Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
A. Pendahuluan
Ajaran Islam itu diwahyukan pada nabi Muhammad saw diturunkan pada
masyarakat Arab yang tentu saja bukan suatu masyarakat yang “hampa budaya”.
Masyarakat Arab itu tentu saja memiliki tradisi-tradisi—dalam istilah hukum Islam
dikenal dengan istilah ‘urf atau ‘adah-- yang telah membudaya, melekat erat dan
menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Ketika ajaran Islam datang, tradisi-tradisi bangsa Arab itu yang baik lalu
diakomodir ke dalam ajaran Islam. Sebaliknya tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan
ajararan Islam lalu dilarang.
Kita perlu melihat bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan tradisi yang ada
di masyarakat. Di satu sisi ada ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen, tetap
karena merupakan dasar atau pondasi agama Islam. Pada sisi yang lain ada ajaran-
ajaran agama yang bersifat fleksibel; dapat berubah ketika terjadinya perubahan
dalam masyarakat. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pengertian ‘urf,
2
1
Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2, h. 363
2
Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1, h. 153
3
Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986, h. 252
4
Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, h. 273
5
Zein, op.cit, h. 153 dan Syarifuddin, op.cit, h. 363
6
Ibid
7
Ibid, h. 363-364
3
pengakuan terhadap suatu perbuatan, diketahui dan diterima oleh orang banyak.
Dengan demikian kata ‘urf mengandung konotasi baiknya perbuatan tersebut sebagai
mana penggunaannya dalam QS. al-A’raf/7: 199. Lain lagi tinjauan Musthafa Syalabi
yang membedakan keduanya dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu
digunanakan untuk jamaah atau golongan sedang kata ‘adah dapat saja berlaku pada
perorangan, sebagian orang di samping pada golongan 8 .
Ketentuan harus sesuatu yang dikenal, diakui dan diterima oleh orang banyak
pada ‘urf dan ‘adah di atas memiliki kemiripan dengan ijma’. Namun terdapat
perbedaan-perbedaan sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diakui dan diterima semua pihak.
Ijma’ tidak terwujud jika terdapat segelintir orang yang tidak setuju atau
menolak. Sedangkan ‘urf dan ‘adah cukup dilakukan atau dikenal oleh
sebagian besar orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid bukan masyarakat pada umumnya
berbeda dengan ‘urf dan ‘adah melibatkan seluruh anggota masyarakat
termasuk di antaranya adalah para mujtahid.
3. ‘Adah dan ‘urf bisa mengalami perubahan karena perubahan situasi dan
kondisi masyarakat. Sedang ijma’ sebagai sebuah dalil hukum tidak
mengalami perubahan9.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis menggunakan istilah ‘urf saja untuk
mewakili ‘urf dan ‘adah mengingat keduanya memiliki makna yang hampir sama
dan untuk konsistensi dan keseragaman penulisan.
8
Ibid, h. 364-365
9
Ibid, h. 365
4
10
Zein, op.cit, h. 154 dan Zahrah, op.cit, h. 274
11
Zuhaili, op.cit, h. 834
12
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1, h. 224
5
13
Kalau Harta Pusaka Tinggi diwariskan hanya melaui jalur perempuan, berbeda dengan harta
hasil pencaharia dalam suatu perkawinan, yang dikenal dengan Harta Pusaka Rendah. Harta ini
biasanya diwariskan kepada anak baik perempuan maupun laki-laki meurut ketentuan hukum Faraid,
hukm kewarisan Islam.
6
pengertian walad dalam ayat tersebut hanya mengacu pada anak laki-laki
saja tidak anak perempuan.
2) Penggunaan kata lahm yang berarti daging hanya untuk daging sapi
dan kambing. Jika seseorang itu bersumpah atas nama Allah tidak akan
makan lahm lalu ternyata ia makan ikan, tidaklah ia dianggap
malanggar sumpahnya. Karena menurut ‘urf dalam masyarakat
pengertian lahm itu hanya untuk daging sapi dan kambing, tidak
termasuk ikan. Pada hal secara bahasa pengertian lahm mencakup
berbagai macam daging termasuk di dalamnya ikan sebagaimana
Firman Allah QS an-Nahl/16: 14 berikut:
7
14
Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998, h. 273
15
Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975,
h. 148
16
Zuhaili, op.cit, h. 840
17
Syarifuddin, op.cit, h. 366-367
8
18
Zuhaili, op.cit, h. 842
19
Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Jakarta:
PT Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1, h. 150
20
Zein, op.cit, h. 154-155 dan Syarifudin, op.cit, h. 368
9
kesulitan dan kesempitan dalam hidup mereka. Mazhab Hanafi dan Maliki
menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang shahih
setara dengan penetapan dengan dalil syara’ 24. Dan hadis Rasulullah saw.
tentang kisah Hindun; istri Abu Sufyan yang mengadukan kebakhilan
suaminya dalam memberikan nafkah. Rasul bersabda,”khudzi min mali Abi
Sufyan ma yakfiki wa waladaki bi al-ma’ruf.”(ambillah dari harta Abi Sufyan
sesuai kebutuhan yang pantas untukmu dan anakmu). Menurut al-Qurthubi
dalam hadis ini dijadikannya ‘urf sebagai pertimbangan penetapan hukum
Syari’at oleh Rasulullah saw 25.
3. Para ulama dari masa yang berbeda, berhujjah dengan ‘urf dengan
memasukkan pertimbangan ‘urf dalam ijtihad mereka. Ini sebagai pertanda
sahnya penggunaannya, ini posisinya sama dengan ijma’ sukuti. Sebagian
mereka secara tegas menggunakannya sedang yang lain tidak
membantahnya26. Lebih lanjut ia menyatakan sesungguhnya ‘urf pada
hakikatnya berdasarkan pada dalil Syara’ yang mu’tabarah, seperti Ijma’,
mashlahah mursalah dan adz-dzri’ah. ‘Urf yang berdasarkan Ijma’ antara
lain: jual beli secara pesanan, ketentuan tentang penyewaan kamar mandi
umum27. Syatibi mendasarkan bahwasan ijma’ ulama menyatakan bahwa
sesungguhnya syari’at Islam itu datang untuk memelihara kemaslahatan
manusia. Untuk itu wajib memperhatikan tradisi-tradisi mereka karena di
dalamnyalah terwujudnya kemaslahatan tersebut28.
4. Keberlakuan ‘urf dalam kehidupan manusia merupakan sebagai dalil bahwa ia
mendatangkan kemaslahatan bagi mereka atau melenyapkan kesulitan.
Mashlahah merupakan dalil syar’i demikian juga melenyapkan kesulitan
adalah tujuan syar’i. Ajaran Islam datang dengan mengakomodir
kemashlahatan yang telah menjadi ‘urf bangsa Arab pra Islam seperti dalam
masalah kafaah dalam perkawinan, ashabiyyah dalah perwalian dan waris, dan
kewajiban membayar diyat bagi orang membunuh secara tidak sengaja
(khatha’)29.
24
Zahrah, op.cit, h. 273
25
Barry, op.cit h. 146
26
Zaidan, op.cit, h. 255
27
Ibid
28
Zuhaili, op.cit,h. 837-838
29
Barry, loc.cit
11
mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan
enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih. QS. al-Mujadilah/58: 2-4
30
Al-Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan
anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan
atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis
masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, Jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa,
diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu
Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti
apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang
diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali
lagi.
13
‘Urf bentuk pertama dan kedua merupakan ‘urf shahih. Keduanya diterima
dan menjadi bagian dari hukum Islam itu sendiri. Eksistensinya diakui dengan
menerimaan secara eksplisit oleh nash. Sedangkan ‘urf bentuk ketiga para ulama
sepakat menolaknya karena merupakan ‘urf fasid. Karena kebiasaan yang
bertentangan dengan syari’at Islam, budaya yang luhur, sopan santun dan undang-
undang negara harus ditinggalkan meskipun kebiasaan atau tradisi itu diterima
oleh orang banyak.
34
Barry, loc.cit
35
Zuhaili, op.cit,h. 851
36
Ibid, h. 852
37
Ibid, h. 856
38
Zahrah, op.cit, h. 275
15
persoalan yang mubah karena hukum itu tidak mungkin sampai pada penghalalan
sesuatu yang diharamkan atau mengharamkan sesuatu yang halal39.
Perubahan ‘urf yang menyebabkan perubahan hukum adalah hukum-hukum
yang dibangun berdasarkan ‘urf. Tidak demikian halnya dengan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh syara’ secara qath’i. Perubahan itu tidak boleh menghapus
hukum syari’ah karena hukum kategori ini bersifat kekal. Dalam hal terjadi
perubahan ‘urf dengan pengertian mesti diberlakukannya hukum yang lain atau
bahwa hukum yang sebelumnya bersifat kekal tetapi perubahan ‘urf menyebabkan
perlunya penyempurnaan dalam pelaksanaan hukum tersebut seperti masalah
‘adalah dalam persaksian (pada bagian perubahan hukum disebabkan perubahan
‘urf dalam Masyarakat).
Pengetahuan tentang kondisi masyarakat ini sangat urgen dimiliki dan
merupakan persyaratan seorang mujtahid. Banyak hukum yang berubah sesuai
dengan terjadinya perubahan zaman. Memaksakan pelaksanaan hukum yang lama
sementara hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman akan
menimbulkan kesulitan dan kesusahan bagi manusia. Hal ini tidak sesuai dengan
ketentuan dasar syari’ah yang dibangun berlandaskan ringan, mudah, menolak
kemudaratan dan kerusakan bagi manusia40.
Fiqh itu sebagian besarnya disandarkan para fuqaha kepada ‘urf yang berlaku
pada masyarakat semasa mereka hidup. Al-Qarafi menyatakan bahwa menetapkan
hukum yang disandarkan kepada ‘urf yang telah berubah (namun hukum tersebut
tidak turut berubah) adalah perbuatan menyalahi ijma’dan merupakan suatu
kebodohan dalam agama. Setiap hukum dalam syari’at itu mengikuti ‘urf.
Terjadinya perubahan hukum ketika ‘urf itu berubah sesuai dengan tuntutan dari
‘urf yang baru. Seseorang yang berijtihad dalam hal ini harus memiliki kapabilitas
sebagai mujtahid41. ‘Urf harus dijadikan pertimbangan dalam penetapan suatu
keputusan dan fatwa.
Seorang Faqih tidak boleh menetapkan hukum atau berfatwa dengan
mendasarkan pada ‘urf yang bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok dalam
agama. Kecuali pemberlakuan ‘urf itu merupakan sesuatu yang dharurah, tidak
boleh berdasarkan pada suatu kebodohan dan keinginan hawa nafsu semata
39
Hasaballah, op.cit, h. 274
40
Zahrah, loc.cit dan Barry, op.cit h. 150
41
Zahrah, loc.cit dan Barry, op.cit h. 150
Ibid, h. 152
16
42
Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut:
Dar al-Qalam, 1972, h. 147
43
Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2, h. 143-144
44
Zuhaili, op.cit,h. 848-849
17
yang ada dalam masyarakat harus dipaksa untuk menunaikan hak istrinya
tersebut49.
5. Penyewaan barang wakaf dalam mazhab Hanafi tidak ditentukan jangka
waktunya. Lalu para ulama yang belakangan memberikan batasan waktu
tertentu. Seperti penyewaan penginapan dan gedung bertingkat tidak melebihi
satu tahun, penyewaan tanah untuk lahan pertanian biasanya selama tiga
tahun. Hal ini berdasarkan pada ‘urf yang berlaku dalam masyarakat 50.
6. Abu Hanifah melarang menjual lebah dan ulat sutra karena keduanya tidak
dikategorikan sebagai harta. Demikian ketika menqiyaskannya dengan hama
seperti katak dan tokek. Kemudian Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani
menfatwakan kebolehannya berdasarkan ‘urf 51.
7. Sebagian fuqaha menyatakan dalam pembelian rumah (yang memiliki ruang di
bagian plafonnya) yang tidak ada pernyataan termasuk dalam transaksi itu
tangganya, maka tangga tersebut tidak termasuk dalam pembelian rumah itu.
‘Urf lalu berubah dengan memasukkan tangga tersebut dalam transaksi
pembelian rumah walaupun tanpa pembuat pernyataan secara eksplisit. Karena
pemanfaatan ruangan di bagian atas rumah itu akan menyulitkan tanpa adanya
tangga itu52.
49
Ibid,. 255
50
Barry, op.cit h. 151
51
Ibid
52
Ibid
19
53
Cek lebih lanjut Zuhaili, op.cit, h. 858-863
54
Haroen, op.cit, h. 143
20
55
Zuhaili, op.cit, h. 861
56
Khallaf, op.cit, 146-147
57
Haroen, loc.cit
21
al-‘urf tsabit bi ad-dalil syar’i” dan dalam bahasa yang senada Sarakhsi
menyatakan, “ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi an-nash” bahwa permasalahan yang
ditetapkan berdasarkan ‘urf merupakan penetapan dengan dalil yang diyakini
sebagaimana halnya nash (al-Qur’an dan hadis) ketika tidak ditemukannya
nash tentang persoalan tersebut58.
8. Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin ‘ala al-
lughah.” (pengertian menurut ‘urf (‘urf lafzhi) itu yang digunakan dalam
memahami suatu istilah)59.
9. Kaedah al-haqiqah tutrak bi dilalah al-‘adah berlaku hanya pada ‘urf lafzhi.
Artinya yang dipakai adalah pengertian kata tersebut dalam kebiasaan
masyarakat bukan maknanya yang hakiki.
10. Kaedah al-isyarat al-ma’hudah li al-akhras ka al-bayan bi al-lisan (bahasa
isyarat yang diungkapkan oleh orang tuna wicara itu kedudukannya sama
dengan penjelasan secara lisan).
11. Kaedah al-kitab ka al-khitab berlaku pada ‘urf lafzhi . Kaedah kedua sampai
dengan kesebelas ini terkait dengan ‘urf lafzhi.
12. Kaedah Innama tu’tabar al-‘adah idza iththaradat aw ghalabat, artinya suatu
‘urf itu barulah dapat dijadikan landasan hukum jika ia telah menjadi tradisi
serta dipraktikkan oleh masyarakat secara umum.
13. Kaedah al-‘Ibrah li al-ghalib la li an-nadir. Kaedah ini dan kaedah kesepuluh
menjadi qayyid dari kaedah al-adah muhakkamah.
I. Penutup
Demikianlah, penulis telah berusaha menjabarkan tentang proses selektif dan
akomodatif hukum Islam terhadap tradisi-tradisi yang telah melembaga di tengah-
tengah masyarakat. Sikap inilah yang menjadikan hukum Islam itu “shalihun li
kulli zaman wa makan.”
Kiranya kita perlu menggali lebih lanjut tradisi dan potensi yang terdapat
dalam masyarakat. Proses kreatif ini untuk menjadi solusi alternatif untuk
menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang terdapat dalam
masyarakat yang sesuai dengan tuntunan Islam dus sesuai dengan local wisdom.
58
Zahrah, op.cit, h. 273
59
Zuhaili, op.cit, h. 840
22
Daftar Pustaka
Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa,
Beirut: Dar al-Qalam, 1972
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1
Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986
Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001