Kita juga harus mengarahkan masyarakat pada prinsip kelembutan (al-hilm). Sebuah
peradaban tidak mungkin dibangun di atas fondasi tindak kekerasan. Para pelaku bom
bunuh diri itu keliru bila berkeyakinan akan mampu membangun peradaban dengan cara
pengrusakan. Saya tegaskan, tidak ada peradaban yang dapat dibangun dari tindak brutal
penghancuran. Semua peradaban dibangun atas landasan moral, kegiatan intelektual, dan
inovasi-inovasi. Orang-orang Yunani dulunya sangat cinta akan pengetahuan, dan kini
orang Amerika dan Eropa sangat respek pada ilmu pengetahuan. Dalam batas tertentu,
Jepang juga bersikap sama. Kejayaan peradaban Islam dulunya juga dibangun dengan
landasan pengetahuan. Pendek kata: revolusi pengetahuan. Revolusi pennghancuran tidak
akan pernah membangun peradaban.
Idealisme tidak datang secara kebetulan. Setiap orang yang tekun memperlajari Islam
akan tahu bahwa tujuan utama syariat Islam adalah demi kemaslahatan manusia (li
mashâlihil `ibâd). Artinya, menghargai kemanusiaan atau humanisme. Nilai-nilai
humanis Islam inilah yang perlu digali kembali. Dalam sebuah buku yang ditulis pada
abad ke-3 Hijriah dikatakan, yang mesti dipilih ketika terjadi pertentangan hukum adalah
yang paling manusiawi (arfaq bin nâs). Pemikir Amerika yang bukan muslim, George
Maqdisi telah menulis buku tentang humanisme dalam Islam, The Rise of Humanism in
Islam. Saya puas dengan pendapat Maqsisi tentang humanisme dalam Islam. Dia
mengatakan, peradaban Islam itu pada asalnya bertolak dari gagasan tentang pentingnya
menghargai kemanusiaan atau humanisme; gagasan yang meyakini sisi kemuliaan
manusia sebagai fitrah.
JIL: Tapi humanisme itu sekarang lenyap dalam praktik rezim-rezim di dunia Islam!
Sepanjang peradaban Islam, selalu ada rezim yang bermain-main dengan kekuasaan,
sementara para ulama hanya ingin mendekat pada sumber kekayaan dan tidak melakukan
fungsi kontrolnya. Para ulama hanya berpikir, bila penguasa seakan-akan membela hak
Tuhan, dia sudah cukup diberi pahala. Mereka lupa pentingnya mendesak rezim untuk
menyejahterakan manusia. Padahal sumber-sumber manuskrip fikih abad kedua, tiga, dan
empat Hijriah, jelas-jelas sangat menekankan soal lebih pentingnya memaksimalkan
kemaslahatan manusia. Selain itu, kesantunan juga sudah tidak menjadi nilai penting
dalam Isalam. Sekarang yang dominan adalah kekerasan. Mereka lupa aspek pembebasan
Islam yang merupakan kekuatan Islam berhadapan dengan kesemena-menaan peradaban
sebelumnya seperti peradaban Parsi dan Romawi. Semua pereadaban sebelumnya
berpangkal dari penaklukan dan penjajahan atas fisik dan kejiwaan masyarakat.
Saya akan mengajak untuk membandingkan antara pola pikir kita dengan para ulama
pendahulu kita. Para ulama Islam klasik sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi
manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi
Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan
membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah
lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus lebih
berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi mansusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri
pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang
bersangkutan telah memberi maaf. Seorang khalifah atau penguasa pun tidak berhak
mencabut hak asasi tiap individu, kecuali individu-individu tersebut melanggar hak asasi
orang lain secara paksa. Pendapat Ibnu Arabi, ahli fikih Hanafi yang menulis kitab
Ahkâmul Qur’ân di atas merupakan sesuatu yang menakjubakan karena sudah muncul di
abad ke-4 Hijriah.
Karena itu saya berani mengatakan bahwa; mereka yang mengatakan bahwa kita harus
mendahului hak asasi Tuhan atas hak asasi manusia, sesungguhnya tidak mengerti
khazanah ushul fikih para pendahulu kita. Sejak lama mereka sudah mengatakan, hak
manusia di atas dunia mesti didahulukan daripada hak-hak tuhan (haqqul insân
muqaddam `ala haqqil Ilâh). Kenapa? Sebab Allah pasti mampu membela hak-hak-Nya
di akhirat, sementara manusia harus membela haknya sendiri-sendiri. Beranjak dari
pemahaman seperti itu, saya berani membela siapa saja yang tertindas, baik Muslim,
Kristen, Ahmidi, Baha’i, atau pun Hindu. Sebab segala bentuk penindasan dan
penaklukan atas orang lain adalah bentuk kezaliman, dan setiap muslim hendaknya tidak
berdiam diri ketika melihat kezaliman.
Saya pernah membela hak-hak asasi kaum Ahmadiyah untuk tetap hidup secara
konstitusional. Ketika pembelaan saya berhasil, salah satu dari mereka bertanya, “Apakah
Anda percaya saya masih tetap muslim?” Saya jawab, “Itu bukan urusan saya, karena
sudah menyangkut urusan Tuhan. Saya tidak pernah tahu apa yang ada di kedalaman hati
Anda, dan tak pernah terobsesi untuk memeriksanya.” Saya bertanya balik, “Apakah
wajib bagi saya untuk percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi?” Dia terkejut
dengan pertanyaan itu. Saya lalu tandaskan, “Perkaranya mudah saja. Saya orang Islam
yang tidak percaya pada kenabian Ghulam Ahmad. Kalau Anda percaya bahwa soal
kenabian tidak boleh berhenti, dan meyakini Ghulam Ahmad adalah nabi juga, itu adalah
urusan Anda.” Lalu saya tekankan bahwa saya berbeda pendapat dengan mereka dalam
soal itu sembari berharap Tuhan menerima pendapat mereka dan tak lupa menerima
pendapat saya.
JIL: Apa perlu menganggap suatu aliran sesat atau menyimpang dari Islam?
Bagi saya, tuduhan-tuduhan sesat dan stigmatisasi seperti itu tidak penting lagi di masa
sekarang. Orang Baha’i pernah mengaku Islam, tapi mereka meninggalkan lima rukun
Islam. Karena itu mereka sangat sulit dikategorikan sebagai muslim. Ketika mereka
membuat agama lain, bagi saya itu urusan mereka. Mereka menyembah Tuhan lewat
aliran Baha’i mereka. Soal Tuhan menerima atau tidak cara beragama mereka, itu bukan
urusan saya.
Karena itu, bagi saya penting sekali mengutip kembali ungkapan Ali bin Abi Thalib
untuk menyikapi soal ini. Ali pernah mengatakan, “Ada dua jenis manusia: entah saudara
seagamamu atau saudara seetika (al-nâs shinfânî immâ ikhwânukum fid dîn aw
ikhwânukum fil khuluq).” Dengan kutipan itu saya patut bertanya, di mana letak sikap
tercerahkan seperti Ali itu dalam kenyataan kita sekarang? Saya kira, selama ini kita
selalu mengabaikan ayat-ayat tentang toleransi dan banyak yang tidak mau
membicarakan atau menyebarkannya. Padahal di situlah terkandung kekuatan Islam
secara moral.
JIL: Tapi ulama-ulama Indonesia merujuk Pakistan dan Arab Saudi dalam menyikapi
kasus Ahmadiyah. Bagi mereka, menoleransi “aliran sesat” adalah bagian dari nilai-nilai
Barat yang permisif atas segala sesuatu!
Sanggahannya adalah dengan membaca sejarah Islam secara utuh. Buku Maqâlâtul
Islâmiyyîn karangan al-Asy`ari telah memberi tahu kita tentang banyak kelompok dalam
Islam. Dalam serajah Islam, kelompok Druz tetap dibolehkan hidup di dunia Islam. Kalau
Ahmadiyyah masih salat, puasa, dan mengucap syahadat, orang-orang Druz tidak lagi
melakukan itu semua. Mereka tetap diperkenankan hidup di jantung kekhilafahan.
Kelompok Nushairiyyun jauh lebih buruk lagi. Mereka percaya bahwa Ali bin Abi Thalib
adalah Tuhan dan juga konsep Trinitas. Mereka berpandangan bahwa malaikat Jibril
sebetulnya ingin menyampaikan wahyu kepada Ali, namum keliru dan jatuh ke tangan
nabi Muhammad. Ketika tahu keliru, ia enggan mengoreksi kesalahannya.
Nah, kita bisa mengatakan mereka telah berada pada puncak kekafiran. Meski demikian,
mereka tetap tidak ditindas dan tidak diperangi. Sebagian dari mereka masih hidup
sampai sekarang namun tetap menjadi kelompok kecil yang tersudut. Bagi saya, sikap
arif yang perlu ditempuh ulama Islam masa kini adalah respon pemikiran. Para ahli fikih
dan teologi masa lampau seperti al-Juwaini, al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan lain-lain,
semua menulis buku untuk menyanggah kelompok-kelompok yang dianggap sesat.
JIL: Tapi itu tidak cukup bagi mereka. Dengan dalih membendung akidah umat, mereka
berambisi untuk melenyapkannya!
Tahukah Anda apa akibatnya bila Indonesia mengikuti langkah Saudi atau Pakistan?
Tahukah Anda bahwa Ahmadiyah tetap berkembang, bahkan di Pakistan lebih pesat lagi
setelah dilarang? Itu semua pantulan balik dari politik penindasan. Ingatlah, pada
dasarnya watak manusia selalu bersimpati pada pihak yang tertindas. Karena itu,
perkembangan pesat Ahmadiyah itu bukan karena doktrin-doktrinnya memuaskan, tapi
karena besarnya simpati masyarakat pada nasib mereka.
Di Arab Saudi, sampai kini aliran-aliran yang dianggap menyimpang tetap hidup
sekalipun tidak muncul ke permukaan. Saya pernah menangis ketika bertemu dengan
beberapa kelompok yang menganut paham-paham yang tidak masuk akal. Semua itu
tetap bisa berkembang di dua tempat suci, Mekkah dan Madinah. Mereka semua bergerak
di bawah tanah. Bagi saya, solusinya justru sebaliknya: adakan dialog terbuka dan dengan
kepala dingin. Saya memang perlu menekankan bahwa toleransi memang tidak menuntut
Anda untuk menjadi relativis tulen dengan menyebut semuanya benar. Toleransi berarti
saya berpendapat seperti ini dan saya yakin itu benar. Kalau Anda berpendapat
sebaliknya, saya tidak mesti percaya dan saya tidak akan menyerang Anda.
JIL: Anda berpendapat kita sangat mungkin mencari fondasi dasar pluralisme dan
toleransi dari dasar-dasar ajaran Islam. Bisa dijelaskan?
Ya. Sebetulnya, kita tidak lagi membutuhkan sekularisme jika mampu menunjukkan dan
mengukuhkan gagasan-gagasan tentang toleransi dan humanisme dari khazanah Islam.
Problemnya, selama ini kita menyaksikan umat Islam betul-betul telah tercerabut dari
akar budaya intelektual mereka. Saya tidak banyak membaca khazanah-khazanah
kemanusiaan Yahudi, Kristen, Hindu, dan Budha. Saya bersusah payah menguasai bahasa
Ibrani untuk dapat membaca Talmud dalam bahasa Ibrani. Saya juga berusaha membaca
Bibel dengan bahasa Latin dan belajar bahasa Aram untuk mampu membacanya dalam
bahasa aslinya. Kesimpulan saya, di setiap kitab suci itu selalu ada sesuatu yang
manusiawi dan amanusiawi. Ini adalah cara Tuhan untuk menguji kematangan kita.
Fitrah dan akal manusia lah yang berkewajiban membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk; apa yang harus diambil dan mana yang harus dicampakkan. Kalau kita mau
mengikuti watak setan, kita bisa mengambil sisi yang buruk dari kitab suci seperti
mengagung-agungkan pembunuhan dengan mengadopsi kisah Daud di Bibel. Bagi saya,
itu kisah amat sadis. Tapi apakah orang Barat lalu membangun peradabannya dengan
mengadopsi hal-hal seperti itu ? Mereka bisa saja melakukan itu, tapi mereka tidak
melakukannya. Mereka justru memilih bagian yang manusiawi dari khazanah peradaban
mereka, dan di atas sendi-sendi kemanusiaan itulah mereka mendirikan peradaban
mereka.
Setiap peradaban, pada mulanya berdiri di atas sendi-sendi moral agama. Kita tahu
sejarah hukum natural yang menjadi landasan hak asasi manusia. Ia muncul seratus
persen dari para pemikir agama. Mereka memokuskan pembahasan mereka pada aspek-
aspek yang positif dari khazanah masa lampau mereka, lalu memodifikasi. Dalam
beberapa segi, pikiran-pikiran mereka menyerupai pemikiran kaum Muslim klasik.
Thomas Aquinas pernah ditanya tentang prinsip moral yang paling utama di dunia? Dia
menjawab dengan konsep menyeru kebajikan, membendung kemunkaran. Kita bisa
menyebut itu jelas-jelas pengaruh khazanah Islam. Tapi itu dikarenakan Aquinas
menjadikan Ibn Rusyd sebagai referensi. Ketika dia harus memilih antara antara Ibnu
Sina atau Ibnu Rusyd, dia lebih memilih Ibnu Rusyd. Dari konsep amar makruf nahi
munkar itu, Aquinas lalu merumuskan gagasannya tentang hak-hak natural dalam Summa
Theologica. Setelah itu datang antrean pemikir beragama yang melengkapi pemikiran-
pemikirannya yang humanis.
Pemikiran Islam di masa klasik juga sudah mengaitkan antara gagasan tentang hak asasi
manusia dengan konsep fitrah. Dalam bukunya al-Wajîz, Imam al-Juwaini mengatakan
bahwa penghargaan atas kemanusiaan merupakan fitrah yang dititipkan Allah pada
manusia. Dan atas landasan itulah Abu Hanifah cepat-cepat membebaskan budaknya
yang bernama Halimah. Di sini tampak jelas bagaimana al-Juwaini mengaitkan antara
gagasan tentang penghormatan terhadap hak asasi manusia dengan konsep fitrah. Ini
artinya, Anda harus tetap menghargai hak asasi manusia.
JIL: Jadi sisi humanis Islam itulah yang mestinya lebih ditonjolkan sekarang ini?
Akar idealisme kemanusiaan Islam saya kira perlu kita singkap lagi untuk menbangun
peradaban Islam. Kita tidak boleh terjebak pada pilihan tunduk buta (at-tab`iyah al-
`amyâ) pada Barat atau pun penolakan buta (al-rafdhiyyah al-`amyâ), sehingga tidak lagi
mampu melihat manfaat sesuatu bagi kemanusiaan, semata-mata karena ia berasal dari
Barat.
Bagi saya, para pelaku bom bunuh diri yang katanya menentang Barat itu sedang
berfantasi akan diterima secara ramah di hadirat Tuhan karena sudah putus asa
menghadapi dunia yang sulit ditaklukkan. Ini adalah bentuk nyata rasa frustrasi kaum
kriminil (ya’sun ijrâmî). Mereka tidak mau bersusah payah untuk belajar, membaca, dan
membuat inovasi-inovasi. Semua itu mereka anggap susah. Apa yang gampang?
Meledakkan diri, pergi menuju Tuhan sembari menghibur diri akan diberi ganjaran surga.
Karena itu, bagi saya tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan
oleh orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan
menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat, berargumen, apalagi
berdialog. Sebagai orang Islam, kita terlampau bernyak berkeluh kesah. Kita merengek
karena terzalimi dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Pertanyaan saya: apa yang
sudah Anda lakukan sehingga layak diberi kehormatan oleh Tuhan? Apakah kita sudah
mencintai ilmu pengetahuan sehingga Allah tetap merendahkan martabat kita?
Demam keluh kesah disertai rasa malas yang sangat merupakan virus yang saat ini
menggerogoti seluruh tubuh umat Islam. Kita hanya ingin memperbudak orang lain,
sementara Allah tidak pernah akan menolong orang yang suka memperbudak orang lain.
Kita hanya merusak tatanan dunia, sementara Tuhan tidak menyukai itu. Kita membuat
hukum tapi bukan hukum yang membela kezaliman dan mereka yang ditindas. []
AQIDAH GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA
(AHMADIYAH LAHORE)
1. Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an
dan Hadits, dan percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama
salaf dan ahlus-sunnah wal-jama’ah, dan yakin bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah
nabi yang terakhir.
3. Sesudah Nabi Suci Muhammad saw., malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu
nubuwat kepada siapa pun.
4. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja
kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa
khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat.
5. Sesudah Nabi Muhammad saw. silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi
silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar.
6. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw., bahwa di dalam umat ini tetap akan datang
auliya Allah, para Mujaddid dan para Muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
7. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadits,
mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid.
8. Percaya kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan
Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Hazrat Mirza Ghulam
Ahmad tidak bisa disebut kafir.
9. Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut
kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan
maksiat, tidak bisa disebut kafir.
10. Kami berpendapat bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan
pengemban misi Nabi Suci Muhammad saw.
Hadist
- Zainab binti Jahsyi r.a. menceritakan bahwa suatu kali Nabi Suci saw. bangun tidur
dengan muka merah. Beliau bersabda:”Tiada Tuhan selain Allah. Malang bangsa Arab,
disebabkan bahaya yang hampir terjadi. Di hari ini telah terbuka tembok Yakjuj dan
Makjuj, serupa ini.” Sufyan yang meriwayatkan Hadits mengisyaratkan dengan jarinya
sembilan puluh atau seratus. Ada orang bertanya: “Binasakah kami, sedangkan di antara
kami masih ada orang-orang yang baik?” Jawab Nabi saw.:”Ya, binasa! Apabila banyak
yang buruk.” (H.r.Imam Bukhari)
- Abu Sa'id Khudri dinyatakan :"Wahai Rasulullah! Siapakah yang paling mulia diantara
manusia?" Rasulullah saw. bersabda : "Orang mukmin yang berjihad di jalan Allah
dengan dirinya dan hartanya." (Bukhari 56:2).
Qur'an
- “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan ingat yang sebanyak-
banyaknya. Dan Maha-sucikanlah Dia pada waktu pagi dan petang. Dia ialah yang
mengaruniakan rahmat kepada kamu, (demikian pula) Malaikat-Nya, agar Ia
mengeluarkan kamu dari gelap ke terang. Dan Dia senantiasa yang Maha-kasih kepada
kaum Mukmin. Penghormatan mereka pada Hari Pertemuan dengan-Nya ialah Damai!
Dan Ia menyiapkan bagi mereka ganjaran yang mulia”. (Q.s. Al-Ahzab, 33:41)
Dajjal, dalam interpretasi Ahmadiyah, adalah aspek teologi Yakjuj dan Makjuj, yakni
bangsa-bangsa Barat, dengan ciri utamanya materialistik. Itulah makanya, dalam Hadits
dikatakan bahwa Dajjal sebelah matanya (kanan) buta, sedang mata kirinya cemerlang.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa Dajjal adalah pola hidup materialisme, yang
memang tidak selaras dengan ajaran Islam yang spiritualistik.
Sebuah Hadits mengatakan bahwa fitnah terbesar sejak diciptakannya Adam sampai hari
Kiamat adalah fitnahnya Dajjal. Ini artinya, materialisme telah menyebabkan orang lupa
pada tujuan hidup yang sebenarnya, kecuali sekedar kenikmatan duniawi. Jika
materialisme dibiarkan merajalela, maka derajat dan martabat manusia sebagai ciptaan
Allah yang terbaik (ahsani taqwiim) menjadi rendah. Materialisme membawa implikasi
buruk, yakni penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, yakni kenikmatan duniawi.
Jika demikian, apa yang membedakan manusia dengan binatang? Jadi membunuh Dajjal,
tidak lain adalah menghindarkan kaum Muslimin dari pengaruh materialisme dan
mengembalikannya kepada spiritualisme.
Diakui atau tidak, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad telah berhasil mengidentifikasi sosok
Dajjal dan Yakjuj dan Makjuj, yakni bangsa-bangsa Barat, paling tidak dalam perspektif
waktu itu, dengan teologi kekristenannya. Tidak bisa dipungkiri, kaum Muslimin telah
terjerat dalam fitnahnya Dajjal sedemikian rupa sehingga spiritualistas Islam menjadi
terabaikan. Islam telah berubah menjadi sistem ritual yang formalitas dan kosong.
Akibatnya, umat Islam dengan mudah dapat didominasi oleh bangsa-bangsa Barat,
karena tidak memiliki ketahanan spiritual yang memadai.
Kemudian tentang tugas Almasih sebagai hakim yang adil, ini menunjukkan bahwa
Almasih akan berdiri di tengah-tengah berbagai golongan. Suatu kenyataan yang kita
saksikan, manusia terpisah-pisah dalam banyak golongan. Di dalam umat Islam sendiri,
juga terdapat sekat-sekat ideologi paham keagamaan yang bermacam-macam, yang
masing-masing mengklaim sebagai kelompok yang paling benar dan menganggap
golongan lain salah. Pada umumnya, penggolongan tersebut pada awalnya disebabkan
oleh masalah-masalah fiqiyah. Oleh karena itu, dalam hal ini, Almasih tidak memihak
pada salah satu golongan fiqih, melainkan bersikap toleran dan akomodatif.
Tentang adanya kenyataan umat Islam terpecah-pecah dalam banyak kelompok, tentu
sangat melemahkan potensi umat Islam sendiri. Bukan berarti umat Islam harus bersatu
dalam satu paham keagamaan, atau dengan kata lain, tidak boleh berbeda-beda pendapat
tentang berbagai hal, tetapi yang terpenting adalah sikap terhadap berbagai perbedaan itu.
Untuk menyatukan dalam satu pikiran dari milyaran umat Islam, tentu usaha yang
mustahil dan sia-sia. Tetapi menyatukan seluruh kaum Muslimin menjadi satu keluarga
besar dengan masing-masing golongan dan individu saling memahami perbedaan-
perbedaan yang ada, bukan saja sangat mungkin, tetapi kalau kita mencermati
perkembangan keadaan, menunjukkan gejala ke arah sana. Sikap lapang dada dan
toleransi, mau tidak mau, telah menjadi tuntutan zaman sekarang, dan kedua sikap inilah
yang sekarang sedang berkembang dan dikembangkan oleh hampir semua golongan
dalam Islam. Sebagai contoh adalah sikap kaum Muslimin pada umumnya terhadap
Ahmadiyah Lahore. Dalam buku-buku terbaru yang ditulis oleh para sarjana belakangan
ini telah menempatkan Ahmadiyah Lahore sebagai bagian dari Islam, yang sebelumnya
dianggap kelompok minoritas non-Islam, dengan tetap mengakui adanya sejumlah
perbedaan.
Agaknya tidak bisa dipungkiri bahwa secara faktual Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pernah
mengaku nabi. Tetapi tidak boleh diabaikan pula adanya fakta lain bahwa pengakuan itu
telah diralat atau lebih tepatnya dijelaskan oleh beliau. Singkatnya, pengakuan sebagai
nabi hanya dalam arti harfiah, bukan dalam pengertian istilah atau syari'ah. Begitu pun,
jika prang masih merasa keberatan dengan kata itu (Nabi), hendaknya diganti dengan
muhaddats.
Ada ilustrasi sebagai berikut. Seorang intelek, mana kala harus berbicara dengan orang
awam, maka ia harus menggunakan bahasa orang awam. Sama dengan ketika orang
dewasa harus berkomunikasi dengn seorang bocah, maka ia juga harus menggunakan
bahasa kanak-kanak. Ada contoh yang menarik. Seseorang yang saya tahu kurang
terpelajar memberikan komentar terhadap berita radio yang mengatakan seorang pejabat
tinggi diseret ke pengadilan karena tindak kejahatannya. Pemahaman orang ini, pejabat
tinggi itu benar-benar diseret seperti ia menyeret kambing yang memberontak atau
menyeret pelepah kelapa kering. Saya merasa perlu menjelaskan bahwaa yang dimaksud
adalah : pejabat tinggi itu dibawa ke sidang pengadilan, dengan tetap naik mobil dan
dikawal petugas.
Kembali pada pokok pembicaraan, bahwa di dunia sufi, penggunaan kata nabi dan wahyu
bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Allah, adalah
sangat biasa dan sudah menjadi pengertian umum. Tetapi istilah ini menjadi asing di
telinga dan pemahaman orang yang tidak berada atau tidak memahami dunia sufi.
Pertanyaannya adalah: Apakah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seorang sufi? Kalau orang
mau jujur memperhatikan kebersahajaan pola hidupnya, ketinggian ruhaninya dan
kemampuan spiritualnya, maka akan berkesimpulan bahwa beliau adalah orang yang
menempuh jalan sufi. Beliau telah mengorbankan segala yang beliau miliki untuk
menegakkan kebenaran Islam. Beliau benar-benar mengesampingkan kehidupan duniawi
(materi), dalam arti, usahanya bukan untuk memperoleh kebesaran duniawi, melainkan
sepenuhnya untuk menegakkan Kedaulatan Ilahi. Boleh jadi pernyataan semacam itu
terkesan berlebihan bagi sebagian orang. Tetapi kalau kita memahami kondisi umat Islam
pada saat itu, kesan berlebihan itu tidak akan muncul. Lihat saja Maulvi Muhammad
Husein, seorang pemimpin golongan Ahli Hadits, yang memberikan apresiasi begitu
tinggi kepada beliau, kendati dalam sejumlah masalah keagamaan, keduanya
berseberangan. Dalam mengomentari buku Barahini Ahmadiyah yang ditulis oleh Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad, beliau mengatakan dalam majalah Isha'at al-Sunnah, vol. 7, Juni -
November, 1884, sbb.:
"Pada hemat kami, buku ini belum pernah ditulis oleh kalangan Islam pada abad sekarang
dan entahlah untuk masa yang akan datang. Semoga Allah setelah ini berkenan
menganugerahkan peristiwa lain yang menggembirakan. Penulis buku ini telah
membuktikan keteguhannya dalam membela Islam, baik dengan harta, pena, lisannya,
dan pengalaman agama pribadinya yang demikian luas sehingga jarang sekali teladan
serupa ini ditemukan di antara kaum Muslimin sebelumnya. Apabila ada orang yang
menganggap bahwa perkataan kami ini berlebihan sebagaimana halnya kebiasaan orang
asia, maka suruhlah ia menunjukkan pada kami paling sedikit satu dari buku serupa ini
yang memuat bantahan yang kuat dan tegas terhadap semua golongan yang menentang
islam, khususnya orang pembela perkara Islam yang di samping membela perkara Islam
dengan hartanya, jiwanya, penanya, lisannya, dan juga telah maju ke depan dengan
pengalaman agamawinya menghadapi penentang Islam dan para penolak wahyu. Selain
itu, hendaknya dengan jantan menantang bahwa barangsiapa meragukan kebenaran
wahyu, maka dipersilakan datang kepadanya untuk menyaksikan kebenaran. Dan hal
inilah yang membuat orang non-Muslim merasakan kebenaran Islam."
Klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan penggenapan sabda Nabi Suci Muhammad saw.
Dalam sejarah kenabian, agaknya tidak ada seorang nabi pun yang pada awalnya tidak
dimusuhi atau bahkan ditolak oleh kaummnya. Nabi Ibrahim, misalnya, beliau harus
menjalani penganiayaan dengan cara dibakar. Nabi Musa, juga dikejar-kejar. Nabi Isa,
harus menjalani penyaliban (masalah ini akan dibahas tersendiri --pen.), Nabi
Muhammad saw., bahkan sampai pada tingkat akan dibunuh. Rupa-rupanya, hal yang
demikian bukan saja menimpa para nabi, melainkan juga para pejuang perkara Allah.
Tiga dari empat Khalifah-ur Rasyidin harus mati di tangan pembunuh. Demikian juga
para imam besar: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin
Hambal, termasuk Imam Ghazali. Artinya, orang yang membela perkara Allah, boleh
dikatakan, selalu menerima cobaan-cobaan berat. Jadi, penolakan kepada Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad, sesungguhnya bukan sesuatu yang merisaukan, karena Nabi Suci
Muhammad saw. pun, kendati semua orang Islam mengakui sebagai manusia paling
sempurna, toh harus mengalami ujian dan cobaan yang ekstra berat, dan bahkan sampai
sekarang pun masih banyak yang menolak.
Klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid, masih dan mahdi, sesungguhnya
pada saat yang tepat. Artinya, keberadaan beliau sebenarnya sesuai dengan tuntutan
zaman dan keadaan. Dengan kata lain, zaman itu sangat membutuhkan kehadiran beliau.
Hal ini tidak dalam pengertian personal. Maksudnya, seandainya bukan Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad, maka dapat dipastikan ada orang lain yang akan membuat pengakuan-
pengakuan seperti itu. Oleh karena secara faktual yang membuat pengakuan adalah
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka sebagian orang (yang kemudian menjadi pengikut
beliau) meyakini bahwa beliau merupakan penggenapan atas sabda Rasulullah
Muhammad saw. yang menyatakan bahwa tiap-tiap permulaan seratus tahun (abad) Allah
akan membangkitkan seseorang yang akan melakukan pembaruan dalam agama Islam
(Hadis riwayat Abu Daud).
Kendati begitu, terhadap klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, orang bebas bersikap:
percaya atau tidak percaya. Orang boleh tidak percaya jika memiliki alasan. Orang juga
boleh percaya sepanjang memiliki alasan yang jelas. Itulah makanya, Allah menyatakan
bahwa dalam agama (Islam) tidak boleh ada pemaksaan (Q.s. Al-Baqarah [2]: 256).
Dalam banyak kasus, sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh seseorang, belum tentu
orang lain menerima kebenaran itu. Lebih-lebih masalah keagamaan. Oleh karena Islam
adalah milik Allah, maka dalam kasus seperti ini biarlah Allah sendiri yang menjadi
hakim. Mungkin, yang lebih penting dari persoalan percaya atau tidak percaya itu adalah
hasil atau akibat dari sikap yang diambil. Maksudnya, kalau penerimaan terhadap klaim
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu ternyata tidak berpengaruh apa-apa terhadap
perkembangan iman dan ketaqwaan dalam dirinya, yang kemudian teraktualisasi ke
dalam praktik hidup atau pun semangat pembelaan terhadap kebenaran Islam, maka
penerimaan itu tidak punya arti apa-apa. Demikian juga bagi orang yang menolak, kalau
ternyata tidak lebih baik ketimbang orang yang menerima, tentu tidak pada tempatnya
kalau kemudian memburuk-burukkan, mencaci-maki, menghujat, dlsb. Menghujat,
mencaci-maki, apa pun alasannya, bukanlah perbuatan yang terpuji. Kalau pun,
seandainya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya adalah tidak benar, maka
berarti para penghujat sudah melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Apalagi kalau
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya ternyata benar, yang mungkin
kebenarannya hanya belum diketahui saja oleh para penghujat, maka para penghujat itu
tentu akan mengalami kerugian ganda. Sekali lagi, karena ini persoalan agama, biarlah
Allah yang mengadili. Islam adalah milik Allah, maka Dia pasti akan membela jika ada
upaya-upaya penghancuran.
Kata pembaruan, dalam konteks Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hanyalah mengembalikan
Islam pada pangkal kemurniannya. Kalau Islam diibaratkan sebuah bangunan, yang
bangunan itu sepenuhnya harus bertumpu pada Al-Qur'an, maka seperti itulah yang
diupayakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Kalau praktik syariatnya harus mengikuti
contoh Rasulullah Muhammad saw., maka itu pulalah yang diajarkan oleh Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad.
Islam, terutama pada masa beliau, sungguh-sungguh telah kehilangan daya tariknya. Hal
ini disebabkan, terutama sekali, oleh satu hal, yakni "umat Islam telah meninggalkan
Qur'an" (Q.s. Al-Furqan [25]: 30). Kecuali itu juga mengabaikan teladan Rasulullah
Muhammad saw. Dalam menafsirkan Qur'an, banyak diselipkan dongeng-dongeng yang
tidak jelas asal-usulnya. Praktik-praktik mistik pun banyak dilakukan oleh umat Islam
dan dianggap sebagai ajaran Islam. Ibarat sebuah taman, maka keindahan taman Islam
benar-benar tertutup oleh semak-semak dan ilalang bid'ah, khurafat dan takhayul. Apa-
apa yang diajarkan oleh orang yang dianggap imam atau ulama, meskipun tidak jelas
sumbernya, dijalankan oleh pengikutnya. Pendek kata, umat Islam kehilangan
kemandirian dalam hal beragama. Sikap taqlid kepada ulama benar-benar menjadi ciri
umat Islam ketika itu. Ulama bahkan dianggap memiliki otoritas lebih tinggi dibanding
Qur'an dan Sunnah Nabi. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan umat Islam mundur
dan bahkan menjadi paling terbelakang, setelah berjaya selama berabad-abad
sebelumnya. Oleh karena itu Allah berkehendak untuk membersihkan taman itu melalui
seorang pembaru (mujaddid). Hazrat Mirza Ghulam Ahmad-lah yang mengaku sebagai
'juru taman' itu untuk membersihkan semak-semak yang menutupi keindahan taman
Islam, hingga kembali mempesona bagi siapa pun yang memandang. Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad tidak mengubah, menambah atau pun mengurangi setitik pun tentang
ajaran Islam seperti yang dicontohkan oleh Nabi Suci Muhammad saw.
Jadi, pembaruan yang dilakukan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah menambah
sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau yang sejenis dengan itu, melainkan 'hanya'
mengembalikan Islam seperti aslinya, yakni Islam yang indah menawan, dan siapa pun
pasti akan tertarik kepada Islam, karena fitrah manusia menyukai keindahan. Islam
adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia (Q.s. Ar-Ruum [30]: 30). Kalau pun
sampai hari ini masih banyak orang yang belum tertarik kepada Islam, boleh jadi karena
belum memahami kebenaran ajarannya, atau, boleh jadi, umat Islam sendiri belum
mampu menampilkan keindahan Islam dalam pribadinya. Dengan demikian, yang lebih
dibutuhkan pada saat ini bukan berlomba-lomba mengoreksi dan mencari kesalahan
orang, melainkan berlomba-lomba berbuat kebaikan (Q.s. Al-Baqarah [2]: 148). Wallahu
a'lam bish-shawab. [MYN]
Assalamu'alaikum wr.wb.
Tuduhan LPPI tentang Ahmadiyah yang telah membajak Kitab Suci Al-
Qur'an.....
Tuduhan LPPI bahwa Jemaat Ahmadiyah telah menodai Kitab Suci Al-
Qur'an.....
bersambung
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Nadri Saaduddin
Jalan Rambutan 23,
Telp. (+62-0765) 93072
Duri 28884, Riau Daratan
INDONESIA...
AHMAD DARI QADIAN
(Al-Masih yang Dijanjikan dan Mahdi)
Ahmadiyah
J – Pergerakan Ahmadiyah dalam Islam didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dari
Qadian pada tahun 1889. Hal ini telah dinubuatkan (diramalkan) oleh Nabi Besar
Muhammad saw bahwa ketika nilai-nilai moral dan spiritual mengalami kemunduran
diantara orang Islam di akhir zaman, Al-Masih dan Mahdi akan hadir untuk
menghidupkan Islam. Ia akan menampilkan Islam dalam keindahan dan kemurnian sesuai
aslinya serta menjadikan Islam unggul diatas agama-agama lainnya. Ahmadiyah juga
telah dinubuatkan oleh Nabi Muhammad saw bahwa melalui Masih Mau’ud (Al-Masih
yang Dijanjikan) agama Islam akan tersebar di dunia Barat. Hazrat Mirza Ghulam
Ahmad mendakwakan dirinya bahwa ia adalah Al-Masih dan Mahdi sebagaimana
dinubuatkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.
T – Ceritakan lagi padaku tentang Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian.
J – Hazrat Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tahun 1835 di Qadian (India). Ia berasal dari
keluarga terhormat keturunan dinasti Mughal. Ayahnya adalah pemimpin di Qadian. Ia
dilahirkan dalam zaman ketika hanya ada sedikit pendidikan yang tersedia. Tidak ada
sekolah umum maupun akademi di kota-kota kecil di India. Ayahnya sangat ingin
memberi pendidikan kepadanya sehingga ia mempekerjakan seorang guru bernama Fazli
Elahi untuk mendidiknya. Dari gurunya ia belajar membaca Al-Quran dan sedikit belajar
membaca buku-buku berbahasa Persia. Ketika berumur sepuluh tahun ia diajar tata-
bahasa Arab dan beberapa buku lainnya oleh seorang guru bernama Fazi Ahmad. Ia juga
mempelajari beberapa buku tentang pengobatan, logika dan filsafat dari seorang guru lain
bernama Gul Ali Shah.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia diminta oleh ayahnya agar dapat bekerja
di pemerintahan. Untuk mematuhi keinginan ayahnya, ia menawarkan dirinya untuk
bekerja di kantor Wakil Komisaris di kota Sialkot. Namun kemudian ia menyadari bahwa
pekerjaan ini tidak cocok dengan dirinya. Ia lalu mengundurkan diri dan kembali ke
Qadian. Ia kemudian menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mempelajari Al-
Quran, kitab-kitab Hadits dan literatur-literatur agama. Ia menyukai kesendiriannya dan
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi serta menemukan keasyikannya dengan
melakukan ibadah kepada Allah.
Ayahnya wafat ketika ia berumur lebih dari 40 tahun. Sebelum ditinggalkan oleh
ayahnya, ia telah diperingatkan Tuhan melalui wahyu. Kematian ayahnya begitu
menyakitkan serta membuatnya sangat sedih. Selagi ia memikirkan masa depannya
setelah kewafatan ayahnya, terlintas dalam hatinya siapa yang akan memenuhi
kebutuhannya (sebagai pengganti ayahnya). Kemudian diterimanya wahyu ini :
Apakah Allah tidak cukup bagi hamba-Nya ?
Wahyu ini sangat membesarkan hati dan ia diyakinkan bahwa Allah tidak akan
membiarkannya menderita. Sejak permulaan dalam hidupnya, Hazrat Ahmad telah
dihadapkan pada keadaan kaum Muslim yang sangat mengkuatirkan. Orang-orang
Kristen dan Hindu sedang membuat serangan kotor kepada Pendiri agama Islam saw dan
Al-Quran Suci. Bahkan kaum Kristen mengumumkan bahwa dalam waktu singkat panji
Kristus akan dinaikkan di seluruh India dan Arabia. Disisi lain, kaum Muslim sedang
mengalami hilangnya keyakinan dalam segala aspek spiritual. Masih Mau’ud (Al-Masih
yang Dijanjikan) datang memecah salib untuk membela Islam. Ia banyak menulis buku-
buku, pamflet dan selebaran untuk membela Islam serta membuktikan keunggulan Islam
diatas semua ajaran agama lain. Buku pertamanya yang berjudul Barahin Ahmadiyah
diterima oleh kaum Muslim dengan sangat antusias. Mereka menyebutnya sebagai Singa
Islam. Kaum Kristen dan Hindu menjauhkan diri ketika menghadapi beliau dimanapun
berada.
Hazrat Ahmad menikah dua kali dan mempunyai tujuh anak laki-laki dan tiga anak
perempuan. Dua anak laki-laki dan seorang anak perempuannya meninggal ketika masih
kanak-kanak. Ia telah menubuatkan mengenai kelahiran seorang anak laki-lakinya yang
sangat termasyhur yang telah lahir pada tanggal 12 Januari 1889 dan diberi nama Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad. Hazrat Ahmad membuka tantangan kepada para pengikut
agama-agama lain untuk datang dan beradu argumentasi dengannya mengenai
keunggulan Islam diatas agama-agama lain. Tidak seorangpun muncul. Ia dianugerahi
mukjizat dalam menulis. Ia banyak menulis buku dalam bahasa Arab dan menantang para
sarjana Arab untuk membuat karangan yang serupa dengan tulisan-tulisannya. Ia juga
membawa ribuan nubuatan dimana banyak yang telah genap selama beliau hidup. Juga
masih banyak nubuatan yang tergenapi setelahnya dan masih ada nubuatan lainnya yang
belum tergenapi. Hazrat Ahmad menghabiskan seluruh hidupnya untuk melayani Islam.
Ia adalah pejuang besar dalam Islam. Pengetahuannya mengenai Al-Quran sungguh
menakjubkan. Ia memiliki keluasan ruhani dan pengetahuan agama yang dianugerahkan
oleh Allah kepadanya. Hazrat Ahmad wafat pada tanggal 25 Mei 1908 di Lahore dan
beliau dikebumikan pada hari berikutnya di Qadian.
J – Hz. Alhaj Maulvi Nuuruddin adalah Khalifah yang pertama. Hz. Alhaj Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad adalah Khalifah yang kedua. Hz. Hafiz Mirza Nasir
Ahmad adalah Khalifah yang ketiga dan Hz. Mirza Tahir Ahmad sekarang adalah Imam
Jemaat Ahmadiyah dan merupakan Khalifah yang keempat.
J – Ia adalah Khalifah yang kedua dan merupakan putera yang dijanjikan dari Hz. Masih
Mau’ud. Ia lahir pada tanggal 12 Januari 1889 di Qadian. Setelah wafatnya Hz. Maulvi
Nuuruddin, ia terpilih sebagai Khalifah Al-Masih yang kedua pada tanggal 14 Maret
1914. Hz. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad adalah seorang ulama besar dalam ilmu
Al-Quran dan tafsirnya mengenai Al-Quran sangat khas. Ia adalah seorang ahli pidato. Ia
juga seorang penulis yang ulung. Ia banyak menulis bermacam-macam buku hal-hal
keislaman. Ia adalah seorang yang sangat cerdas. Ia mengorganisir anggota jemaat
dengan keras dan disiplin. Pada waktu kepemimpinannya misi-misi Ahmadiyah didirikan
di luar India. Ia wafat pada tanggal 9 November 1965.
J – Hz. Hafiz Mirza Nasir Ahmad lahir pada bulan November tahun 1909. Ia
mendapatkan pendidikan di India dan Oxford. Sebelum terpilih sebagai Khalifah, ia
banyak berkhidmat dalam jemaah dengan berbagai macam jabatan. Ia adalah seorang
pencinta alam. Pengetahuannya tentang Al-Quran dan Hadits sangat mengagumkan. Ia
juga adalah seorang administrator yang baik. Ia menggagas Rencana Nusrat Jihan. Dalam
rencana ini, banyak dibuka pusat-pusat pengobatan dan sekolah-sekolah menengah atas
(SMU) di negara-negara Afrika Barat seperti Nigeria, Ghana, Sierra Leone, Liberia,
Ivory Coast (Pantai Gading) dan Gambia. Ia wafat di Rabwah, Pakistan pada tahun 1982.
J – Ia adalah Hz. Mirza Tahir Ahmad. Ia lahir pada tanggal 18 Desember 1928 di Qadian,
Punjab – India. Ia mendapatkan pendidikan pertamanya di Qadian. Ia kemudian
melanjutkan pendidikannya di Government College, Lahore – Pakistan.
Pada tahun 1955 ia pergi ke London dan belajar ilmu-ilmu Oriental dan Afrika di
Universitas London. Ia kembali ke Pakistan pada tahun 1957. Sekembalinya, kemudian ia
terpilih sebagai Ketua Majelis Khuddamul Ahmadiyah (Internasional) dan kemudian
sebagai Ketua Ansharullah (Internasional). Ia telah berkhidmat dalam jemaat ini dengan
berbagai macam jabatan sebelum terpilih sebagai Khalifatul Masih.
Hz. Mirza Tahir Ahmad adalah seorang ulama besar, ahli pidato yang ulung, penulis yang
cemerlang dan seorang penuntun dalam masalah spiritual. Khutbah Jum’at-nya
merupakan sumber insprirasi dan pengetahuan yang besar tidak hanya bagi anggota
jemaat namun juga bagi orang-orang non-Ahmadi. Khutbah-khutbahnya dipancar-
luaskan secara langsung ke seluruh dunia melalui radio, televisi dan jaringan-jaringan
satelit.
Hz. Mirza Tahir Ahmad banyak melakukan perjalanan keliling dunia dan bertemu dengan
para pemimpin negara, kaum intelektual bereputasi internasional, politisi, penulis dan
jurnalis.
Baru-baru ini seorang penulis dari Inggris Mr. Ian Adamson telah membuat tulisan
tentang riwayat hidup Hz. Mirza Tahir Ahmad. Judulnya adalah ‘A Man of God’. Pidato
dan karangannya telah diberitakan secara luas dalam dunia pers internasional.
T – Dimanakah misi Islam Ahmadiyah yang pertama kali didirikan diluar benua Indo-
Pakistan ?
J – Misi yang pertama didirikan diluar India adalah di London yang direalisaskan pada
tahun 1914 oleh Hz. Chaudhri Fateh Muhammad Sial, mubaligh pertama Ahmadiyah di
Inggris. Pada tahun 1924, Mesjid London dibangun oleh Jemaat Ahmadiyah yang seluruh
dananya dibiayai oleh kaum perempuan anggota Jemaat. Misi di London telah mendapat
kehormatan dengan dikunjungi dua kali oleh Hz. Khalifatul Masih II dan delapan kali
dikunjungi oleh Hz. Khalifatul Masih III selama masa Khilafatnya. Misi di London juga
menerbitkan majalah bulanan bernama Muslim Herald.