Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang colon ascenden
atau ditepi lateral colon ascenden. Gejala apendiks tergantung dari letak
apendiksnya.1
3
Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Lendir ini
normalnya dicurahkan ke dalam lumen lalu mengalir ke dalam caecum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampakya berperan dalam
terjadinya appendicitis.1
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks adalah
IgA, yang berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi.1
Secara umum insiden dari appendicitis sekitar 1,4 kali lebih besar pada
laki-laki dibandingkan perempuan. Insiden dari appendektomi primer
diperkirakan sama besar pada kedua jenis kelamin ini. Insiden dari
appendicitis meningkat bertahap sesuai pertambahan umur, puncaknya pada
akhir usia belasan tahun, dan secara bertahap menurun pada usia tua. Nilai
median pada usia saat appendektomi adalah 22 tahun. Walaupun jarang,
appendicitis pada neonatus dan bahkan pada prenatal tetap ditemukan.4
4
pasien yang usianya lebih dari 70 tahun, biasanya disebabkan keterlambatan
diagnosis dan terapi. Angka perforasi lebih tinggi pada pasien kurang dari 18
tahun dan lebih dari 50 tahun, kemungkinan akibat dari keterlambatan
diagnosis. Perforasi dari apendiks berhubungan dengan peningkatan yang
mencolok pada angka kematian dan kesakitan akibat appendicitis.4
C. Etiologi Appendicitis
a. Peranan Lingkungan diet dan higiene
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
appendicitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendicitis.
Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana
penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara
yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi
feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah
penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras.6
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam
appendicitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen
apendiks pada 20% anak-anak dengan appendicitis, terjadinya fekalit
berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat
sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
appendicitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendicitis akut dengan
gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan appendicitis akut dengan gangren
disertai ruptur terdapat 90% .6
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan
mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di
5
sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan
obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus.6
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan
benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang
lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko
terjadinya perforasi.6
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah
adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit.
Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks
menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan
intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai
kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi
perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan
adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa
peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding
yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan
intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding
apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa
dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika,
kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema
dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren.
Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami
perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan
akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale. Hasil akhir dari
proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan
omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa
diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum
6
berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi
infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami
komplikasi.6
7
• Pada fase-fase awal dari apendicitis akut, apendiks vermiformis tampak
edema yang terjadi selain karena tekanan terhadap pembuluh-pembuluh
juga karena banyak terdapatnya cairan yang meninggalkan kapiler dan
masuk kedalam jaringan. Hal ini terjadi karena permeabilitas kapiler yang
meningkat. Cairan dari kapiler ini mengandung molekul-molekul protein
seperti albumin, globulin, dan fibrinogen. Selain edema, apendiks
vermiformis tampak tegang dan terdapat eksudasi netrofil pada mukosa,
submukosa. Biasanya keterlibatan mukosa yang paling menonjol. Pada
tahap ini pembuluh darah subserosa menjadi kongesti dan mengandung
netrofil matang. Kongesti ini terjadi karena vaskular-mikro jaringan
melebar yang berisi darah terbendung. Netrofil tersebut kemudian akan
migrasi ke perivaskular. Reaksi ini akan mengubah serosa yang mengkilat
menjadi suram dan tampak hiperemi. Penampakan makroskopik ini
dikenal sebagai apendicitis akut tahap awal (apendicitis akut mukosa)
8
• Kelanjutan dari reaksi ini adalah apendiks vermiformis tampak lebih
merah akibat hiperemi yang berlebihan dan edema dengan tanda-tanda
perdarahan dibawah lapisan serosa. Dari luar juga tampak eksudat
bercampur fibrin dan mesoapendiks yang membengkak. Rongga apendiks
vermiformis juga mengandung pus berwarna merah karena perdarahan.
Bersamaan dengan itu terjadi gangren yang berwarna kehitaman karena
nekrosis sepanjang dinding sampai lapisan serosa. Tahap ini disebut
apendicitis akut gangrenosa dan merupakan keadaan yang dapat berlanjut
menjadi ruptur pada apendiks vermiformis.
9
sekum (terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut
kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya
kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. Bila apendiks terletak di
rongga pelvis dan terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika
apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.1,3
F. Diagnosis Appendicitis
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi). Bila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium,
Foto polos abdomen, USG ataupun CT-Scan, dan sebagainya. 1,7
10
Pemeriksaan Fisik
11
• Pemeriksaan colok dubur : Jika daerah infeksi dapat dicapai saat
dilakukan pemeriksaan ini, akan memberikan rasa nyeri pada arah jam 9
sampai jam 12. Maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pada appendicitis pelvika kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas pada saat dilakukan colok dubur. 1,7
• Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
12
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk
menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan
diagnosis apenddicitis akut. Pada pasien dengan apendicitis akut, 70-
90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat,
walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada
pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan appendicitis akut Pemeriksaan
laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi
merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi
tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Pada
anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
apenddicitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya
lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis
menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih
dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
Pada metode lain dikatakan penderita appendicitis akut bila ditemukan
jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau
peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Ada juga metode
yang menyatakan bahwa kombinasi antara kenaikan angka lekosit dan
granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa
appendicitis akut. 6,7
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik,
sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi
penegakkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah
>10.000/mm3 dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70%
netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit
dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis akut. Kontroversinya
adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah
lekosit dan granulosit tetap normal.3,6,7
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis
apenddicitis akut adalah C-reactive protein (CRP). Petanda respon
13
inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR telah
secara luas digunakan di negara maju. Pada appendicitis ditemukan
kadar CRP yang meningkat yaitu > 1 mg/dl. Nilai senstifitas dan
spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80-90% dan lebih dari 90%.
Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak
memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah. 3,6
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen
untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada
ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan
jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang. 6
14
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan
kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak
merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak
cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan
psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat
pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level)
yang menunjukkan adanya obstruksi. Foto x-ray abdomen dapat
mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi,
berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan
apendiks) yang dapat menyebabkan appendicitis. Ini biasanya terjadi
pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik
kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada
posisi berdiri/LLD (decubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar)
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari apendiks. Pada appendicitis
akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari
appendikolit: kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis. 6
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya
digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan
barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai
appendicitis. Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana
barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon.
Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar
apendiks dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon.
Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan
dengan gagalnya barium memasuki apendiks (20% tak terisi).
Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda
appendicitis akut, terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen
apendiks yang paten menyingkirkan diagnosa appendicitis akut. Bila
barium mengisi ujung apendiks yang bundar dan ada kompresi dari
luar yang besar di basis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya
apendiks tanda abses apendiks. Barium enema juga dapat
15
menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai
apendiks, misalnya penyakit Chron, inverted appendicel stump,
intususepsi, neoplasma benigna/maligna. 3,6
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis
appendicitis akut maupun appendicitis dengan abses. Untuk dapat
mendiagnosis appendicitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan
sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal
jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang
tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada
peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada
penampakan transversal. Keadaan awal appendicitis akut ditandai
dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh,
dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangren
ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding
apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi
ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas
intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel. 6
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan
kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 –
94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92%.
Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada appendicitis akut,
ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih
dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan
pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur
atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara
maka abses apendiks dapat diidentifikasi. 6
USG dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses.
Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien
selama terjadinya appendicitis. Oleh karena itu, dengan tidak
16
terlihatnya apendiks selama USG tidak menyingkirkan adanya
appendicitis. USG juga berguna pada wanita sebab dapat
menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba
falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendicitis. Hasil USG
dapat dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan
penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil USG yang
tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus.
Hasil USG dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan
curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka
kanan, atau dimana USG di konfirmasikan dengan gejala klinik dimana
kecurigaan appendicitis. 6,7
“Ultrasonogram showing
longitudinal section (arrows) of
inflamed appendix”
6. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard)
untuk diagnosis appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai gambaran histopatologi appendicitis akut. Perbedaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran
histopatologi appendicitis akut secara universal dan tidak ada
gambaran histopatologi apendicitis akut pada orang yang tidak
dilakukan operasi. Dari hasil penelitian variasi diagnosis histopatologi
appendisitis akut diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan adanya
18
komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli
bedahnya. 6
Definisi histopatologi appendicitis akut:
1. Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan
epitel.
2. Abses pada kripte dengan sel granulosit di lapisan epitel.
3. Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan
epitel.
4. Sel granulosit di atas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5. Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan appendicitis akut tetapi
periappendicitis.
• Sistem skor Alvarado
19
nyeri lepas tekan, temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil
lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis
mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai
1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado,
1986; Rice, 1999).
Skor Alvarado
Faktor Risiko Skoring
~ migrasi nyeri 1
~ anoreksia 1
Tanda
Laboratorium
Total Skor 10
Nilai :
<4 kronis
4 – 7 ragu-observasi
>7 akut
20
(2000) melaporkan dengan memakai skor pembatas (cut off point) 7
didapatkan sensitivitas: 71,43% dan spesifisitas: 69,09% dengan akurasi
diagnostik 69,74%. Sedangkan Fenyo melaporkan sensitivitas: 90,20%
dan spesifisitas: 91,40%. Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang
digunakan dalam sistem skor Alvarado seperti tertulis di atas maka dapat
diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan
laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor Alvarado
akan semakin tinggi, mendekati 10, ini mengarahkan kepada apendisitis
akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin
tidak lengkap maka skor Alvarado semakin rendah, mendekati 1, ini
mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Skor
Alvarado adalah sistem skoring yang didasarkan pada gejala dan tanda
klinis apendisitis akut, telah banyak dipergunakan. Pada tulisan aslinya,
Alvarado merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien
dengan skor 7 atau lebih dan melakukan observasi untuk pasien dengan
skor 5 atau 6.
1. Gastroenteritis
Pada penyakit ini ditemukan mual, muntah dan diare, gejala yang sama
akan ditunjukkan pada peradangan apendiks yang terletak pelvikal. Pada
anamnesis akan ditemukan mual muntah mendahului rasa sakit
21
(berlawanan dengan apendicitis akut) juga pada gastroenteritis sakit perut
lebih ringan. Panas dan lekositosis kurang menonjol jika dibandingkan
apendicitis akut. Pada pemeriksaan colok dubur apendicitis akut letak
pelvikal akan memberikan rasa nyeri, sedangkan gastroenteritis tidak.
2. Demam dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis, disini didapatkan hasil
tes positip untuk Rumpel Leede, trombositopeni dan hematokrit yang
meningkat.
3. Limfadenitis mesenterika
Ditandai dengan rasa nyeri perut terutama kanan, disertai mual dan nyeri
tekan perut yang samar. Pada anamnesa akan ditemukan mual dan muntah
yang mendahului rasa sakit (pada apendicitis akut mual dan muntah
timbul setelah rasa sakit)
4. Gangguan genitalia wanita
Ovulasi dari ovarium kanan dapat memberikan rasa sakit yang mirip
dengan apendicitis akut. Pada anamnesa akan ditemukan keluhan nyeri
yang sama sebelumnya dan rasa nyeri akan berlangsung saat ovulasi
terjadi, yaitu sekitar 12-14 hari setelah haid pertama haid terakhir. Pada
ovulasi tanda radang tidak ada, dan nyeri biasanya menghilang kurang dari
dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendicitis akut.
Temperatur biasanya lebih tinggi, dan nyeri lebih difus. Pada wanita
biasanya disertai dengan keputihan.
6. Kehamilan ektopik
Pada apendicitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik
uteri tidak seberapa nyata seperti yang ditemukan pada kehamilan
ektopik. Nyeri perut bagian bawah pada apendicitis terletak pada titik
McBurney.
7. Kista ovarium yang terpuntir
22
Nyeri timbul mendadak dengan intensitas yang tinggi serta teraba massa
dalam rongga pelvis, tidak ada demam.
8. Endometriosis eksterna
Nyeri didapatkan ditempat endometriosis berlangsung, nyeri pada saat
menstruasi karena darah tidak dapat keluar.
9. Gangguan traktus urinarius
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas pada batu ureter atau batu ginjal kanan,
juga ditemukan eritrosuria. Pada pielonefritis sering disertai demam tinggi
menggigil, nyeri kostovertebral disebelah kanan dan piuria.
10. Penyakit lain
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan diperut seperti
divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistisis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis
H. Terapi Appendicitis
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar
20%. Pada apendicitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
23
• Appendektomi (Laparoskopi appendektomi dan open appendektomi)
o Cito akut, abses & perforasi
o Elektif kronik
24
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan
appendicitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi
appendicitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai
pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada
biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna
untuk kasus-kasus perforasi appendicitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari
setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas
diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis
terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan
menghilangkan komplikasi appendicitis perforasi. Metronidazol aktif
terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh
dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti
klindamisin.6
Open appendektomi ini merupakan prosedur yang sudah lama menjadi
standar untuk operasi apendicitis. Pada metode ini, ahli bedah melakukan
tindakan operasi dengan melakukan insisi pada perut kanan bawah, dengan
panjang luka kurang lebih 5 cm. Belakangan ini metode open appendektomi
yang menggunakan insisi Mc Burney ini sudah banyak ditinggalkan karena
luasnya insisi sehingga akan menimbulkan jaringan parut yang cukup luas
penyembuhan luka yang lama sehingga tidak baik untuk kosmetik. Pada
teknik laparoskopi appendektomi beberapa incisi kecil dibuat di abdomen
(biasanya 3 irisan). Pada salah satu incisi, laparoskopi dimasukkan.
Laparoskopi mempunyai lensa kecil (sebagai kamera) yang berhubungan
dengan monitor TV. Appendektomi dilakukan oleh ahli bedah sambil melihat
ke monitor TV. Instrumen kecil dimasukkan ke dalam incisi lainnya dan
digunakan untuk mengambil appendiks. 3,5,6,7
25
inflamed appendix removal by open surgery
26
J. Prognosis Appendicitis
Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak
dan orang tua. Apabila appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan
berulang.5,9
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R dan de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC
3. Hackam, David. 2008. Appendicitis. Retrieved May 22, 2010, from Knol – A
Unit of Knowledge : http://knol.google.com/k/dr-david-
hackam/appendicitis/RNKGbbtd/Z1o0Yg
4. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acute. Retrieved May 22, 2010, from
eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
6. Bedah Digestif. 2008. Apendicitis akut. Retrieved May 22, 2010, from Ilmu
Bedah UGM: http://bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendicitis-akut.html
7. Hardin, Mike. 1999. Acute Appendicitis Review and Update. Retrieved May
22, 2009, from American Academy of Family Physicians.:
http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.htm
9. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut - Follow-up. Retrieved May 22, 2010,
from eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup
28