You are on page 1of 23

1.

Umum
Sungai merupakan bagian terendah di permukaan bumi dalam bentuk alur memanjang
dari sebelah hulu (atas) menuju ke sebelah hilir (bawah). Sungai merupakan sistem
alur alam, dapat terdiri dari satu atau lebih alur-alur yang bertemu atau bercabang.
Dengan kondisi fisik alami seperti di atas sungai akan menjadi terminal dari
perjalanan gerakan air di sungai (kuantitas maupun kualitas), beserta interaksinya
dengan tampang basah sungai, sangat dipengaruhi oleh perjalanan menuju ke sungai
tersebut. Secara hidrologis, jumlah air atau debit aliran di sungai akan dipengaruhi
oleh sifat penutupan permukaan lahan. Untuk lahan dengan penutupan berupa
vegetasi (baik perkebunan, hutan atau sawah) umumnya akan menyebabkan distribusi
air yang lebih merata sepanjang tahun, dimana musim hujan tidak terlalu besar dam
musim kemarau tidak terlalu besar dan musim kemarau tidak terlalu kering.
Sebaliknya untuk lahan dengan sifat penutupan yang relatif kurang mampu meresap
air (pemukiman industri, sarana transportasi, dll), sifatt aliran di sungai akan kurang
merata sepanjang tahun. Apabila selam di permukaan air berinteraksi dengan lahan
yang mudah tererosi, maka air yang masuk ke sungai, akan membawa banyak
kandungan sedimen. Pencemaran yang tidak dikendalikan di lahan pada gilirannya
akan terbawa masuk ke sungai. Dibeberapa daerah atau negara (misal : Sungai
Ciliwung dan Sungai Angke di Jakarta, sungai Theme di London), sungai telah
menjadi bagian dari pengembangan daerah urban. Salah satu dari banyak jenis
pemanfaatan sungai di daerah tersebut adalah bahwa sungai digunakan sebagai tempat
pembunagan limbah domestik. Konsekuensinya, sungai di bagian hilir relatif lebih
banyak menimbulkan permasalahan lingkungan, terutama dari sisi pencemaran
kualitas.
Sumberdaya sungai tidak saja dilihat dari kandungan dan pola ketersediaan air di
sungai tersebut, melainkan juga sumberdaya sedimen yang dimilikinya. Pada hampir
semua pembangunan keteknik-sipilan, kedua jenis sumberdaya sungai tersebut
merupakan material penting yang selalu digunakan. Dengan demikian usaha
pemanfaatan sungai didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk memanfaatkan sumber
alam di sungai tersebut, yaitu air dan sedimen. Ilmu teknik sungai diharapkan dapat
berperan dalam usaha mengendalikan cara/teknologi pemanfaatan sumberdaya sungai,
sehingga pengaruh negatif yang timbul adalah sekecil mungkin. Proses timbulnya
pengaruh negatif dapat berlangsung dalam kurun waktu yang relatif pendek (misal
kurang dari dua tahun) atau relatip panjang (misal lebih dari dua tahun). Berbagai
jenis usaha pemanfaatan sungai dapat dideskripsikan seperti berikut (lihat Jansen Pph.
halaman 3 s/d 5):
1) Usaha pemanfaatan sungai, misalnya :
a) Pembangkit listrik tenaga hidro
b) Navigasi
c) Penyediaan air untuk irigasi
d) Penyediaan air untuk air baku (non irigasi) dan waktu municiple lainnya.
2) Pengaruh negatif antara lain :
a). Banjir dan genangan
b). Pendangkalan muara
c). Pencemaran air (oleh limbah pada ataupun cair), karena kurangnya
jumlah air untuk pengenceran.
Contoh kegiatan penanganan sungai untuk tujuan pengendalian banjir antara lain
adalah:
a). Perbaikan saluran: penggalian atau pengerukan dasar sungai
sehingga muka air dapat turun,
b). Membuat tanggul: melindungi daerah kanan kiri sungai dari air
sungai yang meluap,
c). Membuat saluran banjir atau sudetan pada daerah meander : debit
dapat terbagi/mengecil,
d). Membangun waduk: manampung air dalam jumlah yang besar
sehingga banjir di hulu dapat dikurangi.
Sedangkan contoh kegiatan pemanfaatan sungai yang ditujukan untuk penyediaan air
(irigasi dan non irigasi) antara lain adalah:
a). Perbaikan saluran: mempertahankan kapasitas sungai seperti debit
rencana
b). Membuat tanggul dan perlindungan tebing (terutama di daerah
belokan untuk mencegah erosi)
c). Membuat waduk: sebagai tempat penampungan air dan
pengaturan/ pengalokasian air
d). Membuat bendung: mempermudah pengaturan air.

Tolok ukur manfaat dan pengaruh negatif untuk berbagai jenis kegiatan pemanfaatan
sungai yang lain misalnya:
1. Irigasi
Tolok ukur manfaat: ketersediaan air dengan jumlah dan waktu serta kualitas
yang tepat. Pengaruh negatif: pencemaran air dari pupuk/pestisida di sawah
(N,P,K,dsb), menyuburkan enceng gondok, ikan-ikan banyak mati.
2. Navigasi
Tolok ukur manfaat: ketersediaan air dengan kedalaman yang memenuhi syarat.
Pengaruh negatif: pencemaran air dari bahan bakar kendaraan air pengerukan
yang berlebihan untuk mencapai kedalaman tertentu menyebabkan peningkatan
intrusi air laut.
3. Tenaga hidro
Tolok ukur: ketersediaan air dengan debit dan beda tinggi tertentu. Pengaruh
negatif: peningkatan temperatur air menyebabkan turunnya kandungan O2,
hewan-hewan (ikan) akan mati, juga semua biota air lainnya.
4. Suplai air
Tolok ukur : ketersediaan air dengan jumlah dan kualitas yang memenuhi syarat.
Pengaruh negatif : pengambilan air terlalu banyak dapat meningkatan intrusi air
laut. Lebih jauh dapat menyebabkan kekeringan.
5. Suplai sedimen
Tolok ukur: ketersediaan sedimen (sebagai bahan bangunan) dalam jumlah yang
cukup. Pengaruh negatif: sedimen yang berlebihan dapat mengurangi kapasitas
sungai (banjir), pengambilan sedimen yang berlebihan dapat menyebabkan erosi.
Pemanfaatan sungai untuk tujuan pemenuhan kebutuhan air irigasi dan suplai air
biasanya dilakukan dengan membangun bendung, dengan dampak negatif secara
umum berupa degradasi pada bagian sungai di sebelah hilir bangunan bendung
tersebut.

1.1 Bentuk Sungai


Bentuk sungai sering dibedakan menjadi tiga hal pokok, yaitu bentuk tampang
lintang sungai, bentuk tampang memanjang sungai, serta pandangan atas sungai.
Bentuk Bentuk tipikal tampang melintang sungai disajikan pada Gambar 1.1. Bentuk
sungai tidak tetap, selalu berubah sesuai dengan karakteristika alami yang merupakan
faktor penting dalam kontribusi pembentukan sungai. Selain itu perlakuan-perlakuan
atau campur tangan manusia dapat mempangaruhi stabilitas bentuk sungai. Pada
umumnya semakin banyak perlakuan ataupun campur tangan yang dilakukan
terhadap faktor pembentuk sungai maka akan semakin mudah sungai untuk berubah
bentuk. Karakteristika alami tersebut adalah iklim dan fisiografi daerah di wilayah
sungai yang ditinjau, yang secara pembagian besar terdiri dari:
1). topografi daerah aliran sungai
2). formasi batuan (erosilitas tampang basah)
3). iklim river basin/catchment area/daerah tangkapan hujan, serta vegetasi
river basin.
Berdasar lokasi sungai pada arah memanjang, maka tampang lintang sungai yang
berlokasi di bagian hulu relatif mempunyai bentuk V, sedangkan di bagian hilir
relatif mempunyai bentuk U. Pada sungai yang berlokasi di bagian tengah, yang
merupakan transisi dari dari sungai terjal dan sungai landai, tampang lintang sungai
dapat berbentuk V ataupun U. Proses erosi vertikal akan lebih mendominasi sungai
yang berlokasi di bagian hulu. Belokan sungai di bagian hulu relatif sedikit dibanding
sungai di sebelah hilirnya, dengan ciri khusus: erosi vertikal yang intensif. Belokan
sungai akan lebih banyak dijumpai pada sungai yang berlokasi di bagian tengah, di
mana pada bagian ini erosi lateral akan lebih berperan, dan sangat mengkontribusi
pembentukan ataupun braided (pulau kecil dalam sungai).
Perubahan bentuk akan lebih mungkin terjadi karena adanya kegiatan pengaturan
ataupun pemanfaatan sungai, misalnya :
a). scouring/gerusan pada pilar jembatan,
b). erosi pada bagian bawah/hilir bendungan,
c). garis pembendungan karena adanya pemanfaatan bataran sungai sehingga
tampang basah sungai menjadi berkurang.
Selain perubahan bentuk tampang melintang juga terjadi perubahan bentuk pada arah
memanjang, sehingga geometri sungai akan memberikan bentuk-bentuk spesifik,
misalnya meander, meander dengan pulau, “braided”, dan sebagainya.

1.2 Siklus Hidrologi


Siklus hidrologi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut; R = P – E – A,
dengan R = “Run Off” (aliran permukaan), P = Presipitasi (curah hujan), E =
Evaporasi, dan A = Akumulasi (lihat Gambar 1.2.)
Gambar 1.2. Siklus hidrologi menurut Ackerman, Colman, dan Ogosky
(V.T. Chow, 1964)

1.3 Presipitasi
Curah hujan atau presipitasi merupakan salah satu komponen penting dalam daur
hidrologi, sebagai faktor pembentuk aliran, baik di sungai, limpasan langsung, aliran
antara, maupun aliran air tanah. Untuk suatu basin di Indonesia, dimana secara umum
dikenal musim masah (hujan) dan musim kering (kemarau), variasi musiman dapat
sangat berbeda. Pada musim basah (Oktober-Maret) curah hujan dapat mencapai
2000 – 3000 mm, sedangkan pada musim kering (April – September), curah hujan
hanya mencapai 50 mm. Sedangkan curah hujan rerata tahunan di Indonesia
umumnya berkisar antara 2000 – 3000 mm. Dengan demikian dapat dibayangkan
betapa besarnya debit sungai-sungai di Indonesia pada musim hujan, serta betapa
keringnya pada musim kemarau. Berdasar studi dari Indra Karya, 1999), dapat
dicirikan besarnya curah hujan tahunan di daerah pengaliran Sungai Progo sangat
bervariasi, tergantung pada lokasi ketinggian daerah yang ditinjau, tapi berkisar
antara 2000 mm s/d 3000 mm. Pada bagian hulu wilayah sungai Progo curah hujan
tahunan mencapai 3500 mm, sedangkan di bagian tengah dan hilir berturut-turut
2500 mm dan 2000 mm. Suatu teori mengatakan (Mardjikoen, 1978), bahwa curah
hujan maksimum pada suatu tempat (letak lintang tertentu) akan terjadi pada 1 atau 2
bulan sesudah matahari mencapai ketinggian maksimum (lihat Gambar 1.3).
Gambar 1.3. Sketsa prediksi hujan maksimum pada suatu tempat.

2. Akumulasi
Jenis akumulasi air dapat dipisahkan menjadi :
Akumulasi air tanah, besarnya tergantung pada kemiringan daerah aliran sungai,
struktur antara lapis tanah, dan struktur butir tanah. Semakin terjal kemiringan
permukaan lahan maka akumulasi air tanah akan semakin berkurang, demikian juga
apabila struktur antara lapis tanah semakin kurang permeabel dan struktur butir tanah
kurang porus.
Akumulasi air permukaan, berupa cekungan-cekungan di permukaan, baik alami
(waduk, embung), ataupun buatan (waduk).
Akumulasi air dalam bentuk salju atau es (di Indonesia tidak banyak).
Pengaruh adanya akumulasi tersebut terhadap debit sungai diperlihatkan pada
Gambar 1.4., dengan asumsi bahwa di sepanjang penggal AB yang ditinjau tidak ada
suatu aliran masuk (lateral inflow) maupun aliran keluar (lateral outflow).

Gambar 1.4. Pengaruh akumulasi pada sungai.


Puncak hidrograf di A lebih besar daripada di B, demikian juga dengan kecepatan
perjalanan gelombang translasi
3. Evaporasi
Evaporasi atau penguapan akan mempengaruhi besarnya koefisien pengaliran (C).
Semakin besar nilai penguapan maka besarnya koefisien pengaliran akan semakin
kecil. Kehadiran vegetasi penutup lahan akan memperbesar evapotransiprasi
tanaman, serta meingkatkan nilai permeabilitas dan porositas lapisan tanah. Dengan
demikian vegetasi penutup lahan dapat meningkatkan besarnya penguapan, namun
sekaligus juga memperbesar akumulasi air tanah. Dengan adanya penguapan maka
praktis koefisien pengaliran tidak mungkin =1. Mungkinkah koefisien pengaliran (C)
= 0 ?, hal ini hanya mungkin terjadi pada sungai di daerah gurun pasir, atau sungai
dibawah tanah, dimana curah hujan yang jatuh akan langsung masuk ke bawah. Dari
segi konservasi jumlah air, maka kehadiran vegetasi penutup lahan masih dinilai
positip, meskipun penguapan relatif bertambah. Salah satu sebab menurunnya
permukaan air danau Bedugul di Bali, adalah karena berkurangnya vegetasi hutan
penutup di sekitar danau, sehingga koefisien pengaliran meningkat, dan distribusi
tahunan memburuk. Suatu pendapat yang berseberangan muncul bahwa salah satu
sebab menurunnya permukaan air danau Toba di Sumatera Utara adalah karena
suksesnya pengembangan vegetasi hutan penutup, sehingga penguapan sangat
berlebihan. Jawaban tentang manakah yang paling benar masih perlu didukung
dengan penelitian yang mendasar.
4. Klasifikasi Sungai & Wilayah Sungai
Klasifikasi sungai secara umum terdiri dari sungai torrent di daerah tropis/sedang,
sungai di daerah rawa, serta sungai di bawah permukaan atau sungai air tanah.
Diantara sungai-sungai tersebut terdapat sungai dengan klas yang termasuk umum,
yaitu sungai disebelah tengah dengan ciri pengaliran sub-kritik dan aliran bersifat
dua dimensi pada arah utama aliran (longitudinal), serta pada arah melintang
(transversal), serta sungai di sebelah hilir, dengan ciri pengaliran sub-kritik, dapat
bersifat dua dimensi pada arah melintang (transversal), dan arah vertikal, atau tiga
dimensi. Khusus sungai di bagian hilir, fenomena muara sangat mendominasi
perilaku sungai, antara lain gerakan pasang surut serta sifat salinitas air yang dapat
mempengaruhi proses pengendapan muara dan sedimentasi muara.
Sungai torrent mempunyai ciri:
Adanya aliran yang sangat tergantung hujan,
Daerah Aliran Sungai (DAS) umumnya kecil (<20 km2),
Kemiringan lembah besar,
Variasi debit harian besar,
Di Indonesia banyak torrent-torrent bersatu membentuk sungai yang lebih besar,
sehingga variasi debit harian pada sungai utama menjadi kecil, namun musiman
masih besar. Sungai-sungai semacam ini banyak dijumpai pada daerah pegunungan
seperti halnya sungai-sungai yang mengalir di lereng Gunung Kelud di Jawa Timur,
Gunung Merapi di Jawa Tengah, dsb.
Sungai di daerah rawa mempunyai variasi harian dan bulanan yang sangat kecil,
sedangkan variasi musiman mungkin juga tidak begitu besar. Sumbangan akumulasi
bawah permukaan terhadap aliran sungai di daerah rawa umumnya sangat besar
sehingga fluktuasi muka air di sungai tersebut tidak begitu besar. Kehadiran hutan
yang menyebar hampir merata di daerah tangkapan hujan merupakan penyumbang
utama proses akumulasi bawah permukaan. Contoh sungai rawa ini antara lain adalah
Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, Sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dan
Sungai Musi di Sumatera Selatan.
Sungai air tanah banyak dijumpai pada lahan dimana terdapat celah sedemikian
besar, dan dengan demikian permeabilitas tanah cukup besar untuk mengalirkan air
dari permukaan tanah. Di bawah permukaan bumi akumulasi air tanah ini
membentuk sistem alur yang berhubungan satu sama lain, dan dapat membentuk
sungai bawah tanah. Contoh sungai bawah tanah di Indonesia misalnya sistem Bribin
di Gunung Kidul, Propinsi D.I. Yogyakarta, serta sistem Bolon di Kupang, Nusa
Tenggara Timur.
Suatu sistem sungai dapat berada pada satu atau lebih wilayah administrasi (propinsi,
kabupaten, kecamatan, dsb). Dengan demikian pengertian pengelolaan sungai secara
konsep one river – one plan – one management dalam era otonomi sangat
memerlukan kecermatan dalam penataan perundangannya. Pada Gambar 1.5 dan
Gambar 1.6. berturut-turut disajikan contoh sistem sungai dalam batasan wilayah
sungai (sistem Progo-Opak-Oyo) dan batasan wilayah administrasi (Jawa Tengah dan
Propinsi D.I. Yogyakarta). Pengertian-pengertian terpadu (integrated) dan
berkelanjutan (sustainable) merupakan pewarnaan klasik dalam kegiatan pengelolaan
sungai tanpa menghilangkan konsep one river – one plan – one management.
Permasalahan teknis pengelolaan sungai merupkan bahan baku atau utama dalam
implementasi pengelolaan sungai dengan konsep dan pewarnaan klasik dimaksud.
Penerapan peraturan dalam lingkup kewenangan terkait perlu disusun secara penuh
kearifan.
5. Review Hidraulika dan Hidrologi Sungai
Aliran puncak dan aliran rendah
Memahami perilaku aliran puncak dan aliran rendah di sungai memerlukan
pemahaman yang akurat tentang respon perilaku hidrologi, utamanya hujan yang
jatuh di daerah tangkapan hujan, terhadap pola aliran di sungai. Kondisi yang ideal
adalah kegiatan pemantauan aliran di sungai secara terus menerus, yang sudah
barang tentu sangat mahal. Selain itu pemantauan aliran puncak di sungai dengan
teknologi yang masih menggunakan tenaga manusia di daerah lokasi pengamatan
merupakan hal yang kurang tepat untuk dilaksanakan.

Aliran puncak

Teori yang dikembangkan untuk memprakirakan besarnya aliran puncak di sungai sangat
bervariasi, tergantung dari tingkat informasi yang ingin diperoleh. Untuk tujuan analisis
stabilitas hidraulik bangunan persungaian, maka besarnya aliran puncak saja sudah
dipandang mencukupi. Namun untuk tujuan penelusuran muka air sungai pada waktu
banjir atau pada aliran puncak lainnya, informasi aliran puncak yang diperlukan tidak
hanya besarnya, melainkan juga hidrograf banjirnya, yaitu kurva yang merupakan
hubungan antara waktu (jam) dengan debit (m3/detik). Toeri-teori yang dikembangkan
untuk mengetahui besarnya puncak banjir saja antara lain Der Weduwen, Rasional,
Melchior, dll. (Subarkah, 1987). Sedangkan teori-toeri untuk memperoleh prakiraan
informasi gidrograf banjir antara lain adalah Snyder, Alexayev, Nakayasu, GAMA I, dll.
Teori GAMA I dikembangkan di Indonesia (Sri Harto, 1987), sehingga dipandang paling
cocok untuk wilayah Indonesia, khususnya pulau Jawa. Contoh aliran puncak pada
berbagai kala ulang untuk Sungai Oyo di Banyuripan di sajikan pada Gambar 1.7.

Aliran rendah
Seperti halnya aliran puncak, prediksi aliran rendah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
ketelitian dalam mendeskripsikan respon hujan di lahan terhadap pola aliran di sungai.
Dari sisi pengelolaan sumberdaya sungai, informasi tentang pola atau perilaku aliran
rendah pada suatu sungai sangat diperlukan. Dari sisi potensi ketersediaan air di sungai,
pola aliran rendah yang lebih merata sepanjang tahun lebih diinginkan dari pada jumlah
setahun lebih besar. Pengembangan teori dan pemodelan pola aliran rendah antara lain
model tank, ataupun model Mock. Pada Gambar 1.8. disajikan hidrograf aliran rendah
Sungai Oyo di Banyuripan dalam bentuk debit andalan 80%.
Gambar 1.5. Sistem Wilayah Sungai Progo-Opak Oyo
(Sub.Dinas Pengairan Prop.DIY, 1996)
Gambar 1.6. Sungai Progo-Opak-Oyo dalam wilayah administrasi Prop. D.I. Yogyakarta
(Sub.Dinas Pengairan Prop.DIY, 1996)

Gambar 1.7. Hidrograf banjir Sungai Oyo di Banyuripan


(Sub.Din. Pengairan, Prop.D.I, Yogyakarta, 1996)
Gambar 1.8. Debit andalan 80% Sungai Oyo di Banyuripan
(Sub.Din. Pengairan, Prop.D.I, Yogyakarta, 1996)

6. Tipe aliran saluran terbuka

Umum

Sebelum mengkaji ulang tentang fenomena pembendungan (backwater) di sungai,


beberapa uraian berikut perlu digunakan sebagai landasan pemahaman, yaitu:
1). Elemen terpenting dari sungai adalah air dan sedimen, besarnya berubah-rubah
tergantung waktu dan tempat.
2). Aliran pada sungai umumnya unsteady atau tidak tetap, berarti bergantung waktu
(∂Q/∂t=0). Apabila variasinya kecil maka pada beberapa tinjauan hidraulika
praktek aliran sering dianggap steady, terutama dalam menentukan kapasitas
bangunan sungai.
3). Aliran pada sungai umumnya tiga dimensi (besar dan arah aliran akan bervariasi
dari suatu titik ke titik yang lain). Untuk penyederhanaan, sering dicari harga rata-
ratanya, sehingga aliran dapat satu dimensi atau dua dimensi.

Dalam berbagai tinjauan hidraulika sungai, beberapa penyederhanaan terhadap


persamaan hidraulika saluran terbuka sering harus dilakukan. Hal ini tetap harus
dilakukan sebelum melakukan analisis praktis terhadap sungai yang ditinjau. Analisis
praktis hanya akan memberikan hasil yang dapat dipertanggung jawabkan setelah kajian
analitik (dengan berbagai penyederhanaan) dilakukan. Salah satu penyederhanaan
analisis tersebut adalah melalui penyederhanaan dimensi aliran, yang secara umum dapat
dipisahkan seperti berikut (lihat Gambar 1.9).
Gambar 1.9. Sketsa dimensi aliran

(1). Aliran dua dimensi pada kedalaman rata-rata, misal V(r,θ )


Kecepatan air akan bervariasi pada arah longitudinal dan transversal.
(2). Aliran dua dimensi pada lebar rata-rata, misal V(z,θ ) atau V(z,r)
Kecepatan air akan bervariasi pada arah longitudinal dan vertikal.
(3). Aliran satu dimensi, pada tampang basah rata-rata.
Kecepatan air akan bervariasi pada arah memanjang aliran. Pada berbagai
tinjauan hidraulika sungai, aliran satu dimensi ini masih banyak digunakan.

Persamaan dasar

Persamaan dasar aliran sungai akan merupakan persamaan-persamaan untuk konservasi


massa dan konservasi momentum. Persamaan Umum 3 (tiga) dimensi secara lengkap
dapat dituliskan sebagai berikut :

Persamaan konservasi massa :

∂v ∂u ∂w
+ + =0 ……………………….… (1.1)
∂x ∂y ∂z

Persamaan konservasi momentum :

∂v ∂ 2 ∂
+ ( )
v + ( uv ) + ∂ ( vw ) + g ∂zw = 0 ……. (1.2)
∂t ∂x ∂y ∂z ∂x
∂u ∂
+ ( uv ) + ∂ u 2 + ∂ ( uw ) + g ∂zw = 0 …… (1.3)
( )
∂t ∂x ∂y ∂z ∂y
∂w ∂
+ ( wv ) + ( uv ) + w2 + g ∂zw = 0 ……(1.4)
∂ ∂
( )
∂t ∂x ∂y ∂z ∂z
Salah satu asumsi yang harus disepakati dari hubungan persamaan di atas adalah
rapat massa (ρ ) dan viskositas (ν ) konstan, atau perubahannya dianggap sangat kecil.
Aliran steady (permanen)

Distribusi vertikal kecepatan aliran


Dinamika aliran sungai sangat dipengaruhi oleh tegangan geser di dekat dasar, di mana
secara teoritis, pemahaman tegangan geser yang terjadi oleh adanya dapat dilakukan
dengan mengasumsikan:
aliran steady, atau derivasi ke waktu = 0,
aliran uniform, atau derivasi ke arah searah aliran = 0,
aliran dua dimensi (pada arah vertikal dan tangential).
Dari asumsi atau anggapan tersebut muncul beberapa persamaan distribusi vertikal
kecepatan aliran, diantaranya menurut Von Karman, Logaritmik, serta Power Law
(Principle of River Engineering, 1977), seperti disajikan pada Gambar 1.10.

Gambar 1.10. Distribusi vertikal kecepatan aliran.

(1) Von Karman :


   z  
  1− 1 −   
u*   z   z0   h  
u =  1 −  −  1 −  + 1n   … (1.5)
k   h  h   zo   
1 − 1 −   
   h   

(2) Power Law :
1
u  z n
u = n *   ……… (1.6)
k h 

(3) Logaritmik :
u*  z 
u =n 1n  ……. (1.7)
k  zo 
dengan :
u* = ghI = kecepatan geser, terletak pada 10 – 15% kedalaman aliran
(diukur dari dasar),
z = elevasi dari dasar
h = kedalaman air
k = konstanta Von Karman = 0,4
v
z0 = (untuk hidraulik licin)
9u*
= k/30 (untuk hidraulik kasar)
v = angka kental kinematik
k = kekasaran dasar

a). Koefisien kekasaran C-Chezy dan n-Manning


Untuk pertimbangan praktis (hidraulik kasar) dan profil lebar (lebar sungai lebih
besar dari 6 kali kedalaman rerata), tahanan terhadap aliran atau koefisien Chezy adalah:
 1

12 R  m 2 
C = 18 log k det ik  ………………………………………………….. (1.8)

 

Umumnya cara penentuan k pada Persamaan (1.8) sangat sulit, sehingga muncul rumus
Manning:
2 1
1 3 2
V = R I ……………………………………………………………….. (1.9)
n
1
1
Karena V = C ( RI ) maka C = R 6 , dengan n adalah angka kekasaran Manning.
n
1
Untuk sungai nilai n Manning berkisar antara 0,025 – 0,040 (satua: m −3 detik),
contoh lengkap besarnya nilai n Manning dapat dilihat Tabel 1.1.

b). Aliran non-uniform (tidak seragam)


Aliran tidak seragam mempunyai arti fisik suatu aliran dimana kemiringan
memanjang muka airnya dari satu tempat ke tempat lain (arah memanjang) tidak sama.
Aliran tidak seragam merupakan suatu aliran yang banyak dijumpai pada sungai/saluran
alam, termasuk fenomena pembendungan.

c). Klasifikasi aliran secara umum


Di dalam praktek, banyak dijumpai berbagai kondisi atau tipe aliran, yang
umumnya dimulai dari bagian sungai yang paling terjal, sampai bagian sungai yang
paling landai. Perilaku pola aliran sangat tergantung pada kondisi atau tipe alami sungai
tersebut, misalnya pengarug penempatan bangunan melintang sungai (bendung, check
dam, ataupun groundsill, akan memberikan respon profil muka air yang berlainan satu
sama lain. Pada Tabel 1.2. disajikan klasifikasi tipe aliran di sungai sesuai klasifikasi
aliran saluran terbuka menurut “Fluid Mechanics and Hidraulics”, 2ed, Scaum Series,
1979.

1. Pembendungan (backwater)
Kenaikan elevasi muka air di sungai dapat disebabkan oleh berbagai sebab, baik
alami ataupun campur tangan manusia. Secara analitis, parameter yang terpengaruh
adalah hambatan terhadap aliran (resistance to flow), di mana pada suatu besaran debit
yang sama, pertambahan hambatan terhadap aliran akan menyebabkan pengurangan
besarnya kecepatan aliran, serta kenaikan elevasi permukaan air. Kenaikan elevasi
permukaan air tersebut sering disebut fenomena pembendungan atau backwater.
Fenomena pembendungan merupakan contoh praktis aliran tidak seragam, dapat terjadi
misalnya karena pembendungan sungai, baik secara buatan (misal bendung pengairan),
ataupun secara alami (antara lain pasang surut di muara sungai, dan belokan sungai).
Kurva pembendungan atau profil muka air sungai pada fenomena pembendungan atau
profil muka air sungai pada fenomena pembendungan umumnya diselesaikan dengan
pendekatan Persamaan 1.11, dengan sketsa pembendungan pada Gambar 1.11.
Penyelesaian persamaan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain
metoda langkah standar (standard step), ataupun penyelesaiaan persamaan diferensi
parsial ordo dua metoda Runge Kutta. Pada halaman terakhir disajikan kode sumber
(source code) dari program komputer untuk penyelesaian Persamaan 1.10.

Gambar 1.11. Sketsa penggal dan tampang sungai dengan kurva pembendungan.

Pada tampang 1 dan 2 terdapat hubungan persamaan energi yang dituliskan


dalam sistem metrik (meter, kilogram, second):

 V2   V2 
Y2 + α 2  − Y1 + α 1 
 2g   2g 
x1 − x2 =
 4 4
 ……….……. (1.11)
1 2 2  P( Y2 )  3 1  P( Y1 )  3 1 
n Q   +   − So
 A( Y2 )  A ( Y2 )  A( Y1 )  A ( Y1 ) 
2 2
2
 

dengan :
P = keliling basah (m2)
A = luas tampang saluran (m)
= Koefisien Corriolis
n = angka kekasaran Manning
V = kecepatan aliran
Q = debit aliran
g = percepatan karena gravitasi
So = kemiringan dasar saluran

Tabel 1.1. Nilai koefisen kekasaran n Manning untuk berbagai kondidi sungai
(Open Channel Hidraulics, V.T. Chow,1977)
Tabel 1.2. Klasifikasi aliran pada saluran terbuka
(Fluid Mechanics and Hidraulics, 2-Ed., Scaum Series, 1979)
7. Transpor sedimen
2. Persamaan angkutan dasar.
Sedimen merupakan sumberdaya sungai dengan tingkat potensi pada urutan kedua
setelah air. Keberadaan sumberdaya sedimen dapat bermula dari pelapukan dan erosi
lapisan batuan, baik di sistem lahan maupun di sistem sungai, ataupun bermula dari
suplai gunung api aktif. Dalam kasus tertentu, fenomena longsoran dapat merupakan
sumber sedimen pada suatu sungai. Besarnya transpor sedimen di sungai sangat
dipengaruhi dari berbagai hal, baik oleh alam maupun oleh campur tangan manusia.
Teori-teori yang dikembangkan untuk analisis transpor sedimen di sungai umumnya
bersifat murni dan ideal, yang penerapannya secara praktis sangat terbatas. Pengaruh
hadirnya bangunan sungai sangat mewarnai pola kapasitas transpor sedimen (STC =
Sediment Transport Capacity). Pengertian kapasitas transpor sedimen dalam hidraulika
sungai adalah kapasitas dari sungai tersebut untuk melewatkan sejumlah sedimen,
sehubungan dengan karakter pengaliran dan karakter sedimen pada suatu penggal sungai
yang ditinjau (Kinori, 1984). Bahan-bahan sedimen dapat terbawa hanyut oleh aliran air
di sungai dengan mekanisme pengangkutan yang secara garis besar dibedakan menjadi 2
macam (Kinori, 1984), yaitu angkutan dasar (bed load), dan angkutan melayang
(suspended load). Diantara dua pembagian besar tersebut terdapat bagian bagian sedimen
yang terangkut secara tersembunyi diantara angkutan dasar dan angkutan melayang,
yang disebut dengan wash load. Beberapa literatur menyebutkan bahwa sifat gerakan
angkutan dasar dapat berlangsung secara menngelinding, meloncat, ataupun menggeser.
Sedangkan sifat gerakan angkutan suspensi adalah (sesuai dengan namanya), yaitu
tercampur atau tersuspensi dengan partikel air. Sifat suspensi dengan demikian akan
mempengaruhi besarnya transpor sedimen, yang dalam hal ini merupakan fungsi dari
kecepatan jatuh butir sedimen tersuspensi dan kecepatan geser kritik yang ditimbulkan
oleh aliran tersebut. Sifat atau tingkatan suspensi seperti dideskripsi oleh Liu dinyatakan
dengan angka mobilitas Liu atau Liu mobility Number, yang merupakan nilai banding
antara kecepatan geser kritik yang ditimbulkan oleh aliran (U*) dengan kecepatan jatuh
butiran (W). Untuk nilai angka mobilitas Liu (U*/W) lebih besar 5 diindikasikan gerakan
sedimen adalah dalam suspensi. Prisip dasar pemahaman apakah suatu sungai berada
pada fase erosi, seimbang, ataukah pengendapan, adalah didasarkan pada besarnya
transpor sedimen pada beberapa ruas atau penggal sungai. Dalam suatu ruas sungai, akan
tercapai kondisi seimbang (stabil) apabila jumlah sedimen yang masuk ke dalam ruas
tersebut (T1) sama dengan jumlah sedimen yang terangkut keluar dari ruas tersebut (T2).
Sebaliknya apabila T1 lebih besar daripada T2, yang terjadi adalah pengendapan,
sedangkan apabila T1 lebih kecil daripada T2 maka yang terjadi adalah erosi. Beberapa
rumus transpor sedimen yang dianggap pioneer dari rumus-rumus transpor sedimen yang
ada sekarang antara lain adalah: Du Bois (1897), Meyer-Peter & Muller (1934), Shield
(1937), Eisntein (1950), dan Frijlink (1952). Sebagai contoh, persamaan yang dihasilkan
oleh Einstein untuk menyatakan besarnya transpor sedimen pada suatu ruas sungai
disajikan dalam bentuk grafik non-dimensional Ψ ∗ - φ ∗, di mana dengan menghitung
besarnya parameter Ψ ∗ , selanjutnya akan dapat dihitung besarnya φ ∗. (lihat Gambar
1.12), ditulis ke dalam hubungan Persamaan 1.12. seperti berikut.

dengan:
Ψ∗ = parameter intensitas aliran
∆ = apparent relative density = (ρ s - ρ w)/ρ w
ρ w = rapat massa air (kg/m3)
ρ s = rapat masa sedimen (kg/m3)
µ = ripple factor = (C/Cd90)1,5
C = koefisien Chezy
Cd90 = koefisien Chezy pada kondisi kekasaran dasar d90
R = radius hidraulik
S = kemiringan garis energi
d35 = diameter ukuran butir, mm
φ ∗ = parameter intensitas angkutan dasar, diperoleh dari diagram pada Gambar 1.12,
setelah nilai Ψ ∗ diperoleh
Tb = angkutan sedimen sungai per satuan lebar per satuan waktu (N/m.detik).

Gambar 1.12. Hubungan antara Ψ ∗ - φ ∗ menurut Einstein


(“Sediment Transport, Theory and Practice”, C.T. Yang, 1996)
Di dalam praktek analisis angkutan dasar sungai, kesulitan yang dihadapi antara lain cara
pengambilan sampling sedimen dasar sungai untuk penetapan diameter butir yang
mewakili analisis. Selain itu angkutan sedimen sungai tidak hanya dalam bentuk
angkutan dasar saja, melainkan ada yang dalam bentuk angkutan suspensi (suspended
load) serta angkutan wash load. Apabila tersedia data hasil pengamatan yang dilakukan
dengan metoda yang andal serta jumlah pengamatan yang relatif banyak, maka untuk
suatu sungai dapat disajikan kurva yang menunjukkan hubungan antara besarnya
angkutan dasar dengan angkutan suspensi maupun wash load. Bahkan sering informasi
tentang karakteristika angkutan sedimen di suatu sungai disajikan dalam bentuk kurva
hubungan antara debit sungai dengan debit sedimen total.

3. Angkutan sedimen dalam setahun

Transpor sedimen selama satu tahun dapat dihitung dengan terlebih dahulu
menyipakan kurva massa debit (flow duration curve) serta kurva liku ukur sedimen
(sediment rating curve). Kurva massa debit dibuat dari kurva debit dalam semala satu
tahun, yang telah diurutkan dari besar ke kecil. Kurva liku ukur sedimen diperoleh dari
hubungan antara debit (Q, m3/detik) dengan transpor sedimen yang dihitung (Tb,
Newton/M.detik), misal dengan metode Einstein seperti diuraikan di atas. Selanjutnya
kurva massa debit yang dihasilkan dihubungkan dengan kurva liku ukur sedimen pada
nilai yang sesuai. Hasil hitungan transpor sedimen yang diperoleh dari plotting kurva
liku ukur sediment selanjutnya ditransformasikan kembali ke kurva massa debit. Luas
areal di bawah kurva yang baru selanjutnya akan merupakan jumlah angkutan sedimen
selama setahun (lihat skema langkah hitungan pada Gambar 1.13). Nilai-nilai angkutan
suspensi dan was load dapat dipertimbangkan, baik secara empiris ataupun analitis
kedalam hasil terakhir.

Gambar 1.13. Skema analisis angkutan sedimen setahun

4. Debit dominan

Dalam waktu satu tahun dapat terjadi aliran dengan debit yang bervariasi,
sehingga pola transpor sedimen dari hari ke hari juga sangat bervarisi, tergantung pada
debit aliran yang terjadi. Pada umumnya debit yang relatif besar hanya berlangsung
beberapa saat saja, misalnya beberapa hari dalam musim hujan. Sebaliknya, rentang
debit yang paling sering terjadi dalam satu tahun umumnya juga tidak berada pada debit
terkecil atau terbesar. Pengertian debit dominan dapat diartikan suatu debit di mana
dalam waktu satu tahun akan menyebabkan jumlah transpor terbesar. Informasi besarnya
aliran tersebut dapat juga diujudkan dalam informasi besarnya kedalaman aliran. Besaran
debit dominan terutama digunakan perancangan bangunan sungai yang banyak berkaitan
dengan fenomena gerusan atau scouring di sekitar bangunan tersebut, misalnya bangunan
groundsill, krib pengarah arus, dlsb. Dengan kriteria dasar ini diharapkan suatu
bangunan sungai akan berada pada suatu kondisi aman, baik pada fenomena aliran
puncak maupun fenomena aliran rendah. Namun demikian perlu diperhatikan fenomena
campur tangan manusia yang mungkin menyebabkan semua analisis di atas terpengaruh
atau menjadi kurang ideal. Fenomena campur tangan manusia tersebut misalnya adanya
interupsi terhadap alur sungai, baik untuk usaha pemanfaatan air sungai ataupun sedimen
sungai, termasuk kegiatan penambangan kegiatan penambangan pasir. Berikut disajikan
tatacara penetapan desarnya debit dominan sungai (lihat skema pada Gambar 1.14).

(1). Dari data debit harian sepanjang satu tahun, buat kurva hubungan antara kedalaman
(h) dan lama terjadinya (∆ t=hari). Dari kurva tersebut dapat dilihat kedalaman
tersering selama setahun (the most frequent depth).
(2). Plotkan atau gambarkan hubungan antara setiap kedalaman aliran (h) dengan
besarnya transpor sedimen (Tb = Newton/m.detik), dari hasil analisis transpor
sedimen sungai.
(3). Buat kurva yang merupakan hubungan antara kedalaman aliran (h) dengan hasil
jumlah transpor sedimen T(Newton/m), yang merupakan perkalian antara lama
terjadinya kedalaman aliran (∆ t) dengan besarnya transpor sedimen yang sesuai
(Tb).

Gambar 1.14. Tatcara penetapan debit dominan sungai.


Dalam perapan praktis, kajian debit dominan suatu sungai akan menghasilkan
kurva yang tidak semulus seperti pada Gambar 1.14. Hal ini disebabkan karena sifat data
yang sangat stokastik, dimana fenomena riil tidak mengikuti fenomena teoritik. Untuk
mengatasi hal tersebut pembuatan grafik dilakukan dengan cara memilih pasangan data
yang memberikan kurva yang lebih baik. Suatu contoh diilustrasikan seperti berikut.
Suatu tinjauan terhadap penggal sungai diperoleh informasi berupa hubungan antara
debit aliran dan debit transpor sedimen sesuai persamaan (Persamaan 1.19):

Sedangkan data pengaliran setahun (yang mewakili) serta durasinya diberikan


seperti berikut (Tabel 1.4).
Tabel 1.4 Hubungan antara kedalaman aliran dengan durasi selama setahun.

You might also like