Professional Documents
Culture Documents
Malam, hangat. Saat itu, kuikuti jejakmu. Membawaku untuk mengenal dirimu. Akhirnya,
aku melangkah untuk menjumpaimu. Meski merasakan, langkahku tak akan lebih indah jika
dibandingkan dengan semua yang terurai pada jejakmu dibenakku. Kutatap mata itu, dan
kurasakan kehangatanmu mengalir mengisi ruang kosong pada hatiku. Pada tatapanmu
kurasakan gembira yang membaur dengan kesedihan, ada semangat yang berusaha
menjawab tantangan yang hidup berikan, ada juga cinta yang masih mencari cawan untuk
dituangkan. Kudengarkan tutur katamu, dan mengalir membawa kesejukan yang meresap
jauh kepermukaan hati. Kudengarkan bisikannya, ”aku merasa tentram bersamamu”.
Malam, memanas. Memanas sejak mengetahui cinta itu tercurah juga padaku. Tercurah
pada cawan yang selama ini seringkali kosong, melukisi dinding hati dengan warna merah
jambu, mengisi tamannya dengan bunga-bunga yang merekah indah menyebarkan wangi
pada setiap penjuru. Meski aku tak tahu, seberapa besar yang benar-benar ada untukku,
kuharap tidak sebesar cinta kepada pemberi kehidupan beserta orang-orang yang telah
merawat kehidupan, kuharap lebih bearti dari cintamu kepada pengisi lain pada
kehidupanmu. Aku tak tahu, karena di kedalaman relung hatimulah semua itu tersembunyi.
Relung hati wanita adalah bagian yang seorang pria tak mampu mencapainya. Aku mencoba
dengan prasangka dan prasangka terkadang hanya menenangkan sementara, tak
memberikan jawaban yang selamanya layak diterima.
Malam, panas. Aku dibakar rindu. Hampir tak bisa berbicara karenanya. Kutulis surat
untukmu, berharap menjadi air yang bisa memadamkan api kerinduan. Nyatanya tak ada
guna, membuatku seolah-olah mengipasi api yang berkobar, semakin membakar. Datanglah
padaku saat ini, aku akan memelukmu. Biar kupandang wajahmu, kutatap matamu. Kita tak
perlu berkata-kata, seribu kata-kata tak akan cukup mewakili semua. Kita berbicara dalam
seribu bahasa. Biar kesunyian yang bernyanyi mendendangkan lagu cinta bagi kita berdua.
Biar bayangan yang gemulai menari menarikan luapan rasa. Biarkan bintang yang bertebar
menjadi penulis bagi puisi-puisi yang menjelma disekeliling kita. Perintahkan bulan untuk
menutup cahayanya, karena tlah tergantikan oleh cahaya cinta kita.
Malam, meleburku. Melebur dalam pesona, dalam rasa, dalam cinta. Dalam sebuah ruang
tanpa dimensi dimana cinta yang bertahta. Dunia sedang menderita, tapi terasa adil bagiku,
karena masih ada cinta disana. Bahkan meski cinta membawa derita pada dunia, masih
terasa adil bagiku, karena tak ada rasa apapun tanpa cinta. Karena cinta, semua karena
cinta.
Malam, tak ada lagi. Karena bersamamu, gelapnya telah pergi. Kuteruskan pengembaraan
dalam mimpi. Kita akan menari, menyambut pagi yang menghampiri.
2 februari 2006