Professional Documents
Culture Documents
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang sempurna dan salam
semoga tercurahkan kepada hambaNya yang terpilih. Amma Ba’du :
Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan kemudahan dengan
menuntaskan cetakan pertama dari kitabku Fitnatut Tafjirat wal Igtiyalat, yakni cetakan
Darul Fadhilah Riyadh, semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan balasan kepada
setiap orang yang berperan di dalamnya dan hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
kami meminta semoga kitab ini dapat menjadi amal shalih guna mendapatkan
keridhaanNya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan manfaat kepada
penulisnya atas kitab yang telah ditulisnya ini, para pembaca, penerbit, dan kepada siapa
saja yang terlibat dalam penyebaran kitab ini untuk dapat diambil manfaatnya.
Diantara kabar gembira atas hadirnya kitab ini adalah bahwa Kementerian
Waqaf, Dakwah dan Bimbingan Kerajaan Arab Saudi, semoga Allah Subhanahu Wa
Ta'ala menjaganya dan menjaga seluruh negeri kaum muslimin, telah mencetak kembali
kitab ini, demikian pula Darul Fadhilah di Riyadh. Kemudian orang-orang yang
memiliki wewenang di kementerian tersebut ingin mencetak kembali bahkan
diterjemahkan ke dalam ragam bahasa, kemudian membagikannya ke masyarakat luas
melalui media yang dimiliki kementerian tersebut. Maka saya pun memberikan izin
kepada mereka dengan harapan semoga kemanfaatan kitab ini semakin meluas, bahkan
melalui lembaga kementerian tersebut dapat mencapai penjuru dunia dari timur sampai
barat, yang pada akhirnya dapat mengikis habis segala syubhat (kerancuan) yang
menjadikan gelap hati kaum muslimin, menjadikan orang yang berpijak di atas kebenaran
semakin yakin dengan kebenarannya dan menyelamatkan masyarakat Islam dari fitnah
yang bermuara dari buih dalam dada, juga asal pemikiran yang telah nampak
penyimpangannya sejak masa yang lama. Ketika cetakan lembaga kementrian merupakan
proyek sosial yang dibagikan di sebagian tempat, juga ketika ada permintaan dari
sebagian saudara kami agar ada penerbit yang memperbanyak dan membagi-bagikannya
di perpustakaan sehingga mudah di dapatkan, maka saya izinkan untuk saudara-saudara
kami di Darul Kayan Riyadh, semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjaga mereka
semua, untuk mencetak kitab ini. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kami
memohon semoga Dia menjadikan kami dan mereka sebagai orang yang senantiasa saling
membantu dalam kebaikan dan ketakwaan.
Saya telah merevisi kembali kitab ini dengan menambah sekitar lima belas
syubhat dan bantahannya. Saya pun mengulang kembali susunan sebagian tema dan
memasukan ke dalamnya beberapa nukilan ilmiyah dan atsar dari kaum Salaf, juga
meletakan semua itu pada tempatnya yang sesuai dengan pemahaman saya, walaupun
masih tersisa beberapa tema dari cetakan pertama yang perlu penyusunan kembali, akan
tetapi saya belum dapat menuntaskannya. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
kami berharap semoga kitab ini diliputi dengan cahaya dan keindahan, juga bertambah
kuat dan sempurna dalam pembahasannya.
Saya sangat berterima kasih kepada para penanggung jawab di lembaga
kementerian yang dimuliakan, karena mereka telah memberikan kepercayaan yang besar
terhadap kitab ini dan penulisnya dalam masalah yang sangat besar ini, seraya memohon
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala semoga Dia memberikan keberkahan atas jerih payah
yang mereka lakukan. Saya juga memohon semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjaga
mereka, negeri mereka dan negeri kaum muslimin dari segala mara bahaya, dan
menjadikan amalan ini ikhlas hanya kepada Allah, serta membalas orang yang telah
membantu saya dalam menuntaskan buku ini tanpa melihat besar atau kecil bantuan yang
mereka berikan. Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta'ala Maha Memberi, Maha Mulia lagi
penuh dengan kasih sayang. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita
semua Muhammad, keluarganya juga kepada para shahabatnya.
Ditulis oleh
Abul Hasan Mushthafa bin Ismail as-Sulaimani
Darul Hadits Ma’rib Yaman 5 / Rabiul Awwal / 1426 H
Diroh Aal Hadi bin Wuhaith rahimahullah
وسسيئات, ونعسسوذ بسال تعسالي مسن شسسرور أنفسسسنا، ونسسستغفره,ن الحمد ل نحمسسده ونسستعينه
ّإ
وأشهد أن ل إله إل الس وحسسدة ل شسسريك، أعمالنا من يهِده ال فل مضل له ومن يضلل فل هادي له
.ن محمدًا عبده ورسولهّ له وأشهد أ
“Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka”.
(QS. Al-Kahfi [18]: 5).
Ketahuilah bahwa hal itu bertolak belakang dengan manhaj
Ahlus Sunnah, bahkan sebaliknya, sesuai dengan manhaj ahli bid’ah.
Insya Allah hal ini akan dibahas secara rinci.
Bentuk Kedua : Sikap berlebihan pada barisan ahlul haq,
mereka adalah orang yang menyibukan diri dengan kritikan dan
mencari-cari kesalahan ahlus Sunnah dan menyebarkannya di
kalangan kaum muslimin dengan cara yang sangat buruk, bahkan
terkadang mereka menamakan perkara yang sama sekali bukan suatu
bentuk kesalahan sebagai bid’ah dan keluar dari Salafiyah, dan
memerintahkan untuk memboikot orang yang menyelisihi mereka
walaupun perkataan dan jalan orang yang diboikot tersebut lebih
benar. Selain itu mereka pun memerintahkan untuk memboikot orang
yang tidak ikut memboikot, juga memboikot orang yang tidak ikut
memboikot orang tersebut dan seterusnya !! Sehingga mereka
menjadikan orang yang diboikot pertama kalinya, terlepas sikapnya itu
benar atau tidak, bagaikan aliran listrik, barang siapa yang
menyentuhnya niscaya dia akan tersengat, demikian pula barang siapa
menyentuh orang yang tersengat tersebut niscaya dia pun akan ikut
tersengat aliran itu, dan seterusnya !!
Dan jika mereka berbicara tentang orang yang menyelisihi
mereka dari kalangan ahlu bid’ah dan para pengekor hawa nafsu,
maka mereka tidak berbicara dengan inshaf (sikap objektif) atau
dengan sikap adilnya ahlus Sunnah, akan tetapi mereka berbicara
melampaui batas sehingga perkataan mereka tidak dapat diterima
bagi kebanyakan orang yang berakal lagi bersikap secara objektif,
padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya)”. (QS. An-Nahl [16]: 53).
Maka hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala saya memohon,
semoga Dia menjadikan semua karya dan amalan saya ini hanya
untuk mengharapkan wajah Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang mulia,
yang akan melahirkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat bagi
saya sendiri, keluarga dan saudara-saudara saya.
Sebagaimana saya telah membantah orang yang ghuluw dalam
masalah al-Hakimiyyah juga kepada para provokator pengeboman
dengan beragam bantahan, bahkan kitab yang ada di hadapan
kalian ini adalah khusus untuk membantah pemikiran ini insya Allah.
Hanya kepada Allah Ta'ala semata saya memohon semoga diberikan
taufik dan kebenaran, juga tidak menjadikan kelalaian dan
kelemahan yang ada dalam diri saya sebagai penghalang untuk
mendapatkan petunjukNya. Semoga Allah Ta'ala menjadikan kitab
ini bermanfaat di dunia maupun di akhirat.
6. Di dalam dua kelompok ini ada yang mengambil fatwa para ulama
besar untuk mendukung pendapat mereka walaupun hanya secara
zhahir dan untuk sementara waktu, untuk tujuan itu mereka
menggunakan cara yang menimbulkan kebimbangan dan cara-cara
yang tidak lumrah. Seperti cara mereka di dalam menyampaikan
pertanyaan (meminta fatwa) kepada para ulama, demikian pula
mereka menerapkan fatwa-fatwa umum kepada orang yang mereka
kehendaki sebagai langkah untuk membela pendapatnya dan
menghancurkan orang yang menyelisihi mereka. Apabila para ulama
tersebut menyelisihi mereka, maka mereka akan merendahkannya
dengan cara terang-terangan. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman :
“Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri”. (QS. Fathir [35]: 43).
Nabi shallallahu 'alaihi was salaam bersabda :
ل امرىءٍ َما َنَوى
ّ ت وإّنَما ِلُك
ِ ل بالّنّيا
ُ عما
ْ إّنما ال
“Sungguh setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang
mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya”.
7. Kedua kelompok di atas senantiasa menguji manusia dengan
perkataan yang tidak ada dasarnya, dengan ijtihad yang keliru, juga
dengan guru dan pemimpin mereka yang terkadang benar
terkadang salah. Barang siapa yang mengatakan apa yang mereka
katakan atau memuji orang yang mereka puji, maka mereka akan
mengangkatnya dengan berlebihan. Dan barang siapa yang
menyelisihi mereka atau mencela orang yang mereka puji dengan
bathil, maka orang tersebut menjadi rendah di hadapan mereka, dan
akan disalahkan, terkadang disebut sebagai mata-mata, atau orang
yang tidak mengetahui apa yang ada di sekitar mereka. Terkadang
pula disebut sebagai tukang makar terhadap agama, atau hizby
yang paling buruk di muka bumi. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman :
33
Majmu’ul Fatawa (3/ 413-416).
4
Majmu’ul Fatawa (20/ 164).
mobil mewah, mereka adalah pengekor pemerintah, dan mereka
adalah budaknya budak". Celaan yang paling ringan terhadap para
ulama, dari apa yang mereka katakan : "Mereka orang yang
dangkal, tidak memahami fiqihul waqi' (realita umat) walaupun
mereka adalah orang yang ikhlas lagi jujur."
Kelompok lain berkata tentang ulama besar yang menyelisihi
mereka : "Para ulama tidak memahami masalah manhaj dan al-Jarhu
wat Ta’dil, sedangkan kami merupakan orang yang spesialis di
dalam memahami manhaj Ahlus Sunnah dan Ahli bid’ah, kami
adalah orang yang paling tahu tentang hizbiyyah dan manhaj
mereka, adapun para ulama itu adalah orang yang terperdaya dan
Salafi kami lebih kuat daripada Salafi mereka." Celaan yang paling
ringan yang mereka lontarkan kepada para ulama yaitu: "Disekitar
mereka ada orang hizby, sementara para ulama berbaik sangka
kepada orang hizby, lalu orang-orang hizby itu menipu, bahkan di
antara para ulama besar adalah termasuk tokoh kebid’ahan dan
kesesatan, dia adalah seorang quthby, dia seorang ikhwany
pengikut Hasan al-Banna, atau dia seorang pengekor ikhwani. Dan
masih banyak istilah-istilah lain di kalangan mereka maupun di
kalangan pengikutnya yang sering mereka lontarkan.
Walhasil, dua kelompok yang melontarkan makar telah
meruntuhkan kehormatan dan wibawa para ulama, dan sungguh
mereka telah mendoktrin kaum muslimin dengan memasukan
pemahaman mereka, sehingga para pemuda tidak lagi menjadikan
para ulama besar sebagai rujukannya, walaupun kedua kelompok
tersebut masih memegang teguh sedikit dari perkataan para ulama
itu untuk tujuan-tujuan tertentu.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
5
Majmu’ul Fatawa (28/ 573).
6
Majmu’ul Fatawa (10/ 523).
7
Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah (1/ 126-131).
8
Ash-Shadafiyyah (2/ 327).
dalam berpendapat tetapi dikhawatirkan jika mereka tetap dalangm
keadaan seperti itu akan dimasukan kedalam golongan ahlul bid'ah.
Ketika pembahasan ini dipaparkan dalam rangka membantah
pemikiran yang bertentangan dengan Sunnah dengan bobot
penyimpangannya yang beragam, maka saya menyebutkan banyak
perkataan mereka tanpa menuturkan siapa yang mengatakannya,
pembahasan ini bukanlah dalam rangka menetapkan perkataan itu
kepada seseorang atau menolaknya. Sesungguhnya maksud dari
pembahasan ini dalam rangka menjelaskan perkataan-perkataan yang
menyimpang dan memaparkan bahaya yang diakibatkan darinya, oleh
karena itu saya menggabungkan banyak dari perkataan mereka
walaupun orang yang mengatakan saling berseberangan di antara
mereka. Sebagian mengingkari bahwa itu bukan perkataan mereka,
maka saya katakan bahwa itu pengingkaran sebatas keilmuan mereka,
dan orang yang mengetahui merupakan hujjah bagi yang tidak
mengetahui. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujurat [49]: 1).
Sikap ghuluw tidaklah dicela kecuali karena sikap tersebut
menyebabkan kezhaliman seorang hamba kepada dirinya sendiri dan
orang lain, mengabaikan apa yang Allah Ta'ala wajibkan atas dirinya,
bahkan terkadang perkara yang diabaikannya itu lebih wajib daripada
perkara yang ia lakukan secara berlebihan. Sikap ghuluw
menyebabkan seseorang putus dari beramal dan menutup jalan Allah
Subhanahu Wa Ta'ala, sikap ghuluw pun menjadikan manusia lari dari
agama dan mengotori keindahan Islam juga mempersempit cakupan
agama yang begitu luas.
Banyak dalil yang menjelaskan tercelanya sikap ghuluw, di
antaranya :
a. Dalil yang melarang sikap ghuluw secara tegas, seperti dalam
firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
دين
ّ إّياكم والغلو في ال
“Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam masalah
agama”.9
Juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi was salaam :
هلك المتنطعون، هلك المتنطعون،هلك المتنطعون
“Celakalah orang yang melampaui batas, celakalah orang yang
melampaui batas, celakalah orang yang melampaui batas”.10
Inilah nash-nash yang secara tegas mencela sikap ghuluw.
b. Di antaranya terdapat anjuran untuk bersikap memudahkan
sesuatu dan larangan untuk munyulitkan sesuatu, anjuran untuk
9
Diriwayatkan oleh an-Nasai no (3057).
10
Diriwayatkan oleh Muslim (2670).
berlemah lembut dan celaan terhadap kekerasan. Dan disinilah
tercelaanya sikap ghuluw dan melampaui batas sebagaimana firman
Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
11
Diriwayatkan oleh imam Ahmad (5/ 266) dengan sanad yang shahih.
“Sungguh agama ini mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama ini
kecuali dia akan di kalahkannya, maka mohonlah kebenaran dan dekatkanlah dirimu
kepadanya…”12
Demikian pula sabda Nabi shallallahu 'alaihi was salaam :
ِ عَلى اْلُعْن
ف َ طي
ِ ق َما ل ُيْع
ِ عَلى الّرْف
َ طي
ِ َوُيْع، ق
َ ب الّرْف
ّ ح
ِ ق ُي
ٌ ل َرِفي
َّ ن ا
ّ ِإ
“Sungguh Allah Ta'ala Maha Lembut dan mencintai kelembutan, Allah
memberikan kepada kelembutan sesuatu yang tidak diberikan kepada kekerasan”.13
Juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi was salaam :
شاَنُه
َ ل
ّ ىٍء ِإ
ْ ش
َ ن
ْ ع ِم
ْ ل َزاَنُه َوَلْم ُيْنَز
ّ ىٍء ِإ
ْ ش
َ إن الرفق ل َيُكون ِفى
“Sesungguhnya kelembutan itu, tidaklah ia ada pada sesuatu kecuali akan
menghiasinya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali akan memperburuknya”.14
Juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi was salaam :
خْيَر
َ حِرَم اْل
ُ ق
َ حِرَم الّرْف
ُ َْمن
“Barang siapa yang tidak diberikan kelembutan, maka ia tidak akan diberikan
kebaikan”.15
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi was salaam :
َ عَلْيِهُم الّرْف
ق َ ل
َخَ خْيًرا َأْد
َ ت
ٍ ل َبْي
ِ ل ِبَأْه
ُّ ِإَذا َأَراَد ا
“Jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menghendaki kebaikan untuk satu penghuni
rumah, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan memasukan kelembutan kepada
mereka”.16
c. Demikian pula perintah untuk bersikap pertengahan yaitu tidak meremehkan
dan tidak berlebihan, pemeluk agama Islam adalah pertengahan di antara agama-agama
lainnya, dan Ahlus Sunnah berada dipertengahan antara berbagai kelompok dalam Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
12
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (39), an-Nasai (5049) dari Abu Hurairah.
13
Diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah (6544).
14
Diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah (6545).
15
Diriwayatkan oleh Muslim dari Jarir (6543).
16
Diriwayatkan oleh Ahmad (6/ 71), dan lihat ash-Shahihah no (1219).
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Maka tidaklah diterima kecuali persaksiannya orang yang
berbuat adil dan pertengahan, dan inilah merupakan sifat umat Islam.
Maka barang siapa yang bersikap ghuluw ia telah menyerupai orang
yahudi dan barang siapa yang bersikap meremehkan maka ia telah
menyerupai kaum nashrani. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
kita memohon perlindungan dari jalan orang-orang yang dimurkai dan
jalan orang-orang yang tersesat.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang kita menyimpang dari jalan
yang lurus dalam segala keadaan bahkan dalam hal makan dan minum
sekali pun. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan”. (QS. Al-
A’raaf [7]: 31).
Demikian pula firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala tentang nafkah
:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu
menjadi tercela dan menyesal”. (QS. Al-Israa' [17]: 29).
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata : “Dan kaidah ini
semuanya adalah al adlu (bersikap adil) yaitu menjadikan sebuah
perkara pertengahan antara meremehkan dan berlebihan, di atasnya
dibangun kemaslahatan dunia dan akhirat, bahkan jasad itu sendiri
tidak akan sehat kecuali dengannya, karena kapan saja ia keluar dari
sikap menengah dan melampaui batas atau menguranginya maka
akan hilang kesehatan dan kekuatannya sesuai dengan
penyimpangannya, demikian pula perbuatan-perbuatan yang bersifat
alamiyah, seperti tidur, bergadang, makan, minum, bersenggama,
bergerak, olahraga, menyendiri, bergaul dan yang lainnya jika
dilakukan secara seimbang maka itulah keadilan, jika lebih condong
kepada salah satu di antara dua sisinya maka akan menjadi kurang
dan akan membuahkan sesuatu yang kurang”.
Sampai beliau berkata :
“Maka manusia yang paling adil adalah orang yang berdiri tegak
di atas aturan-aturan akhlak, perbuatan juga apa saja yang
disyari'atkan dalam bentuk pengetahuan maupun perbuatan”.17
Rasulullah shallallahu 'alaihi was salaam tidak memberikan
keringanan melempar jumrah menggunakan batu-batu besar, beliau
menganggapnya sebagai ghuluw, demikian pula beliau tidak
mengizinkan Abdullah bin Amr ketika dia menyibukan dalam beribadah
sampai meningggalkan keluarganya dirinya dan Rasulullah shallallahu
'alaihi was salaam memerintahkan kepada mereka yang berpuasa
selamanya, meninggalkan tidur dan tidak menikah agar mereka
bersikap adil dalam semua perkara itu, kemudian Rasul bersabda :
“Barang siapa yang membenci Sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku”.18 Nabi shallallahu 'alaihi was salaam tidak mengizinkan
sikap melampaui batas dalam ibadah maupun kezuhudan, lalu
bagaimana halnya dengan orang yang melampaui batas sehingga dia
17
Al-Fawaid (hal 318-319) cetakan Dar Ibnu Khuzaimah dengan tahqiq Amir bin Ali Yasin.
18
Diriwayatkan oleh Muslim dari Anas (3389)
menghalalkan darah kaum muslimin, harta dan kehormatan mereka,
sampai mengakibatkan dampak yang sangat buruk dalam dakwah.
Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhan” (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Demikian pula firmanNya :
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Maaidah [5]: 8).
Karena sikap adil itu lebih mudah sampai ke hati orang-orang
yang berakal (walaupun dia dari kalangan musuh). Jika kalian bersikap
adil kepada lawan, maka sungguh kalian telah membuka pintu
petunjuk baginya, sehingga kalian terbebas dari tanggung jawab itu,
umat pun akan selamat dari buruknya pemikiran tersebut dan pada
akhirnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan membuka hati orang yang
menyelisihi kalian untuk kembali kepada kebenaran. Maklum adanya,
bahwa hujjah dilawan hujjah dengan cara yang bijaksana adalah lebih
baik daripada sebaliknya, terutama bantahan untuk pemikiran di atas
sudah sangat banyak dan kekeliruannya dapat dibongkar dari berbagai
macam sisi.
Dalam rangka menyampaikan kebenaran yang disertai dengan
dalil dan bukti kepada kebanyakan orang yang terlena dengan
pemikiran sesat dan beragam syubhatnya (kerancuan) ini, juga karena
keinginan yang besar untuk menolong orang-orang yang tertipu oleh
pemikiran tersebut dan dikhawatirkan para penentang berpaling dari
nasihat para ulama besar umat ini, maka saya memilih cara yang
semaksimal mungkin untuk mendiskusikan pemikiran tersebut. Dan itu
tidak berarti meninggalkan hukum agama bagi orang yang berhak
untuk mendapatkan sangsi secara syar'i, karena itu masalah lain. Dan
hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala segala petunjuk dan taufikNya.
Kalau seandainya di antara orang yang terjatuh dalam pemikiran
yang bertentangan dengan Sunnah tersebut adalah anak-anak,
saudara, dan kaum kerabat kita, maka bagaimanakah kita akan
mengobati penyakit tersebut ?!
Sesungguhnya para ulama dalam menyikapi anak-anak umat ini
dengan penuh kasih sayang dan ilmu demikian juga Ahlus Sunnah,
mereka adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang
yang paling sayang kepada makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman :
"Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala
sesuatu”. (QS. Al Mu'min [40]: 7).
Oleh karena itu, perlu adanya ilmu syar'i yang menjelaskan
kadar penyimpangan dari kebenaran secara teliti, amanah dan jelas,
tanpa berlebihan dan juga tidak meremehkan dan diperlukan
kebijaksanaan yang dengannya bisa melepaskan tanggung jawab, juga
dapat memberikan manfaat kepada umat.
Sesungguhnya merupakan kesalahan jika dikatakan, bahwa
dakwah dengan membuka pintu dialog secara ilmiyah berarti menutup
mata dari sangsi hukum atas pengaruh yang ditimbulkan oleh
pengeboman dan pembunuhan atau berarti bersikap lembek dalam
menghukumi orang yang melakukan hal itu !! Sungguh kita semua
diperintahkan oleh Allah untuk menunaikan perintahNya dari semua
sisi.
Sungguh saya telah menyaksikan sebagian orang yang
mengobati problema di atas dengan meninggalkan sikap adil, bahkan
mengarahkan perangkap kepada para da’i, juga menjadikan perbuatan
para pemuda itu sebagai sarana untuk menghembuskan racunnya dan
juga untuk mencoreng agama dan para pemukanya !! Hal itu seperti
nampak pada pemberitaan di koran-koran dan yang lainnya !!
Ada juga kelompok lain yang menempuh jalan berbeda, mereka
tidak mengakui kebenaran yang ada pada pelaku fitnah itu (walaupun
pelaku itu menempatkan kebenaran bukan pada tempatnya), mereka
tidak mengobati masalah tersebut dari semua sisi, yang akibatnya
banyak orang berpaling sehingga tidak dapat menerima jerih
payahnya orang yang mengobati dalam masalah ini, bahkan orang-
orang yang setuju dengan mereka (sebelumnya) sekalipun, padahal
usaha itu sangat berarti !!
Di antara dua cara di atas, ada cara lainnya yang memiliki
tingkatan yang bervariasi. Tentunya, kebenaran itu ada di tengah
antara kedua sisi tersebut, kebenaran itu diterima dari mana saja
datangnya adapun kebathilan itu harus ditolak dari siapapun
datangnya !!
Demikianlah, saya ucapkan terima kasih kepada siapa saja yang
senantiasa berusaha untuk menjelaskan kebenaran, membela Sunnah
dan para pemimpinnya, disertai dengan do’a yang saya panjatkan,
semoga seluruhnya diberikan hidayah untuk menempuh jalan yang
lurus.
Kaum muslim di seluruh penjuru merasakan dampak yang
diakibatkan dari pemikiran tersebut (yang akan dijelaskan secara rinci
insya Allah), dan cara untuk mengobatinya tidak dapat dengan cara
meremehkan ataupun berlebihan, karena keduanya hanya menjadikan
pelaku semakin membangkang justru akan mengakibatkan
bertambahnya korban dan musibah yang menimpa umat ini !!
mengobatinya hanya dapat dilakukan dengan adil dan tulus, juga
dengan cara yang tepat dan tekad yang kuat.
19
Diriwayatkan oleh Abu Dawud no (4811) dari Abu Hurairah secara marfu, lihat ash-Shahihah no (416).
Buku ini saya beri judul: Fitnatut Tafjirat wal Igtiyalat, al-Asbab
wal Atsar wal Ilaj (fitnah pengeboman dan pembunuhan, sebab,
dampak dan penanggulangannya).
Dengan hanya memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
semoga kitab ini merupakan usaha yang diberkahi, sebagai petunjuk
menuju jalan yang lurus, sungguh Dialah Allah Subhanahu Wa Ta'ala
yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang senantiasa mengabulkan
permohonan, dan cukuplah Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai
penolong.
Saya menulis kitab ini sesudah muqaddimahnya terdiri dari beberapa
pasal :
Pasal pertama : Nikmat dan pentingnya keamanan, jalan untuk
mewujudkannya dan cara untuk menjaganya.
Pasal kedua : Tingkatan dan perkembangan pemikiran yang
mengarah kepada pengeboman dan pembunuhan.
Pasal ketiga : Dampak buruk dari pengeboman dan
pembunuhan.
Pasal keempat : Sebab fitnah pengeboman dan pembunuhan.
Pasal kelima : Cara mengobati fitnah pengeboman dan
pembunuhan.
Pasal keenam : Syubhat para penentang dan bantahannya.
Pasal ketujuh : Sejumlah fatwa ulama-ulama besar zaman ini
tentang peringatan keras terhadap pengeboman dan pembunuhan.
Kemudian saya akhiri kitab ini dengan daftar isi yang dapat
menggambarkan lebih dekat tentang beberapa hikmah dan
mengumpulkan berbagai macam faidah yang ada.
Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala saya berharap agar
buku ini dijadikan kunci dari segala kebaikan, penutup dari segala
keburukan, sebagai cahaya di dunia dan cahaya di gelapnya alam
kubur, dan dijadikan sebagai pengaman di hari perhitungan di padang
mahsyar.
Demikian pula hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala saya
memohon, semoga kitab ini dijadikan amalan yang ikhlas hanya
mengharapkan wajah Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang mulia, tangga
untuk mendapatkan surga, dijadikan sebagai penjaga bagiku dari
kejelekan syaitan yang terkutuk dan pasukannya. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menjagaku dari segala perkara yang
mengakibatkan murkaNya, juga menjaga keluarga, keturunan, kedua
orang tua, saudara-saudara dan dakwahku senantiasa tetap dijaga
dalam keselamatan, karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Maha Mulia dan penuh dengan kasih sayang.
Ditulis oleh
Abul Hasan Musthofa bin Ismail as-Sulaimani
Darul Hadits Ma’rib Yaman 3 / Syawal / 1424 H
Wadi ‘Abidah – Diroh Aal Hadi bin Wuhaith rahimahullah
Pasal Pertama
Nikmat dan Pentingnya Keamanan, Jalan untuk
Mewujudkannya dan Cara untuk Menjaganya
Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kami memohon, semoga kami tidak
mendapatkan sangsinya karena apa yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dan kami
berlindung kepadaNya atas hilangnya kesehatan dan turunnya bencana dari segala
murkaNya. Karena sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Penyayang.
Tatkala keamanan itu merupakan nikmat yang sangat besar maka Allah
Subhanahu Wa Ta'ala telah menguji kaum Quraisy dengan memberikan kenikmatan yang
sangat besar kepada mereka, akan tetapi mereka membalasnya dengan pengingkaran dan
kesombongan.
Tidaklah Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan karunia dengan sesuatu yang
sama sekali bukan kenikmatan, Dialah Yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
20
No (2346).
21
Lihat Shahihul Jami (6042)
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan
kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia
menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. Al-Baqarah [2]:
126).
Karena manusia tidak akan dapat menikmati makanan dan
minuman dengan adanya rasa takut dan karena rasa takut itu, sarana
untuk mencari rizki dari satu negeri ke negeri lainnya menjadi
terputus, karena itulah Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan sangsi
berat kepada para perampok… Dan Islam datang dengan menjaga
lima perkara yang utama yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan dan
harta, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan hukuman berat bagi
orang yang menghilangkan dengan terpenuhinya lima kebutuhan
tersebut, baik bagi kaum muslimin maupun orang kafir yang ada
dalam perjanjian dengan kaum muslimin.
Seorang kafir Mu’aahad (kafir yang ada dalam perjanjian dengan
kaum muslimin) memiliki hak yang sama dengan seorang muslim, Nabi
shallallahu 'alaihi was salaam bersabda :
جّنِة
َ حَة اْل
َ ح َراِئ
ْ ل ُمَعاَهًدا َلْم َيَر
َ ن َقَت
ْ َم
“Barang siapa yang membunuh seorang kafir mu’aahad, maka
dia tidak akan mencium wanginya surga”.
…. Maka orang yang mengacaukan kondisi keamanan, dapat jadi
dia seorang Khawarij atau perampok atau pemmemberontak. Semua
dari ketiga kelompok di atas akan mendapatkan sangsi yang sangat
berat, yang dapat memberhentikan perbuatan tersebut, sehingga
dapat terlindunginya kaum muslimin dari berbagai macam
keburukannya, demikian pula musta'minin (orang-orang yang dijamin
keamanannya) dan ahlu dzimmah…”.22
Maka bagi setiap orang yang berakal hendaklah dapat menjaga
keamanan negerinya, yang pertama dengan menjaga aqidah as-
shohihah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala :
22
Al-Fatawa asy-Syar'iyyah fil Qadhaya asy-Syar'iyyah (hal: 125-127/cetakan kedua/ yang dikumpulkan
oleh Muhammad Fahd al-Hushain).
24
Dalam al-Bukhari no (7052), adapun dalam Muslim no (4752).
kami sementara hak kami mereka abaikan, apa yang baginda
perintahkan bagi kami?” dan perhatikan jawaban Rasulullah shallallahu
'alaihi was salaam tentang hak para pemimpin yang hati mereka adalah
hati serigala yang berjasad manusia, juga jawaban Nabi shallallahu 'alaihi was salaam
tentang hak pemimpin yang menyiksa lagi mengambil harta !!
Seandainya salah seorang ulama besar sekarang ini ditanya dengan pertanyaan di
atas, lalu dia berpaling karena mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi was salaam dan
berpijak kepada manhaj Salaf dan karena ingin memadamkan api fitnah yang kadang
terjadi karena adanya sanggahan, niscaya para pemuda yang penuh semangat akan
berkata dengan kebodohannya : “Dia adalah seorang penakut dan tidak mampu
mengatakan kebenaran, ia hanya boneka, tidak dapat dipercaya juga tidak dapat dijadikan
rujukan”, hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kami berlindung dari fatwanya
orang-orang bodoh dan sikap kurang ajar mereka terhadap ulama !!
Abu Dzar al-Gifari telah mempraktekkan ajaran Nabi di atas, beliau tidak menjadi
pembuka fitnah padahal begitu besar semangat beliau dalam beragama dan menjelaskan
kebenaran, juga kejujuran ucapannya. Dijelaskan dalam As-Sunnah karya Ibnu Abi
'Ashim25 dari jalan Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
"ketika Abu Dzar keluar menuju Ar-Rabadzah, beliau berjumpa dengan sekelompok
orang dari penduduk Iraq, mereka berkata : “Wahai Abu Dzar! telah sampai berita
kepada kami bahwa engkau dizhalimi, kibarkan bendera peperangan niscaya akan datang
kepadamu orang-orang yang akan membela kamu”, lantas Abu Dzar berkata: “Tenang
wahai umat Islam, karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi was salaam
bersabda :
ل منسسه توبسسة؛ حسستى
ُ ول ُيقبس، من التمس ُذّله؛ َثَغر ثغسسرةً فسسي السسسلم،عّزوه
ِ فأ،سيكون َبْعدي سلطان
يعيدها كما كانت
“Sesungguhnya Allah meridhoi atas kalian akan tiga hal; bahwa kalian
beribadah kepada-Nya saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, agar kalian
berpegang teguh dengan tali Allah dan jangan bercerai berai dan agar kalian saling
menasehati dengan orang yang Allah jadikan sebagai pemimpin kalian”. Diriwayatkan
oleh Muslim.
“Ada tiga hal, hati seorang muslim tidak dirasuki dengki saat melakukannya.
Yaitu : ikhlas beramal untuk Allah, menasihati pemimipin dan konsisten bersama dengan
jama'ah, karena do’a mereka akan melindungi dari belakang mereka”. Diriwayatkan
oleh Ahlus Sunan.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari beliau, sungguh Nabi shallallahu 'alaihi
was salaam bersabda :
، َوِلَنِبّيسِه، ب الس
ِ ِلِكَتا: ل
َ ل ال ؟ َقا
َ سو
ُ ن َيا َر
ْ ِلَم: حُة َقاُلوا
َ صي
ِ ن الّن
ُ حُة الّدي
َ صي
ِ ن الّن
ُ حُة الّدي
َ صي
ِ ن الّن
ُ الّدي
َ سِلِمي
ن ْ لِئّمِة اْلُم
َ َو
“Agama adalah nasihat, agama adalah nasihat, agama adalah nasihat”, para
shahabat bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” jawab beliau: “Untuk Allah,
kitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan untuk umat Islam
keseluruhannya”.
Beliau berkata : “Seharusnya mengangkat pemimpin hendaknya dijadikan sebagai
perkara ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena
mendekatkan diri serta taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya adalah sebaik-baiknya
taqarrub (ibadah). Kebanyakan manusia menyimpang dalam masalah itu, hanya karena
mencari jabatan dan harta dengannya…”.
Beliau pun berkata : “Karena itulah Nabi shallallahu 'alaihi was salaam
memerintahkan umatnya untuk mengangkat pemimpin di antara mereka, Baginda pun
memerintahkan kepada pemimpin untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak, jika
mereka melaksanakan hukum di antara manusia maka hendaknya melakukan dengan adil,
Nabi pun memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimpin dalam rangka taat kepada
Allah Ta'ala…”. Kemudian beliau menuturkan hadits Abu Said al-Khudriy dan Abu
Hurairah yang disebutkan sebelumnya.
Kemudian beliau berkata : “Jika Nabi shallallahu 'alaihi was salaam
memerintahkan untuk mengangkat pemimpin dalam skala yang sangat kecil dan dalam
waktu yang singkat, maka hal itu lebih wajib untuk dilakukan dalam skala yang lebih
besar, oleh karena itu mengangkat pemimpin itu sebagai amal sholeh yang paling utama
bagi orang yang menjadikannya sebagai amal ibadah dan untuk mendekatkan diri kepada
Allah…”.28
Syaikhul Islam berkata : “Keberadaan seorang pemimpin yang zhalim, pasti Allah
Subhanahu Wa Ta'ala akan menghilangkan dengannya kejelekan yang lebih banyak
daripada kezhalimannya. Sebagaimana dikatakan, bahwa enam puluh tahun di bawah
seorang pemimpin yang zhalim, adalah lebih baik daripada satu malam tanpa
pemimpin...”29
Beliau pun berkata : “Syari'at datang untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menyempurnakannya, untuk menghilangkan keburukan dan menguranginya dan untuk
memilih yang terbaik dari dua kebaikan. Ini sebagian faidah dalam mengangkat
pemimpin. Tidak seperti yang diduga oleh orang bodoh, bahwa adanya seorang
pemimpin adalah seperti tidak adanya. Hal itu tidak akan dikatakan oleh orang yang
berakal apalagi seorang muslim, bahkan orang bijak berkata: bahwa enam puluh tahun di
bawah seorang pemimpin yang zhalim, adalah lebih baik daripada satu malam tanpa
pemimpin. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak :
وكسان أضعفنا نهًبا لقوانا لول الئمة لم تأمن لنا سبل
Jika tidak ada pemimpin maka jalan-jalan tidak akan pernah aman
Dan orang yang lemah akan menjadi mangsa bagi orang yang kuat”.30
Beliau pun berkata : “Sudah diketahui bahwa manusia tidak akan baik kecuali
dengan adanya pemimpin, walaupun yang menjadi pemimpin adalah raja-raja zhalim
yang lebih parah keadaannya dari kalangan Bani Umayyah dan Bani Abbas, maka adanya
28
Majmu’ul Fatawa (28/ 64-64).
29
Majmu’ul Fatawa (14/ 268).
30
Majmu’ul Fatawa (30/ 136).
mereka lebih baik daripada tidak adanya pemimpin, seperti dikatakan: Enam puluh tahun
di bawah seorang pemimpin yang zhalim, lebih baik daripada satu malam tanpa
pemimpin”.31
Beliau pun Rahimahullah berkata : “Jika keadaan para pemimpin itu baik maka
urusan rakyat pun akan menjadi baik, jika sebaliknya (pemimpin buruk) maka rakyat pun
menjadi buruk sesuai dengan keburukannya akan tetapi tidak akan buruk dari semua sisi,
pasti ada kebaikannya, karena pemimpin itu merupakan naungan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, akan tetapi naungan itu kadang-kadang sempurna, dapat melindungi seluruhnya
dan terkadang hanya menaungi sebagiannya. Adapun jika tidak ada pemimpin, maka
urusannya akan menjadi porak poranda”.32
Kesimpulannya, bahwa keamanan merupakan nikmat bagi semua, hal itu tidak
akan terwujud kecuali dengan kepemimpinan dan kekuatan dan hal tersebut tidak akan
terwujud kecuali dengan taat kepada pemimpin dalam hal yang baik, juga dengan
bersabar atas kezhaliman mereka.
Kami menyaksikan sebagian bangsa yang pemimpinnya telah jatuh dan negeri
mereka telah hancur (walaupun banyak penyimpangan sebelum kehancurannya), maka
keadaannya tidak akan kembali kepada mereka seperti keadaan sebelumnya. Bahkan
kami menyaksikan keadaan penduduknya terpecah-belah dan berserakan di banyak
negeri. Orang-orang mulia dihinakan, silaturahmi pun menjadi terputus dan seseorang
terpisahkan dari orang tua dan karib kerabatnya. Karena itulah dikatakan : “Bangsa yang
tidak berpemimpin adalah bangsa yang tidak memiliki kemuliaan dan pemimpin yang
zhalim adalah lebih baik daripada fitnah yang berkepanjangan”.
Lalu apakah para pemuda saat ini menginginkan kaum muslimin kondisinya
seperti itu di setiap negerinya, dengan fitnah yang mereka hembuskan dan menggoncang
stabilitas keamanan, tentunya hal itu akan mengakibatkan jatuhnya para pemimpin,
walaupun mereka pada umumnya berbuat zhalim ?! maka kondisi kita seperti orang yang
hendak mengobati penyakit influenza akhirnya menjadi kusta ?! atau seperti orang yang
hendak mengobati kusta, mengakibatkan orang-orang yang sehat menjadi celaka, baik
yang muda maupun yang tua ?! hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita
berlindung dari makarnya orang yang berbuat jahat.
Tidakkah mereka kaum muda mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di
berbagai negeri, ketika mereka menjatuhkan pemimpin mereka yang sangat zhalim
31
Minhajus Sunnah (1/ 547-548).
32
Majmu’ul Fatawa (46/ 25).
kepada rakyatnya, justru mengakibatkan fitnah masuk ke setiap rumah, bencana pun
menjadi lebih besar dan sekarang, mereka mengharapkan kembalinya hari-hari yang telah
berlalu, setelah mereka rasakan kekacauan. Akan tetapi harapan tinggal harapan, sudah
banyak darah yang tertumpah, rumah dan masjid hancur, kehormatan sudah tercabik-
cabik, harta dirampas dan jalan-jalan pun sudah tidak aman, hanya kepada Allah kami
memohon pertolongan !!
Sesungguhnya ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membela negeri Islam
yang zhalim karena cinta akan kezhalimannya atau karena condong ke dunia !! sungguh
mereka adalah manusia yang paling jauh dari hal itu, dan yang paling sedikit
mendapatkan bagian dari para pemimpin, akan tetapi mereka mengingkari fitnah dan
akibat yang ditimbulkannya dikarenakan mengikuti manhaj Salaf, menjaga kebaikan
yang masih tersisa, menjaga darah dan kehormatan, walaupun sungguh mereka merasa
sangat sedih karena banyaknya kemungkaran, mereka mengakui akan adanya
kemungkaran akan tetapi tidak berlebihan dalam memberikan udzur kepada pelakunya,
tentunya mereka tetap memberikan nasihat dan peringatan semampunya dari perbuatan
dosa, dan memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk diberikan yang lebih
maslahat bagi Islam dan kaum muslimin.
Kalau saja kami terima bahwa kalian wahai kaum muda, telah berhasil
menjatuhkan sebuah negeri yang tentunya itu dengan merusak segalanya dan kaum
muslimin pun dalam keadaan lemah, lalu apakah musuh-musuh Islam akan membiarkan
kalian begitu saja?! Ataukah mereka akan menjadikannya perang saudara di antara
kalian, sedangkan mereka (musuh-musuh Islam) seperti yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala
firmankan :
سّلم
ُ فهل هو إل للتسلق على كتفْيه يبلغ المجَد غيُره
Di atas kedua pundaknya, orang lain mencapai kemuliaan
Maka tidaklah dia melainkan hanya sebagai tangga
Peringatan: anehnya, kalian dapat melihat sebagian jama’ah
menjadikan perkataan Syaikhul Islam di atas tentang wajibnya
mengangkat pemimpin, sebagai dalil wajibnya bai’at kepada amir
jama’ah tersebut, wajib bergabung dengan kelompoknya di bawah
panji dan syiarnya.
Demikianlah, padahal amir di antara mereka pun lemah dan
tidak diketahui, hampir saja tidak ada yang mengetahuinya kecuali
orang yang dipercaya olehnya !!
Anehnya lagi mereka sama sekali tidak berpendapat wajibnya
taat dalam perkara yang baik kepada para penguasa dan pemimpin
yang dipilih, atau dengan cara kudeta !! (walaupun sebagian mereka
membuat rincian dalam membicarakan masalah tersebut). Padahal
taat itu tidak diberikan kecuali kepada pemimpin yang benar-benar
berkuasa dan diketahui, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam
kitabnya Minhajus Sunnah33 ketika membantah Rafidhah yang
mengakui tentang Mahdi (yang ada di antara mereka) :
“Poin kesembilan : Nabi shallallahu ‘alaihi was salaam
memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin yang ada dan
diketahui, yang memiliki kekuasaan dan mampu mengatur manusia,
bukan taat kepada pemimpin yang tidak ada atau tidak diketahui, juga
bukan kepada yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk
mengatur sama sekali...”. Renungkanlah hal itu dan bersyukurlah
kepada Allah atas keselamatan dari fitnah syi'ah tersebut !!
33
Tahqiq Muhammad Rasyad Salim (1/ 115).
Terkadang sebagian orang berkata: nash-nash di atas yang
menjelaskan taat kepada pemimpin dalam hal yang ma’ruf dan sabar
menghadapi kezhalimannya, adalah benar, akan tetapi dalam
kemungkinan yang paling buruk, itu berlaku bagi pemimpin kaum
muslimin yang berlaku zhalim, adapun seluruh pemimpin yang ada
pada masa kita sekarang ini adalah kafir, maka tidak ada kewajiban
untuk mendengar dan taat, walhasil wajib memberontak untuk
melenyapkan mereka !!
Jawab: kami tidak menerima ungkapan di atas secara global
akan tetapi masalah tersebut mesti dirinci dan ini bukan tempat untuk
membahasnya. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala saya
memohon agar dapat menuntaskan usaha yang sudah saya awali ini,
juga menjauhkan saya dari segala kesibukan dan problematika yang
menghalangi kami dari segala kebaikan, yang nampak atau pun yang
tidak, yang saya ketahui atau tidak.
Kalaupun kita terima kata-kata di atas, apakah tidak berarti itu
membenarkan sikap membuka pintu fitnah dan kerusuhan yang
berakibat penghancuran segala kebaikan yang masih tersisa di
masyarakat ?! kafirnya seorang pemimpin adalah satu masalah dan
menyulut api fitnah bagi sebuah negeri dan penduduknya adalah
masalah lain !!
Apakah menyulut api fitnah dapat menjadikan seorang pemimpin
kafir berubah menjadi muslim atau pelaku maksiat menjadi
bertakwa ?! menyalanya api fitnah yang menghancurkan segalanya,
yang menyebabkan bertambahnya kezhaliman dan kemaksiatan,
apakah semua itu dapat menegakan syiar-syiar agama dan
menghinakan orang-orang kafir juga pelaku maksiat? Apakah sangsi
kepada orang fasik dan kafir secara syar'i- seperti itu?
35
Al-Istiqamah (2/ 165-167).
36
Majmu’ul Fatawa (14/ 103)
37
Majmu’ul Fatawa (14/ 442-443).
Masalah tersebut hanya dilakukan dengan kaca mata syari'at,
bukan dengan hawa nafsu atau kekacauan, hal itu sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaikhul Islam: “Menimbang maslahat dan madharat itu
dengan menggunakan timbangan syari'at, kapan saja seseorang dapat
mengikuti dalil-dalil yang ada maka janganlah ia menyimpang darinya.
Jika tidak, maka ia dapat berijtihad dengan menganalogikannya
kepada yang serupa, seorang ahli yang tahu tentang dalil dan
maknanya tidak akan pernah kekurangan dalil terhadap sebuah
hukum.38
Al-Juwaini berkata dalam Giyatsul Umam39 ketika berbicara
tentang orang yang mengukur kemaslahatan dan kemadharatan,
beliau berkata: “Hal itu tidak dilakukan oleh seseorang di kalangan
rakyat, akan tetapi oleh ahlul halli wal ‘aqdi”.
Sekiranya kita mengatakan dengan mutlak, bahwa para
pemimpin kaum muslimin sekarang ini semuanya kafir (seperti
pendapat mereka) maka hal itu tidak melazimkankan kita untuk
memberontak dengan senjata, karena maksimal keadaan kaum
muslim sekarang ini tidak jauh dari keadaan Rasulullah shallallahu
'alaihi was salaam ketika melihat kemungkaran paling besar dan
penyembahan berhala di Mekah, akan tetapi beliau tetap bersabar dan
sibuk dengan urusan dakwah, bukan hanya sekedar menghancurkan
berhala semata. Ketika beliau menghancurkan berhala tersebut dari
hati kaum muslimin maka hancurlah berhala itu di hadapan mereka,
akhirnya mereka pun memuji Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan
bersyukur atas nikmat Islam, lalu dimanakah kita dari sikap bijaksana
yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi was salaam ?!
Orang yang memperhatikan keadaan Rasulullah shallallahu
'alaihi was salaam beserta para shahabatnya di Mekah dan juga
melihat kesabaran mereka dalam menghadapi kezhaliman yang
dilakukan kaum musyrikin dengan tetap berdakwah dengan cara yang
baik, niscaya dia akan mengetahui perbedaan itu dengan keadaan
38
Al-Istiqamah (2/ 217).
39
Hal 96, lihat pula risalah al-Khawarij wal Fikrul Mutajaddid hal 40 karya Syaikh Abdul Muhsin Aal
Ubaikan.
orang yang menyelisihi manhaj para ulama hari ini, dan hanya kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita semua memohon pertolongan.
Demikian pula sikap Imam Ahmad terhadap orang yang hendak
memberontak kepada al-Watsiq, yang mana al-Watsiq berpendapat
bahwa al-Qur’an itu mahluk dan dia juga mendakwahkan pemahaman
tersebut, bahkan menguji manusia dengannya serta menyiksa Ahlus
Sunnah, padahal para ulama bersepakat atas kufurnya pendapat yang
seperti itu.
Juga sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dan yang
lainnya dari kalangan ulama Ahlus Sunnah, terhadap para pemimpin
dari kalangan Bathiniyyah, Hululiyyah, para tokoh di kalangan
Mu’atthilah dan yang lainnya yang terjatuh dalam perkara kekafiran
yang besar, wallahu a’lam.
Karena itulah, yang mulia Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah
berkata : “Kalau seandainya kita misalkan, pemimpin itu adalah
seorang yang kafir, apakah berarti bahwa kita boleh memprovokasi
masa untuk melawannya sehingga terjadi kekacauan dan
peperangan ?? Tidak diragukan lagi bahwa itu perbuatan yang salah
karena kemaslahatan yang diinginkan sama sekali tidak akan terwujud
dengan jalan seperti itu, bahkan dengannya akan terjadi keburukan
yang lebih besar. Karena jika sekelompok manusia melakukan
pemberontakan kepada pemerintah yang memiliki kekuatan dan
kekuasaan yang tidak mereka miliki, maka apa yang akan terjadi?
Apakah kelompok tesebut akan menang ?! Tidak, bahkan sebaliknya
akan terjadi keburukan dan kekacauan, seluruh keadaan jadi tidak
baik. Maka yang pertama, semestinya setiap manusia melihat dengan
kaca mata syari'at, dan tidak melihat syari'at dengan sebelah mata,
artinya melihat dalil dari satu sisi tanpa melihat sisi lainnya, akan
tetapi wajib baginya menggabungkan berbagai macam dalil yang ada.
Yang kedua, dia wajib melihat dengan akal dan hikmah, apa yang akan
terjadi sesudahnya? karena itulah kami melihat, bahwa jalan yang
mereka tempuh itu merupakan jalan yang keliru, berbahaya dan tidak
dibenarkan bagi siapapun untuk mendukungnya bahkan harus ditolak
dengan keras dan kami tidak berbicara terhadap pemerintah secara
khusus, akan tetapi berbicara dalam konteks umum”.40
Setelah menetapkan, bahwa kekafiran seorang pemimpin tidak
melazimkan bolehnya mengajak manusia untuk memberontak
kepadanya, juga memeranginya dengan senjata, maka ketahuilah
bahwa melawan pemimpin yang muslim -walaupun zhalim-
mengakibatkan kerusakan yang sangat besar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah41 berkata : “Hampir
saja tidak pernah diketahui, adanya sekelompok orang yang melawan
pemerintah kecuali sikapnya itu mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar daripada keburukan yang mereka ingkari”.
Beliau Rahimahullah juga berkata : “Jarang sekali seseorang
melakukan pemberontakan kepada pemerintah kecuali akan
melahirkan keburukan yang lebih besar daripada kebaikan yang
mereka dapatkan, sebagaimana orang-orang yang memberontak
kepada Yazid di Madinah, juga seperti Ibnul Asy’ats yang melawan
Abdul Malik di Iraq, seperti Ibnul Muhallab yang melawan putranya di
Khurasan, seperti Abu Muslim shahibud dakwah (pemilik doa yang
mustajab) yang juga melawan mereka di Khurasan dan seperti orang-
orang yang melawan Manshur di Madinah dan Bashrah, juga yang
lainnya”.
Beliau berkata : “Pada akhirnya keadaan mereka baik yang kalah
atau yang menang, kemudian kerajaan mereka hancur sehingga tidak
berakhir dengan akibat yang baik karena Abdullah bin Ali dan Abu
Muslim ini, mereka berdua adalah yang banyak membunuh manusia
kemudian keduanya pun dibunuh oleh Abu Ja’far al-Manshur, adapun
ahlu Harrah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Muhallab dan yang lainnya adalah
kelompok yang kalah. Artinya tidak ada agama yang mereka tegakkan
juga tidak ada kemaslahatan dunia yang mereka hasilkan. Padahal
Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak memerintahkan satu perkara yang
tidak ada kemaslahatan padanya baik dunia maupun agamanya
walaupun pelaku hal itu adalah para wali Allah lagi orang-orang yang
40
Dinukil dari al-Fatawa asy-Syar'iyyah fil Qadhaya asy-Syar'iyyah (86-87).
41
Minhajus Sunnah (1/ 391)
betakwa atau ahli surga. Sungguh mereka tidak lebih utama
dibandingkan dengan Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair radhiyallahu 'anhum
dan yang lainnya. Sekalipun demikian, meraka sama sekali tidak
memuji peperangan yang mereka sendiri lakukan, padahal mereka
adalah orang yang lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dan lebih
baik niatnya dibandingkan yang lainnya.
Demikian pula ahlu Harrah, di antara mereka adalah para ulama
juga ahli ibadah demikian juga pengikut Ibnul Asy’ats dan semoga
Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengampuni mereka semua”.
Beliau berkata : “Asy-Sya’bi pernah ditanya tentang fitnah Ibnul
Asy’ats : “Dimana kamu waktu itu wahai 'Amir: Jawab beliau : “Aku
seperti ungkapan kata syair :
Serigala mengaung itu sesuatu yang aku anggap biasa
Tapi kalau manusia mengaung maka hampir saja aku
terbang karenanya
Kami tertimpa fitnah, tatkala kita bukan orang baik yang bertakwa dan
tidak pula orang zhalim yang kuat”.
Beliau berkata : “Hasan al-Bashri berkata: sungguh al-Hajjaj
adalah siksa Allah, maka janganlah melawan siksa Allah Subhanahu
Wa Ta'ala dengan tangan-tangan kalian, akan tetapi kalian mesti
menyikapinya dengan ketundukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dan memohon dengan kerendahan hati kepadaNya. Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami pernah menimpakan azab kepada
mereka , maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga)
tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri”. (QS. Al-
Mu'minuun [23]: 76).
…. Adapun tokoh di kalangan muslimin melarang memberontak
kala ada fitnah, seperti dilakukan oleh Abdullah bin Umar, Sa’id bin al-
Musayyab, Ali bin al-Husain dan yang lainnya, mereka melarang
memberontak kepada Yazid pada peristiwa al-Harrah, demikian pula
yang dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, Mujahid dan yang lainnya,
mereka melarang memberontak pada peristiwa fitnah Ibnul Asy’ats.
Karena itulah Ahlus Sunnah menetapkan sikap untuk meninggalkan
peperangan pada masa fitnah, hal itu sebagaimana dijelaskan dalam
hadits-hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi was salaam dan
mereka menjadikan perkara ini sebagai bagian daripada aqidah,
mereka memerintahkan untuk bersabar atas kezhaliman juga untuk
meninggalkan perang dengan pemerintah, walaupun banyak ulama
dan ahli ibadah yang telah melakukan peperangan pada masa fitnah”.
Sampai perkataan beliau : “... Ini semua di antara bukti bahwa
apa yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi was salaam, yakni
untuk bersabar atas kezhaliman pemimpin, tidak memerangi dan
memberontak kepada mereka, adalah perkara yang paling maslahat
bagi hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang
menyelisihi hal itu secara sengaja maupun tidak, maka ia tidak akan
mendapatkan kemaslahatan apapaun dari perbuatannya itu, bahkan
akan mendapatkan kerusakan, karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi
was salaam memuji al-Hasan dengan sabda beliau :
َ سِلِمي
ن ْ ن الُم
َ ن ِم
ِ ظيَمَتْي
ِع
َ ن
ِ ن ِفَئَتْي
َ ل ِبِه َبْي
َّ سّيٌد و وسيصلح ا
َ إن ابني هذا
“Sungguh cucuku ini sayyid (tokoh), dan akan mendamaikan di antara dua
kelompok besar kaum muslimin”.
Nabi tidak pernah memuji seseorang karena peperangan dalam fitnah atau karena
memberontak kepada pemerintah, juga karena melepaskan ketaatan atau karena
meninggalkan jama’ah”.42
Renungkanlah perkataan Syaikhul Islam : “Nabi tidak pernah memuji seseorang
karena peperangan dalam fitnah…dst”, telah jelas bahwa memberontak kepada
pemerintah termasuk pintu fitnah maka janganlah kalian termasuk orang yang gegabah
dalam masalah ini, walaupun pemimpin yang zhalim itu adalah seorang yang sangat
42
Minhajus Sunnah (4/ 527-531).
kejam, karena sikap kalian yang memberontak kepadanya hanya akan menimbulkan
keburukan yang lebih besar.
Dijelaskan dalam kitab al-Fath43, Ibnu Baththal berkata : “Hadits di atas pun
mengandung hujjah untuk perkara yang disebutkan sebelumnya, yaitu agar meninggalkan
pemberontakan kepada pemerintah walaupun mereka seorang yang zhalim, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi was salaam menyebutkan nama mereka dan nama orang tua mereka
kepada Abu Hurairah, akan tetapi beliau tidak memerintahkan rakyatnya untuk
memberontak, padahal Nabi mengabarkan bahwa rusaknya umat disebabkan oleh
mereka, karena memberontak lebih buruk dan mengakibatkan hilangnya ketaatan
terhadap mereka, lalu Nabi memilih yang lebih ringan dari dua keburukan dan memilih
yang paling mudah dari dua perkara”.
Hal ini menunjukan, bahwa di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi was
salaam dan manhaj para shahabat, adalah tidak menyibukkan kaum muslimin untuk
mencari-cari berita tentang keadaan pemerintah kemudian menyebarkannya di antara
manusia sehingga menjadi bahan pembicaraan orang dewasa maupun anak kecil, laki-laki
maupun wanita, orang baik maupun buruk !! Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi was
salaam tidak mengabarkan kepada seluruh shahabat tentang keadaan anak-anak mereka
itu yang akan menjadi sebab hancurnya umat atas perbuatan mereka, sebagaimana Nabi
mengabarkan kepada mereka masalah shalat dan zakat juga yang lainnya? jika
menyebarkan hal itu termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi was salaam, maka kenapa
Abu Hurairah tidak menyebarkannya di kalangan manusia ?! ini semua menunjukan
pemahaman kaum Salaf yang senantiasa menutup pintu fitnah yang akan menyebabkan
kehancuran, adapun orang yang tidak mengambil petunjuk mereka, maka sungguh dia
melihat hal itu sebagai sikap seorang yang pengecut lagi hina. Hanya kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala kita mengadu.
Syaikhul Islam secara tegas menyatakan, bahwa ilmu tentang fitnah dan malahim
(peperangan), sama sekali bukan hakikat agama, maka setelah menuturkan ucapan Abu
Hurairah, “Saya menghafal dari Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam dua
kantung. Adapun salah satunya saya telah sebarkan dan adapun yang lainnya kalau saya
sebarkan maka kalian akan memenggal leher saya ini”. Beliau Rahimahullah berkata :
“Akan tetapi padanya tidak ada masalah tersembunyi yang menyelisihi zhahir, bahkan
tidak ada di dalamnya hakikat agama, dalam kantong tersebut hanya ada berita tentang
peperangan dan fitnah. al-Malahim adalah peperangan yang terjadi antara kaum muslimin
43
13/ 11 kitab al-Fitnah bab sabda Nabi Halaaku Umati ‘ala Yadi Ugailamatin Sufaha hadits no (7058).
dan orang-orang kafir, adapun fitnah adalah peperangan yang terjadi di antara kaum
muslimin, karena itulah Abdullah bin Umar berkata : sekiranya Abu Hurairah
mengabarkannya kepada kalian, bahwa kalian akan memerangi khalifah kalian dan akan
melakukan ini dan itu, niscaya kalian akan berkata : "Abu Hurairah telah berdusta" dan
menampakkan masalah seperti ini termasuk perkara yang dibenci oleh para pemimpin
dan pengikutnya, karena berita yang ada di dalamnya, adalah tentang perubahan negeri
mereka…”44
Mana mereka orang yang mengatakan, bahwa bodoh akan rincian urusan
pemerintah termasuk bodoh akan perkara yang semestinya diketahui dalam perkara
agama dan melihatnya sebagai kebodohan terhadap hakikat (substansi) agama, mereka
menghalalkan kehormatan orang yang menyelisihi mereka, bahkan menghalalkan darah
mereka ?!
Pensyarah kitab ath-Thahawiyah45 berkata : “Kewajiban mentaati mereka
(walaupun zhalim) adalah karena keburukan yang ditimbulkan oleh pemberontakan lebih
besar dari pada kezhaliman mereka, sebaliknya sabar menghadapi kezhaliman mereka
merupakan penghapus kesalahan dan adanya pahala yang berlipat di dalamnya”.
Al-Mu’allimi berkata dalam kitabnya At-Tankil46 : “Abu Hanifah berpendapat
Sunnahnya atau wajibnya memberontak kepada pemerintah Bani Abbas, yakni ketika
nampak dari mereka kezhaliman, beliau berpendapat memerangi mereka adalah lebih
baik daripada memerangi orang kafir, adapun Abu Ishaq yakni Al-Fazari
mengingkarinya. Artinya para ulama berbeda pendapat dalam masalah itu; mereka yang
berpendapat untuk memberontak, melihat hal itu sebagai bagian dari al-Amru bil Ma’ruf
wan Nahyi anil Munkar. Adapun yang membencinya, mereka melihat bahwa hal itu
termasuk memecah kekuatan kaum muslimin, menghancurkan persatuan mereka, dan
menjadikan pembunuhan di antara mereka, akhirnya kekuatan mereka menjadi lemah
sementara kekuatan musuh bertambah kuat, dan juga menyebabkan banyak perbatasan
yang tidak dijaga sehingga dikuasai oleh musuh yang akhirnya mereka membunuh kaum
muslimin yang ada di sana, demikian pula menimbulkan perselisihan antara kaum
muslimin yang akan mengakibatkan kerugian untuk semuanya”.
Beliau (Al-Mu’allimi) berkata : “Kaum muslimin pernah mencoba untuk
memberontak kepada pemerintah, akan tetapi hanya keburukan yang mereka dapatkan,
misalnya; pemberontakan kepada Utsman walaupun niatnya baik, demikian pula perang
44
Majmu’ul Fatawa (13/ 255-256).
45
(2/ 542)
46
Cetakan al-Ma’arif (1/ 93-94).
Jamal walaupun pemimpin dan para pembesar mereka merasa bahwa mereka hanya
menuntut hak. Akan tetapi, buah dari dua peristiwa di atas, adalah berakhirnya khilafah
kenabian yang disertai dengan berdirinya khilafah Bani Umayyah.
Kemudian Husain bin Ali melakukan perkara yang ia lakukan secara terpaksa,
maka menjadi tragedi menyesakan dada, lalu penduduk Madinah memberontak terjadilah
peristiwa al-Harrah.
Kemudian para penghafal Qur’an memberontak bersama Ibnul Asy’ats, lalu apa
yang terjadi?! kemudian masalah Yazid bin Ali, ketika orang Rafidhah menawarkan
bantuan kepadanya dengan syarat ia harus melepaskan diri dari Abu Bakar dan Umar,
tetapi beliau menolak dan akhirnya Rafidhah pun mencelanya, maka terjadilah apa yang
terjadi, mereka memberontak bersama Bani Abbas, lalu berdirilah negeri yang menurut
Abu Hanifah pantas untuk diperangi, dan orang Rafidhah akhirnya bergabung dengan
Ibrahim -sebagaimana yang diusulkan oleh Abu Hanifah- sekiranya ditetapkan untuknya
kemenangan, niscaya Rafidhah akan menguasai negeri itu, yang akhirnya Abu Hanifah
akan kembali berfatwa wajibnya memberontak kepada mereka (Rafidhah)”.
Al-Mu’allimi berkata47 : “Demikianlah, dalil dalil yang dijadikan orang yang
melarang untuk memberontak dan yang membolehkannya telah diketahui, maka para
peneliti di kalangan ulama menggabungkan keduanya; yakni jika ada dugaan kuat bahwa
akibat yang ditimbulkan dari memberontak adalah keburukannya lebih ringan dari
kezhaliman yang telah terjadi, maka pada kondisi yang seperti itu memberontak
diperbolehkan. Maka jika tidak (terpenuhi syarat seperti di atas), perbuatan itu tidak
diperbolehkan. Dalam kondisi seperti ini telah terjadi perbedaan pendapat diantara dua
mujtahid, maka yang paling tepat, adalah pendapat orang yang mempelajari sejarah,
banyak bergaul dengan manusia dan bersentuhan langsung dengan peperangan juga
mengetahui kondisi di perbatasan, maka demikianlah keadaan Abu Ishaq”.
Saya berkata (penulis) : “Saya membawakan perkataan al-Mu’allimi dalam
rangka menjelaskan akibat buruk dari pemberontakan kepada pemerintah yang zhalim,
adapun perbedaan pendapat antara ulama tentang boleh atau tidaknya memberontak,
maka itu adalah perbedaan di masa lalu yang berakhir dengan kesepakatan, bahwa hal itu
tidak boleh dilakukan, maka jadilah tidak memberontak itu sebagai lambang Ahlus
Sunnah, hal itu disebutkan dalam kitab-kitab aqidah mereka dan menjadikan orang yang
menyelisihinya termasuk ahli bid’ah.
47
At-Tankil (1/ 93-94) cetakan Darul Ma’arif.
Imam Al-Bukhari Rahimahullah berkata dalam aqidahnya yang diriwayatkan oleh
Al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah48 : “Aku menjumpai lebih dari seribu
ulama dari Hijaz, Mekah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Bagdad, Syam, dan Mesir,
aku menjumpai mereka berkali-kali dan dari masa ke masa49, kemudian aku mendapati
mereka sejak lebih dari empat puluh enam tahun yang lalu, yakni penduduk Syam, Mesir,
di Jazirah dua kali, Bashrah empat kali, Hijaz enam tahun, dan tidak terhitung berapa kali
aku masuk Kufah, Bagdad, demikian pula ulama hadits Khurasan…” kemudian beliau
menuturkan nama-nama sebagian dari mereka dari berbagai negeri.
Kemudian berkata : “Dan saya cukupkan dengan nama-nama mereka agar lebih
ringkas, mereka sama sekali tidak berbeda pendapat dalam perkara-perkara berikut ini,
lalu beliau menuturkan masalah aqidah, yang di antaranya : “Kita tidak memberontak
kepemimpinan…tidak mengangkat pedang kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi
was salaam” dan Fudhail bin Iyadh berkata : "Sekiranya aku memiliki do’a yang
mustajab, maka kami tidak akan berikan kecuali kepada pemimpin, karena jika pemimpin
itu baik, maka negeri dan rakyatnya akan mendapatkan keamanan". Ibnul Mubarak
berkata : "Wahai pengajar kebaikan, siapakah yang berani mengatakan hal itu selainmu?"
Maka renungkanlah kesepakatan yang menghilangkan adanya perbedaan pendapat
dalam masalah ini, perhatikan pula perkataan Ibnul Mubarak kepada Al-Fudhail -wallahu
a’lam- yang mengisyaratkan, bahwa para pengekor hawa nafsu biasanya menuduh Ahlus
Sunnah wal jama’ah dengan sebutan pengecut dan lemah di depan pemimpin, oleh karena
itulah -wallahu a’lam- sebagian Ahlus Sunnah terkadang diam untuk berterus terang
dihadapan mereka ketika mendoakan (kebaikan) kepada pemimpin, maka Ibnul Mubarak
berkata kepada Al-Fudhail : “Wahai pengajar kebaikan, siapakah yang berani
mengatakan hal itu selainmu?” ini menunjukan keberanian Al-Fudhail dalam membela
apa yang ia yakini, berapa banyak seorang alim pada hari ini yang dikritik hanya karena
dia mendo’akan pemimpin, dan dikatakan kepadanya: “Dia penjilat atau pengecut…dst”
Orang yang berada di atas kebenaran maka akan senantiasa disinari jalannya, dan kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala dia mengadukan masalahnya.
Al-Lalikai pun menuturkan adanya Ijma' bukan hanya dari satu ulama, silahkan
kalian merujuk kepada kitab sebelumnya.
48
2/ 193-197 no 320 cetakan Dar Thaibah.
49
Maksudnya generasi ke generasi seperti nampak dari redaksi di atas, bukan masa dalam arti seratus
tahun.
Al-Asy’ari berkata dalam Risalah Ahlit Tsagri50: “Mereka (Ahlus Sunnah)
bersepakat untuk mendengarkan dan taat kepada pemimpin kaum muslimin dan kepada
setiap orang yang mengatur urusan mereka baik kepemimpinan itu didapatkan dengan
ridha atau paksaan, ketaatan kepadanya tetap berlaku (pemimpin yang baik atau buruk),
tidak dibenarkan memberontak kepadanya dengan pedang, tetap berperang melawan
musuh bersamanya, menunaikan haji bersamanya, membayar shadaqah ketika diminta
olehnya dan menegakkan shalat jum’at maupun ied di belakangnya”.
Ijma' di atas sesuai dengan yang sebelumnya, dan ungkapan al-As’ary berperang
bersamanya ketika melawan musuh, sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah bagi para
penentang pendapat di atas, karena meninggalkan peperangan dengannya tidak berarti
meninggalkan ketaatan secara mutlak, tentunya ada rincian dalam masalah tersebut.
Wallahu a’lam.
Perkataan di atas seperti yang diungkapkan oleh Ash-Shabuni dalam kitabnya
Aqidatus Salaf Ashabul Hadits51: “Ashabul hadits berpendapat, bahwa menegakkan shalat
jum’at, ied serta shalat yang lainnya di belakang pemimpin muslim yang baik maupun
yang zhalim. Mereka berpendapat pula untuk berjihad bersamanya walaupun pemimpin
itu orang yang paling zhalim sekalipun. Mereka pun berpendapat untuk mendo’akan para
pemimpin dengan kebaikan, taufik dan agar mereka menebarkan keadilan di antara
rakyatnya. Mereka sama sekali tidak membenarkan memberontak dengan pedang kepada
pemimpin, walaupun mereka menyaksikan bahwa pemimpin itu menyimpang dari
keadilan dengan melakukan berbagai macam kecurangan...”.
Al-Isma'ili berkata dalam kitabnya I’tiqad Ahlus Sunnah52 : “Mereka berpendapat
agar mendo’akan pemimpin dengan kebaikan dan agar bisa berlaku adil serta tidak
berpendapat untuk memberontak kepada pemimpin dengan pedang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah53 berkata : “Adapun ulama dan ahli
ibadah, mereka semua tidak memberikan keringanan dalam perkara yang dilarang oleh
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, seperti maksiat kepada pemimpin, mengkhianati dan
memberontak kepada mereka dalam bentuk apapun, sebagaimana hal itu diketahui dari
kebiasaan Ahlus Sunnah semenjak dulu sampai sekarang, juga dari sejarah selain
mereka”.
50
Cetakan al-Ulum wal Hikam (hal: 297).
51
Cetakan al-Guraba hal: 106.
52
Cetakan Dar ar-Rayyan hal: 50.
53
Majmu’ul Fatawa (12/ 35).
Beliau pun berkata: “Oleh karena itu, di antara pondasi utama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, adalah memegang teguh jama’ah dan tidak memerangi pemimpin pada masa
fitnah. adapun para pengekor hawa nafsu seperti Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa
memerangi pemimpin termasuk pondasi pokok ajaran mereka”.54
Imam Ibnul Qayyim menukil dalam kitabnya Haadil Arwah55 : dari Harb
muridnya imam Ahmad dalam Masailnya yang sangat dikenal, bahwa beliau berkata :
“Inilah pendapat para ulama dan Ahli Atsar, juga Ahlus Sunnah yang berpegang teguh
kepadanya, yang bertauladan kepada mereka semenjak para shahabat sampai hari ini dan
aku dapatkan ulama Hijaz, Syam juga yang lainnya berpijak di atasnya, barang siapa
yang menentang sedikit saja dari pendapat tersebut atau mencelanya, maka ia seorang
penentang, ahli bid’ah, keluar dari jama’ah, dan keluar dari manhaj Ahlus Sunnah juga
jalan yang benar”.
Beliau pun berkata : “Itulah pendapat imam Ahmad, Ishaq bin Ibrahim, Abdullah
bin Mukhallad, Abdullah bin Zubair Al-Humaidi, Said bin Manshur dan yang lainnya
dari para ulama yang menjadi guru kami dan di antara perkataan mereka…” lalu beliau
menuturkan beberapa perkara, yang di antaranya: “… Dan tunduk kepada pemimpin,
tidak meninggalkan ketaatan, tidak memberontak kepadanya dengan pedang sampai
Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan jalan keluar, tidak memberontak kepada
pemimpin akan tetapi mendengar dan taat kepadanya, dan tidak membatalkan ba’iat.
Barang siapa melakukan hal itu, maka dia seorang ahli bid’ah, penentang, dan yang
meninggalkan jama’ah…”
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata :
“Adapun memberontak dan memerangi pemimpin, maka itu merupakan perkara
yang haram dengan kesepakatan kaum muslimin -walaupun mereka adalah orang yang
fasik lagi zhalim-, banyak sekali hadits yang menunjukan hal itu, dan Ahlus Sunnah telah
bersepakat bahwa pemimpin tidak dapat diturunkan hanya karena kefasikannya”.56
Al-Hafizh Ibnu Hajar menuturkan dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib57 tentang
biografi Al-Hasan bin Shalih bin Hayy, bahwa dulu beliau berpendapat bolehnya
memberontak kepada pemerintah dengan pedang. Kemudian Ibnu Hajar berkata :
“Ucapan mereka, bahwa beliau berpendapat bolehnya memberontak dengan pedang,
maksudnya memberontak dengan pedang kepada pemerintah yang zhalim, ini adalah
54
Al-Istiqamah (2/ 215-216).
55
Cetakan Maktabah al-Madani hal: 399-400.
56
Syarah Muslim (12/ 432-433).
57
Tahdzibut Tahdzib (2/ 263).
pendapat Salaf pada masa yang lalu, akan tetapi setelahnya mereka sepakat untuk
meninggalkan pendapat tersebut, karena mereka melihat akibat yang lebih buruk
karenanya, maka dalam peristiwa Al-Harrah, Ibnul Asy’ats dan yang lainnya terdapat
pelajaran bagi orang yang ingin memperhatikan”.
Syaikh Abdul Latif bin Abdirrahman bin Hasan Aal Syaikh Rahimahullah 58
berkata : “… Dan mereka yang terfitnah tidak mengetahui, bahwa kebanyakan
pemerintah Islam dari masa Yazid bin Muawiyah (kecuali Umar bin Abdil Aziz dan yang
Allah kehendaki dari kalangan Bani Umayyah) terjerumus dalam sikap kecerobohan,
kezhaliman dan kerusakan di negeri Islam, kendati demikian perjalanan para ulama telah
diketahui, bahwa mereka tidak keluar dari ketaatan dalam hukum yang Allah Subhanahu
Wa Ta'ala dan RasulNya perintahkan dan juga dalam kewajiban-kewajiban agama
lainnya...”.
Seandainya kita menerima pendapat mereka, bahwa semua pemimpin kaum
muslimin sekarang ini kafir, maka hal itu sama sekali tidak membenarkan pemberontakan
dengan pembunuhan dan peperangan sementara kaum muslimin dalam keadaan seperti
ini, karena hal itu akan mengakibatkan kerusakan yang menghacurkan segalanya. Lalu
apa jadinya sementara kesimpulan pertama mereka sudah salah, keluar dari fatwa para
ulama, karena hal itu mesti dirinci dan dihukumi secara adil ?!
Ini sama sekali bukan pembenaran dari saya terhadap kemungkaran yang ada di
tengah masyarakat akan tetapi dalam rangka menjaga kebaikan yang masih tersisa dan
menutup segala pintu keburukan semaksimal mungkin. Hanya kepada Allah Subhanahu
Wa Ta'ala kita berlindung dari kesesatan setelah mendapatkan petunjuk.
Yang Mulia Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan buruknya
pemberontakan kepada pemimpin yang zhalim, beliau berkata: “Karena sesungguhnya
pemberontakan kepada mereka mengakibatkan keburukan yang lebih besar daripada
kesalahan yang dilakukannya dan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar
dibandingkan bersabar atas kezhalimannya. Tidak diragukan bahwa bersabar menahan
kezhaliman mereka merupakan kemadharatan, akan tetapi akibat dari pemberontakan
adalah lebih besar madharatnya, yang akibatnya melumpuhkan ketaatan, memecah
persatuan dan memberikan peluang berkuasanya orang kafir atas kaum muslimin.
Tentunya hal itu semua lebih buruk dari kezhaliman pemimpin yang paling zhalim atau
fasik, yang tidak sampai kepada batasan kekufuran”.59
58
Ad-Durarus Saniyyah (7/ 177-178), lihat Mu’amalatul Hukkam (hal: 12) dan yang lainnya karya Syaikh
Abdus Salam Aal Abd al-Karim hafizhahullah.
59
Al-Fatawa asy-Syar'iyyah fil Qadhaya al-Ashriyyah (hal: 93).
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa Syaikhul Islam berkata : “Adapun ulama
dan ahli ibadah, mereka semua tidak memberikan keringanan dalam perkara yang
dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, seperti maksiat kepada pemimpin,
mengkhianati dan memberontak kepada mereka dalam bentuk apapun”.
Maka perhatikanlah ucapannya “Dan memberontak kepada mereka dalam bentuk
apapun”, hal itu karena akibat yang akan terjadi berupa keburukan yang menyeluruh dan
bencana yang membinasakan !!
Telah dijelaskan pula, bahwa beliau menuturkan pujian Nabi kepada al-Hasan bin
'Ali radhiyallahu 'anhuma karena perdamaian yang beliau lakukan, kemudian Syaikhul
Islam berkata : “Nabi tidak pernah memuji seseorang karena peperangan dalam fitnah
atau karena memberontak kepada pemerintah, juga karena melepaskan ketaatan atau
karena meninggalkan jama’ah”.
Ketahuilah bahwa masalah mengkafirkan pemerintah, termasuk di dalamnya
masalah pemberontakan kepada mereka adalah perkara yang tidak boleh menjadi
kesibukan penuntut ilmu dan tidak boleh menjadi pembicaraan sembarang orang !!
hendaknya masalah tersebut kita serahkan kepada ahlu ijtihad, dalam rangka
meninggalkan pendapat kita untuk mengikuti pendapat mereka dalam masalah yang
berbahaya, ini adalah suatu kebaikan bagi agama dan dunia kita, salah dalam memaafkan
adalah lebih baik daripada salah dalam memberikan hukuman, apalagi berkaitan dengan
pemimpin. Bertahun-tahun lamanya dakwah dan para da’i berada dalam kesalahan dan
kegoncangan bahkan lebih lama dari tersesatnya Bani Israil, itu disebabkan karena
mereka meninggalkan nasihat para ulama dan sibuk dengan urusan besar tanpa petunjuk
dan tanpa mengambil pelajaran dari fitnah juga kerusakan menyeluruh yang terjadi pada
umat ini di masa lalu atau sekarang !!
Ketahuilah! Seandainya kita terima pendapat mereka yang menyatakan kafirnya
pemerintah, maka dengan memperhatikan adanya kemampuan untuk memberontak dan
mempertimbangkan maslahat dan madharat, adalah perkara yang sangat penting. Maka
demikian juga untuk negara yahudi dan nashrani, maka kita tidak membenarkan kaum
muslimin yang tinggal di sana untuk melakukan kerusuhan seperti itu, akan tetapi kita
meminta kepada mereka untuk menjadi da’i yang mengajak manusia kepada jalan Allah
Subhanahu Wa Ta'ala, berpegang teguh dengan agama yang hanif (lurus) semampu
mereka dan berakhlaq mulia sebagaimana yang diperintahkan oleh agama karena itu
merupakan salah satu jalan dakwah, tidak mengotori citra Islam dengan pemikiran yang
menyimpang, juga dengan kerusakan yang dilarang oleh agama kita, yang menyelisihi
manhaj kaum Salaf dan telah diperingatkan oleh ulama kita. Kami tidak memberikan
keringanan sedikit pun bahwa hal itu dilakukan di negeri yahudi dan nashrani juga yang
lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan, karena tidak setiap kafir boleh diperangi di
negerinya, apalagi ketika dia berada di negeri Islam ?!
Dijelaskan dalam Su’alaat Abi Dawud li Ahmad (pertanyaan Abu Dawud kepada
imam Ahmad)60: aku mendengar Ahmad pernah ditanya tentang seorang tawanan,
bolehkah jika memungkinkan baginya untuk membunuh di negeri musuh? Jawab beliau :
“Jika dia tahu bahwa mereka merasa aman darinya atas diri dan harta mereka, maka
jangan membunuh mereka”. Dikatakan kepadanya : “Jika dia dibebaskan?” jawab beliau :
“Kadang dia dibebaskan untuk kepentingan tertentu walaupun mereka tidak merasa aman
dengannya, jika dia mengetahui bahwa mereka merasa aman darinya, maka jangan
membunuh”.
Inilah akhlak kaum muslimin, jangan melihat orang yang menyimpang, juga
jangan mendengarkan atau taat kepada orang yang dengki kepada kaum muslimin yang
selalu mencari kesalahan untuk merusak citra Islam dan umatnya !!
Pernah saya bertemu dengan orang yang terkena fitnah dalam masalah ini di kota
London pada tahun 1420 H, setelah masuk masjid di tengah ceramah yang saya
sampaikan dia bersikeras untuk mendebat saya, padahal saya sudah berusaha untuk
berpaling darinya akan tetapi dia keras kepala dan membuat kekacauan, lalu saya
berdialog dengannya dalam sebagian pemahaman yang dia dakwahkan itu, di antara yang
ia sebutkan sebagai jawaban atas pertanyaan saya; bahwa mereka tidak melakukan
pengeboman dan pembunuhan itu di negeri Eropa dan fakta membuktikan hal itu sampai
sekarang, karena hal itu menimbulkan beragam keburukan dan menjadikan mereka takut
tinggal di negeri Eropa yang memberikan keamanan kepada mereka. Demikianlah yang
dikatakannya !!
Patut disyukuri ketika seseorang itu memiliki pemahaman demikian !! akan tetapi
kenapa mereka melakukan fitnah tersebut di negeri Islam, yang mengakibatkan kerusakan
tidak terpuji akibatnya ?! Apakah kaidah menolak keburukan hanya berlaku di negeri
Eropa dan yang semisalnya, sementara hal itu tidak berlaku di Kerajaan Saudi Arabia,
Yaman, Mesir, Syam, Libia, Maroko, Kuwait, Somalia, Pakistan dan negeri Islam lainnya
?!
Benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :
ُ ُقْلنا ولم نفعل أمام عدونا وعلى أحبتنا نقول ونفع
ل
60
Tahqiq al-Akh Thariq Iwadhullah hafizhahullah (hal: 332/ 1588).
Dihadapan musuh kami katakan tapi tidak kami lakukan
Tapi dihadapan kekasih kami katakan dan kami lakukan
Demikianlah, pengeboman merupakan sebuah kemungkaran di mana saja ia
terjadi, di sini atau di sana sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumya, wallahu
a’lam.
Kemudian apa yang menjadikan mereka (orang yang menyimpang
pemahamannya) meninggalkan negeri Islam dan merasa aman di negeri yahudi, nashrani
atau negeri para penyembah berhala ?!
Sungguh pemikiran mereka yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah, adalah salah
satu sebab yang mempersulit mereka, yakni ketika mereka melampaui batas dengan
mengkafirkan pemerintah dan tidak berdiri di atas manhaj Salaf juga jalannya para ulama
besar, mereka menumpahkan darah yang diharamkan, masuk ke dalam fitnah yang besar,
bahkan mereka diperlakukan di kebanyakan negeri dengan sesuatu yang menyelisihi
keadilan syari'at Islam. Inilah keadaan fitnah, yang hanya akan menimbulkan fitnah yang
lebih besar. Kami bersaksi kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan kebencian kami
terhadap apa yang menyelisihi syari'at dari mereka maupun yang lainnya, akan tetapi ini
hanya menjelaskan kenyataan bukan membenarkan apa yang terjadi, maka
renungkanlah !!
Saya katakan demikian, walaupun kita juga tidak terlepas dari kezhaliman yang
dilakukan oleh sebagian penguasa yang disebabkan oleh pengaduan dusta, juga karena
usaha orang yang hendak menyakiti saudara-saudara kita dari kalangan da’i yang
mengajak ke jalan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan para penuntut ilmu, akan tetapi kami
menempuh jalan yang dibenarkan oleh syari'at ketika berhadapan dengan cobaan ini;
yakni taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan memegang teguh perkataan para
ulama besar. Dan tidaklah apa yang terjadi di Darul Hadits Ma’rib bulan Syawal tahun
1422 H kecuali karena kezhaliman, permusuhan dan makar dari banyak orang. Cukuplah
Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai penolong dan hanya kepadaNya kita memohon
semoga Allah menggabungkan pahala dan keselamatan bagi kita, sungguh Dialah Allah
yang kuasa atas segala sesuatu.
Catatan : Akan dijelaskan nanti – insya Allah – pada pasal keenam, bantahan dan
jawaban secara detail bagi syubhat orang yang berpendapat bolehnya memberontak
kepada pemerintah setelah dia menganggap mereka kafir !!
Penutup dalam pasal ini
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-
orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka”. (QS. At-
Taubah [9]: 73).
Dan seperti dimaklumi, bahwa jihad melawan orang munafik
adalah dengan hujjah dan al-Qur’an.
Maksudnya: sabilillah (jalan Allah) adalah jihad yaitu dengan
menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Karena itulah Muadz
Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Hendaklah kalian menuntut ilmu, karena
mempelajarinya adalah wujud dari khasyiah (rasa takut kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala), menuntutnya adalah ibadah, mengulang-
ulangnya adalah tasbih dan membahasnya adalah jihad”.
Karena itulah Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyebutkan kitab
yang diturunkan dan besi yang digunakan sebagai senjata secara
bersamaan, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya
mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa
yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak
dilihatnya. sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-
Hadiid [57]: 25).
Maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyebutkan al-Kitab dan besi,
karena dengan keduanya agama dapat ditegakkan, sebagaimana
dikatakan :
ِ ي كسل مائس
ل ْ ع
َ خَد
ْ ظباه َأ
ِ ُتميل ٍ حّد ُمْرَه
ف ُ فما هو إل الوحي أو
وهذا دواء الداء من كل جاهسل فهذا شفاء الداء من كل عاقسل
Hanya dengan wahyu atau ujung tombak yang tajam, yang dapat meluruskan
setiap yang bengkok
Inilah obat dari setiap orang yang berakal, sementara itu adalah obat dari setiap
orang bodoh
Kemudian beliau berkata : "Maka menuntut ilmu dan
mengajarkannya merupakan jalan Allah yang paling agung”.61
Syaikhul Islam Rahimahullah pun berkata : “Orang yang
membantah ahli bid’ah adalah sebagai seorang mujahid (orang yang
berperang di jalan Allah) sehingga Yahya bin Yahya berkata: Membela
Sunnah lebih baik daripada jihad…”62
Syaikhul Islam bekata63 : “Dan sungguh telah jelas dengannya,
bahwa dakwah termasuk merupakan amar ma’ruf dan nahyul
munkar”.
Demikian pula, bahwa sabar menghadapi kezhaliman dan
meninggalkan fitnah, adalah perkara yang sudah menjadi ijma' (yang
disepakati) oleh ulama Salaf setelah adanya perbedaan sebelumnya
dan yang menjadi 'ibroh (yang harus diambil) adalah apa yang
disepakati sesudahnya, bahkan hal itu menjadi lambang Ahlus Sunnah
di setiap masa dan negeri, tidak ada yang menyelisihi mereka setelah
ijma' kecuali para pengekor hawa nafsu (ahlu bid'ah).
Kami pun -wahai kaum muda- tidak berpendapat untuk
menghukumi pemimpin tertentu dengan kekufuran kecuali jika sudah
jelas dalilnya dan ulama besar telah mendahului kita dalam
memberikan hukum ini (pengkafiran), serta dengan menjaga kaidah-
kaidah Ahlus Sunnah dalam mengkafirkan seseorang. Di antaranya
(syarat-syarat pengkafiran seseorang) yaitu : Dengan terpenuhinya
beragam syarat dan tidak adanya mawani’ (yang menghalangi),
karena ini adalah masalah yang sangat berbahaya dan akibatnya pun
sangat besar. Seseorang tidak diwajibkan untuk menentukan sikap
atau masuk dalam masalah ini, karena mengkafirkan seseorang bukan
masalah agama yang diketahui secara dharuri, dan bukan masalah
yang wajib diketahui, juga bukan masalah yang setiap mukallaf wajib
menentukannya. Contohnya, ketika didapatkan seorang pemimpin
melakukan satu perbuatan kekufuran, apakah pemimpin itu kafir atau
muslim ?! Berbeda dengan masalah shalat yang setiap orang wajib
61
Miftahud Daris Sa’adah (1/ 70) cetakan Riasah Idaratil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta wad Dakwah wal
Irsyad – Riyadh -.
62
Majmu’ul Fatawa (4/ 13).
63
Majmu’ul Fatawa (15/ 166).
menyatakannya sebagai kewajiban dan haramnya zina, hal ini
merupakan perkara yang wajib diketahui bagi setiap mukallaf. Adapun
dengan masalah pertama (dalam pengkafiran) maka hal itu khusus
bagi para ulama yang ahli.
Kemudian ada beberapa masalah yang akan dipaparkan pada
kesempatan ini, karena memahami perkara tersebut dapat membantu
kita untuk menempuh jalan yang lurus menghadapi gelombang
syubhat yang sangat banyak dan hanya kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala kita memohon pertolongan dan taufikNya :
a. Wajib memahami apa yang dilakukan, diucapkan atau yang
diyakini oleh seorang pemimpin, apakah itu termasuk kufur akbar
(yang mengeluarkan dari Islam) atau tidak? Apakah hal itu kekufuran
yang jelas atau ada kemungkinan lain? Apakah hal itu kufur muthlaq
atau kekufuran dengan syarat-syarat yang mesti ada pada seseorang
dan tidak ada pada yang lainnya? Banyak orang yang mengkafirkan
secara muthlaq, padahal masalah itu seharusnya dirinci.
b. Jika benar apa yang tejadi pada seorang pemimpin merupakan
kufur akbar dan jelas dalam masalah itu, apakah pelaku kekufuran
berarti seorang kafir ?! Disana ada perbedaan antara umum dan
khusus, ucapan dan yang mengucapkannya, perbuatan dan yang
melakukannya. Tegasnya, sesuatu dapat dihukumi kafir, baik secara
umum, jenis, ucapan dan perbuatannya, akan tetapi orang yang
mengucapkan dan melakukannya belum tentu dihukumi sebagai
seorang kafir.
Sebelum menghukumi seseorang menjadi kafir, maka
seharusnya dipenuhi dulu syarat-syaratnya dan jelas tidak adanya
mawani’ (yang menghalangi), karena bisa jadi dia (orang yang
dihukumi) adalah orang yang bodoh, orang dalam keadaan takut,
seorang yang mentakwil atau mengambil fatwa kepada orang yang
dipercaya dari para pengekor hawa dan syubhat dan sebagainya yang
mesti dihilangkan terlebih dahulu syubhat dan udzurnya sehingga jelas
bahwa -secara syar'i- ia berhak dihukumi sebagai kafir.
c. Seandainya kita nyatakan, bahwa seorang pemimpin
melakukan kekufuran yang besar lagi jelas dan wajib menegakan
hujjah kepadanya sehingga dia dihukumi dengan sesuatu yang pantas,
maka apakah tugas tersebut menjadi kesibukan setiap orang, baik
yang tahu maupun orang bodoh? Ataukah tugas tersebut khusus bagi
para ulama dan qadhi (hakim) yang mereka itu adalah faham makna-
makna dalil, tingkatan masalah, hukum syar'i, juga memahami
pentingnya mempertimbangkan maksud orang yang berbicara, bukan
hanya secara zhahir perkataan, juga memahami udzur apa saja yang
dibenarkan juga yang lainnya ?!
d. Jika seandainya kita nyatakan, bahwa seorang pemimpin
benar-benar kafir dan hujjah telah ditegakkan, serta udzur pun tidak
ada. Apakah dengannya kita boleh menyebarkan hukum tersebut di
hadapan masyarakat dan menyuarakannya di atas setiap mimbar ?!
e. Kemudian jika dinyatakan, bahwa mengungkapkannya di
hadapan masyarakat merupakan perkara yang dibenarkan, apakah
kondisi mendukungnya sehingga didapatkan adanya kemaslahatan?
Ataukah akan mengakibatkan keburukan yang lebih besar ?! Karena
itu akan mengakibatkan pemberontakan kepada pemerintah dengan
senjata, sementara kaum muslimin belum mampu untuk hal itu,
sehingga darah tertumpahkan, kehormatan tercabik-cabik dan hanya
akan memperburuk keadaan dan mendatangkan adzab bagi umat
serta memecah belah mereka. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala kita mengadu !!
Sesungguhnya menjaga langkah-langkah di atas adalah sangat
penting, jika tidak maka manusia akan tenggelam dalam lautan darah
dan fitnah. Maka hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita
memohon perlindungan dari bencana ini !!
Ketahuilah bahwa hukum terhadap individu dan melihat syarat
juga mawani’ (penghalang) merupakan masalah ijtihad, bukan
masalah ushul atau I’tiqad dan sesungguhnya perbedaan dalam
masalah itu hanya di antara para ulama, tidak diperbolehkan tadhlil
(menghukumi sesat), tafsiq (menghukumi fasiq) dan takfir
(menghukumi kafir) kepada orang yang berselisih. Dua orang yang
berbeda pendapat di antara para ulama dalam masalah itu keduanya
akan mendapatkan pahala, yang benar mendapatkan dua pahala
sementara yang salah (dalam ijtihadnya) mendapatkan satu pahala
dan kesalahannya dimaafkan. Maka janganlah kalian tertipu dengan
gambaran yang menyesatkan juga dengan orang yang mengekor
sebatas ucapan semata !!
Kami berlindung kepada Allah, semoga kita tidak dijadikan
pembuka pintu keburukan untuk umat ini dan Nabi shallallahu ‘alaihi
was salaam telah memberikan peringatan dalam menghukumi kafir
kepada seorang muslim -walaupun dia orang kecil atau orang yang
lemah-, lalu bagaimana jika hukum tersebut ditujukan kepada orang
yang memiliki kekuatan serta kewibawaan dan dilakukan dengan cara
yang tidak dibenarkan oleh syari'at ?!
Sebagaimana tidak dibenarkan bagi kita untuk menyibukkan
dalam membela kesalahan pemimpin, juga berlebihan dalam
memberikan udzur atas kesalahan yang jelas mereka lakukan, seolah-
olah kita memberikan takwil untuk ash-Shiddiq atau ulama-ulama
besar, akan tetapi kita do’akan mereka untuk mendapatkan hidayah
dan kebaikan, tentunya juga dengan peringatan akan akibat perbuatan
dosa dan kemaksiatan dan juga mengingatkan mereka akan hak Allah
dan rakyat, sebagaimana kita pun memberikan peringatan kepada
mereka dari manhaj yang berujung kepada fitnah, Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhan”. (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Maksudnya : Bahwa kebenaran ada di tengah di antara dua
ujung yang berseberangan dan kita dilarang merubah ucapan dari
makna yang semestinya, kita pun dilarang sibuk dengan kesalahan
para pemimpin, juga memprovokasi rakyat untuk melawan pemimpin,
meninggalkan kesabaran atas kezhaliman mereka, demikian pula kita
dilarang asal bicara tentang mereka atau yang lainnya tanpa bukti
serta dengan dalil yang benar dan kita disyari'atkan untuk mendo’akan
mereka agar mendapatkan hidayah dan kebaikan dan agar Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai perantara kebaikan
untuk negeri dan bangsanya.
Terkadang seseorang berkata : Lalu apa yang mesti kita lakukan
ketika para ulama besar berbeda pendapat dalam menghukumi
seorang pemimpin? Maka jawabnya adalah diam itu lebih selamat dan
berpaling dari kesibukan tersebut lebih bijaksana, yang meninggalkan
pembicaraannya berarti dia telah menutup keburukan yang dapat
timbul, ia telah berlaku baik, adapun orang yang larut di dalamnya dan
menyalakan api fitnah, maka ia telah berlaku buruk walaupun dia
menyangka dirinya telah berbuat baik !!
Terkadang seorang pemimpin, dengan keyakinan, ucapan atau
perbuatannya sampai kepada derajat kufur akbar, akan tetapi...
menyebarkan berita tersebut dan mengajak orang lain untuk
mengetahuinya, biasanya hanya akan menimbulkan keburukan yang
lebih besar daripada keburukan pemimpin itu sendiri. Diam dan
memalingkan manusia untuk tidak menyibukan diri dengannya di
majlis, masjid dan mimbar adalah perkara yang lebih bermanfaat, lebih
baik bagi mereka dunia dan akhirat, dan termasuk merupakan sikap
memegang teguh manhaj Salaf.
Demikianlah, dengan tetap memotivasi mereka untuk benar-
benar kembali kepada Allah dengan do’a dan ketundukan kepadaNya,
memohon agar Allah memberikan yang terbaik dan menjauhkan
mereka dari keburukan, menjadikan pemimpin mereka baik dan
mendapatkan hidayah, juga dikaruniai teman-teman yang shalih,
karena sesungguhnya kebaikan pemimpin itu merupakan kebaikan
negeri dan bangsa, dan hanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha
Tahu dan Maha Bijaksana.
Perkembangan dan Tahapan Pemikiran yang
Menjadi Sebab Pengeboman dan Pembunuhan
64
Al-Istiqamah (1/ 79-80)
lembaran kitab, makalah dan bulletin, juga apa yang terekam dalam
kaset yang menggerakkan para pemuda untuk melakukan kesesatan
tersebut. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Ketika saya menuturkan tahapan pemikiran tersebut, maka tidak
masalah bagi saya ketika celaan itu menimpa orang yang menentang,
karena yang lebih penting adalah menyadarkan bagaimana mereka
memiliki peranan dalam masalah ini, karena mereka telah menyelisihi
manhaj Salaf dalam tarbiyah (pembinaan) -walaupun mereka sendiri
tidak membenarkan kekerasan yang timbul karenanya, juga fitnah
yang menghancurkan terjadi sekarang ini-, orang yang berakal
senantiasa mengambil pelajaran dari pengalaman dan apa yang terjadi
kepada yang lainnya, apalagi dengan apa yang terjadi pada dirinya
sendiri !!
Sebagaimana orang yang berakal, ketika dia melihat
konsekwensi dari perkataan serta akibat yang akan ditimbulkannya
dan melihat besarnya bencana terhadap Islam dan pemeluknya maka
ia akan segera bertaubat, memperbaiki apa yang tersisa dan
mengembalikan apa yang hilang. Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta'ala
mencintai orang yang senantiasa bertaubat dan mencintai orang yang
senantiasa membersihkan diri, kita memohon kepada Allah Subhanahu
Wa Ta'ala semoga kita tidak melakukan Sunnah yang buruk, sehingga
kita menanggung dosanya dan dosa orang yang melakukannya sampai
hari kiamat.
Tahapan pemikiran tersebut, adalah sebagai berikut :
Tahapan pertama : Adanya orang-orang yang menanam benih
ghuluw -dalam masalah ini- sehingga membuahkan hasil yang sangat
memilukan, yakni pengeboman dan pembunuhan, benih yang pertama
ini terwujud dalam dua perkara :
Pertama : Memprovokasi rakyat untuk melawan pemerintah,
menyebutkan kekurangan dan aib mereka, mengobarkan kemarahan
rakyat terhadap mereka dan menggambarkan mereka di hadapan
orang awam juga para penuntut ilmu, bahwa mereka semua membenci
Islam, mereka munafik yang menyembunyikan kekufuran dan mereka
menampakan sebagian wajah Islam hanya untuk menutup mata
rakyatnya !!
Demikianlah, walaupun sebagian pemerintah mengatakan
sebagian pendapat dan keyakinan ataupun perkataan kufur yang
bertentangan dengan apa yang diketahui dalam agama secara dharuri,
akan tetapi memuthlaqkan hal itu kepada pemerintah dan para
pemimpin serta membukanya bagi sembarang orang adalah
kezhaliman. Sementara berlaku zhalim terhadap seseorang di
kalangan kaum muslimin adalah tidak boleh, lalu bagaimana halnya
jika itu ditujukan kepada para pemimpin mereka ?!
Sebagaimana memuthlaqkan hal itu kepada pelaku kufur akbar,
menjadikan manusia sibuk untuk menentang dan menjatuhkan
hukumnya padahal mereka lemah dan tidak merujuk kepada ulama
besar, semua itu hanya akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang
besar. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita memohon
pertolongan.
Yang penting : Kelompok tersebut mencela semua pemimpin,
bahkan menuduh mereka sebagai munafik, zindik dan boneka musuh
Islam juga dengan tuduhan-tuduhan lain yang memprovokasi rakyat
untuk melawan mereka, sehingga menjadikan rakyat semakin ganas
terhadap pemerintahannya, bahkan menjatuhkan wibawa mereka di
depan rakyatnya, inilah awal keburukan yang dapat menyebabkan
akibat yang sangat pahit.
Kelompok tersebut -dengan beragam bentuknya- menduga,
bahwa jika kalian tidak bersikap terhadap pemerintah maka selangkah
demi selangkah, artinya kalian ridha dengan aib mereka, membela
kesalahan mereka, menjilat mereka, berkhianat kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala, RasulNya dan orang-orang yang beriman !!
Perkataan yang paling baik yang dilontarkan mereka : Kamu bodoh
tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingmu !! Padahal tidak demikian,
kami bersaksi kepada Allah, malaikatNya dan kepada siapa saja yang
melihat hal ini dari kalangan jin dan manusia, sungguh kami membenci
kemungkaran tersebut, kami tidak membenarkan kemungkaran
mereka yang sama sekali tidak ada udzurnya dalam syari'at Islam dan
ketahuilah pula bahwa kebanyakan diantara kami sama sekali tidak
bernilai di hadapan pemerintah, bahkan sama sekali kami tidak dikenal
mereka. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kami berlindung
dari berdebat dengan seseorang yang sama sekali tidak
mengagungkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, atau berdebat -dengan
bathil- dengan orang yang berkhianat terhadap dirinya sendiri, atau
dari kesalahan orang yang berlaku salah.
Wahai kaum, ketahuilah sesungguhnya kami melihat apa yang
kalian lihat, kami merasakan apa yang kalian rasakan bahkan lebih,
akan tetapi kami memegang teguh apa yang ditanamkan oleh Salaf
yakni meluruskan dengan cara yang paling baik, bersabar menghadapi
kezhaliman -dan hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita
memohon keselamatan-, tentunya dengan kebencian hati terhadap
perbuatan-perbuatan yang menentang dalil, karena perkara tersebut
adalah agama, sementara seorang muslim -pemimpin maupun
rakyatnya- dapat dicintai dan dibenci berdasarkan kebaikan dan
keburukan yang ada padanya sebagaimana disepakati oleh Ahlus
Sunnah, tidak ada yang murni dicintai kecuali para Nabi, as-shiddiqqin
dan orang-orang shalih dan tidak ada kebencian murni kecuali kepada
orang kafir dan munafik. Sedangkan orang yang tercampur pada
dirinya kebaikan dan keburukan, maka dia berhak mendapatkan
kecintaan dan kebencian sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang
ada pada dirinya.
Dan sesungguhnya kaum Salaf berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh kebanyakan orang pada hari ini di hadapan para
pemimpin dan pemerintahannya, yang mengatakan ungkapan yang
berbenturan dengan agama. Sesungguhnya Salaf berpendapat bahwa
diam dan tidak menyulut api fitnah adalah lebih selamat bagi agama
dan dunia mereka, mereka menjaga sisa-sisa kebaikan setelah
memberikan nasihat semampunya dan rasa kasih sayang karena
keburukan itu lebih ringan daripada yang lainnya, pengalaman dan
kejadian pun membuktikan kebenaran pemahaman di atas. Wallahu
a’lam.
Ketahuilah, bahwa manusia dalam menghadapi kemungkaran
para pemimpin ada dua kelompok yang berseberangan dan ada yang
menengah, di antara mereka ada yang mengikuti pemimpin dalam
kebathilannya, maka ia temasuk orang yang menjual agama dengan
dunia orang lain. Sedangkan kelompok yang lain mengingkarinya
dengan cara yang tidak dibenarkan dengan ajaran agama, sehingga
kerusakannya lebih banyak dari kemaslahatannya.
Adapun yang menengah adalah jalan Salaf dalam memberikan
nasihat, bersabar menghadapi kezhaliman mereka, dan tetap taat
dalam hal ma’ruf. Syaikhul Islam Rahimahullah berkata :
“Perilaku manusia dalam menyikapi penguasa yang zhalim,
terkadang mereka menyetujui kezhaliman penguasa, bahkan
membantu mereka dalam melakukan perbuatan dosa dan
permusuhan, pada kelompok yang lain mereka pun membalas
kezhaliman dengan kezhaliman pula sehingga melakukan
pemberontakan dan memerangi mereka dengan senjata, ini adalah
peperangan fitnah. Tegasnya di antara manusia ada yang menyetujui
kezhaliman dan tidak melawannya, seperti apa yang dilakukan oleh
penduduk Syam -yakni wallahu a’lam mereka yang meyakini bahwa
pemimpin Bani Umayyah ma'sum-, ada juga di antara mereka yang
membalasnya dengan kezhaliman dan permusuhan serta tidak
mengakui kebenaran mereka juga kebathilannya seperti Khawarij, dan
ada pula yang terkadang menyetujui kezhaliman dan terkadang
melawan kezhaliman dengan kezhaliman. Ini seperti kebanyakan yang
terjadi pada penduduk Irak”.65
Adapun madzhab Salaf, adalah seperti susu yang keluar di
antara kotoran dan darah, tidak ada bau kotoran maupun warna darah.
Wallahu a’lam.
Demikian pula kelompok yang melampaui batas ini dengan
menyebutkan aib pemimpin, mereka menduga bahwa agama tidak
65
Dar’ul Ta’arudil ‘Aqli wan Naqli (7/ 291-292), lihat juga Minhajus Sunnah (3/ 387)
akan berdiri tegak kecuali dengan menjatuhkan pemimpinnya!! Karena
itu mereka senantiasa melakukan dan membina pengikutnya dengan
hal itu !! Padahal ini bertentangan dengan dalil dan kenyataan, di
antaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri”. (QS. Ar-Ra’du [13]: 11).
Lalu kenapa mereka membatasi masalah itu hanya pada
pemerintah saja, sehingga mereka berkata: “sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada pemimpin mereka” !! sementara
Nabi shallallahu ‘alaihi was salaam bersabda :
، ي َتِلْيَهسسا
ْ س ِبسساّلِت
ُ ث الّنسسا
َ شسّب
َ عسْرَوًة َت
ُ ت
ْ ضس
َ َفُكّلَمسسا اْنَق، عسْرَوًة
ُ عسْرَوًة
ُ لَم
َ سس
ْل
ِ عَرى ا
ُ ن
ّضُ "َلَتْنَق
"لُة
َصّ ن ال
ّ خُرُه
ِ َو آ،حْكُم
ُ ضا ال
ً ن َنْق
ّ َفَأوُّلُه
"Sungguh akan terurai tali Islam pintalan demi pintalan, disaat telah lepas satu
pintalan maka manusia berpegang teguh dengan pintalan berikutnya. Maka pintalan
yang pertama kali lepas adalah hukum (syari'at) dan pintalan yang terlepas paling akhir
adalah sholat". 66
Hadits di atas menunjukan bahwa kebanyakan syiar-syiar Islam masih tersisa
setelah hilangnya hukum (syari'at), karena ia adalah pintalan pertama yang akan terurai,
dan sesuatu tersebut tidak akan hilang seluruhnya dengan hilangnya yang pertama!! maka
masalahnya tidak seperti yang mereka katakan : “hilangnya hukum adalah hilangnya
agama”, karena itulah kebanyakan mereka tidak memperhatikan kewajiban-kewajiban
agama yang lain, mereka sibuk dengan apa yang mereka namakan dengan al-Hakimiyyah,
bahkan sebagian dari mereka menyatakan, bahwa dakwah kepada perkara tauhid dan
aqidah, adalah hanya mengacaukan dan menimbulkan fitnah madzhab, mereka
menganggap bahwa hal itu termasuk kesibukan yang tidak bermanfaat, atau
66
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (6715), al-Hakim (4/ 190), Ahmad (5/ 251) dan yang lainnya, sanadnya
hasan, dan saya telah berbicara tentang masalah itu pada kitab saya Sabilun Najah fi Bayani Hukmi Tarikis
Shalat (hal: 31) cetakan Darul Fadhilah/cetakan pertama.
penghamburan waktu dan sungguh perkara yang penting yang mesti dilakukan dengan
kerja keras dan segala kemampuan (dalam dugaan mereka) adalah menjatuhkan
pemerintahan atau menyibukan umat dengan apa yang dilakukan seorang pemimpin !!
Syaikhul Islam mengingkari orang yang mengatakan, bahwa adanya pemimpin
yang zhalim seperti tidak ada. Beliau menganggap bahwa hal itu termasuk perkataan
orang yang tidak berakal.67 Dan saya telah menukil sebelumnya secara lengkap, beliau
pun menyatakan bahwa pemimpin adalah naungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala di muka
bumi -walaupun dia seorang yang zhalim-, lalu beliau berkata :
“Jika urusan para pemimpin baik maka manusia pun akan menjadi baik, jika rusak
maka mereka pun demikian sesuai dengan kerusakannya akan tetapi tidak akan rusak dari
semua sisi, mesti ada kemaslahatan, karena ia merupakan naungan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, akan tetapi naungan itu kadang-kadang sempurna melindungi dari seluruh
gangguan, dan terkadang hanya menaungi dari sebagian gangguan. Adapun jika tidak ada
naungan itu, maka urusannya akan menjadi hancur”.68
Syaikhul Islam tidak menjadikan kekeliruan dalam hukum, merupakan kehilangan
agama secara keseluruhan seperti yang senantiasa dikatakan oleh mereka para muda !!
Ketahuilah, bahwa penjelasan sebelumnya tidak membenarkan berhukum dengan
selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala, ia merupakan kemungkaran maka kami
berlindung kepada Allah dari kekufuran dan kesesatan setelah mendapatkan petunjuk,
demikian pula hal itu tidak berarti meremehkan perkara yang agung ini, yaitu menjadikan
agama sebagai rujukan hukum dalam masalah besar dan kecil, akan tetapi yang
dimaksudkan di sini adalah membantah pemahaman rusak yang telah menghilangkan
banyak kemampuan serta menyia-nyiakan waktu dan umur dan yang telah melalaikan
kaum muda dari perkara yang sebenarnya dapat mereka lakukan dengan menuntut ilmu,
mengajar dan berdakwah, akhirnya tidak ada ilmu yang mereka dapatkan, tidak ada
pemimpin yang dapat mereka ganti, bahkan tidak ada da’i di atas manhaj Salaf yang
mereka sisakan. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita memohon pertolongan
dan mengadu !!
Selain itu fakta membuktikan, bahwa banyak bangsa yang tidak menerapkan
hukum Allah dengan beragam kerusakan dan keburukan, hanya saja banyak di antara
mereka yang dapat menjaga bangunan Islam yang lainnya, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, mereka pun dapat menjaga tauhid dan mengingkari kemungkaran, demikian pula
67
Majmu’ul Fatawa (30/ 136).
68
Majmu’ul Fatawa (35/ 46).
dapat mengingkari hukum dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kalian juga
dapat melihat banyak di antara mereka yang masih dapat menjaga silaturahmi, kejujuran,
menjaga kehormatan, akhlak mulia dan melakukan beragam kebaikan.
Sebenarnya, para penentang itu telah membesar-besarkan dan menjadikan
masalah berhukum juga penguasa sebagai prioritas utama dalam berdakwah, mereka
menyelisihi manhaj Salaf dalam masalah ini, di pihak lain ada kelompok yang
meremehkan masalah hukum dengan berhukum selain hukum Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, kedua kelompok di atas tentunya tercela.
Mesti diketahui, bahwa banyak dari mereka yang berpijak hanya kepada perasaan
dan semangat yang membara saja!! Mereka tidak memiliki kaidah ilmiyah yang menjadi
dasar pemikirannya, hal itu karena mereka sama sekali tidak mementingkan ilmu -kecuali
mereka yang dirahmati oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala-.
Yang mereka miliki hanya semangat gerakan revolusi saja, karena itulah mimbar
mereka dipenuhi dengan orasi tentang pengkhianatan pemimpin, mencari-cari kesalahan
dalam perbuatan mereka yang nampak maupun yang tidak, dan hanya Allah Subhanahu
Wa Ta'ala Yang Maha Tahu tentang kebenaran yang dikatakan. Walaupun kebanyakan
dari perbuatan penguasa, adalah sesuatu yang diingkari mata dan menyesakkan dada,
akan tetapi tidak ada yang dapat kita lakukan kecuali bersabar dan kembali kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. Demikianlah Sunnah memerintahkan kita, hal itu secara tegas
dinyatakan dalam buku-buku aqidah oleh para pendahulu kita (para Salaf), mereka adalah
kaum yang tidak pernah celaka, maka barangsiapa yang berpegang teguh warisan mereka
maka tidak akan pernah celaka insya Allah.
Jika kalian mendatangi salah seorang dari tokoh kelompok tersebut atau pengikut
di antara mereka, maka tidak akan kita dapatkan kecuali perkataan : Pemimpin fulan
adalah munafik, kafir, zindik, ahli maksiat, musuh Allah, atau semuanya kafir, semuanya
boneka yahudi dan nashrani...dst, seluruhnya diungkapkan hanya sebatas semangat tanpa
ilmu dan dalil, jika kalian menasihati mereka dan menyebutkan kesalahan juga
penyimpangannya dari jalan Salaf dalam ucapan tersebut, dalam memprovokasi dan
mencaci maki niscaya mereka tidak akan menerimanya -kecuali mereka yang dirahmati
Allah Subhanahu Wa Ta'ala-, padahal mereka sendiri tidak dapat menjawab bantahan
kalian, juga tidak dapat membuktikan kebenaran ucapan mereka kecuali hanya sebatas
tulisan yang didapatkan di koran, buletin dan majalah yang ditulis oleh orang yang seperti
mereka, atau sebatas berita yang disiarkan oleh radio dan media yang ada !!
Kedua : Yang ditanamkan oleh kelompok ini, adalah mencela ulama besar yang
menyelisihi mereka dengan merendahkannya, mereka mensifati ulama-ulama itu sebagai
ulama pemerintah, atau minimal kelompok ini mengatakan : Mereka adalah 'ulama
dangkal' yang bodoh fikih realita, mereka adalah boneka pemerintah !!
Kelompok ini, yang telah mengungkapkan dua perkara di atas, adalah sebagai
peletak batu pertama metode yang bersebrangan dengan manhaj Salaf, yang berakhir
kepada pembunuhan dan pengeboman, mereka meyakini akan tetapi tidak benar dalam
keyakinannya, disadari atau tidak demikianlah keadaan mereka !!
Tahapan kedua : Kemudian datanglah kelompok lain yang membuat kaidah dan
ushul dengan agitasi dan gerakan revolusinya yang mereka lakukan; ketika mereka
melihat pengingkaran ulama dan penutut ilmu terhadap kelompok pertama, juga melihat
kelemahan mereka untuk membantah ulama, maka sebagian kelompok kedua ini
meyakini kafirnya seluruh pemerintah karena terpengaruh oleh kelompok pertama, dan
berusaha untuk mencari dalil yang memperkuat keyakinan tersebut, maka mereka
berkeyakinan dulu kemudian baru mencari dalilnya. Tentunya ini adalah merupakan aib
untuk ahli ilmu.
Kesimpulannya : Kelompok ini meyakini, bahwa mereka mengkafirkan semua
pemerintah dengan kaidah -menurut pemahaman mereka yang minim- dari al-Qur’an,
Sunnah juga perkataan para ulama, seperti perkataan Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah,
Ibnul Qayyim, asy-Syatibi dan yang lainnya.
Barang siapa meneliti kaidah tersebut, niscaya dia akan mendapati bahwa tidak
ada seorang pemimpin pun di muka bumi yang selamat dari takfir (menghukuminya
sebagai kafir), bahkan rakyat pun tidak selamat dari pengkafiran mereka !! Maka jelaslah
bahwa mereka salah di dalam memahami perkataan para ulama dan meletakkannya tidak
pada tempatnya !!
Di antara kaidah yang mereka katakan adalah : “Barang siapa yang mengatur
suatu kemaksiatan, maka ia menganggap halal maksiat itu, artinya dia kafir karena
istihlal (menganggapnya halal)”.
Misalnya, pemerintah yang mengijinkan adanya bank yang melakukan transaksi
riba. Mereka mengatakan : Ini adalah kemaksiatan, memakan riba adalah perbuatan
maksiat, hanya saja ketika bank itu memiliki peraturan, kepegawaian dan interaksi juga
yang lainnya...maka semua ini menunjukan bahwa mereka menganggap halalnya riba,
walaupun lisan berkata: Riba itu haram. Artinya mereka kafir karena menganggap halal
perkara yang haram (istihlal )!!
Maka siapakah yang dapat selamat dari kekufuran disebabkan dengan kaidah
yang ngawur ini ?! Karena dengannya mereka mesti mengkafirkan pemimpin Bani
Umayyah, Bani Abbas dan yang lainnya, karena kezhaliman mereka -seperti mengambil
harta dan pembunuhan- dilakukan dengan aturan bahkan secara terang-terangan agar
kekuasaan mereka bertahan, bahkan mereka membunuh ratusan atau ribuan orang untuk
merealisasikannya, akan tetapi tidak ada ulama Salaf yang mengkafirkan penguasa itu,
mereka pun tidak meninggalkan ketaatan kepadanya. Lalu apakah bank ribawi dapat
dibandingkan dengan perbuatan mereka? Bahkan di antara mereka ada al-Hajjaj, dan
apakah kalian tahu siapakah al-Hajjaj itu ?! Apakah kemaksiatan yang dilakukan al-
Hajjaj tanpa ada rencana sebelumnya? Apakah al-Hajjaj dan pemimpin zhalim lainnya
menjalankan pemerintahan tanpa kesepakatan? Bukan dengan tujuan, perencanaan dan
persiapan untuk melawan penentang ?!
Perkataan mereka pun mengharuskan mereka untuk mengkafirkan para perampok
ketika mereka melakukan kemaksiatan secara terencana untuk merampas harta, bahkan
mereka membagi tugas tertentu kepada masing-masing anggota, juga membuat peraturan
untuk membagikan harta yang dirampas dari kaum muslimin !!
Demikian pula, kaidah yang mereka katakan mengharuskan mereka untuk
mengkafirkan wanita yang mengumbar aurat, yang selalu bangga dan berusaha untuk
berpenampilan tertentu yang menyelisihi syari'at bahkan mengorbankan waktu, harta dan
tenaga, padahal wanita itu sendiri menyatakan haramnya hal itu.
Juga orang-orang yang menjadikan musik sebagai kesibukan, toko-toko yang
menjual barang yang bertentangan dengan syari'at, mereka memiliki cara untuk
mengimport, mendapatkan, dan mengawasinya. Demikian pula apa yang dilakukan oleh
para tentara, apa yang terjadi di sekolah, perguruan tinggi dan lembaga yang bertentangan
dengan syari'at !! Silahkan kalian analogikan, dengan dosa yang pelakunya tidak
dianggap kafir oleh Ahlus Sunnah, bahkan kaidah itu sendiri sebenarnya mengkafirkan
mereka !!
Syaikhul Islam berkata ketika menjelaskan hadits : “Awal agama kalian adalah
kenabian...kemudian raja yang zhalim, yang menghalalkan zina dan sutra”(Bayanud
Dalil, hal: 104).
Kata beliau : “Yang dimaksud dengan istihlal (menganggap halal) dalam hadits di
atas bukan hanya melakukan semata, karena hal itu senantiasa ada di kalangan manusia,
kemudian lafazh istihlal pada asalnya, hanya digunakan untuk orang yang meyakini
perkara yang diharamkan menjadi perkara yang dihalalkan”.
Beliau pun berkata : “Orang yang menganggap sesuatu itu halal, adalah yang
meyakininya sebagai perkara yang halal”.69
Syaikhul Islam memiliki perkataan yang jelas bahwa istihlal yang menjadikan
pelakunya kafir itu tidak terwujud hanya dengan melakukan kemaksiatan semata padahal
seseorang mengatakan: Aku meyakini bahwa perkara ini diharamkan. Barangsiapa yang
memasukkan orang tersebut ke dalam kafir maka ia telah mengkafirkan tanpa alasan serta
mengkafirkan dengan perkara yang belum jelas.70
Orang yang bermaksiat senantiasa mengatur kemaksiatannya dan dalam
mewujudkan keinginannya itu, dengan melakukan tahapan tertentu, meskipun demikian
kaum Salaf tidak mengkafirkan mereka itu, tidak juga menganggap mereka menghalalkan
kemaksiatan itu, berbeda dengan kaidah baru di atas tersebut. Wallahu a’lam.
Kaidah lain yang mereka buat adalah : “Barang siapa yang melakukan
kemaksiatan secara terang-terangan maka ia menganggapnya halal, dengannya dia
kafir seperti orang yang menggauli ibu tirinya, hal itu sebagaimana dijelaskan
dalam hadits al-Barra”.
Saya telah membantah kaidah tersebut dalam kitab saya “Kasyful Githa bi tahqiq
Ahadits wa atsar ad-Daa wad Dawaa’” semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan
manfaat dunia dan akhirat dengan kitab tersebut, saya menuturkan bahwa di antara para
ulama ada yang menjelaskan, bahwa harta orang tersebut dibagi lima karena dia
menghalalkannya bukan karena kemaksiatan. Walhasil, apakah ada seorang pemimpin
yang selamat dari kaidah di atas, demikian pula rakyatnya ?!
Melakukan kemaksiatan secara terang-terangan pada masa ini bukan rahasia lagi,
lalu apakah kita akan mengkafirkan mereka semua, pemimpin maupun rakyatnya karena
sikap mereka yang melakukan kemaksiatan dan dosa besar secara terang-terangan.
Jika mereka berkata : Kita mengkafirkan pemimpin tidak rakyatnya. Maka
perkataan itu kontradiktif, karena kaidah di atas mencakup semuanya (pemimpin atau
rakyat), adapun membedakan antara satu dengan yang lainnya tanpa dalil merupakan
tahakkum (menghukumi sesuatu tanpa bukti). Wallahu a’lam.
Barang siapa yang selamat dari pengkafiran dengan kaidah di atas, maka dia tidak
akan selamat di hadapan mereka dengan kaidah yang lainnya !! Lalu apa bedanya antara
kaidah di atas dengan takfir yang dilakukan oleh Khawarij terhadap pelaku dosa besar ?!
69
Bayanud Dalil (79).
70
Lihat ash-Sharimul Maslul (3/ 963) cetakan Ramadi lin Nasyr.
Sungguh, pendapat di atas sebenarnya mengekor kepada pendapat Khawarij,
hanya saja mereka meletakan ragam perbedaan (yang sebenarnya sama saja) sehingga
manusia menduga bahwa mereka tidak di atas pemikiran Khawarij (walaupun
kebanyakan para penentang tidak mengetahui hal itu !!). Sungguh orang yang mengetahui
substansi masalah, niscaya ia tidak akan tertipu dengan kaidah-kaidah yang mereka buat.
Maka saudaraku! Saya peringatkan kalian jangan sampai tertipu dengan ucapan
dan dampak yang akan diakibatkan orang yang seperti itu, saya nasihatkan kalian agar
senantiasa terjaga dan tidak lengah dalam masalah takfir, tafsiq, tabdi’, dan tadhlil
(menganggap orang lain sesat). Karenanya banyak kelompok di masa lalu tergelincir,
yaitu pada zaman keemasan ilmu dan keadilan, lalu bagaimana dengan zaman sekarang
yang sedikitnya ilmu dan tersebarnya kebodohan ?!
Sungguh indah perkataan seseorang :
لم ُيْرَزُقوا في التماس الحق تأييدا فل يخدعّنك عن دين الهدى َنَفٌر
Janganlah tertipu oleh kelompok sehingga petunjuk ditinggalkan
Mereka sama sekali tidak memiliki bukti kebenaran yang mereka katakan
demikian pula perkataan :
ِ ت بإبطا
ل ٍ حِرّيا
َ ت
ٍ ُملّفقا ل يستزّلك أقواٌم بأقوال
Janganlah kamu tergelincir karena ucapan
Yang dihiasi dengan kedustaan dan kebohongan
Di antara kaidah mereka adalah : ”Barang siapa yang mengakui Dewan
Keamanan, PBB, dan Organisasi-Organisasi internasional lainnya, maka dia
kafir!!”
Demikianlah tanpa memberikan batasan yang jelas tentang pengakuan yang
mengkafirkan itu, juga tanpa melihat kekuatan serta kelemahan kaum muslimin dan
kekuatan serta kelemahan selain kaum muslimin dengan tanpa menimbang kemaslahatan
juga kemadharatan. Dengan kaidah ini tidak satu negeri pun dapat selamat dari
pengkafiran !! Karena semua negeri Islam masuk ke dalam organisasi tersebut baik
negeri yang shalih ataupun tidak, di antara mereka ada yang masih menjaga batasan-
batasan syari'at di dalamnya ada juga yang tidak, keduanya adalah perkara yang tidak
samar bagi kebanyakan orang yang berakal !!
Di antara kaidah mereka adalah : “Barang siapa yang memerintahkan orang
lain untuk melakukan kemaksiatan dan memberikan sangsi bagi orang yang
meninggalkannya, maka dia telah menghukumi halal perkara yang diharamkan,
dengannya dia menjadi kafir”.
Selain itu mereka memiliki pendapat khusus tentang menghukumi satu perkara
termasuk kemaksiatan atau tidak, tanpa melihat faktor pendorong kenapa dia melakukan
kemaksiatan tersebut : Apakah karena dia lemah, karena takut atau karena menjaga
kemaslahatan umum, atau karena menghindari keburukan yang lebih besar daripada
melakukan kemaksiatan -walaupun keliru dalam menimbang hal itu-, demikian pula
apakah yang menjadi pendorongnya adalah perkara syubhat, syahwat atau keberanian
dalam melanggar aturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala? Ataukah kebodohan,
pembangkangan atau yang lainnya?
Ini tidak berarti bahwa semua pemerintah bertindak dengan pertimbangan syari'at
di atas, bahkan sebagian dari mereka melakukan hal itu atas dasar syahwat belaka tanpa
mempertimbangkan kaidah syari'at !! Walaupun demikian bukan berarti kita
sembarangan dalam mengkafirkan seseorang, kecuali menggunakan syarat dan kaidah-
kaidah yang sudah dikenal di kalangan para ulama. Kalaupun kita terima bahwa
seseorang tersebut kafir, tidak berarti kita melawan mereka dengan senjata dan
memprovokasi masa, karena hal itu akan mengakibatkan keburukan yang lebih besar
sebagaimana disaksikan oleh sejarah.
Walhasil, berdasarkan kaidah di atas, tidak ada seorang pemimpin pun yang
selamat, bahkan semua rakyat hampir tidak ada yang dapat selamat dari pengkafiran itu,
demikian pula para kepala sekolah, rektor, pimpinan yayasan dan yang lainnya !!
Lalu apakah kaum Salaf mengkafirkan kebanyakan para pemimpin Bani
Umayyah dan Bani Abasiyah, padahal mereka membunuh orang yang menentang
perintahnya -walaupun berupa perintah untuk melakukan kemaksiatan ?!- Lalu adakah
sangsi yang lebih besar daripada pembunuhan ?!
Di antara kaidah mereka : “Barang siapa yang hormat bendera maka dia
kafir, jika seorang tentara hormat kepada komandannya maka dia kafir, seakan hal
itu adalah sujud kepada selain Allah, atau salah satu bentuk sujud kecil”.
Demikian pula kaidah dan fatwa lainnya yang menjadi dasar dalam menghukumi
kafir kepada para penguasa juga orang yang membantu mereka dalam seluruh jajarannya,
bahkan mencap kafir kepada kebanyakan kaum muslimin -baik mereka merasakan hal itu
atau tidak !!-.
Dalam masalah itu mereka berhujjah dengan beragam dalil, kebanyakan dalil itu
mereka pahami dan mereka terapkan bukan pada tempatnya, walaupun mereka memiliki
sebagian tulisan ilmiyah sesuai dengan kebenaran dan itu pantas untuk diakui, hanya saja
mereka aplikasikan kepada perkara yang merusak dan tenggelam dengan menerapkan
lawazim umur (konsekwensi perkara), padahal konsekwensi sebuah perkataan
kebanyakannya bukanlah perkataan itu sendiri dalam banyak hal !!
Telah bercerita kepada saya beberapa da’i di kota Riyad -semoga Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menjaganya dan negeri kaum muslimin lainnya- bahwa ada di
antara mereka kaum muda yang mengkafirkan sebagian imam masjidil haram, hanya
karena dia mengucapkan dalam do’anya: “Ya Allah, perbaikilah pemimpin kaum
muslimin”, kata mereka “Hal itu menunjukan bahwa para imam itu mengakui bahwa
mereka sebagai pemimpin kaum muslimin, ini artinya imam tersebut tidak mengkafirkan
pemimpin tersebut, sebagaimana hal itu berarti mereka tidak mengkafirkan thagut, maka
barang siapa yang tidak mengkafirkan thagut artinya dia tidak beriman kepada Allah”,
bahkan orang itu mengkafirkan pula jama'ah yang mengaminkan imam tersebut karena
syubhat di atas, juga karena kaidah : “Barang siapa yang tidak mengkafirkan kafir,
maka dia kafir !!”
Tidak diragukan lagi, bahwa mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan
seseorang yang dikafirkan mereka, adalah menghukumi kafir berdasarkan masalah
ijtihadiyyah saja walaupun kita katakan -misalnya- bahwa orang yang menyelisihi
mereka keliru dalam ijtihadnya, akan tetapi menghukumi kafir karena masalah
ijtihadiyyah adalah lebih buruk daripada menghukumi kafir kepada orang yang
melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu tidak samar bagi orang yang memiliki ilmu !!
Adapun kaidah : “Barang siapa yang tidak mengkafirkan kafir, maka dia
kafir”, kaidah tersebut dibatasi bagi yang tidak mengkafirkan orang yang secara tegas
dikafirkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti firaun, abu lahab dan yang lainnya dari
kalangan kafir ashli, atau tidak mengkafirkan orang yang menentang untuk masuk Islam.
Adapun orang yang masih diperdebatkan oleh para ulama tentang kekafirannya, seperti
orang yang meninggalkan shalat misalnya71, maka orang yang tidak mengkafirkannya
tidak dianggap kafir. Barang siapa yang mengkafirkan karena masalah tersebut, maka dia
menyelisihi dalil-dalil dan pemahaman para ulama, demikian pula perkataannya itu lebih
buruk daripada perkataan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar !!
71
Walaupun yang lebih kuat adalah mengkafirkannya seperti yang saya jelaskan dalam kitab Sabilun Najah
fi Bayani Hukmi Tarikish Shalat.
Kalaupun seseorang tidak terjatuh dalam kekafiran, akan tetapi dia kafir (menurut
kaidah mereka) karena dia tidak mengkafirkan thagut dan tidak mengatakan secara
terang-terangan, bahwa dia berlepas diri dari orang yang dikafirkan oleh para pemuda
itu!! Maka katakan kepadaku : “Siapakah di kalangan muslimin yang dapat selamat dari
vonis kafir dan murtad sesuai dengan pemahaman mereka di atas ?!”
Walhasil, keadaan di atas menunjukan kepada kita tentang perkara yang sangat
berbahaya, maka berhati-hatilah darinya wahai para pencari keselamatan dan petunjuk!
Janganlah kalian tertipu hanya karena pernyataan da’i di kalangan mereka yang
mengatakan, bahwa tujuan kami adalah baik. Karena sesungguhnya baiknya tujuan saja
tidaklah cukup, berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi dia tidak
dapat menggapainya, tujuan yang bagus sama sekali tidak membebaskan kaum Khawarij
yang memberontak kepada Ali amirul mukminin Radhiyallahu ‘anhu dan orang yang
bersama dengannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah pernah berkata : “Bid’ah pertama
yang terjadi seperti bid’ah Khawarij, dikarenakan kesalahan pemahaman mereka terhadap
al-Qur’an, mereka sama sekali tidak bermaksud untuk menentangnya, akan tetapi mereka
memahami makna yang tidak terkandung dalam dalil yang ada, lalu mereka menduga
bahwa hal itu menjadikan kafir para pelaku dosa besar, karena orang yang beriman
adalah orang yang baik lagi bertakwa, mereka berkata : Barang siapa yang tidak baik lagi
bertakwa, maka dia kafir dan kekal dalam api neraka. Kemudian mereka berkata: Utsman
dan Ali serta orang yang loyal kepada keduanya bukan termasuk orang yang beriman,
karena mereka berhukum bukan dengan hukum Allah. Adapun bid’ah yang mereka
lakukan tersusun dari dua muqaddimah;
Pertama : Sungguh orang yang menyelisihi al-Qur’an dengan perbuatan dan
pendapat keliru, maka dia kafir !! Kedua : Utsman, Ali dan mereka yang loyal kepada
keduanya adalah demikian. Maka wajib melindungi diri dari mengkafirkan kaum
muslimin dengan dosa dan kesalahan, karena ia merupakan bid’ah pertama dalam Islam,
mereka mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah juga harta mereka,
walaupun mereka dengan celaan ini, maksud mereka adalah mengikuti al-Qur’an.
Kemudian bagaimana dengan bid’ahnya orang yang mana dasarnya menentang al-Qur’an
dan berpaling darinya, ditambah pula dengan sikap mereka yang mengkafirkan kaum
muslimin...”72 Demikianlah perkataan Syaikhul Islam.
72
Majmu’ul Fatawa (13/ 30-31).
Ketika mereka beraksi dengan membuat kaidah seperti itu dan menyebarkan
pemahaman mereka lewat buku, majalah, buletin, atau lainnya baik yang berupa cetakan
atau rekaman seperti kaset-kaset, juga propaganda lewat internet atau media yang
lainnya, bahkan terkadang dibagikan secara gratis, ketika itu mereka benar-benar
menanamkan pengkafiran terhadap pemerintah di hati kaum muda dan juga orang awam,
serta menuduh para ulama dengan berbagai macam tuduhan, bahkan terkadang
mengkafirkan para ulama juga !!
Tatkala salah seorang pemimpin melakukan perkara yang mengkafirkan secara
terang-terangan, maka mereka sedikit berbicara, dengan alasan bahwa hal itu sudah
nampak jelas di hadapan manusia !! Adapun jika pemimpin itu melakukan banyak
kebaikan, maka ucapan mereka bertambah buruk dengan alasan bahwa pengkafirannya
itu menjadi tersembunyi di hadapan rakyat dan rakyat pun berbaik sangka kepadanya
sementara mereka tidak mengetahui hakikatnya, oleh karena itu kekafiran para pemimpin
itu mesti ditegaskan sebagai nasihat bagi umat !! Akhirnya majlis mereka dipenuhi
dengan caci makian itu, bahkan para ulama yang tidak sependapat dengan mereka ikut
dicaci maki bahkan lebih daripada itu !!
Tidak diragukan, bahwa jika kaidah di atas ditanamkan ke dalam otak kaum
muda, ditambah dengan sikap merendahkan ulama besar yang menyelisihi mereka, juga
pemahaman yang keliru tentang jihad dan syahadah, maka pantaslah terlahir tindakan
pengeboman dan kekacauan yang menimbulkan keburukan yang sangat besar juga
keburukan yang tidak terkendali !!
Tahapan ketiga : Ketika banyak pemuda yang mencintai agama (dengan
sedikitnya ilmu mereka) mereka merasa puas dengan kaidah di atas, maka mereka rela
mengorbankan jiwanya untuk agama ini (menurut dugaan mereka) kemudian mereka
memakai sabuk peledak, mengendalikan mobil yang membawa beberapa ton bahan
peledak, mereka berkata : Allahu akbar, demi Allah aku berhasil, besok aku akan
berjumpa dengan orang yang aku cintai, Muhammad dan para shahabatnya !! Padahal
mereka pergi untuk membunuh dirinya sendiri dan kaum muslimin juga yang lainnya.
Subhanallah, berapa banyak takwil buruk yang telah menghancurkan orang yang
melakukannya juga yang lainnya !!
Hal itu mengingatkan saya akan cerita Abdurrahman bin Muljam yang membunuh
Ali Radhiyallahu ‘anhu sebagai Amirul Mukminin, dengan niat ibadah, padahal Ali
termasuk seorang yang dikhabarkan sebagai penghuni surga, bahkan beliau juga memiliki
biografi yang penuh dengan keutamaan yang tidak terhitung, beliau adalah putra paman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salaam, beliaulah bapak kedua cucu Rasulullah, Hasan
dan Husain, juga suami putri beliau Fatimah Radhiyallahu 'anha yang merupakan bagian
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salaam. Bersamaan dengan ini semua, maka
Abdurrahman bin Muljam meminta kepada orang yang ingin mengeksekusinya agar
membunuhnya secara mutilasi (memotong bagian tubuhnya satu demi satu) bukan
langsung dipenggal, sehingga dia bisa banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala.
Terkadang pengeboman di sebagian negeri tidak dilakukan oleh mereka kaum
muda, akan tetapi dikaitkan kepada mereka, itu semua dilakukan agar pemerintah marah
kepada mereka, juga untuk menyatukan para pemuda dengan pemerintah dalam tungku
api yang menyala-nyala, demikian pula untuk merusak stabilitas negara!! Akan tetapi
kaum muda itulah yang telah meletakan dirinya dalam syubhat tersebut, sehingga
diketahui bahwa merekalah yang melakukan sebagian aksi tersebut, bahkan sebagian dari
mereka mengakui hal itu dalam buku dan tulisan mereka, mereka membelanya dan
menuduh orang yang menyelisihi mereka dengan tuduhan buruk, walaupun orang yang
mereka tuduh adalah para ulama, lalu para penentang lainnya memuji fitnah tersebut dan
merasa gembira dengannya, bahkan dinukil dari mereka bahwa mereka bertanggung
jawab atas aksi tersebut, dan mengumumkan di hadapan khalayak ramai -dengan suara
dan gambar- akan langkah-langkah untuk mewujudkan aksi di atas. Maka sungguh kita
semua milik Allah dan hanya kepadaNya kita akan kembali !!
Jika kita hanya mengingkari kelompok ketiga saja (para pemuda yang ada di
tahapan ketiga tersebut di atas) tanpa mengobati akarnya, maka tidak ada artinya!! Ini
bagaikan orang yang mengukir diatas air, atau bagaikan orang yang memukul
sembarangan di tanah yang lapang pada malam gelap gulita.
Kesimpulannya : Tiga kelompok di atas memerankan sikap ghuluw ibarat
burung pemangsa, yang memiliki dua sayap dan badan.
Kelompok pertama: Bagaikan perut dan badannya.
Kelompok kedua: Sayapnya bagaikan ilmu, kepala yang berfikir, dua matanya yang
senantiasa mengintai.
Kelompok ketiga: Sebagai alat penyerang, pematuk dan pencakar.
Jadi ada tiga tahapan dalam masalah ini :
1. Tahapan perasaan dalam memprovokasi masa untuk melawan pemerintah dan
mencela ulama yang menentang pendapat tersebut, walaupun itu keluar dari perasaan
yang datangnya dengan tiba-tiba dan teriakan yang tidak jelas !
2. Tahapan penyusunan kaidah dan pondasi untuk pemikiran di atas, sehingga
pemahaman yang rusak itu hanya sebatas perasaan yang mudah untuk dirubah menjadi
aqidah yang tertanam dengan kuat. Dan para da’i di antara mereka mengambil langkah
hati-hati guna menjaga aqidahnya di atas dengan menghalangi para pemuda dari para
ulama kibar, dengan alasan bahwa mereka bukan orang yang terpercaya !!
3. Tahapan aksi, bentuknya dengan melakukan pembunuhan terhadap pemerintah
dan orang yang ada di sisi mereka, bahkan para ulama yang menyelisihi pemikiran
tersebut dan pengeboman yang menjadikan orang tua, wanita dan anak-anak sebagai
korbannya. Demikian pula rumah-rumah yang hancur baik di bulan haram ataupun yang
lainnya !! Atau bahkan di bulan ramadhan, bulan dimana jin-jin yang jahat ditahan,
bukankah demikian !! Atau di sepuluh malam terakhir bulan ramadhan dimana kaum
muslimin sedang i’tikaf dalam masjid !! Atau bahkan terjadi di dua tanah haram dan
sebagian masjid di Yaman juga tidak selamat dari pengeboman tersebut, seperti yang
terjadi di kota Son’a dan Adn. Maka hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita
memohon pertolongan.
Sungguh tahapan di atas tidak mesti setiap individu kelompok-kelompok tersebut
berkumpul, terkadang ada beberapa orang yang berpindah-pindah di antara kelompok
tersebut dengan tahapannya, ada juga yang hanya menanam benih sementara yang lain
menyiram dan memeliharanya saja, dengan dugaan bahwa masalahnya tidak sebesar apa
yang terjadi, sementara yang lain memetik buahnya dan membawanya ke pasar, lalu dia
beteriak dari seluruh penjuru. Walhasil hanya mereka yang diduga sebagai pelaku
kriminal untuk umat, agama dan stabilitas negara !!
Terkadang dua kelompok pertama memberikan peringatan kepada kelompok
ketiga, ketika kelompok ini hendak melakukan kerusakan dengan beragam alasan, baik
alasan yang benar ataupun yang salah, terkadang sebagian kelompok ketiga mengikuti
apa kata mereka walaupun banyak di antara kelompok ini yang tetap melakukan aksinya.
Demikianlah pemikiran itu berkembang tanpa batas. Barang siapa yang menebar benih
maka dia tidak dapat memastikan bentuk tanaman dan pohonnya, juga warna, rasa atau
bau buahnya, karena setiap buah pasti tumbuh dari masing-masing pohonnya kecuali
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menghendaki lain, sesungguhnya anggur itu tidak akan
tumbuh dari duri dan cukuplah Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai penolong.
Di antara perkara yang mesti diperhatikan, bahwa da’i dan individu dari
kelompok di atas adalah tidaklah sama, di antara mereka ada yang menggunakan kaidah
di atas, ada juga yang diam tanpa komentar dan ada pula yang tidak ridha dengan hal itu
akan tetapi tidak mengingkarinya, di antara mereka ada pula yang tidak memahami
pemikiran di atas, cinta akan kebaikan akan tetapi tidak mengetahui jalan untuk
menempuhnya, lalu dia tertipu dengan keadaan lingkungannya, mereka ini dikhawatirkan
akan masa depannya -jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak merahmatinya- dan tidak
diragukan lagi bahwa masing-masing ada hukumnya, maka termasuk kezhaliman jika kita
menetapkan hukum yang sama kepada seluruhnya, sementara Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu”. (QS. Ath-Thalaaq [65]: 3).
Pembahasan ini hanya berkisar terhadap pemikiran yang merupakan sumber
bencana bagi dakwah dan umat, bukan untuk menetapkan bahwa seseorang mengatakan
hal itu atau tidak ?! Karena masalah itu ada tempat lain untuk membahasnya.
Maksud dari bahasan di sini adalah memberikan peringatan terhadap pemikiran di
atas, juga menjauhkan manusia dari para da’inya agar tidak tertipu dengannya, bukan
hanya menetapkan hukum kepada orang yang berseberangan tanpa dalil dan bukti, juga
mengingatkan mereka akan apa yang terjadi dari berbagai pengalaman yang terjadi di
masa lalu dan juga apa yang terjadi di masa sekarang.
Usaha untuk memperbaiki pemikiran di atas termasuk kewajiban di dalam syari'at
dan seorang dokter akan mendiagnosa penyakit dengan sangat teliti, amanah dan jelas,
kemudian berusaha dengan baik untuk mengobati si pasien melalui caranya yang benar,
semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan manfaat dengannya, jika tidak, maka
bukan menjadi tanggung jawab orang yang berbuat baik dan setiap orang wajib
diperlakukan dengan yang semestinya sesuai dengan syari’at. Wallahu a’lam.