Dokumen tersebut membahas 4 jenis keterampilan yang dibutuhkan pemimpin keperawatan, yaitu kemampuan menilai orang lain, berkomunikasi, memotivasi, dan menyesuaikan diri. Keterampilan-keterampilan tersebut penting untuk memimpin perawat dan staf medis lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Dokumen tersebut membahas 4 jenis keterampilan yang dibutuhkan pemimpin keperawatan, yaitu kemampuan menilai orang lain, berkomunikasi, memotivasi, dan menyesuaikan diri. Keterampilan-keterampilan tersebut penting untuk memimpin perawat dan staf medis lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Copyright:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online from Scribd
Dokumen tersebut membahas 4 jenis keterampilan yang dibutuhkan pemimpin keperawatan, yaitu kemampuan menilai orang lain, berkomunikasi, memotivasi, dan menyesuaikan diri. Keterampilan-keterampilan tersebut penting untuk memimpin perawat dan staf medis lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Copyright:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online from Scribd
4 Jenis Keterampilan Yang Dibutuhkan Pemimpin Keperawatan
Kepemimpinan dalam keperawatan dapat ditumbuhkan lebih optimal apabila seorang
pemimpin perawat mampu memperlihatkan keterampilan dalam menghadapi orang lain dengan efektif. Keterampilan tersebut menurut Leffton & Buzzotta (2004) adalah keterampilan dalam: (1) menilai orang lain; (2) berkomunikasi; (3) memotivasi; dan (4) menyesuaikan diri.
Keterampilan I: Kemampuan Menilai orang lain
Didalam pelayanan kesehatan/keperawatan, keterampilan menilai orang lain merupakan kemampuan untuk menetapkan tingkat keterampilan perawat dibawah tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya dan kegiatan lain yang terkait dengan pelayanan. Demikian juga keterampilan menilai ini harus dilakukan oleh pemimpin perawat di berbagai bidang atau sistem lain. Ia harus mencermati apa yang dilakukan oleh orang lain sebagai bawahannya dengan mempertahankan obyektifitas dan memahami mengapa bawahan melakukannya. Melalui pemahaman ini pemimpin akan mampu berinteraksi berdasarkan pengetahuannya tentang bawahan tersebut (Nuracmah, 2005).
Berbagi di facebook, silahkan klik di sini.
Keterampilan II: Kemampuan Berkomunikasi
Kemampuan berkomunikasi merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian keluaran. Pemimpin yang telah memahami secara mendalam dan spesifik tentang bawahannya akan mampu menciptakan dan memodifikasi materi komunikasi sehingga hasil komunikasi dapat menjadi lebih optimal. Disamping itu, ia juga sebagai pemimpin menjadi mampu mengembangkan strategi yang tepat dalam menggali ide dan pendapat orang lain serta bertukar ide dalam menyelesaikan masalah secara efektif. Keterampilan berkomunikasi juga diperlukan ketika pemimpin perawat melakukan lobi ke berbagai pihak terutama penentu kebijakan yang berhubungan dengan profesi keperawatan. Komunikasi yang dilakukan seyogyanya tidak menimbulkan ancaman atau ketidaknyamanan pihak yang sedang dilobi, sehingga kegiatan negosiasi dapat dilakukan tanpa disadari dan berpotensi menghasilkan sesuatu yang positif (Nuracmah, 2005). Seorang manajer perawat/kepala ruang harus berkomunkasi secara efektif dengan rekan kerjanya, karena manajer perawat/kepala ruang hanya dapat mewujudkan sasaran yang berhubungan dengan pekerjaannya lewat kerja sama dengan pegawai lain. Keefektifan komunikasi tersebut sebagian tergantung pada cara ia memanfaatkan proses komunikasi tersebut (Gillies, 1996). Berlo (1960) dalam Gillies (1996) mengajukan model komunikasi linier, sutau model bagi setiap tindakan komunikasi yang melibatkan elemen-elemen berikut: sumber, pesan, saluran dan penerima. Berlo berpendapat bahwa sifat dan kualitas komunikasi ditentukan oleh karakteristik keempat elemen tersebut. Misalnya, ciri-ciri sumber komunikasi (atau pemulai) yang mempengaruhi keefektifan tingkat kemahiran komunikasi, pengetahuan sikap, dan latar belakang budaya. Ciri-ciri pesan yang menentukan keefektifannya adalah struktur, isi, kode, dan perlakuan. Saluran berbeda yang dapat dipakai dan bisa jadi lebih atau kurang efektif bagi komunikasi yang disampaikan adalah, melihat, mendengar, menyentuh, merasa, dan mencium. Ciri-ciri si penerima, seperti ciri-ciri si pengirim, yang mempengaruhi keefektifan adalah kemahiran berkomunikasi, pengetahuan, sikap, dan latar belakang budaya. Prinsip kegiatan manajer perawat/kepala ruang adalah menyampaikan informasi, ide- ide, pendapat sikap, dan perasaan kepada yang lain untuk bermacam-macam maksud seperti memudahkan pekerjaan, meningkatkan motivasi mempengaruhi perubahan, mengoptimalkan perawatan, meningkatkan kepuasan, dan memudahkan koordinasi. Karena komunikasi yang efektif memerlukan pesepsi yang akurat juga cara membawakan pesan yang dimaksud dengan jelas, manajer/kepala ruang memerlukan pendengaran, pembicaraan, serta kemampuan menulis yang handal. Teknik pemetaan pesan, analisa transaksional, dan analisa naskah sangat membantu di dalam mengidentifikasi pesan-pesan yang tersembunyi maupun yang jelas yang dikirimkan antara perseorangan dan di dalam menyesuaikan tanggung jawab manajer sendiri untuk memaksimalkan kejernihan komunikasi.
Berbagi di facebook, silahkan klik di sini.
Keterampilan III: Kemampuan Memotivasi
Keterampilan memotivasi merupakan kompetensi kepemimpinan berikutnya yang harus dimiliki oleh pemimpin keperawatan. Keterampilan ini sangat penting karena memiliki potensi untuk mengarahkan bawahan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya karena ia merasa ada sesuatu yang menarik hati untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun, cara memotivasi ini tidak harus selalu sama karena motivasi seseorang untuk bekerja utamanya berasal dari dalam diri bawahan yang sulit dilihat secara sekilas oleh pemimpin. Oleh karena itu, dalam memotivasi bawahan, seorang pemimpin keperawatan perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat memotivasi bawahan baik secara internal maupun eksternal (Swansburg & Swansburg, 1999; Rocchiccioli & Tilbury, 1998; Chowdhury, 2003; dalam Nuracmah, 2005). Menurut para ahli, salah satu tugas kepemimpinan yang paling penting dari manajer perawat/kepala ruang adalah memaksimalkan motivasi kerja bawahan. Karena motivasi pegawai berhubungan dengan produktivitas individu, pemuasan pekerjaan, ketidakhadiran, dan pergantian pekerjaan. Untuk meningkatkan motivasi pegawai, manajer/kepala ruang harus tahu kebutuhan mana yang diharapkan pegawai dapat dipenuhi melalui pekerjaannya. Teori motivasi yang paling umum adalah teori kebutuhan, teori pemakai, teori harapan, teori keadilan, teori kompetensi. Maslow (1943) dalam Gillies (1996) menjelaskan manusia sebagai organisme berkeinginan memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam sebuah rangkaian khusus. Adapun tingkatan dari tiap-tiap kebutuhan itu pada dimulai dari tingkatan pertama dan paling dasar adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan dihargai/dihormati, dan kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Maslow, kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak timbul sebagai motivator sampai tingkat kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi (kebutuhn yang telah dipenuhi tidak akan memotivasi perilaku). Herzberg (1966) dalam Gillies (1996) mengajukan teori kebutuhan dua faktor motivasional dimana ia mengatakan bahwa pekerja termotivasi oleh dua jenis kebutuhan: kebutuhan yang dikaitkan dengan kondisi pekerjaan, yang ia sebut faktor higine, dan kebutuhan dengan pekerjaan itu sendiri yang ia sebut faktor motivasi. Faktor higine termasuk pembayaran, kondisi pekerjaan, kualitas supervisi, keamanan pekerjaan, dan kebijaksanaan unit kerja. Faktor pemotivasi termasuk aspek tantangan dari pekerjaan itu sendiri, tambahan tanggung jawab, kesempatan mengembangkan diri, dan kesempatan untuk maju. Teori kebutuhan dari motivasi ketiga adalah yang dikembangkan oleh McClelland (1961) dalam Gillies (1996) yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia diperoleh secara sosial dan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan prestasi, afiliasi, dan kekuasaan. Menurut MacClelland, orang dengan kebutuhan prestasi yang tinggi memasang tujuan yang realistis, menikmati kegiatan pemecahan masalah, dan menginginkan masukan atas pelaksanaan kerjanya. Seorang staf perawat yang memiliki kebutuhan prestasi tinggi, untuk kemajuannya mungkin akan memilih jabatan yang menurut pendapatnya menuntut tingkat kemampuan yang lebih tinggi dan tanggung jawab yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang telah ia dapatkan, karena tantangan tambahan tersebut bisa memberikan kesempatan baginya untuk berprestasi. Kebutuhan afiliasi merupakan keinginan terhadap kesetiakawanan, cinta, dan memiliki yang menyebabkan si individu meluangkan banyak waktunya berpikir bagaimana membuat hubungan pribadi yang hangat dan ramah dengan orang lain. Orang yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi sensitif terhadap perasaan orang lain, menunjukkan dukungan terhadap ide-ide orang lain, memilih pekerjaan yang melibatkan percakapan timbal balik yang sering (Steers & Porter, 1983; dalam Gillies, 1996). Seorang staf perawat dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi bisa melewatkan kesempatan kenaikan pangkat untuk jabatan kepala perawat, dengan berasumsi bahwa peran kepemimpinan akan melemahkan keterkaitan sosialnya dengan perawat lain didalam unit tersebut. Temuan penting dalam penelitian McClelland adalah kenyataan bahwa program pelatihan telah berhasil dalam meningkatkan motivasi prestasi pekerja dalam berbagai pekerjaan (McClelland & Winter, 1969; dalam Gillies, 1996). Oleh karena itu, mungkin bagi manajer perawat/kepala ruang untuk meningkatkan kebutuhan prestasi dari anggota staf yang tidak produktif dengan mengikutsertakan mereka ke dalam program pengembangan staf yang tepat. Teori pengguna dari Skinner menyarankan agar motivasi kerja pegawai dikendalikan oleh kondisi di luar lingkungan daripada oleh kebutuhan dan keinginan dari dalam (Skinner, 1969; dalam Gillies, 1996). Tindak tanduk responden terjadi sebagai hasil stimulasi langsung. Menurut Skinner, kelakuan manusia dapat dikendalikan dengan manipulasi akibat dari tingkah laku sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku tersebut akan terulang kembali. Ia menyarankan bahwa pemerkuat positif tersebut lebih efektif dibanding pemerkuat negatif dan bahwa, untuk keefektifan maksimum, si pemerkuat sebaiknya dijalankan secepatnya setelah ada perilaku yang diinginkan tersebut. Pemimpin yang efektif memotivasi pekerja pertama-tama dengan membangkitkan keinginan pegawai atas hasil beberapa kontrol yang dimiliki si pemimpin, selanjutnya dengan menjelaskan jalan kepada tujuan yang diinginkan, kemudian menghilangkan gangguan pengejaran tujuan yang diinginkan para pekerja, selanjutnya dengan meningkatkan kepuasan kerja selama pengejaran tujuan dan akhirnya dengan memberikan penghargaan pada pekerja atas pencapaian tujuan (House dan Mitchel, 1974; dalam Gillies, 1996) Teori motivasi keadilan menurut Adams (1965) dalam Gillies (1996) menyarankan agar pekerja terus menerus membandingkan input kerja mereka sendiri (keterampilan, usaha, dan waktu) dan hasil (status, bayaran, dan hak istimewa) dengan input-input dari pegawai lainnya. Si pegawai merasa adanya ketidakadilan ketika penghargaan yang diterimanya tidak sesuai dengan yang diterima oleh pegawai lain yang jumlah inputnya sama. Perasaan ketidaksamaan memotivasi seorang pegawai bertindak untuk menyelesaikan ketidaksamaan tersebut, seperti mengurangi input, mencoba meningkatkan hasil, atau mengundurkan diri dari jabatan. White (1959) dalam Gillies (1996) menyampaikan sebuah teori motivasi kompetensi yang sama dengan teori pengguna dari Skinner. Menurut White, perilaku seseorang dimotivasi oleh adanya keinginan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungannya, dan keberhasilan kendali lingkungan oleh seseorang menghasilkan kompetensi, yang karena dapat dinikamati, memperkuat perilaku manipulatif atau perilaku kendali seseorang. Dengan kata lain, untuk mencapai kompetensi pekerjaan, seorang perawat berusaha mengontrol orang dan barang-barang di tempat kerjanya. Manajer perawat/kepala ruang sebaiknya memutuskan teori motivasi mana yang dipakai sebelum memilih metode peningkatan motivasi pekerja dibawah arahannya.
Berbagi di facebook, silahkan klik di sini.
Keterampilan IV: Kemampuan Beradaptasi (Menyesuaikan diri)
Keterampilan menyesuaikan diri merupakan modal dasar bagi pemimpin keperawatan dalam upaya mengoptimalisasi keluaran (Dubrin, 2000; dalam Nurachmah, 2005). Pemimpin yang efektif mengetahui secara tepat bagaimana dan dengan cara apa ia berinteraksi dengan setiap bawahan. Hal ini karena ia sangat memahami keunikan masing-masing bawahan. Pemimpin keperawatan yang efektif tidak akan menggunakan cara dan pendekatan yang sama untuk semua bawahan melainkan membedakan teknik komunikasi dan cara memotivasi bawahan yang satu dengan lainnya. Sebaliknya, ketika berinteraksi pemimpin perawat juga tidak menjadi merasa kalah atau lebih rendah ketika diperlukan upaya menyesuaikan diri dengan kondisi bawahan ketika interaksi terjadi (Nurachmah, 2005). Menurut teori kepemimpinan kontingensi Fiedler (1977) dalam Gillies (1996), keberhasilan setiap kelompok pekerjaan bergantung pada pencapaian pasangan yang tepat antara gaya kepemimpinan manajer dan banyaknya kontrol manajer atas situasi kerja. Penelitian Fiedler menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan manajer perawat/kepala ruang cenderung karena motivasi hubungan atau motivasi tugas dan kontrol manjer perawat/kepala ruang atas situasi kerja paling baik ketika hubungan pemimpin-anggota sangat baik, tugasnya terbentuk dengan baik, dan manajer keperawatan/kepala ruang tersebut memiliki tingkat kekuatan jabatan yang tinggi. Pemimpin dapat megubah karakter hubungan pemimpin anggota, membuat mereka lebih disukai atau kurang disukai, dengan meluangkan sedikit atau lebih waktu dalam hubungan informal dengan bawahannya, memindahkan seseorang yang dipilih kedalam atau keluar dari kelompok kerja tersebut, atau meningkatkan atau mengurangi jumlah waktunya untuk menggembleng bawahan.