Professional Documents
Culture Documents
Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 mengubah posisi politik DPR dan pemilu tahun
1999 memberikannya legitimasi nyata untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade. Pemilihan
DPR dalam pemilu berikutnya di tahun 2004 sangat berbeda akibat dari reformasi konstitusional.
Kekuatan untuk menghapus Presiden diambil alih dalam reformasi konstitusional 1999-2003,
tetapi kekuasaan legislatif dan pengawasan DPR meningkat dan pemisahan kekuasaan antara dua
cabang pemerintahan diklarifikasi. Makalah ini telah menunjukkan bahwa DPR telah mengakhiri
monopolinya atas pengambilan keputusan sepihak setelah dilaksanakan oleh Presiden dan
pemerintah dan telah menjadi wadah bagi pemain baru dalam proses politik.
DPR baru memiliki berbagai peningkatan kekuasaan legislatif dan pengawasan namun
peran sebelumnya dalam memilih Presiden dicabut dan hubungannya dengan pemerintah
eksekutif menjadi lebih jelas digambarkan. Sebelum amandemen konstitusi (proses dimulai pada
bulan November 1999 dan selesai pada bulan Agustus 2002), pemisahan kekuasaan hadir dalam
sistem presidensial yang rumit dengan adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau
Komite Permusyawaratan Rakyat. MPR, secara teoritis merupakan badan tertinggi di Republik
dan bertanggung jawab pada pemilihan presiden dan peletakan garis-garis besar haluan negara
(GBHN) yang dimaksudkan untuk menjadi prinsip-prinsip umum, memandu kegiatan semua
organ negara, termasuk DPR, dalam periode berikutnya. Pada periode ini terjadi bias Jabatan
yaitu anggota MPR Juga merupakan anggota DPR dan berhak menetapkan atau menurunkan
presiden. Hal ini tidak diperhatikan pada masa kepemimpinan Soeharto dan akhirnya
diselenggarakan oleh sejumlah LSM. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa orde baru
pernah menjadi sistem “eksekutif kasar", peningkatan kekuatan DPR sebagaimana dicontohkan
oleh penghapusan pemerintahan Wahid telah mengayunkan keseimbangan terlalu jauh dan
menciptakan konstitusi "legislatif berat". MPR tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menetapkan
GBHN, hal tersebut mengakhiri perannya sebagai kuasi-legislatif. MPR saat ini terdiri dari
anggota DPR dan anggota kamar baru yaitu DPD, Dewan Perwakilan Daerah yang dirancang
untuk meningkatkan partisipasi daerah dalam pemerintahan nasional dan untuk menggantikan
perwakilan daerah yang lama di MPR. Perubahan ini seringkali digambarkan sebagai
mendirikan majelis tinggi dalam parlemen bikameral. Anggota DPD Meskipun sering menyebut
diri mereka sebagai "senator", mereka tidak memiliki peran atau kekuasaan senat di Amerika
Serikat atau seperti Inggris (House of Lords). Kekuasaan itu dibatasi oleh pemerintah, fokus
DPD adalah untuk daerahnya saja. DPR juga tetap berperan dalam prosedur untuk tuduhan
presidensil. Selain pemilihan presiden secara langsung, unsur penting lain dari reformasi
konstitusi adalah ketentuan kekuatan hukum yang lebih eksplisit kepada DPR. Anggota DPR
Cenderung menganggap status merea sebagai bagian dari lembaga yang prestisius dan kuat dan
mereka mengharap agar diperlakukan dengan cara yang tepat sebagai konsekueni dari posisi
menteri dan memberikan pendapat tentang isu-isu harian, belum mampu menggunakan fungsi
legislatif dan tinjauan kebijakan secara efektif. Kesulitan memiliki kebijakan diubah menjadi
Indonesia. Masalah ini hanya sebagian permasalahan di DPR. Parlemen Indonesia masih belum
benar-benar memiliki kekuasaan konstitusional yang independen untuk undang-undang. Hal ini
untuk bekerja di bawah bayangan sebuah veto efektif oleh pemerintah eksekutif dan dengan
hambatan prosedural dan sumberdaya hasil hubungan dengan pemerintah eksekutif yang
merupakan warisan dari era otoritarianisme presiden. Untuk bagiannya, DPR berlangsung
dengan struktur internal dan prosedur pengambilan keputusan yang rumit dan tidak kondusif
untuk akuntabilitas dan keterlibatan publik. Beberapa tahun terakhir ini merupakan waktu yang
sulit dalam politik Indonesia, namun DPR menunjukkan bahwa kedua penguasaan masih
dilaksanakan oleh penguasa dari masa lalu dan potensi untuk mengubah masa depan.