You are on page 1of 4

BAB.

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara endemik untuk penyakit filariasis


(kaki gajah). Di Indonesia penyakit filariasis (kaki gajah) tersebar luas hampir
di seluruh Propinsi. Berdasarkan laporan hasil survei pada tahun 2000 yang
lalu, tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas yang tersebar di 231
Kabupaten dari 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus
kronis 6233 orang. Penyakit filariasi (kaki gajah) ini ditemukan pertama kali di
jakarta pada tahun 1889(Pusat Informasi Penyakit Infeksi Khususnya
HIV/AIDS, 2005). Berdasarkan rapid mapping tahun 2000 wilayah Indonesia
yang menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah Istimewa
Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing
1908 dan 1706 kasus kronis. Menurut Barodji (1990 –1995) bahwa wilayah
Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit kaki gajah yang
disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan Brugia timori. Menurut
Partono (1972), penyakit filariasis (kaki gajah) ditemukan di Sulawesi.
Penyakit filariasis jug di temukan di Kalimantan (Soedomo, 1980). Kemudian
penyakit ini ditemukan di Sumatra(Suzuki, 1981). Penyebab penyakit filariasi
(kaki gajah) yang di temukan di Sulawasi, Kalimantan, dan Sumatra adalah
cacing Brugia malayi.

Cacing Wuchereria bancrofti, Brugia timori, dan Brugia malayi


marupakan vektor penular penyakit filariasis (kaki gajah). Cacing tersebut
dapat ditularkan dari orang satu ke orang yang lain melalui nyamuk yang
mengandung microfilaria (cacing filaria kecil) dari cacing tersebut.
Microfilaria diperoleh oleh nyamuk dari menggigit orang yang menderita
penyakit filariasis(Pusat Informasi Penyakit Infeksi Khususnya HIV/AIDS,
2005). Penyakit filariasis adalah penyakit menular yang bersifat kronis yaitu
cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki (seperti kaki gajah)
dan pembesaran bagian-bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong buah
zakar, payudara dan alat kelamin baik wanita maupun pria. Spesies nyamuk di
Indonesia yang di ketahui sebagai penular penyakit filariasis (kaki gajah),
antara lain; spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes &
Armigeres(Pusat Informasi Penyakit Infeksi Khususnya HIV/AIDS, 2005).

Spesies nyamuk yang sering sekali ditemukan sebagai penular penyait


filariasis adalah spesies nyamuk dari genus Culex(Brown, 1979;Gandagusada,
1998 dalam Virgantoro, 2003). Nyamuk Culex sp. dapat bertelur sebanyak 100
sampai 250 butir(Borror, 1992;Floore, 2000 dalam Virgantoro, 2003).
Banyaknya telur yang dihasilkan oleh nyamuk Culex sp. Memberikan peluang
perkembangan dan persebaran yang sangat tinggi. Bila keadaan ini dibiarkan
begitu saja maka akan berakhibat bertambahnya penderita penyakit filariasis.
Upaya yang dilakukan untuk menekan terjadinya penyakit filariasis dan untuk
mengendalikan perkembangan nyamuk Culex sp. antara lain dengan cara
kimia, cara fisik dan pengendalian hayati. Upaya pengendalian nyamuk dewasa
ini masih di titik beratkan pada penggunaan insektisida kimia. Perlu
diperhatiakan bahwa akhibat penggunaan insektisida kimia yang berulang-
ulang akan menimbulkan masalah baru yaitu membunuh serangga bukan target
dan timbulnya resistensi vektor(Widiyanti dan Mulyadihardja, 2004).

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida kimiawi,


telah merangsang para pakar untuk mencari alternatil lain yaitu dengan cara
penggendalian hayati. Penggunaan pengendalian hayati diduga akan
mengurangi pembasmian hama yang bukan target dan juga akan mengurangi
beban ekonomi para petani karena mudah didapat, harganya murah dan efektif
sebagai pengganti insektisida kimiawi. Pengendalian hayati yang mendapat
prioritas utama adalah pengendalian hayati dengan menggunakan jamur
entomopatogenik Metarhizium anisopliae. Jamur Metarhizium anisopliae
dinyatakan memiliki aktivitas larvasidal karena menghasilkan cyclopeptida,
destruxin A, B, C, D, dan E dan desmethyldestruxin. Efek dari destruxin
berpengaruh terhadap organel sel target, dan menyebabkan paralisa sel serta
kelainan fungsi lambung tengah, tubulus malphigi, hemocyt, dan jaringan otot
hama target(Widiyanti dan Mulyadihardja, 2004).

Berdasarkan latar belakang diataas maka perlu diadakan penelitian


toksisitas jamur Metarhizium anosipliae terhadap larva nyamuk Culex sp.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalanya adalah


Bagaimana toksisitas jamur Metarhizium anisopliae terhadap larva nyamuk
Culex sp.

1.3 Batasan Masalah

Larva nyamuk Culex sp. yang didunakan adalah stadium instar I, II, dan III
dalam 1 tempat.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah


untuk menguji toksisitas jamur Metarhizium anisopliae terhadap larva nyamuk
Culex sp.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu Biologi, mengenai


toksisitas jamur Metarhizium anisopliae terhadap larva nyamuk Culex sp.

1.5.2 Manfaat Bagi Lembaga

Untuk memberikan sumbangan pemikiran sebagai motivasi untuk


melakukan penelitian lebih lanjut mengenai segala hal yang berkaitan dengan
jamur Metarhizium anisopliae.
1.5.3 Manfaat Bagi Masyarakat

a. Unutk memberikan informasi baru dalam pemberantasan nyamuk


Culex sp. dengan menggunakan jamur Metarhizium anisopliae.

b. Untuk memberikan informasi baru bahwa jamur Metarhizium


anisopliae berpotensi sebagai agen hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai
insektisida.

c. Untuk memberikan informasi baru bahwa insektisida dari jamur


Metarhizium anisopliae efektif dan lebih aman dalam pemberantasan
insekta khususnya ordo Diptera.

You might also like