You are on page 1of 19

Makalah Hukum Adat Lanjutan

Pengaruh lahirnya undang-undang no.1 tahun 1974 tentang


perkawinan terhadap peranan hukum adat bidang perkawinan

Oleh:

KANIA SYAFIZA

(090200116)

GRUP D

Pendahuluan
Latar Belakang

Secara umum pengertian hukum adat adalah suatu hukum tidak tertulis yang

tumbuh di masyarakat berbentuk kebiasaan-kebiasaan yang berulang dan

memiliki sanksi. Hukum adat berbeda dengan adat. Dimana istilah adat hanya

ditujukan untuk kebiasaan perilaku dan tata cara yang terdapat dalam suatu

masyarakat adat. Dikalangan masyarakat adat sendiri, istilah hukum adat tidak

banyak dikenal, yang biasa disebut anggota masyarakat ialah “adat” saja, dalam

arti “kebiasaan” untuk dibedakan dengan istilah “hukum” dalam arti peraturan

agama.

Van Vollenhoven menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di

Indonesia sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda telah

memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri yang dikenal dengan sebutan

hukum adat.1

Peranan hukum adat di Indonesia sangat kental,karena masyarakat di Indonesia

terdiri dari berbagai ragam suku dan budaya yang mempunyai hukum adatnya

masing-masing dalam berbagai bidang,seperti perkawinan,perceraian,pewarisan,

dan lainnya.

Pada bidang perkawinan sendiri,hukum adat memiliki ketentuan dan nilai yang

berbeda antara suatu masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat

lainnya. Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda

dengan adat masyarakat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dari

suku bangsa yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dari yang beragama

Kristen, Hindu dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari masyarakat

kota. Dikarenakan perbedaan tata-tertib adat, maka seringkali dalam

1
Prof.Dr.H.R,Otje Salman Soemadiningrat,S.H.,Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,P.T.Alumni
Bandung,2002,hlm.7
menyelesaikan perkawinan antara adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadang-

kadang tidak tercapai kesepakatan antara kedua pihak dan menimbulkan

ketegangan.

Indonesia merupakan negara hukum yang menganut adanya sistem Nasional,

diharapkan dapat menjamin adanya kepastian hukum bagi semua warga

negaranya. Salah satu hasil yang telah dicapai dalam peningkatan, penyempurnaan

dan pembinaan hukum Nasional adalah terbentuknya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan berarti bangsa Indonesia memiliki hukum perkawinan yang bersifat

Nasional, yang menjadi suatu kenyataan dalam perwujudan persatuan dan

kesatuan yang sifatnya “ Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini diadakan dalam rangka

memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia selama ini agar di dalam hukum

kekeluargaan terdapat ketentuan hukum yang maju sesuai dengan suasana

kemerdekaan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun

1945.2

UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan unifikasi dari berbagai

peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya, sehingga sifatnya

dikatakan telah menampung segala aspirasi dan sendi-sendi kehidupan

masyarakat.

Hal ini disebabkan karena UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

merupakan landasan hukum perkawinan bagi warga Negara Indonesia, yang

terdiri dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda-beda agama, suku


2
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta 2005, Hal 13
bangsa dan kepercayaannya.UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut

bersifat nasional, merupakan suatu hasil perjuangan yang penuh dengan rintangan

baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Adanya Undang-undang yang berlaku

secara nasional tersebut belum berarti bahwa di dalam pelaksanaan perkawinan

dikalangan masyarakat sudah terlepas dari pengaruh hukum adat. Ia masih

diliputi hukum adat sebagai hukum rakyat yang hidup dan tidak tertulis dalam

bentuk peraturan perundang-undangan negara.3

Bagaimana sesungguhnya pengaruh dari lahirnya UU No.1 Tahun 1974 terhadap

peranan hukum adat dalam bidang perkawinan? Untuk itulah saya memilih judul

makalah ini. Karena menurut saya pasti akan menarik untuk dibahas secara

terperinci.

Perumusan Masalah

3
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Cetakan Kelima, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1995, Hal 12.
Berikut adalah beberapa perumusan masalah yang berkaitan dengan pengaruh

lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap peranan

hukum adat:

 Bagaimana perbandingan antara pelaksanaan perkawinan pada masyarakat

hukum adat dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan?

 Sejauh mana Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

memberikan pengaruh terhadap peranan hukum adat dalam bidang

perkawinan pada masyarakat Indonesia?

 Apakah perkembangan masyarakat pada saat sekarang ini juga

berpengaruh terhadap peranan hukum adat dalam bidang perkawinan?

Pembahasan
Bagaimana perbandingan antara pelaksanaan perkawinan pada

masyarakat hukum adat dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan?
Ada baiknya sebelum mengadakan perbandingan pada pelaksanaan

perkawinan,kita harus memahami dulu definisi dari perkawinan itu sendiri

menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun menurut hukum adat.

Pasal 1 Undang-Undang perkawinan memberikan definisi sebagai berikut:

“Pekawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tinggal) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apabila definisi

tersebut diuraikan maka kita akan mendapatkan adanya unsur-unsur sebagai

berikut:

1. Adanya ikatan lahir dan batin

Ikatan lahir batin merupakan ikatan yang mengungkapkan adanya

hubungan hukum antar pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai

suami dan istri. Ikatan batin inilah yang dapat menjadi fundamental

membentuk dan membina keluarga yang bahagia.Dalam membina

keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha untuk sungguh-sungguh

untuk meletakkan perkawinan sebagai pasanan suami istri dalam

kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang diajarkan

oleh agama masing-masing.

2. Antara seorang pria dan wanita


Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang

wanita.Maka dapat disimpulkan,bahwa hubungan perkawinan antara

selain pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi.Seperti perkawinan

antara pria dengan pria ataupun antra wanita dengan wanita. Dalam

unsur ini juga terkandung asas monogami.

3. Sebagai suami istri

Perkawinan mengikat sepasang pria dan wanita menjadi suami istri yang

sah. Ikatan suami istri ini bertujuan untuk membentuk lembaga

terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga.Yang kemudian akan

berkembang seiring dengan lahirnya anak dan peristiwa-peristiwa

hukum lainnya.Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat,sangat

penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga.Oleh karena

itu diharapkan suami istri mampu menjalankan perannya masing-masing

dalam rumah tangga dengan baik.

4. Untuk membentuk keluarga rumah tangga bahagia dan kekal

Membentuk keluarga yang bahagia,rapat hubungannya dengan

keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan.Sedangkan

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak merupakan tanggung jawab

orangtua.Untuk dapat mencapai hal ini maka diharapkan kekekalan

dalam perkawinan,yaitu bahwa sekali orang melakukan perkawinan,tidak

akan bercerai untuk selama-lamanya kecuali cerai karena kematian.

5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa


Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,yang sila pertama

Ketuhanan Yang Maha Esa,maka perkawinan mempunyai hubungan yang

erat dengan agama/kerohanian. Sehingga perkawinan bukan hanya

mempunyai unsur jasmani atau lahir,tetapi batin/rokhani juga memiliki

peran penting

Hal-hal berikut di atas gambaran mengenai definisi setidaknya sudah memberi

sedikit gambaran mengenai defenisi perkawinan menurut UU No.1 Tahun

1974.Bagaimana definisi perkawinan menurut hukum adat?

Menurut hukum adat sendiri,perbedaan kelamin merupakan penyebab terjadinya

hidup bersama antara seorang pria dan wanita dan itulah sebab musabab

kelangsungan hidup manusia.Perkawinan merupakan titik pangkal dari keluarga

sedarah, harta perkawinan, kekuasaan marital, kekuasaan orang tua, dan hukum

waris.

Dalam memahami masalah mengenai perkawinan dalam hukum adat,kita tidak

dapat melihat dari satu suku bangsa saja.Karena banyaknya suku dan budaya yang

terdapat di Indonesia ini,dimana antara suku yang satu dan lainnya memiliki

hukum adatnya sendiri-sendiri.

Misalnya adanya sistem perkawinan patrilineal di suatu daerah,dan sistem

perkawinan matrilineal di dareah lain.Sementara di dareah lainnya berlaku sistem

perkawinan parental. Tentu saja ketiga sistem ini mempunyai tata cara dan

aturan sendiri yang berbeda-beda.

Di dalam etnologi (ilmu yang mempelajari suku bangsa),perkawinan dipandang

sebagai suatu perikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat
sedimikian rupa sehingga anak-anak yang lahir dari si istri adalah keturunan yang

diakui oleh kedua belah pihak.4

Dari defenisi di atas kita dapat membedakan antara berbagai jenis perikatan

yang diakui dalam masyarakat.Misalnya antara perkawinan dan leviraat,yaitu

hidup bersama (samenleving) antara seorang janda dengan saudara laki-laki

suaminya yang telah meninggal dunia. Tidak semua suku memandang apa yang

dinamakan janda yang diwarisi sebagai perkawinan baru yang sah. Karena itu

untuk membahas perkawinan dalam hukum adat akan membutuhkan pembahasan

yang lebih dalam lagi.

1) Sahnya perkawinan menurut Hukum Adat dan UU No.1 Tahun 1974

Keabsahan perkawinan menurut hukum adat tergantung pada sistem

kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat adat lingungan calon mmpelai tinggal.

Yaitu sistem penarikan garis keturunan antara lain sistem patrilneal,sistem

matrilineal,dan sistem parental.

Pada sistem patrilineal,yaitu penarikan garis keturunan dari pihak ayah, dikenal

bentuk perkawinan eksogami.Perkawinan dengan sistem ini terdapat dalam

masyarakat di daerah Gayo,Alas,Batak,Nias,daerah Ambon,Bali dan Lombok.

Ciri utama dari sistem perkawinan ini adalah adanya maskawin yang disebut jujur.

Jujur ini adalah pemberian oleh keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan

dalam rangka pihak laki-laki menarik si perempuan untuk masuk ke dalam klannya.

Jujur ini biasanya berupa barang-barang suci yang memiliki nilai magis.

Masyarakat patrilineal mengharuskan adanya perbedaan klan antara calon

4
R.Soetojo Prawirohamidjojo,Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia,Airlangga
University Press,Surabaya,2002,hal.23
mempelai pria dan wanitanya.Guna mempertahankan kelangsungan generasi

keluarganya.Oleh karena itu ada larangan berupa larangan kawin antar sesama

klan,juga larangan kawin timbal balik. Yaitu meskipun beda klan tetapi dilarang

kawin karena telah atau pernah terjadi hubungan perkawinan di antara keluarga

tersebut

Pada masyarakat matrilineal juga dikenal adanya bentuk eksogami. Sistem ini

terdapat pada masyarakat Minangkabau, bagian kecil Sumatera Selatan,,dan

kepulauan Baratdaya.

Sistem matrilineal ini bukan karena ibu mempunyai kekuasaan atas anak-

anaknya.Tetapi karena ibu tetap dalam sukunya,yaitu di dalam kekuasaan

keluarga sedarah pria dari ibu.Suami menganggap rumah istrinya sebagai

rumahnya meski ia tidak diterima masuk dalam keluarga istri.Anak-anak

mengikuti keluarga sedarah ibu mereka.

Perkawinan dengan sistem parental terdapat di Jawa,Sulawesi,Kalimantan,dan

Madura. Perkawinan terjadi karena dikehendaki keluarga dari kedua belah pihak.

Tanpa salah satu pihak menderita kerugian,sehingga tidak perlu adanya semacam

pembayaran atau ganti rugi.

Sementara syarat sahnya suatu perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974

terdapat dalam pasal 2 ayat 1 dan 2. Ketentuan dalam ayat 1 dan 2 tidak dapat

dipisahkan.Keduanya harus dipenuhi sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Isi

pasal tersebut antara lain:

Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Perkawinan dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum masing-masing agama

dan kepercayaannya,dan selanjutnya dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.Tata cara pencatatan perkawinan sama dengan pencatatan

peristiwa-peristiwa penting kehidupan seseorang lainnya.Seperti kelahiran,

kematian dan lain-lain.5

Mengenai syarat-syarat pernikahan itu sendiri menurut UU perkawinan

ini,terdapat dalam pasal 6 sampai pasal 12.Dari pasal-pasal ini kita dapat melihat

bahwa tidak ada yang namanya sistem ganti rugi seperti jujur dalam persyaratan

perkawinan. Sehingga tidak memberatkan calon mempelai yang ingin

melaksanakan perkawinan.

2) Cerai menurut hukum adat dan UU No.1 Tahun 1974

Pada sistem masyarakat adat patrilineal,cerai atau pemutusan perkawinan

berarti adalah pemutusan jujur.Yang berarti kembalinya istri dan uang jujurnya.

Perceraian dapat disebabkan oleh keadaan seperti kemandulan dapat menjadi

alasan utama.

Pada sistem matrilineal khususnya pada perkawinan ambil anak,alasan kemandulan

merupakan alasan wajar dilakukannya perceraian,karena tidak memenuhi tujuan

perkawinan.Di Kalimantan,perkawinan dapat diputuskan sementara apabila adanya

5
http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2010/11/undang-undang-nomor-1-tahun-1974.html
keadaan magis yang membahayakan seperti salah satu dari suami atau istri

mendapatkan mimpi buruk.

Alasan yang umum adalah karena istri melakukan perselingkuhan. Suami dapat

memutuskan perkawinan berdasarkan perselingkuhan ini yang dari segala aspek

merugikan pihak istri.Istri dapat diputuskan dan tidak boleh membawa apapun

kecuali baju di badan.

Menurut UU Perkawinan pasal 38,ada tiga hal yang menyebabkan putusnya

perkawinan.Yaitu kematian, perceraian (talak),dan putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian,ialah suami ataupun istri dipisahkan oleh

maut itu sendiri. Misalnya suaminya yang meninggal atau istri yang meninggal.

Apabila yang meninggal dua-duanya sekaligus,tentu tak perlu lagi dibicarakan

mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap pihak-pihak.

Pada putusnya perkawinan pada perceraian (talak) adalah penjatuhan talak.

Sebelum lahirnya UU No.1 Tahun 1974,adalah hak mutlak dari suami untuk

menceraikan istrinya sehingga tak jarang menimbulkan kerugian bagi istri,anak-

anak,keluarga dan masyarakat.Lahirnya UU Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975

memberikan pembaharuan.Dimana pasal 39 ayat 1 dan 2 UU menyebutkan

penjatuhan talak hanya boleh dilakukan di depan sidang pengadilan,setelah

pengadilan berusaha dan gagal mendamaikan kedua pihak. Ayat 2 nya

menyebutkan, “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,bahwa antara

suami dan istri itu tidak dapat hidup rukun berdampingan sebagai suami istri.”

Sedangkan pada putusnya perkawinan karena putusan pengadilan, adalah

perceraian yang terjadi karena akibat sesuatu hal yang menyebabkan pengadilan

untuk memutuskan perkawinan. Misal gugatan istri,salah satu dari suami/istri

terkena pidana penjara diatas 5 tahun,dll.


Sejauh mana Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan memberikan pengaruh terhadap peranan hukum adat

dalam bidang perkawinan pada masyarakat Indonesia?

Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.Berakar pada kebiasaan atau

maupun nilai-nilai dasar yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu masyarakat

adat. Dapat diartikan mengikat dan mempengaruhi pikiran dan perasaan hukum

masyarakat Indonesia. Pemikiran tersebut diakui konstitusi Indonesia yaitu UUD

I945.Hal ini menunjukkan adanya perumusan hukum adat sebagai bagian dari

hukum dasar negara Indonesia.

Eksistensi hukum adat dewasa ini sudah tentu lebih condong bergantung pada

hukum tertulis termasuk undang-undang dasar dan peraturan tertulis lainnya.

Hubungan historis dapat disimpulkan merupakan implikasi dari resepsi hukum

Belanda ke dalam sistem hukum Indonesia.Kita ketahui bahwa Belanda

menerapkan asas konkordansi hukum-hukumnya di Indonesia.

Pada bidang hukum perkawinan sendiri,kelahiran UU No.1 Tahun 1974 juga

memberikan pengaruh terhadap eksistensi hukum adat.Pada umumnya bidang-

bidang hukum adat yang bersifat privat,peraturan perundang-undangan tidak

banyak melakukan reduksi terutama yang bersifat materiil karena masih kuatnya

budaya masyarakat. Namun tetap saja terdapat pengaruh terhadap hukum adat

dari lahirnya UU Perkawinan tersebut.

Seperti syarat perkawinan pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan: “Perkawinan hanya

diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak

wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.”


Ketentuan ini banyak ditafsirkan sebagai penghapusan lembaga perkawinan anak-

anak yang terdapat di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. 6 Hukum adat Jawa

Barat mengenal perkawinan antara anak kecil atau antara aanak laki-laki dewasa

dengan anak perempuan yang belum dewasa dengan pembatasan-pembatasan

tertentu.

Namun ayat 2 dari pasal 7 tadi dapat menyatakan bahwa penafsiran tersebut

tidak sepenuhnya benar. Isi dari pasal tersebut,”Dalam hal penyimpangan

terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau

pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

Jadi perkawinan anak-anak dalam masyarakat hukum adat masih berlaku.Tetapi

penyelenggaraannya harus berdasarkan dispensasi pengadilan atau pejabat yang

ditunjuk.

Selain itu tidak adanya syarat perkawinan pada UU perkawinan berupa harus

adanya pembayaran jujur dan sejenisnya dinilai dapat meringankan bagi calon

mempelai yang ingin menikah namun tidak mampu untuk menyelenggarakan tata

cara adat. Karena pekawinan dianggap sah di mata hukum apabila telah memenuhi

syarat yang ditentukan tanpa harus adanya biaya “ganti rugi” yang tidak sedikit.

Sehingga banyak calon suami istri lebih memilih melakukan perkawinan

berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 daripada mengikuti syarat berdasarkan hukum

adat.

Jadi dapat dikatakan pengaruh UU No.1 Tahun 1974 terhadap hukum adat tidak

terlalu jauh.Karena UU perkawinan hanya mengandung formalistis,dimungkinkan

tetap hidupnya hukum adat dalam bidang hukum perkawinan.

6
Prof.Dr.H.R,Otje Salman Soemadiningrat,S.H op.cit.,hlm 201
Apakah perkembangan masyarakat pada saat sekarang ini juga

berpengaruh terhadap peranan hukum adat dalam bidang

perkawinan?

Perkembangan masyarakat dewasa ini sudah tentu membawa pengaruhnya sendiri

dalam peranan hukum adat dalam bidang perkawinan. Menurut Prof.Dr.H.R,Otje

Salman Soemadiningrat, ada 2 faktor-faktor internal masyarakat yang

mempengaruhi peranan hukum adat.

 Kesadaran hukum masyarakat

Terjadinya pergeseran praktik hukum adat dalam pola-pola

kehidupan masyarakat.Ada yanh mampu bertahan dan ada juga

yang menghilang.Hukum adat yang bertahan adalah hukum yang

bersifat sensitif menyentuh wilayah budaya serta keyakinan

masyarakat.

Kesadaran hukum itu merupakan pedoman bagi penegakan hukum

dan penaataan hukum.Bukan karena sanksi atau rasa takut

melainkan kesadaran bahwa hukum sesuai dengan nilai-nilai yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan harus ditaati.

Kesadaran ini muncul akibat adanya rasionalitas yang telah ada

pada masyarakat modern masa kini.

Hukum adat dalam perkawinan hanya dipandang sebagai tata cara

yang sudah menjadi tradisi dalam prosesi perkawinan. Seperti

upacara-upacara pernikahan adat sekarang hampir jarang

dilakukan. Karena dipandang sebagai kegiatan yang tidak

bersifat mengikat,dan sama sekali tidak efisien.


 Kebangkitan Individu

Kebangkitan individu ini diartikan sebagai proses munculnya

kritisisme seseorang atas tradisi-tradisi yang berlangsung dalam

masyarakatnya.Biasanya proses inidimulai dengan adanya tingkat

pemahaman seseorang atas hak=haknya sebagai individu yang

memiliki ruang publik dan privat.

Misalnya seorang pria dan wanita dari suku Batak yang berasal

dari klan berbeda yang ingin melangsungkan perkawinan. Namun

perkawinan itu terhambat karena belum adanya kesepakatan

dalam pembayaran jujur. Kemudian kedua calon mempelai

menyadari bahwa persyaratan adat tersebut hanya

memberatkan saja dan berpikir untuk melaksanankan perkawinan

yang berpedoman pada Undang-Undang Perkawinan.Pada titik

inilah muncul adanya kritisi individu terhadap nilai dan norma

yang ada dalam masyarakatnya.

Biasanya pemikiran untuk mengkritik norma-norma adatnya itu

muncul apabila individu telah memiliki kesadaran hukum yang

logis,mengalam perasaan terkekang oleh norma-norma adat

dalam masyarakatnya,telah terpengaruh oleh budaya modern dan

telah banyak bergaul dengan orang-orang dari suku masyarakat

lainnya. Proses modernisasi ini dapat menipiskan rasa kepedulian

dan komitmen sesorang terhadap nilai-nilai luhur hukum adat.

Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini,masyarakat cenderung memiliki pola

pikir yang praktis dan instan. Sehingga nilai-nilai hukum adat yang biasanya

bersifat kompleks dan sakral sering dianggap kuno dan tidak efisien.
Penutup

 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas mengenai pengaruh lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun

1974 tentang perkawinan terhadap peranan hukum adat dalam bidang perkawinan

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perkawinan dalam hukum adat harus dibedakan dari sistem

kekerabatan yang digunakan dalam suatu masyarakat hukum adat.

Begitu juga dengan syarat perkawinan,harus melihat dari sistem

kekerabatan tersebut.Sedangkan UU No.1 Tahun 1974 tidak

mempermasalahkan sistem kekerabatan terhadap syarat sah

perkawinan.

2. Lahirnya UU No.1 Tahun 1974 memberikan pengaruh bagi eksistensi

hukum adat bidang perkawinan.Sedikit demi sedikit,masyarakat lebih

condong untuk mengikuti aturan dalam UU perkawinan saja karena

substansinya yang rasional dan mengikat seluruh masyarakat Indonesia.

Meskipun tak dapat dipungkiri masih banyak masyarakat di Indonesia

terutama yang masih berada di daerah yang nuansa adatnya masih

kuat,yang melakukan perkawinan berdasarkan hukum adat.

3. Modernisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia juga berdampak

pada peranan hukum adat. Masyarakat yang berpikir rasional dan

memikirkan hak-haknya sebagai individu akan mulai mengkritik norma-

norma adat yang terdapat dalam lingkungan masyarakatnya.


Begitu juga dengan masyarakat yang memiliki pola pikir yang praktis

dan instan dapat menipiskan kepedulian dan komitmen seseorang

terhadap norma-norma adat dalam masyarakatnya.

4. Hukum adat tetap harus dilestarikan.Karena merupakan hukum yang

berasal dari kebiasaan dan norma yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat asli Indonesia sejak dahulu kala.Yang menggambarkan

keadaan masyarakat Indonesia yang kaya akan suku dan budaya. Serta

dapat mempererat hubungan kekeluargaan dan kebersamaa suatu

masyarakat adat. Karena harus dijaga eksistensinya agar tidak hilang

ditelan peradaban modern. Kita tidak menolak budaya hukum asing

sepanjang ia tidak bertentangan dengan budaya hukum

Indonesia,namun kita juga harus memilah hukum adat mana yang sudah

ketinggalan zaman dan mana hukum adat yang mendekati keseragaman

yang dapat diperlakukan sebagai hukum nasional.7

7
Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,Mondar Maju,Bandung,2003 hlm.2
Daftar Pustaka

 Prof.Dr.H.R,Otje Salman Soemadiningrat,S.H.,Rekonseptualisasi Hukum


Adat Kontemporer,P.T.Alumni Bandung,2002.
 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
 Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat,Cetakan Kelima,PT.Citra
Aditya Bakti,Bandung,1995.
 R.Soetojo Prawirohamidjojo,Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di Indonesia,Airlangga University Press,Surabaya,2002.
 Prof.H.Hilman Hadikusuma, S.H. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,
Mondar Maju,Bandung,2003
 http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2010/11/undang-undang-nomor-1-
tahun-1974.html
 repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1574/1/perdata-sunarmi2.pdf

You might also like