You are on page 1of 17

PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA

Karya Tulis ini dibuat untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan klinik di


bagian PSIKIATRI FK USU

Oleh:

Nama : Ranap Hadiyanto Gultom

NIM : 060100070

Nama pembimbing: Prof. dr. H. SYAMSIR BS, SpKJ (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN PSIKIATRI
2010

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Skizofrenia adalah gangguan mental yang parah, membuat individu yang


menderitanya menjadi tidak berdaya. Skizofrenia berupa sindrom yang heterogen,
di mana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium
tertentu. Diagnosisnya ditegakkan berdasarkan sekumpulan simtom yang
dinyatakan karakteristik untuk skizofrenia. Skizofrenia dimulai antara masa
remaja menengah sampai dewasa muda, tetapi lebih sering mengenai lelaki
daripada perempuan, dan lelaki bila menderita skizofrenia lebih parah daripada
perempuan. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang bersifat kronik, dan karena
permulaan serangan pada usia muda maka individu dengan skizofrenia menjadi
beban keluarga dan memerlukan penanggulangan yang berlangsung lama, dalam
usaha agar individu dapat mencapai kembali taraf yang dimilikinya sebelum
sakit.1
Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara
bervariasi terentang dari satu sampai satu setengah persen; konsisten dengan
angka tersebut, penelitian Epidemological Catchment Area (ECA) yang disponsori
oleh National Institue of Mental Helath (NIHM) melaporkan prevalensi seumur
hidup sebesar 1,3 %. Skizofrenia adalah sama-sama prevalensinya antara laki-laki
dan wanita. Tetapi, dua jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam
onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset lebih awal daripada
wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun; untuk
wanita usia puncak adalah 25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10
tahun atau sesudah 50 tahun adalah sangat jarang.2
Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih
mungkin daripada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan bahwa wanita
lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada

2
umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah lebih baik daripada
hasil akhir untuk pasien skizofrenik laki-laki.1

1.2. Batasan masalah

Makalah ini membahas tentang defenisi skizofrenia secara umum dan


penatalaksanaan skizofrenia baik secara hospitalisasi, farmakoterapi, psikoterapi,
maupun terapi elektro konvulsi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Defenisi

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak


yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
"deteriorating") yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta oleh afek yang tidak wajar (inappropiate) atau tumpul (blunted). Kesadaran
yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.3

2.2. Pedoman diagnostik

Skizofrenia ditandai adanya distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas,
dan adanya afek yang tidak wajar atau tumpul.1

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi


ketiga (PPDGJ III) membagi simtom skizofrenia dalam kelompok-kelompok
penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis.
Kelompok simtom tersebut:3
a. Thought echo, thought insertion, thought withdrawal, dan thought
broadcasting.
b. Waham dikendalikan, waham dipengaruhi, atau passivity yang jelas
merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau
pikiran, perbuatan atau perasaan khusus, dan persepsi delusional.
c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku
pasien atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dari satu bagian tubuh.

4
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap
tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas
keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan manusia super
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).
e. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apakah disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan yang
menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus.
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah, sikap tubuh tertentu,
atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Simtom negatif, seperti sikap apatis, pembicaraan terhenti, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika.
i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri, dan penarikan diri
secara sosial.

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus ada sedikitnya satu simtom


tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua simtom atau lebih, apabila
simtom tersebut kurang tajam atau kurang jelas) dari simtom yang termasuk salah
satu dari kelompok (a) sampai dengan (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua
simtom dari kelompok (e) sampai dengan (h) yang harus selalu ada secara jelas
selama kurun waktu satu bulan atau lebih.1

5
2.3. Penatalaksanaan Skizofrenia

Walaupun terapi antipsikotik merupakan pengobatan yang penting untuk


skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial, termasuk
psikoterapi, dapat mendukung perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus
diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus mendukung
regimen tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari
pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.2,4,5,6,8

2.3.1. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalisasi)

Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, dan perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai, termasuk
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian,
dan tempat berlindung. Tujuan utama perawatan di Rumah Sakit yang harus
ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung
masyarakat.2,4,5,6,8

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu


mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit
tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan. Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah
sakit (empat sampai enam minggu) adalah sama efektifnya dengan perawatan
jangka panjang di rumah sakit dan bahwa rumah sakit dengan pendekatan perilaku
yang aktif adalah lebih efektif daripada institusi yang biasanya dan komunitas
terapetik berorientasi-tilikan.2,4,5,6,8

Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke


arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan
hubungan social. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat
pasien dengan fasilitas pascarawat, termasuk keluarganya, keluarga angkat, board-
and-care homes, dan half-way house, pusat perawatan di siang hari (day care
center) dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar

6
rumah sakit untuk periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas
kehidupan sehari-hari pasien.2,4,5,6,8

2.3.2. Farmakoterapi

Obat antipsikotik, diperkenalkan pada awal tahun 1950, telah mengalami


perkembangan yang revolusioner dalam pengobatan skizofrenia. Kira-kira dua
sampai empat kali banyaknya pasien yang kambuh ketika diterapi dengan plasebo
dibandingkan dengan terapi dengan obat antipsikotik. Akan tetapi obat ini
menyembuhkan gejala dari penyakit dan tidak mengobati skizofrenia.4

Obat antipsikotik terdiri dari dua kelas mayor: antagonis reseptor dopamin
(misalnya chlorpromazine, haloperidol) dan SDAs (misalnya risperidon) dan
Clozapin.4

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama


untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan. Efektivitas
antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia telah dibuktikan oleh berbagai
penelitian buta ganda yang terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal atau generasi
pertama, tidak ada bukti bahwa obat yang satu lebih daripada yang lain untuk
gejala-gejala tertentu.7

Penggunaan obat antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia harus


mengikuti lima prinsip utama yaitu:4

1. Klinisi harus secara hati-hati menentukan target simptom untuk diterapi.

2. Antipsikotik yang telah bekerja dengan baik sebelumnya pada pasien


harus digunakan lagi. Pada kejadian yang tidak mendapatkan informasi,
pilihan antipsikotik biasanya didasarkan pada efek samping dari obat
tersebut.

3. Waktu minimum pemberian permulaan antipsikotik adalah empat sampai


enam minggu dengan dosis yang adekuat. Jika permulaan tidak berhasil,
obat antipsikotik yang berbeda, biasanya dari kelas yang berbeda, dapat

7
dicoba. Akan tetapi reaksi yang tidak menyenangkan dari pasien pada
pemberian dosis pertama obat antipsikotik berhubungan erat dengan
ketidaktaatan dan respon yang jelek ke depannya.

4. Pada umumnya, penggunaan lebih dari satu obat antipsikotik pada saat
yang bersamaan jarang, jika pernah, atas indikasi. Akan tetapi, pada terapi
yang khusus pasien resisten kombinasi obat antipsikotik dengan obat yang
lain, sebagai contoh, carbamazepin (tegretol) bisa diindikasikan.

5. Pasien harus diberikan terapi rumatan dengan dosis minimal yang efektif.
Dosis rumatan lebih rendah dibandingkan dengan dosis selama kontrol
simtom selama episode psikotik.

Skizofrenia adalah suatu gangguan yang berlangsung lama dan fase


psikotiknya memiliki tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi, dan fase stabil.
Penanggulangan memakai antipsikotik diindikasikan terhadap semua fase
tersebut.1

Antipsikotik dibedakan atas:1

1. Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama)

a. Klorpromazin

b. Flufenazin

c. Tioridazin

d. Haloperidol

e. Dan lain-lain

2. Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua)

a. Klozapin

b. Olanzapin

8
c. Risperidon

d. Quetapin

e. Aripiprazol

f. Dan lain-lain

Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami


pergeseran. Bila mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih
ke antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam menanggulangi
simtom negatif dan dan kemunduran kognitif.1

Adanya perbedaan efek samping yang nyata antara antipsikotik atipikal


dan antipsikotik tipikal antara lain bahwa antipsikotik atipikal:1

a. Menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis

b. Lebih besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolik,


misalnya pertambahan berat badan, diabetes melitus, atau sindroma
metabolik

Penanggulangan memakai antipsikotik diusahakan sesegera, bila


memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik akut melibatkan distres
emosional, perilaku individu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan merusak
sekitar. Individu terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik, vital signs,
dan pemeriksaan laboratorium dasar, sebelum memperoleh antipsikotik.1

2.3.2.1. Penanggulangan berdasarkan fase

Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase
akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh)
yang perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan di sini adalah mengurangi gejala
psikotik yang parah. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang
dalam waktu dua sampai tiga minggu. Biarpun masih ada waham dan halusinasi,

9
penderita tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut
serta dalam kegiatan lingkungannya dan mau turut terapi kerja.7

Setelah empat sampai delapan minggu, pasien masuk ke tahap stabilisasi


sewaktu gejala-gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih
tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah
gejala-gejala mereda, maka dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika
serangan itu baru yang pertama kali. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari
satu kali, maka sesudah gejala-gejal mereda, obat diberi terus selama satu atau dua
tahun.7

Setelah enam bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang


bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia
menahun, neuroleptika diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya
dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan pasien (seperti juga
pemberian obat kepada pasien dengan penyakit badaniah yang menahun, misalnya
diabetes melitus, hipertensi, payah jantung, dan sebagainya). Senantiasa kita harus
waspada terhadap efek samping obat.7

Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat


memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu fungsi
psikososial pasien. Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi
dalam dua tahun pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini,
tetapi dosis ditetapkan secara individual. Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan
profil efek samping dan respon pasien pada pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa kondisi khusus yang perlu diperhatikan, misalnya pada wanita hamil
lebih dianjurkan haloperidol, karena obat ini mempunyai data keamanan yang
paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping ekstrapiramidal
lebih baik diberi antipsikotik atipik, demikian pula pada pasien yang
menunjukkan gejala kognitif atau gejala negatif yang menonjol.7

Untuk pasien yang pertama kali mengalami episode skizofrenia,


pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu meberikan efek samping,

10
karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi
ketaatberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan
untuk menggunakan antipsikotik atipik atau antipsikotik tipikal tetapi dengan
dosis yang rendah.7

Demikian penanggulangan skizofrenia memakai antipsikotik berdasarkan


fase diperinci sebagai berikut ini:1

1. Fase akut

a. Lama: empat sampai delapan minggu

b. Simtom psikotik akut: halusinasi, waham, pembicaraan, dan


perilaku yang kacau

c. Target penanggulangan: mengurangi simtom psikotik dan


melindungi individu dari perilaku psikotik yang berbahaya

2. Fase stabilisasi

a. Lama: dua sampai enam bulan

b. Simtom mulai berkurang, akan tetapi individu masih vulnerable


untuk mendapat serangan ulang, bila dosis dikurangi, atau adanya
stresor psikososial, serta memperhatikan, adanya perbaikan, dari
fungsi-fungsi individu

c. Target penanggulangan: mengurangi simtom yang masih ada dan


merencanakan pengobatan jangka panjang.

3. Fase stabil

11
a. Lama: tidak terbatas

b. Simtom positif sudah minimal atau tidak dijumpai lagi, dan simtom
negatif masih dominan pada gambaran klinik individu

c. Target penanggulangan: mencegah muncul kembali psikosis,


mengurangi simtom negatif dan menfasilitasi individu untuk
rehabilitasi sosial

2.3.3. Terapi psikososial2,4,5,6,8

Terapi psikososial terdiri dari berbagai metode untuk meningkatkan kemampuan


sosial, pengembangan diri, keterampilan praktis, dan komunikasi interpersonal
pasien skizofrenia. Tujuan utamanya adalah untuk memampukan pasien yang
menderita penyakit serius dalam mengembangkan keterampilan sosial untuk
kehidupan yang mandiri.

2.3.3.1. Latihan keterampilan sosial (terapi perilaku)2,4,5,6,8

Terapi ini dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien selama terapi
farmakologis. Disamping gejala personal dari skizofrenia, beberapa gejala
skizofrenia yang paling terlihat adalah menyangkut hubungan pasien dengan
orang lain, termasuk kontak mata yang buruk, keterlambatan respon yang tidak
lazim, ekspresi wajah yang aneh, tidak adanya spontanitas dalam situasi sosial,
dan persepsi yang tidak akurat atau tidak adanya persepsi emosi terhadap orang
lain. Perilaku tersebut secara spesifik dipusatkan di dalam latihan keterampilan
perilaku. Latihan keterampilan perilaku melibatkan penggunaan kaset video orang
lain dan pasien, permainan-simulasi (role playing) dalam terapi, dan pekerjaan
rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan.

2.3.3.2. Terapi berorientasi keluarga

Hal ini berguna dalam pengobatan skizofrenia. Karena pasien skizofrenia


seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang

12
singkat tetapi intensif (setiap hari). Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan
harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi yang kemungkinan
menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul pada pasien di dalam
keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.2,4,5,6,8

Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas di dalam


terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya.
Sering sekali, anggota keluarga, di dalam cara yang jelas, mendorong sanak
saudaranya yang menderita skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu
cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang
sifat skizofrenia dan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Ahli
terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi
terlalu mengecilkan hati. 2,4,5,6,8

Terapi keluarga selanjutnya dapat diarahkan kepada berbagai macam


penerapan strategi menurunkan stres dan mengatasi masalah dan pelibatan
kembali pasien ke dalam aktivitas. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa
terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. 2,4,5,6,8

2.3.3.3. Terapi kelompok2,4,5,6,8

Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah,


dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara
perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan,
dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan skizofrenia. Kelompok yang
memimpin dalam cara yang suportif, bukannya dalam cara interpretatif,
tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia.

2.3.3.4. Terapi perilaku kognitif2,4,5,6,8

13
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
meningkatkan distorsi kognitif, menurunkan distractibility, dan mengoreksi
penyimpangan tilikan (judgment).

2.3.3.5. Psikoterapi individual

Jenis terapi yang diteliti adalah psikoterapi suportif dan psikoterapi berorientasi-
tilikan. Suatu konsep penting dalam psikoterapi bagi seorang pasien skizofrenia
adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien secara aman
adalah kritis. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayainya ahli
terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi
seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. 2,4,5,6,8

Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di
dalam pengobatan pasien nonpsikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit
dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap
keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan bersikap curiga, cemas,
bermusuhan, atau teregresi jika seseorang berusaha mendekati. Pengamatan yang
cermat dari jarak jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati,
dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas
yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri.
Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan
kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.
Dalam konteks hubungan professional, fleksibilitas adalah penting dalam
menegakkan hubungan kerja dengan pasien. Ahli terapi mungkin harus makan
dengan pasien, duduk di lantai, berjalan-jalan, makan di restoran, menerima dan
member hadiah, bermain tenis meja, mengingat hari ulang tahun pasien, atau
hanya duduk diam bersama pasien. Tujuan utama adalah untuk menyampaikan
gagasan bahwa ahli terapi dapat dipercaya, ingin memahami pasien, dan akan
mencoba melakukannya, dan memiliki kepercayaan tentang kemampuan pasien
sebagai manusia, tidak peduli betapa terganggunya, bermusuhannya, atau
kacaunya pasien pada suatu saat. Mandred Bleuler menyatakan bahwa sikap

14
terapetik yang benar terhadap pasien skizofrenia adalah dengan menerima mereka,
bukannya mengamati mereka sebagai orang yang tidak dapat dipahami dan
berbeda dengan ahli terapi. 2,4,5,6,8

2.3.4. Terapi elektro konvulsi

Cara kerja elektro konvulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa
terapi konvulsi dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah
kontak dengan penderita. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan
yang akan datang.7

Terapi elektro konvulsi baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor.
Terhadap terapi skizofrenia simpleks efeknya mengecewakan: bila gejala hanya
ringan lantas diberi terapi elektro konvulsi, kadang-kadang gejala menjadi lebih
berat.7

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Skizofrenia adalah gangguan mental yang parah, membuat individu yang


menderitanya menjadi tidak berdaya. Skizofrenia berupa sindrom yang heterogen,
di mana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium
tertentu. Diagnosisnya ditegakkan berdasarkan sekumpulan simtom yang
dinyatakan karakteristik untuk skizofrenia.

Untuk penatalaksanaan skizofrenia diantaranya adalah hospitalisasi; terapi


farmakologi; psikoterapi yang meliputi terapi perilaku (latihan keterampilan

15
sosial), terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, terapi perilaku kognitif,
psikoterapi individual; terapi elektro konvulsi.

3.2. Saran

Untuk keberhasilan penanggulangan skizofrenia agar mencapai hasil yang


diharapkan, diperlukan:
1. Dukungan dari keluarga, baik dalam menciptakan suasana yang tidak
menimbulkan stressor dari segi finansial/pembelian antipsikotik.
2. Melibatkan individu dalam bersosialisasi/rehabilitasi.

3. Memberikan dukungan atau motivasi kepada pasien dalam hal yang


menyangkut kehidupannya, misalnya mengusahakan agar pasien mencari
pekerjaan atau berusaha supaya bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

1. Loebis B. Skizofrenia: penanggulangan memakai antipsikotik. 2007.


Diunduh dari:

http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_bahagia_loebis
.pdf ( tanggal 1 Agustus 2010 ).

2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Skizofrenia. Dalam: Kaplan, HI,
Sadock BJ, Grebb JA, editor. Kaplan dan sadock sinopsis psikiatri ilmu
pengetahuan perilaku psikiatri klinis – edisi ketujuh jilid satu. 685 – 729.

16
3. Maslim R. Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham. Dalam:
Maslim R, editor. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ –
III. Jakarta: Bagian ilmu kedokteran jiwa FK – Unika Atmajaya; 2001. h.
46 – 47.

4. Sadock BJ, Sadock VA. Treatment. In: Sadock BJ, Sadock VA, editors.
Kaplan and sadock’s concise textbook of clinical psychiatry – 2nd ed.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 150 – 153.

5. Kane JM, Stroup TS, and Marder SR. Schizophrenia: pharmacological


treatment. In: Sadock BJ, Sadock VA, and Ruiz P, editors. Kaplan and
sadock’s comprehensive textbook of psychiatry – 9th ed volume I.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2007. 1547 – 1556.

6. Tenhula WN, Bellack AS, and Drake RE. Schizophrenia: psychosocial


approaches. In: Sadock BJ, Sadock VA, and Ruiz P, editors. Kaplan and
sadock’s comprehensive textbook of psychiatry – 9th ed volume I.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2007. 1556 – 1572.

7. Maramis WF, Maramis AA. Pengobatan. Dalam: Maramis WF, Maramis


AA, editor. Catatan ilmu kedokteran jiwa – edisi kedua. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009. 276 – 281.

8. Sadock BJ, Sadock VA. Treatment. In: Sadock BJ, Sadock VA, editors.
Kaplan and sadock’s synopsis of psychiatry behavioral sciences/clinical
psychiatry – 10th ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins, a
Wolters Kluwer Business; 2007. 488 -497.

17

You might also like