You are on page 1of 82

Fiksi/ Anak

ys
Favorite Stories for

o
Endang Firdaus

B Favorite

Boys
Endang Firdaus
Apa yang dibutuhkan anak laki-laki pada masa pertumbuhannya? Selain
Stories for
gizi pada makanan yang baik, anak laki-laki juga membutuhkan cerita-
cerita yang membuatnya lebih percaya diri dan bertanggung jawab.
Buku ini berisi cerita yang mengajarkan keberanian, kejujuran, ketabahan,
dan kemandirian yang dibutuhkan anak laki-laki. Cerita tersebut sangat
jarang ada di buku-buku lain. Jadi, buku ini sangat diperlukan. Selain tema-

Favorite Stories for


tema tersebut, buku ini juga;
- diilustrasi dengan sangat menarik sehingga melambungkan
imajinasi,
- ditulis dengan bahasa yang ramah sehingga membuat anak lebih
santun,
- diterbitkan dalam dua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa
ua
Dh
Indonesia sehingga menambah kosakata anak.
Jika cerita-cerita dalam buku ini dibaca anak laki-laki terus menerus, Baasa
sikap dan langkahnya sebagai anak laki-laki akan terarah. Jadi, orangtua
yang memiliki anak laki-laki layak memilih buku ini menjadi bacaan wajib
untuknya!

“Cerita-cerita Ali sederhana,


tetapi selalu menawarkan sesuatu yang berharga
Boys
bagi pendidikan anak-anak kita.”
--Asma Nadia, Penulis dan CEO AsmaNadia Publishing House.
Bunda dari Adam dan Salsa

Imprint Salamadani

Jl. Pasirwangi I No. 3 Bandung 40254


Jawa Barat-Indonesia
Telp: +62 22 522 2052
Faks: +62 22 522 1670
E-mail: redaksi@penerbit-salamadani.com
Website: www.penerbit-salamadani.com
Endang Firdaus

Favorite

Boys
Stories for
Boys
Favorite
Stories for
Hak cipta 2009 oleh Ali Muakhir & Endang Firdaus
Hak cipta dilindungi oleh UU No.19/Th.2002/Republik Indonesia
Hak penerbitan ada pada penerbit
Cetakan I, Februari 2009 M./Shafar 1430 H.

Editor: Krisna Somantri, Farah Istiqomah Alwan


Penerjemah: kucinghujan
Ilustrasi Isi dan Cover: Agus Willy
Desain Isi dan Penata Letak: Ferly Leriansyah
Desain Cover: Ferly Leriansyah

Jl. Pasirwangi I No.3 Bandung 40254


Jawa Barat - Indonesia
Imprint Salamadani Telp. : +62 22 522 2052
Faks. : +62 22 522 1670
E-mail : redaksi@penerbit-salamadani.com
Website : www.penerbit-salamadani.com

ISBN 13: 978-602-8152-98-3


ISBN 10: 602-8152-98-6

Dicetak oleh Karya Kita, Bandung - Indonesia


Daftar Isi
Ketika Ari Cegukan ... 4
When Ari Hiccupped ... 6

Seruling yang Tertinggal ... 8


The Forgotten Flute ... 10

Ayahku Tersesat ... 12


My Father Was Lost ... 14

Keli Mau Main Sepak Bola ... 16


Keli Wants To Play Soccer ... 18

Kalau Kuku Pipi Panjang ... 20


If Pipi’s Nails Are Long ... 22
Timbangan Gajah ... 48
Sri Thanonchai yang Cerdik ... 24 The Elephant Scale ... 50
The Clever Sri Thanonchai ... 26
Ketika Jam Besar Rusak ... 52
Baskom Sirup Bu Darmi ... 28 When Grandfather’s Clock
Bu Darmi’s Syrup Basin ... 30 Is Out of Order ... 54
Ramalan yang Salah ... 32 Asal Mula Permainan Catur ... 56
The Wrong Prophecy ... 34 The History of Chess ... 58
Bekerja Itu Mulia ... 36 Empat Lelaki Botak ... 60
A Noble Thing Called Working Four Baldy Men ... 62
... 38
Sang Naga dan Si Pemakan Api
Kaisar dan Daging Ular ... 40 ... 64
The Emperor and the Snake Meat The Dragon and the Fire Eater
... 42 ... 66
Ksatria, Demon, dan Si Naga ... 44 Perompak di Kolam
The Knight, Demon, and the Dragon Samping Rumah ... 68
... 46 A Pirate at the Pond Beside
the House ... 70

Kisah Sebuah Bus Hijau ... 72


A Tale of A Green Bus ... 74

Mutiara Salju ... 76


The Snow Pearl ... 78

Ketika Ari Cegukan

H
ari ini udara dingin sekali. Ari rasanya ingin makan
terus.
“Ari lapar, Ma,” kata Ari sambil duduk di meja
makan.
Mama yang sejak tadi baca
buku langsung tersenyum dan
mengambilkan makan untuk Ari.
Mama senang sekali kalau Ari makan
terus. Berarti Ari sehat, tidak sakit.
“Mau makan pakai lauk apa?”
tanya Mama sambil meletakkan piring
berbentuk ikan mas koki, yang telah
diisi nasi.
“Mmm ..., pakai tempe sama sayur
sop,” jawab Ari.
Mama mengambilkan lauk dengan
senang.
“Terima kasih, Ma,” ucap Ari.
“Makan yang kenyang, ya, Sayang,”
kata Mama sebelum meninggalkan Ari
dan meneruskan membaca buku.
Sebelum makan, Ari berdoa terlebih
dahulu. Ari makan dengan sangat lahap, sampai-sampai
dia lupa minum. Akibatnya ... “Huk!” Ari cegukan. Ari
langsung mengambil air lalu meminumnya.
Ari kembali makan dengan lahapnya dan lagi-
lagi ... “Huk!” Ari cegukan. Ari mengambil air dan
meminumnya.
Ari kembali makan meskipun kali ini napasnya agak
sesak.
Alhamdulillah, akhirnya Ari selesai makan juga. Setelah
mencuci tangan Ari menemui Mama yang masih membaca.
Saat duduk di sebelah Mama, tiba-tiba ... “Huk!” Ari
kembali cegukan.

4
“Ari belum minum?”
tanya Mama.
Waduh, Ari menepuk
kepalanya. Lupa! Ak-
hirnya, Mama mengam-
bilkan air untuk Ari.
“Coba minum yang
banyak, Sayang,” kata
Mama sambil memberi-
kan air minum yang agak
hangat.
Ari langsung me-
neguknya hingga habis.
Akan tetapi, tidak lama
kemudian Ari cegukan
lagi. Wah, ada yang
tidak beres, nih? Kata Ari
dalam hati. Mama buru-
buru mengelus-ngelus
punggung Ari.
“Coba Ari hirup udara sebanyak-banyaknya, lalu tahan,”
kata Mama.
Ari mengikuti apa yang dikatakan Mama. Dia menghirup
udara sebanyak-banyaknya, lalu menahannya.”
“Mama hitung sampai sepuluh kali baru dilepas, ya,
Sayang.”
Ari menganguk-angguk.
“Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ...
tujuh ... delapan ... sembilan ... sepuluh.”
Fuuuh! Ari melepas napas pelan-pelan. Setelah
menunggu lima menit, Ari tersenyum senang.
Dia tidak cegukan lagi. Sekarang dadanya terasa
lapang.

5
When Ari Hiccupped

I
t was so cold, made Ari want to eat all the time.
“Ma, I’m hungry,” Ari said, sitting around the dining
table.
Mama who was reading, smiled and got him some
food to eat. She was so
pleased whenever Ari
asked for food. It means
he’s healthy.
“What do you want
to eat?” Mama asked,
putting down a golden
fish shaped plate filled
with rice.
“Uhm, tempe and
soup,” he answered.
Mama then gave it to
him.
“Thank you, Ma,” Ari
said.
“Enjoy your meal,
dear,” Mama replied
before leaving him and
continued to read.
Ari prayed first and
ate his meal quickly, so
quickly that he forgot
to drink. “Hik!” He
hiccupped. Immediately
he drank and continued to eat. But then, again, he
hiccupped.
He still ate his meal even though he was a little hard to
breathe.

6
Alham d u l i l l a h
he could finish it.
Washed his hands,
Ari approached
his mom who was
reading. And then
… “Hik!”
“Have you got
your drink?” Mama
asked.
Ari hit his head
gently. He has
forgotten! Mama
then got it for him.
“Drink a lot,
dear,” Mama said,
passing over the
warm water to Ari.
He drank it but
a few minutes later
he began to hic-
cup again. There
must be something
wrong, Ari thought. Mama immediately rubbed his back.
“Try to inhale as many air as possible, and hold it for a
while,” Mama suggested.
“I’ll count it to ten, and then you can exhale.
Okay, dear?”
Ari nodded his head.
“One … two … three … four … five … six …
seven … eight … nine … ten.”
Phew! Ari slowly exhale. To ensure himself, Ari
waited for five minutes. And it worked. He didn’t
hiccup anymore that he could breathe easily.

7
Seruling
yang Tertinggal

D
i tepi hutan tiba-tiba terjadi keramaian
karena ada benda yang membuat
penasaran. Benda itu bentuknya panjang, tidak
berkepala, tidak punya mata, hidung, mulut, telinga,
tangan, dan kaki.
“Apa dia bisa bicara?” tanya Tupai penasaran.
“Dia tidak punya
mulut, pasti dia tidak
bisa bicara,” jawab
Monyet.
“Apa dia bisa
bernyanyi?” tanya
Kura-kura.
“Apalagi bernyanyi,
berbicara saja tidak
bisa,” jawab Kelinci.
Kelinci mendekat
lalu memegang benda
itu. Aneh, badannya
penuh lubang. Jangan-
jangan ia sudah mati
karena tertembak
peluru.
“Teman-teman, dia
tidak bergerak. Apa
dia sudah mati?” kata
Kelinci beberapa saat
kemudian.
“Apa yang mati
teman-teman?” tiba-
tiba Kucing datang.

8
“Benda itu!!!”
jawab Tupai,
Monyet, Kura-kura,
dan Kelinci secara
bersamaan.
Kucing kemudian
m e m e g a n g
benda itu. Karena
penasaran, ia meniup
satu persatu lubang
yang memenuhi
benda itu. Ternyata
bunyinya nyaring!
“Wah, benda
itu ternyata bisa
bersuara! Coba
kamu tiup lagi!”
teriak Kelinci.
Kucing meniup
kembali, kali ini di-
sertai dengan tepuk-
an tangan, pukulan
kayu, dan benda-benda di sekitar mereka, sehingga me-
nimbulkan irama riang. Apalagi, Kelinci yang suaranya
merdu sekarang bernyanyi. Mereka tidak menghiraukan
lagi apa nama benda yang mereka temukan.
Apakah kalian tahu nama benda itu? Kalau kalian tahu,
coba beritahu mereka kalau benda yang mereka temukan
adalah seruling!

9
The Forgotten
Flute

T
here was a crowd at the forest side because there’s
something unusual, a strange object. It has a long
shape, no head, no eyes, nose, mouth, ears, hands,
or legs.

10
“Can he talk?” Squirrel
asked.
“He cant since he doesn’t
have mouth,” replied
Monkey.
“Can he sing?” asked
Turtle.
“He can’t even talk, let
alone sing,” Rabbit answered.
Rabbit then drew nearer
to the strange object and
touched it. It’s odd. His body
full of holes. What if he’s dead
of shot?
“My dear friends, he
doesn’t even move. Is he dead
already?” asked Rabbit.
“What’s dead?” suddenly
Cat appeared.
“That thing!!!” answered Squirrel, Monkey, Turtle, and
Rabbit in choir.
Cat touched it. Feeling curious, he then blew the holes
one by one. the sound was so loud!
“Wow, it has sound! Blow it again!” Rabbit exclaimed.
Cat blew it again, but this time there’re claps and other
kinds of instantly made instruments, such as the wood. It
produced a joyful melody. The beautiful voiced Rabbit
also sang. They completely ignored the strange object they
found.
Do you know its name? If you know, let them know that
the strange thing they found is a flute.

11
Ayahku Tersesat

N
amaku Nada. Sekarang umurku tiga tahun
enam bulan. Aku suka sekali dengan buku
karena setiap malam ayahku membacakan
buku untukku. Kalau Ayah tidak ada di rumah,
biasanya Bunda yang menggantikannya.
Ada satu buku yang aku suka, judulnya “Jalan-Jalan ke
Supermarket”.
“Supermarket itu apa, Yah?” tanyaku
kepada Ayah karena aku tidak tahu.
“Supermarket itu toko yang
saaangat besar, yang menjual segala
macam barang,” jelas Ayah sambil
merentangkan tangan menggambarkan
betapa besarnya supermarket.
Di dalam buku, disebutkan juga pusat
informasi. Aku memegang kepalaku
karena tidak mengerti dan kembali
bertanya kepada Ayah.
“Oh, pusat informasi itu ...,” Ayah
berhenti sejenak, “tempat untuk
pemberitahuan kepada pengunjung.
Misalnya, kalau ada yang tanya tempat
jual makanan, ada yang kehilangan,
ada penurunan harga barang, kalau kita
tersesat, dan sebagainya,” lanjut Ayah cukup panjang.
Aku tersenyum mendengar penjelasan Ayah. Lalu,
aku minta Ayah mengantarku ke supermarket. Aku ingin
mengetahuinya. Hari itu juga, Ayah mengantarku ke sana.
“Ini yang namanya pusat informasi,” bisik Ayah sambil
menunjuk sebuah meja yang ditunggui oleh seorang
perempuan berpakaian rapih.
Aku mengangguk-angguk. Kemudian aku masuk ke
beberapa toko bersama Ayah, melihat semua barang yang

12
ada di sana. Hingga, ketika sudah semakin lama
aku kehilangan Ayah.
Aku melihat ke kiri, ke kanan, ke belakang,
Ayah tidak ada. Aku coba mencarinya ke beberapa
tempat, Ayah tetap tidak ada. Aduh, aku rasanya
ingin menangis.
Akhirnya karena tidak ketemu juga, aku
mendatangi pusat informasi, siapa tahu bisa membantu.
Kusebutkan keinginanku mengunjungi pusat informasi
kepada orang perempuan yang berjaga di sana.
“Pengumuman, kepada Ayah Ali ditunggu Nada di pusat
informasi,” tidak lama kemudian terdengar pengumuman
dari penjaga pusat informasi.
Hihi, aku tersenyum. Nama Ayah dan namaku disebut
berkali-kali, pasti semua pengunjung mendengarnya.
“Nada, aduh ...,” sekitar sepuluh menit kemudian Ayah
datang ke pusat informasi.
Aku berkacak pinggang di
depan Ayah, “Ayah jalannya ke
mana saja? Ayah kok, hilang,
sih? Ayah tersesat, ya?” kataku.
Ayahku bukannya menjawab
malah bengong. Aku dan Ayah
lantas melanjutkan melihat-
lihat supermarket, setelah
Ayah mengucapkan terima
kasih kepada penjaga pusat
informasi.
Kalian pernah mengunjungi
pusat informasi? Kalau belum,
segera kunjungi, ya, supaya
mudah mencari Ayah kalau Ayah
kalian tersesat di supermarket.

13
My Father Was
Lost
M
y name’s Nada. I’m a three year-six month
old boy. I love books because my dad always
read it for me every night. When dad’s not
home, mom will read it.
I have one favorite book entitled “Going to the
Supermarket.”
“What is supermarket, Dad?” I asked my dad.
“Supermarket is a very huge shop that sells every little
thing you need,”
Dad once explained
to me, spreading
out his hands to
imitate how large a
supermarket is.
There’s also an
information center.
I asked him again.
“Oh, an
information center
is …,” Dad stopped
for a while, “a
place to inform the
customers about
the food aisle,
missing belongings,
discounts, lost
people, and other
things.”
I smiled. Then,
I asked my dad
to take me to the
supermarket so that
I could know it even
better.

14
“This is the information center,” Dad whispered,
pointing out to a desk with a well-dressed lady
near it.
I nodded. After that we got into the supermarket,
window-shopping. Soon I realized I lost my dad.
I turned my head to the left, right, back. He’s
gone. I tried to look for him in several places. But
he’s still not there. Gosh, it made me want to cry.
Aha, I got an idea! I went to the information center and
told the lady about my problem. Who knows she could
help.
“Attention please. To Mr. Ali, your son Nada is waiting
for you at the information center,” the announcement
echoed.
Hihihi, I smiled since my dad’s and my name had been
mentioned for several times.
People must’ve heard it.
Around ten minutes later
Dad came, “Oh my, Nada ….”
“Where have you been,
Dad? Are you lost?” I asked,
with my hands on the hips.
Instead of answered it, Dad
looked confused and said
nothing. We continued our
window-shopping after he
thanked the lady.
Have you ever been to
the information center? If
you haven’t, give it a shot so
that you can find your dad
easily when he gets lost in the
supermarket.

15
Keli Mau
Main Sepak Bola

S
etiap anak-anak main sepak bola, Keli –si kelinci kecil
pasti duduk manis di pinggir lapangan. Ia ingin main,
tetapi selalu dilarang.
“Kamu masih kecil,” kata Doba –si kambing gibas.
“Kaki kamu pasti belum kuat menendang bola,” kata
Pepi –si sapi perah. “Jadi, lebih baik kamu duduk di pinggir
lapangan, melihat kami main sepak bola,” lanjutnya.
Keli sedih, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain
menuruti apa yang dikatakan Pepi.
Teman-teman tidak
tahu kalau sebenarnya
Keli pandai main sepak
bola. Setiap pagi, Keli
berlatih sendirian di
halaman rumahnya.
Pernah, suatu kali
Keli memaksa ikut,
akibatnya, permainan
sepak bola dibatalkan.
Teman-teman Keli ti-
dak mau main dengan
Keli yang masih kecil.
Mereka takut kaki Keli
keseleo atau malah
patah hanya gara-gara
nendang bola.
Hingga suatu
hari, sewaktu bola
melambung jauh ke
pinggir lapangan, tiba-
tiba bola hilang. Sudah

16
dicari ke sana-
kemari, bola tetap
tidak ditemukan.
“Mungkin masuk
lubang,” kata Keli
tiba-tiba.
Di pinggir la-
pangan memang
ada lubang. Keli
coba masuk. Dan
benar saja, Keli
menemukan bola
di dalam lubang.
“Wah, terima
kasih Keli,” kata
Doba.
“Sama-sama,”
balas Keli.
“O iya teman-
teman, sebagai
hadiah, bagaimana
kalau kita ajak keli
main bola?” kata
Doba lagi.
Pada awalnya semua terdiam, tetapi kemudian satu
persatu memperbolehkan.
Apa yang terjadi kemudian setelah Keli masuk tim?
Permainan sepak bola semakin ramai karena Keli memang
jago main sepak bola. Bahkan, beberapa kali memasukkan
gol ke gawang lawan!

17
Keli Wants
to Play Soccer

K
eli, the little rabbit always sat by the field when every
other kids played soccer. He really wanted to play,
but they forbade him.
“You’re still young,” said Doba, the sheep.
“Your legs haven’t strong enough to kick the ball. It’s
better for you to sit by the field, watching us playing,”
argued Pepi, the cow.
Keli was truly sad, but he could do nothing.
His friends had no idea that Keli was so skilled in playing
soccer. He practiced every morning at the house yard.
There was a time when Keli insisted to play. As a
consequence, the game was called off. They didn’t want to
play with the little Keli since
they were afraid that Keli
might hurt himself, such as
breaking his legs.
One day the ball was
missing when one of the kids
kicked it out of the field. They
had looked for it everywhere
but to no avail.
“Probably it’s in a hole,”
Keli said abruptly.
There was indeed a hole
by the field. Keli tried to get
in there, and he found it.
“Thank you so much, Keli,”
Doba said.
“My pleasure,” Keli
replied.

18
“Friends, what if we ask Keli to join us?” Doba
suggested.
At first nobody spoke. But a few minutes later, one by
one agreed.
What happened next? The soccer game became more
marvelous since Keli was indeed skilled at it. He also made
some goals!

19
Kalau Kuku Pipi
Panjang

P
ipi si Harimau kecil senang sekali punya kuku yang
panjang. Berkali-kali induknya ingin memotongnya,
tetapi Pipi tidak mau.
“Pipi takut kalau kuku Pipi dipotong,” kata Pipi
sambil menyembunyikan kuku-kukunya di belakang
punggungnya.
“Takut apa?” tanya induknya.
“Takut tidak tumbuh lagi,” jawab Pipi.
Mendengar jawaban Pipi, induknya tersenyum, “Siapa
bilang? Kuku-kuku kita kalau dipotong pasti tumbuh lagi,”
katanya.
Pipi tetap tidak mau.
“Kalau tidak dipotong nanti banyak kuman diam di sana,
Pipi. Kadang-kadang juga membahayakan Pipi dan teman-
teman Pipi.”
Pipi menggeleng. Kali ini sambil menghentak-hentakkan
kakinya. “Selain takut tidak tumbuh lagi, Pipi juga takut
kesakitan,” katanya.
Induk Pipi menggeleng-geleng-
kan kepala. Tidak tahu lagi,
bagaimana cara menyuruh Pipi
potong kuku. Akhirnya, induk
Pipi membiarkan kuku-kuku Pipi
panjang-panjang.
Beberapa hari kemudian ...
ketika Pipi mandi di sungai, tiba-
tiba badannya merasa nyeri, seperti
ada yang mengiris kulitnya. Pipi
mengaduh sambil meringis.
“Kamu kenapa, Pipi?” tanya induk
Pipi yang juga sedang mandi.
“Kulit Pipi rasanya perih,” jawab
Pipi.

20
Induk Pipi mengajak Pipi ke darat,
lalu melihat badan Pipi. Ternyata di
beberapa bagian badan Pipi ada
goresan-goresan kecil. Padahal,
Pipi baru bangun tidur. Siapa yang
menggores badan Pipi?
“Ibu tahu,” kata induk Pipi, “ini
pasti karena kuku panjang Pipi,”
lanjutnya.
Pipi mengerutkan kening, tidak
mengerti. Lalu, induknya cerita
kalau kadang-kadang, ketika tidur,
kita tidak sadar menggaruk badan
kita. Karena kuku kita panjang,
akibatnya badan yang kita garuk
tergores.
“Dan, goresan itu akan terasa perih kalau kena air,”
induk Pipi mengakhiri penjelasannya.
O ... Pipi mengangguk-angguk paham.
“Jadi bagaimana? Kuku Pipi mau dipotong apa tidak?”
tanya induk Pipi sambil tersenyum.
Akhirnya, saat itu juga, selesai mandi, Pipi mau kukunya
dipotong. Walaupun pada awalnya Pipi agak takut, tetapi
setelah satu kukunya dipotong Pipi merasa lega. Ternyata
tidak sakit.
“Ibu tidak bohong, kan, kalau nanti kuku Pipi akan
tumbuh lagi?” tanya Pipi setelah semua kukunya dipotong
pendek.
“Ibu tidak pernah bohong, Sayang. Kalau tidak percaya,
tunggu saja beberapa hari lagi, pasti kuku Pipi akan tumbuh
lagi,” jawab Induk Pipi sambil mencium sayang Pipi.
Duh, Pipi jadi semakin lega. Selain sekarang kukunya
sudah pendek dan tidak membahayakan dirinya, dia juga
dapat ciuman sayang.
Hihihi ...

21
If Pipi’s Nails
Are Long

P
ipi the little tiger was so happy that he had long nails.
Many times his mother wanted to cut it, but Pipi
refused.
“I’m afraid to cut it,” Pipi said, hiding his nails behind
his back.
“What are you afraid of?”
“I’m afraid that it won’t grow anymore,” Pipi answered.
Hearing that, his mother smiled and said, “Says who?
It’ll grow again, even if we cut it regularly.”
However, Pipi was persistent with his choice.
“There can be a lot of germs if you don’t cut it. The
germs will harm you and your friends,” Mama persuaded
Pipi.
Shaking his head and stomping, Pipi answered, “I’m
afraid it’ll hurt too.”
Helplessly his mother
let his nails get longer and
longer.
A few days later, when
Pipi was having a bath at the
river, he felt sore on his body,
felt like something scratched
his skin. Pipi then moaned.
“What’s wrong, Pipi?”
asked his mother who was
taking a bath, too.
“I feel sore on my body.”
His mother asked him to
finish his bath as soon as
possible. She then looked at
it. There were some scratches
on his body. Who scratched

22
Pipi since he’s just
woken up?
“I know the reason.
It’s because of your
long nails,” explained
Pipi’s mother.
Pipi frowned
because he didn’t get
it. His mother told him
that we sometimes
scratch our body
unconsciously when
sleeping. Since we
have long nails, our
body got scratches.
“And, it’ll be sore
if it gets wet,” his
mother ended her
explanation.
O … Pipi under-
stood.
“So? Do you want
to cut it or not?”
Finally, right after taking bath, Pipi had his nails cut. At
first he felt afraid. It was all good.
“You tell me the truth that my nails will get longer again,
right?” asked Pipi to his mother.
“I’ll never lie to you, dear. You’ll see in a couple of days,”
Mother answered.
Phew, Pipi felt so relieved. He had short nails that
wouldn’t hurt him and also, an affectionate kiss from his
mother.
Hihihi ….

23
Sri Thanonchai
yang Cerdik

S
ri Thanonchai seorang yang pandai. Ia juga
amat sederhana dan tidak sombong. Orang
mengaguminya.
Ketika Raja mendengar tentang Sri Thanonchai, ia tidak
percaya. “Akulah yang terpandai,” tukas Raja. “Tak ada
orang yang lebih pandai daripada aku.”
Raja bermaksud untuk mendatangi Sri Thanonchai.
Dikenakannya pakaian yang lusuh. Dengan mengendarai
gajah kesayangannya, ia lalu pergi ke rumah Sri
Thanonchai yang berada di tepi sebuah sungai. Setiba di
sana, didapatinya Sri Thanonchai sedang asyik duduk di
tangga rumahnya.
“Gajah Tuan sungguh bagus,” ujar Sri Thanonchai.
“Ini gajah kesayangan Raja. Aku bekerja kepadanya.”
“Tuan pasti orang yang amat pandai.”
“Aku seorang menteri. Kepandaianku menyamai
kepandaian Raja.”
“Ah, tidak mungkin kepandaian Tuan menyamai
kepandaian Raja. Tak seorang pun yang bisa menyamai
kepandaian Raja,” tukas Sri Thanonchai.
“Orang banyak berpendapat seperti itu,” ucap Raja.
“Tapi, sebenarnya tidak begitu. Aku
dengar kau pun orang yang amat pandai.
Dan jika kau lebih pandai daripada aku,
berarti kau lebih pandai daripada Raja.”
“Apa yang akan Tuan ujikan?”
“Begini,” berkata Raja. “Aku yakin kau
tidak cukup pandai untuk bisa membuatku
mau terjun ke sungai.”
Sri Thanonchai berpikir. Diper-
hatikannya sungai, lalu diperhatikannya
Raja. Menggaruk-garuk kepala, ia lalu
berkata “Saya benar-benar tidak bisa

24
membuat Tuan mau terjun ke sungai. Sukar
sekali,” keluhnya.
“Jadi, aku lebih pandai darimu,” cetus
Raja senang.
Sri Thanonchai memerhatikan Raja.
Dialihkannya pandangan ke sungai.
Ucapnya, “Saya memang tidak cukup
pandai untuk membuat Tuan mau terjun ke
sungai. Dan mungkin, akan lebih sulit lagi
membuat Tuan yang berada di sungai untuk
mau naik ke darat. Hanya orang yang paling
pandai yang dapat melakukannya. Tapi, saya
merasa dapat melakukan hal itu.”
Mendengar itu, Raja cepat terjun ke sungai. Teriaknya,
“Nah, apakah kau cukup pandai untuk membuatku mau
naik dari sini?”
Sri Thanonchai tertawa. “Hahaha! Tuan dapat tinggal di
situ selama saya kehendaki,” katanya. “Saya tadi membuat
Tuan mau terjun ke sungai. Tentu mudah sekali membuat
Tuan naik ke darat.”
Raja berenang ke tepi, lalu naik ke darat. “Sri Thanonchai,
kau lebih pandai dari aku. Kau adalah orang yang paling
pandai di negeri ini.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Tahukah kau siapa aku sebenarnya, Sri Thanonchai?”
tanya Raja.
“Tidak, Tuan.”
“Aku adalah Raja.”
“Oh, maafkan hamba,” ucap Sri Thanonchai memberi
hormat. “Hamba telah berlaku kurang ajar kepada
Tuanku.”
“Tidak apa,” ucap Raja. “Kau telah membuat mataku
terbuka lebar, bahwa di dunia banyak orang pandai. Kini
kau ikutlah ke istana untuk menjadi penasihatku sehingga
kepandaianmu dapat membantu negeri ini.”

25
The Clever
Sri Thanonchai

S
ri Thanonchai is a very clever, modest, and humble
person. People admire him.
However, the King didn’t believe it when he heard
the news. “I’m the cleverest. No one can beat me,” the
King said boastfully.
Then he decided to go on a disguise to Thanonchai’s
house, riding on his lovely elephant. Arriving there,
Thanonchai was sitting at the stair.
“Your elephant looks so magnificent,” Sri Thanonchai
said.
“This belongs to the King. I work for him.”
“You must be very clever.”
“I’m a prime minister. My intelligence is almost as the
same as the King.”
“No way. There’s no one who can beat the King’s
intelligence,” argued Sri Thanonchai.
“Many people arise the same opinion as yours. It’s not
indeed. I heard that you’re the cleverest. If you’re cleverer
than me, you’re cleverer than the
King.”
“How will you test me?”
“Well, I’m sure you’re not clever
enough to make me jump into the
river,” said the King.
Thanonchai thought the way.
He stared at the river, and then the
King. Scratching his head as if it
was itchy, Thanonchai said, “I can’t
make you jump into the river. It’s a
hard thing to do.”
“It means I’m clever than you,”
the King exclaimed.

26
Sri Thanonchai then
looked at the King and
the river. “I’m indeed not
clever enough to make you
jump into the river. And it’ll
be even harder to get you
out of the river. Only the
cleverest man can do that.
But I think I can do it.”
Suddenly the King
jumped into the river
and said, “Are you clever
enough to make me get
out of the water?”
“Hahaha! You can stay
there as long as I want since
I can make you jump. It’s
easy to get you back here,”
Thanonchai answered.
After that the King swam
to the riverbank. “Sri Thanonchai, you’re cleverer than me.
You’re indeed the cleverest in the land.”
“Thank you, Sir.”
“Do you know who I really am, Sri Thanonchai?”
“No, Sir.”
“I’m the King.”
“Oh, I beg your apologize, Your Highness. I’ve been so
rude,” Sri Thanonchai apologized.
“That’s okay. You make me see that there’re a lot of
clever people in this world. Come, be my advisor with
your intelligence,” said the King.

27
Baskom Sirup
Bu Darmi

K
abul sangat gembira. Ia baru saja mendapat
puding besar. Ia ingin memakannya. “Sebelum
memakannya,” Kabul bergumam, “aku ingin
puding ini ditaburi sirup yang nikmat. Aku tahu di mana
bisa mendapatkan sirup itu. Ya, di toko kembang gula Bu
Darmi!”
Kabul pergi ke toko itu. Ia mengintip melalui jendela.
Tampak sebuah baskom besar. Di baskom itu tertera tulisan
‘sirup’. Bu Darmi tak ada. “Aku akan masuk ke dalam dan
menaburi pudingku dengan sirup,” pikir Kabul nakal. Ia
pun masuk ke dalam. Pudingnya diletakkan di meja, lalu
diambilnya baskom itu.
Dimiringkannya untuk
menuangkan sirup.
Aneh! Sirup tak mau
mengalir.
Tiba-tiba, Kabul
mendengar Bu Darmi
datang. Tak ada waktu
buatnya untuk lari. Di-
ambilnya puding mi-
liknya dan ia bersem-
bunyi di balik kursi.
Dilihatnya Bu Darmi
membawa nampan
berisi puding. Bu Dar-
mi kemudian meng-
ambil baskomnya.
Ditatapnya baskom
itu sambil bernyanyi:
“Sirup, yang kupegang
dan kutatap, mengalir-
lah dari baskom.”

28
Sirup pun mengalir. Bu Darmi menaburi pudingnya
dengan sirup itu. Kabul sangat takjub melihat itu. Baskom
sirup ajaib, pikirnya. Ketika Bu Darmi pergi, Kabul
mencuri baskom itu. Dibawanya pulang. Setiba di rumah,
segera diletakkannya pudingnya di meja. Dipegangnya
baskom itu. Diingatnya kata-kata ajaib yang diucapkan Bu
Darmi. Lalu serunya: “Sirup, yang kupegang dan kutatap,
mengalirlah dari baskom.”
Sirup pun mengalir dan menaburi puding. “Hebat!” seru
Kabul senang. “Cukup baskom ajaib. Berhentilah!” seru
Kabul kemudian. Namun, baskom tak mau berhenti meng-
alirkan sirup. “Berhenti!”
teriak Kabul. Sia-sia.
Baskom sirup kemudian
melayang terbang. Sirup te-
rus mengalir. Seketika kamar
Kabul digenangi sirup yang
lengket. Tubuh Kabul pun
berlumur sirup. Tiba-tiba
pintu rumah Kabul terbuka.
Bu Darmi dan Pak RT
masuk. Bu Darmi kemudian
bernyanyi: “Mendatar, tegak,
bawah, atas, baskom sirup,
berhentilah!”
Baskom sirup berhenti
bergerak, lalu jatuh di atas
genangan sirup. Pak RT sa-
ngat marah, “Kabul, kau
sungguh nakal. Dan kau telah
mendapat hukuman setimpal.
Kau perlu waktu berhari-hari
untuk membersihkan genangan sirup ini.”
Benar. Kabul memang perlu waktu berhari-hari
membersihkan genangan sirup itu. Sejak itu ia pun jera
berbuat nakal.

29
Bu Darmi’s
Syrup Basin

K
abul was so happy because he got a big slice of
pudding. “Before I eat it, I want to pour delicious
syrup on it. I know where I can buy the syrup. Yeah,
at Bu Darmi’s candy shop!” Kabul murmured.
Then off he went to the shop. Peeking into the shop,
Kabul saw a big basin with a writing ‘syrup’ on a side of it.
“Bu Darmi isn’t here. I can go inside and pour my pudding
with the delicious syrup,” he thought. Kabul put his pudding
on the table and picked up the basin. He slowly poured it,
but a strange thing
happened! It’s
stuck!
Suddenly he
heard Bu Darmi
coming. There’s
no time to run
away. He grabbed
his pudding and
hid behind the
chair. Bu Darmi
brought a tray
full of pudding
and got her syrup
basin. Then she
sang: “Syrup that
I hold and stare,
please flow out of
the basin.”
Bu Darmi
poured her
pudding out with
the syrup. Kabul

30
was amazed. A magical syrup basin, he thought. Right after
Bu Darmi went away, Kabul stole the basin. Arriving at
home, he put his pudding on the table and began to sing,
“Syrup that I hold and stare, please flow out of the basin.”
The syrup flowed and poured out the pudding. “Cool!”
Kabul exclaimed. “That’s enough, magical basin. Please
stop!” However, the basin didn’t stop to pour out the
syrup. “Stop!” Kabul
screamed to no avail.
The basin then flew
around, pouring the
syrup all over Kabul’s
bedroom. It made his
bedroom and body
sticky. All of a sudden,
the house door was
opened. Bu Darmi
and Pak RT came in.
Bu Darmi then sang,
“Land, straight, down,
up, syrup basin, please
stop!”
It stopped and
dropped on a syrup
puddle. Pak RT be-
came so angry. “Ka-
bul, you’re so naugh-
ty! And you got the
punishment. It’ll take
you for days to clean
up the mess.”
Yeah, that’s true.
Kabul needed days to clean it up. He promised to be good
since then.

31
Ramalan
yang Salah

D
i daerah Khurasan, India, tinggallah seorang
saudagar dan istrinya. Abu, nama saudagar itu.
Mereka tak mempunyai anak. Itulah yang membuat
sedih Saudagar Abu dan istrinya.
Suatu hari, sepulang berniaga, Saudagar Abu menemukan
seorang bayi laki-laki di muka pintu rumahnya. Cepat ia
membawanya masuk dan menyerahkannya kepada istrinya.
Seperti halnya Abu, sang Istri senang sekali. Mereka pun
menjadikannya sebagai anak sendiri. Bayi itu diberi nama
Ali. Mereka merawat dan mengasuhnya dengan penuh
kasih sayang.
Waktu berjalan, Ali tumbuh menjadi pemuda yang
tampan. Suatu hari, Hasyim, sahabat Saudagar Abu, datang
ke rumah Abu. Sahabat yang peramal itu lalu berkata,
“Abu, kau harus mengusir anakmu dari rumah ini sebab
kelak ia akan jadi penjahat besar dan akan membuatmu
susah!”
Saudagar Abu dan istrinya sangat sedih. Mereka begitu
percaya pada apa yang telah dikatakan
Hasyim. Selama ini, ramalan Hasyim
tak pernah salah.
Setelah memberi bekal yang cukup,
Abu dan istrinya dengan berat hati
menyuruh Ali pergi jauh-jauh.
Tahun-tahun berlalu. Jauh di Negeri
Syam, Ali telah menjadi seorang
saudagar kaya. Semua berkat uang
pemberian orangtua serta kerja
kerasnya. Meski kekayaannya melebihi
kekayaan Saudagar Abu, Ali tidaklah
sombong. Kemurahan hatinya menjadi
pembicaraan orang.

32
Suatu hari, Raja Syam mengundang
Ali ke istana. Raja ingin mengenal
orang yang telah menjadi pembicaraan
banyak orang di negerinya.
Ali pun datang memenuhi.
“Anak muda,” ucap Raja kepada
Ali. “Terima kasih atas kesediaanmu
memenuhi undanganku. Aku
memintamu ke mari karena aku
ingin mengenalmu lebih banyak.
Engkau begitu termasyur di negeri
ini. Kemurahan hatimu menjadi
pembicaraan setiap orang. Maukah
engkau menceritakan bagaimana
engkau yang masih muda begini bisa
menjadi seorang saudagar yang sangat kaya?”
“Dengan senang hati, Paduka.” Ali pun menceritakan.
“Hebat!” puji Raja seusai itu pada Ali. “Aku sangat
kagum pada kerja kerasmu. Orang sepertimulah yang aku
butuhkan untuk kemajuan negeri ini. Maukah engkau
menjadi salah seorang penasihatku?” pinta Raja.
Ali tak menolak. Ia pun tinggal di istana sebagai penasihat
Raja.
Suatu hari, Ali pergi ke Khurasan untuk menemui
orangtuanya. Setiba di sana, Saudagar Abu dan istrinya
sangat gembira melihatnya kembali. Kebetulan, Hasyim
juga berada di sana. Ali menceritakan pengalamannya
panjang lebar. Sementara Hasyim sangat malu dengan apa
yang telah diramalkannya tempo dulu. Dan tanpa permisi
ditinggalkannya rumah saudagar Abu.
Sejak itu, Saudagar Abu dan istrinya tak lagi percaya
pada apa yang dikatakan tukang ramal.

33
The Wrong
Prophecy

T
here were a merchant and his wife in Khurasan, India.
His name was Abu. They hadn’t have any child. It
broke their hearts.
One day, on his way home, Abu found a baby boy at his
front door. Quickly he got into the house and gave it to his
wide. Likewise, she was so happy. They treated him like
their own. The baby was named Ali. They took care of him
affectionately.
As the time went by, Ali grew become a handsome young
man. One day, there’s a friend of Abu named Hasyim came.
He’s a fortune-teller. Hasyim said, “Abu, you must get rid
of him because he’ll be a notorious villain. It’ll put you in
danger!”
The prophecy of course
made them sad. Abu and his
wife believed the prophecy
since Hasyim had never
been wrong.
Giving Ali enough food
and money for the journey,
Abu and his wife reluctantly
told him to go.
Years gone by and Ali had
become a rich merchant in
Syam. It’s all because his
parents’ money and also his
hard work. Ali had always
been down to earth even
though he’s richer than
his father. His generosity
became the main topic in
every corner of the land.

34
One day King Syam
invited Ali to the palace.
He wanted to know
more about Ali.
Ali came.
“Young man, thank
you for willing to
come. I invite you
because I want to know
more about you. Your
generosity makes you
so famous in this land.
Would you please tell
me how you become
a rich merchant in a
young age?” the King
asked Ali.
“Of course, Your
Highness.” And the
story went.
“Bravo! I admire your
hard work. We need someone just like you to develop this
land. Would you like to be one of my advisors?” asked the
King.
Ali accepted it. He lived in the palace since then.
On one beautiful day, Ali went to Khurasan to see his
parents. Abu and his wife were extremely pleased to see
him again. There was also Hasyim. Ali then told them his
experience. Hasyim became so ashamed because of his
wrong prophecy. Without saying anything, he left Abu’s
house.
Abu and his wife had never believed any prophecy since
then.

35
Bekerja Itu
Mulia

A
da seorang saudagar yang kaya karena peninggalan
orangtuanya. Rumahnya banyak dan kebunnya luas.
Dengan kekayaannya, saudagar itu mempunyai
banyak teman. Bahkan, Raja pun mengenalnya dengan
baik. Sering ia menginap di istana sebagai tamu Raja.
Malang.
Gempa bumi yang dahsyat yang disertai banjir besar
meludeskan harta benda saudagar itu. Ia pun jatuh miskin.
Istrinya lalu menasihatinya agar mencari pekerjaan. Tetapi,
saudagar itu lebih suka meminta bantuan kepada teman-
temannya. Kasihan. Teman-temannya cuma menyatakan
duka cita atas kemalangannya. Tak seorang pun mau
membantunya.
Saudagar itu akhirnya menemui Raja untuk meminta
bantuan. Raja amat iba dengan kemalangannya. Diam-
diam ia memerintahkan seorang putranya mengisi sebuah
labu dengan emas. Labu itu lalu diberikannya pada si
Saudagar.
Saudagar itu pulang dengan membawa labu. Ia
sangat kecewa dengan apa yang
telah diberikan Raja padanya.
Sungguh ia tak menduga kalau Raja
hanya memberinya sebuah labu.
Ketika menyeberangi sungai kecil,
diberikannya labu itu pada seorang
musafir sebagai derma. “Apa yang
kau dapat dari Raja?” tanya istrinya
setiba ia di rumah.
“Sebuah labu,” kata si Saudagar.
“Aku telah memberikannya kepada
seorang musafir.”

36
Esoknya, saudagar itu kembali
menghadap Raja. “Sahabatku, kau
apakan labu yang kuberikan kepadamu
kemarin?” tanya Raja.
“Maafkan hamba, Tuanku,” kata si
Saudagar. “Hamba telah memberikan
labu itu pada seorang musafir yang
hendak pergi ke kota suci Benares.”
“Sangat beruntunglah orang yang
telah mendapatkan labu itu,” ucap
Raja, sambil tersenyum.
“Maksud, Tuanku?”
“Sahabatku,” ucap Raja, “aku tak
ingin membuatmu malu di depan
banyak orang. Diam-diam aku memerintahkan seorang
putraku mengisi labu dengan emas, lalu memberikannya
kepadamu.”
Seketika si Saudagar menyesali yang telah dilakukannya.
Ia berlutut memohon ampun kepada Raja. Ucap Raja,
“Berdirilah, aku akan memberimu sebuah labu lagi yang
akan menentukan nasibmu.”
Si Saudagar menerima labu itu. Ia lalu pulang dengan
penuh suka cita. Sayang. Saat saudagar itu menyeberangi
sungai kecil itu ia tergelincir karena terlalu tergesa. Labu
terlepas dari tangannya dan lenyap dihanyutkan air. Penuh
sedih si Saudagar pulang. Diceritakannya yang telah
dialaminya pada istrinya. “Suamiku,” kata si Istri, “itu
merupakan tanda Dewa tak berkenan kau menerima derma.
Mulai besok, bekerjalah. Bekerja itu mulia, suamiku.”
Saudagar itu menuruti kata istrinya. Ia membuka
sebuah warung. Ia bekerja dengan keras dan menyukai
pekerjaannya. Beberapa tahun kemudian, ia pun sudah
menjadi kaya lagi seperti dahulu. Namun, harta yang kini
dimilikinya adalah hasil jerih payahnya sendiri. Saudagar

37
A Noble Thing
Called Working

T
here was a rich merchant. He got so many inheritances
from his parents, such as houses and wide garden.
Therefore, he had a lot of friends. The King even knew
him well. He spent some times to be the King’s guest.
Poor thing happened.
A deadly earthquake and flood completely destroyed
every little thing the merchant had. He’s broke. His wife
suggested him to find a job. But he preferred to ask help
from his friends. Regrettably, they couldn’t help him.
The merchant then
went to see the King.
The King was also so
sorry for him. He then
asked his son to give the
merchant a pumpkin
filled up with gold.
The merchant went
home, bringing along
the pumpkin. He was so
disappointed because
he never expected that
the King would merely
give him a pumpkin.
Crossing a stream, he
gave it to a traveler he
met on his way home.
“What did you get
from the King?” his
wife asked when he
arrived.
“A pumpkin and I
gave it to a traveler.”

38
The next morning he
went to see the King again.
The King then asked him,
“What did you do with the
pumpkin, my friend?”
“I’d like to apologize,
Your Highness. I gave it to a
traveler who wanted to go to
Benares.”
“Lucky him,” the King
smiled.
“I beg your pardon, Your
Highness?”
“My friend, I don’t want
to embarrass you in public.
Therefore, I asked my son to
fill it up with gold.”
The merchant then
regretted what he’d done.
He knelt to the King. “Rise, I’ll give you another one,” the
King said.
He accepted the pumpkin and went home happily.
Unfortunately, the pumpkin was slipped away from his
hands when he was crossing a stream. It’s because he was
in rush. He then went home and told his wife about every
little thing happened to him. His wife said, “My lovely
husband, it’s the sign from God that you mustn’t take any
handout. Why don’t you start working from tomorrow?
Working’s a noble thing to do, dear.”
The merchant then opened a little shop. Hardworking
and dedicated to what he did, the merchant became as rich
as he used to be. The difference is now he’s rich because of
his own work. And it made him feel good.

39
Kaisar dan
Daging Ular

D
ahulu, di Cina, hidup seorang kaisar yang amat ditakuti.
Kaisar Tang Sun namanya. Kaisar memerintah dengan
tangan besi. Sedikit saja rakyat melakukan kesalahan,
hukuman pancung akan diberikannya. Ucapan dan tindakannya
adalah hukum. Tak seorang pun berani menentangnya. Kaisar
benar-benar dimuliakan. Ia dianggap bak dewa. Tapi, meski
begitu, ia sangat memikirkan keadaan negara dan kehidupan
rakyatnya.
Suatu ketika, Kaisar menderita penyakit kulit yang sangat
parah. Seluruh permukaan kulitnya ditumbuhi borok bernanah.
Para tabib yang didatangkan tak mampu menyembuhkan.
Karena penyakitnya itu, ia pun tak mau menampakkan dirinya
di muka umum.
Waktu berjalan. Penyakit Kaisar kian parah. Beberapa bagian
kulitnya mengelupas dan mengeluarkan bau tak sedap. Hanya
Permaisuri yang selalu ada di
sisinya. Perempuan itu sangat
sedih melihat keadaan suaminya.
Penuh kasih dan sayang, ia
merawatnya.
“Istriku,” ucap Kaisar suatu
hari, “coba kautemui juru masak.
Perintahkanlah ia agar memasak
sup buntut yang menjadi
kesukaanku. Sudah lama sekali
aku tak menikmatinya.”
“Tapi, Kanda,” tukas Permaisuri,
“bukankah para tabib meminta
Kanda untuk tidak makan daging
supaya penyakit yang diderita
Kanda cepat sembuh?”
“Ah, aku tak peduli apa kata
mereka,” sahut Kaisar. “Hari ini
aku ingin menikmati makanan
kesukaanku itu.”

40
Permaisuri segera ke dapur untuk
menemui juru masak dan memerintahkan
kepada juru masakanya untuk memasak
sup buntut kesukaan Kaisar.
Juru masak sangat senang. Sambil
bernyanyi riang, ia melakukan yang
diperintahkan. Ia bekerja sangat cekatan.
Namun, ketika ia akan mengangkat sup
buntut yang dirasanya telah masak, tiba-
tiba sesuatu jatuh ke dalamnya. Ia pun
seketika terkejut karena yang jatuh ke
dalam sup buntut itu ternyata seekor ular.
Ia pun bingung. Saat itu, waktu makan
siang telah tiba. Tak ada waktu lagi bagi
Juru masak untuk membuat sup buntut baru.
“Apa yang harus aku lakukan?” ucap Juru masak sangat takut.
“Kaisar pasti akan memancungku.”
Juru masak memeras otak mencari jalan keluar. Ia
mendapatkannya juga akhirnya. Daging ular itu akan ia biarkan
lumat di dalam sup. Maka, setelah daging ular itu lumat, ia pun
menghidangkannya kepada Kaisar. Ditemani Permaisuri, Kaisar
menikmati sup kesukaannya.
Kaisar makan lahap sekali. Sup yang dibuat Juru masak
kali ini sungguh sangat enak sekali. Kaisar menyantapnya
hingga tanpa sisa. Kemudian, Kaisar merasakan hal aneh. Ia
merasa tubuhnya dijalari rasa hangat setelah itu. Beberapa
hari kemudian ia mendapatkan penyakitnya membaik. Borok-
borok di tubuhnya berkurang. Ia dan para tabib kemudian yakin
bahwa sup yang telah dimakannya yang telah menyebabkan
hal itu. Maka dipanggilnya Juru masak.
Juru masak datang menghadap. Ucap Kaisar, “Wahai, Juru
masak, kuucapkan terima kasih kepadamu. Berkat supmu
penyakitku membaik. Nah, ceritakanlah padaku tentang sup
itu.”
Juru masak bercerita, dengan rasa takut. Kaisar pun tertawa
penuh suka “Hahaha!”. “Kau memang juru masak hebat. Aku
ingin kau membuatkanku sup seperti itu lagi.” Kaisar kemudian
memberi Juru masak sekantung uang emas.

41
The Emperor
and the Snake Meat

T
here was a frightening emperor named Tang Sun in
China. He ruled the empire ruthlessly. A little mistake
the people made would send them to beheading. All
his sayings and deeds were the law. No one could break
it. Everyone treated him as if he’s a god. In spite of his
stringency, the Emperor always thought about his people’s
lives.
One day the Emperor suffered from a terrible skin disease.
There’re suppuration
all over his body. No
healer could cure him.
The disease secluded
him from everyone.
As the time went by,
he became worse even
more. Some parts of
his body were skinned
and smelled bad. The
Queen remained loyal.
She was so sad to see
her husband became
so helpless. She took
care of him patiently
and affectionately.
“My dear wife,
please tell the cook to
make some sup buntut
for me. It’s been so
long,” the Emperor
said.
“But, dear, didn’t
the healers say that
you shouldn’t eat any

42
meat temporarily?” the Queen
reminded him.
“I don’t care of what they
said. I just want to eat my
favorite food today,” the
Emperor exclaimed.
The Queen then went to
the kitchen to see the cook
and ordered him to make sup
buntut.
The cook was so glad to
hear it. He sang a song while
making the soup. He worked so
fast. Unfortunately, something
unexpected happened. There
was a snake inside the pot. It
was already lunch time so he
had no more time to make the
new one.
“Oh my god. What should I do?” the cook was terrified.
He found a way out. The cook let the snake in there
until it’s cooked. After that he served it to the Emperor. The
Emperor ate it, accompanied by the Queen.
It tasted so good. But suddenly the Emperor felt something
strange, a warm feeling all over his body. A few days later
the suppuration were cured. The Emperor and the healers
assumed that the soup was a cure.
Then the Emperor summoned the cook, “Thanks to you
that I’m getting better now. Tell me more about the soup.”
He told the Emperor the whole story. Instead of getting
angry, the Emperor laughed out loud, “Hahaha! You’re a
real cook. I want you to make it again.” He also gave a bag
of gold to the cook. The cook was so happy.

43
Ksatria, Demon,
dan Si Naga

B
ill, si Ksatria Pemberani, tengah menelusuri jalan
desa dengan kudanya, Demon. Saat itu musim panas.
Matahari bersinar terik. Bill yang memakai baju besi
kepanasan. Demon, si Kuda, melangkah terengah-engah.
Meski begitu, mereka terus saja melakukan perjalanan.
Akhirnya mereka tiba di sebuah sungai.
“Hei, sepertinya di sana ada kebakaran!” seru Bill.
Matanya mengarah pada semak belukar di tepi sungai.
“Kita harus segera menghentikan! Kalau tidak kebakaran
akan menjalar!”
Bill memacu
Demon ke tepi su-
ngai. Mereka me-
nemukan seekor
naga kecil tengah
mengembus-em-
buskan api dari mu-
lutnya. Udara yang
panas menyebab-
kan benda di seki-
tar naga itu mudah
terbakar. Maka, re-
rumputan, semak-
semak di sekelil-
ingnya seketika
dimakan api.
Si Naga keta-
kutan. “Oh, tolong
aku! Tolong aku!”
teriaknya. “Tolong
aku cepat, wahai,
Ksatria! Aku bisa
gosong terbakar!”

44
“Tenanglah,” ucap Bill.
Ia menjulurkan tombaknya
pada naga itu. Lalu, kuat-
kuat didorongnya naga itu
dengan tombak itu. Byur! Si
Naga terjungkal ke dalam
sungai. Bill lalu cepat me-
lompat ke sungai untuk me-
nolongnya.
Malang!
Baju besi yang dikenakan
Bill terlalu berat. Perlahan ia
tenggelam. Blubuk, blubuk!
Gelembung udara meme-
nuhi permukaan air saat
kepala Bill terbenam.
Melihat itu Demon amat
cemas. Tanpa banyak pikir
ia terjun ke sungai. Cepat
diraihnya rumbai-rumbai di helm Bill yang masih nongol
di permukaan air dengan mulutnya. Digigitnya kuat-kuat.
Si Naga pun bergerak cepat. Ia meraih tali kekang di leher
kuda itu. Lalu, sekuat tenaga, Demon menarik keduanya
ke darat.
Akhirnya, Bill dan si Naga dapat diselamatkan. Mereka
amat suka cita. Mereka pun cepat memadamkan api yang
membakar rerumputan dan semak belukar. Ucap Bill pada
si Naga seusai itu, “Mulai sekarang kau harus belajar meng-
gunakan api dari mulutmu itu dengan baik dan hati-hati.”
“Ya, ya,” ucap si Naga.
“Sekarang,” ucap Bill, “mari ke rumahku. Aku ingin kau
menggunakan apimu untuk membuat teh hangat.”

45
The Knight, Demon,
and the Dragon

B
ill, the brave knight was on his horse, Demon, tracing
down the village path. It was summer and the sun
shone brightly. Bill, who wore coat of chain-mail,
felt so hot. Demon also felt the same. They kept on going
and finally they arrived at a river.
“Hey, look. It’s fire there! We have to extinguish it before
it’s too late!” Bill exclaimed, looking at bushes by the
river.
They headed
to the riverbank.
There, they found
a little dragon
was blowing fire
everywhere. The
heat caused the
things around him,
such as grasses
and bushes burnt
easily.
The little drag-
on was so terri-
fied. “Help! Please
help me! Help me
before I die from
burning!”
“Calm down,”
Bill said to him.
Then he extended
his spear toward
the little dragon.
And using it, Bill
pushed him into

46
the river. Then
he immediately
jumped into the
river to help the
dragon.
Poor him. The
coat was too
heavy and slowly
Bill sank. Bluuurp,
bluuurp! Bubbles
were all over the
water surface.
Demon felt
worried about his
master. He then
jumped into the
water and grabbed
the tuft of his hel-
met using his
mouth. The drag-
on also hanged to
Demon’s rein. De-
mon pulled them
up with all the
strength he got.
Finally they all survived. Quickly they extinguished the
fire. “From now on, you have to learn to use it wisely,” Bill
told the little dragon.
“Okay.”
“Now, let’s go to my house and make some tea with
your fire,” Bill said.

47
Timbangan Gajah

P
ada masa lampau, Raja Negeri Cina mendapat
kiriman seekor gajah dari sebuah negeri di daerah
selatan. Ketika itu penduduk Cina belum pernah
melihat gajah. Nama binatang itu pun mereka tidak tahu.
Berduyun-duyun orang datang untuk melihatnya.
Raja kemudian memerintahkan para pegawainya
menimbang gajah itu. Segera mereka mencari timbangan
besar ke seluruh pelosok negeri. Akan tetapi, mereka
tidak menemukannya. Timbangan yang dapat menimbang
binatang sebesar gajah tidaklah ada pada masa itu. Para
pegawai Raja akhirnya menyerah. Mereka tidak tahu
bagaimana menimbang gajah itu.
Raja kemudian mengadakan sayembara. Tetapi, tak
seorang pun sanggup
melakukan. Raja terus
memerintahkan para
pegawainya melakukan
penimbangan. Pegawai-
pegawai bingung sekali.
Seorang anak lelaki kecil
lalu datang menemui
mereka. Ia meminta
diizinkan menimbang
gajah. Para pegawai Raja
tak mempercayainya.
Tak mungkin seorang
anak sekecil itu dapat
melakukan tugas yang amat
memusingkan itu. Karena
tak juga mendapatkan
pemecahan, akhirnya
mereka mengizinkan si
anak menimbang gajah.

48
Anak itu membawa
gajah ke tepi sungai.
Dinaikkannya ke atas
perahu. Bagian bawah
perahu masuk ke dalam air.
Di tepi sungai, penduduk
dan para pegawai Raja
memerhatikan. Anak itu
lalu menuju perahu lain. Ia
menaikinya. Dikayuhnya
perahu mendekati perahu
yang dinaiki gajah. Ia
lalu memberi tanda batas
permukaan air pada
bagian luar perahu yang
dinaiki gajah. Kemudian ia
menurunkan gajah itu dari
perahu. Sebagai gantinya
diisinya batu-batu.
Perahu makin lama
makin tenggelam ke dalam air. Saat permukaan air pada
sisi perahu tepat mengenai batas yang telah dibuatnya,
anak itu berkata, “Batunya sudah cukup. Setelah semua
batu diturunkan dari perahu, satu per satu akan ditimbang.
Setelah selesai, jumlahkan beratnya. Jumlah berat batu-
batu itu sama dengan berat binatang itu.”
Para pegawai dan penduduk yang mendengar perkataan
itu sangat kagum dan mengakui kecerdikan si anak. Mereka
tak menyangka seorang anak kecil memiliki kepintaran
sehebat itu. Raja merasa puas. Sebagai ungkapan rasa
gembira dan terima kasihnya, ia memberi banyak hadiah
kepada anak itu.

49
The Elephant Scale

A
long time ago the China Emperor got a present from
a land in the south. It’s an elephant. At that time,
Chinese people hadn’t ever seen any elephant. They
didn’t even know its name. Therefore, many people came
to see it.
The Emperor then asked his guards to measure the el-
ephant. They quickly looked for a big scale throughout the
country. Yet, they didn’t find it. There was no such a big
scale too at that mo-
ment. The guards
gave up. They had
no idea of measur-
ing the elephant.
Not long after
that the Emperor
made a contest.
But no one could
do it. Meanwhile,
the Emperor kept
asking his guards
to measure it. And
then there was a
kid came to see
them. None of the
guards believed it.
There’s no way that
a little boy could
do the difficult task.
Having no other
way out, they let the
boy to measure.

50
He took the
elephant to the
riverbank and
put it on a boat.
The under part
had sunk in. In
the meantime,
people paid
attention to
every little thing
he did. The boy
then moved to
another boat and
rowed it toward
the elephant.
He marked the
elephant boat.
After that, he put
some stones in it
one by one, as
the replacement
of the elephant.
The boat
started to sink
in. When the
weight had reached the same level, the boy said, “It seems
enough. Put out the stones and measure them one by one.
Add them up and you’ll get the result. It’s the weight of the
elephant.”
All people there were amazed and admitted his
intelligence. They couldn’t believe it though. The Emperor
was so glad. He then awarded many presents to the boy.

51
Ketika Jam Besar
Rusak


Tik tok, tik tok!” detak Jam Besar.
Tiba-tiba, brak!
Sesuatu jatuh.
Jam Besar berhenti berdetak.
“Ada apa?” tanya Weker.
Tak ada yang menjawab. Semua benda di dapur itu tak
ada yang tahu apa yang telah terjadi.
“Kita harus berbuat sesuatu,” kata Teko. “Aku akan
membuka pintu Jam Besar untuk melihat apa yang telah
terjadi.”
Teko melakukannya.
“Oh!” cetus Teko sedih.
“Ada apa?” seru Belanga dan Panci.
“Bandul jam ini jatuh. Talinya putus,” ucap Teko.
“Apa yang dapat kita
lakukan?”
“Kita harus memasang
bandul itu kembali,” cetus
Weker.
Teko memungut
bandul itu kemudian
Diperhatikannya. Semen-
tara Jam Besar menunggu
dengan sabar. Ia tidak
dapat menceritakan apa
yang harus mereka lakukan
karena tanpa bandul itu ia
tidak bisa bicara.
“Bisa aku membantu?”
cetus Kawat.
“Oho, tentu,” sahut
Teko.

52
Teko memperbaiki
tali bandul yang putus
dengan kawat itu. Lalu,
ia memasang bandul
itu pada tempatnya.
Tik tok, tik… tok.
Jam Besar kembali
berhenti berdetak.
“Apa yang salah,
ya?” cetus Teko,
bingung.
“Bisa aku mem-
bantu?” tanya Kunci
Besar. “Aku biasa
digunakan untuk me-
mutar jam itu.”
Teko pun memutar
Jam Besar dengan
kunci itu.
“Tik tok, tik tok!”
Jam Besar berdetak.
“Terima kasih, teman-
teman. Hampir saja aku mendapat malu pagi ini jika Pak
Mus dan keluarganya menemukanku dalam keadaan tidak
jalan.”
Semua benda di dapur itu merasa senang, Jam Besar
dapat kembali melakukan pekerjaannya. Namun, Pak Mus
heran sekali ketika mendapatkan bandul jam itu diikat
kawat.

53
When the
Grandfather’s Clock
Is Out of Order

Tic toc, tic toc!” the Grandfather’s Clock ticked.
Suddenly … brak!
Something fell.
The Grandfather’s Clock also stopped.
“What’s wrong?” said the Alarm Clock.
No one answered. Nobody there in the kitchen knew
about what happened just now.
“We gotta do something. I’ll open the door of the
Grandfather’s Clock to see whether there’s anything wrong
with it,” said the Teapot.
“Oh my!”
“What is it?” the Pot and the Pan asked curiously.
“Its pendulum is broken,” answered the Teapot.
“What can we do
now?”
“We must put the
pendulum back to its
place,” replied the Alarm
Clock.
Teapot picked the
pendulum and took
a look at it a little
closer. Meanwhile, the
Grandfather’s Clock
waited impatiently. He
couldn’t tell them what to
do since he couldn’t talk
without the pendulum.
“Can I help?” asked
the Wire.
“Yeah, sure,” the
Teapot responded.

54
Teapot fixed the
broken pendulum
using the wire and put
it back to its place.
Tic toc, tic … toc.
The Grandfather’s
Clock stopped ticking
again.
“Humph, what’s
wrong?” Teapot tried
to figure it out.
“May I help you?
I’m often used to fix
the clock,” said the
Big Key.
Teapot then used it
to fix the Grandfather’s
Clock.
“Tic toc, tic toc!”
The Grandfather’s
Clock was back to
normal. “Thank you
very much, my friends. I almost embarrass myself this
morning if Pak Mus and his family found I was broken.”
Every little thing in the kitchen felt glad since the
Grandfather’s Clock could back on duty. However, Pak
Mus left in confusion when he saw the pendulum was
hanged using a wire.

55
Asal Mula
Permainan Catur

K
onon, dulu di India, hidup seorang raja yang amat
kaya. Namun, hal itu belumlah memuaskan hati
raja itu. Ia ingin punya suatu permainan yang tidak
membosankan. Ia lalu membuat sayembara. Bunyinya:
Siapa saja yang dapat menemukan suatu permainan
yang berkenan di hati Raja akan diberi hadiah apa saja
yang dikehendakinya. Orang dari seluruh pelosok negeri
pun berdatangan ke istana. Mereka memperlihatkan
permainan penemuannya kepada Raja. Tetapi, tidak satu
pun yang berkenan
di hatinya.
Suatu hari, se-
orang fakir meng-
hadap Raja. Ia
membawa sebuah
papan persegi
yang dibagi men-
jadi enam puluh
empat kotak. Se-
tiap deretan me-
manjang atau ke
bawahnya terdiri
dari delapan ko-
tak. Di setiap kotak
diletakkan orang-
orangan. Si Fakir
mengajarkan per-
mainan itu kepada
Raja. Dalam waktu
singkat Raja sudah
bisa memainkan-
nya dengan baik.

56
Ia menyenangi permainan
itu. “Wahai, Fakir,” Raja ber-
kata, “permainanmu sung-
guh sangat mengasyikkan.
Sekarang, katakan hadiah
apa yang engkau inginkan.”
“Yang Mulia,” ucap si Fakir,
“hamba hanya meminta beras
saja. Jumlahnya dihitung
menurut kotak-kotak di
papan permainan ini.”
“Hohoho!” Raja tertawa.
“Baiklah. Aku setuju.” Ia
lalu memerintahkan si Fakir
menghitung. Si Fakir segera
melakukan. Di kotak baris
pertama diisinya dengan
delapan butir beras. Di
kotak baris kedua jumlah itu
dipangkatkan. Di kotak baris ketiga jumlah di kotak baris
kedua kembali dipangkatkan. Begitu seterusnya. Jumlah
beras di kotak baris sebelumnya selalu dipangkatkan,
hingga semua kotak terisi.
Raja kemudian memerintahkan juru hitung istana untuk
mengalikan serta menjumlahkan banyaknya beras yang
diminta si Fakir. Si Juru hitung amat terkejut saat selesai
ia menghitung. Ucapnya pada Raja, “Tuanku, persediaan
beras di negeri ini tak cukup untuk memenuhi permintaan
fakir itu. Jumlahnya sangat banyak sekali.”
Raja terperanjat mendengar itu. Akhirnya, ia hanya
sanggup menjadikan fakir itu sebagai perdana menteri.
Permainan yang diciptakan si Fakir kemudian dikenal
sebagai ‘Permainan Catur’. Permainan itu menyebar ke
seluruh penjuru dunia dan banyak orang menyukainya.

57
The History
of Chess

L
ong time ago lived a very rich king. But, his wealth
didn’t satisfy him. He wanted to have a long lasting
game, not a boring one. He then made a contest:
“Whosoever can invent a game desired by the King will
be awarded any present he wants.” So then, many people
came to the palace. They showed the King their incredible
games. But, none pleased the King.

58
One day there was a poor
man came to see the King.
He brought along a board
contained 64 squares.
Every of its line both across
and down consists of eight
squares. On every square,
there’s a pawn. The poor
man then taught the King
how to play it. In a short
time, the King could play
it well. He liked the game
so much. “Your game is so
fun. Now tell me what kind
of present do you want?”
asked the King.
“I just ask for rice. It
must be as many as the
squares on this board, Your
Highness,” the poor man
answered.
“Hohoho! Alright then. Deal,” the King laughed. He
asked the poor man to count it. There was eight grain of
rice in the first line square. In the second line square, the
amount raise to the 2nd power. It kept on going like that
until all squares were filled.
After that, the King asked the bookkeeper to add and
multiply it. The bookkeeper was surprised, “Your Highness,
it won’t be enough. It’s just too many!”
The King was as surprised as the bookkeeper was. The
poor man then appointed prime minister. The game called
chess is so famous. Everybody loves it.

59
Empat Lelaki Botak

S
uatu ketika, di sebuah desa, hidup empat lelaki
berkepala botak. Kepala itu licin plontos bak telur
penyu. Kasihan, ke mana pun mereka pergi, anak-
anak selalu menertawakan mereka.
Teriak anak-anak, “Botak! Botak!”
Suatu hari, keempat lelaki botak itu memutuskan untuk
pergi ke kota. Mereka akan mencari tabib yang dapat
menumbuhkan rambut mereka. Mereka berhasil menemu-
kan tabib itu. Tabib itu berkata dapat menolong mereka.
“Tapi, kalian harus melakukan apa yang aku katakan,”
kata Tabib. “Jika kalian patuh, rambut kalian akan tumbuh
dengan lebat. Sekarang, pergilah kalian ke sumur di
belakang rumahku. Basuhlah sekali saja kepala kalian
dengan air sumur itu.”
Keempat lelaki botak
itu melakukan kata tabib
itu.
Ajaib.
Seusai membasuh ke-
pala mereka dengan air
sumur itu, kepala keempat
lelaki botak itu seketika
ditumbuhi rambut lebat.
Mereka gembira sekali.
Lelaki-lelaki itu terlihat
lebih muda. “Kita terlihat
tampan dengan rambut
ini. Jika kita membasuh
kepala kita sekali lagi,
kita pasti akan semakin
tampan. Dengan begitu,
kita pasti akan mudah

60
mendapatkan istri,” ucap
mereka penuh suka cita.
Segera keempat lelaki
itu membasuh kepala
mereka sekali lagi.
Dan …
Olala!
Betapa sedih dan
kecewanya lelaki-lelaki
itu. Kepala mereka yang
telah ditumbuhi rambut
seketika kembali botak
seusai itu. “Oh!” ratap
mereka. “Mengapa
begini? Mungkin ini
hukuman buat kerakusan
kita. Kita tak menuruti
yang dikatakan tabib itu.
Mari kita menemuinya.
Barangkali ia bisa
membantu.”
Keempat lelaki botak itu cepat menemui tabib itu.
“Tuan Tabib,” kata mereka penuh sedih yang amat sangat,
“maafkan kami yang tidak menuruti yang Tuan katakan.
Kepala kami yang telah ditumbuhi rambut, kembali botak
seusai kami sekali lagi membasuh kepala kami.”
“Maaf, aku tak bisa lagi membantu kalian,” ucap Tabib.
“Kepala botak kalian akan mengingatkan kalian pada
kerakusan dan ketidakpatuhan kalian. Jadikan itu sebagai
pelajaran, agar kelak kalian tidak berbuat hal yang sama
lagi.”
Penuh sedih dan rasa penyesalan yang amat sangat
keempat lelaki botak itu kembali ke desa mereka.

61
Four Baldy Men

O
nce upon a time there were four baldy men lived
in a village. They were as bald as turtle’s eggs. Kids
always made fun of them wherever they went.
“Baldy! Baldy!”
The four of them decided to go to the city to see a healer

62
that could grow their hair.
They found the healer.
“But you gotta do what I
say. If you obey it, your
hair will grow. Go to the
well behind my house.
Wash your head once
with its water.”
They did it.
How amazing it was.
Right after they
washed their head, their
hair grew. How happy
they were. They looked
even younger. “We look
handsome with our
gorgeous hair. If we wash
it one more time, we’ll be
more handsome. And we
can easily get married.”
So they washed their
head once again.
And …
Olala!
How sad they were. They became bald all over again.
“Oh! Why is this happening? Maybe this is a punishment
since we’re so greedy. We didn’t listen to the healer. Let’s
go to see him. He surely can help us.”
“Sir, we’d like to apologize for not obeying your warning.
We became bald again.”
“I’m sorry, but I can’t help you. Your baldy head will
remind you of your greed and disobedience. The lesson
learned.”
Sadly the four baldy men went back to their village.

63
Sang Naga dan
Si Pemakan Api

G
rup sirkus itu memasuki kota. Bunyi terompet dan
drum ramai mengiringi. Biasanya, mendengar itu
orang ribut mendatangi, tetapi kali ini hal itu tidak
terjadi. Iring-iringan grup sirkus itu pun akhirnya berhenti.
Musik tak terdengar lagi.
Sisam, si Orang Kuat, melihat tirai jendela sebuah rumah
tersingkap. “Halo,” sapa Sisam. “Grup sirkus kami kembali
muncul di kota ini. Tak adakah penduduk kota ini yang
ingin melihat?”
Seorang lelaki tua menongolkan kepalanya dari
jendela itu. “Pergilah kalian sebelum naga itu datang,” ia
memperingatkan. “Setiap hari naga itu mondar-mandir di
jalan ini sambil mengembus-embuskan napasnya yang
mengeluarkan api. Ayo,
cepatlah pergi!”
Pemilik sirkus me-
mandang kepada Sisam.
“Tampaknya kau cukup
kuat untuk bisa mengatasi
naga itu,” katanya. “Ayo,
tunjukkan apa yang bisa
kaulakukan.”
Maka pergilah Si-
sam menemui naga itu.
Malam datang. Sisam
kembali ke sirkus dengan
tangan hampa, sangat
letih, dan sedih. “Naga
itu cuma naga kecil,” ka-
tanya, “tapi, oh, api yang
dikeluarkannya itu! Besar
dan sangat panas! Lihat

64
pakaianku ini! Hangus terbakar
olehnya!”
Orang-orang lalu memikirkan
bagaimana menaklukkan naga
itu. Semua orang, kecuali seorang
pemuda. Pemuda itu diam-diam
pergi meninggalkan kota.
Sementara itu, di guanya, Dal-
bo, sang Naga, tengah menangis.
Ia ingin sekali mempunyai teman.
Tetapi, bagaimana bisa jika setiap
kali ia membuka mulut, api me-
mancar dari mulutnya? Tak ada
yang mau dekat dengannya.
Di luar ada suara-suara
langkah. Dalbo lalu melihat
seorang pemuda mengenakan
pakaian warna kuning cerah. Naga itu tertarik pada pakaian
pemuda itu. Ia lalu menanyakan di mana membelinya.
Bush! Api memancar dari mulut naga itu. Aneh. Pemuda
itu tak ketakutan. Ia membuka mulutnya, lalu api itu
ditelannya.
Dalbo amat takjub melihat itu. Si Pemuda tertawa-tawa.
“Aku bekerja di sirkus. Aku si Pemakan Api,” katanya.
“Maukah kau bekerja denganku di sirkus?”
Dalbo menyetujui. Ia dan pemuda itu lalu mengadakan
pertunjukan. Semua orang menyukai pertunjukan mereka.
Dalbo mengeluarkan api dari mulutnya, lalu si Pemuda
memakan api itu. Orang bertepuk tangan meriah setiap
kali pertunjukan mereka selesai. Penduduk kota akhirnya
dapat berjalan di jalan kota dengan tenang kembali. Sebab,
tak ada lagi naga yang mondar-mandir di jalan itu sambil
mengembus-embuskan napas apinya.

65
The Dragon
and the Fire Eater

T
he circus group entered a town. The trumpet and
drum sound were everywhere and made a crowd.
But not this time. The group stopped. The music
stopped, too.
Sisam, the Strong Man, caught an opened curtain of a
house. “Hello. Our circus group is back in town. Isn’t there
anyone who would like to watch?”
An old man showed up his head out of that window,
“Leave before the dragon comes. Every day he walks back
and forth in the street and throws out some fire. Just leave
now!”
The circus own-
er starred at Sisam,
“It seems you’re
pretty strong to
handle the dragon.
Show me what you
can do.”
Off he went to
see the dragon. The
night had already
fallen when Sisam
got back to the
circus. Looking so
tired and sad, he
said, “It’s only a
little dragon. But
he got an extreme
fire! It’s very hot!
Look at my burnt
clothes!”

66
Everyone thought
so hard to think
about a way out,
but a young man.
Silently he left the
town.
In the meantime,
Dalbo the Dragon
was crying in his
cave. He truly
wanted a friend.
But no one seemed
to be his friend if
he always threw
out some fire every
time he opened his
mouth.
Suddenly he
heard footsteps.
Dalbo found a
young man wearing
yellow clothes. He
was interested at the
young man’s clothes. But when Dalbo asked him … bush!
The fire came out. A strange thing happened. The young
man didn’t feel afraid, not a bit. Instead, he opened his
mouth and swallowed the fire.
Dalbo was so amazed. Laughing, the young man said,
“I work in the circus. I’m the Fire Eater. Would you like to
join me there?”
Dalbo agreed. They made a demonstration. People
clapped every time they finished. Everyone could walk on
the street again since there’s no dragon throwing out fire.

67
Perompak di Kolam
Samping Rumah

M
inggu sore. Angin berembus kencang. Titik-titik
hujan berjatuhan menimpa atap rumah. Anton
menaruh buku cerita perompaknya, lalu ia
membaringkan tubuh di tempat tidur.
“Oufh,” Anton menarik napas dalam-dalam, “aku ingin
sekali naik kapal perompak.”
Anton tertidur. Ia lelap sekali. Tak didengarnya suara
gedebur keras dari kolam di samping rumah.
Pagi datang, hari begitu cerah. Anton terbangun oleh
suara-suara aneh. Suara itu dari balik jendela. Suara keriat-
keriut tali, suara debur ombak, dan suara-suara air yang
menghantam badan kapal. Satu suara berat kemudian
berseru, “Hei, Kawan!
Keluarlah! Ayo, naik ke
kapal!”
Anton melihat keluar.
Sebuah kapal perompak
tampak membuang
sauh di kolam samping
rumah. Satu bendera
hitam berkibar di tiang
utama kapal. Para lelaki
berkulit terbakar mata-
hari, menutupi kepala-
kepala mereka dengan
saputangan, berdiri di
atas geladak. Mereka
melambai-lambaikan
tangan kepada Anton.
Sang Kapten berdiri
tepat di depan jendela
kamar Anton.

68
“Bersiaplah!” seru sang Kapten.
“Keluarkan tangga! Teman kita akan
naik ke kapal!”
Para anak buah kapal cepat
mendorong sebuah papan ke jendela
kamar Anton. Penuh hati-hati Anton
lalu melintasinya.
Sang Kapten membawa Anton
ke kabinnya. Peta-peta harta karun
tergolek di atas meja. Di sudut ada
sebuah baju besi. Bermacam senjata
tergantung di dinding. Anton dan sang
Kapten berada di kabin itu sepanjang
hari. Mereka membicarakan segala
hal keperompakan sampai matahari
terbenam.
Anton kemudian meninggalkan kapal perompak itu. Ia
naik ke tempat tidur. Gumamnya, “Ayah pasti heran jika
aku ceritakan apa yang telah aku alami tadi.”
Anton tidur amat lelap. Ia tak mendengar angin yang
berembus kencang dan suara titik-titik hujan yang kembali
ramai. Ia tak mendengar suara desing yang sangat keras
meninggalkan kolam di samping rumah, lalu perlahan
menjauh.
Pagi datang. Hari amat cerah sekali. Anton turun dari
tempat tidur, lalu berlari menuju kamar ayahnya. “Ayah,”
serunya, “Anton minta maaf. Karena hari ini Anton tidak
sekolah. Anton terlambat. Anton berada di atas kapal
perompak sepanjang hari ini. Kapal itu ada di kolam
samping rumah.”
Ayah Anton melihat keluar. “Tak ada apa-apa di kolam,”
cetusnya. “Kau juga tak terlambat ke sekolah. Hari Senin
baru mulai. Kau pasti terlalu banyak membaca buku
perompak tadi malam, ya, kan?”

69
A Pirate at the Pond
Beside the House

I
t’s Sunday afternoon. The wind blew so hard. The rain
fell. Anton put back his pirate storybook and then lied
on the bed.
“Huff, I really want to get on a pirate ship,” he sighed.
He then fell asleep. So profound that he didn’t even hear
the sound of water splash in the pond beside his house.
It’s a bright morning. Anton awakened up by some unu-
sual voices from
the outside.
The sounds of
rope, wave,
and splash of
water that hit
the ship. “Hey,
Buddy! Come
one out! Get on
board!” a heavy
deep voice ex-
claimed.
Anton looked
outside the
window. He
saw a pirate
ship, dropping
anchor in the
pond. One black
flag fluttered at
the main ship’s
mast. Many
tanned men
stood on the
dock, covering

70
their heads with bandanna. They
waved hands at Anton.
Suddenly the Captain stood right
in front of Anton’s window and
said, “Get ready! Set the stairs! Our
friends will get on board!”
The sailormen set a board for
Anton to get on the ship.
The captain took Anton to his
cabin. There, Anton saw treasure
boxes on the table, a coat of chain-
mail at the corner of the room, and
many kinds of weapons hanged on
the wall. Both of them stayed there
for the whole day. They talked about
pirate until the sun was set.
After that Anton get off the pirate ship and back to his
bed. “Dad will be confused if I tell him what happened just
now.”
Anton slept so sound that he couldn’t hear the blowing
wind and rainfall. He didn’t hear the annoying sound left
his house.
Morning came. It was so shiny. Anton got up and ran
directly to his dad’s room. “Dad, I’m very sorry. Today I
missed my school because I woke up late. I’ve been on a
pirate ship for the whole day. It’s on the pond beside our
house.”
Anton’s dad looked outside the window. “There’s nothing
inside the pond. And you didn’t miss your school. Today’s
Monday. It must be because of the pirate storybook you
read last night, mustn’t it?”

71
Kisah Sebuah
Bus Hijau

M
usim hujan, udara sangat dingin. Di luar hujan
turun lebat. Di kamar Ian duduk di lantai
dikelilingi mainan-mainannya. “Ma, aku bosan
di kamar terus. Aku ingin main di luar,” Ian berkata.
“Di luar hujan. Lihat,” sahut Mama.
“O iya, ya.”
”Mama tersenyum.
Ucapnya, “Hmh, yuk,
kita kumpulkan mainan-
mainanmu yang sudah
tak terpakai. Mainan-
mainan itu kemudian
kita berikan pada anak-
anak yang tidak punya
mainan.”
“Ya, ya!”
Mama dan Ian lalu
mengumpulkan mainan-
mainan yang sudah tak
terpakai. Banyak juga
mainannya.
Di antara mainan-
mainan Ian ada satu bus
mainan besar berwarna
hijau. Bus itu kesayangan
Ian. Ia sudah lama sekali
memilikinya. Sekarang
bus itu sudah jelek. Roda-rodanya sudah tidak bisa dipasang
lagi. Kaca jendelanya banyak yang pecah. Tetapi, Ian tidak
ingin kehilangan bus itu.
“Bus ini harus dibuang,” ucap Mama. “Besi-besi bekas
roda-rodanya bisa melukaimu.”

72
“Tapi, Ma.”
“Kenapa?”
“Aku sangat suka bus ini.”
“Nanti Mama belikan yang
baru.”
Mama membuang bus itu
ke tong sampah. Keesokan
hari, ketika tukang sampah
mengosongkan tong sampah,
Ian memerhatikannya dari
jendela. Tukang sampah
memasukkan sampah-sampah
ke dalam karung, lalu pergi. Saat
ia sampai di pintu pagar rumah,
si bus hijau jatuh dari karung.
Bus itu tersangkut di jeruji atas
pagar. Selain Ian tak ada yang
tahu itu.
Beberapa hari berlalu.
Hari cerah. Matahari bersinar indah. Ian keluar rumah.
Didekatinya pagar. Dengan berjingkat ia bermaksud untuk
mengambil si bus hijau. Olala! Ia terkejut. Di dalam bus
itu ditemukannya seekor murai tengah duduk di atas
tumpukan ranting-ranting dan dedaunan kering. Burung
itu telah membuat sarang di bus itu dan ia terlihat suka
berada di situ.
Ian tersenyum senang karena akhirnya si bus hijau
masih berguna. Keesokan pagi, saat Ian bangun ia melihat
keluar jendela. Dilihatnya si murai terbang ke arahnya,
lalu hinggap di bibir jendela.
“Cuiiit, cuiiit!” cicit burung itu. Sepertinya ia bermaksud
berkata, “Terima kasih, Ian, terima kasih! Terima kasih atas
busnya. Aku senang sekali tinggal di situ. Cuiiit, cuiiit!”

73
A Tale of
a Green Bus

I
t was rainy season. The weather was so terribly cold. It
was raining outside when Ian played around with his
toys. “Mom, I’m bored of being inside the room all the
time. I want to play outside.”
“It’s raining, dear. Look,” Mom said.
“Oh, it is.”
Smiling, Mom
said, “Let’s gather
your unused toys.
Then we give it
to other kids who
don’t have any
toy.”
“Yeah! Yeah!”
There were so
many unused toys.
One of them is
a big green bus,
Ian’s favorite. The
bus is rusty now.
It lost its tires.
The windows are
broken. However,
still, Ian didn’t
want to let it go.
“We have to
discard this bus.
The rusty iron
might hurt you,”
Mom told Ian.
“But, Mom..”

74
“What is it, dear?”
“I love this bus.”
‘I’ll buy you the new
one.”
Ian’s mom then threw
it away to the garbage
bin. In the next morning,
by the window Ian
watched the garbage
man emptying the
garbage bin. He put all
the garbage into a sack
and then left. Suddenly,
by the time he passed
the fence, the green bus
fell off. It stuck on the
top of the fence. No one
knew it but Ian.
Days gone by.
It was a sunny day
when Ian went out of
the house. He wanted
to get the bus back that
was stuck on the fence.
He reached for it, and … olala! To his surprise, he found a
little bird on a pile of twigs and dry leaves. He’d already set
a nest inside the bus.
Ian was so glad to know that. It means the green bus was
still useful. The small bird flew to Ian’s window when he
opened the window in the next morning.
“Cuiiit, cuiiit!” said the little bird. It was as if he’s trying
to say, “Thank you, Ian, thank you! Thank you for the bus.
I love to live in there. Cuiiit, cuiiit!”

75
Mutiara Salju

T
anah Lor amatlah subur. Penduduknya tak pernah kekurangan
pangan. Tetapi, itu dulu, sebelum lahar panas Gunung Wauwau
menimbunnya. Konon, musibah itu menewaskan banyak orang.
Yang selamat mengungsi ke sebuah tempat yang jaraknya bermil-
mil dari Tanah Lor. Tahun terus berganti. Lahar panas tak juga sirna.
Sementara, penduduk yang selamat telah beranak-pinak. Anak-anak
mereka tumbuh besar dan mereka tak pernah melihat Tanah Lor.
Malang ...! Musibah kembali menimpa penduduk. Sudah berbulan-
bulan hujan tak turun di daerah baru. Sungai-sungai kering. Setiap
hari penduduk harus melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan
air.
Ada eorang pemuda kuat dan pemberani bernama La Hia. Setiap
hari, ia pergi jauh untuk memperoleh air. Setelah beberapa lama, ia
pun bosan. Ia berkata kepada ayahnya, “Bagaimana kalau kita pindah
dari sini, Pak?”
Si Ayah menjawab, bahwa Tanah Lorlah tempat yang baik untuk
tinggal. “Tapi, lahar panas masih memenuhi daerah itu,” tukas La
Hia.
Si Ayah lalu menceritakan mengenai seorang lelaki tua yang
mendatangi mereka beberapa tahun setelah Gunung Wauwau meletus.
Kata lelaki tua itu, di dasar Telaga Putih di puncak Gunung Kayangan ada
satu mutiara yang dapat mendinginkan dan membekukan lahar panas
di Tanah Lor. Mutiara salju, namanya. Mutiara itu dijaga seekor ular
ganas. Di gunung itu tinggal pula seekor
tikus emas yang dapat membinasakan si
Ular.
“Saya akan ke sana,” kata La Hia.
Si Ayah melarang. Ia pun meneruskan
ceritanya. Katanya, segera setelah
kedatangan lelaki tua itu beberapa
pemuda pergi ke Gunung Kayangan
untuk mendapatkan mutiara itu. Tetapi,
mereka tak pernah kembali.
La Hia tetap akan pergi ke tempat
itu. Ia pun berangkat. Setelah berjalan
beberapa hari, ia tiba di Gunung
Kayangan. Lima hari kemudian, ia baru
sampai di puncak. Dilihatnya sekeliling.

76
Tiba-tiba didengarnya suara mencicit
di atas. La Hia menengadah.
Tampaklah seekor elang besar
terbang di atasnya. Cakar burung
itu mencengkeram seekor tikus
kecil. Tikus kecil itu mencicit-cicit
ketakutan. La Hia merasa kasihan.
Diambilnya batu. Dilemparnya
si Elang hingga cengkeramannya
membuka. Si Tikus Kecil terlepas
dan melayang jatuh. La Hia tangkas
menangkapnya. “Terima kasih,
Pemuda,” sebuah suara terdengar.
“Engkau telah menyelamatkan
anakku. Aku berutang budi.”
La Hia menoleh. Di sebuah batu
besar dilihatnya seekor tikus besar yang sangat elok. Bulunya berwarna
keemasan. Segera La Hia tahu kalau binatang di hadapannya si Tikus
Emas. Diturunkannya si Tikus Kecil di dekatnya. Si Tikus Emas berkata,
“Apa yang dapat aku lakukan untukmu, wahai, Pemuda?” La Hia
pun menceritakan maksud kedatangannya ke Gunung Kayangan.
“Aku akan membantumu,” kata si Tikus Emas.
Bersama si Tikus Emas, La Hia pergi ke Telaga Putih. Si Ular
cepat keluar dari tempatnya saat ia melihat La Hia. Mendesis-desis
ganas. Tiba-tiba, si Tikus Emas melompat ke arah si Ular. Terjadilah
pergulatan seru. Si Tikus Emas menggigit si Ular.
Ular pun mati. Tubuhnya nyaris putus. La Hia kemudian terjun ke
telaga. Ia menyelam hingga ke dasar. Rasa dingin yang sangat tidak
dihiraukannya. La Hia mendekati cahaya putih yang menerangi dasar
telaga. Cahaya itu berasal dari benda yang dicarinya. Cepat La Hia
mengambilnya dan kemudian segera keluar dari telaga.
Mutiara itu sungguh dingin. La Hia membuntalnya dengan bajunya.
Setelah berterima kasih pada si Tikus Emas, ia lalu pergi menuju
Tanah Lor. Sesampainya di bukit dekat Tanah Lor, dilemparkannya
buntalan. Lahar panas seketika dingin dan membeku.
Akhirnya, La Hia, ayahnya, dan semua penduduk dapat kembali
tinggal di Tanah Lor. Rumah-rumah dibangun. La Hia lalu diangkat
sebagai pemimpin oleh penduduk. Damai dan bahagia selamanya.

77
The Snow Pearl

T
anah Lor is totally a fertile land. The inhabitants always have
abundant amount of food. Unfortunately, it happened long
time ago before the lava of Mount Wauwau heaped it over. It
is said that many people were killed in the catastrophe. Meanwhile,
the survivors moved out to a new place, hundreds miles from Tanah
Lor. The years gone by, but the lava remained there. At the new
place, the survivors had grown into families. Their children had
grown up and, yet, had never seen Tanah Lor.
Poor them.
Another disaster happened for the second time. It’d been months
of drought. Everyone had to walk long distance to get water.
Amongst the inhabitants there’s a strong and brave young man
named La Hia. Every day he walked to get water that one day he
became bored of it and asked his father, “What if we move out,
Dad?”
His dad answered that Tanah Lor is the best place to live
in. “However, the lava is still covering over the area,” La Hia
interrupted.
Unexpectedly, his dad told him a story about an old man who
visited them a couple of years ago, after the Mount Wauwau erupted.
The old man said there’s a pearl that can cool down and freeze
the lava. It’s located underneath the
White Lake, at the summit of Mount
Kayangan. The Snow Pearl, that’s
how he called it. A venomous snake
guarded the pearl. The old man also
mentioned that a golden rat lived in
the mountain and it could kill the
snake.
“I’ll go there,” said La Hia.
His dad forbade him of doing so
and continued the story. Right after
the old man came and brought the
news, many young men tried their
luck to get the pearl. Sadly to say,
they never came back home.

78
Nevertheless, La Hia
had set his heart to go. Off he
went. Walking for some days,
he finally arrived at Mount
Kayangan. He climbed it up
and reached the peak five days
later. Arrived there, he observed
the area and suddenly heard a
squeak. Up high in the sky, he
saw an eagle firmly gripped a
frightened little mouse. La Hia
then threw a stone toward the
eagle. Being hurt, the eagle
let go the little mouse. La Hia
quickly caught the mouse.
“Thank you, young man.
You’ve saved my child. I owe
you,” an unknown voice said.
La Hia turned his head around and he saw a big golden rat on a
rock. La Hia immediately realized that he had found what he was
looking for. He put down the little mouse. Suddenly the golden
mouse asked him, “What can I do for you, young man?” La Hia
told him the whole story of his journey to Mount Kayangan. “Okay,
I’ll help you,” replied the golden rat.
Along with the golden rat, La Hia went to the White Lake.
The snake knew La Hia’s coming. Hissing furiously, the snake
approached La Hia who stood still, observing. All of a sudden, the
golden rat that stood behind La Hia, attacked the snake. It was an
outstanding fight. The golden rat bit the snake.
The snake died. La Hia then jumped into the lake and dove
to the bottom of it. The water felt so cold but he ignored it. And
finally, he saw a white light that enlightened its surroundings. He
then grabbed it fast and got out of the lake.
The pearl was indeed very cold. La Hia covered it using his
clothes. Thanking the golden rat, he went to Tanah Lor. Arriving at
a hill near the place, La Hia then threw the pearl. The lava suddenly
cooled.
La Hia, his father, and other inhabitants could live in Tanah
Lor again afterwards. Houses were built. La Hia appointed the
leader. They lived happily ever after.

79
ulis
Pen Ali Muakhir
penulis cerita anak yang kreatif dan
produktif. Dalam satu bulan, mampu
menerbitkan 30 judul buku anak-anak
dengan kualitas prima. Ale, begitu biasa
dipanggil, lahir pada 21 Januari di Kota
Tegal.
Ale berpengalaman menulis buku
anak-anak, editing (naskah, ilustrasi,
dan desain), melahirkan konsep
buku baru, menemukan penulis-
penulis berbakat, dan manajemen
penerbitan.
Ale menulis sejak usia belasan
tahun, prestasi di bidang tulis
menulis ditorehkan pada saat Ale mengikuti
Sayembara Menulis Cerita Futuristik Anak Majalah Bobo
tahun 1999. Saat itu, penyuka sop kaki ini mendapat Juara II dengan cerpen
berjudul Ramuan Ajaib. Satu tahun kemudian, ia kembali mendapat Juara II
pada Sayembara Menulis Cerita Misteri Majalah Bobo tahun 2000, dengan
cerpen berjudul Rahasia Sekeping Logam.
Hingga saat ini, ayah dari tiga anak ini telah menerbitkan sekitar 300 judul
buku anak-anak. Buku-buku tersebut diterbitkan oleh penerbit besar seperti
DAR! Mizan, Syamil Kids (sekarang berubah nama menjadi LeemaKids), Little
Serambi, Tiga Serangkai, Chilpress (Salamadani), KafaPublishing, Iqra Media,
BumiAksara Kids, dan beberapa penerbit yang siap menerbitkan karyanya
seperti Gema Insani Press, dan LingkarPena Kids.
Jika kalian ingin lebih mengenal Ale, lihat saja blognya di www.alimuakhir.
multiply.com, atau kirim e-mail ke a_muakhir@yahoo.com, atau sms ke
081572146395

Endang Firdaus lahir di Jakarta 28 Desember


1964. Sejak kecil hobinya
menulis. Jadi, tidak salah jika sekarang ini memilih menulis sebagai profesi.
Kak Endang, begitu biasa disapa. Ia telah menulis ratusan judul cerita anak
yang dimuat di banyak media anak-anak. Sebut saja, misalnya majalah Bobo,
Mombi, Ananda, Tom Tom, Lembaran Kancil Pos Kota, Aku Anak Saleh, C’nS
Junior, dan Kids Fantasi.
Selain itu, Kak Endang yang lulus dari Akademi Bahasa Asing dan suka
olahraga bola voli ini juga telah menerbitkan banyak buku. Sebut saja, misalnya,
Omin Tidak Bisa Tidur (Dar! Mizan, 2006), Kisah-Kisah Kancil (Pustaka Putra
Khatulistiwa, 1995), Dongeng Lima Benua (Balai Pustaka 2001), dan Kisah
Sebuah Truk (DAR! Mizan, 2006) yang masuk nominasi Adikarya Ikapi 2007.
Fiksi/ Anak

ys
Favorite Stories for

o
Endang Firdaus

B Favorite

Boys
Endang Firdaus
Apa yang dibutuhkan anak laki-laki pada masa pertumbuhannya? Selain
Stories for
gizi pada makanan yang baik, anak laki-laki juga membutuhkan cerita-
cerita yang membuatnya lebih percaya diri dan bertanggung jawab.
Buku ini berisi cerita yang mengajarkan keberanian, kejujuran, ketabahan,
dan kemandirian yang dibutuhkan anak laki-laki. Cerita tersebut sangat
jarang ada di buku-buku lain. Jadi, buku ini sangat diperlukan. Selain tema-

Favorite Stories for


tema tersebut, buku ini juga;
- diilustrasi dengan sangat menarik sehingga melambungkan
imajinasi,
- ditulis dengan bahasa yang ramah sehingga membuat anak lebih
santun,
- diterbitkan dalam dua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa
ua
Dh
Indonesia sehingga menambah kosakata anak.
Jika cerita-cerita dalam buku ini dibaca anak laki-laki terus menerus, Baasa
sikap dan langkahnya sebagai anak laki-laki akan terarah. Jadi, orangtua
yang memiliki anak laki-laki layak memilih buku ini menjadi bacaan wajib
untuknya!

“Cerita-cerita Ali sederhana,


tetapi selalu menawarkan sesuatu yang berharga
Boys
bagi pendidikan anak-anak kita.”
--Asma Nadia, Penulis dan CEO AsmaNadia Publishing House.
Bunda dari Adam dan Salsa

Imprint Salamadani

Jl. Pasirwangi I No. 3 Bandung 40254


Jawa Barat-Indonesia
Telp: +62 22 522 2052
Faks: +62 22 522 1670
E-mail: redaksi@penerbit-salamadani.com
Website: www.penerbit-salamadani.com

You might also like