Professional Documents
Culture Documents
DEFINISI
B. ETIOLOGI
1. Factor genetik
2. Factor anatomi
3. Factor endokrin
4. Factor infeksi
5. Factor imunologi
C. PATOFISIOLOGI
Fetus dan plasenta keluar bersama pada saat aborsi yang terjadi sebelum
1
menembus desidua terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu
telah masuk agak dalam sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan
D. DIAGNOSIS
berdasarkan
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksan Penunjang
hasil konsepsi.
2
E. PENATALAKSANAAN
perlu)
(NaCl atau Rl) dengan gtt 40x/m sampai terjadi ekspulsi hasil
konsepsi
3
c. Evaluasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus
4
ABORTUS INKOMPLIT
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dari Praktek Lapangan di
Ruang Kebidanan Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Pembimbing : Hj. Eva Yulianti, Am.Keb, SKM
DISUSUN OLEH :
NIM : 2108046
PALEMBANG
2011
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
A. Definisi................................................................................... 1
B. Penyebab/Etiologi.................................................................. 1
C. Patofisiologi…....................................................................... 1
D. Diagnosis................................................................................ 2
E. Penatalaksanaan..................................................................... 3
ii
6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
7
anak lagi atau untuk menjarangkan kehamilan, tetapi tidak menggunakan alat
kontrasepsi (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Dr. F.L. Tobing
Sibolga, peneliti memperoleh data terjadi peningkatan abortus inkompletus dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2006 ada sebanyak 30 kasus dari 228 persalinan, tahun
2007 ada sebanyak 38 kasus dari 208 persalinan.
http://addy1571.wordpress.com/2009/08/23/karakteristik-ibu-dengan-abortus-
inkompletus/
8
Abortus Inkomplit
(Pendokumentasian
Asuhan Kebidanan)
PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN PADA
NY “F”DENGAN ABORTUS INKOMPLIT
DI RSUD DAYA MAKASSAR
TGL 25 AGUSTUS 2006
DATA SUBJEKTIF ( S )
1. Ibu mengatakan keluar darah di sertai jaringan dari vagina bergumpal,
berwarnah merah kehitaman dan mengeluh nyeri perut bagian bawah sejak
tanggal 22 agustus 2006 jam 13.00 wita.
2. Faktor pencetus tidak jelas.
3. Ibu tidak pernah ke dukun untuk upaya pengguguran.
4. Ibu tidak pernah koitus sebagai akibat abortus.
5. Ibu tidak pernah minum obat-obatan atau jamu untuk menggugurkan.
6. Ibu selama amenore tidak pernah memeriksakan diri ke BPS.
7. Pengaruh keluhan terhadap fungsi tubuh sangat mengganggu aktivitas.
8. Ibu selalu menanyakan keadaannya.
DATA OBJEKTIF ( O )
1. Tanda-tanda vital :
- TD : 120 / 70 mmHg
- N : 80 x / menit
- S : 36,7o C
- P : 20 x / menit
2. Keadaan umum lemah
9
3. Ekspresi wajah tampak meringis
4. Kunjungtiva pucat
5. TFU masih teraba dan nyeri tekan.
6. Perdarahan kurang lebih 100cc dan berbau keton.
7. Nyeri tekan pada daerah simpisis.
8. Daerah genetalia dan anus tampak kotor dengan sisa-sisa darah.
9. Infus terpasang dengan RL. RL botol 28 tetes /menit lengan kiri.
10. Rencana kuret tanggal 25 Agustus 2006 jam 10.45 wita.
11. Pemeriksaan dalam oleh dokter :
- Vulva dan Vagina : Tidak ada kelainan.
- Portio : Lunak dan tebal.
- OUE / OUI : Terbuka 2 cm, teraba jaringan.
- Uterus : Antefleksi, kesan membesar sesuai umur kehamilan 9 bulan.
- Pelepasan : Darah dan sisa jaringan
12. Pemeriksaan Lab tanggal 25 Agustus 2006 :
- Hb : 10,3 gram %
- Leukosit : 6,760 / mm3
- Trombosit : 218.400 / mm3
13. Pengobatan ( tanggal 25 Agustus 2006 )
- Quinobiotik : 3 x 500 mg
- Folamil : 2 x 1
- Pospargin : 3 x 1
- Ilusemin : 2 x 1
ASSESMENT ( A )
Abortus inkomplit dengan masalah pendarahan nyeri perut bagian bawah dan
kecemasan.
PLANNING ( P )
Tanggal 25 Agustus 2006 jam 10.00 sampai 10.40 wita
1. Mengontrol tanda-tanda vital :
- TD : 120 / 70 mmHg
- N : 80 x / menit
- S : 36,7o C
- P : 20 x / menit.
2. Mengontrol dan mengganti cairan infuse. Infus terpasang baik dengan RL 28
tetes / menit.
3. Mengobservasi perdarahan sebelum kuret. Jumlah perdarahan kurang lebih 100
CC.
4. Kolaborasi dengan dokter tentang rencana kuret. Kuret di lakukan pada jam
10.45 wita.
5. Menganjurkan ibu untuk melakukan tehnik relaksasi apabila timbul nyeri.
Nyeri berkurang.
6. Menganjurkan ibu untuk tetap dan selalu mengkomsumsi makanan atau
minuman yang mengandung zat bezi dan bergizi tinggi. Ibu mengerti.
7. Menyiapakan alat untuk kuret :
10
a. Menyiapkan alat di atas meja yang di lapisi dengan duk steril yaitu ;
- Duk bokong 1 lembar.
- Hand scuen ½ 2 pasang
- Speculum 2 buah
- Tampon tang 1 buah
- Tenakulum 1
- Sondo uterus 1 buah
- Abortus tang 1 buah
- Kuret tumpul 1 buah
- Kuret tajam 1 buah
- Kasa steril secukupnya
- Kain steril berisi betadin
- Poli kateter ( bila perlu )
- Saflon atau kapas.
b. Menyiapakan alat yang tidak steril ;
- Celemek 2 buah
- Penampung darah atau tempat sampah
- Perlak 1 buah
- Lampu sorot
- Spoit 3 ml 2 buah
- Larutan klorin 0,5%
- Larutan DTT
- Obat-obatan ( Amoxicilin, Pitogen dan ergometrin )
- Jam 10. 45 wita membantu dokter melakukan kuret, jalannya kuret di mulai :
a. Kuret di mulai pada jam 10.45 wita
b. Ibu berbaring terlentang dalam posisi letotomi dengan infus RL di tangan kiri.
c. Sepsis dan anti septik vulva, vagina dan sekitarnya dengan kasa betadhin.
d. Katerisasi kandung kemih kurang lebih 20 cc.
e. Memasang duk steril pada bokong ibu.
f. Pasang spekulum posterior lalu anterior, kemudian porsio di jepit dengan
terakulum gigi 1 pada pukul 11.00 wita.
g. Sonde uterus di masukkan kurang lebih 9 cm
h. Jaringan di keluarkan dengan abortus tang, lalu dengan kuret tajam dan kuret
tumpul.
i. Memberikan injeksi oksitosin sama dengan ergometrin 1 : 1 secara IM.
j. Jaringan yang ke luar kurang lebih 20 cc.
k. Tanpun ( – ), PA ( – ).
- Jam 11.00 wita, selesai membersihkan ibu dengan melakukan dekontaminasi
semua alat-alat yang telah di gunakan untuk mencegah dekontaminasi.
Dekontaminasi tempat tidur dengan merendam alat-alat dalam larutan klorin 0,5%
dan mencuci tangan di bawah air mengalir.
- Jam 11.15 mengontrol tanda-tanda vital :
- TD : 110 / 80 mmHg
- N : 80 x / menit
- P : 20 x / menit
- S : 37oc
11
- Menganjurkan ibu untuk istirahat
- Jam 12.00 wita menganjurkan ibu untuk menghabiskan porsi makanan atau
minuman yang telah di sediakan. Ibu menghabiskan porsi makanan dan minum
susu 1 gelas.
- Jam 13.00 wita, pelaksanaan pemberian obat-obatan post kuret.
- Pemberian injeksi. Ibu di suntik pitogin 1 ampul dan ergometrin 1 ampul secara
IM.
- Follow up:
a. Perdarahan berkurang dan tidak berbau.
b. Sisa jaringan sudah tidak ada.
c. Ibu mengatakan nyeri perut bagian bawah.
d. Ekspresi wajah ceria.
e. Nyeri tekan pada daerah simpisis agak berkurang.
http://athultocm.wordpress.com/khusus-akbid/abortus-inkomplit-
pendokumentasian-asuhan-kebidanan/
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/27/perdarahan-pada-kehamilan-muda/
12
Abortus Inkolplit
13
- Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau embrio telah
meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu,
akan tetapi hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam
kandungan selama 6 minggu atau lebih.
14
11. Anak terakhir masih kecil.
12. Ingin menyelesaikan pendidikan.
13. Ingin konsentrasi pada pekerjaan untuk menunjang
kehidupan dengan anaknya.
14. Ada masalah dengan suami.
15. Ia merasa trerlalu tua/muda untuk mempunyai anak.
16. Ia terinfeksi HIV.
17. Suami menginginkan aborsi.
INSIDEN
Wanita Muda
Usia
Jumlah
Dibawah 15 tahun
14.200
0.9%
15-17 tahun
15
154.500
9.9%
18-19 tahun
224.000
14.4%
20-24 tahun
527.700
33.9%
25-29 tahun
334.900
21.5%
30-34 tahun
188.500
12.1%
35-39 tahun
90.400
5.8%
40 tahun keatas
23.800
1.5%
Belum Menikah
16
nikah, cenderung dengan mudah akan memilih membunuh
anaknya sendiri
ETIOLOGI
- Faktor infeksi
17
o Infeksi termasuk infeksi yang diakibatkan oleh TORC
(Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus) dan malaria. 11
- Faktor imunologi
PATOGENESA
- Debu
1. Invasi ke jaringan
18
Kemampuan dari beberapa bakteri tergantung dari luasnya
enzim yang bekerja ektraseluler. Contohnya banyak bakteri
Gram positif memproduksi hyaluronidase dan kollagenase. Enzim
ini meningkatkan difusi melalui jaringan penyambung dengan
cara depolimerase asam hyaluronidase. Pada abortus provokatus
kriminalis, invasi mikroba sangat dipermudah dengan adanya
jejas pada mukoa uterus.
2. Reaksi hipersensitivitas
INTERAKSI ANTIMIKROBA-MIKROBA
3. Resistensi mikroba
GAMBARAN KLINIS
19
kadang dapat diraba sisa-sisa jaringan dalam kanalis servikalis
atau kavum uteri, serta uterus berukuran kecil dari seharusnya.3
DIAGNOSIS
- Anamnesis 3
20
o Pada pemeriksaan bimanual didapatkan uterus membesar dan
lunak.
- Pemeriksaan Penunjang 2
DIAGNOSIS BANDING 9
- Abortus komplit
- Kehamilan ektopik
PENATALAKSANAAN 2,3
21
untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan
kuretase keluarga terdekat pasien menandatangani surat
persetujuan tindakan.2
KOMPLIKASI 1,6
1. Perdarahan
2. Perforasi
3. Syok
4. Infeksi
22
Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes
potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk gas.
PROGNOSIS 9,10
Daftar Pustaka
23
7. Abortion-Incomplete. Available
at: http://www.medlineplus.com. Accessed on Accessed on
January,21 2006
http://tamrinfathoni.blogdetik.com/?p=37
BORTUS INKOMPLIT
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu kejadian yang paling sering terjadi dalam bidang kebidanan dan
kandungan dengan keluhan adanya perdarahan pervaginam yakni terjadinya
abortus. Abortus inkomplit dapat didefinisikan sebagai pengeluaran sebagian hasil
konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal
dalam uterus.1Kejadian abortus inkomplit ini diperkirakan terjadi pada 10-15%
kehamilan. Abortus inkomplit memiliki komplikasi yang dapat mengancam
keselamatan ibu karena adanya perdarahan yang masif yang bisa menimbulkan
kematian akibat adanya syok hipovolemik apabila keadaan ini tidak mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat. Seorang ibu hamil yang mengalami abortus
24
inkomplit dapat mengalami guncangan psikis tidak hanya pada ibu namun juga
pada keluarganya, terutama pada keluarga yang sangat menginginkan anak.2
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan
setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian :1,3 juta dilakukan di Vietnam
dan Singapura,750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia,155.000 sampai 750.000 di
Filipina dan 300.000 sampai 900.000 di Thailand, namun tidak dikemukakan
perkiraan tentang abortus di Kamboja, Laos dan Myanmar. Hasil survei yang
diselenggarakan oleh suatu lembaga penelitian di New York yang dimuat dalam
International Family Planning Perspectives, Juni 1997, memberikan gambaran
lebih lanjut tentang abortus di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Abortus di Indonesia dilakukan Baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan. Dan dilakukan tidak hanya oleh mereka yang mampu tapi juga oleh
mereka yang kurang mampu Di perkotaan abortus dilakukan 24-57% oleh
dokter,16-28% oleh bidan/ perawat, 19-25% oleh dukun dan 18-24% dilakukan
sendiri. Sedangkan, di pedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26%
oleh bidan/perawat, 31-47% oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri. Cara
abortus yang dilakukan oleh dokter dan bidan/perawat adalah berturut-turut: kuret
isap (91%), dilatasi dan kuretase (30%) sertas prostaglandin / suntikan (4%).
Abortus yang dilakukan sendiri atau dukun memakai obat/hormon (8%),
jamu/obat tradisional (33%), alat lain (17%) dan pemijatan (79%). Survei yang
dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar
menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada wanita yang sudah menikah,
11% pada wanita yang belum menikah dengan perincian: 45% akan menikah
kemudian, 55% belum ada rencana menikah. Sedangkan golongan umur mereka
yang melakukan abortus: 34% berusia antara 30-46 tahun, 51% berusia antara 20-
29 tahun dan sisanya 15% berusia di bawah 20 tahun.
Abortus inkomplit sering terjadi pada wanita hamil apabila dilakukan penanganan
yang cepat dan tepat maka komplikasi yang timbul dapat diminimalkan. Namun,
apabila abortus ini tidak ditangani dengan baik maka dapat menimbulkan
kematian ibu. Oleh karena itu, abortus inkomplit adalah topik yang penting dan
menarik yang harus dikuasai oleh dokter ataupun pekerja medis yang lain.
Dalam tinjauan kasus ini akan dibahas bagaimana teori tentang abortus inkomplit,
laporan kasus, dan pembahasan kasus, apakah sudah sesuai dengan teori, atau
belum. Diharapkan dengan tinjauan kasus ini dapat dimengerti lebih baik tentang
abortus inkomplit sehingga apabila kita menjumpai kasus ini, kita dapat
melakukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat.
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup diluar kandungan. Abortus adalah berakhirnya kehamilan
sebelum viabel, disertai atau tanpa pengeluaran hasil konsepsi. Sampai saat ini
janin yang terkecil dilaporkan dapat hidup diluar rahim, mempunyai berat badan
297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan
berat badan dibawah 500 gram dapat hidup terus maka abortus dapat ditentukan
sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin dapat mencapai berat 500 gram
atau kurang dari 20 minggu.1 Menurut WHO, abortus didefinisikan sebagai
penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau berat
janin kurang dari 500 gram. Sedangkan abortus inkomplit adalah pengeluaran
sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada
sisa jaringan yang tertinggal di dalam uterus 2.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika serikat banyak kehamilan tidak viable, dengan perkiraan kematian
50% sebelum keterlambatan pertama periode menstruasi. Kehamilan ini biasanya
tidak menunjukan gejala klinis. Aborstus spontan yang klasik ditunjukan secara
klinis (dengan tes darah, USG) kematian janin sebelum usia 20 minggu. Perkiraan
terjadinya 10-15% kehamilan.3 Morbiditas abortus inkomplit sama dengan
abortus spontan dan termasuk perdarahan, infeksi, dan dipertahankannya produk
konsepsi. Data survilance dari kehamilan yang dihubungkan dengan kematian
pada 1987-1990 didapatkan dari total 1459 kematian di Amerika Serikat. Dari
data kematian tersebut abortus terjadi sekitar 5,6% 3,4.
Angka kejadian sama pada semua ras. Data survilance dari data kehamilan yang
dihubungkan dengan kematian (1987-1990) menunjukan kematian lebih banyak
disebabkan oleh kehamilan ektopik dan abortus pada wanita Afrika-Amerika
dibandingkan wanita Kaukasian. 14% dari kehamilan yang dihubungkan dengan
kematian pada wanita kulit hitam yang disebabkan oleh kehamilan ektopik; 7%
disebabkan oleh abortus. Diantara wanita kulit putih, data menunjukkan 8%
menunjukan dari kehamilan yang menunjukan kematian disebabkan oleh
kehamilan ektopik, 4% disebabkan oleh abortus 4,5
Kegagalan kehamilan meningkat sesuai dengan umur dan peningkatan yang
signifikan pada wanita yang berumur lebih dari 40 tahun, umur dan peningkatan
paritas menyebabkan peningkatan resiko kematian janin pada wanita kurang dari
26
20 tahun, kejadian kematian janin diperkirakan 12% dari kehamilan. Pada wanita
yang berumur lebih dari 20 tahun, kejadian kematian janin diperkirakan 26% dari
kehamilan.1,2 Umur secara langsung berpengaruh pada oocyte. Saat oocyte dari
wanita muda dipergunakan untuk membuat embrio untuk diberikan pada
penerima yang lebih tua, rata-rata implantasi dan rata-rata ekspresi kehamilan
terlihat pada wanita yang lebih muda; angka kematian janin dan abnormalitas
kromosom menurun, akibat tidak beresponnya uterus pada wanita usia reproduktif
yang lebih tua 3.
2.3 Etiologi
Pada kehamilan muda abortus tidak jarang didahului oleh kematian mudigah.
Sebaliknya, pada kehamilan lebih lanjut biasanya janin dikeluarkan dalam
keadaan masih hidup. Hal-hal yang menyebabkan abortus dapat dibagi sebagai
berikut 1,2.
Faktor Fetal
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin atau
cacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian mudigah pada hamil-hamil
muda. Faktor-faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan diantaranya
(1) Kelainan kromosom. Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan
ialah trisomi, poliploidi dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks (2)
Lingkungan kurang sempurna. Bila lingkungan di endometrium disekitar tempat
implantasi kurang sempurna, pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi akan
terganggu (3) Pengaruh dari luar. Radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat
mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus.
Pengaruh ini umumnya dinamakan pengaruh teratogen.
b. Kelainan plasenta
Endarteritis dapat terjadi pada vili koriales dan menyebabkan oksigenisasi
plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian
janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi
menahun.
Faktor Maternal
Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi. Peristiwa abortus
tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu, karena pada saat
terjadinya abortus lebih belakangan, pada sebagian kasus dapat ditentukan etiologi
abortus yang dapat dikoreksi. Sejumlah penyakit, kondisi kejiwaan dan kelainan
perkembangan pernah terlibat dalam peristiwa abortus euploidi.
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria
dan lain-lain dapat menyebakan abortus. Toksin, bakteri, virus, atau plasmodium
dapat melalui plasenta masuk ke janin, sehingga menyebabkan kematian janin,
dan kemudian terjadilah abortus. Anemia berat, keracunan, laparotomi, peritonitis
umum, dan penyakit menahun seperti brusellosis, mononukleosis, infeksiosa,
toksoplasmosis, juga dapat menyebabkan abortus walaupun lebih jarang.
a. Infeksi
Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Neisseria
gonorhoe, Streptococcus agalatica, virus herpes simplek, cytomegalovirus listeria
27
monocytogenes dicurigai berperan sebagai penyebab abortus. Toxoplasma juga
disebutkan dapat menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma hominis dan
Ureaplasma urelyticum dari traktus genetalia sebagian wanita yang mengalami
abortus telah menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwainfeksi mikoplasma
yang menyangkut traktus genetalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua
organisme tersebut, Ureaplasma arelyticum merupakan penyebab utama.
b. Penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu,
misalnya penyakit tuberculosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus.
Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan 20 minggu, tetapi
keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin dan persalinan premature.
Diabetes pada maternal pernah ditemukan oleh sebagian peneliti sebagai faktor
predisposisi abortus spontan, tetapi kejadian ini tidak ditemukan oleh peneliti
lainnya.
c. Pengaruh endokrin
Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme, diabetes mellitus
dan defisiensi progesterone. Diabetes tidak menyebabkan abortus jika kadar gula
dapat dikendalikan dengan baik. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi
hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta mempunyai hubungan dengan
kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua,
defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil
konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam proses kematiannya.
d. Nutrisi
Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang paling besar
kemungkinannya menjadi faktor predisposisi meningkatnya kemungkinan
abortus. Meskipun demikian tidak didapatkan bukti yang menyatakan bahwa
defisiensi salah satu nutrien dalam makanan atau defisiensi semua nutrien
merupakan penyebab abortus yang penting. Nausea serta vomitus yang lebih
sering ditemukan selama awal kehamilan dan setiap deplesi nutrien yang
ditimbulkan , jarang diikuti dengan abortus spontan. Sebagian besar mikronutrien
pernah dilaporkan sebagai unsur yang penting untuk mengurangi abortus spontan.
Meskipun demikian, bukti-bukti yang disajikan untuk mendukung pernyataan itu
ternyata lemah atau tidak ada.
e. Obat-obatan rekreasional dan Toksin lingkungan.
Peranan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang dianggap teratogenik
harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan alkohol, yang berperan karena
jika ada mungkin hal ini merupakan salah satu yang berperan.
f. Faktor imunologis
Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus
spontan yang berulang antara lain: antibodi antinuklear, antikoagulan lupus dan
antibodi cardiolipin. yang mengakibatkan destruksi vaskuler, trombosis, abortus
serta destruksi plasenta. Inkompatibilitas golongan darah A, B, O, dengan reaksi
antigen antibodi dapat menyebabkan abortus berulang, karena pelepasan histamin
mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan fragilitas kapiler.
g. Gamet yang menua
Baik umur sperma maupun ovum dapat mempengaruhi angka imsiden abortus
28
spontan. Insiden abortus meningkat terhadap kehamilan yang berhasil bila
inseminasi terjadi empat hari sebelum atau tiga hari sesudah terjadi peralihan
temperature basal tubuh, karena iu disimpulkan bahwa gamet yang bertambah tua
dalam traktus genitalis wanita sebelum fertilisasi dapat menaikkan kemungkinan
terjadinya abortus. Beberapa percobaan binatang juga selaras dengan hasil
observasi tersebut.
h. Trauma Fisik dan trauma Emosional
Kebanyakan abortus spontan terjamdi beberapa saat setelah kematian embrio atau
kematian janin. Jika abortus disebabkan khususnya oleh trauma, kemungkinan
kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi tapi masih merupakan
kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus. Abortus yang disebabkan
trauma emosional bersifat spekulatif, tidak ada dasar yang mendukung konsep
abortus, dipengaruhi oleh rasa ketakutan, marah, ataupun cemas.
i. Kelainan Uterus
Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelahiran akuisita dan kelahiran yang timbul
dalam proses perkembangan janin, serta merupakan akibat dari kelainan spontan
(anomalimullerian) atau kelahiran yang ditimbulkan oleh pemberian
dietilstilbestrol (DES ). Cacat uterus akuisita yang berkaitan dengan abortus
adalah leiomioma dan perlekatan intrauteri. Bahkan leiomioma uterus yang besar
dan majemuk sekalipun tidak selalu disertai abortus, serta lokasi leiomioma
tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Mioma submokosa, tapi bukan
mioma intramural atau subserosa, lebih besar kemungkinannya umtuk
menyebabkan abortus. Namun demikian, leiomioma dapat dianggap sebagai
faktor penyebab hanya bila hasil pemeriksaan klinis lainnya ternyata dianggap
negatif. Dan histogram menunjukkan adanya defek pengisian dalam kavum
endometrium. Miomektomi yang mengangkat tumor tersebut sering
mengakibatkan jaringan parut uterus yang dapat mengalami ruptur pada
kehamilan berikutnya, sebelum atau selama persalinan. Perlekatan intrauteri
(sinekia atau simdrom Asherman) paling sering terjadi akibat tindakan kuretase
pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortus atau mungkin pula akibat
komplikasi postpartum. Keadaan tersebut disebabkan oleh destruksi endometrium
yang kurang memadai untuk mendukung implantasi hasil pembuahan. Defek
perkembangan uterus merupakan akibat pembentukan atau fusi duktus mulleri
yang abnormal. Abnormalitas duktus mulleri dapat terjadi spontan atau
disebabkan oleh pemberian preparat dietilstilbestrol (DBS) ke dalam uterus.
Wanita dengan uterus unikomis dan wanita dengan uterus septus atau uterus
bikornis mempunyai angka abortus yang paling tinggi.
j. Inkompetensi Serviks
Kejadian abortus pada uterus dengan serviks yang inkompeten biasanya terjadi
pada trisemester kedua. Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi setelah membran
plasenta mengalami ruptur pada prolapsus yang disertai dengan balloning
membran plasenta ke dalam vagina.
Faktor Paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam proses
timbulnya abortus. Yang pasti translokasi kromosom dalam sperma dalam
menimbulkan zigot yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu
29
banyak, sehingga terjadi abortus.
2.4 Patofisiologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti
oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi
terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam uterus.
Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena vili koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih
dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat
menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya
yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu
kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan
lengkap. 2,6
2.5 Gambaran Klinis
Gejala umum yang merupakan keluhan utama berupa perdarahan pervaginam
derajat sedang sampai berat disertai dengan kram pada perut bagian bawah,
bahkan sampai ke punggung. Janin kemungkinan sudah keluar bersama-sama
plasenta pada abortus yang terjadi sebelum minggu ke-10, tetapi sesudah usia
kehamilan 10 minggu, pengeluaran janin dan plasenta akan terpisah. Bila
plasenta, seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal dalam uterus, maka pendarahan
cepat atau lambat akan terjadi dan memberikan gejala utama abortus inkompletus.
Sedangkan pada abortus dalam usia kehamilan yang lebih lanjut, sering
pendarahan berlangsung amat banyak dan kadang-kadang masif sehingga terjadi
hipovolemik berat5,7.
2.6 Diagnosis
Diagnosis abortus inkomplit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis melalui
anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, setelah menyingkirkan kemungkinan
diagnosis banding lain. Pemeriksaan fisik mengenai status ginekologis meliputi
pemeriksaan abdomen, inspekulo dan vaginal toucher. Palpasi tinggi fundus uteri
pada abortus inkomplit dapat sesuai dengan umur kehamilan atau lebih rendah.
Pemeriksaan penunjang berupa USG akan menunjukkan adanya sisa jaringan.
Tidak ada nyeri tekan ataupun tandan cairan bebas seperti yang telihat pada
kehamilan ektopik yang terganggu. Pemeriksaan dengan menggunakan spekulum
akan memperlihatkan adanya dilatasi serviks, mungkin disertai dengan keluarnya
jaringan konsepsi atau gumpalan – gumpalan darah. Bimanual palpasi untuk
menentukan besar dan bentuk uterus perlu dilakukan sebelum memulai tindakan
evakuasi sisa hasil konsepsi yang masih tertinggal. Menentukan ukuran sondase
uterus juga penting dilakukan untuk menentukan jenis tindakan yang sesuai. 3,4,5
30
hormonal dan antispasmodik serta istirahat. Kalau perdarahan setelah beberapa
minggu masih ada, maka perlu ditentukan apakah kehamilan masih baik atau
tidak. Kalau reaksi kehamilan 2 berturut-turut negatif, maka sebaiknya uterus
dikosongkan (kuret).
• Kehamilan ektopik tuba – Kehamilan ektopik adalah kehamilan ovum yang
dibuahi berimplantasi dan tumbuh di tempat yang tidak normal, termasuk
kehamilan servikal dan kehamilan kornual.
• Abortus mola.- Adalah perdarahan pervaginam, yang muncul pada 20 minggu
kehamilan biasanya berulang dari bentuk spotting sampai dengan perdarahan
banyak. Pada kasus dengan perdarahan banyak sering disertai dengan pengeluaran
gelembung dan jaringan mola.14 Dan pada pemeriksaan fisik dan USG tidak
ditemukan ballotement dan detak jantung janin.
2.8 Penatalaksanaan
Terlebih dahulu dilakukan penilaian mengenai keadaan pasien dan diperiksa
apakah ada tanda-tanda syok. Penatalaksanaan abortus spontan dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik pembedahan maupun medis. Teknik pembedahan
dapat dilakukan dengan pengosongan isi uterus baik dengan cara kuretase maupun
aspirasi vakum. Induksi abortus dengan tindakan medis menggunakan preparat
antara lain : oksitosin intravenous, larutan hiperosmotik intraamnion seperti
larutan salin 20% atau urea 30%, prostaglandin E2, F2a dan analog prostaglandin
yang dapat berupa injeksi intraamnion, injeksi ekstraokuler, insersi vagina, injeksi
parenteral maupun per oral, antiprogesteron - RU 486 (mefepriston), atau berbagai
kombinasi tindakan tersebut diatas.
Pada kasus-kasus abortus inkomplit, dilatasi serviks sebelum tindakan kuretase
sering tidak diperlukan. Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal
terletak secara longgar dalam kanalis servikalis dan dapat diangkat dari ostium
eksterna yang sudah terbuka dengan memakai forsep ovum atau forsep cincin.
Bila plasenta seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal di dalam uterus, induksi
medis ataupun tindakan kuretase untuk mengevakuasi jaringan tersebut diperlukan
untuk mencegah terjadinya perdarahan lanjut.
Perdarahan pada abortus inkomplit kadang-kadang cukup berat, tetapi jarang
berakibat fatal5. Evakuasi jaringan sisa di dalam uterus untuk menghentikan
perdarahan dilakukan dengan cara6,7:
1) Jika perdarahan tidak seberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16 minggu,
evakuasi dapat dilakukan secara digital atau cunam ovum untuk mengeluarkan
hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika pendarahan berhenti, beri
ergometrin 0,2 mg intramuskular atau misoprostol 400 mcg per oral.
2) Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia kehamilan kurang dari
16 minggu, evakuasi hasil konsepsi dengan:
• Aspirasi Vakum merupakan metode evakuasi yang terpilih. Evakuasi dengan
kuret tajam sebaiknya dilakukan jika aspirasi vakum manual tidak tersedia.
• Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri ergometrin 0,2 mg
intramuskular (diulangi setelah 15 menit jika perlu) atau misoprostol 400 mcg per
oral (dapat diulangi setelah 4 jam jika perlu).
3) Jika kehamilan lebih dari 16 minggu:
• Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan intravena (garam fisiologis
31
atau Ringer Laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai terjadi ekspulsi
hasil konsepsi.
• Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg pervaginam setiap 4 jam sampai terjadi
ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg).
• Evakuasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.
32
yang kemudian diikuti dengan ekspulsi jaringan konsepsi.
Efek yang terjadi pada terapi dengan obat-obatan ini berupa kram pada perut yang
disertai dengan perdarahan yang menyerupai menstruasi namun dengan fase yang
memanjang, selama 9 hari bahkan dapat terjadi selama 45 hari. Kontraindikasi
penggunaan obat-obat tersebut adalah pada keadaan dengan gagal ginjal akut,
kelainan fungsi hati, perdarahan abnormal, perokok berat dan alergi3.
2.9. Prognosis
Kecuali adanya inkompetensi serviks, angka kesembuhan yang terlihat sesudah
mengalami tiga kali abortus spontan akan berkisar antara 70 dan 85% tanpa
tergantung pada pengobatan yang dilakukan. Abortus inkomplit yang di evakuasi
lebih dini tanpa disertai infeksi memberikan prognosis yang baik terhadap ibu5,8.
2.10. Komplikasi
Abortus inkomplit yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan syok
akibat perdarahan hebat dan terjadinya infeksi akibat retensi sisa hasil konsepsi
yang lama didalam uterus5. Sinekia intrauterin dan infertilitas juga merupakan
komplikasi dari abortus.
Berbagai kemungkinan komplikasi tindakan kuretase dapat terjadi, seperti
perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, evakuasi jaringan sisa yang tidak
lengkap dan infeksi. Komplikasi ini meningkat pada umur kehamilan setelah
trimester pertama. Panas bukan merupakan kontraindikasi untuk kuretase apabila
pengobatan dengan antibiolik yang memadai segera dimulai5.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan kuretase antara lain' :
• Dapat terjadi refleks vagal yang menimbulkan muntah-muntah, bradikardi dan
cardiac arrest.
• Perforasi uterus yang dapat disebabkan oleh sonde atau dilatator. Bila perforasi
oleh kanula, segera diputuskan hubungan kanula dengan aspirator. Selanjutnya
kavum uteri dibersihkan sedapatnya. Pasien diberikan antibiotika dosis tinggi.
Biasanya pendarahan akan berhenti segera. Bila ada keraguan, pasien dirawat.
• Serviks robek yang biasanya disebabkan oleh tenakulum. Bila pendarahan
sedikit dan berhenti, tidak perlu dijahit.
• Perdarahan yang biasanya disebabkan sisa jaringan konsepsi. Pengobatannya
adalah pembersihan sisa jaringan konsepsi.
• Infeksi dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi. Pengobatannya berupa
pemberian antibiotika yang sensitif terhadap kuman aerobik maupun anaerobik.
Bila ditemukan sisa jaringan konsepsi, dilakukan pembersihan kavum uteri setelah
pemberian antibiotika profilaksis minimal satu hari.
BAB III
LAPORAN KASUS
33
Umur : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Imam bonjol II
Pekerjaan : Swasta
Agama : Hindu
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
MRS : 21 juli 2010 (pukul 16.30 Wita)
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Perdarahan pervaginam
Anamnesa Umum
Pasien datang mengeluh adanya perdarahan pervaginam sejak 4 hari SMRS
(17/07/2010), awalnya dikatakan perdarahan berupa flek-flek yang warnanya
merah kecoklatan, namun sejak 5 jam SMRS perdarahan semakin banyak disertai
gumpalan-gumpalan darah berwarna merah tua, dan nyeri pada perut bagian
bawah. Keluhan ini disertai lemas, pusing, panas badan dan muntah sejak 1 hari
SMRS. Riwayat mengalami trauma disangkal oleh pasien, begitu juga riwayat
minum jamu dan obat-obatan.
Riwayat menstruasi
Penderita menstruasi pertama kali saat usia 17 tahun. Menstruasinya teratur setiap
bulan dan lamanya rata-rata 3-4 hari. Penderita juga mengatakan bahwa telat haid
dan hari pertama haid terakhir adalah tanggal 3 juni 2010, pasien sebelumnya
sempat berobat ke puskesmas (21 juli 2010) karena mengeluh lemas dan pusing.
Saat itu pasien tidak dilakukan pemeriksaan dan disarankan langsung ke rumah
sakit umum. Saat di RSUD wangaya, dilakukan PPT dan hasilnya positif.
Riwayat Pernikahan dan Persalinan
- Penderita belum menikah
- Riwayat obstetri: I. ini
Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Tidak pernah dilakukan karena os tidak menyadari dirinya telah hamil.
Riwayat KB
Kondom
Riwayat Penyakit Terdahulu
Selama hamil ini penderita mengaku tidak pernah menderita penyakit yang berat,
os hanya mengeluh demam 1 minggu sebelum mengalami perdarahan dan sering
keputihan yang banyak dan berbau, namun hal tersebut tidak terlalu dihiraukan
oleh os. Sedangkan penyakit lainnya seperti, tekanan darah tinggi (hipertensi),
asma, penyakit jantung, maupun penyakit kencing manis disangkal os.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status present:
KU : tampak sakit sedang
TD : 90/70 mmHg
N : 88 x/menit
Tax : 36,5°C
R : 20x/menit
34
BB : 48 kg
TB : 160 cm
Status General:
Mata : Anemia -/-
Thoraks: : Simetris (+), pembengkakan mamae (-)
Jantung : S1S2 tgl reg m(-)
Paru : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abdomen : ~ status ginekologi
Extremitas : Hangat +/+, edema -/-
Abdomen : Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : FUT tidak teraba, massa (-), tanda cairan bebas
(-), nyeri tekan suprapubik (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Inspekulo (+), tampak jaringan (+)∅: flx (+), livide (+), p
VT(22.20) :
(+) 1jr, teraba jaringan (+) nyeri goyang porsio (-)∅flx (+), p
CUAF b/c ~ 6-7 minggu
APCD ~ dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Darah Lengkap (21/07/2010)
WBC: 15,37 10-3 µL
RBC: 2,44 10-6 µL
HGB: 7,4 g/dl
HCT: 21,8 L%
PLT: 255 10-3 µL
Hasil urine lengkap (21/07/2010)
Makroskopis (kuning,keruh)
Parameter Hasil Nilai normal
Glukosa
Protein
Bilirubin
Urobilinogen
Ph
Bj
Eri
Keton
Nitrit
Leu -
+2
-
-
6.0
1.030
35
+3
+1
-
+1 -
-
-
-
4,6 – 8,5
1,003 – 1,030
-
-
-
-
Mikroskopis
Parameter Hasil Nilai normal
Eritrosit
Leukosit
Epitel
Kristal
Silinder
Bakteri
Sel ragi 5-7
4-7
2-4
-
-
(+)
(+) 0-2/lpb
0-5/lpb
0-5/lpk
-
0-1/lpk
-
-
36
Pukul (WITA) Tekanan darah (MmHg) Nadi (kali/menit) Respirasi (kali/menit)
10.15 100/70 86 20
10.30 100/70 86 20
10.45 100/70 86 20
11.00 100/70 84 20
11.15 110/70 84 20
11.30 110/70 82 20
12.00 110/70 82 20
3.6 Prognosis
Dubius ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis
Pasien datang mengeluh adanya perdarahan pervaginam sejak 4 hari SMRS
(17/07/10), awalnya dikatakan perdarahan berupa flek-flek yang warnanya merah
kecoklatan, namun sejak 5 jam SMRS perdarahan semakin banyak disertai
gumpalan-gumpalan darah berwarna merah tua, dan nyeri pada perut bagian
bawah. Tes kehamilan pada urin positif. Riwayat trauma disangkal. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan status present dalam batas normal namun status
general, pasien nampak pucat dan anemis, pemeriksaan abdomen fundus uteri
tidak teraba, nyeri tekan ada, tanda cairan bebas tidak ada, massa tidak ada. Dari
pemeriksaan dalam didapatkan, terdapat fluksus, pembukaan ostium uteri
eksternum (OUE) dan tampak jaringan.
Pada pasien tersebut, pada anamnesis jelas didapatkan adanya keluhan telat haid
yang mendukung bahwa pasien sedang hamil. Disamping itu telah dilakukan tes
kencing dengan hasil positif. Selain adanya keluhan perdarahan pervaginam yang
banyak, didapatkan juga keluhan nyeri perut bagian bawah dan tidak ada riwayat
trauma fisik. Berdasarkan data anamnesis tersebut, maka dapat dipikirkan adanya
kecurigaan terhadap gejala abortus, terlebih lagi pasien sedang dalam masa
reproduksi. Pada kasus ini, setelah dilakukan pemeriksaan dalam ternyata
didapatkan adanya pembukaan ostium uteri eksternum (OUE) dan teraba
massa/jaringan. Berdasarkan gambaran klinis yang jelas inilah kemudian dapat
ditegakkan diagnosanya menjadi abortus inkomplit.
Kendati demikian jika hanya dari anamnesa saja mungkin cukup sulit untuk dapat
yakin bahwa itu merupakan suatu abortus inkomplit oleh karena adanya keluhan
perdarahan pervaginam pada kehamilan muda, selain abortus inkomplit perlu juga
dipikirkan kemungkinan lain seperti: kehamilan ektopik, mola hidatidosa, dan
kehamilan dengan kelainan pada pelvis. Untuk abortus itu sendiri, masih harus
dipikirkan berdasarkan mekanismenya apakah abortus spontan atau abortus
provokatus oleh karena penatalaksanaannya yang berbeda.
Kemungkinan lainnya yang harus disingkirkan adalah kehamilan ektopik, namun
pada kehamilan ektopik, nyeri merupakan keluhan utamanya. Apalagi jika sudah
37
terjadi kehamilan ektopik terganggu. Perdarahan pervaginam merupakan tanda
penting kedua yang dapat menandakan kematian janin, dimana perdarahan tidak
banyak dan berwarna coklat tua. Meskipun gejala klinisnya dapat bervariasi dari
perdarahan yang banyak dan tiba-tiba dalam rongga perut sampai gejala yang
tidak jelas, ada trias klasik yang sering didapatkan yaitu, amenore, perdarahan dan
nyeri akut abdomen.
Sedangkan kemungkinan yang paling jauh yang dapat dipikirkan adalah adanya
suatu mola hidatidosa. Yang dimaksud dengan mola hidatidosa adalah kehamilan
yang berkembang tidak wajar, dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh
vili korealis mengalami perubahan hidrotik. Pada mola perdarahan merupakan
gejala utama, dimana sifat perdarahannya bisa intermitten, sedikit-sedikit atau
sekaligus banyak yang dapat menyebabkan syok. Pada kasus dengan perdarahan
yang banyak sering disertai dengan pengeluaran gelembung dari jaringan mola.
Pada pemeriksaan fisik, besar uterus tidak sesuai dengan usia kehamilan (50%
kasus menunjukkan besar uterus lebih dari usia kehamilan sesungguhnya), tidak
ditemukan ballotement dan denyut jantung janin. Selain itu pada permulaan
kehamilan biasanya pasien mengalami hiperemesis gravidarum, mual, muntah
pusing dengan derajat keluhan yang lebih berat. Perkembangan kehamilan adalah
lebih pesat sehingga pada umumnya didapatkan uterus lebih besar dari umur
kehamilan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan
laboratorium berupa darah lengkap dan tes kehamilan, dan ultrasonografi (USG).
Pada pemeriksaan darah lengkap, tidak ditemukan Hb yang rendah kemungkinan
perdarahan yang bermakna. Hitung sel darah putih dan laju endap darah
meningkat bahkan tanpa adanya infeksi. Menurunnya atau kadar plasma yang
rendah dari β-hCG adalah penanda kehamilan abnormal, baik blighted ovum,
abotus spontan, ataupun kehamilan ektopik. Pemeriksaan USG transvaginal
berguna untuk mendokumentasikan kehamilan intrauterin. Pada abortus
inkomplit, sakus gestasional biasanya terlihat gepeng dan ireguler, material
ekogenik yang mewakili jaringan plasenta terlihat dalam kavum uteri.
Berdasarkan uraian diatas maka diagnosis mengarah ke abortus inkomplit, karena
dari anamnese dan pemeriksaan fisik ginekologi jelas didapatkan gejala klinis
yang sesuai dengan abortus inkomplit. Adanya diagnose banding yaitu abortus
iminens, kehamilan ektopik dan mola dapat disingkirkan. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin yaitu untuk mencari
terutama kadar hemoglobin yang bertujuan dengan mengetahui adanya kadar
hemoglobin dibawah normal berarti pasien dalam keadaan anemi yang salah
satunya dapat disebabkan oleh adanya perdarahan banyak. Pada kasus ini os
Nampak anemi dan hasil pemeriksaan lab menunjukkan nilai Hb 7.4 gr %.
Pemeriksaan penunjang lainnya, USG dapat pula menyingkirkan adanya
kehamilan ektopik atau suatu mola hidatidosa. Dengan pemeriksaan USG pada
trimester awal kehamilan, dapat diketahui kehamilan tersebut intra atau ekstra
uteri. Sedangkan pada kasus mola, dengan pemeriksaan USG, menunjukkan
gambaran yang khas yaitu berupa badai salju (snow flake pattern). Pada kasus ini
pemeriksaan USG tidak dikerjakan, karena secara klinis diagnosa abortus
inkomplit dapat ditegakkan.
38
4.2 Faktor predisposisi atau etiologi
Mekanisme pasti yang bertanggungjawab atas peristiwa abortus tidak selalu
tampak jelas. Kematian janin sering disebabkan oleh abnormalitas pada ovum
atau zigot atau oleh penyakit sistemik pada ibu, dan kadang-kadang mungkin juga
disebabkan oleh faktor paternal seperti translokasi kromosom.
Berdasarkan anamnesis kejadian abortus ini adalah kejadian yang pertama
kalinya. Penyebab terjadinya abortus inkomplit pada pasien ini kemungkinan
disebabkan karena adanya infeksi, hal ini didapatkan dari anamnesis bahwa os
sebelum mengalami pedarahan sempat demam dan mengeluh keputihan yang
banyak dan berbau, namun hal tersebut tidak terlalu dihiraukan dan saat itu os
hanya istirahat di rumah saja. Selain itu, dari pemeriksaan penunjang laboratorium
darah lengkap ditemukan daanya peningkatan nilai sel darah putih dan
pemeriksaan urin juga ditemukan adanya bakteri dan jamur. Namun hal tersebut
mungkin masih merupakan factor predisposisi yang paling mendekati, karena
perlu dipertimbangkan juga penyebab lainnya yang juga dapat berperanan seperti
faktor nutrisi, faktor paternal, serta paparan obat-obatan dan toksin lingkungan.
Pada kasus abortus inkomplit ini mungkin dapat lebih diperdalam lagi sehingga
dapat diketahui etiologinya (eksplorasi kausa). Disamping itu, faktor-faktor
lainnya juga harus ditelusuri seperti ada tidaknya kelainan pada plasenta (end
arteritis vili korealis yang dapat dipicu oleh karena hipertensi menahun) serta
adanya penyakit pada ibu antara lain pneumoni, tifus abdominalis, malaria dan
anemia berat, yang juga dapat menyebabkan abortus. Ini sangatlah perlu untuk
memahami faktor-faktor resiko tersebut sehingga dapat membantu memberikan
konseling kepada pasien. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada
pasien merupakan komponen penting untuk memberikan penjelasan yang benar
dan dapat dipahami oleh pasien tentang apa yang ia alami. Oleh karena itu dapat
dianjurkan kepada pasien untuk dilakukannya eksplorasi kausa. Secara garis
besar, terjadinya suatu abortus dapat disebabkan oleh keadaan dari hasil konsepsi
itu sendiri (zygote), adanya penyakit kronis dan infeksi yang diderita oleh ibu,
pengaruh lingkungan misalnya lingkungan fisik (paparan radiasi tertentu, infeksi
oleh TORCH) atau adanya riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang bersifat
teratogenik dan adanya trauma fisik. Selain itu adanya gangguan
hormonal/endokrin juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh.
Disamping itu juga perlu dipikirkan kemungkinan adanya gangguan pada uterus
berupa kelainan hormonal yang mempengaruhi endometrium, kelainan oleh
karena factor mekanik (adanya mioma submukus) serta kelainan anatomis
(serviks inkompeten, uterus bikornu, uterus arkuatus, dan lain-lain). Jika ada
kecurigaan bahwa kausanya adalah kelainan pada zigot dimana defeknya bersifat
genetikal maka usaha eksplorasinya bisa berupa pemeriksaan kromosom
(kariotype) karena mungkin saja kelainan genetik pada zigot ternyata berasal dari
gen-gen mutasi baik dari ibu ataupun ayah. Tetapi tentunya pemeriksaan ini
belum berkembang di Indonesia dan biayanya cukup tinggi. Selain itu
pemeriksaan patologi anatomi jaringan yang diklaim akan mengetahui apakah ada
tidaknya suatu keganasan. Namun pada kasus abortus inkomplit ini tidak
dilakukan pemeriksaan PA.
Adanya penyakit infeksi akut (pneumonia, malaria) atau penyakit kronis (diabetes
39
mellitus, Hipertensi kronis, penyakit liver/ginjal kronis) dapat diketahui lebih
mendalam melalui anamnesa yang baik dan terperinci. Penting juga diketahui
bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang pernah menderita infeksi berat,
seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan adekuat. Hal ini penting sebagai
data dasar untuk nantinya dapat membantu dalam menghubungkan dengan
kejadian ROB. Ketidakjelasan secara klinis adanya diabetes melitus atau
gangguan kronis pada hepar atau ginjal dapat dibantu dengan pemeriksaan gula
darah acak/ 2 jam pp, tes fungsi hati/ LFT (AST/ALT) maupun tes fungsi ginjal/
RFT (BUN/SC). Untuk eksplorasi kausa, pemeriksaan-pemeriksaan diatas dapat
dikerjakan.
Jika ingin mengetahui pengaruh faktor lingkungan, maka perlu ditanyakan tentang
lingkungan tempat tinggal ibu, mungkin ada tidaknya riwayat menjalankan
radioterapi, maupun lingkungan kerjanya. Ada tidaknya binatang seperti kucing
yang dianggap sebagai vektor penularan TORCH, penting juga diketahui. Oleh
karena itu boleh disarankan pemeriksaan serologis TORCH untuk mengetahui
titer antibodi terhadap virus ini. Demikian juga penggunaan obat–obatan tertentu
yang dianggap teratogenik harus dicari dari anamnesa karena jika ada mungkin
hal ini merupakan salah satu faktor yang berperan.
4.3 Penatalaksanaan
Pada kasus ini pada saat pasien MRS keadaan umumnya stabil, dan tidak
didapatkan tanda-tanda syok. Oleh karena pada pemeriksaan fisik teraba massa
jaringan maka harus dilakukan evakuasi isi uterus dengan kuretase dan
selanjutnya diberikan medikamentosa berupa antibiotika, analgetika dan
uterotonika. Yang penting setelah tindakan adalah observasi dua jam setelah
kuretase untuk monitoring vital sign dan adanya keluhan. Maka dari itu adanya
komplikasi seperti perdarahan ringan sampai berat, infeksi, dan kelainan fungsi
pembekuan darah dapat dihindari.
Mengingat komplikasi tindakan ini cukup banyak, maka perlu dilakukan dengan
prosedur yang benar dan hati-hati untuk mengurangi resiko tersebut seminimal
mungkin. Adapun penanganan kasus ini adalah dengan:
- Kuretase dengan aspirasi vakum manual (09.45 – 10.00 WITA)
- Medikamentosa :
Amoxcillin 3 x 500 mg
Metil ergometrin 2 x 0,125 mg
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Observasi 2 jam pasca kuretase
Pemberian antibiotik dipertimbangkan untuk mencegah infeksi dan analgetik
untuk mengurangi nyeri serta uterotonika untuk mempertahankan kontraksi uterus
yang mana berperan dalam mengurangi perdarahan. Setelah dilakukan kuretase
dan post kuretase keadaan penderita baik, follow up dilakukan selama 2 jam dan
jika keadaan stabil serta keluhan tidak ada maka pasien dapat dipulangkan
Penderita disarankan untuk kontrol ke poliklinik satu minggu setelah obat habis.
4.4 Prognosis
Prognosis pada kasus ini adalah mengarah ke baik, dubius ad bonam karena
dengan kuretase berhasil mengeluarkan semua sisa jaringan sehingga resiko
40
perdarahan menjadi sangat minimal, setelah observasi dua jam pasca kuretase
tidak didapatkan keluhan dan keadaan umum pasien stabil. Selain itu pada pasien
ini tidak didapatkan adanya penyulit atau komplikasi yang berbahaya misalnya
perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.
BAB V
RINGKASAN
Telah diuraikan kasus wanita 23 tahun, hamil muda 6-7 minggu yang mengalami
perdarahan pervaginam. Penatalaksanaan awal pada kasus abortus adalah
melakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien dan
selanjutnya diperiksa apakah ada tanda-tanda syok. Untuk mengurangi resiko
perdarahan dan komplikasi lain yang mungkin timbul, maka pada kasus abortus
inkomplit ini dilakukan pengeluaran sisa jaringan dengan kuretase, kemudian
diberikan medikamentosa seperti golongan uterotonika, antibiotika dan analgetik.
Dari hasil pemeriksaan klinis dan anamneis di tegakkan diagnosa dengan abortus
inkomplit. Setelah dilakukan kuretase dan post kuretase keadaan penderita baik,
follow up diruangan selama satu hari didapatkan keadaan stabil dan keluhan tidak
ada maka keesokan harinya pasien dipulangkan. Penderita diberikan obat per oral
yaitu amoxsan 3x500 mg, mefinal 3x500 mg, metilat 2 x 0,125 mg.
Penderita disarankan untuk kontrol ke poliklinik satu minggu kemudian untuk
mengetahui perkembangan penderita.
Abortus inkomplit yang di evakuasi lebih dini tanpa disertai infeksimemberikan
prognosis yang baik.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham GE, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Abortus. In: Cunningham GE, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC,
Wenstrom KD, editors. Williams Obstetrics 21st ed. New York, NY: McGraw
Hill; 2001.
2. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T, editor. Ilmu Kebidanan ed 3.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002.
3. Valley VT. Abortion, Incomplete. In: Emedicine. 30 Mei 2006.
http://www.emedicine.com/emerg/OBSTETRICS_AND_GYNECOLOGY.htm
(04 Oktober 2008)
4. Garmel SH. Early Pregnancy Risk. In: DeCherney AH, Nathan L, editors.
Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment 9th ed. New York, NY:
McGraw Hill; 2003.
5. Branch DW, Scott JR. Early Pregnancy Loss. In: Scott JR, Gibbs RS, Karlan
BY, Haney AF, editors. Danforth’s Obstetrics and Gynecology 9th ed.
Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
6. Mochtar R. Abortus dan Kelainan dalam Kehamilan Tua. Dalam: Lutan D,
editor. Sinopsis Obstetri ed 2. Jakarta: EGC, 1998.
7. Spontaneous and Recurrent Abortion: Etiology, Diagnosis, Treatment. In:
Stenchever MA, Droegemuller W, Herbst AL, Mishell DR, editors.
Comperhensive Gynecology. St Louis: Mosby, 2002.
http://wiramacydex-bali.blogspot.com/2010/08/abortus-inkomplit.html
42
iii