You are on page 1of 52

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Indonesia dewasa ini menghadapi era globalisasi yang sangat dahsyat.
Masyarakat menjadi makin urban dan modern. Kalau tigapuluh tahun yang lalu
masyarakat urban baru mencapai sekitar 20 persen dari seluruh penduduk
Indonesia, dewasa ini sudah mendekati 50 persen. Namun, Indonesia masih sangat
terkenal dengan sebutan negara dengan tingkat kematian ibu hamil dan
melahirkan paling tinggi di dunia. Salah satu sebabnya adalah karena masyarakat
masih miskin dan tingkat pendidikannya rendah.1
Tingkah laku masyarakat umumnya dicerminkan oleh keadaan sumber
daya manusia yang rendah mutunya itu. Untuk beberapa lama telah dikembangkan
upaya besar untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan itu.
Biarpun telah dicapai hasil yang memadai, tetapi dirasakan masih kurang cepat
dibandingkan dengan tuntutan masyarakat yang makin luas. Melihat hal itu
berlalu tanpa upaya pencegahan yang berarti, para ahli kebidanan dan penyakit
kandungan serta kelompok peduli lain tergerak hatinya dan melakukan langkah-
langkah awal yang signifikan.2
Mereka menyatu, bertekad dan berusaha membantu para ibu dan
keluarganya dengan advokasi dan upaya peningkatan pengetahuan ibu-ibu tentang
reproduksi sehat. Kelompok itu berusaha memberikan pelayanan kebidanan yang
makin meluas di masyarakat. Gerakan itu dimulai sekitar tahun 1950-1960 yang
sekaligus merupakan awal dari upaya besar-besaran menolong keluarga Indonesia
menyelamatkan para ibu dan keluarganya melalui program KB.2
Oleh karena itu, dibutuhkan lebih banyak dan lebih digencarkan lagi
program-program dan upaya-upaya untuk menurunkan angka kematian ibu agar
tercapai angka yang diharapkan, sebagaimana dicanangkan pada MDG.

1
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana membuat perencanaan Program Pendidikan dan Promosi
Penurunan Angka Kematian Ibu?
2. Program-program apa saja yang harus dilakukan untuk menurunkan
Angka Kematian Ibu?
3. Tujuan Program Pendidikan dan Promosi Penuruan Angka Kematian
Ibu?
4. Sasaran Program Pendidikan dan Promosi Penurunan Angka Kematian
Ibu ?
5. Isi Program Pendidikan dan Promosi Penurunan Angka Kematian Ibu?
6. Implementasi Program Pendidikan dan Promosi Penurunan Angka
Kematian Ibu?
7. Bagaimana Pemantauan dan Evaluasi Program?

III. Tujuan Penulisan Proposal


1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menyusun rencana
program-program yang dapat dan harus dilakukan untuk menurunkan
angka kematian ibu yang masih tinggi di Indonesia ini dan diharapkan
setelah program dilaksanakan, terjadi penurunan angka kematian ibu.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana membuat perencanaan Program
Pendidikan dan Promosi Penuruan Angka Kematian Ibu.
b. Untuk mengetahui tujuan Program Pendidikan dan Promosi
Penuruan Angka Kematian Ibu.
c. Untuk mengetahui sasaran Program Pendidikan dan Promosi
Penuruan Angka Kematian Ibu.
d. Untuk mengetahui isi Program Pendidikan dan Promosi Penuruan
Angka Kematian Ibu.

2
e. Untuk mengetahui implementasi Program Pendidikan dan Promosi
Penuruan Angka Kematian Ibu
f. Untuk mengetahui bagaimana Pemantauan dan Evaluasi Program.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Keadaan dan kecenderungan

Angka kematian ibu. Indonesia belum memiliki data statistik vital yang
langsung dapat menghitung angka Kematian Ibu (AKI). Estimasi AKI dalam
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) diperoleh dengan
mengumpulkan informasi dari saudara perempuan yang meninggal semasa
kehamilan, persalinan, atau setelah melahirkan. Tahun 1991, angka kematian ibu
di Indonesia sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. 1 Meskipun hasil survei
menunjukkan bahwa AKI di Indonesia telah turun menjadi 307 per 100.000
kelahiran hidup antara 1998–20021, hal itu perlu ditafsirkan secara hati-hati
mengingat keterbatasan metode penghitungan yang digunakan. Dari lima juta
kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu
meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan.2
AKI Kota Palembang berdasarkan Laporan Indikator Database 2005
UNFPA 6th Country Programme adalah 317 per 100.000 kelahiran, lebih rendah
dari AKI Propinsi Sumsel sebesar 467 per 100.000 kelahiran. Jumlah kematian
ibu tahun 2009 di Kota palembang sebanyak 6 orang dengan penyebabnya yaitu
preeklamsi dan pendarahan. (sumber data Bidang Pelayanan Kesehatan Kota
Palembang, 2009). Sedangkan yang diharapkan tahun 2010 adalah 125/100.000
kelahiran hidup (sumber data Depkes).3
Dengan kecenderungan seperti ini, pencapaian target MDG untuk menurunkan
AKI akan sulit bisa terwujud kecuali apabila dilakukan upaya yang lebih intensif
untuk mempercepat laju penurunannya.

4
AKI di negara lain. AKI di Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan negara negara anggota ASEAN. Risiko kematian ibu karena melahirkan di
Indonesia adalah 1 dari 65, dibandingkan dengan 1 dari 1.100 di Thailand.4
Disparitas. Seperti indikator kesehatan lain pada umumnya, terdapat perbedaan
AKI antarwilayah di Indonesia. Estimasi AKI menggunakan pendekatan PMDF
(proportion of maternal deaths of female reproductive age) tahun 1995 di lima
provinsi menunjukkan bahwa Jawa Tengah mempunyai AKI yang lebih rendah,
yaitu 248, dibandingkan adalah Papua sebesar 1.025, Maluku sebesar 796, Jawa
Barat sebesar 686, dan NTT sebesar 554 per 100.000 kelahiran hidup.3

Penyebab kematian ibu. Adalah perdarahan, eklampsia atau gangguan akibat


tekanan darah tinggi saat kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi.
Perdarahan, yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak,
bertanggung jawab atas 28 persen kematian ibu. Sebagian besar kasus perdarahan
dalam masa nifas terjadi karena retensio plasenta dan atonia uteri. Hal ini
mengindikasikan kurang baiknya manajemen tahap ketiga proses kelahiran dan
pelayanan emergensi obstetrik dan perawatan neonatal yang tepat waktu.
Eklampsia merupakan penyebab utama kedua kematian ibu, yaitu 24 persen
kematian ibu di Indonesia (rata-rata dunia adalah 12 persen) 5. Pemantauan
kehamilan secara teratur sebenarnya dapat menjamin akses terhadap perawatan
yang sederhana dan murah yang dapat mencegah kematian ibu karena eklampsia.

5
Gambar 1. Distribusi Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan5

Aborsi yang tidak aman. Bertanggung jawab ter hadap 11 persen kematian ibu
di Indonesia (ratarata dunia 13 persen). Kematian ini sebenarnya dapat dicegah
jika perempuan mempunyai akses terhadap informasi dan pelayanan kontrasepsi
serta perawatan terhadap komplikasi aborsi. Data dari SDKI 2002–2003
menunjukkan bahwa 7,2 persen kelahiran tidak diinginkan.4

Prevalensi pemakai alat kontrasepsi. Kontrasepsi modern memainkan peran


penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. SDKI 2002–2003
menunjukkan bahwa kebutuhan yang tak terpenuhi (unmet need) dalam
pemakaian kontrasepsi masih tinggi, yaitu sembilan persen dan tidak mengalami
banyak perubahan sejak 1997. Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive
Prevalence Rate) di Indonesia naik dari 50,5 persen pada 1992 menjadi 54,2
persen pada 20026 (Gambar 2 dan Tabel 1). Untuk indikator yang sama, SDKI
2002–2003 menunjukkan angka 60.3 persen.4

6
Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terlatih. Pola penyebab
kematian di atas menunjukkan bahwa pelayanan obstetrik dan neonatal darurat
serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat penting
dalam upaya penurunan kematian ibu. Walaupun sebagian besar perempuan
bersalin di rumah, tenaga terlatih dapat membantu mengenali kegawatan medis
dan membantu keluarga untuk mencari perawatan darurat. Proporsi persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 40,7 persen
pada 1992 menjadi 68,4 persen pada 2002.7 Akan tetapi, proporsi ini bervariasi
antarprovinsi dengan Sulawesi Tenggara sebagai yang terendah, yaitu 35 persen,
dan DKI Jakarta yang tertinggi, yaitu 96 persen, pada 2002 8 (Tabel 2 dan 3).
Proporsi ini juga berbeda cukup jauh mengikuti tingkat pendapatan. Pada ibu
dengan dengan pendapatan lebih tinggi, 89,2 persen kelahiran ditolong oleh
tenaga kesehatan, sementara pada golongan berpendapatan rendah hanya 21,39
persen. Hal ini menunjukkan tidak meratanya akses finansial terhadap pelayanan
kesehatan dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih terutama bidan.

Penyebab tidak langsung. Risiko kematian ibu dapat diperparah oleh adanya
anemia dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis (TB), hepatitis, dan
HIV/AIDS. Pada 1995, misalnya, prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat
tinggi, yaitu 51 persen, dan pada ibu nifas 45 persen. 10 Anemia pada ibu hamil
mempuyai dampak kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan,
meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir
rendah, serta sering menyebabkan kematian ibu dan bayi baru lahir. Faktor lain
yang berkontribusi adalah kekurangan energi kronik (KEK). Pada 2002, 17,6
persen wanita usia subur (WUS) men derita KEK. 11 Tingkat sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, faktor budaya, dan akses terhadap sarana kesehatan dan
transportasi juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian dan
kesakitan ibu. Situasi ini diidentifikasi sebagai “3 T” (terlambat). Yang pertama
adalah terlambat deteksi bahaya dini selama kehamilan, persalinan, dan nifas,
serta dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu
dan neonatal. Kedua, terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi

7
geografis dan sulitnya transportasi. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan
kesehatan yang memadai di tempat rujukan.

II. Tantangan

Meningkatnya kebutuhan. MDG menargetkan penurunan AKI sebesar tiga


perempat antara 1990 and 2015. Upaya ini menghadapi berbagai tantangan yang
cukup berat, seperti transisi demografi, desentralisasi kesehatan, pelayanan publik,
dan pendanaan. Sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Indonesia 206 juta jiwa.12 Pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia
diperkirakan meningkat menjadi 242 juta jiwa.13 Dengan kata lain, kebutuhan
pelayanan kesehatan akan meningkat.

Desentralisasi bidang kesehatan juga akan menjadi tantangan penting di tahun-


tahun mendatang. Perubahan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dan
daerah belum secara jelas terdefinisikan dan dipahami. Institusi-institusi
pemerintahan masih perlu menyesuaikan diri dengan wewenangnya yang baru,
sementara jaringan dan koordinasi di setiap level administrasi perlu terus
diperkuat. Dengan penganggaran yang juga didesentralisasikan, daerah dengan
kemampuan keuangan yang rendah akan mengalami kesulitan untuk
mengalokasikan anggaran kesehatannya karena harus pula memperhatikan
prioritas-prioritas pembangunan lain. Dalam hal ini, pusat dapat memainkan peran
penting untuk membantu kabupaten/kota dalam mengelola sumber daya mereka.
Setiap upaya dalam advokasi sangat penting untuk menjamin bahwa komitmen
untuk meningkatkan kesehatan ibu dapat dilaksanakan pada setiap tingkatan.

Pelayanan kesehatan merupakan tantangan berikutnya yang perlu ditangani.


Termasuk di dalamnya adalah kualitas pelayanan yang disediakan oleh
pemerintah dan swasta serta penanganan disparitas akses pada kelompok rentan
dan miskin. Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah bidan di desa (BDD) yang

8
menyediakan pelayanan bagi kelompok rentan dan miskin telah menurun.14
Bagaimana mengatasi situasi baru dan tidak terduga ini menjadi salah satu
tantangan bagi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Keterbatasan sumber
daya rumah tangga juga telah menghambat akses terhadap pelayanan dasar.
Karenanya, inovasi mekanisme yang meringankan beban keuangan rumah tangga
sangat diperlukan untuk menjamin akses mereka terhadap pelayanan.

Koordinasi dan pendanaan pembangunan antar institusi dan lembaga donor


sangat krusial untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan
terfragmentasinya program, sehingga peningkatan kesehatan ibu lebih mudah
dicapai. Keberlanjutan program juga menjadi tantangan yang harus diatasi dalam
tahun-tahun mendatang.

III. Upaya safe motherhood

Tahuin 1988 diadakan Lokakarya Kesejahteraan Ibu, yang merupakan


kelanjutan konferensi tentang kematian ibu di Nairobi setahuin sebelumnya.
Lokakarya bertujuan mengemukakan betapa kompleksnya masalah kematian ibu,
sehingga penanganannya perlu dilaksanakan berbagai sector dan pihak terkait.
Pada waktu itu ditandatangani kesepakatam oleh sejumlah 17 sektor. Sebagai
koordinator dalam upaya itu ditetapkan Kantor Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita ( sekarang : Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan ).

Tahun 1990-1991, Departemen Kesehatan dibantu WHO, UNICEF, dan


UNDP melaksanakan Assessment Safe Motherhood. Suatu hasil dari kegiatan ini
adalah rekomendasi Rencana Kegiatan Lima Tahun. Departemen Kesehatan
menerapkan rekomendasi tersebut dalam bentuk strategi operasional untuk
mempercepat penurunan angka kematian ibu ( AKI ). Sasarannya adalah
menurunkan AKI dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada 1986, menjadi 225
pada tahun 2000.

9
Awal tahun 1996, Departemen Kesehatan mengadakan Lokakarya
Kesehatan Reproduksi, yang menunjukkan komitmen Indonesia untuk
melaksanakan upaya kesehatan resproduksi sebagaimana dinyatakan dalam ICPD
di Kairo. Pada pertengahan tahun itu juga, Menperta meluncurkan Gerakan
Sayang Ibu, yaitu upaya advokasi dan mobilisasi social untuk mendukung upaya
percepatan penurunan AKI.

Intervensi Strategis Dalam Upaya Safe Motherhood

SAFE MOTHERHOOD

ASUHAN PELAYANAN
PERSALINAN BERSIH OBSTETRI ESENSIA
DAN AMAN
KB ANTE
NATAL

PELAYANAN KEBIDANAN DASAR

PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

PEMBERDAYAAN WANITA

Gambar 2. Empat pilar Safe Motherhood

Intervensi strategis dalam upaya safe motherhood dinyatakan sebagai empat


pilar safe motherhood, yaitu :

10
a. Keluarga berencana, yang memastikan bahwa setiap orang/pasangan
mempunyai akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat
merencanakan waktu yang tepat untuk kehamilan, jarak kehamilan dan
jumlah anak. Dengan demikian diharapkan tidak ada kehamilan yang tak
diinginkan. Kehamilan yang masuk dala, kategori “4 terlalu”, yaitu terlalu
muda atau terlalu tua untuk kehamilan, terlalu sering hamil dan terlalu
banyak anak.
b. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetrik bila
mungkin dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin
serta ditangani secara memadai.
c. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan
mempunyai pengetahuan, keterampilan dan alat untuk memberikan
pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas
kepada ibu dan bayi
d. Pelayanan obstetrik esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetrik untuk
resiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang
membutuhkannya.

Keempat intervensi strategis diatas perlu dilaksanakan lewat pelayanan


kesehatan dasar, dan bersendikan kesetaraan hak dan status bagi wanita.

Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam penurunan AKI

Tingginya AKI di Indonesia yaitu 390 per 100.000 kelahiran hidup


( SDKI, 1994 ) tertinggi di ASEAN, menempatkan upaya penurunan AKI sebagai
program prioritas. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, seperti halnya di
negara lain adalah pendarahan, infeksi, dan eklampsia. Ke dalam pendarahan dan
infeksi sebagai penyebab kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat
abortus terinfeksi dan partus lama. Hanya sekitar 5% kematian ibu disebabkan
oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan
infeksi yang kronis.

11
Selain itu, keadaan ibu sejak pra-hamil dapat berpengaruh terhadap
kehamilannya. Penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah anemia,
kurang energi kronis ( KEK ) dan keadaan “4 terlalu” ( terlalu muda/tua, terlalu
sering, dan terlalu banyak ). Tahun 1995, kejadian anemia ibu hamil sekitar 51%,
dan kejadian resiko KEK pada ibu hamil ( lingkar / lengan atas kurang dari 23,5
cm ) sekitar 30%.

Lagipula, seperti dikemukakan diatas, kematian ibu diwarnai oleh hal-hal


nonteknis yang masuk kategori penyebab mendasar, seperti rendahnya status
wanita, ketidakberdayaannya dan tarif pendidikan yang rendah. Hal nonteknis ini
ditangani oleh sektor terkait diluar sektor kesehatan, sedangkan sector kesehatan
lebih memfokuskan intervensinya untuk mengatasi penyebab langsung dan tidak
langsung dari kematian ibu.

Dalam menjalankan fokus intervensinya itu Departemen Kesehatan tetap


memerlukan dukungan dari sektor dan pihak terkait lainnya. Kebijakan
Departemen Kesehatan tersebut dalam upaya mempercepat penurunan AKI pada
dasarnya mengacu kepada inventarisasi strategis “ Empat pilar Safe Mothehood “.
Dewasa ini, program keluarga berencana – sebagai pilar pertama – telah dianggap
berhasil. Namun, untuk mendukung upaya mempercepat penurunan AKI,
diperlukan penajaman sasaran agar kejadian “ 4 terlalu “ dan kehamilan yang tak
diinginkan dapat ditekan serendah mungkin. Akses terhadap pelayanan antenatal –
sebagai pilar kedua – cukup baik, yaitu 87% pada tahun 1997; namun mutunya
masih perlu ditingkatkan terus.. persalinan yang aman – sebagai pilar ketiga -
yang dikategorikan sebagai pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pada
tahun 1997 baru mempunyai 60%.

Untuk mencapai AKI sekitar 200 per 100.000 kelahiran hidup diperlukan
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sekitar angka 80%. Cakupan pelayanan
obstetrik esensial – sebagai pilar keempat – masih sangat rendah, dan mutunya
belum optimal. Mengingat kira-kira 90% kematian ibu terjadi di saat sekitar
persalinan dan kira-kira 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetrik

12
yang sering tak dapat diperkirakan sebelumnya, maka kebijaksanaan Departemen
Kesehatan untuk mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar setiap
persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan, dan pelayanan obstetrik
sedekat mungkin kepada semua ibu hamil.

Salah satu upaya terobosan yang cukup mencolok untuk mencapai keadaan
tersebut adalah pendidikan sejumlah 54.120 bidan ditempatkan di desa selama
1989/1990 sampai 1996/1997. Dalam pelaksanaan operasional, sejak tahun 1994
diterapkan strategi berikut :

a. Penggerakan Tim Dati II ( Dinas Kesehatan dan seluruh jajarannya sampai ke


tingkat kecamatan dan desa, RS Dati II dan pihak terkait ) dalam upaya
mempercepat penurunan AKI sesuai dengan peran dan fungsinya masing-
masing.
b. Pembinaan daerah yang intensif di setiap Dati II, sehingga pada akhir Pelita
VII :
- Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 80% atau lebih.
- Cakupan penanganan kasus obstetrik ( resiko tinggi dan komplikasi
obstetrik ) minimal meliputi 10% seluruh persalinan.
- Bidan mampu memberikan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan
obstetrik neonatal dan puskesmas sanggup memberikan pelayanan
obstetrik-neonatal esensial dasar ( PONED ), yang didukung oleh RS Dati
II sebagai fasilitas rujukan utama yang mampu menyediakan pelayanan
obstetrik-neonatal esensial komprehensif ( PONEK ) 24 jam; sehingga
tercipta jaringan pelayanan obstetrik yang mantap dengan bidan desa
sebagai ujung tombaknya.
c. Penerapan kendali mutu layanan kesehatan ibu, antara lain melalui penerapan
standar pelayanan, prosedur tetap, penilaian kerja, pelatihan klinis dan
kegiatan audit maternal-perinatal.
d. Meingkatkan komunikasi, informasi, dan esukasi ( KIE ) untuk mendukung
upaya percepatan penurunan AKI

13
e. Pemantapan keikutsertaan masyrakat dalam berbagai kegiatan pendukung
untuk mempercepat penurunan AKI.

Keterlibatan Lintas Sektor

Dalam mempercepat penurunan AKI, keterlibatan sector lain disamping


kesehatan sangat diperlukan. Berbagai bentuk keterlibatan lintas sector dalam
upaya penurunan AKI adalah sebagai berikut :

a. Gerakan Sayang Ibu ( GSI )


GSI dirintis oleh kantor Menperta pada tahun 1996 di 8 kabupaten perintis
di 8 propinsi. Ruang lingkup kegiatan GSI meliputi advokasi dan mobilisasi
social. Dalam pelaksanaannya, GSI mempromosikan kegiatan yang berkaitan
dengan Kecamatan Sayang Ibu dan Rumah Sakit Sayang Ibu, unruk mencegah
tiga macam keterlambatan, yaitu :
- Keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan
membuat keputusan untuk segera mencari pertolongan.
- Keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan
- Keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat
pertolongan yang dibutuhkan.

Kegiatan yang terkait dengan Kecamatan Sayang Ibu berusaha


mencegah keterlambatan pertama dan kedua, sedangkan kegiatan yang terkait
dengan Rumah Sakit Sayang Ibu adalah mencegah keterlambatan ketiga.

Pada tahun 1997 diadakan Rakornas GSI yang diadakan bersamaan


dengan Rakerkesnas. Pada saat itu pengalaman di 8 kabupaten perintis
diinformasikan ke wakil-eakil semua propinsi dan selanjutnya mereka
diharapkan akan melaksanakan kegiatan GSI. Sampai pertengahan 1998 upaya
perluasan kegiatan GSI masih terus dilaksanakan.

b. Kelangsungan hidup, perkembangan dan perlindungan ibu dan anak

Upaya yang dirintis sejak 1990 oleh Dirjen Pembangunan Daerah,


Depdagri, dengan bantuan UNICEF yang lebih dikenal sebagai upaya

14
KHPPIA ini bertujuan menghimpun koordinasi lintas sector dalam penentuan
kegiatan dan pembiayaan dari berbagai sumber dana, antara lain untuk
menurunkan AKI dan AKB. Kegiatan utamanya adalah koordinasi
perencanaan kegiatan dari sector terkait dalam upaya itu. Propinsi yang
dilibatkan adalah mereka yang mendapat bantuan UNICEF, namun pola ini
akan diperluas oleh Depdagri ke semua propinsi.

c. Gerakan Reproduksi keluarga Sehat ( GRKS )

GRKS dimulai oleh BKKBN sebagai kelanjutan dari Gerakan Sayang


Ibu Sehat Sejahtera. Gerakan ini intinya merupakan upaya promosi
mendukung terciptanya keluarga yang sadar akan pentingnya mengupayakan
kegiatan reproduksi. Di antara masalah yang dikemukakan adalah masalah
kematian ibu. Karena itu, promosi yang dilakukan melalui GRKS juga
termasuk promosi untuk kesejahteraan ibu.

Selain ketiga upaya lintas sector tersebut, masih ada perbagai kegiatan
lain yang dilaksanakan pihak terkait, seperti organisasi profesi, yaitu POGI,
IBI, Perinasia, PKK, dan pihak lain sesuai dengan peran dan fungsinya
masing-masing

Pemantauan dan Evaluasi

Dalam memantau program kesehatan ibu, dewasa ini digunakan indicator


cakupan, yaitu : cakupan antenatal ( K1 untuk askes dan K4 untuk kelengkapan
layanan antenatal ), cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan cakupan
kunjungan neonatal/nifas. Untuk itu, sejak awal tahun 1990-an telah digunakan
alat pantau berupa Pemantauan Wilayah Setempat – Kesehatan Ibu dan Anak
( PWS-KIA ), yang mengikuti jejak program imunisasi. Dengan adanya PWS-
KIA, data cakupan layanan program kesehatan ibu dapat diperoleh setiap
tahunnya dari semua propinsi.

Walau demikian, disadari bahwa indikator cakupan tersebut cukup


memberikan gambaran untuk menilai kemajuan upaya menurunkan AKI.

15
Mengingat bahwa mengukur AKI, sebagai indicator dampak, secara berkala
dalam waktu kurang dari 5-10 trahun tidak realistis, maka para pakar dunia
menganjurkan pemakaian indikator praktis atau indikator outcome. Indicator
tersebut antara lain :

a. Cakupan penanganan kasus obstetrik


b. Case fatality rate kasus obstetric yang ditangani.
c. Jumlah kematian absolute
d. Penyebaran fasilitas pelayanan obstetric yang mampu PONEK dan PONED
e. Persentase bedah sesar terhadap seluruh persalinan di suatu wilayah

Indikator gabungan tersebut akan lebih banyak digunakan dalam Repelita VII,
agar pemantauan dan evaluasi terhadap upaya penurunan AKI lebih tajam.

IV. Antenatal Care

Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan


untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan
(SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta
intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam
pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri atas:

1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.


2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).
6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid 
(TT) bila diperlukan.

16
7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
8. Test laboratorium (rutin dan khusus).
9. Tatalaksana kasus
10. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.

Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan


darah, hemoglobin, protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan khusus
dilakukan di daerah prevalensi tinggi dan atau kelompok ber-risiko,
pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV, Sifilis, malaria,
tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia.

Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal


disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi
standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah
minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu pemberian
pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut :

- Minimal 1 kali pada triwulan pertama.

- Minimal 1 kali pada triwulan kedua.

- Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.

Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk


menjamin perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko,
pencegahan dan penanganan komplikasi.

Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan


antenatal kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan
dan perawat.

Pertolongan Persalinan

17
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan
persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
Pada kenyataan di lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan
tenaga kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh
karena itu secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga
kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal


sebagai berikut :

1. Pencegahan infeksi
2. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar.
3. Manajemen aktif kala III
4. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih
tinggi.
5. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
6. Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru lahir.

Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan


pertolongan persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan
bidan.

V. Kesehatan Reproduksi Remaja

Pendidikan seks ini tidak mudah diterima di masyarakat, hal ini


dikarenakan bahwa masyarakat masih menganggap membicarakan masalah
seks adalah masalah tabu. Oleh karena itu masih banyak remaja yang “buta”
terhadap kesehatan seks mereka. Dampak dari “buta” ini dapat terjadi
kehamilan di luar nikah, kehamilan tidak diinginkan, angka aborsi yang tinggi
akibat kehamilan yang tidak diinginkan tersebut, angka PMS meningkat.
Kesemua ini dapat meningkatkan resiko kematian pada ibu.20

18
Menurut BKKBN, usia yang ideal adalah 20-30 tahun, lebih atau
kurang dari usia itu adalah kehamilan yang beresiko. Kesiapan untuk hamil
dan melahirkan juga ditentukan oleh kesiapan fisik, kesiapan
mental/emosi/psikologis, dan kesiapan social/ekonomi. Dan usia 20 tahun
secara fisik sudah dianggap sebagai usia yang mantap untuk mendapat
kehamilan. Tetapi kenyataannya banyak remaja yang berusia dibawah 20
tahun hamil dan melahirkan. Hal ini dikuatkan oleh data dari Annisa
Foundation (2007 ) yang menyatakan 42,3% pelajar (n=412) di Cianjur sdh
seksual aktif saat duduk di bangku sekolah dengan dasar tanpa ada paksaan/
atas dasar suka sama suka & adanya kebutuhan, melakukannya dgn lebih dari
satu pasangan & tidak bersifat komersil. > 60% telah menggunakan kegiatan
seks berpasangan dan 12% nya menggunakan metode coitus interuptus & alat
kontrasepsi yang dijual bebas di pasaran. Sementara itu, penelitian PKBI
92005 ) di 5 kota besar terdapat 16,35% remaja telah melakukan hubungan
seks pra nikah, 40,1% menggunakan kontrasepse dan 33,79% siap melakukan
aborsi. 20

Penelitian BKKB di Jawa Barat (2002) di 6 kabupaten mendapatkan


29,6% remaja telah melakukan hubungan seks pra nikah dan 57,3% mengenal
dan bias melihat pronografi. Penelitian BKKBN-LDFEUI (2000) menyatakan
2,4 juta aborsi per tahun (21%  700-800 ribu pada remaja ), 11% kelahiran
terjadi pada usia remaja ( 43% wanita melahirkan anak pertama dengan usia
pernikahan < 9 bulan ). Menurut pemerintah Jawa Barat ( Desember 2001 )
angka PMS pada remaja didapatkan 4,18% dan 50% HIV/AIDS yang ada di
Jawa Barat terjadi pada usia 15-29 tahun.

Ada beberapa alasan remaja ini melakukan hubungan seks diantaranya


adanya tekanan pasangan, merasa sudah siap melakukan hubungan seks,
keinginan dicintai, tidak ingin diejek “masih perawan”, adanya film, tayangan
TV, media massa menampakkan bahwa normal bagi remaja untuk melakukan
hubungan seks, dan masih banyak alasan lain.

19
Studi Magill & Wilcox (2007 ) menyatakan bahwa kehamilan pada
remaja usia 13-19 tahun berkaitan dengan meningkatnya resiko komplikasi
maternal selama kehamilan dan persalinan dan juga pada janin dan neonates.
Komplikasi yang dapat timbul antara lain persalinan premature, BBLR,
kematian bayi. Sementara itu studi Gilbert et al (2004) mendapatkan
kehamilan pada usia remaja antara 11-19 tahun dapat menimbulkan
komplikasi seperti persalinan premature, IUGR, BBLR dan kematian
perinatal. Kesemua komplikasi ini dapat meningkatkan resiko kematian ibu.20
Selain terkait dengan kehamilan dan persalinan, pernikahan pada usia
remaja meningkatkan angka perceraian, angka putus sekolah meningkat,
terjadinya kecenderunagn child abuse, dan kehilangan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang memadai.20

Aborsi yang tidak aman dapat menyebabkan resiko pendarahan dan


komplikasi lain seperti infeksi, emboli, kehamilan ektopik, robekan dinding
rahim, kerusakan leher rahim yang kesemuanya meningkatkan resiko
kematian pada ibu.20

Gambar 3. Konsekuensi Kehamilan Remaja19

20
Ada beberapa tantangan dalam pengembangan program kesehatan
reproduksi remaja ini antara lain penyediaan pelayanan klinis, pemberian
informasi, mengembangkan kemampuan, mempertimbangkan sisi
kehidupan remaja, menjamin program yang cocok atau relevan dengan
remaja, menggalang dukungan-dukungan masyarakat, pelayanan kloinik
berorientasi remaja, klinik berbasis sekolah, program penjangkauan
berbasis masyarakat, dan program kesehatan di tempat kerja.

Berikut adalah rekomendasi ICPD untuk pelayanan Kesehatan


Reproduksi Remaja20

Gambar 4. Rekomendasi ICPD untuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja19

21
BAB III
PEMBAHASAN

I. Kebijakan dan program

Prioritas nasional. Menurunkan kesakitan dan kematian ibu telah menjadi salah
satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum
dalam Propenas. Kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya ini antara lain
meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi, meningkatkan pemberantasan
penyakit menular dan imunisasi, meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan, menanggulangi KEK, dan menanggulangi anemia gizi besi pada wanita
usia subur dan pada masa kehamilan, melahirkan, dan nifas.15

Kehamilan Aman. Mengacu pada Indonesia Sehat 2010, telah dicanangkan


strategi Making Pregnancy Safer (MPS) atau Kehamilan yang Aman sebagai
kelanjutan dari program Safe Motherhood, dengan tujuan untuk mempercepat
penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir. MPS terfokus pada
pendekatan perencanaan sistematis dan terpadu dalam intervensi klinis dan sistem
kesehatan serta penekanan pada kemitraan antar institusi pemerintah, lembaga
donor, dan peminjam, swasta, masyarakat, dan keluarga. Perhatian khusus
diberikan pada penyediaan pelayanan yang memadai dan berkelanjutan dengan
penekanan pada ketersediaan penolong persalinan terlatih. Aktivitas masyarakat
ditekankan pada upaya untuk menjamin bahwa wanita dan bayi baru lahir
memperoleh akses terhadap pelayanan.
Strategi. Ada empat strategi utama bagi upaya penurunan kesakitan dan kematian
ibu. Pertama, meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir yang berkualitas dan cost effective. Kedua, membangun kemitraan yang
efektif melalui kerja sama lintas program, lintas sektor, dan mitra lainnya. Ketiga,
mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan

22
dan perilaku sehat. Keempat, mendorong keterlibatan masyarakat dalam
menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan ibu dan bayi baru lahir.

Pesan kunci MPS. Strategi MPS memiliki tiga pesan kunci, yaitu setiap
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; setiap komplikasi obstetrik dan
neonatal mendapatkan pelayanan yang memadai; dan setiap wanita usia subur
mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanganan komplikasi keguguran.

Kelompok sasaran. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kelompok


masyarakat berpendapatan rendah baik di perkotaan dan pedesaan serta
masyarakat di daerah terpencil. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS)—yang
telah dimulai sejak 1998 telah menyediakan pelayanan pelayanan kesehatan dasar
dan bidan di desa secara gratis bagi penduduk miskin—perlu dipertahankan
dengan berbagai cara.

Konteks lebih luas. Terlepas dari kebijakan dan program dengan fokus pada
sektor kesehatan, diperlukan juga penanganan dalam konteks yang lebih luas di
mana kematian ibu terjadi. Kematian ibu sering disebabkan oleh berbagai faktor
yang kompleks yang menjadi tanggung jawab lebih dari satu sektor. Terdapat
korelasi yang jelas antara pendidikan, penggunaan kontrasepsi, dan persalinan
yang aman. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja harus ditangani dengan benar,
mengingat besarnya masalah. Selain itu, isu gender dan hak-hak reproduksi baik
untuk laki-laki maupun perempuan perlu terus ditekankan dan dipromosikan pada
semua level.

23
Gambar 5. Angka kematian ibu maternal per 100.000 kelahiran hidup di Indonesia hasil
SDKI & SKRT 1982-2007 ( http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/mnur/policy%20brief
%20kes%20ibu%20ok.pdf )

Tabel 1. Indikator statistik Indonesia ( didapat dari http://ino.searo.who.int/EN/Section4/


Section17_76.htm )

24
a. b.

Gambar 6.a. Angka Kematian ibu menurut SDKI 1994,1997,2002-2003. Gambar


6. b. Prevalensi kontrasepsi pada perempuan usia 15-49 tahun yang berstatus
kawin menurut Susenas14

Gambar 7. Proporsi kelahiran yang dibantui oleh tenaga kesehatan menurut


Susenas14

Pendekatan Sasaran yang Tepat


Untuk mencapai sukses yang kita kehendaki, seluruh upaya KIE dan
pelayanan untuk mencegah kematian ibu hamil karena mengandung dan

25
melahirkan, harus disepakati suatu pendekatan dengan sasaran yang tepat. Untuk
kesepakatan itu harus dipergunakan peta sasaran yang sama agar semua jajaran
tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Peta yang dianjurkan itu adalah peta
yang dibuat dan diperbaharui setiap tahun oleh BKKBN. Sasaran yang dipilih
adalah Ibu dan pasangan usia subur dimana ibu menjadi titik sentralnya.15
Untuk mencapai sukses yang diharapkan perlu dilakukan sekmentasi yang
teliti. Prioritas sasaran perlu diberikan kepada setiap daerah untuk pegangan
sebagai daerah konsentrasi. Sasaran pokok yang harus diambil dari peta sasaran
itu adalah ibu-ibu yang tinggal didaerah sebagai berikut :

Daerah padat penduduk dengan tingkat kelahiran yang tinggi


Daerah miskin padat penduduk
Daerah padat pasangan usia subur muda
Daerah dengan tempat dan fasilitas pelayanan rendah
Daerah padat dengan SDM dalam bidang medis yang rendah
Daerah padat dengan komitmen yang rendah

Pendekatan sasaran itu harus menghasilkan suatu upaya dengan komitmen


dan perhatian yang berkelanjutan. Karena itu pendekatan sasaran ini harus
menjadi pendekatan terbuka dengan mempergunakan mass media secara luas
untuk mengembangkan keuntungan dan kerugian apabila daerah-daerah itu tidak
mau atau tidak mempunyai komitmen untuk ikut terjun dalam penyelenggaraan
kegiatan peningkatan upaya untuk menurunkan AKI. 15
Media harus menjadi pendorong dan advokator dari daerah-daerah yang
dijadikan prioritas itu untuk ikut aktif. Dengan advokasi yang positip dapat
diberikan gambaran dan citra yang baik kalau daerah itu melaksanakannya, yaitu
dengan memberikan komitmen dan perhatian yang berkelanjutan. Dramatisasi dari
upaya-upaya itu harus diselenggarakan dengan pendekatan yang manusiawi dan
tidak putus-putusnya. Tiada hari tanpa berita tentang keterlibatan suatu daerah.
Kepala daerah, baik gubernur dan bupati walikota, secara pribadi harus diajak
untuk terjun langsung dan merasakan kebahagiaan sebuah keluarga yang

26
melahirkan anak-anaknya tanpa kehilangan ibunya. Dramatisasi perlu dilakukan
andaikan seorang ibu terpaksa meninggal dunia karena melahirkan. Peristiwa
yang jarang terjadi itu harus dicari dan di – blow – up begitu rupa untuk
menghasilkan dampak komunikasi yang diharapkan dapat menyentuh hati nurani
masyarakat banyak. Namun harus dikemas sedemikian rupa untuk tidak
menakutkan, tetapi memberikan kesan akrab bahwa masyarakat sangat peduli.14

Jaringan Pelayanan yang Profesional


Keseluruhan strategi yang disusun itu haruslah ditujukan untuk
mengembangkan jaringan KIE dan pelayanan yang profesional, luas dan bermutu.
Jaringan pelayanan itu haruslah bersifat komprehensip terdiri dari jaringan
pemerintah daerah, klinik, rumah sakit, dokter, bidan dan para medis lainnya,
maupun jaringan organisasi desa, organisasi wanita dan ibu-ibu serta masyarakat
pada umumnya. Seluruh kekuatan masyarakat termasuk jaringan para ulama dan
remaja harus ikut serta secara aktif dalam membentuk jaringan yang luas,
komprehensip dan terbuka itu. 15
Seluruh kekuatan harus aktif untuk mencari dan mengembangkan
kelompok-kelompok yang tidak menunggu tetapi bergerak secara aktif untuk
mencari ibu-ibu mengandung yang dipandang mempunyai resiko meninggal dunia
kalau melahirkan. Strategi menjemput bola itu harus diyakinkan begitu rupa
karena kasus yang dihadapi adalah kasus biasa yang bukan merupakan kejadian
luar biasa. Masyarakat harus dilatih untuk bisa melihat dan mengetahui sesuatu
sebagai suatu kejadian luar biasa kalau tanda-tanda itu nampak. Masyarakat harus
dibuat akrab dengan keadaan luar biasa itu sebagaimana para dokter dan para
bidan. 15
Langkah-langkah untuk mengetahui tanda-tanda bahaya harus diberikan
kepada masyarakat secara terbuka tetapi sederhana sehingga mudah dimengerti
dan mudah pula dilihat dengan kaca mata masyarakat biasa. Karena kematian
akibat melahirkan adalah peristiwa langka, harus dilakukan penonjolan kejadian
luar biasa itu secara terus menerus tiada henti di lingkungan masyarakat luas agar
mereka mengetahui bahwa sesuatu kejadian bisa menjadi kejadian luar biasa.

27
Penonjolan kejadian itu harus disertai dengan mempertontonkan pertolongan
sehingga tidak menyebabkan masyarakat takut tetapi justru sebaliknya masyarakat
bertambah yakin untuk ikut menangani masalah kelahiran dengan cara yang baik
dan menurut aturan yang wajar. 15
Karena itu program KB dan pelayanan kesehatan ibu, pendidikan
reproduksi kepada calon ibu, pelayanan reproduksi kepada ibu hamil dan
melahirkan, hampir tidak dapat dipisahkan. Bahkan program KB, atau kegiatan
KB, pada awal kelahirannya di Indonesia akhir tahun 1950 itu hampir indentik
dengan dokter, khususnya dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Dalam
suasana seperti ini kita harus mengembangkan strategi komunikasi yang jitu untuk
lebih lanjut menurunkan tingkat kematian ibu mengandung dan melahirkan yang
masih tinggi itu.1
Pendekatan ini mempunyai implikasi yang luas karena kita menangani
kasus kematian karena kehamilan dan kelahiran. Kasus kematian ini adalah
sesuatu rare cases atau kasus yang jarang terjadi biarpun dalam ukuran angka
kematian ibu (AKI) dunia, kita, Indonesia, berada pada posisi yang sangat tinggi.1
Perlu dibangkitkan semangat kebersamaan dengan mengangkat keberhasilan
selama ini. Dalam tigapuluh tahun terakhir ini kita telah berhasil menurunkan
tingkat kematian ibu dengan cukup mengesankan.1
Biasanya angka AKI adalah diatas 600 per 100.000 kelahiran. Keadaan
sekarang angkanya berada dibawah 300 per 100.000 kelahiran. 1 Ini suatu prestasi
yang selama ini tidak pernah diakui dan tidak pernah diangkat kepermukaan
dengan baik. Sebab-sebab penurunan AKI itu banyak sekali. Antara lain karena
keberhasilan program KB yang memungkinkan ibu yang mempunyai resiko
kelahiran dengan resiko kematian ibunya tidak jadi melahirkan karena ikut KB.1
Sebab lain adalah karena pelayanan kesehatan, terutama pelayanan
kebidanan bertambah baik antara lain karena makin banyaknya bidan di desa.
Kerjasama organisasi wanita juga telah menghasilkan partisipasi yang sangat
tinggi dan menyelamatkan banyak sekali ibu yang melahirkan. Pelayanan klinik
yang makin sempurna telah menyelamatkan banyak sekali ibu dari kematiannya.
Dalam strategi untuk lebih lanjut menurunkan angka kematian ibu hamil ini

28
pendekatan positif dengan memberikan pengakuan akan keberhasilan masa lalu
perlu dikembangkan dan diakui secara nyata dan jujur.1
Kepercayaan dan investasi pada manusia itu akan menghasilkan kegiatan
yang intinya adalah memberikan yang terbaik untuk program-program kesehatan
dan pendidikan.1 Sejumlah 215 juta wanita yang memilih untuk menunda atau
mencegah kehamilan masih belum terjangkau dengan alat kontrasepsi yang aman
dan efektif. Diperkirakan bahwa keinginan ber-KB yang memuaskan dapat
menurunkan jumlah angka kematian ibu sampai sepertiganya. Sekjen PBB dalam
bidang strategi global untuk kesehatan ibu dan anak berniat untuk mencegah 33
juta kehamilan yang tidak diinginkan antara 2011 dan 2015 dan menyelamatkan
nyawa ibu yang beresiko meninggal karena konmplikasi selama kehamilan dan
melahirkan termasuk aborsi yang tidak aman..3
Analisis Angka Kematian Maternal (MMR=Maternal Mortality Ratio)
Indonesia sesuai Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 adalah
390 per 100.000 kelahiran. Data SDKI (yang tidak dipublikasi) 1997
mengimplikasikan sedikit penurunan yaitu 334 kematian per 100.000 kelahiran
selama periode 1993-1997. SDKI 2002-2003 mendapatkan estimasi AKI Maternal
Indonesia sebesar 307 kematian per 100.000 kelahiran dan menurun lagi pada
SDKI 2007 menjadi 228 kematian per 100.000 kelahiran. Angka ini semakin
mendekati target nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) sebesar 226 per 100.000 kelahiran. 2 Departemen Kesehatan sendiri
menargetkan angka kematian ibu pada tahun 2015 menjadi 102 orang per tahun.3

29
Gambar 8. Pencapaian dan Proyeksi Angka Kematian Ibu tahun 1994-201514

II. Program Menurunkan Angka Kematian Ibu

1. Safe motherhood
2. Antenatal care
3. Kesehatan reproduksi remaja

30
BAB IV

PENYELESAIAN MASALAH

I. Perencanaan Program Pendidikan dan Promosi Penurunan Angka


Kematian Ibu
Promosi kesehatan adalah serangkaian program kesehatan yang dirancang
untuk memberdayakan individu, kelompok dan masyarakat agar memelihara,
meningkatkan, dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan
pengetahuan, kemauan, dan kemampuan serta membuat lingkungan yang
mendukung sehingga memungkinkan individu, kelompok dan masyarakat
untuk sehat dan membuat pilihan yang sehat. Promosi kesehatan mencakup
edukasi, perubahan lingkungan untuk peningkatan kesehatan, legislasi,
maupun bagian dari norma sosial.
Model perencanaan promosi kesehatan yang sering digunakan adalah
PRECEDE-PROCEED. Model PRECEDE-PROCEED memungkinkan suatu
struktur komprehensif untuk menilai tingkat kesehatan, kebutuhan kualitas
kehidupan dan untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi
promosi kesehatan dan program kesehatan publik lainnya. PRECEDE yang
merupakan akronim dari “predisposing, reinforcing, and enabling causes in
educational diagnosis and evaluation”, menggambarkan perencanaan proses
diagnosis untuk membantu perkembangan program kesehatan atau edukasi
kesehatan. PROCEED yang merupakan akronim untuk “Policy, Regulatory,
Organizational Construct, In Educational and Enviromental Development”,
mendampingi proses implementasi dan evaluasi dari program atau intervensi
yang telah dirancang menggunakan PRECEDE. Model PRECEDE-
PROCEED mengatur perhatian pertama edukator kesehatan pada outcome dan
memulai proses perencananaan edukasi kesehatan dengan melihat outcome
yang diinginkan, dalam hal ini berupa kualitas hidup yang baik.13

31
PRECEDE terdiri atas 5 fase. Fase pertama menentukan kualias kehidupan
atau permasalahan sosial dan kebutuhan suatu populasi. Fase kedua terdiri
dari penentuan faktor kesehatan untuk permasalahan kesehatan. Fase ketiga
menganalisis faktor perilaku dan lingkungan. Pada fase keempat,
pengindentifikasian faktor-faktor predisposing, reinforcing, dan enabling.
Fase kelima meliputi penentuan promosi kesehatan, edukasi kesehatan, dan
atau kebijakan terkait intervensi mana yang paling sesuai untuk mendorong
perubahan yang diinginkan pada perilaku atau lingkungan, dan pada faktor
yang mendukung perilaku dan lingkungan tersebut.13
PROCEED terdiri atas 4 fase tambahan. Fase keenam, intervensi pada fase
kelima diimplementasikan. Fase ketujuh dilakukan proses evaluasi dari
intervensi-intervensi tersebut. Fase kedelapan mengevaluasi dampak dari
intervensi pada faktor-faktor pendukung perilaku dan pada perilaku itu sendiri.
Fase terakhir terdiri atas evaluasi outcome, yang menentukan efek terbesar
pada intervensi terhadap kesehatan dan kualitas kehidupan suatu populasi.
Pada praktek di lapangan, PRECEDE dan PROCEED berjalan dalam
lingkaran berkesinambungan. Informasi yang didapatkan pada PRECEDE
mengarahkan perkembangan tujuan program dan intervensi pada fase
implementasi PROCEED. Informasi yang sama juga memberikan kriteria
terhadap bentuk kesukesan pada program yang mana yang diukur pada fase
evaluasi PROCEED. Sebagai timbal balik, data yang didapat pada fase
implementasi dan evaluasi PROCEED membuat jelas hubungan yang dinilai
pada PRECEDE dengan kesehatan atau outcome kualitas hidup, perilaku dan
faktor lingkungan yang memengaruhinya, dan faktor-faktor yang
mengarahkan pada perubahan perilaku dan lingkungan. Data ini juga dapat
menunjukkan bagaimana program dapat dimodifikasi untuk semakin
mendekati tujuan dan target yang diinginkan.13
Dalam penyusunan proposal program pendidikan dan promosi untuk
mencegah gizi buruk ini, penulis mendiagnosis masalah gizi yang masih ada
di di Kecamatan Dempo dan menyusun program-program kesehatan di tingkat

32
Puskesmas untuk kemudian dijalankan dengan harapan dapat menjadi solusi
dari permasalahan gizi di Kecamatan Dempo Utara.

 Diagnosis Masalah
 Diagnosis Sosial dan Epidemiologi
Dari hasil interview kepada warga, masalah kesehatan di Kecamatan
Dempo Utara adalah masih banyak kematian ibu akibat perdarahan.
Analisa situasi:
Masyarakat:
 Masalah kesehatan yang paling banyak adalah angka kematian ibu
karena perdarahan
 Masyarakat kecamatan Dempo Utara kurang mengetahui dan mengeri
pentingnya pemeriksaan kehamilan secara rutin karena mayoritas
masyarakatnya berpendidikan SMP dan mereka sangat memegang
nilai nilai tradisional.
Sarana dan prasarana
 Kecamatan Dempo Utara memiliki wilayah kerja 123,98 km 2, yang
berpenduduk sekitar 19.945 KK dan memiliki 2 Puskesmas
Kecamatan, 4 Puskesmas Pembantu, dan 13 Bidan KIA.
 Sebagian besar Puskesmas di kecamatan Dempo Utara memiliki sarana
dan prasarana yang cukup lengkap.
 Di kecamatan Dempo Utara juga terdapat 14 SD, 2 SMP, 1 SMA.
 Sistem rujukan kesehatan dapat ditempuh dalam waktu 3 jam dari
Kecamatan Dempo Utara.
 Kerjasama dengan lintas sektoral dalam tingkat kecamatan cukup baik.

 Diagnosis perilaku dan lingkungan


 Perilaku wanita hamil pada kecamatan Dempo Utara yang tidak
melakukan pemeriksaan antenatal care karena kurang pengetahuan
mengenai kepentingan pemeriksaan tersebut terhadap kesehatan diri
sendiri maupun anak yang dikandung.

33
 Adanya kebiasaan di dalam masyarakat untuk menikah pada usia
muda, hal itu mempengaruhi jumlah anak yang akan dimiliki oleh
wanita tersebut.
 Adanya mitos yang berlaku di lingkungan masyarakat yaitu makan-
makanan laut bisa menyebabkan kulit janin bersisik sehingga ibu
hamil menghindari makanan laut selama kehamilannya.
 Adanya mitos yang berlaku di lingkungan masyarakat yaitu “banyak
anak banyak rezeki”, sehingga masyarakat cenderung menolak
program Keluarga Berencana hal ini menyebabkan kehamilan resiko
tinggi.
 Adanya tradisi di dalam masyarakat yang lebih percaya terhadap
dukun dibandingkan tenaga medis.
 Lingkungan ini terletak di dataran tinggi sehingga menyebabkan
meningkatnya angka kejadian anemia.
 Diagnosis pendidikan dan organisasional
 Predisposing faktor : Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan
masyarakat berpengaruh kepada pengetahuan masyarakat terhadap
angka kematian ibu hamil akibat perdarahan dan bagaimana cara
mencegah serta mengatasi kasus perdarahan pada ibu hamil dan
melahirkan.
 Enabling :
 Masyarakat lebih percaya dukun dibandingkan tenaga dokter atau
bidan pada saat melahirkan
 Tidak banyak wanita hamil pada kecamatan Dempo Utara yang
melakukan pemeriksaan antenatal care
 Reinforcing : Adanya sikap para orang tua dan tokoh masyarakat yang
mendorong anak-anaknya agar melakukan proses persalinan ke dukun
karena hal ini sudah dianggap kebiasaan turun-temurun.
 Diagnosis administratif dan kebijakan
Pemerintah akan mendukung program pencegahan dan
pemberantasan kematian ibu akibat perdarahan sehingga dalam

34
pelaksanaannya nanti pemerintah akan memberikan dana demi suksesnya
program pemberantasan kematian ibu akibat perdarahan yang telah
direncanakan oleh puskesmas kecamatan Dempo Utara.

 Perumusan Masalah
 Permasalahan
Peningkatan angka kematian ibu akibat perdarahan di kecamatan
Dempo Utara dikarenakan adanya masalah-masalah sebagai berikut:
 Kurangnya pengetahuan ibu-ibu pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya mengenai pentingnya pemeriksaan kehamilan secara rutin,
perdarahan pada kehamilan dan persalinan, faktor-faktor penyebabnya,
apa akibatnya, bagaimana pencegahannya.
 Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada tenaga medis saat
akan melakukan persalinan.
 Tidak banyak wanita hamil pada kecamatan Dempo Utara yang
melakukan pemeriksaan antenatal care karena kurangnya pengetahuan
mengenai kepentingan pemeriksaan tersebut terhadap kesehatan diri
sendiri maupun anak yang dikandung.
 Tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mitos-mitos yang
ada di dalam masyarakat seperti mitos “banyak anak, banyak rezeki”
serta adanya kebiasaan di dalam masyarakat untuk menikah pada usia
muda, hal itu mempengaruhi jumlah anak yang akan dimiliki oleh
wanita tersebut.
 Kurangnya tenaga medis dan paramedis seperti jumlah bidan swasta
yang hanya 13 orang.

II. Metode penentuan prioritas masalah

Dalam menurunkan angka kematian ibu memang diperlukan banyak


program untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, tidak semua program
tersebut akan dilaksanakan secara bersamaan. Oleh karena itu, kita harus

35
menentukan terlebih dahulu masalah mana yang harus diprioritaskan untuk
menjadi program yang penting untuk menurunkan angka kematian ibu. Ada
banyak metode penentuan prioritas masalah yang dapat digunakan. Namun, pada
kasus menurunkan angka kematian ibu ini, untuk menentukan prioritas masalah
yang akan ditangani, digunakan metode USG

Metode USG

Dalam menetapkan prioritas ini, dikumpulkan 15 orang untuk memilih masalah


mana yang mendesak ( urgency ), serius ( seriousness ), dan yang berkembang
pesat ( growth )

Tabel 2. Metode USG

Masalah Urgency Seriousness Growth Hasil


Kurang pengetahuan ibu-ibu hamil 7 6 7 20
Rendah tingkat kepercayaan terhadap 4 4 3 11
tenaga medis
Tidak banyak yang melakukan ANC 2 2 1 5
Kurang tenaga kesehatan 1 1 2 4
Tinggi tingkat kepercayaan terhadap mitos 1 2 2 5

Selain menggunakan metode USG, digunakan juga metode CARL untuk


melihat kemampuan kita menangani masalah yang dihadapi, ketersediaan sarana
untuk menjalankan program yang akan dijalankan, kesiapan tenaga pelaksana
dalam menjalankan program, dan melihat seberapa besar pengaruh kriteria yang
satu dengan yang lain dalam pemecahan yang dibahas.

Tabel 3. Metode CARL


Masalah C A R L hasil
Kurang pengetahuan ibu-ibu hamil 5 5 5 4 500
Rendah tingkat kepercayaan terhadap 3 4 4 4 192
tenaga medis
Tidak banyak yang melakukan ANC 4 4 3 3 144
Kurang tenaga kesehatan 3 4 3 3 108
Tinggi tingkat kepercayaan terhadap 3 4 3 3 108
mitos

36
Jadi dari 2 metode yang dipakai, maka prioritas utama dalam
permasalahan angka kematian ibu ini adalah kurangnya pengetahuan ibu-ibu
terhadap kehamilan, pendarahan pada kehamilan dan pentingnya pemeriksaan
ANC.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan pada program safe motherhood ini adalah :

a. Penyuluhan kepada ibu-ibu hamil tentang kehamilan dan persalinan


yang aman.
b. Penyuluhan tentang KB kepada ibu-ibu berusia 35 tahun keatas atau <
35 tahun tetapi telah memiliki 5 orang anak.
c. Penyuluhan tentang kesehatan reproduksi

 Intervensi
Beberapa program yang akan dilakukan sebagai alternatif pemecahan
prioritas masalah di atas adalah:
Tabel 4. Alternatif Pemecahan Masalah

Prioritas Penting Kurang penting


Mudah 1. Melakukan penyuluhan 1. Melakukan penyuluhan
mengenai pentingnya tentang reproduksi
pemeriksaan kehamilan secara remaja
rutin, perdarahan pada
kehamilan dan persalinan serta
faktor penyebab dan apa akibat
yang ditimbulkan, cara
pencegahan dan penanganan
yang tepat kepada masyarakat
kecamatan Dempo Utara
khususnya para ibu-ibu.
2. Melakukan pemasangan poster
di setiap puskesmas serta jalan-
jalan utama dan penyebaran
pamflet mengenai antenatal care
dan manfaatnya bagi ibu hamil.
3. Melakukan konseling KB
Sulit 1. Melakukan pendataan dan 1 Melakukan penyuluhan
konseling kepada ibu-ibu hamil tentang aktivitas

37
tentang pentingnya antenatal care pengembangan kreativitas,
dengan cara mendatangi rumah- pelatihan kerja
rumah penduduk yang berisi ibu
hamil di dalamnya.

 Tujuan program
 Tujuan umum
Tujuan umum program ini menurunkan AKI akibat perdarahan di
kecamatan Dempo Utara
 Tujuan khusus
 Meningkatkan pengetahuan ibu hamil dan masyarakat secara
umum mengenai kematian ibu akibat perdarahan, faktor-faktor
risiko dan penyebab perdarahan, serta pencegahan dan penanganan
yang tepat.
 Menggiatkan partisipasi ibu hamil dalam melakukan pemeriksaan
kehamilan
 Sasaran program
Sasaran program promosi kesehatan ini adalah ibu-ibu hamil dan
warga masyarakat kecamatan Dempo Utara
 Isi program
Program promosi kesehatan ini berisi informasi mengenai apa itu
perdarahan pada kehamilan. Kematian maternal menurut batasan dari The
Tenth Revision of The International Classification of Diseases (ICD – 10)
adalah kematian wanita yang terjadi pada saat kehamilan atau dalam 42
hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi
kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan,
atau yang diperberat oleh kehamilan tersebut, atau penanganannya, akan
tetapi bukan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan.
Kematian maternal juga didefinisikan sebagai proporsi kematian pada
wanita usia reproduktif atau proporsi kematian pada semua wanita di usia
reproduktif yang disebabkan oleh penyebab maternal.

38
 Metode
Metode yang digunakan adalah metode penyuluhan kepada masyarakat
umum khususnya ibu hamil dan penyediaan alat-alat kebidanan.
 Media
Melalui media komunikasi secara individual dan komunitas

 Implementasi program
 Rencana dan jadwal kegiatan
Rencana Kegiatan Persiapan
 Penyusunan proposal, perencanaan anggaran biaya, mengurus izin ke
Dinas Kesehatan Kota Pagar Alam.
 Melakukan audiensi kepada pihak pemerintah setempat, instansi
swasta, dan tokoh masyarakat dalam usaha mencari dukungan baik
dana maupun legalitas.
 Persiapan materi penyuluhan dan pembicara.
 Persiapan tempat, peralatan dan waktu kuliah.
 Kegiatan publikasi meliputi penyebaran undangan ke seluruh
puskesmas yang ada di Kota Pagar Alam.

39
Tabel 5. Rencana Kegiatan Pelaksanaan

PROGRAM JUNI JULI AGUSTUS


Penyuluhan √ √ √
kepada
masyarakat
khususnya ibu-
ibu tentang
kehamilan dan
persalinan aman
Pemasangan √ √ √ √
poster dan
penyebaran
pamflet
Evaluasi Program 1 dan 2
SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER
Melakukan √ √ √
penyuluhan
program KB
Evaluasi Program 3
DESEMBER JANUARI FEBRUARI
pendataan Konseling
Melakukan √ √ √ √
pendataan dan
konseling
Penyuluhan √ √
kepada
masyarakat
tentang kehamilan
dan persalinan
aman
Evaluasi program 4 dan 5
MARET APRIL MEI
Melakukan √ √
Advokasi
Evaluasi program 6
Melakukan √ √ √ √
perencanaan
program ulang
atas program
yang telah
dilakukan

40
Berdasarkan tabel di atas, kegiatan dilaksanakan 5 kali dalam satu
tahun. Program yang prioritas diutamakan adalah program satu dan dua
yang dijalankan pada 3 bulan pertama yaitu bulan Juni – Juli - Agustus.
Kegiatan dilaksanakan rutin pada tanggal 10 pada tiap-tiap bulan agar
masyarakat lebih terjadwal sehingga mereka lebih mudah berpartisipasi
dan menyiapkan waktu mereka karena mereka sudah mengetahui kapan
kegiatan berikutnya akan berlangsung. Tempat pelaksaan program di balai
desa dan puskesmas, dengan target peserta 400 orang sebagai perwakilan
dari tiap puskemas dengan jadwal kegiatan sebagai berikut :

1. Penyuluhan kepada masyarakat

Tabel 6. Jadwal Penyuluhan Kepada Masyarakat


Hari/tanggal Waktu Kegiatan
10 Juni -10 08.00 – 08.30 WIB Registrasi dan pembukaan
Juli – 10 08.30 – 09.30 WIB Kegiatan Penyuluhan
Agustus 2010
09.30 – 10.00 WIB Break dan Snack
10.00 – 11.00 WIB Diskusi interaktif

11.00 – 11.15 WIB Review


11.15 – 12.00 WIB door prize

2. Pemasangan poster dan penyebaran pamflet


Dilaksanakan pada hari minggu, seminggu 1 kali pada bulan Juni

 Rencana pembiayaan
1. Sumber dana
Sumber dana dalam penyelenggaraan kegiatan ini diharapkan
diperoleh melalui:
a. Kas Puskesmas
b. Swadaya masyarakat
c. Instansi-instansi terkait
d. Para donator/dermawan
2. Estimasi Dana

41
Terlampir di lampiran
 Tim pelaksana
Penanggung Jawab : dr. Mariatul Fadillah, MARS
Ketua pelaksana : dr. Leo Fernando
Administrasi & Keuangan : dr. Susdalia Silitonga
Pelaksana Lapangan : dr. Andi Putra Siregar
Supporting Program : dr. Yuliarni
Supervisor : dr. Magdalena Ariyani

 Evaluasi
 Evaluasi program
Evaluasi program dilaksanakan tiap bulan pada akhir bulan.
Evaluasi dilakukan dengan tujuan apakah program telah berjalan baik
dengan dilihat faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat serta
kekurangan program pada bulan tersebut, sehingga faktor tersebut dapat
dihindari atau dihilangkan pada bulan berikutnya. Evaluasi dilakukan
dengan cara mengadakan rapat anggota tiap akhir bulan di kantor camat.
Di sini para anggota menjelaskan apa saja yang menjadi hambatan pada
saat kegiatan berlangsung dan penilaian mereka atas kegiatan pada bulan
tersebut.

 Evaluasi akhir
Evaluasi akhir dilakukan setiap 3 bulan pada akhir program atau
akhir bulan ketiga dari masing-program dan dilakukan dengan cara
pengisian kuesioner oleh masyarakat dan ibu hamil, serta melakukan
pendataan ke puskesmas dan tempat praktek bidan swasta apakah terdapat
peningkatan jumlah ibu hamil yang berkunjung untuk melakukan
pemeriksaan kehamilan serta menghitung angka kejadian kematian ibu
hamil akibat perdarahan . Kuesioner berisi pertanyaan terkait mengenai
faktor-faktor risiko, faktor penyebab setta upaya pencegahan dan penangan
yang tepat dari kejadian kematian ibu hamil akibat perdarahan. Dari

42
pengisian kuesioner tersebut dapat diketahui tingkat pengetahuan para ibu
hamil dan masyarakat. Hasil pemantauan akan menentukan apakah
diperlukan intervensi lanjutan atau program baru agar tujuan menurunkan
angka kematian ibu dalam masyarakat dapat tercapai.

Tabel 7. Metode Evaluasi dan Indikator Keberhasilan

No. Tahap Realisasi Aktifitas Indikator Keberhasilan


1. Tahapan a. Pembuatan proposal a. Tersedianya data
Perencanaan b. Pengumpulan data sekunder dan primer
lapangan daerah sasaran lapangan.
c. Survey lokasi sasaran b. Diterimanya proposal
sesuai standar Donor
c. Ditandatanganinya
MoU
2. Tahapan a. Sosialisasi program- a. Terjalin kerjasama
Persiapan program penurunan dengan pemerintah
angka kematian akibat setempat
perdarahan pada b. Tersedianya media
masyarakat dan penyuluhan
pemerintahan setempat c. Tersedianya sarana
(tokoh masyarakat) tersebut
b. Pembuatan media
penyuluhan berupa
poster, pamflet serta
materi penyuluhan.
3. Realisasi a. Mengadakan a. Peningkatan
Program penyuluhan mengenai pengetahuan
pentingnya pemeriksaan masyarakat &
kehamilan secara rutin, perubahan prilaku
perdarahan pada b. Banyaknya ibu hamil
kehamilan dan yang melakukan ante
persalinan serta faktor natal care.
penyebab dan apa c. Tercapainya tujuan
akibat yang ditimbulkan program KB
b. Pemasangan poster dan d. Dukun desa menjadi
penyebaran pamflet lebih terampil dan
c. Melakukan penyuluhan benar dalam
program KB kepada memimpin persalinan
masyarakat. e. Terdapat kerjasama
d. Melakukan pendataan dengan tokoh
dan konseling kepada masyarakat,
ibu-ibu hamil pemerintah dan

43
e. Melatih para dukun dinkes
dengan pelatihan agar
dapat melakukan
pimpinan persalinan
yang baik dan benar.
f. Melakukan advokasi
kepada pemerintah
untuk menambah tenaga
medis yaitu bidan
sehingga dengan
banyaknya bidan,
masyarakat akan mulai
berpikir untuk
melakukan persalinan di
bidan.
g. Membangun kerjasama
dengan tokoh
masyarakat, pemerintah
dan dinas kesehatan.
4. Tahap a. Evaluasi realisasi a. Data proyek sesuai
evaluasi program dibandingkan 100% dari realisasi.
keberlanjutan dengan perencanaan.
program b. Pendampingan dalam
pelaksanaan program
penurunan angka
kematiaan ibu.

5. Tahap a. Evaluasi akhir dengan Laporan perkembangan


Monitoring cara memberikan program
kuisoner kepada ibu- dilakukan setiap 3
ibu hamil sebelum dan bulanan.
sesudah penyuluhan.
b. Melakukan pendataan
ke puskesmas dan
bidan swasta

44
 Waktu
Tabel 8. Jadwal Program Perencanaan (Gannt Chart)

No Kegiatan Pekan
I II III IV V VI
1. Menyusun proposal
2. Pencarian dana dan sponsor
3. Pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan
4. Penyebaran undangan
5. Pelaksanaan kegiatan
penyuluhan dan penyebaran
poster
6. Evaluasi kegiatan
7. Pemantauan Setiap bulan dan akhir bulan
ke-3

 Indikator keberhasilan program

Angka kematian ibu di akhir program tahun 2012 adalah 176 per 100.000
kelahiran hidup.

45
BAB V

KESIMPULAN

Masalah angka kematian ibu yang meningkat merupakan hal serius yang
menjadi masalah bagi semua pihak dan mempunyai dampak yang sangat luas,
baik bagi negara maupun masyarakat. Untuk negara, angka kematian ibu yang
meningkat ini menggambarkan buruknya status kesehatan nasional. Sementara itu,
untuk masyarakat, meningkatnya angka kematian ibu ini menggambarkan perilaku
masyarakat yang kurang mengerti. Kematian ibu sendiri dapat berakibat secara
psikologis, bagi si anak karena kurangnya kasih sayang ibu dan bagi keluarga.
Dilihat dari penyebabnya, angka kematian ibu yang tinggi berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan, penyakit yang diderita selama kehamilan serta kurangnya
tenaga kesehatan di desa-desa atau kabupaten.

Dalam rangka mencapai MDG ( Millenium Developmental Goal’s )2015,


banyak upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah kematian ibu di
Indonesia. Data menunjukkan, angka kematian ibu mengalami penurunan sedikit
dari 228 per 100.000 kelahiran pada 2007 menjadi 226 per 100.000 kelahiran pada
tahun 2010. Namun demikian, upaya tersebut harus terus dilakukan, karena pada
tahun 2015 kita harus dapat menekan angka kematian ibu sampai 102 per 100.000
kelahiran jika target MDGs hendak dicapai.

Demikian proposal ini penulis susun, dengan harapan dapat menjadi


pertimbangan serta memperoleh tanggapan dari berbagai pihak yang turut peduli
dan mendukung terselenggaranya kegiatan tersebut. Adapun hal-hal yang belum
tercantum dalam manual kegiatan ini, terutama yang berhubungan dengan
penambahan dan perubahan yang bersifat mendesak akan diatur kemudian sesuai
dengan kebutuhan.

46
LAMPIRAN

ANGGARAN PEMBIAYAAN PROGRAM

Jumlah dana yang dibutukan untuk menlakukan program-program yang telah


direncanakan :

1. Penyuluhan tentang kehamilan dan perdarahan selama kehamilan serta


penangannya

No Kegiatan Biaya Sumber Dana


1 Pembuatan proposal Rp 500.000,- Kas organisasi
2 Undangan Rp. 500.000,- Kas organisasi
4 Sewa peralatan Rp. 8.000.000,- Dana bantuan dari
pemerintah / instansi swasta /
tokoh masyarakat
5 Perbanyakan makalah Rp. 2.000.000,- Dana bantuan dari
pemerintah / instansi swasta /
tokoh masyarakat
6 Honor 2 orang Rp. 2.000.000,- Dana bantuan dari
pembicara @ Rp. pemerintah/instansi
1.000.000,- swasta/tokoh masyarakat
8 Konsumsi 1000 orang Rp. 5.000.000,- Dana bantuan dari
peserta @ Rp. 5.000,- pemerintah/instansi
swasta/tokoh masyarakat
9 Doorprize Rp. 1.500.000,- Dana bantuan dari
pemerintah/instansi
swasta/tokoh masyarakat
8 Dokumentasi Rp. 500.000,- Dana bantuan dari
pemerintah/instansi
swasta/tokoh masyarakat
9 Transportasi Rp. 500.000,- Dana bantuan dari
pemerintah/instansi
swasta/tokoh masyarakat
10 Keamanan Rp. 500.000,- Dana bantuan dari
pemerintah/instansi
swasta/tokoh masyarakat
11 Pemesanan poster dan Rp 10.000.000 Dana bantuan dari
pamflet pemerintah/instansi
swasta/tokoh masyarakat
Total biaya yang Rp. 31.000.000,-

47
dibutuhkan

Hal ini dilakukan sebanyak 6 kali selama 12 bulan

Jadi : 6 x Rp 31.000.000,00 = Rp 186.000.000,00

2. Penyuluhan tentang KB kepada ibu-ibu berusia 35 tahun keatas atau < 35

tahun tetapi telah memiliki 5 orang anak

- Biaya cetak leaflet 2000 x Rp 150,00 = Rp 300.000,00

- Biaya listrik = Rp 100.000,00

- Biaya konsumsi 2000 x Rp 5000,00 = Rp 10.000.000,00

Rp 10.400.000,00

Hal ini dilakukan sebanyak 6 kali selama 12 bulan

Jadi : 6 x Rp 10.400.000,00 = Rp 62.400.000,00

3. Penyuluhan tentang persalinan yang aman kepada bidan dan dukun beranak

- Biaya manekin ( 2 buah ) 2 x Rp 30.000.000,00 = Rp 60.000.000,00

- Biaya cetak leaflet 600 x Rp 150,00 = Rp 90.000,00

- Biaya listrik = Rp 100.000,00

- Biaya konsumsi 2000 x Rp 5000,000 = Rp 10.000.000,00

- Biaya pembicara ( SpOG ) = Rp 250.000,00

Rp 70.440.000,00

Hal ini dilakukan sebanyak 6 kali selama 12 bulan

48
Pertama sebesar 70.440.000,00 + ( 5 x (Rp 90.000,00 + Rp 100.000,00 + Rp

10.000.000,00 + Rp 250.000,00 ) = Rp 70.440.000 + ( 5 x Rp 10.440.000,00 )

= Rp 70.440.000,00 + Rp 52.200.000,00

= Rp 122.640.000,00

4. Penempatan dokter-dokter umum di setiap kabupaten

- Gaji dokter umum : 3 x Rp 8.000.000,00/bulan = Rp 24.000.000,00/bulan

Hal ini dilakukan selama 24 bulan, jadi dibutuhkan

= 12 x Rp 24.000.000,00 = Rp 288.000.000,00

5. Penempatan bidan-bidan desa di setiap desa

- Gaji bidan desa : 10 x Rp 4.000.000,00/bulan = Rp 40.000.000,00/bulan

Hal ini dilakukan selama 24 bulan, jadi dibutuhkan

= 12 x Rp 40.000.000,00 = Rp 480.000.000,00

6. Penyediaan alat-alat kebidanan dasar untuk persalinan

- Partus set : 20 x Rp 3.000.000,00 = Rp 60.000.000,00

- Klorin : 500 x Rp 50.000,00 = Rp 25.000.000,00

- Alkohol : 5000 x Rp 10.000,00 = Rp 50.000.000,00

- Kasa : 4000 x Rp 10.000,00 = Rp 40.000.000,00

- Betadin : 500 x Rp 10.000,00 = Rp 50.000.000,00

- Benang : 500 x Rp 50.000,00 = Rp 25.000.000,00

Rp 250.000.000,00

49
Hal ini dilakukan selama 12 bulan, jadi dana yang dibutuhkan sebanyak Rp

250.000.000,00

7. Penyediaan alat USG sebagai alat penunjang dalam pemeriksaan kehamilan

berkala

- Alat USG : 1 x Rp 300.000.000,00

Jadi diperlukan dana sebanyak Rp 300.000.000,00 untuk pembelian alat USG

8. Penyediaan obat-obatan yang dibutuhkan selama kehamilan ( tetanus toksoid

dan tablet Fe )

- Penyediaan Fe : 50 x Rp 10.000,00 = Rp 500.000,00

- Penyediaan tetanus toxoid : 50 x Rp 50.000,00 = Rp 2.500.000,00

- Penyediaan spuit : 100 x Rp 5.000,00 = Rp 500.000,00

Rp 3.500.000,00

Hal ini dilakukan selama 24 bulan, jadi dana yang dibutuhkan sebanyak

= 12 x Rp 3.500.000,00 = Rp 42.000.000,00

9. Penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi

- Biaya cetak leaflet 2000 x Rp 150,00 = Rp 300.000,00

- Biaya listrik = Rp 100.000,00

- Biaya konsumsi 2000 x Rp 5000,00 = Rp 10.000.000,00

Rp 10.400.000,00

Hal ini dilakukan sebanyak 6 kali selama 12 bulan

50
Jadi 6 x Rp 10.400.000,00 = Rp 62.400.000,00

10. Penyuluhan mengenai kehamilan yang tidak diinginkan dan resiko-resikonya

- Biaya cetak leaflet 2000 x Rp 150,00 = Rp 300.000,00

- Biaya listrik = Rp 100.000,00

- Biaya konsumsi 2000 x Rp 5000,00 = Rp 10.000.000,00

Rp 10.400.000,00

Hal ini dilakukan sebanyak 6 kali selama 12 bulan

Jadi 6 x Rp 10.400.000,00 = Rp 62.400.000,00

11. Aktifitas pengembangan pemuda (tutoring/ mentoring, kegiatan setelah

sekolah, kerja sukarelawan)

- Gaji tutor : 30 x Rp 1.000.000,00 = Rp 30.000.000,00/bulan

Hal ini dilakukan selama 24 bulan, jadi dibutuhkan dana sebanyak

= 12 x Rp 30.000.000,00 = Rp 360.000.000,00

12. Klinik remaja berbasis komunitas dan konseling kesempatan karier

- Gaji Psikolog : 1 x Rp 7.000.000,00/bulan

Hal ini dilakukan selama 24 bulan

Jadi 12 x Rp 7.000.000,00 = Rp 84.000.000,00

13. Pelatihan kerja

- Biaya pembicara : 2 x Rp 500.000,00 = Rp 1.000.000,00

- Biaya listrik = Rp 100.000,00

51
- Biaya konsumsi : 2000 x Rp 5.000,00 = Rp 10.000.000,00

= Rp 11.100.000,00

Hal ini dilakukan sebanyak 24 kali selama 24 bulan, jadi dana yang

dibutuhkan

= 12 x Rp 11.100.000,00 = Rp 133.200.000,00

Jadi seluruh biaya yang direncanakan berjumlah : Rp 2.433.040.000,00

52

You might also like