You are on page 1of 5

Istilah genosida diciptakan pada 1944 oleh Raphael Lemkin dalam bukunya mengenai

kejahatan-kejahatan Nazi dalam pendudukannya di Eropa. Lemkin merasa bahwa rezim perjanjian
yang dimaksudkan untuk perlindungan bangsa minoritas yang dibentuk antara dua perang dunia
mempunyai kelemahan-kelemahan yang signifikan, di antaranya kegagalan untuk menjatuhkan
penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan terhadap kelompok/golongan. Istilah genosida di tahun-
tahun berikutnya diadopsi oleh jaksa-jaksa penuntut di Nuremberg (walaupun bukan oleh hakim),
dan pada 1946, genosida dinyatakan sebagai kejahatan internasional oleh Majelis Umum PBB.
Majelis Umum juga memutuskan untuk memprosesnya dengan menyusun draft perjanjian tentang
genosida.

Pada waktu itu, menjadi pertimbangan yang penting untuk menetapkan genosida sebagai
kejahatan khusus yang membedakannya dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap
kemanusiaan berkaitan dengan kekerasan dalam arti yang lebih luas, namun juga mempunyai arti
sempit, dalam arti yang luas, kejahatan terhadap kemanusiaan hanya dapat dilakukan secara
bersama-sama dengan adanya konflik bersenjata internasional. Majelis Umum ingin melangkah lebih
jauh, dengan menyatakan genosida merupakan kejahatan internasional, meskipun dilakukan dalam
masa damai. Diharapkan pula dengan hal ini, genosida akan dapat diakui sebagai kejahatan yang
menjadi yurisdiksi universal, dasar penuntutan bagi pengadilan, baik yang di dalam maupun di luar
tempat dilakukannya kejahatan itu. Diatur di dalam Convention on the Prevention and Punishment of
the Crime of genocide, diadopsi oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1948. Konvensi ini mulai
berlaku dua tahun kemudian setelah memperoleh 20 ratifikasi. Konvensi ini sendiri dikatakan
sebagai esensi dari perjanjian tentang hak asasi manusia.

Pembedaan antara genosida dengan kejahatan terhadap kemanusiaan ialah kurang berarti,
karena penentuan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan telah berkembang dan saat ini telah
diakui sebagai kekerasan yang dilakukan, baik dalam masa damai maupun masa perang. Genosida
merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling terburuk/kejam. ICTR
menyebutnya kejahatan dari semua kejahatan. Oleh karena itu, genosida merupakan kejahatan
pertama yang diatur di dalam statuta Roma dan merupakan satu-satunya yang diadopsi oleh drafter
tanpa ada kontroversi.

Genosida diatur dalam Pasal 6 Statuta Roma. Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan
salinan dari Pasal II Konvensi tentang Genosida. Definisi yang ditentukan dalam Pasal II, meski
seringkali dikritisi karena terlampau restriktif dan sulit untuk diaplikasikan ke dalam berbagai kasus
kekerasan dan pembunuhan massal, namun definisi tersebut tetap dipertahankan. Keputusan
Konferensi Roma untuk memelihara lima puluh tahun teks membuktikan bahwa Pasal 6 Statuta
merupakan kodifikasi dari norma kebiasaan internasional.

Pasal 6 Statuta Roma dan Pasal II Konvensi Genosida menentukan bahwa genosida sebagai
lima tindakan khusus yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan suatu bangsa, etnis, ras
atau agama tertentu. Lima tindakan tersebut antara lain pembunuhan terhadap anggota-anggota
suatu golongan/kelompok, menimbulkan luka fisik maupun mental pada anggota-anggota kelompok,
memaksakan kehendak kelompok yang bertujuan untuk menghancurkannya, mencegah kelahiran
anak di dalam suatu kelompok, dan secara paksa memindahkan anak-anak dari satu kelompok ke
kelompok yang lain. Definisi tersebut dimasukkan dalam undang-undang pidana di banyak negara,
meskipun penuntutan yang sebenarnya dalam praktek jarang dilakukan. Persidangan Adolf
Eichmann pada 1961 di Israel dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang dibentuk dalam Pasal II
Konvensi Genosida. Hanya di akhir 1998, setelah pengadopsian Statuta Roma, putusan-putusan yang
signifikan dari pendadilan ad hoc pertama kalinya dikeluarkan sebagai interpretasi dari peraturan
tersebut.

Sering dikatakan bahwa pembedaan genosida dari semua jenis kejahatan lainnya adalah
sebuah dolus specialist atau tujuan khusus. Sebagai akibatnya, terdapat tiga kejahatan yang
ditetapkan dalam Statuta Roma yang ditentukan sebagai pembunuhan. Apa yang membuat genosida
dibedakan dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang adalah bahwa perbuatan
tersebut, baik pembunuhan maupun empat perbuatan lain yang ditentukan dalam Pasal 6, harus
dilakukan dengan tujuan yang khusus untuk menhancurkan/memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok dari suatu bangsa, etnis, ras atau agama. Seperti yang dapat kita lihat, tujuan yang khusus
ini mempunyai beberapa komponen.

Tujuan dari pelaku harus ditujukan untuk menghancurkan/memusnahkan suatu kelompok.


Selama perdebatan mengenai pengadopsian Konvensi Geosida, bentuk-bentuk pemusnahan
diklasifikasi ke dalam tiga kategori: fisik, biologis dan kultural. Genosda kultural merupakan yang
paling menyulitkan dari bentuk-bentuk lainnya, karena dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara
termasuk penindasan menggunakan bahasa nasional dan tindakan-tindakan sejenis. Para drafter
Konvensi mempertimbangkan bahwa hal tersebut lebih baik dimasukkan ke dalam deklarasi hak
asasi manusia mengenai hak-hak minoritas dan juga ingin meniadakan genosida kultural dari
cakupan definisi genosida. Namun, hal ini dapat diargumentasi bahwa penafsir definisi genosida
pada masa itu tidak semestinya terikat oleh tujuan dari para drafter di tahun 1948. Istilah
menghancurkan/memusnahkan (to destroy) dapat sekaligus memuat konsep genosida kultural
bersama-sama dengan genosida fisik dan biologis, dan secara tegas menetapkan kemungkinan untuk
mengadopsi konsepsi yang progresif tersebut. Keputusan ICTY mengatakan bahwa hukum telah
berkembang dalam hal ini. Dalam kondisi tertentu, dapat terbukti bahwa genosida kultural telah
menjadi indikator penting dari tujuan untuk melancarkan genosida fisik.

Definisi genosida tidak mempunyai syarat-syarat formal yang menentukan bahwa kejahatan
tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis, atau bagian dari
rencana yang umum dan terorganisir untuk menghancurkan/memusnahkan suatu kelompok. This
would seen, however to be an implicit characteristic of the crime of genocide, although inthe Jelesic
case a Trial Chamber of the ICTY entertaned the hypothesis of the lone genocidal maniac. Dalam
kasus yang sama, Appeals Chamber menyatakan bahwa “eksistensi dari sebuah rencana atau
kebijakan bukanlah legal ingredient dari kejahatan. Namun, dalam hal pembuktian tujuan yang
khusus, eksistensi dari sebuah rencana atau kebijakan dapat menjadi faktor penting dalam banyak
kasus.” The Elements of Crime diadopsi oleh Majelis Negara-negara Peserta yang memandang
dengan perspektif yang berbeda, menghendaki tindakan genosida diletakkan dalam konteks susunan
perbuatan sejenis yang dilakukan tehadap suatu kelompok atau menyebabkan
kehancuran/kemusnahan.

Dengan istilah “seluruh atau sebagian”, definisi genosida mengindikasikan dimensi


kuantitatif. Kuantitas yang dimaksud haruslah signifikan, dan tujuan untuk membunuh hanya
beberapa anggota suatu kelompok bukanlah genosida. Pandangan umum mengatakan bahwa
dimana hanya bagian dari suatu kelompok yang diserang, maka haruslah bagian yang substansial.
Tidak ada keraguan terhadap pandangan ini, karena seringkali timbul pemikiran bahwa there is some
precise numerical threshold of real victims before genocide can take place. But the reference to
quantity is in the description of the mental element of teh crime, dan hal penting bukanlah actual
number of victim, melainkan pelaku yang bermaksud untuk memusnahkan sejumlah besar anggota
suatu kelompok. Jumlah korban yang benar-benar signifikan merupakan bukti dari adanya tujuan-
tujuan genosida. Dari adanya jumlah korban lebih besar, dapat disimpulkan secara lebih logis bahwa
tujuan dari perbuatan yang dilakukan adalah untuk memusnahkan “seluruh atau sebagian” dari
suatu kelompok.

Saat ini, interpretasi lain yang muncul ialah bahwa genosida juga dilakukan jika “bagian yang
signifikan” (significant part) dari suatu kelompok yang diserang. Bagian yang signifikan ini dapat
terdiri dari orang-orang yang mempunyai peran khusus yang signifikan dalam suatu kelompok,
seperti pemimpin dari kelompok tersebut, meskipun dalam suatu kasus, Trial Chamber dari Yugoslav
Tribunal memperluas penerapan definisi untuk melindungi seorang pimpinan militer. Beberapa
keputusan juga menyatakan bahwa “sebagian” diartikan bahwa kejahatan dilakukan dalam area
geografis yang sangat kecil terhadap suatu kelompok yang mempunyai batas-batas wilayah tertentu,
misalnya populasi Muslim di Kota Sebrenica, yang diserang oleh pasukan Serbia dari Bosnia pada Juli
1995.

Serangan yang dilakukan haruslah ditujukan terhadap salah satu dari empat kelompok dalam
definisi genosida, yaitu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama. Masalah jumlah anggota kelompok
seringkali dikritisi karena lingkupnya yang terbatas. Akibatnya, permohonan untuk memasukkan
kelompok-kelompok politis dan sosial ke dalam definisi genosida ditolak pada 1948 dan juga pada
penyusunan Statuta Roma. Tetapi, ketidakpusan atas kekurangan dari empat kelompok dalam
definisi tercermin dalam pembentukan definisi genosida oleh ICTR. ICTR menyatakan bahwa para
drafter Konvensi Genosida yang mengartikan definisi genosida untuk diaplikaikan dalam semua
kelompok-kelompok yang permanen atau stabil, merupakan interpretasi yang patut dipertanyakan
karena interpretasi tersebut sangat jelas diluar konteks. Empat kelompok dalam definisi genosida itu
sendiri tidak mudah untuk ditentukan. Terlebih lagi, pengertian umum dari konsep tersebut sebagai
“kelompok ras” telah berubah sejak 1948. Sebagai suatu keseluruhan, empat kelompok dalam
definisi genosida dapat dipersamakan dengan apa yang dikehendaki oleh hukum hak asasi manusia
terhadap suatu etnis atau bangsa minoritas, menunjukkan bahwa empat kelompok dalam definisi
genosida tersebut telah menjauhi definisi yang tepat.

Deskripsi dari kejahatan genosida menyimpulkan definisi dengan istilah “as such” yang
membingungkan. Istilah ini ditambahkan pada 1948 sebagai kompromis antara negara-negara yang
merasa bahwa genosida tidak hanya mengandung elemen intensional (kesengajaan) tetapi juga satu
motif. Dua konsep tersebut tidak ekuivalen. Individu dapat melakukan kejahatan secara intensional,
tetapi untuk berbagai motif, seperti ketamakan, kecemburuan, kebencian, dan sebagainya. Bukti
bahwa motif menciptakan suatu hambatan baru bagi penuntutan yang efektif, beberapa delegasi
oposisi menerimanya sebagai elemen dari suatu kejahatan. Saat ini, pengadilan menginterpretasikan
definisi genosida secara berlawanan dengan hal-hal tersebut.

Definisi dari elemen mental atau mens rea dari suatu kejahatan genosida terdapat dalam
chapeau dari ketentuan, yang diikuti oleh lima ayat yang menyebutkan bentuk-bentuk kejahatan
genosida. Uraian ayat-ayat tersebut merupakan penjelasan lengkap, dan tidak layak untuk diperluas
dalam tindakan-tindakan penganiayaan lain yang ditujukan terhadap etnis minoritas. Seperti
kekerasan – contohnya “penghapusan etnis”, seperti yang dikenal selama ini – yang untuk alasan
tersebut akan mungkin untuk dilakukan penuntutan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan
bukan sebagai genosida.

Pembunuhan adalah inti dari definisi genosida, dan tanpa keraguan lagi bahwa hal tersebut
adalah yang terpenting dari lima tindakan-tidakan genosida. Majelis ad hoc menyatakan bahwa
istilah pembunuhan dalam hal ini ialah sinonim dari pembunuhan berencana (meskipun Elements of
Crimes mengatakan bahwa istilah pembunuhan dapat dipertukarkan dengan “memyebabkan
kematian”, yang merupakan istilah tersendiri bagi pembunuhanyang tidak direncanakan). Tindakan
genosida yang kedua yaitu yang menyebabkan luka fisik atau mental yang serius, yang merupakan
tindakan kekerasan/penganiayaan berat yang mendekati pembunuhan. Dalam putusan Akayesu,
Rwanda Tribunal memasukkan perkosaan sebagai contoh dari tindakan tersebut. Dapat juga
termasuk “tindakan penyiksaan, perkosaan, kekerasan seksual atau perbuatan-perbuatan yang tidak
berprikemanusiaan.” Tindakan genosida yang ketiga yaitu memaksakan kehendak yang bertujuan
untuk menghancurkan suatu kelompok, seperti dalam kasus minoritas armenia di Turki pada 1915.
Tetapi, tidak satupun tindakan-tindakan yang dimuat dalam Pasal 6 merupakan genosida jika
tindakan tersebut tidak disertai dengan tujuan/maksud-maksud genosida (pemusnahan kelompok
bangsa, etnis, ras atau agama). Dalam hal di mana tujuan atau maksud dari suatu tindakan
mendekati definisi genosida, penuntutan mungkin masih dapat dilakukan untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan atau kejahatan perang.

You might also like