You are on page 1of 3

Kenang-Kenangan Terakhir

Si Kembar, itulah sebutan bagi Alya dan Ilya. Mereka berdua lahir 12 tahun yang lalu. Sekarang
mereka duduk di bangku kelas satu SMP. Susah membedakan mereka berdua, tapi lama
kelamaan mereka memiliki perbedaan dalam penampilan. Alya berambut panjang dan suka
memakai bando. Sedangkan Ilya berambut pendek dan suka memakai topi.

"Mama, Alya berangkat, " pamit Alya sambil mencium tangan Mama. Setelah itu, Alya
ke kamar Ilya.

"Ilya, kamu berangkat bareng nggak?" tanya Alya.

"Bareng dong !" jawab Ilya.

Setelah Alya menunggu sekitar lima menit, akhirnya mereka berdua siap berangkat ke
sekolah. Tak lupa Ilya pamit dan mencium tangan Mama.

"Ilya, jangan lupa topi kamu, " Mama mengingatkan.

"Iya Ma, Assalamualaikum, " pamit Alya dan Ilya bersamaan.

"Waalaikum salam," jawab Mama.

Alya dan Ilya berangkat ke sekolah naik angkot. Mereka berangkat dari rumah pukul
06.15. Dalam perjalanan, mereka selalu asyik berbincang-bincang.

"Alya, nanti kan tes matematika, kamu udah siap ?" tanya Ilya.

"Udah dong!" balas Alya mantap.

"Kiri Pak !" teriak Ilya begitu angkot sampai di depan pintu gerbang. Alya menyodorkan
dua lembar uang ribuan kepada kernet angkot. Alya dan Ilya segera bergegas masuk ke gerbang
sekolah.

"Selamat pagi, Kembar ….” tiba-tiba Ratna muncul di belakang mereka berdua.

"Eh kamu Na, jangan suka ngagetin orang!" tegur Alya.

"Maaf deh Kembar, aku lagi iseng," jawab Ratna.

"Ya udah, aku maafin, but jangan diulangi lagi, ya?" kata Ilya memperingatkan.

Alya masuk ke kelasnya bersama Ratna, dan Ilya masih berjalan ke arah kelasnya.

"Teeetttt .... !" Bel tanda masuk berbunyi. Murid-murid berhamburan masuk ke kelas
masing-masing. Hari itu berlangsung ulangan midsemester. Alya dan Ilya mengerjakan soal-soal
itu dengan santai karena semalam mereka belajar dengan sungguh-sungguh.

"Teeetttt .... !" Bel tanda pulang berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar dari kelas.
Ilya menunggu Alya di depan sekolah. Tapi yang ditunggu belum muncul juga.

Ke mana saja sih, Alya? tanya Ilya dalam hati. Ia melongok ke kanan dan ke kiri.
Tampak Alya berjalan ke arahnya.

"Maaf ya Il, aku telat," kata Alya merasa bersalah.

"Memangnya kamu ke mana saja sih?“ sergah Ilya.


"Tadi aku piket dulu," jawab Alya.

"Sekarang kita jadi kan ke toko buku?" ajak Ilya.

"Bagaimana kalau ke toko bukunya sesudah midsemester saja?" usul Alya.

"Hm ...ya udah kalau gitu," balas Ilya setuju.Alya menyetop angkot. Alya naik ke angkot,
kemudian disusul Ilya.

"Il, perasaan aku kok tidak enak ya?" kata Alya tiba-tiba. "Maksud kamu apa?" Ilya balik
bertanya. Alya memegang tangan Alya, kemudian air matanya menetes. Alya, kamu kok
menangis? Memangnya kamu kenapa?" tanya Ilya. "Tidak kenapa-kenapa kok, Il," jawab Alya.
"Kiri Pak!" teriak Alya begitu angkot sudah sampai di dekat rumah. Alya segera menyodorkan
satu lembar lima ribuan. "Dik, ini kembaliannya!" ujar kernet angkot, " Ambil saja, Pak!" jawab
Alya tanpa menoleh. Ilya kembali bingung. Biasanya Alya selalu memberi uang yang pas.
Tampaknya Alya buru-buru ingin segera masuk ke rumah. "Mama, Papa, Alya akhir-akhir ini
terlihat aneh," cerita Ilya pada Mama dan Papa saat mereka berkumpul di ruang keluarga. "Iya
Ma, kemarin saja, Papa diberi pakaian sama Alya. Katanya sih cuma buat kenang-kenangan,"
kata Papa. "Iya ya, Mama juga dibelikan baju muslim dan kerudung juga," timpal Mama.
"Kejadian kayak gitu. Ilya juga mengalaminya. Alya membelikan Ilya tas, dompet, buku,
malahan Ilya sempat foto berdua sama Alya sewaktu di toko buku. Itu juga atas permintaan
Alya," ujar Ilya. "Ma, Pa, Ilya …” kata Alya kepada mereka bertiga secara tiba-tiba. "Eh, Alya,
ada apa Alya?" tanya Mama. "Alya buatkan teh, ya?" pinta Alya. "Tidak usah Al, biar Mama
saja," larang Mama. "Sekali saja Ma, nanti kalau Alya tidak bisa buatkan teh lagi bagaimana?"
bujuk Alya. Mama, Papa, dan Ilya saling memandang. "Memangnya kenapa Ma, kok semuanya
pada heran?" tanya Alya. "Tidak apa-apa, sana ke dapur buatkan teh," jawab Mama. Alya masuk
ke dapur, membuat teh sebanyak tiga cangkir. Selesai membuatkan teh, Alya mengantarkan teh
itu ke ruang keluarga. "Kok cuma tiga, kamu?" tanya Mama. Alya langsung memotong kata-kata
Mama, "Alya lagi capek, jadi habis ini Alya mau tidur dulu. Alya sudah salat Isya. Kalau Mama,
Papa, dan Ilya mau salat, jangan lupa doakan Alya ya," pinta Alya. I I Mereka bertiga kembali
kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi pada diri Alya? Alya masuk ke kamar. Tetapi,
mereka bertiga masih membicarakan Alya. "Ma, Pa, Ilya takut kalau terjadi apa-apa dengan
Alya," kata Ilya ketakutan. Papa membelai-belai rambut Ilya penuh sayang. "Lihat saja
perkembangannya besok," kata Papa berusaha menenangkan hati ilya. "Ma, Pa, lusa sekolah
kami mengadakan study tour ke Bandung, Papa sudah melunasi administrasi Ilya dan Alya,
kan?" tanya Ilya. "Sudah, kamu dan Alya sudah mulai menyiapkan bekal apa saja yang akan
kalian bawa, kan?" tanya Papa. Ilya menganggukkan kepala, lalu pamit ke Papa dan Mama,
untuk beranjak ke tempat tidur. Ilya masuk ke kamar dan melihat Alya sudah terlelap tidur. Ilya
tidur di samping Alya. Acara study tour ke Bandung pun tiba. Alya dan Ilya berangkat diantar
oleh Papa dan Mama. Pukul tujuh pagi, lima bus meninggalkan SMP mereka menuju ke
Bandung, Alya duduk di samping Ilya. "Alya, kamu sakit? Kok dari tadi banyak diam?" tanya
Ilya sambil memegang tangan Alya. “Enggak kok. Tapi nanti kalau bus kita berhenti, aku mau
pindah ke bus dua. Di sana ada tempat kosong," jawab Alya. Ilya menganggukkan kepala tanda
setuju. Lalu ia memilih tidur. Tak lama kemudian, bus berhenti di salah satu SPBU. Alya turun
dan naik ke bus dua. Setelah mengisi bahan bakar, bus melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba Ilya
terbangun oleh suara berisik. Semua penumpang bus satu melihat ke arah bus dua di depan yang
tampak ramai sekali. "Ratna ada apa?" tanya Ilya pada Ratna yang beridiri di depannya. "Bus
dua kecelakaan, Al, dan busnya terbakar," jawab Ratna gugup. Jantung Ilya seakan berhenti
berdetak. Ia langsung berlari turun menuju ke bus dua. Ia berusaha mencari Alya. Namun,
sebuah tangan memegang bahunya dengan lembut sambil berkata, "Ilya, tabahkan hatimu,
Alya ... tidak berhasil diselamatkan". Itu adalah suara Ibu Diah. "Alya!" teriak Ilya histeris, lalu
tidak ingat apa-apa lagi. Begitu sadar, ia langsung teringat kenang-kenangan yang diberikan
Alya, sebelum ia pergi untuk selama-lamanya. Ada tas, dompet, buku, dan foto bersama. Itulah
kenang- kenangan terakhir dari Alya.

(OLeh : Meystrian Gandys Q. dalam Yunior, Minggu 7 Mei 2006)

You might also like