You are on page 1of 7

PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian
ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa
ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena
adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai
saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang
seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi.
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional
pada saat yang sama (masih) tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan
peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas
pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia
memikul beban lebih berat Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana
transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan
(enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah
pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada
gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam bahasa lebih populer
menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.
Munculnya permasalahan pendidikan tidak hanya disebabkan oleh faktor
internal dunia pendidikan itu sendiri, melainkan juga oleh faktor eksternal, yakni
“dunia lain”, utamanya dunia politik dan ekonomi. Interaksi antara dunia
pendidikan dan dunia lain sudah barang tentu merupakan suatu keniscayaan,
karena proses pendidikan tidak berada dalam kefakuman, tidak steril dari
pengaruh dunia lain, melainkan akan selalu berinteraksi secara timbal balik antara
dua dunia tersebut. Dari sinilah nampaknya yang mendorong bergesernya fungsi
pendidikan, yakni dari fungsinya yang utama sebagai pemelihara tradisi,
pemelihara nilai-nilai luhur bangsa yang kita junjung tinggi dan sekaligus sebagai
sumber inspirasi, bergeser ke fungsinya yang lain yakni fungsi pengembangan
sumberdaya manusia dalam arti ikut mempersiapkan para lulusan dari lembaga
pendidikan memasuki dunia kerja. Dengan makin bergesernya fungsi pendidikan
inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab lunturnya komitmen kita akan
pentingnya pendidikan dalam rangka character and nation building. Oleh sebab
itu, merefleksi ulang peran pendidikan nasional dalam rangka nation and character
buliding merupakan langkah yang sangat arif.
• Karakter
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut
ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang
mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan
mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula
bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Karakter berasal dari bahasa yunani charassein, yang berarti mengukir. Sifat
utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Menghilangkan
ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu, karena ukiran
melekat dan menyatu dengan bendanya.
Wardani (2008) menyatakan bahwa karakter itu merupakan ciri khas
seseorang, dan karakter tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya
karena karakter terbentuk dalam lingkungan sosial budaya tertentu.
Hamid, M (2008) bahwa karakter merupakan sikap mendasar, khas, dan unik
yang mencerminkan hubungan timbal balik dengan suatu kecakapan terbaik
seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.
Abdullah Munir (2010) menyatakan bahwa sebuah pola, baik itu pikiran,
sikap, maupun tindakan, yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat
dan sulit dihilangkan disebut sebagai karakter.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter
seseorang itu tidak dapat dirubah. Namun demikian, kondisi lingkungan atau
perjalanan hidup seseorang dapat membentuk karakter untuk menjadi lebih
baik atau menjadi lebih buruk.1

1
http://pustaka.ut.id/web/index.php
• Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran,
yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman
hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk
sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang
bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras
dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan
kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan
menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan
perhatian serius.
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga
sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga
pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa
saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada
penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka
itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut
adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat,
sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya
menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki
kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek
luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin
dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi
yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak
sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan
langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.2
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem
kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan,

2
http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.html
kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain,
setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri
(self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya
benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka
kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika
sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep
dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan
penderitaan.
• Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya
yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah
dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung
kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut.
Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama
antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih
diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali
menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau
tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui
sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih
dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang
luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang
berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan
(cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah
(discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan
pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan
menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran
khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral
Pancasila dan sebagainya. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan
di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap
karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat
mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika
untuk pembentukan karakter.3
Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa.
Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa
yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan
seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi
bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan
seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan
mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-
elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas
pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang
harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan,
faktor kelaikan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi
penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk
dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di
era global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.
Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya
ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi
materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang
didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi
menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya,
seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena
institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa
yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan.
Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang
tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu
bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?

3
http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/
articleId/200/Default.aspx
Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara
ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di
negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan
yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk
mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan
mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil
menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa.
Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan
memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu
yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas
pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh
lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know),
belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to
be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika
semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi
yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan
bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan
karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka
para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang
mereka punya.
Meskipun diyakini pendidikan dapat membentuk karakter dan membangun
bangsa, tetapi dalam kenyataan sejarah bangsa kita, pembangunan manusia
lewat pendidikan bergeser fungsinya dari fungsi menanamkan ideologi dan
mewariskan nilai-nilai budaya bangsa kepada generasi baru ke fungsi
ekonomis, yakni mempersiapkan tenaga kerja untuk bisa berpartisipasi dalam
proses produksi. Jika fungsi pertama lebih menekankan fungsi pendidikan
sebagai gejala kebudayaan, dimana pendidikan berfungsi untuk menciptakan
members of the nation-state, sebagai warga negara yang baik, yang sadar akan
hak dan kewajibannya sebagai anggota suatu masyarakat bangsa. Fungsi
kedua pendidikan lebih sebagai gejala ekonomi, yakni mempersiapkan
seseorang untuk memasuki pasar tenaga kerja lewat serangkaian proses
pembelajaran. Adanya pergeseran fungsi pendidikan ini tentu bukan tanpa
alasan. Alasannya, karena proses pendidikan tidak berlangsung dalam ruang
kosong atau dalam kefakuman, melainkan berada di tengah-tengah perubahan
masyarakat. Dalam ungkapan yang lebih spesifik, proses pendidikan itu
berinteraksi dengan “dunia lain”, utamanya dunia politik dan ekonomi.
Bahkan dunia lain tersebut berupaya keras untuk dapat mendominasi dunia
pendidikan. (Zamroni, 1993 : 147-8).
Dengan adanya kesadaran bahwa proses pendidikan berlangsung dalam
masyarakat yang selalu berubah (Fagerlind and Saha, 1983 : 196), yang
berinteraksi dengan dunia lain, utamanya dengan dunia politik dan ekonomi,
maka menjadi tidak mungkin, jika kita bangsa Indonesia hanya
mempertahankan fungsi konservatif pendidikan tanpa terlibat dalam fungsi
pendidikan yang lain yakni fungsi pengembangan sumber daya manusianya.
Dengan fungsi ini pendidikan juga ikut mempersiapkan lulusannya memasuki
dunia kerja. Meskipun demikian, bangsa Indonesia harus tetap pada
komitmennya dan merealisasikan komitmennya untuk lebih mengedepankan
aspek moralitas bangsa dalam kiprah pembangunannya, dan itu berarti
pendidikan nilai, pendidikan watak dan pendidikan moral harus lebih
dikedepankan daripada pendidikan yang lainnya, karena pendidikan nilai,
watak dan moral melandasi aspek-aspek pendidikan yang lain.4

4
http://blog.uny.ac.id/achmaddardiri/files/

You might also like