You are on page 1of 21

SEMBILAN by D RATIH

A ku terbangun cepat karena suara berisik yang terdengar dari luar kontrakan.
Dalam hati aku merutuk berat mengingat aku baru bisa terlelap pukul satu dini
hari tadi. Dan sekarang—saat kutatap jam dinding berbentuk kepala kucing di
depan ranjang, jarum penunjuknya masih menunjukkan pukul lima pagi.

Bulan ini adalah salah satu bulan dengan perputaran waktu bumi yang panjang. Angin
dingin bertiup lebih kencang tiap malam dan malam berlalu lebih panjang dibanding
bulan-bulan muda lainnya. Meski mataku masih terkatup rapat, aku bisa merasakan langit
di luar sana masih gelap gulita—dan yeah, ini memang masih jam lima pagi. Lembayung
pagi di langit masih belum terlihat, bahkan beberapa butir bintang masih bertengger di
sana saat ekor mataku mengintip sisi jendela.

Lagi-lagi suara ramai dari luar terdengar. Jelas ini bukan suara tukang sayur atau suara
pengeras dari masjid. Ada sesuatu yang terjadi di luar rumah.

Ya, sesuatu sedang terjadi.

Aku tak pernah mengeluh terang-terangan saat aku mendapat kontrakan di sebuah
komplek semi-perkampungan, yang mana itu artinya, aku akan sering menemui para
tetangga di sekitar tempatku tinggal. Dan lagi, apa yang bisa kulakukan, tempat kerjaku
yang sekarang jauh lebih mudah ditempuh dari tempat ini. berjalan kaki pun hanya
membutuhkan waktu kurang dari dua puluh menit.

Masih setengah terganggu dengan suara berisik di luar yang sukses membangunkanku,
aku bangkit dari ranjang bututku. Kuraih sebuah karet rambut dan kuikat rambut ikal
panjangku sementara kakiku mulai melangkah meninggalkan kamar. Aku masih sempat
mencuci muka di kamar mandi sebelum tubuhku akhirnya bergerak menuju luar rumah.

Kubuka pintu perlahan dan kusambut angin pagi nan dingin yang langsung menyambar
kulit pucat mukaku.

Aku tak sempat menggerutu saat kulihat beberapa orang lalu lalang melewati depan
tempat tinggalku dengan tergopoh-gopoh. Mataku sempat menangkap ada beberapa
orang yang menenteng ember di tangannya. Sepertinya memang terjadi sesuatu.

Dan benar saja, iris mataku menangkap bayangan hitam yang membumbung, mengepul
lalu merangkak ke langit. Kabut-kabut tipis yang awam terlihat tiap paginya kini
tergantikan oleh pekat hitam tak diundang. Asap bekas kebakaran rupanya.

Dan di tempat tinggal landasnya, tampak sebuah rumah berukuran sedang—cukup besar
kalau dibandingkan rumah lainnya dan kontrakanku—yang terlihat berantakan. Memang
benar bangunannya masih kokoh, tapi separuh bagian rumahnya terlihat kacau. Dinding
berukir yang selama ini terlihat putih dari luar kini tampak menghitam. Sebagian genting
rumahnya terlepas dari kerangkanya. Pagar luar rumahnya ambruk—mungkin pagar
rendah itu sengaja diambrukkan untuk mempermudah akses warga yang ingin menolong.
Dan tak hanya itu, sebuah pohon jambu yang menghiasi taman rumahnya terlihat paling

hal. 1 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

‘mengenaskan’ daripada yang lain karena terlihat mencolok; batangnya menghitam,


daunnya rontok, dan ranting-ranting panjangnya terlihat seperti tangan kurus penyihir
malam di buku dongeng anak-anak.

Ranting pohon itu akan terlihat seperti tangan penguasa malam jika matahari telah
tenggelam.

Kebakaran memang mengerikan.

Ini adalah pertama kalinya aku melihat kebakaran dari dekat. Api yang menjilati tiap
sudut rumahnya memang telah padam dan hanya menyisakan gambaran asap-asap yang
membumbung kelabu. Puing-puingnya terlihat seperti abu bekas pembakaran kayu yang
biasa ditemui di tempat perkemahan. Kasihan memang. Aku baru tinggal di komplek ini
selama lima bulan. Dan pagi ini, rumah yang berjarak lima puluh meter—atau lebih
tepatnya empat rumah dari kontrakanku—kini sebagian hangus terbakar.

Dan udara pagi yang biasanya dingin kini terasa menyesakkan. Bekas abu-abu tak kasat
mata beterbangan bak pengiring oksigen yang mengelilingi kampung ini.

“Kasihan Pak Anto ya, Mbak?”

Aku menoleh dan mendapati Soraya, anak pemilik kontrakan yang juga tinggal di
samping rumahku berkomentar. Matanya menerawang ke depan saat mengatakannya.
Aku hanya mengangguk meski aku tahu ia tak akan tahu responku barusan. Tapi Soraya
kemudian menoleh. Bibir mungilnya membentuk sudut simpul saat ia menarik napas
panjang. “Mendadak ada musibah.”

Aku mengangkat kedua bahuku. “Mereka termasuk orang yang mampu ‘kan?” ujarku
santai. Aku buru-buru memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana tidurku untuk
mengurangi rasa dingin saat mengatakannya. Kuabaikan tatapan beberapa pemuda PKK
yang hilir mudik melewati tempatku dan Soraya berdiri.

“Tapi tetap aja kasihan, Mbak.” Soraya menghela napas lagi, “empat bulan lalu ‘kan
anak bungsunya baru saja meninggal, Mbak.”

Aku mengangkat sedikit wajahku, menatap langit yang mulai menampakkan cahaya
terang. Beberapa bintang yang tadi masih bertengger rapi di sana kini tak tampak lagi.
Kupejamkan mataku sedetik untuk mengingat-ingat sesuatu.

Ah, iya. Aku ingat, empat bulan lalu. Saat itu aku baru mendiami kontrakanku selama
sebulan. Aku belum mengenal warga sekitar saat itu. Yang kulakukan tiap hari hanya
berangkat pagi untuk bekerja, pulang sore—atau malam jika aku pergi mencari makan,
lalu tidur di kontrakan seharian. Aku masih cukup ingat saat itu, saat aku baru saja pulang
kerja, tepat saat matahari tenggelam, gema speaker kampung yang mengabarkan berita
kematian.

hal. 2 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Kematian putera pak Anto yang saat ini kubicarakan dengan Soraya.

Kematian.

Manusia mengalami siklus yang sama ‘kan?

Hidup… lalu mati.

Harusnya tidak ada yang aneh. Tidak ada yang aneh. Saat itu aku juga berpikir demikian.
Orang menemui ajalnya itu wajar. Pun itu memang sudah takdirnya. Hanya saja aku
merasa ada sebuah pertanyaan yang berputar di kepalaku, menggelitik isi perutku dalam
sesaat.

“Yang meninggal tabrak lari itu ‘kan?” Pertanyaan itu mencuat begitu saja.

“…” Soraya terdiam.

Dalam beberapa detik waktu yang mengalir, aku merasa angin berembus lebih kasar.
Kedua tanganku yang terbungkus rapi dalam kantung celana masih merasakan aura
dingin yang harusnya telah hilang mengingat matahari telah benar-benar nampak di
singgasana timurnya sana.

Pertanyaanku masih belum terespon oleh Soraya. Gadis manis itu hanya menatapku
nanar.

“Aya?” panggilku.

Desah berat nepasanya yang mencuat dari bibir mungilnya terdengar nyaring. Ia sempat
menunduk sesaat sebelum akhirnya terangkat lagi.

“Iya. Tertabrak motor ketika menyabrang.”

Jawaban yang singkat.

Sungguh—harusnya jawaban sesederhana itu bisa ia jawab dengan mudah. Tapi apa?

“Pas pulang dari rumah temannya, Wawan ketabrak gitu aja. Kejadiannya siang bolong,
Mbak.”

“Ohh….”

“Usia 19 tahun, ketabrak di siang bolong….”

Aku terdiam, mencerna maksud kata-katanya.

“Nggak dalam keadaan teler lho, Mbak,” imbuhnya.

hal. 3 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Otakku berputar sementara ia mengucapkannya dengan nada yang lebih pelan. 19 tahun,
tertabrak dalam keadaan sadar, tidak mabuk, dan kejadiannya di siang bolong. Ya, di
sanalah letak hal yang menurutku janggal.

Wawan, nama putra bungsu pak Anto, bukanlah anak usia empat tahun yang pastinya
akan asal ketika menyabrang. Usianya cukup dewasa untuk menyabrang dengan benar
‘kan? Tapi nyatanya tertabrak begitu saja, ditinggal lari empunya motor pula. Ironis.

“Sebulan sebelumnya, Wahyu juga kecelakaan.”

“Eh?”

“Wahyu itu anak keempatnya, Mbak.”

Wah, jujur saja, aku baru mendengar nama itu. “Kecelakaan? Nggak ketabrak lagi
‘kan?”

Soraya mengalihkan pandangannya ke atas, ke langit yang kini telah terang berderang
meski terlihat beberapa gumpal awan menggantung di sana.

Aku mengucapkan itu sebenarnya untuk mengurangi rasa tegang di antara kami.
Entahlah. Pembahasan ini semua seolah membuat bulu kudukku berdiri begitu saja.
Pertanyaan itu wajar. Aku juga mengharapkan Soraya memberiku jawaban yang tak akan
membuatku ketakutan ‘kan?

“Jatuh dari kereta.”

“J-Jatuh?” pekikku tertahan. Tunggu, jatuh dari kereta?

Seolah membaca isi pikiranku, Soraya mengangguk. “Iya, Mbak. Biasalah, supporter
bola yang fanatik, naik kereta dengan teman-temannya berbondong-bondong dan naik ke
atas gerbong.”

Kalau boleh jujur, aku tak tahu lagi apa ada kalimat yang bisa kuucapkan untuk
mengutarakan keprihatinanku pada keluarga yang tengah kami bicarakan saat ini. Itu
semua sungguh… miris.

Ya, miris. Ironis. Katakanlah begitu.

Aku kehabisan istilah.

“Belum lagi kata emak, Bu Lastri, istrinya Pak Anto sebulan lalu dijambret orang pas
belanja di pasar, Mbak.”

“Eh—”

hal. 4 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

“Rasanya keluarga itu kok ditimpa kemalangan terus menerus gitu lho, Mbak.”

Aku hanya bisa mengangguk saat Soraya menengok padaku. Gadis itu tersenyum simpul,
seolah memberi tanda bahwa ia telah selesai bercerita. Aku pun hanya mengangguk, tak
memberi respon apa-apa.

Cukup lama ia menatapku, menatapku dengan aneh.

“Kenapa, Ya?” ucapku begitu saja. Well, aku tak nyaman ia pandangi selayak itu.

“Nggak, cuma pengen tahu pendapat Mbak aja, mungkin kepikiran sesuatu.”

Aku menggeleng sesaat lalu mengalihkan arah pandanganku. Sedetik berlalu mendadak
alisku berkerut, aku menarik napas pelan saat kembali menatap iris gelap mata Soraya.
“Ah, sebenarnya apa yang ada di pikiranku agak aneh sih…,” ujarku sembari setengah
tertawa.

Soraya menatapku sungguh-sungguh. Penasaran.

“Maksudku… menurutmu, kenapa bisa ada kebuntungan berturut-turut begitu ya?”

Soraya tak menjawabnya. Dan aku sadar pertanyaanku barusan memang tak mudah
untuk dijawab. Seolah retoris.

“Kucing…”

Kulihat mata Soraya melebar saat suara itu mengalir di tengah perbincangan kami.

Kulihat Soraya tak bergerak, bergeming tetap pada posisinya; menatapku dengan
ekspresi aneh. Aku menggerakkan kepalaku, melihat si pemilik suara dari samping bahu
Soraya yang menghalangi pandanganku.

“Zio?”

“Jawabannya kucing…”

Aku termenung kala ia mengucapkannya. Ia hanya mengalunkan suara beratnya yang


terdengar seksi dan sedikit… kelam. Ia melirikku singkat sembari membelai seekor
kucing jantan berwarna abu-abu gelap saat mengatakannya.

Aku memiringkan kepalaku.

Kucing yang tampan. Ugh, pikiranku aneh benar. “Kucingmu bagus….”

“Kamu suka kucing, Tetangga?” tanyanya pelan.

hal. 5 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Aku hanya mengangguk merespon kalimatnya.

“Baguslah. Setidaknya orang yang menyukai kucing tak akan membunuh kucing ‘kan?”

“Membunuh?”

Zio menunduk, mengecup dahi lebar kucing dalam pelukannya. Ia melirik mataku pelan.
Dan detik itu, aku bersumpah melihat ia menyeringai padaku.

“Kamu nggak akan tahu betapa mengerikan akibat saat kamu membantai nyawa
kucing…”

Suaranya terdengar menggema di telingaku.

“Kucing tak hanya memiliki satu nyawa, Tetanggaku yang cantik.”

Kuteguk manis likuid teh hitam pekat dalam cangkirku sambil mereguk wangi aromanya
perlahan. Kutatap Soraya yang sibuk mengunyah cookies cokelat yang kusuguhkan
padanya. Kulihat matanya yang menatap intens pada layar kaca televisi yang sibuk
berkoar dengan acara musiknya. Aku pun tak mau mengganggu Soraya. Aku yang
mengajaknya masuk ke rumah begitu saja.

Yah, untunglah Soraya mengangguk menerima tawaranku tadi. Lagipula di minggu pagi
mendapat company seperti ini adalah hal yang menyenangkan untukku yang tinggal
sendirian.

Ziory Lintang Tjokrowidjojo.

Nama yang ‘kelas atas’ untuk ukuran pemuda freak yang kutemui tadi. Aku tahu pemuda
penggila kucing itu aslinya bukan pemuda biasa. Dari namanya saja aku tahu ia pemuda
kaya. Pemuda yang pasti tampan kalau saja ia mau sedikit menata penampilan wajahnya.
Rambutnya lurus dan hitam kelam. Iris mata obsidiannya pasti bisa memukau setiap
gadis seumuranku kalau ia mau menghabiskan waktu di tempat gaul seperti mall. Dan
seringai di bibirnya… ugh, aku benci mengakuinya, tapi ia terlihat sangat memukau saat
memasang seringai itu di bibirnya.

Begitu cantik. Begitu tegas. Begitu menarik. Kelam. Gelap. Menguasai.

Prihatin. Lagi-lagi ekuivalen kata ironis itu menjadi kesanku untuknya. Pemuda kaya,
tampan, segalanya yang mungkin akan sempurna untuk menarik dunia datang kepadanya.
Ia yang kudengar diasingkan keluarganya di kampung ini. Tinggal di sekitar orang-orang
yang menurut kasta masyarakat di bawah derajatnya.

Keluarga macam apa itu yang menendang salah satu pewarisnya untuk tinggal sendirian?

hal. 6 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Err—mungkin tak sendirian. Ada banyak kucing yang menemaninya di sana. Kucing-
kucing yang menjadi alasan kenapa pemuda itu di asingkan dari dunia aslinya. Ia freak.
Aneh. Sedikit mengintimidasi dengan keberadaannya. Itulah Zio.

Arrgh! Aku jadi terbayang-bayang pemuda sialan itu.

Tapi kalau boleh jujur, memang pemuda itulah yang membuatku mengundang Soraya
masuk ke kontrakanku yang sedikit berantakan ini. Ya, ucapan Zio tadi itu yang
membuatku penasaran dan terpaksa membuatku merasa perlu untuk bertanya sesuatu
pada Soraya. Aku tahu Soraya pasti mengetahui sesuatu.

Aku menatap Soraya yang girang saat kusadari Naga—vokalis Lyla Band—
menampakkan diri di panggung dalam layar televisi. Fangirl.

“Hei…”

Soraya hanya meresponnya dengan melirik sekilas sebelum akhirnya kepalanya


bergoyang lagi sembari menggumamkan lirik lagu tengah mengudara dalam ruangan.

“Kubuatkan teh lagi ya?” tawarku. Kusadari isi cangkirnya telah tandas. Teh yang
kubuatkan tadi telah habis diteguknya. Soraya hanya mengangguk kecil. Aku segera
meresponnya dengan bangkit dan melangkah ke dapur—meninggalkan Soraya yang
masih dibuai alunan musik program konser televisi.

Aroma menenangkan yang mengepul dari sisa-sisa asap yang membumbung dari dalam
cangkir di hadapanku mengudara. Aku tersenyum, membiarkan bias wanginya bergumul
dengan udara pagi yang mulai menghangat meski tak seramah biasanya.

Kuaduk perlahan isi cangkir milik Soraya sebelum akhirnya kuseruput dalam-dalam
cairan di atas sendok tehnya.

Ck, kurang manis.

Aku menoleh, kuangkat tinggi-tinggi toples bening berisi gula milikku. Isinya telah habis
rupanya. Ah, aku lupa mengisinya. Aku menoleh ke kanan, seingatku aku masih punya
persediaan gula dalam buffet di dekat kulkas.

Kuletakkan sendok teh di tanganku tepat di samping cangkir. Aku berbalik, membuka
daun pintu buffet lalu berjinjit sesaat untuk menyingkirkan bungkusan-bungkusan
creamer dan mocca sachet dan menepikannya untuk meraih gula plastik yang masih
utuh. Aku tersenyum lega dan berbalik.

Deg!

hal. 7 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Mataku melebar sesaat. Seingatku—aku bersumpah aku belum terlalu tua untuk pikun—
sendok kecil itu kuletakkan tepat di samping cangkir. Cangkir itu masih bergeming, tapi
kemana sendoknya? Alisku berkerut, kuangkat cangkir itu untuk mencari sendok. Nihil.
Aku tak menemukannya.

Kupijat pelipisku pelan lalu kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling.

Tak sengaja mataku menemukan sesuatu.

Merah?

Di lantai? Apa tehku tumpah? Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri sebelum akhirnya
kuputuskan untuk melangkah maju. Kutatap cairan merah yang yang tergenang itu di
bawah kakiku tepat di samping kaki-kaki meja dapur.

Aku membungkuk dan mataku terbelalak saat kepalaku menoleh ke arah kolong meja..

Aku memekik, “Fuck!”

Aku langsung terduduk di lantai. Kupejamkan mataku erat. Dadaku naik turun dengan
kasar. Dahiku sontak berkeringat saat mengingat-ingat apa yang barusan kulihat.

Kepala kucing.

Mata hijau yang lebar dan bibir dan hidung yang berdarah. Kepala kucing! What the
hell!

Setelah beberapa detik menggumamkan baris-baris doa, aku membuka kelopak mataku
perlahan. Masih dengan napas terengah, aku menatap direksi di mana aku mendapati
onggokan kepala kucing yang membuatku ketakutan tadi.

Shit!

Aku tak menemukan apa-apa yang sempat membuatku paranoid tadi. tidak ada lagi
darah. Tidak ada mata kucing yang melotot tajam. Tidak ada semuanya.

Ada apa ini?

Kureguk oksigen sebisaku untuk menenangkan diri. Aku terdiam sesaat lalu kugeser
tubuhku, beranjak bangkit.

Klang!

Aku menunduk dan mendapati sendok yang kucari kini ada di dekat kakiku. Kuraih
sendok itu dan mataku lagi-lagi dibuat melebar.

hal. 8 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Tambut-rambut halus. Bulu kucing?

“Kamu kenapa?”

“ARGH!” teriakku tak terkontrol. Aku segera menoleh dan menatap sosok Soraya yang
berjongkok di sampingku. Sejak kapan ia ada di sini? “S-Soraya? Kamu ngagetin aja!”
seruku lantang. Dadaku masih naik turun mengatur napas. Meski sedikit kesal, aku
merasa lega saat tahu ternyata Soraya ada di sampingku.

“Kenapa duduk di lantai?” tanyanya datar.

“Silly. Nih, nyari ni sendok. Jatuh.” Aku tertawa pelan. Meski aku masih heran mengapa
sendok ini bisa ada di lantai. For God’s sake, aku tak mendengar bunyi dentingan ketika
sendok ini terjatuh.

“Apa itu di tanganmu?”

Aku menatap lagi telapak tanganku. Kuangkat kedua bahuku bersamaan. “Entahlah.
Seperti bulu kucing.”

“Kamu melihara kucing?”

Aku menggeleng.

“Mungkin kucingnya Zio.”

Meow!

Sekali lagi aku memekik, menoleh cepat dan menadapati kucing jantan gemuk yang
barusan disebutkan Soraya bertengger santai di bingkai jendela dapur. Mata lebar kucing
itu menatapku tajam. Tatapan mengintimidasi seperti pemiliknya. “Hei, Aya. Bukannya
itu kucingnya Zi—”

Aku terdiam seketika saat menyadari Soraya tak lagi berjongkok di sampingku. Sejak
kapan ia pergi meninggalkan dapur?

Aku mengrenyitkan dahiku sesaat.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke jendela. Perlahan aku bangkit dan
melangkah pada kucing itu. Kubelai pelan kepalanya hingga kucing itu menggeliat
keenakan. Aku hanya tersenyum senang.

Aku menengok ke arah wastafel dan melangkah cepat. Kuletakkan sendok kotor itu dan
segera kubasuh tanganku dengan sabun. Setelah yakin bersih, aku berbalik, meraih
sendok yang bersih dan mengaduk gula dalam teh yang kubuat untuk Soraya.

hal. 9 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Aku menghirup napas dalam-dalam. Dapur ini sesaat membuatku merasa diserang
claustrophobic. Aku memijit keningku sesaat sebelum akhirnya mengangkat cangkir itu
dengan tangan kananku sementara tangan kiriku meraih perut sang kucing.

Menggendongnya.

Soraya masih mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama lagu I Heart You yang
menguar memenuhi penjuru ruangan. Performa boyband anyar itu secara tak langsung
mempengaruhi Soraya untuk menggerakkan sedikit bagian tubuhnya—ikut menari.

“Suka SM*SH?”

Soraya menoleh cepat. Mulutnya terbuka sesaat, menganga—mungkin bersiap


menjawab pertanyaanku. Tapi gadis itu terdiam. Tangannya terulur untuk menerima
cangkir yang kusodorkan. Kuperhatikan mata Soraya yang terpaku pada kucing dalam
pelukanku sementara tangannya meraih cangkir tehnya.

“Suka SM*SH berarti kamu suka K-Pop ya?” tanyaku pada Soraya.

Gadis itu menggeleng pelan sambil mengangkat kepalanya sebelum akhirnya menatap
kucing abu-abu di pangkuanku lagi. “Err, nggak terlalu kenal boyband Korea,” jawabnya
cepat.

“Ohh….”

“Err, kenapa kamu ngebawa kucing Zio, Mbak?”

Aku tersenyum, “Lho, kucing ini tadi ada di dapu—” Aku menghentikan kalimatku
sambil memandang heran Soraya. Bukankah harusnya ia tahu soal kucing ini? Kenapa
Soraya terlihat tak tahu apa-apa?

“Kamu lama banget di dapur, Mbak. Dari tadi lagu yang diputer keren-keren lho,”
ungkapnya senang. Matanya menoleh lagi pada layar televisi. “Memangnya ngapain aja
di dapur, Mbak? Ada kesulitan ya? Tahu gitu aku ikut ke dapur ya tadi….”

Kutatap Soraya tersenyum sambil menyimak presenter cara musik yang mulai
menyerocos.

Tanpa kusadari detak jantungku berdentum lebih kencang.

Darahku berdesir.

Kutatap telapak tanganku yang mulai dihinggapi bulu-bulu rontok kucing yang tengah
kugendong. Tadi itu…. Tanpa sadar tanganku bergetar.

hal. 10 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Gemetar hebat.

Kupejamkan mataku erat-erat.

“Meaw…”

Kubuka mataku untuk mendapati kucing di pelukanku menatapku intens. Aku mencoba
tersenyum sebisaku dan menggeleng cepat. Aku tak mau memikirkan siapa sosok yang
mirip Soraya di dapur tadi.

Hantukah?

Pada pukul sembilan pagi begini?

Sekali lagi aku menggeleng. Perlahan aku duduk tepat di samping Soraya. Kududukkan
kucing itu di pangkuanku seraya kugaruk lehernya—membuat si kucing menggeliat
senang dan semakin menenggelamkan tubuhnya dalam belaian tanganku.

“Aya…”

Gadis itu menoleh. Untunglah program musik sialan itu tengah commercial break.

“Zio… Maksudku dia tadi sempat menyebut soal kucing ‘kan?”

Soraya tersenyum simpul sambil menatap kucing di pangkuanku. Ia mengangguk pelan


sambil meminum tehnya.

Kubiarkan ia menelan kunyahan-kunyahan cookies-nya dan menunggunya menjawab.

“Zio bilang… membunuh.”

Soraya mengangguk lagi. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam dan bersiap bicara.
“Pak Anto emang pernah ngebunuh kucing, Mbak.”

“Pak Anto?” Kugeser tubuhku menghadap Soraya. Kuacuhkan suara televisi yang masih
terdengar nyaring.

“Yah, kucingnya Zio. Makanya si Zio agak gimana gitu kalau ada yang ngomongin Pak
Anto. Kayak kita tadi.”

“…” Aku diam menyimak sementara tanganku masih sibuk menggelitik leher kucing di
pangkuanku.

“Seingatku warnanya sama seperti kucing ini,” Soraya menunduk, menatap hewan di
pangkuanku sesaat. “Aku agak lupa. Kucing Zio ada banyak banget, Mbak. Termasuk
yang dibunuh Pak Anto.”

hal. 11 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

“Dibunuh.”

“Lebih tepatnya dibacok, Mbak.” Soraya menggaruk lehernya sesaat. Merasa tak
nyaman dengan obrolan yang mengalir saat ini. “Kepalanya putus. Kasihan
kucingnya….”

Putus? Seperti bayangan kucing yang kulihat di kolong meja tadikah?

Shit!

“Waktu itu Zio langsung ngubur kucingnya, Mbak. Cowok itu kelihatan marah meski
matanya nangis. Aku juga nggak tega sih. Tapi Zio itu emang agak aneh. Ganteng sih.
Tapi kalau aneh ya aku jadi takut, Mbak. Bayangin aja, hidup serumah dengan banyak
kucing. Waktu ditanya sih katanya jumlah kucingnya ada sembilan.”

“Sembilan?”

“Tapi ya orang-orang sini mikirnya sih kayaknya lebih dari itu. Kok ada ya orang yang
hidup ma banyak kucing? Kayaknya sih Zio itu waras, nggak sinting. Tapi tetep aja
serem.”

Aku terdiam sesaat. Kulihat Soraya mendesah. Pipinya sedikit bersemu merah pucat saat
ia membicarakan soal Zio. Kuakui pemuda aneh itu memang sanggup membuat
perempuan tersipu. Sama seperti Soraya sekarang.

“Yah, pokoknya begitulah,” tukasnya sebal.

“Lalu… kenapa Pak Anto ngebunuh kucingnya Zio?”

Soraya menggelengkan kepalanya pelan. “Pak Anto sih bilang ke orang-orang kalau itu
gara-gara kucingnya nyolong ikan. Aku sih pernah tahu kucing itu sering lewat rumah
Pak Anto.”

“Benar karena itu aja?” tanyaku.

Soraya lagi-lagi menggeleng. “Aku pernah dengar Zio membantah itu semua, Mbak. Zio
ngotot kalau kucingnya nggak mungkin mencuri. Masuk akal sih, pasti tuh cowok nggak
kekurangan makanan kucing kalengan di rumahnya. Dia ‘kan anak orang kaya.”

“Gitu ya?”

“Mungkin Pak Anto memang nggak suka kucing, Mbak. Kadang ‘kan kucing berisik
juga, apalagi kalau pas bertengkar tau ngejar tikus. Yah, tahulah, Mbak.”

hal. 12 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Aku hanya mengangguk. Kulihat sorak sorai yang ramai dari acara musik di salah satu
televisi swasta itu menggema lagi dan menarik perhatian Soraya kembali. Aku
mendengus. Bingung. Merasa aneh. Cerita yang aneh.

Sekaligus seram.

Bulu kudukku lagi-lagi merinding.

Ada apa ini?

“Kapan Wahyu meninggal?” tanyaku lagi.

Soraya tak menoleh saat menjawabnya. “Lima bulan lalu. Tanggal sembilan kalau nggak
salah. Masuk berita di TV kok, Mbak. Aku agak lupa. Kalau nggak salah waktu itu
keretanya jalan di kilometer 19 Raya Semarang Demak. Aku agak lupa beritanya.”

Aku tak lagi bertanya. Yang kulakukan hanyalah bangkit, membiarkan kucing di
pangkuanku berpindah ke sofa sebelum akhirnya kakiku melangkah ke kamar. Tak
berapa lama aku kembali lagi ke ruang tengah, dengan sebuah laptop di tanganku.

Tak mengacuhkan Soraya, aku menghidupkan personal computer-ku. Kutancapkan


modem di kontak USB-nya dan kunantikan kerlap-kerlipnya menyala. Tak lama
kemudian koneksiku dengan internet tersambung.

“Meaw…”

Kucing milik Zio mennggesekkan tubuhnya di kakiku. Aku hanya menengok sesaat.
“Ay, nama asli Wahyu siapa? Kamu tahu nggak?”

“Seingatku sih Wahyu Siswandi. Kalau nggak salah ya itu, Mbak.”

Aku tak lagi merespon. Dengan cepat jariku menari mengetikkan nama itu. Tak lupa
kuketik lebih lengkap tanggal bulan bahkan jalur kereta yang ditempuh saat itu pada
kolom search engine di google. Tak kurang dari lima detik, terpampang banyak link yang
kucari.

Mataku menjelajah mencari informasi yang paling tepat. Ku-klik sebuah tampilan
sebelum akhirnya aku beranjak, bangkit lalu melangkah pelan menuju kulkas. Kuraih
sebuah wadah kecil yang kosong dan sekotak susu murni.

Aku tersenyum mendekat pada kucing milik Zio yang duduk manis di bawah kursi.
Kubelai sesaat perutnya lalu kusodorkan satu wadah susu di hadapannya.

Aku mendekat lagi pada layar laptopku. Sebuah display berita menampakkan beberapa
foto dan tulisan-tulisan panjang di beberapa kolomnya. Ketemu!

hal. 13 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Wahyu Siswandi. Terjatuh dari atap gerbong kereta pada pukul sembilan pagi ketika
kereta melintas di kilometer 19 seperti cerita Soraya. Kereta itu melaju cukup kencang
menuju kota Solo tempat diadakannya pertandingan bola yang akan berlangsung pukul
sepuluh pagi.

Dalam berita itu disebutkan bahwa harusnya Wahyu memiliki tiket dan duduk di dalam
gerbong. Tapi untuk alasan yang tak disebutkan, nyatanya Wahyu duduk di atas gerbong
bersama beberapa temannya.

Wahyu mengalami gegar otak karena tubuhnya terhempas keras di atas bebatuan rel
kereta. Ia sempat dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tak tertolong. Selain itu
disebutkan bahwa banyak anggota tubuhnya memar. Di wajahnya bahkan terdapat
banyak bekas cakaran. Ditengarai itu semua ia dapat karena cekcok dengan teman-
temannya di atas gerbong—meski dalam laporan berita itu, dituliskan bahwa teman-
temannya menyangkal spekulasi itu.

Cakaran?

Aku mengalihkan pandanganku dari layar laptop. Alisku berkerut lagi. Aku melongok ke
bawah dan kulihat kucing milik Zio menatapku. Wadah berisi susu itu telah tandas isinya.

Kuangkat si kucing dan kusentuh satu tangannya. Kutekan ruas-ruas jarinya dan
kudapati kuku-kukunya bersih. Aku hanya tersenyum tenang sembari meletakkan
kembali kucing itu di lantai.

Cakaran kucing? Pikiranku benar-benar mulai tak waras. Mengaitkan satu cerita yang
aneh.

Aku menoleh lagi pada layar, kugerakkan kursor dan kubuka link berita yang lain.
Sedetik, keringat di dahiku menetes. ‘Kakaknya yang kala itu datang ke rumah sakit
mengalami keguguran’.

“A-Aya?”

“Ya?” Kulihat Soraya menoleh padaku. “Ada apa?”

“Apa… apa anak Pak Anto ada yang keguguran?”

“Hah?”

Aku yang sibuk menenangkan diriku sendiri tak sempat mengulangi lagi pertanyaanku.
Kulihat Soraya menengadahkan wajahnya, memejamkan matanya sesaat untuk berpikir.

“Oh iya, Mbak Yanti. Sempat hamil muda, kata emak sih usia kandungannya baru dua
bulan dan keguguran. Oh! Tepat pas Wahyu meninggal, Mbak!”

hal. 14 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Tubuhku lemas seketika. Entah kenapa aku jadi memikirkannya.

“Pokoknya keluarga Pak Anto bener-bener sial, Mbak. Aku nggak tahu ini ada
hubungannya ma insiden kucing yang dibunuh Pak Anto atau nggak, tapi orang-orang
memang banyak yang bisik-bisik, Mbak. Pembantu tetangganya Pak Anto, Mak Minah,
katanya sering denger suara kucing ribut di halaman rumah Pak Anto. Tapi pas ditengok
nggak ada apa-apa.”

Aku terdiam. Tak mampu berkomentar.

“Seminggu setelah kucing itu mati, motor punya keluarga Pak Anto hilang. Padahal
disimpen di garasi. Tapi selain motor itu nggak ada lagi yang disuri. Pencuri aneh.”

“Hilang?” tanyaku. Akhirnya aku mampu bersuara.

“Iya, Mbak. Sempet gembar-gembor juga tapi hanya bentar. Itu sudah sembilan bulan
yang lalu. Awal tahun, Mbak.”

Aku memejamkan mataku sesaat. Kututup langsung layar monitor laptopku tanpa basa-
basi.

“Waktu itu rumahnya Pak Anto kosong, Mbak. Pada liburan semua. Yah, namanya
maling siapa yang tahu, Mbak. Padahal komplek ini jarang ada maling.”

Aku menghela napas keras-keras. Merasa benar-benar lelah tak terkira. Sejujurnya aku
tak suka mencampuri urusan orang lain. Peduli amat dengan orang-orang. Tapi entah
kenapa, rasanya untuk hal ini aku tak bisa untuk tak acuh.

Terlanjur.

Tok tok.

Ketukan halus dari kepalan tanganku terdengar nyaring. Aku terdiam beberapa saat
sembari menyeka keringat yang mengalir setelah bermuara di dahiku. Meski hari ini agak
mendung, nyatanya udara di luar benar-benar membuatku kepayahan. Panas tak terkira.

Dan di sinilah aku, berdiri di depan pintu rumah seseorang sambil menenteng seekor
kucing di pelukanku.

Aku mengedarkan pandanganku. Kutatap halaman rumah yang ditumbuhi ilalang di


beberapa sisinya. Dedaunan belimbing yang telah meranggas terlihat menghias halaman
dan membuatnya makin berantakan. Ubin yang kupijaki terlihat berdebu, sepertinya
belum sempat dibersihkan.

hal. 15 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Cklek.

Aku menoleh. Ziory berdiri di hadapanku. Kulihat matanya menatap hewan yang
kubawa. Pemuda itu tersenyum—atau lebih tepatnya menyeringai.

“Kucingmu?” sapaku membuka percakapan terlebih dahulu.

Zio mengangguk santai. Tangannya terulur untuk meraih kucing yang kubawa. Ia
menengok ke belakang sebentar sebelum akhirnya menatap kembali mataku. “Pembantu
papa belum datang. Jadwalnya sih besok.”

“Eh?”

“Kalau kamu tak keberatan dengan rumahku yang berantakan, kamu boleh masuk.”

Aku terpaku saat ia menepikan tubuhnya ke daun pintu, memberiku ruang untuk masuk.
Aku hanya mengangguk dan melangkahkan kakiku pelan ke ubin-ubin putih itu. Well, tak
buruk.

Benar-benar tak buruk.

Bagian dalam rumah ini tak sekotor penampilan halamannya tadi. Beberapa properti
benar-benar tertata pada tempatnya. Benar-benar tak kusangka.

“Maaf berantakan.”

Aku menggeleng pelan, “Kamu terlalu berlebihan. Sebenarnya kalau kulihat, isi
kontrakanku lebih berantakan dari rumahmu.”

Zio tersenyum simpul sambil membiarkan kucingnya berlari ke ruangan lain.

“I mean, benar-benar jauh lebih berantakan. Seriously…,” kelakarku. Sebenarnya aku


merasa aneh, aku tak menyangka aku akan mengajak pemuda aneh ini untuk menyimak
kalimatku barusan. Tapi respon yang ia berikan memang benar-benar di luar dugaan. Zio
tersenyum. Benar-benar tersenyum! Bukan seringai aneh yang biasa ia lontarkan padaku.

“Kesehatan kucing-kucingku harus dijaga ‘kan? Aku tak mau mereka sakit karena
lingkungan tempat tinggal yang kotor.”

“Oh.” Aku hanya mengangguk. “Aku punya seekor kucing jantan di Surabaya sana.
Tapi… dulu sih.”

“Kenapa dengan kucingmu?”

“Dibuang. Dibuang pamanku karena berisik.”

hal. 16 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Kulihat Zio bangkit dan tertawa. God, tawanya benar-benar membuatku merinding.
Begitu ia masuk ke ruangan lain, beberapa ekor kucing menghampiriku. Kucing-kucing
yang bagus. Sungguh, aku ingin membelai kucing-kucing itu. Tapi tidak saat ini.
Situasinya benar-benar tak mengenakkan.

“Silakan.”

Aku menoleh. Kulihat Zio tersenyum, ah dengan seringai itu lagi. Ia berangsur duduk di
sampingku sambil menyodorkan sebuah soft drink kaleng padaku. “Percayalah, semua
bahan konsumsi di sini higienis. Meski di sini banyak terdapat

kucing.”

“Eh, iya.” Aku hanya merespon dengan senyum simpul.

Zio menatapku ketika aku meneguk isi minuman ringan itu. Sebenarnya aku merasa
sedikit kikuk, tapi biarlah. Aku memang kehausan. “Kamu kemari mau bertanya soal
lelaki itu?”

Aku menoleh. Kuseka aliran cairan minuman yang mengalir dari sudut bibirku dengan
ujung cardigan tipisku. “Lelaki?”

“Anto.”

Zio benar-benar menjawabnya dengan singkat. Dan aku dibuatnya bungkam untuk setiap
reaksi yang ia lontarkan. Pemuda ini… misterius.

“Aku sudah bilang ‘kan? Kucing mempunyai sembilan nyawa. Salahnya sendiri telah
menghabisi kucing yang tak bersalah.” Zio merapatkan jarak tubuhnya denganku,
mencoba mengintimidasiku dengan tingkahnya. “Jangan menyakiti makhluk Tuhan.
Mereka juga bernyawa seperti kita…,” bisiknya pelan. Desah suaranya mengalir di
telingaku. Aku sukses dibuatnya merinding. Oh, ini bukan merinding seperti gadis yang
jatuh cinta. Ini merinding yang… menyesakkan.

Kelam.

Matahari benar-benar bergulir lebih cepat ketika aku berdiam dalam rumah Zio. Tak
banyak yang kami obrolkan. Sungguh. Ia hanya sedikit bercerita soal keluarganya di
Jakarta, kegemarannya pada teknologi internet, dan sisanya adalah cerita-cerita tentang
kucing-kucing di seluruh penjuru dunia.

Untuk sesaat ia benar-benar terlihat normal. yah, kecuali kesukaannya yang berlebihan
pada kucing. Itulah satu-satunya hal yang membuatnya terlihat aneh. Ada satu sisi dalam
dirinya yang hangat, tapi sayangnya sikap dinginnya jauh lebih terasa mendominasi.

hal. 17 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Aku tahu tidak ada manusia yang sempurna.

“Terima kasih sudah mengembalikan kucingku.”

Di sinilah aku berdiri di depan pagar rumahnya yang tak terlalu terawat. Rumahnya
benar-benar terlihat seperti rumah hantu dari luar. Belum lagi desain semi Eropa makin
membuat rumah tua yang Zio tinggali ini begitu berbeda dengan rumah mukim warga
yang lain. Benar-benar kontras dengan keadaan di dalam rumahnya.

Pemuda ini tak ingin disentuh lebih dalam.

“Nggak apa-apa. Lagipula dia ‘kan bukan kucingku. Kalau dia tak ada yang punya,
mungkin aku mau merawatnya… kalau pemilik kontrakan tak keberatan sih,” kelakarku
sekali lagi.

Zio tersenyum manis. “Sungguh, aku benar-benar berterima kasih karena kamu
mengembalikan Junior… dengan utuh.”

Aku terdiam sesaat. Suasana tinggal dalam hening selama beberapa detik. Koar burung-
burung yang kembali ke sarangnya menjadi satu-satunya simponi yang mengalun di
antara kami. Kulihat bias pantul lembayung jingga langit karena tenggelamnya matahari
terpantul dari kornea matanya. Zio menatapku.

“Aku bukan menakutimu kok. Maaf kalau kamu merasa takut.”

Aku dengan cepat menggeleng.

“Jarang sekali kucingku dikembalikan orang yang menemukannya. Kamu benar-benar


gadis baik. Tetangga yang baik…”

Aku menganggukkan kepala untuk mengucapkan perpisahan, bersiap pulang. Saat itulah
aku berbalik dan…

“AAAAAAAAAAAHHHHH!!”

Melengking sekeras mungkin—seolah bersiap memecah langit yang memerah seperti


darah, aku berteriak sejadi-jadinya setelah dalam beberapa detik mataku menangkap jelas
bayang tubuh seseorang tergantung di sebuah pohon yang berdiri kokoh di sebuah pohon.

Pohon jambu yang juga jadi korban kebakaran tadi pagi.

Pak Anto. Pastilah itu dia.

hal. 18 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Aku menutup mataku erat-erat. Ketakutan setangah mati melihat tubuh tergantung itu
berlatarkan senja. Jarak yang jauh dari tempatku berdiri tapi mampu membuat tubuhku
menegang. Kakiku lemas dan jantungku berdentum menyakitkan. Seseorang tolong aku!

Aku merasakan seseorang membalik tubuhku dan merengkuhku dalam pelukannya. Bau
ini.

Ziory.

Aku membuka mataku perlahan dan mendapati pundaknya yang kokoh menyangga
daguku. Mataku berbayang. Caian hangat memenuhi bola mataku. Tubuhku masih
bergetar hebat. Mungkin jika Zio ak merengkuhku seperti sekarang, aku sudah jatuh
merosot di permukaan kasar bumi.

“Sshh…,” hiburnya menenangkanku.

Aku memejamkan mataku erat, membiarkan air mataku mengalir membasahi bagian
bahu kaos yang dikenakannya. Kulihat beberapa orang berlalu melewati kami saat Zio
mengacungkan tangannya ke arah belakangku—arah pohon itu. Kutangkap suara
teriakan-teriakan yang menggema dalam telingaku. Sisanya derap langkah warga mulai
mengalir di sekitarku. Lebih padat dari tadi pagi.

Senja yang kelabu.

Kami berdua benar-benar tak lagi mempedulikan lalu lalang orang yang sibuk
menghampiri rumah keluarga Pak Anto.

Bahuku masih bergetar saat kurasakan Junior, kucing milik Zio yang tadi sempat kuantar
dari kontrakanku bergerak menyentuhkan bulu-bulunya di kakiku. Aku masih gemetar
meski air mataku tak lagi menetes.

Mendapati mayat seseorang adalah hal yang mengerikan untukku.

Zio masih memelukku erat. Dan aku tak berniat untuk melepas pelukannya. Aku masih
membutuhkannya untuk menyandarkan tubuhku yang lemas. Ini semua terlalu tiba-tiba.
Ini semua sungguh sulit untukku. Dalam satu hari yang singkat aku mempelajari alur
hidup seseorang.

Alur yang mengerikan.

“Sembilan.”

Kudengar desah hangat napas Zio mengalir di telingaku.

“Satu, nyawa kucingku dihilangkan oleh lelaki itu.”

hal. 19 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Aku terdiam.

“Dua, lelaki itu mengalami musibah kecurian. Tiga, putera lelakinya tewas di rel kereta.
Empat, puterinya keguguran. Lima, Istrinya mengalami kesialan di pasar. Enam, anak
bungsunya menjadi korban tabrak lari. Tujuh, rumahnya kebakaran. Delapan, suara-suara
dan mimpi yang menghantui keluarganya. Dan terakhir…”

Aku menghentikan isakan tangisku saat Zio melepas rengkuhannya dari tubuhku.
Pemuda itu menatapku tajam. “Yang kesembilan, sama seperti yang pertama, kematian
bisa mengakibatkan kematian juga.”

Tubuhku terlalu gemetar untuk mencerna semuanya. Bahkan untuk merespon gerakan
tubuhku pun tak mampu.

“Hei, aku tak ingin membuatmu takut.”

Terlanjur. Aku terlanjur dibuat takut olehnya.

“Ini hanya teori saja. Teori bahwa kucing memiliki sembilan nyawa. Kalau boleh jujur,
aku menemukan Junior seminggu setelah kucingku dibunuh lelaki itu. Keduanya mirip
sekali.” Zio tersenyum lembut sembari membelai pipiku.

Aku menunduk, menatap Junior yang masih bergelanyut manja di kakiku.

“Jangan takut. Kamu boleh tak percaya padaku, Tetangga.”

Aku mengangkat lagi wajahku saat Zio meraih kucingnya dan mengangkatnya. Pemuda
itu mencondongkan tubuhnya. Dalam sedetik, ia menyentuhkan bibir lembutnya di pipiku
yang masih basah karena sisa-sisa air mata. Ia tersenyum dan menyerahkan Junior
padaku.

“Kamu bisa membuktikannya sendiri. Kupinjamkan Junior untukmu, Tetangga.”

Zio menyeringai lagi. Dan entah apa alasannya, bibirku ikut membentuk sebuah
senyuman.

“Meaw.”

Aku menyodorkan lagi wadah berisi susu pada Junior seperti yang kulakukan tadi pagi.
Aku melangkah mendekat pada laci di samping ranjangku dan mengeluarkan dompet
milikku dari dalam sana. “Begitu susumu habis, kita ke minimarket ya? Aku harus
mencarikanmu biskuit kucing atau ikan kalengan, Junior.”

Kucing itu tak merespon. Masih sibuk menghabiskan minumannya.

hal. 20 dari 21
SEMBILAN by D RATIH

Aku mendesah sembari menyentuh pipiku. Garis-garis air mata telah mengering. Aku
menengok lagi ke dalam isi laci, menggeledahnya untuk mencari sesuatu. Cukup lama
aku mencari-cari benda yang seminggu ini kusimpan rapi.

Ah, ketemu!

Aku meraih LG milikku dan mulai menekan tombol kontaknya, mencoba menghubungi
seseorang. Dalam beberapa detik, terdengar sahutan dari seberang.

“Ada apa?”

Aku menghela napas. Ah, betapa aku merindukan suara ini. “Hai, Gi…”

“Tumben kamu telepon. Ada apa?”

“Oh, aku mau menanyakan soal undangan yang kamu titipkan ke Tya buatku,” jawabku.

“Kamu sudah nerima undangannya? Ya, aku cukup mengharapkan kamu datang ke
acara pertunanganku besok lusa. Aku kira kamu pasti mau datang ‘kan?”

Lelaki brengsek. Meninggalkanku begitu saja untuk anak direktur tempatnya bekerja.
Aku mencintainya, tapi aku juga membencinya.

“Meaw!”

“Itu suara kucing?”

Aku tertawa kecil. “Kamu masih membenci kucing ya?”

“Yeah, more than anything. Mungkin aku akan bersin sebentar lagi.”

“Aku akan datang, Gi.”

“Baguslah. Padahal aku khawatir kamu nggak mau datang karena kesal padaku, haha.”
Kudengar tawanya yang menggema dari seberang sana. Memuakkan.

“Aku pasti datang. Pasti. Tunggulah.”

Dan dengan kalimat terakhirku itu aku menutup telepon selularku dan melemparkannya
ke ranjang. Kuangkat tubuh Junior dan kuletakkan di pangkuanku sambil membelai
bulunya yang lembut. Aku mengecup ujung dahi Junior sebelum menatap mata
kehijauannya yang melebar dalam remang cahaya kamarku. Kupeluk Junior erat sambil
membayangkan wajah lelaki yang pernah menyakitiku.

“Semoga dia senang menerimamu sebagai hadiahku. Mohon bantuannya ya, J.”

hal. 21 dari 21

You might also like