You are on page 1of 5

(TIDAK) SEMUA ANAK MISKIN MENDAPAT

PENDIDIKAN

Oleh:
ADITYA HILMAN PRATAMA
(10315244015)
Pendidikan IPA (Internasional)

Anak-anak adalah generasi pewaris dan penerus pembangunan Bangsa,


baik buruknya pendidikan yang mereka dapatkan akan sangat berpengaruh dalam
menentukan kelangsungan warisan pembangunan yang ditinggalkan
pendahulunya. Mereka yang akan mengelola negeri ini kelak ketika mereka
dewasa. Di dalam tulisan ini saya akan membahas tentang dua hal yaitu,
bagaimana masalah pendidikan bagi anak yang tidak mampu dan bagaimana
peran pemerintah dalam masalah tersebut.

Salah satu faktor yang mendukung kualitas sumber daya manusia adalah
pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur
apakah bangsa itu maju atau tidak berdasarkan kualitas pendidikan bagi warga
negaranya karena pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus
bangsa. Pendidikan dimulai sejak kecil, bahkan sejak baru lahir orang tua kita
sudah mendidik dan memberikan suatu pelajaran meski kita belum sepenuhnya
mengetahui apa yang diajarkan. Pendidikan dapat berlangsung dimana saja,
asalkan ada pendidik dan peserta didik. Pendidikan juga dapat diperoleh dari
berbagai sumber, baik yang tidak formal maupun yang formal. Pendidikan tidak
formal dapat berasal dari keluarga kita dan lingkungan sekitar dimana kita berada,
sedangkan pendidikan formal dapat kita dapatkan melalui sekolah-sekolah baik
negeri maupun swasta. Disinilah yang harus ditekankan, bahwa untuk
mendapatkan pendidikan formal tersebut tidaklah gratis, dan tidak semua orang
dapat beruntung menikmatinya. Pendidikan memang penting karena hal tersebut
dapat dijadikan tolak ukur kesuksesan pribadi kita di masa yang akan datang.
Itulah pentingnya pendidikan. Begitu pentingnya banyak orang tua yang rela
mengeluarkan berapapun uang yang dibutuhkan demi “kepintaran” untuk anak
mereka. Itu bagi yang mampu, lantas bagaimana dengan mereka yang tidak
mampu?. Diantara mereka ada yang mendapatkan dan ada pula yang tidak.
Pandangan Dunia tentang “Pendidikan Untuk Semua” menjelaskan bahwa
Pendidikan dasar diperluas sebagai pendidikan yang memenuhi kebutuhan belajar
dasar dari semua orang melalui berbagai sistem pengantaran, sekolah formal,
pendidikan nonformal / sekolah alternatif untuk mereka yang terbatas atau tidak
ada akses pada persekolahan formal. Berdasarkan hal tersebut diatas Indonesia
melaksanakan program Wajib Belajar 9 tahun bagi anak-anak usia 7 – 15 tahun
melalui pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP). Cita-cita yang digantungkan dalam dunia pendidikan cukup besar agar
mampu mendorong terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas sehingga akan
mengurangi tingkat kemiskinan, akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa
masih terdapat banyak anak yang tidak sekolah dan putus sekolah seperti dalam
kelompok-kelompok masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, serta dari
keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi/miskin. Hal itu disebabkan oleh
belum maksimalnya pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan
terutama pendidikan dasar, karena pada kenyataanya kritik terhadap sekolah tidak
mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan dasar yang begitu besar.
Banyak yang beranggapan bahwa sekolah hanya mampu menciptakan perbedaan
hierarki / kelas dalam masyarakat atau menjadi lembaga diskriminasi serta sekolah
tidak bisa mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan / hak asasi manusia karena
menganakemaskan sebagian kecil siswa dan menggusur anak-anak kaum miskin dari
proses belajar yang menguntungkan.
Awal mula ditanamkannya pendidikan adalah pada masa anak-anak,
pendidikan sangatlah perlu bagi mereka demi terbangunnya karakter yang
berkualitas kelak pada masa dewasanya. Namun masalah yang masih sering
menghambat untuk memperoleh pendidikan tersebut adalah anak-anak yang hidup
dalam kemiskinan. Ukuran kemiskinanpun berbeda-beda, ada yang mengukur
kemiskinan dari segi konsumsi, kesehatan, tingkat usia, tingkat pendidikan dan
tingkat pendapatan yang kesemuanya masuk dalam klasifikasi rendah. Ukuran-
ukuran itu pada akhirnya membuat kemiskinan diartikan sebagai :
”Ketidakmampuan mencapai satu standar hidup minimal”. (UNESCO. 1997).
Kemiskinan tersebut yang membuyarkan mimpi anak-anak tersebut untuk bisa
bersekolah seperti anak-anak pada keluarga yang mampu. Akhirnya banyak yang
memilih untuk bekerja demi membantu menambah penghasilan orang tuanya,
padahal dengan umur yang masih muda tersebut belum tepatlah jika anak-anak
tersebut mengerjakan apa yang harus dikerjakan oleh orang dewasa. Dari data
BPS dilaporkan bahwa jumlah pekerja anak usia 10 - 14 tahun pada Desember
1998 bertambah menjadi 1.809.935 jiwa dari 1,64 juta jiwa pada Oktober 1997,
sementara pekerja anak umur 5-9 tahun pada Desember 1998 menjadi 203.000
jiwa yang jumlah peningkatan tajamnya berada di daerah pedesaaan
(Imawan,1999). Berdasarkan hasil survai Angkatan Kerja Nasional tahun
1998/1999 jumlah pekerja anak dikalangan anak sekolah tingkat Sekolah Dasar
terdapat 3,01 %, SLTP 4,89%, tamatan SD tidak melanjutkan ke SLTP sekitar
33,6 % dan tamat SLTP dan tidak melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum
(SMU) sebanyak 34,6%.(Depdiknas 2001).
Hal ini bertolak belakang dengan salah satu butir yang dinyatakan dalam
konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 yang menyebutkan bahwa batas minimum
bagi anak untuk bekerja tidak boleh kurang dari 15 tahun. Tidak bisa dipungkiri
bahwa jumlah anak usia sekolah yang terpaksa tidak bersekolah dan harus bekerja
sebelum waktunya (dibawah umur 15 tahun) dalam sektor informal, sektor
pertanian, perkebunan dan nelayan terlihat meningkat terutama dengan semakin
tingginya jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan dan tidak tahu kapan selesainya. Anak-anak ini
harus kehilangan haknya untuk bersekolah dan bermain bersama teman sebayanya
dengan penuh keceriaan dan kegembiraan selayaknya dunia anak pada umumnya,
dan terpaksa pula mereka harus meninggalkan cita-citanya demi bekerja untuk
membiayai hidup dalam rangka meringankan beban orang tuanya.
Pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah kepada seluruh warga
negaranya, sesuai dengan tujuan negara “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pemerintah memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan
anak-anak Indonesia, utamanya mulai dari ketersediaan sarana dan prasarana
minimal berupa gedung sekolah yang layak, hingga sampai pada ketersediaan
berbagai fasilitas pendukung pendidikan lainnya. Pemerintah telah mendirikan
berbagai sekolah negeri di berbagai wilayah negeri ini, namun itu semua baru
dinikmati oleh sebagian masyarakatnya. Bagi yang tidak mempunyai biaya
hampir mustahil rasanya untuk mendapatkan layanan tersebut. Masalah
pendidikan bagi anak-anak miskin ini tentu saja juga ikut menjadi tanggungan
pemerintah. Pemerintah sebenarnya telah berusaha memecahkan masalah ini,
seperti dengan adanya Bantuan Operasional Siswa (BOS), beasiswa bagi yang
orang tuanya tidak mampu, namun semua itu masih dirasa kurang membantu
karena masih ada permasalahan lain dibelakangnya. Yang terbaru yaitu adanya
iklan sekolah gratis yang melibatkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang
Sudibyo dan diakhiri dengan kalimat penegasan “Sekolah Bisa!”. Melihat iklan
tersebut rasanya masalah pendidikan bagi anak-anak miskin akan segera teratasi,
sebab secara tersirat iklan tersebut menjelaskan bahwa semua anak berhak
bersekolah tanpa harus memandang status sosial dan darimana dia berasal.
Namun, kenyataan yang terjadi belum seindah yang dibayangkan. Memang ada
sekolah yang gratis tanpa harus membayar biaya sekolah, tetapi seakan-akan iklan
itu hanya untuk sekolah negeri yang biasa-biasa saja, namun bukan untuk sekolah
negeri yang statusnya bertaraf internasional atau sekolah yang mengklaim sebagai
sekolah plus. Klaim atas status tidak jarang menjadi alat dan trik untuk menarik
pembiayaan yang mahal, yang kadang di luar kalkulasi kita. Diluar hal tersebut
masih banyak ”pungutan” lain yang memberatkan bagi orang tua anak-anak yang
tidak mampu tersebut, yaitu seperti masalah seragam maupun buku-buku yang
masih harus menguras saku mereka. Satu hal lagi, disini yang disebut “gratis”
juga tidak jelas apakah sekolah gratis hingga SD saja, SLTP, SMU, atau hingga
Perguruan Tinggi. Kesenjangan apa yang disajikan di iklan dan di lapangan
disebabkan oleh informasi yang tidak lengkap. Pemerintah kurang memberikan
sosialisasi yang jelas mengenai hal tersebut.
Berdasarkan realita yang terjadi maka mau tidak mau anak-anak miskin
itupun merupakan generasi penerus Bangsa Indonesia yang perlu mendapat
perhatian agar dapat bersama-sama membangun Negara tanpa harus melalui
konflik fisik ataupun sosial. Hal ini bisa ditempuh dengan cara menumbuhkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya upaya untuk membebaskan diri dari
kebodohan yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan (kemiskinan). Masa
depan pendidikan anak-anak miskin di Indonesia berada di tangan pemerintah
sebagai pemegang tertinggi kekuasaan bernegara dan berbangsa. Oleh sebab itu,
negara harus menjamin hak-hak anak atas pendidikan dan tidak boleh lalai dalam
pelaksanaanya. Serta pemerintah harus mengoptimalkan sarana / program yang
telah dibuat.

You might also like

  • Sosro
    Sosro
    Document56 pages
    Sosro
    Aditya Hilman Pratama
    No ratings yet
  • Sosro
    Sosro
    Document56 pages
    Sosro
    Aditya Hilman Pratama
    No ratings yet
  • Garpu Tala
    Garpu Tala
    Document2 pages
    Garpu Tala
    Aditya Hilman Pratama
    100% (1)
  • Lks Gelombang Slinki
    Lks Gelombang Slinki
    Document2 pages
    Lks Gelombang Slinki
    Aditya Hilman Pratama
    No ratings yet
  • Akar
    Akar
    Document11 pages
    Akar
    Aditya Hilman Pratama
    No ratings yet