You are on page 1of 8

Syifa Aulia I.

240210090099

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan kadar HCN dalam sampel
singkong dan jengkol. Singkong memiliki kandungan glikosida sianogenik yang
dapat dikonversi menjadi HCN. HCN bersifat racun jika masuk ke dalam tubuh
manusia.

Gambar 1. Jenis Glikosida sianogenik pada singkong


(Sumber: Azmi, 2009)

Gambar 2. Peruraian glikosida sianogenik hingga dihasilkan HCN yang toksik.


(Sumber: Azmi, 2009)

Keracunan terjadi karena singkong mengandung glikosida sianogenik


linamarin (C10H17O6N) yang terdapat pada lapisan luar. Zat ini terdiri dari
glukosa, aseton, dan asam sianida (HCN). Dalam jumlah kecil, HCN dapat
dinetralkan tubuh menjadi tiosianat. Kadar HCN dalam singkong tergantung pada
jenis singkong, kelembaban, ketinggian tanah dan pemupukan. HCN dapat
menyebabkan terbentuknya sianmethemoglobin dan keracunan protoplasmic yang
mengakibatkan ketidakmampuan jaringan mengambil oksigen.
Jengkol mengandung asam jengkolat. Asam jengkol atau asam
jengkolat (internasional:  jengkolic acid) adalah asam amino yang memiliki
atom belerang. Senyawa ini tersusun dari dua asam aminosistein yang diikat oleh
satu gugus metil pada atom belerangnya. Nama IUPAC-nya adalah asam (2R)-2
amino-3-(2R)-2-amino-3-hidroksi-3-oksopropi sulfanilmetilsulfanil propanoat.
Asam jengkol terkandung pada biji jering (jengkol) yang biasa dimakan secara
mentah atau setelah direbus.
Isolasi asam ini pertama kali dikerjakan oleh Van Veen and Hyman dari
urin penduduk yang mengalami keracunan jering. Mereka berhasil mengisolasi
kristal asam ini dari biji jering menggunakan barium hidroksida (Ba(OH) 2) pada
30°C dan ditunggu beberapa waktu.
Selanjutnya, laporan menunjukkan ada sekitar 20 gram asam jengkolat di
setiap 1 kg biji jengkol segar (20 permil) dengan variasi 12 hingga 35 permil
tergantung varietasnya. Diketahui pula, biji legum lain juga mengandung lebih
sedikit asam ini: Leucaena esculenta (2.2 g/kg) dan Pithecolobium ondulatum (2.8
g/kg). Asam inilah yang bertanggung jawab terhadap gangguan
pembuangan urin (air seni) yang dikenal sebagai "kejengkolan". Kejengkolan
terjadi karena asam jengkol akan mengendap membentuk kristal jarum-jarum
halus apabila bertemu dengan air seni yang asam. Kristal-kristal ini dapat merusak
jaringan dinding ginjal dan saluran urin. Penanganannya adalah dengan meminum
air abu berbagai tumbuhan yang bereaksi alkalis/basa. Jengkol yang direbus atau
yang diolah menjadi keripik, telah berkurang kadar asam jengkolatnya.

Gambar 3. Stuktur kimia asam jengkolat


(sumber: wikipedia, 2008)

Prinsip praktikum ini adalah titrasi sisa AgNO3 (yang beraksi dengan
HCN) dengan NH4CNS, metode ini termasuk pada titrasi pengendapan metode
Volhard. Prosedur yang pertama kali dilakukan adalah memasukkan sampel yang
telah dihaluskan ke dalam labu destilasi, kemudian menambahkan akuades hingga
terendam, penambahan akuades dilakukan agar HCN lebih mudah diuapkan.
Sampel kemudian didestilasi hingga volume destilatnya 150 ml. Destilasi
berfungsi menguapkan HCN yang terdapat di dalam sampel. Destilat tersebut
ditampung di dalam Erlenmeyer yang berisi 50 ml AgNO 3 0,02 N yang berfungsi
menangkap HCN yang teruapkan. AgNO3 yang ditambahkan berlebih, sebagian
AgNO3 bereaksi dengan HCN membentuk AgCN dan HNO3, sisanya dititrasi
dengan NH4CNS. Reaksi yang terjadi adalah:
HCN + AgNO3  AgCN + HNO3
Selain itu pada labu penampung ditambahkan 1 ml HNO 3 yang berfungsi agar
tercipta kondisi asam, karena dalam kondisi basa Fe3+ pada FAS akan terhidrolisis
dan sebagai penstabil saat titrasi karena NH4CNS merupakan basa lemah.
Setelah volume destilat mencapai 150 ml, indikator FAS.24H2O (Ferri
Ammonium sulfat) ditambahkan sebanyak 2-3 tetes, untuk mendeteksi kelebihan
ion tiosianat. Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan NH4CNS 0,02 N, pada
saat dititrasi larutan menjadi berwarna putih, karena terjadi reaksi yang
menyebabkan timbulnya endapan AgCNS yang berwarna putih, reaksi yang
terjadi:
NH4CNS (aq) + AgNO3 sisa (aq) → AgCNS ↓ (s) + NH4NO3 (aq)
Titrasi dilakukan hingga titik akhirnya berwarna merah, warna merah bata terjadi
karena timbulnya kompleks ferritiosianat yang berwarna merah. Reaksi yang terjadi
adalah:
Fe 3+ +CNS-  FeCNS2- (merah)
Kadar HCN dalam sampel dapat diketahui dari volume NH 4CNS yang
digunakan dalam tirtasi. Berat HCN dalam sampel dapat dihitung dengan rumus:
WHCN= (V blanko- V sampel) x Np x BMHCN
Persentase HCN dapat dihitung dengan rumus:
W HCN
% HCN = x 100 %
W sampel
Hasil titrasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
W Volume Volume
Sampel sampel NH4CNS blanko % HCN (b/b)
(mg) (ml) (ml)
1 25000 20,2 0,01253%
Singkong
2 25000 20,9 0,11016%
26
1 25320 6 0,043%
Jengkol
2 25030 0,4 0,055%

Menurut literatur terdapat dua jenis singkong, singkong pahit yang


mengandung sianida lebih dari 50 mg/kg dan singkong manis mengandung
sianida kurang dari 50 mg/kg. Hasil praktikum menunjukkan kandungan sianida
0,01253% dan 0,011016% sehingga sampel yang digunakan termasuk singkong
manis yang memiliki kandungan sianida rendah sehingga tidak akan
mengakibatkan keracunan jika dikonsumsi. Perbedaan yang terjadi antara dua
sampel kemungkinan karena kekurangtepatan dalam menentukan titik akhir titrasi.
Kandungan sianida pada singkong tergantung pada umur, varietas dan cara
penanganannya. Jika singkong mentah atau yang dimasak kurang sempurna
dikonsumsi, maka racun tersebut akan berubah menjadi senyawa kimia yang
dinamakan hidrogen sianida. Oleh karena itu dibutuhkan pemasakan yang
sempurna untuk mengurangi kadar sianida. Selain itu menurut Irmansyah (2005)
bahwa dengan cara merebus, mengupas, mengiris kecil-kecil, merendam dalam
air, menjemur hingga kemudian dimasak adalah proses untuk mengurangi kadar
HCN. Proses pencucian dalam air mengalir dan pemanasan yang cukup, sangat
ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun, pencucian efektif untuk
mengurangi racun sianida  karena asam sianida mudah terlepas ke dalam air
rendaman, sementara cara pengeringan dapat menguapkan senyawa itu. Selai n itu
kadar HCN dapat dikurangi dengan cara fermentasi.
Pada sampel jengkol didapatkan bahwa antara sampel 1 dan 2 volume
NH4CNS sangat jauh berbeda. Ini disebabkan oleh alat pendestilasi yang kurang
efisien sehingga volumenya jauh berbeda.
Jengkol mengandung racun berupa asam amino yaitu asam jengkolat.
Asam jengkolat merupakan salah satu komponen yang terdapat pada biji jengkol.
Strukturnya mirip dengan asam amino (pembentuk protein), tetapi tidak dapat
dicerna. Kandungan asam jengkolat pada biji jengkol bervariasi, tergantung pada
varietas dan umur biji jengkol. Jumlahnya antara 1 – 2 % dari berat biji jengkol.
Asam jengkolat ini dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Penyebabnya
adalah terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan dapat menyumbat saluran
air seni. Jika kristal yang terbentuk tersebut semakin banyak, maka kelama-
lamaan dapat menimbulkan gangguan pada saat mengeluarkan air seni.
Asam jengkolat mempunyai struktur molekul yang menyerupai asam
amino sistein yang mengandung unsur sulfur, sehingga ikut berpartisipasi dalam
pembentukan bau. Molekul itu terdapat dalam bentuk bebas dan sukar larut ke
dalam air. Karena itu dalam jumlah tertentu asam jengkolat dapat membentuk
kristal.

VI. KESIMPULAN
 Perbedaan yang terjadi antara dua sampel kemungkinan karena
kekurangtepatan dalam menentukan titik akhir titrasi.
 Kadar HCN pada singkong dipengaruhi oleh varietas dan cara
penanganannya.
 Kandungan HCN dapat dikurangi dengan perendaman, pencucian pada air
mengalir, pengeringan, dan fermentasi.
 Asam jengkol atau asam jengkolat adalah asam amino yang memiliki
atom belerang. Senyawa ini tersusun dari dua asam aminosistein yang diikat
oleh satu gugus metil pada atom belerangnya. Kandungan belerang tersebut
menyebabkan jengkol berbau tidak sedap.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Asam Jengkol. Available at: http://id.wikipedia.org (diakses: 17
november 2008)

Azmi, Hifdzi. 2009. Glikosida Sianogenik. Available at:


http://hifdzi06.wordpress.com (diakses pada 7 Mei 2010).

Dedy, Rachman. 2009. Titrasi Pengendapan. Available at:


http://www.blogpribadi.com (diakses pada 7 Mei 2010).

Khopkar, S. M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

IV. PROSEDUR
 Disiapkan sampel yang akan dianalisis secukupnya, kemudian digerus dengan
mortar.
 Dimasukkan sampel kedalam labu destilasi, ditambahkan akuades hingga
terendam.
 Dilakukan maserasi selama 2 jam.
 Didestilasi sampel sampai diperoleh destilat sebanyak lebih dari 100 ml.
 Ditangkap destilat dengan erlenmeyer yang berisi 50 ml larutan AgNO 3
0,02N dan 1 ml HNO3.
 Dipindahkan destilat yang ditangkap secara kuantitatif ke dalam labu ukur
500 ml, ditambahkan akuades sampai tanda batas, lalu kocok dan saring.
 Diambil 250 ml filtrat, kemudian ditambahkan 1 ml larutan ammonium
ferisulfat, kemudian dititrasi sisa AgNO3 dengan larutan NH4CNS sampai
terbentuk warna merah.

You might also like