Professional Documents
Culture Documents
Jika aborsi untuk alasan medis, aborsi adalah legal, untuk korban
perkosaan, masih di grey area, aborsi masih diperbolehkan walaupun
tidak semua dokter mau melakukannya. Kasus perkosaan merupakan
pilihan yang sulit. Meskipun bisa saja kita mengusulkan untuk
memelihara anaknya hingga lahir, lalu diadopsikan ke orang lain, itu
semua tergantung kematangan jiwa si ibu dan dukungan masyarakat
agar anak yang dilahirkan tidak dilecehkan oleh masyarakat.
Untuk kehamilan diluar nikah atau karena sudah kebanyakan anak dan
kontrasepsi gagal perlu dipirkirkan kembali karena masih banyak
orang mendambakan anak.
Jadi solusinya bukan cuma dari rantai yang pendek, tapi dari ujung
rantai yang terpanjang, yaitu : penyuluhan tentang seks yang benar.
Jika tidak ingin hamil gunakan kontrasepsi yang paling aman dan
kontrasepsi yang paling aman adalah tidak berhubungan seks sama
sekali. Segala sesuatu itu ada resikonya. Untuk itu sebelum bertindak,
orang harus mulai berpikir : nanti bagaimana bukannya bagaimana
nanti.
Keputusan aborsi juga dapat keluar dalam waktu yang singkat, dan
setelah melewati waktu krisis, bisa saja keputusan aborsi dibatalkan
karena ada seseorang yang mendampingi memberikan support, dan
dia tidak jadi mengaborsi.
Jika seorang isteri mengalah untuk hamil lagi karena tekanan demi
keamanan rumah tangga tetapi dikemudian hari anak diasuh dengan
setengah hati akan berakibat buruh bagi seorang anak, untuk itu jika
mengalah menerima dengan berlapang dada, walaupun manusia
sangat sedikit yang mampu berlapang dada.
Menurut Fact About Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for Social,
Studies and Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai
penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam
rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.
Jadi, gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah terjadi keguguran
janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak
menginginkan bakal bayi yang dikandung itu). Secara umum, istilah aborsi diartikan
sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu
secara sengaja maupun tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda
(sebelum bulan ke empat masa kehamilan).
PENYEBAB ABORTUS
Secara garis besar ada 2 hal penyebab Abortus, yaitu :
Maternal.
2. Infeksi kronis
Janin
Penyebab paling sering terjadinya abortus dini adalah kelainan pertumbuhan hasil
konsepsi (pembuahan), baik dalam bentuk Zygote, embrio, janin maupun placenta.
• Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika
dengan adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit
keganasan lainnya pada tubuh seperti kanker payudara.
• Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus
seperti ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi dengan
psikiater.
BAB III
ETIKA KRISTIANI
Ada negara tertentu yang memakai batas 1000 gram sebagai aborsi, menurut Undang-
Undang di Indonesia, kematian janin di bawah 1000 gram tidak perlu dilaporkan dan
dapat dikuburkan di luar Tempat Pemakaman Umum.
Dari cara terjadinya aborsi, ada dua macam aborsi, aborsi spontan (abortus spontaneus)
dan aborsi buatan (abortus provocatus). Aborsi spontan terjadi sendiri tanpa campur
tangan manusia, sedang aborsi buatan adalah hasil dari perbuatan manusia yang dengan
sengaja melakukan perbuatan pengguguran. Abortus yang terjadi pada usia kehamilan di
bawah 12 minggu disebut abortus dini.
Abortus Spontaneus
Insiden abortus spontan diperkirakan 10% dari seluruh kehamilan. Namun angka ini
mempunyai dua kelemahan, yaitu kegagalan untuk menghitung abortus dini yang tidak
terdeteksi, serta aborsi ilegal yang dinyatakan sebagai abortus spontan.
Insiden abortus spontan sulit untuk ditentukan secara tepat, karena sampai sekarang
belum diterapkan kapan sebenarnya dimulainya kehamilan? Apakah penetrasi sperma
kedalam sel telur sudah merupakan kehamilan? Apakah pembelahan sel telur yang telah
dibuahi berarti mulainya kehamilan? Atau kehamilan dimulai setelah blastocyst
membenamkan diri kedalam decidua? Atau setelah janin “bernyawa”?
Dengan pemeriksaan tes yang dapat mendeteksi Human Chorionic Gonadotropin maka
frekuensi abortus akan menjadi lebih tinggi (20% – 62%).
• Faktor Ibu.
Abortus Therapeuticus
Abortus therapeuticus adalah pengakhiran kehamilan pada saat dimana janin belum dapat
hidup demi kepentingan mempertahankan kesehatan ibu. Menurut Undang-Undang di
Indonesia tindakan ini dapat dibenarkan. Keadaan kesehatan ibu yang membahayakan
nyawa ibu dengan adanya kehamilan adalah penyakit jantung yang berat, hypertensi
berat, serta beberapa penyakit kanker.
Di beberapa negara, termasuk dalam kategori ini adalah kehamilan akibat perkosaan atau
insect, dan pada keadaan dimana bayi yang dikandungnya mempunyai cacat fisik atau
mental yang berat. Di negara-negara Eropa, aborsi diperbolehkan apabila ibu menderita
campak Jerman (German Measles) pada trimester pertama.
Elective Abortion
Aborsi sukarela adalah pengakhiran kehamilan pada saat janin belum dapat hidup namun
bukan karena alasan kesehatan ibu atau janin. Pada masa kini, aborsi jenis inilah yang
paling sering dilakukan. Di Amerika Serikat, terjadi satu aborsi sukarela untuk tiap 3
janin lahir hidup.
Eugenic Abortion:
Aborsi tidak sama dengan membunuh, dan dalam prakteknya aborsi telah menjadi
pertengkaran ideologi, yaitu antara ideologi konservatif fundamentalis dan liberalis.
Substansi permasalahan sudah tertutup dengan label atau cap-cap. Misalnya,
pemberitaan-pemberitaan di media massa menyudutkan bahwa yang melakukan aborsi
sebagai pembunuh berdarah dingin, atau membunuh secara sederhana.
Antara dua kutub yang anti dan pro tidak ada titik temu. Namun kedua belah pihak pada
dasarnya tidak setuju aborsi, tetapi ada kasus-kasus atau situasi yang dianggap
perkecualian. Memang ada perbedaan di antara dua kutub.
1. Perbedaan Pandangan
Perbedaan pandangan mengenai relasi atau hubungan antara sang ibu dengan janin yang
dikandung. Bilamana janin itu sepenuhnya bagian tubuh sang ibu maka yang “anti”
aborsi menganggap aborsi melanggar hak-hak ibu. Atau sebaliknya kalau sang ibu itu
hanya alat/instrumental saja selama 9 bulan 10 hari, maka ibu tidak mempunyai hak.
Namun yang pasti secara teologis semuanya adalah hak Allah.
2. Perbedaan Paham
1. Minggu ke-12, karena setelah bulan ke tujuh telah terbentuk kortek yang akan
menjadi manusia.
2. Hari yang ke-12, karena sebelum hari ke-12 belum terjadi individu alisasi.
3. Hari ke-6 atau ke-7 setelah haid terakhir sel tersebut berkembang menjadi janin.
4. Sejauh pembuahan sudah berkembang menjadi manusia.
Dari keempat hipotesa tersebut disimpulkan bahwa, semakin tua usia janin semakin
komplek masalahnya bila melakukan aborsi. Bahwa benar atau salah melakukan tindakan
aborsi, yang pasti salah.
Dalam kehidupan kita yang dipengaruhi oleh dosa, kita tidak jarang didorong atau
dipaksa untuk melakukan perbuatan yang salah/dosa. Tetapi dalam alasan-alasan yang
positif dan dapat dipertanggungjawabkan aborsi dapat dilakukan, misalnya untuk hal-hal
yang jika tidak dilakukan akan mengakibatkan sesuatu yang sangat merugikan.
Namun ini bukan berarti saya menyetujui tindakan aborsi, karena aborsi tetap akan
berlangsung terus. Justru masyarakat juga harus diberi terapi. Orang-orang yang
mendorong aborsi itu yang harus diperhatikan juga. Oleh karena itu saya menegaskan
bahwa etika menjadi efektif kalau tidak dilihat secara normatif semata, namun harus
melihat realitas yang ada.
Permasalahannya bukan boleh atau tidak boleh, benar atau tidak benar. Prinsip etika
harus dikaitkan dengan kenyataan hidup. Realitas dosa inilah yang menyebabkan masalah
aborsi tidak dapat dilihat secara “hitam” dan “putih”.
BAB IV
METODE-METODE, EFEK
METODE-METODE ABORSI
Urea
Karena bahaya penggunaan saline, maka suntikan lain yang biasa dipakai adalah
hipersomolar urea, walau metode ini kurang efektif dan biasanya harus dibarengi dengan
asupan hormon oxytocin atau prostaglandin agar dapat mencapai hasil maksimal. Gagal
aborsi atau tidak tuntasnya aborsi sering terjadi dalam menggunakan metode ini, sehingga
operasi pengangkatan janin dilakukan. Seperti teknik suntikan aborsi lainnya, efek
samping yang sering ditemui adalah pusing-pusing atau muntah-muntah. Masalah umum
dalam aborsi pada trimester kedua adalah perlukaan rahim, yang berkisar dari perlukaan
kecil hingga perobekan rahim. Antara 1-2% dari pasien pengguna metode ini terkena
endometriosis/peradangan dinding rahim.
Prostaglandin
Prostaglandin merupakan hormon yang diproduksi secara alami oleh tubuh dalam proses
melahirkan. Injeksi dari konsentrasi buatan hormon ini ke dalam air ketuban memaksa
proses kelahiran berlangsung, mengakibatkan janin keluar sebelum waktunya dan tidak
mempunyai kemungkinan untuk hidup sama sekali. Sering juga garam atau racun lainnya
diinjeksi terlebih dahulu ke cairan ketuban untuk memastikan bahwa janin akan lahir
dalam keadaan mati, karena tak jarang terjadi janin lolos dari trauma melahirkan secara
paksa ini dan keluar dalam keadaan hidup. Efek samping penggunaan prostaglandin
tiruan ini adalah bagian dari ari-ari yang tertinggal karena tidak luruh dengan sempurna,
trauma rahim karena dipaksa melahirkan, infeksi, pendarahan, gagal pernafasan, gagal
jantung, perobekan rahim.
Metode ini sama seperti melahirkan secara normal, karena janin dikeluarkan lewat jalan
lahir. Aborsi ini dilakukan pada wanita dengan usia kehamilan 20-32 minggu, mungkin
juga lebih tua dari itu. Dengan bantuan alat USG, forsep (tang penjepit) dimasukkan ke
dalam rahim, lalu janin ditangkap dengan forsep itu. Tubuh janin ditarik keluar dari jalan
lahir (kecuali kepalanya). Pada saat ini, janin masih dalam keadaan hidup. Lalu, gunting
dimasukkan ke dalam jalan lahir untuk menusuk kepala bayi itu agar terjadi lubang yang
cukup besar. Setelah itu, kateter penyedot dimasukkan untuk menyedot keluar otak bayi.
Kepala yang hancur lalu dikeluarkan dari dalam rahim bersamaan dengan tubuh janin
yang lebih dahulu ditarik keluar.
Histerotomy
Sejenis dengan metode operasi caesar, metode ini digunakan jika cairan kimia yang
digunakan/disuntikkan tidak memberikan hasil memuaskan. Sayatan dibuat di perut dan
rahim. Bayi beserta ari-ari serta cairan ketuban dikeluarkan. Terkadang, bayi dikeluarkan
dalam keadaan hidup, yang membuat satu pertanyaan bergulir: bagaimana, kapan dan
siapa yang membunuh bayi ini? Metode ini memiliki resiko tertinggi untuk kesehatan
wanita, karena ada kemungkinan terjadi perobekan rahim.
Pada 1-3 bulan pertama dalam kehidupan janin, aborsi dilakukan dengan metode
penyedotan. Teknik inilah yang paling banyak dilakukan untuk kehamilan usia dini.
Mesin penyedot bertenaga kuat dengan ujung tajam dimasukkan ke dalam rahim lewat
mulut rahim yang sengaja dimekarkan. Penyedotan ini mengakibatkan tubuh bayi
berantakan dan menarik ari-ari (plasenta) dari dinding rahim. Hasil penyedotan berupa
darah, cairan ketuban, bagian-bagian plasenta dan tubuh janin terkumpul dalam botol
yang dihubungkan dengan alat penyedot ini. Ketelitian dan kehati-hatian dalam menjalani
metode ini sangat perlu dijaga guna menghindari robeknya rahim akibat salah sedot yang
dapat mengakibatkan pendarahan hebat yang terkadang berakhir pada operasi
pengangkatan rahim. Peradangan dapat terjadi dengan mudahnya jika masih ada sisa-sisa
plasenta atau bagian dari janin yang tertinggal di dalam rahim. Hal inilah yang paling
sering terjadi yang dikenal dengan komplikasi paska-aborsi.
Dalam teknik ini, mulut rahim dibuka atau dimekarkan dengan paksa untuk memasukkan
pisau baja yang tajam. Bagian tubuh janin dipotong berkeping-keping dan diangkat,
sedangkan plasenta dikerok dari dinding rahim. Darah yang hilang selama dilakukannya
metode ini lebih banyak dibandingkan dengan metode penyedotan. Begitu juga dengan
perobekan rahim dan radang paling sering terjadi. Metode ini tidak sama dengan metode
D&C yang dilakukan pada wanita-wanita dengan keluhan penyakit rahim (seperti
pendarahan rahim, tidak terjadinya menstruasi, dsb). Komplikasi yang sering terjadi
antara lain robeknya dinding rahim yang dapat menjurus hingga ke kandung kencing.
Pil RU 486
Kerja RU 486 adalah untuk memblokir hormon progesteron yang berfungsi vital untuk
menjaga jalur nutrisi ke plasenta tetap lancar. Karena pemblokiran ini, maka janin tidak
mendapatkan makanannya lagi dan menjadi kelaparan. Pada kunjungan kedua, yaitu 36-
48 jam setelah kunjungan pertama, wanita hamil ini diberikan suntikan hormon
prostaglandin, biasanya misoprostol, yang mengakibatkan terjadinya kontraksi rahim dan
membuat janin terlepas dari rahim. Kebanyakan wanita mengeluarkan isi rahimnya itu
dalam 4 jam saat menunggu di klinik, tetapi 30% dari mereka mengalami hal ini di
rumah, di tempat kerja, di kendaraan umum, atau di tempat-tempat lainnya, ada juga yang
perlu menunggu hingga 5 hari kemudian. Kunjungan ketiga dilakukan kira-kira 2 minggu
setelah pengguguran kandungan, untuk mengetahui apakah aborsi telah berlangsung. Jika
belum, maka operasi perlu dilakukan (5-10 persen dari seluruh kasus). Ada beberapa
kasus serius dari penggunaan RU 486, seperti aborsi yang tidak terjadi hingga 44 hari
kemudian, pendarahan hebat, pusing-pusing, muntah-muntah, rasa sakit hingga kematian.
Sedikitnya seorang wanita Perancis meninggal sedangkan beberapa lainnya mengalami
serangan jantung.
Prosedur dengan MTX sama dengan RU 486, hanya saja obat ini disuntikkan ke dalam
badan. MTX pada mulanya digunakan untuk menekan pertumbuhan pesat sel-sel, seperti
pada kasus kanker, dengan menetralisir asam folat yang berguna untuk pemecahan sel.
MTX ternyata juga menekan pertumbuhan pesat trophoblastoid – selaput yang
menyelubungi embrio yang juga merupakan cikal bakal plasenta. Trophoblastoid tidak
saja berfungsi sebagai ‘sistim penyanggah hidup’ untuk janin yang sedang berkembang,
mengambil oksigen dan nutrisi dari darah calon ibu serta membuang karbondioksida dan
produk-produk buangan lainnya, tetapi juga memproduksi hormon hCG (human
chorionic gonadotropin), yang memberikan tanda pada corpus luteum untuk terus
memproduksi hormon progesteron yang berguna untuk mencegah gagal rahim dan
keguguran.
MTX menghancurkan integrasi dari lingkungan yang menopang, melindungi dan
menyuburkan pertumbuhan janin, dan karena kekurangan nutrisi, maka janin menjadi
mati. 3-7 hari kemudian, tablet misoprostol dimasukkan ke dalam kelamin wanita hamil
itu untuk memicu terlepasnya janin dari rahim. Terkadang, hal ini terjadi beberapa jam
setelah masuknya misoprostol, tetapi sering juga terjadi perlunya penambahan dosis
misoprostol. Hal ini membuat cara aborsi dengan menggunakan suntikan MTX dapat
berlangsung berminggu-minggu. Si wanita hamil itu akan mendapatkan pendarahan
selama berminggu-minggu (42 hari dalam sebuah studi kasus), bahkan terjadi pendarahan
hebat. Sedangkan janin dapat gugur kapan saja – di rumah, di dalam bis umum, di tempat
kerja, di supermarket, dsb. Wanita yang kedapatan masih mengandung pada kunjungan
ke klinik aborsi selanjutnya, mau tak mau harus menjalani operasi untuk mengeluarkan
janin itu. Bahkan dokter-dokter yang bekerja di klinik aborsi seringkali enggan untuk
memberikan suntikan MTX karena MTX sebenarnya adalah racun dan efek samping
yang terjadi terkadang tak dapat diprediksi.
Efek samping yang tercatat dalam studi kasus adalah sakit kepala, rasa sakit, diare,
penglihatan yang menjadi kabur, dan yang lebih serius adalah depresi sumsum tulang
belakang, kekuragan darah, kerusakan fungsi hati, dan sakit paru-paru. Dalam bungkus
MTX, pabrik pembuat menuliskan peringatan keras bahwa MTX memang berguna untuk
pengobatan kanker, beberapa kasus artritis dan psoriasis, “kematian pernah dilaporkan
pada orang yang menggunakan MTX”, dan pabrik itu menyarankan agar hanya para
dokter yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan tentang terapi antimetabolik saja
yang boleh menggunakan MTX. Meski para dokter aborsi yang menggunakan MTX
menepis efek-efek samping MTX dan mengatakan MTX dosis rendah baik untuk
digunakan dalam proses aborsi, dokter-dokter aborsi lainnya tidak setuju, karena pada
paket injeksi yang digunakan untuk aborsi juga tertera peringatan bahaya racun walau
MTX digunakan dalam dosis rendah
EFEK ABORSI
1. Efek Jangka Pendek
RESIKO ABORSI
Aborsi memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun
keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang yang
melakukan aborsi ia ” tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang “.
Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan
keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis. Risiko kesehatan dan keselamatan
fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat melakukan aborsi dan setelah
melakukan aborsi adalah ;
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan
keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat
terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi
sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini
dicatat dalam ” Psychological Reactions Reported After Abortion ” di dalam penerbitan
The Post-Abortion Review.
Oleh sebab itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini adanya perhatian
khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat memberikan pendidikan seks yang baik
dan benar.
BAB V
Argumen pertama yang selalu diangkat untuk menentang posisi orang Kristiani dalam
hal aborsi adalah, “Bagaimana dengan kasus pemerkosaan dan/atau hubungan seks antar
saudara.”. Betapapun mengerikannya hamil sebagai akibat pemerkosaan atau hubungan
seks antar saudara, apakah membunuh sang bayi adalah jawabannya? Dua kesalahan
tidak menghasilkan kebenaran. Anak yang lahir sebagai hasil pemerkosaan atau
hubungan seks antar saudara dapat saja diberikan untik diadopsi oleh keluarga yang tidak
mampu memperoleh anak – atau anak tsb dapat dibesarkan oleh ibunya. Sekali lagi sang
bayi tidak seharusnya dihukum karena perbuatan jahat ayahnya.
Argumen kedua yang biasanya diangkat untuk menentang posisi orang Kristiani dalam
hal aborsi adalah, “Bagaimana jikalau hidup sang ibu terancam?”. Pertama-tama perlu
diingat bahwa situasi semacam ini hanya kurang dari 1/10 dari 1 persen dari seluruh
aborsi yang dilakukan di dunia saat ini. Jauh lebih banyak perempuan yang melakukan
aborsi karena mereka tidak mau “merusak tubuh mereka” daripada perempuan yang
melakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa mereka. Kedua, mari kita mengingat bahwa
Allah kita adalah Allah dari mujizat. Dia dapat menjaga hidup dari ibu dan anak
sekalipun secara medis hal itu tidak mungkin. Akhirnya, keputusan ini hanya dapat
diambil antara suami, isteri dan Allah. Setiap pasangan yang menghadapi situasi yang
sangat sulit ini harus berdoa minta hikmat dari Tuhan (Yakobus 1:5) untuk apa yang
Tuhan mau mereka buat.
Pada 99% dari aborsi yang dilakukan sekarang ini alasannya adalah “pengaturan
kelahiran secara retroaktif”. Perempuan dan/atau pasangannya memutuskan bahwa
mereka tidak menginginkan bayi yang dikandung. Maka mereka memutuskan untuk
mengakhiri hidup dari bayi itu daripada harus bertanggung jawab. Ini adalah kejahatan
yang terbesar. Bahkan dalam kasus 1% yang sulit itu, aborsi tidak sepantasnya dijadikan
opsi pertama. Hidup dari manusia dalam kandungan tu layak untuk mendapatkan segala
usaha untuk memastikan kelahirannya.
Bagi mereka yang telah melakukan aborsi, dosa aborsi tidaklah lebih sulit diampuni
dibanding dengan dosa-dosa lainnya. Melalui iman dalam Kristus, semua dosa apapun
dapat diampuni (Yohanes 3:16; Roma 8:1; Kolose 1:14). Perempuan yang telah
melakukan aborsi, atau laki-laki yang mendorong aborsi, atau bahkan dokter yang
melakukan aborsi, semuanya dapat diampuni melalui iman di dalam Yesus Kristus.
AJARAN AGAMA
Pada prinsipnya, umat Kristen Katolik percaya bahwa semua kehidupan adalah kudus
sejak dari masa pembuahan hingga kematian yang wajar, dan karenanya mengakhiri
kehidupan manusia yang tidak bersalah, baik sebelum ataupun sesudah ia dilahirkan,
merupakan kejahatan moral. Gereja mengajarkan, “Kehidupan manusia adalah kudus
karena sejak awal ia membutuhkan ‘kekuasaan Allah Pencipta’ dan untuk selama-
lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya, tujuan satu-satunya. Hanya
Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh
berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung
kehidupan manusia yang tidak bersalah”.
Seturut wahyu, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dengan penekanan
khusus pada misteri inkarnasi, Gereja Katolik Roma mengutuk praktek aborsi. Beberapa
contoh ajaran dalam rentang waktu tiga ratus tahun pertama sejak berdirinya Gereja
meliputi yang berikut ini: “Didache” (“Ajaran dari Keduabelas Rasul,” thn 80 M)
menegaskan, “Engkau tidak boleh melakukan abortus dan juga tidak boleh membunuh
anak yang baru dilahirkan.” “Surat Barnabas” (thn 138) juga mengutuk aborsi.
Athenagoras (thn 177) dalam tulisannya “Pembelaan Atas Nama Umat Kristen” (suatu
pembelaan terhadap paham kafir) menegaskan bahwa umat Kristen menganggap para
wanita yang menelan ramuan atau obat-obatan untuk menggugurkan kandungannya
sebagai para pembunuh; ia mengutuk para pembunuh anak-anak, termasuk anak-anak
yang masih ada dalam rahim ibu mereka, “di mana mereka telah menjadi obyek
penyelenggaraan ilahi.” Tertulianus (thn 197) dalam “Apologeticum” menegaskan hal
serupa, “mencegah kelahiran adalah melakukan pembunuhan; tidak banyak bedanya
apakah orang membinasakan kehidupan yang telah dilahirkan ataupun melakukannya
dalam tahap yang lebih awal. Ia yang bakal manusia adalah manusia.” Pada tahun 300,
Konsili Elvira, suatu konsili gereja lokal di Spanyol, mengeluarkan undang-undang
khusus yang mengutuk aborsi (Kanon 63).
Setelah pengesahan kekristenan pada tahun 313, Gereja tetap mengutuk aborsi. Sebagai
contoh, St. Basilus dalam sepucuk suratnya kepada Uskup Amphilochius (thn 374)
dengan tegas menyatakan ajaran Gereja: “Seorang wanita yang dengan sengaja
membinasakan janin haruslah diganjari dengan hukuman seorang pembunuh” dan
“Mereka yang memberikan ramuan atau obat-obatan yang mengakibatkan aborsi adalah
para pembunuh juga, sama seperti mereka yang menerima racun itu guna membunuh
janin.”
Poin utamanya adalah Gereja Katolik Roma sejak dari awal secara terus-menerus
menjunjung tinggi kekudusan hidup dari bayi yang belum dilahirkan dan mengutuk
tindakan aborsi langsung (abortus langsung, artinya abortus yang dikehendaki baik
sebagai tujuan maupun sebagai sarana). Menentang ajaran ini berarti menyangkal ilham
Kitab Suci dan Tradisi kristiani. Kita, sebagai umat Kristen Katolik, patut berdoa demi
berubahnya hati nurani umat manusia dan dengan gagah berani mengajarkan,
mempertahankan serta membela kekudusan hidup manusia, teristimewa bayi-bayi tak
dilahirkan yang tak berdaya dan tak bersalah.
TANGGAPAN GEREJA
Gereja Katolik merupakan satu-satunya lembaga keagamaan yang dengan lantang
menentang aborsi. Untuk Gereja Katolik, aborsi adalah pembunuhan atas manusia tak
berdosa dan yang dalam dirinya tak bisa membela diri. Maka sangat jelas bahwa Gereja
Katolik mengerti tindakan mengaborsi bukanlah hak azasi melainkan sebaliknya adalah
kejahatan azasi. Hak azasi dalam pengertian Gereja Katolik selalu mengarah kepada
kehidupan dan bukan kepada kematian. Aborsi adalah suatu tindakan yang mengarah
pada kematian dan hanya dilakukan oleh orang yang mencintai kematian.
Dalam Gereja Katolik, aborsi hanya layak dibenarkan dalam dua kasus dilematis berikut:
kasus dilematis pertama, yakni situasi dimana jelas bahwa janin akan mati bersama
ibunya apabila tidak dilaksanakan pengguguran. Dan kasus dilematis kedua, yakni situasi
dimana ibu akan meninggal bila janin tidak digugurkan. Bahkan dalam kasus kedua itu
beberapa ahli moral masih meragukan apakah hidup ibu selalu layak lebih diutamakan
dibandingkan dengan hidup janin.
Jikalau ada kelainan pada janin, Gereja tetap tidak memperbolehkan adanya aborsi.
Gereja hanya menerima kedua kasus dilematis yang tadi telah dijelaskan. Kecuali kalau
kelainan itu mengakibatkan masalah dilematis seperti diatas tadi.
Jikalau seseorang menjadi korban pemerkosaan, dan ia takut kalau anak yang
dilahirkannya dilecehkan oleh masyarakat, ia tetap tidak boleh melakukan tindakan
aborsi. Tetapi Gereja akan membantu menyiapkan proses kematangan jiwa sang ibu
misalnya melalui pendampingan oleh para suster sehingga sang ibu mau melahirkan anak
dan membatalkan niat pengguguran. Gereja menyiapkan mental/kejiwaan si korban
perkosaan melalui pendampingan (konseling) yang bisa dilakukan oleh pastor dan suster.
KESULITAN GEREJA
Gereja Katolik saat ini masih kesulitan untuk mengatasi masalah aborsi yang masih
tinggi. Diantaranya seperti sebuah kebijakan-kebijakan Negara, dimana Negara tersebut
masih memperbolehkan diadakannya aborsi.
Dalam perintah Allah yang ke-5 berbunyi “Jangan Membunuh”, gereja masih bertanya-
tanya, dalam situasi dan kondisiyang rumit, apakah perintah ini masih berlaku? Dan kalau
kita melihat konteksnya, maka perintah ini ditujukan untuk manusia. Dan sekarang yang
menjadi masalah utama adalah tentang status fetus/janin itu sendiri;
• Syarat apakah yang harus dimiliki “sesuatu” supaya dapat dianggap seorang
manusia, jelasnya supaya memiliki hak hidup?
• Jika kita menganggap bayi yang belum dilahirkan bukan manusia, tetapi hanya
benda, kapankah fetus itu dapat menikmati statusnya sebagai seorang manusia
atau pribadi?
Jika janin itu belum mempunyai status sebagai manusia, maka Abortus tidak dapat dicap
sebagai pembunuhan, dan masalah kita dapat diselesaikan, tetapi jika itu adalah manusia
yang sedang mengalami proses pertumbuhan secara kontiniu, maka ini jelas merupakan
suatu pembunuhan.
BAB VI
PENUTUP
TANGGAPAN
Setelah saya membaca kasus-kasus yang terlampir pada lampiran, kasus aborsi sampai
saat ini sangatlah serius dan membahayakan bagi umat manusia. Menurut data, sampai
saat ini ternyata kasus mengenai aborsi masih sangat tinggi, bahkan sampai remaja pun
telah melakukan tindakan aborsi. Walaupun banyak Negara telah menyerukan program
KB dan banyak Negara telah menyarankan untuk memakai kondom sebagai pilihan
alternative program KB, tetapi hasilnya di dunia ini masih tinggi akan kasus aborsi.
Saya menanggapi bahwa perbuatan aborsi dengan tujuan dan maksud tertentu memang
ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan. Tujuan dan maksud
tersebut memang boleh dilakukannya tindakan aborsi, apabila dalam situasi janin akan
mati bersama ibunya apabila tidak dilaksanakan pengguguran dan situasi dimana ibu
akan meninggal bila janin tidak digugurkan. Tetapi tindakan aborsi tidak
diperkenankan apabila seorang wanita malu menanggung resiko mempunyai anak diluar
nikah ataupun di dalam situasi perkawinan dimana seorang ibu yang hamil dan
mempunyai banyak anak, tetapi ibu tersebut tidak menginginkan kehadiran anaknya
didalam kehamilanya, maka ibu tersebut tidak boleh melakukan tindakan aborsi.
Allah Bapa sangatlah baik. Dia masih memaafkan orang yang melakukan tindakan aborsi
dan yang membantu lancarnya jalannya aborsi, jika mereka telah melakukan pertobatan
kepada Allah. Dalam pengertian saya ini, bukan berarti kita seenaknya melakukan
tindakan aborsi lalu bertobat. Apabila kita melakukan aborsi lalu kita meninggal sebelum
melakukan pertobatan, hal ini akan dipertanyakan oleh Allah pada hari penantian.
SOLUSI
Memang kasus aborsi tidak dapat kita hentikan. Tetapi kita dapat mencegah
meningkatnya kasus aborsi dengan cara kita sadar akan tindakan aborsi tersebut tidaklah
baik. Solusi saya agar kita sadar bahwa aborsi itu dosa ialah beriman yang diwujudkan
dengan:
• Sikap hormat terhadap kehidupan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang ”serupa
dengan citra Allah” (Berdasarkan Kej 1:26)
• Taat kepada perintah Allah khususnya perintah cinta / hukum cinta yaitu Cinta
Kepada Tuhan dan sesama.
• Setia kepada ajaran Gereja yang melarang keras Aborsi (humanae Ultae).
Saya berharap, dengan solusi yang telah saya berikan berguna bagi kita semua. Saya
berharap agar kita semua menjadi sadar dan tidak melakukan tindakan aborsi.
DAFTAR PUSTAKA
Pencarian dari www.google.com yang diakses pada tanggal 7 Desember 2007, dengan
rincian sebagai berikut:
1. http://abortus.blogspot.com/2007/11/metode-metode-aborsi.html
2. http://abortus.blogspot.com/search/label/Abortus
3. http://abortus.blogspot.com/search/label/Resiko
4. http://gemawarta.wordpress.com/2005/11/24/aborsi-pro-life-atau-pro-choice/
5. http://mathiasdarwin.wordpress.com/2007/09/08/apakah-aborsi-salah-satu-hak-
azasi-manusia/
6. http://yesaya.indocell.net/id560.htm
7. http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/p4/bk/aborsi.htm
8. http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0609/15/020926.htm
JS. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar
Harapan; Jakarta, 1996.
Dari survei yang dilakukan di Jakarta diperoleh hasil bahwa sekitar 6-20 persen anak
SMU dan mahasiswa di Jakarta pernah melakukan hubungan seks pranikah. Sebanyak 35
persen dari mahasiswa kedokteran di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta sepakat
tentang seks pranikah.
Dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95 persennya dilakukan oleh remaja usia
15-25 tahun. Angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus, 1,5 juta
diantaranya dilakukan oleh remaja.
Lalu, polling yang dilakukan di Bandung menunjukkan, 20 persen dari 1.000 remaja yang
masuk dalam polling pernah melakukan, seks bebas. Diperkirakan 5-7 persennya adalah
remaja di pedesaan.
Sebagai catatan, jumlah remaja di Kabupaten Bandung sekitar 765.762. Berarti, bisa
diperkirakan jumlah remaja yang melakukan seks bebas sekitar 38-53 ribu. Kemudian,
sebanyak 200 remaja putri melakukan seks bebas, setengahnya kedapatan hamil. Dan 90
persen dari jumlah itu melakukan aborsi.
Survei lain yang dilakukan di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur juga
menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda. Survei yang dilakukan oleh Lembaga
Demografi FEUI dan NFPCB tahun 1999 terhadap 8.084 remaja putra dan putri yang
berusia 15-24 tahun di 20 kabupaten di empat provinsi tersebut menunjukkan bahwa
sebanyak 46,2 persen remaja menganggap perempuan tidak akan hamil hanya dengan
hanya satu kali melakukan hubungan seksual. Kesalahan persepsi ini lebih banyak
diyakini remaja putra ketimbang putri.
Dalam survei itu juga dijumpai sebanyak 51 persen mengira kalau mereka akan tertular
HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial. Dari hasil survei dan
polling tersebut setidaknya menunjukkan bahwa masih banyak remaja yang belum paham
tentang masalah seksualitas.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lebih dari separuh (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta orang)
adalah perempuan. Namun, kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki-
laki. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk
berpartisipasi optimal dalam proses pembangunan. Tidak heran bila jumlah perempuan
yang menikmati hasil pembangunan lebih terbatas dibandingkan laki-laki. Hal itu terlihat
dari semakin turunnya nilai Gender-related Development Index (GDI) Indonesia dari
0,651 atau peringkat ke 88 (HDR 1998) menjadi 0,664 atau peringkat ke 90 (HDR 2000)
(GOI & UNICEF, 2000). GDI mengukur angka harapan hidup, angka melek huruf, angka
partisipasi murid sekolah, dan pendapatan kotor per kapita (Gross Domestic
Product/GDP) riil per kapita antara laki-laki dan perempuan. Di bidang pendidikan,
terdapat perbedaan akses dan peluang antara laki-laki dan perempuan terhadap
kesempatan memperoleh pendidikan. Menurut Susenas 1999, jumlah perempuan yang
berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf (14,1%) lebih besar daripada laki-laki pada usia
yang sama (6,3%) (GOI & UNICEF, 2000).
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 1994
masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran (GOI & UNICEF, 2000). Penyebab
kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu
sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang
memadai. Walaupun proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melakukan ANC
minimal 1 kali telah mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut SDKI 1994, hanya 43,2%
yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan oleh tenaga kesehatan
menurut SDKI 1997, masih sangat rendah, di mana sebesar 54% persalinan masih
ditolong oleh dukun bayi (GOI & UNICEF, 2000).
Namun tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Setiap tahunnya, dari 175 juta
kehamilan yang terjadi di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang mengalami
kehamilan tak diinginkan (Sadik 1997). Banyak hal yang menyebabkan
seorang perempuan tidak menginginkan kehamilannya, antara lain karena perkosaan,
kehamilan yang terlanjur datang pada saat yang belum diharapkan, janin dalam
kandungan menderita cacat berat, kehamilan di luar nikah, gagal KB, dan sebagainya.
Ketika seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD), diantara jalan
keluar yang ditempuh adalah melakukan upaya aborsi, baik yang dilakukan sendiri
maupun dengan bantuan orang lain. Banyak diantaranya yang memutuskan untuk
mengakhiri kehamilannya dengan mencari pertolongan yang tidak aman sehingga mereka
mengalami komplikasi serius atau kematian karena ditangani oleh orang yang tidak
kompeten atau dengan peralatan yang tidak memenuhi standar
Keputusan untuk melakukan aborsi bukan merupakan pilihan yang mudah. Banyak
perempuan harus berperang melawan perasaan dan kepercayaannya mengenai nilai hidup
seorang calon manusia yang dikandungnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Belum lagi penilaian moral dari orang-orang sekitarnya bila sampai tindakannya ini
diketahui. Hanya orang-orang yang mampu berempati yang bisa merasakan betapa
perempuan berada dalam posisi yang sulit dan menderita ketika harus memutuskan untuk
mengakhiri kehamilannya.
Aborsi sering kali ditafsirkan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan
Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000). Dengan
perkembangan tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya
perempuan tidak harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi sudah dapat
diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang sangat
sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di tempat yang
memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan bila
melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
Menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian
dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-
organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual
yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu
dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari
lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi
penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat
dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak
di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-
psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala
hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang di
kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja
enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih
memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas
seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!
Tak tersedianya informasi yang akurat dan “benar” tentang kesehatan reproduksi
memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus
komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa
mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus dihadapi,
menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap “pelajaran” seks dari internet, meski
saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs
pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-
malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum terlampau
banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 – 5% Di Surabaya: 2,3% Di
Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan
0%. Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis, 21-
30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah
melakukan hubungan seks pra-nikah.
Berdasarkan hasil penelitian Annisa Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan siswa
SMP dan SMA di Cianjur terungkap 42,3 persen pelajar telah melakukan hubungan seks
yang pertama saat duduk di bangku sekolah. Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia
melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya
remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga berencana memaksa mereka
untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa
mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian
ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tidak aman. Bahkan Departemen
Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja
atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana sebgaian besar dilakukan oleh dukun.
1. Tujuan
- Untuk mengetahui dan memahami tentang aborsi yang terjadi pada remaja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A. Pengertian Aborsi
Aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki
kehamilan itu.
Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran kandungan) yakni
abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme
alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu.
Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab lain
yang pada umumnya gerhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi.
Lain halnya dengan abortus buatan, abortus dengan jenis ini merupakan suatu upaya yang
disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu, dimana
janin (hasil konsepsi) yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di dunia luar.
Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua
golongan yakni :
Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus provocatus
therapcutius, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk
menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari pada untuk menyelamatkan/
menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi
syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis, karena di
dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
Di negara Indonesia, dimana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)
tindakan pengguguran kandungan yang disengaja digolongkan ke dalam kejahatan
terhadap nyawa (Bab XIX pasal 346 s/d 349). Namun dalam undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 Tentang kesehatan pada pasal 15 dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat
sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu.
Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 349 dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun”.
Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal
347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan
dilakukan”.
1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang
lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu
hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan
bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang
dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah
sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut.
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (1) : “Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan
apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan”.
Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin
yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.
Ayat (2)
Butir a : Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil
tindakan medis tertentu, sebbab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan janinnya
terancam bahaya maut.
Butir b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga
yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli
kebidanan dan penyakit kandungan.
Butir c : Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang
bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan
persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan
peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.
Ayat (3) : Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal inidijabarkan
antara lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau
janinnya, tenaga kesehaan mempunyai keahlian dan kewenangan bentuk persetujuan,
sarana kesehatan yang ditunjuk.
Tidak pernah tersedia data yang pasti mengenai jumlah aborsi di Indonesia disebabkan
tidak adanya ketetapan hukum, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan data mengenai
tindakan aborsi terutama yang diselenggarakan secara tidak aman. Akibatnya, aborsi
tidak aman tidak pernah tercatat sebagai penyebab resmi kematian ibu, karena
terselubung dalam perdarahan dan infeksi, dua kategori penyebab yang menyebabkan
lebih dari separuh (55%) kematian ibu (Gunawan, 2000). Analisis lebih jauh data SKRT
1995 menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia,
atau satu dari sembilan kematian ibu. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar lagi,
seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen
Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan kontribusi aborsi terhadap kematian
ibu di Indonesia sebesar 50%.
Padahal pemerintah Indonesia termasuk salah satu dari sejumlah negara yang menyatakan
komitmen terhadap Program Aksi Konferensi Kependudukan (ICPD) di Kairo tahun
1994 untuk menurunkan risiko kematian ibu karena proses reproduksi (kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan). Lima tahun setelah ICPD Kairo 1994, ternyata
Indonesia tidak memperlihatkan hasil yang bermakna atau tidak bisa bergeming dari
posisi sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara. Perbandingan dengan
negara-negara tetangga seAsia Tenggara menunjukkan bahwa AKI 373 per 100,000
kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada Singapura (AKI 10), hampir 5 kali
Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160), Thailand (AKI 200),
dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup). Apalagi kalau digunakan data
perkiraan AKI yang dipakai UNICEF untuk Indonesia, yaitu 650 per 100,000 kelahiran
hidup (Population Action International, The Reproductive Risk Index, 2001).
Strategi untuk menurunkan risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah dengan
menurunkan „demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat dimungkinkan
bila pemerintah mampu menyediakan fasilitas keluarga berencana yang berkualitas
dilengkapi dengan konseling. Konseling keluarga berencana dimaksudkan untuk
membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian informasi yang obyektif untuk
membuat keputusan tentang penggunaan salah satu metode kontrasepsi yang memadukan
aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa menghakimi. Bagi remaja yang belum
menikah, perlu dibekali dengan pendidikan seks sedini mungkin sejak mereka mulai
bertanya mengenai seks. Namun, perlu disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu
ada, sekalipun pasangan menggunakan kontrasepsi. Bila akses terhadap pelayanan aborsi
yang aman tetap tidak tersedia, maka akan selalu ada „demand‟ perempuan terhadap
aborsi tidak aman.
ISLAM
Pertama-tama harus dideklarasikan bahwa aborsi bukanlah semata masalah medis atau
kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan paham
kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak
diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi, dalam
masyarakat mana pun. Data-data statistik yang ada telah membuktikannya. Di luar negeri,
khususnya di Amerika Serikat, dua badan utama, yaitu Federal Centers for Disease
Control (FCDC) dan Alan Guttmacher Institute (AGI), telah mengumpulkan data aborsi
yang menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang dibunuh dalam kasus aborsi di Amerika —
yaitu hampir 2 juta jiwa — lebih banyak dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam
perang mana pun dalam sejarah negara itu. Sebagai gambaran, jumlah kematian orang
Amerika Serikat dari tiap-tiap perang adalah: Perang Vietnam 58.151 jiwa, Perang Korea
54.246 jiwa, Perang Dunia II 407.316 jiwa, Perang Dunia I 116.708 jiwa, Civil War
(Perang Sipil) 498.332 jiwa. Secara total, dalam sejarah dunia, jumlah kematian karena
aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika
digabungkan sekaligus (www.genetik2000.com).
Data tersebut ternyata sejalan dengan data statistik yang menunjukkan bahwa mayoritas
orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain, sah-
sah saja dilakukan. Mereka beralasan toh orang lain melakukan hal yang serupa dan
semua orang melakukannya (James Patterson dan Peter Kim, 1991, The Day America
Told The Thruth dalam Dr. Muhammad Bin Saud Al Basyr, Amerika di Ambang
Keruntuhan, 1995, hal. 19).
Dan ternyata pula, data tersebut selaras dengan data-data pergaulan bebas di Indonesia
yang mencerminkan dianutnya nilai-nilai kebebasan yang sekularistik. Mengutip hasil
survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita
Ilmu Jakarta, Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan
Keluarga Berencana Nasional, di Hotel Sahid Jakarta mengungkapkan ada 42 % remaja
yang menyatakan pernah berhubungan seks; 52 % di antaranya masih aktif menjalaninya.
Survei ini dilakukan di Rumah Gaul Blok M, melibatkan 117 remaja berusia sekitar 13
hingga 20 tahun. Kebanyakan dari mereka (60 %) adalah wanita. Sebagian besar dari
kalangan menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta Selatan (www.kompas.com).
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa aborsi memang merupakan problem sosial
yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang lahir dari paham
sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Terlepas dari masalah ini, hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik
oleh kaum muslimin, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab bagi
seorang muslim, hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh
perbuatannya. Selain itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah
kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam. Allah SWT
berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di
antara mereka.” (TQS An Nisaa` 65)
“Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka.” (TQS Al Ahzab 36)
Pelaksanaan aborsi adalah sebagai berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah
dilakukan. Makin besar makin lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si ibu, cara-
cara yang dilakukan di kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam, biasanya tergantung
dari besar kecilnya janinnya.
Dengan berbagai alasan seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama
adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara lain :
1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah, atau
tanggung jawab yang lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang
hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang
menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak
tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan
dan geliatan anak dalam kandungannya.
Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba
meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah
boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar.
Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidak pedulian seorang wanita, yang
hanya mementingkan dirinya sendiri (www.genetik2000.com). Data ini juga didukung
oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan
bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah),
3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh
dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan
yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri termasuk takut tidak mampu membiayai,
takut dikucilkan, malu, atau gengsi (www.genetik2000.com).
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w.
1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M)
dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan
Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak
bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah
ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan
untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus
dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi
dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru
lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail
Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah
Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil
Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-
93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum
Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi
setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh
terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari
dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian
dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti
membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori
pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut.
Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151)
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al Isra` : 31 )
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia
dibunuh.” (TQS At Takwir : 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa
atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu
tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para
fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Abdul Qadim
Zallum (1998) dan Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih
(kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42
(empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin,
maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi
setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya
belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim
Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning,
Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi
Hidup dan Mati, halaman 45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah
Dalam Islam, halaman 129 ).
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam
adalah hadits Nabi SAW berikut :
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah
mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat
pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu
malaikat itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan)
menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” (HR.
Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter,
diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40
hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat
dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin
yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat
manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih
dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
“Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani
Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-
laki atau perempuan…” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA) (Abdul
Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya
boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum
menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah),
belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat
disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan
perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar
vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma,
sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan
tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan
kehamilan.
Rasulullah SAW telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada
beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak
mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah SAW bersabda kepa¬danya :
“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka ! ” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin,
ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa
keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya
sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan
penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang
diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah : 32)
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan.
Sedangkan Rasu¬lullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah
SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian !” (HR. Ahmad)
“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih
ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh
wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan
sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat
yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel
telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan,
begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah)
menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963)
halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al
ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita,
membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan
ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya
sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan,
niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al
hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya
pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Kesimpulan
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem
sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka
pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang
intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan
menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan
Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.
Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur
kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin
yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang
masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah
jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari
usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram.
Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka
hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Wallahu a’lam [ Ir. Muhammad Shiddiq Al
Jawi ]
REFERENSI
—————————————————————-
1 Disampaikan dalam acara Kajian Ijtihad Kedokteran Kontemporer, diselenggarakan
oleh Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, pada hari Sabtu, 15
September 2001, di Ruang Sidang A FK UNAIR
2 Alumnus Jurusan Biologi FMIPA IPB; Dosen Jurusan Ekonomi Islam STAIN
Surakarta; sekarang sedang mengikuti program Pasca Sarjana di Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta