You are on page 1of 313

Perilaku Homoseksual di Ponpes

PERILAKU HOMOSEKSUAL DI PONDOK PESANTREN

TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S2

PROGRAM STUDI ILMU-ILMU SOSIAL


JURUSAN SOSIOLOGI

Diajukan oleh:
ISKANDAR DZULKARNAIN
21320/IV-I/1869/04

Kepada
PROGRAM SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2006

i
Perilaku Homoseksual di Ponpes

KATA PENGANTAR

Perilaku homoseksual yang dianggap sebagai sebuah fenomena kehidupan


sosial, usianya sudah setua sejarah kehidupan manusia, yang hingga saat ini masih
banyak diperdebatkan. Di Indonesia secara umum atau di Madura secara khusus telah
mengkonsepsikan perilaku seksualitas mereka akan selalu dibentuk oleh sistem
kekeluargaan, perubahan ekonomi dan sosial, momen politik, dan gerakan-gerakan
perlawanan. Hal inilah yang kemudian melahirkan berbagai discourse terhadap perilaku
seksual seseorang melalui kekuasaannya. Kekuasaan yang pada akhirnya akan
melahirkan dan mendefinisikan pengetahuan, melakukan penilaian baik – buruk,
boleh – tidak boleh, mengatur perilaku, mendisiplinkan dan mengontrol segala sesuatu
dan bahkan menghukumnya. Berkaitan dengan hal itu maka pada akhirnya di setiap
budaya masyarakat akan ditentukan ciri-ciri perilaku jenis kelamin, yang kemudian
pada akhirnya akan berujung pada keragaman perilaku khas gender serta peran jenis
kelamin.
Dengan keragaman tersebut akan lahir penilaian dari masyarakat terhadap
perilaku seksual seseorang. Penilaian tentang normal – abnormal, yang bermoral – yang
amoral, yang tidak menyimpang – yang menyimpang, yang tidak berdosa – yang
berdosa dan lain sebagainya. Seiring dengan penilaian tersebut pada akhirnya
melahirkan discourse di kalangan masyarakat bahwa perilaku seksual yang sehat, baik,
bermoral, dan normal adalah perilaku heteroseksual yang melalui perkawinan.
Sedangkan perilaku seksual di luar itu adalah abnormak, amoral, berdosa, dan
mrnyimpang, termasuk di dalamnya perilaku homoseksual.
Kekuasaan negara yang semakin kuat dengan para aparatusnya untuk mengebiri
para kaum homoseksual dengan dilahirkan RUU anti pornografi dan pornoaksi, pada
akhirnya sedikit membuktikan bahwa ideologisasi homoseksual telah lahir. Padahal
kaum homoseksual di Indonesia sebanyak satu persen dari semua masyarakat

iv
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Indonesia. Dengan semakin tidak leluasanya para kaum homoseksual untuk bergerak
secara sosial, politik, agama, hukum, dan ekonomi, akan semakin melemahkan
sportinitas para kaum homoseksual untuk menyamakan hak-haknya dengan kaum
heteroseksual. Atau jangan-jangan malah menguatkan semangat mereka untuk terus
berjuang, karena melihat kediktatoran para aparatus negara dengan mempersempit
ruang keberagaman masyarakat Indonesia?
Padahal Indonesia pada awal berdirinya sangat menghargai perilaku
homoseksual, seperti yang nampak di dalam budaya-budaya lokal masyarakat. Dengan
demikian, Indonesia telah mengikis budaya-budaya tradisionalnya dengan beralih ke
arah modernitas yang menganggap perilaku homoseksual sebagai sex negativa. Konsepsi
homoseksual yang begitu sempit serta para penguasa yang melahirkan wacana begitu
kuat ikut mempengaruhi lahirnya para homophobia-homophobia di masyarakat.
Kuatnya para aparatus mengusung larangan perilaku homoseksual dengan dalih
moralitas, semakin menguatkan ingatan penulis bahwa di pondok pesantren yang
dianggap sebagai institusi pendidikan penjaga moralitas bangsa telah berkembang
sangat kuat perilaku homoseksual bahkan sampai sekarang. Namun dengan kekuatan
para penguasa yang ada di pondok pesantren dan melalui wacana yang begitu kuat
maka perilaku tersebut tidak dikategorikan sebagai perilaku homoseksual bahkan lebih
kecil dosanya ketimbang zina. Dengan demikian, marilah kita mengajak para penguasa
untuk merubah wacana yang ada di dalam masyarakat tentang opini mereka terhadap
perilaku homoseksual, sehingga mereka pada akhirnya akan mempunyai hak yang sama
dengan kaum heteroseksual. Bukankah kaum homoseksual adalah manusia biasa yang
mempunyai hak individu yang harus diakui oleh manusia lainnya bahkan oleh Tuhan
sendiri?
Berangkat dari itu semua penelitian dan penulisan tesis ini dimulai. Banyak
pihak yang membantu saya dalam penulisan dan penyusunan tesis ini. Saya
mengucapkan syukur kepada Allah Swt, yang telah menguatkan iman Islam ke dalam

v
Perilaku Homoseksual di Ponpes

hati saya dan salam sejahtera kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai teladan semua
manusia, karena itulah tesis ini selesai.
Selain itu, saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan
penguji saya Dr. Partini yang telah banyak memberikan kritik-kritik pedas, semangat
untuk terus melakukan penelitian secara mendalam, dan komentar-komentarnya
seputar keluguan saya akan metode penelitian dan penggunaannya. Serta ucapan
terima kasih saya kepada seluruh dosen saya di Program Sekolah Pascasarjana Sosiologi
Universitas Gadjah Mada (UGM), atas ilmu-ilmu yang telah ditransferkan kepada saya
selama menimba ilmu di Jogjakarta. Seperti Dr. Suharko selaku ketua program
sosiologi, Arie Setyaningrum M.A yang telah menyempurnakan proposal saya dengan
berbagai kritik dan tantangan-tantangannya, M. Najib Azca M.A yang telah memberi
semangat awal penulisan dan penelitian tesis ini, Dr. Heru Nugroho yang selalu
meluruskan arah pemikiran saya, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi yang seringkali
mengkritik dan menghabisi saya akibat ketidaktahuan metode penelitian, dan lain
sebagainya, serta Suherman M.A yang telah menjadi penguji kritis terhadap tesis ini.
Kepada Prof. Dr. H. Musa Asy’ari M.A dan Prof. Dr. Simuh, yang dengan sangat baik
hati dan antusias memberikan rekomendasi kepada saya ketika akan melanjutkan studi
S2. Serta terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Dr. Dede Oetomo yang telah
banyak memberi masukan, kritikan, dan pujian, serta bersedia untuk berdiskusi dan
membaca tesis saya ini.
Dalam proses penulisan dan penelitian, saya sering mendapat bantuan
pinjaman banyak buku terutama ketika melakukan proses akumulasi data, di antaranya
seluruh pegawai perpustakaan Pascasarjana Sosiologi UGM, Fisipol UGM,
Perpustakaan Pascasarjana UGM, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Perpustakaan
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan Perpustakaan Kolese Ignatius. Karena itu saya
haturkan terima kasih. Serta kepada mbak Neny, pak Tugimin, dan mbak Novi yang
telah direpoti saya oleh hal-hal teknis yang sangat merumitkan, terima kasih banyak

vi
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Terima kasih kepada Prof. Dr. Amin Abdullah, Amalinda Savirani M.A, Moh.
Sodik M.Si, Eric Hiariej M.Phil, Dr. Abdus Salam, Siti Mutiah M.A, Syamsurizal
Panggabean M.A, Muhadi Sugiono M.A dan lain sebagainya yang telah memberikan
banyak pertimbangan-pertimbangan yang akan dijadikan penelitian secara mendalam
dan juga ilmu-ilmu yang telah mereka berikan kepada saya ketika kuliah di Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dengan konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan
dalam Islam.
Terima kasih kepada instansi tempat saya bekerja yang telah bersedia
memberikan waktu luang agar saya melanjutkan studi, terutama Drs M Sahibudin,
selaku rektor di Universitas Islam Madura (UIM), Saiful Hadi M.M selaku Dekan di
FKIP, Mulyadi M.Ag teman berjuang saya di kampus UIM jurusan Bahasa Indonesia.
Saya perlu menyebutkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada para
informan, baik santri alumni santri, ustadz, atau kiai di pondok pesantren Al-Amanah
dan An-Naqiyah serta masyarakat sekitar kedua pondok pesantren tersebut atas
kesdiannya memberikan jawaban terhadap segala pertanyaan saya. Saya juga perlu
menyebutkan terima kasih kepada para sahabat yang sejak awal di Jogjakarta selalu
bersama. Zainal Abidin S.IP, S.Ag beserta keluarga, Ahmad Sahidah M.Ag beserta
keluarga, Damanhuri M.Ag beserta keluarga, Ahmala M.Ag beserta keluarga, Muh.
Ahwa Muzakkin Makruf M.M, Roby M.M, Ir. Mas Oniek, Abdur Rauf S.Ag beserta
keluarga, Abdul Muis, Ibad, Budi S.T, Agus S.T, Awinullah S.H.I, Boim S.H.I, Moh.
Ainul Yaqin M.Ed beserta keluarga, Fathurrahman M.Si beserta keluarga, Abdur
Rozaki M.Si beserta keluarga, Taufik S.Th.I, Ramli S.Phil.I, Efendi S.Th.I, dan
seterusnya yang tidak mungkin disebutkan semuanya di sini. Terima kasih atas
persahabatan yang telah kalian rajut. Serta kepada sepupu saya Imam Mukhlis S.Th.I,
dan ponakan Mufidul Wara, yang selama ini menjadi keluarga di Yogyakarta. Hal yang
sama juga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh komunitas komplek Wisma
Natural 45 I (old & new), teman-teman kost di Papringan Lampar 07,teman-teman

vii
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Perbandingan Agama 98 Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, teman-teman


Sekolah Pascasarjana Sosiologi 2004 Universitas Gadjah Mada, Teman-teman Program
Pascasarjana Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam 2004 & 2005
UIN Sunan Kalijaga.
Kepada keluargaku, kedua orang tua Abdul Karim Thaha dan Siti Maryam yang
senantiasa memberikan dorongan moril dan materil untuk saya agar tetap sekolah
sampai habisnya sendi-sendi kehidupan dengan lantunan do’anya yang senantiasa
menyejukkan hati dan semangat saya meskipun keduanya hanya sekolah sampai tingkat
dasar, adik-adikku Hafifuddin dan Jimal Arrofiqi yang selalu menjadi teman bermain
dan bercanda saya, serta keluarga besar saya dari Mbah Thaha, Mbah Muzani, dan
Mbah Mujahid yang selalu membantu saya dalam menyelesaikan studi S1 dan S2 baik
moril maupun materil. Mas Taufik dan Mbak Mamah keluarga istri saya yang telah
memudahkan jalan menuju studi S2 saya, serta keluarga besar Bonang Lasem Rembang.
Saya juga patut bersyukur akan kehadiran Jamilah S.Hum, M.Ag dan Aftoinette
Shakira yang bersedia hidup ala kadarnya dengan syukur nikmat, serta telah rela
menunggu dan membantu terselesainya tesis ini dengan senyum dan keceriaannya,
meskipun seringkali diiringi dengan tangis. Haadha min fadli rabbii liyabluanii
aasykuru am akfur.

Papringan, September 2006

Iskandar Dzulkarnain

viii
Perilaku Homoseksual di Ponpes

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecil ini Kepada mereka:

• Kedua orang tuaku,


yang dengan tulus dan ikhlas mendoakan anaknya
• Keluarga besarku di Sumenep dan Rembang
• Adik-adiku
• Istriku Jamilah, M.Ag,
yang dengan sabar menerima kesedarhanaan
dalam menjalani hidup
• Anakku Aftoinette Shakira,
yang dengan kelucuan dan tangisannya
mampu mempercepat terselesainya
tesis ini

Terkhusus:

(Mereka Yang Minoritas dan Bangga Akan Keminoritasannya)

“Lebih Baik Terasing Daripada Hidup Dalam Kemunafikan”


(Soe Hok Gie)

ix
Perilaku Homoseksual di Ponpes

INTISARI
Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren
Penilaian masyarakat yang menempatkan homoseksual sebagai sesuatu yang
abnormal dan amoral, serta dianggap sebagai suatu aib yang mengancam, menarik
penulis untuk mengkajinya secaranya mendalam. Berawal dari fenomena tersebut maka
penulis tertarik untuk meneliti fenomena homoseksual terutama di pondok pesantren
dalam hal ini dua pondok pesantren di Sumenep, yakni pondok pesantren tradisional
An-Naqiyah dan pondok pesantren modern Al-Amanah. Sehingga penulis
merumuskan masalahnya, bagaimana konstruksi subjektif masyarakat pesantren
terhadap perilaku homoseksual di pondok pesantren Sumenep?.
Penelitian ini dioperasikan dengan menggunakan metode kualitatif melalui
analisis deskriptif. Sedangkan dasar metodologisnya menggunakan pendekatan
etnofenomenologi. Jenis datanya menggunakan data kualitatif dan data kuantitatif,
digali dari sumber data primer dan data sekunder. Data primer dihimpun melalui
observasi partisipan dan wawancara. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen
resmi yang berhubungan dengan perilaku homoseksual di pondok pesantren. Analisis
datanya menggunakan tiga pola Miles dan Huberman. Langkah operasional
penelitiannya meliputi, persiapan memasuki lapangan, yakni kunjungan awal penulis
secara terus menerus ke pondok pesantren tersebut, mencari tahu bagaimana supaya
bisa mondok, dan meminta izin kepada pengasuh pondok pesantren; kedua, langkah
pengumpulan data, yakni pengfokusan informasi data dengan menekankan pada tiga
fokus utama, data perilaku homoseksual, data pada reaksi atau konstruksi subjektif
masyarakat pesantren (massa) terhadap fenomena homoseksual di pondok pesantren,
dan data yang menggambarkan tentang pergeseran sistem struktur sosial masyarakat
pesantren terhadap homoseksualitas.
Hasil penelitian ini, adalah pandangan masyarakat pesantren yang tetap
menganggap bahwa homoseksual sebagai dosa, amoral, dan penyakit, ternyata berbeda
dengan anggapan mereka terhadap perilaku alaq dalaq di pondok pesantren, yang
menganggapanya sebagai sesuatu yang biasa dan boleh dilakukan. Hal ini terjadi seiring
hilangnya otoritas kiai yang begitu kuat di dalam masyarakat dan santri (massa), baik
sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik, dan agama, seiring dengan kebungkaman
dan kebodohan massa ketika mendapat media informasi dari kiai, bahwa perilaku alaq
dalaq dosa dan dilarang, sebagaimana yang digambarkan oleh Jean Baudrillard. Selain
itu, pola relasi antarpelaku alaq dalaq di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah
terdapat tiga pola, pertama, pola relasi alaq dalaq dengan ikatan, kedua, relasi alaq dalaq
tanpa ikatan, dan ketiga pola relasi alaq dalaq for pleasure. Sedangkan di pondok
pesantren modern Al-Amanah, terdapat satu pola yakni pola relasi alaq dalaq dengan
ikatan.

Kata kunci: Konstruksi Subjektif, Homoseksual, dan Alaq Dalaq

x
Perilaku Homoseksual di Ponpes

ABSTRACT
Homosexual Behavior in Islamic Boarding House
The appreciation of society placing a homosexual as something abnormal and
immoral, also assumed as threatening ignominy was interested the author to study
more deeply. Initiated by those phenomenon, the author interested to observed this
homosexual phenomenon mainly in Islamic Boarding House, it was in two Islamic
boarding houses in Sumenep, that are traditional Islamic boarding house Al-Amanah
and modern Islamic boarding houses An-Naqiyah. Thus the author formulated to the
existed problems, how is the subjective constructive of the society on this homosexual
behavior at the Islamic boarding houses in Sumenep?
This research operated by a qualitative method through analytical descriptive.
While the methodological basic used an etno-phenomenology approach. The data types
used a qualitative and quantitative, was digging of primary and secondary data sources.
The primary data collected of participation observation and interview. While the
secondary data obtained of official documents related to the homosexual behavior in
the Islamic boarding houses. The data analysis used a Miles and Huberman three
patterns. The operational steps of this research are including, preparation to enter the
field, that was the initiate author visit continually visited the boarding house, to find
out how to stayed in the boarding house and attempt to permission to the Islamic
boarding houses official teachers; the second, data collecting steps, that was to focused
to the data information by emphasized to three main focuses, the homosexual
behavior data, data on reaction or the subjective constructive of the boarding house
mass toward the homosexual phenomenon in the Islamic boarding houses, and the
data describing the social structure system shifting of the boarding houses society
toward homosexual.
The research results was a Islamic boarding houses society who remained
assumed that homosexual as sin, immoral, and disease, obviously different with their
assumption toward a alaq dalaq in the Islamic boarding houses, that assumed that it
was something usual and permitted to be done. It occurred in a line with the lessening
of the kyai’s authorities who are very tightly coherent in the society and Moslem
students/santri (mass), both of the social, culture, economy, education, and religion,
are in line with the mass who lack in acknowledgment and silent ness of the mass
when they have an information of the kyai, that alaq dalaq behavior is a full of sin
and prohibited, as described by Jean Baudrillard. Besides, the relationship pattern of
the actors of alaq dalaq in the traditional Islamic boarding house An-Naqiyah there
were three patterns, the first, an alaq dalaq relationship with particular tying, the
second, alaq dalaq relationship without any tying, and the third, a alaq dalaq
relationship for pleasure. While in modern Islamic Boarding House Al-Amanah,
there was a pattern that is a alaq dalaq relationship with particular tying.

Key Word: Subjective Construction, Homosexual, and Alaq Dalaq

xi
Perilaku Homoseksual di Ponpes

DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………………………………….i
Halaman Pengesahan .…………………………………………………………………..…………ii
Halaman Pernyataan ………………………………………………………………………………………..iii
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………iv
Halaman Persembahan ……………………………………………………………………………..ix
Intisari …………………………………………………………………………………………………….x
Abstract ……………………………………………………………………………………………………xi
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………..xii

Bab I. Pendahuluan ……………………………………………………………………….1


A Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………………1
B Rumusan Masalah …………………………………………………………………………….11
C Tujuan Penelitian …………………………………………………………………………….11
D Manfaat Penelitian …………………………………………………………………………….11
E Studi Terdahulu Tentang Homoseksual ……………………….……………..……12
F Landasan Teoritis Homoseksual ……………………………………………15
f.1. Konseptualisasi Homoseksual ………………………………………………………15
f.2. Sosial Diskursif Atas Homoseksual ……………………………………………19
f.3. Konstruksi Subjektif Atas Homoseksual ……………………………………………28
G Metode Penelitian …………………………………………………………………………….30
g.1. Jenis Data dan Tehnik Pengumpulannya .…………………………………………..33
g.2. Lokasi Penelitian ..…………………………………………………………………………..34
g.3. Analisis Data …………………………………………………………………………….35
g.4. Langkah Operasional Penelitian …………………………………........................37
H Sistematika Pembahasan ………………………………………………………………….39

xii
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Bab II. Historisasi Kultural Homoseksual ………………………………………………….41


A Sejarah Homoseksualitas Di Barat ………………………………………………………43
a.1. Pada Masa Tradisional ………………………………………………………………….43
a.2. Masa Modern …………………………………………………………………………….50
a.3. Pada Masa Postmodern ………………………………………………………………….64
B Homoseksual Di Dunia Islam ………………………………………………………………….68
b.1. Homoseksual Pada Sejarah Awal ………………………………………………………68
b.2. Homoseksual Pada Masa Sekarang ……………………………………………76
C Homoseksual Di Indonesia (Madura) ………………………………………………………83
c.1. Homoseksual Pra Modern………………………………………………………………….83
c.2. Homoseksual Pada Masa Modern Sampai Sekarang ……………………..90

Bab III. Struktur Sosial Pondok Pesantren & Masyarakat Pesantren


………………………………………………………….………………………………………..97
A Homogenitas Ponpes An-Naqiyah dan Masyarakat Gilir-gilir ……………………..99
a.1. Sejarah Singkat Pondok Pesantren ……………………………………………99
a.2. Perkembangannya Sampai Sekarang ………………………………………….105
a.3. Kehidupan Keseharian dan Bentuk Peraturan terhadap Santri …………115
a.4. Pola Pendidikan: Ponpes Tradisional ………………………………………….118
a.5. Kepemimpinan Paternalistik Kiai ………………………………………….…………127
a.6. Peran Kiai Dalam Politik dan Masyarakat ………………………………………….130
a.7. Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat Pesantren Gilir-gilir …………136
B Homogenitas Ponpes Al-Amanah dan Masyarakat Parendu ……………………150
b.1. Sejarah Singkat pondok Pesantren ………………………………………….150
b.2. Perkembangannya Sampai Sekarang ………………………………………….153
b.3. Kehidupan Keseharian dan Bentuk Peraturan terhadap Santri …………169
b.4. Pola Pendidikan: Ponpes Modern ………………………………………….177

xiii
Perilaku Homoseksual di Ponpes

b.5. Kepemimpinan Paternalistik Kiai ………………………………………….…………194


b.6. Peran Kiai Dalam Politik dan Masyarakat………………………………………….196
b.7. Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat Pesantren Parendu …………197

Bab IV. Perilaku Homoseksual Dalam Tradisi Pondok Pesantren ………..210


A Homoseksualitas di Ponpes Tradisional An-Naqiyah ………………………………212
a.1. Pola Relasi Antarpelaku Alaq Dalaq ………………………………………….222
a.2. Pola Relasi Dengan Masyarakat …………………………………………………….230
B Homoseksual Di Ponpes Modern Al-Amanah ………………………………………….237
b.1. Pola Relasi Antarpelaku Alaq Dalaq ………………………………………….245
b.2. Pola Relasi Dengan Masyarakat …………………………………………………….248

Bab V. Konstruksi Subjektif Masyarakat Pesantren terhadap Perilaku


Homoseksual Di Pondok Pesantren.………………………………………………254
A Pemaknaan Subjektif Masyarakat Pesantren Terhadap Homoseksual Santri
……………………………………………………………………………………………………………255
B Terbentuknya Konstruksi Subjektif Homogenisasi Kultural ……………………270

Bab VI. Kesimpulan ……………………………………………………………………273


Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………280
Lampiran-lampiran
Curriculum Vitae

xiv
Perilaku Homoseksual di PonPes

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Bennedict Anderson, bangsa bukanlah tumbuhan atau tanaman yang

tumbuh secara alamiah, hanya dikarenakan ia menjadi organisasi sosial yang sangat

penting dalam dunia modern dan bukan berarti ia ada dengan sendirinya, just there,

tetapi sama dengan konstruks lainnya, ia juga terbentuk secara sosial - diskursif.

Bangsa menurutnya sebagai an imagined political community – and imagined as inherently

limited and sovereign. Sedangkan nasionalisme, adalah konstruks ideologis diskursif yang

dengannya bangsa itu dibayangkan. 1 Sedangkan fungsinya menurut Giddens untuk

menegaskan kohesi teritorial dan kualitas reflektif negara-negara.2

Dengan demikian, imajinasi tersebut sangat beragam, karena bangsa itu sendiri

terdiri dari beragam unsur sosial, baik karena etnis, klas, pendidikan, gender, umur,

seksualitas, dan lain sebagainya. Imajinasi yang beragam itu oleh karenanya

ditransformasikan menjadi satu dengan pondasi ideologis dan memori historis tertentu.

Karena itulah Smith mendefinisikan bangsa sebagai sekumpulan penduduk bernama

yang mempunyai sebuah wilayah bersejarah, historis, mitos, dan kultur publik,

ekonomi, dan kewajiban bersama, serta hak-hak hukum bagi semua warganya.3

1
Bennedict Anderson., 2001, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terj. Omi
Intan Naomi, Insist Press & Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hlm. 6-11
2
Anthony Giddens., 1985, The Nation - State and Violence: Volume Two of A Contemporary
Critique of Historical Materialism, Polity Press: Cambridge, hlm. 121
3
Anthony Smith., 1991, National Identity, Penguin: London, hlm. 14

1
Perilaku Homoseksual di PonPes

Oleh karena itu bangsa merupakan sebuah fenomena modern, sejarah, dan

kebersamaan yang dibentuk dan dibayangkan, dengan cepat dan secara terus-menerus

oleh banyak orang. Dengan bantuan kapitalisme dan media serta teknologi percetakan

proses ini menjadi semakin lancar. Dengan demikian, bangsa mengada melalui sistem

4
pemaknaan (a system of signification). Karena reproduksi secara terus-menerus

tersebutlah, nasionalisme tidak akan pernah konstan, ia selalu memperbarui diri, dan

pada saat yang sama mendukung dan sekaligus didukung oleh berbagai institusi sosial

yang membentang dari keluarga, sekolah, pemerintah, agama, dan tentunya juga media

massa.

Sedangkan identitas nasional, Anderson menyebutnya sebagai suatu imajinasi

diskursif (discursif imagining) yang menegaskan nilai-nilai, sejarah, pandangan hidup dan

cita-cita bersama yang menyatukan banyak orang di bawah satu ikatan. Oleh karena itu,

identitas nasional tersebut tidak akan pernah netral. Identitas nasional akan selalu

memihak ideologi klas tertentu, berpihak pada ideologi ras dan bangsa tertentu,

memihak ideologi gender tertentu, dan berpihak pada ideologi seksual tertentu. 5

Meskipun demikian, penulis di sini hanya akan memfokuskan diri pada dua isu yang

4
Bennedict Anderson., Op. Cit, hlm. 47
5
Moh. Yasir Alimi., 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga
Wacana Agama, LKiS: Yogyakarta, hlm. 18

2
Perilaku Homoseksual di PonPes

terakhir, yakni keberpihakan terhadap orientasi seksualitas dan gender tertentu, dalam

hal ini keberpihakan terhadap heteroseksualitas.6

Di Indonesia, seksualitas sebagai bidang ilmu sosial boleh dikatakan belum

lahir. Di negeri-negeri Barat sendiri, studi tentang seksualitas masih relatif baru.

Sehingga memunculkan pertanyaan. Apakah seksualitas penting dibicarakan di tengah

persoalan yang lebih kritis seperti kemiskinan, konflik, krisis ekonomi, korupsi dan

pengrusakan lingkungan?. Anehnya, pada saat krisis sosial, perilaku seksual seringkali

menjadi lebih “ekspresif” dan mempunyai nilai simbolik yang besar sehingga

seksualitas dapat menjadi semacam barometer masyarakat. Dari dulu hingga sekarang,

seksualitas bukan hanya sesuatu yang sifatnya biologis - fisik, tetapi merupakan suatu

bentuk konstruksi sosial masyarakat. Karena itu, seksualitas adalah cermin untuk

melihat keberadaan lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, seperti nilai-

nilai masyarakat, adat, agama, lembaga-lembaga besar seperti negara, serta hubungan

kekuasaan.7 Dengan demikian seksualitas tidak hanya dipandang sebagai perwujudan

6
Hal ini nampak dari berbagai normatifitas yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat
bahwa seksualitas yang diakui dan dianggap sempurna serta normal adalah pasangan suami istri – laki-
laki dan perempuan – heteroseksual, sedangkan yang lain amoral dan abnormal serta dianggap dosa,
termasuk homoseksualitas. Perbedaan gender sebenarnya tidak akan menjadi sebuah persoalan jikalau
tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun pada perkembangannya perbedaan gender ternyata
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum perempuan atau kaum laki-laki. Ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan di antaranya; marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender. Mansour Fakih., 2003, Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. III,
Pustaka Pelajar: Jogjakarta, hlm. 12-13
7
Dikutip dari Julia I. Suryakusuma., “Konstruksi Sosial Seksualitas”, dalam Prisma No. 20 Edisi
7, Juli, th. 1991, hlm. 3

3
Perilaku Homoseksual di PonPes

sistem nilai yang normatif dan abstrak, akan tetapi mempunyai keterkaitan yang erat

dengan persoalan kekuasaan.8

Oleh karena itu konsepsi seksualitas akan selalu dibentuk oleh sistem

kekeluargaan, perubahan ekonomi dan sosial, berbagai bentuk pengaturan sosial yang

berubah, momen politik dan gerakan-gerakan perlawanan.9 Menurut Foucault aparatus

seksualitas mempunyai peran sentral dalam kekuasaan. Oleh karena itu kekuasaan

selalu dinyatakan melalui hubungan dan diciptakan dalam hubungan yang

menunjangnya. Kekuasaan mendefinisikan pengetahuan, melakukan penilaian baik-

buruk, yang boleh dan tidak boleh, mengatur perilaku, mendisiplinkan dan

mengontrol segala sesuatu dan bahkan menghukumnya. Dengan demikian manusia

sebagai individu, termasuk dalam hal ini subjektivitas seksualnya juga dibentuk dan

diatur oleh rezim kekuasaan.10

Meskipun demikian setiap masyarakat mempunyai pola dan bentuk serta

pemahaman yang berbeda tentang seksualitas. Di samping itu, seksualitas juga

cenderung dibebani arti yang sangat berlebihan, misalnya pada saat terjadi kepanikan

moral karena alasan politis, ekonomi atau sosial, perilaku seksual bisa menjadi

kambing hitam yang berguna dan meyakinkan karena sentralitas kaitan antara

seksualitas dan moralitas.

8
Onghokham., “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintas Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, dalam
Prisma No. 20 Edisi 7, Juli, th. 1991, hlm. 15-23
9
Jeffrey Weeks., 1987,”Question of Identity” dalam Pat Caplan, The Cultural Construction of
Sexuality, Tavistock Publication: New York, hlm. 12-15
10
Julia I Suryakusuma., Op. Cit, hlm. 2

4
Perilaku Homoseksual di PonPes

Seksualitas dapat diekspresikan melalui kontak fisik langsung, tetapi bisa juga

secara sugestif atau simulatif. Misalnya seksualitas yang terpancar dalam tarian

Jaipongan, kadang perilaku tersebut dianggap pornografi tapi bagi orang lain dianggap

sebagai seni yang erotis atau sensual, selain itu perempuan harus perawan dan laki-laki

mencari banyak pengalaman. 11 Contoh tersebut merupakan normativitas seseorang

mengenai seksualitas yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang, atau dengan kata

lain ada ambiugitas dalam moralitas seksual. Sedangkan kegiatan seksual yang tidak

dalam kerangka “lazim” akan diancam rasa bersalah bagi pelakunya, malah oleh agama

dikecam sebagai dosa. Heteroseksual dikecam jika melakukan hubungan seks di luar

perkawinan dan aktivitas menyimpang. Sementara homoseksual, seolah-olah tidak

mempunyai hak seksual karena otomatis kegiatan seksual bagi mereka ada di luar

perkawinan, dan pasti menyimpang. Diskriminasi dan rasa bersalah yang ditanamkan

pada diri kaum homoseksual mengakibatkan mereka menutupi orientasi seksualnya,

dengan akibat lanjut penekanan terhadap jiwa yang sangat parah. Seperti, melarikan

diri ke narkoba, atau bunuh diri. Banyak kaum homoseksual akhirnya memilih hidup

dalam kebohongan, kadang sampai menikah dan beranak pinak, tetapi terpaksa

11
Erich Fromm., 2002, Cinta Seksualitas Matriarki Gender, terj. Pipit Maizier, Jalasutra:
Jogjakarta, hlm. 217-221. Di sini dia juga menjelaskan bagaimana sebuah moralitas menampakkan
ambiguitasnya, seperti ketika seorang bapak dengan enggan mencium anaknya laki-laki karena dianggap
tidak etis sedangkan ibunya dengan leluasa mencium anak perempuannya.

5
Perilaku Homoseksual di PonPes

menjalani kehidupan ganda, secara terang sebagai heteroseksual, secara gelap sebagai

homoseksual.12

Perilaku homoseksual di masyarakat-masyarakat Indonesia, diatur dengan

berbagai macam cara dan pola, yang jika diuraikan: (1) hubungan homoseksual dikenal

dan diakui, hal ini nampak dari istilah masyarakat dalam mengindikasikan hubungan

tersebut, seperti di Minangkabau ada istilah induk jawi dan pasangannya anak jawi,

begitu juga di Madura ada istilah alaq dalaq. (2) homoseksual di lembagakan dalam

rangka pencarian kesaktian, hal ini nampak dalam tradisi warok di Ponorogo dengan

pasangannya sebagai gemblak. (3) perilaku homoseksual diberi jabatan sakral, seperti

pada suku Dayak Ngaju dikenal sebutan basir, pada suku Toraja Pamona dikenal

shaman atau tadu aburake, pada suku Makasar dikenal sebutan bissu. (4) homoseksual

dijadikan bagian ritus inisiasi, seperti yang terjadi di suku Pulau Irian hubungan genito-

oral dan genito-anal antara remaja dan laki-laki dewasa sebagai bagian ritus inisiasi. (5)

homoseksual di lembagakan dalam seni pertunjukan, seperti tari sedati di Aceh,

pertunjukan lenong di Betawi, tari gandrung di Banyuwangi dan Bali Barat, ludruk,

ngremo dan tari bedhaya di Jawa, serta sandhur di Madura.13

12
Padahal kalau kita lebih teliti lagi, kaum homoseksual telah tumbuh seiring pertumbuhan
masyarakat di muka bumi, tapi mengapa mereka tetap tidak diakui oleh masyarakat sebagai bagian dari
dirinya, bahkan mereka dianggap sebagai orang yang akan menyimbulkan mala petaka bagi masyarakat
setempat. Untuk lebih mengetahui sejarah homoseksual dari dulu hingga sekarang, baca Colin Spencer.,
2004, Sejarah Homoseksual: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Ninik Rochani Sjams, Kreasi Wacana:
Jogjakarta.
13
Dede Oetomo., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang dan Ford Foundation: Jogjakarta,
hlm. 30-36

6
Perilaku Homoseksual di PonPes

Dari berbagai uraian di atas nampak bahwa perilaku homoseksual cenderung

diakui dan diterima secara informal-realitas, namun secara formal-rasional masyarakat

masih belum menerima dengan adanya perilaku hubungan tersebut, karena adanya

anggapan bahwa hal itu menyimpang dan keluar dari ajaran agama.

Homoseksualitas sebagai fenomena kehidupan manusia yang usianya setua

sejarah kehidupan manusia itu sendiri, hingga kini keberadaannya masih dalam

perdebatan. Keberadaan homoseksual satu sisi dapat diterima oleh masyarakat, namun

di sisi lain terdapat masyarakat yang mengutuk perilaku tersebut. Penilaian masyarakat

terhadap homoseksual diberikan dalam beberapa bentuk, yakni; dilihat dari sudut

pandang agama dianggap sebagai dosa, dari sudut pandang hukum dianggap sebagai

penjahat, dari sudut pandang medis dianggap sebagai penyakit, dan dari sudut

pandang opini publik dianggap penyimpangan sosial secara seksual.14

Meskipun demikian, keberadaan kaum homoseksual dalam masyarakat masih

dianggap sebagai ancaman, walaupun mereka sebenarnya tidak merugikan orang lain

baik secara fisik maupun psikis. 15 Secara yuridis formal Indonesia, homoseksual

bukanlah suatu kejahatan, dengan demikian diskriminasi terhadapnya merupakan

pelanggaran hukum. Hukum telah menjamin dan melindungi terhadap kebebasan dan

hak-hak dasar setiap manusia, yang diatur dalam amandemen UUD 1945, juga telah

14
Herant A Katchadourian., 1989, Instructor’s Edition: Fundamental of Human Sexuality, fifth
edition, Rinehart & Winston Inc: Holt, hlm. 381
15
Julia I Suryakusuma, Op. Cit, hlm. 6

7
Perilaku Homoseksual di PonPes

mempunyai ketentuan yang dituangkan dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia.16

Pergulatan homoseksualitas dalam lapisan empiris dan teoritis, pada

kenyataannya lebih mengedepankan aspek empirisnya. Akibatnya realitas homoseksual

di masyarakat seringkali masih dianggap sebuah penyimpangan sosial daripada sebuah

variasi ragam orientasi seksual. Hal tersebut berakibat pada munculnya berbagai bentuk

penindasan terhadap kaum homoseksual dalam mengekspresikan orientasi seksualnya

(homoseksualitas). Kebebasan dalam mengekspresikan pilihannya dalam interaksi

sosial, bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Berbagai hambatan baik yang

bersifat internal ataupun eksternal seringkali menghinggapinya. Hambatan internal

berasal dari dalam diri kaum homoseksual sendiri, yang seringkali ada perasaan takut,

dosa, gelisah, serta ketidaksiapan psikis bila jati dirinya terungkap. Sedangkan

hambatan eksternal berasal dari masyarakat, yaitu penolakan terhadap orientasi

seksualnya (homoseksualitas). Padahal sebagaimana manusia pada umumnya

16
Anis Farida., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak Dengan Kaum Heteroseksual
Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas Gadjah Mada: Tesis, hlm. 6. Meskipun demikian baru-
baru ini telah muncul berbagai desakan terhadap pemerintah untuk perlunya mencantumkan
pelarangan terhadap segala hal yang menurut mereka “asusila” dalam pasal – pasal Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk di dalamnya larangan terhadap perzinahan homoseksualitas
dan perkawinan sesama jenis (PSJK). Walaupun sampai sekarang masih diperdebatkan, namun dari sini
nampak bahwa masyarakat dan pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap minoritas dan tidak
menghargai akan adanya pluralisme orientasi seksualitas. Untuk mengetahui perdebatan seputar pasal –
pasal tersebut lihat, Reza Indragiri Amriel., “Pasal – Pasal Susila dalam KUHP Baru, Apanya yang
Kontroversi?” Dalam Sinar Harapan, Kamis, 16 Oktober 2003. Santoso Purwoadi.,”Kontroversi Pasal –
Pasal Susila dalam KUHP Baru”, dalam Sinar Harapan, Sabtu 11 Oktober 2003, serta wawancara antara
Dede Oetomo dengan Kantor Berita Prancis (AFP), tentang gay yang dijadikan manuver pendukung
Islam politik untuk Pemilu 2004, “Syariat Islam dalam KUHP bermuatan politis,” dalam http://www.
Glorianet.org/berita/b4552.html, mengakses tanggal 20 Februari 2005

8
Perilaku Homoseksual di PonPes

kebutuhan akan interaksi dengan masyarakat lain selalu ada, interaksi kaum

homoseksual dengan masyarakat sekitar, keluarga, teman, guru dan lain sebagainya,

secara umum tidak berbeda dengan kaum heteroseksual. Untuk mengatasi

problematika dalam berinteraksi dengan masyarakat, maka mereka memiliki

kecenderungan untuk menutupi identitas dirinya atas perilaku homoseksualnya. Upaya

ini ditempuh untuk menjaga nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Selain itu,

seringkali masyarakat membiarkan seseorang berperilaku homoseksual sejauh mereka

tidak secara terang-terangan menyatakan identitas homoseksualnya di depan umum.

Penilaian masyarakat yang menempatkan homoseksual sebagai sesuatu yang

abnormal dan imoral, serta dianggap sebagai suatu aib yang mengancam, menarik

untuk dikaji secara mendalam. Karena represi terhadapnya dapat memberikan indikasi

tentang nilai dan sikap masyarakat terhadap seksualitas pada umumnya.

Berawal dari fenomena tersebut maka penulis merasa tertarik untuk meneliti

fenomena homoseksualitas terutama di pondok pesantren Sumenep Madura. Hal ini

dikarenakan asumsi atau mitos masyarakat bahwa pondok pesantren adalah tempat

bagi menuntut ilmu agama, penjaga norma keagamaan, yang pada akhirnya dianggap

sebagai tempat bagi orang-orang yang ta’at terhadap agamanya. Namun demikian

homoseksualitas terjadi di pondok pesantren atau yang lebih dikenal sebagai mairilan,

yakni hubungan antarsantri di pondok pesantren Jawa. Hubungan ini adalah

hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya yang lebih muda. Hubungan itu

selain mengandung aspek emosional – erotik, juga melibatkan bimbingan dalam

9
Perilaku Homoseksual di PonPes

belajar, dan tolong – menolong dalam kehidupan sehari – hari di pondok pesantren.

Hubungan ini adalah sesuatu yang dilembagakan secara menyeluruh di pondok

pesantren tradisional (salaf), dan dipandang sebagai perbuatan yang dosanya lebih kecil

ketimbang berbuat zina. Hubungan kasih sayang tersebut berlangsung hingga salah

satu dari kedua santri tersebut menikah (berkeluarga). Meskipun demikian hubungan

emosialnya tetap diteruskan di luar pondok pesantren, dan dalam kegiatan sosial,

politik, dan keagamaan yang dilakukan keduanya. Sedangkan istrinya biasanya

mengetahui siapa yang dulu merupakan mairilan suaminya, dan ada kalanya hubungan

erotiknya masih terus berlangsung meskipun dia sudah berkeluarga.17

Seperti halnya di pondok pesantren di Jawa, di Madura pondok pesantrennya

juga telah tumbuh subur fenomena tersebut, dan dikenal dengan istilah alaq–dalaq.18

Padahal Madura dicitrakan sebagai daerah yang sangat memperhatikan nilai-nilai

keagamaan Islamnya (untuk mengetahui tentang pandangan Islam terhadap perilaku

homoseksual lihat Bab 4), serta dipelihara teguh dengan sepenuh hati di kalangan

anggota masyarakatnya. Bahkan Amin Rais mengatakan bahwa Madura adalah

Madinah-nya Indonesia. 19 Selain itu, pondok pesantrennya merupakan alat kontrol

terhadap masyarakat Madura dalam segala aktivitas sosial kemasyarakatannya, baik

budaya, agama, pendidikan, sosial, politik dan lain sebagainya, ternyata di dalamnya

17
Dede Oetomo., 2001, Op. Cit, hlm. 31
18
Untuk lebih mengetahuinya lihat Ibid., hlm. 55-60
19
Amin Rais., “Islam Dan Budaya Madura, dalam Aswab Mahasin dkk (edit)., 1996, Ruh Islam
dalam Budaya Bangsa, Yayasan Festival Istiqlal: Jakarta, hlm. 244.

10
Perilaku Homoseksual di PonPes

perilaku homoseksual telah tumbuh dan berkembang dengan subur. Padahal

masyarakat Madura menganggapnya sebagai sebuah penyimpangan, amoral, abnormal

dan dosa besar.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini ingin menjawab berbagai

persoalan penting yang berkenaan dengan fenomena perilaku homoseksual di pondok

pesantren Sumenep, yakni bagaimana konstruksi subjektif masyarakat pesantren

Sumenep terhadap perilaku homoseksual di pondok pesantren Sumenep Madura?.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan tentang fenomena perilaku homoseksual di pondok pesantren

Sumenep, serta pola hubungan antarpelakunya dengan masyarakat.

2. Menjelaskan konstruksi subjektif masyarakat pesantren Sumenep terhadap

fenomena homoseksual di pondok pesantren Sumenep.

D. Manfaat Penelitian

Dengan berbagai tujuan di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini akan

dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangan terhadap wacana keilmuan ilmu-ilmu sosial tentang

fenomena homoseksual di pondok pesantren Sumenep, supaya dapat

memperkaya khazanah keilmuan khususnya di Indonesia.

11
Perilaku Homoseksual di PonPes

2. Memberikan kesadaran baru secara lebih kritis dalam melakukan pembacaan

sosial terhadap para pelaku homoseksual di pondok pesantren sebagai bagian

dari kelompok masyarakat Sumenep.

E. Studi Terdahulu Tentang Homoseksual

Studi tentang perilaku homoseksual telah banyak dilakukan, baik oleh para

ilmuwan luar negeri, seperti Alfred Charles Kinsey (1940-an) yang melakukan

penelitian terhadap sekitar 5000 orang laki-laki Amerika Serikat dan menciptakan skala

bergradasi nol (heteroseksual eksklusif), hanya sekitar 50% dan 18% biseksual, sampai

enam (homoseksual eksklusif).20 Hal ini berawal dari peristiwa Stonewall tahun 1969,

yakni pembangkangan kaum homoseksual untuk memperjuangkan hak-haknya dan

bersamaan dengan gelombang kedua gerakan feminim. Mereka (kaum homoseksual)

tidak takut-takut lagi, serta mulai mempertimbangkannya untuk dijadikan sebagai

bahan kajian studi.21

Mulai dari itu maka sedikit demi sedikit kemapanan kajian studi tentang

homoseksualitas mulai nampak, dengan terbitnya Journal of Homosexuality pertama kali

tahun 1974. Sejak itu maka muncul jurnal-jurnal yang lain di antaranya; Journal of Gay

20
Alfred Charles Kinsey (et.al.)., 1948, Sexual Behavior in the Human Male, Saunders:
Philadelphia, sebagaimana yang dikutip oleh Anthony Giddens., 2004, Op. Cit, hlm. 14-15. Yang jika
dijabarkan skala tersebut adalah; 0 (heteroseksual eksklusif), 1 (heteroseksual lebih dominan,
homoseksual cuma kadang-kadang), 2 (heteroseksual predominan, homoseksual lebih dari kadang-
kadang), 3 (biseksual), 4 (homoseksual predominan, heteroseksual lebih dari kadang-kadang), 5
(homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang), 6 (homoseksual eksklusif).
21
Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center, hlm. 1

12
Perilaku Homoseksual di PonPes

and Lesbian Psychoteraphy, Journal of The History of Sexuality, European Gay Review, dan

lain sebagainya.

Para teoritisi di bidang homoseksualitas di antaranya, Jefrey Weeks (1980) 22

yang menyoroti penciptaan identitas baru kelahiran kaum homoseksualitas dan hak-

haknya dalam politik, selain itu menurutnya homoseksualitas baru menjadi sebuah

masalah besar setelah timbulnya kapitalisme. Sejak pertengahan abad XVIII bentuk

keluarga monogami dan heteroseksual semakin ditekankan dalam ideologi borjuis

sebagai unit dasar dalam masyarakat. M. Freedman (1989) 23 mulai memperkenalkan

konsep homophobia, karena menurutnya kaum homoseksualitas adalah sesuatu yang

normal dan bahkan lebih sehat dari kaum heteroseksual, namun masyarakat yang

menganggapnya sebagai penyimpangan, dosa dan rentan terhadap penyakit terutama

AIDS.

Perhatian dan kajian para teoritisi homoseksual lambat laun beralih terhadap

munculnya perkembangan cultural studies, hal ini bisa terlihat dengan

berkembangbiaknya studi-studi kebudayaan gay dan lesbian dalam segala bentuk, yakni

film, televisi, novel, karya-karya fiksi, biografi, musik, karya-karya seni dan bentuk-

bentuk kebudayaan populer lainnya. Richard Dyer misalnya (1977 & 1991),24 penulis

22
Jefrey Weeks., 1980, Homosexuality: Power & Politics, Allison & Busby: London.
23
M. Freedman., 1989, Lesbianism: Affirming Non Tradisional Roles, Rothblum & Cole: Boston.
24
Richard Dyer., 1977, Gays & Film, British Film Institute: London. Dan Richard Dyer., 1991,
Now You See It, British Film Institute: London.

13
Perilaku Homoseksual di PonPes

yang melacak perkembangan genre film-film gay dan lesbian dalam beberapa dekade

terakhir ini.

Sedangkan ilmuwan dalam negeri, Dede Oetomo (2001)25 adalah orang yang

pertama kali melakukan perlawanan struktural dan kultural terhadap marginalisasi

kaum homoseksual, yang berupaya mengungkapkan secara teoritik lahirnya

homoseksualitas di dunia Barat dan Indonesia khususnya, serta mengungkapkan data

empiris dan simbolik tradisi-tradisi homoseksualitas yang berkembang luas di

masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya masyarakat Madura.

Moh Yasir Alimi (2004)26 menulis tentang media massa yang mulai melahirkan

wacana-wacana tentang seksualitas termasuk di dalamnya tentang homoseksualitas.

Menurutnya masyarakat dan media harus didekonstruksi ulang terhadap pemahaman

mereka selama ini, yang menganggap sesuatu menyimpang dan yang lain tidak, serta

anggapan bahwa yang menyimpang adalah dosa padahal agama sangat menunjung

tinggi perbedaan termasuk dalam hal ini perbedaan orientasi seksualitasnya. Sedangkan

Anis Farida (2003)27 tentang kekuasaan kaum homoseksual dalam upayanya terhadap

penyamaan hak-haknya dengan kaum heteroseksual serta respon masyarakat Surabaya

terhadap mereka (kaum Homoseksual). Tiga pustaka tersebutlah yang menjadi awal

25
Dede Oetomo., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press & Ford Foundation:
Jogjakarta.
26
Moh. Yasir Alimi., 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga
Wacana Agama, LKiS: Jogjakarta.
27
Anis Farida., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak Dengan Kaum Heteroseksual
Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas Gadjah Mada: Tesis

14
Perilaku Homoseksual di PonPes

ketertarikan penulis untuk meneliti perilaku homoseksual dan konstruksi subjektif


28
masyarakat pesantren terhadapnya. Selain itu, Praptoraharjo (1998) yang

menguraikan secara panjang lebar tentang fenomena perilaku homoseksual di

Yogjakarta serta konstruksi masyarakat Yogjakarta terhadap mereka, dan juga tentang

gejala homophobia masyarakat Yogjakarta terhadap kaum homoseksual.

Namun, dari berbagai literatur dan penelitian serta pelacakan yang selama ini

dilakukan, menurut hemat penulis masih belum ada studi atau penelitian yang secara

khusus membahas tentang perilaku homoseksualitas di pondok pesantren, terutama di

pondok pesantren Sumenep Madura. Padahal perilaku homoseksualitas tersebut akan

mampu untuk mengungkap konstruksi sosial masyarakat Sumenep, serta mempunyai

peran yang cukup berpengaruh baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan,

agama, ataupun kebudayaan seksualitas di dalam masyarakat Sumenep atau Madura

khususnya dan Indonesia pada umumnya.

F. Landasan Teoritis Homoseksual

f.1. Konseptualisasi Homoseksual

Homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang

sama. Selain itu, perilaku seksual para kaum homo dikenal dengan beberapa pola

hubungan seksualnya, yaitu perilaku oral genital (fellatio) yang hanya dengan memeluk

dan mencium, kedua, seks anal (koitus genitor-anal) atau seksualitasnya dengan

28
Parptoraharjo., 1998, Laki-laki “Pecinta” Laki-laki: Sebuah Kajian Tentang Konstruksi Sosial
Perilaku Homoseksual, Universitas Gadjah Mada: Tesis.

15
Perilaku Homoseksual di PonPes

melakukan penetrasi anus, dan ketiga, koitus interfemoral yakni perilaku seksual dengan

melakukan gesek-gesek (frottage), dan fisting (di mana tangan dimasukkan kerektum

pasangannya). Oleh karena itu, homoseksualitas di sini mengacu pada orientasi

seseorang akan rasa ketertarikan secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional)

dan erotik, baik predominan (lebih menonjol) maupun eksklusif (semata-mata)

terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik

(jasmaniyah). 29 Meskipun ini definisi kasar, tetapi sangat berguna sebagai landasan

untuk membangun suatu argumen.

Dengan demikian, perbuatan homoseksual (homosexual acts) atau perilaku

homoseksual (homosexual behavior) mengacu pada kegiatan atau perilaku seksual antara

dua jenis orang yang berjenis kelamin sama (namun dalam kajian ini lebih mengacu

kepada laki-laki atau yang sering disebut dengan istilah gay, sedangkan perempuan

sering disebut lesbi). Dalam hal ini harus diingat juga bahwa orang yang melakukan

kegiatan atau berperilaku homoseksual dapat saja pada konteks lain melakukan

kegiatan atau berperilaku heteroseksual atau sebaliknya.

Homoseksualitas sebagai salah satu bentuk orientasi seksual merupakan bagian

penting dari identitas seseorang.30 Dengan demikian perilaku seksual dan orientasinya

29
Dikutip dari Dede Oetomo., “Homoseksualitas di Indonesia, dalam Prisma, No. 20 Edisi 7,
Juli, th. 1991, hlm. 85. Lihat juga Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.,1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, Balai Pustaka: Jakarta, hlm. 312. Homoseksual
adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama.
30
Pat Caplan., Op. Cit, hlm. 2

16
Perilaku Homoseksual di PonPes

baik pada tingkat individu atau sosial masyarakat menurut Caplan sebagai konsep

seksualitas.31

Berkaitan dengan hal tersebut maka pada setiap budaya masyarakat telah

ditentukan ciri-ciri perilaku jenis kelamin, yang berujung pada keragaman perilaku

khas gender serta peran jenis kelamin. Seperti subjektivitas dan pengetahuan lokal

masyarakat pesantren Sumenep yang mendefinisikan homoseksual dengan alaq dalaq,

yakni istilah yang banyak dikenal atau disebutkan oleh masyarakat pesantren

Sumenep kepada laki-laki yang melakukan perilaku seksualnya ke sesama jenisnya.

Konsep gender merupakan ekspresi psikologis dan kultural seks yang sifatnya

biologis, menjadi peran dan perilaku sosial tertentu. Dengan demikian gender dan

seksualitas mempunyai persamaan, yakni berbasis biologis pada seks dan keduanya

merupakan konstruksi sosial yang bersifat politis yaitu pengorganisasian ke dalam

sistem kekuasaan yang mendukung dan menghargai individu dalam kegiatan tertentu,

sambil mereka menekan dan mendukung yang lainnya.32

31
Ibid., hlm. 20
32
Lilian Rubin., 1990, Erotics Wars, Farrar, Straus and Giroux: New York, hlm. 8. Rubin di sini
pada tahun 1989 meneliti sejarah seksual orang Amerika Serikat sebanyak 1000 orang yang berusia
antara tahun 18-48 tahun. Dari itu nampak akan adanya peralihan moralitas sosial dan perilaku seksual
baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki adanya peralihan cermin setiap orang harus mempunyai
pengalaman yang seluas-luasnya dalam berhubungan baik sosial maupun seksual dengan lawan jenisnya
namun pada akhirnya hubungan antarsesama jenis menjadi prioritas utama mereka ketika umur mulai
menampakkan ketuaan dan mereka mengalami kegagalan dengan perempuan. Sedangkan perempuan
yang pada awalnya sangat menghargai moralitas hubungan sosial dan seksual namun pada akhirnya
mereka juga berpetualang untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dalam hubungan sosial dan
seksual, karena mereka beranggapan bahwa mereka telah dibelenggu awalnya oleh ideologisasi moralitas
maskulinitas dan heteroseksual. Sebagaimana yang ditulis oleh Anthony Giddens., 2004, Transfomation
of Inticimacy: Seksualitas, Cinta dan Erotisme dalam Masyarakat Modern, terj. Riwan Nugroho,Fresh Book:
Jakarta, hlm. 8-14

17
Perilaku Homoseksual di PonPes

Selain itu, homoseksualitas bukanlah penyimpangan gender, tetapi terdapat

hubungan yang erat antara ketidakpatuhan terhadap norma gender dan perkembangan

homoseksual. Ketidakpatuhan terhadap norma gender merupakan keadaan faktual di

mana seseorang tidak mengikuti kaedah perilaku gender yang ditetapkan oleh sosial

budayanya. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada waria atau istilah lainnya

transeksual, yang mana mereka lebih tertarik terhadap laki-laki dan melakukan

peranan seksual dan sosialnya sebagai perempuan, sedangkan homoseksual secara

psikis maupun fisik mereka laki-laki dan berperilaku sebagaimana laki-laki pada

umumnya.33 Sedangkan biseksual adalah perilaku seksual yang mempunyai oroientasi

seksual ke sesama jenis dan ke lawan jenisnya. Dalam masyarakat, hubungan

heteroseksual dilihat sebagai sesuatu yang normatif, sedangkan homoseksual

dianggap menyimpang. Orientasi seksual ini dibedakan dalam dua kategori, yaitu

sebutan homoseksual itu diberikan kepada orang-orang yang secara seksual lebih

tertarik pada orang lain yang memiliki jenis kelamin sama. Istilah heteroseksual

diberikan pada orang-orang yang secara seksual lebih tertarik pada lawan jenisnya.

Ketidakpatuhan terhadap norma hubungan heteroseksual diancam oleh dominasi

ideologi yang memandang seks sebagai sesuatu yang alamiah. 34 Adanya dominasi

ideologi heteroseksual tersebut melahirkan norma agar setiap orang secara alamiah

33
Kartini Kartono., 1989, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, CV. Mandar Maju:
Bandung, hlm. 247-249. Lihat juga, Koeswinarno., 2004, Hidup Sebagai Waria, LKiS: Jogjakarta, hlm. 8-9.
34
Pat Caplan., Op. Cit, hlm. 2

18
Perilaku Homoseksual di PonPes

tertarik pada lawan jenisnya, dan bagi mereka yang tidak mematuhinya akan dianggap

melakukan penyimpangan seksualitas.

Pemberian label menyimpang terhadap kaum homoseksual telah menimbulkan

dampak negatif bagi kelompok tersebut. Dengan adanya pelabelan yang diberikan

masyarakat kepada kaum homoseksual, maka mereka cenderung melihat dirinya

kelompok yang berbeda (the others), marginal, dan bahkan abnormal. 35 Kenyataan

demikian semakin menimbulkan ketakutan yang berlebihan dari masyarakat terhadap

kaum homoseksual atau dikenal dengan istilah homophobia.36 Konsep ini merupakan

hal penting untuk memahami berkembangnya perasaan takut dan kebencian yang

tidak irasional dari masyarakat terhadap kaum homoseksual.

f.2. Sosial Diskursif Atas Homoseksual

Landasan teoritik di sini, kami akan menggunakan dua kategori umum yang

digunakan dalam mengkaji seksualitas (homoseksualitas): esensial (alamiah-biologis)

dan non-esensial (sosial-diskursif). 37 Meskipun tidak berupaya untuk membenarkan

antara kategori yang satu dengan lainnya, tapi perlu dijelaskan di sini bahwa kategori

yang akan digunakan adalah kategori yang kedua – non-esensial (sosial-diskursif).

Esensial adalah reduksi seksualitas sebagai sekedar dorongan alamiah-biologis

yang hadir sebelum adanya kehidupan sosial. Seksualitas dikonsepkan sebagai kekuatan

35
Herant A Katchadourian., Op. Cit, hlm. 365
36
Ibid., hlm. 367
37
Untuk mengetahui perdebatan seputar dua teoritik tersebut, baca Anja van Kooten Niekerk
dan Theo van der Meet., “Introduction” dalam Dennis Altman (dkk)., 1989, Homosexuality, Which
Homosexuality?, An Dekker atau Schorer: Amsterdam, hlm. 5-12

19
Perilaku Homoseksual di PonPes

instinktif (naluriah) yang menggerakkan dan menguasai individu dalam kehidupan

pribadi maupun sosial. Jika kekuatan ini tidak disalurkan ke dalam ekspresi seksual

yang langsung, maka ia muncul sebagai kelainan kejiwaan atau neurosis. Selain itu

seksualitas juga dianggap sebagai dorongan yang sifatnya maskulin dan heteroseksual.

Kategori ini banyak dipakai oleh Sigmund Freud, Alfred Kinsey, dan William Masters

serta Virginia Johnson. Selain itu esensialis beranggapan bahwa seks tidak pernah

berubah, asosial, dan transhistoris karena hal itu dianggap sebagai satu-satunya

penjelasan yang sah dan agamis tentang seksualitas.38

Sedangkan kategori kedua, non-esensial (sosial–diskursif) adalah pemahaman

seksualitas yang tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah yang ada sejak lahir.

Karena seksualitas dipengaruhi suatu proses pembentukan sosial-budaya yang

melampaui aspek-aspek pembentukan lain dari perilaku manusia, atau kategori ini
39
kadang disebut seksualitas sebagai konstruksionisme sosial, yang kemudian

memunculkan pendekatan interaksionisme oleh Gagnon dan Simon serta Kenneth

Plummer, pendekatan psikoanalitik yang dipelopori oleh Jaqcues Lacan sebagai kritik

terhadap Freud dan Juliet Mitchel, serta pendekatan diskursif oleh Michael Foucault

dan Judith Butler. Namun, yang akan dipakai di sini hanya dua teoritisi terakhir, yakni

Michael Foucault dan Judith Butler. Karena keduanya mampu untuk menjelaskan

38
Untuk mengetahui tentang teori seksualitas (homoseksual) dalam pandangan esensial, lihat,
Sigmund Freud., 2003, Teori Seks, terj. Apri Danarto, Jendela: Jogjakarta.
39
J. H. Gagnon dan William Simon., 1973, Sexual Conduct: The Social Sources of Human Sexuality,
Hutchinson: London, sebagaimana dikutip oleh Julia I. Suryakususma, Op. Cit, hlm. 10

20
Perilaku Homoseksual di PonPes

ideologi normativitas homoseksual dengan baik dan selain itu kedua teoritisi

tersebutlah yang dianggap oleh penulis paling cocok untuk mengkerangkai tesis ini.

Meskipun tiga pendekatan tersebut berbeda, namun ada kesamaannya, yakni

penolakan terhadap pemahaman seksualitas sebagai suatu kekuatan alamiah yang

cenderung memberontak dan karenanya perlu dikontrol oleh aspek sosial kehidupan.

Mereka juga sependapat bahwa sumbangan definisi seksual bersifat sosial dan historis.

Seksualitas tidak bisa dilihat selalu dari segi represi.

Michael Foucault dalam bukunya A History of Sexuality (Seks Dan Kekuasaan:

Sejarah Seksualitas) 40 menganggap bahwa hipotesis represi telah menyesatkan, karena

memberi tafsiran terlalu sempit pada konsep keluarga, menghindari differensiasi klas,

dan memberi pemahaman negatif mengenai kekuasaan. Perilaku seksual diatur bukan

oleh represi, melainkan melalui kekuatannya melakukan regulasi. Misalnya definisi

normal dan abnormal, seperti homoseksual, banci, dan lain sebagainya yang semuanya

merupakan kontrol. Pendefinisian ini senada dengan mekanisme kontrol terhadap

orang-orang yang dicap berdosa, pezinah, gila, sakit, dan patologis, yang semuanya

diatur dan dihukum menurut norma sosial yang berlaku, dan menurut siapa yang

berkuasa pada suatu kurun waktu tertentu. Kerangka ini berawal dari keyakinannya

bahwa hubungan kita dengan realitas sosial diatur melalui berbagai discourse 41 ,

40
Michael Foucault., 2000, Seks & Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, terj. Rahayu S Hidayat,
Gramedia: Jakarta.
41
Discourse, yang cukup sentral dalam pemikiran Foucault, adalah tempat bertemunya
pengetahuan dan kuasa. Kuasa memproduksi pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan memproduksi

21
Perilaku Homoseksual di PonPes

kesatuan-kesatuan kepercayaan, konsep-konsep dan ide-ide yang kita anut. Selain itu,

dia menegaskan bahwa maskulinitas, feminitas, dan seksualitas adalah akibat praktik

disiplin 42 dan diskursif 43 , efek wacana atau buah relasi pengetahuan-kuasa (power 44 -

knowledge).

Selain itu, Foucault mengidentifikasi serta mendefinisikan rezim relasi pleasure-

power-knowledge yang menentukan diskursus tentang seksualitas. Dia mengidentifikasi

empat unitas strategis yang selama ini digunakan untuk mereproduksi dan

melipatgandakan diskursus seksualitas; psikiatri kesenangan (the psychiatrisation of

perverse pleasure), sosialisasi tingkah laku prokreatif (the socialisation of procreative

power. Jadi tidak mungkin memikirkan atau bahkan membayangkan pengetahuan tanpa kuasa dan juga
sebaliknya. Berbeda dengan kalimat (sentence), ujaran (speech act), dan komunikasi interaksional
(interactional communication), discourse mempunyai sistem fungsi (functioning system). Diantaranya adalah
memproduksi kuasa, kebenaran, dan pengetahuan; memerintah subjek dan mengubahnya menjadi
tubuh yang patuh (docile body). Chris Weedon., 1998, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Monash
University Press: Monash, hlm. 108, sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 41.
Lihat juga, Eriyanto., 2001, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKiS, hlm. 65-84
42
Diciplinary, dalam konsep Foucault ada tiga fokus wacana pendisiplinan; (1) ilmu-ilmu
pengetahuan, yang menempatkan subjek sebagai objek penyelidikan (2) praktik-praktik pemisahan, yang
memilah antara yang gila dengan yang waras, antara yang kriminal dengan warga yang taat hukum, dan
yang amoral serta yang patuh terhadap moralitas (3) teknologi-teknologi tentang diri, yang digunakan
individu untuk mengubah diri mereka menjadi subjek. Chris Barker., 2005, Cultural Studies: Teori dan
Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies Center, Bentang: Jogjakarta, hlm. 107
43
Menurut Foucault formasi diskursif adalah suatu pola peristiwa-peristiwa diskursif yang
mengacu pada, atau memunculkan keberadaan, sebuah objek di beberapa wilayah. Formasi diskursif
merupakan peta-peta makna yang sudah diregulasi, atau cara-cara berbicara yang menjadi jalan bagi
objek-objek dan praktik-praktik memperoleh makna. Ibid. hlm. 105-106
44
Power adalah konsep Foucault yang cukup penting dalam menjelaskan seksualitas. Kekuasaan
terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk dan penentu-
penentu ekonomik yang terpusat atau kepada karakter legalnya. Kekuasaan membentuk sebuah kapiler
yang terajut dalam serat-serat tatanan sosial. Serta kekuasaan tidak semata represif tapi juga produktif,
kekuasaan memunculkan subjek-subjek. Kekuasaan berperan dalam melahirkan kekuatan (force),
membuatnya tumbuh dan memberinya tatanan, kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat
kekuatan, menunjukkan atau menghancurkannya. Michael Foucault., 2002, Power / Knowledge: Wacana
Kuasa / Pengetahuan, terj. Yudi Santoso, Bentang Budaya: Jogjakarta, hlm. 115-135.

22
Perilaku Homoseksual di PonPes

behaviour), pedagogisasi seks anak (the pedagogisation of children’s sex) dan histerisasi

tubuh (the hysterisation of women’s body).45 Meskipun demikian ada satu strategi lagi, yang

dikembangkan Foucault dalam bukunya Herculine Barbin: Being The Recently Discovered

Memoirs of a Nineteenth French Hermaphrodite, yaitu diseminasi gagasan tentang

keharusan manusia untuk hanya mempunyai satu identitas gender dan jenis kelamin

yang sejati-jelas. Lima unitas strategi tersebut sebenarnya berasal dari kebutuhan klas

borjuis pada abad XIX untuk meningkatkan produktivitas tubuh dan keamanan spesies

sosial yaitu penduduk.46

Pertama, diseminasi gagasan adalah tentang keharusan manusia untuk

mempunyai satu jenis kelamin atau seks yang jelas. Melalui ilmu kedokteran, hukum,

dan pengadilan ditegaskan bahwa setiap orang harus mempunyai satu jenis kelamin

yang jelas. Yang kedua, sosialisasi perilaku prokreatif, menurut Foucault berlawanan

dengan diskursus seksualitas Yunani dan Roma kuno, seksualitas Barat modern abad

XIX, lebih berorientasi pada tujuan-tujuan prokreatif, bukan kesenangan (pleasure). Dia

menyebut model tersebut sebagai scientia sexual, sedangkan seksualitas Roma kuno yang

berorientasi pada pleasure atau aphrodisia disebutnya sebagai ars erotica. Tujuan scientia

sexual itu adalah memaksimalkan kekuatan, efesiensi, ekonomi tubuh, hubungan

perkawinan, dan heteroseksualitas. Dengan demikian maka heteroseksualitaslah yang

45
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 44
46
Ibid.

23
Perilaku Homoseksual di PonPes

diakui dan dianggap bentuk yang paling sah dari seksualitas. Sedangkan kesenangan

seksualitas hanya dibingkai dalam sangkar emas heteronormativitas.47

Ketiga, psikiatri kesenangan, strategi ini bekerja dengan mempatologikan semua

bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip seksualitas prokreatif yang normal. Karena

itulah sex for pleasures dikutuk. Onani, masturbasi, dan homoseksual dan yang lainnya

sering dianggap sebagai sumber kesenangan erotis sehingga dianggap abnormal,

menyimpang, dan perlu mendapat perlawanan. Hal ini dikarenakan praktik-praktik

seksual nonprokreatif telah memperlemah tubuh dan menjadikannya rawan terhadap

berbagai penyakit.

Keempat, histerisasi tubuh perempuan, dalam strategi ini tubuh feminim dianalisa,

diintegrasikan ke wilayah praktik medis karena penyakit yang melekat padanya dan

akhirnya ditempatkan dalam komunikasi organik dengan tubuh sosial, keluarga, dan

anak. Di sinilah seksualitas perempuan dikonstitusikan sebagai sentral identitas mereka,

mereka adalah biologi mereka dan seksualitas adalah inti dari biologi mereka. Dalam

konteks ini, definisi tentang seksualitasnya diperluas, menjadi bukan sekedar having sex

melainkan juga meliputi pengalaman-pengalaman masturbasi, kehamilan, kelahiran,

dan menopause. Histerisasi ini menuntut diregulasinya perempuan, menjadikan

mereka sebagai objek yang sah dari intervensi dan kontrol psikologis serta medis.48

47
Ibid., hlm. 44-46
48
Ibid., hlm. 47-49

24
Perilaku Homoseksual di PonPes

Yang terakhir, pedagogisasi seksualitas anak, dalam strategi ini praktik seksualitas

anak yang potensial bahaya, diatur sedemikian rupa karena dikhawatirkan

mendatangkan kerusakan fisik dan moral, individu dan kolektif. Onani dan bentuk

praktik seksual lainnya yang nonprokreatif diberi status baru, bahaya dan berlawanan

dengan alam. Pedagogisasi the natural, safe and true sex terhadap anak, oleh karenanya

menjadi instrumen signifikan dalam pelembagaan heteroseksualitas sebagai sesuatu

yang normal dan bermoral.49

Selain itu, praktik diskursif yang lain dalam institusionalisasi heteroseksual

yang diidentifikasikan oleh Foucault adalah konfesi (confession),50 karena ia merupakan

basis pembentukan dan pengaturan seksualitas. Menurut Foucault psikoanalisis, sama

seperti halnya gereja, digunakan untuk membongkar kesenangan-kesenangan

tersembunyi, ekses-ekses tubuh yang berbahaya, hakikat personal manusia, inti

identitas personal, dan kebenaran tentang diri. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa masyarakat telah mengubah dan mentransformasikan konfesi dari sekedar

sebuah ritus keagamaan menjadi kekuatan penggerak dalam produksi ideologis

kebenaran tentang seksualitas.51

Melalui strategi diskursif tersebut di atas heteroseksualitas dianggap sebagai

bentuk seksualitas yang berorientasi prokreasi, diinternalisasi, dinaturalisasi, sedangkan

49
Ibid.
50
Konfesi pada awalnya adalah praktik pengakuan dosa seseorang jama’ah kepada pendeta yang
biasa dipraktikkan di gereja. Dalam praktik tersebut jama’ah mengakui kesalahan-kesalahan yang
dilakukannya sebagai bentuk pertobatan, sedangkan pendeta dengan suara yang otoritatif memberikan
nasihat dan memberikan pengampunan dosa.
51
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 50

25
Perilaku Homoseksual di PonPes

bentuk seksualitas lainnya dipatologikan dan diabnormalkan. Seolah-olah

heteronormatifitas adalah satu-satunya orientasi seksualitas yang mengatur kehidupan

manusia, kapan pun, dan di mana pun. Hal ini tentu saja menyembunyikan realitas

dan relativitas yang sangat kompleks dalam seksualitas.

Pemikiran Foucault kemudian dikembangkan oleh Judith Butler, khususnya

dalam konsepnya tentang gender, kemudian dikenal dengan teorinya sebagai

performatifitas, 52 yakni makna yang membentuk kenyataan. Penegasan bahwa “saya

laki-laki” di samping bersifat ekspresif, yaitu memberitahukan bahwa jenis kelamin saya

laki-laki” juga bersifat performatif, yaitu “saya laki-laki”, oleh karena itu juga harus

bertindak dengan norma-norma laki-laki.

Butler juga menegaskan bahwa gender atau seksualitas adalah struktur imitatif,

atau akibat proses imitasi, pengulang-ulangan, dan performatifitas. Dengan demikian,

tidak ada identitas gender di balik ekspresi gender. Identitas dibentuk secara

performatif, diulang-ulang hingga tercapai identitas yang asli. Tegasnya tidak ada

identitas gender di balik berbagai ekspresi gender, identitas secara performatif

terbentuk melalui berbagai ekspresi yang selama ini dianggap sebagai hasilnya.53

52
Ann Brooks., 2005, Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, terj.
S. Kunto Adi Ibrahim, Jalasutra: Jogjakarta, hlm. 290. Sebenarnya teori Judith Butler tentang
performatifitas meminjam konsep dari Jane Austin, yang mengkategorikan makna menjadi dua, yaitu (1)
konstantif: berita atau ekspresi (2) performatif: makna yang membentuk kenyataan. Moh. Yasir Alimi.,
Op. Cit, hlm. 52
53
Judith Butler., 1999, Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity, Routledge:
London, hlm. 25, dikutip dari Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 52-53

26
Perilaku Homoseksual di PonPes

Konsepsi radikal Butler tentang identitas memajukan bentuk yang menciptakan

ruang untuk berbagai identitas seksual – termasuk identitas gay, waria, lesbi – yang

bekerja untuk mendestabilisasi kesatuan kategori identitas, mengungkap fiksi yang

mengatur koherensi heteroseksual. 54 Bagi Butler gender atau seksualitas itu seperti

drag, 55 ia bisa menjadi karena proses peniruan secara terus-menerus. Gender oleh

karenanya menurut Butler sebagai sebuah proses imitasi, pengulangan dan

performatifitas terus-menerus yang tidak pernah stabil, dan bukan sebagai fenomena

biologis. Kebenaran tentang gender, identitas, dan seksualitas, diproduksi dan

direproduksi melalui rangkaian tindakan, gestur dan hasrat yang menunjukkan sebuah

pribadi bergender alamiah. Rangkaian tersebutlah yang diartikulasikan dan

dilaksanakan, yang menurutnya, menciptakan ilusi tentang adanya gender yang asli dan

alamiah.56

Lebih lanjut, Butler menjelaskan bahwa heteroseksual bukanlah konstruksi

alamiah, melainkan dinaturalisasikan dengan peniruan yang diulang-ulang, yang

beroperasi melalui devaluasi, stigmatisasi, dan abnormalisasi praktik seksual lainnya.

Model konstruksi gender dan seksualitas itu menurutnya mengimplikasikan sebuah

54
Ann Brooks., Op. Cit, hlm. 291
55
Drag adalah lomba kecantikan yang dilakukan para waria untuk membuktikan bahwa mereka
adalah wanita yang sempurna. Para kontestan yang secara anatomi laki-laki itu, betul-betul telah menjadi
perempuan, dengan tubuhnya yang langsing, kulit halus, wajah cantik, dan bertingkah-laku lembut, dan
lain sebagainya. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 53, bandingkan dengan Ann Brooks, yang mengatakan
bahwa drag adalah sesuatu isapan atau tarikan (drag) yang menciptakan suatu gambaran wanita yang
dipersatukan, ia juga mengungkapkan keberbedaan dari aspek-aspek pengalaman gender yang dengan
keliru dinaturalisasikan sebagai suatu kesatuan fiksi yang berkenaan dengan pengaturan koherensi
heteroseksual. Ann Brooks., Op. Cit, hlm. 329
56
Judith Butler., Op. Cit, hlm. 25-136, dikutip dari Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 53-54

27
Perilaku Homoseksual di PonPes

kultur atau agensi sosial (yakni antara pelaku dan struktur) yang diukir pada sebuah ke-

alam-an, yang dianggap sebagai sesuatu yang pasif, dan berada di luar sejarah sosial.57

f.3. Konstruksi Subjektif atas Homoseksual

Foucault dengan subjektivitas knowledge – powernya, sehingga melahirkan

subordinasi dari multikultural peripheral yang menciptakan multiple reality. Diikuti

oleh salah satu muridnya yakni Jean Baudrillard dengan konsepsinya simulasi. Istilah

simulasi digunakan oleh Baudrillard sebagai penjelasan terhadap hubungan-hubungan

produksi, komunikasi, dan konsumsi pada masyarakat, yang dicirikan oleh

overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi, yang dilakukan melalui media,

massa, fashion, supermarket, industri hiburan, dan lain sebagainya. Selain itu, di dalam

masyarakat overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi merupakan cara baru

untuk memperoleh kekuasaan (power). Kekuasan di sini sama dengan konsepsinya

Foucault yakni kekuasaan yang tidak mengalir dari pusat (penguasa), akan tetapi dari

peripheral (kelompok-kelompok sosial, ekonomi, dan budaya) ke massa yang lebih

besar dan heterogen. Jadi, masyarakat tidak lagi dikuasai oleh klas sosial yang tunggal,

akan tetapi oleh kelompok-kelompok sosial, ekonomi, dan budaya yang heterogen, dan

saling bersaing untuk mendapatkan hegemoni. Bagi Baudrillard tidak ada lagi klas

sosial, yang ada hanyalah massa, dan massa ini adalah mayoritas yang diam. 58 Yang

dibutuhkan massa bukan untuk kekuasaan mendominasi (memperjuangkan ideologi

57
Ibid., hlm. 54-58
58
Jean Baudrillard., 1981, For a Critique of the Political Economy of the Sign, USA: Telos Press.

28
Perilaku Homoseksual di PonPes

leluhur) akan tetapi kekuasaan untuk mengekspresikan pluralitas atau diferensiasi,

perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, dan lain sebagainya. 59 Masalah produksi

dan reproduksi berdampak pada masalah perubahan orde penampakan, yang

mengalami tiga orde penampakan dalam sejarah masyarakat: pertama, Counterfeit (pola

yang dominan pada periode klasik), kedua, Produksi (pola yang dominan dalam era

industri), dan ketiga, Simulasi (pola yang dominan pada tahap sekarang yang dikontrol

oleh kode).

Simulasi adalah tanda atau citra tanpa referensi – suatu simulakrum. Ada

empat fase perkembangan citra; pertama, citra adalah refleksi dari realitas, kedua, citra

menyembunyikan dan menyimpangkan realitas, ketiga, menyembunyikan absennya

realitas, dan keempat, citra sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun; citra

merupakan simulakrum murni. Simulakrum adalah cara pemenuhan kebutuhan

masyrakat kontemporer akan tanda. Bagi Baudrillard simulasi adalah proses atau

strategi intelektual, sedangkan hiperrealitas adalah lenyapnya petanda dan metafisika

representasi, yakni runtuhnya ideologi, dan hilangnya realitas itu sendiri, yang diambil

alih oleh duplikasi dari dunia lalu dan fantasi.60 Tanda tidak lagi merepresentasikan

sesuatu, oleh karena petanda sudah mati, oleh karena ekivalensi tanda di dalam realitas

(kelompok ideologi, klas sosial, komunitas mitologis) juga sudah lenyap. Satu-satunya

referensi dari tanda yang ada adalah massa.

59
Yasraf Amir Piliang., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 143-144
60
Jean Baudrillard., Op. Cit, hlm. 93

29
Perilaku Homoseksual di PonPes

Dunia hiperrealitas adalah dunia yang disarati oleh bergantinya reproduksi

objek-objek simulakrum – objek-objek yang murni penampakan, yang tercabut dari

realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tidak memiliki realitas sosial sebagai

referensinya. Hiperrealitas adalah duplikat atau kopi dari realitas yang

didekodifikasikan, atau Umberto Eco menyebutnya sebagai reproduksi iconic, yang

dilandasi oleh alasan-alasan nostalgia, sebagai akibat dari realitas yang hilang, atau

sebagai akibat dari janji-janji utopis kemajuan yang tidak pernah terpenuhi (oleh

modernisme).61

G. Metode Penelitian

Penelitian ini mengacu pada perspektif ideologi normativitas homoseksual yang

dikembangkan oleh Michael Foucault dan Judith Butler serta Jean Baudrillard.

Perspektif itu menekankan fokus kajian pada nilai-nilai, ide, dan perilaku.62 Atas dasar

pertimbangan itu, maka karenanya penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan yang menekankan bagaimana pikiran

dan pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti. Berbeda dengan metode kuantitatif

61
Yasraf Amir Piliang., Op. Cit, hlm. 145-151
62
Atau menurut Durkheim dikategorikan sebagai non-material (moralitas, kesadaran kolektif,
representasi kolektif, dan situasi sosial), dan menurut Ritzer sebagai subjektif non-material (proses
mental, konstruksi materialistik, norma, nilai-nilai, dan elemen kebudayaan). Tadjuddin Noer Effendi.,
2005, Hakekat Perdebatan Metodologi Dapat Dilacak Dengan Menelaah: Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi (Metodologi), Diktat Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif Pascasarjana Sosiologi 2005, hlm.
2-3. Sedangkan menurut Hadari Nawawi, penelitian kualitatif sebagai serangkaian proses kegiatan atau
menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan
pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis dan praktis. Hadari Nawawi., 1995, Instrumen
Penelitian Bidang Sosial, cet. II, UGM Press: Yogyakarta, hlm. 209.

30
Perilaku Homoseksual di PonPes

yang menekankan pengukuran dan analisis hubungan kausalitas antara variabel, bukan

menekankan untuk melihat proses.63

Dalam studi ini, penelitian kualitatif akan dioperasikan melalui analisis

deskriptif, dengan melakukan reinterpretasi objektif tentang fenomena sosial yang

terdapat dalam permasalahan yang diteliti. 64 Jadi pergerakannya tidak hanya sebatas

pengumpulan dan penyusunan data, tapi mencakup analisis dan interpretasi tentang

data itu.65

Secara fundamental, dapat dikatakan bahwa sebuah deskripsi adalah

representasi objektif terhadap fenomena yang dikaji. Hal ini membuat suatu karya

ilmiah mengalami kesulitan untuk menghindari unsur subjektivitas, sehingga tidak

dapat dikatakan suatu studi yang benar-benar objektif, akan tetapi suatu studi dapat

diterima sebagai karya ilmiah sepanjang dimensi objektivitasannya tak terkalahkan oleh

unsur subjektivitasannya. Oleh karena itu, peneliti harus mengontrol diri untuk tidak

63
Agus Salim., 2001, Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba Dan Penerapannya,
Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm. 11.
64
Jacob Vredenberg., 1986, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta, hlm.
34 .
65
Winarno Surachmad., 1970, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito:
Bandung, 131. Nazir mendefinisikan sifat penelitian deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta
dengan interpretasi yang tepat, melukiskan secara akurat sifat dari beberapa fenomena, kelompok atau
individu, menentukan frekuensi terjadinya suatu keadaan untuk meminimalkan bias dan
memaksimalkan reliabilitasnya. Analisanya dikerjakan berdasarkan data ex post facto, artinya data
dikumpulkan setelah semua kejadian berlangsung. Tujuannya adalah menggambarkan secara tepat sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, untuk menunjukkan frekuensi penyebaran
suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat. Moh. Nazir., 1983, Metode Penelitian, Ghalia: Jakarta, hlm. 105. Dalam penelitian ini
peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, namun tidak melakukan pengujian hipotesa,
Masri Singarimbun., “Metode dan Proses Penelitian”, dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed).,
1989, Metode Penelitian Survei, LP3ES: Jakarta, hlm. 4-5.

31
Perilaku Homoseksual di PonPes

bertindak terlalu subjektif, dalam arti bahwa ia tidak mencampuradukkan pendapatnya

dengan kenyataan-kenyataan fenomena dalam pola maupun materi deskripsi.66

Sedangkan secara metodologis dasar penelitian ini adalah menggunakan

pendekatan etnofenomenologi, yakni penggabungan antara pendekatan

etnometodologi dan pendekatan fenomenologi, atau istilah yang digunakan dalam

etnometodologi adalah refleksifitas (réflexivité), yang sebenarnya merupakan istilah yang

dipinjam dari fenomenologi. Dalam refleksifitas terdapat dua unsur penting, yakni

unsur yang mengacu pada interaksi dan yang mengacu pada konteks institusional yang

dibangun. Refleksifitas tidak dicampuraduk dengan refleksi. Ketika kita mengatakan

bahwa orang memiliki praktik refleksif, hal ini tidak berarti ia memikirkan apa yang

dilakukan atau yang sedang dilakukan. Para anggota sudah tentu tidak memiliki

kesadaran reflektif atas tindakannya. Karena ia tidak mampu, jika mereka sadar,

mereka akan mengikuti tindakan-tindakan praktik yang bisa melibatkan mereka.

Seperti yang ditekankan oleh Garfinkel, para anggota tidak memiliki perhatian

terhadap keadaan praktik sekitarnya dan tindakan praktiknya. Mereka tidak akan

berusaha untuk menteorisasikan dan menganggap refleksifitas tersebut sebagai sesuatu

yang seharusnya, karena mereka sudah mempunyai apa yang disebut sebagai ‘stock of

66
Winarno Surachmad., Op. Cit, hlm. 133

32
Perilaku Homoseksual di PonPes

knowledge’, tetapi mereka harus bisa mengenali, membuktikan, dan bisa mengamati

setiap anggota lainnya melalui sifat rasional di dalam praktik mereka yang konkret. 67

Dengan demikian refleksifitas menggambarkan praktik yang sekaligus

merupakan kerangka sosial. Refleksifitas adalah suatu sifat khas kegiatan sosial yang

mensyaratkan kehadiran suatu yang dapat diamati dalam waktu yang bersamaan.

Dalam kegiatan sehari-hari kita tidak sadar akan kenyataan bahwa ketika kita sedang

berbicara, bertindak, pada waktu yang bersamaan kita telah membangun makna,

tatanan, dan rasionalitas yang sedang kita kerjakan pada saat itu.68

Selain itu, peneliti dalam pendekatan ini dituntut untuk memahami secara

mendalam konteks yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori

yang dimilikinya. Peneliti di sini dianjurkan untuk mengkonstruksi konsepnya

berdasarkan proses induktif atas realitas empiris, dikonstruksi sesuatu sesuai dengan

cara memandang atau pola perilaku masyarakat yang menjadi objek kajian

penelitiannya, bukan dikonstruksi menurut teori peneliti itu sendiri. Peneliti juga

67
Stock of knowledge adalah sebuah fenomena pengetahuan masyarakat setempat yang telah
terbentuk dari awal sehingga struktur pemikiran, perilaku dan komunikasinya telah terstruktur secara
baik dalam kehidupan sehari-harinya, meskipun mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan
adalah sebuah pengetahuan yang terstruktur secara kultural dan sosial. James A Holstein and Jaber F
Gubrium., 1994, “Phenomenology, Ethnomethodology, and Interpretive Practice”, dalam Norman K
Denzin and Yvonna S Lincoln., Handbook of Qualitative Research, Sage Publication: London, hlm. 262-
264
68
Alain Coulon., 2004, Etnometodologi, terj. Jimmy Ph. PAÄT, Lengge dan KKSK Jakarta:
Mataram, hlm. 38-44.

33
Perilaku Homoseksual di PonPes

berupaya memasuki kawasan yang tidak dikenalnya tanpa membuat generalisasi

berdasarkan pengalamannya sendiri.69

g.1. Jenis Data dan Tehnik Pengumpulannya

Studi ini menggunakan data kualitatif70 dan data kuantitatif,71 kedua data ini

digali dari sumber data primer dan data sekunder. Data primer dihimpun melalui

observasi partisipan 72 dan melalui wawancara terhadap unsur elemen masyarakat

pesantren Sumenep yang diperkirakan mendukung untuk mendapatkan data ini (santri,

alumni pondok pesantren, kiai, ustadz, masyarakat sekitar pondok pesantren, dan

tokoh-tokoh masyarakat Sumenep), sebanyak kurang lebih 70 informan, dengan

perincian; 20 santri ponpes Al-Amien, 20 santri ponpes An-Nuqayah, 5 alumni kedua

ponpes tersebut, 15 masyarakat sekitar kedua pesantren, 4 kiai, dan 6 tokoh

masyarakat, dengan menggunakan interview guide atau dengan bahasa lain wawancara

69
Noeng Muhadjir., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Rake Sarasin: Jogjakarta,
hlm. 131-132
70
Ukuran data kualitatif adalah logika dalam menerima atau menolak sesuatu yang dinyatakan
berupa kalimat, yang dirumuskan setelah mempelajari sesuatu itu secara cermat. Data kualitatif tidak
memiliki pembanding yang pasti, karena kebenaran yang ingin dibuktikan bersifat relatif. Bentuknya
dapat berupa pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapan-tanggapan
dan lain sebagainya tentang sesuatu atau keadaan yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Hadari
Nawawi., loc.cit.
71
Menunjuk kepada data yang berbentuk angka. Dalam penelitian yang bersifat deskriptif yang
diteliti adalah frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan antara gejala
dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat. Mely G. Tan., “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam
Koentjaraningrat (ed)., 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi III, Gramedia: Jakarta, hlm. 31.
72
Dalam hal ini peneliti mengadakan penelitian langsung di lapangan. Adapun langkah yang
akan dilaksanakan sebagai tahap awal dalam serangkaian observasi partisipan ini adalah dengan cara
invention yaitu observasi secara menyeluruh terhadap fenomena yang akan diteliti dengan melakukan
pelacakan terhadap penelitian terdahulu dan fenomena lapangan yang akan dikaji untuk memperoleh
fokus penelitian. Ali Maschan Moesa., 1999, Kiai Dan Politik, Wacana Civil Society, LEPKISS: Surabaya,
hlm. 15

34
Perilaku Homoseksual di PonPes

ini dilakukan berselang-seling dengan observasi partisipan, dan secara berulang-ulang

kepada informan yang sama.

Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen resmi atau kepustakaan yang

tersedia berhubungan dengan fenomena yang diteliti dan dari laporan-laporan media

massa umum, jurnal, buku, makalah, dan laporan penelitian yang mengupas tentang

perilaku homoseksual di Pondok Pesantren, serta informasi-informasi yang didapat di

internet.

g.2. Lokasi Penelitian

Meskipun objek penelitiannya adalah perilaku homoseksual di pondok

pesantren Sumenep, yang hampir ditemukan di setiap kecamatan di kabupaten

Sumenep, akan tetapi oleh karena beberapa alasan dan pertimbangan terutama

masalah dana dan waktu maka pengamatan di lapangan hanya difokuskan di pondok

pesantren An-Naqiyah Gilir--Gilir dan Al-Amanah Parendu. Yang merupakan dua

pondok pesantren terbesar dan tertua serta paling punya pengaruh kuat dalam

masyarakat Sumenep Madura bahkan Madura secara keseluruhan, selain itu keduanya

mempunyai pola yang berbeda antarpondok pesantren tersebut. Yang pertama adalah

pondok pesantren salaf atau tradisional, sedangkan yang kedua adalah pondok

pesantren modern. Meskipun penulis adalah orang Madura, tapi belum pernah

mengenyam pendidikan pondok pesantren, sedangkan keluarga penulis yang semuanya

adalah alumni pondok pesantren. Namun demikian untuk menghindari terjadinya

subjektivitasan yang berlebihan maka penulis memutuskan untuk tinggal atau mondok

35
Perilaku Homoseksual di PonPes

di sana selama kegiatan penelitian berlangsung, yakni kurang lebih selama enam bulan,

dengan rincian tiga bulan di pondok pesantren An-Naqiyah dan sisanya di pondok

pesantren Al-Amanah. Meskipun demikian penulis sebenarnya telah melakukan

penelitian (data sekunder) sejak mulai awal bulan tahun 2004.

g.3. Analisis Data

Analisis datanya menggunakan tiga pola yang diajukan oleh Miles dan

Huberman, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang

ketiganya dilakukan dalam suatu proses yang terjadi secara terus-menerus. Reduksi data,

penyajian data serta penarikan kesimpulan dilakukan sebelum, selama, dan sesudah

proses penelitian di lapangan.73

Sedangkan pemeriksaan keabsahan datanya akan digunakan teknik triangulasi,

yakni menggunakan pemeriksaan melalui sumber yang lain, dalam hal ini adalah

peneliti-peneliti lain, yang berhubungan dengan penelitian penulis atau yang relevan

dengan topik penelitian ini. Denzin membedakan empat macam triangulasi, yakni

penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Triangulasi dengan sumber berarti

membandingkan serta mengecek suatu kepercayaan informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda atau dengan jalan: (1) membandingkan data hasil

observasi partisipan dengan hasil interview guide, (2) membandingkan apa yang

dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, (3)

73
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman., 1992, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep
Rohendi Rohidi, UI Press: Jakarta, hlm 16

36
Perilaku Homoseksual di PonPes

membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa

yang dikatakannya sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan perspektif

seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti, santri di pondok

pesantren, alumni pondok pesantren, orang yang tidak berpendidikan pondok

pesantren, lingkungan pondok pesantren, masyarakat, orang birokrat, dan lain

sebagainya, dan (5) membandingkan hasil interview guide dengan isi suatu dokumen

yang berkaitan.

Sedangkan triangulasi dengan metode, dengan menggunakan pengecekan

derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan

pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.

Triangulasi yang ketiga, penyidik yakni membandingkan hasil pekerjaan peneliti yang

lain dengan peneliti lainnya, yang dimaksudkan sebagai pengecekan kembali

kepercayaan data untuk mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data.

Triangulasi yang terakhir adalah teori, adalah anggapan bahwa fakta tertentu tidak

dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori, atau Patton

menyebutnya sebagai penjelasan pembanding (rival explanations).74

g.4. Langkah Operasional Penelitian

Sebagaimana telah disebutkan, penelitian ini bertujuan untuk melihat

perubahan konstruksi sosial masyarakat Sumenep terhadap fenomena homoseksualitas

di pondok pesantren. Konstruksi subjektif tersebut maksudnya adalah perubahan

74
Lexy J. Moleong, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya: Bandung, hlm. 178-179.

37
Perilaku Homoseksual di PonPes

pemahaman masyarakat dari anggapan bahwa homoseksualitas merupakan sesuatu

yang abnormal, berdosa, dan lain sebagainya ke arah sistem struktur sosial masyarakat

yang menghargai moralitas homoseksual menjadi sesuatu yang normal, bermoral dan

bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, proses yang berkaitan dengan pengelolaan

data lapangan memperhatikan tahap-tahap proses perubahan konstruksi subjektif

masyarakat.

a. Persiapan Memasuki Lapangan

Sebelum memasuki lapangan, penulis beberapa kali berkunjung keluar masuk

lokasi studi untuk mengumpulkan informasi awal mengenai kehidupan sehari-hari. Di

samping informasi awal tersebut, pada saat itu penulis juga akan mencari tahu tentang

bagaimana supaya bisa mondok di lokasi penelitian, dan mencari tempat yang sesuai

dengan yang dibutuhkan penulis.

Meskipun demikian, ijin secara formal kepada pengasuh ponpes tetap menjadi

pertimbangan, meskipun penulis akan merahasiakan identitas dirinya. Hal ini penting

untuk menjaga agar peristiwa atau fenomena yang diteliti berlangsung sebagaimana

adanya, alamiah, dan juga untuk mempertahankan penerimaan para santri, ustadz dan

pengasuh ponpes terhadap kehadiran penulis.

b. Langkah Pengumpulan Data

Sejumlah perilaku penelitian selama di lapangan, terutama yang berkaitan

dengan proses pengumpulan data, metode yang digunakan: observasi partisipan,

interview guide, serta interpretasi dokumen. Selain itu, dalam pengumpulan data

38
Perilaku Homoseksual di PonPes

penulis memanfaatkan bantuan dari informan (dalam hal ini alumni ponpes). Mereka

tidak hanya membantu dalam pengumpulan data, tetapi juga sebagai pengklarifikasi

data. Informan yang dilibatkan adalah mereka yang dipandang oleh penulis mengenali

dan memahami fenomena penelitian. Meskipun informan tersebut bukan sebagai

informan kunci, namun sangat membantu untuk memberitahukan langkah awal

penulis, serta yang akan diteliti selanjutnya, dan memberitahukan para pelaku

homoseksualitas di ponpes.

Selain itu, penulis akan menfokuskan informasi data, sebagai langkah dalam

mengumpulkan data, yang terbagi dalam tiga fokus utama: menekankan data pada

perilaku homoseksual, data pada reaksi atau konstruksi subjektif masyarakat pesantren

terhadap fenomena homoseksual di pondok pesantren, dan data yang menggambarkan

tentang pergeseran sistem struktur sosial masyarakat pesantren terhadap

homoseksualitas.

c. Langkah Pelaporan

Setelah melakukan pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah menarik

abstraksi-abstraksi teoritis terhadap informasi atau data lapangan, dengan

mempertimbangkan supaya dapat menghasilkan pernyataan-pernyataan yang dianggap

mendasar atau universal. Meskipun demikian, penulis tetap melakukan deskripsi data

tersebut sebagaimana adanya atau yang berhubungan sangat dekat dengan pemahaman

informan atau anggota masyarakat pesantren di Sumenep.

H. Sistematika Pembahasan

39
Perilaku Homoseksual di PonPes

Tesis ini akan membahas berbagai persoalan tersebut di atas dengan urutan

sistematis, yang terdiri dari VI bab, yakni; Bab I, terdiri dari latar belakang tentang arti

pentingnya persoalan homoseksual, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teoritik, penjelasan metodologis, dan sistematika

pembahasan. Bab II, persoalan historisasi kultural homoseksual, yang membahas

tentang, sejarah homoseksual di Barat, sejarah homoseksual dalam Islam (serta

pandangannya terhadap homoseksual), dan sejarah homoseksual di Indonesia serta

Madura. Sedangkan Bab III, membahas tentang homogenisasi pondok pesantren dan

struktur sosial masyarakat pesantren, yakni ponpes Al-Amanah dan An-Naqiyah, yang

terdiri dari sistem kepemimpinan, pendidikan, budaya, interaksi sosial antarsantri,

interaksi santri dengan kiai, dan lain sebagainya, serta masyarakat pesantren Gilir-gilir

dan Parendu, yang meliputi penduduk dan ekonomi, pendidikan, sosial budaya, politik

lokal, dan tradisi ritual keagamaan. Bab IV, akan membahas perilaku homoseksualitas

dalam tradisi homogen pondok pesantren.

Selain itu, Bab V, tentang pergeseran pandangan sosial diskursif atau

konstruksi subjektif masyarakat pesantren terhadap perilaku homoseksual di pondok

pesantren. Yang terakhir Bab VI, adalah kesimpulan.

40
Perilaku Homoseksual di Ponpes

BAB II

HISTORISASI KULTURAL HOMOSEKSUAL

Istilah homoseksualitas pertama kali muncul pada tahun 1869, oleh K.M.

Kertbeny, seorang dokter Jerman-Hongaria, yang menciptakan istilah homoseks dan

homoseksualitas. Sedangkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1890 dalam tulisan

Charles Gilbert Chaddock, yang menerjemahkan Psychopatia Sexualis karya R. von

Krafft-Ebing. Sebenarnya istilah tersebut pernah muncul dalam bahasa Jerman pada

tahun 1869 dalam sebuah naskah anonim. Havelock Ellis menyatakan bahwa istilah

homoseksual adalah sebuah neologisme barbar yang terpancar dari campuran yang

sangat mengerikan antara akar Yunani dan Latin. Meskipun ada penulis lainnya seperti

J. A. Symonds yang mempergunakan istilah homoseksual dalam sebuah surat pada

tahun 1892, namun hal ini mengindikasikan bahwa hanya satu dari sekian banyaknya

kata yang diciptakan atau yang dipakai pada masa itu untuk mendeskripsikan

seksualitas antara dua orang yang berjenis kelamin sama. Pada abad XIX sebelum

tahun 1892 orang menggunakan istilah “inversi” (inversion) yang pada masa itu

mencakup semua hal yang dianggap sebagai penyimpangan. Bukti bahwa orang

menciptakan istilah-istilah baru sebenarnya untuk mengungkapkan adanya perubahan

sosial yang terjadi – istilah baru mengungkapkan akan adanya pertanyaan baru –

41
Perilaku Homoseksual di Ponpes

sehingga memunculkan pemahaman baru. Sedangkan istilah heteroseksual sebenarnya

berasal dari istilah Krafft Ebing pada tahun 1888.1

Dengan demikian istilah homoseksual sebenarnya memiliki makna yang

cenderung netral, namun seringkali istilah tersebut dalam pemakaiannya bersifat

menghina. Reaksi dari hal tersebut maka kaum homoseksual sekarang ini lebih

mnyukai disebut sebagai “gay” sedangkan “straight” dipakai untuk kaum heteroseksual.

Istilah gay sebenarnya mulai dikenal pada abad ke 13, untuk menggantikan beberapa

istilah terdahulu yang digunakan untuk menghina kaum homoseksual: queer, fag, faggot,

fruit, nellie, homo, cock, sucker, pansy, dan queen. Namun demikian untuk kajian ilmiah

istilah yang digunakan adalah homoseksual bukanlah gay.2

Dalam bab ini sejarah homoseksualnya lebih keperbandingan secara ilmiah

homoseksualitas di Barat dari masa tradisional, modern, dan postmodern dengan

homoseksual di Indonesia (Madura) pada masa klasik dan modern hingga sekarang

serta homoseksual di dalam Islam. Tujuannya adalah menunjukkan berbagai

perbedaan dan persamaan yang terdapat di dalam ketiga kebudayaan masyarakat

tersebut.

1
Colin Spencer., 2004, Sejarah Homoseksualitas: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Ninik
Rochani Sjams, Kreasi Wacana: Yogyakarta, hlm. VIII-IX
2
Herant A Katchadourian., 1989, Instructor’s Edition: Fundamental of Human Sexuality, Fifth
Edition, Rinehart & Winston Inc: Holt, hlm. 362

42
Perilaku Homoseksual di Ponpes

A. Sejarah Homoseksualitas Di Barat

a.1. Pada Masa Tradisional

Pada masa zaman prasejarah sudah banyak para antropolog (meskipun secara

diam-diam) melakukan penelitian tentang perilaku homoseksual di berbagai suku-suku,

seperti suku Marind dan suku Kiman. Begitu terlepas dari masa kanak-kanaknya, anak

lelaki diambil dari ibunya untuk selanjutnya tidur bersama bapaknya. Sejak

kemunculan tanda-tanda pubertas pertama maka pamannya dari pihak ibu akan

mempenetrasi anus si anak lelaki tersebut, dengan tujuan memberinya sperma yang

akan menjadikannya anak lelaki yang kuat. Anak tersebut akan meninggalkan fase ini

setelah kira-kira tiga tahun kemudian. 3 Selain itu, suku Marind juga mengenal ritus

Sosom4 yang tidak diikuti oleh seorang wanitapun. Acara ritus ini dilakukan di tengah

hutan dengan mendirikan sebuah phallus (penis) yang besar dan berwarna merah.

Di sinilah anak-anak lelaki diajak untuk menjalani inisiasi, dan rambutnya

diatur untuk keperluan upacara tersebut. Lelaki-lelaki tua menari-nari, dan kemudian

melakukan orgie maskulin di mana lelaki manapun bisa mempenetrasi anak lelaki

manapun yang sedang menjalani inisiasi. Sistem nilai dalam suku Marind,

homoseksual di atas heteroseksual yang dalam mitos selalu diasosiasikan dengan

3
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 6-7
4
Sosom adalah seorang raksasa yang dikebiri dan menggunakan seuntai kalung dari kepala
manusia.

43
Perilaku Homoseksual di Ponpes

kekhawatiran akan pengebirian dan kematian sebagaimana yang terjadi pada sang

raksasa Sosom.5

Suku Marind tidak akan berhenti melakukan perilaku homoseksual meskipun

mereka sudah menikah. Mereka akan selalu dipanggil untuk menjadi inisiator (yang

menyodomi pertama kali) terhadap kemenakannya yang baru berusia tiga atau empat

tahun sewaktu mereka berumah tangga, serta tetap ikut dalam pesta orgie tahunan

sesuai ritual Sosom.

Sedangkan di suku Malekula (Namba Besar), sebagaimana yang ditulis oleh

etnolog pertama yang menulis tentang suku tersebut Bernard Deacon (yang secara

tragis meninggal sebelum usianya menginjak duapuluh empat tahun), homoseksualitas

di suku Namba Besar, setiap pemimpinnya memiliki sejumlah kekasih laki-laki, dan di

antara laki-laki itu ada yang memiliki cinta yang begitu kental sifat homoseksualnya

sehingga sedikit sekali berhubungan dengan istri-istri mereka dan lebih memilih anak-

anak lelaki. 6 Meskipun ritual-ritual tersebut bervariasi menurut masing-masing suku,

namun ada sesuatu yang dianggap umum, di antaranya akan adanya penghormatan

suci terhadap sperma. Orang-orang tersebut percaya bahwa tindakan mempenetrasi

anak lelaki akan menaburkan benih dari spermanya sendiri, dan si anak tersebut tidak

akan bisa menjadi seorang pemburu yang kuat dan perkasa tanpa melalui tahun-tahun

sodomi yang sehari-hari dilakukan.

5
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 7-8
6
Ibid., hlm. 10-11

44
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Sebagaimana pada masa prasejarah, homoseksualitas dalam peradaban

masyarakat Yunani Kuno, yang dianggap sebagai akar peradaban Barat hingga sekarang

masih menganggapnya sebagai cinta yang ideal dan dilembagakan.7 Para prajurit laki-

laki akan mempunyai seorang kawan atau sahabat laki-laki lainnya yang lebih muda,

yang dicintainya dan sebagai kawan sejatinya baik dalam berlatih, berolahraga,

berlomba atau dalam bercinta. Seperti halnya filsuf Plato dan Socrates pun mempunyai

seorang sahabat laki-laki yang lebih muda darinya meskipun mereka memiliki istri dan

anak. Sehingga ada indikasi bahwa homoseksualitas eksklusif di masa peradaban

Yunani tidak diperbolehkan. 8 Hubungan ini dalam tradisi Yunani disebut dengan

paiderastia yang artinya buyung cinta.9

Sejumlah mitos dalam tradisi Yunani banyak dipenuhi oleh kisah-kisah

hubungan percintaan dan penculikan sesama jenis kelamin – antara laki-laki dengan

laki-laki yang lebih muda – dan hampir banyak dipenuhi dengan perihal inisiasi.

Pasangan dalam mitologi itu seperti, Ganymede dengan Zeus, atau Apollo yang selalu

menarik perhatian pemuda-pemuda tampan seperti Hyakinthus, Cyparisse, Admete,

Hymenee, Carnus, dan Hippolyte. Selain itu, Heracles dengan Hylas, serta mencintai

Philocrete, Nestor, Adonis, dan Jason. Sedangkan Dionysos pernah menculik Adonis.10

7
Dede Oetomo., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press dan Ford Foundation:
Jogjakarta, hlm. 7
8
Ibid., hlm. 7
9
Paiderastia dalam bahasa Yunani berasal dari kata pais: buyung; dan erastia: cinta.
10
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 18-19

45
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Dengan berbagai bukti tersebut bisa disinyalir akan adanya ketidakmunculan

mitos inisiasi dalam dunia wanita di dalam tradisi Yunani. Hal ini memperlihatkan

bahwa hubungan seksualitas sesama jenis (homoseksualitas) memiliki tempat dalam

struktur sosial sebagai ritus yang sakral, dan kaum wanita tidak mempunyai peran

apapun.

Sejarahwan Yunani Ephore (405-330 SM) menceritakan bagaimana perilaku

masyarakat Creta (Yunani) yang berasal dari karya Strabon d’Amasya tentang konvensi

erotis penculikan. Seorang laki-laki yang mencintai anak laki-laki akan berkata kepada

teman-teman dan keluarga si anak laki-laki tersebut bahwa ia ingin menculiknya. Sesuai

dengan adat Creta anak laki-laki yang paling diinginkannya adalah mereka yang paling

berani dan paling pandai, bukan yang paling tampan. Kekasihnya (laki-laki yang lebih

tua) akan memberinya hadiah kepadanya dan membawanya ke dalam hutan dan

gunung serta mereka akan tinggal di situ selama sekitar dua bulan. Sang kekasih akan

mengajarkan kepadanya tentang seni berburu, kehidupan di alam bebas serta

bagaimana menjadi seorang lelaki yang terhormat. Selain itu, ia akan mengajarinya

bercinta, dalam naskah tersebut dengan jelas disebut akan adanya hubungan yang

dilakukan melalui penetrasi anal (anus). Meskipun demikian mereka bukanlah satu-

satunya yang berada di hutan atau di gunung tersebut, beberapa teman dan keluarga si

anak lelaki juga ikut menemani dan berburu serta berpesta bersama. Seusai melewati

masa dua bulan si anak lelaki akan dikembalikan kepada keluarganya dengan

membawa hadiah. Hadiah itu ada tiga macam dan memiliki makna simbolik tersendiri,

46
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yakni sapi, seperangkat senjata prajurit, dan sebuah piala. Sekembalinya ke rumah si

anak lelaki akan mengorbankan seekor sapi kepada Zeus, dan kemudian akan diadakan

sebuah prosesi dan pesta. Hal ini menampakkan akan perayaan tahapan pertama si

anak lelaki memasuki tahap laki-laki (dewasa). Lelaki minum anggur pada saat pesta

atau ritual tersebut, hal ini ditandai dengan pemberian piala yang menjadikannya

mendapat hak untuk ikut berpesta (sedangkan anak-anak dan perempuan tidak boleh

minum anggur). Sedangkan senjata tersebut mempunyai makna bahwa si anak tersebut

telah mempunyai status atau hak untuk menjadi prajurit dan sebagai pelindung

negara.11

Walaupun pelembagaan wanita tidak tersedia dalam tradisi homoseksualitas

Yunani, namun ada cacatan bahwa penyair Sappho (abad 6 SM), yang mengepalai

sekolah gadis di Mytilene di Pulau Lesbos menulis puisi tentang cinta Lesbia.12 Nama

pulau inilah yang kemudian dijadikan istilah untuk menyebut homoseks wanita

(lesbian). Sedangkan orang Yunani kala itu menyebut homoseksualitas pada wanita

tribade (dari kata tribein: menggosok). 13

Sedangkan dalam perayaan hedonis (kenikmatan hidup), didapati adanya

pemujaan terhadap laki-laki secara eksklusif. Laki-laki akan telanjang di dalam kegiatan

11
Ibid., hlm. 35-37
12
Puisi tersebut adalah:
Ia (perempuan) tidak mengatakan satu patah kata pun padaku
Ingin aku mati
Ia menangis terus
Ketika meninggalkanku sambil berkata:
“Kita harus berpisah Sappho, aku akan berangkat di luar kemauanku”
13
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 8

47
Perilaku Homoseksual di Ponpes

gimnasium pada saat permainan umum nasional, pada kontes kecantikan di Lesbon, di

Tenedos dan di kuil-kuil Ceres, di Basilis Arcadia, dan di kuil-kuil Venus di Corinthia.

Kebiasaan ini diawali sejak tahun 720 SM ketika masyarakat Yunani mengizinkan

semua pesaing untuk tampil telanjang. Organ-organ genital yang terayun-ayun tersebut

akan diikatnya dengan secarik kain yang disebut dengan kynodesme. Sikap masyarakat

Yunani yang sangat menghormati dan sekaligus segan terhadap organ maskulin,

hampir sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat prasejarah yang menghormati

penis dan sperma, mereka menganggapnya sebagai instrumen perluasan yang bersifat

mistis, yakni simbol kekuatan untuk menghasilkan keturunan. Maka dengan demikian

phallus merupakan simbol religius yang mampu menghancurkan nasib dan melawan

kejahatan.14

Seksualitas di dalam peradaban Yunani ternyata jauh lebih kompleks, hal ini

nampak dalam tulisan Plato dalam bukunya Banquet (pesta besar); yang

mendeskripsikan akan adanya dua jenis cinta dalam tradisi Yunani. Pertama, cinta

yang terinspirasi oleh Aphrodite yaitu cinta yang vulgar, yang mendorong manusia

mencintai wanita. Orang-orang ini dianggap rendah nilainya dan bahkan oleh Socrates

disebut sebagai orang yang lebih mencintai tubuh dibanding jiwanya. Yang kedua,

cinta yang terinspirasi oleh Aphrodite Uranie yaitu cinta terhadap anak-anak lelaki

yang bersifat kedewaan sebagaimana yang diperlihatkan oleh lelaki-lelaki yang istimewa

dengan kaum bangsawan yang memilih kekasih-kekasih mereka (laki-laki) dengan sikap

14
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 43-44

48
Perilaku Homoseksual di Ponpes

hati-hati dan penuh sensibilitas, namun tetap mencurahkan diri pada pleasure dan

pendidikan anak-anak lelaki. Hal tersebut menurut Plato akan mengeksplorasinya

sebagai cara untuk memperoleh kebijaksanaan.15

Selain peradaban Yunani, Barat juga berakar pada kebudayaan Romawi.

Berbeda dengan tradisi Yunani, tradisi Romawi sangat dikenal dengan moralitas yang

mengaharamkan perbuatan homoseksual dan bahkan mengaturnya dengan undang-

undang. Meskipun demikian bukan berarti dalam tradisi Romawi tidak ada kehidupan

sex pleasure homoseksualitas. Di Romawi homoseksualitas tetap berkembang meskipun

tidak semekar tradisi Yunani. Seperti Yulius Kaisar yang pernah mencintai atau

bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia, sastrawan Romawi Virgil, Horatius,

Catullus, dan Tibullus pernah mengalami cinta homoseksual yang sangat intens

sehingga banyak mewarnai karya-karya mereka.16

Homoseksualitas di dalam peradaban Romawi sudah sangat negatif atau dalam

istilah Michael Foucault psikiatri kesenangan, dalam pandangan masyarakat yang

seringkali dipakai untuk merusak reputasi tokoh masyarakat yang akan dijatuhkan,

atau sebaliknya, dan jikalau seorang tokoh ketahuan sebagai homoseks maka

15
Ibid., hlm. 47
16
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 8-9. Seperti salah satu puisinya: Bisakah aku memiliki seorang
anak lelaki yang pipinya masih ranum! Juventius yang semanis madu, akan kucuri engkau ketika sedang bermain-
main, Ciuman yang lebih lembut dari pada ambroisie (semacam santapan dewa) yang lezat.

49
Perilaku Homoseksual di Ponpes

reputasinya akan rusak. Pandangan negatif zaman Romawi ini semakin kuat dengan

semakin banyaknya atau berkembangnya agama Kristen di Romawi.17

a.2. Masa Modern

Agama Kristen sebagaimana agama pendahulunya agama Yahudi (Yudaisme)

memang mempunyai pandangan yang negatif terhadap perilaku seks homoseksual yang

oleh sejarahwan seksual Vern L Bullough disebut sebagai sex-negative. 18 Pandangan

tersebut hanya melihat seks semata-mata hanya untuk kegiatan prokreasi atau lebih

menganggap bahwa persoalan seksualitas sifatnya adalah esensialis (alamiah atau

biologis), sedangkan pleasure dianggap sebagai suatu penyimpangan yang dianggap

sebagai dosa. Moralitas seksualitas peradaban Barat yang banyak dipenuhi oleh ajaran

agama Kristen dan Yahudi menolak terjadinya perilaku homoseksual. Meskipun hal

tersebut bukan berarti homoseksual tidak ada di dalam tradisi Barat, bahkan

homoseksual sangat banyak memenuhi setiap pikiran dan imajinasi laki-laki Barat.19

Awal penolakan terhadap perilaku homoseksual sebenarnya bermula ketika

sekelompok kecil wilayah di Asia Minor yaitu di pesisir Mediterania menjadi satu-

satunya kelompok yang menolak atau bahkan menentang kaum homoseksual dan

perilaku ini sangat erat kaitannya dengan warisan ajaran atau warisan tradisi dari

Yahudi Israel. Hal ini terlihat dengan pendapat para teolog Kristen awal, yaitu Clement

dari Alexandria, Jean Chrysostome, Eusebe dari Cesaree, Gregorius dari Nysse,

17
Ibid., hlm. 9
18
Ibid..
19
Ibid..

50
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Ambroise dan Jerome yang berpandangan sangat pentingnya penghormatan terhadap

keperawanan dan hanya menyetujui terjadinya hubungan seksualitas dalam

perkawinan yang heteroseksual (laki-laki dengan perempuan), atau dengan kata lain

mulailah timbul ideologisasi terhadap heteronormatifitas. Yang banyak mengutip dari

Levitique tentang larangan terhadap homoseksual.20

Meskipun demikian masih ada beberapa uskup yang tetap berperilaku

homoseksual, yang pada akhirnya dihukum mati oleh Justinianus. Mereka adalah

uskup Isai dari Rhodes dan uskup Alexandre dari Diospole. Procope menulis dalam

L’Histoire Secrete (Kisah Rahasia):

Pengejaran terhadap para pelanggar hukum ini dilakukan dengan cara yang
paling tidak biasa, karena hukuman telah diterapkan meski tidak ada yang
mengadu meminta keadilan, dan laporan dari satu orang saja sudah diterima
sebagai bukti meskipun ia adalah seorang budak yang harus dipaksa di luar
kemauannya untuk menjadi saksi melawan majikannya sendiri. Orang-orang
yang dipersalahkan itu kemudian dikebiri dan diekspos di muka umum.21

Sekalipun demikian berbeda dengan yang dialami kedua uskup di atas, penyair

Ausone beberapa tahun sebelumnya pernah memiliki hubungan yang begitu sangat

bergelora dengan Santo Paulin, seorang uskup dari Nola, dan mereka saling

mengirimkan puisi tentang kegeloraan cinta mereka yang begitu luar biasa. Keduanya

20
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 88-90
21
Ibid., hlm. 91

51
Perilaku Homoseksual di Ponpes

menganggap bahwa cinta mereka abadi. Hubungan tersebut bahkan sudah diketahui

oleh umum tapi cinta kedua insan tersebut diterima dan diperbolehkan.22

Dengan demikian, mungkin sangat sulit bagi kita menemukan atau mengetahui

bagaimana sebenarnya perilaku homoseksual ataupun biseksual yang pernah berlaku

selama berabad-abad lamanya ternyata telah dihapus di hari-hari kemudian oleh

segelintir kalangan elite, beberapa orang suci (keagamaan), dan segelintir filsuf yang

mulai berceramah untuk melawan segala ekspresi seksualitas. Hal ini sangat terkait erat

dengan perkembangan awal agama Kristen yang banyak dipenuhi oleh para filsuf, dan

elite kenegaraan, serta para kaum mistik.23

Penolakan dan sikap negatif terhadap homoseksual mulai mengalami

pergeseran pada abad ke – 19. Hal ini mulai sejalan dengan perkembangan alam

pemikiran yang mulai berani mempertanyakan atau menentang dogma dan doktrin

keagamaan di Barat. Dengan berkembangnya filsafat materialisme dan ilmu

pengetahuan pada umumnya, seperti kedokteran, psikiatri, dan psikologi. Akibat

adanya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan tersebut, maka homoseksualitas

yang semula dianggap sebagai dosa kemudian beralih dianggap sebagai penyakit,

gangguan jiwa, kelainan, abnormalitas atau penyimpangan seksual.24

Orang-orang homoseksual pada awalnya dikejar, dianiaya, dan bahkan dibakar

di tiang gantungan atau dengan kata lain homoseksual harus dimusnahkan. Namun

22
Ibid., hlm. 97
23
Ibid., hlm. 93-94
24
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 9-10

52
Perilaku Homoseksual di Ponpes

perlakuan yang dilakukan kepada kaum homoseksual pada akhirnya beralih kepada

usaha untuk menyembuhkan mereka dengan berbagai cara, di antaranya dengan

memberi obat, lobotomi (pemotongan bagian depan otak), dan dengan terapi kejutan

listrik.25

Pada tahun 1533 Raja Inggris Henry VIII memutuskan hukuman mati

dijatuhkan terhadap pelaku sodomi (penetrasi anus). Peraturan tersebut kemudian

dicabut oleh anaknya Mary pada tahun 1553, dan kemudian dihidupkan kembali oleh

saudaranya Elizabeth pada tahun 1562. Kemudian diikuti oleh jajahannya Amerika

Serikat, sebagai contoh North Carolina yang memberlakukan hukuman mati bagi

pelaku sodomi hingga tahun 1869.26

Dengan demikian, sistem hukum di Anglo Saxon (Inggris dan Amerika Serikat)

melarang perbuatan homoseksual, hal ini berbeda dengan sistem hukum Kontinental

(Napoleon Bonaparte) yang memperbolehkan hubungan seksual dengan sesama jenis

asalkan dilakukan dengan sesama orang dewasa dan tidak dengan orang yang masih

belum dewasa. Hubungan sesama jenis dengan orang yang belum dewasa akan dikenai

hukuman ancaman pidana.27

Pemidanaan terhadap perbuatan homoseksual tidak terlepas dari seksualitas

pada masa kaum Victorian atau lebih dikenal sebagai ratu Victoria dari Inggris (1837-

25
Ibid..
26
North Carolina., Chapter 34, Section 6, 1854.
27
Anis Farida., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak Dengan Kaum Heteroseksual
Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas Gadjah Mada: Tesis, hlm. 127.

53
Perilaku Homoseksual di Ponpes

1900), yang dianggap sebagai zaman yang paling represif terhadap perkembangan

seksualitas di Barat dan banyak menyebar dan mempengaruhi ke seluruh pelosok

negeri di dunia.28 Seksualitas pada masa atau era Victorian tersebut ditandai dengan

sikap mereka dengan menahan diri, diam, dan munafik. 29 Satu-satunya bentuk

seksualitas yang dibenarkan dan dilembagakan pada waktu itu adalah hubungan

seksual pasangan heterogen dan dilembagakan dalam bentuk perkawinan. Bentuk

heteronormatifitas ini memegang norma kebenaran dan mempunyai fungsi prokreasi.

Segala bentuk seksualitas yang tidak bertujuan prokreasi tidak memiliki tempat yang

sah dan tidak boleh bersuara, diusir, disangkal, dan ditumpas sampai hanya

kebungkaman yang tersisa.30

Seksualitas telah dihilangkan dan tidak boleh hadir dalam setiap pembicaraan

ataupun perilaku. Hal inilah yang merupakan ciri khas represi yang membedakannya

dari larangan hukum. Represi berfungsi sebagai keputusan hukum, dan perintah untuk

tidak bersuara. Dengan demikian, seksualitas tidak boleh dibicarakan, ditonton

ataupun dipelajari. Adapun tempat yang tersedia bagi berbagai penyimpangan seksual

pada masa tersebut adalah tempat pelacuran.31

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa Victoria merupakan

tonggak dimulainya seksualitas yang bersifat represif dari era sebelumnya yang bersifat

28
Onghokham., “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintas Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, dalam
Prisma No. 20 Edisi 7, Juli, th. 1991, hlm. 16
29
Michel Foucault., 2000, Sejarah Seksualitas: Seks Dan Kekuasaan, terj. Rahayu S Hidayat,
Gramedia: Jakarta, hlm. 1
30
Ibid., hlm. 2
31
Anis Farida., Op. Cit, hlm.128

54
Perilaku Homoseksual di Ponpes

terbuka. Wacana tersebut memberi kesan bahwa represi seksual terkait dengan

perkembangan kapitalisme. 32 Seksualitas dijadikan bagian dari alat-alat produksi

kapitalisme. Seuai dengan alam pikir kapitalisme maka tenaga kerja harus

dioptimalkan untuk kepentingan produksi, maka tidak akan dimungkinkan

penghamburan tenaga kerja untuk mengejar kenikmatan seksual semata di luar

kenikmatan yang sifatnya reproduksi.

Meskipun demikian, di balik berbagai peraturan yang diberlakukan oleh ratu

Victoria yang penuh dengan kemunafikan banyak para bangsawan-bangsawan Inggris

yang terungkap dengan berbagai tabir perilaku seksualitasnya, seperti pengarang Oscar

Wide yang melakukan hubungan homoseksual dengan Lord Alfred, termasuk juga

putra mahkota sendiri yakni Raja Edward VII yang melakukan hubungan

homoseksual.33 Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan masyarakat Barat dan dunia

pada umumnya menganggap pelaku homoseksual sebagai the other’s(yang lain), yang

penuh dengan kelainan seksualitas, penyakit, abnormalitas, dan lain-lain, yang pada

akhirnya menciptakan terbentuknya masyarakat homophobia.34

Selain itu, kemunculan kaum borjuis (kapitalisme) yang bersamaan dengan

berkembangnya pemerintahan ratu Victoria telah menciptakan moralitas seksualitas

32
Michel Foucault., Op. Cit, hlm. 4
33
Onghokham., Op. Cit, hlm. 16
34
Homophobia adalah masyarakat yang takut terhadap perilaku homoseksual atau berasumsi
negatif terhadap perilaku homoseksual. Meskipun mereka tidak pernah menggangu kehidupannya.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana kaum homophobia eksis dan berkembang dalam
masyarakat kita sampai sekarang. Baca, Jean S Gochros., 1992, “Homophobia, Homosexuality, and
Heterosexual Marriage, dalam Warren J Blumenfeld (edit), Homophobia How We All Pay The Price, Beacon
Press: Boston, hlm. 131-153

55
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yang tidak hanya erat kaitannya dengan kekuasaan atau etika perdagangan, namun juga

sebagai bentuk perwujudan tentang zaman yang penuh dengan keketatan perilaku

seksualitas yang sifatnya pleasure, meskipun pada zaman tersebut banyak sekali

kemunafikan yang ditimbulkannya.

Pada akhir era Victoria terdapat berbagai ketakutan bila seseorang muncul

dengan kekhasan seksualitasnya yang berbeda dengan yang seharusnya

(heteronormatifitas). Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault dan Semnef,

ketakutan untuk mengekspresikan ide tentang hubungan antara pikiran dengan tubuh,

ucapan dengan keinginan, wacana dengan dominasi politik merupakan hal yang

mewarnai masa tersebut.35 Di dalam peradaban Barat terdapat pemisahan yang tegas

antara tubuh dengan identitas kepribadian. Identitas kepribadian menjelaskan

konsepsi mentalitas secara murni sebagai problema kesadaran. Cartesian dan juga

Descartes memahami tubuh sebagai mesin yang terorganisir bila dikaitkan dengan

mekanisme hukum.36 Sedangkan Anthony Synnott mengatakan bahwa pada dasarnya

tubuh dan perasaan merupakan hasil dari konstruksi sosial. Sebagai hasil dari

konstruksi sosial maka tubuh bukanlah sebagai sesuatu yang ‘given’ tetapi merupakan

ketegori sosial dengan arti yang berbeda-beda dan senatiasa dapat berubah.37

35
Victor J Seidler., 1987, “Reason, Desire & Male Sexuality”, dalam Pat Caplan, The Cultural
Construction of Sexuality, Travistock Publication: London, hlm. 93
36
Ibid., hlm. 94
37
Dikutip dari Anis Farida., Op. Cit, hlm. 129

56
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Keadaan semacam ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang hingga

pada tahun 1974 Himpunan Psikiatri Amerika (American Pshychiatric Association / APA)

mencabut homoseksualitas dari penggolongan atau diagnosisnya sebagai gangguan jiwa.

Meskipun banyak faktor yang mempengaruhinya di antaranya undang-undang

Kontinental dan mulai berkembangnya pemikiran atau pembicaraan tentang

demokratisasi.38

Dengan mulai berkembangnya pemikiran demokrasi di Barat, maka orang-

orang pun mulai dengan gencar membicarakan hak-hak individu yang harus dihormati

oleh negara, masyarakat dan sesama manusia. Maka sejak tahun 1920-an, kaum

homoseksual membentuk komunitas homoseks yang mulai muncul di kota-kota besar

Hindia Belanda. Puncak gerakan ini adalah tuntutan akan hak-hak sipil, yakni gerakan

menuntut hak-hak kaum hitam di Amerika Serikat, yang dibarengi oleh gerakan gender

(hak-hak perempuan) dan minoritas-minoritas lainnya, yang terjadi sekitar tahun 1960-

an.39

Sedangkan gerakan kaum homoseksual berawal dengan gerakan di Amerika

Utara pada tahun 1969, ketika sekelompok polisi merazia bar kaum homoseksual yang

bernama Stonewall, tetapi dilawan oleh para gay, mereka para polisi dikunci di dalam

bar dan kemudian dibakar. Peristiwa ini lebih dikenal dengan peristiwa Stonewall 1969,

yakni pembangkangan kaum homoseksual untuk memperjuangkan hak-haknya. Yang

38
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 10-11
39
Ibid..

57
Perilaku Homoseksual di Ponpes

hampir bersamaan dengan gelombang kedua gerakan perempuan. 40 Maka dengan

gerakan tersebut, gerakan kaum homoseksual berkembang dengan pesat ke seluruh

penjuru dunia Barat dan tidak takut lagi atau bahkan bersembunyi, serta mulai

dipertimbangkan untuk dijadikan kajian studi. Hal ini terbukti dengan berdirinya

gerakan International Lesbian and Gay Association OLGA) di Dublin, Irlandia pada

tahun 1978.

Sebenarnya mulai sejak tahun 1869, atau bahkan 1897 studi tentang kaum

homoseksual sudah mulai mendapat tempat di kalangan intelektual Barat. Hal ini

berawal dari usaha dokter Hungaria bernama Benkert yang menulis surat terbuka

kepada menteri kehakiman Prusia, yang hendak mengatur perbuatan homoseksual

sebagai tindak pidana, namun usaha tersebut ternyata gagal. 41 Meskipun demikian

minat ilmu pengetahuan terhadap homoseksual ternyata semakin besar. Seorang

homoseks Jerman, Karl Heinrich Ulrich banyak menulis tentang fenomena perilaku

homoseksual tersebut, bahkan ia dianggap sebagai “kakek” gerakan kaum

homoseksual.42 Sedangkan secara organisatoris baru pada tahun 1897 didirikan Komite

Kemanusiaan Ilmiah, yang dipelopori oleh Magnus Hirschfeld, dan aktif selama 35

tahun hingga dibubarkan pada pemerintahan rezim Nazi Hitler.43

40
Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center, hlm. 1
41
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 11
42
Ibid..
43
Ibid., hlm. 12

58
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pergeseran pandangan tentang

homoseksualitas di abad ke 19 dengan abad ke 20, adalah pergeseran pandangan

seksualitas yang bersifat represif menuju kepada pandangan seksualitas yang sifatnya

permisif. 44 Hal tersebut nampak dengan adanya kesenjangan antara ideologi dengan

perilaku nyata masyarakat. Meskipun demikian Foucault menolak pandangan tersebut.

Ia berpendapat bahwa pada abad ke 18 dan abad ke 19, terdapat suatu keadaan terlalu

sopan dan kesunyian (prudishness and silence) pada satu sisi, sedangkan pada sisi yang

lain terdapat ledakan wacana seksual yang terselubung.45

Dengan demikian, dengan memusatkan pada mekanisme represi maka

pergeseran sejarah seksualitas mengasumsikan pada dua pemutusan. 46 Pemutusan

pertama, terjadi sekitar abad ke 17, lahirnya larangan pokok, pengunggulan satu-

satunya seksualitas yaitu pada orang dewasa dan suami istri (heteroseksual), keharusan

berperilaku santun, keharusan mengelakkan badan, pembungkaman bahasa, dan

kesantunan berbahasa yang wajib. Pemutusan kedua, pada abad ke 20, yang lebih

berbentuk infleksi kurva, yakni mulainya mekanisme represi menunjukkan

kelonggarannya. Berbagai pengekangan dan larangan seksual telah beralih ke toleransi

realtif terhadap hubungan praperkawinan atau di luar perkawinan, diskualifikasi

berbagai perversitas berkurang, hukuman yang ditentukan oleh peraturan dihapus

44
Pat Caplan., Op. Cit, hlm. 6
45
Michel Foucault., Op. Cit, hlm. 30-41
46
Ibid., hlm. 145

59
Perilaku Homoseksual di Ponpes

sebagian, dan telah menghilangkan sebagian besar tabu yang membebani seksualitas

anak-anak (pedagogisasi seks anak).

Sikap positif terhadap kaum homoseksual tersebut terus berkembang di dalam

peradaban dunia Barat. Pengaruh yang cukup besar sebenarnya datang dari Sigmund

Freud dari psikiatri atau psikologi. Meskipun pada awalnya menganggap kaum

homoseksual sebagai patologi berupa terhambatnya perkembangan psikoseksual

seseorang atau disebutnya sebagai fase oedipal yang cacad pada anak47, namun pada

akhirnya Freud sendiri menganggapnya bukan sebagai patologi.48

Bahkan seorang intelektual Prancis Guy Hocquenhem, mengatakan bahwa

masalahnya bukanlah perilaku homoseksual melainkan masyarakatlah yang

menjadikannya sebagai masalah. Hal inilah yang menciptakan istilah homophobia oleh

George Weinberg, yang menggambarkan patologi masyarakat terhadap homoseksual.

Menurutnya homoseksualitas adalah variasi psiko-sosio-seksual yang biasa-biasa saja,

homophobialah yang merupakan patologi.49

Selain itu, pada tahun 1940an institusi Alfred C Kinsey melakukan penelitian

terhadap 5000 orang Amerika Serikat. Kinsey memperkenalkan model skala bergradasi

nol (heteroseksual eksklusif) sampai enam (homoseksual eksklusif). Sehingga

47
Linda Christanty., “Gaya Nusantara”, dalam Surat Kabar Majalah Pantau, tahun III, No. 024,
April 2002, hlm. 44
48
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 12. Hal ini berawal dari surat seorang ibu kepada Sigmund
Freud tentang anak laki-lakinya yang homoseksual pada tahun 1935. Dia menjawabnya bahwa
homoseksual sudah pasti bukanlah sesuatu yang menguntungkan, namun tidak patut digolongkan
sebagai penyakit, kami memandangnya sebagai suatu variasi perkembangan seksual…………
49
Ibid., hlm. 13

60
Perilaku Homoseksual di Ponpes

menemukan 37% dari laki-laki Amerika Serikat pernah beberapa kali melakukan

perilaku homoseksual dan 10% dari laki-laki Amerika Serikat adalah kaum

homoseksual eksklusif. 50 Angka kedua inilah yang kemudian dijadikan oleh kaum

pergerakan homoseksual untuk mengklaim bahwa jumlah kaum homoseksual adalah

10% dari populasi manusia. Pada tahun 1956 Evelyn Hooker, seorang psikolog

menyempurnakan kerja Kinsey. Hooker meneliti sekelompok kaum homoseksual dan

kaum heteroseksual yang menjalani hidup normal tanpa adanya keluhan psikis.

Hasilnya ia sama sekali tidak menemukan perbedaan secara psikopatologis di antara

kedua kelompok tersebut. 51 Hal inilah yang kemudian hari mendorong American

Psychiatric Association (APA) menghapus homoseksual dari gangguan jiwa atau

patologi.

Perkembangan positif bagi kaum homoseksual, tidak pernah lepas dari berbagai

kajian yang semakin marak untuk meneliti tentang kaum homoseksual. Hal ini

nampak sejak tahun 1950-an dan 1960-an, homoseksual sudah dikaji atau dipelajari

dari jarak yang objektif, maksudnya dilihat dari perspektif heteroseksual. Sampai

kemudian muncul generasi baru yang mulai mengambil peran dalam mempelajari

homoseksualitas dengan penuh semangat empati.

50
Jean S Gochros., 1992, “Homophobia, Homosexuality, and Heterosexual Marriage, dalam
Warren J Blumenfeld (edit), Op. Cit, hlm. 132
51
Linda Christanty., Op. Cit, hlm. 44

61
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Ken Plummer dalam kata pengantarnya di dalam buku Modern Homosexualities

(1992) mengatakan bahwa berbagai tulisan atau kajian tentang homoseksualitas yang

muncul sejak tahun 1970-an tampak masih seperti mencari pengertian diri. Beberapa

bahkan cenderung bernada destruktif dan bersikap negatif terhadap kaum

homoseksual. Namun keadaan tersebut kemudian berubah seiring dengan makin

banyaknya tulisan tentang homoseksual (pada tahun 1969 tercacat hanya 500 judul

buku, tapi pada tahun 1989 sudah menjadi 9000 judul buku), dengan semakin luasnya

persoalan-persoalan yang diteliti secara luas, dan menggunakan berbagai disiplin ilmu

yang semakin beragam, yang pada akhirnya menjadikan pembaca yang semakin banyak.

Hal inilah yang menyebabkan empati mereka lahir terhadap kaum homoseksual.52

Bersamaan dengan lahirnya berbagai publikasi awal tentang homoseksualitas

tersebut, berlangsung pula perkembangan penting yaitu pelembagaan studi

homoseksual sebagai lapangan akademik profesional. Pada tahun 1970-an bidang studi

tentang homoseksual secara internasional dikenal secara luas, dan dijadikan kajian di

berbagai universitas terkemuka, seperti di Harvard, Princeton, Yale, Berkeley, MIT,

Duke, Nottingham Trente University, yang mengadakan kuliah-kuliah tentang

homoseksual secara tetap. Universitas Utrecht bahkan mempunyai Pusat Studi Gay

dan Lesbian. Bahkan di beberapa negara telah lebih awal memantapkan kajian tentang

kaum homoseksual. Seperti di Hirshfeld’s Institute di Jerman pada tahun 1920-an,

52
Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center, hlm. 1

62
Perilaku Homoseksual di Ponpes

beberapa pusat studi di Belanda, dan juga Institute for Homophile Studies di

Amerika.53

Sebenarnya ada dua term utama dalam wacana homoseksualitas di masa

modern, yaitu “closet” (kloset) dan “coming out” (keluar). Term “kloset” biasanya

digunakan sebagai metafor untuk menyatakan ruang prifat atau ruang subkultur di

mana seseorang dapat mendiaminya secara jujur, lengkap dengan keseluruhan

identitasnya sebagai homoseksual secara utuh. Sedangkan term “keluar” digunakan

untuk menyatakan ekspresi dramatis dari kedatangan yang bersifat prifat atau publik.

Pemakaian kedua term tersebut sebenarnya sangat bermakna politis. Narasi “coming out

of the closet” akan menciptakan pemisahan antara individu-individu yang berada di

dalam atau di luar kloset. Kategori yang pertama diberi makna sebagai orang-orang

yang menjalani hidupnya dengan berbagai kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh

posisi sosial yang diterima dari masyarakat. “Kloset’ kemudian bermakna sebagai

strategi akomodatif dan pertahanan yang diproduksi untuk menghadapi norma-norma

masyarakat yang heteroseksual (heteronormatifitas) di sekitarnya.54 Dengan demikian

“closet practice” adalah respon terhadap strategi represif yang diterapkan oleh

masyarakat heteroseksual untuk mengeluarkan homoseksual dari kehidupan

masyarakat. Strategi ini mulai dilakukan sejak tahun 1940-an tapi mulai diintensifkan

sejak tahun 1950-an dan 1960-an. Hal ini semakin memantapkan posisi ‘kloset’ sebagai

53
Ibid., hlm. 1-2
54
Ibid., hlm. 2-3

63
Perilaku Homoseksual di Ponpes

konsep identitas seksual yang berbeda dan sebagai sebuah simbol kehidupan ganda

(biseksual).55

a.3. Pada Masa Postmodern

Perkembangan pasca modern, merupakan peralihan dari represif, menuju

kepada kehidupan gaya hidup kaum homoseksual yang semakin terekspresikan secara

bebas. Hal ini seiring dengan berkembangnya metropolis-metropolis seperti New York,

Chicago, San Francisco, Los Angeles, Amsterdam, Berlin dan lain-lain. Pada masa ini,

timbul suasana sinonim dan bebas yang sangat disukai oleh minoritas terstigma seperti

kaum homoseksual. Di kota-kota metropolis tersebut orang lebih acuh dan liberal

terhadap tingkah laku para tetangganya. Para pemilik modal (kapital) melihat akan

potensi membanjirnya orang-orang homoseksual ke kota-kota metropolis tersebut,

maka industri-industri yang melayani mereka pun berkembang dengan pesat, seperti

mulai berdirinya bar, disko, restoran, toko pakaian, sauna, pers, buku, film, hotel, biro

perjalanan, dan lainnya yang diperuntukkan bagi kaum homoseksual.56

Kehidupan kaum homoseksual sampai batas tertentu mulai ditandai dengan

kebebasan seks yang sangat luas, dengan upaya bereksprimen dengan pola hubungan

yang kadang-kadang tak terpikirkan sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh mereka kaum

homoseksual yang berhura-hura ataupun mereka yang kaum pergerakan, sehingga

muncul kekuatiran mengenai AIDS yang mulai pada tahun 1982. Klaim ini tidak bisa

55
Ibid..
56
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 14

64
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dilepaskan dari ditemukannya AIDS pertama kali pada kalangan kaum homoseksual di

San Francisco, Los Angeles, dan New York. Penyakit ini muncul sekitar tahun 1981

sindroma (kumpulan penyakit) yang kemudian diberi nama AIDS (acquired immune defi-

ciency syndrome), yang dideteksi pertama kali di Amerika Serikat, orang-orang yang

terkena memang semuanya laki-laki yang beridentitas atau mengidentifikasi dirinya

sebagai homoseksual. Asosiasi identitas kaum homoseksual dengan sindroma tersebut

pada awalnya begitu konsisten, sehingga para kalangan medis pernah menyebutnya

kanker gay, penyakit gay, atau penurunan kekebalan yang berhubungan dengan gay (gay

related immune deficiency, GRID).57 Meskipun demikian, kalaupun di Amerika Serikat

sebanyak 62,4% penderita AIDS (angka pada tahun 1988) adalah mereka yang pernah

menjalani perilaku kontak homoseksual, namun di Afrika kebanyakan kasus terdapat

pada kaum heteroseksual. Bahkan laporan terakhir mununjukkan terdapat penurunan

pada kelompok homoseksual, dan peningkatan pada kaum heteroseksual di Amerika

Serikat.58 Sehingga kini kebebasan seksualnya dilakukan secara lebih hati-hati.

Hal itu, menunjukkan bahwa kehidupan kaum homoseksual di Barat selalu

menyenangkan. Bahkan pergerakan kaum homoseksual dengan solidaritasnya yang

tinggi berusaha untuk menghapus segala problema yang berhubungan dengan

homophobia. Gerakan ini lambat laun semakin meningkat baik dalam hal jumlah,

ataupun kekuatannya. Banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya

57
Ibid., hlm. 191
58
John Langone, “How to Block a Killer’s Path”, dalam Time, tanggal 30 Januari tahun 1989,
sebagaimana yang dikutip oleh Dede Oetomo, Op. Cit, hlm. 175

65
Perilaku Homoseksual di Ponpes

adalah upacara perkawinan antara dua orang berjenis kelamin sama (laki-laki), seperti

yang pada awalnya dilakukan gereja Kristen kembali menguat. Jaringan pergerakan

perkawinan sesama jenis ini, terdiri dari para pendeta yang menghidupkan perkawinan

gay bagi para gay di gereja-gereja.59 Para vikaris (pengganti uskup) yang gay mengaku

telah menerima perkembangan gay di gereja. 60 Seperti yang dilakukan oleh Dignity

dalam gereja Katolik Roma, gereja khusus kaum homoseks Metropolitan Community

Church, yang berpusat di Los Angeles dan mempunyai cabang di Jakarta. 61 Seiring

dengan mulainya perkawinan sesama jenis yang diakomodasi oleh gereja, maka pada

tanggal 1 Oktober 1989 merupakan awal tonggak bersejarah bagi kaum homoseksual.

Mulai tanggal tersebut, Denmark mulai mengakui hubungan perkawinan sesama jenis,

yang disebutnya sebagai permitraan terdaftar (registered partnership).62

Kesepuluh pasangan homoseks yang mendaftarkan permitraannya pada hari itu

di balai kota Kopenhagen, diakui hak-haknya sebagai pasangan sebagaimana pasangan

heteroseksual, baik haknya dalam perpajakan, warisan, ataupun alimentasi. Tanggal

tersebutlah awal mulanya permitraan homoseks diakui oleh undang-undang suatu

negara. Belanda juga memberikan kemudahan kepada pasangan homoseksual untuk

menikah, yang dapat membuktikan sudah beberapa tahun bersama (berkumpul) dalam

hal perpajakan dan imigrasi, begitu juga perusahaan penerbangan Skandinavia SAS

59
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 495
60
Ibid., hlm. 496
61
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 133
62
Ibid..

66
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yang memberikan hak kepada pekerjanya yang homoseks dan pasangannya untuk

menggunakan fasilitas penerbangan gratis pada waktu liburan. 63 Perkembangan ini

semakin pesat dengan semakin banyaknya negara-negara lain yang mulai mengakui

hubungan homoseks. Seperti, Afrika Selatan yang mensahkan Undang-Undang Dasar

Sementara menjadi Undang-Undang Dasar Tetap pada bulan April – Mei 1996,

Kanada yang melakukan perubahan penting pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia

yang secara tegas melindungi kaum homoseksual, negara bagian Hawaii Amerika

Serikat, dan bahkan Hongaria (bekas negeri yang kaya dengan represi) ternyata juga

mulai mengakui hubungan sesama jenis berdasarkan hukum adat (common law). 64

Selain itu, gerakan sosial politik kaum homoseksual untuk mendapat hak-haknya juga

berdiri di Amerika Serikat pada tahun 1990, yakni International Gay and Lesbian

Human Rights Commission (IGLHRC) berdiri di San Francisco. Selain itu, untuk

pertama kalinya pada tahun 1993, isu orientasi seksual masuk dalam agenda

Konferensi PBB tentang Hak Asasi Manusia di Wina, Austria, tetapi ditentang oleh

negara negara konservatif, termasuk Singapura. Pada tahun 1994,

isu orientasi seksual kembali mewarnai perdebatan pada Konferensi Internasional

Kependudukan dan Pembangunan (ICPD, Kairo, Mesir), dan ditentang pihak pihak

konservatif. Indonesia secara eksplisit menolaknya. Lalu, pada tahun 1995,

isu orientasi seksual kembali diperjuangkan oleh aktivis-aktivis lesbian yang mencuat

63
Ibid., hlm. 134
64
Ibid., hlm. 125-126

67
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pada Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-2 di Beijing, Tiongkok. Namun,

kembali pihak-pihak konservatif, termasuk Vatikan Iran, dan Indonesia menentangnya.

Bahkan pada perkembangannya sekarang ini kaum homoseksual telah

memiliki media tersendiri, seperti majalah Gay Kuant di Belanda yang menyimbolkan

Cristiano Ronaldo sebagai cowok terseksi versi kaum homoseksual Belanda, sedangkan

di Italia Fabio Cannavaro disimbolkan sebagai cowok terseksinya.

B. Homoseksual Di Dunia Islam

b.1. Homoseksual Pada Sejarah Awal

Di dalam wacana keislaman, yang banyak mengikuti ajaran-ajaran agama

sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen, istilah homoseksual sering dikenal dengan

sebutan al-liwath65 yang berasal dari kata luth. Di dalam ajaran Yahudi, Mishna (naskah

pertama yang menetapkan ajaran Yahudi, secara tertulis menyebutkan bahwa perilaku

homoseksual hukumannya adalah dibunuh dengan dilempari batu, namun hanya

pasangannya yang aktif yang dibunuh. Selanjutnya Talmud memberikan hukuman

mati bagi keduanya.66 Selain itu, dalam ajaran Kristen perilaku homoseksual dianggap

sebagai bagaian dari bid’ah, karena bid’ah dan homoseksual di dalam gereja saling

berkaitan. Gereja tidak hanya menganggap penganut bid’ah sebagai para penghujat

tetapi sebagai individu yang gila (seperti syetan) yang dalam perilaku seksualnya akan

65
Untuk kaum homoseksual gay disebut liwat, sedangkan lesbi disebut as-sihaq.
66
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 67

68
Perilaku Homoseksual di Ponpes

menjadi pendosa dengan jenis yang paling berat. Para pelaku homoseksuallah yang

termasuk ke dalam kategori tersebut.67

Sejalan dengan dua agama pendahulunya, perbuatan homoseksual bagi umat

Islam bukan hanya terdapat di zaman modern ini, tetapi telah terjadi pada zaman Nabi

Luth. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an bahwa kaum Nabi Luth adalah

kaum yang tidak mau berhubungan dengan isteri-isteri mereka, justru malah lebih suka

berhubungan badan untuk mencari kepuasan dengan sesama laki-laki yang lebih muda

dan tampan (Q.S. al-A’raf: 83). Sementara itu landasan utama yang sering di pakai

untuk menolak relasi tersebut diabadikan juga dalam al-Qur’an surat Hud ayat 77-83,68

yaitu:

Dan datanglah kepadanya kaum dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu


mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata; “Hai
kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah
kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan terhadap tamuku ini. tidak
adakah di antara seseorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya
kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-
puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami
kehendaki.” Luth berkata: Seandainya aku mempunyai kekuatan atau kalau
aku dapat berlindung pada keluarga yang kuat.” Para utusan berkata: “Hai
Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sesekali mereka
akan dapat mengganggu kami, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga
dan pengikut-pengikutmu di akhir malam dan janganlah ada seseorangpun di
antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa
azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada
mereka diwaktu subuh; bukanlah subuh itu sudah dekat? Maka tatkala datang
azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah, dan
Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar bertubi-tubi, Yang

67
Ibid., hlm. 95
68
Moh Yasir Alimi., 2004, Dekonstruksi seksualitas Poskolonoial: Dari Wacana Bangsa Hingga
Wacana Agama, LKiS: Jogyakarta, hlm. xx

69
Perilaku Homoseksual di Ponpes

diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang
yang zalim. (QS. Hud: 77-83)

Dari ayat di atas memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang relasi seksual

sesama jenis sesama laki-laki. Kata dalam Al-qur’an yang seringkali dipakai untuk

menjadi rujukan tentang relasi seksual sejenis adalah al-fahisyah (QS, Al-A’raf: 80 dan

QS. An-Naml: 54), al-khabaits (QS. Al-Anbiya’: 74), al-munkar (QS. Al-Ankabut: 29), dan

as-sayyiat (QS. Hud: 78).69 Selain ayat di atas, ada beberapa ayat lain yang juga merujuk

kepada bangsa Nabi Luth. Antara lain:

Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala
dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji
(fahisyah) itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)
sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu
(kepada mereka) bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas (QS. Al-A’Raf: 80-81).

Dalam tafsir Al-Manar dijelaskan pula bahwa Nabi Luth diutus Allah untuk

memperbaiki akidah serta akhlak kaumnya yang berdiam di negeri Sadum, Amurah,

Adma’, Sabubim dan Bala’, ditepi Laut Mati. Nabi Luth memilih tinggal di negeri

yang paling besar dari kelima negeri itu yaitu Sadum. Negeri Sadum mengalami

kehancuran moral, kaum laki-laki lebih nafsu kepada sesama jenisnya yang berusia

muda, dan tidak nafsu kepada kaum wanita.70 Ketika menyaksikan perbuatan kaumnya

69
Amreen Jamal., “The Story of Lut and The Quran’s Perception of The Morality of Same-Sex
Sexuality”, dalam Journal of Homosexuality, Nomer 41, 1, 2001, sebagaimana yang dikutip oleh Moh.
Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. xxi
70
Rasid Ridha., 1950, Tafsir Al-Manar, Matba’ah Hajari: Kairo, hlm. 509-510

70
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yang tidak bermoral itu, Nabi Luth menegur dan memperingatkan mereka untuk

meninggalkan kebiasaannya. Ia mengajak untuk menyalurkan naluri seks sesuai dengan

fitrah, yaitu melalui perkawinan antara pria dan wanita (heteroseksual). Ajakan Nabi

Luth ini mereka jawab dengan mengusir dari masyarakatnya. Sementara itu mereka

terus mengerjakan perbuatan keji dan tidak bermaksud meninggalkan kebiasaannya.71

Dan juga terdapat beberapa ayat lain dalam Al-Qur’an yang menjelaskan

tentang fenomena relasi seksual sesama jenis tersebut. Di antaranya, terdapat dalam Al-

Qur’an Surat Asy-Syuara’: 165-166, dan Surat An-Nisa’: 16. Dengan demikian tiga ayat

di atas semuanya menceritakan tentang perilaku seksual pada masa Nabi Luth yang

semuanya diakhiri dengan suatu kecaman yang keras. Menurut Al-Tabari kisah tersebut

diceritakan dalam rangka untuk mencela agar tidak dilakukan oleh orang-orang

selanjutnya dan bukan untuk ditiru. Hal itu disimpulkan dari munasabah pada akhir

ayat yang menyatakan bahwa kaum Nabi Luth adalah kaum yang melampaui batas.72

Sedangkan menurut Shahrur, ayat tersebut sebenarnya juga memberikan sebuah isyarat

bahwa untuk menyalurkan nafsu seksual secara wajar sebenarnya sah-sah saja, namun

perilaku seksual kaum Nabi Luth dengan relasi seksual sesama jenisnya telah dianggap

sebagai perbuatan yang berlebih-lebihan atau melebihi batas, sehingga dilarang dalam

71
Ibid., hlm 511-513
72
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari., 1995, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayil Qur’an , Dar al-
Fikr: Beirut, hlm. 304. Sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Mustaqim, 2003, “Homoseksual Dalam
Tafsir Klasik dan Kontemporer”, dalam Musawa, PSW UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta, vol. 2, No. 1,
Maret, hlm. 8-9

71
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Al-Qur’an. Dalam hal ini larangan tersebut sebenarnya juga berlaku untuk hal yang lain,

seperti, makan dan minum.73

Sementara itu kurang lebih ada 4 hadits yang berkaitan dengan relasi seksual

sesama jenis dan transgender. (1)” Ketika seorang laki-laki menaiki laki-laki, istana

Tuhan bergoyang.” (2) “Bunuhlah yang menyetubuhi dan bunuh juga yang

disetubuhi.” (3) “Dikutuklah laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan (4)

“perempuan yang memakai pakaian laki-laki”.74

Dari kata kaum Luth inilah kemudian digunakan sebagai sebutan dan aktivitas

seksual yang lebih condong kepada laki-laki. Praktek homoseksualitas pada masa kaum

Nabi Luth itu dilakukan dengan menyetubuhi lelaki yang sejenis pada duburnya atau

yang sekarang dikenal dengan istilah sodomi, tapi penulis menyebutnya dengan

penetrasi anus. Istilah itu boleh jadi diambil dari nama kaum Nabi Luth yaitu kaum

Sodom.

Asal muasal munculnya praktek homoseksualitas atau sodomi di zaman Nabi

Luth dikarenakan pada waktu itu terjadi musim paceklik, sehingga mereka kekurangan

pangan (buah-buahan), padahal dulunya mereka punya pohon yang berbuah lebat di

kebun-kebun mereka. Lalu sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: Kalian

tertimpa musibah musim paceklik ini disebabkan banyaknya fenomena orang-orang

asing melakukan perjalanan ke negeri kalian. Oleh sebab itu, maka nanti setiap kalian

73
Muhammad Shahrur., 1990, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, Al-Ahali li Al-Nasyr:
Damaskus, hlm. 637
74
Moh. Yasir Alimi, Op. Cit, hlm. xxxii

72
Perilaku Homoseksual di Ponpes

bertemu mereka, “kumpulilah” dengan cara sodomi dengan memberi imbalan uang

empat dirham. Setelah itu niscaya orang-orang tidak akan datang lagi ke negeri kalian

ini. Rupanya anjuran yang hanya didasarkan pada setiap mitos ini diikuti oleh kaum

Sodom tersebut, dan akhirnya hal itu menjadi kebiasaan di lingkungan mereka. 75

Sampai saat ini di dunia Islam wacana tentang homoseksual selalu dikaitkan

dengan perilaku kaum Nabi Luth di atas. Homoseksual sebagaimana dikemukakan di

atas dalam pandangan Islam jelas dilarang atau diharamkan. Artinya dalam legislasi

Islam siapa yang melakukan homoseksual mendapat dosa dan siapa yang

meninggalkannya mendapat pahala.

Di samping itu, cerita Nabi Luth sebagaimana cerita-cerita dalam Al-Qur’an

yang lain seperti cerita tentang Nuh, Ibrahim, dan Musa adalah tentang kaum yang

dihukum karena penolakan terhadap Nabi mereka.76 Selain itu, menurut Kugle, ada

kemiripan tapi tidak sama antara cerita tentang Luth dalam Injil dan Al-Qur’an. Dalam

Injil relasi seksual sesama jenis disebut lebih eksplisit. Tafsir tentang Luth yang

berkembang di kalangan Muslim menurutnya banyak dipengaruhi dari tafsir yang

berkembang untuk Injil.77

Alasan lain yang sering dikemukakan dalam ajaran Islam tentang larangan

relasi seksual sesama jenis sebagaimana dipahami dari teks al-Qur’an, disebutkan dalam

kisah tentang dihancurkannya kaum Luth yang melakukan perbuatan homoseksual

75
Abdul Mustaqim, Op. Cit, hlm. 11-12
76
Moh. Yasir Alimi., Op, Cit, hlm. Xxiii-xxiv
77
Ibid..

73
Perilaku Homoseksual di Ponpes

tersebut. Informasi yang dapat kita ketahui bahwa pada akhirnya kaum Nabi Luth yang

melakukan praktek sodomi, mendapat siksa dari Allah berupa hujan batu (Q.S. Al-

A’raf: 84); “Dan Kami turunkan kepada mereka (kaum Nabi Luth) hujan batu, maka

perhatikanlah bagaimana kesudahan / akibat orang-orang yang berdosa itu.”78

Dari kisah ini kemudian muncul justifikasi bahwa homoseksual apapun

alasannya adalah dosa dan haram sehingga dampak negatif yang ditimbulkan dari

perbuatan liwath (homoseksual), sebagaimana perkataan jumhur ulama adalah “Tidak

ada satu perbuatan maksiat yang kerusakannya lebih besar dibandingkan dengan

perbuatan homoseksual. Bahkan dosanya berada persis di bawah tingkatan kekufuran

bahkan lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan dari tindakan pembunuhan.

Dari sejarah turunnya wahyu, yang sangat menarik adalah tingkat hukuman

terhadap kaum homoseksual. Dalam hal ini Al-Qur’an memang tidak memberikan

informasi tentang orang yang melakukan homoseksualitas, sebagaimana Al-Qur’an

menjelaskan secara tegas tentang hukuman bagi pelaku zina (Q.S. Al-Nur: 2). Fakta

tentang homoseksual / liwath berbeda dengan zina. Liwath tidak termasuk jenis dari

perzinaan, sehingga dapat dikatakan bahwa liwath masuk dalam keumuman dan dalil

syara’ yang menyebut tentang perzinaan. Zina adalah masuknya kelamin laki-laki ke

dalam farjinya perempuan. Sedangkan liwath adalah masuknya kelamin laki-laki ke

dalam duburnya laki-laki. Jadi, liwath berbeda dengan zina.

78
Abdullah Mustaqim., Op. Cit, hlm. 11

74
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Semasa Rasulullah tidak ada satu kasus pun tentang penghukuman atas

praktek relasi seksual sejenis. Setidaknya ada tiga hukuman berat terhadap pelaku

homoseksual yaitu; pertama, dibunuh, kedua; dibakar (eksekusi pertama ini dibuat pada

masa khalifah Umar bin Khattab) dan ketiga; dilempar dengan batu setelah

dijungkalkan dari tempat yang tinggi. 79 Sementara itu, para sarjana pada waktu itu

berbeda pendapat tentang hukuman ini karena tidak seorang pun manusia yang layak

dibakar menurut ajaran Rasul. Akhirnya diputuskan homoseksual dilempar dari

gedung tinggi dan kemudian dilempar batu sampai mati.80

Perbedaan pendapat hanya terjadi dalam masalah sanksi hukum yang

dijatuhkan kepada pelakunya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan sumber

hukum yang digunakan masing-masing ulama Fiqh, di samping berbedanya cara

menafsirkan ayat-ayat serta hadis yang menjadi dasar penetapan hukumnya. Sementara

itu dalam menjatuhkan hukuman terhadap para pelaku homoseks memerlukan bukti

yang jelas, baik melalui pengakuan dari para pelakunya maupun keterangan saksi. 81

Terdapat perbedaan pendapat para ulama’ dalam hal saksi terhadap perilaku

homoseksual. Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa saksi dalam homoseks

sama halnya dengan saksi dalam zina, yakni empat orang saksi dan semuanya adalah

laki-laki yang adil. Sedangkan Hanafi berpendapat saksi dalam homoseksual berbeda

79
Abu Hafshah., “Hukuman Bagi HomoSeks”, dalam Artikel Buletin Annur, diakses dari
Alsofwah. Or. Id. Index.php/ index.php/?pilih=lihatannur&id=324, tanggal 20 April 2005
80
Moh Yasir Alimi, Op. Cit, hlm. xxvii
81
Sudirman M., “Studi Tentang Homoseksual Menurut Pandangan Hukum Islam”, dalam
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (Edit)., 1994, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka
Firdaus kerja sama Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan: Jakarta, hlm. 84

75
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dengan saksi dalam zina, karena kemudaratan yang ditimbulkan dalam homoseksual

lebih ringan daripada zina, serta tidak menimbulkan pencampuran keturunan. Karena

itu untuk membuktikan perilaku homoseksual cukup dengan satu saksi saja.

b.2. Homoseksual Pada Masa Sekarang

Di atas telah dijelaskan bahwa perilaku homoseksual telah ditemukan sejak

lama. Eksistensi homoseksual yang demikian lama dan hingga saat ini masih tetap ada,

bahkan di beberapa tempat tampak diberi empati, tidak berarti nilai dan perilaku

homoseks telah beralih dari perilaku menyimpang tiba-tiba menjadi diperbolehkan dan

menjadi bagian tren dari masyarakat modern. Sungguhpun demikian khalayak umum

masih memandang perilaku homoseks sebagai perbuatan yang tidak dapat diterima.

George Harvard dalam bukunya Revolusi Seks mengungkapkan “Kita tidak

begitu khawatir terhadap bahaya nuklir yang mengancam kehidupan manusia di abad

modern ini. Yang kita khawatirkan adalah serangan bom seks yang setiap saat dapat

meledak, menghancurkan moral manusia.” Pandangan semacam ini juga dilontarkan

oleh sejarawan Arnold Toynbee yang menyatakan , “Dominasi seks dewasa ini akan

mengakibatkan runtuhnya peradaban manusia”.82

Pernyataan para ahli ini didasarkan atas fakta empiris bahwa hubungan seks

dewasa ini tidak lagi terbatas pada suami-isteri atau dua insan berlainan jenis, tetapi

telah jauh melebar ke bentuk hubungan seks sesama jenis, baik homoseks maupun

lesbian. Inilah yang melatarbelakangi tulisan James Ruston di harian New York Times

82
Fafhi Yakin., 1989, Islam dan Seks , Al-Hidayah: Jakarta, hlm. 7-8

76
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yang menyatakan bahwa bahaya tenaga seks lebih besar daripada bahaya tenaga nuklir.

Ini dapat dibuktikan dari catatan resmi Dewan Kesehatan Dunia, bahwa terdapat

puluhan juta orang melakukan homoseks, tiga juta di antaranya di Amerika.83

Penyimpangan seksual itu bukan hanya dilakukan oleh orang-orang ateis yang

menyangkal wujud Allah dan menentang Hari Kebangkitan, tetapi juga dilakukan oleh

orang beragama, yang menyakini adanya Tuhan dan alam akhirat. Ini disebabkan

peradaban manusia dewasa ini telah jauh mengarah ke materialisme, meninggalkan

agama dan nilai spiritual. Pada masyarakat kota telah tersebar berbagai sarana

pembangkit api syahwat serta naluri-naluri hewaniah.84

Namun demikian, sebagai wacana keislaman yang lebih terkini perlu dilihat

alasan-alasan medis, biologis, psikologis, filosofis, sosiologis, kultural dan tentu saja

normatifnya. Sebagaimana dikemukakan dalam penetapan hukum homoseksual adalah

mendasarkan secara tekstual kepada nash al-Qur’an, jadi alasan yang digunakan adalah

alasan normatif. Menurut sebagian ahli medis mengatakan bahwa hubungan sesama

jenis secara umum tidak menyebabkan penyakit atau gangguan fisik lainnya.

Perbuatan sodomi atau homoseksualitas tersebut disebabkan karena orang tak takut

dosa, dan hanya memperturutkan hawa nafsunya.

Secara filosofis hubungan seksual sesama jenis juga dapat dipahami. Artinya

bahwa homoseksual merupakan sebuah aktivitas kemanusian yang wajar. Karena dalam

83
Ibid., hlm. 49.
84
Murthada Muthahari., 1984, Manusia dan Agama, Mizan: Bandung, hlm. 58

77
Perilaku Homoseksual di Ponpes

kajian filsafat tidak dikenal perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dari sini dapat

dipahami bahwa diskursus homoseksual dan lesbian tidak terkait dengan filsafat.

Hanya saja ketika berbicara tentang filsafat etika tidak disinggung, itupun tidak

signifikan. Karena filsafat etika lebih menekankan pada kajian tentang hakikat

hubungan manusia dengan manusia lain atau manusia dengan dirinya sendiri.

Jika ditinjau dari sudut psikologi, maka kajian tentang homoseksual menjadi

sangat ramai dan menegangkan. Ramai artinya banyak teori yang ada dan pada

nantinya mengatakan bahwa homoseksual adalah sebuah penyimpangan seksual.

Menegangkan artinya bahwa homoseksual menjadikan banyak orang tercengang dan

terkagum-kagum terhadap fenomena yamg sulit diterima oleh akal. Dalam praktek

psikologi banyak teori yang menjelaskan tentang sebab-sebab terjadi homoseksualitas

antara lain, adanya penjara dan asrama-asrama kaum pria yang terpisah dari kaum

perempuan bisa menyebabkan peristiwa homoseksual. Termasuk juga relasi

heteroseksual yang tidak memuaskan dan meninggalkan bekas-bekas pengalaman yang

traumatis banyak mendorong seseorang mencari pengalaman relasi homoseksual.85

Ditinjau dari sudut sosial-kultural, perilaku homoseksual untuk masyarakat

Islam (Indonesia) masih sangat tabu dan bertentangan dengan agama dan bangsa.

Hubungan sosial yang tidak melalui perkawinan dan apalagi sesama jenis merupakan

85
Kartini Kartono., 1989, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual: PT. Mandar Maju:
Bandung, hlm. 248.

78
Perilaku Homoseksual di Ponpes

sebuah perbuatan yang dikutuk oleh masyarakat. Pelakunya layak mendapat hukuman

dari masyarakat.

Pengaruh penyimpangan seks semacam homoseksual, menurut ahli jiwa, adalah

tidak adanya keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Jika ada di antaranya telah

kawin, akan menyuruh laki-laki yang disukainya untuk menyetubuhi isterinya sendiri

asalkan laki-laki itu bersedia digaulinya secara homoseks. Bila seorang homo telah

berlanjut usia dan tidak sanggup mendatangi laki-laki, dia sendiri yang mengundang

dan membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Akibat dari perilaku ini perempuan

pun merasa tidak puas bersetubuh dengan laki-laki, dan timbullah keinginan mereka

untuyk melakukan hubungan seks antar sesamanya (lesbian).86

Alasan yang sering dipakai untuk menyatakan pelarangan ini adalah seperti

diungkapkan oleh Dr. Muzammil Siddiqi dari The Islamic Society of North Amerika

bahwa homoseksualitas adalah kerusakan moral. Homoseksualitas adalah penyakit

moral, sebuah dosa dan korupsi. Orang yang melakukan tindakan ini karena

kurangnya pendidikan dan bimbingan. Karena homoseksualitas sangat berbahaya bagi

kesehatan individu dan kesehatan masyarakat. Homoseksualitas merupakan sebab

utama salah satu penyakit yang paling fatal dan berbahaya. Islam mengajarkan laki-laki

untuk menjadi laki-laki dan perempuan untuk menjadi perempuan. Homoseksualitas

86
Hamka., 1979, Tafsir Al-Azhar, Panjimas: Jakarta, hlm. 58

79
Perilaku Homoseksual di Ponpes

mereduksi laki-laki dari kelaki-lakiannya dan perempuan dari keperempuannya.

Homoseksualitas bisa berakibat hancurnya kehidupan keluarga.87

Walaupun kelihatan keras, Islam mainstream juga menawarkan kemungkinan-

kemungkinan yang besar untuk emansipasi homoseksual. Misalnya, eksklusi sosial

seorang homoseksual sangat debatable dalam kacamata Islam. Referensi terbaik tentang

homoseksualitas sebagaimana disebut di atas adalah cerita Nabi Luth, cerita yang

menjadi basis bagi dilaknatnya habis-habisan homoseksualitas dalam Islam.88

Bahkan menurut beberapa penulis, seperti Scott Siraj al-Haqq Kugle, Omar

Nahas, dan Amreen Jamal, cerita tersebut tidak secara spesifik berkaitan dengan relasi

seksual sesama jenis. Cerita tersebut menurut mereka berkitan dengan kaum yang

dihukum karena melakukan bentuk perilaku seksual yang ilegal, termasuk seks bebas,

pedofilia,89 perlakuan yang tidak baik terhadap tamu dan penyalahgunaan kekuasaan,

perkosaan, intimidasi, dan seksualitas di luar nikah.90

Persoalan pelarangan relasi seksual sejenis dalam wacana agama tidak bisa

dilepaskan dari ideologi prokreasi – yang menegaskan bahwa seksualitas adalah

reproduksi. Hal inilah yang mendominasi wacana Islam dalam seksualitas. Lebih lanjut

Muhammad Shahrur menyebutkan bahwa perilaku seksual dalam bentuk apapun

masih diperbolehkan termasuk perilaku seksual homoseksual, atau dengan kata lain

87
Moh Yasir Alimi., Op.Cit, hlm xxiii
88
Ibid..
89
Pedofilia adalah gejala rasa tertarik dan mendapatkan kepuasan seksual pada orang dewasa
dengan melakukan persetubuhan dengan anak-anak kecil. Lihat, Kartini Kartono., Op. Cit, hlm. 252-253
90
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. Xxiii-xxiv

80
Perilaku Homoseksual di Ponpes

homoseksualitas pada awalnya diperbolehkan dan belum ada pemahaman tentang zina,

kecuali pada masa tertentu di mana Allah melarang atau mengharamkan perilaku

homoseksual yakni pada masa Nabi Luth. Sedangkan perbuatan zina mulai dilarang

sejak pada masa Nabi Musa. Kemudian ajaran ini yang termasuk dalam kategori ini

disempurnakan pada masa kenabian Muhammad, yakni dengan diharamkannya

perilaku homoseksualitas, lesbian dan zina. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa diharamkannya perilaku homoseksual pada masa Nabi Luth sebelum

diharamkannya zina pada masa Nabi Musa. Selain itu, homoseksual dikategorikan

sebagai perbuatan tercela setelah terbentuknya pemahaman tentang kepemilikan (al-

mulkiyyah), atau mulai adanya kebutuhan untuk mempertahankan ranah kehidupan (al-

majal al-hayawi) bagi keluarga. Dengan demikian, agenda pelarangan homoseksualitas

tidak bisa dilepaskan dari konsep keluarga. Melalui konsep keluargalah, laki-laki dan

perempuan dipasangkan dalam seksualitas prokreasi untuk menghasilkan keturunan.

Reproduksi dan regenerasi warga negara inilah yang menjadi alasan diharamkannya

homoseksualitas. Sedangkan konsepsi etika (moralitas) pertama kali lahir pada masa

91
Nabi Nuh. Bahkan Mohammed Jalal Kishk dalam bukunya Muslim Ideas About

Sexuality, berspekulasi atau mengandaikan bahwa di dalam kehidupan Syurga ada

hubungan homoseksual. Buku tersebut pada akhirnya dibiarkan beredar setelah dinilai

oleh Komisi Hukum Islam Al-Azhar.92

91
Muhammad Shahrur., 2004, Tirani Islam, LKiS: Jogjakarta, hlm. 25-26.
92
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. Xxiv-xxv

81
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Ulama-ulama fiqh pun berbeda pendapat soal relasi seksual sejenis. Walaupun

semua sepakat seks sesama jenis tidak bisa diterima secara hukum, namun mereka

berbeda pendapat soal tingkat hukuman yang akan diberikan. Mazhab Hanafi yang

dominan di Asia Timur dan Selatan berpendapat bahwa pada masa sekarang tidak baik

menggunakan hukum secara fisik. Sedangkan Mazhab Hanbali yang dominan di

negeri-negeri Arab menegaskan akan perlunya penegakan hukum secara fisik.93

Dalam konteks inilah Nasr Hamid Abu Zaid mengajak umat Islam untuk

memperlakukan wacana agama atau bahkan Al-Qur’an sebagai komponen yang paling

penting di dalamnya sebagai discourse. Yaitu tempat di mana terjadinya perjuangan

ideologi untuk memperebutkan makna dan kekuasaan. Termasuk ideologisasi patriarki

dan heteronormatifitas. Dengan demikian teks agama tidak hanya dilihat sebagai teks

yang berasal dari Tuhan yang tidak bisa dipikir ulang dan ditafsirkan, sehingga

dianggap sebagai teks yang harus diterima sepanjang masa. Keagamaan tidak hanya

terletak pada bunyi tekstual ayat, akan tetapi terletak pada semangat untuk selalu

memperbarui diri dan masyarakat demi terciptanya kehidupan yang adil, sejahtera, dan

setara.94

93
Ibid..
94
Ibid., hlm. Xxix-xxx

82
Perilaku Homoseksual di Ponpes

C. Homoseksual Di Indonesia (Madura)

c.1. Homoseksual Pra Modern

Dalam membicarakan Indonesia, perlu ditegaskan dahulu bahwa dalam

membicarakan masa lampau, maka yang dimaksud dengan Indonesia adalah budaya-

budaya yang ada di wilayah Indonesia sekarang ini, yang kadang- kadang disebut pula

budaya-budaya Nusantara tradisional. 95

Di Indonesia, kata homoseks oleh masyarakat awam hanya dipakai untuk

mengacu kepada laki-laki, sedangkan perempuan homoseksual lebih lazim disebut

lesbian atau lesbi. Hal ini perlu disebutkan secara eksplisit, karena seperti nanti akan

kita lihat ketika membahas perilaku homoseksual pada budaya-budaya tradisional

Nusantara, dalam budaya tradisional tidak ada kebiasaan mengacu pada identitas

homoseksual sebagaimana lazim dikerjakan dalam masyarakat Indonesia modern.

Seksualitas tradisional adalah konsep hubungan seksual sebelum Islam dan

kolonialisme yang masuk ke negeri ini. Discourse seksualitas ini sebagian berasal dari

India dan sebagian lainnya merupakan tradisi atau adat dari suatu masyarakat agraris

kuno. Seksualitas saat itu, terutama di kalangan atas kerajaan, bukan dipandang

sebagai masalah moral tetapi layaknya kebutuhan manusia sehari-hari seperti makan

dan minum yang harus dinikmati setinggi-tingginya.96

95
Dede Oetomo, Op. Cit, hlm. 15
96
Onghokham., Op. Cit, hlm. 21

83
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Di Jawa, beberapa peninggalan Hindu sangat jelas mengungkapkan pengaruh

India. Patung-patung di Museum Gajah Jakarta mengungkapkan “seks bebas” serta

menjunjungnya seperti candi-candi di India. Di Candi Sukuh dan Candi Ceto

ditunjukkan adegan yang serupa, yakni pemujaan pada simbol-simbol seksual dari

Lingga, Yoni, sampai ke penggambaran nyata alat kelamin. Hubungan seksual di zaman

Hindu-Budha Kuno tersebut, khususnya di kalangan keraton merupakan kesuburan

bumi kerajaan. Simbol-simbol seksualitas, baik dalam praktek sehari-hari maupun

secara abstrak, menjadi jimat yang harus menjamin berhasilnya panen dan

kemakmuran kerajaan.97

Dengan sendirinya apa yang hidup di keraton sebenarnya juga berakar pada

konsepsi tradisional. Dengan demikian, bahasa dan tingkah laku seksual masyarakat

tradisional yang dipandang “cabul” oleh kolonialisme malah di kalangan keraton

menutupi makna kesetian para wanita yang “diperisteri”. Namun terlepas dari

keracuan persepsi seperti itu bagi kalangan rakyat bawah unsur seksualitas dipandang

sebagai hal yang lebih bersifat produktif, harus menghasilkan anak. Berlainan dengan

kalangan keraton atau elit yang memandang seksualitas melulu berunsur kenikmatan

(pleasure) dengan segala konsekuensinya seperti permainan pendahuluan dan

sesudahnya. Sedangkan hubungan seksual di kalangan petani atau rakyat pada

umumnya lebih bersifat “fungsional”, berlangsung dengan cepat tanpa permainan

97
Ibid

84
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pendahuluan yang dipandang oleh kalangan non-petani sekedar seperti “permainan

ayam”. 98

Identitas seksual atau seks biologis mengacu pada hasil pembagian jenis

kelamin secara kromosomal, kromotinal, gonadal, harmonal dan somatis. Secara lebih

awam, identitas seksual mengacu pada kejantanan dan kebetinaan dari segi ragawi,

khususnya alat kelamin luar. Sebenarnya di sini pun dapat kita amati variasi berbentuk

berkesinambungan antara kutub ekstrem jantan dan kutub ekstrem betina.

Setiap budaya menentukan ciri-ciri perilaku jenis kelamin, sehingga perilaku

khas gender tertentu serta peran jenis kelamin di dalam satu budaya dapat saja tidak

sama di dalam budaya lain. Perlu diingat bahwa ada budaya-budaya yang mengakui

adanya lebih dari hanya dua gender. Seperti di Indonesia yang mengakui adanya tiga

identitas gender; laki-laki, waria, dan perempuan. Dengan demikian, maka dapatlah

disimpulkan untuk bagian definisi konsep-konsep ini bahwa seksualitas seseorang pada

dasarnya terdiri dari; (1) identitas seksual (seks biologis)nya, berupa gradasi kejantanan

atau kewanitaan, (2) perilaku (peran) gendernya (baik sebagaimana ditentukan oleh

budayanya ataupun berupa pilihannya sendiri yang bertentangan dengan budayanya

itu), dan, (3) khusus pada masyarakat-masyarakat modern, orientasi (preferensi)

seksualnya.

Membicarakan perilaku homoseksual di dalam budaya-budaya Nusantara

tradisional, istilah homoseksual dipakai secara etik (dari sudut pandang ilmuwan,

98
Ibid, hlm. 23

85
Perilaku Homoseksual di Ponpes

peneliti), sedangkan secara emik (dari sudut pandang budaya masyarakat itu sendiri)

belum tentu dikenal sebagai fenomena yang bermakna sama dengan makna yang

tersurat maupun tersirat oleh istilah itu dalam peradaban Barat modern, di mana

bidang kajian homoseksualitas dikembangkan. Kehati-hatian yang sama juga perlu

diusahakan dalam masyarakat Indonesia modern. Orang yang melakukan perbuatan

homoseksual (etik) belum tentu merasa dirinya homoseks ataupun menganggap apa

yang dilakukannya itu dapat diberi label homoseksual. Salah satu hal yang mungkin

cukup menarik untuk disimpulkan adalah hubungan tranvestisme/homoseksualitas

dengan sakralitas pada beberapa budaya tradisional di Nusantara atau bahkan budaya

Nusantara pernah melembagakan homoseksualitas dengan satu atau cara lain.

Bukan hanya di Barat, di Indonesia pun perilaku tersebut ada pada anggota

masyarakat suku-suku besar: Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, Bali, Toraja, Dayak dan lain-

lain. Kecenderungan ini pun terjadi pada berbagai kalangan, tidak kurang pada

komunitas pesantren dan tarekat-tarekat mistik. Seperti halnya homoseksualitas yang

terjadi dalam masyarakat Madura. Homoseksual di daerah ini biasa dimaknai dengan

kata dalaq. Dalaq diterjemahkan sebagai ‘schand-jogen’ (kata bahasa Belanda untuk objek

perbuatan homoseksual dubur), atau orang Madura mengartikan istilah itu, apabila

dua anak laki-laki berteman secara akrab. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa

hubungan, perbuatan dan identitas homoseks dikenal dalam masyarakat Madura, yang

notabene pemeluk agama Islam yang taat. Apakah hubungan dan perbuatan itu

86
Perilaku Homoseksual di Ponpes

diterima ataukah ditentang oleh masyarakat Madura perlu diadakan penelitian lebih

lanjut terhadapnya.

Dalam masyarakat-masyarakat Nusantara tersebut, perilaku homoseksual diatur

dengan berbagai macam cara, yang dapat diuraikan dengan tipologi pola sebagai

berikut99:

1. Hubungan Homoseksual Dikenal dan Diakui

Dalam pola ini indikatornya adalah adanya istilah yang mengacu pada

hubungan itu dan laporan dari para sarjana Barat. Seperti yang dituturkan oleh

masyarakat Minangkabau tradisional dikenal apabila hubungan antara laki-laki dewasa

dan remaja, di mana si dewasa disebut induk jawi dan remaja pasangannya disebut anak

jawi. Hubungan lain yang dikaitkan dengan Pondok Pesantren atau surau yang biasa

disebut juga dengan mairilan. Mairilan yaitu hubungan antarsantri di Pondok-pondok

Jawa. Hubungan mairilan adalah hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya

yang lebih muda; hubungan itu selain mengandung aspek emosional-erotik juga

melibatkan bimbingan dalam belajar dan kehidupan sehari-hari di pondok pesantren.

Hubungan ini lebih menonjol ditemui sebagai sesuatu yang dilembagakan secara

menyeluruh di pondok-pondok tradisional, khususnya di daerah pedalaman.

Snouck Hurgronje pada awal abad ke-20 melaporkan bahwa di Aceh ada

hubungan homoseksual yang dilakukan oleh para uleebalang yang sangat menyukai

budak-budak remaja putra Nias, dan para pedagang Aceh yang bermukim di pantai

99
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 30-36

87
Perilaku Homoseksual di Ponpes

timur. Selain itu, perilaku homoseks juga lazim terjadi di Jawa, khususnya daerah Solo-

Yogya, dan di Minangkabau. Laporan serupa juga ditulis oleh Julius Jacobs (seorang

pegawai kesehatan di Banyuwangi yang mewawancarai orang Bali menjelang abad ke-19)

mengatakan bahwa ada perilaku homoseksual dengan berbagai istilahnya di kalangan

masyarakat Bali laki-laki maupun perempuan.

2. Hubungan Homoseksual Dilembagakan dalam Rangka Pencarian Kesaktian dan

Pemertahanan Sakralitas

Dalam pola ini perilaku atau hubungan homoseksual diberikan sebagai

alternatif penyaluran dorongan seksual dalam rangka diharamkannya hubungan

heteroseksual karena dianggap meninggalkan pencarian kesaktian. Seperti hubungan

warok yang ada di daerah Ponorogo. Mereka melakukannya dengan remaja sesama jenis

pasangannya, gemblak, yang diperlakukannya sebagai pengganti pasangan lawan

jenisnya untuk hubungan seksual.

3. Orang Berperilaku Homoseksual Diberi Jabatan Sakral

Dalam pola ini, orang berperilaku homoseksual karena diberi jabatan sakral,

seperti sebagai perantara dengan dunia arwah. Pola hubungan seperti ini terjadi di

daerah Suku Dayak Ngaju yang dikenal dengan sebutan basir, suku Shaman di Toraja

Pamona dengan sebutan tadu aburake, dan penjaga pusaka istana kerajaan, yang pada

suku Makasar dikenal dengan sebutan bissu.100

100
Untuk mengetahui tentang tradisi bissu lebih lanjut, baca Srinthil, Media Perempuan
Multikultur, Nomer 5 tahun 2003, yang dicatat oleh Bisri Efendi dan Ijhal Thamaona, yang menganggap

88
Perilaku Homoseksual di Ponpes

4. Perilaku Homoseksual Dijadikan Bagian Ritus Sinisasi

Pola hubungan ini dapat kita jumpai di Pulau Irian (termasuk Papua Nugini).

Mereka melakukan hubungan ini dengan genito-oral dan genito-anal di antara remaja

dan laki-laki dewasa. Alasannya adalah dalam rangka melengkapi dualisme kosmologis

unsur-unsur pria dan wanita, timur-barat, siang malam dan sebagainya. Hal ini terjadi

pada Suku Marind, Anim di pantai selatan Irian Jaya. Sedangkan pada Suku Sambia, di

dataran tinggi Nugini, pola hubungan tersebut dalam rangka membantu pencapaian

maskulinitas melalui inseminasi para remaja putra oleh laki-laki yang lebih dewasa.

Dalam hubungan tersebut yang paling menonjol adalah tidak dilaporkannya hal yang

serupa pada kaum perempuan.

5. Perilaku Homoseksual Dilembagakan Dalam Seni Pertunjukan.

Pola ini terlihat jelas ketika kita melibatkan pemeran dalam menjalankan

perilaku homoseksual. Seperti halnya Tari Sadati di Aceh yang diiringi oleh puisi

religius dengan tema homoerotism,101 Lenong di masyarakat Betawi, yang mengadopsi

peran jenis kelamin lain yang biasanya juga menjalankan perilaku homoseksual.

Pertunjukan Sandhur di Madura,102 Tari Gandrung di Banyuwangi dan Bali Barat,

Ludruk, Tari Ngremo, dan Tari Bedhaya di Jawa, dan Tari Masri di Makasar. Sehingga

identitas bissu biasa saja dan merupakan ciptaan Tuhan, bahkan mereka percaya bahwa yang
menentukannya menjadi bissu adalah Allah Taala (Islam).
101
Umar Kayam., 1985, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, Gramedia: Jakarta, hlm.
23-25
102
Lihat, Helene Bouvier., 2002, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura,
terj. Rahayu S Hidayat & Jean Couteau, Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d’Extreme-Orient, Yayasan
Asosiasi Tradisi Lisan dan Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hlm. 240-249

89
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dari apa yang terjadi pada masyarakat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa perilaku

homoseksual diakui, diterima dan dilembagakan dalam masyarakat itu.

c.2. Homoseksual Pada Masa Modern Sampai Sekarang

Persoalan homoseksualitas dalam masyarakat-masyarakat Nusantara tradisional

sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu sebagaimana yang diuraikan di atas,

sampai sekarang pun masih ada dalam masyarakat tersebut. Sekilas lintas memang

pernyataan seperti itu mudah disangsikan. Karena pengaruh peradaban Barat dan

Islam modernis yang diwarnai homophobia (sikap, perasaan dan tindakan

antihomoseksualitas), maka sebagian anggota masyarakat Indonesia modern

mengharamkan pula homoseksualitas, sehingga cenderung, setidak-tidaknya pada

peringkat formal-rasional, menganggap bahwa gejala semacam itu sudah tidak ada lagi,

dulu pernah ada terhapus oleh modernisasi, atau bahkan tidak mengakuinya sebagai

pernah ada. Bahkan masyarakat Nusantara tradisional yang masih bertumpu pada

budaya tradisionalnya juga enggan untuk mengakui adanya perilaku homoseksual yang

dilembagakan tersebut.103

Hal itu disebabkan oleh perubahan moralitas yang berkaitan dengan perubahan

keseluruhan tatanan nilai masyarakat-masyarakat Nusantara tradisional. Tradisi

manifestasi perilaku homoseksual yang dipandang biasa-biasa saja lambat laun

103
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 36-37

90
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dipandang sebagai dekadensi moral yang ikut menyebabkan kemunduran dan

kekalahan Nusantara dihadapan peradaban modern Barat.104

Pembagian dikotomis tradisional-modern ini mengikuti perubahan sikap dan

tindakan masyarakat terhadap masyarakat-masyarakat tradisional yang menerima dan

melembagakannya menuju sikap dan tindakan (paling tidak pada sebagian masyarakat)

yang mengharamkan atau melecehkannya.

Masyarakat Indonesia modern, khususnya di klas bawah, lebih toleran terhadap

perilaku homoseksual non-genital. Toleransi ini barangkali dapat dijelaskan sebagai

akibat kurang terpengaruhnya oleh modernisasi sejauh ini. Pada klas menengah ke atas,

toleransi ini kiranya dapat dihipotesiskan sebagai terusan dari toleransi yang ada dalam

masyarakat Nusantara tradisional. Malah dapat dikatakan bahwa di klas bawah

penerimaan terhadap anggota masyarakatnya yang ketahuan berperilaku homoseksual

cenderung lebih manusiawi.105

Namun hal yang mengherankan para pengamat adalah sikap terhadap

homoseksualitas dalam budaya Indonesia modern yang cenderung negatif. Pengaruh

Barat lainnya adalah pandangan masyarakat modern soal homoseksualitas sebagai

penyimpangan, penyakit dan sebagainya. Walaupun ada sikap negatif dalam budaya

Indonesia masa kini terhadap homoseksualitas dan perbuatan homoseks, ternyata

dalam kenyataan kehidupan sehari-hari boleh dibilang deskriminasi yang dihadapi

104
Ibid., hlm 23
105
Ibid., hlm. 39

91
Perilaku Homoseksual di Ponpes

homoseks Indonesia modern tidaklah seberat Barat. Tradisi toleran dari dulu itu masih

tersisa, terutama di kalangan kelas pekerja (bawah) yang belum banyak terkena

modernisasi

Secara formal-rasional ada stigma terhadap perilaku homoseksual, terutama

pada klas menengah modern, yang dipengaruhi oleh homophobia Barat, dan juga

pengaruh homophobik dari agama Kristen dan Islam yang berkembang di Indonesia.106

Namun juga ada pengaruh lain dari Barat, yakni sikap liberal atau bahkan militan era

gay liberation yang sudah 5-6 tahun terakhir ini menyebar di kalangan terpelajar

Indonesia modern pula. Ada yang mengatakan gay liberation di Indonesia akan lain,

karena kungkungan terhadap orang-orang gay dan lesbian di sini pada peringkat afektif-

perilaku tadi cenderung tidak sekeras di Barat. Pengaruh lain lagi dari Barat adalah

gaya hidup. Tidak kebetulan bahwa di mana-mana istilah gay dan lesbian dipinjam dan

dimasukkan dalam kosa kata bahasa-bahasa setempat. Di Indonesia gaya hidup ini yang

lebih berhasil menyebar daripada militansi atau aktifitas gay liberation.

Seperti halnya perilaku seksualitas heteroseks pada umumnya, semua tipe

kontak langsung genital didapati pula di kalangan pelaku homoseksual di Indonesia

modern. Pada laki-laki gay dikenal beberapa pola hubungan seksnya, pertama, perilaku

oral genital (fellatio), memeluk, dan mencium. Kedua, seks anal (koitus genito-anal) atau

106
Ibid..

92
Perilaku Homoseksual di Ponpes

penetrasi anus, dan ketiga, koitus interfemoral dan gesek-gesek (frottage), dan fisting (di

mana tangan, bukan mengepal, dimasukkan kerektum pasangannya.107

Selain itu, perkembangan kaum homoseksual di Indonesia, tidak bisa

dilepaskan dengan penghapusan homoseksual dari daftar sebagai penyakit jiwa,

sebagaimana yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan yang menerbitkan

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) II pada tahun 1993,

untuk merefisi pedoman pada tahun 1985. 108 Lebih lanjut perkembangan kaum

homoseksual semakin kuat dengan mulainya timbul pergerakan kaum homoseksual

untuk membuat organisasi atau paguyuban. Tanggal 1 Maret 1982 didirikan Lambda

Indonesia (LI) dengan buletinnya G: Gaya Hidup Ceria, yang terbit sampai tahun 1984.

Lambda Indonesia kemudian mempunyai beberapa cabang di kota-kota besar, seperti

di Yogyakarta pada tahun 1985 muncul Persaudaraan Gay Yogyakarta dengan

buletinnya Jaka, dan bubar pada tahun 1988. Setelah meluas lingkupnya menjadi

nasional, maka berubah namanya menjadi Indonesia Gay Society (IGS). Lalu

November 1987 muncul pula Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN)

yang menerbitkan buku seri Gaya Nusantara.109

Pergerakan kaum homoseksual di Indonesia yang mulai sejak tahun 1980-an,

yang ditandai dengan berdirinya Lambda Indonesia, yang mana mulai tahun 2000

107
Homoseksual diakses dari sp18.com 09 Mei 2001. Lihat juga Dede Oetomo., Op. Cit, hlm.
44-45
108
Linda Christanty., Op. Cit, hlm. 44-46
109
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 45-46

93
Perilaku Homoseksual di Ponpes

telah disepakati oleh kaum homoseksual bahwa tanggal berdirinya Lambda Indonesia

tersebut sebagai hari peringatan pembebasan gay dan lesbian Indonesia. Selain itu, juga

mulai berkembangnya para ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang mengaku dirinya sebagai

bagian dari kaum homoseksual seperti D O,110 O, dan indonesianis seperti B A, serta

mulai bermunculannya para selebriti yang mengklaim diri mereka sebagai homoseksual

atau berperilaku seperti kaum homoseksual, seperti I G dan lain sebagainya.

Pergerakan kaum homoseksual ini semakin luas seiring berdirinya beberapa gerakan di

daerah-daerah lainnya, di antaranya; pada tahun 1992, berdiri organisasi-organisasi gay

di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar. Pada tahun 1993, Berdiri organisasi gay

di Malang dan Ujungpandang.

Selain itu, mulai bermunculannya film-film Indonesia yang lebih menghargai

bahkan memanifetasikan bahwa kaum homoseksual di Indonesia telah tumbuh dengan


111
pesat, seperti film “arisan”. Bahkan kaum homoseksual di Indonesia telah

mengklaim diri keanggotaanya 8-10 juta pria di Indonesia, sedangkan yang perempuan

110
Ibid., hlm. Xxxiii-xliv
111
Film pada tahun 2005 ini menggambarkan tentang dilema kaum homoseksual di Indonesia,
baik secara sosial, budaya, agama, dan ekonomi. Mereka pada satu sisi adalah keluarga yang harmonis,
secara ekonomi berkecukupan bahkan berlebih, dicintai keluarga, sukses dalam segala hal, namun pada
sisi yang lain, mereka sulit untuk menjelaskan bahwa mereka adalah gay, sehingga mereka kebanyakan
lebih memilih untuk diam atau menutup diri bahwa mereka gay dengan berbagai alasan yang mereka
utarakan, meskipun pada akhirnya mereka mengungkapkan kepada semuanya bahwa mereka gay. Satu
hal yang menjadi menarik dalam film ini adalah penerimaan keluarga mereka terhadap anak-anak,
saudara, dan teman-teman mereka bahwa mereka gay dan merupakan bagian dari masyarakat. Sungguh
sebuah cita-cita dari mereka kaum homoseksual untuk diakui atau disamakan hak-haknya dengan kaum
heteroseksual di Indonesia. Mungkinkah?

94
Perilaku Homoseksual di Ponpes

belum ada data yang lebih konkrit. 112 Pada perkembangan yang lain banyak media

massa nasional yang telah memberikan waktu atau ruang untuk konsultasi atau

pengakuan diri bagi kaum homoseksual, sebagaimana yang terlihat dalam harian

Kompas yang bekerjasama dengan PKBI.113 Bahkan kaum homoseksual di Indonesia

telah menjadi sebuah gerakan sosial politik untuk menyamakan haknya dengan kaum

heteroseksual.114

Lebih jauh lagi, perkembangan homoseksual di Indonesia mengalami puncak

semakin “dihargainya” mereka dengan berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD),

yang pada tanggal 22 Jul. 1996 menjadi partai pertama dalam sejarah Indonesia yang

mencantumkan "hak hak homoseksual dan transeksual" dalam manifestonya. Selain itu,

terjadinya pernikahan kaum homoseksual antara Wim (59 tahun) wartawan NOS

News Television Belanda dengan Philip (37 tahun) warga Jadigan Sewon Bantul

Yogyakarta. Meskipun acara pernikahan ini dilakukan di Belanda di Gereja Katolik

Roma Santo Yosep dengan disaksikan Pastor O Swijnenberg (karena Indonesia

melarang pernikahan sesama jenis), pada tanggal 23 Juli 2004, maka resmilah

pernikahan sesama jenis itu. Kemudian pesta pernikahan tersebut digelar di Indonesia

tepatnya di Planet Pyramid (restoran di Jalan Parangtritis) Yogyakarta pada tanggal 6

112
Homoseksual; dari Seniman hingga Menteri, dikutip dari Intisari edisi Januari 2001 dan
diringkas oleh Mila.
113
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang surat-surat dan pemberitaan Kompas tentang
homoseksual, lihat, Moh. Yasir Alimi., Op. Cit.
114
Gerakan sosial politik kaum homoseksual di Indonesia sedang penulis teliti untuk ditulis
dalam rangka penulisan tesis di UIN Suka, dengan objek penelitian GaYa Nusantara di Surabaya.

95
Perilaku Homoseksual di Ponpes

September 2004, dengan dihadiri sekitar 400 tamu undangan. 115 Dari pengalaman

pernikahan sesama jenis tersebut, maka mulai bermunculan para pasangan kaum

homoseksual untuk mengikuti jejak mereka, seperti dr. Mamoto Gultom (41 tahun)

dengan pasangannya Hendy M Sahertian (30 tahun), yang telah bertunangan pada

tanggal 7 November 1999 bertepatan dengan berdirinya Yayasan Pelangi Kasih

Nusantara (YPKN) lembaga yang bergerak di bidang pencegahan penyakit HIV/AIDS

di kalangan kaum homoseksual. Dengan demikian masyarakat Indonesia pada

perkembangannya hampir sama dengan masyarakat Barat, yakni dari keterbukaan pada

masa tradisional menuju ke represif pada masa modern dan kembali lagi kemasa

keterbukaan untuk sekarang ini. Hal ini semakin nyata dengan meratanya tempat

ngeber (berkumpulnya para kaum homoseksual), di daerah-daerah di Indonesia.

Tempat-tempat ngeber tersebut adalah,116 (tertera dalam lampiran I).

Meskipun pemerintah Indonesia dan sebagian masyarakatnya masih dihinggapi

pola pikir homophobia, namun ada secercah harapan bagi kaum homoseksual untuk

minimal diakui eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, sehingga pada

akhirnya mereka pun diakui sebagai bagian yang mempunyai hak sama dengan kaum

heteroseksual baik secara hukum, ekonomi, sosial, budaya, ataupun politik.

115
Erros Jafar, Iblis itu bernama “Homoseksual” Murtadin&Jahiliyah, diakses dari Forum
Swaramuslim. Org, tanggal 23 Desember 2004. Meskipun tulisan ini sangat membenci perlakuan kaum
homoseksual namun ada beberapa tulisan yang tersirat bahwa penulis semakin mengakui akan eksistensi
kaum homoseksual di Indonesia.
116
Diakses dari WWW. Gaya Nusantara. Org, tanggal 25 Juli 2006

96
Perilaku Homoseksual di PonPes

BAB III

STRUKTUR SOSIAL PONDOK PESANTREN & MASYARAKAT PESANTREN

Dilihat dari sejarahnya, pondok pesantren bisa dianggap sebagai sebuah

lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pondok pesantren muncul bersamaan

dengan penyebaran Islam yang terjadi di bumi Nusantara, sekitar pada abad ke 8 dan

ke 9 Masehi, yang terus berkembang sampai sa'at sekarang ini. Ketahanan yang

diperlihatkan pondok pesantren sepanjang sejarah perkembangannya dalam menyikapi

zaman, telah menunjukkan bahwa sebagai suatu sistem pendidikan, pondok pesantren

dianggap mampu berdialog dengan zamannya.1

Selain itu, keterlibatan pondok pesantren dalam mentransformasi sosial juga

muncul bersamaan dengan awal kehadirannya. Karena dengan keterkaitan misi yang

diembannya pondok pesantren hadir berdasarkan kepada kebutuhan masyarakat. Hal

ini akan menciptakan lembaga ini tumbuh dari bawah, berpijak kepada realitas sosial

masyarakat. Pondok pesantren, dimulai dari para pendirinya (kiai), berkeinginan untuk

mengadakan transformasi sosial terhadap masyarakat sekitar pondok pesantren. Para

pendiri pondok pesantren ini pada awalnya memasuki daerah-daerah yang rawan,

sehingga mereka memerlukan waktu beberapa tahun untuk dapat diterima masyarakat.

1
Abd A'la., 2002, Melampaui Dialog Agama, Kompas: Jakarta, hlm. 114

97
Perilaku Homoseksual di PonPes

Ketika kehadirannya telah diterima, dan mereka mendapatkan sejumlah pengikut,

maka proses integrasi antara pondok pesantren dengan masyarakat dimulai.2

Oleh karena itu, pondok pesantren seringkali diibaratkan sebagai sebuah

kerajaan di mana pendirinya (seorang kiai) dianggap sebagai raja yang mempunyai

kekuasaan dan kewenangan yang absolut. Hal ini terkait dengan kekuasaan dan

kewenangan kiai di dalam pondok pesantrennya yang sangat mutlak, karena santri

menganggap kiai sebagai guru, pemimpin, dan penguasa tunggal di dalam pondok

pesantrennya.3

Dengan demikian pondok pesantren merupakan hak otonom para pendiri

pondok pesantren tersebut (kiai). Para kiailah yang mempunyai hak akan identitas dan

legitimasi terhadap pondok pesantrennya, sehingga akan menciptakan hegemoni kiai

terhadap semua unsur yang ada di pondok pesantren. Kebijaksanaan para kiai inilah

yang menyebabkan perbedaan antara pondok pesantren yang satu dengan yang lainnya.

Pada bab ini akan dibahas dua model pondok pesantren yang ada di Sumenep serta

masyarakatnya, yang pertama pondok pesantren An-Naqiyah dengan masyarakat

pesantren Gilir-gilir, yang mengindikasikan model tradisionalisme dalam praktek

kegiatan keseharian nya. Yang kedua, pondok pesantren Al-Amanah dengan

masyarakat pesantren Parendu, yang mengklaim dirinya sebagai pondok pesantren

2
Taufik Abdullah., 1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES: Jakarta, hlm.
98
3
Zamakhsyari Dhofier., 1982, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet. I,
LP3ES: Jakarta, hlm. 58

98
Perilaku Homoseksual di PonPes

modern, yang pada akhirnya akan mempengaruhi masyarakat. Selain itu, akan dibahas

juga model keseharian para santri di kedua pondok pesantren tersebut, pola

pendidikan, peraturan-peraturan yang berlaku, sejarah berdirinya, serta peran kiai

terhadap para santri dan masyarakat, serta sosial budaya, dan keagamaan masyarakat

pesantrennya. Masyarakat Pesantren di sini adalah penduduk-penduduk yang berada di

sekitar pesantren atau yang berada satu desa dengan pesantren. Meskipun penduduk

tersebut bukanlah alumni atau santri dari pesantren, namun sedikit banyak pola

perilaku dan pemikirannya terpengaruhi dengan budaya pesantren.

A. Homogenitas Ponpes An-Naqiyah dan Masyarakat Gilir-gilir4

a.1. Sejarah Singkat Pondok Pesantren

Pada awalnya kiai Syarqawi yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok

pesantren An-Nuqayah, yang mendirikannya di dukuh Lubangsa Gilir-gilir Tengah. Dia

berasal dari Kudus Jawa Tengah. Sebelum menetap di Madura, dia telah menuntut

ilmu di Mekkah selama kurang lebih 13 tahun, yakni tahun 1285-1293 H, untuk

mendalami ilmu agama.

Kedatangan kiai Syarqawi di Madura tidak lepas dari pertemuan awalnya

dengan kiai Gemma dan istrinya Ny. Khadijah, seorang kiai dan pedagang kaya yang

berasal dari Parendu Madura, yang sedang menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dari

4
Data ini didapat dari berbagai referensi yang telah diterbitkan, dan referensi dari lembaga
pengembangan masyarakat (LPM An-Naqiyah) yang belum diterbitkan, serta wawancara dengan tiga kiai
yang termasuk ponggawa lima An-Naqiyah yakni kiai Subhan, kiai Busiri, dan kiai Riyad serta beberapa
ustadz dan santri mulai tanggal 1 Februari-Mei 2006

99
Perilaku Homoseksual di PonPes

awal perkenalan tersebut kiai Gemma tertarik dan bersimpati terhadap kiai Syarqawi,

yang cukup luas ilmu agamanya dan mampu untuk berdakwah serta mengajarkan ilmu

agamanya kepada orang lain. Bahkan ketika kiai Gemma terserang penyakit berwasiat

kepada kiai Syarqawi, jika suatu sa'at dia meninggal maka hendaknya kiai Syarqawi

bersedia untuk menikahi istrinya dan kembali ke Parendu Madura. Akhirnya ketika

kiai Gemma meninggal dunia, maka kiai Syarqawi memenuhi wasiat tersebut dengan

mengawini Ny. Khadijah dan pada tahun 1875 M pulang ke Parendu. Untuk

mengenang jasa kiai Gemma maka didirikan masjid Jamik Gemma di Parendu sebagai

simbol awal mulainya penyebaran dan pendidikan keislaman di Parendu.

Setelah mereka pulang dari Mekkah, mereka menetap di Parendu selama

kurang lebih 14 tahun, yakni tahun 1293-1307 H, sebagai seorang kiai, kiai Syarqawi

membuka pengajian Al-Qur'an dan ilmu-ilmu keislaman lainnya kepada masyarakat

Parendu dan sekitarnya, di samping sebagai penghulu di Sumenep. Selain itu, dia juga

dikenal sebagai orang yang mempunyai keahlian ilmu kebatinan yang tak tertandingi.

Hal itu menimbulkan persaingan dan menyulut berbagai intrik dari orang-orang yang

tidak suka kepadanya. Sehingga ketika dia bermaksud untuk melakukan dakwah dan

pengajaran ilmu-ilmu keislaman dengan mendirikan pesantren, dia lebih suka pindah

dari Parendu, yang sebenarnya sangat bagus untuk dakwah, karena daerah tersebut

adalah daerah pesisir dan perdagangan yang cukup ramai, ke daerah pedalaman yang

100
Perilaku Homoseksual di PonPes

berbukit sekitar 8 km sebelah utara Parendu, yakni desa Gilir-gilir,5 apalagi setelah dia

menikah untuk yang kedua kalinya dengan Ny. Qamariyah, seorang gadis desa Gilir-

gilir.

Sejak itu kiai Syarqawi menetap di Gilir-gilir, banyak anggota masyarakat sekitar

berdatangan ke tempatnya untuk belajar ilmu agama dan meminta fatwa. Kiai Syarqawi

pada awalnya hanya mengajar masyarakat sekitar untuk membaca Al-Qur'an serta dasar-

dasar ilmu keislaman di sebuah langgar yang didirikannya, hingga tempat pengajian

tersebut berkembang dengan tinggalnya beberapa santri serta adanya beberapa santri

yang berasal dari mertua kiai Syarqawi di Parendu yang pindah ke Gilir-gilir untuk

belajar ilmu keagamaan ke kiai Syarqawi. Sejak sa'at itu maka didirikan sebuah pondok

pesantren yang diberi nama An-Naqiyah, dengan bentuk beberapa bilik (petak-petak

kamar kecil yang terbuat dari bambu dan dibangun dengan model panggung) yang

dipakai sebagai tempat tinggal para santri, pada tahun 1887.

Kira-kira setelah lima tahun kiai Syarqawi mendirikan pondok pesantren

tersebut, santri yang mondok sudah lebih dari 100 santri, sedang bilik asramanya

kurang lebih mencapai 12 buah. Selama kepemimpinannya selama 23 tahun di

pondok pesantren An-Naqiyah, yakni tahun 1887-1910 M, atau yang lebih dikenal An-

Naqiyah wilayah Lubangsa, maka pondok tersebut lambat laun semakin pesat

berkembang hingga kiai Syarqawi meninggal dunia. Estafet kepemimpinan di pondok

5
Bisri Effendy., 1990, An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, P3M: Jakarta, hlm. 54-
55

101
Perilaku Homoseksual di PonPes

pesantren tersebut kemudian dilanjutkan oleh kiai Bukhari (putra sulungnya dari istri

pertama) yang dibantu oleh kiai Imam Karay (menantu beliau). Sedang putra-putra

lainnya masih menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa. Pada tahun

1917 pimpinan pesantren diberikan kepada kiai Moh Ilyas Sharqowi (putra sulung dari

istri kedua) setelah beliau pulang dan nyantri di berbagai pesantren di Jawa Timur.

Pada masa kepemimpinan kiai Ilyas yang berlangsung hingga 1959, tercatat

banyak sekali perubahan yang terjadi. Pertambahan tersebut meliputi santri dan sarana

bangunan, pada tahun 1923 kiai Abdullah Sajjad, adik kandung beliau mendirikan

pesantren sendiri dengan nama Latee yang merupakan pembiakan pondok pesantren

An-Naqiyah, 100 meter ke arah timur dari pusat pesantren tersebut. Dengan demikian

pada saat itu pondok pesantren terbagi menjadi dua wilayah yaitu Lubangsa dan Latee.

Sehingga kedua pondok pesantren tersebut merupakan awal berdirinya daerah-daerah

pondok pesantren An-Naqiyah berikutnya.

Selain itu, perubahan pada intern pesantren adalah mengenai sistem

pendidikan. Selain sistem pengajian sorogan dan weton (non klasikal) yang diterapkan

sejak pesantren berdiri, pada tahun 1933 pondok pesantren An-Naqiyah juga mulai

memberlakukan sistem klasikal (madrasah). Perubahan sistem ini merupakan gagasan

kiai Khozin Ilyas (putra kiai Ilyas Syarqowi) setelah pulang dari nyantri di pesantren

Tebuireng Jombang. Sejak itu pula berdiri sekolah pertama dengan sistem kelas, yaitu

Madrasah Ibtidaiyyah An-Naqiyah (MIA) putra. Sekolah tersebut merupakan sekolah

pertama di desa Gilir-gilir.

102
Perilaku Homoseksual di PonPes

Bersamaan dengan perkembangan intern pesantren yang cukup drastis,

masyarakat di sekitar pondok pesantren secara perlahan-lahan mengalami perubahan.

Pada tahun 1920 masyarakat yang sebagian besar mengambil jarak dengan pesantren

berangsur-angsur mulai menghilangkannya. Batas yang memisahkan antara keduanya

mulai memudar. Hasil dari perubahan itu bisa dilihat dari animo masyarakat

mengikuti pengajian umum yang dibuka kiai Ilyas dan kiai Abdullah Sajjad. Hal ini

terlihat jelas ketika kiai Sajjad bertempat tinggal di Latee, yang memperlihatkan

kesungguhannya dalam mengadakan pengajian secara rutin tiap minggu, sehingga hal

ini membawa daya tarik masyarakat sekitar yang dari tahun ke tahun mengalami

perkembangan dengan jumlah besar. Hal ini juga terlihat jelas pada tahun 30 an

pengajian tersebut tidak saja diikuti oleh masyarakat sekitar pesantren, tetapi juga

diikuti oleh berbagai masyarakat daerah kabupaten Pamekasan dan Sumenep.

Pesatnya perkembangan pondok pesantren An-Naqiyah ini tidak lepas dari

reputasi para kiai yang menjadi pimpinannya, baik sebagai pemimpin pondok

pesantren atau kiai maupun sebagai tokoh masyarakat, hal ini dibuktikan oleh

keaktifan mereka yang tidak hanya di pondok pesantren tapi juga di organisasi

masyarakat keagamaan. Kiai Syarqawi, misalnya aktif di organisasi Syarikat Islam (SI),

bahkan menjadi ketua SI di kabupaten Sumenep. Kiai Ilyas yang dijadikan sebagai

ketua Nahdlatul Ulama' (NU) pertama kali di Kabupaten Sumenep yang berkedudukan

di pondok pesantren An-Naqiyah. Di samping itu, dia juga menjadi ketua Jam'iyah Al-

Washliyah tingkat perwakilan Madura. Selain itu, dalam merebut dan mempertahankan

103
Perilaku Homoseksual di PonPes

kemerdekaan, pada masa pendudukan Jepang, kiai Ilyas membentuk kekuatan fisik

Jundullah, dan pada masa kemerdekaan membentuk Hizbullah.

Selain itu, kiai Abdullah Sajjad (adik kiai Ilyas), selain terpilih sebagai kepala

desa Gilir-gilir, juga menjadi Komando Barisan Sabilillah untuk daerah kabupaten

Sumenep, dan memimpin strategi perjuangan dari pondok pesantren, sehingga

pondok pesantren An-Naqiyah untuk beberapa waktu berubah menjadi markas

perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, hingga dia meninggal dalam sebuah

eksekusi oleh regu tembak Belanda pada tahun 1947.

Dan kiai Khazin (putra sulung kiai Ilyas), sebagai penggagas pembaharuan

sistem pendidikan di pondok pesantren An-Naqiyah, pada masa pendudukan Jepang,

dia mengikuti latihan kemiliteran oleh PETA di Jawa Barat. Sehingga dalam revolusi

fisik melawan Belanda, dia dipilih untuk menjadi ketua Barisan Pemberontakan

Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo, untuk cabang Sumenep yang

berkedudukan di Parendu. Dia kemudian meninggal dunia pada tahun 1947 setelah

pulang dari berbagai pertempuran di Jawa Timur.

Pada masa revolusi fisik itulah akselerasi pendidikan dan pengajaran di pondok

pesantren An-Naqiyah menjadi terhambat, hal ini disebabkan oleh seluruh sumber

daya pesantren yaitu santri dan kiai berkonsentrasi kepada pertempuran melawan

Belanda, dan pondok pesantren telah berubah menjadi markas tentara serta tempat

perlindungan. Baru setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintahan

Indonesia pada tahun 1950, pondok pesantren An-Naqiyah kembali mulai menata

104
Perilaku Homoseksual di PonPes

kegiatan pendidikannya. Pimpinan pondok pesantren pada waktu itu, sepenuhnya

berada di tangan kiai Ilyas. Dalam menata kembali pendidikan formal yang ada di

pondok pesantren kiai Ilyas dibantu oleh keponakannya kiai Moh. Mahfudh Hosaini.

a.2. Perkembangannya Sampai Sekarang

An-Naqiyah merupakan pondok pesantren yang berbentuk federasi 6 . Hal ini

dimulai sejak kiai Abdullah Sajjad mendirikan pesantren sendiri yang bernama Latee

pada tahun 1923. Inisiatif ini dilakukan ketika An-Naqiyah daerah Lubangsa yang

didirikan kiai Sharqawi tidak mampu lagi menampung santrinya. Berdirinya daerah

Latee kemudian diikuti oleh berdirinya daerah lainnya. Hingga tahun 1972 An-

Naqiyah sudah terdiri dari lima daerah yang seluruhnya diasuh oleh keturunan dan

menantu kiai Sharqawi. Namun yang menjadi tempat penelitian penulis adalah

pondok pesantren An-Naqiyah daerah Lubangsa dan Latee yang merupakan pusat dari

kegiatan pondok pesantren An-Naqiyah.

Seluruh daerah ini mengasuh santri putra dan putri. Untuk menjalankan

kegiatannya setiap daerah memiliki pengurus masing-masing tetapi secara keseluruhan

An-Naqiyah ditangani oleh sebuah kepengurusan. Pengurus pertama pondok pesantren

An-Naqiyah tahun 1987 sebagai berikut:

Ketua Umum : Kiai Moh. Amir Ilyas


Ketua I : Kiai Ahmad Basyir A.S
Ketua II : Kiai Waris Ilyas
Ketua III : Kiai Hasan Basri

6
Federasi ini adalah pembentukan baru Pondok Pesantren, yang mempunyai wilayah dan
kepemimpinan tersendiri, namun tetap di bawah payung pondok pesantren An-Naqiyah.

105
Perilaku Homoseksual di PonPes

Sekretaris I : Kiai Basith A.S


Sekretaris II : M. Syafii Anshori
Bendahara : K. Moh Ishomuddin

Pada tahun ini, luas areal tanah pesantren hanya sekitar 2,5 h.a. Di atasnya

berdiri kurang lebih 150 sarana santri yang hampir keseluruhannya terdiri dari

bangunan kecil terbuat dari bambu, dihuni oleh 981 orang santri yang menetap,

diasuh oleh enam orang kiai dan 44 tenaga pengajar. Terdapat juga 325 santri kalong

yang setiap pagi belajar pada sekolah formal yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyyah dan

Muallimin enam tahun. Santri-santri itu sebagian besar berasal dari beberapa

kabupaten di Jawa Timur yang memang berasal dari keturunan Madura. Selain dari

pendidikan formal tersebut, pengajaran dari sistem lama wetonan dan soroganpun

tetap berjalan seperti biasa. Selain itu, terdapat pola pendidikan keterampilan yang

mulai digalakkan oleh pemerintah pada awal tahun 1970-an.

Pada waktu itu An-Naqiyah memiliki satu masjid dan tiga musholla, dua

gedung madrasah dengan enam ruang sederhana dan juga terdapat sebuah kantor

dengan dua ruang yang digunakan sebagai kantor pesantren, Madrasah Ibtidaiyyah,

Madrasah Muallimin dan sebuah ruang workshop. Selama hampir 30 tahun dari tahun

1950 sampai akhir 1970-an, perjalanan pondok pesantren An-Naqiyah sangat lambat.

Tidak ada perubahan yang signifikan baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya.

Perkembangan An-Naqiyah kembali pesat setelah periode itu hingga tahun 1980-an

akhir. Pertumbuhan jumlah santri seiring dengan bertambahnya jumlah daerah-

daerah yang merupakan bagian integral dari pesantren An-Naqiyah. Daerah-daerah itu

106
Perilaku Homoseksual di PonPes

tumbuh lebih banyak disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap kiai yang

bersangkutan untuk mendirikan pesantren. Hal itu biasanya terjadi setelah kiai

menikah dan membangun kediaman sendiri di sekitar pesantren. Dengan adanya

tempat baru itu, secara berangsur-angsur datang masyarakat yang ingin belajar agama

bahkan menetap atau mondok. Pada saat ini An-Naqiyah telah terdiri dari 13 daerah

dengan sistem kepengurusan yang masih seperti semula.7

Dalam 10 tahun terakhir hingga tahun 1999, secara kumulatif dari seluruh

daerah yang ada, An-Naqiyah memiliki sekitar 3.021 santri yang menetap. Mereka

kebanyakan berasal dari Sumenep, dan sebagian kecil dari Jateng, Jatim, Jabar,

Yogyakarta, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Flores. Namun mereka yang berasal dari

luar Madura mempunyai keturunan Madura. Fasilitas yang dimiliki yaitu dua masjid

jamik, sembilan musholla, 525 asrama santri, 19 perkantoran ditambah kantor daerah

masing-masing daerah, 81 ruang kelas, satu unit balai kesehatan dan dua buah gedung

kampus sekolah tinggi lantai dua, 102 kamar mandi dan WC, satu perpustakaaan

pesantren ditambah 14 perpustakaan daerah dan perpustakaan sekolah. Sedangkan

fasilitas transportasi, terdapat tiga unit mobil dan empat unit sepeda motor roda dua.

Sarana pendukung lainnya yaitu sembilan unit komputer dan warung telekomunikasi.

7
Daerah-daerah yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah sekarang ini adalah: Daerah
Lubangsa (Putra-Putri) diasuh kiai Abdul Warist Ilyas, Daerah Latee (Putra) diasuh kiai Ahmad Basyir
A.S, Daerah Latee I Putri diasuh kiai Abdul Basith A.S, Daerah Latee II Putri diasuh kiai Ahmad
Basyir A.S, Daerah Dalem Tengah Putri diasuh kiai Waqid Khazin, Daerah Nirmal (Putra-Putri) diasuh
kiai Hanif Hasan, Daerah Lubangsa Selatan (Putra) diasuh kiai Moh. Ishomuddin A.S, Daerah Daduwi
(Putra) diasuh kiai Moh. Sa'di Amir, Daerah Al-Furqan (Putra-Putri) diasuh kiai M. Mahfudh, Daerah
Karang Jati (Putra-Putri) diasuh kiai Abdul Basith Bahar, Daerah Kebun Jeruk (Putra) diasuh kiai Moh.
Waqid Khazin, Daerah Kusuma Bangsa (Putra-Putri) diasuh kiai Ahmad Kurdi.

107
Perilaku Homoseksual di PonPes

An-Naqiyah juga memiliki satu unit koperasi ditambah sembilan toko atau kantin

pesantren daerah. Seluruh sarana itu sebagian besar berasal dari swadaya masyarakat

dan instansi pemerintah.

Sementara itu pondok pesantren An-Naqiyah juga memiliki dua organisasi

kelembagaan utama yaitu lembaga pondok pesantren An-Naqiyah dan yayasan An-

Naqiyah. Dua organisasi kelembagaan ini masing-masing menangani seluruh sub-sub

lembaga di bawahnya serta unit kegiatan menurut bidangnya.

1. Lembaga Pondok Pesantren An-Naqiyah

Lembaga ini berupa kepengurusan yang terstruktur, terdiri dari majelis pengasuh,

pengurus harian dibantu oleh bidang kesekretariatan atau petugas administrasi yang

berkenaan dengan unit-unit kegiatan yang berupa biro-biro: Koordinasi Pengurus

Pesantren Daerah, yang mengkoordinasi pesantren-pesantren daerah untuk kegiatan

pesantren yang berorientasi keluar. Personalia pengurus biro ini tidak harus

representasi santri masing-masing daerah. Selanjutnya adalah Biro Kelembagaan dan

Pendidikan Nonkurikuler. Biro ini membawa unit-unit aktivitas santri, seperti program

khusus pendidikan bahasa asing, kepramukaan dan pembinaan keterampilan,

perpustakaan dan lain-lain. Kemudian terdapat Biro Dana dan Sarana yang menangani

badan-badan usaha lembaga pesantren. Masih ada biro-biro lainnya dalam struktur

sejajar yaitu Biro Kesehatan, Biro Alumni dan Orang Tua Santri, serta Biro Penelitian

dan Pengembangan.

108
Perilaku Homoseksual di PonPes

Pola komunikasi kepengurusan ini sifatnya instruktif, dan kebijakan tertinggi ada

pada majelis pengasuh. Sementara pengurus harian merupakan pihak pelaksana

kebijakan-kebijakan itu serta mengatur tata tugas dan penderivisian tugas-tugas itu

kepada dan melalui bagian-bagian di bawahnya, menurut aturan mekanisme kerja yang

telah ditentukan.

2. Lembaga Yayasan An-Naqiyah

Lembaga ini didirikan pada tahun 1984. Pada awalnya alasan pendirian yayasan

dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mendirikan sekolah tinggi. Tetapi akhirnya

tugasnya diperluas meliputi pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Selain itu,

yayasan ini juga memiliki unit usaha pertokoan, home industri, peternakan, pertanian

dan perkebunan yang menjadi aset dan sumber penghasilan yayasan. Di samping itu,

dana yayasan juga bersal dari para donatur. Pada tahun bakti 1999, yayasan An-

Naqiyah memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 45. 400. 888,- dari seluruh

usahanya.

Menurut struktur kepengurusan, yayasan ini terdiri dari Dewan Pembina yang

beranggotakan sejumlah kiai. Ketua umum dibantu tiga orang ketua bidang yang

menangani keuangan, pembangunan dan pendidikan. Dibantu oleh dua orang

sekretaris dan dua orang bendahara. Sedangkan tiga bagian di bawahnya, meliputi

bagian pendidikan dari TK sampai sekolah tinggi, bagian Tata Usaha dan bagian

usaha. Sedangkan strata paling bawah adalah para perwakilan donatur. Yayasan An-

Naqiyah membawahi lembaga otonom yaitu Biro Pengabdian Masyarakat yang lebih

109
Perilaku Homoseksual di PonPes

dulu berdiri. Biro ini menjadi ujung tombak pengembangan masyarakat yang menjadi

konsern pesantren An-Naqiyah.

Adapun ciri khusus pondok pesantren An-Naqiyah adalah program

pengembangan masyarakatnya. Yang dimaksudkan adalah pengembangan masyarakat

dalam bidang ekonomi masyarakat lapis bawah melalui transformasi sistem pertanian,

serta pola-pola baru yang berkenaan dengan segmen kehidupan ekonomi pedesaan

serta eksplorasi dan pemanfaatannya untuk pengembangan potensi daerahnya.

Upaya-upaya transformasi itu dilakukan dari bawah dengan sasaran perubahan

dari dalam melalui perubahan mental dan perilaku petani ke arah yang lebih progresif

dan mandiri. Sedangkan metode yang dilakukan yaitu melalui pendekatan

partisipatoris dengan menggunakan media kegiatan-kegiatan tradisional (pranata sosial)

masyarakat.

Jika selama ini pesantren telah melakukan kegiatan dakwah yang bertujuan

memperkokoh keimanan melalui pengajian dan amalan ibadah do'a, namun tidak bisa

diabaikan adalah kondisi lahiriah masyarakat Gilir-gilir yang lebih banyak menderita

kemiskinan dan rendahnya kualitas hidup mereka yang cukup parah. Dakwah tidak

hanya cukup dengan memperkokoh kondisi batin, tetapi juga harus memperbaiki

kondisi lahir. Sebab pada prinsipnya mengupayakan kebaikan masyarakat merupakan

dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Sehingga hal ini juga

merupakan bagian dari dakwah.

110
Perilaku Homoseksual di PonPes

Melalui Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren An-Naqiyah (BPM-

PPA) sebagai ujung tombak pelaksana program ini, An-Naqiyah memulai misi barunya.

BPM-PPA berdiri tahun 1979 setelah setahun sebelumnya seorang kiai muda yaitu kiai

Subhan dan Syafii Anshori seorang santri senior mengikuti Latihan Tenaga

Pengembangan Masyarakat (LTPM) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian

Pengembangan Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) pada tahun

1977/1978, di pondok pesantren Pabelan Magelang Jawa Tengah.8

Kerjasama tersebut merupakan terobosan baru bagi pengembangan masyarakat

yang dilakukan oleh pondok pesantren An-Naqiyah, di mana secara konsepsional

maupun operasional program ini belum banyak dikenal oleh pesantren. Namun,

karena ada persamaan prinsip dan tujuan, di samping saling membutuhkan di antara

kedua pihak, maka kerjasama di antara keduanya justru memperoleh bentuk yang kuat.

Di antara keberhasilan BPM dari pelaksanaan program demi program yaitu

membebaskan petani dari ketergantungan kepada pemodal yang mengambil bunga

besar untuk setiap pinjaman yang diberikan. Meringankan beban petani dengan

menyalurkan kredit pupuk, penerapan pola tanam dan diversifikasi tanaman

pertanian, penerapan teknologi tepat guna dan pengadaan air bersih bekerjasama

8
Selain diikuti oleh pondok pesantren An-Naqiyah dengan utusannya yang terdiri dari kiai
Subhan dan M. Syafi'I Anshori, juga diikuti oleh berbagai utusan di antaranya dari pondok pesantren
Darunnajah (Jakarta), Cipasung (Tasikmalaya), Maslakul Huda (Pati), Pabelan (Magelang), Tebuireng
(Jombang), dan kiai Gholib (Lampung), serta beberapa orang alumni atau mahasiswa IAIN, sebagaimana
yang dikutip oleh Ison Basuni., 1985, "Dakwah Bil Hal Gaya Pesantren", dalam M. Dawam Rahardjo
(edit), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, hlm. 229

111
Perilaku Homoseksual di PonPes

dengan UNICEF. Dengan keberhasilan ini desa Gilir-gilir berhasil meningkatkan

potensinya dari desa swadaya menjadi desa swasembada.9

Dari sekian pesantren yang mengirimkan santri ke LTPM itu hanya pondok

pesantren An-Naqiyah yang sampai saat ini masih eksis tanpa sekalipun terhenti dan

bahkan semakin berkembang. Sehingga tentang pengembangan masyarakat, An-

Naqiyah khususnya melalui BPM PPAnya seringkali menjadi objek penelitian baik

untuk tugas-tugas akademik maupun non akademik dari mahasiswa atau LSM dalam

dan luar negeri.

Selain itu, pondok pesantren An-Naqiyah merupakan lembaga pendidikan

keagamaan yang memiliki konsern terhadap pengembangan ekonomi dan

kemasyarakatan. Sebagai sebuah institusi ia membutuhkan sumber-sumber ekonomi

untuk menjalankan kegiatannya di samping sebagai upaya pemberdayaan ekonomi

masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatannya sebagai berikut:

a. Unit usaha produktif

Unit usaha ini terdiri dari lima jenis, yaitu:

1. Unit pertokoan dan jasa

2. Pertanian dan perkebunan

3. Peternakan

4. Home industri yang berbasis pada hasil pertanian

5. Penanaman modal.

9
Untuk mengetahui hal ini lebih lanjut lihat, Bisry Effendy., Op. Cit, hlm. 65-105

112
Perilaku Homoseksual di PonPes

6. Tambak

Sedangkan usaha pertokoan, terdiri dari tiga unit, yang terdiri dari toko alat-

alat sekolah, toko kain dan konfeksi serta toko kelontong yang menyediakan

kebutuhan sehari-hari. Seluruhnya terletak di luar lokasi pesantren dan dioperasikan

oleh ustadz pesantren yang sudah berkeluarga dan anggota masyarakat yang menjadi

binaan pesantren. Sedangkan usaha dalam bentuk jasa adalah berupa jasa angkutan;

dua unit mobil stasion. Yang lain berupa satu unit wartel yang juga terletak di luar

pesantren.

Sedangkan usaha pertanian atau perkebunan, yaitu tanaman palawija yang

terdiri dari tanaman jagung dan kedelai. Tanaman hortikultura yang terdiri dari

bawang, cabe jamu dan merica di empat desa di kecamatan Gilir-gilir. Sedangkan

perkebunan yaitu kebun mente di dua desa, masing-masing kebun Assalam seluas 20

hektar dan 6 hektar. Dari kebun Assalam tahun 1999 diperoleh pendapatan sebesar

Rp. 3. 668. 350. Di bidang peternakan terdiri dari ternak ayam ras dan buras terdapat

di tiga kecamatan di Sumenep. Yang lain adalah ternak sapi di tiga dusun di kecamatan

Gilir-gilir sebanyak 28 ekor.

Adapun kegiatan home industri masih dalam rintisan sejak didirikannya Pusat

Inkubator Argobisnis pondok pesantren An-Naqiyah pada tahun 1998, bekerjasama

dengan Departemen Perhutanan RI. Jenis produksinya yaitu gula merah (gula siwalan),

jubathe (makanan khas Sumenep yang bahan utamanya adalah gula merah), kripik

singkong dan kripik pisang, rengginang, tape serta emping jagung. Kecuali tape,

113
Perilaku Homoseksual di PonPes

seluruh jenis produksi ini sudah berjalan. Sedangkan produksi tape masih dalam

rintisan.

Yang terakhir adalah penanaman saham atau modal sebanyak tujuh lembar

saham di usaha penggergajian Nahdatut Tujjar, satu lembar saham bernilai Rp.

1.481.000. sedang 12 lembar saham lagi di koperasi pondok pesantren An-Naqiyah,

masing-masing senilai Rp. 15.000. Sedangkan tambak dengan luas satu hektar lebih

senilai Rp. 30 masih dalam rintisan. Selain usaha penanaman modal, seluruhnya

dikerjakan oleh kelompok tani dan pengajian binaan BPM-PPA dengan perjanjian bagi

hasil.

Selain usaha produktif, pondok pesantren An-Naqiyah memperoleh bantuan

dana setiap tahun dari donatur yayasan. Para donatur terbagi dalam 26 kelompok,

seluruhnya berjumlah 296 orang. Tahun 1999 bantuan dari donatur sebesar Rp. 20.

158.100. Sedangkan bantuan barang, berupa tanah seluruhnya seluas 194,331 M2,

seluruhnya senilai Rp. 73.685.000 yang tersebar di kecamatan Gilir-gilir dan

Pasongsongan Sumenep.

Selain itu, di pondok pesantren An-Naqiyah terdapat banyak lembaga-lembaga

otonom, termasuk pesantren-pesantren daerah. Oleh karena itu, untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan pendanaan bagi pembangunan atau pengembangan daerahnya,

mereka mengusahakan peluang-peluang usaha sendiri yang ditangani oleh pengurusnya

beserta kiai atau pengasuhnya masing-masing. Setiap pesantren daerah memiliki kantin

atau toko yang dikelola sendiri di daerahnya masing-masing. Demikian juga unit-unit

114
Perilaku Homoseksual di PonPes

kegiatan santri yang memiliki modal besar membuka usaha sendiri, yang rata-rata

berupa kantin makanan. Seluruh usaha ini terletak dalam areal pesantren.

Untuk mencapai desa Gilir-gilir atau pondok pesantren An-Naqiyah dari

kabupaten Sumenep bisa dilalui dengan dua jalur. Jalur selatan, adalah jalur yang

melewati desa Parendu dengan jarak tempuh kurang lebih 38 km. Yang kedua jalur

timur, jalur yang melewati desa Ganding dengan jarak tempuh kurang lebih 24 Km.

Dua jalur tersebut semuanya menggunakan kendaraan bermotor (colt) yang

kebanyakan menggunakan jenis L300.

a.3. Kehidupan Keseharian dan Bentuk Peraturan terhadap Santri

Dalam Kehidupan kesehariannya para santri memperlihatkan tentang

kebebasan perilaku mereka, kebersamaan sesama santri dan juga keterbukaan di dalam

interkasi sesama santri. Hal ini terlihat dari segala bentuk kegiatan atau peraturan yang

ada di pondok pesantren An-Naqiyah yang tidak tersusun secara resmi atau disusun

secara resmi. Kecuali kehidupan ritualitas ibadah para santri, yang diwajibkan untuk

dilaksanakan setiap harinya. Seperti melakukan sholat wajib lima waktu sesuai dengan

waktunya dan harus berjama'ah.

Selain itu, Setiap santri di pondok pesantren An-Naqiyah mempunyai pola

kebiasaan untuk menggunakan milik santri lainnya sesuai dengan keinginannya. Setiap

santri menganggap barang atau benda adalah milik bersama dan penggunaannyapun

115
Perilaku Homoseksual di PonPes

keroyokan,10 bahkan hak milik pakaian, ataupun celana dalam mereka. Bila barang itu

dibutuhkan oleh seorang santri maka langsung dipakai dengan atau tidak peduli siapa

pemilik barang tersebut. Kebiasaan tersebut bukan hanya untuk pakaian, sandal,

handuk, sarung, celana dalam, dan lain sebagainya namun berlaku juga pada makanan.

Jika seorang santri masuk ke dalam kamar orang lain dan melihat makanan maka

santri tersebut akan memakannya tanpa mengetahui siapa pemilik makanan tersebut.

Bahkan ketika seorang santri baru dikirim oleh orang tuanya maka berbondong-

bondong mereka memakannya sampai habis, dan kalau tidak diberi maka makanan

tersebut akan dicuri atau diberi minyak tanah oleh santri lainnya.11

Budaya kebersamaan, kebebasan, dan saling memberi telah menjalar jauh

sebelum santri itu masuk ke pondok pesantren. Karena budaya tersebut telah mereka

ketahui dari orang tua mereka, kakak mereka atau keluarga mereka yang telah mondok

sebelumnya. Hal ini diakui oleh kiai Subhan bahwa kebebasan yang telah dilakukan

para santri akan menuntun mereka untuk mempunyai sikap kebersamaan dan

tanggung jawab akan perilaku mereka.12

Dalam kesehariannya setiap santri diberi kebebasan untuk melakukan

aktivitasnya. Seperti, setiap pagi sebagian santri sekolah namun banyak di antara

mereka yang dengan seenaknya tidak sekolah dan mengobrol di depan kamar mereka

10
Sebagaimana yang diperlihatkan juga oleh tulisan Zubaidi Habibullah Asy'ari., 1996,
Moralitas Pendidikan Pesantren, LKPSM: Yogyakarta, hlm. 55-64
11
Wawancara dengan Fathur, santri baru di An-Naqiyah tanggal 26 Januari 2006.
12
Wawancara kiai Subhan, salah satu pengasuh pondok pesantren An-Naqiyah tanggal 24
Januari 2006

116
Perilaku Homoseksual di PonPes

atau di masjid. Hal ini berbeda jika ada santri yang tidak berjama'ah maka mereka akan

diberi sanksi atau dilaporkan kepada kiai. Atau jika santri tersebut tidak mengikuti

pengajian kitab kuning setiap habis sholat Ashar dan sebelum jam sekolah pagi, maka

mereka akan dipanggil oleh kiai dan diberi peringatan. Hukuman seperti inilah yang

ada di pondok pesantren An-Naqiyah, namun hukuman tersebut menurut mereka

lebih memberatkan ketimbang hukuman yang berbentuk fisik. Karena mereka sangat

takut dan sungkan ketika bertemu kiai bahkan untuk lewat di depannyapun mereka

tidak berani. Seperti ketika kiai lewat di depan mereka maka dengan segera mereka

akan menundukkan badan dan kepala atau menghindar bila dikira masih

memungkinkan.

Setiap santri yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah diberi kebebasan

untuk memilih kamar yang mereka sukai, bahkan untuk seterusnya sampai santri

tersebut lulus. Sehingga setiap kamar biasanya ditempati oleh 30-40 santri. Hal ini

menyebabkan mereka malas untuk berada di kamar dan tidur di dalamnya. Seringkali

para santri tidur di depan kamar mereka atau bahkan tidur di masjid dengan hanya

beralaskan sarung mereka. Dalam kesehariannya para santri lebih banyak

menggunakan sarung dengan kopyah hitamnya kecuali pada pagi hari bagi santri yang

sekolah. Selain itu, para santri banyak yang tidak memakai celana dalam ketika

bersarung dalam kegiatan kesehariannya. Karena seringnya hilang celana dalam mereka

dan juga karena malas mencuci. Sehingga sering muncul guyonan di antara para santri

tentang besar kecilnya alat kelamin mereka. Hal ini juga dikarenakan kebiasaan mereka

117
Perilaku Homoseksual di PonPes

mandi bersama dengan telanjang bulat. Hal ini memungkinkan karena kamar mandi

yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah tidak sebanding dengan jumlah santri

mereka (sebanyak 20 buah). Kebiasaan keseharian ini terus-menerus diwariskan oleh

kakak kelas senior kepada yuniornya untuk berperilaku seperti yang mereka lakukan.

Sehingga sangat sulit untuk melacak mulai kapan tradisi tersebut muncul.

a.4. Pola Pendidikan: Ponpes Tradisional13

Sejak berdiri pada tahun 1887, sistem pendidikan yang dipergunakan oleh

pondok pesantren An-Naqiyah adalah sistem halaqoh dengan watonannya14 dan sistem

sorogan.15 Sedangkan perubahan pada sistem klasikal atau madrasi diselenggarakan sejak

tahun 1993. Sistem ini dipelopori oleh kiai Khazin Ilyas, setelah beliau menamatkan

studinya di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Pada saat itu beliau mendirikan

madrasah (sekolah agama Islam) secara sederhana, dan sekarang mencapai 3 kelas yang

dalam kurikulumnya kira-kira sederajat dengan kelas 1 Madrasah Tsanawiyah.

Perubahan ini ditindaklanjuti oleh kiai Machfudh Husaini (menantu kiai

Abdullah Sajjad), dengan melakukan perubahan sistem pendidikan di pondok

13
Pola pendidikan pondok pesantren tradisional atau salaf adalah seputar orientasi
keilmuannya yang hanya sebatas atau terbatas kepada ilmu-ilmu agama, meskipun sudah mulai ada mata
pelajaran yang sifatnya umum. Abdurrahman Mas'ud., 2003, Menuju Paradigma Islam Humanis, Gama
Media: Yogyakarta, hlm. 244
14
Metode halaqah atau wetonan adalah pola pengajaran yang mengajarkan santri secara
keseluruhan yang biasanya para santri akan membentuk melingkari kiainya. Hasbullah., 1999, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 145
15
Sorogan adalah sistem pengajaran yang mengajarkan dengan per-seorangan, yakni setiap santri
mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kiai atau para santri
membacakan dan menghafalkan pelajaran kitab kuning yang sudah diajarkan oleh kiainya. Ibid..

118
Perilaku Homoseksual di PonPes

pesantren An-Naqiyah, dari sistem pendidikan madrasi salafi menjadi pendidikan

formal . Dengan demikian, maka pada tahun 1951 didirikan madrasah Tsanawiyah.

Pada perkembangan selanjutnya, di bawah pimpinan kiai Amir Ilyas, Madrasah

Tsanawiyah diubah menjadi Madrasah Muallimin (IV tahun), kemudian pada tahun

1967 disempurnakan menjadi Madrasah Muallimin lengkap (VI tahun). Namun

akhirnya, untuk menyesuaikan dengan peraturan pemerintah, pada tahun 1979

Madrasah Muallimin lengkap dirubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (sederajat

dengan SMP)dan Madrasah Aliyah (sederajat dengan SMU), sehingga pada tahun

tersebut ada tiga lembaga tingkatan Madrasah An-Naqiyah, yaitu MI, MTs, dan MA.

Kedinamisan pondok pesantren An-Naqiyah semakin bertambah ketika pada

tanggal 13 Oktober 1984 didirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan

fakultas syariah. Baru pada 5 September 1986, PTAI diubah menjadi STISA (Sekolah

Tinggi Ilmu Syariah An-Naqiyah). Kemudian pada periode selanjutnya pondok

pesantren An-Naqiyah menambah satu fakultas yaitu fakultas tarbiyah dengan nama

STITA (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah An-Naqiyah) dan pada tahun 1996 STISA dan

STITA dijadikan satu sekolah tinggi menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STIKA)

dengan status terakreditasi pada bulan November tahun 2000.

Pada tahun 1986, semakin lengkaplah jenjang pendidikan yang ada di pondok

pesantren An-Naqiyah dengan didirikannya Taman Kanak-kanak "Bina Anaprasa"

dengan bekerjasama dengan PKBI dan Japan Internasional Exchange of Culture (JIEC).

Dari semua jenjang pendidikan formal yang ada di An-Naqiyah, sebagian besar

119
Perilaku Homoseksual di PonPes

memakai kurikulum Departemen Agama (Depag) yang diakomodasikan dengan

kurikulum pondok pesantren An-Naqiyah. Dari kurikulum tersebut hanya pelajaran

yang sifatnya mata pelajaran umum yang menggunakan kurikulum Depag, sedangkan

mata pelajaran lainnya mempergunakan kurilum pondok pesantren An-Naqiyah

dengan mempergunakan kitab-kitab klasikal berbahasa Arab (kitab kuning). Namun

ada juga yang secara formal langsung berkiblat pada kurikulum Depag.

Secara umum lembaga pendidikan formal di pondok pesantren An-Naqiyah

merupakan perpaduan antara model dan sistem pendidikan klasikal-tradisional dan

sistem modern, yaitu dengan mempertahankan tradisi keilmuwan salafiyah yang

dipadukan dengan pola dan metode modern yang dianggap masih relevan dan pada

akhirnya dimasksudkan sebagai peningkatan kualitas pendidikan di pondok pesantren.

Pondok Pesantren An-Naqiyah sekarang ini mendidik sekitar 6.610 santri atau

siswa dengan dibantu 398 guru atau ustadz ustadzah, di samping itu juga dibantu oleh

86 dosen untuk STIKA (data tahun 2005)

Lebih lanjut, tanpa meninggalkan tradisi kepesantrenan, pondok pesantren An-

Naqiyah terus mengembangkan tradisi pendidikan wetonan dan sorogan pada jam-jam di

luar pendidikan formal, yaitu dengan pengajian kitab-kitab kuning klasikal. Bidang-

bidang kajiannyapun terbatas pada materi keagamaan seperti, kajian tafsir, hadist, fiqh,

akhlaq, tasawuf dan ilmu alat, seperti nahwu dan ilmu sharaaf. Hal ini juga didukung

dengan kegiatan pengkajian keagamaan dengan bahtsul masail (kajian masalah hukum

keagamaan) yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan oleh pondok pesantren.

120
Perilaku Homoseksual di PonPes

Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada sore hari hari atau pagi hari (sebelum

jam sekolah) oleh sebagian santri mukim (yang menetap di pondok pesantren) di

samping para santri yang kalong (tidak menetap di pondok pesantren). Selain

pengajian kitab kuning klasik tersebut, pondok pesantren sudah mengembangkan

pendidikan semi formal dengan diaktifkannya Madrasah Diniyyah. Madrasah ini

dikembangkan oleh masing-masing daerah yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah

yang dilaksanakan pada malam hari (dari ba'da Maghrib sampai dengan jam 20.30 WIB)

dan diwajibkan bagi semua santri.

Pendidikan ini murni mandiri tanpa menggantungkan pada pihak manapun,

baik pengelolaan sampai dengan kurikulum yang dipakai. Sehingga kurikulum yang

dipakai mempergunakan kurikulum yang dibuat sendiri oleh pondok pesantren An-

Naqiyah dengan materi pelajaran khusus keagamaan. Sedangkan tingkatan yang ada

selama ini terdiri dari tingkat, yaitu awaliyah atau dasar (6 tingkat kelas) dan tingkat

wustho atau menengah (3 tingkat kelas).

Di samping mengedepankan pendidikan tradisional-non formal, pesantren An-

Naqiyah juga mengembangkan pendidikan formal. Dari pola pendidikan formal

tersebut mulai dikembangkan kegiatan-kegiatan intra sekolah (ekstrakurikuler), dan

ekstra sekolah (unit siswa/santri). Di samping adanya lembaga-lembaga kursus-kursus

dan beberapa unit keterampilan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren.

121
Perilaku Homoseksual di PonPes

Hal ini sebenarnya berangkat dari upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan

santri dalam mengimbangi pendidikan yang ada di dalam pesantren. Kegiatan-kegiatan

tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Kepramukaan

Keberadaan pramuka di pondok pesantren An-Naqiyah berawal dari ide dasar

dari kiai Amir Ilyas pada tahun 1984. Secara historis gerakan pramuka merupakan

suatu fenomena yang universal, di mana pramuka selalu menjadi faktor dominan

dalam membentuk arah pembangunan nasional. Walaupun dikaitkan dengan masalah

biologis, namun di sisi lain pramuka mempunyai segi-segi kultural, psikologis,

demografis dan politis sehingga pramuka mendapatkan predikat sebagai pelaku

perubahan.

Dari hal tersebut, gerakan pramuka Gudep Sumenep 0761/0762 pondok

pesantren An-Naqiyah merupakan suatu alat pendidikan non formal dari kegiatan yang

dilaksanakan setiap minggu. Dengan diisi kegiatan kreatif, inovatif, atraktif, produktif

dan rekreatif serta mengembangkan jiwa kemandirian, keterampilan, ilmu

pengetahuan dan potensi kepemimpinan.

Sedangkan data jumlah anggota yang ada selama ini adalah 216 santri anggota

tetap, yang terdiri dari penggalang putra 80, santri putra (8 regu / 2 pasukan), penegak

putra 40, santri (4 sangga / 1 Ambalan) serta 25 orang pembina putera (2 mahir dan

23 pembantu) dan 6 orang pembina putri (3 mahir dan 3 pembantu).

2. Markos Dirosah Allugah Al-Arabiyah

122
Perilaku Homoseksual di PonPes

Historis berdirinya lembaga bahasa Arab ini berawal dari signifikannya bahasa

Arab di pondok pesantren, termasuk juga di An-Naqiyah. Pengembangan bahasa Arab

di An-Naqiyah dirintis mulai pada era 1970-an yaitu mulai keikutsertaan pengasuh

pondok pesantren An-Naqiyah (di antaranya kiai Subhan dan kiai Wardi) pada

penataran bahasa Arab yang diadakan di masjid Al-Falah Surabaya, sehingga anggota

dari pengembangan bahasa Arab tersebut masih terbatas kepada para masyakhih dengan

metode terjumah ke dalam bahasa Indonesia.

Tapi pada periode 1989, tepatnya tanggal 2 Agustus, pengembangan bahasa

Arab tersebut mulai dikoordinir dengan perencanaan dan pengembangan program

yang dilaksanakan dalam bentuk pola pengembangan yang lebih terorganisir dengan

nama "Markaz Dirosah Allugah Al-Arabiyah". Sedangkan materi yang diberikan adalah

sistem mahfudhot, al-turjumah, insya' dan muhadastah dengan melaksankan kegiatan

kursus yang dilaksanakan setiap minggu dengan empat kali pertemuan serta juga

dengan mengaktifkan budaya berbicara bahasa Arab di kalangan santri pondok

pesantren An-Naqiyah.

3. English Education Program Pondok Pesantren An-Naqiyah (EEP PPA)

Bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi internasional dirasa sebagai sesuatu

yang signifikan, sehingga sekitar tahun 1953 beberapa pengasuh mulai belajar bahasa

Inggris. Komitmen untuk mengembangkan bahasa Inggris di pondok pesantren An-

Naqiyah semakin kuat, pada tahun 1980-an pondok pesantren An-Naqiyah melakukan

kerjasama dengan The Asia Foundation dan Volunters in Asia (VIA). Dengan

123
Perilaku Homoseksual di PonPes

kerjasama tersebut pada tahun 1983, pondok pesantren An-Naqiyah mendapatkan

bantuan tenaga pengajar asing pertama, yaitu Thomas Hutchin untuk mengajar selama

4 tahun (1983-1987).

Kemudian secara berkala sampai dengan tahun 1995, pondok pesantren An-

Naqiyah menerima 5 orang tenaga pengajar (Miss Diance, Refael Reyse, Robert

Bedecker, Brian Harmon dan Jeffry Robert Anderson). Native Speaker pertama

(Thomas Hutcin) sempat menyusun buku Kamus dan Tata Bahasa (2 jilid) serta buku

bahasa Inggris untuk pemula yang sampai saat ini masih dipergunakan untuk

mengembangkan bahasa Inggris di pondok pesantren. Sedangkan peserta kursus

sekarang sudah mencapai 8 angkatan dengan materi yang diberikan berupa: Speaking-

Listening, Grammer-Writing dan Reading-Translating.

4. Kursus Komputer An-Naqiyah

Teknologi informatika telah menuntut banyak perhatian yang lebih besar dari

setiap generasi ke generasi, dan berangkat dari hal tersebut santri An-Naqiyah yang nota

bene merupakan salah satu faktor penentu di era globalisasi juga dituntut untuk bisa

berperan aktif dalam menghadapi tantatangan tersebut.

Dengan semakin pesatnya perhatian santri untuk bisa ikut dalam kursus ini

semakin menjadi indikasi bahwa setiap santri sudah siap menghadapi dunia baru di

abad XXI. Oleh karena itu pada tahun 1994 dibukalah kursus komputer bagi santri

pondok pesantren An-Naqiyah walaupun dengan prasarana yang terbatas sekali.

5. Kursus Mengetik Dasar Pondok Pesantren An-Naqiyah (KMD PPA)

124
Perilaku Homoseksual di PonPes

Kursus mengetik di pondok pesantren An-Naqiyah adalah hasil usaha dari

salah satu seorang native speaker bahasa Inggris, yaitu Thomas Hutcin pada tahun 1984.

Dari usaha inilah pondok pesantren berusaha untuk lebih mengembangkan

keberadaan Kursus Mengetik Dasar ini bagi santri dengan melakukan kerjasama

sebagai mitra kerja Depnaker Kabupaten Sumenep.

Secara inherent tujuan kerja Kursus Mengetik Dasar ini adalah pemberdayaan

skill manajerial dan administrasi yang nantinya dapat mengarahkan santri untuk

mempunyai keterampilan yang berkualitas, terampil, kreatif dan progresif. Sedangkan

tenaga pembimbing Kursus Mengetik Dasar ini berasal dari santri pondok pesantren

An-Naqiyah dengan jumlah sekitar 10 orang.

6. Tailor

Variasi kegiatan keterampilan yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah juga

dibuktikan dengan adanya keterampilan jahit menjahit yang dikembangkan dengan

membuka usaha tailor untuk pesanan. Potensi ini merupakan langkah dari usaha

pondok pesantren An-Naqiyah dalam membuka peluang kepribadian santri untuk

menyalurkan skill yang dimiliki. Kendati ada bebarapa hambatan, hal ini disebabkan

karena adanya keterbatasan sarana dan prasarana, tetapi kegiatan ini mulai meng-cover

diri dengan kegiatan-kegiatan yang lebih konkrit.

7. Fotografi

Keterampilan fotografi merupakan lembaga keterampilan yang masih dikelola

di bawah naungan Yayasan An-Naqiyah. Perkembangan keterampilan fotografi setiap

125
Perilaku Homoseksual di PonPes

tahunnya tidak berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan masalah perlengkapan

teknis dan perangkat-perangkat fotografi yang kurang memadai. Sedangkan konsumen

lembaga fotografi ini lebih banyak pada santri yang berdomisili di pondok pesantren

An-Naqiyah atau juga sebagian masyarakat yang ada di sekitar pondok pesantren An-

Naqiyah atau bahkan masyarakat di luar daerah Gilir-gilir.

8. Jamiyatul Qura'

Keberadaan jamiyatul qura' merupakan potensi tersendiri yang ada di pondok

pesantren An-Naqiyah. Sebab dengan adanya ini, sangat dimungkinkan sekali bahwa

santri yang mempunyai keterampilan olah vokal dalam tilawatil Qur'an dapat melatih

suara dan seni membaca di jamiyatul qura'. Jamiyatul qura' ini mula-mula dirintis oleh

kiai Amir Ilyas pada tahun 1981. Sedangkan instruktur yang melatih para santri adalah

ustadz Mudda'ei (Qori' terbaik nasional MTQ 1998) dibantu para pembimbing lainnya,

dengan peserta 110 santri putra dan putri.

9. Sanggar Seni

Potensi seni di kalangan santri juga menjadi perhatian dari pengurus pondok

pesantren An-Naqiyah. Hal ini terbukti dengan munculnya sanggar-sanggar seni, yang

selama 5 tahun terakhir sudah berjumlah 6 sanggar seni yang berbeda antara santri

putra dan putri. Di antara sanggar-sanggar seni yang ada selama ini adalah sanggar

Kreasi Seni Islami (SaKSI- putra), sanggar Andalas (putra), sanggar Nurani (putra),

sanggar Al-Zalzalah (putri), sanggar "Pajjer Laggu" (putri) dan sanggar Jejak (putri).

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan juga beragam, dari kegiatan-kegiatan pementasan

126
Perilaku Homoseksual di PonPes

teater, peluncuran antologi, perlombaan-perlombaan seni sampai dengan pengadaan

bedah buku seni, symposium dan seminar-seminar.

a.5. Kepemimpinan Paternalistik Kiai

Jika kita sempat mondok dan menjadi santri di pondok pesantren salaf atau

tradisional, maka kita akan dapat melihat pola kepemimpinan kiai terhadap santri-

santrinya. Sebagaimana komunitas feodal (keraton), para santri sangat takut jika

berhadapan dengan kiai. Jangankan untuk duduk bersama atau berdampingan ketika

dalam satu forum, berpapasan saja para santri sudah pergi untuk menghindar. Selain

itu, para santri juga tidak berani untuk menatap wajah kiainya. Karena menurut

mereka menatap wajah kiai sama saja dengan menantangnya.16

Ketakutan ini terlihat jelas ketika ada pengajian kitab kuning, di sa'at kiai

mengajar para santri hanya mendengarkan secara khusuk dan serius. Suasana

pengajaran kitab kuning ini diwarnai oleh pola satu arah, kiai membacakan dan

menerangkan kitab yang diajarkan sedangkan santri hanya mencatat. Sehingga tidak

ada interaksi dialogis antara kiai dan santri tentang isi yang diajarkan oleh kitab kuning

tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut oleh Michael Foucault tentang

discourse yang membentuk pembelajaran dan bahkan justifikasi akan suatu wacana

pembenaran. Sebagaimana yang diajarkan oleh para kiai terhadap santri-santrinya

dengan pola pembelajaran kitab yang sangat mendukung tentang wacana keta'atan dan

16
Hal ini diungkapkan juga dengan sangat baik oleh Zubaidi Habibullah Asy'ari., Op. Cit, hlm.
31-45

127
Perilaku Homoseksual di PonPes

ketakutan santri terhadap kiainya bahkan terhadap tujuh keturunannya dan binatang

peliharaannya, yakni kitab kuning Taklimul Muta'allim.

Kepemimpinan kiai yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah lebih

dikedepankan dengan sistem kepemimpinan ponggawa limanya yakni lima kiai senior,

anak atau penerus dari para pendiri pondok pesantren An-Naqiyah. Kiai ponggawa lima

tersebutlah yang menjadi pemimpin, penetus kebijaksanaan, dan pengambil keputusan

akan arah pondok pesantren. Meskipun terdapat gap atau perbedaan kebijaksanaan

antara kiai yang jadi pemimpin di pondok pesantren tersebut.17 Kiai ponggawa lima

tersebut adalah kiai Subhan, kiai Busiri, kiai Hafidz, kiai Riyad, dan kiai Hamid.

Selain faktor discourse yang membentuk kepatuhan santri terhadap kiai, faktor

sosio-psikologi juga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan. Hal ini nampak dari

pola komunikasi antara kiai dengan santri. Karena kiai dipercaya sebagai orang yang

mempunyai segala kelebihan, baik dari segi ilmu pengetahuan keagamaannya, ilmu

kebatinannya, dan kharisma pancaran Ilahinya, sehingga para santri menganggap diri

mereka sebagai orang yang tidak mepunyai kelebihan apa-apa dibandingkan kelebihan

kiai. Sehingga dengan pengaruh tersebut akan terlihat dalam bentuk tingkah laku,

aktivitas, perbuatan, dan kerja yang dilakukan oleh santri. Yakni tingkah laku yang

17
Wawancara dengan kiai Subhan, kiai Busiri, kiai Riyad tiga dari kiai ponggawa lima yang ada
di pondok pesantren An-Naqiyah antara tanggal 20 Januari-15 April 2006. Terutama tentang kebijakan
para kiai terhadap sistem pendidikan pesantrennya, yakni mulai malasnya para kiai untuk
mengedepankan program pendidikan santrinya di pondok pesantren An-Naqiyah. Hal ini disebabkan
oleh kesibukan para kiai untuk terjun ke dalam politik praktis. Sehingga sistem pendidikan yang ada di
pondok pesantren tidak mengalami kemajuan yang berarti bahkan bisa dibilang stagnan.

128
Perilaku Homoseksual di PonPes

memperlihatkan keta'atan yang berlebihan sehingga penulis lebih mengatakannya

sebagai ketakutan santri terhadap kiainya.

Kelanggengan hubungan paternalistik ini tidak hanya terjadi sa’at seseorang

menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Namun hubungan antara kiai dan

santrinya dengan kharisma kiai yang begitu tinggi pada akhirnya akan menguatkan

budaya subordinasi dalam masyarakat. Hubungan ini akan terus berlangsung meskipun

santri tersebut telah menjadi masyarakat. Hubungan ini semakin erat seiring kebiasaan

santri untuk mengunjungi kiainya setiap sa’at dan rutin tiap tahun. Kunjungan rutin

ini tidak akan berhenti meskipun kiai tersebut telah meninggal dan digantikan oleh

anaknya, karena menurut mereka kiai dan anaknya sama saja. Bahkan ketika anak kiai

tersebut telah menjadi kiai di pondok pesantrennya maka alumni tersebut akan

mengirim anak-anak mereka untuk mondok di pesantren tersebut.

Selain itu, hubungan kiai dan santri semakin kuat seiring dengan pengadaan

ritual keagamaan yang dilakukan oleh kiai dan dihadiri oleh para santri dan alumni-

alumni pondok pesantrennya. Ritual ini biasanya berbentuk ritual keagamaan yang

sifatnya berkala dan dengan waktu yang tetap. Seperti, pengadaan ritual keagamaan

haul, yakni peringatan tahunan kematian pengasuh atau pendiri pondok pesantren.

Hal ini terkait erat dengan mengapa seseorang disebut sebagai kiai, karena

pengangkatan seorang kiai menurut Karel A Steenbrink,18 disebut seorang kiai karena

18
Karel A Steenbrink., 1986, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES: Jakarta, sebagaimana yang
dikutip oleh Zubaidi Habibullah Asy'ari., Op. Cit, hlm. 40

129
Perilaku Homoseksual di PonPes

ia telah diterima oleh masyarakat sebagai kiai, meskipun tidak ada kriteria formal

untuk menjadi kiai, seperti ijazah, pendidikan atau yang lainnya. Sedangkan Abu

Bakar 19 sebagaimana yang dikutip oleh Zubaidi Habibullah Asy'ari, memberikan

ketentuan bahwa untuk menjadi seorang kiai adalah; keturunan kiai, pengetahuan

agamanya dan kesalehannya, dan jumlah muridnya, semakin banyak jumlah santrinya

semakin besar nama kiai dan pondok pesantren tersebut.

a.6. Peran Kiai Dalam Politik dan Masyarakat

Kepemimpinan desa yang awalnya banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh

para pendiri desa yang kemudian menjadikannya sebagai tokoh masyarakat bahkan

sebagai penyebar agama Islam yang seringkali disebut sebagai kiai. Kemudian beralih

seiring perkembangan zaman. Hal ini nampak pada kepemimpinan desa yang ada di

Gilir-gilir yang lebih mengutamakan kepemimpinan desanya dipimpin oleh seorang

blater. Persoalan keamanan desa menjadi faktor penentu keberhasilan blater menjadi

pemimpin desa. Meskipun mereka masih meminta restu dan do'a dari kiai.

Dari penuturan salah satu warga masyarakat desa Gilir-gilir, seiring

memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang ditunjuk oleh kiai

ketimbang pilihan mereka sendiri terhadap blater. Namun masyarakat masih

menghargai kiai dengan kharismanya yang masih sangat tinggi dan banyak

mempengaruhi masyarakat terutama dalam bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan.

19
Abu Bakar., 1957, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, tnp: Jakarta,
sebagaimana yang dikutip oleh Zubaidi Habibullah Asy'ari, Loc.Cit.

130
Perilaku Homoseksual di PonPes

Hal ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang menyekolahkan anak-anaknya di

pendidikan keagamaan pesantren. Meskipun anjuran kiai untuk menyekolahkan anak

mereka di pesantrennya lebih dianggap sebagai upaya para kiai untuk mempertahankan

posisinya dalam stratifikasi sosial masyarakat. Karena satu-satunya media para kiai atau

sumber nilai yang ada pada diri kiai adalah penguasaan agamanya, yang terlihat dari

besar tidaknya pesantren yang dipimpinnya. Semakin besar pesantren tersebut maka

semakin kuat dominasi dan kekuasaan serta kharisma yang ada pada diri kiai tersebut.

Hal ini terlihat dari statistik jumlah murid yang ada di sekolah-sekolah umum. Sekolah

Dasar Negeri (SDN 6 sekolah), muridnya berjumlah 600 murid, Sekolah Menengah

Pertama Negeri (SMPN 1 sekolah), muridnya berjumlah 82 murid, dan Sekolah

Menengah Atas tidak ada di desa Gilir-gilir. Bandingkan dengan sekolah-sekolah yang

berbasis keagamaan yang kebanyakan semuanya ada di lingkungan pondok pesantren,

Madrasah Ibtidaiyah (MI 5 sekolah), muridnya sebanyak 550 murid, Madrasah

Tsanawiyah (MTs 3 sekolah), muridnya sebanyak 1605 murid, dan Madrasah Aliyah

(MA 2 sekolah), muridnya sebanyak 1263 murid.20

Kekuatan politik kiai semakin nyata dengan berdirinya partai-partai yang

berbasis Islam, dan mereka adalah pemimpin partai tersebut. Masyumi, partai yang

berbasis Islam pada masa Orde Lama menjadi partai yang paling banyak mempunyai

pengaruh besar di masyarakat Gilir-gilir dan Parendu, bahkan sampai sekarang.

20
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Guluk-Guluk Dalam Angka 2004,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 15-19

131
Perilaku Homoseksual di PonPes

Sebagaimana yang dituturkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di kedua desa tersebut.21

Jikalau partai-partai Islam sa'at ini bersatu maka umat Islam akan menang dalam setiap

pemilu.

Namun, seiring dilarangnya Masyumi, dan keluarnya NU dengan mendirikan

Partai NU, maka masyarakat Gilir-gilir beralih kepada pemimpin-pemimpin mereka

yakni kiai yang memimpin Partai NU tersebut. Pada masa Orde Baru, seiring dengan

kebijakan pemerintah yang meleburkan partai-partai Islam menjadi satu partai, yakni

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka masyarakat Gilir-gilir beralih kembali

kepada partai-partai Islam yang dipimpin oleh kiai mereka. Namun dengan mulai

pudarnya orientasi politik kiai dan masyarakat NU, dan diperparah lagi dengan

langkah organisasi sosial keagamaan NU yang menyatakan kembali ke khittah 26,

maka masyarakat Gilir-gilir yang berbasis NU diperbolehkan dan dibebaskan untuk

memilih partai selain PPP, bahkan mereka dianjurkan untuk memilih partai lainnya

terutama Golkar.

Sosialisasi pasca khittah 26 tersebut, banyak para kiai yang menyatakan keluar

dari partai-partai politik. Bahkan mereka menganjurkan supaya masyarakat lebih

menekankan diri kepada gerakan-gerakan kultural sebagaimana yang diamanatkan NU.

Kondisi ini telah menjadikan warga masyarakat Gilir-gilir menjadi massa mengambang

yang lebih mengorientasikan politiknya kepada orientasi kultural. Keadaan tersebut

menyebabkan timbulnya pergeseran bahkan perubahan konsepsi perjuangan keislaman

21
Wawancara dengan Malik, tokoh masyarakat Gilir-gilir, tanggal 5 Januari 2006.

132
Perilaku Homoseksual di PonPes

masyarakat. Jika semula masyarakat Islam memperjuangkan Islam melalui partai politik

berbasis Islam kini bergeser kearah perjuangan kultural. Sebagaimana yang dijadikan

pedoman oleh NU, "NU tidak kemana-man, tetapi ada di mana-mana". Seiring dengan

kebijakan tersebut, maka pada masa Orde Baru masyarakat Gilir-gilir lebih memilih ke

partai pemerintah yakni Golkar, yang relatif lebih memungkinkan ketimbang PDI.22

Dalam era pasca kejatuhan pemerintahan Orde Baru, munculnya era Reformasi

telah memunculkan kembali aura kebangkitan partai-partai politik untuk mendirikan

kembali partai politik yang sebelumnya dilarang oleh pemerintahan Orde Baru.

Dengan dalih demokratisasi maka bermunculanlah partai-partai politik di Indonesia,

terutama partai politik yang berbasis keagamaan. 23 Seiring kemunculan partai-partai

politik tersebut, di desa Gilir-gilir juga bermunculan banyak partai politik sebagai

bentuk dari bergulirnya wacana reformasi, terutama partai-partai politik yang berbasis

massa besar, seperti PKB, PDIP, PAN, Partai Golkar, PPP, dan lain sebagainya. Dari

berbagai partai politik besar tersebut hampir semuanya pemimpinnya adalah kiai,

kecuali PDIP yang dipimpin tokoh masyarakat lainnya. 24 Dengan demikian terdapat

pertikaian atau sengketa antarkiai untuk memperebutkan massa pemilih dalam


22
Hal ini semakin kuat dengan otoritarianisme pemerintah untuk memenangkan Golkar,
sehingga lewat berbagai media, kiai, PNS, dan NU, maka masyarakat diwajibkan untuk memilih Golkar
ketimbang PPP yang mayoritas kepemimpinannya bukan dari NU. Meskipun pertikaian atau sengketa di
tubuh PPP merupakan ciptaan dari pemerintah. Sedangkan PDI telah diasumsikan sebagai partai umat
non-Islam terutama Kristen, sehingga sulit bagi masyarakat Gilir-gilir untuk memilihnya.
23
Pada pemilu tahun 1999, peserta pemilu mencapai 48 partai politik, yang berbasis
keagamaan mencapai 16 partai, sedangkan pada pemilu 2004 mencapai 24 partai politik, yang berbasis
keagamaan mencapai 8 partai.
24
Pemimpin partai-partai tersebut adalah: PKB (Drs. KH. A. Busyro Karim, M.Si), PPP (Drs.
KH. A. Warits Ilyas), Partai Golkar (KH. Abd. Wakir Abdullah), PAN (KH. Wasik). Sedangkan PDIP
ketuanya adalah Hunain Santoso, S.H

133
Perilaku Homoseksual di PonPes

pemilihan umum. Sehingga memunculkan berbagai konflik kepentingan antarkiai, di

antaranya larangan atau bahkan diharamkan terhadap para santri dan keluarganya

untuk memilih partai politik di luar kepemimpinannya atau di luar keinginannya. Hal

inilah yang memperparah citra kiai yang berpolitik di daerah Gilir-gilir. Sebagaimana

yang diketemukan oleh Lembaga Hukum dan Hak Azasi Manusia (Lakumham) DPC

PKB Sumenep. 25 Yakni semakin tidak percayanya masyarakat terhadap tokoh-tokoh

panutan mereka termasuk di dalamnya kiai bagi yang berpolitik praktis.

Hal ini terlihat dari hasil pemilihan umum pada tahun 2004, di desa Gilir-gilir

partai pemenangnya adalah PKB mencapai 9.345 suara, PPP 9.240 suara, PDIP 6.756

suara, Partai Golkar 6.509 suara, dan PAN mencapai 4.504 suara.26

Meskipun PKB sebagai pemenang dalam pemilu atau merupakan partai

terbesar yang mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sehingga dapat menguasai

mayoritas kursi di DPRD, yakni PKB (20 kursi), PPP (7 kursi), Partai Golkar (6 kursi),

PAN (4 kursi), PDIP (2 kursi), dan sisanya adalah PKS, PAR, PNU, PBR, dan PKPI

masing-masing mendapat satu kursi, 27 namun semakin sadarnya masyarakat akan

pentingnya kepemimpinan yang memang mampu melaksanakan kepemimpinan telah

mulai menggeser suara PKB yang pada pemilihan umum 1999 mendapat 25 kursi di

DPRD. Kharisma Abdurrahman Wahid dan kiai lokal di antaranya ketua dewan syuro

DPC PKB Sumenep (salah satu pemimpin di pondok pesantren An-Naqiyah) telah

25
Jawa Pos, Kamis 9 Maret 2006
26
Monografi Kecamatan Guluk-guluk tahun 2005, hlm. 27
27
Kabupaten Sumenep Dalam Angka, Sumenep Regency in Figure, tahun 2004, hlm. 13-14

134
Perilaku Homoseksual di PonPes

mampu mengontol perolehan suara PKB untuk tetap menjadi mayoritas di Gilir-gilir

dan Sumenep secara keseluruhan. Meskipun demikian, dengan kembalinya salah satu

kiai kharismatik lokal lainnya untuk memimpin PPP (salah satu pemimpin di pondok

pesantren An-Naqiyah lainnya), telah menciptakan suatu persaingan yang cukup

demokratis di antara kedua partai politik tersebut.

Di samping kepemimpinan kiai dalam bidang partai politik, tradisi politik

keberagamaan mereka yang cukup kuat adalah kebiasaan beristri lebih dari satu

(poligami). Meskipun kiai di An-Naqiyah tidak berpoligami, namun ada beberapa kiai

di desa Gilir-gilir yang berperilaku poligami. Tradisi poligami ini selain menampakkan

khas masyarakatnya yang paternalistik, juga diklaim sebagai sebuah penafsiran

keagamaan, yang memperbolehkan menikah lebih dari satu, bahkan sampai empat.28

Namun tidak semua kiai melakukan praktek poligami, terutama kiai langgar, tidak ada

yang melakukan poligami. Hanya mereka kiai yang memiliki kharisma cukup kuat di

dalam masyarakat, dan memiliki kekayaan yang cukup memadai. Selain itu, kuatnya

pengaruh kiai dalam masyarakat juga nampak dari tidak akan dinikahi para janda-janda

yang telah diceraikan oleh para kiai. Kecuali oleh kiai lainnya dan secara hirarki lebih

tinggi ketimbang kiai yang menceraikannya. Hal ini memperlihatkan bahwa kiai

28
Penafsiran keagamaan terhadap kitab suci Al-Qur'an yang ada di surat An-Nisa' ayat: 14, telah
memberikan tekanan akan pentingnya bersikap adil pada pelaku poligami, yang dalam banyak
prakteknya seringkali diselewengkan. Yang terlihat pada perilaku poligami kiai hanyalah kepentingan
biologisnya dan kepentingan politiknya daripada kepentingan sosial untuk melindungi harga diri
perempuan. Kenyataan ini semakin diperkuat oleh semakin muda istrinya akan semakin muda usianya,
dan masih perawan. Padahal poligami Nabi Muhammad mengandung unsur semangat perlindungan
dan jaminan keadilan serta rasa aman. Lihat Nasaruddin Umar., 1999, Argumen Kesetaraan Jender,
Paramadina: Jakarta.

135
Perilaku Homoseksual di PonPes

dianalogikan sebagaimana mantan istri Nabi Muhammad yang tidak pernah dinikahi

oleh orang lain termasuk sahabat-sahabatnya.

a.7. Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat Pesantren Gilir-gilir

Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh kantor statistik Sumenep, jumlah

penduduk desa Gilir-gilir pada tahun 2004 adalah 15,372 jiwa yang melingkupi 3,789

rumah tangga, yang tersebar di tiga puluh RT dan delapan RW. Dengan luas wilayah

14,88 km², maka kepadatan penduduk di desa Gilir-gilir mencapai 1.033,06 jiwa/km².

Desa Gilir-gilir merupakan desa terpadat yang ada di kecamatan Gilir-gilir. Jumlah

penduduk di desa Gilir-gilir mengalami peningkatan kurang lebih 5,69% dari tahun

2000 ke tahun 2004. Akibat tingkat kepadatan yang begitu tinggi serta keadaan tanah

yang tidak begitu subur, maka menyebabkan kondisi ekonomi masyarakat di desa Gilir-

gilir agak memprihatinkan.

Desa Gilir-gilir mayoritas penduduknya adalah petani, baik tanaman pangan

yang mencakup sebanyak 2.014 keluarga, perkebunan yang mencakup 2.029 keluarga,

ataupun peternakan yang mencapai sekitar 254 keluarga, sedangkan industri yang ada

di desa Gilir-gilir hanya meliputi industri kecil sebanyak 21 keluarga dan industri

rumah tangga sebanyak 33 keluarga, dari segi perdagangan sebanyak 124 pedagang.

Sedangkan masyarakat di desa Gilir-gilir mayorits penduduknya adalah pra sejahtera

yakni sebanyak 971 keluarga, yang sejahtera I sebanyak 2 keluarga, sedangkan yang

sejahtera II hanya sebanyak 478 keluarga. Hal ini disebabkan oleh mayoritas penduduk

di desa Gilir-gilir yang bekerja dalam bidang usaha pertanian, peternakan, meskipun

136
Perilaku Homoseksual di PonPes

tanahnya lebih subur daripada desa Parendu. Meskipun tanahnya relatif subur namun

penggunaan tanahnya mayoritas adalah tanah kering. Pertanian di desa Gilir-gilir

didominasi oleh sawah tadah hujan, dan tanaman tembakau merupakan mata

unggulan dagang pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian masyarakat

desa Gilir-gilir ataupun Parendu tergolong minus (miskin), sehingga memaksa

penduduknya untuk mencari kerja atau nafkah ke luar pulau Madura, baik ke Jawa

ataupun ke luar negeri.29 Masyarakat desa Gilir-gilir tidak hanya merantau ke pulau lain

yang ada di Indonesia, namun sampai ke mancanegara di antaranya; Arab Saudi,

Malaysia, Brunei Darussalam, dan Hongkong. Arab Saudi menjadi pilihan utama

mereka karena sambil mencari nafkah mereka juga bisa menjadi atau menunaikan

ibadah haji, sesuatu yang menjadi dambaan setiap umat Islam masyarakat Gilir-gilir.

Selain itu, masyarakat desa Gilir-gilir lebih terbuka terhadap para pendatang baru

untuk membangun usahanya, terutama dalam usaha dagang.

Dengan minusnya perekonomian masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu,

maka sifat ulet, pekerja keras, dan tidak pernah pilih-pilih pekerjaan merupakan bagian

dari etos kerja mereka, yang mempunyai semboyan "abhenthal ombhe' asapo' angin"

(berbantalkan ombak berselimutkan angin), yang merupakan spirit kerja mereka yang

tidak hanya terbatas pada etos kerja kelautan saja tapi juga pada energisitas kehidupan

29
Secara historis masyarakat desa Gilir-gilir dan desa Parendu (baca: Madura) yang merantau
sudah berlangsung sejak penjajahan Belanda. Pada awalnya mereka datang ke wilayah Karesidenan
Besuki Jawa Timur, sekitar pertengahan abad ke XIX, yang berkaitan sangat erat dengan "ondernening
partikelir" , Suroso., 1996, "Orang Madura dan Kewiraswastaan", dalam Aswab Mahasin (edit), Ruh Islam
Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Yayasan Festifal Istiqlal: Jakarta, hlm. 278

137
Perilaku Homoseksual di PonPes

masyarakat. Kerja keras tersebut sudah mulai awal menjadi prinsip dasar masyarakat

desa Gilir-gilir dan Parendu untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya.

Selain itu, hemat dan halal juga termasuk dalam prinsip kerja masyarakatnya, meski

sebagian ada yang didapat dari hasil pekerjaan yang tidak halal.30 Seiring dengan hal

tersebut, maka masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu (baca: Madura) digambarkan

sebagai orang dengan sosok yang kasar, suka berkelahi, kaku, garang, dan menakutkan,

serta berani.31 Sehingga mereka dapat dibedakan dengan mudah dengan orang Jawa,

karena mereka kasar, tidak tahu sopan santun, terbuka, banyak bicara, dan tidak halus.
32
Di samping stereotipe negatif tersebut, terdapat pula karakteristik positif, yakni

berani, petualang, loyal, rajin, hemat, menyenangkan, antusias, dan humoris. Akan

tetapi stereotipe yang negatiflah yang lebih menonjol dialamatkan terhadap masyarakat

desa Gilir-gilir dan Parendu (Madura).33 Stereotipe tersebut tidak hanya berlaku pada

laki-laki namun juga pada perempuannya tidak terkecuali anak-anak. Perempuannya

seringkali diidentikan dengan kerampingan, dada bagus, dan excellent sexual intercourse.34

Hal ini diperkuat dengan kondisi alam, ekonomi, sosial budaya, dan politik

masyarakatnya sehingga stereotipe tersebut tumbuh dengan subur. Alamnya yang tidak

subur, kemiskinan pada mayoritas masyarakatnya, telah memunculkan atau memaksa

30
Iskandar Dzulkarnain., Op. Cit, hlm. 33
31
Sindhunata., "Malangnya Orang Madura Teganya Orang Jawa", dalam Basis, No. 09-10 thn,
ke-45, Desember, 1996, hlm. 52
32
Huub de Jonge., "Stereotypes of the Madurese", Royal Institute of Linguistics and
Anthroppology, International Workshop on Indonesian Studies, No. 6, Leiden, 7-11 October 1991,
hlm. 4-6
33
Ibid., hlm. 10
34
Ibid., hlm. 5

138
Perilaku Homoseksual di PonPes

mereka bermigrasi, sehingga menimbulkan stereotipe mereka kasar, keras, berani, kuat,

ulet, dan hemat. Sementara dengan kurangnya kadar air di wilayahnya serta kerasnya

hidup telah membuat tubuh mereka kekurangan air, sehingga perempuannya

dimitoskan lebih manis.35 Selain itu, karena kadar airnya yang lebih banyak tercampur

garam maka perempuannya distereotipekan dengan wanita yang sempurna

seksualitasnya, karena keringnya vagina mereka. Hal inilah yang menyebabkan banyak

jamu yang berhubungan dengan keharmonisan pasangan suami istri yang berasal dari

Madura. Padahal banyak yang memproduksi jamu-jamu tersebut di luar Madura dan

bahkan bahan-bahan pembuatannya dari luar Madura.

Lebih lanjut, masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu secara ekologi terdiri dari

tegalan, bukan sawah. Oleh karena itu ekosistem di desa Gilir-gilir dan Parendu

ditandai oleh pola pemukiman penduduk pedesaan yang terpencar-pencar dalam

kelompok-kelompok kecil yang dikelilingi oleh tegal, 36 atau biasa disebut sebagai

pemukiman kampong meji (kampung meji), yaitu kelompok pemukiman penduduk desa

yang satu sama lainnya terpisah atau terisolasi .37

Keterisolasian kelompok pemukiman penduduk desa semakin nyata dengan

adanya pagar yang umumnya berupa rumpun bambu (meskipun sekarang sudah mulai

35
Ibid., hlm. 16
36
D. Zawawi Imron., 1996, " Peta Estetik Madura Masa Lalu", dalam Ibid, hlm. 293-294.
Meskipun untuk sekarang ini atau untuk beberapa tahun ke depan desa Parendu akan mengalami
kepadatan yang luar biasa, sehingga tidak ada lagi perpencaran antarrumah, namun untuk sekarang ini
masih terlihat pencaran-pencaran antarrumah di desa Parendu, walaupun mulai mengalami penyusutan.
37
Huub de Jonge, Op.Cit, hlm. 13. Kuntowijoyo., 1993, Radikalisasi Petani, Bentang:
Yogyakarta, hlm. 86

139
Perilaku Homoseksual di PonPes

banyak pagar dari semen). Antara kelompok pemukiman yang satu dengan kelompok

pemukiman yang lain biasanya dihubungkan oleh jalan desa atau jalan setapak. Pada

setiap desa, khususnya di kawasan luar kota biasanya ditemukan lima sampai sepuluh

pemukiman kampong meji yang ada di desa Gilir-gilir dan desa Parendu. Setiap

pemukiman kampong meji biasanya terdiri dari empat sampai delapan rumah yang

dibangun dalam bentuk memanjang, membujur dari barat ke timur dan menghadap ke

selatan38

Kelompok-kelompok pemukiman rumah-rumah keluarga terhimpun dalam

pola pemukiman pamengkang, pola pemukiman koren, pola pemukiman kampong meji,

dan pola pemukiman tanean lanjang. Pada pola pemukiman pamengkang dan pola

pemukiman koren jumlah rumah maupun generasi keluarganya belum banyak

jumlahnya. Sedangkan pada pola pemukiman kampong meji dan pola pemukiman

tanean lanjang jauh lebih banyak jumlah rumahnya, dan bisa mencapai lima generasi

keluarga.39

Pola pemukiman tanean lanjang atau dalam bahasa Indonesianya halaman

panjang, merupakan salah satu pola pemukiman masyarakat Madura yang masih

ditemukan di desa Gilir-gilir dan desa Parendu,40 dan merupakan bentuk pemukiman

38
Wiryoprawiro., Op. Cit, hlm. 43
39
Ibid., hlm. 15
40
Untuk pola pemukiman tanean lanjang, di desa Gilir-gilir terdapat sekitar 2 rumah keluarga,
sedangkan di desa Parendu terdapat sekitar 1 rumah keluarga

140
Perilaku Homoseksual di PonPes

yang tertua di Madura.41 Apabila dilihat dari sejarah dan susunan yang bermukim di

dalamnya, pola pemukiman tanean lanjang dibangun oleh keluarga yang mempunyai

banyak anak perempuan, dengan sistem pernikahan uxorimatrilocal, 42 yang banyak

dipakai oleh masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu, yang artinya anak perempuan

yang menikah tetap tinggal di pekarangan orang tuanya sementara suaminya pindah ke

pekarangan istrinya. Untuk membangun pola pemukiman tanean lanjang hanya dapat

dilakukan oleh keluarga yang mampu secara ekonomi.

Rumah-rumah yang terdapat dalam pola pemukiman tanean lanjang selalu

dibangun berderet dari barat ke timur dan menghadap ke selatan, sebagaimana posisi

rumah tradisional lainnya. Rumah itu dideretkan dimulai dari keluarga tertua atau

anak perempuan termuda di sebelah timur, semuanya menghadap ke selatan.43

Dengan demikian jumlah rumah yang dibangun sesuai dengan jumlah anak

perempuannya, tidak termasuk rumah yang dihuni oleh orang tuanya. Pada umumnya

formasi pemukiman tanean lanjang terdiri dari empat sampai delapan rumah. Tapi pada

tahun 1987 pernah ditemukan di kabupaten Sumenep kelompok pemukiman tanean

lanjang yang terdiri dari 12 rumah yang dihuni oleh 11 keluarga. Setiap keluarga terdiri

dari dua sampai empat orang, sehingga jumlahnya adalah 41 orang, terdiri dari 18 laki-

41
Huub de Jonge., Op. Cit, hlm. 13
42
Uxorimatrilocal merupakan kombinasi dari uksorilokal dan matrilokal, lihat Ibid., hlm. 14
43
A Latief Wiyata., 2002, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, LKiS:
Yogyakarta, hlm. 42-44

141
Perilaku Homoseksual di PonPes

laki dan 23 perempuan.44 Dengan demikian secara sosiologis komunitas pemukiman

tanean lanjang tidak hanya terdiri dari keluarga batih (nuclear family) melainkan juga

keluarga luas (extended family).45

Melihat dari formasi yang terdapat pada pola pemukiman tanean lanjang

tampak jelas bahwa dalam ideologi keluarga masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu

(Madura) mempunyai proteksi yang sangat khusus terhadap perempuan jika

dibandingkan dengan laki-laki. Setiap orang tua akan selalu menginginkan anak

perempuannya untuk tetap tinggal bersama mereka di lingkungannya, meskipun

mereka sudah bersuami. Perhatian dan proteksi masyarakat terhadap kaum perempuan

tidak hanya terlihat pada struktur formasi pola pemukiman tanean lanjang namun

terdapat pula pada struktur formasi seluruh pola pemukiman tradisional masyarakat

Madura. Setiap rumah yang ada di masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu mesti akan

memiliki sebuah langgar atau surau, dan lokasinya berada di ujung halaman bagian

barat sebagai simbolisasi Ka'bah yang merupakan kiblat umat Islam ketika sholat.

Langgar tersebut tidak hanya berfungsi atau bermakna sebagai tempat ritualitas

keagamaan belaka, namun secara kultural memiliki fungsi yang bermakna sebagai

tempat untuk menerima semua tamu laki-laki. Tujuannya adalah menempatkan semua

tamu laki-laki di langgar untuk mencegah kemungkinan terjadinya perilaku-perilaku

negatif bernuansa seksualitas akibat pertemuan antara laki-laki tersebut dengan anggota

44
Ibid..
45
Ibid., hlm. 24

142
Perilaku Homoseksual di PonPes

keluarga perempuan (terutama istri) dari pihak tuan rumah. Karena hal ini dianggap

sebagai parseko (tidak etis) apabila menerima tamu laki-laki di ruang tamu kecuali tamu

yang masih kerabat sendiri. Sedangkan segala bentuk gangguan terhadap kehormatan

kaum perempuan (terutama istri) akan selalu dimaknai sebagai pelecehan terhadap

kehormatan laki-laki, sehingga mereka rela untuk mempertahankan kehormatannya

meski harus lewat pertarungan carok yang akan menyebabkan nyawanya hilang.46

Dengan pola pemukiman seperti ini, maka pemukiman masyarakat desa akan

terpencar menjadikan sulitnya masyarakat untuk menjadi sebuah kesatuan teritorial

dan sosial. Untuk mempersatukan komunitas-komunitas masyarakat yang terpencar-

pencar tersebut, diperlukan adanya organisasi sosial keagamaan yang mampu

membangun solidaritasnya, di sinilah komunitas ini terbentuk dan dipersatukan oleh

langgar. Setiap desa yang dibentuk oleh komunitas tersebut terdapat masjid, yang

dipimpin oleh kiai langgar atau imam masjid. Lebih lanjut masjid dan kiai kemudian

menjadi simbol kesatuan dan pusat komunikasi di antara warga desa. 47 Seperti

pengajian kitab, musyawarah desa dan lain sebagainya. Dalam hal ini agama

merupakan organizing principle bagi masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu. Selain itu,

agama juga memberikan collective sentiment yang melalui upacara-upacara ibadah dan

ritual serta simbol yang satu,48 dan keharusan agamalah yang membuat masyarakat desa

Gilir-gilir dan Parendu menjadi sebuah masyarakat yang membentuk organisasi sosial,

46
A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 44-45
47
Iik Arifin Mansurnoor., Op. Cit, hlm. 195
48
Kuntowijoyo., Op. Cit, hlm. 87

143
Perilaku Homoseksual di PonPes

yang didasarkan pada agama dan otoritas kiai, yang pada akhirnya akan melahirkan

institusionalisasi pembelajaran keagamaan, seperti pondok pesantren. Berawal dari

inilah genealogis kiai dibentuk yang pada akhirnya akan berkembang menjadi

regimentasi, yaitu proses kekuasaan yang dibangun berdasarkan kekuatan penafsiran

atas teks-teks keagamaan (Al-Qur'an ataupun kitab kuning), yang akan melahirkan

otoritas keagamaan pada diri kiai. Otoritas inilah yang menciptakan pergerakan cara

berpikir dan bertindak masyarakat seperti yang diinginkan oleh pemegang otoritas

(kiai).49

Selain pola pemukiman tanean lanjang dan terbentuknya solidaritas masyarakat

desa melalui langgar dan otoritas kiai, masyarakat desa Gilir-gilir dan desa Parendu juga

mengenal pola perkawinan endogami, yakni kecenderungan menikah dengan kerabat

sendiri, terutama sepupu, yang dalam istilah Madura dikenal dengan "mapolong

tolang"(ngumpulin tulang). Tujuan perkawinan ini adalah untuk mempertahankan

ikatan tali keluarga, sedangkan untuk keluarga menengah ke atas, perkawinan model

ini sangat penting untuk mempertahankan kekayaannya agar tidak jatuh ke tangan

keluarga yang lain.

Bahkan dalam realitas kehidupan masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu,

biasanya menjodohkan anaknya yang masih berumur di bawah lima tahun (balita)

dengan anak dari keluarga yang lain - baik kerabat sendiri atau tidak – pada usia yang

sama. Ada pula yang menjodohkan anaknya ketika anak-anak itu masih berada dalam

49
Abdur Rozaki., Op. Cit, hlm. 48

144
Perilaku Homoseksual di PonPes

kandungan ibunya atau pada sa'at mau dilahirkan. Hal ini yang menyebabkan

banyaknya terjadi kawin paksa, meskipun angka penceraian sangat kecil. Tujuan

perjodohan pada usia muda atau kecil tersebut selain menjaga kekerabatan juga untuk

menjaga kehormatan keluarga dari perasaan aib dan malu jika pada waktunya anak

perempuan mereka belum mendapatkan jodohnya. Karena menurut mereka seorang

perempuan seharusnya sudah menikah tidak lama setelah mengalami haid pertama,

yakni sekitar umur 13-17 tahun.50 Apabila telah melewati umur tersebut masyarakat

akan mencemoohnya sebagai perempuan yang tidak laku (ta' paju lake). Sedangkan

pada laki-laki tidak ada istilah tersebut, sehingga banyak masyarakat Gilir-gilir dan

Parendu yang memperbolehkan anak perempuannya untuk diperistri lebih dari satu

(poligami), ketimbang disebut sebagai perempuan yang tidak laku. Selain itu, bentuk

patriarkhal masyarakat dalam kehidupan keluarganya juga dicerminkan oleh

superordinasi laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri). Salah satunya adalah dalam

bentuk komunikasi keluarga, suami menggunakan basa mapas (kasar) kepada istri

sedangkan istri diharuskan menggunakan basa alus (bahasa halus) kepada suaminya

sebagai ungkapan perhormatannya.51

Sedangkan stratifikasi dalam masyarakat Gilir-gilir dan Parendu secara garis

besar dapat dijelaskan dengan meliputi tiga lapis sosial masyarakat. Pertama, oreng kene'

atau oreng dume' (orang kecil) sebagai lapis terbawah. Kedua, ponggaba (pegawai) sebagai

50
Hasil dari obrolan dari masyarakat desa Gilir-gilir Rt. 01/Rw. 02, di antaranya Muhammad
Sidiq, Abdur Rahman, dan Aisyah, tanggal 20 Desember 2005.
51
A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 58

145
Perilaku Homoseksual di PonPes

lapis menengah, dan terakhir parjaji (priyayi) sebagai lapis paling atas. Jika dilihat dari

dimensi agama hanya terdiri dari dua lapis sosial, yaitu santre (santri) dan banne santre

(bukan santri).52 Dalam kenyataannya kelompok santre tidak harus selalu diidentikkan

dengan parjaji dan kelompok banne santre dengan oreng kene'. Karena kelompok santre

bisa terdiri dari parjaji dan oreng kene', begitu juga dengan banne santre. Dalam konteks

ini, kiai merupakan kelompok masyarakat lapis atas, sedangakan santre kelompok

masyarakat lapis bawah. Sedangkan bindarah (keturunan kiai atau gus dalam istilah

Jawa) sebagai kelompok masyarakat lapis menengah.

Selanjutnya, jika sistem stratifikasi sosial dikaitkan dengan jenis tingkatan

bahasa (dag-ondagga basa) yang digunakan oleh masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu

atau dalam bahasa Madura ada lima tingkatan; yaitu, bahasa keraton, misalnya abdi

dalem (saya), dan junan dalem (kamu), bahasa tinggi (abdina dan panjenengan), bahasa

halus (kaula dan sampeyan), bahasa menengah (bule dan dika), dan bahasa kasar atau

mapas (sengko' dan ba'na).53 Dengan tingkatan dalam linguistik, bukan hanya menunjuk

sebagai perbedaan bahasa tetapi lebih kepada kepunyaan relasi yang sangat erat dengan

status sosial seseorang dalam sistem stratifikasi sosial, baik achieved status atau ascribed

status. Kesalahan masyarakat dalam menerapkan bentuk tingkatan bahasa ketika

berkomunikasi dalam kehidupan kesehariannya bukan hanya kesalahan linguistik

tetapi juga sebagai kesalahan sosial. Bahkan kesalahan tersebut secara kultural,

52
Abdurrachman., Op. Cit, hlm. 5
53
A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 48-49

146
Perilaku Homoseksual di PonPes

terutama dalam penerapan bahasa mapas yang tidak sesuai, akan dikecam karena

dinilai sebagai perilaku yang janggal (tidak mempunyai sopan santun). Sebaliknya

dengan menggunakan bahasa abasa maka orang tersebut termanifestasikan sebagai

seseorang yang mencerminkan perilaku yang mempunyai etika sopan santun. Setiap

masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu secara sosial kultural selalu dituntut untuk

bersikap dan berperilaku sopan (andap asor) dengan cara menggunakan basa yang halus

atau bahkan tinggi. Namun tuntutan sosial kultural tersebut tidak selalu dapat

diaktualisasikan secara konsisten dalam kehidupan keseharian terutama ketika mereka

sedang berkonflik. Sehingga mereka seringkali gagal mencapai rekonsiliasi dikarenakan

konfliknya yang selalu cenderung diselesaikan dengan cara kekerasan, seperti carok dan

menggunakan bahasa mapas.54

Sedangkan pada sistem ikatan kekerabatan masyarakat Gilir-gilir dan Parendu

terbentuk melalui keturunan dari keluarga yang berdasarkan garis keturunan ayah dan

ibu (paternal and maternal relatives). Tetapi, pada umumnya ikatan kekerabatan sesama

anggota keluarga akan lebih erat dari garis keturunan ayah sehingga cenderung lebih

mendominasi. Dalam konsep kekerabatan masyarakat Gilir-gilir dan Parendu,

hubungan persaudaraan mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations)

dan ke bawah (descending generations) dari ego.55 Generasi paling atas disebut garubuk

54
Ibid., hlm. 50-51
55
Tingkatan generasi dalam kekerabatan masyarakat Gilir-gilir dan Parendu, dari atas ke bawah
tersebut, yaitu: garubuk (orang tua juju'/enju'), juju'/enju' (orang tua dari kakek/nenek), kae/agung/emba

147
Perilaku Homoseksual di PonPes

(orang tua juju'), sedangkan generasi paling bawah disebut kareppek (anak dari cicit).

Selain itu, kekerabatan yang dikarenakan ikatan pernikahan masyarakat Gilir-gilir dan

Parendu mereka menyebutnya dengan istilah taretan ereng (saudara samping). Oleh

karena itu, selain majadi' (saudara dari ayah/ibu) juga dikenal majadi' ereng (saudara dari

ayah/ibu mertua), majadi' sapopo (saudara sepupu dari ayah/ibu), dan majadi' sapopo

ereng (saudara sepupu ayah/ibu mertua). Sedangkan saudara kandung (baik adik/kakak)

dari istri atau suami disebut epar. Orang tua istri atau suami disebut mattowa, yang

terdiri dari mattowa lake' (ayah mertua), dan mattowa bine' (ibu mertua).56 Sedangkan,

dalam sistem kekerabatannya dikenal tiga kategori sanak keluarga, yaitu taretan dalem

(kerabat inti), taretan semma' (kerabat dekat), dan taretan jau (kerabat jauh). Di luar

ketiga kategori tersebut disebut sebagai oreng luwar (orang luar/bukan saudara).

Untuk menjaga keakraban antarsesama kerabat dilakukan melalui berbagai

aktivitas-aktivitas sosial, seperti saling mengunjungi baik ketika dalam suasana senang

(perhelatan acara, kelahiran, pertunangan, pernikahan, dan lain sebagainya) atau dalam

suasana duka (kematian, sakit, terkena musibah, dan lain sebagainya).

Secara gender, masyarakat desa Gilir-gilir dan desa Parendu mengakui adanya

tiga jenis kelamin dalam masyarakatnya, yakni lalake' (laki-laki), bendu (banci), dan

bebine' (perempuan). Namun berbeda dengan masyarakat yang lain pada umumnya,

masyarakat Gilir-gilir dan Parendu atau bahkan Sumenep secara keseluruhan lebih

(kakek atau nenek), eppa'/ebbu'/rama/emma' (ayah/ibu), ego, ana' (anak), kompoy (cucu), peyo' (cicit), dan
kareppek (anak dari cicit).
56
Ibid., hlm. 51-53

148
Perilaku Homoseksual di PonPes

menghargai para bendu-bendu yang ada di wilayahnya. Bahkan mereka menganggapnya

sebagai bagian dari komunitas masyarakat yang mendapatkan hak-haknya sebagai

masyarakat lainnya. Ada tiga makna yang ada di masyarakat tentang kategori bendu.

Pertama, bendu adalah mereka yang tidak kawin sampai usia sangat tua (khusus laki-

laki), karena dianggap tidak ereksi alat vitalnya. Kedua, bendu yang mencari kepuasan

ke sesama laki-laki tapi dengan tidak dibayar malah mereka yang membayar untuk

mencari kepuasan. Terakhir, adalah bendu-bendu yang mecari kepuasan ke sesama laki-

laki namun dengan dibayar atau dengan kata lain bendu-bendu ini menjual diri.

Sebagaimana yang dituturkan oleh Citra57 (bendu yang bekerja di Depan Masjid Jamik

Sumenep):

" Sengko' la mulai taon 1996 badha e Sumenep, soalla Sumenep


masyarakatte lebih baik, lebih narima ban lebur eajak akedhe'.
Bedhe moso e Sampang engko' lako ecokoco, ehina, ban elarang
alako moso pamarentah e Sampang."

"Saya sudah mulai tahun 1996 berada di Sumenep, karena


masyarakat Sumenep sangat baik, bisa nerima dan bisa diajak
guyonan. Berbeda dengan Sampang saya selalu dikerjain, dihina,
dan dilarang bekerja sama pemerintahannya.".

57
Citra adalah nama panggilan dia atau nama akrabnya, sedangkan nama aslinya adalah
Muhammad Slamet, yang lahir di Sampang dan sudah lebih dari tujuh tahun pindah ke Sumenep,
sebagaimana yang dia perlihatkan di KTPnya, Taman Bunga Sumenep, tanggal 10 Desember 2005

149
Perilaku Homoseksual di PonPes

B. Homogenitas Ponpes Al-Amanah Masyarakat Parendu58

b.1. Sejarah Singkat Pondok Pesantren

Pendirian pondok pesantren Al-Amanah, bermula pada sekitar tahun 1899,

ketika kiai Chotib, kakek dari para pengasuh pondok pesantren Al-Amanah sekarang,

mulai membangun langgar kecil di desa Parendu. Beliau meneruskan usaha adik

iparnya kiai Sharqawi yang hijrah ke Gilir-gilir dan membangun pondok pesantren An-

Naqiyah di Gilir-gilir, setelah kurang lebih 14 tahun lamanya membina masyarakat

Parendu untuk memenuhi amanat sahabatnya, kiai Gemma yang wafat di Mekkah.

Langgar kecil ini kemudian lebih dikenal dengan nama Congkop. Dari Congkop inilah

sebenarnya cikal bakal pondok pesantren Al-Amanah Parendu dengan kiai Chotib

sebagai perintis pendirinya.

Pada tanggal 2 Agustus 1930, kiai Chotib wafat. Maka usaha dalam lapangan

pendidikan ini dilanjutkan oleh putra-putranya, terutama kiai Mukri dan kiai Djauhari,

dengan menambah beberapa kegiatan, seperti Majlis Taklim, pengajian-pengajan dan

bahkan mendirikan madrasah dengan nama Nahdhatul Wa'idhien pada tahun1931,

kemudian mendirikan Mathlabul Ulum pada tahun 1934. Madrasah Mathlabul Ulum

yang barangkali merupakan lembaga pendidikan dengan sistem klasikal yang pertama

kali ada di Madura ini terus bertahan dan bertahan sampai sekarang.59

58
Data ini didapat dari berbagai referensi yang telah diterbitkan, dan wawancara dengan
direktur pondok pesantren Al-Amanah, kiai Ridwan, dan Wiroduddin ketua pusat studi Islam Al-
Amanah, serta beberapa ustadz, dan santri antara tanggal 10 Oktober 2005-Januari 2006
59
Muhammad Idris Jauhari., t.t, Sekilas Tentang Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep:
t.n.p, hlm. 1-3

150
Perilaku Homoseksual di PonPes

Dan pada tanggal 10 November 1952, kiai Djauhari, yakni putra kiai Chatib

atau ayah dari para pengasuh pondok pesantren Al-Amanah yang sekarang, mulai

merintis untuk mendirikan lembaga pendidikan yang benar-benar berbentuk sebuah

pondok pesantren yang berlokasi di Congkop tersebut dan diberi nama pondok

pesantren Tegal. Berawal dari pondok pesantren inilah maka berkembang kemudian

pondok pesantren Al-Amanah Parendu. Oleh karena itu, maka tanggal tersebut secara

resmi ditetapkan sebagai tanggal berdirinya pondok pesantren Al-Amanah Parendu

dan kiai Djauhari sebagai pendirinya.

Selain itu, pondok pesantren Al-Amanah juga merupakan lembaga pendidikan

tingkat menengah yang paling tua di lingkungan pondok pesantren Al-Amanah

Parendu, setelah Madrasah Diniyah Awaliyah yang sudah berdiri sejak awal berdirinya

pondok pesantren ini, yakni pada tanggal 10 November 1952, dan Madrasah

Ibtidaiyah atau Madrasah Wajib Belajar yang didirikan pada awal tahun 1957.

Dengan bentuknya yang masih sederhana, pondok pesantren Al-Amanah yang

telah dirintis pendiriannnya sejak pertengahan tahun 1959 oleh kiai Djauhari. Pondok

pesantren ini diilhami oleh sistem pendidikan yang ada di Kulliyatul Mu'allimien al-

Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor, yang memang sangat dikaguminya, sehingga

seluruh putra-putranya dikirim untuk nyatri di pondok pesantren tersebut, bersama

keponakannya, cucu-cucunya, dan termasuk santri-santrinya.60

60
Muhammad Idris Djauhari., t.t, TMI: Tarbiyatul Mu'allimien Al-Islamiyah, Apa, Siapa, Mana,
Kapan, Bagaimana, dan….Mengapa?, Sumenep: t.n.p, hlm. 1

151
Perilaku Homoseksual di PonPes

Namun hanya 19 tahun kiai Djauhari memimpin pondok pesantren tersebut,

yang mengalami perkembangan tidak terlalu signifikan. Hal ini dikarenakan

meninggalnya kiai Djauhari pada tanggal 11 Juni 1971. Sejak sa'at itu, maka

kepemimpinan pondok pesantren beralih tangan ke putra-putranya. Setelah dilakukan

berbagai perubahan secara mendalam dengan cara melihat atau mencontoh pondok

pesantren yang besar yang ada di Jawa Timur, yang dipimpin oleh sebuah tim yang

diketuai oleh putra tertua kiai Djauhari sendiri, yakni kiai Abd. Rahman 61 Namun

pelaksanaan ide ini diserahkan kepada kiai Ridwan, putranya yang ketiga, karena kiai

Abd. Rahman melaksanakan studinya serta mencari berbagai pengalaman di Rabithah

Alam Islami di Mekkah. Maka kiai Ridwan mulai melakukan berbagai inovasi dan

berbagai reformasi dari berbagai hasil yang didapatnya seusai melihat dan mencontoh

pondok pesantren besar yang ada di Jawa Timur, terutama pondok pesantren Modern

Gontor dan bahkan meminta do'a restu kepada kiai Ahmad Sahal dan kiai Imam

Zarkasyi Gontor, seperti membuka lokasi baru seluas 6 ha untuk pondok pesantren

putra dan 2 ha untuk pondok pesantren putri yang terletak sekitar 2 km di sebelah

lokasi lama, menginovasi Al-Amanah putra dengan nama Tarbiyatul Muta'allimin,,

mengembangkan pondok pesantren Tegal, membenahi manajemen pendidikan,

memberi nama pondok pesantren Al-Amanah Parendu, mendirikan Yayasan dengan

Biro-bironya, mempersiapkan kader-kader pelanjut, dan mendirikan berbagai lembaga

pendidikan putra dan putri, seperti, TK, MTs, MA, Tarbiyatul Muta’allimin Putri,

61
Anggota tersebut terdiri dari tiga orang, yakni kiai Abd. Rahman, kiai Ridwan, dan kiai Jamil.

152
Perilaku Homoseksual di PonPes

Pesantren Tinggi (Ma'had Aly), dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA), yang mulai

sekitar tahun 1971 sampai 1989.

Sejak melewati berbagai proses tersebut, maka pada hari Jum'at tanggal 3

Desember 1971, Tarbiyatul Muta’allimin (khusus putra) secara resmi didirikan oleh

kiai Ridwan, dengan menempati bangunan darurat milik penduduk sekitar pondok

pesantren. Sehingga tanggal inilah kemudian ditetapkan sebagai tanggal berdirinya

Tarbiyatul Muta’allimin Al-Amanah Parendu, yang lebih dikenal dengan pondok

pesantren Modern Al-Amanah Parendu dan sebagai pusat dari sentra pendidikan

pondok pesantren Al-Amanah. Di sinilah penulis melakukan penelitian dengan tujuan

untuk lebih memfokuskan studi yang dikaji.

Sedangkan Tarbiyatul Muta’allimin (khusus putri) atau dikenal juga dengan

nama Tarbiyatul Mu'allimaat, baru dibuka secara resmi 14 tahun kemudian, yaitu pada

tanggal 19 Juni 1985, yang dipimpin oleh nyai Aisiah Fatma (putri kiai Marhawi dan

istri kiai Abd. Rahman), yang pada sa'at itu masih bermukim di Mekkah bersama

seluruh keluarganya.

b.2. Perkembangannya Sampai Sekarang

Pondok pesantren Al-Amanah Parendu berpusat di desa Parendu, kecamatan

Perayaan, Kabupaten Sumenep Madura Jatim. Desa ini terletak di pinggir jalan raya

yang membelah pulau Madura bagian selatan, yaitu kurang lebih 30 km di sebelah

barat kota Sumenep, 22 km di sebelah timur kota Pamekasan, dan 130 km sebelah

153
Perilaku Homoseksual di PonPes

timur kota pelabuhan Kamal Bangkalan. Lokasi pondok pesantren Al-Amanah seluas

kurang lebih 20 ha saat ini, yang menyebar di desa Perayaan Laok dan desa Parendu.

Al-Amanah Parendu adalah lembaga yang berbentuk dan berjiwa pondok

pesantren yang bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwah, kaderisasi dan ekonomi

sekaligus menjadi Pusat Studi Islam, dengan mengembangkan sistem-sistem yang

inovatif. tetapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh (tradisi kesholehan). Pondok

pesantren ini merupakan lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada

salah satu bentuk golongan atau partai politik apapun. Meskipun ada indikasi pondok

pesantren ini berafiliasi secara politik ke Masyumi.62 Semua aset dan kekayaan pondok

pesantren Al-Amanah telah diwakafkan kepada umat Islam dan dikelola secara kolektif

oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut "Majelis Kiai". Untuk menjalankan tugas

sehari-hari, Majelis Kiai mendirikan sebuah yayasan yang memiliki badan hukum dan

telah terdaftar secara resmi pada kantor Pengadilan Negeri Sumenep.

Dalam perkembangannya ke depan, pondok pesantren Al-Amanah diharapkan

menjadi Lembaga Pendidikan, Dakwah, Kaderisasi dan Ekonomi, sekaligus menjadi

Pusat Studi Islam (PUSDILAM) antara lain:

• Potensial dan dapat dipercaya (al-qowiyy al-amien)

• Produktif dan bermanfaat (al-mutsmir an-nafi')

• Mandiri dan konsisten (al-watsiq bi nafsihi al-mustaqim)

62
Wawancara dengan Taufiqurrahman, kabupaten Pamekasan, tanggal 1 Desember 2005.
Penulis disertasi Otonomi Sistem Penyelenggaraan Sekolah (Studi Kasus pada Sekolah Muallimin di
Pondok Pesantren Al-Amanah, Universitas Negeri Malang, September 2003.

154
Perilaku Homoseksual di PonPes

• Bertahan dengan nilai-nilai lama, akomodatif terhadap unsur-unsur

baru (al-muhafidh alal qodimis sholeh wal akhidz bil jadidil ashlah)

• Mampu menyumbangkan konsep-konsep pemikiran yang Islami dalam

berbagai aspek, kepada lembaga atau perorangan yang

membutuhkannya.

• Berkembang dan abadi sampai hari kiamat.

Sehingga dari lembaga ini diharapkan lahir sumber daya manusia (SDM) yang

berupa:

• Individu-individu yang mendapat ridho dari Allah (rabbi radliya)

• Kepala keluarga sakinah yag menjadi pemimpin bergenerasi yang

bertakwa (imaman li al-muttaqin)

• Anggota masyarakat yang berkualitas imani, ilmi dan amali (khoiru

ummah).

• Pemimpin atau profesional yang memahami agama secara mendalam

(mutafaqqih fid dien) serta jujur, amanah, cerdas dan komunikatif.

Dari berbagai hal tersebut, maka pondok pesantren Al-Amanah menciptakan

empat program pokok untuk menjalankan berbagai program yang telah dibentuk.

Program pokok tersebut biasanya dikenal dengan istilah Al-Khutuwat al-Arba' atau catur

jangka. Yang meliputi, program pokok dalam bidang pendidikan dan pembudayaan,

155
Perilaku Homoseksual di PonPes

program pokok dalam bidang dakwah, program pokok dalam bidang kaderisasi, dan

program pokok dalam bidang ekonomi (dana dan sarana).

Program pokok dalam bidang pendidikan dan pembudayaan mengandung

unsur mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan pada sentra-sentra

pendidikan yang ada di lingkungan pondok pesantren Al-Amanah, yang meliputi:

• Pondok Tegal (khusus putra) berdiri tahun 1952

adalah sentra pendidikan yang tertua di lingkungan pondok

pesantren Al-Amanah. Sa'at ini mengelola lembaga-lembaga

pendidikan taman kanak-kanak (TK), madrasah ibtidaiyah (MI),

madrasah tsanawiyah (MTs), dan madrasah aliyah (MA), serta

madrasah diniyah khusus putra (MUDA).

• Tarbiyatul Mu'allimien (putra-putri) berdiri tahun 1971

adalah lembaga pendidikan tingkat menengah yang sepenuhnya

mempergunakan kurikulum pesantren. Ijazahnya sudah diakui oleh

berbagai perguruan tinggi manca negara dan disetarakan dengan

ijazah SMU dan MAN.

• Ma'had Banat (khusus putri) berdiri pada tahun 1975

adalah sentra pendidikan khusus putri yang mengelola MTs dan MA

serta madrasah diniyah (TIBDA).

• Ma'had Tahfidh Al-Qur'an (khusus putra) berdiri tahun 1992

156
Perilaku Homoseksual di PonPes

adalah lembaga pendidikan khusus untuk mencetak para huffadh

(penghafal al-Qur'an), dengan kurikulum lembaga formalnya SMP,

SMU, dan MAK yang dipadukan dengan pondok pesantren.

• Institut Dirosat Islamiyah (putra-putri) berdiri pada tahun 1983

adalah lembaga pendidikan tinggi program S1 yang mengelola tiga

fakultas dan enam jurusan, yaitu fakultas Dakwah, fakultas

Ushuluddin, dan fakultas Tarbiyah, yang sekarang berganti nama

menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA). Serta terbentuknya

program S2 (2004) dengan program studi Psikologi dan Tafsir Hadist.

Selain itu, juga mengelola Ma'had Aly I (pondok pesantren tinggi)

dengan program D2.

Selain itu mengandung juga unsur mendirikan dan mengembangkan lembaga-

lembaga pengkajian dan penelitian, antara lain; pusat pengembangan kurikulum

pesantren (koordinator guru master), pusat pengembangan bahasa, pusat jaringan

informasi terpadu (PJIT), koordinator majelis pembimbing organisasi putri

(koordinator MPO putri), koordinator majelis pembimbing gugus depan pramuka

(Kormabigus), dan himpunan wali santri per-sentra pendidikan (HIWARI).

Terakhir, yaitu melaksanakan dan mempertahankan prinsip-prinsip pendidikan

Al-Amanah Parendu di antaranya;

157
Perilaku Homoseksual di PonPes

* Yang paling ditekankan sejak dini di Al-Amanah adalah niat awal dalam belajar dan

mengajar yaitu semata-mata untuk ibadah kepada Allah SWT dan ittiba' (mengikuti)

sunnah Rasulullah SAW.

* Di Al-Amanah Parendu, pendidikan dan pembudayaan lebih dipentingkan daripada

pengajaran. Sehingga keteladanan dan disiplin menjadi urat nadi kehidupan sehari-

hari.

* Proses pendidikan di Al-Amanah dilaksanakan dengan lebih menekankan kepada

pendekatan individu, pendekatan klasikal dianggap sebagai sesuatu yang darurat.

* Para santri selalu diarahkan untuk beramal atas dasar ilmu dan mencari ilmu untuk

diamalkan.

* Pendidikan di Al-Amanah berorientasi pada pembekalan kompetensi-kompetensi

dasar bukan sekedar pada penguasaan materi saja.

* Arah pendidikan Al-Amanah adalah mencetak santri yang multitampil untuk hidup

berjasa, berkembang dan mandiri di tengah masyarakat.

* Manajemen pendidikan dilaksanakan berdasarkan pada konsep manajemen berbasis

lembaga (institution based management) dan konsep pendidikan berbasis masyarakat

(community based education).

Sedangkan program pokok di bidang dakwah antara lain:

1. Membina kaum dhuaffa' dan mushtadhaffin dalam sektor ekonomi, pendidikan, dan

kesehatan dengan menggali dan membantu mengembangkan potensi masyarakat

158
Perilaku Homoseksual di PonPes

dalam berbagai sektor dan bekerjasama dengan perorangan atau lembaga baik

negeri maupun swasta di dalam ataupun di luar negeri.

2. Mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga dakwah yang diperlukan antara

lain: lembaga pengabdian dan pengembangan masyarakat (LPPM), balai

pengobatan santri dan keluarga (BPSK), Baitul mal wat-tanwiel (BMT), pusat

konsultasi keluarga sakinah (PKKS), majelis taklim mingguan untuk bapak-bapak

dan ibu-ibu, forum remaja sekitar pondok (RESPON), forum anak-anak sekitar Al-

Amanah Parendu (ARSENAL).

3. Melaksanakan dan mempertahankan prinsip-prinsip dakwah Al-Amanah yaitu:

@ Dakwah harus dilaksanakan dalam rangka melanjutkan risalah yang telah

dirintis oleh para rasul baik secara substansial ataupun yang menyangkut

metode dan instrumen.

@ Dakwah ilal khoir (ke arah kebaikan ) yang dilaksanakan secara stimulan dengan

amar makruf nahi munkar, sebagai kewajiban setiap keluarga besar Al-Amanah

Parendu.

@ Dakwah ila Sabilil-Lah (ke jalan Allah) dilaksanakan dalam konteks Islam sebagai

rahmatan lil-alamin, dengan cara-cara yang sistematis, inovatif, manajerial, dan

kondisional.

@ Metode dakwah bil uswah was shubhah (dengan keteladanan dan komunikasi non

verbal) harus menjadi dasar utama dari metode-metode dakwah yang lain.

159
Perilaku Homoseksual di PonPes

Selain itu, program pokok dalam bidang kaderisasi meliputi:

1. Membina para ambituren alumni Al-Amanah, agar bisa melaksanakan falsafah

berjasa, berkembang, dan mandiri secara maksimal di tengah-tengah masyarakat

sesuai dengan profesinya masing-masing.

2. Bekerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan dalam mencetak kader-kader

yang handal dalam bidang kepemimpinan dan manajemen.

3. Mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga kaderisasi yang diperlukan,

antara lain: ikatan keluarga besar Al-Amanah Parendu (IKBAL), forum

kerjasama pimpinan pesantren alumni Al-Amanah Parendu (FK PPA), forum

silaturrahmi kiai-kiai pengasuh pondok, madrasah, masjid, dan musholla

(Forsika PM 3).

4. Melaksanakan dan mempertahankan prinsip-prinsip kaderisasi Al-Amanah

Parendu yaitu:

a. Kaderisasi di Al-Amanah Parendu pada hakikatnya merupakan

pendidikan dan pembinaan lanjutan bagi para santri, setelah keluar dari

lingkungan pondok.

b. Setiap santri, arbituren, dan alumni di Al-Amanah Parendu adalah

kader pondok dan umat yang harus dibina secara terus menerus, kapan

saja dan di manapun berada, terutama lewat korda IKBAL masing-

masing.

160
Perilaku Homoseksual di PonPes

c. Pembinaan kader-kader khusus dimaksudkan agar mereka mampu

memegang posisi kunci di tengah masyarakat lingkungan sebagai

munzirul-qoum yang mutaffaqih fid-din.

Lebih lanjut, kaderisasi khusus di lingkungan pondok pesantren Al-Amanah

Parendu harus dilaksanakan secara selektif, terarah, terus menerus sesuai dengan

kebutuhan yang ada baik terhadap masyarakat, pondok pesantren ataupun terhadap

dirinya sendiri dan keluarganya.

Yang terakhir, program pokok dalam bidang ekonomi (dana dan sarana) antara

lain:

1. Menggali dan mengembangkan potensi-potensi ekonomi baik secara internal

ataupun eksternal, bekerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya menggali

dana, memelihara sarana dan prasarana pondok yang sudah ada serta

melengkapi yang belum ada.

2. Mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga dalam bidang ekonomi,

dana dan sarana yang diperlukan antara lain; koperasi pondok pesantren

(kopontren), badan-badan usaha non kopontren (BUNK), pelaksana perluasan

dan pemeliharaan tanah wakaf (P3TW), pelaksana pengadaan dan

pemeliharaan sarana fisik (P3SF).

3. Melaksanakan dan mempertahankan prinsip-prinsip pengelolaan dana dan

sarana Al-Amanah yaitu: setiap dana apapun di Al-Amanah harus lewat proses

dan cara-cara yang halal dan legal, setiap rupiah dana yang masuk atau keluar

161
Perilaku Homoseksual di PonPes

harus dipertanggungjawabkan secara terbuka dengan jujur dan amanah, para

kiai dan guru di pondok pesantren Al-Amanah tidak boleh mengambil

keuntungan pribadi dari para santri (semuanya harus lewat koperasi), anggota

badan wakaf Majelis Kiai di Al-Amanah tidak boleh menggantungkan hidupnya

kepada pondok, hak milik pribadi, berupa apapun harus dipisahkan secara

eksplisit dari hak milik pondok.

Sedangkan dalam bidang struktur organisasi dan manajemen dalam pondok

pesantren Al-Amanah diurus dan dikelola secara kolektif oleh beberapa badan

pengurus yang terstruktur, sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Badan-badan

pengurus bekerja sesuai dengan prinsip manajemen yang modern, yakni efektif dan

efesien, namun tetap berpijak dan berbingkai pada visi, misi, dan landasan-landasan

yang digunakan oleh pondok pesantren Al-Amanah. Secara hirarki organisasi tersebut

bisa diuraikan sebagai berikut:

• Badan Wakaf atau Majelis Kiai (Majlis Risalah al-Ma'had)

Majelis kiai adalah badan tertinggi yang ada di lingkungan pondok

pesantren Al-Amanah. Badan inilah yang menentukan arah kebijakan

pondok pesantren baik ke dalam ataupun ke luar. Anggotanya terdiri

dari tujuh sampai sebelas kiai sepuh, dengan struktur organisasinya

terdiri dari ketua, wakil ketua, dan anggota-anggotanya. Ketua dan

wakil ketua berfungsi juga sebagai pengasuh (rais) dan wakil pengasuh

(naib rais) pondok pesantren Al-Amanah, anggota-anggotanya

162
Perilaku Homoseksual di PonPes

berfungsi sebagai direktur (mudir) di sentra-sentra pendidikan yang

ada. Sedangkan untuk menangani tugas pengasuhan santri putri

dalam kesehariannya, Majelis Kiai membentuk Dewan Pengasuh Putri,

yang terdiri dari nyai-nyai sepuh dan istri-istri anggota Majelis Kiai.

• Badan Pendamping Kiai (Majlis A'wan Ar-Riasah)

Badan ini merupakan pengurus yang berfungsi sebagai pendamping

Majelis Kiai dalam melaksanakan program pondok pesantren sehari-

hari. Anggotanya terdiri dari sebelas sampai lima belas kiai muda atau

ustadz-ustadz senior. Struktur organisasinya terdiri dari ketua, wakil

ketua, seketaris, bendahara, koordinator bidang (korbid) pendidikan,

korbid dakwah, korbid kaderisasi, dan korbid ekonomi. Seketaris dan

bendahara Majelis A'wan sekaligus berfungsi sebagai seketaris dan

bendahara pondok pesantren Al-Amanah Parendu.

• Yayasan Pondok Pesantren Al-Amanah Parendu (Muassasah Ma'had

Al-Amanah Al-Islami Parendu)

Yayasan ini berfungsi sebagai pelaksana harian seluruh program

pondok pesantren yang telah diprogramkan. Pengurusnya terdiri dari

tujuh belas sampai dua puluh lima guru-guru senior dan tokoh-tokoh

masyarakat, dengan struktur organisasinya terdiri dari; ketua, wakil

ketua, seketaris, bendahara, kepala biro (karo) pendidikan, karo

dakwah, karo kaderisasi, karo ekonomi, karo penelitian dan

163
Perilaku Homoseksual di PonPes

pengembangan, dan karo humas. Yayasan ini dibentuk oleh Majelis

Kiai dan bertanggung jawab langsung kepada Majelis Kiai.

• Lembaga-lembaga dan Unit-unit Usaha (Al-Ma'ahid wa Ulihdatul Amal).

Lembaga-lembaga dan unit-unit usaha ini sengaja dibentuk sebagai

penunjang untuk melaksanakan program-program pondok pesantren

secara maksimal. Yang terdiri dari lembaga pendidikan, lembaga

dakwah, lembaga kaderisasi, dan lembaga ekonomi. Seluruh lembaga

dan unit usaha tersebut memiliki stuktur keorganisasian, meliputi;

ketua, wakil ketua, bendahara dan bagian-bagian atau seksi-seksi

tertentu yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan lembaga terkait.

Pengurus lembaga dan unit usaha tersebut terdiri dari guru-guru,

santri-santri senior, dan profesional lainnya yang diperlukan.

Sedangkan departemen-departemen di bawah Organisasi Santri Tarbiyatul

Muta’allimin Al-Amanah (Organtri), mencakup dua puluh satu bagian, yang dibagi

menjadi dua bagian utama. Bagian pertama departemen-departemen yang ada dalam

organisasi kesantrian yakni; pertama, Departemen Ketertiban dan Kesejahteraan

Anggota (TIBRATA) yang meliputi, Bagian Keamanan (Bakam), Bagian Penerimaan

Tamu (Bapenta), Bagian Lingkungan Hidup (Balhi), Bagian Olahraga (Bagor), dan

Bagian Kesehatan dan Kesejahteraan (Bakesra). Kedua, Departemen Keilmuan dan

Ubudiyah (KILBUDIA) meliputi, Bagian Pengajaran dan Latihan (Baperlat), Bagian

Pembinaan Bahasa (Banansa), Bagian Perpustakaan (Bakpus), Bagian Penerangan

164
Perilaku Homoseksual di PonPes

(Bapena), Bagian Penerbitan (Baperbit), dan Bagian Ubudiyah atau Peribadatan

(Baperdat). Ketiga, Departemen Koperasi dan Kewiraswastaan (KOPWIRA) meliputi,

Unit Usaha Toko Serba Ada (Toserba), Unit Usaha Toko Buku dan ATK (Tobu), Unit

Usaha Koperasi Dapur (Kopda), Unit Usaha Warung Santri (Wasis), dan Unit Jasa

(Unjas). Keempat, Departemen Pramuka, Kesenian, dan Keterampilan (PRASETRAM),

meliputi, Bagian Latihan Pramuka (Balatpram), Bagian Perlengkapan Pramuka

(Bakepram), Bagian Kesenian (Baseni), Bagian Pengembangan Bakat dan Kreativitas

(Bapentas), dan Bagian Keterampilan (Baketram).

Bagian Kedua, kelompok-kelompok santri, yang terbagi menjadi kelompok

wajib dan kelompok pilihan. Kelompok wajib terdiri dari, Kelompok Kelas (Shof) yang

dibimbing oleh wali kelas,63 Kelompok Kamar (Rayon) yang dibimbing oleh Musyrif

Sakan, 64 Kelompok Daerah (Konsulat) yang dibimbing oleh Muroqib Konsulat, 65

63
Kelas-kelas ini terdiri dari; Kelas Syu'bah Tamhidiyah, Kelas Syu'bah I'dadiyah, Kelas 1
Reguler, Kelas 1 Intensif, Kelas 2 Reguler, Kelas 3 Reguler, Kelas 3 Intensif, Kelas 4 Reguler, Kelas 5
Reguler, Kelas 5 Intensif, Kelas 6 Reguler, dan Kelas 6 Intensif. Kelas Reguler adalah santri yang mulai
mondok sejak lulus SD atau MI, sedangkan Kelas Intensif adalah bagi santri yang sudah lulus MTs atau
SMP dan MA atau SMU.
64
Rayon tersebut terdiri dari Rayon Singor Baru, Rayon Syabab Baru, Rayon Singor Lama,
Rayon Syabab Lama, Rayon Kibar Lama, dan Rayon Pengurus Organtri. Setiap santri baru dan lama
dipisah tempatnya atau rayonnya, namun setiap tahun terjadi perubahan yang bergilir antara satu santri
dengan santri lainnya dengan tujuan pengenalan.
65
Konsulat-konsulat tersebut meliputi; Daerah A (luar Jawa) terdiri dari, Sumatera Bagian
Utara, Sumatera Bagian Selatan, Kalimantan, Bali atau NTB, dan Indonesia Timur. Daerah B (Jawa
Bagian Barat dan Tengah) meliputi, DKI Jaya, Jawa Barat 1,2,3, dan Jawa Tengah serta Yogyakarta.
Daerah C (Jawa Timur) terdiri dari, Eks Karesidenan Surabaya dan Bojonegoro, Eks Karesidenan
Malang, Eks Karesidenan Kediri dan Madiun, Jember, Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso. Daerah
D (Madura) terdiri dari, Bangkalan 1, 2, 3, Sampang 1, 2, Pamekasan 1, 2, Sumenep 1, 2, 3, Prenduan
dan sekitarnya, serta Kepulauan. Dari banyaknya konsulat-konsulat yang ada di pondok pesantren Al-
Amien tersebut telah membuktikan bahwa Al-Amien adalah pondok pesantren dengan santri yang
sifatnya lebih plural ketimbang pondok pesantren An-Nuqayah.

165
Perilaku Homoseksual di PonPes

Kelompok Dapur dibimbing oleh Mulahidh Dapur dan Muroqib Konsulat,66 Kelompok

Tadarrus Al-Qur'an yang dibimbing oleh Guru-guru Al-Qur'an dan Wali Kelas, 67

Kelompok Muhadloroh atau Retorika yang dibimbing oleh Guru-guru Bahasa dan Wali

Kelas, 68 Kelompok Pramuka dibimbing oleh Staf MPO dan Mabigus, 69 Kelompok

Harosatul Ma'had dibimbing oleh Staf MPO dan Musyrif Sakan,70 Kelompok Ri'ayatul

Bi'ah yang dibimbing oleh Staf P3SF dan Musyrif Sakan.71 Sedangkan Kelompok pilihan

terdiri dari; Kelompok Keilmuan (Pengkajian dan Penelitian), Kelompok Bahasa dan

Retorika, Kelompok Jurnalistik, Kelompok Keterampilan, Kelompok Saka Pramuka,

66
Dapur ini terdiri dari Dapur Umum (Purum), Dapur Keluarga (Purga), Dapur Kafetaria
(Dakaf), dan Dapur Barokah (Purkah). Setiap santri wajib memilih untuk berlangganan setiap bulannya
di setiap dapur yang ada yang dipilih serta dibagi oleh para pembimbing. Pola langganan dapur ini
hampir sama dengan pola catering. Yang membedakannya hanyalah santri yang datang ke tempat dapur
untuk makan setiap waktu makan.
67
Kelompok Tadarrus Qur'an terdiri dari; Kelompok Mudorrobin (Terbimbing Perorangan),
Kelompok Muwajjahin (Terbimbing Kelompok), Kelompok Mudarribin (Pembimbing Perorangan),
Kelompok Muwajjihin (Pembimbing Kelompok), Kelompok Jam'iyatul Qurro', dan Kelompok Jam'iyatul
Huffadz. Kelompok-kelompok ini disesuaikan dengan ke-bisa-an membaca Al-Qur'an para santri.
68
Kelompok Muhadloroh tersebut di antaranya; Club Syu'bah Tamhidiyah, Club Syu'bah
I'dadiyah, Club Sighor Tsanawiyah, Club Syabab Tsanawiyah, Club Aliyah, dan Club Khusus.
Penentuan kelompok ini lebih dialamatkan kepada bisa tidaknya para santri membuat tulisan atau
bahan untuk pidato dengan tiga bahasa, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia, yang dibagi
dengan pembagian setiap masing-masing santri mendapat satu bagian pidato dengan salah satu bahasa
yang ditentukan.
69
Kelompok Pramuka terdiri dari; Pasukan Penggalang, Ambalan Penegak, Regu Khusus, dan
Sangga Khusus. Kegiatan Pramuka diwajibkan bagi setiap santri, namun ada kegiatan khusus untuk
menekuni ke-Pramuka-an lebih lanjut bagi para santri.
70
Kelompok Harosatul Ma'had terdiri dari; Kelompok Hurrosul Furoi'at (Hostelwatches),
Kelompok Hurrosul Makatib (Receptionist), Kelompok Hurrosul Masa' (Evening Watches), Kelompok
Hurrosul Lail (Midnight Watches), Kelompok Bawwab (Gatekeepers), dan Kelompok Khofair (Patrols or
Waker).
71
Kelompok Ri'ayatul Bi'ah terdiri; Kelompok Kunnasul Furoi'at (Hostel Cleaners), Kelompok
Kunnasul Manathiq (Zone Cleaners), Kelompok Kunnasul Makatib (Office Cleaners), Kelompok
Kunnasul Fushul (Class Cleaners), dan Kelompok Kunnasul Masjid (Mosque Cleaners).

166
Perilaku Homoseksual di PonPes

Kelompok Kesenian, 72 Kelompok Olahraga, Kelompok Seni Bela Diri, Kelompok

Kesehatan (BSR atau PMR), Kelompok Pecinta Lingkungan Hidup dan Kelompok

Satgas Bagian.

Lebih lanjut, pada perkembangannya pondok pesantren Al-Amanah sa'at ini

telah memiliki lima puluh orang yang bisa dijadikan sebagai sumber daya manusia

(SDM) pondok pesantren Al-Amanah, yang bekerja setiap waktu (full timer) dalam

berbagai bidang yang telah mewakafkan dirinya untuk berjuang dan berkhidmat

kepada pondok pesantren Al-Amanah. Berkomitmen, berwawasan, dan berkompetensi

untuk terus dibina dan dikembangkan secara sistematis dan konsisten dari waktu ke

waktu, baik dengan cara inservice training ataupun outservice training secara formal, non

formal ataupun informal. Kaderisasi kiai, manajer dan profesional-profesional lain di

bidangnya dilakukan bersamaan dengan program-program lainnya. Bahkan seringkali

dilakukan dengan langkah-langkah atau terobosan yang dapat memberikan solusi yang

sangat efektif untuk dapat mengatasi kebutuhan yang begitu mendesak. Begitu juga

dengan istrumen yang diperlukan, walaupun masih jauh dari kata cukup, tapi

instrumen pendidikan, dakwah, dan kaderisasi yang dimiliki pondok pesantren Al-

Amanah pada sa'at ini, baik instrumen fisik ataupun non fisik, kiranya sudah cukup

untuk dijadikan modal dasar bagi upaya untuk mengembangkan kerja dan kinerja

72
Kelompok pilihan Kesenian terdiri; Kelompok Qiro'at, Kelompok Kaligrafi atau Lukis,
Kelompok Leter dan Dekorasi, Kelompok Nasyid dan Diba', Kelompok Hadrah, Kelompok Musik
Kontemporer, Kelompok Sastra, dan Kelompok Teater.

167
Perilaku Homoseksual di PonPes

pondok pesantren di masa yang akan datang. Yang terpenting adalah menyikapi

instrumen sebagai instrumen dan substansi sebagai substansi.

Pada perkembangannya yang terakhir, pondok pesantren Al-Amanah sebagai

sebuah lembaga pendidikan dan kaderisasi, sejak awal tahun berdirinya telah

mengeluarkan beribu-ribu alumni dan kader yang sebagian dari mereka yang sudah

terjun ke tengah-tengah masyarakat dalam berbagai profesi dan bentuk pengabdian,

termasuk di dalamnya mendirikan dan membina pondok pesantren, yang pada tahun

ini telah berjumlah sebanyak 68 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sedangkan sebagian besar lainnya melanjutkan studinya di berbagai universitas, baik di

dalam negeri ataupun di luar negeri (terutama Al-Azhar Kairo), atau di berbagai

pondok pesantren di Indonesia. Sementara sebagai lembaga dakwah, pondok

pesantren Al-Amanah telah dirasakan manfaatnya oleh berbagai lapisan masyarakat,

terutama yang ada di Madura, dalam upaya mengentaskan mereka dari berbagai

belenggu-belenggu kebodohan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan, baik secara

fungsional maupun struktural.

Mereka yang pernah merasakan jasa pondok pesantren ini, seluruhnya

bergabung dalam satu wadah silaturrahim yang berbentuk paguyuban yang bernama

"Ikatan Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Amanah Parendu" atau seringkali disebut

dengan singkatan "IKBAL". IKBAL secara resmi didirikan pada tanggal 5 Januari 1997,

yang didirikan bertepatan dengan acara puncak peringatan dan kesyukuran 45 tahun

pondok pesantren Al-Amanah Parendu, yang secara organisatoris, diurus oleh sebuah

168
Perilaku Homoseksual di PonPes

badan pengurus yang disebut koordinator pusat (Korpus), dan koordinator daerah

(korda), yang sudah diresmikan berdirinya dan ada di hampir daerah-daerah yang ada

di Indonesia dan sebagian di luar negeri.

Sedangkan untuk mencapai desa Parendu atau Pondok Pesantren Al-Amanah

hanya menggunakan satu jalur utama, yakni jalur antara Sumenep menuju Surabaya,

dengan jarak tempuh kurang lebih 30 Km, dengan menggunakan kendaraan bermotor

(colt) yang sama untuk menuju ke desa Gilir-gilir, atau kendaran bermotor yang

menuju ke Pamekasan, bisa juga menggunakan bus yang menuju ke Surabaya.

b.3. Kehidupan Keseharian dan Bentuk Peraturan terhadap Santri

Begitu melihat kehidupan keseharian para santri yang ada di Al-Amanah, maka

kita akan melihat kehidupan santri yang menunjukkan kedisiplinan, ketakutan akan

peraturan, serta permusuhan antarsantri untuk melaporkan santri lain yang melanggar,

dan keistiqamahan dalam kesehariannya. Selain itu kehidupan para santri juga

diharuskan untuk berjalan dalam lingkup ketuhanan sebab Allah telah menggariskan

semua itu dengan jelas dan tidak bisa ditawar-tawar. Realitas ketuhanan pada

hakikatnya adalah kesejahteraan bagi manusia itu sendiri dan ketika manusia keluar

dari jalur tersebut berarti ia keluar dari jalur kemanusiaannya. Dengan demikian

keseharian manusia akan terus terkontrol. Dalam rangka tersebut, di pondok

pesantren Al-Amanah dengan jelas dan pasti, keseharian santrinya harus mengikuti

sunnah yang ada, agar ia menjadi muslim sejati dan tidak seenaknya bertindak sehingga

kesalahpahaman antarsantri bisa teratasi.

169
Perilaku Homoseksual di PonPes

Secara garis besar kegiatan di Al-Amanah terdiri dari tiga jenis:73

1. Kegiatan yang mencerminkan layaknya dalam rumah, keluarga, tetangga seperti

kegiatan di kamar, rayon, kamar mandi, dapur, ruang tamu dan tempat-tempat

belajar mandiri.

2. Kegiatan yang mencerminkan kegiatan di sekolah bersama guru dan kawan-kawan,

seperti kegiatan di kelas, perpustakaan, laboratorium dan tempat-tempat lain di

lingkungan sekolah.

3. Kegiatan yang mencerminkan kehidupan di masyarakat luas, seperti kegiatan di

kantin, masjid, mushalla, kantor, BPSK (Balai Pengobatan Santri dan Keluarga), di

jalan-jalan dan di tempat lainnya.

Semua itu harus berjalan sesuai dengan sunnah atau tradisi yang berjalan secara

otomatis, tanpa harus ada peraturan atau tata tertib tertulis sebab pendidikan pada

hakikatnya adalah pewarisan nilai, pembentukan watak, pembudayaan dan

pembekalan keterampilan-keterampilan hidup, bukan hanya penguasaan teori-teori

seperti yang berjalan sekarang ini.

Rayon yang terdiri dari kamar-kamar adalah awal dari pendidikan di Al-

Amanah dimulai, sebab rayon atau kamar merupakan tempat berkumpulnya para

santri yang berawal dari sanalah para santri bergaul dan mencari jati diri sehingga

73
"Wasilah (Waraqah SanawIyah Li Akhir ad-dirosaH), Media Informasi Tahunan dan
Komunikasi Antar Keluarga", Tarbiyatul Mu'allimien Al-Islamiyah TMI (Putra-Putri), Pondok Pesantren
Al-Amien Prenduan Tahun Ajaran 1425-1426 H (2004-2005 M), hlm. 16

170
Perilaku Homoseksual di PonPes

kepribadiannya banyak terbentuk. Rayon-rayon di Al-Amanah disesuaikan dengan

klasifikasi kelas yang terdiri dari rayon sighor74, syabab75 dan kibar.76

Suasana kehidupan di luar kamar bagi santri mempunyai andil yang signifikan

dalam pembentukan kepribadiannya. Di sinilah mereka membangun interaksi sosial

dengan sesamanya, dari bagaimana bersikap, menghargai dan membangun sikap

toleransi bersama orang lain. Situasi seperti inilah yang kemudian melahirkan sikap

memahami dan mengasihi antarsantri. Meskipun suasana antarsantri sangat nampak

kekauan dan intimidasi dalam interkasi kesehariannya.

Sedangkan kamar diibaratkan miniatur kecil dari sebuah kehidupan keluarga.

Karena alasan inilah maka proses mu'amalah ma'al bi'ah di Al-Amanah di mulai dari

kamar. Di sinilah para santri berproses mencintai lingkungan sekitarnya. Dimulai dari

bagaimana ia menjaga kebersihan kamar, lingkungan rayon, kamar mandi serta

bagaimana menjadikan lingkungan kamar dan sekitarnya sebagai lingkungan yang

hijau dan asri.

Dengan demikian agar proses ini berjalan lancar, di masing-masing kamar

ditetapkan petugas kebersihan yang bekerja secara bergantian seminggu sekali dengan

jadwal khusus di bawah tanggungjawab fasilitator kamar dan musyrif hujroh. Walau

demikian, kebersihan kamar tetap menjadi tanggungjawab anggota kamar yang

74
Rayon Shigor dihuni oleh santri kelas Syu'bah Tamhidi, kelas satu dan dua.
75
Rayon Syabab dihuni oleh santri kelas syu'bah I'dadi, kelas satu intensif dan kelas tiga
76
Rayon kibar dihuni oleh santri kelas tiga intensif dan kelas empat, khusus kelas lima disebar
ke rayon-rayon yang ada sebagai pembimbing dan pembantu para guru dan kiai di pondok atau yang
sering disebut sebagai muallim, sedangkan kelas enam difokuskan pada satu rayon demi lancarnya nilai
nihaiyah.

171
Perilaku Homoseksual di PonPes

bersangkutan tanpa terkecuali. Bagi pondok pesantren Al-Amanah, kebersihan kamar

adalah cermin awal untuk melihat sejauh mana para santri mencintai lingkungannya.

Untuk menciptakan stimulan agar masing-masing rayon selalu menjaga

kebersihan dan kelestarian lingkungan rayonnya, maka setiap satu tahun sekali

diadakan lomba kebersihan antarrayon. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan menjelang

hari raya Idul Adha. Selain itu, para santri di setiap kamar yang ada di rayon pondok

pesantren Al-Amanah dihuni sebanyak 6-10 orang, dengan fasilitas lemari, untuk tidur

setiap santri diwajibkan untuk membawa kasur, bantal, dan guling sendiri, serta di

kamar masing-masing dengan memakai celana dan kaos dimasukkan ke dalamnya.

Sedangkan kehidupan keseharian di luar kamar meliputi kegiatan di masjid,

dapur, kelas, sarana-sarana umum seperti wartel, kantin, kantor-kantor, kamar mandi

dan lain sebagainya. Para santri dibiasakan untuk mengikuti aturan-aturan yang

berlangsung di lokasi-lokasi tersebut secara mekanis dan spontan. Dari kehidupan di

luar kamar inilah para santri dilatih hidup sopan dan santun, baik kepada teman

sebayanya atau kepada kakak-kakaknya. Dari sini pulalah, santri hidup bermasyarakat

dalam arti luas. Seperti bagaimana membangun toleransi, rasa tepo seliro (tenggang rasa),

gotong royong, tolong menolong dalam kebajikan dan sebagainya. Sehingga kelak

dalam masyarakat, budaya-budaya yang telah diterapkan oleh pondok dapat diciptakan

di masyarakat.

Sementara itu salah satu ciri khas pendidikan yang konsisten diajarkan di Al-

Amanah adalah keterampilan dalam memimpin dan memanajemeni manusia.

172
Perilaku Homoseksual di PonPes

Pendididikan ini mendapatkan porsi perhatian yang demikian besar dari seluruh

fungsionaris pondok, karena dianggap sangat berpengaruh sekali terhadap kecakapan

santri dalam berinteraksi di tengah-tengah masyarakat.

Hal ini bisa terlihat jelas dari praktek kepemimpinan dan manajemen di Al-

Amanah yang sudah dimulai sejak dini, yaitu ketika beberapa santri terpilih sebagai

ketua kelas dan ketua kelompok santri. Sehingga untuk menjadi pemimpin yang baik

tentu harus dibarengi dengan kemampuan manajemen sebagai penunjang terhadap

kualitas kepemimpinannya. Dengan modal ini diharapkan mereka akan mampu

mengaplikasikan prinsip-prinsip kepemimpinan yang ideal sebagaimana yang diajarkan

Nabi Muhammad ataupun teori-teori kepemimpinan modern. Atas dasar ini, maka

semua santri harus menguasai semua teori-teori dengan baik berikut prakteknya secara

langsung di tengah-tengah santri, guru-guru, dan kiai.

Dalam kehidupan sehari-hari, para santri didorong untuk selalu belajar,

berlatih dan berdoa secara cerdas, sungguh-sungguh dan istiqamah. Sehingga pada

akhirnya mereka benar-benar memahami materi yang diajarkan dan menguasai

kompetensi dasar yang diperlukan untuk membuatnya berproses menjadi ilmu nafi'

atau ilmu yang fungsional.

Dalam kesehariannya pondok pesantren Al-Amanah membedakan kewajiban

antara santri lama dengan santri baru, bahkan antara santri Kibar dengan santri yang

masih Syabab dan Sighor. Hal ini tercermin dengan peraturan-peraturan yang berlaku

173
Perilaku Homoseksual di PonPes

bagi mereka. Peraturan tersebut berlaku mulai dari satu jam sebelum subuh sampai jam

21.00 malam waktu tidur bahkan tidurpun diberlakukan peraturan bagi para santri.

Satu jam sebelum subuh, masjid jamik Al-Amanah sudah diwajibkan untuk ber-

tarkhim, dan sepuluh menit kemudian bagi para santri Kibar sudah diwajibkan untuk

bangun tidur atau qiyamul lail dengan sholat Tahajjud. Sedangkan untuk para santri

Syabab dan Sighor baru dibangunkan sejak tiga puluh menit sebelum waktu subuh. Hal

ini berlaku untuk para santri lama. Santri baru diwajibkan untuk bangun sejak lima

belas menit sebelum waktu subuh. Dengan demikian semua santri di pondok

pesantren Al-Amanah diwajibkan untuk sholat subuh berjama'ah bahkan sholat lima

waktu.

Sesudah sholat subuh bagi santri lama diwajibkan untuk mengikuti pengkajian

Kutubut Turost yang diadakan per-kelas (Komdas B), sedangkan untuk santri baru

diharuskan untuk mengikuti Tazwidul Mufradat yang diadakan per-kamar. Setelah itu,

mulai jam 05.45-06.45 diadakan acara pilihan (olahraga, kerja lingkungan, kerja

Organtri, dan mandi) bagi semua santri termasuk santri lama maupun santri baru. Jam

06.45-07.15 para santri diwajibkan untuk makan di setiap dapur yang telah ditentukan

dengan siap-siap untuk masuk sekolah. Sedangkan jam 07.15-07.30 apel pagi di depan

kelas masing-masing.

Mulai jam 07.30-10.25 setiap santri baik baru ataupun lama belajar formal di

kelas masing-masing (jam sekolah I-IV). Jam 10.25-12.00 belajar formal di kelas bagi

santri lama (jam sekolah V-VI), sedangkan santri baru diwajibkan untuk mengikuti

174
Perilaku Homoseksual di PonPes

bimbingan ibadah dan sholat Dhuhur berjama'ah. Jam 12.00-13.00 sholat Dhuhur

berjama'ah dan makan siang bagi para santri lama, santri baru makan siang dan siap-

siap untuk masuk kelas. Mulai jam 13.00-13.15 diadakan apel siang di depan rayon

masing-masing santri baik lama ataupun baru.

Jam 13.15-14.15 santri lama diwajibkan untuk mengikuti acara-acara pilihan

yang termasuk dalam Kompil A (kursus-kursus dan otodidak), sedangkan santri baru

diwajibkan untuk mengikuti kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris. Setelah jam 14.15-

waktu sholat Ashar semua santri diwajibkan untuk beri'tikaf di masjid dan sholat Ashar

berjama'ah. Sedangkan setelah selesai sholat Ashar semua santri mengikuti acara

pilihan sesuai dengan pilihannya masing-masing yang termasuk dalam Komdas B

(olahraga, kerja lingkungan, kerja Ogantri, dan mandi) selesai sampai jam 16.30, yakni

waktunya untuk ke masjid.

Tiga puluh menit sebelum waktu sholat Maghrib semua santri diwajibkan

untuk mengikuti apel sore, tazwidzat, tahsinan, dan sholat Maghrib berjama'ah. Setelah

habis sholat Maghrib semua santri diwajibkan untuk mengikuti tadarrus muwajjah dan

sholat Isya' berjama'ah. Sesudah sholat Isya' semua santri diperbolehkan untuk makan

malam, dan belajar muwajjah atau otodidak sampai jam 20.30. Jam 20.30-20.45

diadakan apel malam di depan rayon masing-masing (siap-siap untuk tidur). Jam 20.45-

21.30 diadakan renungan malam menjelang tidur, dan jam 21.00 semua santri

diwajibkan untuk tidur.

175
Perilaku Homoseksual di PonPes

Selain berbagai aktivitas rutinitas keseharian tersebut, setiap santri di pondok

pesantren Al-Amanah diwajibkan untuk memakai bahasa Arab dan bahasa Inggris

dalam berinteraksi sesama santri, guru, dan kiai dalam kesehariannya. Memakai kartu

identitas, bercelana dengan pakaian dimasukkan dan memakai sabuk, serta

menggunakan sarung dalam aktivitas religiusitasnya dengan cara dimasukkan dan

memakai sabuk adalah sebagian peraturan bagi para santri di Al-Amanah. Tidak boleh

merokok, tidak boleh keluar pondok tanpa izin dari ustdaz atau kiai, dan tidak boleh

memakai sarung ataupun training di sa'at tidur juga merupakan peraturan di Al-

Amanah. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk mendisiplinkan para santri dan

meminimalkan bentuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para santri.

Setiap santri yang melanggar segala peraturan akan dipanggil ke MPO sesa'at

sesudah sholat Maghrib, bagi mereka akan dikenai berbagai sanksi, di antaranya

kepalanya digundul bagi pelanggaran pertama yang berkategori berat, seperti keluar

pondok tanpa izin dan merokok. Disuruh membersihkan kamar mandi atau masjid

bagi yang pertama kali melanggar berinteraksi dengan bahasa selain bahasa Arab dan

bahasa Inggris atau melanggar waktu aktivitas yang telah ditentukan sebagaimana di

atas, serta diwajibkan bagi mereka untuk mencari santri-santri lainnya yang melanggar

sebanyak tiga orang. Bagi yang melanggar dengan kategori sangat berat seperti,

melakukan hubungan seksualitas (homoseksual), mencuri, dan melanggar pelanggaran

dengan kategori berat sebanyak tiga kali, akan diusir dari pondok pesantren yang

dibacakan setiap malam Jum'at habis sholat Isya'. Meskipun demikian, setiap

176
Perilaku Homoseksual di PonPes

kedisiplinan yang ada di pondok pesantren Al-Amanah ternyata terjelma berbagai

pelanggaran, seperti pencurian sandal, baju dan lain-lain. Hal ini memperlihatkan

bahwa pondok pesantren Al-Amanah merupakan pondok yang sangat ketat dalam

melaksanakan segala peraturannya yang diperuntukkan terhadap santri. Sebagaimana

yang terdapat di dalam data terakhir yang menunjukkan bahwa pada tahun 2005

terdapat 29 santri yang dikeluarkan dari pondok akibat persoalan kedisiplinan atau

melanggar peraturan pondok pesantren.77

b.4. Pola Pendidikan: Ponpes Modern78

Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam, Al-

Amanah berusaha mencetak santrinya agar menjadi seorang muslim yang khusu' dalam

beribadah serta dapat mengamalkan nilai-nilai ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk tujuan ini ada tiga hal pokok yang harus disadari oleh mereka. Pertama,

beribadah harus sesuai dengan kesadaran. Dalam sebuah hadist dikatakan, "Dua

raka'atnya orang alim lebih baik daripada 70 rakaat sholat orang bodoh". Orang yang

sholat dengan ilmu, mengetahui apa yang sedang dilakukan, mengetahui dengan siapa

77
Wawancara dengan ustadz Suaidi Makmun, Kepala Bidang Mahkamah, di pondok pesantren
Al-Amanah pada tanggal 20 Februari 2006
78
Pola pendidikan di pondok pesantren modern, yakni budaya keilmuannya yang berjalan
seiring dengan kebutuhan-kebutuhan modernitas, namun tetap didasarkan pada pendidikan keislaman.
Ilmu-ilmu umum atau sekuler dikenalkan kepada santri secara utuh sebagaimana ilmu-ilmu agama
dengan tujuan untuk memperkaya dan memperluas pola berpikir para santri. Selain itu, dalam
kesehariannya bahasa asing khususnya bahasa Inggris dijadikan bahasa kedua sesudah bahasa Arab
dalam interkasi sesame santrinya, gurunya, dan kiainya dengan mengabsahkan label pondok pesantren
modern. Abdurrahman Mas'ud., Loc. Cit.

177
Perilaku Homoseksual di PonPes

ia berhadapan, dan merasakan dengan siapa hatinya berbicara, niscaya akan betul-betul

merasakan hatinya beribadah.

Kedua, ibadah harus dianggap sebagai sebuah kebutuhan. Kebutuhan apabila

tidak terpenuhi maka akan menyebabkan keresahan dan rasa dahaga yang teramat

sangat. Seperti halnya kebutuhan makan dan minum, apabila tidak terpenuhi akan

mengakibatkan ketidakseimbangan dalam hidup. Ibadah yang dilakukan atas dasar

kebutuhan akan menumbuhkan motivasi, antusiasme dan semangat. Ibadah seperti ini

akan melahirkan cinta, maka cintalah yang membuat seseorang selalu tergetar hatinya.

Ketiga, ibadah harus dilakukan dengan ikhlas. Prinsip ini memiliki nilai yang

sangat esensial. Ibadah yang kosong dari keikhlasan yang diwarnai dengan riya' atau

tujuan lain selain Allah tidak akan diterima, bahkan di hari kiamat akan dicampakkan

kembali ke muka orang yang mengerjakannya.

Untuk tujuan ini, maka pondok pesantren Al-Amanah mengfokuskan

pendidikannya pada dua hal pokok. Pertama, pendidikan yang bersifat teoritis, di

mana para santri dididik dengan dasar-dasar akidah yang benar. Kedua, pendidikan

yang bersifat praktis yang berupa bimbingan ibadah dan amaliyah secara langsung.

Sehingga proses kehidupan keseharian santri di Al-Amanah berlangsung secara

non-stop selama 24 jam dalam satu program yang dikemas dalam Core & Integrated

Curriculum yang penuh dengan kegiatan Beribadah, Belajar, Berlatih dan Berprestasi (4

B). Selain itu, pola pendidikan di pondok pesantren Al-Amanah menggunakan pola

Kompetensi Dasar (Komdas) yakni kemampuan-kemampuan dasar untuk melakukan

178
Perilaku Homoseksual di PonPes

tafaqquh fid-din yang harus dikuasai benar-benar oleh seluruh santri Al-Amanah, tanpa

terkecuali. Sedangkan Kompetensi Pilihan (Kompil) adalah kemampuan-kemampuan

khusus yang harus dipilih oleh setiap santri sesuai dengan bakat, minat dan

kecenderungan masing-masing, agar dapat tampil lebih percaya diri dan lebih

profesional.

Secara garis besar Komdas dan Kompil tersebut terbagi menjadi dua kelompok.

Kelompok A. meliputi Al-Qur'an, Hadist-siroh, Akidah Akhlaq, Fikih, Bahasa Arab,

Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, MIPA, IPS, Ilmu Pendidikan, Perbandingan Agama

dan Riset-Jurnalistik. Kelompok B, mencakup Pendidikan Kebangsaan dan Kepanduan,

Pendidikan Kepesantrenan dan Kepemimpinan, Pendidikan Jasmani dan Kesenian,

Pendidikan Kewiraswastaan dan Keterampilan Vokasional serta Pendidikan Khusus

Keputrian.

Selain itu, para santri juga mempunyai buku catatan harian atau lebih dikenal

dengan Mufakkirah. 79 Dengan Mufakkirah diharapkan para santri mampu mengenal

dirinya dengan cara mencatat semua kegiatan keseharian mereka. Mufakkirah juga

berfungsi mencatat data-data pribadi sebagai bahan evaluasi bagi guru-guru dan

pengasuh dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Oleh karena itu, sejak

masuk Al-Amanah, para santri sudah dibiasakan dengan, bagaimana cara mengenal diri

79
Mufakkirah berisi kalender kerja santri, hobi dan catatan prestasi, perizinan, keuangan,
barang hak milik, kesehatan dan perawatan, pelanggaran, introspeksi mingguan dan catatan penting
lainnya.

179
Perilaku Homoseksual di PonPes

ini. Dengan kemampuan mengenal diri diharapkan pintu-pintu kesuksesan semakin

terbuka lebar bagi mereka.

Dengan demikian, maka ia akan mampu melaksanakan peranannya semaksimal

mungkin dengan totalitas kemampuan melaksanakan program yang telah digariskan

oleh pondok pesantren. Hal inilah yang dijadikan sebagai letak kunci kesuksesan

belajar di Al-Amanah, yaitu pada kemampuan menganalisa, mengidentifikasi dan

introspeksi diri.

Upaya mengasah potensi individu khususnya berkaitan dengan kecerdasan

intelektual juga diusahakan lewat berbagai kelompok keilmuwan dan penerbitan. Dari

sinilah kemudian lahir bibit-bibit intelektual muda, penulis, penerjemah, wartawan

dan berbagai profesi lainnya. Di antara potensi individu santri adalah bakat menjadi

wiraswasta. Menyadari hal ini, pondok pesantren Al-Amanah memberi kesempatan

kepada santri yang berbakat untuk mengelola dan memanajemeni beberapa unit usaha,

antara lain toko buku, toserba, unit jasa, wasis, dan koperasi dapur.

Di pondok pesantren Al-Amanah, seni diajarkan bukan semata-mata untuk

mengikuti perkembangan zaman, melainkan sebagai sarana untuk lebih mendekatkan

diri kepada Allah dan upaya mengasah potensi individu terutama yang berkaitan

dengan kecakapan emosional santri.

180
Perilaku Homoseksual di PonPes

Sedangkan jika dilihat dari jenjang pendidikannya pondok pesantren Al-

Amanah setingkat dengan MTs dan MA, dan kalau dilihat dari segi bahasanya setara

dengan pendidikan guru agama (PGA 6 tahun). Namun terdapat perbedaan antara

pondok pesantren Al-Amanah dengan lembaga pendidikan lainnya, di antaranya:

• Selain nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan pondok pesantren Al-

Amanah berlandaskan juga kepada nilai-nilai kepesantrenan dan

kejuangan.

• Seluruh tenaga edukatif dan administratif di pondok pesantren Al-

Amanah tidak ada yang digaji, kecuali sekedar mendapat dispensasi

dan fasilitas tertentu, seperti kesehatan, pendidikan, dan uang

bulanan dari santri yang makan di tempatnya, serta pengganti uang

transport bagi yang tidak mukim.

• Seluruh santri pondok pesantren Al-Amanah wajib mukim di dalam

pondok pesantren dalam suasana yang Islami, tarbawi, dan ma'hadi.

Demikian juga dengan guru-guru di pondok pesantren Al-Amanah

semuanya harus mukim, kecuali sebagian kecil dari mereka yang tidak

bisa mukim dengan adanya berbagai kendala, seperti mempunyai

keluarga.

• Sejak dini para santri di pondok pesantren Al-Amanah ditanamkan

pengertian yang sebenarnya tentang menuntut ilmu menurut

181
Perilaku Homoseksual di PonPes

pandangan Islam, terutama yang menyangkut motivasi atau niat awal

dalam mencari ilmu.

• Pendidikan dan pembudayaan lebih dipentingkan dari sekedar

pengajaran, sehingga keteladanan dan disiplin menjadi urat nadi

kehidupan sehari-hari santri.

• Proses pendidikan di Al-Amanah berlangsung secara terencana dan

terus-menerus selama 24 jam dengan pelaksanaan khusus pada upaya

tafaqquh fid dien (memperdalam pemahaman tentang agama), yaitu

dengan memberikan bekal dasar keulama'an, kepemimpinan, dan

keguruan, dalam rangka untuk mencetak kader-kader mundzirul qoum

(pemimpin umat).

• Tahun pelajaran baru di Al-Amanah dimulai pada bulan Syawal dan

berakhir pada bulan Sya'ban setiap tahunnya dengan sistem semester,

dan libur sebanyak dua kali dalam setahun (bulan Maulid dan

Ramadlan).

• Arah pendidikan di pondok pesantren Al-Amanah tidak semata-mata

bersifat vertikal (melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi),

namun juga mempersiapkan para santri untuk langsung terjun ke

dalam masyarakat dengan mengamalkan dan mengembangkan bekal-

182
Perilaku Homoseksual di PonPes

bekal dasar yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, tidak ada istilah

nganggur bagi alumni pondok pesantren Al-Amanah.

• Setelah menyelesaikan studinya di kelas VI dan sebelum melanjutkan

ke jenjang perguruan tinggi, para santri atau alumni wajib mengabdi

selama satu tahun di lembaga-lembaga pendidikan yang ditunjuk atau

dipilih, dengan observasi dan evaluasi secara terus-menerus dari Biro

Pembinaan Alumni pondok pesantren Al-Amanah.

Selain itu, sejak tahun 1982 ijazah pondok pesantren Al-Amanah telah

memperoleh pengakuan atau persamaan dengan sekolah menengah atas lainnya. Di

Negara-negara Islam di Timur Tengah, antara lain: Al-Jami'ah Al-Islamiyah Madinah

dengan SK No. 58/402 tertanggal 17/8/1982, Jami'ah Malik Abdil Azis (Jami'ah

Ummil Quro) Mekkah dengan SK No. 42 tertanggal 1/5/1982, Jami'ah Al-Azhar Cairo

dengan SK No. 42 tertanggal 25/3/1997, International Islamic University Islamabad

Pakistan dengan surat resmi tanggal 11 Juli 1988, dan Universitas Az-Zaytoun Tunisia

dengan surat resmi tertanggal 21 Maret 1994. Sedangkan di dalam negeri ijazah

pondok pesantren Al-Amanah mendapat pengakuan dari berbagai lembaga, di

antaranya: Pondok Modern Gontor (diakui setara dengan KMI Gontor) dengan SK No.

121/PM-A/III/1413 tertanggal 25 September 1992, Departemen Agama (setara

dengan MTsN dan MAN) dengan SK Dirjen Binbaga No. E.IV/PP.032/KEP/80/98

tertanggal 9 Desember 1998, dan Departemen Pendidikan Nasional (setara dengan

183
Perilaku Homoseksual di PonPes

SMUN) dengan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 106/0/2000 tertanggal 29 Juni

2000.

Sedangkan kurikulum pondok pesantren Al-Amanah Parendu bukan sekedar

menyangkut struktur program pengajaran di kelas atau luarnya, tetapi mencakup

seluruh aspek kehidupan para santri, guru-guru baik dalam menjalankan hubungan

dengan Allah ataupun hubungan dengan sesama manusia dan alam, baik aspek-aspek

individual maupun sosial.

Hal ini tercermin dari landasan institusional atau kelembagaannya yang

mencakup empat unsur, yaitu nilai-nilai dasar, visi dan misi, orientasi pendidikan, dan

falsafah atau motto pendidikan.80 Adapun nilai-nilai dasar tersebut meliputi, pertama,

nilai dasar keislaman, yakni akidah, syari'ah, akhlak, dan tradisi keilmuan, serta

kehikmahan, terutama pada zaman keemasan Islam. Kedua, nilai dasar keindonesiaan,

yakni Pancasila dan UUD 1945, UU No. 2 Th. 1979 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, UU lainnya yang terkait, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketiga, nilai dasar kepesantrenan, yakni pancajiwa pesantren (keikhlasan,

kesederhanaan, persaudaraan, kemandirian, dan kebebasan), sunnah-sunnah pesantren

yang positif dan konstruktif, dan falsafah "belajar untuk ibadah" (al-ilm an-nafi' dan al-

hikmah). Yang terakhir, nilai dasar kejuangan, yakni al-jihad, al-ijtihad, al-mujahadah, dan

80
Landasan institusional ini harus menjadi jiwa, sumber acuan dan bingkai kerja bagi input,
kurikulum, dan output pondok pesantren Al-Amanah.

184
Perilaku Homoseksual di PonPes

pengabdian terbaik, pengorbanan tanpa pamrih, kerja keras tanpa kenal lelah, serta

perjuangan li izzil islam wa muslimien (sebagai masyarakat muslim).

Dan visi pondok pesantren Al-Amanah adalah: mengimplementasikan

kewajiban ibadah kepada Allah. Visi ini harus tercermin dalam sifat dan sikap tawadlu',

tunduk, dan patuh sepenuhnya kepada Allah (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Serta

mengimplementasikan fungsi dan tugas khilafah (pemimpin) di bumi. Visi ini harus

tercermin dalam sifat dan sikap proaktif, inovatif, kreatif, dan eksploratif dalam

berbagai aspek kehidupan (Q.S. Al-Baqarah: 30).

Sementara itu misi utama yang dimiliki oleh pondok pesantren Al-Amanah ada

dua yaitu misi umum dan misi khusus. Misi umum mempunyai tujuan mencetak

pribadi-pribadi yang unggul dan berkualitas menuju terbentuknya khoiru ummah

(masyarakat terbaik) yang pernah tampil di atas panggung sejarah dunia (Q.S. Ali

Imron: 110). Sedangkan misi khusus memiliki tujuan mempersiapkan kader-kader

ulama' dan pemimpin umat; baik sebagai pakar, ilmuwan, akademisi, ataupun sebagai

praktisi yang mau dan mampu melaksanakan tugas indzarul qoum (pemimpin umat)

yaitu dakwah ila al-khair (dakwah kepada kebajikan), amar ma'ruf (perintah kebajikan)

dan nahi munkar (melarang kemunkaran) (Q.S. Ali Imron: 104 dan Q.S. At-Taubah:

122).

Sedangkan orientasi pendidikannya meliputi, orientasi kemasyarakatan

(pengabdian dan pengembangan), orientasi keulama'an dan kecendikiawanan, orientasi

185
Perilaku Homoseksual di PonPes

kepemimpinan dan orientasi keguruan (sebagai jiwa atau profesi). Selain itu, dalam

bidang falsafah dan motto pondok pesantren Al-Amanah meliputi empat bagian yaitu

falsafah dan motto kependidikan dan pembelajaran, falsafah dan motto

kemasyarakatan, falsafah dan motto keulama'an, kepemimpinan dan keguruan serta

falsafah dan motto kelembagaan.

Secara garis besar, materi atau subjek pendidikan di Al-Amanah meliputi 10

jenis pendidikan yaitu:

1. Pendidikan Keimanan

2. Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti

3. Pendidikan Kebangsaan atau Kewarganegaraan dan HAM

4. Pendidikan Keilmuwan dan Intelektualitas

5. Pendidikan Kesenian dan Keindahan

6. Pendidikan Keterampilan Teknis dan Kewiraswastaan

7. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan

8. Pendidikan Kepemimpinan dan Manajemen

9. Pendidikan Dakwah Kemasyarakatan

10. Pendidikan Keguruan dan Pendidikan (khusus untuk putri) Pendidikan Keputrian

(Tarbiyah Nasawiyah)

Untuk melaksanakan kesepuluh jenis pendidikan tersebut, maka disusun

program pendidikan yang dikemas dan dilaksanakan secara terpadu selama 24 jam

yang sulit dipisahkan atau dipilah-pilah. Namun untuk mempermudah

186
Perilaku Homoseksual di PonPes

pelaksanaannya, pengawasan dan evaluasinya, maka program-program tersebut

dikelompokkan menjadi 4 jenis kegiatan:

1. Program Intra Kurikuler (Al-Manhaj adz-Dzati)

a. Merupakan perpaduan yang integral antara kurikulum nasional dan muallimien.

b. Dikemas dalam bentuk garis-garis besar program pengajaran (GBPP) dan dijabarkan

dalam rencana induk proram pengajaran per-semester (RIPPS)

c. Dilaksanakan di pagi hari dalam bentuk KBM dalam kelas, praktek lapangan dan

laboratorium, latihan ekspresi 3 bahasa (Indonesia, Arab, dan Inggris), dan evaluasi

belajar berkala.

d. Di bawah tanggungjawab Kepsek, Kabid. Akademik dan Guru Master yang terkait.

e. GBPP dan RIPPS tersebut meliputi 4 kelompok bidang studi antara lain:

1.1. Ulum Tanziliyah (Dirosah Islamiyah), meliputi:81

1. Al-Qur'an wa Ulumuhu
2. Al-Hadist wa Ulumuhu
3. Al-Fiqhu wa Ushuluhu wa Muqoranatuhu
4. Al-Aqoid wa Al-Akhlak wat-Tasawuf
5. Siroh Nabawiyah wa Tarikh Hadlarah al-Islam
1.2. Ulum Arobiyah, meliputi:82

1. Al-Maharat al-Arabiyah
2. Al-Qowaid al-Arabiyah
3. Al-Adab al-Arabiyah

1.3 Kurikulum Nasional, meliputi:83

81
Setiap mata pelajaran tersebut sejak kelas 2 diberi pengantar bahasa Arab.
82
Semua pelajaran tersebut diberi pengantar bahasa Arab.

187
Perilaku Homoseksual di PonPes

1. Matematika/Logika
2. IPA dan Ilmu Falak
3. IPS dan PPKn
4. Bahasa Indonesia
5. Bahasa Inggris

1.4. Ulum Tarbiyah Ma'hadiyah, meliputi:84

1. Ilmu Pendidikan
2. Ilmu Jiwa
3. Riset dan Jurnalistik
4. Keterampilan Teknis
5. Keterampilan Sosial

2. Program Non-Kuriluler (Al-Manhaj al-Mazji)

- Dimaksudkan untuk menunjang program Intra –Kurikuler

- Dikemas dalam bentuk petujuk-petunjuk teknis (juknis) khusus untuk guru-guru.

- Dilaksanakan di luar jam sekolah di bawah bimbingan guru dan santri senior di

bawah tanggungjawab kepala sekolah, kabid akademik, dan guru master terkait.

- Kegiatan ko-kuriluler tersebut mencakup dua kegiatan, yaitu

2.1 Kegiatan-kegiatan Tutorial, meliputi:

1. Ibadah Amaliyah Sehari-hari (SKIA)


2. Tadarus Muwajah Harian (SKIA)
3. Belajar Tutorial di Malam Hari
4. Dirosat Kutub Turots ( Pengkajian Kitab Kuning)
5. Dialog jum'at Pagi bersama Kiai dan Nyai
6. Pembinaan Bahasa Mingguan.

2.2. Kegiatan-kegiatan Praktikum, meliputi:

83
Kurikulum nasional tersebut dilakukan sesuai target dan dimudifikasi sebagaimana mestinya.
84
Bidang studi tersebut diprogramkan sejak masa-masa awal Marhalah Aliyah.

188
Perilaku Homoseksual di PonPes

1. Praktek Sopan Santun dan Komunikasi


2. Praktek Mengajar.
3. Praktek Berdakwah

3. Program Ekstra-Kurikuler (Al-Manhaj al-Idhofi)

- Dimaksudkan sebagai pendidikan tambahan bagi seluruh santri dan praktek

kepemimpinan bagi santri-santri senior pengurus organisasi santri.

- Dikemas dalam bentuk garis-garis besar kebijakan Organtri (GABKO) dan

dilaksanakan dalam bentuk sunnah atau tradisi –tradisi kepesantrenan.

- Dilaksanakan di luar jam sekolah oleh para pengurus Organtri, yaitu ISMI (putra)

dan ISTAMA (putri) di bawah bimbingan kepala sekolah dan kabid kesantrian.

- Kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler tersebut adalah:

3.1. Kegiatan-kegiatan wajib meliputi:

1. Praktek Berorganisasi
2. Latihan Pramuka Mingguan
3. Senam Wajib Mingguan
4. Kursus-kursus Ketrampilan Wajib.
5. Kerja Lingkungan Harian.
6. Tadabur Malam Menjelang Tidur.
7. Istirham Malam Jum'atan.
3.2. Kegiatan-kegiatan Pilihan atau Minat, meliputi:

1. Kursus-kursus Kesenian.
2. Kursus-kursus Kesekaan Pramuka.
3. Kursus-kursus Kesehatan (PMR/BSR).
4. Kursus-kursus Keilmuwan dan Kebahasaan Pilihan.
5. Kursus-kursus Keterampilan Pilihan.
6. Latihan Olahraga dan Beladiri.
7. Penerbitan Media Cetak (Bulletin dan Mading)
8. Diskusi, Seminar dan Bedah Buku.

189
Perilaku Homoseksual di PonPes

4. Program Bimbingan dan Penyuluhan (Al-Irsyad wat Taujih)

- Dimaksudkan untuk membantu santri dalam menjalankan disiplin sehari-hari, baik

secara berkala maupun ketika mendapatkan kesulitan

- Dikemas dalam bentuk-bentuk pendekatan preventif, kuratif, dan represif.

- Dilaksanakan oleh para guru BP dengan dibantu oleh para santri-santri senior di

bawah bimbingan kepala sekolah, kabid tata usaha, kabid akademik dan kabid

kesenian.

- Pelaksana BP adalah Wali Kelas dibantu oleh Muharik, Musyrif Kelas dibantu oleh

Musahhil, Muraqib Konsulat dibantu oleh Ketua Konsulat, dan Mulahidh Dapur

dibantu oleh Pengurus Dapur.

- Kegiatan-kegiatan Bimbingan dan Penyuluhan terdapat tiga jenis disiplin yaitu:

1. Disiplin Diri (Self Discipline), meliputi:

1. Budaya Beribadah Amaliyah Fardiyah


2. Budaya Belajar Mandiri.
3. Budaya Hidup Sehat Jasmani dan Rohani.
4. Budaya Mengatur Waktu.
5. Budaya Mengatur Uang dan Hak Milik Pribadi.
4.2. Disiplin Sosial (Social Discipline), meliputi:

1. Budaya Hidup Sopan dan Komunikatif.


2. Budaya Hidup Bertasamuh (Saling Toleransi).
3. Budaya Hidup Berta'awun (Saling Menolong).
4. Budaya Hidup Bertawashi (Saling Mengingatkan).

4.3. Disiplin Lingkungan (Environment Discipline), meliputi:

1. Budaya Hidup Bersih dan Sehat


2. Budaya Hidup Tertib dan Teratur

190
Perilaku Homoseksual di PonPes

3. Budaya Hidup Indah dan Lestari.

Dalam proses pendidikan yang ada di pondok pesantren Al-Amanah terdiri

dari beberapa tenaga edukatif yang terdiri dari: kiai dan nyai (pengasuh pondok), mudir

ma'had (direktur), mudir-mudir marhalah (kepala-kepala sekolah), wali kelas, musyrif

kamar, muraqib konsultan, mulahidh dapur, guru-guru tidak tetap yang berasal dari

lembaga-lembaga lain, para profesional di masyarakat yang sengaja direkrut untuk

memperluas wawasan para santri dan meningkatkan keterampilan tertentu dan santri-

santri senior yang dimaksudkan sebagai latihan dan pendidikan. Adapun tenaga–

tenaga admistratif meliputi seluruhnya yang terdiri dari guru-guru dan santri-santri

senior (tidak mempergunakan karyawan khusus) dimaksudkan sebagai latihan dan

pendidikan. Guru-guru yang ada di pondok pesantren Al-Amanah berjumlah 327 guru,

yang bermukim 274 guru dan 57 guru tidak bermukim. Sedangkan dari ijazahnya 1

guru diploma pendidikan, 27 guru S1 pendidikan, 20 guru S1 umum, 1 guru S1

agama, 2 guru S2 pendidikan, 3 guru S2 umum, 2 guru S2 Agama, 4 guru guru besar,

dan 262 guru alumni pesantren Al-Amanah. Sedangkan jumlah santri di pondok

pesantren Al-Amanah sebanyak 2.519 santri.85 Pada awal tahun berjumlah 2.646 santri,

85
Santri-santri tersebut berasal dari; Sumbagut (19 santri), Sumbagsel (47 santri), Kalimantan
(63 santri), NTB atau Bali (18 santri), Indo Timur (9 santri), DKI Jakarta (91 santri), Jawa Barat I (85
santri), Jawa Barat II (76 santri), Jawa Barat III (35 santri), Surabaya I (119 santri), Surabaya II (56 santri),
Malang dan Kediri (59 santri), Probolinggo dan Lumajang (16 santri), Jember (70 santri), Banyuwangi
(27 santri), Bondowoso (25 santri), Situbondo (27 santri), Jawa Tengah (26 santri), Bangkalan I (194
santri), Bangkalan II (126 santri), Bangkalan III (113 santri), Sampang I (107 santri), Sampang II (81
santri), Sampang III (95 santri), Pamekasan I (137 santri), Pamekasan II (136 santri), Pamekasan III (88
santri), Pragaan I (32 santri), Pragaan II (14 santri), Prenduan I (20 santri), Prenduan II (12 santri),

191
Perilaku Homoseksual di PonPes

namun 127 santri di drop out (DO), dengan alasan; pelajaran (26 santri), disiplin (29

santri), kesehatan (15 santri), ekonomi (9 santri), keluarga (8 santri), dan diserahkan

kembali (40 santri).

Sementara itu proses transformasi pendidikan di lingkungan pondok pesantren

Al-Amanah meliputi:

1. Manejemen Pendidikan

a. Dilaksanakan secara modern dengan falsafah ikhlas, cerdas, dan tangkas

b. Meliputi manejemen administratif, operasional, personalia, dan edukatif

c. Berorientasi pada upaya pencapaian hasil, serta pengembangan dan pengamalannya

2. Metode Pendidikan

a. Mempertahankan cara lama yang baik dan menggunakan cara baru yang lebih baik

b. Mengacu pada efektifitas, efisiensi, dan akselerasi.

c. Berorientasi pada pencapaian tujuan transformasi ilmu dengan pengembangan

kepribadian.

d. Ditekankan pada upaya-upaya keteladanan, pembiasaan, pembentukan jiwa

kepemimpinan, nasehat dan pengarahan, serta penugasan dan pengawasan.

3. Dana, Sarana, dan Lingkungan Pendidikan

a. Diusahakan dengan cara yang halal dan baik.

b. Dipisahkan secara tegas antara hak milik pribadi dan hak milik pondok

Prenduan III (18 santri), Sumenep I (126 santri), Sumenep II (92 santri), Sumenep III (86 santri),
Sumenep IV (46 santri), Sumenep V (34 santri), Kepulauan I (59 santri), dan Kepulauan II (27 santri).

192
Perilaku Homoseksual di PonPes

c. Mengacu kepada jiwa kemandirian dan kesederhanaan.

d. Dikelola dengan manajemen yang modern dan amanah

e. Tetap disikapi sebagai alat bukan tujuan

f. Diciptakan untuk selalu edukatif dan kondusif.

g. Disikapi sebagai salah satu unsur komplementatif bukan sekedar suplementatif

4. Supervisi dan Evaluasi Pendidikan

a. Waktu Pelaksanaan: harian, mingguan, bulanan, semesteran, dan tahunan.

b. Ujian-Ujian: ujian masuk, ujian mid semester pertama, ujian semester pertama,

ujian mid semester kedua, semester kedua, ujian akhir (EBTA).

c. Bentuk-bentuk Ujian: ujian lisan (syafahi), ujian tulis (tahriri), ujian praktek (tathbiqi).

d. Jenis-jenis Evaluasi: studi dokumenter, angket, observasi, wawancara, case studi, dan

sosiometri.

Pengembangan kurikulum pendidikan di pondok pesantren Al-Amanah

bersifat fleksibel dan inovatif. Ia harus direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi, dan

dikembangkan secara sistematis, gradual, proporsional, dan berkelanjutan sesuai

dengan proses perkembangan kebutuhan umat, tuntutan pembangunan bangsa dan

tantangan perubahan zaman.

Dalam upaya pengembangan kurikulum, senantiasa digunakan semboyan Al-

Muhafadhohy 'alal Qodim ash-Sholeh wal Akhdzu bil Jadid al-Ashlah (memelihara dan

melestarikan hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik)

dengan sikap kritis dan antisipatif, tapi tetap dengan sikap hati-hati.

193
Perilaku Homoseksual di PonPes

b.5. Kepemimpinan Paternalistik Kiai

Kepemimpinan di pondok pesantren Al-Amanah berbeda dengan

kepemimpinan yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah yang sentralistik kepada kiai

ponggawa limanya. Di dalam komunitas pondok pesantren Al-Amanah dikenal pola

pembagian tugas dalam mengerjakan kebijaksanaan Majelis Kiai. Majelis Kiai adalah

pemimpin yang mempunyai otoritas terhadap segala kebijaksanaan yang akan atau

sedang dijalankan di Al-Amanah. Namun tetap melalui musyawarah antaranggota yang

termasuk ke dalam Majelis Kiai, dan pelaksana hariannya, meliputi Direktur, Wakil

Direktur, Kepala Marhalah Tsanawiyah, Kepala Marhalah Aliyah, dan Majelis

Pertimbangan Organtri (MPO).

Meskipun secara struktural kepemimpinan yang pertama adalah Majelis Kiai,86

namun pada lapisan keduanya adalah Direktur Al-Amanah, serta pengurus harian yang

terdiri dari ustadz-ustadz serta para santri-santri senior yang termasuk kepengurusan

organisasi santri (Organtri). Kelompok-kelompok inilah yang masuk ke dalam kategori

kelompok elite di dalam pondok pesantren yang mempunyai pengaruh kuat.

Meskipun demikian, Majelis Kiai secara struktural hanyalah pemegang otoritas

untuk menentukan kebijaksanaan dan tidak ikut mengurusi kebijaksanaan tersebut

dalam kesehariannya. Sehingga banyak para santri yang lebih mengetahui Direktur Al-

Amanah ketimbang pemimpinnya, terutama para santri baru. Hal inilah yang

86
Majlis Kiai adalah para pemimpin pondok pesantren yang ada di wilayah kekuasaan Al-
Amanah.

194
Perilaku Homoseksual di PonPes

menyebabkan agak terputusnya hubungan atau jaringan antara kiai dengan para

santrinya. Berbeda dengan di An-Naqiyah yang mana para kiainya turun langsung

untuk mengajar para santrinya. Sedangkan di Al-Amanah kiai hanya menentukan

kebijaksanaan dan mengajar hanya untuk kelas 5 – 6 (sederajat dengan 2-3 MA).

Kepemimpinan seperti ini pada akhirnya menyebabkan pola jaringan yang

sedikit terputus antara santri dengan kiainya apalagi dengan masyarakatnya. Pola

hubungan yang terjalin hanyalah dua pola jaringan. Pertama, jaringan geneologis

antara pondok pesantren yang termasuk keluarganya atau pondok pesantren

naungannya. Kedua, jaringan intelektual, jaringan yang terbentuk dengan pengutusan

pengabdian para santri senior kepada pondok pesantren yang ada di bawah binaan Al-

Amanah atau alumni dari Al-Amanah yang mendirikan pondok pesantren. Hal inilah

yang menciptakan pola kepemimpinan di Al-Amanah sifatnya lebih bersifat semu dan

kepasrahan bukan kepemimpinan yang bersifat arogan dan eksklusif. Meskipun ada

sebagian santri yang menganggapnya itu sebagai bentuk lain dari arogansi dan

eksklusifisme para kiai pondok pesantren Modern. Selain itu, para orang tua wali

santri tidak diwajibkan untuk mendatangi kiai ketika menjenguk anak-anak mereka ke

pondok pesantren, hal ini berbeda dengan pondok pesantren An-Naqiyah yang bisa

dikatakan sebagai kewajiban bagi para orang tua untuk suwon kepada kiai ketika

menjenguk anak-anak mereka bahkan sebelum bertemu anak mereka.

195
Perilaku Homoseksual di PonPes

b.6. Peran Kiai dalam Politik Dan Masyarakat

Pergeseran kepemimpinan seiring perkembangan zaman. Dari kiai ke blater juga

nampak di desa Parendu. Hal ini terlihat dari seiring memudarnya kepercayaan

masyarakat Parendu terhadap pemimpin yang ditunjuk oleh kiai ketimbang pilihan

mereka sendiri terhadap blater. Meskipun demikian, masyarakat masih menghargai kiai

terutama dalam bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan. Hal ini terlihat dari masih

banyaknya masyarakat yang menyekolahkan anak-anaknya di pendidikan keagamaan

pesantren. Di desa Parendu, Sekolah Dasar Negeri (SDN 3 sekolah), muridnya

sebanyak 612 murid, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN 2 sekolah), muridnya

sebanyak 322 murid, dan Sekolah Menengah Atas (SMA 2 sekolah), muridnya

sebanyak 411 murid. Sedangkan sekolah yang berbasis keagamaan, Madrasah

Ibtidaiyah (MI 6 sekolah), muridnya sebanyak 776 murid, Madrasah Tsanawiyah (MTs

3 sekolah), muridnya sebanyak 613 murid, dan Madrasah Aliyah (MA 6 sekolah),

muridnya sebanyak 2.151 murid.87

Kekuatan politik kiai semakin nyata dengan berdirinya partai-partai yang

berbasis Islam, dan mereka adalah pemimpin partai tersebut. Terutama perkembangan

partai politik yang berbasis Nahdlatul Ulama. Hal ini terlihat dari hasil pemilihan

umum pada tahun 2004, di desa Parendu partai pemenangnya adalah PKB yakni

87
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Pragaan Dalam Angka 2004, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 15-20

196
Perilaku Homoseksual di PonPes

21.234 suara, PDIP 3.936 suara, PAN 3.614, dan PPP mencapai 2.249.88 Apalagi para

kiai di Pondok Pesantren Al-Amanah tidak memihak salah satu partai politik dan

golongan tertentu, sehingga masyarakat pesantren sekitarnya dengan bebas memilih

partai politik yang berafisiliasi dengan sosial, budaya, dan agamanya, yakni partai

politik yang berbasis Nahdlatul Ulama. Meskipun sekarang ini masyarakat mulai

mengalami kejenuhan dan kebingungan mana partai politik yang benar-benar berbasis

Nahdlatul Ulama. Hal ini dikarenakan seringanya pertikaian perebutan kekuasaan di

kalangan elite NU.

a.7. Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat Pesantren Parendu

Desa Parendu, penduduknya pada tahun 2004 mencapai 11.907 jiwa yang

melingkupi 2.722 rumah tangga, yang tersebar di lima puluh sembilan RT dan dua

puluh empat RW. Dengan luas wilayah 4.55 km², maka kepadatan penduduk di desa

Parendu adalah 2,614 jiwa/km². Akibat tingkat kepadatan yang begitu tinggi serta

keadaan tanah kering yang ada di desa Parendu, maka pendapatan perekonomian

masyarakat dari segi pertanian sangat memprihatinkan. Namun demikian pendapatan

penduduk dari segi lain di desa Parendu relatif lebih makmur atau lebih kaya

dibandingkan dengan desa Gilir-gilir.

Berbeda dengan desa Gilir-gilir, desa Parendu mayoritas penduduknya adalah

pedagang sebanyak 112 keluarga, konstruksi bangunan sebanyak 153 keluarga, usaha di

bidang transportasi sebanyak 52 keluarga, usaha dalam lembaga keuangan sebanyak 25

88
Monografi Kecamatan Pragaan tahun 2005, hlm. 28

197
Perilaku Homoseksual di PonPes

orang, dan usaha dalam bidang industri kecil sebanyak 35 keluarga, industri rumah

tangga sebanyak 213 keluarga,89 pertambangan sebanyak 42 keluarga, dan usaha dalam

bidang listrik, gas, dan air sebanyak 30 keluarga. Sedangkan sisanya adalah pertanian di

antaranya: tanaman pangan sebanyak 55 keluarga, perkebunan sebanyak 88 keluarga,

dan peternakan sebanyak 162 keluarga, sisanya adalah perikanan sebanyak 150

keluarga. Di samping semua usaha tersebut, usaha pembuatan garam merupakan

sumber pendapat penting lainnya.90

Oleh karena itu, maka masyarakat di desa Parendu penduduknya relatif

sejahtera dengan asumsi dari berbagai usaha yang dilakukan oleh keluarga masyarakat

Parendu. Hal ini dibuktikan oleh data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat

Statistik Kabupaten Sumenep, yang menyebutkan bahwa masyarakat Parendu yang pra

sejahtera sekitar 706 keluarga, sedangkan masyarakat Parendu yang sejahtera I sekitar

385 keluarga, dan yang sejahtera II mencapai 2. 834 keluarga. Selain itu, bukti akan

kemakmuran perekonomian masyarakat Parendu terlihat juga dari berbagai lembaga

perbankan (ATM) yang ada di desa tersebut, yakni Bank BCA (ATM), Bank BNI, Bank

Jatim, dan Bank BRI. Selain itu, masyarakat desa Parendu sangat tertutup terhadap

para usahawan-usahawan baru, dan terutama terhadap etnis Cina. Hal ini nampak dari

paguyuban para pedagang Parendu yang menolak adanya pedagang baru, bahkan

89
Industri-industri tersebut meliputi; industri makanan dan minuman, industri kayu, industri
barang galian, dan industri pengolahan.
90
Sekitar 10% masyarakat desa Prenduan bekerja sebagai buruh pembuat garam. Usaha ini
tergantung pada musim kemarau karena alat yang digunakan amat sederhana. Bila musim hujan daerah
ini dimanfaatkan sebagai tambak, namun bila musim kemarau tambak tersebut berubah menjadi ladang
garam.

198
Perilaku Homoseksual di PonPes

masyarakatpun ikut memboikotnya dengan tidak membeli ke pedagang baru tersebut,

sehingga pedagang tersebut akan bangkrut dengan sendirinya.

Selain itu, ketundukan masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terhadap kiai

dan kedudukannya yang begitu dihormati, tergambar secara struktural dalam

bangunan sosial masyarakatnya. Buppa' (bapak), Babu' (ibu), Guruh (guru/kiai), Ratoh

(raja), adalah pelambangan unsur-unsur dalam bangunan sosial masyarakat desa Gilir-

gilir dan Parendu (Madura). Jika Buppa' dan Babu' merupakan elemen penting dalam

keluarga di desa tersebut, maka Guruh dan Ratoh adalah penentu dalam dinamika sosial,

politik, ekonomi dan budaya masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu.91

Bangunan sosial ini menggambarkan kepatuhan masyarakat di desa Gilir-gilir

dan Parendu pada bapak dan ibunya, juga ketundukan terhadap tokoh panutan

(guru/kiai) dan kepada pemerintah. Tokoh panutan biasa disebut pemimpin informal.

Pemimpin informal adalah orang yang memimpin masyarakat atau sekelompok

masyarakat tanpa mendapatkan loyalitas pemerintah, seperti; ulama', sebagian kiai,

sesepuh, tokoh-tokoh desa, dan sebagainya.92 Sedangkan pemimpin informal dan figur

yang dipatuhi dalam masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu yang perilakunya

91
Bisri Effendy., Op. Cit, hlm. 39
92
Abdurrahman., 1978, "Kepemimpinan Dalam Administrasi Pembangunan di Jawa Timur
Perbandingan Kerjasama Pimpinan Formal dan Informal Daerah di Jawa Timur", dalam Paper Proyek
Penelitian Madura, Depdikbud RI dalam Rangka Kerjasama Indonesia – Belanda, hlm. 81, sebagaimana
yang dikutip oleh Muthmainnah., 1998, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi,
LKPSM: Yogyakarta, hlm. 26

199
Perilaku Homoseksual di PonPes

bertentangan dengan kiai, adalah orang blater.93 Orang blater secara kultural mendapat

legitimasi sebagai figur yang dipatuhi. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat di

desa Gilir-gilir dan Parendu "terseret" ke dalam wacana dan ritual keagamaan yang

dibawa oleh agen sosial desa dalam hal ini kiai, seperti dalam pengamatan Kuntowijoyo.

Struktur ekologi pertanian tegalan yang tidak produktif tersebut yang melahirkan

proses sosiokultural yang tidak selalu merujuk pada keberagamaan yang dibawa para

otoritasnya (kiai). Realitas sosial tersebut yang kemudian melahirkan eksistensi

komunitas blater.94 Mereka mempunyai perilaku yang bertentangan dengan agama dan

kiai, sehingga mereka diidentikkan dengan perilaku atau perbuatan hitam, seperti:

berjudi, minum-minuman keras, main perempuan, sering melakukan remo95 dan carok96,

serta merampok atau mencuri. Dalam hal tertentu orang blater sangat tunduk kepada

kiai, pertama, karena pada umumnya orang blater masih berguru kepada kiai. Kedua,

kesaktian orang blater (seperti tidak mempan dibacok senjata tajam) karena diberi do’a-

93
Blater adalah tokoh atau panutan masyarakat yang mengorientasikan medianya melalui
kekerasan. Blater ini kebanyakan banyak dikenal di daerah Madura Barat : Bangkalan dan Sampang,
ketimbang di Madura Timur: Sumenep dan Pamekasan. Namun pada perkembangannya blater ternyata
telah berkembang pesat bahkan sampai ke Madura Timur, yang hampir semua Kepala Desanya adalah
blater.
94
Abdur Rozaki., Op. Cit, hlm. 60
95
Remo adalah acara yang dilengkapi hiburan seperti sandur, hiburan yang disajikan dalam remo
adalah sandur Madura yaitu suatu jenis kesenian tradisional semacam ludruk yang dimeriahkan oleh
penari (tanda') laki-laki dengan diiringi oleh gamelan. Dengan adanya kesenian tersebut maka seorang
blater dapat menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang jagoan, dengan menari dengan jenis tarian
tertentu yang sesuai dengan pilihannya. A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 71
96
Carok adalah berkelahi satu lawan satu atau lebih atau berkelompok dengan menggunakan
senjata tajam, yang biasanya dikenal dengan celurit. Untuk lebih lanjut mengetahui tentang kekerasan di
Madura, lihat Elly Touwen Bouwsma., 1989, "Kekerasan di Masyarakat Madura", dalam Huub de Jonge
(edit), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura, terj.
Suparmin, Rajawali Pers: Jakarta, hlm. 159-179

200
Perilaku Homoseksual di PonPes

97
do’a oleh kiai (jimat). Kepemimpinan dua tokoh dalam masyarakat yang

berseberangan ini disebabkan karena keduanya sama-sama dibutuhkan. Blater

dibutuhkan untuk menjadi pemimpin desa atau kepala desa supaya desanya aman,98

sedangkan kiai pemimpin ritualitas keagamaan.

Dengan demikian struktur sosial keagamaan masyarakat desa Gilir-gilir dan

Parendu pada umumnya dengan budaya yang unik. Satu sisi budaya mereka banyak

dipengaruhi oleh budaya Islam sebagai perwujudan kepemimpinan kiai lewat pondok

pesantrennya, seperti budaya kesenian gambus,99 hadrah,100 samman dan sebagainya,101

namun di sisi lain budayanya juga dipengaruhi unsur kekerasan sebagai perwujudan

kepemimpinan orang blater, seperti budaya carok dan kerapan sapi.102 Sebagai elite desa,

keduanya (kiai dan blater) saling melakukan berbagai cara untuk mendapatkan

pengaruh, simpati, dan kekuasaan dari masyarakat. Pendekatan kiai pada umumnya

97
Muthmainnah., Op. Cit, hlm. 27
98
Hal ini pernah diteliti oleh Muhammad Zuhri., 1991, Persepsi Masyarakat terhadap
Kepemimpinan Kepala Desa: Studi Kasus tentang Perilaku Devian di Kabupaten Bangkalan, Madura,
Jawa Timur, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
99
Di desa Gilir-gilir terdapat 2 organisasi gambus, desa Parendu terdapat 1 organisasi gambus.
100
Di desa Gilir-gilir terdapat 5 organisasi hadrah, desa Parendu 3 organisasi hadrah.
101
Untuk mengetahui lebih lanjut, baca Helene Bouvier., 2002, Lebur: Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, terj. Rahayu S. Hidayat dan Jean Couteau, Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta.
102
Meskipun pada dasarnya budaya carok adalah perlawanan atau peperangan menggunakan
celurit, namun carok merupakan pengorbanan jiwa untuk membela harga diri seperti ungkapan "Angoan
pote tolang etembang pote mata" (lebih baik mati daripada hidup menanggung malu). Sedangkan kerapan
sapi adalah sebuah kesenian masyarakat yang tidak bias dilepaskan dari keterampilan mereka
memelihara sapi. Wawancara dengan Syaf Anton Wr, Ketua Dewan Kesenian Sumenep, 24 Maret 2006.
Lebih lanjut lihat, Gleen Smith., "Pentingnya Sapi dalam Masyarakat Madura", dalam Huub de Jonge
(edit), Op. Cit, hlm. 277-291

201
Perilaku Homoseksual di PonPes

melalui wacana, ritual, dan simbolisasi keagamaan.103 Bahkan kiai melalui kekuasaan

dan pengaruhnya mampu untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama yang ada

104
di kabupaten Sumenep. Sedangkan blater melalui kemampuannya dalam

menggunakan instrumen kekerasan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam belum menjadi budaya yang

inherent dalam masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu, melainkan hanya sekedar

menjadi aturan atau ajaran kehidupan beragama dan bermasyarakat, padahal

kenyataannya masyarakat di desa Gilir-gilir dan Parendu umumnya sangat fanatik

terhadap Islam, dengan ditandainya oleh banyaknya pondok pesantren yang ada di

Gilir-gilir (8 pondok pesantren)105 dan Parendu (8 pondok pesantren),106 yang notabene

sebagai lembaga pendidikan keislaman. Fanatisme mereka tidak dibarengi dengan

pemahaman yang benar, dan ajaran Islam hanya dipahami sebagai seremonial

keagamaan belaka. Rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman mereka terhadap

permasalahan hidup menjadi penyebab keunikan atau ambiguitas orang di desa Gilir-

103
Meskipun tidak menutup kemungkinan lewat jalur politik, karena para kiai banyak yang
berkecimpung di jalur politik (12 kiai yang jadi DPRD Sumenep), bahkan kiai dukun (kiai yang banyak
menjual jimat, mantra, dn ilmu kebal kepada masyarakat).
104
Hal ini terlihat dari penelitian, Iskandar Dzulkarnain., 2003, "Hubungan Antarumat
Beragama di Sumenep Madura (Studi tentang Hubungan Umat Islam dan Katolik di Kecamatan
Sumenep)", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
105
Pondok-pondok tersebut adalah: Al-Furqon, An-Nuqayah Lubangsa Selatan, Mambaul
Ulum, Nurul Ulum Patapan, At-Tarbiyah, An-Nuqayah Lubangsa, An-Nuqayah Late I, dan Al-Anwar,
An-Naqiyah. Daftar Emis Pondok Pesantren Tahun Pelajaran 2005/2006, Kantor Departemen Agama
Kabupaten Sumenep.
106
Pondok-pondok tersebut adalah: Al-Muqri, Tegal Al-Amien, Al-Amien Putri I, Ma'had
Tahfidz Al-Qur'an, TMI Al-Amien Putra, Ma'had Tahfidz Al-Qur'an Zainul Ibad, Darul Imar, TMI Al-
Amien Putri II, dan Al-Mukri Asalafi, Al-Amanah. Daftar Emis Pondok Pesantren Tahun Pelajaran
2005/2006, Kantor Departemen Agama Kabupaten Sumenep.

202
Perilaku Homoseksual di PonPes

gilir dan Parendu. Seperti, terlihat pada pola berpakaian masyarakatnya terutama laki-

laki, yang selalu menggunakan songko' (kopyah) dan sarung, ke manapun mereka pergi,

terutama pada sa'at menghadiri ritual keagamaan, sholat jum'at, atau ketika menerima

tamu yang tidak dikenal. Sehingga Mark R Woodward tidak menyebutnya sebagai

Islam murni melainkan "Islam lokal".107 Atau dengan kata lain sebagaimana pengaruh

Islamisasi di Jawa, perkembangan Islam di masyarakat Gilir-gilir dan Parendu (Madura

secara umum) lebih mengedepankan pembelajaran sinkretisasi keislaman syari'ah yang

menggunakan sufisme dan pengetahuan lokal (local knowledge) secara dominan.108 Hal

ini terlihat dengan masih percayanya masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terhadap

bentuk-bentuk kepercayaan lama (animisme dan dinamisme), seperti kepercayaan

terhadap makhluk halus, seperti: roh nenek moyang yang dipercayainya datang tiga kali

dalam sehari, yaitu menjelang maghrib, pukul satu malam, dan pukul tiga dini hari.

Sedangkan pergantian siang dan malam (sorop are atau para' compet are) segala roh halus

keluar, termasuk yang jahat. Sehingga anak-anak kecil tidak boleh keluar rumah,

terutama yang giginya belum tanggal, karena dianggap berbahaya. Untuk menyambut

roh nenek moyang, mereka membakar dupa menjelang maghrib, di halaman atau di

dalam rumahnya, terutama pada malam jum'at. Selain itu, mereka juga percaya kepada

jin, setan gondroruwo, setan gundul, din dadin (syetan), jerangkong, searaksa bengko

(yang jaga rumah), dan searaksa somor (yang jaga sumur). Hubungan antara roh nenek

107
Mark R Woodward., 2002, Islam Di Jawa, LKiS: Yogyakarta, hlm. 70-71
108
Azyumardi Azra., 1994, Jaringan Ulama': Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, Bandung: Mizan.

203
Perilaku Homoseksual di PonPes

moyang juga tampak pada ritual pembuatan sumur (searaksa somor). Perlengkapan ritual

tersebut adalah tajin (bubur) yang berbentuk tiga warna, yaitu putih, hijau, dan hitam,

serta air kopi dan dupa. Tajin putih melambangkan kesucian niat orang yang membuat

sumur, tajin hijau melambangkan warna air dan ditujukan kepada Nabi Khidir sebagai

penguasa air, dan tajin hitam dianggap sebagai penolak bala. Sedangkan air kopi dan

dupa dipersembahkan kepada roh nenek moyang. Adapun hubungan dengan roh

nenek moyang yang berhubungan dengan pembuatan rumah (searaksa bengko), adalah

sebelum pondasi dibangun diadakan upacara selamatan yang dipimpin kiai. Selamatan

diikuti oleh para tukang beserta tetangga yang ikut membantu bekerja. Do'a yang

dibaca kiai ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muhammad, dan para leluhur mereka agar

dapat mendapatkan berkah dan tidak mendapat gangguan terhadap rumahnya, dan

tidak terkena bala (kenneng tola).109 Mereka juga mengenal upacara: rokad disa (bersih

desa), rokad tasek (selamatan di laut), nyadar (nazar, yang biasanya dilakukan sebagai

selamatan di lahan penggaraman) 110 , dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga

percaya akan kekuatan benda-benda yang dianggap keramat dan sakti, seperti: keris,

tombak, permata cincin, dan makam para leluhur yang dianggap suci dan keramat

sehingga harus diziarahi atau sering disebut dengan istilah buju' (makam). Makam ini

dipercayai keramat, karena roh atau arwah yang bersemayam di situ pada masa

109
Andang Subaharianto (dkk)., 2004, Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur,
Menjunjung Leluhur), Bayu Media: Malang, hlm. 72-74
110
Hal ini berkaitan dengan penghormatan masyarakat terhadap Anggasuta (orang yang sakti
dan pertama kali menemukan lahan garam), yang biasanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi
Muhammad tanggal 12 Maulid – 19 Maulid pada hari sabtu.

204
Perilaku Homoseksual di PonPes

hidupnya sakti. Kesaktian itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli warisnya atau

keluarganya tapi juga diperlukan untuk melindungi orang banyak (masyarakat).

Kepercayaan masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terhadap buju' sangat tinggi.

Sehingga hampir setiap dusun terdapat buju', yang berfungsi sebagai penjaga

keseimbangan kehidupan seluruh warga masyarakat. Roh nenek moyang tersebut

biasanya disebut sebagai bangatowa (sesepuh). Menurut jenisnya makam-makam

keramat yang dipercayai di masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terdapat empat jenis:

pertama, makam keturunan raja (di Asta Tinggi Sumenep), kedua, makam para wali

(Wali Sanga/makam Syaikh Khalil Bangkalan/makam Syaikh Yusuf Sumenep dan lain

sebagainya), ketiga, makam pembabat desa (makam Anggasuta Sumenep), dan terakhir,

makam orang sakti atau buju' (makam Jokotole Sumenep).111

Selain itu, penghormatan masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terhadap

arwah nenek moyangnya melalui tradisi nekromansi atau melalui media tahlilan, yang

pelaksanaannnya bersifat komunal slameten. Tahlilan merupakan bentuk kultural akan

penghormatan terhadap arwah nenek moyang yang seringkali dinamakan sebagai

selamatan untuk memperingati hari kematian anggota keluarganya yang telah

meninggal dunia. Tradisi ini seringkali disebut juga dengan istilah ngaji. Namun istilah

tersebut digunakan sebagai penyebutan praktik kultural ini yang hanya mulai dari hari

pertama sampai hari ketujuh, pesertanya tidak mendapat undangan secara khusus,

karena selamatan ini lebih dipahami sebagai pesta komunal masyarakat yang sifatnya

111
Andang Subaharianto (dkk)., Op. Cit, hlm. 74-77

205
Perilaku Homoseksual di PonPes

terbuka, sehingga melaibatkan warga masyarakat dari semua tingkatan usia, dan

semuanya laki-laki.

Sajian yang diberikan dalam slamatan yang dihidangkan untuk warga

masyarakat peserta tahlilan pada telok arena (hari ke 3), dan pettok arena (hari ke 7),

tampak lebih diistimewakan ketimbang hari-hari lainnya. Pemimpin tahlilan ini

biasanya kiai atau tokoh masyarakat. Sesudah pettok arena waktu-waktu lainnya yang

dipandang istimewa untuk menghormati arwah nenek moyang adalah pakpoloh arena

(hari ke 40), satos arena (hari ke 100), nyataon (satu tahun hari kematiannya), dan

nyaebuna (hari ke 1000). Meskipun demikian, ada beberapa warga masyarakat yang

menghormati arwah nenek moyangnya seterusnya, yakni setiap tahun kematian

keluarganya atau sering disebut khoul. Namun yang melaksanakan tradisi ini hanya

mereka yang mampu secara ekonomi, dan dianggap sebagai tokoh masyarakat atau

keluarga kiai.

Lebih lanjut, kesenian pertunjukan topeng dan lodrok juga memperlihatkan akan

adanya pengaruh kultural pra Islam. Selain itu, dalam tradisi kesenian ini para pelaku

seninya harus berperilaku transvetis, yakni para penari atau pelaku kesenian topeng atau

lodrok di setiap perannya sebagai perempuan harus berpakaian perempuan, meskipun

mereka adalah laki-laki. Sedangkan budaya keagamaan Islam terdapat pada upacara

dan peringatan keagamaan Islam, seperti, Mauludan, Hari Raya Idul Fitri, Isra' Mi'raj,

dan sebagainya.

206
Perilaku Homoseksual di PonPes

Selain berbagai tradisi kultural keagamaan tersebut, ada beberapa tradisi

masyarakat Gilir-gilir dan Parendu, yakni pengajian kitab kuning, yasinan, manakiben,

nariyehen, dibe'en, dan talqinan. Pengajian kitab kuning, biasanya sering dilakukan setiap

malam selasa dan malam Jum'at di desa Gilir-gilir. Sedangkan di Parendu setiap malam

Rabu. Kitab yang sering digunakan adalah "Fathul Qarib", "Taklimul Mutaallim", dan

lainnya. Pengajian ini dipimpin oleh kiai langgar atau kiai. Pengajian ini sifatnya

terbuka dan tidak terikat, dengan maksud apabila ada salah satu warga yang tidak bisa

menghadirinya diperbolehkan ataupun warga luar desa yang ingin menghadirinya

dipersilahkan. Pesertanya terbuka untuk semua usia dan jenis kelamin.

Tradisi yasinan, adalah tradisi yang dimanifestasikan sebagai bentuk

perwujudan akan pentingnya membaca kitab suci. Biasanya dilakukan setiap malam

Jum'at baik di Gilir-gilir ataupun di Parendu. Peserta pengajian ini semuanya adalah

laki-laki yang sudah mulai tua atau laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga. Dalam

pengajian ini kiai dianggap sebagai pimpinan, pola pengajiannya digilir dari satu rumah

ke satu rumah lainnya yang jadi anggota peserta pengajian tersebut. Di setiap pengajian

ini peserta akan diberi sajian atau hidangan makanan kecil, seperti kacang, kerupuk,

dan lain sebagainya. Atau bisa jadi diberi makan seadanya, namun yang pasti setiap

yang hadir pasti akan diberi minuman kopi.

Sedangkan tradisi manakiben, merupakan slamatan yang diwujudkan sebagai

manifestasi akan ungkapan syukur atas suatu keberhasilan. Tradisi ini adalah tradisi

yang dipimpin oleh dua sampai tiga orang kiai atau orang yang bisa membaca kitab

207
Perilaku Homoseksual di PonPes

yang berbahasa arab. Kitab yang dibaca adalah kitab manakib, yang menceritakan

tentang riwayat hidup Abdul Qadir Jaelani. Tradisi nariyehen, adalah tradisi yang lebih

bersifat eksklusif. Karena peserta tradisi ini adalah ibu-ibu yang sudah berkeluarga.

Kegiatan ini seringkali diselenggarakan setiap jum'at sore, yang dipimpin oleh Istri-istri

kiai. Bahkan tradisi ini seringkali dikaitkan dengan salah satu organisasi sosial

keagamaan terbesar di Gilir-gilir dan Parendu, yakni NU, yang menggunakan atribut

"fatayat"nya dalam melaksanakan tradisi nariyehen ini, yang dilaksanakan setiap kamis

sore di Gilir-gilir dan rabu sore di Parendu.

Berbeda dengan tradisi nariyehen, tradisi dibe'en pelaksanaan kegiatannya lebih

bersifat terbuka, yakni melibatkan semua umur dan jenis kelamin. Kecuali dibe'en rutin

yang dilakukan setiap malam senin (laki-laki Gilir-gilir), malam Jum'at (perempuan

Gilir-gilir), dan malam Minggu (laki-laki Parendu), sedangkan perempuannya tidak ada.

Pembacaan dibe'en ini juga menggunakan kitab yang berbahasa Arab, yakni kitab Diba’.

Kitab tersebut menceritakan tentang riwayat hidup Nabi Muhammad SAW beserta

keluarganya. Sedangkan tradisi talqinan adalah tuntunan seseorang terhadap orang

yang meninggal dunia dengan menggunakan kalimat syahadat, agar orang yang

meninggal dunia tersebut selalu ingat kepada Allah. Hal ini menampakkan akan

kepedulian masyarakat terhadap sesamanya yang tidak hanya terbatas ketika masing-

masing hidup, tetapi berlanjut sampai ketika akan menemui ajalnya bahkan sampai

meninggal. Pembacaan talqin ini dipimpin oleh kiai, dan ketika dibacakan para pelayat

208
Perilaku Homoseksual di PonPes

akan jongkok untuk menghormati mayat yang ada di kuburan tersebut. Dalam

berbagai kalimat yang dibacakan dalam talqin tersebut menampakkan tentang arti

pentingnya sikap saling peduli dan sikap kebersamaan.112

Meskipun demikian bukan berarti seluruh masyarakat desa Gilir-gilir beragama

Islam, meskipun mereka mayoritas. Ada juga masyarakat desa Gilir-gilir yang beragama

lain, yakni beragama Kristen sebanyak 3 orang, sedangkan yang beragama Islam

sebanyak 15. 369 orang.113 Berbeda dengan desa Gilir-gilir, desa Parendu seluruh warga

masyarakatnya beragama Islam yakni sebanyak 11. 907 orang.114

112
Tadjoer Ridjal Bdr., Op. Cit, hlm. 93
113
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Guluk-Guluk Dalam Angka 2004,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 27
114
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Pragaan Dalam Angka 2004, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 28

209
Perilaku Homoseksual di Ponpes

BAB IV

PERILAKU HOMOSEKSUAL DALAM TRADISI PONDOK PESANTREN

Seks dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat biologis atau terberi oleh

alam. Hal ini semakin diperkuat dengan pengenalan kita akan seks yang berkarakter

jantan yang menunjuk kepada sosok laki-laki, dan seks yang berkarakter betina

menunjuk kepada perempuan. Meskipun seks diketegorikan sebagai sesuatu yang

bersifat natural namun pada akhirnya seks akan masuk dalam kategori konstruksi sosial

yang dapat memberikan pembedaan antara yang normal dengan yang abnormal. Dari

sinilah maka muncul kategori seks yang disebut hermafrodit yang berposisi di antara

betina dan jantan. Atau kita seringkali menyebutnya dengan sebutan waria (wanita-

pria) yang dalam bahasa Maduranya bendu, karena memiliki karakteristik dan bahkan

perilaku yang dapat menjangkau sifat laki-laki maupun perempuan.1

Dengan demikian, standar normalitas seksual bersifat sosial, karena yang

dianggap normal dan abnormal adalah yang berada dalam rangkaian oposisi duaan,

yakni jantan-betina atau laki-laki-perempuan atau penulis menyebutnya dengan sebutan

ideologisasi heteroseksual. Oleh karena itu, kategori bagi para kaum homoseksual,

meskipun secara karakter maupun perilaku sangat berbeda dengan kaum waria

termasuk ke dalam kategori perilaku seksual yang abnormal. Hal ini semakin diperkuat

dengan kuatnya birokrasi negara dalam mengintervensi persoalan seksual, seperti

1
Triyono Lukmantoro., "Moral, Seksualitas, dan Intervensi Negara", dalam Kompas, Senin, 11
April 2005, hlm. 42

210
Perilaku Homoseksual di Ponpes

ketika birokrasi negara dan swasta yang selalu mengidentifikasi setiap individu dengan

dua pilihan jenis kelamin; laki-laki atau perempuan, termasuk juga di sini instansi

pendidikan yang di dalamnya ada pondok pesantren.2

Secara sosiologis seksualitas adalah ekspresi personal dan interpersonal yang

secara sosial mengonstruksi kualitas, hasrat, peranan, dan identitas yang dijalankan

bersamaan dengan perilaku dan aktivitas seksual.3 Dengan demikian, maka seksualitas

memiliki watak personal maupun sosial yang dapat memberikan kemungkinan bagi

setiap lembaga termasuk pondok pesantren untuk melakukan intervensi. Yang pada

hal ini menimbulkan ambivalensi terhadap nilai yang terjadi ketika seksualitas yang

bersifat individual harus juga dimaknai secara sosial. Selain itu, seksualitas tidak akan

hadir dalam sebuah perbincangan jika tidak didahului oleh sebuah wacana (discourse)

yang mengatur. Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas dibentuk oleh discourse.

Discourse sendirilah yang secara wajar dimengerti sebagai sebuah perbincangan atau

sebuah pernyataan yang dimulai dengan berbagai ideologi dan kepentingan yang

ternyata berisi tentang praktik regulasi yang memberikan evaluasi terhadap benar atau

tidaknya pernyataan-pernyataan tersebut oleh kekuasaan.4

Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam bab ini penulis ingin

mendeskripsikan tentang dua wacana homoseksual atau lebih dikenal dengan istilah

2
Ibid..
3
David Jary and Julia Jary., 1991, Collins Dictionary of Sociology, Manchester: Harper Collins
Publishers, hlm. 565
4
Triyono Lukmantoro., Loc. Cit.

211
Perilaku Homoseksual di Ponpes

alaq dalaq yang berkembang di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah dan pondok

pesantren modern Al-Amanah, serta perilaku alaq dalaq santri di dalam kebebasan yang

ada di pondok pesantren An-Naqiyah dan perilaku homoseksual di dalam keketatan

dan kedisiplinan sebuah kemodernan pondok pesantren Al-Amanah.

A. Homoseksualitas di Ponpes Tradisional An-Naqiyah

Seks dalam kehidupan sosial manusia merupakan suatu bagian yang begitu

penting, hal ini dikarenakan perilaku seksual dapat mempengaruhi konstruksi sosial.5

Sebuah tradisi pemikiran empiris yang memandang seks sebagai sesuatu yang sangat

bersifat esensial dan merupakan bagian dari kebutuhan biologis. Oleh karena itu

seksualitas dipandang sebagai sebuah perilaku yang bersifat esensial (alamiah-biologis)

dan non esensial (sosial diskursif). Dengan dua hal tersebut kiranya amat penting bagi

kita untuk menjadikannya bagian penting dalam melihat perilaku seksual para kaum

homoseksual, yang dalam artian bukan hanya sekedar relasi sosial antarpelakunya,

namun juga pola-pola perilaku seksual serta dorongan seksual yang ada dalam diri

seorang homo yang terekspresi dalam kehidupan kesehariannya.

Pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai benteng yang kokoh akan

perilaku moralitas dalam kehidupan keseharian di masyarakat, telah menjadikannya

sebagai sebuah lembaga pendidikan yang disakralkan oleh masyarakat. Kesakralan

pondok pesantren ini semakin kuat dengan semakin berkembangnya lembaga ini di

5
Thanh-Dam Truong., 1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara,
Jakarta: LP3ES, hlm. 42

212
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dalam persaingan dengan lembaga-lembaga pendidikan umum lainnya. Kiai, keluarga,

ustadz, dan santrinya telah dijadikan sebagai acuan moralitas bagi masyarakat

sekitarnya. Bahkan dalam strata sosial pun mereka lebih tinggi ketimbang masyarakat

lainnya.

Pondok pesantren dengan tradisi keislamannya telah mampu untuk

menjadikan lembaga ini sebagai sebuah lembaga yang mempunyai ciri Islami dalam

setiap nadi kehidupannya. Hal ini semakin diperkuat dengan terjadinya hijab atau

pemisahan antara pondokan laki-laki dengan perempuan, karena bukan muhrim.

Seperti yang terjadi di pondok pesantren An-Naqiyah, mereka telah memisahkan setiap

santri laki-laki dengan santri perempuan di dalam pondokannya, meskipun masih

dalam satu lingkungan yang sangat berdekatan. Bahkan para santri laki-laki juga tidak

diperbolehkan secara sembarangan untuk memasuki wilayah nyai-nyai atau putri para

kiai karena hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya tabu. Larangan ini

semakin kuat dengan terjadinya kejadian putri kiai (salah satu pengasuh) berpacaran

dengan santri laki-laki.

Peraturan hijab yang sedikit banyak sebagai bentuk dari representasi ajaran

Islam yang lahir di Timur Tengah inilah yang semakin menguatkan perilaku

homoseksual di antara para santri, meskipun ada beberapa alasan lainnya. Bahkan hijab

atau pemisahan ruang telah tergenderkan sejak awal kemunculan ajaran Islam,

sebagaimana ajaran agama terdahulunya Yahudi dan Kristen. Karena gender

merupakan prinsip sebuah pengaturan kehidupan sosial yang dipenuhi hubungan

213
Perilaku Homoseksual di Ponpes

kekuasaan, oleh karena itu konstruksi sosial ruang tentu juga merupakan sesuatu yang

tergenderkan dengan sendirinya. 6 Hal ini diperkuat juga dengan bagaimana sebuah

ruang dan tempat-tempat, telah dikonstruksi dalam hal klas, gender, ras, etnis,

kolonialisme, modernisasi, kapitalisme multinasional, perencanaan bangunan,

kekuatan militer, intervensi pemerintah, dan berbagai wujud lainnya, seperti kekuasaan

yang sifatnya simbolis dan material,7 yang dalam hal ini kiai.

Di pondok pesantren An-Naqiyah penempatan pembatasan ruang secara

gender antara laki-laki dengan perempuan tidak mengenal batas standarisasi usia,

penempatan kamar bagi para santri lebih ditetapkan sesuai dengan keinginan santri

masing-masing. Hal ini merupakan kebiasaan yang ada di dalam tradisi pondok

pesantren tersebut. Meskipun demikian pada umumnya santri paling seniorlah yang

menjadi ketua kamar tersebut. Dalam setiap kamar yang ada di daerah-daerah pondok

pesantren An-Naqiyah di sekat-sekat menjadi beberapa puluh kamar yang dihuni oleh

sekitar 20-30 santri, dengan ukuran sekitar 5 x 5 meter.

Dengan membludaknya penghuni yang ada di setiap kamar, membuatnya tidak

lagi muat atau tidak nyaman untuk dijadikan tempat tidur. Sehingga kamar tersebut

lebih berfungsi sebagai tempat istirahat dan tempat untuk menyimpan barang-barang

serta tempat untuk mengganti pakaian, sedangkan segala kegiatan yang lain seperti

6
Chris Barker., 2005, Cultural Studies: Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies
Center, Yogyakarta: Bentang, hlm. 385
7
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Nzegwu pada tahun 1996 tentang
ruang-ruang Lagos di Nigeria. Ibid., hlm. 387

214
Perilaku Homoseksual di Ponpes

belajar dan tidur biasa dilakukan di depan kamar masing-masing atau di beranda

masjid.

Di pondok pesantren An-Naqiyah suasana keakraban, kebersamaan, dan

kesetaraan serta kebebasan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, telah menjadi

ciri khas dalam kehidupan mereka, sehingga seringkali perilaku dan kebiasaan

perbuatan di antara mereka di luar batas canda moralitas dalam kehidupan

kesehariannya. Seperti, gurauan di antara mereka tentang besar kecilnya alat kelamin

mereka. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh santri sesama angkatan antara Moh.

Latief dengan Abdurrahman "oh palakna ba'na mak dhe' rajena dha' remma mun dhaggi'

abine apa tak niser ka binena" (man alat kelaminmu kok besar sekali bagaimana kalau

nanti sudah menikah apa tidak kasihan dengan istrimu). Hal ini menjadi semakin kuat

dengan kebiasaan mereka untuk mandi bertelanjang bersama-sama, karena kamar

mandi yang disediakan oleh pondok pesantren tidak sesuai dengan standar jumlah

santri yang mondok. Sehingga perilaku gurauan seperti inilah yang menjadi perhiasan

keseharian para santri yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah.

Sedangkan dari perilaku seksualnya para santri yang ada di pondok pesantren

An-Naqiyah pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan perilaku seksual pada

masyarakat lainnya secara umum. Meskipun tidak dapat diukur seberapa tinggi atau

seberapa rendahnya perilaku seksual seorang santri, kalaupun mereka setiap waktunya

selalu diberi petuah-petuah tentang moralitas. Namun, sekalipun wejangan normalitas

dan nilai-nilai moralitas selalu melingkupi kehidupan kesehariannya, akan tetapi

215
Perilaku Homoseksual di Ponpes

perilaku dorongan "biologis" untuk melakukan hubungan seksual menjadi sesuatu yang

lumrah. Hal ini semakin diperkuat dengan usia setiap santri yang mondok di pondok

pesantren An-Naqiyah yang secara mayoritas telah akil baligh, atau sekitar usia remaja

antara 12 sampai 20 tahun. Meskipun usia di bawahnya atau di atasnya masih ada dan

masih banyak. Atau bisa dikatakan bahwa para orang tua memondokkan anak-anak

mereka di pondok pesantren An-Naqiyah setelah anak-anak mereka menamatkan

sekolah dasarnya atau madrasah ibtidaiyyahnya. Dengan kata lain mereka

memondokkan anak mereka di pondok pesantren untuk menempuh studi madrasah

tsanawiyah dan madrasah aliyah.

Meskipun perilaku homoseksual antarsantri (alaq dalaq) di pondok pesantren

An-Naqiyah pada awalnya lebih sebagai dorongan biologis terhadap masa

keremajaannya, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya perilaku tersebut lebih

sebagai bentuk konstruksi subjektif mereka terhadap seksualitas. Hal ini diperkuat

dengan asumsi mereka bahwa mereka melakukan hubungan alaq dalaq sebagai sarana

untuk menjalankan kebebasan berperilaku, dan kebersamaan dalam keseharian sebagai

alat untuk tetap melakukan tradisi kepesantrenan (perilaku homoseksual antara santri

senior dengan santri yuniornya), serta sebagai interpretasi terhadap tekstualitas

moralitas.8

Dalam melakukan perilaku alaq dalaq, kebebasan berperilaku para santri

menjadi sesuatu yang paling menonjol di dalam argumentasi-argumentasi mereka.

8
Hasil dari observasi selama tiga bulan dan wawancara atau obrolan bersama para santri

216
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Kebebasan mereka terlihat dengan kuatnya ambisi mereka untuk melakukan segala hal

yang menurut mereka merupakan sebuah kesenangan. Ambisi untuk bersenang-senang

dalam kehidupan keseharian para santri semakin diperkuat dengan kondisi umur

mereka yang rata-rata sedang mengalami puber atau akil baligh, sehingga dorongan

untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya menjadi sesuatu hal yang lumrah.

Selain itu, kurangnya pantauan atau peraturan yang dilakukan oleh pengasuh pondok

pesantren sedikit banyak ikut mempengaruhi perilaku pubersitas kebebasan yang ada

di dalam benak mereka.

Hal ini semakin diperkuat dengan pengakuan santri senior 9 dan alumni 10

pondok pesantren An-Naqiyah yang mengatakan bahwa perilaku kebebasan tersebut

telah lahir sejak mereka nyantri di pondok pesantren tersebut, bahkan telah diajari

oleh para senior mereka untuk melakukan perilaku yang membebaskan tersebut.

Seperti kebiasaan mereka untuk melihat atau menonton film di Sumenep atau kota

Sumenep setiap malam Jum'at, dengan memperlihatkan adegan-adegan seksualitasnya

dalam judul-judul film tersebut. Misalnya, "Ranjang Ternoda", "Nafsu Birahi", dan lain

sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena pada malam Jum'at pondok pesantren An-

Naqiyah membebaskan para santrinya dalam segala kegiatan, seperti, pengajian kitab

kuning. Sedangkan untuk sholat berjama'ah mereka tetap melakukannya, sesudah

sholat berjama'ah Isya' tersebut mereka pergi untuk melihat film dan sebelum sholat

9
Wawancara dengan Muhammad Amin, tanggal 20 Februari 2006
10
Wawancara dengan Ahmad, alumni pondok pesantren tanggal 15 Februari 2006

217
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Shubuh mereka telah kembali ke pondok pesantren, setelah itu mereka tidur akibat

bergadang semalaman. Hal ini bisa terjadi karena pada hari jum’at mereka diliburkan

dari segala kegiatan seperti hari-hari yang lain. Karena bagi pondok pesantren hari libur

adalah hari juma’at bukan hari minggu. Kebebasan ini hampir sama dengan kebebasan

yang ada di kost yang membedakannya hanyalah relasi para anak kost yang lebih

berperilaku heteroseksual. Mungkin karena keleluasaan mereka untuk berinterakasi

dengan lawan jenisnya atau memang karena ideologisasi heteroseksual yang sangat kuat

mempengaruhi mereka. Dua hal yang perlu penelitian lebih lanjut.

Dorongan pubersitas (mimpi bersenggama) dan melihat adegan seksualitas di

bioskop telah menambah daya perilaku kebebasan mereka untuk melampiaskan

perilaku seksualnya ke sesama relasi santri (laki-laki dengan laki-laki), karena tidak

adanya relasi seksual lainnya selain ke sesama santri tersebut dan karena kuatnya

dorongan untuk berperilaku seperti itu, yakni perilaku alaq dalaq sesama santri di

pondok pesantren.

Selain itu, tradisi kebersamaan dalam keseharian santri di pondok pesantren

An-Naqiyah telah menguatkan perilaku alaq dalaq ini di kalangan santri pondok

pesantren. Tradisi tersebut sama seperti Ospek dalam kebiasaan di kalangan institut,

yakni pengajaran ideologis para santri senior kepada santri yunior sebelum mereka

masuk ke dalam lingkungan pondok pesantren. Hal inilah yang menjadikan ciri khas

di dalam pondok pesantren, yakni semakin kuatnya tradisi yang ada di pondok

pesantren. Seperti tradisi kebiasaan mandi bersama dengan telanjang, bersarung

218
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dengan atau tanpa pakai celana dalam, dan tidur di depan kamar masing-masing atau

di beranda masjid, serta menghuni kamar yang sesuai dengan keinginannya, yang,

merupakan salah satu kebiasaan di antara kebiasaan lainnya.

Tradisi atau kebiasaan berperilaku alaq dalaq sesama santri juga merupakan

tradisi kesantrian yang sangat kuat dan mengakar di dalam keseharian santri. Hal ini

bisa terjadi disebabkan kebiasaan para santri senior untuk mulai menyeleksi para calon

santri (santri yunior), yang menurut mereka cakep dan sesuai dengan keinginannya.

Seperti, kulitnya putih, masih kecil (yunior), dan kelihatan cantik (cakep) menurut para

santri senior. Ciri-ciri dari santri yang cakep tersebut adalah; kulit putih, agak gemuk,

dan kulit pipi putih kemerahan. Penyeleksian ini berlangsung ketika terjadi

pendaftaran santri-santri baru, dan setiap santri baru yang favorit menurut mereka

dijadikan objek pencalonan pasangan seksual mereka pada nantinya. Dengan berbagai

kesepakatan yang terjalin, yakni akan dipelajari ilmu-ilmu yang ada di pondok

pesantren, ditemani dalam kesehariannya, dan dijaga agar tidak diganggu santri lainnya,

merupakan beberapa kesepakatan yang terjadi di antara mereka, dan jika telah terjadi

kesepakatan dengan sendirinya santri yunior tersebut akan tinggal satu kamar dengan

santri senior tersebut, dan santri senior lainnya tidak akan mengganggunya bahkan

mereka akan mencari pasangan lainnya. Namun jika santri yunior tersebut menolak

kesepakatan tersebut maka santri senior lainnya yang akan mendatanginya dan jika

tetap ditolak maka santri yunior tersebut dianggap sebagai pasangan yang bebas, yaitu

semua santri bisa melakukan hubungan alaq dalaq dengannya tanpa harus menjadi

219
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pasangan. Tradisi pemilihan pasangan seksual ini telah menjalar dan menjadi pondasi

yang sangat kuat di kalangan santri, sehingga sangat mudah untuk melacak setiap

pasangan homoseksual atau pasangan alaq dalaq yang ada di pondok pesantren An-

Naqiyah, meskipun pada awalnya harus menutup segala identitas kita sebagai seorang

peneliti. Hanya kiai, pengurus, dan ustadz-ustadz sajalah yang sangat protektif terhadap

para pendatang.

Selain itu, ada beberapa santri yang menganggap hubungan alaq dalaq mereka

sebagai sebuah penginterpretasian tafsir moralitas yang berkembang di kalangan

pondok pesantren. Seperti, tafsiran tentang "melakukan hubungan alaq dalaq yang

lebih kecil dosanya ketimbang melakukan zina". 11 Meskipun penafsiran ini tidak

diketahui sumber acuan literaturnya atau sumber acuan penafsirannya, namun

penafsiran ini telah berkembang dengan sangat kuat di dalam kalangan pondok

pesantren. Hal ini diperkuat lagi oleh pandangan kiai Subhan yang mengatakan;

"bahwa perilaku seksual di kalangan santri bukanlah termasuk ke dalam kategori

homoseksual, karena perilaku seksual tersebut dilakukan dengan hanya menggesekkan

penis mereka ke paha pasangannya, malah beliau lebih mengkhawatirkan perilaku

pacaran antarsantri laki-laki dengan santri perempuan, serta anggapannya bahwa

perilaku alaq dalaq hanyalah secuil dosa ketimbang perilaku zina. Hal ini berbeda

dengan yang terjadi pada masa Nabi Luth di mana mereka melakukan hubungan

11
Wawancara dengan Fatur, santri senior yang sekarang sudah dianggap sebagai ustadz di
pondok pesantren An-Naqiyah, tanggal 26 Februari 2006, yang mengatakan bahwa interpretasi tersebut
berasal dari kiai-kiai mereka

220
Perilaku Homoseksual di Ponpes

seksual dengan melakukan penetrasi anus, bahkan menurutnya hubungan cinta antara

santri laki-laki dengan santri perempuanlah yang lebih berbahaya yang terjadi di

pondok pesantren lewat surat-surat cintanya ketimbang melakukan hubungan seksual

antarsantri laki-laki".12

Dengan demikian, hal tersebut bukanlah sebagai perilaku homoseksual,

sebagaimana yang ditulis oleh Syarifuddin13, yang menganggap bahwa hampir semua

santri dan alumni santri tidak menganggap perilaku seksual mereka sebagai

homoseksual. Karena orang-orang (santri) yang melakukan alaq dalaq saat masih di

pondok pesantren, setelah keluar pondok pesantren kehidupan seksualnya menjadi

normal dan tidak pernah ditemukan kasus mereka menjadi homo. Meskipun demikian,

ternyata terdapat alumni santri dari pondok pesantren Niasyatul Alimin Bendula

Sumenep, yang ternyata tetap menjadi seorang yang berperilaku homoseksual.14

Meskipun demikian, penulis di sini tetap menganggap hubungan tersebut

sebagai hubungan homoseksual, sebagaimana definisi yang ada terhadap "homoseksual",

yakni keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama. Selain itu,

perilaku seksual para kaum homo dikenal dengan beberapa pola hubungan seksualnya,

yaitu perilaku oral genital (fellatio) yang hanya dengan memeluk dan mencium, kedua,

12
Wawancara pada tanggal 24 Januari 2006
13
Syarifuddin., 2005, Mairil: Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Yogyakarta: P-Idea, hlm. 29
14
Wawancara dengan Achmad Mugiono, seorang alumni santri yang tetap melakukan
hubungan homoseksual sampai sekarang, tanggal 25 Mei 2006. "Saya melakukan perilaku alaq dalaq ini
sejak mondok di pondok pesantren Niasyatul Alimin, mulai madrasah ibtidaiyah sampai madrasah
aliyah, kemudian saya keluar dari pondok dan menjadi tenaga kerja Indonesia di Malaysia, lalu pulang
ke rumah dan tetap menjadi bagian dari kaum homoseksual, yakni ketertarikan relasi seksual saya
terhadap sesama".

221
Perilaku Homoseksual di Ponpes

seks anal (koitus genitor-anal) atau seksualitasnya dengan melakukan penetrasi anus, dan

ketiga, koitus interfemoral yakni perilaku seksual dengan melakukan gesek-gesek (frottage),

dan fisting (di mana tangan dimasukkan kerektum pasangannya). Dengan demikian,

bukankah perilaku seksual yang ada di kalangan santri merupakan perilaku

homoseksual? Hal ini semakin kuat dengan tiga pola perilaku seksual alaq dalaq yang

ada di pondok pesantren an-Naqiyah, yang di dalamnya termasuk ke dalam dua

kategori pola perilaku seksual para kaum homo, yakni fellatio dan koitus interfemoral

(frottage), serta semakin nyata dengan perilaku seksual for pleasurenya para santri.

a.1. Pola Relasi Antarpelaku Alaq Dalaq

Meskipun sangat sulit untuk mengetahui pola relasi antarpelaku alaq dalaq,

namun lewat observasi, wawancara, atau obrolan dengan informan, dan bahkan lewat

pengakuan para santri dan alumni santri, dapat disimpulkan bahwa pola relasi alaq

dalaq terdapat tiga pola. Pola relasi perilaku alaq dalaq yang ada di pondok pesantren

An-Naqiyah tersebut tergambar menjadi tiga pola relasi; pertama, relasi alaq dalaq tanpa

ikatan, kedua, relasi alaq dalaq dengan ikatan, dan terakhir, relasi seksual yang

mengedepankan kesenangan atau Foucault menyebutnya dengan sex for pleasure.

Pertama, relasi alaq dalaq tanpa ikatan, yakni sebuah relasi homoseksual

antarsantri di pondok pesantren yang melakukan hubungan seksualnya tanpa harus

mempunyai ikatan yang jelas dengan pasangan seksualnya. Hal ini bisa terjadi ketika

para santri senior sudah tidak mendapatkan pasangan seksualnya di saat pendaftaran

222
Perilaku Homoseksual di Ponpes

santri baru. Atau ketika para santri baru tidak mau untuk dijadikan pasangan seksual

kesehariannya para santri senior.

Pada pola relasi seksual ini, pelaku adalah seorang santri senior yang

melakukan hubungan alaq dalaq dengan santri yunior atau santri yang lebih yunior

secara berganti-ganti tanpa adanya sebuah ikatan. Meskipun tidak menutup

kemungkinan terjadi sesama santri senior. Hal ini terjadi karena tidak adanya pasangan

yang akan dijadikannya korban, sehingga santri senior yang tidurpun bisa dijadikannya

korban alaq dalaqnya. Model seksual tanpa ikatan ini biasanya para santri senior setiap

malamnya mencari santri yunior yang akan dijadikannya sasaran seksualnya dan

kebanyakan sasaran korbannya adalah mereka para santri yunior yang dalam keadaan

tertidur. Hal ini bisa terjadi karena para santri baik senior maupun yunior tidur di

depan kamar masing-masing, namun mayoritas tidur di beranda masjid, sehingga

sangat memudahkan para santri senior untuk mencari korban atau pasangan dengan

orientasi seksualnya homoseksual. Selain itu, kebiasaan para santri untuk tidak

menggunakan celana dalam di dalam setiap aktivitas kesehariannya juga merupakan

salah satu faktor yang mempermudah terjadinya hubungan alaq dalaq ini dan juga tidak

bisa dilepaskan adalah kebiasaan mereka menggunakan sarung. Karena sarung bagi

para santri di pondok pesantren tradisional adalah pakaian resmi mereka baik untuk

ibadah, kantor, atau kegiatan resmi lainnya, termasuk juga di pondok pesantren An-

Naqiyah. Hal ini bisa terjadi karena sarung telah dibudayakan bahkan diideologikan

sebagai bagian yang utuh dari agama, sehingga ada anggapan bahwa santri atau orang

223
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yang tidak memakai sarung dan kopyah dalam aktivitas keagamaannya, seperti sholat

bukanlah warga NU, yang telah melepas nilai-nilai kebudayaan. Sehingga para santri

sangat sulit untuk melepas kebiasaannnya memakai sarung tersebut.

Dengan berbagai kebiasaan tersebutlah yang menjadi pendukung terciptanya

perilaku alaq dalaq di kalangan santri, selain faktor-faktor yang telah disebutkan

sebelumnya, yakni, masa pubertas, pola kebebasan yang tinggi, pembudayaan tradisi

pondok pesantren, interpretasi tafsir terhadap perilaku alaq dalaq, dan lain sebagainya.

Pada pola relasi alaq dalaq ini santri senior akan mencari korbannya sejak mulai habis

sholat isya', sehingga dia akan mengikuti korbannya di mana ia tidur, maka santri

senior tersebut akan tidur di samping korbannya tersebut. Sementara santri yunior

(korban) tersebut tidur maka santri senior mulai lebih mendekat, hal ini biasanya

terjadi sekitar pukul 00.00 – 02.00 wib, dengan berpura-pura memeluk korbannya

pada awal reaksinya dan jika korban tersebut tidak bergerak berarti dia telah tidur

dengan pulas sehingga mempermudah pelaku untuk segera melakukannya. Setelah itu

pelaku akan membuka sebagian sarungnya dan lebih mendekatkan penisnya ke bagian

paha korbannya yang terutama bagian di antara dua paha yang menyempit, maka penis

tersebut akan digosok-gosokkannya ke paha korbannya sampai santri senior tersebut

mencapai klimaks, atau keluar air mani. Kenapa santri yunior yang menjadi korban,

karena bagi santri senior hal itu akan memudahkan untuk terjadinya perilaku alaq

dalaq tersebut, dan juga sebagai sebuah kepuasan tersendiri mendapatkan korban

yunior yang menurut mereka cakep, serta bisa diredamnya para santri yunior untuk

224
Perilaku Homoseksual di Ponpes

marah atau ngamuk ketika mereka mengetahui telah menjadi korban alaq dalaq para

santri senior. Bahkan kejadian ini bisa terjadi sampai lima pasangan perilaku alaq

dalaq.15 Pasangan alaq dalaq kebanyakan korbannya adalah yunior, karena bagi santri

senior para santri yunior tidak akan berontak secara berlebihan ketika dia mengetahui

telah dijadikan korban perilaku alaq dalaq oleh seniornya, atau santri yunior tersebut

tidak akan melaporkan perbuatan santri senior terhadapnya kepada kiai, dan juga

karena santri yunior adalah santri yang paling mudah untuk dijadikan korban karena

masih minimnya pengalaman mereka di dalam tradisi alaq dalaq di pondok pesantren.

Para korban tersebut tidak jarang diguna-gunai (diberi mantra) oleh para santri

senior untuk segera cepat tidur dengan nyenyak sehingga memudahkan santri senior

untuk melakukan aksinya. Biasanya para santri yunior yang menjadi korban tersebut

akan mengetahuinya sesa'at ketika dia akan ngambil wudlu' buat sholat subuh atau

ketika bangun tidur karena mengetahui pahanya basah oleh air mani dan sarungnya
16
tersingkap. Sehingga mengakibatkan dirinya untuk mandi dengan maksud

menyucikan diri dari kotoran air mani yang dikeluarkan oleh teman santri seniornya.

Hal ini terlihat pada setiap harinya menjelang sholat subuh banyak santri di pondok

pesantren An-Naqiyah yang melakukan mandi besar, meskipun dengan berbagai alasan,

di antaranya supaya tidak ngantuk, namun penulis yakin bahwa mayoritas dari mereka

15
Wawancara dengan Moh. Hambali, alumni santri, tanggal 25 Desember 2005, dan dengan
Ahmad Syafi'I, santri, tanggal 25 April 2006.
16
Dalam tradisi Islam dikenal dua macam cara menyucikan; pertama, suci kecil, seperti wudlu'
dan kedua, suci besar bagi mereka yang mengeluarkan air mani, bersenggama, atau korban dari perilaku
alaq dalaq.

225
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yang melakukan mandi di waktu sebelum sholat subuh adalah mereka yang melakukan

perilaku alaq dalaq. Hal ini diperkuat dengan kejujuran mereka ketika penulis mencoba

untuk menanyainya satu persatu, dari setiap santri yang mandi besar tersebut. Dari hal

tersebutlah maka penulis di sini menganggap bahwa pola perilaku alaq dalaq tanpa

ikatan ini sebagai perilaku homoseksual dengan pola koitus interfemoral (frottage), yakni

pola seksual dengan menggunakan pola menggesek-gesekkan alat kelamin ke arah di

mana tujuan seksualnya, yang dalam hal ini adalah di antara dua paha.

Kedua, pola relasi alaq dalaq dengan ikatan. Pada pola ini biasanya setiap santri

senior akan mendapatkan pasangan seksualnya yakni santri yunior, di sa'at mulai

pendaftaran santri baru atau ketika sudah terjalin kesepakatan di antara kedua santri

tersebut. Biasanya dengan pola ini kedua santri tersebut akan menempati kamar yang

sama, karena kesepakatan di antara mereka untuk terus bersama, saling membantu,

saling menjaga, dan saling memberi, serta saling kasih mengasihi. Santri senior dalam

hal ini adalah ketua kamar yang disegani oleh penghuni kamar yang lain, sehingga

tidak ada yang berani santri-santri penghuni kamar tersebut untuk melawannya.

Dalam kesehariannya kedua santri tersebut akan bersama, saling bergandengan

ke manapun mereka pergi. Pada pola ini bisa diasumsikan tentang pola konsepsi

keluarga dalam ajaran Islam, bahwa santri senior tersebut adalah suami yang harus

menjaga, harus membimbing, harus memberi petuah, dan tidak jarang harus memberi

nafkah seadanya, seperti uang untuk makan mereka berdua. Sedangkan santri yunior

tersebut adalah perempuan dengan sosok sebagai istri yang harus nurut terhadap

226
Perilaku Homoseksual di Ponpes

perintah suami, bersedia menemani suami, melayani suami kapanpun dan di manapun,

serta masak untuk suami. 17 Sehingga banyak guyonan para santri bahwa santri si A

adalah istri dari santri B, bahkan ada sebagian ustadz yang ngajar di pondok pesantren

An-Naqiyah yang mempunyai pasangan alaq dalaq santri yunior. Hal ini dikarenakan

usia para ustadz tersebut yang telah melampaui usia 30-an dan belum menikah. 18

Namun ketika dia sudah menikah dan keluar dari pondok pesantren dengan

sendirinya dia tidak berhubungan seksual lagi dengan santri yunior tersebut. Meskipun

ada beberapa ustadz atau santri senior yang tetap tinggal di pondok walaupun dia

sudah berkeluarga.

Berbeda dengan pola alaq dalaq yang pertama, pada pola ini pasangan seksual

alaq dalaq tersebut akan dengan bebasnya melakukan hubungan alaq dalaqnya di

manapun dan kapanpun, namun biasanya dilakukan di kamar yang mereka tempati.

Karena di kamar tersebut santri seniornya menjadi ketua kamar. Dalam pola ini

biasanya kedua pasangan tersebut hanya saling memeluk, saling mencium, meskipun

tidak menutup kemungkinan terjadinya gesek-gesek alat kelamin ke paha pasangannya


19
atau bahkan ke ketiak pasangannya. Bahkan pada pola ini tidak menutup

kemungkinan juga terjadinya hubungan alaq dalaq dengan penetrasi anus, karena

17
Wawancara dengan Ilham, alumni santri pondok pesantren An-Naqiyah, tanggal 26 April
2006
18
Wawancara dengan Hambali, alumni santri, tanggal 25 Desember 2005, bahkan ustadz
tersebut mempunyai prioritas utama untuk mendapatkan pasangan yang diinginkannya, sampai ustadz
tersebut menikah dan keluar dari pondok pesantren.
19
Wawancara dengan Muhammad Fathurrahman, santri senior yang mempunyai pasangan
Muhammad Wildan santri yunior yang baru dua tahun mondok, tanggal 20 April 2006.

227
Perilaku Homoseksual di Ponpes

tertutupnya hubungan alaq dalaq dengan ikatan ini ketimbang perilaku alaq dalaq

tanpa ikatan yang banyak dilihat oleh santri-santri lainnya. Sehingga penulis

menganggapnya sebagai pola fellatio di dalam hubungan homoseksual, yang hanya

memeluk dan mencium sebagai pola relasi seksual dominannya. Selain itu, para pelaku

relasi alaq dalaq dengan ikatan ini akan mendapat sanjungan atau kewibawaan

tersendiri dari santri-santri lainnya ketika dia bisa memiliki pasangan seksual yuniornya.

Sehingga hal ini dianggap sebagai pola yang hampir sama dengan gemblak dalam

tradisi warok oleh Syarifuddin, 20 yang menggambarkan bahwa ketika seorang warok

dengan gemblaknya penuh dengan tradisi yang sarat nilai, karena tanpa gemblak

seorang warok tidak akan mendapatkan pamor, sehingga ketika warok merawat

gemblak maka sebuah prestise dan kewibawaan yang akan didapatnya. Selain itu, para

santri di pondok pesantren An-Naqiyah, akan mengejek para santri yang tidak

mempunyai pasangan atau para santri yang tidak melakukan hubungan alaq dalaq

dengan santri lainnya dengan sebutan bendu. Sebutan bendu tersebut pada akhirnya

akan membuat para santri untuk melakukan perilaku alaq dalaq, karena bagi mereka

bendu adalah sebuah aib yang tidak bisa termaafkan oleh siapapun dan di manapun.

Pola relasi alaq dalaq yang terakhir adalah sex for pleasure. Berbeda dengan pola

relasi alaq dalaq yang lainnya, pada pola relasi ini tidak dikenal istilah santri senior

dengan santri yunior. Karena dalam pola relasi alaq dalaq ini kebanyakan adalah para

santri yang seangkatan atau bahkan sekelas, meskipun tidak menutup kemungkinan
20
Syarifuddin., 2005, Op. Cit, hlm. 26.

228
Perilaku Homoseksual di Ponpes

sekamar. Persamaan usia yang masih muda, yang penuh dengan imajinasi-imajinasi

nafsu liarnya akan berahi serta kebiasaan mereka untuk menonton film-film yang

berbau porno sebagai yang diperlihatkan oleh Baudrillard, bahwa adegan merupakan

ruang yang memesonakan dengan serbuan kecabulannya (obscenity). Meskipun adegan

tersebut nyata (visible), yang cabul adalah hipervisible, namun secara umum pornografi

adalah alat untuk menayangkan secara dekat orgasme perempuan, sehingga nafsu yang
21
merupakan sifat sebuah adegan akhirnya lenyap ke dalam kecabulan, telah

menyebabkan semakin kuatnya nafsu libido mereka untuk melakukan perilaku seksual.

Namun, keterbatasan kesempatan dan sulitnya mencari relasi seksual bagi mereka

(terutama santri yunior), telah menyebabkan semangat kesenangan seksual dengan

melakukan sex for pleasure sesama santri yunior atau santri angkatannya. Hal ini

dikarenakan pada pola relasi alaq dalaq ini kebanyakan adalah mereka santri yunior.

Pada pola relasi alaq dalaq ini, biasanya terjadi di sa'at para santri berkumpul atau

berkelompok, dengan jumlah kurang lebih empat sampai lima santri. Karena kebiasaan

mereka untuk membicarakan hal-hal yang berbau porno, seperti, "wah penismu besar

sekali", "pantat perempuan itu besar ya", pada akibatnya semakin menambah semangat

kesenangan seksual untuk melakukan perilaku yang berbau seksual ke sesama santri

lainnya. Mereka dengan kelompoknya biasanya mencari sasaran, yakni santri yang lebih

kalem, penurut, dan penakut, untuk dijadikan korban dalam pola relasi seksual alaq

21
George Ritzer., 2004, Teori Sosial Postmodern, cet. II, terj. Muhammad Taufik, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, hlm. 185

229
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dalaq for pleasure ini. Korban tersebut akan dipegang beramai-ramai dengan memegang

tangannya, kakinya, dan membuka sarungnya, dan kemudian ada salah satu dari

kelompok santri tersebut yang melakukan pemaksaan onani terhadap korban tersebut

sampai korban tersebut mengeluarkan air mani atau mencapai klimaks. Kesenangan

seksual ini banyak terjadi di kalangan santri terutama ketika santri-santri tersebut

sedang ngobrol atau lagi nganggur. Perilaku ini biasanya dilakukan di kamar salah satu

santri yang berkelompok tersebut atau ketika mandi bersama. Kesenangan ini dianggap

sebagai kenikmatan atau kepuasan tersendiri bagi para santri yang melakukannya.

Selain itu, pada pola relasi alaq dalaq for pleasure ini terdapat juga kebiasaan

para santri yang berkelompok tersebut untuk berlomba melakukan onani bersama,

dengan kategori siapa yang paling lama keluar air maninya akan menjadi pemenang,

dan pemenang tersebut akan mendapatkan makanan, minuman, atau rokok dari para

santri lainnya yang mengikuti. Kebiasaan ini biasanya dilakukan di kamar salah satu

santri tersebut atau di kebun di kawasan pondok pesantren, dan bahkan ada

pengakuan dari seorang santri yang melakukannya di masjid ketika akan tidur malam,

dengan peserta sekitar sepuluh orang.22

a.2. Pola Relasi Dengan Masyarakat

Di dalam pola relasi santri yang melakukan hubungan alaq dalaq dengan

masyarakat hampir sama dengan pola relasi santri lainnya yang tidak melakukan

hubungan alaq dalaq dengan masyarakat. Di dalam keseharian para santri, kiai, dan

22
Pengakuan dari Muhammad Marzuki, santri kelas tiga MTs, tanggal 25 Februari 2006

230
Perilaku Homoseksual di Ponpes

ustadz-ustadz yang ada di wilayah pondok pesantren An-Naqiyah selalu berhubungan

dengan masyarakat sekitarnya bahkan masyarakat Sumenep secara luas. Hal ini

dikarenakan wilayah pondok pesantren An-Naqiyah yang menjadi satu kesatuan

dengan wilayah yang ditempati masyarakat sekitar desa Gilir-gilir. Ketiadaan batas atau

pagar pembatas pondok bagi santri dan tolerannya atau lemahnya peraturan yang

diberlakukan di pondok pesantren An-Naqiyah, seperti tidak adanya larangan untuk

keluar wilayah pondok pesantren asalkan hanya sebatas desa Gilir-gilir, sedangkan

kalau sudah keluar dari desa Gilir-gilir harus melapor atau izin kepada ustadz atau kiai.

Namun, karena tidak adanya peraturan secara tertulis yang diberlakukan bagi para

santri maka banyak santri-santri yang tidak mengindahkan peraturan tersebut.

Kebersamaan antara santri dengan masyarakat sekitar lebih nampak ketika

tetangga pondok pesantren mengalami musibah, seperti kematian, karena para

santrilah yang diundang oleh mereka untuk mengaji dan mensholati dan bahkan

memandikan mayat tersebut. Santripun dengan senang menerima undangan tersebut

karena mereka akan mendapatkan makan, minum, dan uang, serta berkat,23 karena bagi

mereka dengan mendapatkan itu semua maka mereka para santri tidak usah lagi

memasak untuk makan dalam kesehariannya. Selain pada waktu musibah, pada waktu

mengalami kesenanganpun masyarakat sekitar juga akan mengundang santri untuk

sekedar selamatan atau mengaji, seperti kelahiran bayi, pernikahan, dan lain sebagainya.

23
Berkat adalah makanan yang berbentuk nasi dengan lauk pauknya biasanya ayam, sapi, dan
telur, serta roti-roti atau snack yang bisa dibawa pulang oleh para undangan.

231
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Dari kenyataan ini masyarakat sangat susah untuk mengetahui atau

membedakan antara santri yang berperilaku seksual alaq dalaq dengan yang tidak

melakukannya, karena bagi masyarakat santri adalah orang yang belajar keagamaan dan

bisa menjaga moralitas keagamaan.24 Kedekatan masyarakat sekitar dengan santri sudah

lahir sejak santri tersebut mulai mondok di pondok An-Naqiyah. Sehingga dengan

lambat laun para santri akan semakin akrab dengan masyarakat sekitarnya seiring

waktu lamanya santri tersebut mondok di pondok An-Naqiyah tersebut. Yang pada

akhirnya maka masyarakat sekitar tersebut akan mengundang para santri yang lebih

akrab dengan mereka atau dengan kata lain masyarakat tersebut akan mengundang

santri-santri senior ketimbang santri-santri yuniornya. Padahal santri-santri seniorlah

yang sering melakukan hubungan perilaku seksual alaq dalaq.

Namun ketika hal ini ditanyakan oleh penulis kepada masyarakat, mereka

menjawab bahwa perilaku tersebut bukanlah perilaku seksual, karena bukan laki-laki

dengan perempuan, apalagi dimasukkan ke dalam kategori homoseksual, karena

menurutnya perilaku homoseksual akan dikutuk oleh Allah dan dilarang oleh kiai,

seperti pada masa Nabi Luth. Kebiasaan alaq dalaq ini lebih sebagai dorongan nafsu

seksualitas karena tidak dapatnya para santri berrelasi dengan lawan jenisnya yakni

24
Wawancara dengan Pak Johar, tetangga pondok pesantren, tanggal 15 Mei 2006, yang ketika
akan menikahkan anak-anaknya selalu mengundang para santri, ustadz, dan kiai untuk mendapatkan
berkah Allah. Karena menurutnya mereka lebih dekat dan lebih mustajab segala permintaannya atau
do'anya kepada Allah ketimbang tetangga-tetangganya.

232
Perilaku Homoseksual di Ponpes

perempuan. 25 Pendapat seperti ini bisa dimaklumi karena masyarakat sangat patuh

terhadap segala petuah kiai, yang mengatakan bahwa perilaku alaq dalaq bukanlah

perilaku homoseksual dan lebih kecil dosanya ketimbang zina, serta tingginya

stratifikasi sosial keagamaan para kiai dan santri sehingga dengan sendirinya mereka

akan mendapatkan perlakuan yang istimewa oleh masyarakat umum yang berada di

bawahnya secara stratifikasi sosial keagamaan. Yang pada akhirnya akan menjadikan

masyarakat menghormati segala perintah atau petuah kiai dan mengagung-agungkan

para santri karena kebiasaan mereka dalam mempelajari dan mempraktikkan ajaran

keagamaan.

Selain itu, para alumni pondok pesantren tradisional An-Naqiyah biasanya

saling melakukan komunikasi, baik dalam bidang sosial, politik, agama, dan

pendidikan, seperti dalam bidang sosial politik, kerjasama mereka di dalam

keorganisasian partai politik sebagai pengurus. Dari kerjasama inilah mereka saling

berhubungan antaralumni santri, sampai-sampai mereka saling mengenal antarkeluarga

masing-masing. Dalam kehidupan kekeluargaan ini biasanya para istri-istri tersebut

mengetahui siapa pasangan alaq dalaq suami mereka di pondok pesantren, terutama

istri-istri mereka yang berasal dari alumni pondok pesantren juga. Pengetahuan istri-

istri tersebut tidak akan membuat mereka melarang para suaminya untuk berhubungan

kembali dengan pasangannya, karena mereka yakin para suaminya tidak akan

25
Wawancara dengan Muhammad Soleh, penduduk desa Gilir-gilir, tanggal 14 Mei 2006

233
Perilaku Homoseksual di Ponpes

melakukan hubungan alaq dalaq lagi. Hal ini diperkuat dengan mereka telah

mempunyai keluarga, seperti istri dan anak.26

Hal ini sejalan dengan posis kiai di dalam masyarakat Gilir-gilir yang menerima

penghormatan yang sangat tinggi dari masyarakat. Jika dibandingkan dengan elite lokal

lainnya, seperti petani yang kaya, kiai khususnya yang mempunyai pondok pesantren

akan mempunyai posisi yang lebih terhormat di mata masyarakat. Selain itu,

kepemimpinan kiai tidak hanya sebatas wilayah keagamaan, namun meluas ke wilayah

politik. Sebagaimana yang terjadi di pondok pesantren An-Naqiyah para kiainya yang

dikenal dengan sebutan punggawa lima menjadi ketua atau aktif di dalam partai politik,

di antaranya kiai Riyad memimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kabupaten

Sumenep, kiai Busiri menjadi Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Selain

itu, kiai Subhan, kiai Hamid dan kiai Hafidz menjadi Dewan Syuro PKB Sumenep.

Namun hanya kiai Riyad yang menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah II

Sumenep.27 Keberhasilan ini akan semakin memperlihatkan dirinya sebagai orang yang

mempunyai pengaruh yang sangat kuat sehingga dengan mudah dapat menggerakkan

aksi sosial. Dengan demikian, kiai telah lama menjadi elite yang sangat kuat.28

26
Wawancara dengan Siti Aisyah, istri dari Muhammad Saleh, alumni pondok pesantren An-
Naqiyah, tinggal di Lenteng tanggal 03 Januari 2006
27
Meskipun terdapat perbedaan parpol di dalam kepemimpinan pondok pesantren An-
Naqiyah, namun mereka (kiai dan keluarganya) tidak pernah bertengkar dan berselisih, kecuali para
santri dan masyarakat yang menjadi pengikutnya yang kadangkala bingung untuk mengikuti kiai yang
mana, wawancara dengan kiai Busiri dan kiai Riyad, Gilir-gilir tanggal 23 Januari – 30 Januari 2006.
28
Endang Turmudi., 2003, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS: Yogyakarta, hlm. 95

234
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Ada dua faktor utama sebagai pendukung kuatnya posisi kiai di masyarakat.

Pertama, kiai adalah orang yang mempunyai pengetahuan keagamaan yang luas yang

kebanyakan masyarakat belajar kepadanya. Sehingga seringkali kiai dianggap memiliki

kemampuan laduniyah dan karomah sebagai sumber keberkahan. Baik masyarakat yang

mondok, atau sebagai pengikut kiai di dalam ritual keagamaan tarekat, atau sebagai

pengikut pengajian yang dilakukan oleh kiai. Kedua, kiai kebanyakan berasal dari

kemapanan ekonomi. 29 Dengan kekayaan yang dipunyai oleh kiai maka diciptakanlah

pola patronase yang berhubungan dengan masyarakat setempat. Karena luasnya tanah

yang dimiliki oleh kiai maka ia mempekerjakan para masyarakat sekitar desa Gilir-gilir

dan Sumenep, baik sebagai buruh ataupun penyewa. Bahkan santrinyapun yang datang

dari keluarga miskin dipekerjakan di ladangnya. Dengan dua sumber daya manusia

tersebut (pendidikan dan politik), serta ekonomi yang dimilikinya, kiai pada akhirnya

akan menjadi orang yang disegani di lingkungan masyarakatnya. Hal ini terjadi

dikarenakan pola hubungan antara kiai dengan masyarakat tidak didasarkan kepada

prinsip kesetaraan, di mana pihak pertama mendapatkan penghormatan yang

berlebihan dari pihak yang kedua.30

Dengan demikian, kiai yang dianggap sebagai figur sentral dalam pondok

pesantren dan masyarakat, maka ia akan mempunyai pengikut dan pengaruh yang

sangat besar di dalam masyarakat. Sebagaimana terlihat dari perolehan suara pada

29
Ibid..
30
Ibid., hlm. 96

235
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Pemilu 2004, di mana PKB dan PPP menjadi dua partai peroleh suara terbesar.

Meskipun ada beberapa alasan lainnya akan kemenangan tersebut. Dengan pengaruh

yang begitu besar maka akan membentuk sebuah jaringan kiai terhadap masyarakat.

Jaringan-jaringan tersebut adalah;31

• Jaringan Genealogis,32 jaringan terbentuk melalui hubungan darah

atau kekerabatan antara kiai yang satu dengan kiai lainnya. Sehingga

banyak para kiai yang menikahkan anak-anak mereka dengan anak

kiai lainnya. Bahkan pernah seorang putri kiai salah satu dari kiai

punggawa lima yang berpacaran dengan santrinya, mendapatkan

perlawanan dari keluarga besarnya, yang pada akhirnya

menikahkannya dengan anak kiai.

• Jaringan Ideologis, jaringan ini terbentuk karena persamaan

kepentingan ideologis, baik pemahaman keagamaan (kelompok

keagamaan NU atau tarekat), maupun ideologi politik (PKB dan

PPP).

• Jaringan Intelektual, jaringan yang terbentuk melalui proses

pembelajaran, baik formal maupun non formal, antara guru dengan

muridnya.

31
Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Suwito dan Muhbib, “Jaringan Intelektual Kiai
Pesantren di Jawa-Madura Abad XX”, di dalam Khaeroni (dkk) (Edit)., 2002, Islam dan Hegemoni Sosial,
Media Cita: Jakarta, hlm. 134-137
32
Hal ini juga pernah diteliti oleh Iik Arifin Mansurnoor., 1990, Islam in an Indonesian World:
Ulama of Madura, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

236
Perilaku Homoseksual di Ponpes

• Jaringan Teologis, jaringan ini terbentuk melalui persamaan

pemahaman teologi yang diyakini oleh kiai lewat pesantrennya,

yakni ajaran teologi Asyariyah dan Maturidiyah, yang pada akhirnya

dikenal dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.

• Jaringan Spritual, jaringan ini terbentuk melalui pengajian-

pengajian yang diadakan oleh kiai atau organisasi tarekat. Meskipun

di pondok pesantren ini bukan pusat dari pengembangan tarekat.

• Jaringan Sosial Politik, jaringan ini memainkan peranan yang sangat

sentral, yang melalui fatwanya para kiai mampu untuk

menggerakkan semangat jihad para masyarakat pengikutnya, baik

ketika terjadi kemaksiatan atau untuk pemenangan pemilu.

Kewibawaan kiai ini tetap dipertahankan. Jika terjadi konversi

(pindah parpol), maka masyarakat akan mengikutinya.

B. Homoseksual Di Ponpes Modern Al-Amanah

Di dalam bukunya The History of Sexuality, Foucault mencoba untuk melakukan

perombakan terhadap apa yang disebutnya sebagai "hipotesis represif". Menurut

pandangannya, institusi-institusi modern telah melakukan pemaksaan terhadap

manusia atas manfaat-manfaat yang ditawarkannya, yakni semakin meningkatnya

represi terhadap seksualitas.

Peradaban modern adalah peradaban yang melakukan kedisiplinan, yang pada

akhirnya akan menciptakan kontrol terhadap perilaku manusia. Foucault dalam

237
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pandangannya melihat bahwa kehidupan sosial modern merupakan kehidupan yang

penuh dengan fenomena intrinsik yang terkait erat dengan munculnya "kuasa disiplin"

(disciplinary power), yakni sebuah kuasa yang lengket dalam institusi-institusi modern,

seperti penjara, rumah sakit jiwa, perusahaan-perusahaan, dan sekolah. Sebagaimana

yang terdapat di institusi modern pondok pesantren Al-Amanah, kedisiplinan

merupakan hal yang sangat dikedepankan ketimbang yang lainnya. Sehingga kontrol

terhadap setiap perilaku santrinya sangat kuat, yang pada akhirnya akan melahirkan

kuasa disiplin pada diri pemimpin institusi pondok pesantren tersebut. Seperti, kuasa

pemimpin pondok pesantren Al-Amanah untuk mengusir para santrinya yang

berperilaku tidak disiplin atau melanggar peraturan.

Disciplinary power ini pada akhirnya akan memproduksi tubuh-tubuh yang jinak

(docile bodies), yakni setiap perilaku atau aktivitasnya akan terkontrol dan teregulasi,

ketimbang tindakan yang mendahulukan spontanitas yang berdasarkan kepada

nuraninya. Selama periode modern ini, seksualitas dan kekuasaan (sex and power) saling

jalin-menjalin dalam pola yang beragam dan berbeda-beda. Seperti, kampanye yang

dilakukan oleh para dokter dan pendidik tentang bahaya dari perilaku masturbasi.

Sehingga banyak sekali perhatian terhadap kampanye ini. Atau dengan kata lain

Foucault menyebutnya sebagai psikiatri kesenangan, yakni pelarangan terhadap

seksualitas erotis yang dianggap abnormal, menyimpang, dan perlu perawatan. Dengan

alasan bahwa praktek-praktek seksual yang nonprokreatif tersebut akan memperlemah

tubuh dan menjadikannya rawan terhadap setiap penyakit. Sehingga kita akan curiga

238
Perilaku Homoseksual di Ponpes

bahwa tujuan kampanye tersebut bukanlah untuk melenyapkan praktek masturbasi

melainkan sebuah kampanye untuk mengarahkan perkembangan individu, baik secara

fisik maupun secara mental. 33 Foucault juga menambahkan tentang banyaknya para

psikiater, dokter, dan lainnya yang mengkategorikan kasus perilaku seksual yang tidak

wajar atau tidak normal menurut mereka akan diungkapkan kepada publik dan

dimasukkan ke dalam klasifikasi perilaku individu, kepribadian, dan idetntitas diri,

sebagaimana perilaku homoseksual. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh

Judith Butler:

Jika identitas adalah suatu istilah yang salah, maka kata "aneh" harus
diletakkan pada istilah ini sebagai sebuah afiliasi, hanya saja ia tidak akan
bisa menjelaskan sepenuhnya apa yang ingin ia gambarkan. Maka, kita
harus menekankan ketidakpastian dari istilah ini: membiarkannya
dihapus oleh mereka yang pantas untuk direpresentasi oleh istilah itu,
membiarkannya diisi oleh makna-makna yang sekarang tidak dapat
diantisipasi oleh generasi selanjutnya….34

Sebagaimana yang terdapat di dalam institusi modern, pendidikan di pondok

pesantren modern Al-Amanah, kekuasaan kedisiplinan yang kuat dengan berbagai

peraturan-peraturan bakunya telah menciptakan kontrol yang sangat ampuh terhadap

segala elemen kehidupan instansi tersebut, yakni ustadz dan santri. Sehingga akan

33
Anthony Giddens., 2004, Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta, dan Erotisme dalam
Masyarakat Modern, terj. Riwan Nugroho, Jakarta: Fresh Book, hlm. 23-25
34
Judith Butler., 1993, Body and Matter: on the Discursive Limits of "Sex", New York: Routledge,
hlm. 230, sebagaimana yang dikutip oleh Karmen MacKendrick., 2002, Counterpleasures: Risalah
Kenikmatan dan Kekerasan Seksual, terj. Sudarmaji, Yogyakarta: Qalam, hlm. 104

239
Perilaku Homoseksual di Ponpes

menciptakan tubuh-tubuh yang jinak yang bisa dikontrol, dikuasai, dan diarahkan

sebagaimana keinginan yang mempunyai kekuasaan (kiai).

Selain itu, berbeda dengan sistem institusi tradisional pondok pesantren An-

Naqiyah, pondok pesantren modern Al-Amanah meskipun menggunakan sistem hijab

dalam pemisahan ruang gender antara perempuan dan laki-laki, namun di Al-Amanah

pemisahan ruang tersebut adalah pemisahan ke semua segala kegiatan, bangunan,

peraturan, dan bahkan pemimpin pondok pesantren. Pondok pesantren yang laki-laki

dipimpin oleh kiai, sedangkan pondok pesantren perempuannya dipimpin oleh istri-

istri kiai atau nyai-nyai. Di An-Naqiyah meskipun diterapkannya peraturan hijab namun

antara santri laki-laki dan santri perempuan hanya terpisah oleh kamar dan ruang.

Sedangkan bangunan, peraturan, dan pemimpinnya masih sama, atau dengan kata lain

meskipun mereka berpisah namun bukan dalam satu bangunan, sehingga sangat

memungkinkan terjadinya kontak antara santri laki-laki dengan santri perempuan,

meskipun hanya sebatas surat cinta di antara mereka. Hal inilah yang ditakutkan oleh

para pemimpin pondok pesantren An-Naqiyah ketimbang perilaku seksual alaq dalaq di

antara sesama santri laki-laki.

Selain itu, dalam ruang pembatasan gender di Al-Amanah dikenal istilah santri

baru dan santri lama, serta pemisahan antarsantri setiap tahunnya agar lebih mengenal

dan lebih terbiasa dalam berhubungan dengan santri-santri yang lain termasuk

pemisahan dalam hal asal daerah santri tersebut dan juga klasifikasi kelas. Seperti

ruang kamar di rayon Shigor dihuni oleh santri kelas Syu'bah Tamhidi, kelas satu dan

240
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dua, kamar di rayon Syabab ditempati oleh santri kelas Syu'bah I'dadi, kelas satu

intensif (kelas satu sesudah santri tersebut lulus MTs atau SMP dan MA atau SMA,

dengan sistem kenaikan kelasnya berlanjut ke dua kelas sesudahnya atau naik ke kelas

tiga lalu ke kelas lima dan baru ke kelas enam), sedangkan ruang rayon Kibar dihuni

oleh santri kelas tiga intensif, dan kelas empat, untuk santri kelas lima disebar ke

kamar-kamar yang ada pada rayon-rayon yang ada sebagai ketua kamar atau

pembimbing yang dianggap sebagai pembantu para guru dan kiai di pondok yang

kemudian disebut dengan istilah muallim,35 serta sebagai pengurus di struktur Organtri

yang ditempatkan di tempat khusus dan berpisah dengan santri lainnya, termasuk bagi

santri kelas enam yang difokuskan pada satu rayon dengan maksud untuk melancarkan

nilai nihaiyah pada diri santri. Setiap kamar yang ada di pondok pesantren Al-Amanah

dengan ukuran sekitar 4 x 5 meter dihuni oleh santri sebanyak enam sampai sepuluh

orang, dengan fasilitas lemari, dan setiap santri diwajibkan untuk tidur di kamar

masing-masing dengan membawa kasur, bantal, dan guling sendiri, serta memakai

celana dengan kaos yang dimasukkan serta memakai sabuk. Setiap rayon diberi fasilitas

tempat mandi, sehingga setiap santri dilarang untuk mandi di kamar mandi rayon

lainnya, kecuali WC yang hanya diberi satu tempat untuk semua santri yang ada di Al-

Amanah.

Ketatnya peraturan dan pendisiplinan tubuh yang begitu kuat di dalam institusi

pondok pesantren modern Al-Amanah pada akhirnya akan melahirkan yang jinak yang

35
Muallim ini adalah istilah bagi para santri yang duduk di kelas lima dan kelas enam

241
Perilaku Homoseksual di Ponpes

bisa dikontrol dan dikendalikan oleh para penguasa kebijakan. Sehingga tidak sedikit

anekdot-anekdot di kalangan para santri yang mengatakan bahwa keseharian mereka

bagai para bui, yang membedakannya hanyalah mereka hidup di dalam penjara suci

yang penuh dengan aturan-aturan dan diarahkan oleh jaras (bel) dalam setiap kegiatan

yang wajib dikerjakan oleh para santri. Kedisiplinan yang diajarkan bagi para santri di

kalangan pondok pesantren Al-Amanah pada akhirnya akan melahirkan pemberontak-

pemberontak peraturan, yang dengan kuasa disiplinnya maka para santri yang

memberontak tersebut akan dikeluarkan dari pondok atau didenda, seperti digundul.

Secara seksualitas, para santri di Al-Amanah hampir sama dengan santri di An-

Naqiyah, yakni mereka hidup dengan keterpisahan dengan lawan jenisnya pada usia

masa-masa pubertas, sehingga dorongan seksual atau libido mereka sedang kuat-

kuatnya. Namun dengan kuatnya peraturan yang ada di Al-Amanah menjadikannya

sulit bagi para santri untuk mengekspresikan gairah seksualitas mereka. Ketakutan-

ketakutan para santri ketika akan dihukum atau dikeluarkan dari pondok pesantren

karena melakukan tindakan indisipliner telah menimbulkan tubuh-tubuh yang penuh

impian kebebasan terkontrol dan dijinakkan, serta ketakutan mereka kalau dikeluarkan

dari pondok pesantren maka status sosial mereka dengan sendirinya akan berubah

bahkan mereka akan dibenci oleh kedua orang tuanya dan masyarakat karena dianggap

tidak mampu mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Meskipun demikian di pondok

pesantren Al-Amanah ternyata ada perilaku seksual alaq dalaq antarsantri. Hal ini

tercermin dari pengakuan kiai atau pemimpin pondok pesantren Al-Amanah yang

242
Perilaku Homoseksual di Ponpes

secara tersirat mengakui bahwa ada satu santri yang pernah melakukan perilaku

tersebut dan sekarang sudah diusir dari pondok pesantren secara tidak terhormat.36

Pengakuan tersirat ini lahir ketika penulis melakukan penelitian kedua kalinya37, dan

adanya bukti dari pengakuan alumni santri yang mengatakan bahwa perilaku seksual

alaq dalaq ada di kalangan santri, namun sangat tertutup karena dilakukan oleh para

santri kibar atau muallim (santri kelas lima dan kelas enam) yang dilakukan ditempat-

tempat atau ruang Organtri. Perilaku ini berkembang sebatas perilaku seksual sebagai

dorongan kuatnya libido mereka serta bebasnya mereka dari pantauan-pantauan para

pengadil untuk melahirkan kedisiplinan. Namun perilaku ini akan ditentang ketika

sudah diketahui oleh santri lainnya atau mewabah sehingga santri tersebut akan

dikeluarkan dari pondok pesantren dan jika perilaku seksualnya tertutup dengan rapi

maka akan dibiarkan, meskipun diketahui oleh sebagian santri seangkatannya.38 Pada

pola relasi seksual alaq dalaq yang nampak hanyalah pola relasi seksual alaq dalaq

dengan ikatan, yakni antara santri senior yang seangkatan dan sama-sama sebagai

pengurus di Organisasi Santri. Hal ini bisa terjadi karena untuk menutupi perilaku

seksual alaq dalaq mereka dan sebagai dorongan libido seksual mereka yang semakin

kuat. Kedua hal tersebut semakin menguatkan hubungan di antara mereka untuk

saling memberikan kepuasan.


36
Pengakuan ini lahir ketika penulis sedang melakukan penelitian untuk kedua kalinya yakni
mulai bulan Mei sampai awal bulan Juli, oleh kiai Ridwan, pada tanggal 23 Juni 2006, yang tetap
merahasiakan nama, asal, dan ruang rayon santri tersebut.
37
Penelitian pertama adalah 10 Oktober 2005 – Januari 2006, kedua mulai 10 Mei – awal
bulan Juli 2006
38
Pengakuan dari Ahmad Umaruddin, alumni santri Al-Amanah, tanggal 29 April 2006

243
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Selain itu, hampir sama dengan yang terjadi di pondok pesantren An-Naqiyah,

yakni adanya interpretasi tafsir terhadap perilaku seksual alaq dalaq yang mereka

lakukan. Dalam anggapan mereka perilaku seksual alaq dalaq bukanlah sebagai perilaku

homoseksual yang dikutuk oleh Tuhan sebagaimana pada masa Nabi Luth, meskipun

perilaku seksual alaq dalaq ini masih termasuk dalam kategori dosa namun perilaku ini

lebih kecil dosanya ketimbang berbuat zina. Hal ini semakin diperkuat oleh pandangan

kiai Ridwan yang mengatakan bahwa perilaku alaq dalaq adalah dorongan libido dan

sebagai ekspresi pelepasan libido seksual mereka, dengan menggesek-gesekkan alat

kelaminnya ke paha pasangannya. Hal ini termasuk ke dalam kategori dosa kecil atau

zina kecil sebagaimana zina tangan yang disebut onani, atau zina mata ketika melihat

perempuan-perempuan cantik dengan pakaian minim, dan lain sebagainya.39

Dengan demikian, sebagaimana yang digambarkan oleh Michael Foucault

bahwa ideologisasi homoseksual berawal ketika mulai terkikisnya masa tradisional yang

berubah ke masa perkembangan modern. Hal ini semakin diperkuat dengan kenyataan

yang terjadi di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah, yang meskipun perilaku

seksual alaq dalaq sangat marak di dalam tradisi kepesantrenannya, namun discourse,

penegasan akan maskulinitas, feminitas yang pada akhirnya sedikit akan melahirkan

praktik disiplin dan diskursif, yang beralih pada efek wacana antara relasi kekuasaan

dengan pengetahuan. Sebagaimana yang terlihat dari diberlakukannya diseminasi

39
Pandangan ini beliau sampaikan ketika ada forum pengajian di kecamatan Parendu, dan
penulis mempertanyakan tentang pandangannya seputar perilaku seksual alaq dalaq, pada tanggal 30 Mei
2006

244
Perilaku Homoseksual di Ponpes

gagasan atau terbentuknya performatifitas yang kuat sebagaimana yang digambarkan

oleh Judith Butler dan histerisasi tubuh perempuan di dalam kehidupan kesehariannya.

Pondok pesantren An-Naqiyah yang masih memegang kuat nuansa tradisionalisme,

masih menampakkan akan adanya nuansa-nuansa tradisional dalam kehidupan

seksualitas santri-santrinya, seperti masih adanya nuansa sex for pleasure, tidak

berlakunya pedagogisasi seksualitas anak, dan tidak berlakunya konfesi. Sedangkan di

dalam tradisi modern pondok pesantren Al-Amanah, ideologisasi homoseksual sangat

kuat atau sering disebut sebagai homophobia, yakni terbentuknya diseminasi gagasan,

sosialisasi perilaku prokreatif, psikiatri kesenangan, histerisasi tubuh perempuan,

pedagogisasi seksualitas anak, dan konfesi. Dengan demikian, pondok pesantren Al-

Amanah adalah cerminan dari institusi modern yang telah melahirkan homophobia-

homophobia dalam kehidupan kesehariannya. Meskipun ada sebagian kecil dari

santrinya yang berperilaku seksual sesama jenis, namun itu hanya sebagian dari bentuk

pemberontakan terhadap kedisiplinan, dan kekuasaan pengetahuan.

b.1. Pola Relasi Antarpelaku Alaq Dalaq

Di pondok pesantren modern Al-Amanah, yang telah melahirkan para

homophobia lewat berbagai media kiai, yang disalurkannya lewat peraturan-peraturan

dengan asumsi pembelajaran kedisiplinan pada akhirnya akan semakin menguatkan

anggapan bahwa masyarakat modern telah memusuhi perilaku homoseksual. Sehingga

sangat sulit untuk melihat atau mengetahui akan adanya perilaku homoseksual di

kalangan santri Al-Amanah. Hal ini semakin diperkuat dengan tidak adanya media

245
Perilaku Homoseksual di Ponpes

(santri, kiai, ustadz, dan alumni) yang mengakui akan adanya perilaku homoseksual

tersebut. Hal ini terjadi pada penelitian pertama penulis, namun ketika penulis mulai

melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, ada seorang

informan yakni alumni santri pondok pesantren Al-Amanah yang lulus pada sekitar

tahun 1996 mengakui, bahwa di pondok pesantren modern Al-Amanah ada perilaku

seksual alaq dalaq antarsantri yang dilakukan oleh para sesama santri senior dan santri-

santri elite yang hidup di organisasi kesantrian. 40 Berbekal informasi tersebut maka

penulis melakukan penelitian kembali ke pondok pesantren Al-Amanah, namun yang

didapat oleh penulis hanyalah informasi yang tetap kuat dipegang oleh para santri,

ustadz, dan kiai di Al-Amanah yang mengatakan bahwa perilaku seksual alaq dalaq

tidak ada di Al-Amanah. Meskipun secara tersirat kiai Ridwan mengakui bahwa ada

seorang santri yang melakukan hubungan seksual alaq dalaq tersebut selama pondok

pesantren ini berdiri sampai sekarang, dan santri tersebut sudah diusir dari pondok

pesantren.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa perilaku seksual alaq dalaq ternyata

ada di pondok pesantren modern Al-Amanah, dengan pola relasi hubungannya antara

sesama santri senior yang sudah duduk di kelas lima atau kelas enam. Hal ini bisa

terjadi karena mereka hidup di luar aturan kedisiplinan, karena merekalah yang

menegakkan peraturan kedisiplinan tersebut dengan dibantu oleh ustadz dan kiai.

40
Informasi ini didapat dari Ahmad Umaruddin, alumni pondok pesantren Al-Amanah,
tanggal 29 April 2006

246
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Hubungan sesama usia ini terjadi ketika tidak menjadikannya wabah perilaku seksual

alaq dalaq, namun hanya sekedar perilaku seksual yang bertujuan sebagai sex for pleasure.

Santri-santri senior tersebut selain sebagai pengurus Organsisasi Santri di Al-Amanah

yang hidup atau mempunyai kamar tersendiri yang terpisah dari kamar atau rayon para

santri lainnya. Selain itu, para santri senior tersebut di pondok pesantren Al-Amanah

dianggap sebagai muallim atau pendidik yang secara derajat kestruktural di Al-Amanah

ada di bawah kiai dan ustadz. Muallim-muallim tersebut biasanya dijadikan pendidik

keseharian para santri dan dijadikan sebagai pengawas kamar atau rayon para santri

yang lain. Hal inilah yang menyulitkan penulis untuk melacak perilaku seksual alaq

dalaq tersebut karena dibatasi dan dilarang untuk berhubungan langsung dengan para

muallim dengan alasan mereka sibuk.

Dengan demikian, bisa digambarkan bahwa pola relasi seksual alaq dalaq yang

ada di pondok pesantren modern Al-Amanah adalah dengan pola relasi seksual alaq

dalaq dengan ikatan dan sesama santri senior atau seangkatan, maka terlihat bahwa di

dalam instansi kemodernan masih ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa

perilaku tradisional merupakan perilaku yang menyenangkan bahkan perilaku tersebut

bisa dikategorikan sebagai sebuah pemberontakan ala santri modern. Meskipun penulis

tidak mengetahui secara pasti seperti apa perilaku seksual alaq dalaq di Al-Amanah

dilakukan, namun mendengar dari informasi informan di atas ternyata perilaku seksual

alaq dalaq ini hampir sama dengan yang dilakukan oleh para santri di An-Naqiyah,

247
Perilaku Homoseksual di Ponpes

yakni menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke paha pasangannya dengan cara memeluk

antarsesama santri, dan dilakukan di kamar mereka sendiri serta di saat para santri

lainnya melakukan aktifitas yang diperintahkan pondok pesantren Al-Amanah.

b.2. Pola Relasi Dengan Masyarakat

Pondok pesantren modern Al-Amanah dengan segala aktivitas kesehariannya,

yang dilaksanakan oleh para santri, ustadz, dan kiai dengan Majelis Kiainya telah

memperlihatkan bahwa pondok pesantren tersebut bersifat tertutup bagi masyarakat

sekitarnya. Hal ini diperkuat dengan bentuk bangunan pondok pesantren Al-Amanah

yang dipagari. Sehingga membuat terpisahnya bangunan antara bangunan pondok

pesantren dengan rumah-rumah penduduk sekitar. Selain itu, dilarangnya para santri

dan sebagian ustadz untuk keluar dari pondok pesantren kecuali atas izin MPO atau

kiai telah membuktikan bahwa pondok pesantren Al-Amanah sangat bersifat eksklusif.

Sebagaimana yang telah diungkapkan masyarakat sekitar, meskipun mereka bangga


41
telah mempunyai pondok pesantren besar berkaliber internasional. Mahalnya

pendidikan dan eksklusifnya pondok pesantren Al-Amanah telah membuat banyak

anggapan bahwa Al-Amanah adalah pondok pesantren Muhammadiyah.

Sulitnya hubungan antara santri, ustadz, dan kiai dengan masyarakat sekitar

pada akhirnya membuat terpisahnya segala program antara program kepesantrenan

dengan program masyarakat sekitar. Meskipun demikian, penulis menganggap hal ini

41
Ungkapan ini hadir dari para tukang becak yang biasa nongkrong di depan pondok
pesantren Al-Amanah, di antaranya Muh. Tohir, Wardi, dan Salamet, tanggal 8 Oktober 2005

248
Perilaku Homoseksual di Ponpes

sebagai konsekuensi dari banyaknya program yang dilaksanakan oleh pondok

pesantren Al-Amanah, sehingga penulis beranggapan bahwa pondok pesantren dengan

kiai dan ustadz lebih mementingkan program-program pondok pesantren ketimbang

program kemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan pondok pesantren An-Naqiyah yang

lebih mementingkan program kemasyarakatannya.

Hal ini diperkuat lagi oleh slogan pondok pesantren Al-Amanah, yang tidak

memihak satu partai atau golongan apapun, karena pondok pesantren Al-Amanah

telah mempunyai aliran tersendiri, yang kemudian di programkan untuk kemajuan

pondok pesantren Al-Amanah. Padahal masyarakat Sumenep dan sekitar pondok

pesantren Al-Amanah adalah masyarakat Nahdlatul Ulama’ (NU), sehingga ada

anggapan bahwa pondok pesantren Al-Amanah adalah institusi pendidikan

Muhammadiyah. Anggapan masyarakat ini diperkuat dengan modern dalam setiap

kata pondok pesantren Al-Amanah. Oleh karena itu, pondok pesantren Al-Amanah

dengan segala elemennya, kiai, ustadz, dan santri-santrinya sangat jauh dari masyarakat

dan tidak pernah ada hubungan, baik dari segi sosial, budaya, ataupun agama.

Karena bagi pondok pesantren Al-Amanah masyarakat adalah mereka yang ada

di ruang tamu pondok pesantren tersebut. Atau dengan kata lain masyarakat adalah

anggota saudara para santri, alumni santri, saudara-saudara ustadz atau keluarga ustadz,

yang biasanya tinggal di ruang tamu, ketika akan menjenguk anak atau saudara-

saudaranya. Sehingga sangat mudah bagi mereka (para santri) untuk beradaptasi atau

diakui sebagai santri oleh yang mereka anggap sebagai masyarakat. Karena secara

249
Perilaku Homoseksual di Ponpes

otomatis keluarga-keluarga tersebut akan menghargai dan menganggap bahwa santri-

santri tersebut mempunyai kelebihan dalam hal keagamamaan, yang secara otomatis

akan mengangkat struktur sosial keagamaan santri tersebut.

Hal ini sejalan dengan kepemimpinan kiai di Al-Amanah tersebut maka pada

akhirnya akan berpengaruh terhadap peran kiai dalam politik dan masyarakat. Di

pondok pesantren Al-Amanah ada slogan yang berbunyi “bukan untuk satu partai dan

satu golongan”, hal ini menjelaskan bahwa pondok pesantren Al-Amanah dan kiainya

tidak ikut dalam politik praktis, seperti menjadi ketua partai politik tertentu atau

menjadi ketua salah satu organisasi keagamaan tertentu, meskipun pemimpin pondok

pesantren Al-Amanah menjadi ketua BASSRA.

Sehingga ada anggapan bahwa pondok pesantren Al-Amanah selain biayanya

mahal juga eksklusif. Dengan artian bahwa para pemimpin pondok pesantren Al-

Amanah tidak menerima semua orang yang ada di sekitarnya, bahkan mereka dianggap

sebagai organisasi keagamaan Muhammadiyah, yang menghargai modernisme dengan

menghilangkan norma-norma tradisionalisme keagamaan. Hal ini diperkuat dengan

sedikitnya masyarakat Parendu yang memondokkan anak-anaknya ke Al-Amanah.

Selain itu, kebijaksanaan pondok pesantren Al-Amanah untuk memajukan program-

program pondok pesantrennya telah menyebabkan adanya anggapan bahwa para kiai

atau Majelis Kiai di Al-Amanah lebih memilih untuk berkonsentrasi terhadap pondok

pesantrennya dan santri-santrinya dengan sedikit mempertimbangkan akan pentingnya

250
Perilaku Homoseksual di Ponpes

masyarakat sekitarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jauhari, pemuda desa

Parendu:

“Pondok Al-Amanah ban kiainya tak terlalu abentu masyarakat sekitar


pondokke, apapole bantuen pondok Al-Amanah deri Arab Saudi sehingga
masyarakat tak eanggep moso Al-Amanah. Padahal Al-Amanah maju polana
kerjasama moso masyarakat, tape sateya Al-Amanah la pondok se raja ben
larang sehingga masyarakat tak mampo kaangguy ma mondok anak-anakna ka
Al-Amanah”

“Pondok Al-Amanah dan kiainya tidak terlalu membantu masyarakat sekitar


pondok pesantren Al-Amanah, apalagi pondok tersebut mendapat bantuan dari
Arab Saudi sehingga mereka tidak menghiraukan masyarakat. Padahal Al-
Amanah besar dan maju dengan pesatnya dikarenakan kerjasama dengan
masyarakat, namun sekarang pondok pesantren Al-Amanah telah menjadi
pondok pesantren besar dan mahal biayanya sehingga masyarakat tidak mampu
untuk memondokkan anak-anaknya ke Al-Amanah”.

Meskipun demikian, program yang telah dibangun oleh pondok pesantren Al-

Amanah terhadap masyarakat sekitarnya dan pemuda-pemuda sekitarnya telah sedikit

banyak membantu terjalinnya kerjasama antara pondok pesantren Al-Amanah dengan

masyarakatnya. Selain itu, seiring kegagalan para kiai yang terjun ke politik maka

sedikit demi sedikit masyarakat mulai bersimpati dan memuji program-program yang

telah ditelurkan oleh pondok pesantren Al-Amanah. Meskipun mereka masih sulit

untuk menerima kebijaksanaan Al-Amanah yang menurutnya lebih ke Muhammadiyah.

Sikap apolitis kiai dan dijadikannya sebagai slogan pondok pesantrennya telah

menjelaskan bahwa pondok pesantren adalah media sarana antara kiai, ustadz, dan

santrinya untuk belajar dan mengamalkan program kepondokannya dalam

kesehariannya. Hal ini berbeda dengan pondok pesantren An-Naqiyah yang cenderung

251
Perilaku Homoseksual di Ponpes

bersifat ke luar untuk memobilisasi massa sekitar dengan sedikit memprogramkan

kemajuan pondok pesantren dan santri-santrinya.

Meskipun bersifat apolitis, kharisma kiai di kalangan santri-santrinya, alumni

pondok pesantrennya, dan para anggota atau bagian dari pondok pesantrennya telah

menjadikan sosok pemimpin kiai Al-Amanah menjadi tokoh yang netral dan dianggap

sebagai tokoh yang bisa menelurkan segala kebijaksanaan dengan jernih. Sehingga kiai

atau salah satu pemimpinnya diangkat sebagai ketua BASSRA (Ulama se Madura).

Selain itu, masyarakat Sumenep tidak mengenal adanya sosok sentral atau tokoh yang

sangat tinggi secara struktural di antara para kiai, masyarakat lebih mengenal pola

kesetaraan dalam kepemimpinan antarkiai yang ada di Sumenep. Meskipun demikian,

masyarakat Sumenep secara umum tetap menganggap pondok pesantren An-Naqiyah

adalah pondok terbesar yang tetap memegang aliran tradisionalisme dengan

Ahlussunnah wal Jama’ahnya sehingga mendapat simpati dan pengikut yang sangat luas

dan banyak di kalangan masyarakat sekitar. Hal ini bisa dimaklumi karena mayoritas

masyarakat Muslim di Sumenep adalah masyarakat NU. Sedangkan pondok pesantren

Al-Amanah adalah pondok pesantren terbesar kedua yang mengusung pola program

modern dalam pondok pesantrennya, sehingga diklaim oleh masyarakat sebagai

pondok pesantren Muhammadiyah. 42 Yang pada akhirnya kurang mendapat simpati

42
Padahal pondok pesantren tersebut menggunakan qunut dalam sholat Subuhnya dan tahlil
setiap malam Jum’at.

252
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dan dukungan luas dari masyarakat sekitar, namun mendapat simpati dan dukungan

luas dari daerah-daerah lainnya yang agak berjauhan dari Parendu.

253
Perilaku Homoseksual di Ponpes

BAB V

KONSTRUKSI SUBJEKTIF MASYARAKAT PESANTREN TERHADAP

PERILAKU HOMOSEKSUAL DI PONDOK PESANTREN

Pemahaman seksualitas tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah atau

bersifat biologis yang ada sejak lahir. Karena seksualitas dipengaruhi oleh proses

pembentukan sosial budaya yang pada akhirnya masuk ke dalam konstruksi sosial yang

memberi perbedaan antara seks yang normal dan seks yang abnormal. Yang hadir

melalui sebuah wacana (discourse) yang mengatur melalui otoritas kekuasaan yang

didapat. Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah ideologi atau sebuah

kepentingan yang akan memberikan stigmatisasi akan kebenaran dan kesalahan

terhadap perilaku seksual.

Dalam bab ini, penulis ingin mendeskripsikan tentang polarisasi struktural

konstruksi subjektif masyarakat pesantren dengan menggunakan asimilasi Jane

Baudrillard yang pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap kehidupan sosial

masyarakat pesantren Sumenep dalam memaknai perilaku alaq dalaq di pondok

pesantren, baik pondok pesantren tradisional An-Naqiyah yang melestarikan perilaku

alaq dalaq sebagai bagian dalam tradisi pondok pesantren atau pondok pesantren

modern Al-Amanah yang melahirkan atau mewariskan para santri, ustadz, dan kiainya

untuk menjadi bagian dari homophobia ternyata terdapat sebuah pemberontakan dari

para santri elit dan senior dengan melakukan perilaku alaq dalaq meskipun secara

tertutup. Homogenisasi subjektif pemaknaan tradisi ini tidak akan terlepas dari

254
Perilaku Homoseksual di Ponpes

berbagai sosialisasi tradisi tersebut. Hal ini dikarenakan kemampuan manusia untuk

terus belajar - secara umum - proses sosialisasi menjadi sesuatu yang sangat penting.

Menurut Sanderson sosialisasi adalah proses di mana manusia berusaha untuk

menyerap kultur yang berkembang di tempat tinggalnya. 1 Bahkan ilmuwan percaya

bahwa melalui proses inilah generasi tua banyak sekali menghabiskan waktunya untuk

mentransmisikan kulturnya kepada generasi di bawahnya (muda). Kleden berpendapat

bahwa dengan mengandalkan tradisi dan integrasi maka suatu kultur akan terpelihara

identitasnya.2

A. Pemaknaan Subjektif Masyarakat Pesantren Terhadap Homoseksual Santri

Foucault dengan subjektivitas knowledge – powernya, telah melahirkan

subordinasi dari multikultural peripheral yang menciptakan multiple reality. Foucault

menghubungkan berbagai problematika seksual dengan ekonomi, yang dianggapnya

sebagai praktik memerintah. Seni ekonomi tidak hanya dipraktikkan dalam bisnis

namun juga dalam mengatur kota, rumah tangga, dan perkawinan seseorang.

Penguasaan diri diperagakan, yakni melakukan hubungan seksual dengan istri. Jenis

penguasaan diri ini dipandang sebagai prakondisi moralitas dalam mengatur seseorang,

dan dia tidak memandang ini sebagai sebuah sketsa etis awal dari perkawinan yang

saling setia, atau permulaan kodifikasi kehidupan perkawinan di mana Islam dan

1
Stephen K Sanderson., 1995, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Edisi
III, Raja Grafindo Persada: Jakarta, sebagaimana dikutip oleh Tadjoer Ridjal Bdr., 2004, Tamparisasi
Tradisi Santri Pedesaan Jawa, Yayasan Kampusina: Surabaya, hlm. 101
2
Ignas Kleden.,“Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional: Dilema Indonesia Antara
Kebudayaan dan Kebangsaan”, dalam Prisma,No. XV, Edisi 8, Agustus, th. 1986, hlm. 69-86

255
Perilaku Homoseksual di Ponpes

agama pendahulunya telah memberikan sebuah bentuk yang universal, nilai imperatif,

dan dukungan pada sebuah sistem institusi. 3 Hal inilah yang kemudian melahirkan

ideologisasi heteroseksual. Dia memahami hal ini sebagai sebuah seni cinta yang penuh

dengan makna. Dalam hubungan homoseksual pada masa zaman klasik tidak dipahami

sebagai hubungan yang bertentangan dengan heteroseksual, sehingga persoalan

moralitas merupakan tindakan yang berlebihan, apakah ia seorang homoseksual

ataupun heteroseksual.

Teori ini kemudian diikuti oleh salah satu muridnya yakni Jean Baudrillard,

yang sama-sama berjuang keras untuk tidak mengkategorikan dirinya dan idenya,

melalui konsepsinya simulasi. Istilah simulasi digunakan oleh Baudrillard sebagai

penjelasan terhadap hubungan-hubungan produksi, komunikasi, dan konsumsi pada

masyarakat, yang dicirikan oleh overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi,

yang dilakukan melalui media, massa, fashion, supermarket, industri hiburan, dan lain

sebagainya. Selain itu, di dalam masyarakat overproduksi, overkomunikasi, dan

overkonsumsi merupakan cara baru untuk memperoleh kekuasaan (power). Kekuasan

di sini sama dengan konsepsinya Foucault yakni kekuasaan yang tidak mengalir dari

pusat (penguasa), akan tetapi dari peripheral (kelompok-kelompok sosial, ekonomi, dan

budaya) ke massa yang lebih besar dan heterogen. Jadi, masyarakat tidak lagi dikuasai

oleh klas sosial yang tunggal, akan tetapi oleh kelompok-kelompok sosial, ekonomi,

3
Michael Foucault., 1984, The Use of Pleasure: Volume 2 of The History of Sexuality, New York:
Pantheon Books, hlm. 153-181.

256
Perilaku Homoseksual di Ponpes

dan budaya yang heterogen, dan saling bersaing untuk mendapatkan hegemoni. Dalam

hal ini kekuasaan bukanlah pemilik otoritas atau pemegang tunggal yakni kiai, namun

kekuasaan tersebut adalah masyarakat pesantren dengan santri sebagai massa, sehingga

klas sosial dengan sendirinya akan berubah seiring bergesernya arah kekuasan dari yang

plural ke tunggal. Pada awalnya kekuasan tunggal tersebut adalah pemegang otoritas

penghakiman yang mempunyai hegemoni terhadap hukum agama “kiai” telah mampu

memberikan sebuah penafsiran bahwa perilaku alaq dalaq bukanlah homoseksual,

karena tidak melakukan lewat penetrasi anus, tapi hanya menggesek-gesekkan alat

kelaminnya ke paha pasangannya, hal ini bisa terjadi karena nafsu birahi mereka

sedang kuat, padahal mereka belum mempunyai istri, dan kalau tidak melakukan

hubungan alaq dalaq dikhawatirkan akan berbuat zina. Sehingga perilaku alaq dalaq

dalam hal ini sifatnya, dilarang dalam satu sisi namun diperbolehkan bahkan wajib

dalam suatu hal yang lain, karena dikhawatirkan berbuat zina. Meskipun penulis tidak

sependapat dalam hal perilaku alaq dalaq bukan sebagai perilaku homoseksual, karena

penulis menganggapnya sebagai perilaku homoseksual.

Wacana ini oleh pemegang otoritas “kiai” kemudian diperluas melalui

organisasi keagamaannya, seperti instansi pendidikannya, pondok pesantren melalui

santri-santrinya setiap pengajian kitab kuning atau lewat wali-wali santri yang kemudian

akan menyebar ke masyarakat secara luas. Bisa juga lewat genealogis antarkiai, yang

kemudian akan memfatwakan wacana tersebut ke masyarakat atau umatnya masing-

masing. Dari wacana inilah maka lahir pemaknaan bahwa perilaku alaq dalaq dilarang

257
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pada satu sisi karena dianggap sebagai zina kecil, namun diperbolehkan kalau

ditakutkan akan berbuat zina.

Kiai dengan otoritas yang begitu kuat di dalam masyarakat pesantren dan santri

(massa), pada akhirnya dengan sendirinya akan menciptakan kharisma (wibawa) dalam

diri kiai tersebut yang merupakan salah satu kekuatan dalam menciptakan pengaruh di

dalam masyarakat pesantren Sumenep. Ada dua dimensi lahirnya kewibawaan kiai di

Madura menurut Abdur Rozaki, pertama, kewibawaan yang diperoleh secara given,

seperti tubuh yang besar, suara keras, dan mata yang tajam, serta mempunyai ikatan

geneologis dengan kiai kharismatik sebelumnya. Kedua, dengan proses rekayasa,

kharisma tersebut diperoleh melalui kemampuan dalam penguasaan terhadap

pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, serta kesetiaan

menyantuni masyarakat.4 Padahal ada satu hal lagi mengapa lahir kharisma pada kiai,

yakni mempunyai pondok pesantren besar, telah menunaikan ibadah haji, dan mampu

secara ekonomi ataupun menjadi pengurus di organisasi sosial keagamaan terutama

Nahdlatul Ulama, dan mempunyai kedudukan yang kuat secara politik.

Kuatnya kharisma kiai, pada akhirnya akan membuatnya kuat secara ekonomi,

politik, sosial, agama, dan budaya, yang pada akhirnya akan membuatnya lebih tinggi

dari masyarakat lainnya baik secara sosial keagamaan, politik, ekonomi, ataupun

budaya. Hal ini terlihat dari struktur sosial kiai yang ada di atas masyarakat lainnya.

4
Abdur Rozaki., 2004, Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, hlm. 87-
88

258
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Sehingga dengan sendirinya masyarakat akan tunduk, patuh, dan bersedia menjadi

pelayan kiai. Kekuatan kiai yang begitu dominan akan mendominasi masyarakat

pesantren Sumenep dan santri (massa) dalam segala hal, termasuk di dalamnya

pemaknaan terhadap perilaku alaq dalaq di pondok pesantren.

Penguasaan kiai terhadap orang (politik), baik melalui agama, sosial,

pendidikan, dan budaya terlihat dengan jelas dari penguraian penulis pada bab

sebelumnya. Ataupun penguasaannya terhadap ekonomi. Dengan dua kekuatan inilah

– dominasi politik dan dominasi ekonomi – akan memudahkan penyebaran dan

pengetahuan atau informasi bagi masyarakat pesantren Sumenep dan santri (massa)

bahwa perilaku alaq dalaq di pondok pesantren bukanlah termasuk kategori

homoseksual sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Luth, tapi hanya sekedar

perilaku untuk melampiaskan nafsu birahinya sehingga tidak diharamkan meskipun

dilarang atau kalau bisa dihindari, namun perilaku itu diperbolehkan ketika akan

berbuat zina, yang kemudian lahir pemaknaan perilaku alaq dalaq sebagaimana

perilaku onani.

Dengan demikian, discourse pemaknaan terhadap perilaku alaq dalaq santri pada

awalnya adalah sebuah komunikasi wacana yang pada akhirnya akan melahirkan

pemaknaan. Komunikasi wacana ini bermula dari institusi pendidikan pondok

pesantren dengan kiai sebagai aktor utamanya. Dalam berbagai wacana interpretasinya

259
Perilaku Homoseksual di Ponpes

tentang perilaku alaq dalaq santri, hampir sama dengan yang digunakan untuk

menafsirkan perilaku onani.5 Dengan kategori mudlaratnya atau berbahaya berbuat zina.

Dalam menafsirkan perilaku onani, kiai menggunakan beberapa acuan,

pertama, Ulama’-ulama’ mazhab Maliki, Syafi’I, dan Zaidiyyah berpendapat haram,

berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun: 5-7, yang mengatakan bahwa ciri-ciri orang

mukmin yang mendapat kebahagiaan adalah orang yang memelihara kemaluannya,

kecuali terhadap istri dan budaknya, orang itu tidak tercela. Sedangkan orang yang

memenuhi nafsu syahwatnya dengan cara lain, mereka adalah orang-orang yang

melampaui batas, termasuk di sini perilaku seksual alaq dalaq adalah haram. Kedua,

Ulama’ mazhab Hanafi dan Hambali yang berpendapat haram dalam sebagian keadaan,

dan boleh bahkan wajib dalam keadaan lain. Wajib jika merasa kuatir akan berbuat

zina apabila tidak melakukan masturbasi, berdasar kaedah jika berhadapan dengan dua

hal yang merugikan, dan harus memilih salah satu dari keduanya, maka yang dipilih

adalah menghindari bahaya yang lebih besar dengan menempuh bahaya yang lebih

kecil. Jika nafsu syhawat bangkit, padahal tidak mempunyai istri tetapi tidak sampai

kuatir akan berbuat zina maka hukumnya mubah atau boleh. Hal inilah yang banyak

dipakai oleh kiai sebagai dasar menghukumi perilaku alaq dalaq santri, padahal mereka

5
Hasil wawancara dengan kiai Ridwan, pemimpin pondok pesantren modern Al-Amanah, 23
Juni 2006, dan kiai Subhan, salah satu pengasuh pondok pesantren tradisional An-Naqiyah, 24 Januari
2006

260
Perilaku Homoseksual di Ponpes

mengaku bermazhab terhadap Syafi’i. Ketiga, Ibn Hazm, Ibnu Umar, dan Atha’

berpendapat makruh, sedangkan Ibnu Abbas dan Hasan berpendapat mubah.6

Dengan kata lain, untuk melihat sebuah aturan yang diwacanakan sebagai

fenomena keagamaan, haruslah secara aspektual, dimensional, dan bahkan multi

dimensional approaches. Selain fenomena keagamaan memang mempunyai doktrin

teologis – normatif, yang memang di sinilah letak hard core daripada keberagamaan

manusia, atau orang melihatnya sebagai tradisi, seperti yang digambarkan di dalam

pola relasi alaq dalaq para santri dalam kehidupan kesehariannya yang hidup di

lingkungan dengan nuansa keberagamaan yang sangat tinggi. Padahal tradisi sangat

sulit untuk dipisahkan dari faktor konstruksi manusia, yang pada awalnya dipengaruhi

oleh perjalanan sejarah, sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang amat panjang.7

Berawal dari inilah, maka wacana terhadap hukum perilaku alaq dalaq

disimpulkan. Oleh karena itu, otoritas kiai di sini lebih bersifat otoritas dalam artian

persuasif yakni melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Otoritas persuasif mampu

untuk mengarahkan atau keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan.

Berbeda dengan otoritas koersif yang merupakan kemampuan untuk mengarahkan

perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau

menghukum sehingga orang yang berakal sehat akan menyimpulkan bahwa untuk

6
Disarikan dari Ahmad Azhar Basyir., 1993, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat,
Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan, hlm. 152-153
7
Amin Abdullah., 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm. 9

261
Perilaku Homoseksual di Ponpes

tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. 8 Lebih

lanjut, dengan mengutip R. B. Friedman, ada pembedaan antara memangku otoritas

(being in authority) dan memegang otoritas (being an authority).9 Menurutnya memangku

otoritas adalah menduduki jabatan resmi atau struktural yang dapat memberinya

kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan. Seseorang yang memangku

otoritas dipatuhi oleh orang lain dengan cara menunjukkan simbol-simbol otoritas

yang memberi pesan kepada orang lain bahwa mereka berhak mengeluarkan perintah

atau arahan. Singkatnya kita boleh tidak sependapat dengan sebuah perintah, tapi

bagaimanapun kita harus menaatinya karena kita mengakui otoritas orang tersebut.

Sedangkan pemegang otoritas adalah melibatkan sebuah semangat yang berbeda. Di

sini seseorang meninggalkan pendapat pribadinya karena tunduk kepada pemegang

otoritas yang dipandang mempunyai pengetahuan, kebijaksanaan, atau pemahaman

yang lebih baik. Pengetahuan khusus semacam itulah yang menjadi alasan ketundukan

orang awam terhadap ucapan-ucapan pemegang otoritas, meskipun ia tidak memahami

dasar argumentasi dari ucapan-ucapan tersebut.

Dari dua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kiai dalam hal ini adalah

sebagai pemegang otoritas meskipun tidak menutup kemungkinan satu sisi sebagai

pemangku otoritas dengan sifat otoritasnya persuasif. Pemegang otoritas karena

8
Khaled M. Abou El Fadl., 2004, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R.
Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, hlm. 37-38
9
R. B. Friedman., 1990, “On the Concept of Authority in Political Philosophy” di dalam
Joseph Raz (edit), Authority, Oxford: Basil Blackwell, hlm. 56-91, Sebagaimana yang dikutip oleh Khaled
M. Abou El Fadl., Loc. Cit.

262
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pengakuan masyarakat atau orang lain bahwa kiai mempunyai kharisma yang kuat

dengan kemampuannya terhadap pengetahuan keagamaan, bijaksana, dan mempunyai

pemahaman yang kuat dalam keagamaan. Sehingga wacana yang disebarluaskan

tentang perilaku seksual alaq dalaq dipatuhi oleh orang lain, atau tunduk atau ikut

terhadap wacana yang diungkapkannya. Namun pada sisi yang lain, kiai adalah

pemangku jabatan struktural, hal ini terlihat jelas dari keterlibatan kiai dalam bidang

sosial politik, organisasi keagamaan, pendidikan, dan ekonomi. Kiai, sebagai pemangku

jabatan struktural dalam satu sisi bisa dianggap sebagai pemangku otoritas terhadap

bawahan-bawahannya, dalam bidang sosial keagamaan; sebagai pemimpin di pondok

pesantrennya masing-masing, dalam bidang pendidikan; dan sebagai pemodal bagi

masyarakat yang membutuhkannya, seperti petani tembakau, nelayan, dan lain

sebagainya, dalam bidang ekonomi. Dengan jabatan struktural tersebutlah orang lain

yang ada di bawahnya secara struktural akan tunduk dan patuh terhadap segala petuah

atau wacana yang dikeluarkannya. Meskipun demikian, otoritas tersebut lebih bersifat

persuasif, dengan artian bahwa mampu untuk mengarahkan atau keyakinan atau

perilaku seseorang atas dasar kepercayaan, dengan artian bahwa orang lain ikut dan

tunduk kepada kiai karena ia memang mempunyai kekuasaan untuk itu dan secara

pengetahuan mampu untuk menjelaskannya dengan baik. Dengan otoritasnya yang

kuat, dengan kemampuan pengetahuannya, dengan kekuasaan politik, ekonomi, sosial,

budaya, agama, dan pendidikan, serta dengan kharismanya telah memudahkan

tersebarnya wacana tentang perilaku alaq dalaq bagi santri sehingga bagi masyarakat

263
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pesantren Sumenep atau santri akan bungkam dan diam terhadap wacana tersebut.

Otoritas dan kekuasaan kiai yang lahir dari pengetahun keagamaannya biasanya akan

selalu melibatkan atau terkait dengan ruang yang bersifat profan dan sakral. Dalam

artian, bahwa meskipun agama memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang sakaral, yang

Ilahi, sebagai bagian dari praktik sosial, namun di dalamnya selalu akan menyertakan

wilayah tafsir yang pada akhirnya akan melahirkan wacana. Dalam konteks tafsir,

antarpara penafsir akan memiliki peran utama dari lahirnya sebuah kekuasaan yang

memiliki otoritas tertentu di dalam masyarakat. Kekuasaan yang bersumber dari ranah

keberagamaan di dalam pola hubungan memiliki keterkaitan pula tidak hanya

bagaimana konstruksi tafsir tersebut dibuat, didiskusikan, dan didialogkan, namun

juga bagaimana kekuatan tafsir atau wacana yang berhubungan dengan keagamaan

tersebut menciptakan pendukung dan jalinan relasi sosial yang kemudian akan

berimpas pula ke dalam jalinan relasi kekuasaan, relasi budaya, relasi ekonomi, relasi

politik, dan relasi pendidikan.10

Namun berbeda bagi Baudrillard kekuasaan bukanlah dari tunggal ke plural,

tetapi dari plural (massa) ke tunggal, sehingga baginya tidak ada lagi klas sosial, yang

ada hanyalah massa, dan massa ini adalah mayoritas yang diam.11 Yang dibutuhkan

massa bukan untuk kekuasaan mendominasi (memperjuangkan ideologi leluhur,

seperti memperjuangkan makna alaq dalaq) akan tetapi kekuasaan untuk

10
Khalil Abdul Karim., 2002, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, dan Kekuasaan, Yogyakarta:
LKiS.
11
Jean Baudrillard., 1981, For a Critique of the Political Economy of the Sign, USA: Telos Press.

264
Perilaku Homoseksual di Ponpes

mengekspresikan pluralitas atau diferensiasi, perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya,

dan lain sebagainya. 12 Massa memperoleh kekuasan melalui kebodohan mereka.

Mereka membiarkan kebodohan mereka dijadikan sebuah iklan dan sistem informasi

untuk meyakinkan mereka, untuk membuat pilihan-pilihan bagi mereka. Sehingga

memunculkan pertanyaan siapakah yang mempunyai kekuasaan?. Meskipun kita

biasanya memahami kekuasaan terletak pada sistem iklan tersebut, namun dapat

dipahami bahwa massa yang mempunyai kekuasaan. Seperti, kekuasaan di sistem

instansi pendidikan pondok pesantren, kita menganggap bahwa kekuasaan tersebut

terletak pada sistem dan pembuatnya yakni kiai, dengan sebuah informasi secara terus-

menerus melalui pembelajaran sehingga santri dan masyarakat pesantren (massa)

mempunyai pilihan yang sesuai dengan keinginan sistem (kiai). Massa dengan

kebodohan atau ketidaktahuan informasi-informasi, pada akhirnya akan memiliki

pengucilan, ketiadaan hasrat, kebodohan, kebungkaman, dan penghisapan ironis yang

kemudian meledakkan semua kekuasaan, kehendak, pencerahan, dan kedalaman

makna.13 Kebungkaman massa bukanlah tanda alienasi mereka akan tetapi merupakan

tanda kekuasaan mereka, kebungkaman adalah jawaban massif melalui pengucilan,

kebungkaman adalah strategi mereka (massa) membatalkan makna dan inilah sebuah

kekuasaan yang nyata, pada dasarnya mereka menyerap semua sistem dan pembelajaran

namun mereka akan membelokkannya menuju ke kahampaan. Kebungkaman massa

12
Yasraf Amir Piliang., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 143-144
13
Jean Baudrillard., 1983, Fatal Strategies, New York: Semiotext, hlm. 99

265
Perilaku Homoseksual di Ponpes

adalah fatal. Kebungkaman mereka akan makna perilaku alaq dalaq bagi santri, yang

dilarang atau dengan kata lain kalau bisa dihindarkan, namun diperbolehkan kalau

ditakutkan berbuat zina, telah melahirkan multi-interpretasi bagi massa. Sehingga


14
massa sering dianalogikan dengan “lubak hitam” dunia sosial. Massa diam

dikarenakan banyaknya informasi yang menghadiri mereka, sehingga mereka diam,

bungkam, dan bodoh sebagai strategi mereka yang fatal. Strategi fatal adalah

penandaan bahwa objek (massa) sangat lemah, sangat jujur, dibandingkan dengan

subjek (kiai dan media informasi atau pemaknaan alaq dalaq). Baudrillard memandang

bahwa massa sebagai objek adalah gen-gen kejahatan. Menurut prinsip kejahatan suatu

tatanan menjadi dan hanya untuk dilanggar, diserang, dilewati, dan dibongkar.

Tegasnya massa adalah gen kejahatan, karena mereka merespon sesuatu dengan respon

mereka sendiri, atau dengan kata lain massa dirayu oleh media informasi, namun

malah massa-lah yang merayu media informasi. 15 Masalah ini sangat nampak pada

perilaku alaq dalaq di kalangan santri. Informasi media tentang larangan perilaku alaq

dalaq dan kalau bisa dihindari, telah dilanggar dan diserang oleh massa dengan tetap

melakukan perilaku alaq dalaq sebagai bagian dari keberasamaan, kebebasan dan

interpretasi tekstual. Kejahatan inilah yang kemudian membuat media informasi atau

kiai untuk melakukan penafsiran terhadap perilaku alaq dalaq, bukannya media

14
George Ritzer., 2004, Teori Sosial Postmodern, cet. II, terj. Muhammad Taufik, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, hlm. 188-190
15
Ibid., hlm. 190-191

266
Perilaku Homoseksual di Ponpes

informasi yang mempengaruhi supaya perilaku alaq dalaq menuruti berbagai informasi

yang didapatnya.

Masalah produksi dan reproduksi pemaknaan alaq dalaq ini secara umum

berdampak pada masalah perubahan orde penampakan, yang mengalami tiga orde

penampakan dalam sejarah masyarakat: pertama, Counterfeit (pola yang dominan pada

periode klasik), kedua, Produksi (pola yang dominan dalam era industri), dan ketiga,

Simulasi (pola yang dominan pada tahap sekarang yang dikontrol oleh kode). Hal ini

berjalan seiring periodisasi penampakan perilaku alaq dalaq di kalangan santri secara

khsusus dan homoseksual secara umum, yakni, periode pertama, perilaku homoseksual

dianggap sebagai bagian dari ritual keagamaan dengan melakukan penetrasi anus di

dalam kegiatannya, kedua, perilaku homoseksual dilarang, dibenci, dan bahkan

dimusnahkan, dan terakhir, perilaku homoseksual dilarang namun tetap ada

pembangkangan dengan perilaku yang lain, seperti perilaku homoseksual alaq dalaq di

pesantren, yang merubahnya dengan tidak melakukan penetrasi anus namun dengan

menggesek-gesekkan ke paha pasangannya.

Simulasi adalah tanda atau citra tanpa referensi – suatu simulakrum.

Baudrillard mencontohkan sebuah pertandingan sepak bola Eropa tahun 1987 antara

Real Madrid dan Naples yang dialksanakan pada malam hari di dalam stadion yang

kosong. Suporter dilarang masuk, sehingga tidak ada seorangpun yang melihat

pertandingan itu secara langsung, namun ribuan orang menyaksikan lewat televisi

267
Perilaku Homoseksual di Ponpes

(karena simulasi) citraan.16 Keberadaan simulasi yang tersebar secara luas merupakan

alasan umum bagi mulai terkikisnya perbedaan antara yang real dengan yang imajiner,

yang benar dengan yang salah. Kenyataannya bagi Baudrillard, yang benar dan yang

nyata telah mati, lenyap dalam longsoran simulasi. Ketika tidak ada lagi kebenaran dan

realitas, maka tanda tidak lagi melambangkan segala sesuatu.

Ada empat fase perkembangan citra; pertama, citra adalah refleksi dari realitas,

kedua, citra menutupi dan menyelewengkan realitas, ketiga, menutupi ketiadaan

realitas, dan keempat, citra sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun; citra

merupakan simulakrum murni. Berkenaan dengan itu di dalam dunia alaq dalaq santri,

citra pertama adalah sebuah refleksi dari realitas perilaku homoseksual (penetrasi anus),

yang kedua menyembunyikan perilaku alaq dalaq santri dengan melakukan

penggesekan kelamin ke paha pasangannya, dan citra yang ketiga menyembunyikan

bahwa perilaku homoseksual sama dengan perilaku alaq dalaq di kalangan santri, dan

citra yang terakhir, perilaku alaq dalaq bukanlah bagian dari realitas perilaku

homoseksual karena perilaku itu merupakan kemurnian simulakrum. Simulakrum

adalah cara pemenuhan kebutuhan masyrakat kontemporer akan tanda. Bagi

Baudrillard simulasi adalah proses atau strategi intelektual, sedangkan hiperrealitas

adalah lenyapnya petanda dan metafisika representasi, yakni runtuhnya ideologi, dan

hilangnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia lalu dan

16
Jean Baudrillard., 1990, The Transparency of Evil: Essays on Extreme Phenomena, London: verso,
hlm. 79-80

268
Perilaku Homoseksual di Ponpes

fantasi.17 Tanda tidak lagi merepresentasikan sesuatu, oleh karena petanda sudah mati,

oleh karena ekivalensi tanda di dalam realitas (kelompok ideologi, klas sosial,

komunitas mitologis) juga sudah lenyap. Satu-satunya referensi dari tanda yang ada

adalah massa.

Dunia hiperrealitas adalah dunia yang disarati oleh bergantinya reproduksi

objek-objek simulakrum – objek-objek yang murni penampakan, yang tercabut dari

realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tidak memiliki realitas sosial sebagai

referensinya. Hiperrealitas adalah duplikat atau kopi dari realitas yang

didekodifikasikan, atau Umberto Eco menyebutnya sebagai reproduksi iconic, yang

dilandasi oleh alasan-alasan nostalgia, sebagai akibat dari realitas yang hilang, atau

sebagai akibat dari janji-janji utopis kemajuan yang tidak pernah terpenuhi (oleh

modernisme). 18 Seperti, halnya homoseksual di dalam sejarah panjangnya, yang

merupakan bagian dari ritus sosial keagamaan yang dilakukan melalui penetrasi anus,

telah tercabut atau hilang dengan segala janji-janji kemajuan modernisme, sehingga

terciptalah dunia hiperrealitas di kalangan massa, yakni perilaku homoseksual alaq

dalaq dengan menggesek-gesekkan penisnya ke paha pasangannya, yang merupakan

bagian dari duplikat dunia yang didekodifikasikan, atau reproduksi iconic menurut

Umberto Eco.

17
Jean Baudrillard., 1981, Op. Cit, hlm. 93
18
Yasraf Amir Piliang., Op. Cit, hlm. 145-151

269
Perilaku Homoseksual di Ponpes

B. Terbentuknya Konstruksi Subjektif Homogenisasi Kultural

Friedman19 mengatakan bahwa identitas dan otoritas akan memainkan peranan

yang sangat penting dalam menjalankan sosialisasi. Sebagaimana yang telah disebutkan

di atas bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat pesantren dan santri (massa) desa

Gilir-gilir dan Parendu, tampak adanya akumulasi sumber-sumber yang membangun

dimensi sistem stratifikasi sosial masyarakatnya, yaitu property, pretige, dan power yang

dikuasai oleh kalangan kiai. Namun seiring perubahan kekuasan dari massa ke kiai,

maka stratifikasi sosial itu pada akhirnya akan lenyap dan hilang. Berkaitan dengan

fenomena kehidupan massa di Gilir-gilir dan Parendu tersebut, maka posisi kiai dalam

hirarki sosial masyarakatnya akan memiliki otoritas dalam mengkonstruksi simbol-

simbol identitas sosial, budaya, agama, dan politik masyarakat. Dengan terciptanya

otoritas dan identitas yang ada dalam kontrol kiai melalui media informasinya, maka

kapasitas kiai sangat menunjang terjadinya sosialisasi atau enkulturasi

(mentransmisikan nilai-nilai budayanya). Apalagi identitas dan otoritas tersebut sangat

didukung oleh kultur massanya terutama masyarakat Gilir-gilir dan sebagian besar

masyarakat Parendu. Sedangkan sebagian kecil masyarakat Parendu telah sedikit

mengalami pergeseran paradigma otoritas dan identitasnya terhadap kiai. Hal ini

karena dipengaruhi oleh sikap materialisme masyarakatnya, yang lebih menghargai para

pemimpinnya yang berhasil dalam bidang ekonomi. Sedangkan kiai menurut mereka

19
J Friedman., 1995, "Global System, Globalization and the Parameters of Modernity", dalam
M Featherstone, S Lash, and R Robertson (edit), Global Modernities, Sage: London, hlm. 69-90

270
Perilaku Homoseksual di Ponpes

tidak berhasil secara ekonomi. Kebungkaman dan kebodohan massa itu lambat laun

akan menghilangkan kekuasaan kiai, karena akan dilanggar dan diserang, sehingga

otoritas dan identitas kiai akan hilang, seperti hilangnya pemaknaan discourse kiai

terhadap perilaku alaq dalaq santri yang melarangnya menjadi diperbolehkan bagi

kalangan massa (santri dan masyarakat pesantren).

Padahal kelangsungan hidup suatu budaya dan terbentuknya hegemonisasi

kultural sangat bergantung pada sosialisasi. Budaya dalam prakteknya merupakan

sebuah ekspresi dari berbagai pembatasan dan tekanan yang menghegemoni atau

mendominasi. Dalam hal ini, ideologi hegemonisasi merupakan suatu sistem ide yang

menguasai pola berpikir masyarakat, tetapi berasal dan menguntungkan lapisan atas

masyarakat (kiai). Atau dengan kata lain sebagaimana yang dikembangkan oleh

Gramschi hegemoni adalah sebuah mekanisme kontrol yang dipakai oleh para

kelompok penguasa untuk mempertahankan superioritasnya yang tidak hanya terbatas

pada kontrol atas cara produksi, akan tetapi lebih kepada kontrol melalui hegemoni

ideologis. Berdasar pada pandangan Gramschi tersebut, maka melalui hegemoni

ideologi kepatuhan bisa dipaksakan dan perlawanan bisa dipatahkan atau dilenyapkan

oleh kelompok yang berkuasa. 20 Atau Foucault menyebutnya bahwa di mana ada

kekuasaan di situ ada resistensi. Dengan demikian, bisa disebutkan bahwa dengan

sosialisasi yang tercipta akan membentuk identitas dan otoritas masyarakat pesantren

yang menghargai, mengikuti, dan ta'at terhadap pemilik identitas dan otoritas dalam

20
Sebagaimana yang dikutip oleh Tadjoer Ridjal Bdr., Op. Cit, hlm. 101-102

271
Perilaku Homoseksual di Ponpes

masyarakat, yakni kiai. Sehingga akan menciptakan hegemoni ideologi kepatuhan

masyarakat terhadap kiai, yang pada akhirnya akan menciptakan homogenisasi kultural

masyarakat yang bercorak kepemimpinan kiai, atau penulis menyebutnya sebagai

terciptanya identitas homogenisasi kultural masyarakat pesantren.

Namun dengan hilangnya otoritas kiai bagi massa (santri dan masyarakat

pesantren), dalam hal ini perilaku alaq dalaq, maka hegemoni dan hegemonisasi

kultural yang diinginkan kiai lambat laun akan hilang atau dihilangkan. Hal ini sejalan

dengan periodisasi citraan menurut Baudrillard, sehingga yang tercipta hanyalah citra

yang merupakan simulakrum murni, yang pada akhirnya melahirkan massa yang

hiperrealitas. Sehingga tidak ada lagi homogenisasi kultural yang didominasi secara

tunggal yang ada hanyalah heterogenisasi kultural yang melahirkan pluralitas

kekuasaan. Yang pada akhirnya tercipta masyarakat yang menghargai keragaman di

dalam relung-relung sendi kehidupan, baik pluralitas dalam bidang agama, sosial,

budaya, ataupun orientasi seksual. Sehingga dunia akan tercipta sebagai dunia

hiperrealitas yang penuh penghargaan akan pluralitas, yang pada akhirnya menyulitkan

kita untuk mengetahui mana yang real dan mana yang tidak.

272
Perilaku Homoseksual di Ponpes

BAB VI

KESIMPULAN

Kehidupan homoseksual di masyarakat pesantren Sumenep ternyata belum

sepenuhnya diterima di kalangan masyarakat sebagai bagian dari heterogenitas

kehidupan seksual seseorang, meskipun sebenarnya menjadi seorang homo merupakan

suatu proses sosial historis yang dimulai sejak masa kecil, remaja hingga dia benar-

benar merepresentasikan dirinya sebagai seorang diri homo. Bahkan seorang filosof

etika Indonesia Bertens, di dalam tulisannya di Kompas tanggal 12 Juni 1996

menyebutkan; bahwa memperbolehkan atau dibukanya lembaga perkawinan bagi

kaum homoseksual sama saja dengan menjungkirbalikkan hukum kodrat, oleh karena

itu, akan mengacau balaukan tatanan moral.

Homoseksualitas meskipun dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat

biologis atau natural, namun pada akhirnya akan masuk ke dalam kategori konstruksi

sosial yang dapat memberikan pembedaan antara yang normal dan yang abnormal.

Dengan demikian, standar normalitas seksualitas lebih bersifat sosial, karena yang

dianggap normal bagi mereka adalah yang berada dalam oposisi duaan, atau penulis

menyebutnya sebagai ideologisasi heteroseksual, yakni jantan-betina dan harus kawin

dengan resmi. Hal ini semakin diperkuat dengan ikut campurnya birokrasi negara

dalam mengintervensi persoalan seksual, seperti keharusan setiap individu untuk

memilih dua jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, dan dilarang terjadinya

perkawinan antarjenis kelamin yang sama. Intervensi kejelasan jenis kelamin ini pada

273
Perilaku Homoseksual di Ponpes

akhirnya ikut menyeret lembaga-lembaga lainnya untuk ikut mengintervensi

sebagaimana negara. Hal inilah yang terjadi di institusi pendidikan termasuk di

dalamnya pondok pesantren, kejelasan inilah yang kemudian oleh Judith Butler

disebut sebagai performatifitas.

Di dalam sistem pendidikan pondok pesantren, terdapat dua pola umum yakni

tradisional dan modern. Meskipun tidak terdapat sesuatu yang begitu mencolok

tentang perbedaan kedua tipe pondok pesantren tersebut. Namun dari penelitian di

dua pondok pesantren, pondok pesantren tradisional An-Naqiyah dan pondok

pesantren modern Al-Amanah, terdapat beberapa perbedaan, yakni di pondok

pesantren tradisional model pengajaran menggunakan sistem halaqoh, dengan

wetonannya, dan sistem sorogan, sedangkan di pondok pesantren modern menggunakan

sistem kelas. Selain itu, yang diajarkan di pondok pesantren tradisional lebih ke kitab-

kitab kuning ketimbang ke ilmu-ilmu umum sedangkan di pondok pesantren modern

memadukan antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum. Di dalam

kehidupan kesehariannya, pondok pesantren tradisional lebih mengutamakan

kebersamaan, gotong-royong, dan lebih toleran terhadap pelanggaran, dan

menggunakan bahasa lokal dalam interaksi kesehariannya, dan di pondok pesantren

modern lebih kepada saling curiga, saling melaporkan kesalahan santri lainnya, dan

sangat disiplin, serta menggunakan bahasa Inggris dan Arab dalam kesehariannya.

Sedangkan dari segi kepemimpinan, pemimpin di pondok pesantren tradisional

sifatnya lebih tunggal atau bentuk kepemimpinan pada masa feodalisme, sedangkan di

274
Perilaku Homoseksual di Ponpes

pondok pesantren modern lebih kearah pembagian tugas yang diatur secara manajerial

organisatoris. Di dalam bidang politikpun kedua pondok pesantren tersebut berbeda,

pondok pesantren tradisional lebih akomodatif terhadap politik, yang pada akhirnya

para pemimpin pondok pesantren tersebut duduk di dalam partai politik, dan secara

organisasi keagamaan lebih ke arah Nahdlatul Ulama, sehingga kebijakan yang

ditempuh di pondok pesantren ini lebih ke arah kemajuan masyarakat sekitar.

Sedangkan pondok pesantren modern tidak memihak ke partai politik atau organisasi

keagamaan tertentu, sehingga banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pondok

pesantren ini elite dan lebih ke Muhammadiyah. Tidak memihaknya pondok

pesantren modern pada akhirnya akan menciptakan kebijakan untuk kemajuan

pondok pesantrennya.

Selain itu, seksualitas tidak akan hadir dalam sebuah perbincangan jika tidak

lebih dulu didahului oleh sebuah wacana (discourse) yang mengatur sebagaimana yang

digambarkan oleh Michael Foucault. Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas dibentuk

oleh discourse. Discourse sendirilah yang secara wajar dimengerti sebagai sebuah

perbincangan atau sebuah pernyataan yang dimulai dengan berbagai ideologi dan

kepentingan yang ternyata berisi tentang praktik regulasi yang memberikan evaluasi

terhadap benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan tersebut, dan semakin diperkuat

oleh power – knowledge. Lebih lanjut, menurutnya ciri wacana adalah kemampuan

untuk menjadikannya suatu himpunan wacana yang dapat berfungsi sebagai

pembentuk dan pelestari hubungan-hubungan kekuasaan di dalam suatu masyarakat.

275
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Di dalam banyak kajiannya mengenai, penjara, seksulitas, dan kegilaan Foucault

menunjukkan bahwa konsep gila, tidak gila, sehat, sakit, normal, abnormal, benar, dan

salah bukan sebagai sebuah konsep yang abstrak yang datang langsung dari langit,

melainkan dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan

bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan lainnya. Di

dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda satu sama

lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana

tersebut akan menjadi dominan, sedangkan wacana lainnya akan terpinggirkan

(marginalized).

Wacana dominan dan wacana yang terpinggirkan akan semakin jelas ketika

dioperasikan melalui asimilasinya Jane Baudrillard. Hal ini tergambar dari pergeseran

wacana masyarakat pesantren Sumenep dan santri (massa Gilir-gilir dan Parendu)

dalam memaknai homoseksual, seperti amoral, penyakit, berdosa, dan lain sebagainya

bagi mereka kaum homoseksual secara umum, berbeda ketika pandangan mereka

terhadap perilaku alaq dalaq di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah dan pondok

pesantren modern Al-Amanah, yang menganggapnya bukan termasuk ke dalam

kategori homoseksual, oleh karena itu tidak berdosa bagi yang melakukannya, dengan

kata lain perilaku alaq dalaq di pondok pesantren bagi masyarakat pesantren Sumenep

dan santri (massa) dimaknai secara subjektif diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan

pengausa tunggal yang mempunyai otoritas dan dominasi yakni kiai, yang menganggap

276
Perilaku Homoseksual di Ponpes

alaq dalaq sebagai zina kecil dan dosa sehingga dilarang dilakukan di pondok

pesantren.

Namun massa yang bungkam dan diam dengan segala kebodohannya lambat

laun melawan dan melanggar kekuasaan tunggal tersebut, karena menurut Baudrillard

kekuasaan bukanlah dari tunggal ke massa, namun dari massa ke tunggal, dengan tetap

melakukan perilaku alaq dalaq, karena menurut perilaku alaq dalaq bukanlah

homoseksual dan diperbolehkan. Dengan demikian, perilaku alaq dalaq akan tumbuh

dengan suburnya di pondok pesantren. Terdapat tiga pola relasi antarpelaku alaq dalaq

di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah, pertama, relasi alaq dalaq tanpa ikatan,

kedua, relasi alaq dalaq dengan ikatan, dan ketiga, relasi alaq dalaq for pleasure.

Sedangkan di pondok pesantren modern Al-Amanah hanya terdapat satu pola relasi

alaq dalaq, yaitu pola relasi dengan ikatan.

Hal ini sejalan dengan perkembangan sejarah homoseksual. Di dalam sejarah

barat, pada masa tradisonal, homoseksual berkembang dengan pesat dan dianggap

sebagai bagian dari ritual keagamaan. Namun pada masa modern, homoseksual

dianggap sebagai penyakit, amoral, dosa, dan gila, yang harus dimusnahkan. Sedangkan

pada masa postmodern, perkembangan homoseksual mulai berkembang dengan

pesatnya seiring mulai bermunculannya organisasi, majalah, dan undang-undang yang

lebih toleran terhadap kaum homoseksual, yang dibuktikan dengan berbagai undang-

undang yang memperbolehkan terjadinya perkawinan antarsejenis. Pada sejarah Islam,

277
Perilaku Homoseksual di Ponpes

homoseksual mulai dianggap sebagai sebuah dosa seiring munculnya konsep keluarga,

yakni pada masa nabi Luth, sedangkan zina pada masa nabi Musa. Oleh karena itu,

pada masa sebelumnya perilaku homoseksual tidak dilarang. Namun seiring pelarangan

tersebut maka banyak kutukan bahkan hukuman mati yang sangat sadis bagi mereka

yang melakukan perilaku homoseksual. Dengan kebebasan dalam menginterpretasi

hukum-hukum agama terhadap perilaku homoseksual pada perkembangan selanjutnya,

banyak yang lebih toleran terhadap perilaku homoseksual. Bahkan seorang pemikir

muslim bernama Mohammed Jalal Kishk dalam bukunya yang berjudul Muslim’s Ideas

About Sexuality menceritakan tentang seksualitas dan homoseksual di syurga. Berbeda

dengan kedua perkembangan di atas, perkembangan homoseksual di Indonesia

sifatnya sangat represif, seperti larangan berperilaku homoseksual, bahkan larangan

terhadap pornografi dalam bentuk apapun, yang sekarang sedang digodok untuk

dijadikan Undang-undang, meskipun pada masa kerajaan dulu banyak mitos dan

tradisi-tradisi lokal yang menggunakan perilaku homoseksual sebagai bagian dari

kehidupannya.

Selain itu, yang perlu dikemukakan juga di sini adalah keterbatasan tesis ini,

atau bisa sebagai rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut, atau juga sebagai saran.

Penulis harus mengakui bahwa konsentrasi tesis ini hanya berpaku pada perilaku

homoseksual di pondok pesantren dan pergeseran pandangan masyarakat pesantren

terhadap homoseksual. Walaupun penulis sudah sangat teliti terhadap kedua hal

permasalahan tersebut, namun penulis kurang membahas tentang peran atau sejarah

278
Perilaku Homoseksual di Ponpes

konstruksi sosial masyarakat pesantren terhadap homoseksual yang pada akhirnya

memunculkan negosiasi identitas, serta sejarah panjang pergeseran perilaku

homoseksual dulu dan sekarang di pondok pesantren, serta sejarah panjang lahirnya

perilaku homoseksual di pondok pesantren.

Namun demikian, melalui tesis ini, penulis sudah berusaha untuk menutup

gap antara heteroseksual dan homoseksual. Pada level teoritik, tesis ini telah

menjelaskan tentang persoalan sekitar oposisi biner antara heteroseksual dan

homoseksual, discourse, power – knowledge, performatifitas, dan strukturisasi. Dengan

berbagai pembahasan tersebut diharapkan muncul dalam wacana akan pentingnya

persamaan hak antara kaum heteroseksual dengan kaum homoseksual. Karena hal itu

penting untuk memberikan hak-hak individu mereka sebagaimana mestinya. Dengan

kata lain bahwa perilaku homoseksual adalah representasi atau pola keragaman

perilaku seksual seseorang yang harus dihargai sebagaimana mestinya. Sebagaimana

pada masa awal berdirinya negara Indonesia atau pra berdirinya Indonesia, yang sangat

menghargai keragaman. Akankah Indonesia dengan kemodernan dan embel-embel

demokrasi di setiap tulisannya mampu mengakomodir hak-hak para kaum minoritas

homosesksual yang jumlahnya sekitar 1% dari seluruh jumlah bangsa Indonesia

sebagaimana hak yang diperoleh kaum heteroseksual, atau mungkin hal terkecil, yakni

mengakui bahwa kaum homoseksual tumbuh berkembang di Indonesia dan ada?

279
Perilaku Homoseksual di Ponpes

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Abdullah. Amin., 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Abdullah. Taufik., 1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES:
Jakarta

A’la. Abd., 2002, Melampaui Dialog Agama, Kompas: Jakarta

Alimi. Moh. Yasir., 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa
Hingga Wacana Agama, LKiS: Yogyakarta

Al-Tabari. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir., 1995, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayil Qur’an ,
Dar al-Fikr: Beirut

Anderson. Bennedict., 2001, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terj.


Omi Intan Naomi, Insist Press & Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Asy’ari. Zubaidi Habibullah., 1996, Moralitas Pendidikan Pesantren, LKPSM: Yogyakarta

Azra. Azyumardi., 1994, Jaringan Ulama': Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Mizan: Bandung.

Bakar. Abu., 1957, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, tnp:
Jakarta

Barker. Chris., 2005, Cultural Studies: Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural
Studies Center, Bentang: Yogyakarta

Basuni. Ison., 1985, "Dakwah Bil Hal Gaya Pesantren", dalam M. Dawam Rahardjo
(edit), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, P3M: Jakarta

Basyir. Ahmad Azhar., 1993, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum,
Politik, dan Ekonomi, Mizan: Bandung.

Baudrillard. Jean., 1990, The Transparency of Evil: Essays on Extreme Phenomena, Verso:
London

280
Perilaku Homoseksual di Ponpes

______________., 1983, Fatal Strategies, Semiotext: New York

______________., 1981, For a Critique of the Political Economy of the Sign, Telos Press:
USA.

Bouvier. Helene., 2002, Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura,
terj. Rahayu S. Hidayat dan Jean Couteau, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Bouwsma. Elly Touwen., 1989, "Kekerasan di Masyarakat Madura", dalam Huub de


Jonge (edit), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang
Masyarakat Madura, terj. Suparmin, Rajawali Pers: Jakarta

Brooks. Ann., 2005, Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif, terj. S. Kunto Adi Ibrahim, Jalasutra: Yogyakarta.

Butler. Judith., 1993, Body and Matter: on the Discursive Limits of "Sex", Routledge: New
York

___________., 1999, Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity, Routledge:
London

Coulon. Alain., 2004, Etnometodologi, terj. Jimmy Ph. PAÄT, Lengge dan KKSK Jakarta:
Mataram

Daftar Emis Pondok Pesantren Tahun Pelajaran 2005/2006, Kantor Departemen


Agama Kabupaten Sumenep.

Dhofier. Zamakhsyari., 1982, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Cet. I, LP3ES: Jakarta

Djauhari. Muhammad Idris., t.t, Sekilas Tentang Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan,
Sumenep: t.n.p

_______________________., t.t, TMI: Tarbiyatul Mu'allimien Al-Islamiyah, Apa, Siapa,


Mana, Kapan, Bagaimana, dan….Mengapa?, Sumenep: t.n.p

Dyer. Richard., 1977, Gays & Film, British Film Institute: London.

____________., 1991, Now You See It, British Film Institute: London.

281
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Dzulkarnain. Iskandar., 2003, "Hubungan Antarumat Beragama di Sumenep Madura


(Studi tentang Hubungan Umat Islam dan Katolik di Kecamatan Sumenep)",
Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Effendy. Bisri., 1990, An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial Di Madura, P3M: Jakarta

El Fadl. Khaled M. Abou., 2004, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
terj. R. Cecep Lukman Yasin, Serambi: Jakarta

Eriyanto., 2001, Aanalisis Wacana, LKiS: Yogyakarta

Fakih. Mansour., 2003, Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. III, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta

Farida. Anis., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak
Dengan Kaum Heteroseksual Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas
Gadjah Mada: Tesis

Foucault. Michel., 2000, Sejarah Seksualitas: Seks Dan Kekuasaan, terj. Rahayu S Hidayat,
Gramedia: Jakarta

_____________., 2002, Power / Knowledge: Wacana Kuasa / Pengetahuan, terj. Yudi


Santoso, Bentang Budaya: Yogyakarta

_____________., 1984, The Use of Pleasure: Volume 2 of The History of Sexuality,


Pantheon Books: New York

Freedman. M.., 1989, Lesbianism: Affirming Non Tradisional Roles, Rothblum & Cole:
Boston.

Freud. Sigmund., 2003, Teori Seks, terj. Apri Danarto, Jendela: Jogjakarta.

Friedman. J., 1995, "Global System, Globalization and the Parameters of Modernity",
dalam M Featherstone, S Lash, and R Robertson (edit), Global Modernities, Sage:
London

Friedman. R. B.., 1990, “On the Concept of Authority in Political Philosophy” di


dalam Joseph Raz (edit), Authority, Basil Blackwell: Oxford

282
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Fromm. Erich., 2002, Cinta Seksualitas Matriarki Gender, terj. Pipit Maizier, Jalasutra:
Jogjakarta

Gagnon. J. H. dan William Simon., 1973, Sexual Conduct: The Social Sources of Human
Sexuality, Hutchinson: London

Giddens. Anthony., 2004, Transfomation of Inticimacy: Seksualitas, Cinta dan Erotisme


dalam Masyarakat Modern, terj. Riwan Nugroho,Fresh Book: Jakarta

______________., 1985, The Nation - State and Violence: Volume Two of A Contemporary
Critique of Historical Materialism, Polity Press: Cambridge

Gochros. Jean S., 1992, “Homophobia, Homosexuality, and Heterosexual Marriage,


dalam Warren J Blumenfeld (edit), Homophobia How We All Pay The Price,
Beacon Press: Boston

Hamka., 1979, Tafsir Al-Azhar, Panjimas: Jakarta

Hasbullah., 1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta

Holstein. James A and Jaber F Gubrium., 1994, “Phenomenology, Ethnomethodology,


and Interpretive Practice”, dalam Norman K Denzin and Yvonna S Lincoln.,
Handbook of Qualitative Research, Sage Publication: London

Imron. D. Zawawi., 1996, " Peta Estetik Madura Masa Lalu", dalam Aswab Mahasin
(edit), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Yayasan Festifal
Istiqlal: Jakarta

Jary. David and Julia Jary., 1991, Collins Dictionary of Sociology, Harper Collins
Publishers: Manchester

Jonge. Huub de., 1989, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi,
Dan Islam, Suatu Studi Antropologi Ekonomi, Gramedia: Jakarta

Kabupaten Sumenep Dalam Angka, Sumenep Regency in Figure, tahun 2004

Karim. Khalil Abdul., 2002, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, dan Kekuasaan, LKiS:
Yogyakarta.

283
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Kartono. Kartini., 1989, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, CV. Mandar Maju:
Bandung

Katchadourian. Herant A., 1989, Instructor’s Edition: Fundamental of Human Sexuality,


fifth edition, Rinehart & Winston Inc: Holt

Kayam. Umar., 1985, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, Gramedia: Jakarta

Kinsey. Alfred Charles (et.al.)., 1948, Sexual Behavior in the Human Male, Saunders:
Philadelphia

Koeswinarno., 2004, Hidup Sebagai Waria, LKiS: Jogjakarta.

Kuntowijoyo., 2002, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, terj.
Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja, Mata Bangsa: Yogyakarta

MacKendrick. Karmen., 2002, Counterpleasures: Risalah Kenikmatan dan Kekerasan


Seksual, terj. Sudarmaji, Qalam: Yogyakarta

Mansurnoor. Iik Arifin., 1990, Islam In An Indonesian World: Ulama' of Madura, Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta

Mas’ud. Abdurrahman., 2003, Menuju Paradigma Islam Humanis, Gama Media:


Yogyakarta

Miles. Matthew B. dan A. Michael Huberman., 1992, Analisis Data Kualitatif, terj.
Tjetjep Rohendi Rohidi, UI Press: Jakarta

Moesa. Ali Maschan., 1999, Kiai Dan Politik, Wacana Civil Society, LEPKISS: Surabaya

Moleong. Lexy J., 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya: Bandung

Monografi Kecamatan Pragaan tahun 2005

Monografi Kecamatan Guluk-guluk tahun 2005

Muhadjir. Noeng., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Rake Sarasin:
Yogyakarta

284
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Muthahari. Murthada., 1984, Manusia dan Agama, Mizan: Bandung

Muthmainnah., 2002, "Islam dan Demokrasi di Madura: Studi Tentang Bassra di


Kabupaten Bangkalan dan Sumenep", Tesis, Program Pascasarjana Sosiologi,
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

__________., 1998, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi, LKPSM:


Yogyakarta

M. Sudirman., “Studi Tentang Homoseksual Menurut Pandangan Hukum Islam”,


dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (Edit)., 1994, Problematika
Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus kerja sama Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan: Jakarta

Nawawi. Hadari., 1995, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, cet. II, UGM Press:
Yogyakarta

Nazir. Moh.., 1983, Metode Penelitian, Ghalia: Jakarta

Niekerk. Anja van Kooten dan Theo van der Meet., “Introduction” dalam Dennis
Altman (dkk)., 1989, Homosexuality, Which Homosexuality?, An Dekker atau
Schorer: Amsterdam

Oetomo. Dede., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press dan Ford
Foundation: Yogyakarta

Parptoraharjo., 1998, Laki-laki “Pecinta” Laki-laki: Sebuah Kajian Tentang Konstruksi


Sosial Perilaku Homoseksual, Universitas Gadjah Mada: Tesis.

Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Guluk-Guluk Dalam Angka


2004, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep

Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Pragaan Dalam Angka 2004,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep

Piliang. Yasraf Amir., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra

Rais. Amin., “Islam Dan Budaya Madura, dalam Aswab Mahasin dkk (edit)., 1996, Ruh
Islam dalam Budaya Bangsa, Yayasan Festival Istiqlal: Jakarta

285
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Ridha. Rasid., 1950, Tafsir Al-Manar, Matba’ah Hajari: Kairo

Ridjal Bdr. Tadjoer., 2004, Tamparisasi Tradisi Santri Pedesaan Jawa, Yayasan Kampusina:
Surabaya

Ritzer. George., 2004, Teori Sosial Postmodern, cet. II, terj. Muhammad Taufik,
Yogyakarta: Kreasi Wacana

Rozaki. Abdur., 2004, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai
Rezim Kembar Di Madura, Pustaka Marwa: Yogyakarta

Rubin. Lilian., 1990, Erotics Wars, Farrar, Straus and Giroux: New York

Salim. Agus., 2001, Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba Dan
Penerapannya, Tiara Wacana: Yogyakarta

Sanderson. Stephen K., 1995, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
Edisi III, Raja Grafindo Persada: Jakarta

Seidler. Victor J., 1987, “Reason, Desire & Male Sexuality”, dalam Pat Caplan, The
Cultural Construction of Sexuality, Travistock Publication: London

Shahrur. Muhammad., 1990, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, Al-Ahali li Al-


Nasyr: Damaskus

_________________., 2004, Tirani Islam, LKiS: Jogjakarta

Singarimbun. Masri., “Metode dan Proses Penelitian”, dalam Masri Singarimbun dan
Sofian Effendi (ed)., 1989, Metode Penelitian Survei, LP3ES: Jakarta.

Smith. Anthony., 1991, National Identity, Penguin: London

Smith. Gleen., "Pentingnya Sapi dalam Masyarakat Madura", dalam Huub de Jonge
(edit), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang
Masyarakat Madura, terj. Suparmin, Rajawali Pers: Jakarta

Spencer. Colin., 2004, Sejarah Homoseksual: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj.
Ninik Rochani Sjams, Kreasi Wacana: Jogjakarta.

Steenbrink. Karel A., 1986, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES: Jakarta

286
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Subaharianto. Andang (dkk)., 2004, Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur,


Menjunjung Leluhur), Bayu Media: Malang

Surachmad. Winarno., 1970, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah,
Tarsito: Bandung

Suroso., 1996, "Orang Madura dan Kewiraswastaan", dalam Aswab Mahasin (edit), Ruh
Islam Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Yayasan Festifal Istiqlal:
Jakarta

Suwito dan Muhbib, “Jaringan Intelektual Kiai Pesantren di Jawa-Madura Abad XX”,
di dalam Khaeroni (dkk) (Edit)., 2002, Islam dan Hegemoni Sosial, Media Cita:
Jakarta

Syarifuddin., 2005, Mairil: Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Yogyakarta: P-Idea

Tan. Mely G.., “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam Koentjaraningrat (ed)., 1997,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi III, Gramedia: Jakarta

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.,1990, Kamus


Besar Bahasa Indonesia, cet. III, Balai Pustaka: Jakarta

Truong. Thanh-Dam., 1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES

Umar. Nasaruddin., 1999, Argumen Kesetaraan Jender, Paramadina: Jakarta.

Vredenberg. Jacob., 1986, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta

Weedon. Chris., 1998, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Monash University
Press: Monash

Weeks. Jeffrey., 1987,”Question of Identity” dalam Pat Caplan, The Cultural


Construction of Sexuality, Tavistock Publication: New York

_____________., 1980, Homosexuality: Power & Politics, Allison & Busby: London.

Wiyata. A Latief., 2002, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, LKiS:
Yogyakarta
Woodward. Mark R., 2002, Islam Di Jawa, LKiS: Yogyakarta

287
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Yakin. Fafhi., 1989, Islam dan Seks , Al-Hidayah: Jakarta

Zuhri. Muhammad., 1991, Persepsi Masyarakat terhadap Kepemimpinan Kepala Desa:


Studi Kasus tentang Perilaku Devian di Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa
Timur, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Majalah, Koran, Makalah, Hasil Internet

Abdurrahman., 1978, "Kepemimpinan Dalam Administrasi Pembangunan di Jawa


Timur Perbandingan Kerjasama Pimpinan Formal dan Informal Daerah di Jawa
Timur", dalam Paper Proyek Penelitian Madura, Depdikbud RI dalam Rangka Kerjasama
Indonesia – Belanda

Abdul Mustaqim., 2003, “Homoseksual Dalam Tafsir Klasik dan Kontemporer”, dalam
Musawa, PSW UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta, vol. 2, No. 1, Maret

Abu Hafshah., “Hukuman Bagi HomoSeks”, dalam Artikel Buletin Annur, diakses dari
Alsofwah. Or. Id. Index.php/ index.php/?pilih=lihatannur&id=324, tanggal 20 April
2005

Amreen Jamal., “The Story of Lut and The Quran’s Perception of The Morality of
Same-Sex Sexuality”, dalam Journal of Homosexuality, Nomer 41, 1, 2001

Dede Oetomo., “Homoseksualitas di Indonesia, dalam Prisma, No. 20 Edisi 7, Juli, th.
1991

Erros Jafar, Iblis itu bernama “Homoseksual” Murtadin&Jahiliyah, diakses dari Forum
Swaramuslim. Org, tanggal 23 Desember 2004.

Homoseksual diakses dari sp18.com 09 Mei 2001

Homoseksual; dari Seniman hingga Menteri, dikutip dari Intisari edisi Januari 2001
dan diringkas oleh Mila.

Huub de Jonge., "Stereotypes of the Madurese", Royal Institute of Linguistics and


Anthroppology, International Workshop on Indonesian Studies, No. 6, Leiden, 7-11
October 1991

288
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Ignas Kleden.,“Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional: Dilema Indonesia


Antara Kebudayaan dan Kebangsaan”, dalam Prisma,No. XV, Edisi 8, Agustus, th. 1986

Jawa Pos, Kamis 9 Maret 2006

John Langone, “How to Block a Killer’s Path”, dalam Time, tanggal 30 Januari tahun
1989

Julia I. Suryakusuma., “Konstruksi Sosial Seksualitas”, dalam Prisma No. 20s Edisi 7,
Juli, th. 1991

Linda Christanty., “Gaya Nusantara”, dalam Surat Kabar Majalah Pantau, tahun III, No.
024, April 2002

North Carolina., Chapter 34, Section 6, 1854.

Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center

Onghokham., “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintas Sejarah Pra dan Masa Kolonial”,
dalam Prisma No. 20 Edisi 7, Juli, th. 1991

Reza Indragiri Amriel., “Pasal – Pasal Susila dalam KUHP Baru, Apanya yang
Kontroversi?” Dalam Sinar Harapan, Kamis, 16 Oktober 2003.

Santoso Purwoadi.,”Kontroversi Pasal – Pasal Susila dalam KUHP Baru”, dalam Sinar
Harapan, Sabtu 11 Oktober 2003,

Srinthil, Media Perempuan Multikultur, Nomer 5 tahun 2003, yang dicatat oleh Bisri
Efendi dan Ijhal Thamaona

Sindhunata., "Malangnya Orang Madura Teganya Orang Jawa", dalam Basis, No. 09-10
thn, ke-45, Desember, 1996

Tadjuddin Noer Effendi., 2005, Hakekat Perdebatan Metodologi Dapat Dilacak


Dengan Menelaah: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi (Metodologi), Diktat Mata Kuliah
Metodologi Penelitian Kualitatif Pascasarjana Sosiologi 2005

Triyono Lukmantoro., "Moral, Seksualitas, dan Intervensi Negara", dalam Kompas,


Senin, 11 April 2005

289
Perilaku Homoseksual di Ponpes

Wawancara antara Dede Oetomo dengan Kantor Berita Prancis (AFP), tentang gay
yang dijadikan manuver pendukung Islam politik untuk Pemilu 2004, “Syariat Islam
dalam KUHP bermuatan politis,” dalam http://www.
Glorianet.org/berita/b4552.html, mengakses tanggal 20 Februari 2005

"Wasilah (Waraqah SanawIyah Li Akhir ad-dirosaH), Media Informasi Tahunan dan


Komunikasi Antar Keluarga", Tarbiyatul Mu'allimien Al-Islamiyah TMI (Putra-Putri),
Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Tahun Ajaran 1425-1426 H (2004-2005 M)

WWW. Gaya Nusantara. Org, tanggal 25 Juli 2006

290
Lampiran I :

JAKARTA: Lap. Banteng (BT), campur, malam,komersial. Tugu/Gelanggang Senen,

campur, malam, komersial. Bioskop Grand Duta/Mulya Agung (Grand/MA),

persimpangan Jln Kramat Raya-Kwitang, campur, siang & malam. Terminal Bus Senen

(kamar mandi 'Si Unyil'), campur, komersial. Dangdut Senen. sebelah gelanggang

Senen/seberang terminal bus, campur, komersial. Cililitan (Cili-terminal lama), di sekitar

terminal lama, campur, malam Minggu. Jangan datang selain malam Minggu. Bahaya!!!

Gedung Bioskop Cinere, di lobi, mayoritas brondong, malam. Ciputat-Gedung bioskop

Sahara, di pelataran, mayoritas brondong, malam. Kolam renang Ancol (di bawah 'Air

Terjun'). Minggu sore. Sogo. Plaza Indonesia. Hotel Grand Hyatt, bundaran HI, mayoritas

brondong, siang & malam. Pasaraya Big & Beautiful Blok M, toilet lantai dasar/pintu

masuk parkir, campur, siang & malam. Blok M Plasa/Terminal Kebayoran Baru, mayoritas

brondong, siang & malam. Atrium/Segitiga Senen,. depan Studio 21, mayoritas brondong,

siang & malam. Metro Kafe, Puri Indah Mal Lt.1, 10.00-21.00 WIB.

Kebanyakan Disko di Jakarta adalah tempat mangkal gay. Tanamur (disko), Jln Tanah

Abang,Kamis malam banyak gay, Minggu malam lines, campur, komersial.

The New Moonlight (ML), persimpangan Hayam Wuruk-Mangga Besar, Rabu malam &

Sabtu malam Minggu, gay & lines. Kasturi Diskotik, Jln Mangga Besar Raya 10 E, Senen

malam Selasa, Gay Night, 22.00 WIB-selesai. Furama Pub & Diskotik, Jln Hayam Wuruk

Raya 75 (sebelah Holland Bakery), Selasa malam Rabu, Gay Night, 22.00 WIB-selesai.

TANGERANG: Bioskop Cimanggis Teater.


BOGOR: Sekitar Pertokoan Internusa & depan RRI, gay & waria. Depan Hotel Salak &

depan Istana, malam, waria. Tugu Kujang, di sekitar pos penjagaan. Halte-halte Jln

Pajajaran (sebelum Internusa Shopping Center), dekat pagar lingkar Kebun Raya. Karaoke

Mulia, Minggu malam Senen, 21.00 WIB, campur. Taman Topi, Jln Kapt. Muslihat.

MEDAN: TD (Tembakau Deli), J1n Tembakau Deli, dekat Deli Plasa. Jln Balai Kota

(Warkop TD), malam. Jln Palmerah, waria. Jln A. Yani (Ujung)/PTP London Bld., waria.

Jln Iskandar Muda (Hotel Berlian), waria. Olympia Plasa, Lt. atas sebelah amusement &

cafe, Olympia Theatre, gay. Skyroom, Olympia Plasa Lt. 8, malam Minggu, 90% gay. Deli

Plasa Teater, gay & hetero. Que-Que Diskotik, Olympia Plasa, tiap malam, gay Chinese.

Fire Diskotik, Thamrin Plasa. S'carpark, lantai dasar Istana Plasa, gay & hetero, malam

Minggu. Swimming Pool Tiara Hotel, Jln Cut Mutia, binul & gay. Panti Pijat tuna netra,

Jln Sei Wampu (Yakestra), banyak gay pijat sekaligus meeting point. Panti pijat tunanetra

Sejahtera, Jln S. Parrnan.

PADANG: Taman Melati, Komp. Museum Aditiawarman, sepanjang Jln Bundo

Kanduang & Jln Diponegoro, gay & waria. Dekat Teater Utama Taman Budaya, Jln.

Pancasila & Jln Samudra (Pantai Padang), malam, campur. President Music Room, Jln

Khatib Sulaiman. Jln Permiando, sekitar bioskop Mulia & Hawaii Dept. Store, malam >

21.00 WIB. Tribun Terbuka eks Lap. Imam Bonjol (Blk. Bioskop THR Imam Bonjol),

serta alun-alun eks Taman Wisata Yoga, malam.

BUKITTINGGI: Taman Kota sekitar Jam Gadang, tiap hari jam 21.00-24.00 WIB,

campur. Samping Hotel Novotel, tiap hari jam 21.00-24.00 WIB.


PEKANBARU: Atrium Plasa Citra, tiap hari jam 21.00-24.00 WIB, gay. Cafe Plasa Citra,

tiap hari jam 20.00-22.00 WIB, campur. Sekitar lokasi MTQ, malam Minggu jam 21.00-

24.00 WIB, campur. Jln Cut Nya' Dien (samping kantor Depdikbud) tiap hari jam 21.00-

24.00 WIB, gay.

BATAM: Bukit Senyum, (Smiling Hill), juga di Batu Ampar, di karaoke-karaoke, malam,

waria. 21 STUDIO Jl. Raden Patah ramainya tiap malam minggu, banyak kucing dan G

yang bisa diajak kencan. Halte Bank Bali/Exim (Bank Mandiri) setiap malam pukul 21.00-

01.00 wib Ozon Mega Diskotik, malam minggu Kucing dan G yang tertutup Legend

Dangdut Diskotik, Bukit Mutiara Hotel Malam Minggu. Spinx Diskotik,Seruni Hotel. G

dan Waria. Depan Bank BCA JODOH, tapi banyak preman dan harus hati-hati, 21 Studio

Tanjung Pantun Jodoh.

PALEMBANG: Tugu Lima Hari Lima Malam, tiap malam, gay. Taman Nusa Indah,

malam, waria & gay. Seputar Taman Talang Semut, malam Minggu, gay.

BANDAR LAMPUNG: Oya Diskotik, Jln Yos Sudarso Sukaraja-Telukbetung, malam

Minggu. Sekitar tugu depan bioskop Golden Tanjung Karang, malam. Antara Jln. Pemuda

& Simpang Empat Raya Tanjung Karang, malam. Sekitar King Supermarket, Plasa

Tanjung Karang, siang, brondong. Kolam renang Marco Polo. Lapangan Way Halim, hari

Sabtu dan Minggu pagi. Kolam renang Kartika Hotel, sore hari.

BENGKULU: Jln Suprapto, gay & hetero. Halte Simpong Lima, gay & hetero. Stadion

Samoran, campur.

BANDUNG: A2B (alun-alun Bandung), malam. Marabu Club, Jln Suniaraja simpang Jln

Braga. Jln Sumatra, sepanjang kantor Bala Keselamatan & Ponderosa, malam, waria. LA
Dream Palace, Asia Afrika Plasa, Rabu malam, gay & lines. Bandung Indah Plasa Lt. 3,

sore & malam, gay. North Sea, Jln Braga, bule. Lap. Gasibu, depan Gedung Sate, gay. Pasar

Lembang, waria. Jln Raya Cimahi, waria. Asterix Bar, Hotel Kumala, gay.

CIREBON: Alun-alun Cirebon.

CIANJUR: Stasiun, tiap malam, campur. Bioskop President, tiap malam.

CIPANAS: Diskotik Pasar Cipanas Lt. 3.

TASIKMALAYA: Sekitar Masjid Agung, tiap malam jam 18.30-21.30 WIB, campur. Alun-

alun Kabupaten, tiap malam 23.00 WIB ke atas, waria & PSK-P. BMW Studio, Jln

Cilembang, malam Minggu, campur. Samudera Dept. Store, malam Minggu, gay & kucing.

GOR Sukapura Dadaha, tiap malam > 22.00 WIB, waria. Dinasty Billyard, malam Minggu

> 20.00 WIB, kucing.

SEMARANG: Lap. Simpang Lima, dekat Masjid, malam, gay. Taman muka SMUN I, Jln

Menteri Supeno, gay & waria. Matahari Dept. Store, di sekitar Juice Corner, kucing.

SALATIGA: Di sepanjang Jln Sudirman, malam Minggu. Kafetaria Kampus UKSW, gay,

jam kuliah. Kauman Plasa, dekat traffic light, waria, malam. Ronde Mak Pari, Merbabu,

malam.

SUMENEP: Di depan Masjid Agung Sumenep atau Taman Bunga Sumenep Setiap hari,

mulai jam 21.00, campur.

PEKALONGAN: Monumen Juang 45, campur, ramai malam Jum'at & malam Minggu.

Stasiun, agak sepi, sering razia.

BANYUMAS: Sanggar Tari Studio 7, Balai Ds. Kanding RT01 RW01, Somagede, malam

Minggu (peserta tari khusus G).


TEGAL: Alun-alun, depan Masjid, malam, gay.

PURWOREJO: Alun-alun Purworejo, depan otonom & di tiap gazebo, malam, G.

Terminal lama/Pasar Suronegaran: tiap malam, waria.

YOGYAKARTA: Alun-alun Utara, tiap malam > 19.00 WIB, gay. Sesudahnya, ngumpul

di lesehan nasi uduk Prada, samping Jln Sosrowijayan. Borobudur Bar, tiap malam > 21.00

WIB, gay. Excelso Cafe (Malioboro Mall), gay & hetero. Kolam renang FPOK-IKIP.

Minggu sore, gay. Diskotik Graha Paramitha, Rabu malam, campur, HTM Rp10.000,00.

Yogya Cafe, campur. Kolam Renang Umbang Tirta, Minggu pagi, gay. Taman depan Bank

Indonesia (Senopati), tiap malam, waria. Sepanjang Jln Kapas, tiap malam, waria. Jln

Suroto, malam Minggu. waria. Purawisata, Kamis malam, waria show. Kafe Wayang, Jln

Mayjen Sutoyo 65, Selasa-Minggu, 11.00-01.00 WIB. Playback show, Minggu, 21.00 WIB.

Lomba Bakat, Jumat minggu I & III, 21.00 WIB.

PURWOKERTO: Alun-alun, malam Minggu di pojok barat dekat telp. umum, malam

biasa di bawah pohon beringin. Stadion Mini depan Rajawali 21,gay & waria, tiap malam,

hati-hati banyak preman! Diskotik DD, Komplek Tirta Kembar, Jln Dr Angka, malam

minggu, gay.

CILACAP: Pantai Teluk Penyu.

KEBUMEN: Alun-alun, tiap malam >19.00 WIB, gay & hetero. LA (Pemandian Alam

Langen Ujung), Jln Raya Karangbolong Km16, pagi/sore, gay & hetero. Diskotik Candisari

Hotel, malam Minggu, gay & waria. Rita Dept. Store, di counter buku, gay & hetero.

Krakal Hot Spring, Sabtu & Minggu sore, gay & hetero.
KLATEN: Alun-alun, di sekitar Monumen Adipura (depan)& sekitar Arca Dwarapala (blk),

gay & hetero, tiap malam > 19.30 WIB. Bekas Lap. Panahan Krido Busoro & Kantor

Pengadilan Agama, dekat stasiun (tepi jalan), waria, sedikit gay, tiap malam setelah 20.00

WIB. Makam Ki Ageng Pandanaran, Tembayat, di sisi barat makam, campur, setiap malam

Jum'at, terutama Jum'at Legi > 21.30 WIB.

BOYOLALI: Pemandian Keramat Pengging, Kamis malam Jum'at (Pahing), 23.00-04.00

WIB, gay.

SOLO: Taman Sriwedari (Swedia), juga di parkir belakang, malam, gay & kucing.

Nayu (New York). Terminal Gilingan-Solo, malam, waria Depan LP Jln Slamet Riyadi

(wedangan Mbak Sri), malam, kucing.

SURABAYA: Texas (Terminal Joyoboyo), sepanjang sungai, malam, gay. Jln Irian Barat,

tiap malam, waria. Taman Remaja, sekitar panggung waria show, Kamis malam Jum'at jam

21.00-22.30 WIB, campur. Kal(i)for, jalan tembus Plasa Surabaya di atas jembatan seberang

gedung WTC dan Hotel Radisson, tiap malam > 22.00 WIB, kucing. Diskotik Lido, Kamis

malam & Minggu malam jam 23.00 WIB-selesai, gay, waria & kucing. Pantai Pattaya, Jln

Kangean (jalan tembus dari Jln Pemuda ke Embong Sonokembang), depan Monumen

Kapal Selam, tiap malam, gay & kucing. Kafe Excelso (TP III Lt. III dan Surabaya Plasa Lt.

dasar), gay dan hetero.

GRESIK: Pelabuhan, bagian dalam, tiap malam jam 19.00 WIB, kecuali malam Minggu

>21.00 WIB, gay & waria.

SIDOARJO: Alun-alun, sekitar telpon umum seberang bioskop Mahkota, tiap malam, gay.

Pasar Larangan. Kolam Renang GOR, hari Minggu.


MOJOKERTO: Alun-alun, depan kantor Kabupaten dan depan masjid, tiap malam, gay.

Tangkis, tiap malam, waria.

JOMBANG: BULOG, malam hari.

PONOROGO: Alun-alun, di tengah, sebelah selatan pohon beringin sepanjang trotoar

antara alun-alun barat dan timur, tiap malam >20.00 WIB, gay & waria.

KEDIRI: Diskotik Sky Disc Hotel Merdeka, tiap Selasa malam dan malam Minggu. Depan

Stadion Brawijaya, tiap malam, campur. Depan Kolam Renang Kowak. Pesanggrahan

Pamenang, tiap malam Selasa Kliwon dan malam Jum'at Legi.

MALANG: Alun-alun, di tengah seputar air mancur, malam, gay Seberang Stasiun, malam,

gay & waria. Seberang Museum Brawijaya, Rabu malam. Terminal Arjosari, malam Minggu.

My Place Hotel Kartika Prince, malam Minggu, campur. Lobby Mandala Theatre, malam

Minggu.

PASURUAN: Alun-alun Utara, malam, gay & waria. Warung di lorong ke-2 dari selatan

Pasar Poncol, Jln KH Wahid Hasyim, sebelah Bioskop Himalaya, malam >21.30, gay.

Pemandian Banyu Biru, 17km dari Pasuruan, hari Minggu, gay.

PANDAAN: Depan Restauran Mojopahit, malam, waria & hetero. Gunung Sari, dekat

makam Gunung Gangsir, tiap malam Jum'at Legi, waria & brondong.

MADIUN: Stadion Wilis, tiap malam. Alun-alun, tiap malam. Diskotik Fire, malam

Minggu & malam Senin, HTM Rp10.000,00 & Rp15.000,00 (khusus malam Minggu).

JEMBER: Alun-alun, malam, waria. Warung di lorong depan Stasiun, malam >22.00 WIB,

gay.
BANJARMASIN: Diskotik Bobo, Selasa malam, gay, waria & hetero. Diskotik Shinta,

Rabu malam, gay, waria & hetero. Diskotik Matt, Jum'at malam, gay, waria & hetero.

SAMARINDA: Citra Niaga, sekitar panggung terbuka, malam, gay. Diskotik BP, malam

Minggu, gay. Mesra Indah Mall Lt. 2, sepanjang koridor, malam Minggu. Diskotik

Terapung, Senin malam. Patung Pesut Mahakam, tiap malam Senin.

TENGGARONG: Taman Ulin: G/waria, tiap malam. Depan Museum Pelabuhan Baru:

G/waria, tiap malam.

BALIKPAPAN: Monumen Paradise, Jln Suprapto, >21.00 WITA, gay, waria &

perempuan. Lapangan Merdeka, waria. TC (The Club), Jln Stal Kuda, malam Minggu >

23.00 WITA.

PONTIANAK: Taman Alun Kapuas, depan Korem, tiap malam jam 19.00 WITA-selesai.

DENPASAR: Lapangan Puputan, simpang Jln Surapati & Jln Veteran, tiap malam jam

18.00-23.00 WITA, gay, waria & PSK-P.

KUTA: Sepanjang Pantai Kuta-Legian (khususnya Pantai Oberoi), Made's Warung, Sari

Club, Scandal, Rivoli. Diskotik Spotlight, 95% pengunjungnya orang Asia. Chez Gado-

gado, disco, Seminyak, Legian, Minggu, Selasa, Rabu & Jum'at malam. Goa 2001, bar,

Legian, malam. Double Six, bar, Seminyak, malam. Culture Club Restaurant &

Entertainment, Pukul 23.00 s.d. 1.00 WITA Draq queen/Gay show.

SINGARAJA: Monumen Pelabuhan Buleleng (bekas), tiap malam, gay.

MAKASAR: Lapangan Karebosi, malam, gay & waria. Diskotik Zig Zag, Makassar Golden

Hotel, Jln Pasar Ikan, malam Minggu. campur. Diskotik Romantika, Jln Pattimura, malam

Minggu, campur. Diskotik Benteng, Jln Ujung Pandang, malam Minggu, campur. Studio
21, Jln Ratulangi, malam Minggu, campur. Makassar Theatre, Jln Bali, malam Minggu,

campur. Arini Theatre, Jln Rusa, malam Minggu, campur. Kareba Coffee Shop, Jln

Penghibur, lines & hetero.

PALU: Pantai samping Palu Golden Hotel, malam Minggu. Stadion. Planet Diskotik.

MANADO: Stasiun/Terminal Kompleks Pasar 45, malam >21.00 WITA, gay & waria.

Benteng Theatre, Jln Sam Ratulangi, malam/midnight show. Sekitar Balai Wartawan,

malam. Bank Arta Pusara, malam, waria. Taman Kesatuan Bangsa.

AMBON: Sepanjang Pantai Mardika, gay, waria & kucing. Diskotik Top Ten, Jum'at

malam, gay, waria & kucing. Ambon Plaza 21 Cineplex, malam Minggu/midnight show,

gay & waria. Coffee Shop Amboina Hotel, Kamis malam, gay.

Yang terakhir, JAYAPURA: Sepanjang Jln Irian, depan pertokoan, gay & waria. Sepanjang

Jln A Yani & depan Toko Bintang Mas, gay & hetero. Taman Imbi, gay, waria & hetero.

Bioskop Imbi, Minggu sore jam 15.30 WIT. Taman Pelabuhan Kapal (Dermaga), gay &

waria. Diskotik Paramount, malam Minggu, malam Rabu & malam Jum'at (ladies night).

Terminal Taman Porasko, dekat dermaga A.P.O.: G/waria, tiap malam. Pantai Pasifik

Indah-Dok 2 Bawah: G/waria, tiap malam. Lingkaran Pertokoan Abepura: G, sore &

malam Minggu. Pertokoan Sinar Aneka dan Mega Supermarket Abepura: G, sore &

malam Minggu.

You might also like