You are on page 1of 22

Pendahuluan

Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis,


jumlahnya mencapai 6,8 % dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di
Indonesia (Anonim, 2010).
Diketahui 9 dari 10 orang yang menderita hipertensi tidak dapat diidentifikasi
penyebab penyakitnya. Itulah sebabnya hipertensi dijuluki pembunuh diam-diam atau
silent killer. Seseorang baru merasakan dampak gawatnya hipertensi ketika telah terjadi
komplikasi. Jadi baru disadari ketika telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan
fungsi jantung, koroner, fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke .Hipertensi
pada dasarnya mengurangi harapan hidup para penderitanya (Anonim, 2010).
Keadaan ini bergantung pada banyak faktor terkait, termasuk keturunan, pola
makan, khususnya jumlah garam dan alkohol yang Anda konsumsi, latar belakang budaya,
apakah Anda menderita diabetes atau kelebihan berat badan, dan apakah Anda melakukan
olahraga secara teratur (Beevers, 2002).

Diperkirakan hipertensi telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara


global, dan prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara
maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain
mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun
penyakit serebrovaskular (Anonim, 2008).

Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES


III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya 31%
pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90 mmHg.
Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran akan kesehatan yang lebih rendah, jumlah pasien
yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi dan yang tidak mematuhi minum
obat kemungkinan lebih besar (Anonim, 2008).

Hipertensi selain mengakibatkan angka kematian yang tinggi (high case fatality
rate) juga berdampak kepada mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus ditanggung
para penderita. Perlu pula diingat hipertensi berdampak pula bagi penurunan kualitas
hidup. Hipertensi sebenarnya dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Jika salah
satu orang tua terkena Hipertensi, maka kecenderungan anak untuk menderita Hipertensi
adalah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki orang tua penderita
Hipertensi (Anonim, 2010).
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan
darah tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap
tahunnya. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES), insiden
hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-31%, yang

1
berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15
juta dari data NHNES III tahun1988-1991 (Anonim, 2008).
Lebih dari 60 juta rakyat Amerika mengalami tekanan darah tinggi,termasuk lebih
dari separuh (54,3%) dari seluruh masyarakat Amerika yangberusia 64 hingga 74 tahun
dan hampir tiga per empat (72,8%) dari seluruh orang Amerika Afrika dalam kelompok
usia yang sama (Anonim, 2008).
Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya
tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk
menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal
adalah 90%. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka
didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur
diantara dekade ketiga dan dekade kelima (Anonim, 2008).
Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi
dibanding perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan
dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60tahun),
prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 % (Anonim, 2008).

DEFINISI
Tekanan darah, adalah tekanan di dalam pembuluh darah ketika jantung
memompakan darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah tinggi disebabkan oleh penyempitan
cabang-cabang arteri yang berukuran mikroskopik pada semua jaringan. Tekanan darah
sistolik adalah tekanan pada pembuluh darah yang lebih besar ketika jantung berkontraksi.
Tekanan darah diastolik adalah tekanan yang terjadi ketika jantung rileks di antara tiap
denyutan, maka dari itu penting ketika tekanan darah diukur, harus betul-betul rileks
(Beevers, 2002).

Hipertensi atau Darah Tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami


peningkatan tekanan darah diatas normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Hipertensi
merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri. Satu-satunya cara untuk
mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah kita secara teratur (Anonim,
2010).
Hipertensi disebabkan oleh terlalu banyaknya vasokonstriksi pembuluh arteri kecil
di sepanjang tubuh; hal ini, akan meningkatkan tekanan darah diastole. Karena resistansi
periferal yang tinggi, jantung meningkatkan kekuatannya dalam kontraksi ventrikular
dengan tujuan untuk mengantarkan darah ke jaringan-jaringan, yang mengakibatkan

2
peningkatan tekanan darah sistol. Hipertensi yang berat menimbulkan efek merugikan
tidak hanya pada jantung , namun juga pada pembuluh darah dan ginjal (Crowley, 2001).

Pembuluh darah mirip dengan tabung karet yang mengalirkan darah terus-menerus
ke manapun dibutuhkan. Arteri, yang mengalirkan darah ke luar dari jantung, harus
menahan tekanan yang tinggi ketika darah dipompakan ke luar. Jika tekanan darah lebih
tinggi daripada biasanya selama bertahun-tahun, seperti pada hipertensi yang tidak diobati,
pembuluh darah tersebut menjadi rusak. Lapisan pada arteri dapat menjadi kasar dan tebal
dan pada akhirnya menimbulkan penyempitan sehingga menjadi kurang lentur daripada
sebelumnya. Hal ini dikenal sebagai arteriosklerosis. Jika arteri menjadi terlalu sempit,
darah tidak dapat melaluinya dengan benar, dan bagian tubuh yang bergantung pada arteri
tersebut untuk mendapatkan darah mengalami kekurangan darah dan oksigen yang
dibutuhkan. Ketika arteri menyempit terjadi peningkatan kecenderungan darah membeku
(thrombosis), yang dapat menyebabkan penyumbatan total pada arteri sehingga bagian
tubuh yang dilayaninya menjadi mati. Jika jantung atau otak yang terkena dampaknya,
bagian yang mati disebut infark (Beevers, 2002).

Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Normal Dibawah 130 mmHg Dibawah 85 mmHg
Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1
140-159 mmHg 90-99 mmHg
(Hipertensi ringan)
Stadium 2
160-179 mmHg 100-109 mmHg
(Hipertensi sedang)
Stadium 3
180-209 mmHg 110-119 mmHg
(Hipertensi berat)
Stadium 4
210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
(Hipertensi maligna)
(Anonim, 2008).

ETIOLOGI

Pada 95 persen kasus hipertensi tidak terdapat penyebab yang spesifik, dan kondisi
ini dikenal sebagai hipertensi primer atau esensial. Lima persen sisanya memiliki masalah
dengan ginjal atau kelenjar adrenal mereka. Dokter menyebutnya sebagai hipertensi
sekunder (Beevers, 2002).

Sejumlah faktor dapat menyebabkan hipertensi. Keturunan merupakan salah


satu faktor yang berarti hipertensi dapat terjadi dalam keluarga. Tekanan darah cenderung
meningkat seiring bertambahnya usia, tetapi hal ioni sebagian disebabkan oleh gaya hidup.
Banyak orang yang bertambah berat badannya dan menjadi kurang aktif ketika bertambah
tua. Kedua faktor itu dapat menyebabkan hipertensi. Yang lebih penting, peningkatan

3
tekanan darah seiring bertambahnya usia lebih besar pada mereka yang sering
mengkonsumsi banyak makanan bergaram (Beevers, 2002).

1. Hipertensi Esensial (Hipertensi Primer)


Adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Terjadi pada sekitar 90%
penderita hipertensi.

 Sensitivitas Garam  Genetik (keturunan)


 Homeostasis Renin  Umur
 Resistansi Insulin  Obesitas
 Tidur Apneu (Anonim, 2008).

2. Hipertensi Sekunder
Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya dan dapat dikelompokkan
seperti di bawah ini:

 Penyakit parenkim ginjal (3%). Setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis,


pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) yang menyebabkan kerusakan parenkim
akan cenderung menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan
mengakibatkan kerusakan ginjal (Gray, 2005).

 Penyakit renovaskular (1%). Terdiri atas penyakit yang menyebabkan gangguan


pasokan darah ginjal dan secara umum dibagi atas aterosklerosis, yang terutama
mempengaruhi sepertiga bagian proksimal arteri renalis dan paling sering terjadi
pada pasien usia lanjut, dan fibrodisplasia yang terutama mempengaruhi 2/3 bagian
distal, dijumpai paling sering pada individu muda, terutama perempuan. Penurunan
pasokan darah ginjal akan memacu produksi rennin ipsilatral dan meningkatkan
tekanan darah. Keadaan ini perlu dicurigai jika hipertensi terjadi mendadak, secara
umum sukar diterapi, tetapi kembali normal dengan penghambat ACE (Gray,
2005).

 Endokrin (1%). Pertimbangkan aldosteronisme primer (sindrom conn). Jika


terdapat hipokalemia bersama hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan rennin
yang rendah akan mengakibatkan kelebihan atau overload natrium dan air (Gray,
2005).

 Sindrom Cushing. Disebabkan oleh hyperplasia adrenal bilateral yang disebabkan


oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan ACTH pada 2/3 kasus dan tumor
adrenal primer pada sepertiga kasus (Gray, 2005).

4
 Hiperplasia adrenal kongentital merupakan penyebab hipertensi pada anak (jarang)
(Gray, 2005).

 Feokromositoma disebabkan oleh tumor sel kromatin asal neural yang


mensekresikan katekolamin, 90% berasal dari kelenjar adrenal. Kurang lebih 10%
terjadi di tempat lain dalam rantai simpatis, 10% dari tumor ini ganas, dan 10%
adenoma adrenal adalah bilateral (Gray, 2005).

 Koarktasio aorta. Paling sering mempengaruhi aorta pada distal dari arteri
subklavia kiri dan menimbulkan hipertensi pada lengan dan menurunkan tekanan
di kaki, dengan denyut nadi arteri femoralis lemah atau tidak ada. Vasokonstriksi
arteri sistemik dapat terjadi karena stimulasi system rennin-angiostensin dan
hiperaktivitas simpatis (Gray, 2005).

 Kaitan dengan kehamilan. Hipertensi gestasional terjadi sampai 10% kehamilan


pertama, lebih sering pada ibu muda, diperkirakan karena aliran uteriplasental yang
kurang baik dan umumnya terjadi pada trimester terakhir atau awal periode
postpartum. Terdapat proteinuria, peningkatan kadar urat serum, dan pada kasus
yang berat menyebabkan sindrom pre-eklamsia. Kelahiran akan mengakhiri
hipertensi (Gray, 2005).

5
PATOGENESIS

Pada tekanan yang tinggi, tekanan arteri rata-rata 50 persen atau lebih di atas
normal. Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara :
(1) Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap
detiknya. (2) Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka
tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.
Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang
sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Hal tersebut biasanya
terjadi pada orang berusia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku
karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat
terjadi "vasokonstriksi", yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu
mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah. (3) Bertambahnya
cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal tersebut
terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah
garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga
tekanan darah juga meningkat (Guyton dan Hall, 1997).
Efek lethal dari hipertensi terutama disebabkan tiga hal berikut : (1) Kelebihan
beban kerja pada jantung, yang menimbulkan perkembangan awal dari penyakit jantung
kongestif, penyakit jantung koroner, atau keduanya, yang seringkali menyebabkan
kematian akibat serangan jantung. (2) Tekanan yang tinggi, yang seringkali menyebabkan
rupturnya pembuluh darah utama di otak, yang diikuti oleh kematian pada sebagian besar
otak, keadaan ini disebut infark serebral. Secara klinis keadaan ini dikenal dengan nama
‘stroke’. Bergantung pada bagian otak mana yang terkena, stroke dapat menyebabkan
kelumpuhan, demensia, kebutaan, atau berbagai gangguan otak yang serius lainnya. (3)
Tekanan yang tinggi hampir selalu menyebabkan berbagai pendarahan pada ginjal, yang
menimbulkan banyak kerusakan pada area ginjal, dan akhirnya terjadi gagal ginjal,
uremia, dan kematian (Guyton dan Hall, 1997).

Beberapa faktor yang pernah dikemukakan relevan terhadap mekanisme penyebab


hipertensi adalah sebagai berikut:
 Genetik. Dibandingkan orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat lebih banyak
menderita hipertensi lebih tinggi tingkat hipertensinya dan lebih besar tingkat morbiditas
maupun mortalitasnya, sehingga diperkirakan ada kaitan hipertensi dengan perbedaaan
genetik. Beberapa penelitian mengatakan terdapat kelainan pada gen angiotensinogen
tetapi mekanismenya mungkin bersifat poligenik (Gray, 2005).
 Geografi dan lingkungan. Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara
populasi kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa Indian
Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak meningkat sesuai
dengan pertambahan usia dibanding masyarakat Barat (Gray, 2005).
 Janin. Faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah tampaknya
merupakan predosposisi hipertensi di kemudian hari , barangkali karena lebih sedikitnya
jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan mengeluarkan natrium pada bayi dengan
berat lahir rendah (Gray, 2005).
 Jenis kelamin. Hipertensi lebih jarang ditemukan pada perempuan pra-menopause
dibanding pria, yang menunjukkan adanya pengaruh hormon (Gray, 2005).
 Natrium. Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya hipertensi,
barangkali karena ketidakmampuan mengeluarkan natrium secara efisien baik diturunkan
atau didapat. Ada yang berpendapat bahwa terdapat hormon natriuretik (de Wardener)
yang menghambat aktifitas sel pompa natrium (ATPase natrium-kalium) dan mempunyai
efek penekanan. Berdasarkan studi populasi, seperti studi INTERSALT penurunan TD
dapat diperoleh dengan mengurangi konsumsi garam (Gray, 2005).
 Sistem renin-angiostensin. Renin memicu produksi angiostensin (zat penekan) dan
aldosteron (yang memacu natrium dan terjadinya retensi air sebagai akibat). Beberapa
studi telah menunjukkan sebagian pasien hipertensi primer mempunyai kadar renin yang
meningkat ,tetapi sebagian besar normal atau rendah, disebabkan efek homeostatik dan
mekanisme umpan balik karena kelebihan beban volume dan peningkatan TD dimana
keduanya diharapkan akan menekan produksi renin (Gray, 2005).
 Hiperaktivitas simpatis. Dapat terlihat pada hipertensi umur muda. Katekolamin akan
memacu produksi renin, menyebabkan konstriksi arteriol dan vena dan meningkatkan
curah jantung (Gray, 2005).
 Resistensi insulin/ hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin
telah diketahui sejak beberapa tahun silam , terutama pada pasien gemuk. Insulin
merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium
(Gray, 2005).
PATOFISIOLOGI
(RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT)

PERANAN RENIN ANGIOTENSIN ALDOSTERON PADA PENGATURAN TEKANAN


DARAH

Peranan renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang


disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi gangguan pada ginjal, maka
ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin. Nama “renin “ pertama kali
diberikan oleh Tigerstredt dan Bergman (1898) untuk suatu zat presor yang diekstraksi
dari ginjal kelinci (Basso dan Terragno, 2001).

Pada tahun 1975 Page dan Helmer mengemukakan bahwa renin merupakan
enzim yang bekerja pada suatu protein, angiotensinogen untuk melepaskan Angiotensin.
Baru pada tahun 1991 Rosivsll dan kawan-kawan mengemukakan bahwa bahwa renin
dihimpun dan disekresi oleh sel juxtaglomelurar yang terdapat pada dinding arteriol
afferen ginjal, sebagai kesatuan dari bagian macula densa satu unit nefron (Laragh 1992).

Renin adalah enzim dengan protein kecil yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan
arteri turun sangat rendah (Guyton dan Hall, 1997).

Pengeluaran renin dapat disebabkan aktivasi saraf simpatis (pengaktifannya


melalui β1-adrenoceptor), penurunan tekanan arteri ginjal (disebabkan oleh penurunan
tekanan sistemik atau stenosis arteri ginjal), dan penurunan asupan garam ke tubulus
distal (Klabunde, 2007).
Gambar 4. Proses pengeluaran renin dari ginjal, pembentukan dan fungsi
angiotensin II

(Sumber : Klabunde, 2007)

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan pada uraian berikut. Renin bekerja
secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut bahan renin
(atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptida asam amino-10, yaitu angiotensin I.
Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk
menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin
menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan
pembentukan angiotensin I selama sepanjang waktu tersebut (Guyton dan Hall, 1997).

Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam


amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk angiotensin II
peptida asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi selama beberapa detik
sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada paru-paru, yang dikatalisis oleh
suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru yang
disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor
yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi.
Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II
secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara
bersama-sama disebut angiotensinase (Guyton dan Hall, 1997).

Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua


pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu
vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan
sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan
perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-vena
juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa
jantung untuk melawan kenaikan tekanan (Guyton dan Hall, 1997).

Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan
bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika tekanan darah atau
volume darah dalam arteriola eferen turun ( kadang-kadang sebagai akibat dari
penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi kimia yang mengubah protein
plasma yang disebut angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II.
Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume
darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara
menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler
ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali
NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan
dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah
(Campbell, et al. 2004).

Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ


yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron
bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih
banyak ion natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal
tersebut akan memperlambat kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian
meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka panjang ini
bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada
mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai
normal (Campbell, et al. 2004).

PERANAN ACE DI OTAK

Angiotensinogen merupakan molekul prkursor untuk angiotensin I, II, III enzim


renin, angiotensin converting enzim (ACE) dan aminopeptidase A dan N yang seluruhnya
dapat disintesis di dalam otak. Reseptor-reseptor angiotensin AT(1), AT(2), dan AT(4)
juga disintesis di dalam otak. Reseptor AT(1) ditemukan di beberapa bagian otak, seperti
paraventrikular hipothalamus, nukleus supraoptik, lamina terminalis, nukleus
parabrachial lateral, dan medula ventrolateral yang diketahui mempunyai fungsi regulasi
sistemkardiovaskular dan/atau keseimbangan eletrolit dan cairan tubuh. Studi
immunohistokimia dan neuropharmakologi dapat menjelaskan bahwa angiotensinergic
saraf digunakan angiotensin II dan/atau angiotensin III sebagai neurotransmiter atau
neuromodulator di dalam bagian-bagian otak tersebut. Angiotensinoen disintesis terutama
pada astrocytes, tetapi proses dimana angiotensin II menghasilkan atau menggabungkan
dengan neuron untuk digunakan sebagai neurotransmiter masih belum jelas. Reseptor
AT(4) serupa dengan insulin-regulated aminopeptidase (IRAP) dan berperan dalam
mekanisme memory. Angiotensinergic pada saraf dan peptida-peptida angiotensin
penting dalam fungsi saraf dan mempunyai peranan penting homeostasis, khususnya
yang berhubungan dengan fungsi kardiovasculer, osmoregulasi dan termoregulasi
(McKinley, et al. 2003).

Peranan angiotensin II sangat penting pada sistem kardiovaskular dan


homeostatik yang dapat mengaktifkan reseptor-reseptor spesifik terutama angiotensin II
tipe 1 (AT1) yang berlokasi di dalam peripheral dan otak. Fakta memperlihatkan bahwa
renin angiotensin system (RAS) di dalam otak penting untuk menjaga tekanan darah
normal dan perkembangan pada hipertensi. Baru-baru ini telah diketahui keberadaan
ACE2 di dalam otak berperan sebagai enzim yang memodulasi aktivitas RAS otak
selama perkembangan hipertensi neurogenik (Lazartigues, 2007).

Peranan reseptor AT1 yaitu menjaga keseimbangan cairan tubuh, tekanan darah,
siklus hormon reproduksi, dan perilaku seksual. Reseptor AT2 mempunyai peranan
pertumbuhan pembuluh darah (vaskular) dan kontrol aliran darah. Reseptor AT4
terdistribusi pada neokorteks, hippocampus, serebelum, struktur ganglia basalis, dan
beberapa jaringan peripheral. Reseptor AT4 berperan dalam kemampuan memori,
regulasi aliran darah, pertumbuhan neurit, angiogenesis dan fungsi ginjal (Wright and
Harding, 1997).

GEJALA DAN TANDA

Tekanan dalam mmHg Tingkatan tekanan darah Gejala-gejala yang dapat menyertainya
Sistolik Diastolik
Kurang Kurang Rendah (Hipotensi) Pusing, rasa lemah, mata gelap
dari 90 dari 60 terutama jika cepat berdiri dari duduk,
jongkok, atau berbaring.
90-140 60-90 Normal Tidak ada
140-160 90-95 Hipertensi perbatasan Seharusnya tidak ada, tetapi jika ada
kemungkinan ada sebab lain atau
komplikasi dari hipertensi
160-200 95-110 Hipertensi ringan (mild) Tekanan darah kadang-kadang labil,
belum ada komplikasi hipertensi
200-230 110-120 Hipertensi sedang Gejala/keluhan belum pasti ada, ginjal
(moderate) seharusnya masih berfungsi baik
230-280 120-140 Hipertensi berat Biasanya disertai dengan kelainan
jantung, ginjal, atau otak
Meningkat dengan cepat Hipertensi accelerate Mendadak sakit keras dengan
sekali sampai (maligna) gangguan berat pada fungsi ginjal
230 130
karena adanya papil edema
(Gunawan, 2001).

Gejala akibat hipertensi primer: sakit kepala, mimisan, jantung berdebar, sering buang
air kecil di malam hari, dan telinga berdengung. Gejala lain adalah sesak nafas, sukar tidur, mata
berkunang-kunang, mudah marah dan mudah lelah (Lili, 2007).

Gejala akibat hipertensi sekunder: didahului oleh gejala penyakit yang


menimbulkan hipertensi tersebut.

1. Gejala hipertensi sekunder yang mengarah ke kelainan ginjal:


 Sejarah penyakit ginjal dalam keluarga
 Sering menderita infeksi saluran kencing
 Sering buang air kecil dan sering haus
 Bila mendapat trauma di pinggang (Lili, 2007)

2. Gejala yang mengarah pada gejala feokromositoma :


 Sakit kepala hebat dengan serangan tiba-tiba
 Jantung berdebar-debar
 Keringat yang berlebihan
 Wajah pucat
 Tekanan darah sangat tinggi (Lili, 2007)

3. Gejala yang terjadi karena kelainan kelenjar tiroid:


 Mudah gugup
 Keringat berlebihan
 Mudah kepanasan
 Jantung berdebar
 Tremor
 Mudah lelah
 Berat badan turun
 Bola mata menonjol
 Pembesaran atau benjolan pada kelenjar tiroid (Lili, 2007)

Berlebihnya hormone tiroid yang diproduksi dikenal dengan istilah hipertiroidisme.


Kelainan ini dapat meningkatkan tekanan darah sistolik.

4. Gejala yang terjadi karena kekurangan hormone tiroid (hipotiroidisme) :


 Tidak tahan dingin
 Mudah lelah
 Fungsi-fungsi tubuh melambat
 Kenaikan berat badan
 Kulit kasar
 Suara rendah dan parau
 Sembap di daerah mata, kaki dan tangan

Kelainan ini dapat meningkatkan tekanan darah sistolik maupun diastolik (Lili,
2007).

5. Gejala yang disebabkan kelebihan kortisol (hormon yang diproduksi kelenjar adrenal
yang dapat meningkatkan tekanan darah) :
 Peningkatan penumpukan lemak pada wajah, leher dan badan
 Kulit menipis, tanda-tanda guratan ungu, mudah memar dan pertumbuhan rambut
berlebihan
 Emosi tidak stabil
 Kenaikan berat badan berlebihan
 Lemah (Lili, 2007).

Gejala yang paling sering muncul pada hipertensi primer adalah sakit kepala. Pada
hipertensi sekunder, gejala yang muncul adalah gejala penyakit penyebabnya. Misalnya, pada
hipertensi yang disebabkan kelainan ginjal, gejala yang dirasakan pasien adalah gejala-gejala
kelainan ginjal. Berbahaya jika gejala-gejala itu sudah menyerang target organ hipertensi,
yaitu organ-organ yang akan mengalami gangguan atau kerusakan akibat tekanan darah yang
tidak terkontrol dan tidak diobati. Target organ hipertensi ini meliputi otak, mata, jantung,
pembuluh darah, dan ginjal (Lili, 2007).

PROGNOSIS

Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat. Terapi
dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obat antihipertensi biasanya dapat
menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan kerusakan pada
jantung atau organ lain. Kunci untuk menghindari komplikasi serius dari hipertensi
adalah untuk mendeteksi dan mengobati sebelum kerusakan terjadi (Anonim, 2011).

Hipertensi dewasa ini telah menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Meskipun hipertensi merupakan penyakit
seumur hidup yang tidak dapat disembuhkan secara total, namun dapat dilakukan
beberapa upaya tertentu untuk mengendalikan tingkat tekanan darah guna mengurangi
risiko mortalitas dan morbiditas akibat penyakit hipertensi disertai penyakit komplikasi
dan penyakit penyerta. Penanganan untuk penyakit hipertensi dapat dilakukan tanpa
terapi obat (non- farmakologi) yaitu dengan cara mengatur pola hidup atau life style
pasien maupun dengan terapi obat (farmakologi). Terapi tanpa obat mempunyai
kecenderungan untuk selalu didahulukan dan diterapkan pada semua penderita hipertensi,
khususnya bagi penderita hipertensi ringan (tekanan diastolik antara 90-104 mmHg) yang
tidak disertai penyakit lain seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, kerusakan
organ sasaran (organ yang akan rusak sebagai akibat dari hipertensi seperti otak, jantung,
ginjal, mata.), hiperlipidemi atau perokok. dianjurkan memakai cara pengobatan non-
farmakologi terlebih dahulu selama 3-6 bulan sambil dilakukan pemeriksaan dan
pemantauan tekanan darah secara rutin (Siauw,1994). Sedangkan untuk pengelolaan
hipertensi yang menggunakan terapi obat, harus dilakukan secara rasional dan
mengutamakan “Patient safety” (Anonim, 2011).

PENCEGAHAN

Meskipun faktor keturunan memegang peranan penting, namun cara dan pola
hidup sangat esensiil dalam menjauhi hipertensi. Misalnya, makan berlebihan dengan
terlalu banyak lemak serta garam (dan gula), terlampau sedikit gerak badan dan merokok,
dapat mendorong terjadinya hipertensi (Tan, 2007).

Tindakan Umum
Penderita dengan TD tinggi tanpa ada sebab-sebab organis yang jelas dapat
menerapkan sendiri sejumlah aturan hidup untuk menurunkan tensinya. Pola hidup yang
baik juga meningkatkan efektivitas obat-obat antihipertensi dan mengurangi resiko PJP
(Tan, 2007).

a. Menguruskan badan. Berat badan berlebihan (kegemukan) menyebabkan bertambahnya


volume-darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan TD dapat
turun lebih 0.7/0.5 mmHg setiap kg penurunan. Dianjurkan BMI antara 18.5-24.9 kg/m2
(Tan, 2007).
b. Mengurangi garam dalam diet. Dahulu dianggap sebagai tndakan umum terpenting
berdasarkan perkiraan berikut. Bila kadar Na di filtrat gromeruli rendah, maka lebih
banyak air akan dikeluarkan untuk normalisasi kadar garam dalam darah. Akibat
pengeluaran ekstra air tersebut, TD akan turun. Tetapi dalam praktek, mengurangi
konsumsi garam sangat sulit di realisasikan. Setiap hari umumnya kita makan lebih dari
10 g garam dan lebih dari separuhnya terdapat dalam berbagai makanan (ikan asin, sayur,
daging, snack dan sebagainya). Pengurangan setiap gram garam sehari dapat berefek
penurunan tensi mmHg. Maka untuk mencapai penurunan TD yang nyata, konsumsi
garam harus dibata. Pengurangan setiap gram garam sehari dapat berefek penurunan tensi
mmHg. Maka untuk mencapai penurunan TD yang nyata, konsumsi garam harus dibatasi
sampai <6 g sehari (Tan, 2007).
c. Membatasi kolesterol. Berguna untuk membatasi resiko aterosclerosis. Konsumsi serat-
serat nabati hendaknya justru diperbanyak, karena telah terbukti bahwa serat tersebut
dalam makanan dapat membantu menurunkan TD. Diketahui pula bahwa orang-orang
vegetarir, yakni yang pantang daging dan makan banyak sayur dan buah-buahan (yang
mengandung banyak serat), rata-rata memiliki tenis yang lebih rendah daripada orang
biasa (Tan, 2007).
d. Berhenti merokok. Tembakau mengandung nikotin yang memperkuat kerja jantung dan
menciutkan arteri kecil hingga sirkulasi darah berkurang dan TD meningkat. Lagi pula
karbonmonoksida (CO) dalam asap mengikat hemoglobin lebih cepat dan lebih kuat
daripada oksigen, hingga penyerapan O2 di paru-paru sangat dikurangi. Selain itu, t e r
dalam asap bersifat karsinogen dan pada jangka panjang dapat nerusak dinding pembuluh
dengan efek atherosklerosis. Karena itu pasien hipertensi menunjukkan resiko kematian
yang meningkat akibat infark jantung (Tan, 2007).
e. Cukup istirahat dan tidur adalah penting, karena selama periode itu TD menurun. Juga
mengurangi stress dan latihan relaksasi mental (yoga, meditasi transendental, chi kung,
biofeedback) ternyata berguna sekali untuk menurunkan TD (Tan, 2007).
f. Gerak badan yang cukup bertenaga. Walaupun TD meningkat pada waktu
mengeluarkan tenaga akut, namun olahraga secara teratur dapat menurunkan TD yang
tinggi (Tan, 2007).

PENGOBATAN DAN PILIHAN OBAT


Pedoman penatalaksanaan hipertensi dari British Hypertension Society menganjurkan
terapi obat antihipertensi pada orang dengan TD sistolik ≥ 160 mmHg yang menetap atau TD
diastolik ≥ 100 mmHg yang menetap. Pada orang yang mengidap diabetes melitus, terapi
obat antihipertensi harus mulai diberikan jika TD sistolik menetap ≥ 140 mmHg atau TD
diastolik ≥ 90 mmHg. Pada penderita hipertensi nondiabetik, target optimal untuk
pengobatan TD adalah: TD sistolik < 140 mmHg dan TD diastolik < 85 mmHg. Pada
penderita hipertensi dengan diabetes, target TD optimal adalah: TD sistolik < 140 mmHg dan
TD diastolik < 80 mmHg (David, 1975).
Penanganan dasar hipertensi terdiri dari penanggulangan overweight (bila ada) dengan
diet, pembatasan garam serta peningkatan aktivitas fisik. Selain tindakan umum itu, pada
hipertensi lebih berat perlu ditambahkan obat-obat hipertensi untuk menormalkan TD (Tan,
2007).
Pengobatan pada instansi pertama ditujukan pada penurunan TD, tetapi tujuan akhir
adalah untuk menghindari komplikasi lambat, memperbaiki kualitas dan memperpanjang
hidup. Hal ini dapat dicapai dengan jalan prevensi efek buruk jangka panjang, separti
infark otak (stroke), gangguan aterosklerotis dan hipertrofi jantung, yang akhirnya dapat
menimbulkan aritmia dan dekompensasi (Tan, 2007).
Pengobatan dengan antihipertensiva harus dimulai dengan dosis yang rendah agar TD
jangan menurun terlalu drastis dengan mendadak. Kemudian setiap, 1-2 minggu dosis
berangsur-angsur dinaikkan sampai tercapai efek yang diinginkan (metode start low, go
slow). Begitu pula penghentian terapi harus berangsur pula, lihat efek samping (Tan, 2007).
Antihipertensiva hanya menghilangkan gejala TD tinggi dan tidak penyebabnya. Maka
obat pada hakikatnya harus diminum seumur hidup, tetapi setelah beberapa waktu dosis
pemeliharaan pada umumnya dapat diturunkan (Tan, 2007).

PERANAN ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME (ACE)

Enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II disebut dengan


Angiotensin Converting Enzyme (ACE) (Sargowo, 1999).

Perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II tidak saja terjadi di paru-paru,


namun ACE ditemukan pula di sepanjang jaringan epitel pembuluh darah (Oates, 2001).

Rangkaian dari seluruh sistem renin sampai menjadi angiotensin II dikenal


dengan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS). Sistem tersebut memegang
peranan penting dalam patogenesis hipertensi baik sebagai salah satu penyebab timbulnya
hipertensi, maupun dalam perjalanan penyakitnya (Ismahun, 2001).

RAAS merupakan sistem hormonal yang kompleks berperan dalam mengontrol


sistem kardiovaskular, ginjal, kelenjar andrenal, dan regulasi tekanan darah
(Kramkoowski, et al. 2006).

Salah satu obat yang digunakan untuk mengembalikan tekanan darah pada
penderita hipertensi yaitu ACE-inhibitor. ACE-inhibitor merupakan obat unggulan untuk
penyakit kardiovaskular, terutama dalam memperbaiki fungsi dan anatomi pembuluh
darah arteri, memperbaiki fungsi endotel, meregresi tunika media, meregresi dan
menstabilkan plak aterosklerosis (Soemantri, et al. 2007).

Obat-obatan yang termasuk dalam ACE inhibitor tersebut bekerja dengan


menghambat efek angiotensin II yang bersifat sebagai vasokonstriktor. Selanjutnya ACE
menyebabkan degradasi bradikinin menjadi peptida inaktif atau dalam pengertian
bradikinin tidak diubah. Dengan demikian peranan ACE pada hipertensi yaitu
meningkatkan kadar bradikinin yang memberikan kontribusi sebagai vasodilatator untuk
ACE-inhibitor. Akibat vasodilatasi maka menurunkan tahanan pembuluh peripheral,
preload dan afterload pada jantung sehingga tekanan darah dapat diturunkan (Sargowo,
1999; Taddei, et al. 2002).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Hipertensi dan Pembuluh Darah. http://hipertensi.htm,


diakses pada tanggal 26 Februari 2011
Anonim. 2011. Hipertensi. http://digilib.ubaya.ac.id, diakses pada tanggal
26 Februari 2011
Ayu, Septi Ega. 2008. Hipertensi. http://www.scribd.com/doc/11554397/
Paper-Hipertensi diakses tanggal 22 Februari 2011
Basso N, Terragno, and Norberto A. 2001. Histrory about The Discovery of
The Renin-Angiotensin System. Hypertension, 38(6): 1246-1249.
Beevers. 2002. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Tekanan Darah.
10-87. Jakarta: Dian Rakyat

Campbell NA, Reece JB, and Mitchel LG. 2004. Biologi. Alih Bahasa :

Wasmen Manalu. Jakarta : Erlangga

Crowley, Leonard V. 2001. An Introduction to Human Disease, Pathology


and Pathophysiology Correlation. 5th ed. Canada : Jones and Bartlett Publishers

Gunawan, Lany. 2001. Hipertensi. 13. Yogyakarta : Kanisius.

Grey, Huon,dkk. 2005. Lecture Notes : Kardiologi. Edisi IV. Jakarta :


Erlangga

Guyton AC and Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih
Bahasa : Irawati setiawan, LMA Ken Ariata Tengadi, Alex Santoso. Jakarta :
EGC

Hoan Tan, Kirana R. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi keenam. 541-543,


Jakarta : Gramedia

Klabunde RE. 2007. Cardiovasculary Physiology Concepts. Tersedia :


http://www.cvphysiology.com/Blood%20Pressure/BP001.htm diakses tanggal 24
Februari 2011
Kostova E., Javanoska E., Zafirov D, Jakovski K, Maleva, and
SlaninkaMiceska M. 2005. Dual Inhibition of Angiotensin Converting Enzyme
and Neutral Endopeptidase Produces Effective Blood Pressure Control in
Spontaneously Hypertensive Rats. Bratisl Lek listy, 106(12): 407-411.

Laragh JH. 1992. The Renin System and Four Lines of Hypertension
Research. Nephron Heterogenity, The Calcium Connection, The Prorenin
Vasodilator Limb and Plasma Renin and Heart Attack. Hypertension, 20 : 267-
279.

Marliani, Lili. 2007, 100 Questions&Answers Hipertensi. Jakarta:


Gramedia

McKinley MJ, Albiston AL, Allen AM, Mathai ML, May CN, McAllen
RM, Oldfield BJ, Mendelsohn FA and Chai SY. 2003. The Brain Renin-
Angiotensin System: Location and Physiological Roles. Int. J. Biochem. Cell.
Biol., 35(6): 901-15

Oates JA, and Brown NJ. 2001. Antihypertensive Agents and Drugs
Therapy of Hypertension In: Hardman JG, Gilman AG (editors). The
Pharmacological Basis of Theurapeutics. 10th ed. New York: McGraw-Hill.

Rubenstein, dkk. 2007. Kedokteran Klinis. ed VI. 318-320. Jakarta :


Erlangga.

Sargowo D. 1999. Peran Endotel pada Patogenesis Penyakit


Kardiovaskular dan Program Pencegahannya. Medika 10: 643-655

Soematri D, Hindariati E, and Rudyatmoko. 2007. Peran ACE –inhibitor


pada DisfungsiEendotel dan Remodeling Kardiovaskular. http://www.tempo.
co.id/ medika/arsip/082001/pus-1.html

Taddei S, Virdis A, Ghadom L, Sudono I, and Salvetti A. 2002. Effects

Antihypertensive Drugs on Endothelial Disfunction. Drugs, 62: 265-284

http://infohidupsehat.com/?p=9 diakses tanggal 23 Februari 2011

http://www.infopenyakit.com/2008/01/penyakit-darah-tinggi-
hipertensi.html diakses tanggal 23 Februari 2011
http://file.upi.edu/Direktori/D%20%20FPMIPA/JUR.%20PEND.
%20BIOLOGI/197003311997022%20-%20HERNAWATI/FILE%206.pdf diakses tanggal
23 Februari 2011

http://www.pdfchaser.com/Hipertensi Tekanan Darah Tinggi.html diakses


tanggal 24 Februari 2011

http://www.rsbk-batam.co.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=25
diakses tanggal 24 Februari 2011

http://www.indomp3z.us/showthread.php/74506-Faktor-Resiko-dan-
Gejala-Hipertensi diakses tanggal 24 Februari 2011

http://www.kompas.com/kesehatan/news/senior/gizi/0301/23/gizi.htm
diakses tanggal 24 Februari 2011

You might also like