You are on page 1of 5

TOR Diskusi Strategis

Tema I: Mewujudkan Penataan Ruang Jakarta yang Lebih Baik

Pada Jakarta, disematkan status khusus. Kekhususannya adalah karena Jakarta


memiliki berbagai peran. Jakarta berperan sebagai ibu kota negara Republik
Indonesia, sebaga pusat pemerintahan, peran sebagai provinsi-kota, peran sebagai
bagian dari jaringan kota-kota internasional, peran sebagai kota inti di pusat
kegiatan nasional di kawasan megapolitan Jabodetabekpunjur.

Terkait kemajemukan peran Jakarta tersebut, ada dua hal penting. Pertama,
kemajemukan tersebut bergaris lurus dengan persoalan-persoalan yang terjadi.
Persoalan-persoalan Jakarta sangatlah multidimensi dan kompleks. Kedua,
kemajemukan peran Jakarta tersebut, juga berimplikasi pada jalur koordinasi
perencanan, implementasi dan pengawasan kebijakan-kebijakan terkait Jakarta.
Pemerintah daerah Jakarta harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah-pemerintah daerah di kawasan Bodetabekpunjur.

Kebijakan-kebijakan yang dimaksud salah satunya adalah, kebijakan tentang


penataan ruang Jakarta. Dan, bicara tentang tata ruang Jakarta, bukan sebatas
bicara pengklasifikasian ruang/peruntukan lahan. Namun, ada komponen-komponen
penting lain yang juga termasuk di dalamnya. Yaitu sarana dan prasarana
transportasi, luas wilayah dan daya dukung lingkungan yang terbatas, pemukiman,
pengelolaan air termasuk pengendalian banjir, sampah, lingkungan, Ruang Terbuka
Hijau, perubahan iklim berikut mitigasi bencananya dan dukungan dana untuk
semua hal tersebut.

Menyoal Peruntukkan Ruang / Wilayah Jakarta. Pemprov Jakarta


mengklasifikasi peruntukkan atas Belum lagi kasus pembabatan hutan lindung dan
hutan bakai di pantai utara Jakarta untuk . pembangunan kawasan permukiman
serta kawasan superblok yang minim resapan air dan RTH, atau pelanggaran
koefisien luas bangunan pada gedung bertingkat.

Menyoal Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH, khususnya RTH publik, setidaknya
memiliki tiga fungsi bagi sebuah kota yaitu sebagai paru-paru kota, penyerap air
hujan dan pencegah banjir serta sarana rekreasi dan interaksi warga kota.

Pada Rencana Induk Djakarta 1965-1985, alokasi lahan kota untuk Ruang Terbuka
Hijau mencapai 37,2 persen. Luas RTH Publik berkurang menjadi 26,1 persen pada
Rencana Umum Tata Ruang 1985-2005 dan berkurang lagi menjadi 13,94 persen
pada Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010. Dan pada Rancangan Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Pemda Jakarta menargetkan
14,27 persen untuk RTH Publik di Jakarta per 2030.

Terkait perencanaan alokasi 14,27 persen untuk RTH Publik di Jakarta, ini
sebenarnya sudah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007
tentang Tata Ruang. UU ini mewajibkan setiap provinsi di Indonesia, minimal
mempunyai 30 persen RTH dibanding luas wilayahnya.
1
Saat ini, dari total 657 kilometer persegi luas wilayah Jakarta, RTH-nya baru sekitar
9,6 persen atau tidak sampai 65 kilometer persegi. Pemda Jakarta, mengklaim,
bahwa mereka akan terus meningkatkan jumlah RTH di Jakarta. Langkah-
langkahnya antara lain dengan mengembalikan fungsi-fungsi RTH seperti
pembongkaran SPBU yang berada di wilayah yang seharusnya sebagai RTH dan
juga memfokuskan pembukaan ruang terbuka di sekitar wilayah-wilayah yang
padat penduduk. Langkah-langkah ini masih menjadi perdebatan, karena terkait
dengan penggusuran pemukiman dan juga tempat usaha warga.

Melihat hal ini:


a. Apakah dengan situasi dan kondisi ruang / wilayah Jakarta saat ini, masih
dimungkinkan untuk menambah alokasi RTH? Dari 9.6 persen RTH saat
ini, apakah per 2030 Jakarta bisa mempunyai RTH seluas 14 persen? Atau
30 persen, sesuai UU 26 Tahun 2007?
b. Apa langkah-langkah (yang tidak represif) yang seharusnya diambil
Pemda untuk memperluas RTH Jakarta?
c. Apa atau bagaimana bentuk kontribusi warga Jakarta keseluruhan, untuk
berkontribusi pada penambahan RTH Jakarta?

Menyoal transportasi Jakarta. Bicara transportasi Jakarta, maka macet, adalah


omok yang masih menghantui Jakarta. Proyeksi kerugian yang ditimbulkan oleh
macet diperkirakan mulai dari 28 -43 Triliun, tergantung komponen-komponen
penghitungannya. Untuk kerugian 43 Triliun per tahun, itu dihitung dari
pengeluaran tambahan warga akibat kemacetan, yakni belanja onderdil yang
meningkat, pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) serta timbulnya penyakit fisik
dan psikis serta konversi waktu produktif yang hilang selama macet.

Selain menyebabkan kerugian materil, fenomena macet ini juga memberikan citra
semrawut, tak terkendali, dan lemahnya kemampuan pemerintah mengatasi
masalah kotanya. Menyikapi macet ini, Pemprov DKI Jakarta, meletakkan isu
transportasi pada bagian Program dedicated1 pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah DKI Jakarta.

Program-programnya tidak berbeda dengan yang diusulkan pada Raperda RTRW


2030 DKI Jakarta, yaitu mencakup PTM (pola transportasi makro) yang terdiri atas
tiga hal yaitu angkutan umum massal, pengembangan jaringan jalan, dan
manajemen lalu lintas. PTM ini menurut Pemprov DKI Jakarta akan megintegrasikan
empat sistem transportasi umum yaitu busway, monorel, Mass Rapid
Transportation dan ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan).

Bukan hanya Pemprov DKI yang bertindak pemerintah pusat pun turut ambil
tindakan. Bukti nyata intervensi Pemerintah Pusat ke masalah transportasi Jakarta,
adalah dengan mengeluarkan 17 solusi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta (2
September 2010) dan menunjuk Kuntoro Mangkusubroto, koordinator Unit Kerja

1
merupakan program prioritas yang bersifat menyentuh langsung kepentingan publik,
bersifat monumental, lintas urusan, berskala besar dan memiliki urgensi yang tinggi serta
memberikan dampak luas pada masyarakat.

2
Presiden untuk Pengawas dan Pengendali Pembangunan (UKP4) sebagai
penanggung jawab implementasi solusi-solusi ini.

17 solusi yang dimaksud adalah Electronic Road Pricing (ERP), sterilisasi jalur
busway, mengkaji ulang kebijakan perparkiran, perbaikan jalan, penambahan jalur
dan optimalisasi manajemen busway, mengkaji agar BBG lebih murah,
restrukturisasi angkutan sesuai dengan fungsi jalan, peningkatan pelayanan KRL
Jabodetabek, penertiban angkutan liar, mulai pembangunan MRT di 2011,
membentuk Otoritas Transportasi Jabodetabek, revisi rencana induk transportasi
terpadu di Jabodetabek, double-double track Manggarai-Cikarang, mempercepat
proyek pembangunan jalur KA lingkar dalam Jakarta (circle line), pembangunan
enam ruas jalan tol, pembatasan kendaraan pribadi, serta membangun park and
ride untuk mendukung operasional kereta api.

Melihat hal ini:


a. Apakah kebijakan pola transportasi makro yang diambil Pemprov DKI Jakarta,
memang yang tepat untuk Jakarta? Dan bagaimana kaitannya dengan masa
depan tataruang Jakarta? Karena pastinya akan membutuhkan pembangunan
sarana dan prasarana penunjangnya, apakah akan berbuntut pada
pembebasan lahan yang hanya akan menggusur pemukiman atau tempat
bekerja sebagian warga Jakarta? Kemudian, apakah pola transportasi makro
ini juga menjamin rakyat miskin kota atau pun penyandang cacat, bisa
mengaksesnya?
b. Dari 17 solusi mengatasi kemacetan Jakarta versi pemerintah pusat, salah
satunya adalah “pembangunan enam ruas jalan tol tengah”. Bukankah ini
kontraproduktif dengan tujuan “pembatasan kendaraan pribadi”? dan
bertentangan dengan solusi “penerapan ERP” ? karena dengan adanya tol
hanya akan mendorong warga Jakarta menggunakan kendaraan pribadi ?
c. Apakah kebijakan-kebijakan terkait transportasi dari pemerintah provinsi
maupun dari pemerintah pusat, seperti yang diuraikan di atas, “ramah”
terhadap rakyat miskin kota?

Menyoal perubahan iklim berikut mitigasi bencana di Jakarta. Wilayah DKI


Jakarta merupakan kota yang sangat pesat mengalami perkembangan di bidang
industri, pembangunan fisik (gedung tinggi) dan juga pertumbuhan penduduknya.
Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perubahan
karakteristik permukaan fisik tanah dan akibat sampingan dari kegiatan tersebut
adalah perubahan unsur iklim.

Adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi ini dapat menghambat gerakan


angin. Pembangunan gedung-gedung yang berdinding kaca juga akan
memantulkan radiasi panas dari matahari, sehingga daerah sekitar gedung ini akan
mengalami peningkatan panas. Hal ini akan mengakibatkan siklus iklim terganggu.

Dalam 25 tahun terakhir ada beberapa unsur mengalami perubahan diantaranya :


Suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0.17 oC, suhu di
daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7 oC – 0,9 oC di bandingkan dengan daerah
pinggiran (Halim dan Cengkareng), Kelembaban juga lebih kecil 3 % - 7 % dari
pinggiran (rural), curah hujan akibat aliran konvektif sering terjadi di kota Jakarta

3
sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural) yaitu sebesar
1-3 hari, serta arah dan kecepatan angin juga mengalami perubahan.

Belum lagi, bagi daerah pesisir Jakarta. Perubahan iklim di sana ditandai dengan
musim gelombang yang tinggi, bisa mencapai empat meter. Hal ini tentu akan
mengurangi hari mereka melaut dan akan paralel dengan pendapatan mereka.

Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah DKI Jakarta terkait tata ruang, dinilai


masih diskriminatif ke kelompok tertentu, masih belum efektif dan efisien,
cenderung berantakan dan bahkan dianggap sebagai penyebab segala
kekarutmarutan Jakarta sekarang ini. Dengan kata lain, Kebijakan Pemerintah DKI
Jakarta tentang penataan ruang, belum menjawab persoalan-persoalan Jakarta,
malahan menjadi persoalan tersendiri yang besar.

- Bgaimana pengaturan yang ideal terhadap berbagai hirarkir perekonomian?


- Sistem koordinasi seperti apa yang ideal antara Bodetabekpunjur terkait
penataan ruang ? karena misalnya soal
- Yang pertama, cara pandang kota Jakarta terhadap daerah-daerah sekitar kota
Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur / Bodetabekjur) haruslah
dipandang sebagai ‘partner’. Selama ini daerah-daerah tersebut dipandang
sebagai buffer/penyangga kota Jakarta. Penggunaan konsep buffer, lebih
menonjolkan bahwa seakan-akan keberadaan (baca: ‘kepentingan’) kota Jakarta
adalah entitas uatama daripada daerah-daerah Bodetabekjur. Sehingga dalam
kebijakan pengembangan daerah Bodetabekjur tersebut harus senantiasa ditata
demi pembenahan dan kebutuhan kota Jakarta (mengikuti pola Jakarta).
- Terkait masalah sampah, Walhi DKI mendesak Pemprov DKI untuk segera
membuat perda atau peraturan gubernur sebagai turunan dari UU Nomor 18
tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
-

PESERTA DISKUSI

1. Pakar Perkotaan dan Anggota Koalisi Warga Untuk Jakarta 2030: Marco
Kusumawijaya

2. Pakar Planologi Univiersitas Trisakti : Yayat Supriyatna

3. Ketua Institut Transportasi (Instran) : Darmaningtyas

4. Institut Hijau Indonesia (IHI): Selamet Daroyni (Direktur Lingkungan Hidup


Perkotaan)

5. Direktur LBH Jakarta: Nurkholis

6. Pengamat Isu Perkotaan dan Direktur Eksekutif Center for Indonesian


Regional and Urban Studies (CIRUS) : Andrinof Chaniago

7. Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup:
Achmad Harjadi
4
8. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) : Ucok Sky Khadafi
(Koordinator Divisi Investigasi & Data Politik Anggaran Negara)

You might also like