You are on page 1of 23

‘Urf : Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

Abstrak

Hukum Islam mengakomodir tradisi shahih yang berkembang dalam


masyarakat. Dalam proses pensyari’atan hukum Islam, Rasulullah mengadopsi tradisi
shahih masyarakat Arab pra Islam. Ulama Malikiyah pun banyak melestarikan tradisi
(a’mal) ahl al-madinah—sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi kenabian dalam
ketetapan hukum mereka.
Banyak tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat kita, tradisi
yang telah menjadi bahagian dan tidak dapat dipisahkan dari mereka. Tradisi-tradisi
tersebut yang telah lulus “penyeleksian” melalui persyaratan-persyaratan yang telah
ditentukan dalam kajian Ushul-al-Fiqh dapat dinyatakan sebagai tradisi Islam yang
bercorak kedaerahan kita—ke-Indonesiaan. Tradisi ini dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan persoalan hukum Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kata kunci: ‘urf, tradisi masyarakat, hukum Islam

A. Pendahuluan
Ajaran Islam itu diwahyukan pada nabi Muhammad saw diturunkan pada
masyarakat Arab yang tentu saja bukan suatu masyarakat yang “hampa budaya”.
Masyarakat Arab itu tentu saja memiliki tradisi-tradisi—dalam istilah hukum Islam
dikenal dengan istilah ‘urf atau ‘adah-- yang telah membudaya, melekat erat dan
menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Ketika ajaran Islam datang, tradisi-tradisi bangsa Arab itu yang baik lalu
diakomodir ke dalam ajaran Islam. Sebaliknya tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan
ajararan Islam lalu dilarang.
Kita perlu melihat bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan tradisi yang ada
di masyarakat. Di satu sisi ada ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen, tetap
karena merupakan dasar atau pondasi agama Islam. Pada sisi yang lain ada ajaran-
ajaran agama yang bersifat fleksibel; dapat berubah ketika terjadinya perubahan
dalam masyarakat. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pengertian ‘urf,
2

macam, landasan pensyari’atan, syarat penerimaan, serta posisinya dalam legislasi


hukum Islam.
B. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu berarti sesuatu yang
dikenal1, sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat 2. Sedangkan
secara terminologi, sebagaimana dinyatakan Abdul Karim Zaidan ‘urf berarti: sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan 3. Abu
Zahrah menyatakan ‘urf adalah kebiasaan manusia dalam urusan muamalat dan
menegakkan urusan-urusan mereka4.
Di antara para ulama, ada yang menyatakan bahwa pengertian ‘urf sama dengan
‘adah, keduanya muradif5. Selanjutnya Amir Syarifuddin menyatakan bila
diperhatikan kedua kata tersebut dari segi asal penggunaan dan akar katanya, maka
terdapat perbedaan antara keduanya. Kata ‘adah berasal dari kata ‘ada, ya’udu yang
mengandung arti pengulangan (tikrar). Sesuatu dikatakan sebagai ‘adah jika telah
dilakukan secara berulang. Namun tidak ada ukuran dan banyaknya pengulangan
sehingga perbuatan tersebut dinyatakan sebagai ‘adah. Kata ‘urf tidak mengacu pada
segi berulang kalinya suatu perbuatan itu dilakukan tetapi dari segi bahwa perbuatan
tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak6.
Jika kita telusuri sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena pengertian
kedua kata tersebut tidak ada perbedaan yang prinsip. Keduanya mempunyai
pengertian yang sama yaitu suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan
menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karena perbuatan tersebut telah
dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara
berulang-ulang7.
Dari segi kandungan artinya kedua kata tersebut memiliki perbedaan makna. Kata
‘adah hanya memandang dari segi pengulangan suatu perbuatan itu dilakukan dan
tidak meliputi penilaian segi baik atau buruknya perbuatan tersebut sehingga dapat
dinyatakan ia berkonotasi netral. Sedangkan ‘urf digunakan dengan memandang segi

1
Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2, h. 363
2
Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1, h. 153
3
Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986, h. 252
4
Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, h. 273
5
Zein, op.cit, h. 153 dan Syarifuddin, op.cit, h. 363
6
Ibid
7
Ibid, h. 363-364
3

pengakuan terhadap suatu perbuatan, diketahui dan diterima oleh orang banyak.
Dengan demikian kata ‘urf mengandung konotasi baiknya perbuatan tersebut sebagai
mana penggunaannya dalam QS. al-A’raf/7: 199. Lain lagi tinjauan Musthafa Syalabi
yang membedakan keduanya dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu
digunanakan untuk jamaah atau golongan sedang kata ‘adah dapat saja berlaku pada
perorangan, sebagian orang di samping pada golongan 8 .
Ketentuan harus sesuatu yang dikenal, diakui dan diterima oleh orang banyak
pada ‘urf dan ‘adah di atas memiliki kemiripan dengan ijma’. Namun terdapat
perbedaan-perbedaan sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diakui dan diterima semua pihak.
Ijma’ tidak terwujud jika terdapat segelintir orang yang tidak setuju atau
menolak. Sedangkan ‘urf dan ‘adah cukup dilakukan atau dikenal oleh
sebagian besar orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid bukan masyarakat pada umumnya
berbeda dengan ‘urf dan ‘adah melibatkan seluruh anggota masyarakat
termasuk di antaranya adalah para mujtahid.
3. ‘Adah dan ‘urf bisa mengalami perubahan karena perubahan situasi dan
kondisi masyarakat. Sedang ijma’ sebagai sebuah dalil hukum tidak
mengalami perubahan9.

Selanjutnya dalam makalah ini penulis menggunakan istilah ‘urf saja untuk
mewakili ‘urf dan ‘adah mengingat keduanya memiliki makna yang hampir sama
dan untuk konsistensi dan keseragaman penulisan.

C. Macam- Macam ‘Urf


Penggolongan ‘urf dapat ditinjau dari berbagai segi:
1. Ruang lingkup penggunaannya, terbagi menjadi:
a. Al-‘Urf al-‘am (adat kebiasaan umum), adat kebiasaan mayoritas dari
berbagai negeri pada satu masa. Contoh kebiasaan menyewa kamar mandi
umum dengan jumlah sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa
lamanya mandi dan banyaknya air yang digunakan, ketika memasuki
kolam renang/pemandian umum terkadang tak bisa dihindari terlihatnya

8
Ibid, h. 364-365
9
Ibid, h. 365
4

aurat sebagian pengunjung oleh yang lain, dan memakan buah-buahan


yang jatuh dari pohon yang terdapat di jalan umum.
b. Al-‘Urf al-khash (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku
pada masyarakat atau negeri, iklim, dan kelompok tertentu. Contoh catatan
jual beli yang dipegang oleh penjual sebagai alat bukti ketika terjadi
permasalah hutang piutang, kebiasaan tertentu dalam berjual beli, garapan
lahan pertanian10.
Al-‘Urf al-khash ini juga mencakup pengertian-pengertian tentang
suatu hal atau masalah tertentu menurut terminologi ilmu tertentu pula11.
Misal kita mengetahui pengertian sunnah menurut fuqaha, ushuliyun dan
muhadditsun. Masing-masing mereka memberikan definisi yang berbeda
untuk pengertian sunnah.
Dalam ilmu Falak kita juga mengenal metode hisab ‘urfi sebagai salah
satu metode perhitungan awal bulan Qamariyah. Hisab ‘Urfi adalah suatu
sistem perhitungan awal bulan yang didasarkan pada peredaran rata-rata
bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional.
Perhitungannya bersifat tetap seperti dalam penanggalan masehi. Dalam
artian bahwa bilangan hari pada tiap-tiap bulan dalam setiap bulannya
bersifat tetap. kecuali ada penambahan hari pada tahun kabisat. Model
perhitungan ini tidak sesuai dengan perhitugan sebenarnya peredaran
bulan. Karena perhitungan bulan dalam perhitungn tahun Qamariyah tidak
selamanya tetap tapi dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi riilnya.
Berdasarkan hal tersebut perhitungan hisab ‘urfi ini tidak dapat dijadikan
dasar dalam hal ibadah12.
Berikut ini penuliskan beberapa ‘urf yang menjadi tradisi dalam
masyarakat Minangkabau, wilayah teritorial Sumatera Barat sekarang:
1) Di pesantren-pesantren seperti Diniyah Putri, Thawalib Padang
Panjang, Sumatera Thawalib Parabek, Tarbiyah Islamiyah Candung,
dan lainnya ada suatu tradisi menutup kepala bagi perempuan yang
disebut dengan mudawarah. Yakni dengan metode melilitkan

10
Zein, op.cit, h. 154 dan Zahrah, op.cit, h. 274
11
Zuhaili, op.cit, h. 834
12
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1, h. 224
5

selendang di kepala. Inilah identitas santri putri di pesantren-pesantren


tersebut .
2) Tradisi lama dalam masyarakat Minangkabau, anak laki-laki yang
telah baligh tidur di surau. Biasanya mereka tidak lagi tidur di rumah
orang tuanya tapi di masjid/surau berkumpul dengan teman-teman
mereka lainnya. Ini dapat kita baca misalnya dalam buku Kenang-
Kenangan Hidup karya Hamka.
3) Tradisi lainnya adalah merantau, meninggalkan kampung halaman
untuk pergi ke daerah lain. Merantau ini dilakukan berdasarkan
berbagai macam motif, mulai dari dari menuntut ilmu pengetahuan,
mencari pekerjaan atau penghidupan yang lebih baik, menambah
pengalaman, dan motif-motif lainnya. Hal ini bisa kita telusuri lebih
jauh dari buku hasil disertasinya Mukhtar Na’im yang berjudul
Merantau.
4) Dalam pembagian harta pusaka dalam masyarakat Minangkabau ada
yang namanya Harta Pusaka Tinggi. Harta Pusaka Tinggi adalah harta
yang merupakan peninggalan suku/kaum secara turun temurun 13. Harta
Pusaka tinggi ini hanya diwariskan melalui jalur matrilinial. Dari
nenek diwariskan ke ibu dan saudara-saudara perempuan ibu (bibi),
selanjutnya diwariskan pada anak perempuan mereka dan seterusnya.
5) Satu lagi tradisi masyarakat Minangkabau yang akan dijelaskan adalah
tradisi “jemputan” dalam tradisi perkawinan masyarakat daerah
Pariaman—sebuah kabupaten di Sumatera Barat. Tradisi ini kadang
difahami orang di luar Sumatera Barat secara simpang siur. Dalam
tradisi masyarakat Pariaman, jika seorang pemuda akan menikah
dengan perempuan yang berasal dari daerah yang sama (sama-sama
berasal dari daerah Pariaman) biasanya pemuda itu akan memperoleh
“jemputan”. “Jemputan” ini biasanya berbentuk uang atau benda
berharga lainnya yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan
kepada pihak keluarga pemuda itu. Besaran “jemputan” itu tergantung
status sosial si pemuda. Semakin tinggi satus sosialnya, maka samakin

13
Kalau Harta Pusaka Tinggi diwariskan hanya melaui jalur perempuan, berbeda dengan harta
hasil pencaharia dalam suatu perkawinan, yang dikenal dengan Harta Pusaka Rendah. Harta ini
biasanya diwariskan kepada anak baik perempuan maupun laki-laki meurut ketentuan hukum Faraid,
hukm kewarisan Islam.
6

tinggi nilai “jemputan”nya. Setelah keduanya menikah, “jemputan” ini


merupakan modal mereka dalam berumah tangga. Tradisi ini tidak
berlaku atau lebih longgar sifatnya jika pemuda tersebut menikah
dengan perempuan yang berasal dari luar daerah itu.

2. Materi yang biasa dilakukan, terbagi menjadi:


a. ‘Urf qawli/ lughawi, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-
kata atau ucapan bukan pengertiannya secara kebahasaan.
1) Seperti penggunaan kata walad dalam QS an-Nisa/4: 11-12
           
          
          
           
            
          
             
             
            
            
    

pengertiannya mengacu pada anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan


dalam kebiasaan bangsa Arab menggunakannya khusus untuk anak laki-
laki saja. ‘Urf qauli ini misalnya digunakan ketika memahami QS. an-
Nisa/4: 176
         
            
    

pengertian walad dalam ayat tersebut hanya mengacu pada anak laki-laki
saja tidak anak perempuan.
2) Penggunaan kata lahm yang berarti daging hanya untuk daging sapi
dan kambing. Jika seseorang itu bersumpah atas nama Allah tidak akan
makan lahm lalu ternyata ia makan ikan, tidaklah ia dianggap
malanggar sumpahnya. Karena menurut ‘urf dalam masyarakat
pengertian lahm itu hanya untuk daging sapi dan kambing, tidak
termasuk ikan. Pada hal secara bahasa pengertian lahm mencakup
berbagai macam daging termasuk di dalamnya ikan sebagaimana
Firman Allah QS an-Nahl/16: 14 berikut:
7

       


       
14
     

Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu


dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu
melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.

3) Kata daabbah digunakan untuk keledai saja pada sebagian daerah di


Mesir atau pengertiannya adalah kuda pada sebagian daerah di Irak dan
Sudan15 pada hal pengartiannya dalam bahasa Arab mencakup semua
yang hewan berkaki empat.

Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin


‘ala al-lughah.” (pengertian menurut ‘urf itu yang digunakan dalam
memahami suatu istilah)16
b. ‘Urf ‘amali/ fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Berikut
contoh ‘urf ‘amali:
1) Umpamanya kebiasaan jual beli barang-barang yang murah atau
kurang berharga biasanya transaksi antara penjual dan pembeli cukup
hanya dengan menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang
tanpa terjadi akad apa-apa. Kebiasaan ini tidak menyalahi aturan akad
dalam jual beli karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat 17
2) Kriteria ‘adalah untuk diterimanya kesaksian seseorang. Firman Allah
QS ath-Thalaq/ : 2
          
            

‘Adalah diartikan sifat yang melekat pada diri seseorang sehingga ia
senantiasa bertaqwa pada Allah dan menjaga muru’ahnya. Tentang menjaga
muru’ah ini, di daerah Timur orang yang tidak menutup kepalanya dianggap
tidak menjaga muru’ah. Namun persepsinya berbeda dengan orang di Barat.

14
Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998, h. 273
15
Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975,
h. 148
16
Zuhaili, op.cit, h. 840
17
Syarifuddin, op.cit, h. 366-367
8

Ini sesuai dengan kaedah: al-‘adah muhakkamah, at-ta’yin bi al-‘urf


ka at-ta’yin bi an-nash, ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi dalilin syar’iyyin, dan
al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan 18.
‘Urf mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum. Pengaruh
itu terutama berkenaan dengan makna yang harus diberikan pada ungkapan
yang digunakan dalam hukum. Banyak ungkapan dalam bidang perikatan,
muamalat, munakahat, sumpah, nazar dan lainnya yang harus diartikan
menurut ‘urf si pembicaranya. Suatu ungkapan yang pada tempat dan
waktu tertentu dipandang jelas (sharih) mungkin saja mengalami
perubahan makna pada waktu atau tempat yang lain. Perubahan ‘urf
tentang penggunaan suatu ungkapan dapat mempengaruhi hukum 19.
3. Penilaian baik dan buruk, terdiri atas:
a. ‘Urf shahih (adat kebiasaan yang benar), yaitu suatu hal yang baik yang
menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran
agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak
laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap
hadiah bukanlah mahar. Kebiasaan penduduk Baghdad dulunya untuk
menyiapkan makan siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan
rumah.
b. ‘Urf fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi
kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan Allah
(bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara, dan sopan
santun. Seperti menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara
aurat dan kehormatannya dalam perayaan suatu perhelatan, dan akad
perniagaan yang mengandung riba20.

Para Ushuliyun memiliki pola yang berbeda-beda dalam pengklasifikasian


macam-macam ‘urf ini. Ada yang mempolakannya seperti pola di atas,
adapula yang pula yang membagi ‘urf berdasarkan benar atau salahnya lalu
‘urf yang shahih dan ‘urf fasid itu masing-masingnya terdiri dari ‘urf ‘am-

18
Zuhaili, op.cit, h. 842
19
Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Jakarta:
PT Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1, h. 150
20
Zein, op.cit, h. 154-155 dan Syarifudin, op.cit, h. 368
9

khash dan ‘urf lafzhi-‘amali. Atau mereka yang mempolakannya dengan


bentuk pemolaan lainnya.

D. Landasan Pensyari’atan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum


Para Ushuliyun sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum.
Menurut ath-Thayyib Khudari as-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh universitas al-
Azhar Kairo, menyatakan bahwa pada prinsipnya mazhab yang empat sepakat
menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum. Walaupun dalam
jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara mereka. Sehingga ‘urf
dimasukkan dalam dalil hukum yang diperselisihkan oleh para Ushuliyun21.
Di antara dalil pensyari’atan ‘urf adalah.
1. QS. al-A’raf/7: 199
       
Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Kata ‘urf dalam ayat di atas oleh Ushuliyun difahami sebagai sesuatu yang
baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Maka ayat di atas menjadi
landasan untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik yang menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat22.
Pada prinsipnya syari’at Islam menerima dan mengakui adat dan tradisi
selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Islam tidak serta
merta menghapus tradisi dalam masyarakat Arab ketika ia diturunkan. Tradisi
yang baik dilestarikan sedang tradisi yang buruk secara bertahap dihapuskan.
Sebagi contoh tradisi masyarakat Arab yang dilestarikan adalah praktek bagi
hasil dalam perdagangan (mudharabah), jual beli salam yang merupakan
kebiasaan masyarakat Madinah, dan jual beli ‘araya (jual beli kurma yang
masih “basah” yang masih di pohon dengan kurma yang sudah kering)23.
2. Hadis nabi ,”Segala sesuatu yang dianggap kaum muslimin baik, maka
demikian itu di sisi Allah adalah perbuatan yang baik”. Menurut hadis ini
perbuatan yang telah menjadi kebiasaan kaum muslimin yang dipandang baik
maka di sisi Allah merupakan perbuatan yang baik. Perbuatan yang menyalahi
kebiasaan yang dipandang baik tersebut akan menyebabkan terjadinya
21
Zein, op.cit, h. 155
22
Ibid, h. 155-156
23
Ibid, h. 156 dan Zaidan, op.cit, h. 254-255
10

kesulitan dan kesempitan dalam hidup mereka. Mazhab Hanafi dan Maliki
menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang shahih
setara dengan penetapan dengan dalil syara’ 24. Dan hadis Rasulullah saw.
tentang kisah Hindun; istri Abu Sufyan yang mengadukan kebakhilan
suaminya dalam memberikan nafkah. Rasul bersabda,”khudzi min mali Abi
Sufyan ma yakfiki wa waladaki bi al-ma’ruf.”(ambillah dari harta Abi Sufyan
sesuai kebutuhan yang pantas untukmu dan anakmu). Menurut al-Qurthubi
dalam hadis ini dijadikannya ‘urf sebagai pertimbangan penetapan hukum
Syari’at oleh Rasulullah saw 25.
3. Para ulama dari masa yang berbeda, berhujjah dengan ‘urf dengan
memasukkan pertimbangan ‘urf dalam ijtihad mereka. Ini sebagai pertanda
sahnya penggunaannya, ini posisinya sama dengan ijma’ sukuti. Sebagian
mereka secara tegas menggunakannya sedang yang lain tidak
membantahnya26. Lebih lanjut ia menyatakan sesungguhnya ‘urf pada
hakikatnya berdasarkan pada dalil Syara’ yang mu’tabarah, seperti Ijma’,
mashlahah mursalah dan adz-dzri’ah. ‘Urf yang berdasarkan Ijma’ antara
lain: jual beli secara pesanan, ketentuan tentang penyewaan kamar mandi
umum27. Syatibi mendasarkan bahwasan ijma’ ulama menyatakan bahwa
sesungguhnya syari’at Islam itu datang untuk memelihara kemaslahatan
manusia. Untuk itu wajib memperhatikan tradisi-tradisi mereka karena di
dalamnyalah terwujudnya kemaslahatan tersebut28.
4. Keberlakuan ‘urf dalam kehidupan manusia merupakan sebagai dalil bahwa ia
mendatangkan kemaslahatan bagi mereka atau melenyapkan kesulitan.
Mashlahah merupakan dalil syar’i demikian juga melenyapkan kesulitan
adalah tujuan syar’i. Ajaran Islam datang dengan mengakomodir
kemashlahatan yang telah menjadi ‘urf bangsa Arab pra Islam seperti dalam
masalah kafaah dalam perkawinan, ashabiyyah dalah perwalian dan waris, dan
kewajiban membayar diyat bagi orang membunuh secara tidak sengaja
(khatha’)29.

24
Zahrah, op.cit, h. 273
25
Barry, op.cit h. 146
26
Zaidan, op.cit, h. 255
27
Ibid
28
Zuhaili, op.cit,h. 837-838
29
Barry, loc.cit
11

Berdasarkan dalil-dalil di atas, secara istiqra’ dapat dinyatakan kehujjahan ‘urf


sebagai dalil syar’i itu tidak dapat dibantah lagi.

E. Penyerapan ‘Urf dalam Hukum Islam


Pada bagian ini kita akan melihat lebih jauh bagaimana bentuk akulturasi
hukum Islam dengan kebiasaan bangsa Arab ketika proses pewahyuan
berlangsung. Proses penyeleksian kebiasaan masyarakat tersebut berdasarkan
pada kemashlahatan yang diakui oleh syari’at. Bersadarkan penyeleksian tersebut,
‘urf dapat di kelompokkan sebagai berikut:
1. ‘Urf yang di dalamnya terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur
mudharahnya; atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudharahnya.
Kebiasaan dalam bentuk ini diterima sepenuhnya dalam hukum Islam. Sebagai
contoh hukum diyat yang harus dibayarkan oleh pelaku pembunuhan kepada
pihak keluarga yang dibunuh. Ketentuan ini berlaku dalam masyarakat Arab
pra Islam. Setelah Islam datang lalu ditetapkanlah ketentuan tersebut sebagai
bagian dari syari’at Islam.
2. ‘Urf yang secara substansial mengandung unsur mashlahah; tidak
mengandung unsur mafsadah dan mudharah. Namun dalam pelaksanaannya
tidak dipandang baik oleh syari’at Islam. Kebiasaan ini diterima sebagai
bagian dari syari’at Islam dengan mengalami perubahan dan penyesuaian.
Seperti kebiasaan menzhihar istri. Dalam tradisi bangsa Arab zhihar adalah
salah satu bentuk ungkapan suami untuk menceraikan istrinya. Namun dalam
Islam, zhihar tidak memutuskan hubungan perkawinan tetapi ia menyebabkan
terlarangnya melakukan hubungan sexual antara suami istri tersebut. Bila
keduanya ingin berhubungan lagi haruslah membayar kafarah, sebagaimana
firman Allah:
         
        
          
         
            
          
         
       

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap


isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-
ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan
12

mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan
enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih. QS. al-Mujadilah/58: 2-4

3. ‘Urf yang prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadah, tidak


memiliki unsur manfaat; atau unsur mafsadahnya lebih besar atau dominan
dari manfaatnya. Seperti kebiasaan berjudi, minum minuman yang
memabukkan, sebagimana Firman Allah:

      


        

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,


berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah30,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

dan praktik riba, yang dilarang Allah dalam firman-Nya:

        


   

30
Al-Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan
anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan
atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis
masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, Jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa,
diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu
Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti
apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang
diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali
lagi.
13

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda31 dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. QS. Ali Imram/3:130

Syari’at Islam datang melarang dan mengharamkan praktik-praktik tersebut.


4. ‘Urf yang secara prinsip mengandung unsur manfaat dan tidak terdapat di
dalamnya unsur mafsadah dengan pengertian tidak bertentangan dengan dalil
syara’. Namun keberadaannya belum terserap ke dalam syara’ baik secara
langsung maupun tidak langsung 32.

‘Urf bentuk pertama dan kedua merupakan ‘urf shahih. Keduanya diterima
dan menjadi bagian dari hukum Islam itu sendiri. Eksistensinya diakui dengan
menerimaan secara eksplisit oleh nash. Sedangkan ‘urf bentuk ketiga para ulama
sepakat menolaknya karena merupakan ‘urf fasid. Karena kebiasaan yang
bertentangan dengan syari’at Islam, budaya yang luhur, sopan santun dan undang-
undang negara harus ditinggalkan meskipun kebiasaan atau tradisi itu diterima
oleh orang banyak.

F. Perbenturan dalam ‘Urf


Berikut ini bentuk ta’arudh terkait dengan masalah ‘urf:
1. Jika ‘urf bertentangan dengan hukum yang bersifat umum yang didasarkan
pada dalil yang zhanni.
a. Jika ‘urf itu adalah ‘urf lafzhi maka ia memahami nash itu berdasarkan
pemahaman ‘urf tersebut. Seperti dalam memahami makna salat, nikah, jual
beli dan sebagainya.
b. Jika dengan ‘urf ‘amali, maka ia mentakhshish dalil zhanni
itu 33. Berikut ini beberapa contoh:
31
Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama
bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada
dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan
oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang
umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
32
Syarifuddin, op.cit, h. 369-370
33
Zuhaili, op.cit,h. 850
14

1) Membolehkan istishnaa’ berdasarkan ‘urf yang berkembang di


masyarakat yang mentakhshish hadis tetang larangan praktik jual beli
sesuatu yang belum ada bendanya.
2) Di kalangan Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan pempersyaratkan
sesuatu hal dalam berjual beli. Persyaratan itu haruslah persyaratan yang
telah menjadi ‘urf dalam masyarakat tersebut. Ini mentakhshish hadis Nabi
yang melarang jual beli bersyarat.
3) Demikian juga keumuman yang terdapat dalam QS. al-Baqarah/2:233
tentang persusuan yang ditakhshish dengan kebiasaan wanita bangsawan
Arab yang tidak menyusui sendiri anak-anak mereka34.
2. Jika ‘urf yang datang belakangan bertentangan dengan nash yang bersifat
umum. Maka berdasarkan kesepakatan para Ushuliyun maka ‘urf tersebut
tidak boleh mentakhshish nash tersebut35.
3. Jika ‘urf bertentangan dengan nash yang bersifat khusus. Jika suatu berbuatan
itu dilarang oleh syara’ karena terdapat kerusakan dan kemudharatan di
dalamnya, kemudian terdapat tradisi dalam masyarakat yang menganggap baik
larang tersebut, maka tradisi itu harus ditolak36.
4. Jika ‘urf bertentangan dengan qiyas, para ulama sepakat mengabaikan qiyas
dan mengamalkan ‘urf; sekalipun’urf itu datangnya belakangan. Karena ‘urf
itu biasanya menjadi dalil berdasarkan kebutuhan padanya dan memelihara
kemaslahatan, demikian itu lebih kuat dari qiyas. Inilah yang disebut oleh
kalangan Hanafiyah dan Malikiyah dengan Istihsan37.

G. ‘Urf dalam Legislasi Hukum Islam


Hukum-hukum yang dibangun berdasarkan Qiyas yang bersifat Zhanni
berubah sesuai dengan perubahan zaman. Dibolehkan para ulama muta’akhirin
berbeda dengan ulama mutaqaddimin ketika pendapat ulama mutaqaddimin
tersebut didasarkan pada qiyas yang disandarkan pada ‘urf/ kebiasaan-kebiasaan
mereka 38. Ali Hasaballah menyatakan, hukum-hukum yang dibangun berdasarkan
‘urf berubah dengan perubahan waktu dan tempat, yang mencakup persoalan-

34
Barry, loc.cit
35
Zuhaili, op.cit,h. 851
36
Ibid, h. 852
37
Ibid, h. 856
38
Zahrah, op.cit, h. 275
15

persoalan yang mubah karena hukum itu tidak mungkin sampai pada penghalalan
sesuatu yang diharamkan atau mengharamkan sesuatu yang halal39.
Perubahan ‘urf yang menyebabkan perubahan hukum adalah hukum-hukum
yang dibangun berdasarkan ‘urf. Tidak demikian halnya dengan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh syara’ secara qath’i. Perubahan itu tidak boleh menghapus
hukum syari’ah karena hukum kategori ini bersifat kekal. Dalam hal terjadi
perubahan ‘urf dengan pengertian mesti diberlakukannya hukum yang lain atau
bahwa hukum yang sebelumnya bersifat kekal tetapi perubahan ‘urf menyebabkan
perlunya penyempurnaan dalam pelaksanaan hukum tersebut seperti masalah
‘adalah dalam persaksian (pada bagian perubahan hukum disebabkan perubahan
‘urf dalam Masyarakat).
Pengetahuan tentang kondisi masyarakat ini sangat urgen dimiliki dan
merupakan persyaratan seorang mujtahid. Banyak hukum yang berubah sesuai
dengan terjadinya perubahan zaman. Memaksakan pelaksanaan hukum yang lama
sementara hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman akan
menimbulkan kesulitan dan kesusahan bagi manusia. Hal ini tidak sesuai dengan
ketentuan dasar syari’ah yang dibangun berlandaskan ringan, mudah, menolak
kemudaratan dan kerusakan bagi manusia40.
Fiqh itu sebagian besarnya disandarkan para fuqaha kepada ‘urf yang berlaku
pada masyarakat semasa mereka hidup. Al-Qarafi menyatakan bahwa menetapkan
hukum yang disandarkan kepada ‘urf yang telah berubah (namun hukum tersebut
tidak turut berubah) adalah perbuatan menyalahi ijma’dan merupakan suatu
kebodohan dalam agama. Setiap hukum dalam syari’at itu mengikuti ‘urf.
Terjadinya perubahan hukum ketika ‘urf itu berubah sesuai dengan tuntutan dari
‘urf yang baru. Seseorang yang berijtihad dalam hal ini harus memiliki kapabilitas
sebagai mujtahid41. ‘Urf harus dijadikan pertimbangan dalam penetapan suatu
keputusan dan fatwa.
Seorang Faqih tidak boleh menetapkan hukum atau berfatwa dengan
mendasarkan pada ‘urf yang bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok dalam
agama. Kecuali pemberlakuan ‘urf itu merupakan sesuatu yang dharurah, tidak
boleh berdasarkan pada suatu kebodohan dan keinginan hawa nafsu semata

39
Hasaballah, op.cit, h. 274
40
Zahrah, loc.cit dan Barry, op.cit h. 150
41
Zahrah, loc.cit dan Barry, op.cit h. 150
Ibid, h. 152
16

Hukum yang didasari oleh suatu keadaan yang dharurah diberlakukanlah


dispensasi; yang dikenal dengan rukhshah. Hal ini harus berdasarkan ijtihad dari
si faqih 42.
‘Urf yang termasuk kategori shahih atau fasid telah jelas posisinya dalam
ajaran Islam. Untuk mengikapi tentang ‘urf yang secara prinsip mengandung
unsur manfaat dan tidak terdapat di dalamnya unsur mafsadah dengan pengertian
tidak bertentangan dengan dalil syara’. Namun keberadaannya belum terserap ke
dalam syara’ baik secara langsung maupun tidak langsung, para ulama
memberikan standar dalam penerimaan ‘urf tersebut sebagai berikut:
1. Termasuk ‘urf shahih, dengan pengertian tidak bertentangan dengan al-Qur’an
dan Sunnah, sopan santun, dan budaya yang luhur.
2. Bersifat umum—minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk suatu
negeri.
3. ‘Urf itu sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
kepadanya.
4. Tidak terdapat ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘urf tersebut. Sebab jika terdapat dua orang yang melakukan suatu
akad kesepakatan untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum.
Maka yang diberlakukan adalah hasil kesepakatan bukan ‘urf 43. Hal ini sesuai
dengan kaedah ,”la ‘ibrah li ad-dalalah fi maqam at-tashrih” dan “al-ma’ruf
syarthan ka al-masyruth syarthan”44. Misalnya ketika seseorang membeli
sebuah lemari es. Terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli bahwa
lemari es tersebut akan dibawa pulang sendiri oleh si pembeli. Adapun
kebiasaan atau tradisi yang berlaku bahwa setiap pembeliaan lemari atau alat
elektronika tertentu yang besar ukurannya mendapatkan service antar dari
pihak toko dalam hal ini penjual ke alamat pembeli. Namun dalam kasus ini
tidak berlaku ‘urf atau kebiasaan tersebut yang berlaku adalah kesepakatan
yang terjadi antara mereka yang bertransaksi.

42
Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut:
Dar al-Qalam, 1972, h. 147

43
Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2, h. 143-144
44
Zuhaili, op.cit,h. 848-849
17

Berikut ini disajikan beberapa contoh hukum yang mengalami perubahan


karena terjadinya perubahan zaman sehingga ‘urf masyarakatpun berubah.
1. Pembukuan sunnah terwujud pada abad kedua hijriyah atas perintah khalifah
Umar ibn Abd al-‘Aziz. Ini berdasarkan pada kekhawirannya akan hilang
lenyapnya sunnah dengan meninggalnya para penghafalnya. Larangan nabi
sebelumnya dalam penulisan sunnah ini karena kekhawatiran tercampurnya
dengan al-Qur’an. Sabda beliau, “man kataba ‘anni ghair al-Qur’an
falyamhuh.”45
2. Dalam mazhab Hanafi tidak membolehkan menerima upah dari mengajarkan
al-Qur’an dan dalam menjalankan tugas syi’ar agama. Karena yang demikian
dikategorikan sebagai ibadah dan dalam hal ibadah tidak boleh mengambil
upah/ imbalan. Tetapi tatkala manusia itu enggan mengajarkan al-Qur’an dan
menjalankan tugas syi’ar agama kecuali dengan menerima imbalan maka para
fuqaha lalu membolehkannya untuk kontinuitas pemeliharaan al-Qur’an dan
syi’ar agama46. Dalam versi yang berbeda Abd al-Karim Zaidan menyatakan
dulunya orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an itu mendapat sokongan dari
bait al-mal. Ketika bantuan itu terputus maka dibolehkan untuk menerima
upah dari tugas mengajar tersebut. Jika tidak diperbolehkan dikhawatirkan
kesibukan mereka mencari nafkah menyebabkan mereka tak dapat lagi
mengajarkan al-Qur’an47.
3. Pada masa Abu Hanifah, ia menerima persaksian seseorang tanpa ada
klarifikasi lebih lanjut kecuali dalam kasus pidana dan qishsash. Tapi pada
Abu Yusuf dan Muhammad terjadi banyak kebohongan dalam masyarakat
sehingga dalam menerima setiap kesaksian seseorang mereka mengadakan
recek dan klarifikasi terlebih dahulu 48.
4. Penerapan ayat QS al-Baqarah/2: 233
         
   
Al-Jashash dalam kitabnya Akam al-Qur’an, apabila serang perempuan
menuntut nafkah melebihi dari pada kebiasaan yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat, maka jangan diberi. Demikian juga yang pelit sehingga
memberikan nafkah yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang berkembang
45
Zuhaili, op.cit,h. h.856
46
Zahrah, op.cit, h. 276
47
Zaidan, op.cit, h. 259
48
Ibid
18

yang ada dalam masyarakat harus dipaksa untuk menunaikan hak istrinya
tersebut49.
5. Penyewaan barang wakaf dalam mazhab Hanafi tidak ditentukan jangka
waktunya. Lalu para ulama yang belakangan memberikan batasan waktu
tertentu. Seperti penyewaan penginapan dan gedung bertingkat tidak melebihi
satu tahun, penyewaan tanah untuk lahan pertanian biasanya selama tiga
tahun. Hal ini berdasarkan pada ‘urf yang berlaku dalam masyarakat 50.
6. Abu Hanifah melarang menjual lebah dan ulat sutra karena keduanya tidak
dikategorikan sebagai harta. Demikian ketika menqiyaskannya dengan hama
seperti katak dan tokek. Kemudian Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani
menfatwakan kebolehannya berdasarkan ‘urf 51.
7. Sebagian fuqaha menyatakan dalam pembelian rumah (yang memiliki ruang di
bagian plafonnya) yang tidak ada pernyataan termasuk dalam transaksi itu
tangganya, maka tangga tersebut tidak termasuk dalam pembelian rumah itu.
‘Urf lalu berubah dengan memasukkan tangga tersebut dalam transaksi
pembelian rumah walaupun tanpa pembuat pernyataan secara eksplisit. Karena
pemanfaatan ruangan di bagian atas rumah itu akan menyulitkan tanpa adanya
tangga itu52.

Dari contoh-contoh di atas kita melihat bahwasanya begitu akomodatifnya


hukum Islam itu dalam menyikapi perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Perubahan tradisi dalam masyarakat--tradisi yang menjadi landasan penetapan
suatu hukum, tentu memerlukan peninjauan ulang terhadap hukum yang tersebut
sesuai dengan telah terjadinya perubahan-perubahan dalam tradisi mereka. Hal ini
sesuai dengan kaedah dalam Ushul Fiqh,”al-hukm yaduuru ma’a ‘illatin wujudan
wa ‘adaman”.
Jika suatu hukum yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan
masyarakat itu tidak sejalan lagi dengan ritme dan tradisi yang terus berkembang
dalam masyarakat tersebut tentulah akan menimbulkan pertentangan atau
menghilangkan kemaslahatan dan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam hidup
mereka. Tentu saja ini tidak sejalan dengan ketentuan dasar syari’ah yang

49
Ibid,. 255
50
Barry, op.cit h. 151
51
Ibid
52
Ibid
19

dibangun berlandaskan ringan, mudah, menolak kemudaratan dan kerusakan bagi


manusia.
Ini bukan berarti Hukum Islam itu tidak punya prinsip. Karena sebagaimana
telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sandaran
hukum dalam Islam adalah ‘urf yang shahih-- suatu hal yang baik yang menjadi
kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan
santun, dan budaya yang luhur. Adapun ‘urf yang fasid tidak dapat dijadikan
sebagai sandaran dalam penetapan hukum Islam.
Demikian juga dengan hukum-hukum dasar dalam syari’at Islam yang
ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i, tidak dapat berubah. Hukum-hukum
yang masuk kategori ini adalah hukum-hukum yang bersifat abadi sebagai sendi
dan dasar ajaran Islam. Ia menjadi identitas dan ciri ajaran Islam. Misalnya
kewajiban melaksanakan salat lima waktu, menjalankan puasa di bulan
Ramadhan, menunaikan zakat, dan yang lainnya. Kewajiban-kewajiban itu tidak
dapat berubah walaupun misalnya terjadinya perubahan-perubahan tradisi pada
suatu masyarakat.

H. Kaedah Ushuliyyah yang Terkait dengan Pemberlakuan ‘Urf


Diterimanya ‘urf sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum Islam
memberi peluang bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab banyak permasalahan yang
tidak tertampung dalam metode qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan yang
lainnya dapat ditampung oleh ‘urf. Di antara kaedah ushuliyah yang terkait
dengan pembahasan ‘urf antara lain53:

1. Kaedah yang menyatakan bahwa hukum yang dalam pembentukannya oleh


mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf itu berubah. Ibnu Qayyim al-
Jauziyah (w. 751H) menyatakan, taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azminah
wa al-amkinah (hukum itu berubah karena ada perubahan waktu dan tempat).
Sebagai contoh ketentuan pemberian nafkah istri dan anak. Ini dapat dengan
merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tempat
seseorang itu berada 54. Dalam bahasa yang sedikit berbeda, ada ulama yang

53
Cek lebih lanjut Zuhaili, op.cit, h. 858-863
54
Haroen, op.cit, h. 143
20

menyatakan,’ la yunkir taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azman”55.


Begitulah kiranya memahami ayat berikut:
         
   

2. Kaedah al-adah muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum)


3. Kaedah Isti’mal an-nash hujjatun yajibu al-‘amal biha. Kaedah ini sama
pengertiannya dengan kaedah nomor dua.

4. Kaedah al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu yang baik itu


menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat). Sesuatu yang
telah menjadi ‘urf dalam masyarakat baik berupa perbuatan maupun perkataan
adalah untuk pengaturan hidup dan kebutuhan mereka. Apabila mereka
berkata atau menulis sesuatu yang dimaksudkan adalah sesuai dengan
pengertian yang telah mereka kenal (telah menjadi ‘urf di antara mereka).
Apabila mereka berbuat sesuatu maka mereka berbuat sesuai dengan
kebiasaan yang telah melembaga di kalangan mereka. Dan apabila mereka
mendiamkan; tidak memberi ketegasan tentang sesuatu maka yang
dimaksudkan adalah sesuatu yang sesuai dengan ‘urf mereka. Oleh sebab itu
para fuqaha menyatakan: al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu
yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat).
Dan sesungguhnya syarat dalam sebuah akad itu dipandang sah jika
merupakan keharusan dari akad itu sendiri, telah ditentkan oleh Syara’, atau
sesuatu yang berlaku dalam ‘urf 56.
5. Kaedah al-ma’ruf bain at-tujjar ka al-masyruth bainahum (kebiasaan yang
berlaku di kalangan pedagang kedudukannya sama dengan berlakunya
persyaratan di antara mereka). Kaedah ini semakna dengan kaedah
sebelumnya.
6. Kaedah at-ta’yin bi al-‘urf ka at-ta’yin bi an-nash

7. Kaedah ats-tsabit bi al-‘urf ka ats-tsabit bi an-nash ( sesuatu yang ditetapkan


berdasarkan ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash) 57. Ulama yang
mensyarah kitab Asybah wa an-Nazhai-ir, menyatakan “ats-tsabit bi

55
Zuhaili, op.cit, h. 861
56
Khallaf, op.cit, 146-147
57
Haroen, loc.cit
21

al-‘urf tsabit bi ad-dalil syar’i” dan dalam bahasa yang senada Sarakhsi
menyatakan, “ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi an-nash” bahwa permasalahan yang
ditetapkan berdasarkan ‘urf merupakan penetapan dengan dalil yang diyakini
sebagaimana halnya nash (al-Qur’an dan hadis) ketika tidak ditemukannya
nash tentang persoalan tersebut58.

8. Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin ‘ala al-
lughah.” (pengertian menurut ‘urf (‘urf lafzhi) itu yang digunakan dalam
memahami suatu istilah)59.
9. Kaedah al-haqiqah tutrak bi dilalah al-‘adah berlaku hanya pada ‘urf lafzhi.
Artinya yang dipakai adalah pengertian kata tersebut dalam kebiasaan
masyarakat bukan maknanya yang hakiki.
10. Kaedah al-isyarat al-ma’hudah li al-akhras ka al-bayan bi al-lisan (bahasa
isyarat yang diungkapkan oleh orang tuna wicara itu kedudukannya sama
dengan penjelasan secara lisan).
11. Kaedah al-kitab ka al-khitab berlaku pada ‘urf lafzhi . Kaedah kedua sampai
dengan kesebelas ini terkait dengan ‘urf lafzhi.
12. Kaedah Innama tu’tabar al-‘adah idza iththaradat aw ghalabat, artinya suatu
‘urf itu barulah dapat dijadikan landasan hukum jika ia telah menjadi tradisi
serta dipraktikkan oleh masyarakat secara umum.
13. Kaedah al-‘Ibrah li al-ghalib la li an-nadir. Kaedah ini dan kaedah kesepuluh
menjadi qayyid dari kaedah al-adah muhakkamah.

I. Penutup
Demikianlah, penulis telah berusaha menjabarkan tentang proses selektif dan
akomodatif hukum Islam terhadap tradisi-tradisi yang telah melembaga di tengah-
tengah masyarakat. Sikap inilah yang menjadikan hukum Islam itu “shalihun li
kulli zaman wa makan.”
Kiranya kita perlu menggali lebih lanjut tradisi dan potensi yang terdapat
dalam masyarakat. Proses kreatif ini untuk menjadi solusi alternatif untuk
menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang terdapat dalam
masyarakat yang sesuai dengan tuntunan Islam dus sesuai dengan local wisdom.

58
Zahrah, op.cit, h. 273
59
Zuhaili, op.cit, h. 840
22

Daftar Pustaka

Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy:


1975

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah


Press, 1992

Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2

Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998

Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa,
Beirut: Dar al-Qalam, 1972

____________, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, cet.ke-20

Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1

Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i,


Jakarta: PT Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1
23

Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2

Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986

Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1

Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001

You might also like