You are on page 1of 3

Galangan Kapal Kayu Lampulo

Kawasan perikanan samudra di daerah Lampulo, Banda Aceh, kini mulai berbenah, setelah diamuk
tsunami pada 26 Desember 2004. Saat itu puluhan boat yang berlabuh di tempat itu jungkir balik
dan umumnya hancur. Kondisi Lampulo awut-awutan. Tapi kini, setelah 20 bulan berlalu dari masa
bencana dahsyat itu, banyak sudah perubahan di kawasan ini. Jalan menuju Lampulo tampak
kembali semarak oleh ratusan boat nelayan berbagai ukuran yang merapat di sana.

Khusus di lahan milik Perusahaan Umum Pelabuhan Perikanan Samudra (Perum PPS) Lampulo,
berdiri instalasi pembuatan kapal kayu atau fasilitas galangan boat. Tepatnya di pojok kanan
kompleks Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Lampulo terlihat tembok setinggi tiga meter memagari
sebuah instalasi. Di dalamnnya ada dua buah bangunan besar dan kecil.

Yang pertama, bangunan gudang dengan rumah kecil yang ada di belakangnya berukuran 8 x 7
meter. Di bagian depan halaman dipenuhi timbunan kayu. Di sebelah tanggul dalam instalasi itu
terdapat bangunan besar menyerupai gudang (workshop), namun tidak berdinding. Berupa tiang-
tiang kayu diikat dengan baut dan beratap seng.

Tiga pria terlihat di dalam instalasi galangan sore itu. Mereka tengah menikmati hidangan gorengan
dan kopi hangat di atas tanggul. Potongan kayu yang bergelimpangan aromanya menyengat. Di
sanalah pemilik galangan kapal dapat ditemui. Dia seorang akademisi yang juga pengusaha.
Namanya Muhammad Adli Abdullah (40).

Diselingi tawa kecil, Adli menyambut kedatangan Aceh Magazine dengan ramah dan bersemangat.
Dari atas pagar beton terlihat sepuluh unit boat kayu berukuran 17 meter, saling berhimpit di dalam
kolam air asin berukuran 30 x 30 meter. Di depannya, bangunan berdiameter 100 x 50 meter dengan
tinggi langit-langit lebih dari 10 meter. Lima kapal kayu yang belum jadi berada di bawahnya.
Bangunan itu adalah fasilitas utama galangan, fungsinya sangat vital, yakni untuk membangun
badan kapal boat kayu.

“Sejak awal saya melihat, usaha perkapalan di Aceh memiliki peluang bisnis yang sangat besar,”
ungkap dosen Fakultas Hukum Unyiah ini.

Adli mengaku, menyewa lahan seluas dua hektare di sekitar galangan pada Perusahaan Umum
Pelabuhan Perikanan Samudra (Perum PPS) untuk waktu 20 tahun. Pembayaran dilakukannya setiap
tahun, dengan ketentuan tanah per meter Rp 6.000, sedangkan air yang dimanfaatkan untuk
galangan dia sewa Rp 3.000 per meter/tahun. “Sejak awal saya hanya memodali bisnis pembuatan
kapal di galangan ini,” jelas Direktur PT Amal Sejahtera yang berkantor pusat di kawasan
Lamnyong, Banda Aceh ini.

Sejak galangan itu berdiri pada April 2004, Sekretaris Jenderal Panglima Laot Aceh ini,
menyerahkan pimpinan usaha galangan itu kepada Yusuf (55). Secara kebetulan pada sore hari itu,
Yusuf ada di galangan.

Yusuf adalah pawang laut dari Lhokseumawe. Ahli dalam pembuatan boat, pria yang akrab
dipanggil Pawang Yusuf ini mengatakan, “Untuk boat berukuran 12 meter ke bawah rata-rata
nelayan kita di Aceh mampu membuatnya. Namun, bila ukuran boatnya lebih besar, jumlahnya
banyak, dan banyak pula komponennya yang ditambah, maka kami belum mampu,” akunya. Ia
berterus terang, pascatsunami ahli pembuat boat di Aceh sudah sangat sedikit.
1
Menurutnya, lebih dari satu tahun lalu galangan boat tersebut menerima pesanan mulai dari NGO
asing, kontraktor yang menang proyek, individual, dan nelayan. Mereka umumnya menghendaki
boat-boat besar dengan panjang mencapai 25 meter. Menyikapi hal itu, Pawang Yusuf mengajak
kenalan lamanya di Tanjungpura untuk membantu.
“Saya telah mengenal dia sejak tahun 1980. Saya ingat saat itu banyak nelayan Aceh yang bila
hendak membeli boat berukuran besar, maka harus pergi ke Tanjungbalai atau Tanjungpura, karena
di sanalah tempatnya,” ungkap Pawang Yusuf tersenyum.

Di sebelahnya berdiri Usman (50), seorang ahli kapal kayu sekaligus kepala tukang. Dialah yang
diminta Pawang Yusuf datang ke Aceh dari Tanjungpura. Awalnya Ia dikontrak untuk
menyelesaikan 15 kapal 20 GT pesanan Palang Merah Luxemburg, Belanda.

Sejak Mei 2005, Usman sudah di galangan milik Adli dan mulai bekerja dengan kecepatan tinggi.
“Kami berasal dari rumpun keluarga yang dekat. Di galangan ini ada 18 anggota keluarga kami yang
tinggal,” ucap pria berkacamata ini.

Ada tiga orang yang berkedudukan sebagai kepala tukang dan masing-masing membawahi sekitar
lima orang sebagai anak buah dalam tiga kelompok.

Usman beserta keluarga besarnya dalam proses pembuatan kapal kayu di galangan itu sebatas
pembuatan badan atau lambung kapal dan tidak membuat rumah, mengecat, atau memasang mesin.

Ada banyak pekerja asal Tanjungpura yang ke Aceh hanya khusus untuk membuat boat berukuran
besar. Menurutnya, saat ini mereka menyebar di Aceh. Di antarannya, ada yang bermukim di
Krueng Raya, Kampung Jawa, dan Lhoknga. Ahli boat kayu asal daerah Pesilap, Tanjungpura ini,
hingga saat itu telah menyelesaikan sekitar sepuluh unit kapal, berukuran 17 meter. Selebihnya
masih dalam proses pengerjaan.

Bagaimana cara membuat kapal kayu? Usman dan Pawang Yusuf sedikit memberikan ilmunya.
Bahan baku yang digunakan umumnya kayu berkualitas, kuat, fleksibel, dan tahan lama. Sebab,
kayu-kayu tersebut akan selalu berada di bawah sinaran matahari, terpaan air laut, dan tekanan
ketika acara tarik pukat dimainkan.

Menurut kedua pakar ini, setidaknya ada delapan jenis kayu yang cocok untuk membuat boat. Di
antaranya bungor, bak malu, halban, bak mane, meudang, balu, meranti, meranti batu, dan beberapa
jenis lainnya. Sementara waktu, kayu berbagai jenis tersebut diperoleh dari daerah Lamteungoh dan
Lamteuba, Aceh Besar. “Untuk saat ini kebutuhan kayu untuk galangan belum ada masalah, namun
terkadang terkendala juga,” kata Pawang Yusuf.

Dosen UIbah Haluan


Obsesi Adli Abdullah untuk memproduksi ratusan boat di Aceh pascatsunami agaknya mendapat
sambutan dari tukang-tukang boat profesional di Tanjungpura, Sumatera Utara. “Saya ingin
mengubah haluan. Kalau dulu nelayan buat kapal berukuran besar harus ke Tanjungpura, sekarang
kita ubah kiblat. Cukup kita buat di Banda Aceh saja,“ ungkap Adli sembari tertawa.

Usman, kepala tukang boat Tanjungpura tampak tersenyum ketika menyadari tawa Adli tertuju
padanya.

2
Lalu berapa harga boat-boat ini? Satu unit kapal boat 20 GT, berkisar Rp 250 juta. Harga tersebut
belum termasuk pukat. Berat maksimal boat berukuran 17 meter atau 20 GT itu mencapai 20 ton dan
hanya bisa digunakan di perairan tenang, seperti sungai dan danau. Boat yang dirancang untuk
mengarungi lautan, menurut Adli, rata-rata berat maksimumnya 8 hingga 12 ton.

“Bila melebihi ukuran itu, boat akan karam ditelan ombak,” kelakar Adli. Kalau karam, bukan cuma
haluan yang berubah, tetapi juga nasib. (Idrus Saputra)

You might also like