You are on page 1of 34

TUGAS KLIPING PKN

KASUS KORUPSI
By:
Owen Nixon
Bupati Nias Tersangka Kasus Korupsi Dana Bencana
Jakarta, CyberNews. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus membidik kasus korupsi terkait pengelolaan dana
bencana. Dan berdasarkan hasil penyelidikan, KPK menetapkan Bupati Nias Binahati B Baeha menjadi tersangka
dalam dugaan korupsi terkait dana bantuan untuk bencana tsunami Kepulauan Nias tahun 2007.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Riyanto mengatakan, pasca Aceh dan Nias dilanda bencana
gempa bumi dan tsunami, keduanya mendapat bantuan yang disalurkan melalui Bakornas Pengendalian Bencana
sekitar Rp 56, miliar. Nias mendapat alokasi Rp 9,48 miliar. "Tersangka BBB (Binahati B Baeha) diduga
melakukan mark up dalam pembelian barang dan jasa," kata Bibit, di Gedung KPK, Selasa (16/11) petang.
Penelurusan KPK, ujar Bibit, uang hasil mark up tidak dinikmati sendiri oleh tersangka. Melainkan juga dibagikan
kepada beberapa orang. Namun Bibit masih belum mau membeberkan pihak yang turut menikmati uang hasil
perbuatan tersangka. "Potensi kerugian negara paling tidak Rp 3,8 miliar," ujarnya.

( Mahendra Bungalan /CN14 )


Wali Kota Bekasi Terjerat Tiga Kasus Korupsi

JAKARTA--MICOM: Wali Kota Bekasi


Mochtar Muhammad tersangkut tiga kasus
korupsi. Hal itu diungkapkan Wakil Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit
Samad Rianto, Selasa (16/11). 

Oleh KPK Mochtar Muhammad telah


ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan
penyalahgunaan APBD 2010 dan suap Piala
Adipura 2010. Ia diduga juga terlibat kasus
pengelolaan dan pertangungjawaban APBD. 

"Ada tiga kasus. Terkait penghargaan Adipura


2010, sebagai wali kota ia merintahkan
kepada anak buah dan camat dan SKPD agar berpartisipasi memberikan kontribusi dana untuk
pengurusan pemenangan Adipura," jelasnya. 

Kedua, jelas Bibit, upaya penyuapan untuk pengesahan APBD 2010. Mochtar meminta dana
partisipasi 2% dari anggaran proyek kepada kepala dinas untuk mempercepat pengesahan
APBD. Ketiga, pengelolaan dan pertanggungjawaban APBD. 

Menurut Bibit, Mochtar diduga mengadakan perjanjian kredit multiguna untuk keperluan pribadi
dari APBD 2010. "Untuk keperluan itu, ia memerintahkan kepada stafnya untuk membantu
penyelesaian pelunasan kreditnya dengan menggunakan dana kegiatan dialog walikota dengan
tokoh masyarakat organisasi tahun anggaran 2009. Di sub bagian TU Pimpinan dan Protokol,
yaitu dengan cara melakukan mark up dana SPJ fiktif," ujarnya lagi. 

Menanggapi adanya suap dalam pemberian penghargaan Adipura bagi kota-kota terbersih di
Indonesia, Bibit pun sempat menyindir pemberian enghargaan tersebut.  "Adipura itu dana
kepada panitianya. Ini yang akan kita kembangkan kepada siapa-siapa saja," tegas Bibit lagi. 

Atas kasus ini, KPK akan mengenakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 atau pasal 5 ayat 1 atau
pasal 12 huruf b atau huruf f pasal 13 UU 31/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto pasal 55 ayat satu juncto pasal 65 ayat 1 KUHP. 

Dalam kesempatan yang sama, Bibit menegaskan KPK amasih akan mengembangkan kasus
suap BPK Jawa Barat yang juga menyeret nama walikota.  "Nanti akan berkembang juga.
Yang jelas sudah tiga kasus ini," pungkasnya. (CC/OL-04) 
Polri Akan Selesaikan Kasus Gayus, Tak Akan
Diserahkan ke KPK  
Lia Harahap - detikNews

Gayus dan Adnan Buyung


(dikhy/detikcom)

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi


(KPK) siap mengambil alih kasus dugaan
suap Gayus Halomoan Tambunan kepada
sembilan polisi untuk mempermudah akses
keluar masuk selama di  penjara. Namun,
Mabes Polri tetap yakin bisa menuntaskan
kasus dugaan suap tersebut, sesuai dengan
prosedur hukum yang ada.

"Kami akan tetap selesaikan dengan prosedur hukum yang ada," ujar Wakapolri
Komjen Jusuf Manggabarani, saat ditanya tanggapannya mengenai kesiapan KPK
untuk mengusut kasus suap Gayus. Jusuf di temui usai mengikuti salat Idul Adha di
Lapangan Bhayangkara, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (17/11/2010).

Mabes Polri, lanjut Jusuf akan segera menindaklanjuti temuan itu. "Apa pun yang kita
lakukan dengan prosedur hukum yang ada," tegasnya.

Saat terus dicecar pertanyaan oleh wartawan, apakah penjelasan Jusuf sebelumnya
bisa diartikan bahwa Polri tidak ingin menyerahkan ke KPK begitu saja, lagi-lagi Jusuf
mengatakan pihaknya akan bekerja sesuai prosedur hukum yang ada. "Intinya kami
bicara dengan hukum yang ada," tegas Jendral Bintang tiga ini.

Sebelumnya, Mabes Polri menyebut Gayus menyuap sembilan polisi penjaga rutan
tersebut agar bisa pelesiran di luar sel. Namun Gayus menyangkal menyuap dengan
alasan kondisi di rutan memang seperti itu. Artinya, bebas keluar masuk asal setor
fulus. Rekan-rekan selnya juga kerap keluar masuk.

Atas temuan Mabes Polri tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil
alih kasus tersebut jika Polri memanng tak mampu mengusutnya.

"Kalau nggak mampu, kita ambil," ujar Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto saat
jumpa pers di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa
(16/11/2010).
Hingga saat ini, KPK terus memantau perkembangan kasus Gayus. KPK juga diam-
diam tengah mengumpulkan informasi terkait skandal memalukan ini.

"Kan tugas KPK itu triger mekanisme. Kalau mereka mampu menangani, ya silakan,"
lanjut Bibit.

Bibit menduga, kasus mudahnya seseorang bisa keluar masuk penjara, bukan hanya
terjadi di rutan Mako Brimob saja. Bibit juga mengaitkan, mengapa ada istilah cuti untuk
para tahanan koruptor.

"Nah sekarang, apakah tepat diterapkan untuk koruptor. Ini persepsi mengenai
penanganan koruptor kita harus samakan dulu. Supaya tidak terulang seperti itu.
Karena koruptor itu banyak duit," tutup Bibit.
Mafia Hukum Masih
Merajalela
Thursday, 18 November 2010
MAKASSAR (SINDO) – Kasus keluar masuknya Gayus Tambunan dari tahanan Mako Brimob
menunjukkan praktik mafia hukum di Indonesia masih mengkhawatirkan. Sebagai efek jera,pelaku mafia
hukum layak dihukum berat. 

“Kasus Gayus semakin memperburuk citra lembaga penegak hukum di Indonesia.Uang begitu berkuasa
sehingga mampu mengarahkan lembaga penegak hukum,”papar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahfud MD di Makassar kemarin. Mahfud menegaskan, institusi kepolisian, kejaksaan, lembaga
peradilan begitu gampang diintervensi orang luar seperti pada kasus Gayus. Sebagai pelajaran, Mahfud
menilai perlunya efek jera pada hukuman untuk pelaku korupsi.” 

Saya sarankan solusi penyelesaian kasus Gayus dengan cara memiskinkan Gayus, ”katanya. Menteri
Hukum dan HAM Patrialis Akbar sepakat soal perlunya efek jera pada hukuman untuk pelaku korupsi
atau mafia hukum. Menurut dia, membuat miskin pelaku korupsi akan punya efek jera karena korupsi
berkaitan dengan harta. “Semua perkara korupsi sebaiknya memiskinkan yang bersangkutan, biar
kapok,” kata Patrialis Akbar di Jakarta kemarin. Ketika ditanya mengenai bagaimana aturan teknisnya,
dia menjawab hakim yang lebih tahu.“Hakim lebih tahu hartanya di mana berdasarkan tuntutan dari
kejaksaan,” tambahnya. 

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum sepakat agar Gayus
Tambunan maupun anggota polisi yang membebaskan terdakwa kasus mafia pajak tersebut jalan-jalan
ke Bali diberi hukuman berat.“Saya setuju jika tuntutan terhadap Gayus Tambunan ditambah lagi agar
hukumannya lebih berat,” kata Anas Urbaningrum di Jakarta, kemarin. Secara umum, Anas meminta
kepada lembaga penegak hukum untuk memproses kasusnya secara tuntas dan menjatuhi hukuman yang
berat. 

Menurut dia, penanganan kasus secara sungguhsungguh dan transparan ini sangat penting untuk
menegakkan supremasi hukum dan menegakkan keadilan, termasuk rasa keadilan masyarakat. “Saya
berharap sanksinya tegas, sehingga bisa menimbulkan efek jera,”ujarnya. Jika sanksinya tidak
menimbulkan efek jera, ujar Anas, akan menjadi preseden buruk yakni bisa terjadi lagi secara berulang-
ulang. Preseden hukuman ringan pada kasus korupsi tampak misalnya pada vonis untuk Anggodo
Widjaja. 

Pengadilan Tipikor memvonis empat tahun penjara kepada terdakwa kasus penyuapan pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penghalangan penyidikan, Agustus lalu. Banyak pihak kecewa
dengan vonis ringan ini termasuk Mahfud.“Kalau dari segi formal itu menjadi hak hakim, tapi kalau dari
sisi rasa keadilan itu tidak memuaskan,”kata Mahfud. 

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 2009, dari 199 perkara korupsi dengan
378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224
terdakwa (59,26%) divonis bebas oleh pengadilan. Hanya 154 terdakwa (40,74%) yang akhirnya divonis
bersalah. Dari jumlah yang diputuskan bersalah tersebut, variasi tingkat hukumannya beragam. 

Sebanyak 82 terdakwa (21,69%) divonis di bawah satu tahun penjara. Sementara itu, vonis di atas 1,1
tahun hingga dua tahun terdapat 23 terdakwa (6,08%). Mereka yang divonis 2,1 tahun hingga lima tahun
sebanyak 26 terdakwa (6,88%) serta divonis 5,1 tahun hingga 10 tahun sebanyak enam terdakwa
(1,59%).Hanya terdapat satu terdakwa yang divonis di atas 10 tahun (0,26%).Selain itu,terdapat 16
terdakwa perkara korupsi yang divonis percobaan (4,23%). 

Identitas Palsu

Sementara itu, pada penyelidikan kasus Gayus Tambunan, Kabareskrim Komjen Pol Ito Sumardi
mengakui,kepergian Gayus ke Bali bersama dengan keluarganya dengan menggunakan identitas palsu.
”Pokoknya Gayus berangkat ke Bali, itu adalah dengan keluarga, dia (Gayus) menggunakan identitas
palsu, tapi istri dan anaknya nggak,”ujar Ito di Jakarta kemarin. Untuk menghindari terulangnya kasus
keluar masuk tahanan, Mabes Polri berencana memasang sejumlah kamera pengawas closed circuit
television (CCTV) dan pemindai sidik jari di Rumah Tahanan Mako Brimob,Kelapa Dua, Depok.  

Dengan pemasangan peralatan ini,kata Ito,pengawasan dan pengamanan terhadap tersangka Gayus
Tambunan lebih terkontrol. ”Kita sudah melengkapi dengan CCTV. Pintu masuknya kita pakai pemindai
sidik jari, sudah kita pasang semuanya,” ujar Ito Sumardi. Mengenai adanya sejumlah pihak yang
meminta agar Polri mengungkap otak di balik kepergian Gayus ke Bali, Ito mengaku akan
menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan.Namun,pihaknya meminta agar hal
itu tidak berdasarkan asumsi. 

”Jangan berdasarkan asumsi, kalau memang ada informasinya, silakan berikan ke polisi.Informasi dari
masyarakat akan ditindaklanjuti, tapi jangan memfitnah, menzalimi orang. Jangan berpikir pasti ini ada
kaitannya dengan ini, berikan buktinya,”paparnya. Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo
berjanji menuntaskan penyelidikan kasus keluarnya Gayus Tambunan dari Rutan Mako Brimob dalam
waktu 10 hari.

Kepolisian akan melakukan penyelidikan menyeluruh termasuk motif dan kepentingan Gayus ke Bali.
Kapolri juga berjanji akan menindaklanjuti dugaan ada tahanan selain Gayus yang keluar dari tahanan
tanpa izin. Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham mengaku prihatin melihat perkembangan isu
keluarnya terdakwa mafia pajak Gayus Tambunan yang kemudian dikabarkan bertemu dengan Ketua
Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie di Bali. 

Dia mengimbau masyarakat untuk mempercayakan kasus tersebut pada proses hukum yang sedang
berjalan. Terhadap Ical yang disebutsebut bertemu Gayus,Idrus mengaku sudah menanyakan langsung
dan hanya dijawab dengan tertawa karena menganggap hal tersebut hanyalah isu semata. ”Ketua Umum
tertawa saja, ini isu apa lagi,”kata Idrus di Jakarta kemarin. Partai Golkar,kata Idrus,menganggap isu itu
tidak berkualitas dan tidak produktif. (abd salam malik/ rahmat sahid/sucipto/ant)  
KNPSI Sampaikan Laporan/Pengaduan Beberapa Kasus Dugaan
Korupsi di Simalungun

Kejatisu: Kasus dugaan korupsi di Dinas


PU Bina Marga Simalungun Sudah ke
Tingkat Penyidikan
Kejatisu Tidak Alergi Terhadap Masyarakat
yang Menyampaikan Laporan Dugaan
Korupsi
Simalungun (SIB)
Memenuhi petunjuk Komisi III DPR-RI,
Dewan Pimpinan Pusat KNPSI (Komite
Nasional Pemuda Simalungun Indonesia)
yang dipimpin oleh Jan Wiserdo Saragih
(Ketua Umum) menemui Kajatisu Sution Usman Ali SH didampingi Andar PW SH, Edi
Irsan K Tarigan, Ronaldi Bakkara SH MH di Jalan AH Nasution Medan, Rabu (10/11).
Kedatangan KNPSI yang dipimpin Ketua Umumnya Jan Wiserdo Saragih didampingi
Madian Purba, Poltak Damanik, Hamson Saragih, M Ardi Saragih, Achma Gous dan
Pairil Hamzah menemui Kejatisu sehubungan masih lambatnya proses penanganan
yang dilakukan oleh Kejari Simalungun dan Kejatisu terhadap laporan dan pengaduan
KNPSI sebelumnya mengenai dugaan kasus korupsi di Kabupaten Simalungun. Untuk
itu KNPSI meminta penjelasan sudah sejauh mana pengusutan terhadap laporan dan
pengaduan yang disampaikan KNPSI mengenai beberapa kasus dugaan korupsi di
Kabupaten Simalungun sejak 2007 kepada Kejatisu.
Demikian isi siaran pers KNPSI yang ditandatangani Jan Wiserdo Saragih (Ketua
Umum KNPSI) yang disampaikan kepada SIB, Sabtu (13/11) dan sekaligus KNPSI
mendesak agar Kejatisu dimohon menuntaskan kasus-kasus dugaan korupsi di
Kabupaten Simalungun tersebut.
Adapun beberapa kasus dugaan korupsi yang diminta KNPSI dituntaskan antara lain di
Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun yakni dugaan korupsi melalui dana DAK
(Dana Alokasi Khusus) tahun 2009 yang faktanya sampai saat ini akhir tahun 2010
masih terdapat banyak yang bermasalah dan secara faktual dapat dibuktikan seluruh
pelaksanaannnya diduga telah menyalahi ketentuan hukum karena hampir seluruhnya
dikerjakan oleh Dinas Pendidikan Simalungun. Dugaan korupsi pada Dinas
Tarukim/Perkimbagwil Simalungun yakni proyek pekerjaan perpipaan yang diduga
seluruh pekerjaan menggunakan pipa sejak 2006 sampai 2010 telah di mark up dan
pengaduan KNPSI telah dikuatkan oleh hasil audit BPK RI.
Proyek pembuatan taman Kantor Bupati Simalungun di Raya yang diduga telah terjadi
duplikasi anggaran, yakni tahun 2006 dianggarkan Rp2 miliar namun tidak seluruhnya
dikerjakan sehingga diduga pada tahun 2008 dianggarkan kembali Rp2,7 miliar.
Dugaan korupsi pada Dinas Pertanian Simalungun yakni dugaan korupsi pengadaan
benih padi yang diduga banyak “dipalsukan” dan jumlah yang tidak sesuai, dugaan
korupsi pada pembangunan STA (Sub Terminal Agro Bisnis) di Kecamatan Silimakuta
dan dugaan korupsi pada pengadaan Hand Traktor dan bibit cabe.
Dugaan korupsi pada Dinas Perikanan dan Peternakan Simalungun yakni dugaan
korupsi pada pembangunan BBI (Balai Benih Ikan) di Tonduhan dan Rambung Merah
serta pengadaan perlengkapannya yang diduga telah terjadi dugaan korupsi yang
laporan dan pengaduan KNPSI telah didukung oleh hasil audit BPK RI. Dugaan korupsi
pada Dinas PU Bina Marga Simalungun bahwa KNPSI telah melaporkan dugaan
korupsi pada proyek pekerjaan pembangunan jalan menuju terminal baru Perdagangan,
serta laporan dan pengaduan KNPSI tersebut telah dikuatkan oleh hasil audit BPK RI
serta dugaan korupsi pada Dinas Sosial Simalungun melalui Program Pemberian
Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial Masyarakat (BLPS) sebesar Rp1,5 miliar
diduga telah terjadi dugaan korupsi dengan pembetukan Kube yang fiktif dan
direkayasa.
Menurut Ketua KNPSI Jan Wiserdo Saragih dalam pertemuan itu Kejatisu Sation
Usman Ali SH mengucapkan terima kasih atas kedatangan KNPSI dan telah mendapat
pesan/telepon dari salah satu anggota Komisi III DPR RI bahwa KNPSI akan menemui
Kejatisu. Tegasnya, bahwa Kejatisu tidak pernah alergi terhadap masyarakat yang
datang ingin menyampaikan informasi dan laporan pengaduan jika ada menemukan
dugaan korupsi di daerah-daerah. Sebab Kejaksaan memang harus kerjasama dengan
masyarakat untuk melakukan pemberantasan korupsi khususnya di Sumut.
Karenanya kata Kejatisu, selama saya memimpin disini seluruh laporan dan pengaduan
masyarakat harus jelas dan transparan dan telah meminta kepada stafnya agar seluruh
laporan diberkaskan dan harus terdokumentasi jelas sehingga seluruh laporan dan
pengaduan tidak ada yang tercecer atau terlewatkan. Dengan kata lain seluruhnya
laporan dan pengaduan harus diproses, jika ada yang belum lengkap diminta dilengkapi
jika lengkap ditingkatkan ke penyidikan dan penyelidikan. Dan secara khusus untuk
Kabupaten Simalungun telah ada yang ditingkatkan ke tingkat penyidikan dan SPnya
telah diterbitkan yakni pada Dinas PU Bina Marga Simalungun. (S1/x)
Kasus dugaan korupsi Soeharto
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ibu Tien (kiri) sedang menghitung uang pada acara pengumpulan dana "Gotong Royong" untuk bantuan kemanusiaan
disaksikan oleh Mbak Tutut (tengah) dan Presiden Soeharto (kanan) (1986)

Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan
yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
Pada 1995,Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini
menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan
Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentukKejaksaan Agung, sejak
tahun 1999

Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998.
Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam
berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara
Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana
itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang
Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi
dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank
Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga
mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan
Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan
Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob
Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.

Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah
memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare diCiteureup,
Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha
menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
Tommy Soeharto, Terpidana Koruptor & Pembunuh
Dalam wacana ini, saya mengajak rekan-rekan untuk fokus pada kasus 
hukum yang pernah dijalanin Tommy Soeharto (TS) yakni serangkaian
korupsi serta pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.  Dari
berbagai kasus yang pernah dihadapi TS, saya hanya akan mengambil salah
satu kasus TS yakni kasus korupsi  PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog
yang merugikan keuangan negara Rp 96 miliar. Kasus ini melibatkan Beddu
Amang dan Ricardo Gelael. Kasus ini menjadi tragis tatkala, Hakim Agung
yang sedang mengadili kasus korupsi TS tewas ditembak oleh suruhan TS.

April 1999, terdakwa TS menjalani persidangan kasus korupsi di Pengadilan


Negeri Jakarta Selatan, namun entah bisikan/intervensi apa, Ketua Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan vonis bebas atas
Beddu Amang (April 1999),  TS dan Ricardo (Oktober 1999) karena alasan tidak ditemukan bukti-bukti
kuat.

Keputusan Majelis Hakim PN Jaksel yang pincang ini kemudian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU),
Fachmi SH, mengajukan kasasi atas dibebaskannya Tommy dan Ricardo Gelael ke Mahkamah Agung
pada November 1999. Setahun kemudian, 22 September 2000, Majelis Hakim Mahkamah Agung, yang
diketuai M Syafiuddin Kartasasmita (MSK) atas dakwaan perkara korupsi tukar guling tanah
gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading ke PT GBS.

Keputusan Majelis Hakim MA yang diketuai oleh MSK  merupakan tamparan keras bagi martabat
‘pangeran’ dinasti Soeharto. Tommy ogah mau disentuh oleh petugas Lapas. Ia lalu meminta grasi 
(bahkan dikabarkan menyogok) kepada Presiden Gus Dur, namun Gus Dur tidak mau memberi grasi.
Gagal minta bantuan kepada Gus Dur, Tommy mengajukan PK atas putusan MA, namun sekali lagi
ditolak. Setelah ditolak, maka tidak ada alasan lagi, Tommy untuk bersenang-senang diluar. November
2000, JPU siap mengeksekusi Tommy ke sel tahanan, namun Tommy berhasil kabur.

Mulai 10 November 2000, Tommy Soeharto menjadi burunan polisi. Tommy merasa terpojokkan, apalagi
Bapaknya sudah tidak berkuasa lagi. Tommy mencari akal dan berusaha menggunakan kekuatan yang
selama ini dimilikinya agar ia bebas dari jeratan hukum. Lalu, selama menjadi buronan, Tommy
menyiapkan rencana untuk membunuh para hakim agung yang ngotot menghukumnya. Salah satu
sasaran utama adalah ketua Majelis Hakim Agung MA yakni M Syafiuddin Kartasasmita. Juli 2001,
Tommy Soeharto merekrut dua pembunuh bayaran, memberi senjata api sekaligus uang Rp 100 juta
untuk mengeksekusi ‘musuh’ pertamanya yakni Hakim MSK . Dan tepat 26 Juli 2001,  dua eksekutor
bayaran yakni Mulawarman dan Noval Hadad menembak mati Hakim Agung  MSK. MSK dihantam oleh
4 peluru pesanan putra kesayangan Pak Harto. [2]

Baru pada tanggal 28 November 2001, polisi akhirnya menangkap Tommy di kawasan Pondok Indah-
Jakarta .  Atas dakwaan pembunuhan seorang hakim agung yang begitu tragis, majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang diketuai oleh Amirudin Zakaria pada Juli 2002 memvonis (hanya) 15 tahun
penjara kepada Tommy. Hukuman yang berbeda dan sangat diskriminatif, jika kita
membandingkan vonis hukuman mati terhadap Gunawan Santosa, aktor intelektual pembunuhan
Direktur PT Asaba Boedyharto Angsono dan pengawalnya, anggota Kopassus, Prada Edi Siyep. Padahal
dari sisi pelanggaran KUHP, baik Gunawan maupun Tommy sama-sama terjerat pasal KUHP yang sama
dalam pembunuhan berencana. Bahkan, Tommy membunuh seorang pejabat negara, seorang hakim
agung, sedangkan Gunawan hanya seorang direktur perusahaan. Dimanakah artinya adil dalam
‘wacana’ HUKUM????

Darah kematian  seorang hakim agung (Alm) MSK sama sekali tidak mendapat tempat dan perhatian
yang ‘mulia’ oleh Mahkamah Agung (MA)  era Presiden SBY. Pada 6 Juni 2005, MA yang baru menerima
kasasi Tommy lalu memberikan vonis lebih ringan pada Tommy yakni 10 tahun penjara (atas dakwaan
pembunuhan berencana).  Dan di masa pemerintahan pak SBY pula, seorang pembunuh pejabat negara
(hakim agung MSK) dibebaskan dari balik jeruji pada 30 Oktober 2006.  Seorang terpidana koruptor dan
pembunuh berencana kepada pejabat tinggi negara hanya dipenjara 4 tahun (2002-2006)!. Tapi, jika
para pelaku pembunuh bukan berasal dari penguasa/pejabat, maka mereka dapat dijatuhi hukuman mati,
atau setidaknya 20 tahun penjara.

Dimanakah arti dari “persamaan hukum setiap warga dalam UUD 1945″?, apabila terjadi
perbedaan perlakuan hukum dan hak asasi kepada warga negara?  Bukankah diskriminasi hukum
merupakan ciri bahwa negara tersebut masih menerapkan penjajahan bagi
warganya? Sampai kapan, pemerintah dan penyelenggara negara hanya diam dan ikut memainkan
sandiwara hukum?
Kapolri: Mau Tahu Kasus Gayus? Tunggu Sidang
Kapolri memberikan waktu 10 hari pada penyidik untuk memeriksa Gayus. Tinggal 8 hari.

Gayus Tambunan (ANTARA/Yudhi Mahatma)


VIVAnews -- Kepala Kepolisian RI, 
Jenderal Timur Pradopo belum mau
membeberkan kasus 'kaburnya' Gayus
Tambunan dari rumah tahanan Mako Brimob,
Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Jika ingin
tahu kasus tersebut, Timur meminta
masyarakat menunggu sampai kasus
disidangkan. 

"Nanti akan di sampaikan pada fakta


persidangan. Mohon masyarakat
mengikuti persidangan, karena  itu peradilan umum, nanti silahkan
diikuti," kata Timur saat akan memimpin rapat kordinasi lalu lintas di
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Kamis 18 November 2010.

Timur juga tak menjawab ketika ditanya hasil penyidikan yang dilakukan terhadap Gayus dan
petugas rutan terkait kasus itu. "Saya kira itu bagian dari substansi penyidikan," kata dia.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri, Brigadir Jenderal I
Ketut Untung Yoga Ana mengatakan pemeriksaan terhadap Gayus dan petugas rutan Mako
Brimob tetap dilakukan. 

"Yang jelas, Pak Kapolri sudah menyampaikan kepada rekan-rekan semua, direktif kepada
penyidik diberi waktu tenggang 10 hari. Berarti sekarang tinggal 8 hari," kata dia.

"Untuk pemeriksaan awal sudah, untuk pemeriksaan lanjutan diteruskan. Yang jelas waktu
beberapa hari ini, penyidik harus bisa maksimal."

Yoga menambahkan, pengusutan kasus ini bukanlah desakan dari pihak lain, termasuk presiden.

"Bahkan sebelumnya [perintah presiden] juga sudah mulai dikerjakan.


Bukan  instruksi dari presiden, tapi ini karena proses penegakan
hukum," kata dia. "Tidak sesuai instruksi pun harus berjalan."

Sebelumya, Gayus Tambunan terpergok kamera fotografer Kompas saat berada di Bali. Gayus 
yang memakai wig dan kaca mata itu sedang menonton pertandingan tenis. Setelah beberapa kali
membantah, Gayus akhirnya mengaku.

Lantas terkuak meski berstatus tahanan, Gayus kerap 'pelesir'  ke luar tahanan. Ia bahkan diduga
memberikan suap sebesar Rp368 juta pada Kepala Rutan Mako Brimob.

Berlin Pandiangan, pengacara mantan Kepala Rutan Mako Brimob, Kompol Iwan Siswanto juga
menyebut dua nama lain yang pernah keluar rutan: Mantan Kepala Bareskrim, Komjen Susno
Duadji dan Kombes Wiliardi Wizar.

Kata Berlin, kliennya mengizinkan Susno dan Wiliardi ke luar tahanan karena faktor mereka
bekas atasan. Dari Susno, Iwan mendapatkan uang Rp10 juta dan paket sembako -- yang juga
diterima para bawahan Iwan. Namun, baik pengacara Susno maupun Wiliardi membantah keras
hal itu.
Bibit: Beda Konsep Arti Penjara dan LP Juga
Masalah  
Muhammad Taufiqqurahman - detikNews

Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto,
menyatakan ada perbedaan arti luas antara penjara dan lembaga pemasyarakatan.
Perbedaan pengertian tersebut menjadi salah satu lubang terjadinya penyimpangan
seperti yang terjadi pada kasus Gayus Tambunan .

"Persepsi mengenai penanganan koruptor, kita harus samakan dulu. Supaya tidak
terulang seperti itu. Karena koruptor itu banyak duit," ujar Bibit  ketika dihubungi
wartawan, Rabu (17/11/2010).

Bibit menjelaskan, jika dahulu penjara merupakan konsep untuk menghukum


seseorang, kini dalam konsep lembaga pemasyarakatan adalah pembinaan. Sehingga
di lembaga pemasyarakatan terdapat istilah cuti weekend untuk para tahanan.

"Nah, sekarang apakah tepat diterapkan untuk koruptor?" jelasnya.

Bibit menerangkan, kasus suap Gayus hanya merupakan contoh kecil tentang kasus
suap kepada penjaga rutan. Menurutnya, kasus seperti itu tidak hanya terjadi di rutan
Mako Brimob, tapi kemungkinan juga terjadi hampir di seluruh rutan yang bernaung di
Kementerian Hukum dan HAM.

"Sebetulnya, kasus seperti itu tidak hanya terjadi di Rutan itu. Di tempat lain juga, sama
juga kemungkinannya," ujar Bibit.
Plt Jaksa Agung Lapor Vonis Bagi Misbakhun Terlalu
Ringan  
Anwar Khumaini - detikNews

Jakarta - Vonis hukuman satu tahun penjara


yang majelis hakim putuskan untuk
Misbakhun dalam kasus L/C Bank Century,
dinilai terlalu ringan. Juga berselisih jauh dari
hukuman penjara selama delapan tahun yang
jaksa tuntut.

Demikian ungkap Menko Polhukam Djoko


Suyanto mengenai inti laporan Plt (pelaksana
tugas) Jaksa Agung, Darmono, kepada
Presiden SBY. Laporan disampaikannya
dalam sidang kabinet terbatas di Kantor
Presiden, Jakarta, Selasa (16/11/2010).

"Yang menjadi perhatian Presiden adalah laporan dari Plt Jaksa Agung atas putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap saudara Misbakhun. Dari tuntutan delapan
tahun, vonisnya satu tahun penjara. Ini kejaksaan pandang tidak memenuhi rasa
keadilan," kata Djoko.

Sebagai tindak lanjut, Kejaksaan Agung juga melaporkan langkah hukum lebih lanjut
yang diambil. Yaitu mengajukan banding atas putusan majelis hakim PN Jaksel yang
dinilai terlalu ringan tersebut. 

"Presiden tidak ingin mencampuri penegakan hukum. Tetapi yang benar-benar bersalah
harus dihukum setimpal dengan perbuatannya. Tetapi jika tidak bersalah, tidak boleh
dizalimi," kata Djoko.

Saat ditanya kenapa Presiden punya atensi lebih terhadap kasus Misbakhun, Djoko
mengatakan Presiden tidak mempertanyakan kasus ini. Melainkan mendengarkan
paparan dari Plt Jaksa Agung.

"Presiden tidak mempertanyakan kasus ini. Ini dari paparan dari Plt Jaksa Agung.
Laporan bidang Polhukam termasuk proses peradilan yang ada antara lain itu (kasus
Misbakhun -red)," jawab Djoko.

Dia menambahkan, tidak ada campur tangan baik sebagai pribadi ataupun institusi
kepresidenan untuk mencampuri kasus Misbakhun. "Tidak ada pribadi dan institusi
Presiden mencampuri," tutupnya.

Di dalam sambutannya mengawali rapat terbatas, Presiden SBY meminta agar ada
pemaparan dari para pejabat teknis mengenai perkembangan proses hukum dua kasus
korupsi yang jadi perhatian masyarakat. Yaitu ulah dari terdakwa Gayus Tambunan dan
vonis pengadilan terhadap Misbakhun.

"Tolong dilaporkan kepada saya yang menjadi perhatian public sekarang ini,
perihal Saudara Gayus Tambunan dan perihal vonis Saudara Misbakhun. Tolong
dijelaskan apa yang terjadi," ujar SBY.
Walikota Bekasi Gunakan APBD untuk Bayar Kredit
Pribadi  
Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Walikota Bekasi Mochtar Mohamad dijerat untuk tiga kasus korupsi berbeda
oleh KPK. Salah satunya, Mochtar diduga menggunakan dana APBD Bekasi untuk
membayar kredit pribadinya.

"Menggunakan APBD 2009 untuk membantu penyelesaian kredit pribadi multi guna,"
ujar Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto saat jumpa pers di Gedung KPK, Jl HR
Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (16/11/2010).

Dalam proses penyidikan KPK, Mochtar memakai APBD Bekasi untuk kepentingannya
sendiri. Caranya, dengan membuat SPJ atau mark up dalam acara dialog dengan
warga Bekasi.

Saat meminta pengesahan APBD 2010, Mochtar juga diduga meminta dana sebanyak
2 persen dari beberapa Kepala Dinas Pemkot. Dana itu sebagai upaya pelicin
mempercepat pengesahan APBD.

Kasus terakhir, saat berjuang untuk mendapatkan Piala Adipura, Mochtar diduga
melakukan penggalangan dana terhadap Kepala Dinas dan Camat. Uang ini sebagai
biaya partisipasi untuk mengurus kemenangan wilayahnya.

"Ternyata Piala Adipura ada harganya," ucap Bibit menyindir.

Bibit belum mau menjelaskan, kepada siapa uang untuk Adipura itu diberikan. Namun
dugaan mengarah kepada panitia perlombaan. Mochtar juga diperkirakan akan terseret
beberapa kasus lagi. Namun Bibit masih enggan menjelaskan kepada publik.

"Masih ada beberapa kasus lain, semoga saja tidak berkembang, tapi kalau
berkembang yah ngak apa-apa," tandasnya.
Bupati Nias Jadi Tersangka Kasus Korupsi Dana
Tsunami  
Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi telah menaikan perkara korupsi penggunaan


dana bantuan untuk bencana tsunami di Kepulauan Nias tahun 2006 ke tingkat
penyidikan. Bupati Nias, Binahati B Baeha pun ditetapkan jadi tersangka.

"Sudah kita naikan ke dik (penyidikan). Tersangkanya Bupati Nias," kata Pimpinan
KPK, Haryono Umar saat dihubungi, Selasa (16/11/2010).

KPK menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana bantuan dari
Menkokesra. Menurut Plt Direktur Penyidikan Ferry Wibisiono, KPK hingga saat ini
masih menghitung jumlah kerugian negaranya.

"Kita masih hitung dulu," jelas Ferry.

Bupati yang dimaksud adalah Binahati B Baeha. Kasus korupsi ini menggunakan
modus penggelembungan harga dalam pengadaan barang untuk rekonstruksi Nias.
Antara lain pengadaan sarana penangkapan ikan dan pengadaan mesin jahit untuk
pengembangan ekonomi keluarga. 

Pengadaan dilakukan tanpa melalui proses tender, padahal keadaan saat itu sudah
melewati masa tanggap darurat alias tidak mendesak.
Dua Spekulasi untuk Aburizal Bakrie  
Didik Supriyanto - detikNews

Jakarta - Meskipun Gayus Halomoan


Tambunan terus membantah, bukti-bukti
semakin kuat, bahwa pada Jumat
(5/11/2010), dia di Bali. Gayus tertangkap
kamera wartawan Kompas saat sedang
menonton pertandingan tenis Daniela
Hantuchova vs Yanina Wickmayer dalam 
Commonwealth Bank Tournament of
Champions di Nusa Dua, Bali. Selain
pengakuan beberapa petugas Westin Hotel,
keberadaan Gayus juga diperkuat oleh foto
istrinya yang berada di belakang foto Gayus
dalam Kompas, Rabu (10/11/2010).

Hasil analisis telematika menunjukkan, foto-


foto yang beredar selama ini asli, bukan
rekayasa.  Metode komputasi juga memperlihatkan adanya kesamaan antara foto di
Bali tersebut dengan foto Gayus yang lain.Tindakan Mabes Polri yang menetapkan
para penjaga Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, sebagai tersangka, semakin
menegaskan kebenaran bahwa Gayus berada di Bali.

Sementara itu, Polda Bali membenarkan bahwa Gayus bersama beberapa orang
tercatat menginap di Westin Hotel. Jadi, tidak perlu diragukan lagi kalau tersangka
kasus penggelapan pajak tersebut berada di Bali. Padahal statusnya adalah tahanan
yang tidak boleh keluar tanpa izin pengadilan.

Kini pertanyaannya adalah, jika sekadar untuk melepas kepengapan sel tahanan,
mengapa Gayus harus pergi ke Bali? Jika hanya untuk mencari hiburan, mengapa
harus terbang ke Kuta? Pada titik inilah beredar spekulasi, bahwa Gayus sedang
melakukan negosiasi kelas tinggi. Dalam hal ini, keberadaan Gayus di Bali dikait-
kaitkan dengan Aburizal Bakrie, alias Ical.

Spekulasi pertama, menyatakan bahwa Gayus ke Bali untuk bertemu dengan Ical,
Ketua Umum Partai Golkar dan bos Grup Bakrie. Spekulasi ini berangkat dari fakta
bahwa dalam kesaksiannya di pengadilan, Gayus menyebut beberapa perusahaan Ical
ikut menyogok dirinya untuk penggelapan pajak. 

Apalagi pada Sabtu (6/11/2010), Ical juga berada di Bali. Ical membantah spekulasi
tersebut. "Iya, pada waktu itu saya memang  sedang berada di Bali. Akan tetapi bukan
untuk menemui Gayus," kata mantan Menkokesra itu. Lagi pula, "Kalau ingin bertemu
dengan Gayus, kenapa harus di Bali?" katanya. Rasanya memang tidak masuk akal,
seorang politisi dan pengusaha sekaliber Ical, harus menemui dan bernegoisasi dengan
Gayus.

Memang sebagai seorang pegawai pajak biasa, Gayus memiliki akses ke sejumlah
pejabat tinggi (di lingkungan Ditjen Pajak, Kejaksaan Agung dan Kepolisian). Dia punya
pengalaman dan reputasi untuk bernegosiasi dengan siapa saja sehingga dia cukup
percaya diri untuk menghadapi Ical. Namun apakah Ical tak menyadari risiko yang akan
didapat apabila pertemuannya dengan Gayus diketahui publik?

Ical bukanlah orang bodoh; sabaliknya, dia pengusaha sukses, juga politisi ulung.
Katakanlah, perusahaan Ical benar-benar terdesak dengan kesaksian Gayus sehingga
harus melakukan segala cara untuk mengamankan diri. Tetapi apakah memang sudah
tidak ada eksekutif di Grup Bakrie yang bisa mengatasi masalah ini? Apakah Gayus
sedemikian hebatnya, sehingga Ical harus turun tangan sendiri? Sekali lagi, secara
logika tidak sampai ke situ. Namun logika bisa kalah dengan fakta, jika telah ditemukan
bukti-bukti kuat yang membenarkan spekulasi ini.

Spekulasi kedua, masih tarkait dengan Ical, tapi kali ini berdasar informasi dan fakta
lain. Kesaksian Gayus di pengadilan bahwa beberapa perusahaan Ical telah menyogok
dirinya untuk penggelapan pajak, tetap menjadi dasar spekulasi ini. Kesaksian ini jelas
menjadikan Ical dan perusahaannya sebagai sasaran impuk bagi lawan-lawan politik
dan kompetitor bisnisnya.

Bagaimana pun posisi dan manuver-manuver politik Ical (seperti dalam kasus
penanganan bencana lumpur Lampindo dan skandal Bank Century), telah
menempatkan sejumlah orang atau kelompok, menjadi korban politik Ical. Dalam hal ini,
Sri Mulyani bukan satu-satunya korban, masih banyak yang lain, baik di lingkungan
birokrasi maupun partai politik.

Dalam sebuah permainan politik yang berkelanjutan, tentu mereka tidak tinggal diam.
Mereka bisa melakukan balas dendam, jika peluang untuk itu terbuka. Nah, pada titik
inilah, Ical sedang menerima serangan balik, entah dia sadari atau tidak, dari lawan-
lawan politiknya. Coba perhatikan, tindakan Mabes Polri yang demikian cepat, begitu
kasus ini mencuat ke permukaan.

Padahal, nyaris dalam kasus apapun, terhadap bukti-bukti yang ditunjukkan oleh media
massa, polisi selalu pintar memberi dalih. Jadi, tumben polisi bergerak cepat, hingga
dalam hitungan hari langsung menetapkan para penjaga Gayus sebagai tersangka, dan
masuk tahanan.

Perhatikan cerita para wartawan yang hadir dalam arena tenis tempat Gayus
tertangkap kamera. Wartawan Kompas dan beberapa yang lain, tidak dengan sengaja
mendapati Gayus di arena tenis. Mereka diberitahu oleh seseorang bahwa Gayus ada
di situ. Tidak hanya satu dua orang yang memberi tahu itu kepada wartawan. Para
pemberi informasi itu juga seakan memilih wartawan sebagai penerima informasi.

Pertanyaannya, mengapa meski sudah sembunyi-sembunyi, keberadaan Gayus


diketahui? Mengapa mereka yang mengetahui sengaja membocorkan ke wartawan?
Adakah hal ini berkait erat dengan tindakan cepat polisi? Jika memang ada kaitannya,
maka soal Gayus tertangkap kamera ini akan panjang ceritanya.

Dan semua itu tidak mudah dilepaskan dari keterkaitannya dengan Ical.  Sekali lagi,
spekulasi ini masih memerlukan bukti untuk bisa dipercaya sebagai kenyataan. Apapun,
cerita Gayus ini semakin membuka mata kita, bahwa di Republik  ini suap menyuap
adalah praktek harian yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Saling terkait
kegiatan bisnis dan politik sedemikian kuat, sehingga semakin meningkatkan kegiatan
korupsi, sebuah penyakit sosial yang membuat negeri ini terus terpuruk.
KPK Sita Mobil CR-V Milik Tersangka Kasus Sarung
di Depsos   
Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi


(KPK) menyita sebuah mobil Honda CR-V
yang diduga diperoleh dari hasil korupsi.
Mobil tersebut milik tersangka Cep Ruhiyat,
Direktur PT Dinar Semesta yang juga
rekanan Depsos dalam proyek pengadaan
sarung.

"Iya, hari ini KPK melakukan serah terima


berita acara penyitaan, terhadap
sebuah mobil milik rekanan terkait kasus
pengadaan sarung di Departemen sosial," kata juru bicara KPK Johan Budi SP di
Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Jumat (5/11/2010).

Johan mengatakan, penyitaan mobil itu dilakukan pada Rabu 3 November lalu. Saat itu,
KPK melakukan penggeledahan di Bekasi, Jawa Barat di sejumlah kantor milik rekanan
Depsos.

"Selain mobil tersebut, penyidik KPK juga melakukan penyitaan sejumlah dokumen dan
file di kantor milik rekanan, di wilayah Bekasi," tambahnya.

Mobil berwarna silver tersebut tercatat dimiliki oleh Herfri Yantri. Dia adalah istri dari
Cep Ruhiyat, salah satu tersangka dalam kasus pengadaan sarung. 

Selain Cep, KPK juga sudah menetapkan Mantan Mensos Bachtiar Chamsyah sebagai
tersangka. Mobil tahun produksi 2008 tersbeut diperkirakan berharga RP 150 juta.

"Jadi mobil tersebut CRV tahun 2008 atas nama istri tersangka, yang diduga diperoleh
atau dibeli dari hasil uang itu," tutup Johan.
Syamsul Arifin Bungkam Saat Ditanya Soal Aliran
Dana ke Anggota Dewan  
Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin


kembali diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi
APBD Langkat. Usai diperiksa selama lima jam, dia
enggan membeberkan ke mana saja aliran dana APBD
tersebut mengalir, termasuk indikasi ke anggota Dewan.

Syamsul yang mengenakan batik lengan pendek warna


ungu itu masuk ke Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said,
Kuningan, Jakse, pukul 09.00 WIB, Kamis (4/11/2010).
Dia keluar sekitar pukul 14.15 WIB.

"Ada 20 pertanyaan," ucapnya singkat.

Saat ditanya terkait aliran dana pada anggota Dewan, Syamsul bungkam dan langsung
masuk mobil tahanan. Kuasa hukumnya, Syamsul Huda mengatakan, penggunaan
dana APBD itu tidak pernah dipegang oleh kliennya.

"Perlu dipertanyakan penggunaanya betul uang APBD atau pribadi karena ia tak
pernah pegang uang cash. Itu uang pak Syamsul. Yang memegang keuangan adalah
Buyung Ritonga," papar Syamsul Huda.

Dalam kasus ini KPK pernah memeriksa mantan Pangdam I Bukit Barisan Mayjen TNI
Liliek AS Sumaryo dalam kasus ini. Selain Liliek, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan
terhadap saksi kasus Langkat. Yakni, Dwi Jatmiko (PNS Polri), Ediwarsah (pegawai
Kantor Pertambangan), Diana Sari (PNS Kab. Langkat), Gudok (PNS Kab. Langkat),
dan Buyung Ritonga (PNS Kab. Langkat).

Sebelumnya KPK telah menyita sebuah rumah mewah di Cibubur, Jakarta Timur,
Jumat (1/10) senilai Rp 315 juta, milik rekan Syamsul, IGK Kartikajaya. KPK juga telah
menyita mobil Jaguar senilai Rp 600 juta milik anak Syamsul, Beby Arbiana. Diduga
kedua barang itu dibeli dari dana APBD Kabupaten Langkat.

Aliran dana APBD Kabupaten Langkat diduga juga dialirkan ke beberapa artis,
seperti Fitria Elvi Sukaesih dan Dorce Gamalama. Bahkan, KPK telah memeriksa
mantan Ketua DPRD Sumut Abdul Wahab Dalimunthe, yang kini menjabat sebagai
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR RI dari F Demokrat.
Darmono: Jika Mangkir Lagi, Yusril Kita Tangkap  
Novi Christiastuti Adiputri - detikNews

Jakarta - Dua kali Yusril Ihza Mahendra mengabaikan


panggilan Kejaksaan Agung untuk diperiksa sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi proyek Sisminbakum.
Bila mangkir pada panggilan ke tiga, dia akan ditangkap.

"Kita coba sekali lagi. Kalau nanti kita sudah dipanggil


secara sah, dan (Yusril) tidak ada alasan sah, kita
tangkap," kata Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung,
Darmono di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta
Selatan, Rabu (3/11/2010).

Sesuai dengan prosedur, Kejaksaan masih memberi kesempatan kepada Yusril untuk
bersikap kooperatif. Yaitu memenuhi panggilan kali ke tiga yang sekaligus merupakan
yang terakhir.   

Penangkapan merupakan cara terakhir yang akan Kejaksaan tempuh. Cara cara hanya
akan ditempuh bisa mantan Menkum HAM dan Mensesneg itu sekali lagi mangkir tanpa
alasan jelas seperti dua kali pemanggilan pemeriksaan sebelumnya.

"Kita berikan keleluasan secara kooperatif. Kalau dia dipanggil secara sah, tidak hadir
tanpa alasan sah, kita akan tangkap," tegas Darmono.

Dia membenarkan, bahwa setiap urung hadir Yusril selalu menyerahkan surat
permohonan penundaan. Kejaksaan akan melihat pada alasan yang bersangkutan.
Jikadinilai tidak jelas maka, Kejaksaan akan melakukan upaya hukum tegas.

"Artinya begini, ini kan sudah dua kali dipanggil tapi tidak hadir. Katanya tadi tidak ada
alasan yang jelas. Kalau ternyata seperti itu, nanti kita lakukan upaya hukum sesuai
ketentuan hukum yang ada. Kan Undang-Undang memberikan ketentuan seperti itu,"
jelas Darmono.

Yusril Ihza Mahendra terakhir kali diperiksa penyidik Kejagung pada 13 Oktober lalu.
Saat itu Yusril mengaku menjawab 21 pertanyaan penyidik seputar proyek
Sisminbakum dengan jelas dan detail.

Namun, pada panggilan pemeriksaan berikutnya tanggal 27 Oktober lalu, Yusril


mangkir. Kuasa hukumnya, Maqdir Ismail saat itu menuturkan kliennya tengah sakit
demam dan meriang sehingga tidak bisa menghadiri pemeriksaan. 

Anehnya beberapa hari kemudian, Yusril hadir dalam pemeriksaan di Bareskrim Mabes
Polri terkait kasus perbuatan tidak menyenangkan oleh Kejagung. Yusril juga hadir
dalam sidang perdana uji tafsir soal saksi meringankan di Mahkamah Konstitusi (MK)

Padahal pada 27 Nopember, dia telah meminta penundaan pemeriksaan hingga


tanggal 3 November. Tapi lagi-lagi Yusril tidak memenuhinya dengan alasan tengah
berada di Bali untuk urusan pekerjaan dan pribadi.

Kuasa hukum Yusril menyatakan, pihaknya meminta penundaan jadwal pemeriksaan


hingga 18 November. Yaitu setelah Idhul Adha. (nvc/lh) 
Mantan Kabiro Hukum DKI Dituntut 10 Tahun Bui  
Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Mantan Kepala Biro Hukum Pemprov DKI, Journal Effendi Siahaan dituntut
hukuman 10 tahun penjara. Dia dinilai terbukti bersalah dalam perkara korupsi APBD
Pemprov DKI tahun 2006-2007.

"Meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa," kata


penuntut umum Zet Todung Alo di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jakarta
Selatan, Senin (1/11/2010).

Selain hukuman pidana, Journal juga dituntut membayar uang denda Rp250 juta
subsider 5 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut Journal mewajibkan membayar uang
pengganti Rp 7,77 miliar subsider 5 tahun penjara.

Dalam memberikan keterangan, Journal dinilai jaksa tidak pernah jujur. Perbuatan
Journal juga dianggap mencoreng wajah pemerintah.

Journal terseret kasus korupsi APBD Pemprov DKI 2006-2007. Journal memungut
sebanyak 10 persen nilai kontrak dari rekanan untuk semua kegiatan yang ada di Biro
Hukum. 

Dia juga melakukan penunjukan langsung rekanan untuk beberapa kegiatan seperti
filler iklan dan Gema Hukum. Journal dijerat pasal 2 ayat 1, pasal 11 dan pasal 12 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
AN Cium Kerugian Negara yang Besar dalam Kasus
Krakatau Steel  
Irwan Nugroho - detikNews

Jakarta - Partai Amanat Nasional (PAN)


mengaku mempunyai data yang cukup
tentang skandal rencana penjualan pabrik
baja PT Krakatau Steel. Mereka
mengindikasikan adanya potensi kerugian
negara sangat besar dalam kasus tersebut.

"Kerugian negaranya sangat besar," kata


Ketua FPAN DPR, Tjatur Sapto Edy,
kepada detikcom, Senin (1/11/2010).

Menurut Tjatur, penyelamatan keuangan negara itulah yang menjadi motif PAN
membongkar dugaan adanya ketidakberesan dalam rencana penjualan Krakatau Steel.

"Jangan sampai kita menyesal seperti kasus penujualan Indosat," kata wakil ketua
Komisi III ini.

Ketika didesak mengenai bukti-bukti yang dipunyai PAN dalam kasus yang disebut-
sebut sama besarnya seperti kasus Bank Century ini, Tjatur menolak.

"Nanti, kalau sudah di Jakarta, ya," kata pria yang saat dihubungi sedang dalam
perjalanan ke Wonogiri ini.

Sebelumnya, Ketua MPP PAN Amien Rais menyatakan akan ada skandal rencana
penjualan PT Krakatau Steel pada pihak asing. Amien pun memerintahkan agar Fraksi
PAN meledakkan kasus ini. Setelah itu barulah KPK dan BPK terjun menangani kasus
ini.

"Dijual sangat murah itu, tandanya ada udang di balik batu. Namanya korupsi," terang
Amien saat pelantikan DPW PAN Yogyakarta di Wisma Haji, Yogyakarta, Minggu
(31/10/2010), kemarin.
Bila Terbukti Terima Dana Century, Rizal
Mallarangeng Siap Dihukum Mati  
Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Rizal Mallarangeng menegaskan


tak pernah menerima aliran dana bailout
Bank Century berapa pun nilainya. Dia siap
dihukum mati bila tudingan Benteng
Demokrasi Rakyat (Bendera) itu terbukti sah
dan menyakinkan dalam persidangan. 

Penegasan ini dia sampaikan dalam sidang


kasus pencemaran nama baik dirinya dengan
terdakwa dua pentolan Bendera, Ferdi
Semaun dan Mustar Bonaventura. Sidang
berlangsung di PN Jakarta Pusat, Jl Gajah
Mada, Jakarta, Kamis (4/11/2010).

"Kalau memang benar (menerima aliran dana bailout Bank Century -red), saya siap di
hukum mati!" tegas Rizal dalam kesaksiannya.

Di dalam kesaksiannya yang berlangsung selama 3 jam, Rizal mengaku mengalami


kerugian immaterial berupa tercemarnya nama baik dirinya akibat dari perbuatan
terdakwa. Tetapi tidak ada kerugian materiil yang terjadi.

Ini disampaikan ketika menjawab serangkaian pertanyaan majelis hakim yang dipimpin
oleh Bayu Istiatmoko. Jawabannya bertentangan dengan BAP yang menyebut adanya
kerugian materiil. 

"Maaf saya bukan orang hukum, jadi tidak terlalu paham apa itu kerugian materiil,"
jawab Direktur Utama Freedom Institute ini ketika majelis hakim meminta konfirmasi
atas kesaksiaannya yang berbeda dengan pengakuannya dalam BAP.

Selain mendengarkan kesaksian Rizal, JPU Satria juga menghadirkan Ketua KPU,
Abdul Hafidz Ansyari, sebagai saksi. Di dalam kesaksiannya, dia mewakili KPU, merasa
ikut tercemar nama
baiknya oleh isu yang dihembuskan oleh Bendera sehingga banyak kawan- kawan
ditempatnya bekerja menjadi tidak nyaman. 

"Saya pribadi tidak masalah, tapi secara lembaga merasa tercemar dan ini telah
diputuskan dalam rapat pleno," ujar Hafidz.

Jaksa mendakwa dua aktivis Bendera, Mustar Bonaventura dan Ferdi Semaun,
melanggar pasal 311 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP,
pasal 310 ayat 2 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan pasal 207 KUHP Jo Pasal
55 ayat 1 ke 1 KUHP. Maksimal hukuman penjara selama 4 tahun. 

Dua terdakwa dia nyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik atas keterangan
persnya terkait para penerima aliran dana Bank Century sebesar 6,7 trilliun rupiah.

Mereka berdua menuding Komisi Pemilihan Umum, putra Presiden SBY Edhie Baskoro,
Menko Polhukam Djoko Suyanto, Bendahara Partai Demokrat Hartati Murdaya,
Malarangeng bersaudara dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dengan total
mencapai Rp 1,8 Triliun. 
Bupati Nias Diduga Korupsi Dana Tsunami Rp 3,8 M  
Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Bencana tsunami yang pernah melanda kawasan Nias, rupanya dijadikan
ajang mengeruk keuntungan untuk sebagian orang. Dari Rp 9,48 miliar yang
dialokasikan untuk Nias, Rp 3,8 miliar diduga telah disalahgunakan oleh Bupati Nias,
Binahati Benekdiktus Baeha.

"Kerugian negara diperkirakan paling tidak Rp 3,8 miliar," tegas Wakil Ketua KPK, Bibit
Samad Rianto saat jumpa pers di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan,
Selasa (16/11/2010).

Saat terjadi gempa bumi dahsyat dan gelombang tsunami di NAD dan Nias, pemerintah
menggelontorkan dana yang cukup besar untuk kedua wilayah ini. Untuk Nias, ada Rp
9,48 miliar.

Bantuan itu disalurkan melalui Bakornas pengendalian bencana. Namun dalam


pelaksanaannya, ternyata terjadi penggelembungan harga pembelian barang dan jasa.

"Dana hasil mark up diduga dibagikan ke beberapa orang," tegas Bibit.

Pasal yang disangkakan Binahati adalah pasal 2, pasal 3 UU Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi.

(mok/rdf) 
Menkum: Koruptor Harus Dimiskinkan, Jangan
Hanya Gayus  
Lia Harahap - detikNews

Jakarta - Menkum HAM Patrialis Akbar


setuju dengan usulan pelaku korupsi harus
dimiskinkan. Menurut politisi PAN ini,
pemiskinan tentu dengan mengambil
kekayaannya untuk negara.

"Kita sudah sepakat dan saya berpikir yang


sama, salah satunya pemiskinan saya
dukung penuh,
itu lebih baik," kata Patrialis di Kemensos, Jl
Salemba Raya, Jakpus, Selasa (16/11/2010).

Patrialis menjelaskan, koruptor mengemplang uang negara. Tentu pemiskinan menjadi


hal yang wajar, dalam artian uang negara yang dikemplang diambil seluruhnya.

"Salah satunya adalah pengembalian uang negara," ujarnya.

Namun Patrialis tidak setuju hanya Gayus yang dijadikan sasaran. Semua koruptor
yang tersangkut korupsi harus dihukum seperti itu.

"Ya jangan lihat dari Gayus saja," ujarnya.

Gayus pada Senin kemarin meminta agar dirinya tidak dimiskinkan. "Kasihan anak istri
saya," ujarnya.
(ndr/nrl) 

You might also like