You are on page 1of 9

TOKOH-TOKOH MUHAMMADIYAH

A. KYAI AHMAD DAHLAN

Lahir : Yogyakarta, 1 Agustus 1868

Meninggal : Yogyakarta, 23 Februari 1923

1. Latar belakang keluarga dan pendidikan


Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan
anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan,
kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran
agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana
Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen),
Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan,
Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad
Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu
dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu
Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama
menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.
Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di
kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri,
anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan,
seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti
Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH.
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga
pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.[3]
KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
2. Pengalaman organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil
dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup
menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di
tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di
organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng
Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan
ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18
Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah
bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan
resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan,
tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan
agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena
sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta
bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan
bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam
di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-
anak priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh
hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu
baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal
22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini
hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari,
Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan
dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di
Ujung Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq
Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang
Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya
jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan
Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul
Muslimin, Syahratul Mubtadi.[5]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur
van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh
Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan
Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian
hajinya[6].
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan
dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi
dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari
masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain
berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk
proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama
hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua
belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah
AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
3. Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa
Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan
Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1.KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2.Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3.Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan
4.Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.

2. NYAI AHMAD DAHLAN


Nyai Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1872 - Yogyakarta, 31 Mei 1946) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Kauman, Yogyakarta.

Nyai Ahmad Dahlan adalah puteri Kyai Haji Muhammad Fadli, Penghulu Keraton Nyayogyokarto
Hadiningrat (nama Yogyakarta waktu itu). Nama kecilnya adalah Siti Walidah. Ia dilahirkan pada
tahun 1872 di Kampung Kauman, Yogyakarta.

Sebagai anak seorang ulama yang disegani oleh masyarakat, lebih-lebih menjabat Penghulu Kraton
Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, ia menjadi puteri 'pingitan'. Pergaulannya sangat terbatas dan
ia tidak belajar di sekolah formal. Mengaji Alquran dan ilmu agama dipandang cukup pada masa
itu.

Hampir tiap hari, sebagaimana umumnya penduduk Kampung Kauman, Siti Walidah belajar
Alquran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon). Ia adalah sosok yang sangat giat
menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.

Dahaga ilmu agama seolah terpuaskan setelah ia menikah dengan KH Ahmad Dahlan, sepupunya.
Ia mengikuti segala hal yang diajarkan oleh suaminya. Bahkan, ia kemudian mengikuti jejak KH A
Dahlan menggerakkan Muhammadiyah, yang menambah ilmu, pengalaman, dan amal baktinya.

Meskipun Nyai Dahlan hanya memperoleh pendidikan dari lingkungan keluarga, namun ia
mempunyai pandangan yang luas. Hal itu diperoleh karena pergaulannya dengan para tokoh, baik
tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun tokoh pemimpin bangsa lainnya, yang kebanyakan adalah
teman seperjuangan suaminya. Mereka antara lain adalah Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung
Karno, Kyai Haji Mas Mansyur, dan lainnya. Dia tidak merasa rendah diri terhadap mereka,
bahkan pada berbagai kesempatan, ia selalu menyampaikan nasihat-nasihat yang sangat bernilai.

Keterlibatannya dengan Muhammadiyah dimulai saat ia turut merintis kelompok pengajian wanita
Sopo Tresno, yang artinya 'siapa cinta' tahun 1914. Kelompok ini belum merupakan organisasi
tetapi hanya suatu gerakan kelompok pengajian saja, karena belum mempunyai anggaran dasar dan
peraturan lain.

Kegiatan Sopo Tresno berupa pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian oleh Kyai
Dahlan dan Nyai Dahlan. Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat Alquran dan hadis yang
mengupas tentang hak dan kewajiban perempuan. Dengan kegiatan seperti diatas diharapkan akan
timbul suatu kesadaran bagi kaum wanita tentang kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba
Allah, serta sebagai warga negara.

Dalam suatu pertemuan di rumah Nyai A Dahlan, yang dihadiri oleh Kyai Muhtar, Kyai Ahmad
Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin, dan pengurus Muhammadiyah lainnya, timbul
pemikiran untuk mengubah Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi wanita Islam yang mapan.

Semula "Fatimah" diusulkan sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati seluruh tokoh
yang hadir. Kemudian oleh almarhum Haji Fakhrudin dicetuskan nama "Aisyiyah". Semua
sepakat.

Maka pada tanggal 22 April 1917 organisasi itu diresmikan. Upacara peresmian bertepatan
waktunya dengan peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh
Muhammadiyah untuk pertama kalinya secara meriah dan besar. Siti Bariyah tampil sebagai
ketuanya. Dan pada tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Penuh tantangan tak gampang membesarkan organisasi wanita pada zaman itu. Nyai Dahlan dan
pengurus Aisyiyah berjuang membuang kepercayaan kolot yang menyebut sepak terjangnya
sebagai 'melanggar kesusilaan wanita'. Di sisi lain, ia menanamkan ide baru bahwa wanita bisa
berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki.

Nyai Dahlan memilih 'mengajari' masyarakat dengan karya nyata. Ia membuka asrama dan
sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta
huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim
perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita.

Ia bersama-sama dengan pengurus Aisyiyah, sering mengadakan perjalanan ke luar daerah sampai
ke pelosok desa untuk menyebarluaskan ide-idenya. Ia pun kerap mendatangi cabang-cabang
Aisyiyah seperti Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan
sebagainya. Karenanya, meski tidak duduk dalam pengurus Aisyiyah, organisasi itu menganggap
Nyai A Dahlan adalah Ibu Aisiyah dan juga Ibu Muhammadiyah.

Tahun 1926 saat Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai Dahlan membuat catatan
sejarah. Dialah wanita pertama yang tampil memimpin kongres itu. Saat itu, dalam sidang
'Aisyiyah yang dipandunya, duduk puluhan pria di samping mimbar. Mereka adalah wakil
pemerintah, perwakilan organisasi yang belum mempunyai bagian kewanitaan, dan wartawan.
Seluruh pembicara dalam sidang itu adalah kaum perempuan, hal yang tidak 'lumrah' pada masa
itu.

Koran Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po menulis besar-besar di halaman depan mengenai
tampilnya wanita memimpin kongres anak organisasi Muhammadiyah tersebut. Media menuliskan,
Munculnya para istri turut serta dan memimpin Bagian 'Aisyiyah, perkumpulan yang mulai tampak
dan merata di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jawa saja.

Nyai Ahmad Dahlan berpulang ke Rahmatullah, pada tanggal 31 Mei 1946. Tidak hanya kaum
Muhammadiyyah dan Aisyiyah saja yang berkabung, tapi hampir seluruh kaum Muslimin di
Indonesia. Dia dimakamkan di pemakaman di belakang Masjid Besar Kauman Jogyakarta. Menteri
Sekretaris Negara, Mr AG Pringgodigdo, mewakili pemerintah memberikan penghormatan
terakhir.

Atas jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1971 di Istana Presiden Negara Jakarta,
presiden menyerahkan secara resmi SK pengukuhannya sebagai Pahlawan Nasional. Penghargaan
itu diterima salah seorang cucunya, Ny M Wardan, isteri KHM Wardan, salah seorang ketua PP
Muhammadiyah pada waktu itu.

3. PANGERAN DIPONEGORO
Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – wafat
di Makassar, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

Asal-usul Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di
Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa
ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro
Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau
menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara
Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu
Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu
anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun,
sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen
Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat Perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan
Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat
dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan
dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir
dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu,
Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa
pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di
Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan
sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang
bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
• 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di
Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng
Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu
kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC


• 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De
Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda
telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux
pada 5 April.
• 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang
gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari
Gubernur Jenderal Van den Bosch.
• 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu
Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke
Manado.
• 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal
Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
• 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
• 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa
Makassar.

4. JENDERAL SOEDIRMAN
Jenderal Soedirman merupakan salah satu tokoh paling populer dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia adalah panglima TNI yang pertama,
tokoh agama, pendidik, tokoh Muhammadiyah sekaligus pelopor perang
gerilya di Indonesia. Jenderal Soedirman juga salah satu jenderal bintang lima
di Indonesia selain Jenderal AH Nasution, dan Jenderal Soeharto. Beliau
lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 24 Januari 1916
dan meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34
tahun karena penyakit tuberkulosis dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.

Jenderal Soedirman lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya,


Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor,
Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalan keturunan Wedana Rembang.
Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo,
seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari
Siyem. Jenderal Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah
Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah,
Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi
Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS
Muhammadiyah di Cilacap.

Pengetahuan militernya diperoleh dari pasukan Jepang melalui pendidikan. Setelah


menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa
Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan
akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima
TKR). Soedirman dikenal memiliki pribadi yang teguh pada prinsip dan keyakinan, Ia
selalu mengutamakan kepentingan orang banyak banyak dan bangsanya di atas
kepentingan pribadinya, bahkan kepentingan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut
ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya,
sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah
air, bangsa, dan negara. Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi
anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari
bahaya kelaparan.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu.
Momen tersebut digunakan Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman dan pasukannya bertempur di Banyumas, Jawa Tengah melawan Jepang dan
berhasil merebut senjata dan amunisi. Saat itu pasukan Jepang posisinya masih kuat di
Indonesia. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang
bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang
selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.

Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi


Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR
tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima
Angkatan Perang RI. Selanjutnya dia mulai menderita penyakit tuberkulosis, namun dia
tetap terjun dalam beberapa perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda yang ingin
menguasai Indonesia kembali setelah Jepang menyerah.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa
melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November
sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh
Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal
12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan
Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut
diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir
tanggal 16 Desember 1945. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa,
pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno.
Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer
atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.

Jendral Soedirman tetap terjun ke medan perang saat terjadi agresi militer Belanda II di
Ibukota Yogyakarta. Saat itu Ibukota RI dipindahkan ke Yogya karena Jakarta sudah
dikuasai Belanda.Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari
serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut,
Kondisi kesehatan Jenderal Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit
tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda,
walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia setelah Serangan Umum 1 Maret 1949.
Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga
ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi genting tersebut, Soedirman dengan
ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang gerilya.

Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke


hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit hampir tanpa pengobatan dan
perawatan medis. Soedirman pulang dari gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya
yang tidak memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah
itu Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya
melawan Belanda. Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik
Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal
Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di
Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan
sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai
Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa
jenderal di RI sampai sekarang.

You might also like