You are on page 1of 20

REVISI

PROBLEMATIKA HISAB DAN RUKYAH


DALAM PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN SOLUSINYA
DI INDONESIA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi


Salah Satu Tugas Mata Kuliah: Fiqih
Dosen Pengampu: Dr. Muhyar Fanani, M.Ag.

Disusun Oleh:

Oleh:
IMROATUL MUNFARIDAH
NIM: 095112097

MAGISTER ILMU FALAK


PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
PENDAHULUAN

Hampir setiap tahun kaum muslimin disibukkan dengan masalah “kapan


memulai puasa dan kapan berhari raya?”. Para pemimpin dan pengurus ormas-
ormas dan lembaga-lembaga Islam disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan
puasa dimulai dan berakhir, sementara masyarakat dibingungkan dengan berbagai
keputusan yang dibuat oleh ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam yang
terkadang keputusannya berbeda-beda.
Perbedaan awal Ramadhan sudah biasa terjadi. Namun tetap saja ada
kekhawatiran dan keraguan bila terjadi perbedaan. Masyarakat umum belum
sepenuhnya menyadari sumber perbedaan itu. Umat sering menuntut awal
Ramadhan dipersatukan, minimal di Indonesia, syukur kalau di seluruh dunia.
Kadang dengan sangat sederhana ada yang berargumentasi, “bulan satu dan
matahari satu, bagaimana mungkin berbeda-beda awal Ramadhan atau hari
rayanya”.
Namun sayangnya, tidak ada keharusan bagi masyarakat untuk
mengikuti ketetapan pemerintah. Mereka boleh berpedoman kepada metode selain
yang digunakan pemerintah. Sehingga, terjadi berbagai macam pendapat
mengenai masuknya awal bulan. Karena beragamnya pendapat tersebut, juga akan
berpengaruh kepada ibadah puasa itu sendiri.
Oleh karenannya, tinjauan fiqih dalam referensi lama perlu diperkaya
lagi dengan memasukkan faktor-faktor mutakhir, termasuk analisis astronomis
dan iptek yang tak terpisahkan. Masalah ijtihadiyah yang terus berkembang
menambah faktor keragaman tersebut. Berangkat dari itu penulis akan membahas
tentang problematika hisab dan rukyah dalam penentuan awal Ramadhan dan
solusinya di Indonesia.

2
PEMBAHASAN

Problematika Hisab dan Rukyah dalam Penentuan Awal Ramadhan dan


Solusinya di Indonesia

A. Penentuan Awal Ramadhan dengan Hisab dan Rukyah Menurut


Fuqaha
Fuqaha telah sepakat bahwa bulan Arab berisi 29 atau 30 hari, dan
bahwa yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan bulan Ramadhan ialah
rukyah (melihat bulan).1 Sebagaimana sabda Nabi Saw:
2
ِ‫وا ل ُِرؤ ْي َت ِهِ َواَفْط ُِرْوال ُِرؤ ْي َن ِه‬
ْ ‫م‬
ُ ْ‫صو‬
ُ
”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat
bulan”.

Rukyah yang dipegang jumhur ulama berpegang pada nash hadits


tersebut. Memang yang diwajibkan adalah berpuasanya, bukan rukyahnya.
Namun karena perintah rukyah itu berkaitan dengan suatu hal yang bersifat
wajib, maka perintah itupun menjadi wajib. Kemudiaan fuqaha berselisih
pendapat tentang persoalan, apabila bulan tertutup oleh awan dan tidak
mungkin dilakukan rukyah.3
Mengenai persoalan tertutupnya bulan, maka Jumhur fuqaha
berpendapat bahwa dalam keadaan demikian bilangan bulan harus
disempurnakan menjadi 30 hari, dan permulaan Ramadhan dimulai pada hari
ke-31.4
Dan para fuqaha juga sepakat dengan satu kata bahwa seorang yang
sendirian melihat hilal Ramadhan maka dia wajib berpuasa walaupun semua
1
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy syifa’, 1990), hal.
588.
2
Imam Abi Husain Muslim Ibn al-Haj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shahih Muslim Juz II,
(Beirut: Libanon), hal. 762.
3
Ibnu Rusyd, Tarjamah…Ibid.,
4
Ibid.

3
orang tidak berpuasa, sedangkan jika dia tidak berpuasa maka dia harus
mengqadla dan kifarat.5
Sedangkan penentuan awal Ramadhan dengan hisab ulama berbeda
pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan
tidak boleh dengan hisab. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya penentuan
awal Ramadhan hanya dengan rukyah atau menyempurnakan bilangan bulan
menjadi 30 hari apabila langit tidak cerah.6 Sedang sebagian yang lain
menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan adalah dengan hisab disamping
menggunakan rukyah. Diantara alasan mereka adalah bahwa hisab akan
sangat diperlukan pada saat rukyah tidak dapat mengatasinya seperti keadaan
orang yang berada dalam daerah abnormal.7
Silang pendapat ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan pada
sabda Nabi saw:

ُ َ ‫م َفاْقدُُرْوال‬
‫ه‬ ْ ُ ‫م ع َل َي ْك‬
ّ ُ‫وا ل ُِرؤ ْي َت ِهِ وَا َفْط ُِرْوال ُِرؤ ْي َن ِهِ فَإ ِن ْغ‬
ْ ‫م‬
ُ ْ‫صو‬
ُ
”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu
karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka
kira-kirakanlah.”

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kata-kata ”kira-kirakanlah”


berarti ”sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari”. Ada pula fuqaha8 yang
berpendapat bahwa penafsirannya adalah ”kirakanlah dengan memakai hisab
(perhitungan)”, dan hadits ini juga yang digunakan para ahli hisab sebagai
dasarnya.9
Alasan jumhur fuqaha memegangi penafsiran tersebut adalah karena
adanya hadits shahih Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw bersabda:

5
Muhaammad Jawad Mughniyah, Fiqihal-Imam Ja’far as-Shadiqi, (Jakarta: Lentera
Basritama, 1996), hal. 41.
6
Agus Purnomo, Skripsi: Kontroversi antara Hisab dan Rukyat dalam Penentuan Awal
Bulan Ramadhan dan Syawal Menurut Hukum Islam, (Ponorogo,…1995), hal. 32.
7
Ibid., 33.
8
Diantara Fuqaha yang berpendapat demikian adalah: Mutharrif bin Abdillah (tabi’in)
dan Ibnu Qutaibah (ahli Hadits). baca di Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyah Wacana untuk
Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 57.
9
Ibnu Rusyd, Terjemah..., hal. 589.

4
َ ْ ‫مُلواال ْعِد ّة َ ث َل َث ِي‬
‫ن‬ ْ ُ ‫م ع َل َي ْك‬
ِ ْ ‫م َفاك‬ ّ ُ‫فَإ ِن ْغ‬
”Jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka sempurnakanlah
bilangan menjadi tiga puluh hari.”

Sementara itu Imam Abu al-Abbas Ibnu Suraij (306 H/918 M),
seperti dikutip oleh Ibn al-’Arabi, mengajukan cara mengompromikan antara
hadits-hadits yang menggunakan frase faqduru lahu (maka kadarkanlah ia)
dengan hadits-hadits yang menggunakan frase fa akmilu al-’iddah (maka
sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan mengatakan:
.....bahwa sesungguhnya sabda Nabi saw faqduru lahu merupakan
khitab yang ditujukan pada orang-orang yang khusus memiliki kemampuan
hisab, sedangkan sabda Nabi saw fa akmilu al-’iddah adalah yang ditujukan
bagi masyarakat umum.10

Dalam hal ini, ahli fiqih menyimpulkan bahwa hadits ini


menyiratkan satu tujuan dan menentukan cara (sarana) untuk mencapainya.
Tujuan ini sangat jelas, yaitu perintah puasa sebulan penuh dan tidak boleh
terlewatkan satu hari pun. Puasa itu dilakukan setelah adanya kepastian
masuknya bulan Ramadhan dengan cara yang memungkinkan dan dapat
dilakukan oleh banyak orang, yang tidak membebani dan memberatkan
mereka dalam agama.11
Ulama-ulama terdahulu menolak hisab secara mutlak karena hisab
masih tercampur aduk dengan ilmu nujum (astrologi, meramal nasib dengan
bintang) dan juga karena akurasinya yang masih rendah, sehingga hasil
hitungan antara ahli hisab satu dengan yang lain masih saling bertentangan,
padahal fakta benda langitnya adalah satu. 12

10
Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyah....hal. 57.
11
Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hal.
227-228.
12
Fahmi Amhar, ”Aspek Syar’I dan Iptek dalam Penentuan Awal Ramadhan dan
Syawal”, dalam internet website: http://wisnusudibjo-wordspress.com/2008/08/30/aspek-syara-
dan-iptek-dalam-penentuan-awal-ramadhan-syawal/, diakses tanggal 7 November 2009.

5
B. Penentuan Awal Ramadhan dengan Hisab dan Rukyah Menurut
Astronomi / IPTEK
Iptek sesuai dengan watak dan pengalamannya selalu menilai dan
mengukur segala sesuatu dari sisi akurasi dan kedekatannya dengan
kenyataan. Oleh karena itu, wajar kalau iptek memandang rukyah sebagai
sesuatu yang memiliki banyak kelemahan. Atas dasar penilaian tersebut, maka
iptek berkeinginan untuk mengambil peran dalam hal penentuan awal
Ramadhan sebagaimana yang telah dilakukannya selama ini dalam berbagai
aspek kegiatan.13
Beberapa alternatif solusi iptek telah ditawarkan. Tawaran
penggunaan ilmu hisab (perhitungan) dengan metodologi astronomi modern
kini sudah diterapkan. Hampir semua ormas Islam memiliki ahli hisab yang
menguasai perhitungan astronomi, tanpa meninggalkan kekayaan intelektual
para ulama terdahulu yang mengembangkan metode sederhana ilmu hisab.
Generasi mudanya kini banyak yang menguasai pemograman komputer
sehingga sanggup mengembangkan sendiri program-program komputer,
termasuk untuk metode klasik yang biasanya dilakukan secara manual. Namun
ilmu hisab saja masih tetap belum menyelesaikan masalah. 14
Hitungan hisab itu kini bisa diotomatisasi dengan pemrograman
dalam komputer. Dengan demikian berbagai kesalahan manusia bisa
dieliminasi. Salah satu contoh program komputer yang khusus dikembangkan
untuk hisab kalender Hijri adalah software (Mawaaqit) yang semula
dikembangkan oleh Club astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda
dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal.15
Hisab dipakai untuk memprediksi posisi, arah dan waktu untuk
rukyatul hilal. Rukyah tetap dilakukan karena tetap akan ada faktor cuaca
yang tak mungkin bisa dihisab. Sedang teknologi observasi dikembangkan
13
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi
Hukum Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 1993), hal. 71.
14
T. Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi Tela’ah Hisab-rukyat dan pencarian
Solusi Perbedaan Hari Raya, (Bandung: Kaki Langit, 2005), hal. 65.
15
Fahmi Amhar, ”Aspek Syar’I dan Iptek dalam Penentuan Awal Ramadhan.........

6
untuk membantu rukyah agar terhindar dari salah atau untuk mengenali bulan
sabit meskipun cahayanya masih lemah. Misalnya telah dikembangkan
“teleskop rukyah”, yakni sensor (kamera) digital baik aktif maupun pasif yang
citranya kemudian diperkuat dan bahkan juga telah dipikirkan untuk
menggunakan platform pesawat terbang sehingga rukyah bisa dilakukan di
atas awan. 16
Perkembangan iptek seperti sekarang ini akan mempermudah
manusia melihat (merukyah) dan atau menghitung (menghisab) suatu objek,
baik posisinya maupun kandungan yang ada di dalamnya. Selain itu iptek juga
merupakan salah satu alat efektif untuk penyempurnaan ibadah kita kepada
Allah SWT. Rasulullah saw. Sendiri bersabda:17
“Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di dunia maka raihlah
dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan Barangsiapa menghendaki
kebahagiaan di akhirat maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan
barangsiapa menghendaki kebahagiaan kedua-duanya (dunia-akkhirat) maka
raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek).”

Namun setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, pengertian


tentang rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang memaknainya tetap
seperti semula, yaitu rukyat bil fi’li dan ada yang memaknainya dengan rukyat
bil’ilmi, yakni melihat hilal dengan ilmu pengetahuan atau hisab.18 Sedangkan
prinsip perhitungan antara hisab dan rukyah secara astronomi sesuatu yang
melengkapi. Teori harus berdasarkan observasi dan observasi dilengkapi
dengan teori sehingga sifatnya komplementari.19

16
Ibid.,
17
Farid Ruskanda, dkk, Rukyah Dengan Teknologi Upaya mencari Kesamaan
Pandangan Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),
hal. 60.
18
Deri Suyatma, ”Cara Penentuan awal dan Akhir Ramadhan” dalam internet
website:http://mtsnurulazhar/wordpress.com/2008/08/29/cara-penentuan-awal-dan-akhir-
ramadhan/, diakses tanggal 6 November 2009.
19
Thomas Djamaluddin, “Wawasan”, dalam internet website:
http://www.republika.co.id//koran/diakses tanggal 6 November 2009.

7
C. Penentuan Awal Ramadhan dengan Hisab dan Rukyah Menurut
Pemerintah / Depag
Dengan memperhatikan keadaan penentuan awal Ramadhan antara
hisab dan rukyah, Departemen Agama berusaha memadukan sistem-sistem
yang telah dipergunakan. Departemen Agama berusaha mengembangkan
sistem rukyah yang berpadukan hisab, dan sistem hisab yang berpadukan
rukyah / observasi. Hasilnya dalam banyak kasus perbedaan tersebut berhasil
dihilangkan atau setidaknya terkurangi. Meskipun demikian, dalam beberapa
kasus perbedaan tersebut tidak dapat teratasi.20
21
Dalam hal ini pemerintah menggunakan imkan al-rukyah atas
dasar untuk mewadahi metode-metode yang digunakan oleh ormas-ormas
yang ada di Indonesia. Dengan madzhab imkan al-rukyah dengan format
kekuasaan itsbat pada pemerintah sebenarnya merupakan upaya yang lebih
mempunyai peluang untuk dapat diterima oleh semu pihak. Upaya pemerintah
ini pada dasarnya berpijak pada upaya tercapainya keseragaman,
kemaslahatan, dan persatuan umat Islam Indonesia.22
Sehingga keputusan yang diambil pemerintah, yang berupaya
mengakomodir semua madzhab, semestinya dapat diterima dan diikuti oleh
semua pihak. Namun dalam dataran realitas, ternyata masing-masing pihak
mengeluarkan keputusan sendiri-sendiri (mengenai perbedaan Pemerintah,
Nahdlatul Ulama, dan Muhammdiyah), walaupun pada dasarnya mereka
sudah menyatakan mengakui dan menerima upaya penyatuan pemerintah
tersebut .23
Pemerintah hendaknya mencoba bermusyawarah serta
mempertimbangkan semua masukan, baik hasil hisab maupun rukyah dengan
metode imkan al-rukyahnya. Tetapi menurut penulis, fakta di lapangan tidak

20
Farid ruskanda, dkk, Rukyah dengan Teknologi...,hal. 79.
21
Yaitu kemungkinan hilal dapat dirukyah atau batas minimal hilal dapat dirukyat yaitu
20. baca di Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyah, (Yogyakarta:
Ramadhan Press, 2009), hal. 72.
22
Ahmad Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 151.
23
Ibid.,

8
demikian, karena belum ada keseimbangan diantara hisab dan rukyah
sehingga pemerintah cenderung memihak salah satu.
Hal inilah yang merupakan masuknya peran penguasa (pemerintah)
dalam paradigm shift (pergeseran paradigma), tetapi pergeseran paradigma
secara murni sesungguhnya belum pernah terjadi. Sebagaimana dalam tradisi
keilmuan Islam pada umumnya, sering tidak terselesaikan secara murni
ilmiah, tetapi diselesaikan oleh adanya intervensi politik atau dukungan dari
faktor eksternal yang sering tidak rasional. Pergeseran paradigma yang
demikian itulah yang dinamakan pergeseran-paradigma semu (pseudo
paradigm-shift) yang menjadi tanda bagi adanya tirani ilmiah.24
Tirani ilmiah adalah besarnya peran penguasa dalam proses
pergeseran paradigma suatu ilmu, sehingga persaingan paradigma tidak lagi
berjalan secara ilmiah, tapi lebih banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya
dukungan dari penguasa. Akibatnya, munculnya paradigma terkuat dalam
suatu ilmu bukan didasarkan pada ketangguhannya dalam mengatasi
problematika umat, namun lebih disebabkan karena faktor keberuntungan
karena adanya dukungan dari penguasa.25
Dalam masalah ini adalah pemerintah yang selalu tidak bisa
memposisikan sebagai pihak yang netral dalam menyelesaikan perbedaan
yang terjadi dalam tubuh ormas-ormas khususnya kelompok ahli hisab dan
ahli rukyah, sehingga keputusan itsbat sering dipengaruhi oleh fanatik
paradigma yang mereka anut.

24
Muhyar Fanani, Pudarnya Pesona Ilmu Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
hal. 48.
25
Ibid., hal.xxxi

9
D. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan dalam Penentuan Awal
Ramadhan
Dari uraian di muka, terlihat ada faktor teknis yang memungkinkan
keragaman waktu ibadah. Namun selain itu ada juga faktor fiqih dan faktor
politis. Dan ini bisa jadi justru lebih dominan.26 Yaitu:
1. Faktor Fiqh
Yang pertama klasik dipertentangkan orang adalah antara
“rukyah bil fi’li (dengan mata telanjang) dan yang juga di-klaim sebagai
“rukyat bil ‘ilmi” serta pemahaman hadits yang berbeda-beda.
Di Indonesia hisab mutlak diwakili oleh Muhammadiyah dan
Persis. Kedua ormas ini tidak merasa perlu lagi melakukan rukyah, karena
hisab dianggap cukup dan tidak lagi menyulitkan. Sementara rukyah
diwakili NU, walaupun sebenarnya NU juga memakai hisab, walau tetap
harus disahkan rukyah. Setidaknya NU berani menolak rukyah yang
dimustahilkan hisab..
Yang kedua masalah daerah berlaku rukyah, Menurut
Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Araba’ah,
dari empat madzhab fiqih yang terkenal, tiga diantaranya (Hanafi, Maliki,
Hambali) cenderung kepada rukyat global, yaitu bahwa suatu kesaksian
rukyah berlaku untuk kaum muslimin di seluruh dunia. Sedang pengikut
Imam Syafi’i condong kepada rukyah lokal yang hanya berlaku satu
mathla’, yang kurang lebih radius 24 farsakh (kurang lebih 120 Km).27
Dalam praktek batas mathla’ ini tidak jelas, sehingga lalu muncul
wilayatul hukmi28 yang pada akhirnya Indonesia menganut Prinsip ini.
Tetapi dalam dataran empirisnya juga berbeda.

26
Fahmi Amhar, ”Pengantar Memahami Astronomi Rukyat Mencari Solusi Keseragaman
Waktu-waktu Indah”, dalam internet website: http://us.click.yahoo.com/
dpRusa/WUILAA/YQLSAA/TXW01B/TM, diakses tanggal 7 November 2009.
27
Abdul Ar-Rahman al-Jaziri,Kitab Fiqh ‘Ala Mazahibil ar-Ba’ah Juz 1, (Beirut,
Libanon: Dar al-Maktab al-‘Ilmiyah), hal. 500.
28
Yaitu bahwa bila hilal terlihat di mana pun di wilayah wawasan Nusantara, dianggap
berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Konsekuensinya, meskipun wilayah kita dilewati oleh garis
penanggalan Islam Internasional yang secara teknis berarti bahwa wilayah Indonesia terbagi atas
dua bagian yang mempunyai tanggal hijriyah yang berbeda, penduduk melaksanakan puasa secara
serentak..lihat di Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyah...hal. 19.

10
2. Faktor Teknis
a. Perbedaan di kalangan ahli hisab
Perbedaan di kalangan ahli hisab bermuara pada dua hal, pertama
karena bermacam-macamnya sistem dan referensi hisab, dan kedua,
karena berbeda-beda kriteria hasil hisab yang dijadikan pedoman.29
 Perbedaan Referensi dan sistem hisab tersebut dapat
dikelompokkan menjadi 3, yakni:
1). Hisab Haqiqi Taqriby
Hisab taqriby menyediakan data dan sistem perhitungan posisi
bulan dan matahari secara sederhana tanpa mempergunakan
ilmu segita bola.
Adapun referensi yang di gunakan dalam hisab ini adalah
Tadzkirotul Ikhwan (Ahmad Dahlan as-Samaroni), Saulamun
Nayyiroin (Muhammad Mansur al-Batawi), Fathurroufil
Manan (Abdul Jalil Kudus), Syamsul Hilal (KH. Noor Ahmad
SS).30
2).Hisab Haqiqi Tahqiqi
Hisab Tahqiqi menyajikan data dan sistem perhitungan dengan
menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segita bola.
Referensi yang digunakan dalam hisab ini adalah: Mathla’us
Sa’id (Syekh Husain Zaid Mesir), Badi’atul Mitsal (KH.
Muhammad Ma’sum Jombang), Khulashotul Wafiyah (KH.
Zubair Umar al-Jailani Salatiga), Muntaha Nata’ijil Aqwal
(KH. Ahmad Asy’ari Pasuruan), Hisab Hakiki (Muhammad
Wardan), Nurul Anwar (KH. Noor Ahmad SS Jepara).31

29
T. Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi...,.hal. 11.
30
KH. Ahmad Noor SS, Makalah yang disampaikan dalam forum seminar Nasional
Hisab: Kajian Kitab Falak dan Software di IAIN Walisongo Semarang, tanggal 7 November
2009.
31
Ibid.,

11
3). Hisab Tahqiqi Kotemporer
Dalam hisab ini selain menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur
segita bola, juga menggunakan data yang up to date sesuai
dengan kemajuan sains dan teknologi.
Referensi yang digunakan dalam hisab ini adalah sistem Hisab
Saadoeddin Djambek dengan Almanak Nautika, Jean Meeus
dan Ephimeris Hisab Rukyat.32
 Perbedaan dalam menerapkan kriteria hasil hisab
Sebagian berpedoman pada ijtima’ qablal ghurub,33 sebagian
berpegangan pada posisi hilal di atas ufuq. Yang berpegang pada
posisi hilal diatas ufuq juga berbeda-beda. Ada yang berpendapat
pada wujudul hilal34 diatas ufuq, dan ada yang berpedoman pada
imkan al- rukyah 20 atau 50, semuanya ini dapat menimbulkan
penetapan yang berbeda walaupun sama-sama menggunakan
sistem dan referensi hisab yang sama.35
b. Perbedaan di kalangan ahli rukyah
1) Perbedaan mathla’
Di kalangan para ahli rukyah belum satu kata dalam menetapkan
mathla’, tentang batasan wilayah berlakunya hasil rukyah suatu
tempat. Ada yang menganggap hasil rukyah suatu tempat hanya
berlaku untuk satu wilayah hukum (negara). Sebagian lagi yang
berpendapat bahwa rukyah suatu tempat berlaku untuk seluruh
dunia.

32
Ibid.,
33
Kriteria ini menentukan bahwa apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari tenggelam,
maka malam itu dan esok harinya adalah bulan baru, dan apabila ijtima’ terjadi sesudah matahari
terbenam, maka malam itu dan esok harinya adalah penggenap bulan berjalan, dan bulan baru
dimulai lusa. Penganut hisab ini memulai hari sejak saat matahari terbenam, dan hisab ini tidak
mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk atau di bawah
ufuk. Lihat Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah
(Yogyakarta: Majlis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009), hal.22.
34
Yaitu awal ramadhan ditetapkan berdasarkan hisab asalkan posisi hilal berada diatas
ufuk berapapun derajat tingginya, walaupun kurang dari 0,5 derajat, yang penting hilal sudah
wujud. (lihat di Departemen Agama RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya…)
35
(Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004), 9.

12
2) Mengenai rukyah bil fi’li menggunakan alat
(nazhzharah)
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Hajar misalnya,
tidak mengesahkan penggunaaan cara pemantulan melalui
permukaan kaca atau air (nah mir’atain). Al-Syarwani lebih jauh
menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau
membesarkan seperti teleskop, air, ballur (benda yang berwarna
putih seperti kaca) masih dianggap sebagai rukyah. Al-Muth’i
menegaskan bahwa penggunaan alat optik (nazhzharah) sebagai
penolong diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap
hilal adalah mata perukyah sendiri.36

3. Faktor Politis
Dari sini kelihatan bahwa faktor fiqih dan teknis yang beraneka
ragam itu harus disatukan, dan itu tidak bisa selain dengan suatu otoritas
yang legitimate baik secara real politis maupun secara syar’i, yang akan
mengadopsi salah satu pendapat yang argumentasinya paling kuat, entah
dari segi fiqih maupun teknis rukyah/hisab.
Keputusan ini lebih bersifat politis, karena memang yang
dihadapi tidak lagi hukum atau teknis, tetapi masalah yang berkaitan
dengan politik juga, yakni semangat kebangsaan (nasionalisme) sempit
atau fanatisme golongan (sektarian) yang membuat orang memilih suatu
pendapat bukan secara syar’i atau berdasarkan ilmu pengetahuan. 37

E. Memecahkan Problema Hisab dan Rukyah dalam Penentuan Awal


Ramadhan
Problema hisab dan rukyah tampaknya masih belum terselesaikan
secara tuntas. Dalam masyarakat masih sering kita temui yaitu dua hari awal
puasa atau bahkan lebih. Berangkat dari problem tersebut, termasuk beberapa
36
Ahmad Izzudin, op.cit., 6-7.
37
Fahmi Amhar, loc.cit.

13
penyebab terjadinya perbedaan yang telah penulis paparkan, di makalah ini
penulis mempunyai sebuah tawaran solusi untuk memecahkan problem
tersebut, yaitu:
1. Teknis
Dalam solusi teknis ini penulis mengambil sebuah ide tentang
bagaimana ketiga metode hisab (taqriby, tahqiqi dan kotemporer) itu
bersatu dalam penentuan awal bulan khususnya awal Ramadhan, karena
berdasarkan fenomena yang ada selama ini dan sejauh penulis membaca
beberapa buku ilmu falak antara madzhab hisab itu sendiri belum ada kata
satu untuk memecahkan problem perbedaan yang terjadi di masyarakat.
Mereka (para ahli hisab) selama ini hanya mengunggulkan metode dan
rumus mereka masing-masing dengan tujuan mengutamakan kepentingan
mereka sendiri tanpa memperdulikan akibat dari perbedaan itu. Apalagi
mereka para ahli hisab banyak yang mengeluarkan metode-metode baru
yang mengakibatkan perbedaan itu malah semakin banyak dan tidak ada
solusinya sama sekali.
Selain itu penulis melihat fakta (pengalaman) yang terjadi di
lapangan sesama ahli hisabpun dalam menentukan kriteria saja sudah
berbeda-beda, sehingga hasilnya pun berbeda-beda. Dan seperti dalam
seminar Nasional hisab yang bertema “ Kajian Kitab Falak dan Software”
di IAIN Walisongo Semarang, tanggal 7 November 2009 yang pernah
penulis ikuti, bahwasannya sesama ahli hisabpun seperti Dr. Ing. H.
Khafidz dan KH. Noor Ahmad, mereka dalam menggunakan metode
perhitungan dan menanggapi hasil hisab juga belum menemukan titik
temu sehingga terjadi perbedaan dan perdebatan, karena memang Dr. Ing.
H. Khafidz metodenya juga lebih modern dibanding KH. Noor Ahmad.
Dan untuk ide penyatuan ketiga metode hisab (taqriby, tahqiqi dan
kontemporer) penulis menyusun langkah-langkah untuk merealisasikannya
sebagai berikut:
a. Setiap ormas Islam khususnya penganut madzhab hisab, perlu
mengkaji ulang teori atau cara dan referensi yang digunakan dalam

14
penentuan awal bulan tersebut khususnya Ramadhan, untuk
memperoleh solusi terbaik.
b. Hilangkan prinsip bahwa metode kelompoknyalah yang paling
shahih dan paling baik ataupun yang menang.
c. Mengadakan musyawarah yang terdiri dari tiga pihak ahli hisab
(taqriby, tahqiqi dan kontemporer) dengan duduk bersama, guna
menghasilkan kesepakatan dalam menetapkan awal bulan qamariyyah,
terutama awal Ramadhan yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
dan aspek syari’ahnya. Dan mengenai data hisab mereka harus
kerjasama dan berkonsultasi dengan instansi terkait seperti BMG,
Dinas Hidrooseanografi, planetarium, observatorium bosscha ITB, dan
lembaga-lembaga falakiyah.
d. Harus ada kesepakatan dan hasil tentang metode dan kriteria mana
yang dianggap akurat sehingga layak dijadikan acuan.
e. Mengadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang ketetapan
metode dan kriteria yang digunakan. Seperti mengadakan seminar atau
kegiatan pelatihan lainnya. Dan hendaknya seminar atau pun pelatihan
itu ditujukan terlebih dahulu bagi mereka yang profesinya menekuni
dunia ilmu falak dan, sehingga nantinya mereka bisa menjadi corong
untuk menjelaskan kepada masyarakat awam dan masyarakat lainnya.
2. Non teknis
Solusi non teknis ini, penulis menawarkan solusi tentang
penyatuan ormas-ormas Islam baik dari kalangan hisab maupun rukyah,
dalam hal ini pemerintah menjadi mediator dengan menggandeng MUI
harus bisa lebih tegas dalam menyatukan perbedaan diantara mereka,
kemudian pemerintah mencoba bermusyawarah dengan
mempertimbangkan semua masukan, baik dari kelompok hisab maupun
kelompok rukyah, sehingga akan menghasilkan sebuah keputusan yang
benar-benar valid dan bisa diterima dan dilaksanakan oleh semua ormas
Islam. Dengan demikian keputusan pemerintah tidak terkesan lemah dan

15
condong memihak salah satu kelompok, serta akan terlihat citra
kewibawaan dan kebijaksanaanya.
Misalnya, dalam hal ini, Pemerintah dengan metode imkan al-
rukyahnya dalam penentuan awal Ramadhan juga harus dipertegas dan
diseimbangkan antara hisab dan rukyah sehingga implementasinya di
lapangan sesuai dengan yang diingankan oleh masyarakat. Akhirnya
dalam sidang itsbat keputusannya bukan hanya diakui dan diterima tetapi
harus dilaksanakan oleh masyarakat.
Dan untuk persatuan umat dalam hal sosial ini, kita harus
merubah cara /pola berpikir dalam segala hal, khususnya masalah
perbedaan penetapan awal bulan Ramadlan sehingga dalam masalah ini
penulis meminjam teori dari Thomas Kuhn yaitu paradigm shift seperti
yang tertuang dalam buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama bahwa
pemikiran Kuhn yang bisa dibilang radikal itu, mendapat tanggapan luas
dari banyak kalangan. Sikap pro dan kontra bermunculan dari para
ilmuwan. Tim Healy, misalnya, dari Santa Clara mengakui bahwa teori
”paradigm shift” memang benar. Semua bidang kehidupan, keilmuan,
sosial, agama, dan lain-lain, terbukti mengalami paradigm shift. Bahkan
menurut Healy, teori paradigm shift dapat dipakai untuk memahami segala
persoalan hidup.38
Jadi, menurut penulis, tentang dua tawaran yang telah penulis
uraikan itu merupakan implementasi dari paradigm shift yang mungkin
bisa untuk disatukan dan dipadukan perbedaan-perbedaan paradigma yang
terjadi diantara kelompok ahli hisab dan rukyah, sehingga inilah sebuah
solusi yang selama ini kita tunggu dengan harapan diantara ahli hisab
ataupun dalam kelompok rukyahpun tidak ada perbedaan.
Dan perlu diingat, bahwa dua tawaran solusi itu tidak memihak
salah satu baik hisab maupun rukyah, tetapi penulis mencoba untuk
memberikan solusi kepada keduanya dengan menggunakan dua metode
yaitu teknis dan non teknis.

38
Muhyar fanani, Pudarnya Pesona Ilmu Agama……hal. 35

16
KESIMPULAN

Dari paparan di atas, bisa penulis simpulkan bahwa:


1. Baik hisab maupun rukyah merupakan dua aspek ilmu pengetahuan.
Masing-masing menggunakan salah satu dari dua pilar ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, yaitu rasionalisme (digunakan dalam hisab) dan empirisme
(digunakan dalam rukyah). Jadi, hisab dan rukyah merupakan seperti dua sisi
mata uang ilmu pengetahuan yang tak terpisahkan.
2. Sebenarnya akar masalah perbedaan bukan hanya antara kalangan hisab
dan rukyah, tetapi sesama metode hisab dan sesama metode rukyah.
3. Dan yang menjadi sumber utama dalam hal perbedaan ini adalah fanatik
paradigma.
4. Hendaknya dalam hisab dan rukyah harus dipadukan dengan kemajuan
teknologi modern sehingga menghasilkan solusi yang terbaik, sehingga kita
tidak bertindak apriori terhadap perkembangan teknologi.
5. Bahwa antara hisab dan rukyah tidak perlu dipertentangkan lagi, karena
berdasarkan solusi yang penulis tawarkan hendaknya perlu langkah lebih
lanjut untuk merealisasikannya, khususnya kita sebagai calon praktisi ilmu
falak harus bisa menjadi pioner untuk menghilangkan perdebatan yang terjadi
selama ini.

17
REFERENSI

Al-Jaziri, Abdul Ar-Rahman,Kitab Fiqh ‘Ala Mazahibil ar-Ba’ah Juz 1, Beirut,


Libanon: Dar al-Maktab al-‘Ilmiyah.

Azhari,Susiknan, Hisab dan Rukyah Wacana untuk Membangun Kebersamaan di


Tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Deri Suyatma, ”Cara Penentuan awal dan Akhir Ramadhan” dalam internet
website: http://mtsnurulazhar/wordpress.com/2008/08/29/cara-penentuan-
awal-dan-akhir-ramadhan/, diakses tanggal 6 November 2009.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi


Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1993.

Djamaluddin, Thomas, Menggagas Fiqih Astronomi Tela’ah Hisab-rukyat dan


pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, Bandung: Kaki Langit, 2005.

---------,“Wawasan”, dalam internet website: http://www.republika.co.id


//koran/14.

Fanani, Muhyar. Pudarnya Pesona Ilmu Agama. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2007.

Fahmi Amhar, ” Aspek Syar’I dan Iptek dalam Penentuan Awal Ramadhan dan
Syawal”, dalam internet website: http://wisnusudibjo-
wordspress.com/2008/08/30/aspek-syara-dan-iptek-dalam-penentuan-
awal-ramadhan-syawal/, diakses tanggal 7 November 2009.

---------, ”Pengantar Memahami Astronomi Rukyat Mencari Solusi Keseragaman


Waktu-waktu Indah”, dalam internet website:

18
http://us.click.yahoo.com/dpRusa/WUILAA/YQLSAA/TXW01B/TM,
diakses tanggal 7 November 2009.

Imam Abi Husain Muslim Ibn al-Haj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shahih Muslim Juz
II, Beirur: Libanon.

Izzudin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU dan Muhammadiyah


dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Jakarta:
Erlangga, 2007.

Khazin, Muhyidin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyah. Yogyakarta:


Ramadhan Press, 2009.

Mughniyah, Muhaammad Jawad Fiqihal-Imam Ja’far as-Shadiqi. Jakarta:


Lentera Basritama, 1996.

Ahmad, Noor SS, Makalah yang disampaikan dalam forum seminar Nasional
Hisab: Kajian Kitab Falak dan Software di IAIN Walisongo Semarang,
tanggal 7 November 2009.

Purnomo, Agus, Skripsi: Kontroversi antara Hisab dan Rukyat dalam Penentuan
Awal Bulan Ramadhan dan Syawal Menurut Hukum Islam. Ponorogo,…
1995.

Qardhawi, Yusuf Pengantar Studi hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.

Ruskanda, Farid, dkk, Rukyah Dengan Teknologi Upaya mencari Kesamaan


Pandangan Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan syawal. Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.

Rusyd,Ibnu Tarjamah Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV. Asy syifa’, 1990.

Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pedoman Hisab


Muhammadiyah. Yogyakarta: Majlis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009.

19
20

You might also like