You are on page 1of 11

Tahap perkembangan moral Kohlberg

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang


berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of
Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan
kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. [1] Ia menulis disertasi doktornya
pada tahun 1958 [2] yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan
perkembangan moral dari Kohlberg.

Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti
Piaget, [3] yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif.[4] Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya
berlanjut selama kehidupan,[2] walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis
dari penelitiannya.[5][6]

Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia


tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka
berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan
mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-
konvensional.[7][8][9] Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap
tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral
dibanding tahap/tingkat sebelumnya.

Tahapan-tahapan

Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-
konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. [7][8][9] Mengikuti persyaratan yang dikemukakan
Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam
tahapan-tahapan ini.[10][11] Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan
tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap
memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi
dibanding tahap sebelumnya.[10][11]

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman

2. Orientasi minat pribadi

( Apa untungnya buat saya?)

Tingkat 2 (Konvensional)

3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas

( Sikap anak baik)

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial

( Moralitas hukum dan aturan)

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

5. Orientasi kontrak sosial

6. Prinsip etika universal

( Principled conscience)

[sunting]Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa
juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-
konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-
konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam
bentuk egosentris.

Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan
mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
[12]
 Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang
dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa
yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang
lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti
“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” [4]Dalam tahap dua perhatian kepada
oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang
masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif
dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

[sunting]Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini
menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan
masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.

Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima
persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan
masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut,[4] karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam
bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih,
dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam
penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…'. [4]

Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena


berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari
sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah,
seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga
akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam
tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

[sunting]Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam
dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari
masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional
sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.

Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang
berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang
tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat
keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya
keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu
demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh
melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.

Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika


universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak
sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara
yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel
Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of
ignorance dari John Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan
tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan
karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg
yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya
secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model
Kohlberg ini.[11]

[sunting]Contoh dilema moral yang digunakan

Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam disertasi aslinya di tahun 1958.[2] Selama


kurang lebih 45 menit dalam wawancara semi-terstruktur yang direkam, pewawancara menggunakan
dilema-dilema moral untuk menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan partisipan.
Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang
membuat keputusan moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis,
seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga justifikasi seperti
mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan
struktur dari jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema moral
diperoleh skor secara keseluruhan.[2][9]

[sunting]Dilema Heinz

Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian awalnya adalah dilema apoteker: Heinz
Mencuri Obat di Eropa.[5]

Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat yang
menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacamradium yang baru saja ditemukan
oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker
menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia membayar $200 untuk radium tersebut
dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari perempuan yang sakit, Heinz,
pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000, setengah
dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan
memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di
kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan: “Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan
mencari uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri
obat demi istrinya.

Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa? [5]

Dari sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting.
Teori Kohlberg berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang
signifikan, bentuk dari repon mereka.[7]

[sunting]Kritik

Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu menekankan pada keadilan
dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan menilai secara adekuat
orang yang menggunakan aspek moral lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa
teori Kohlberg terlalu androsentrik[15] Teori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian
empiris yang menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut
membuat tidak adekuatnya teori itu dalam menggambarkan pandangan seorang perempuan. Walaupun
penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya perbedaan pola yang signifikan antar jenis
kelamin,[10][11] teori perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada norma
keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian. [15]

Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh penalaran formal.
Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social intuitionists, mengemukakan bahwa orang
sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak
asasi manusia, dan norma etika yang abstrak. Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh
Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan
intuitif. Ini berarti bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding apa yang
dikemukakan oleh Kohlberg.

http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg

Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran
moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun
melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak.

Dalam wawancara, anak-anak diberikan serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-
dilema moral. Bagaimana anak-anak dalam penyikapi setiap cerita yang dilakukan oleh masing-masing
tokoh dalam cerita yang disampaikan oleh kohlberg. Berikut ini adalah salah satu cerita dilema Kohlberg
yang paling populer:

Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada suatu obat yang
menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini
ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang
apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dari pembuatan obat tersebut. Untuk
pembuatan satu dosis kecil obat ia membayar 200 dolar dan menjualnya 2000 dolar. Suami pasien
perempuan, Heinz, pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa
mengumpulkan 1000 dolar atau hanya setengah dari harga obat tersebut. Ia memberitahu apoteker
bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau
memperbolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata, “Tidak, aku
menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan
membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.

Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi
hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi responden menjawab
serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat
tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas suami untuk mencuri obat bagi istrinya kalau ia
tidak mendapatkannya dengan cara lain? Apakah apoteker memiliki hak  untuk mengenakan harga
semahal itu walaupun tidak ada suatu aturan hukum yang membatasi harga? Mengapa atau mengapa
tidak?

Berdasarkan penalaran di atas kohlberg kemudian merumuskan tiga tingkat perkembangan moral, yang
masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg, ialah internalisasi, yakni
perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang
dikendalikan secara internal.

Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional

Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-
orang dewasa menuntut mereka untuk taat.

Tahap 2: Individualisme dan tujuan adalah tahap kedua dari teori ini. Pada tahap ini penalaran moral
didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila
yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik
dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

Tingkat Dua: Penalaran Konvensional

Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral
Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang mentaati standar-standar
(internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua
atau masyarakat.

Tahap 3: Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan
kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering
mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oelh
orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik.

Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman
aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.

Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional

Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada
tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang
lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan
berdasarkan suatu kode moral pribadi.

Tahap 5: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa
nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke
orang lain. Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan
lebih penting dari pada hukum.

Tahap 6: Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar
moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan
suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko
pribadi.

Daftar Pustaka

Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta:
Erlangga

http://www.psikologizone.com/teori-perkembangan-moral-kohlberg

Teori Perkembangan Moral Kohlberg


Posted by febriansyah | | Saturday 6 February 2010 10:13 am

Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada


penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg sampai pada
pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak.
Dalam wawancara, anak-anak diberi serangkaian cerita di mana tokoh-tokohnya
menghadapi dilema-dilema moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi
responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.

Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespons


dilema moral, Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang setiap
tingkatnya ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan
moral, khususnya teori Kohlberg, ialah internalisasi (internalization), yakni perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang
dikendalikan secara internal.

Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional

Penalaran prakonvensional (preconventional reasoning) adalah tingkat yang paling


rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral – penalaran moral dikendalikan oleh
imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal.

Tahap 1

Orientasi hukuman dan ketaatan (punishment and obedience orientation) ialah tahap
pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg.

Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena
orang dewasa menuntut mereka untuk taat.

Tahap 2

Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap kedua dalam teori
perkembangan moral Kohlberg.

Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan
sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk
kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan
apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

Tingkat Dua: Penalaran Konvensional

Penalaran konvensional (conventional reasoning) ialah tingkat kedua atau tingkat


menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, internalisasi
individual ialah menengah. Seseorang menaati standar-standar (internal) tertentu,
tetapi mereka tidak menaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua
atau aturan-aturan masyarakat.

Tahap 3

Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga dalam teori


perkembangan moral Kohlberg.

Pada tahap ini, seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada
orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering
mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan
dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang “perempuan yang baik” atau seorang “laki-
laki yang baik”.

Tahap 4
Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat dalam teori
perkembangan moral Kohlberg.

Pada tahap ini, pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial,


hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.

Tingkat Tiga: Penalaran Pascakonvensional

Penalaran pascakonvensional ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral


Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak
didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan
moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan
suatu kode moral pribadi.

Tahap 5

Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights versus individual


rights) ialah tahap kelima dalam teori perkembangan moral Kohlberg.

Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah
bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui
bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti
kebebasan, lebih penting daripada hukum.

Tahap 6

Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap keenam dan
tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg.

Pada tahap ini, seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan
pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan
suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin
melibatkan resiko pribadi.

Kohlberg percaya bahwa ketiga tingkat dan keenam tahap tersebut terjadi dalam suatu
urutan dan berkaitan dengan usia:

1. Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak-anak berpikir tentang dilema moral


dengan cara yang prakonvensional.
2. Pada awal masa remaja, mereka berpikir dengan cara-cara yang lebih
konvensional.
3. Pada awal masa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir dengan cara-cara yang
pascakonvensional.

Pada suatu investigasi longitudinal 20 tahun, penggunaan tahap 1 dan 2 berkurang.


Tahap 4, yang tidak muncul sama sekali dalam penalaran moral anak berusia 10 tahun,
tercermin dalam 62 persen penalaran moral manusia berusia 36 tahun. Tahap 5 tidak
muncul sampai usia 20 hingga 22 tahun dan tidak pernah dialami lebih dari 10 persen
individu.

Dengan demikian, tahap-tahap moral muncul agak kemudian dari yang dibayangkan
semula oleh Kohberg, dan tahap-tahap yang lebih tinggi, khususnya tahap 6, benar-
benar sangat sulit untuk dipahami. Baru-baru ini tahap 6 dibuang dari pedoman skor
Kohlberg, meskipun masih dianggap sebagai sesuatu yang penting secara teoretis
dalam skema perkembangan moral Kohlberg.

http://febriansyah.student.umm.ac.id/teori-perkembangan-moral-kohlberg/

TEORI PERKEMBANGAN MORAL MENURUT KOHLBERG

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral – penalaran moral dikendalikan oleh imbalan
(hadiah) dan hukuman eksternal.

TAHAP 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.


Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang dewasa
menuntut mereka untuk taat.

TAHAP 2. Orientasi minat pribadi


( Apa untungnya buat saya?)
penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri.

Tingkat 2 (Konvensional)
Seseorang menaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-standar
orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.

TAHAP 3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas


( Sikap anak baik)
Pada tahap ini, seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai
landasan pertimbangan-pertimbangan moral. sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya atau
orang lain.

TAHAP 4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial


( Moralitas hukum dan aturan)
pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan
kewajiban.
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian
memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.

TAHAP 5. Orientasi kontrak sosial


Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum
dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada
hukum.

6. Prinsip etika universal


( Principled conscience)
Pada tahap ini, seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak
manusia yang universal.

Para remaja mereka lebih sering berpikir dengan cara - cara kkonvensional yaitu pada tingkat ke 2 pada
teori perkembangan Kohlberg.

http://riskofdawn.blogspot.com/2010/10/teori-perkembangan-moral-menurut.html

You might also like