Professional Documents
Culture Documents
Serum protein electrophoresis (SPE) adalah pemeriksaan laboratorium terhadap protein spesifik
dalam darah yang disebut globulin. Pada metode elektroforesis digunakan agarose gel dan arus
listrik untuk memisahkan komponen protein dalam serum menjadi beberapa fraksi yaitu serum
albumin, alpha-1 globulin, alpha-2 globulin, beta-1 globulin, beta-2 globulin dan
gamma globulin, sesuai sifat fisik seperti berat molekul dan muatan listrik. (1)
Serum protein electrophoresis (SPE) diperlukan untuk mengidentifikasi pasien dengan multiple
myeloma dan kelainan pada protein serum lainnya. Perubahan konsentrasi protein terjadi sebagai
respon terhadap inflamasi akut dan kronik, keganasan, trauma, nekrosis, infarksi, luka bakar, gagal
hati atau ginjal dan chemical injury. (1,3)
SPE dengan metode kapilari merupakan sistem elektroforesis otomatis multi fungsi yang
menggunakan 8 tabung kapiler untuk pemisahan secara elektroforesis secara simultan dan otomatis
pada kecepatan tinggi. Pada kapilari, protein dibagi menjadi 6 fraksi yaitu albumin, α1, α2, β1 , β2 ,
dan gamma.
Pola SPE bergantung pada 2 fraksi utama protein yaitu albumin dan globulin. Albumin diproduksi
di hati pada kondisi fisiologi. Globulin terdiri dari fraksi yang lebih kecil dari total protein serum.
Albumin dan globulin merupakan fokus utama dalam interpretasi SPE. Albumin, puncak terbesar,
berada dekat dengan elektroda positif. 5 komponen lainnya (globulin) yaitu alpha1, alpha2, beta1,
beta2, dan gamma mendekati elektroda negatif dengan puncak gamma berada paling dekat dengan
elektroda negatif. (1)
Albumin
Albumin menunjukkan komponen protein terbesar dalam serum manusia. Konsentrasi albumin
menurun karena produksi protein dalam hati menurun atau terjadi peningkatan ekskresi atau
degradasi protein akibat malnutrisi, penyakit hati, gangguan ginjal (sindrom nefrotik), terapi
hormon, luka bakar dan kehamilan. Konsentrasi albumin meningkat pada pasien yang
mengalami dehidrasi (penurunan kandungan air dalam serum). Penurunan konsentrasi albumin
>30% perlu dideteksi dengan elektroforesis. (1,3)
Fraksi Alpha
Komponen fraksi alpha terdiri dari 2 macam yaitu alpha1 dan alpha2. Fraksi protein alpha1
terdiri dari AFP, alpha1-antitrypsin, thyroid-binding globulin dan transcortin. Peningkatan
konsentrasi fraksi alpha1 dapat disebabkan oleh keganasan dan inflamasi akut (reaksi fasa akut)
sedangkan penurunan konsentrasi fraksi alpha1 dapat terjadi karena defisiensi alpha1-
antitrypsin, sindrom nefrotik, dan penurunan produksi globulin akibat penyakit hati.
Fraksi Beta
Fraksi beta terdiri dari 2 macam yaitu beta1 dan beta2. Fraksi beta1 paling banyak terdiri dari
transferrin sedangkan fraksi beta2 mengandung protein komplemen 3 (C3) dan beta-lipoprotein.
Pada fraksi beta juga dapat diidentifikasi beberapa komponen seperti IgA, IgM, dan kadang-
kadang IgG, bersama protein komplemen. Peningkatan fraksi β1 dapat terjadi pada kondisi
anemia defisiensi besi karena peningkatan transferin, kehamilan dan terapi estrogen. (1,3)
Fraksi Gamma
Fraksi gamma seringkali menjadi fokus para peneliti karena imunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD, IgE) bermigrasi ke daerah gamma tersebut. Fraksi gamma sebagian besar terdiri dari
immunoglobulin tipe IgG. Imunoglobulin seringkali dapat ditemukan di sepanjang spektrum
elektroforesis. C-reactive protein berlokasi pada area di antara komponen beta dan gamma. (1)
Indikasi
SPE pada umumnya dilakukan jika pasien diduga mengalami multiple myeloma. Jika hasil negatif
(tidak ditemukan tetapi ada dugaan kuat multiple myeloma, Waldenstr? macroglobulinemia,
primary amyloidosis, atau kelainan lain yang berkaitan maka immunofixation harus dilakukan
karena teknik ini lebih sensitif dalam mengidentifikasi small monoclonal (M) protein. (1)
Indikasi SPE
Dugaan multiple myeloma, Waldenstr?
macroglobulinemia, primary amyloidosis
atau kelainan lain yang berkaitan
Unexplained peripheral neuropathy (tidak
berkaitan dengan diabetes mellitus, pajanan
toksin, kemoterapi, dll.)
New-onset anemia berkaitan dengan gagal
ginjal atau insufisiensi ginjal dan nyeri
tulang
Nyeri punggung berkaitan dengan dugaan
multiple myeloma
Hiperkalsemia berkaitan dengan
kemungkinan keganasan (berat badan
menurun, kelelahan, nyeri tulang,
pendarahan tidak abnormal
Rouleaux formation teramati pada
peripheral blood smear
Insufisiensi renal berkaitan dengan
peningkatan protein serum
Unexplained pathologic fracture atau lytic
lesion teridentifikasi pada radiograph
Bence Jones proteinuria
Interpretasi hasil
Perubahan konsentrasi protein terjadi sebagai respon terhadap inflamasi akut dan kronik,
keganasan, trauma, nekrosis, infarksi, luka bakar, gagal hati atau ginjal dan chemical injury.
Respon ini merupakan acute-reaction protein pattern melibatkan peningkatan fibrinogen, alpha1-
antitrypsin, haptoglobin, ceruloplasmin, CRP, C3 protein komplemen, dan alpha1-acid
glycoprotein. Dan seringkali berkaitan dengan penurunan konsentrasi albumin dan transferin. (1)
Meskipun berbagai kondisi dapat menyebabkan peningkatan daerah gamma, beberapa kondisi
penyakit dapat menyebabkan puncak gamma tajam. Kondisi ini dinamakan gamopati monoklonal
yang dikarakterisasi oleh proliferasi single clone sel plasma yang menghasilkan protein M
(monoklonal) homogen atau paraprotein.(1,3)
Diferensiasi gamopati monoklonal dan poliklonal sangat penting untuk dilakukan. Gamopati
monoklonal berkaitan dengan proses klonal yang berkaitan dengan keganasan atau potensi
keganasan, seperti multiple myeloma (penyebab paraprotein IgA dan IgG), Waldenstr?
macroglobulinemia (hanya paraprotein IgM yang dapat ditemukan), solitary plasmacytoma,
smoldering multiple myeloma. monoclonal gammopathy of underteminded significance, leukemia
cell plasma, chronic lymphatic leukemia (biasanya IgM), lymphosarcoma (biasanya IgM), heavy
chain disease, dan amyloidosis. Sedangkan gamopati poliklonal dapat disebabkan oleh proses
inflamasi , dan seringkali dikaitkan dengan kasus bukan keganasan. (1,3)
Jika konsentrasi protein M serum <1.5 g/dL maka SPE perlu dilakukan kembali setahun sekali.
Jika konsentrasi protein M serum 1.5 - 2.5 g/dL, perlu dilakukan nefelometri untuk mengukur
jumlah immunoglobulin yang ada dan pengumpulan sampel urin 24 jam untuk proses elektroforesis
dan imunofiksasi. Jika hasil normal, maka SPE perlu diulang setelah 3-6 bulan dan jika hasilnya
tetap normal maka SPE perlu diulang setahun sekali. Jika pengulangan menunjukkan hasil yang
abnormal maka perlu pasien perlu dirujuk ke hematologist-oncologist . Jika konsentrasi protein M
serum > 2.5 g/dL, perlu dilakukan metastatic bone survey (humeri dan femur), pemeriksaan beta2
microglobulin, CRP, dan pengumpulan sampel urin 24 jam untuk proses elektroforesis dan
imunofiksasi. Jika diduga Waldenstr? macroglobulinemia atau terjadi proses lymphoproliferative,
maka perlu dilakukan abdominal computed tomographic scan, bone marrow aspiration dan biopsi
harus dilakukan. Jika hasil abnormal maka pasien perlu dirujuk ke hematologist-oncologist. Jika
hasil pemeriksaan normal, SPE perlu dilakukan kembali setelah 2-3 bulan. Jika hasil normal, SPE
dilakukan kembali setelah 3-4 bulan. Jika hasil pemeriksaan tetap normal maka SPE perlu
dilakukan setahun sekali. Jika hasil setiap pemeriksaan ulang abnormal maka pasien perlu dirujuk
ke hematologist-oncologist . (1)
Penutup
Serum protein electrophoresis (SPE) adalah pemeriksaan laboratorium terhadap protein spesifik
dalam darah yang disebut globulin. Dengan metode elektroforesis, komponen protein dalam serum
dapat dipisahkan menjadi beberapa fraksi yaitu serum albumin, alpha-1 globulin, alpha-2
globulin, beta-1 globulin, beta-2 globulin dan gamma globulin, sesuai sifat fisik
seperti berat molekul dan muatan listrik.
Pemeriksaan SPE dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya dysproteinemia atau protein
monoklonal yang berkaitan dengan beberapa penyakit salah satunya yaitu multiple myeloma.
Lia Meliani
Rujukan
3. Stephan R. Vavricka, Emanuel Burri, Christoph Beglinger, Lukas Degen, Michael Manz.
Serum Protein Electrophoresis: An Underused but Very Useful Test.
< Back