Professional Documents
Culture Documents
Limfedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh gangguan pengaliran getah bening
kembali ke dalam darah.
Penyebab
Limfedema kongenital merupakan suatu kelainan bawaan yang terjadi akibat terlalu
sedikitnya pembuluh getah bening, sehingga tidak dapat mengendalikan seluruh getah
bening. Kelainan ini hampir selalu mengenai tungkai dan jarang terjadi di lengan.
Lebih sering menyerang wanita.
Limfedema yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan limfedema kongenital.
Biasanya merupakan akibat dari:
a. Pembedahan mayor, terutama setelah pengobatan kanker dimana kelenjar getah
bening dan pembuluh getah bening diangkat atau disinari dengan sinar X.
Misalnya lengan cenderung mengalami pembengkakan setelah pengangkatan kanker
payudara dan kelenjar getah bening.
b. Pembentukan jaringan parut karena infeksi berulang pada pembuluh getah bening.
Tetapi hal ini sangat jarang terjadi kecuali pada infeksi karena parasit tropis Filaria.
Gejala
Pada limfedema kongenital, pembengkakan dimulai secara bertahap pada salah satu atau
kedua tungkai.
Pertanda awal dari limfedema bisa berupa bengkak di kaki, yang menyebabkan sepatu terasa
sempit menjelang sore hari.
Pada stadium awal, pembengkakan akan menghilang jika tungkai diangkat. Lama-lama
pembengkakan tampak lebih jelas dan tidak menghilang secara sempurna meskipun setelah
beristirahat semalaman.
Pada limfedema yang didapat, kulit tampak sehat tetapi mengalami pembengkakan.
Penekanan pada daerah yang membengkak tidak meninggalkan lekukan.
Pada kasus yang jarang, lengan maupun tungkai yang membengkak tampak sangat besar dan
kulitnya tebal serta berlipat-lipat, sehinggga hampir menyerupai kulit gajah (elefantiasis).
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pengobatan
Limfedema tidak ada obatnya.
Pada limfedema ringan, untuk mengurangi pembengkakan bisa digunakan perban kompresi.
Pada limfedema yang lebih berat, untuk mengurangi pembengkakan bisa digunakan stoking
pneumatik selama 1-2 jam/hari. Jika pembengkakan sudah berkurang, untuk mengendalikan
pembengkakan, penderita harus menggunakan stoking elastis setinggi lutut setiap hari, mulai
dari bangun tidur sampai sebelum tidur malam hari.
Pada limfedema di lengan, untuk mengurangi pembengkakan digunakan stoking lengan
pneumatik setiap hari . Pada elefantiasis mungkin perlu dilakukan pembedahan ekstensif
untuk mengangkat sebagian besar jaringan yang membengkak di bawah kulit.
Cairan interstisial dalam keadaan normal berkontribusi terhadap makanan jaringan. Sekitar
90% cairan kembali ke sirkulasi melalui jalan masuk kapiler vena. Sisa 10% terdiri dari
protein berat molekul tinggi dan airnya yang berhubungan secara onkotik, terlalu besar untuk
melewati dinding kapiler vena. Hal itu mengakibatkan sisa tersebut mengalir ke kapiler limfe
yang tekanannya di bawah tekanan atmosfer dan dapat menampung protein ukuran besar dan
air yang menyertainya. Protein kemudian berjalan sebagai limfe melalui berbagai nodus limfe
penyaring sebelum bergabung dengan sirkulasi vena.
Pada keadaan patologis, kapasitas transport limfe berkurang. Hal ini menyebabkan volume
normal pembentukkan cairan interstisial melebihi tingkat pengembalian limfe, menyebabkan
stagnasi protein dengan berat molekul besar di interstisium. Hal ini biasanya terjadi setelah
aliran berkurang 80% atau lebih. Akibatnya, dibandingkan dengan bentuk edema lain yang
konsentrasi proteinnya lebih rendah, edema ini mengandung kadar protein yang tinggi atau
limfedema, dengan konsentrasi protein 1,0-5,5 g/mL. Tekanan onkotik yang tinggi di
interstisium ini menyebabkan akumulasi air meningkat di interstisium.
Akumulasi cairan interstisium menyebabkan dilatasi masif dari saluran keluar yang ada dan
inkompetensi katup yang menyebabkan aliran balik dari jaringan subkutan ke pleksus dermal.
Dinding limfatik menjadi fibrosis, dan thrombi fibrinoid terakumulasi di dalam lumen,
menyumbat kanal limfe yang tersisa. Shunt limfovena spontan mungkin terbentuk. Nodus
limfe mengeras dan menyusut, kehilangan arsitektur aslinya.
Di interstisium, akumulasi protein dan cairan menginisiasi reaksi radang. Aktivitas makrofag
meningkat, menghasilkan destruksi serat elastis dan produksi jaringan fibrosklerotik.
Fibroblast bermigrasi ke interstisium dan deposit kolagen. Akibat dari reaksi radang ini
adalah perubahan dari pitting edema ke edema nonpitting sebagai karakteristik limfedema
yang menonjol. Akibatnya, pengawasan imun lokal tertekan, dan infeksi kronik, dan juga
degenerasi maligna sampai limfangiosarkoma dapat terjadi.
Kulit yang terkena menjadi tebal dan memperlihatkan peau d’orange (kulit seperti kulit jeruk)
dari kulit limfatik yang tersumbat. Epidermis membentuk debris terkreatinisasi dan
memperlihatkan verukosis warty. Retakan kulit sering terbentuk dan menampung debris dan
bakteria, menimbulkan limporea (perlekatan limfe ke permukaan kulit).
The International Society of Lymphology membagi limfedema dalam beberapa kategori.
Pada stadium 1 kulit yang diberi tekanan akan meninggalkan celah (pit) yang membutuhkan
waktu beberapa saat untuk kembali lagi (pitting edema). Kadang-kadang pembengkakan
dapat dikurangi dengan mengelevasi ekstremitas selama beberapa jam. Pada stadium 2, area
yang bengkak bila ditekan tidak membuat celah dan bengkak tidak berkurang dengan elevasi
ekstremitas. Jika dibiarkan tidak diobati, jaringan di ekstremitas akan secara bertahap
semakin mengeras dan menjadi fibrotik. Bila sudah stadium 3, limfedema sering disebut
elefantiasis. Terjadi sering khas di tungkai setelah limfedema yang tidak diobati, jangka lama,
dan progresif. Pada stadium ini terdapat perubahan besar pada kulit dan mungkin berupa
penonjolan dan pembengkakan. Meskipun limfedema respon dengan pengobatan, pada
keadaan ini, jarang reversibel.
Sumber:
1. Revis D.R. Lymphedema [citated January 27, 2010]. 2009. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/191350-followupmated
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. 2003. Jakarta: Penerbit EGC.