You are on page 1of 3

Manusia Makhluk Logis

Oleh : E. Ruswandi

Ada sebuah pepatah mengatakan “Buah merupakan jati diri dari pohonnya, buah
merupakan mahkota pohonnya”, begitupun pada manusia bahwa yang menjadi mahkota
manusia adalah budi pikirannya. Dengan berpikir secara logis dan benar, manusia menjadi
pintar, jujur dan berdisiplin dalam membuahkan gagasan-gagasannya dan menghasilkan
ciptaan-ciptaannya. Logika, falsafah hidup dan perwujudannya dalam kenyataan hidup
mengacu kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan bila mau dikatakan bermutu. Lalu
munculah masalah: dalam kenyataan hidup memang teramat sering mengatakan sesuatu yang
lain. Betulkah manusia berbakat berpikir logis? Bila logis sama dengan rasional, tidakkah
kebanyakan orang dikuasai oleh emosi-emosi mereka? Betulkah mereka itu sungguh-sungguh
berminat untuk mencari dan menemukan kebenaran? Tidakkah mereka hanya mempercayai
apa yang mereka inginkan saja untuk mereka percayai? Bila logis itu sama dengan berakal
sehat, tidakkah banyak orang yang tidak sehat akalnya, pernyataan-pernyataannya tak logis,
tak rasional?

Memang benar, bahwa dalam kenyataan amat sering kita berpikir tak logis (tak
rasional), atau bahkan gagal berpikir sama sekali. Terlalu sering kita hanya percaya kepada
apa yang kita inginkan saja untuk kita percayai, tanpa mengindahkan fakta-fakta. Kadang-
kadang tidak ada argument logis yang dapat meyakinkan seseorang karena pikirannya
dikuasai oleh keangkuhan atau ketakutan atau suatu emosi lain yang mendalam. Memang
faktanya tidak ada orang yang dapat berpikir rasional kalau emosi telah menguasai pikiran-
pikirannya. Hal ini penting untuk diingat supaya kita tidak berlaku ceroboh dalam
mengapresiasi kemampuan berpikir logis kita. Mengatakan bahwa manusia berpikir logis
secara sempurna itu juga tidak benar. Logika dan perasaan adalah hikmat hidup manusia;
masing-masing ada perannya sendiri; yang satu tidak lebih tinggi dan tidak lebih berharga
dari yang lain.

Berpikir logis diperlukan bila, misalnya, kita harus memecahkan suatu masalah dalam
matematika, atau mempertimbangkan suatu tanda bukti dalam perkara pengadilan. Apakah
tertuduh terbukti bersalah? Kalau kita berkata, “Tidak, sebab saya menyukai orang itu,” atau
“Ya, sebab saya benci dengan orang itu,” kalau kita bertindak seperti itu maka kita kita tidak
berpikir secara rasional. Tugas orang yang berpikir rasional mempelajari bukti-bukti menurut
faktanya. Kita harus menyingkirkan pendapat-pendapat pribadi (emosi) dari pikiran kita bila
pemikiran kita harus bersangkut-paut dengan fakta-fakta, dengan masalah-masalah. Kalau
kita terapkan dalam bidang kesenian dan kesusastraan, itu berarti bahwa nilai karya seni tidak
boleh diukur menurut pandangan-pandangan politik. Jika kita biasa mengikuti emosi atau
perasaan saja dalam menentukan apa yang benar dalam bidang hukum, sastra, seni, dan
sebagainya, sekaranglah saatnya untuk membenahi sikap itu.
Supaya kita tidak terkelabui oleh pemikiran-pemikiran diri sendiri atau oleh
pemikiran-pemikiran orang lain, sebaiknya kita memahami duduk perkaranya, disini perlu
kita bedakan tiga pengertian berikut ini; berpikir logis, berpikir non-logis, dan berpikir ilogis.
Bila ada orang yang menyatakan, “Berat badan saya terlalu tinggi; saya harus mengurangi
makan saya,” ia membuat pernyataan logis. Bila ada yang berkata, “Saya suka makan yang
manis-manis,” ia memberikan pernyataan non-logis. Bila ada orang yang berkata, “Anak itu
saya beri nilai baik untuk semua mata pelajaran saya karena dia cantik-simpatik,” ia mungkin
baru dimabuk asmara sehingga melanggar aturan-aturan logika (berlaku tak logis/ilogis, tak
rasional/irasional). Perlu menjadi catatan bahwa non-logis tidaklah sama dengan tak logis;
non-logis tidak berarti melanggar aturan logika, melainkan berarti tidak dapat diperdebatkan.
Selera, misalnya, tidak dapat diperdebatkan; selera masuk kedalam area non-logis. Bila saya
lebih menyukai novel detektif daripada novel percintaan, saya tidak “berdosa” terhadap
logika, tetapi bila saya harus membuat resensi novel percintaan, saya harus mengikuti aturan-
aturan logika; kalau tidak, saya akan terperosok kedalam suatu yang tak logis/ilogis.

Untuk mengetahui kemampuan atau hal-hal yang berkenaan dengan berpikir logis,
marilah kita fahami apa yang dikatakan oleh Rene Descartes, filsuf besar dari Perancis pada
abad ke-17: “Pikiran sehat, dari semuanya, paling merata dimiliki oleh orang-
orang…”Pikiran sehat adalah good sense dalam bahasa Inggris. Ia melihat bahwa setiap
orang memandang dirinya memiliki pikiran sehat. Malahan orang-orang yang mengeluh
karena tidak mempunyai hal-hal yang lain, kata Descartes, “umumnya tidak ingin memiliki
pikiran sehat lebih banyak daripada yang sudah dimilikinya.” Ia percaya bahwa kepercayaan
orang akan pikiran sehatnya itu merupakan bukti yang terpercaya bahwa akal sehat
merupakan bakat yang lebih merata yang dimiliki oleh orang-orang daripada hal yang lain
manapun.

Yang dimaksud dengan “pikiran sehat” oleh Descartes ialah unsur asasi yang berada
di dalam daya kuasa kita berpikir (penalaran): kemampuan membedakan yang benar dari
yang tak benar. Pikiran sehat (good sense) inilah yang ada pada setiap orang; berpikir sehat,
bisa diibaratkan seperti bernafas, adalah sesuatu yang kodrati, berjalan dengan sendirinya.
Tidak akan ada orang yang akan mengakui bahwa orang lain lebih mampu membedakan yang
benar dari yang tak benar. Seseorang mungkin akan mengakui orang lain lebih pandai, lebih
cerdas, lebih tajam ingatannya. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan pengetahuan atau ingatan
tersebut disebabkan oleh karena metode-metode berpikirnya: metode berpikir orang yang satu
lebih baik dan benar daripada metode berpikir orang lain. Metode-metode berpikirlah yang
semestinya akan membantu kita untuk memecahkan masalah-masalah kita dengan lebih
berhasil, baik itu masalah ilmu atau bisnis, hubungan sosial atau politik, persahabatan atau
cinta kasih.

Rene Descartes mempunyai metode berpikirnya sendiri yang telah diperaktekannya


sejak masih muda. Adapun metodenya mencakup empat langkah:

1. Jika Anda tidak mengetahui dengan jelas bahwa sesuatu adalah benar, maka janganlah
Anda percaya akan hal itu.

2. Pecah-pecahkanlah setiap masalah menjadi banyak bagian yang lebih kecil.


3. Mulailah menangani hal-hal yang paling sederhana dan paling mudah untuk
dipahami, kemudian meningkat pada masalah-masalah yang lebih sulit.

4. Bila anda mendaftar unsur-unsur suatu masalah, upayakanlah sungguh-sungguh daftar


ini lengkap, dan tidak ada satu hal pun yang disisiShkan.

Setelah kita membaca uraian metode berpikirnya Descartes bahwa kita sebagai
manusia pada dasarnya cenderung berpikir logis, hendaknya janganlah kita berpendapat
bahwa orang yang logis selalu menganggap dirinya benar, mengetahui dirinya mengetahui.
Orang yang logis tidak akan berkata, “Akal budi selalu benar, dan aku adalah suara akal
budi.” Itu bukanlah gambaran orang yang logis. Orang yang logis sadar akan kesulitan-
kesulitan dalam membuktikan apa yang benar, misalnya kesulitan dalam berpikir secara lurus
dan jernih tentang masalah-masalah yang menyangkut emosi kita dan kepentingan diri kita
sehingga kita tidak mau mempertimbangkan sesuatu dari kedua belah sisi, tidak mendukung
pernyataan-pernyataan kita dengan bukti-bukti, tidak menerima pandangan-pandangan orang
yang berkuasa secara kritis. Apa yang dikehendaki oleh orang berpikir logis hanya: Jika Anda
mengaku telah membuktikan sesuatu – tentang apa saja – data-data yag Anda gunakan untuk
membuktikan itu harus diperiksa dengan sungguh-sungguh. Logika menunjukkan kepada kita
cara memeriksa bukti-bukti itu.

Kalaulah kita diminta untuk berpikir logis-kritis seperti itu, tidak berarti kita harus
bersikap mempertanyakan sesuatu tanpa batas. Orang yang sama sekali tidak (mau)
mempunyai kepercayaan apa pun yang positif kerap kali tidak ada gunanya; dan hidup tanpa
kepercayaan akan sesuatu yang positif tidak tertahankan. Daripada meragukan segala sesuatu,
kita harus siap sedia untuk percaya apabila sudah ada tanda bukti yang cukup; dan janganlah
kita menghakimi sesuatu apabila tanda buktinya belum cukup. Dengan kata lain, bersikap
“Kritis” tetapi tidak “negatif”. Ilmuwan yang sejati akan bersikap dan berkata, “Marilah kita
menguji kepercayaan-kepercayaan kita dengan evidensi; kita bersedia mengubah
kepercayaan-kepercayaan kita bila evidensi berubah, tidak pernah mengaku kepercayaan-
kepercayaan kita sudah final, tetapi menerima bahwa probabilitas-probabilitas sangat kuat
sehingga kita dapat bergantung betul-betul kepada beberapa kebenaran yang penting.”

Dengan demikian, logika bukanlah usaha untuk memperdayakan seseorang. Logika


hanyalah pelajaran tentang cara-cara untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya.
Logika ingin membantu kita untuk berpikir secar jelas, untuk memanfaatkan pikiran sehat
kita dengan sebaik-baiknya. Seperti segala sesuatu yang lain, logika mempunyai tempatnya
sendiri. Tempatnya, antara lain, waktu Anda berusaha untuk memutuskan apakah Anda akan
mempercayai atau tidak mempercayai apa yang dikatakan benar oleh orang lain, atau waktu
kita masing-masing hendak menunjukkan bahwa apa yang kita katakan benar itu sungguh
benar.

You might also like