You are on page 1of 10

BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)

A. DEFINISI
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Sjamsuhidajat R,
1997).
Kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan urethra, sehingga hipertropi prostat
sering menghalangi pengosongan kandung kemih (Doenges, 2002).

1
B. PATOPHYSIOLOGY

2
C. ETIOLOGI
Menurut Syamsuhidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:
 Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan
testosteron dan estrogen.o Ketidakseimbangan endokrin.
 Faktor umur / usia lanjut.

 Unknown / tidak diketahui secara pasti.


D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif :
 Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa
lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.

 Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena


ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.

 Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

 Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan


waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

 Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2. Gejala Iritasi :
 Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
 Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam
hari dan pada siang hari.

 Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

3
Derajat Benigne Prostat Hyperplasia
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas
badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih
teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih
100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.

4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal
seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
 LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
 RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning,
cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrograd dilakukan apabila fungsi
ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal
(TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat
ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan
keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De
Jong, 1997).
 Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih
tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada
anterior kapsula prostat.
 Prostatektomi ParinealYaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum.

4
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat :
 Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis,
gagal ginjal.
 Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi
 Hernia / hemoroid
 Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
 Hematuria

 Sistitis dan Pielonefritis

G. PENATALAKSANAAN MEDIK
Menurut Smeltzer (2002), terapi untuk benigna hipertropi prostat (BPH) ada 2 macam yaitu
konservatif  dan operatif.
 Konservatif
Terapi konservatif dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan karena misalnya
menolak operasi, mempunyai sakit jantung berat dan kontra indikasi operasi
lainnya.Terapi konservatif yaitu mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar
karena terjadinya atau adanya infeksi sekunder dengan peran antibiotik. Terapi untuk
retensi urine yaitu dengan kateterisasi dengan 2 cara:
1) Kateterisasi intermitten, buli-buli dapat dikosongkan dan kateter segera dilepas,
beberapa pasien kemudian akan dapat miksi sendiri dengan spontan.     
2) Kateterisasi indwiling. sangat berguna terutama bila penderita dulunya juga pernah
mengalami retensi urine akut. Tiap hari hendaknya kateter dibersihkan dan tiap minggu
diganti dengan kateter baru. Pada tindakan ini hendaknya disertai dengan perlindungan
terhadap bahaya infeksi dengan memberikan juga obat sulfa atau antibiotik.
 Operatif

5
Tindakan operatif dilakukan apabila:
1) Pernah obstruksi atau retensi berulang.
2) Urine sisa lebih dari 50 cc.
3) Pada panendoskopi didapatkan trabekulasi yang jelas.
H. PROSES KEPERAWATAN
 PENGKAJIAN
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat
dikelompokkan menjadi :
 Data subyektif :
 Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
 Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
 Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan
 Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
 Data Obyektif:
 Terdapat luka insisi
 Takikardi

 Gelisah

 Tekanan darah meningkat

 Ekspresi wajah ketakutan

 Terpasang kateter

 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter.
2) Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.

3) Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh.


4) Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme
melalui kateterisasi.

6
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit,
perawatannya.

 RENCANA KEPERAWATAN

1) Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter.


o Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat
kenyamanan secara adekuat.
o Kriteria hasil:
 Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
 Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
o Intervensi:
Mandiri
a. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta
penghilang nyeri.
b. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan
tekanan darah dan denyut nadi).

c. Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah

d. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen


tegang).

e. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif. Lakukan


perawatan aseptik terapeutik.
Kolaborasi
f. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat (beri obat analgesik).

2) Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi


sekunder.
o Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin

7
o Kriteria hasil:
Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
o Intervensi :
Mandiri
a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril.
b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup.
c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab,
takikardi, dispnea).
d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah
menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau
jaringan.
e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari
kedua post operasi).

f. Ukur intake output cairan.

g. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra
indikasi.

h. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan
dan motivasi pasien untuk melakukannya.

3) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi,


hilangnya fungsi tubuh
o Tujuan :
Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi
seksualnya
o Kriteria hasil :
Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas
secara optimal.
o Intervensi :
Mandiri

8
a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan
perubahannya.
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek
prostatektomi dalam fungsi seksual.
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual.
e. Beri penjelasan penting tentang:
 Impoten terjadi pada prosedur radikal
 Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
 Adanya kemunduran ejakulasi.
f. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4
minggu) setelah operasi.

4) Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme


melalui kateterisasi
o Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi.
o Kriteria hasil:
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
 Luka insisi semakin sembuh dengan baik
o Intervensi:
Mandiri
a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan,
kebocoran).
c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan
drainage.
d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin
dressing.

e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)

9
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit,
perawatannya
o Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
o Kriteria hasil :
Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan
perawatan

o Intervensi :
Mandiri
a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit,
perawat
b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
 Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter.
 Perawatan di rumah.
 Adanya tanda-tanda hemoragi.

I. DAFTAR PUSTAKA

Doenges, et al. (2002). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.


http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/30/askep-bph/
http://gudangaskep.wordpress.com/2009/01/17/asuhan-keperawatan-bph/
http://lukmanrohimin.blogspot.com/2008/12/asuhan-keperawatan-benigna-hipertropi.html

10

You might also like