You are on page 1of 10

RISALAH

KEDUDUKAN AL-‘ADAH WA AL-‘URF


DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM

Imron Rosyadi
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

ABSTRAK
Dalam makalah ini penulis mengkaji tentang al-‘adah wa al-‘urf da-
lam bangunannya dengan hukum Islam. Dari paparan yang dijelaskan
di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan adat dalam bangunan
hukum Islam menjadi salah satu bahan untuk menetapkan hukum Islam.
Para Imam mazhab telah menggunakan adat menjadi bagian tak ter-
pisahkan dari hukum yang akan ditetapkan. Bahkan hukum dapat beru-
bah karena adanya perubahan adat dalam zaman dan tempat yang
berbeda.
Selanjutnya, dari pembahasan tentang posisi adat dalam penetapan
hukum Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran hukum Islam,
baik dalam bentuk fatwa, keputusan pengadilan, undang-undang yang
dibuat untuk masyarakat muslim dan hukum yang terdapat dalam kitab-
kitab fikih, sedikit banyak ada unsur al-‘adah. Dengan demikian,
pemikiran-pemikiran hukum ini telah menjadi turats. Dengan kata lain,
hukum Islam yang akan diterapkan untuk masyarakat dewasa ini harus
memperhatikan setting social masyarakat.

Kata Kunci: al-‘adah wa al-‘urf, hukum Islam, setting sosial.

Pendahuluan yang berkembang di tengah masyarakat.


Dalam kajian-kajian ushul fikih, al- Para ulama ushul fikih (ushuliyyun)
‘adah wa al-‘urf dipergunakan untuk mempergunakan dua kata ini secara
menjelaskan tentang suatu kebiasaan bergantian dalam menjelaskan kebiasan:

Kedudukan Al-’Adah Wa Al-’Urf dalam ... (Imron Rosyadi) 3


kadang memakai al-‘adah (selanjutnya kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari
ditulis adat) dan kadang memakai al- cara kehidupan masyarakat tertentu ma-
‘urf. Adat didefinisikan sebagai suatu ka kebiasaan seperti ini dapat dijadikan
perbuatan yang dikerjakan secara sebagai kaidah untuk menetapkan
berulang tanpa hubungan rasional kebolehan penggunaan mahar yang itu
(Musthafa Ahmad al-Zarqa’,1978: 838- sebetulnya menjadi milik istri.
839).
Sedangkan al-‘urf dimaknai Macam-macam Adat
sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik Dalam kajian ushul fikih, seperti
dalam perkataan maupun perbuatan. dibahas oleh para ushuliyyun, adat
Dengan kata lain, al-‘adah wa al-‘urf sebagai sasaran kajian, dipilah menjadi
itu adalah sesuatu yang telah biasa tiga, pertama, adat dilihat dari sisi bentuk
berlaku, diterima dan dianggap baik oleh materialnya; kedua, adat dilihat dari segi
masyarakat (Al Syatibi, tt: 197). cakupannya; dan ketiga, adat dilihat dari
Melihat pemetaan seperti dalam segi keabsahannya sebagai dalil untuk
pengertian di atas, Mushtafa Ahmad al- dijadikan sebagai salah satu sumber
Zarqa, membuat kesimpulan bahwa al- hukum Islam.
urf itu bagian dari adat karena adat lebih Kajian adat dilihat dari segi
umum daripada al-‘urf Musthafa Ahmad bentuk material. Dilihat dari aspek ini,
al-Zarqa’,1978: 843-844). Namun, bila adat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
memperhatikan kaidah yang terkait adat dalam bentuk ungkapan (qauli) atau
dengan al-‘adah wa al-‘urf ini, maka lafadh dan adat dalam bentuk praktik
dijumpai berbagai kaidah yang meng- (‘amali) (Abdul Wahab Khallaf, 1970:
gunakan dua kata ini yang memiliki 145). Adat pertama (qauli) merupakan
makna yang sama. Sebut saja sebagai kebiasaan masyarakat dalam mengguna-
misal, kaisah al-‘Adah Muhkamah dan kan ungkapan tertentu untuk mengung-
al-Tsabit bi al-‘Urf ka Tsabit bi al- kapkan sesuatu sehingga makna ung-kapan
Nash. Berdasarkan fakta ini, maka dalam itulah yang dipahami masyarakat. Menurut
konteks tulisan ini, adat dan al-‘urf Ibn al-Thayyib al-Mu‘tazily, banyak sekali
dimaknai sama. Adat atau al-‘urf yang lafadh di dalam al-Quran yang harus
kemudian menjadi salah satu aspek dipahami berdasarkan adat waktu itu.
penting dalam penetapan hukum Islam Misalnya, lafadh hurrima pa-da ayat:
itu bukan merupakan perilaku individual ‫ ﺣﺮﻣﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﳌﻴﺘﺔ‬dan ‫ﺣﺮﻣﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻻﻣﻬـﺎﺕ‬
tetapi sudah berlaku pada kebanyakan (Ibn al-Thayyib al-Mu‘tazily, tt: 192).
masyarakat di daerah tertentu. Misalnya, Sedangkan yang dimaksud dengan
di daerah tertentu dalam menetapkan adat dalam bentuk praktik (‘amali)
keperluan rumah tangga yang diambilkan adalah kebiasaan masyarakat yang
dari mahar yang diberikan suami. Kalau berkaitan dengan perbuatan biasa atau

4 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12


mu’amalah keperdataan. Yang dimak- Adapun dimaksudkan dengan
sudkan dengan perbuatan biasa di sini adat yang khusus adalah kebiasaan yang
adalah perbuatan masyarakat dalam berlaku di daerah tertentu dan dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak masyarakat tertentu. Misalnya, kebiasa-
terkait dengan kepentingan orang lain, an yang berlaku di kalangan para
seperti kebiasaan masyarakat tertentu pedagang apabila terdapat cacat tertentu
memakan makanan khusus atau me- pada barang yang dijual, maka konsumen
minum minuman tertentu, atau kebiasaan dapat mengembalikannya, namun pada
masyarakat dalam memakai pakaian daerah lain cacat yang terdapat dalam
tertentu dalam cara tertentu. Adapun adat barang yang sama, konsumen tidak da-
yang berkaitan dengan mu‘amalah pat mengembalikan barang itu (Zahrah,
perdata adalah kebiasaan masyarakat 1978: 216-217).
dalam melakukan akad atau transaksi Kajian adat dilihat dari segi
atau lainnya dengan cara tertentu. keabsahannya. Dari segi ini, adat dapat
Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam dibedakan menjadi dua, yaitu adat yang
berjual beli yang kemudian barang- shahih dan adat yang fasid (Wahbah al-
barang yang dibeli diantarkan ke rumah Zuhaili, 1978: 381). Dimaksudkan de-
pembeli oleh penjualnya bila barangnya ngan adat yang shahih adalah kebiasaan
itu berat dan besar. Contoh lain adalah yang berlaku dalam masyarakat yang
kebiasaan masyarakat dalam berjual beli tidak bertentangan dengan nash, tidak
dengan cara mengambil barang dan menghilangkan kemaslahatan dan tidak
membayar uang tanpa adanya akad pula membawa kemudaratan (Zahrah.,
secara jelas, seperti di pasar swalayan 1978: 217). Misalnya, dalam masa per-
(Al-Zarqa’, 1978: 857-872 dan Al- tunangan, pihak laki-laki memberikan
Suyuti, tt: 99-123). hadiah kepada pihak wanita, tetapi
Kajian adat dari segi cakupan. hadiah itu tidak dianggap sebagai mahar.
Dari segi cakupannya, adat terbagi men- Adapun adat yang fasid adalah
jadi dua, adat yang bersifat umum (‘am) kebiasaan yang bertentangan dengan
dan adat yang bersifat khusus (khas). dalil syara‘ dan kaidah dasar dalam
Dimaksud adat yang umum di sini adalah syara‘. Misalnya, kebiasaan manusia
kebiasaan tertentu yang berlaku secara menghalalkan riba. Contoh lain adalah
luas di seluruh masyarakat dan di seluruh soal sogok-menyogok untuk memenang-
daerah (Muh. Abu Zahrah, 1958: 217). kan perkaranya, seseorang memberi
Misalnya, dalam jual beli mobil, maka sejumlah uang kepada hakim.
seluruh alat yang diperlukan untuk
memperbaiki mobil seperti kunci, tang, Kehujjahan adat
dongkrak, dan ban cadangan, termasuk Memperhatikan uraian yang dipa-
dalam harga jual tanpa akad tersendiri. parkan di atas, para ushuliyyun sepakat

Kedudukan Al-’Adah Wa Al-’Urf dalam ... (Imron Rosyadi) 5


bahwa adat yang tidak menyalahi dalil adat sebelumnya yang telah berkembang
syara‘, baik adat yang ‘am maupun yang di masyarakat. Misalnya, kebolehan jual
khas, lafdhi maupun yang qauli dapat beli yang sudah ada sebelum Islam.
dijadikan hujjah dalam menetapkan Hadis-hadis Rasulullah SAW. juga
hukum Islam. Imam al-Qarafi, seorang banyak sekali yang mengakui eksistensi
mujtahid yang beraliran Maliki, misalnya, adat yang telah berlaku dalam masyara-
menyatakan bahwa seorang mujtahid kat, seperti hadis yang berkaitan dengan
dalam menetapkan suatu hukum harus jual beli salam (pesanan). Dalam sebuah
terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang riwayat dari Ibn Abbas dikatakan bahwa
berlaku dalam masyarakat setempat ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madi-
sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak nah, Rasulullah SAW melihat penduduk
bertentangan atau menghilangkan setempat melakukan jual beli salam. Lalu
kemaslahatan masyarakat tersebut Rasulullah SAW bersabda, siapa yang
(Abdul Aziz Dahlan, dkk, 201: 1878). melakukan jual beli salam, maka hen-
Senada dengan al-Qarafi, Imam daklah ditentukan jumlahnya, takarannya
al-Syatibi dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, dan tenggang waktunya (al-Bukhari).
berpendapat bahwa adat bisa diterima Mencermati posisi adat dan ber-
sebagai dalil untuk menetapkan hukum bagai kasus adat yang dijumpai dalam
Islam. Namun, kedua Imam tersebut hadis, para ushuliyyun kemudian
memberikan catatan, apabila tidak ada membuat kaidah-kaidah yang terkait
nash yang menjelaskan hukum suatu dengan adat ini yang pada intinya adat
masalah yang dihadapi. Misalnya, sese- bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
orang yang mempergunakan jasa peman- Kaidah-kaidah tersebut adalah (1) al-
dian umum dengan harga tertentu Adat Muhkamah (adat kebiasaan itu
padahal lamanya ia dalam kamar mandi bisa menjadi landasan hukum), (2) La
itu dan berapa jumlah air yang terpakai Yungkaru Taghayyur al-Ahkam bi
tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan Taghayyur al-Azminah wal al-Am-
umum hukum Islam tentang suatu akad, kinah (tidak diingkari bahwa perubahan
kedua hal itu harus jelas. Tetapi karena hukum disebabkan perubahan zaman
perbuatan seperti ini telah memasya- dan tempat), (3) al-Ma‘ruf Urfan ka
rakat, maka seluruh ulama mazhab al-Masyrut Syarthan (yang baik itu
menganggap sah akad tersebut. Menurut menjadi adat, sebagaimana yang
mereka, adat seperti ini termasuk adat disyaratkan itu menjadi syarat), dan (4)
dalam bentuk ‘amali. al-Tsabit bi al-Urf ka al-Tsabit bi al-
Penetapan adat sebagai hujjah Nas (yang ditetapkan melalui al-‘urf
oleh para ulama seperti disebutkan di [adapt] itu sama dengan yang ditetapkan
atas, banyak didukung oleh beberapa melalui nash), al-Haqiqah Tutraku bi
hadis yang di dalamnya mengukuhkan Dilalah al-‘Adah (makna hakiki dapat

6 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12


digantikan dengan makna berdasarkan katan secara jelas bahwa barang yang
adat) (Al-Zarqa’, 1978: 135-136). dibeli akan dibawa sendiri oleh pembeli
ke rumahnya. Padahal adat yang berlaku
Syarat Adat sebagai Dalil adalah barang yang dibeli akan diantar-
Para ulama ushuliyyun sepakat kan penjualnya ke rumah pembeli. Ini
bahwa tidak semua adat bisa dijadikan berarti bahwa ada pertentangan antara
sebagai dalil untuk menetapkan hukum adat dan yang diungkapkan secara jelas
Islam. Suatu adat baru dapat dijadikan dalam transaksi tersebut. Bila demikian
sebagai salah satu dalil dalam mene- keadaannya, maka adat yang berlaku di
tapkan hukum Islam apabila memenuhi masyarakat tidak bisa dijadikan sebagai
syarat sebagai berikut: (Al-Zarqa’, 1978: dasar untuk menetapkan hukum dalam
873-881). (1) suatu adat, baik yang jual beli tersebut.
khusus dan umum maupun yang ‘amali (4) suatu adat dapat diterima
dan qauli, berlaku secara umum. Artinya, sebagai dasar hukum Islam manakala
adat itu berlaku dalam kebanyakan kasus tidak ada nash yang mengandung hukum
yang terjadi dalam masyarakat dan dari permasalahan yang dihadapi.
keberlakuannya dianut oleh mayoritas Artinya, bila suatu permasalahan sudah
masyarakat tersebut. ada nashnya, maka adat itu tidak dapat
(2) adat yang akan dijadikan dijadikan sebagai dalil hukum Islam.
sebagai dalil hukum Islam adalah adat
yang telah berjalan sejak lama di suatu Pertentangan Adat dengan Dalil
masyarakat ketika pesoalan yang akan Syara‘.
ditetapkan hukumnya itu muncul.Artinya, Adat yang berlaku di tengah
adat yang akan dijadikan sandaran hu- masyarakat adakalanya bertentangan
kum itu lebih dahulu ada sebelum kasus dengan nash dan dalil hukum Islam
yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam lainnya. Dalam konteks ini, ushuliyyun
kaitan ini, ulama usul fikih dapat menjadi- memberikan perincian sebagai berikut:
kannya sebagai sandaran hukum dalam pertama, pertentangan adat dengan
menyelesaikan kasus hukum yang telah nash yang bersifat khusus atau terperinci.
terjadi. Jika pertentangan itu menyebabkan tidak
(3) adat yang akan dijadikan berfungsinya hukum yang ditunjuk oleh
sebagai dasar penetapan hukum tidak nash itu sendiri, maka adat seperti ini jelas
bertentangan dengan yang diungkapkan tidak dapat dijadikan dasar penetapan
secara jelas oleh para pihak dalam masa- hukum Islam. Contoh untuk konteks ini,
lah yang sedang dilakukan. Sebagai con- misalnya tentang mengadopsi anak.
toh, antara penjual dan pembeli ketika Seperti diketahui bahwa kebiasaan di
melakukan transaksi jual-beli telah zaman jahiliyah dalam mengadopsi anak,
menyepakati bahwa dengan kesepa- maka anak yang diadopsi itu statusnya

Kedudukan Al-’Adah Wa Al-’Urf dalam ... (Imron Rosyadi) 7


sejajar dengan anak kandungnya. itu, nash yang bersifat umum itu tidak
Kesejajaran ini membawa implikasi pada berlaku. Misalnya dalam sebuah hadis
anak angkat itu mendapatkan warisan dikatakan bahwa Rasulullah melarang
apabila ayah angkatnya meninggal dunia. menjual sesuatu yang tidak dimiliki manu-
Kedua, pertentangan adat dengan sia dan memberi keringanan dalam jual
nash yang bersifat umum. Menurut al- beli pesanan (HR. al-Bukhari dan Abu
Zarqa, apabila adat itu telah ada ketika Daud). Hadis Rasulullah ini bersifat
nash yang bersifat umum itu datang, umum dan berlaku untuk seluruh bentuk
maka harus dibedakan antara adat jual beli yang barangnya belum ada
lafdzi dan adat ‘amali. Apabila adat kecuali dalam jual beli pesanan. Terma-
tersebut adalah adat lafdzi, maka adat suk dalam larangan ini adalah akad
lafdzi itu bisa diterima sebagai dalil untuk istishna‘ (akad yang berkaitan dengan
mentakhsis, sehingga nash yang umum produk suatu industri). Tetapi karena
itu makhsus oleh adat lafdzi yang telah akad seperti ini sudah menjadi adat da-
berlaku tersebut, dengan syarat tidak lam berbagai masyarakat di berbagai
adanya indikator yang menunjukkan daerah, maka ijtihad para ahli usul fikih,
bahwa nash yang ‘am itu tidak dapat termasuk jumhur ulama memboleh-
dikhususkan oleh suatu adat yang kannya sesuai dengan adat yang berlaku.
berlaku. Sebagai contoh, kata-kata salat, Ketiga, adat yang telah berkem-
puasa, haji dan jual beli diartikan oleh bang di masyarakat itu terbentuknya
masyarakat dengan makna adat yang lebih kemudian dibandingkan dengan
berlaku di masyarakat kecuali ada nash yang ada, dan adat ini bertentangan
indikator yang memang menunjukkan dengan nash umum. Apabila suatu adat
bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai terbentuk setelah datangnya nash yang
dengan makna terminologinya. bersifat umum dan antara keduanya
Bagaimana kalau pertentangan terjadi petentangan, maka seluruh ulama
dengan nash bersifat umum itu adalah fikih sepakat bahwa adat seperti ini, baik
adat ‘amali? Dalam menyikapi hal ini, yang bersifat lafdzi maupun yang bersifat
para ushuliyyun berbeda pendapat ‘amali, tidak dapat dijadikan dalil dalam
tentang kehujjahannya. Ulama mazhab menetapkan hukum Islam. Karena
Hanafi berpendapat bahwa jika adat seakan-akan adat itu membatalkan nash,
‘amali itu besifat umum, maka adat padahal suatu adat itu tidak bisa mem-
tersebut dapat mengkhususkan nash batalkan. Akan tetapi, apabila ‘illat suatu
yang umum, karena pengkhususan nash nash adalah adat itu sendiri, dalam artian
tersebut tidak membuat nash itu tidak bahwa nash itu ketika turun didasarkan
dapat diamalkan. Pengkhususan itu, atas adat ‘amali sekalipun adat itu baru
menurut ulama mazhab Hanafi, hanya tercipta, maka ‘illat nash itu hilang,
sebatas adat ‘amali yang berlaku; di luar hukumnya pun berubah. Dengan demi-

8 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12


kian, apabila ‘illat yang menjadi ‘illat posisi ijma‘ menurut syara‘ ketika nash
hukum yang dikandungnya itu berubah, tidak ada. Penguatan adat daripada
maka hukumnya pun berubah. Pendapat qiyas menurut kedua mazhab itu, adalah
ini dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf, melalui metode istihsan. Demikian juga,
seorang murid Abu Hanifah. mendahulukan adat daripada al-masla-
Misalnya dalam sebuah hadis hah al-mursalah yang tidak didukung
dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan oleh nash secara khusus, juga sangat
anak gadis ketika diminta izinnya untuk dipengaruhi oleh adat karena kemasla-
dikawinkan oleh walinya adalah diamnya hatan itu sendiri berkembang sesuai
(al-Bukhari dan Muslim). Artinya bahwa, dengan perkembangan zaman dan
apabila ayah anak gadis itu mengatakan tempat (Al-Zarqa’, 1978: 914).
“saya akan menikahkan kamu dengan Mazhab Syafi‘i dan Hanbali,
Fulan, lalu anak gadis itu diam saja, maka sebagaimana yang dikemukakan Mustafa
diamnya ini menunjukkan kerelaannya, al-Zarqa, secara prinsip juga lebih
karena sudah tabiat wanita bahwa mendahulukan adat daripada qiyas dan
mereka malu untuk menyatakan kehen- al-maslahah al-mursalah, karena
daknya secara terus terang. Akan tetapi keduanya bukanlah nash, hanya dalam
sesuai dengan perkembngan zaman, para penerapannya ada beberapa perbedaan
wanita tidak malu lagi untuk menyatakan dengan mazhab Hanafi dan Maliki.
kehendaknya untuk kawin dengan Adapun dalam pertentangan adat dengan
seseorang kepada ayahnya. Menurut istihsan, karena mazhab Syafi‘i dan
ulama, adat anak gadis pada saat ini telah Hanbali tidak menerima kehujjahan
berubah. Dengan demikian, untuk istihsan, maka dengan sendirinya mere-
menikahkan anak gadis, apabila diminta ka lebih mendahulukan adat daripada
izinnya lalu ia diam saja, tidak dapat lagi istihsan. Misalnya, dalam masalah
diamnya ini dikatakan sebagai persetu- menjual buah-buahan di pohon sebelum
juannya. Oleh karena itu, hukumnya pun seluruhnya matang. Berdasarkan metode
harus berubah. Akan tetapi jumhur ulama qiyas, jual beli seperti ini tidak sah karena
tidak sepakat dengan tersebut. barang yang dijual dalam kasus ini tidak
Dalam hal pertentangan antara jelas jumlahnya dan buah-buahan itu
adat dan ijtihad, seperti qiyas, istihsan sendiri belum matang semuanya dan
dan al-maslahah al-mursalah, terdapat belum dipetik. Akan tetapi, karena jual
pula perbedaan pendapat di antara para beli seperti ini telah menjadi adat di
ulama. Mazhab Hanafi dan Maliki tengah masyarakat, maka ulama mazhab
berpendapat bahwa apabila terjadi sepakat mengatakan bahwa jual beli ini
pertentangan antara adat dengan qiyas, boleh. Muhammad Baltaji, seorang guru
maka yang diambil adalah adat karena besar Universitas Kairo, mengatakan
mereka menganggap adat menempati bahwa ketika Imam Syafi‘i berada di

Kedudukan Al-’Adah Wa Al-’Urf dalam ... (Imron Rosyadi) 9


Mesir dan setelah mengamati adat yang menurut Muhammad Baltaji dan Mustafa
berlaku di sana, ia banyak sekali al-Zarqa, seluruh ulama mazhab men-
mengeluarkan fatwa yang didasarkan jadikan adat sebagai dalil dalam mene-
pada adat tersebut bahkan banyak di tapkan hukum ketika nash yang menen-
antara fatwanya ini berbeda dengan tukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan
fatwanya ketika masih tinggal di Hijaz dan dalam pertentangan adat dengan metode
Irak (Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi, ijtihad lainnya, ulama mazhab juga
1879). menerimanya, sekalipun kuantitas pene-
Selanjutnya, Imam Syafi‘i juga rimaan tersebut berbeda. Mazhab Maliki
meninggalkan metode qiyas berdasar- dan Hanafi menerapkan konsep adat
kan hasil induksi dari pengalamannya secara luas, tetapi mazhab Syafi‘i dan
sendiri setelah mengamati adat yang Hanbali tidak demikian (Abdul Aziz
berkembang. Sebagai contoh, metode Dahlan, Ensiklopedi, 1880).
qiyas dalam masalah maksimal masa
kehamilan seorang wanita. Menurut KESIMPULAN
kaidah qiyas, kehamilan itu adalah 9 Dari paparan yang dijelaskan di
bulan, karena menurut kebiasaan selama atas, dapat disimpulkan bahwa kedu-
inilah masa kehamilan wanita. Akan dukan adat dalam bangunan hukum Islam
tetapi, Imam Syafi‘i berpendapat bahwa menjadi salah satu bahan untuk mene-
maksimal masa kehamilan seorang wanita tapkan hukum Islam. Para Imam mazhab
itu adalah 4 tahun. Fatwanya ini didasar- telah menggunakan adat menjadi bagian
kan pada penelitian dan pengalaman tak terpisahkan dari hukum yang akan
pribadinya setelah mengamati adat di ditetapkan. Bahkan hukum dapat beru-
daerah-daerah yang dikunjunginya. Oleh bah karena adanya perubahan adat
sebab itu, menurut Baltaji, tidak meng- dalam zaman dan tempat yang berbeda.
herankan apabila Imam Syafi‘i banyak Penerimaan adat sebagai bagian
fatwa yang telah dikeluarkannya setelah dari upaya untuk menetapkan hukum
ia mempelajari kebiasaan masyarakat di Islam oleh para Imam Mazhab di atas
daerah-daerah yang dikunjunginya dan menarik untuk dicermati. Fenomena ini
dari sinilah munculnya qaul qadim dan menunjukkan bahwa para Imam Maz-
qaul jadid Imam Syafi‘i. hab dalam menetapkan hukum Islam
Pada mazhab Hanbali juga terda- selalu berangkat dari kenyataan empiris
pat banyak hukum yang didasarkan yang berkembang di masyarakat. Tam-
kepda adat. Bahkan Ibn Qayyim al- paknya, para Imam Mazhab dalam
Jauziyah mengatakan bahwa suatu fatwa penetapan fatwa dimaksudkan untuk
bisa berubah karna perubahan zaman, membimbing masyarakat sehingga adat
tempat, lingkungan, niat dan adat yang berkembang di masyarakat harus
kebiasaan manusia. Oleh sebab itu, dijadikan sebagai bagian dari bahan

10 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12


penetapan fatwanya. Cara seperti ini demikian, pemikiran-pemikiran hukum ini
mengingatkan pada Basam Tibi, seorang telah menjadi turats. Oleh karena itu,
pemiklir Muslim kontomporer yang diperlukan pembaruan atas turats ini
menjadikan realitas umat Islam sebagai kalau hendak dipraktikkan dalam
dasar pijak untuk mengentas memajukan masyarakat disebabkan tempat dan
Islam. waktu yang berbeda dengan pemikiran
Para Imam Mazhab dengan demi- hukum Islam yang dibuat oleh para ulama
kian memberikan contoh yang baik terdahulu. Dengan kata lain, hukum Islam
terhadap kita bahwa fatwa hukum yang yang akan diterapkan untuk masyarakat
dikeluarkan dengan memperhatikan adat dewasa ini harus memperhatikan setting
dapat dilaksanakan dengan baik. Posisi social masyarakat.
adat dalam proses penetapan fatwa yang Dalam konteks Indonesia, ga-
penting tersebut karena adat telah diang- gasan untuk menjadikan setting social
gap menjadi kesadaran masyarakat, adat dalam produk-produk pemikiran hukum
telah menjadi bagian dari denyut nadi Islam di Indonesia telah dilakukan oleh
kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam misalnya, Hasbi as-Siddiqie dan Ha-
memahami nash, baik ayat maupun hadis, zairin. Kedua tokoh ini dengan gigih
khususnya penggunaan kata (lafadz), memperjuangkan apa yang mereka sebut
wajib untuk merujuk pada adat setempat dengan fikih Indonesia. Menurut kedua-
sehingga dapat menemukan makna yang nya, masyarakat muslim Indonesia
benar. Dari perlunya merujuk pada adat membutuhkan aturan hukum yang dida-
ini, sebetulnya para Imam Mazhab sarkan pada basis masyarakat muslim
tengah mengajarkan kepada kita tentang Indonesia sendiri. Oleh karena masya-
apa yang disebut dengan pendekatan rakat muslim Indonesia itu memiliki
historis dalam kajian-kajian keagamaan. kompleksitas yang berbeda dengan
Selanjutnya, dari pembahasan masyarakat di luar Indonesia, maka
tentang posisi adat dalam penetapan adalah suatu yang dipaksakan bila hukum
hukum Islam di atas, dapat disimpulkan diterapkan untuk masyarakat muslim
bahwa pemikiran hukum Islam, baik Indonesia itu hukum Islam yang diam-
dalam bentuk fatwa, keputusan penga- bilkan dari hukum Islam yang ditetapkan
dilan, undang-undang yang dibuat untuk berdasarkan adat masyarakat lain. Apa
masyarakat muslim dan hukum yang yang dikemukakan oleh Hasbi dan
terdapat dalam kitab-kitab fikih, sedikit Hazairin itulah yang otentik untuk Indo-
banyak ada unsure al-‘adah. Dengan nesia. Wallahu A‘lam bi al-Shawab.

Kedudukan Al-’Adah Wa Al-’Urf dalam ... (Imron Rosyadi) 11


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001), Jilid 6.
Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri‘ al-Islamy fi Ma La Nashsha Fihi
(Kairo: Dar al-Qalam, 1970).
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Rineka Cipta, 1999).
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), 135-136.
Ibn al-Thayyib al-Mu‘tazily, Al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, tth.).
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi‘i (Bandung:
Rosda, 2001).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Adaby, 1958).
Musthafa Ahmad al-Zarqa’, Al-Mazkhal al-Fiqhy al-‘Am (Damaskus: Dar al-Fikr,
1978), Jilid I dan II.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), Jilid II.
Al-Suyuti Al-Asybah wa al-Nadhair (Singapura: Sulaiman Mar‘i, tth.).
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Kitab,
1978).

12 SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12

You might also like