You are on page 1of 1

The house of Khilafah1924.

org

HUKUM BIOGAS
Thursday, 26 February 2009

HUKUM BIOGAS

Tanya :
Ustadz, bagaimana hukumnya biogas, yang sekarang marak jadi energi alternatif ?(Ibnu, Lamongan)

Jawab :
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses pembusukan limbah organik (dari makhluk hidup) dengan bantuan bakteri
dalam keadaan anaerob (tanpa oksigen). Limbah organik ini dapat berupa kotoran manusia/hewan, atau limbah industri
makanan, seperti industri tempe dan pindang. Biogas sebagian besar berupa gas metana (CH4) dan karbon dioksida
(CO2), dan beberapa gas yang jumlahnya kecil seperti hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), hidrogen (H2), dan
nitrogen.

Prosesnya, limbah organik (misalnya kotoran sapi) dikumpulkan dalam suatu wadah tertutup (digester/reaktor) dan
diproses dalam dua tahap. Tahap pertama, limbah organik diuraikan menjadi senyawa asam lemah dengan bantuan
bakteri pembentuk asam. Tahap kedua, senyawa asam lemah itu kemudian diubah menjadi gas metana dengan
bantuan bakteri pembentuk metana. Gas metana ini sifatnya mudah terbakar. Gas inilah yang kemudian disalurkan
melalui pipa ke dalam tabung gas, atau dapat langsung ke kompor gas untuk memasak, menyalakan alat penerangan,
dan sebagainya. Inilah sekilas fakta (manath) biogas yang akan dihukumi. Bagaimanakah hukum biogas ini?
Hukum biogas bergantung limbah organik yang digunakan. Pertama, jika yang digunakan benda najis, seperti tinja,
kotoran binatang, urine manusia, biogas hukumnya haram. Sebab memanfaatkan benda najis adalah haram. Kedua, jika
limbahnya benda suci (bukan najis), seperti limbah industri tahu, tempe, dan pindang, biogas hukumnya mubah.

Memanfaatkan benda najis hukumnya haram, dengan dalil firman Allah SWT (artinya) : "...maka jauhilah ia [najis] agar
kamu mendapat keberuntungan." (fajtanibuuhu la'allakum tuflihun) (QS Al-Maidah : 90). Kata ganti (dhamir) berbunyi
"hu" dalam kalimat "fajtanibuuhu" (jauhilah ia), dapat diartikan "jauhilah najis (rijsun)." (Imam Baidhawi, Tafsir Al-
Baidhawi, 2/108; Imam Syaukani, Fathul Qadir, 2/354). Ayat ini bersifat umum memerintahkan kita untuk menjauhi
segala macam najis.

Selain itu, banyak hadis melarang kita memanfaatkan benda najis semisal bangkai (maitah). Jabir bin Abdullah RA
meriwayatkan, saat Fathu Makkah Nabi SAW menjelaskan Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr,
bangkai, babi, dan berhala. Kemudian ada yang bertanya,"Bagaimana pendapat Anda mengenai lemak bangkai, yang
digunakan untuk melumuri perahu dan mengolesi kulit, dan digunakan orang untuk penerangan?" Nabi SAW
menjawab,"Tidak, ia haram." (HR Bukhari no 2082; Muslim no 2960). Hadis ini menunjukkan memanfaatkan (intifa')
segala benda najis adalah haram. (Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/176).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa memanfaatkan benda najis hukumnya haram. Membuat pupuk kandang dari
kotoran binatang, memberi makan ikan dengan kotoran hewan/manusia, memberi makan kucing dengan bangkai tikus,
memberi makan hewan di kebun binatang dengan bangkai, semuanya haram, karena termasuk tindakan memanfaatkan
benda najis. Demikian pula dalam hal ini, biogas haram hukumnya, karena termasuk aktivitas memanfaatkan benda
najis, baik proses pembuatannya maupun pemanfaatannya untuk memasak, alat penerangan, dan sebagainya.

Ada ulama yang berpendapat biogas (dari benda najis) hukumnya mubah. Alasannya, karena gas yang dihasilkan
tidaklah tergolong najis sehingga boleh dimanfaatkan untuk memasak dan lain-lain. Karena gasnya tidak najis, maka
boleh dimanfaatkan dengan hujjah kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (hukum asal benda adalah boleh).
Pendapat ini tidak dapat diterima, karena : (1) Meski gas yang dihasilkan tidak najis, tapi gas itu tidak dapat dipisahkan
dari proses pembuatannya, yaitu memanfaatkan benda najis. Gas itu tidak muncul tiba-tiba dari alam, tapi ada proses
rekayasa manusia yang mendahuluinya. Adanya gas adalah akibat, yang tidak akan muncul kecuali dari suatu sebab
(pemanfaatan najis). Jadi menghukumi gas secara terpisah dari proses pembuatannya tidaklah sesuai dengan manath
(fakta yang hendak dihukumi). (2) Meski gas yang dihasilkan tidak najis, namun pemanfaatannya untuk memasak dan
lain-lain adalah haram, bukan boleh. Kaidah fiqih menyebutkan : At-Taabi' taabi' (Apa saja yang mengikuti sesuatu yang
lain, hukumnya sama dengan sesuatu yang lain itu) (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir). Adanya gas adalah at-
taabi' (sesuatu yang mengikuti) yang muncul dari proses sebelumnya, yaitu memanfaatkan najis. Dengan demikian, jika
memanfaatkan najis adalah haram, maka memanfaatkan gas hasil proses tersebut, juga ikut haram hukumnya.

Adapun biogas yang berasal dari benda suci (tidak najis), hukumnya mubah. Inilah yang layak dikembangkan sebagai
energi alternatif. Sebab kaidah fiqih menetapkan : Al-ashlu fi al-asy-ya` al ibahah hatta yadulla ad-dalil 'ala at-tahrim
(hukum asal benda adalah mubah hingga ada dalil yang mengharamkan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir,
hal. 107). Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 26 Pebruari 2009

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 25 December, 2010, 06:44

You might also like