You are on page 1of 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
hidayahnya dan inayahnya berupa kemampuan berpikir dan analisis sehingga dapat terwujud
makalah tentang optimalisasi sumber PNPB ini demi memenuhi tugas yang diberikan oleh
Dosen kepada kami untuk memperoleh nilai Tugas mata kuliah ekonomi publik 2. 

Makalah ini disusun melalui berbagai tahap, baik melalui pembahasan secara intensif
atau secara berdiskusi yang pada akhirnya tersusun sebuah makalah yang penuh dengan
ketidak sempurnaan.

Akhirnya, tiada usaha yang besar akan berhasil tanpa dimulai dari usaha yang kecil.
Demi kesempurnaan makalah ini, sangat mengharapkan kritik dan saran serta masukan yang
membangun menyempurnakan masa depan dan bermanfaat bagi kita semua.

Jember,19 maret 2011

Penulis
Latar Belakang

Masalah Kepatuhan pajak merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh hampir
setiap negara yang menerapkan sistem perpajakan. Berbagai penelitian telah dilakukan dan
berbagai kesimpulannya adalah masalah kepatuhan wajib pajak dari segi keuangan pubilk
dan penegakan hukum. Dari segi keuangan publik, jika pemerintah dapat menunjukkan
kepada publik bahwa pengelolaan pajak dilakukan dengan benar dan sesuai dengan keinginan
wajib pajak, maka wajib pajak cenderung untuk mematuhi peraturan perpajakan.namun
sebaliknya jika pemerintah tidak dapat menunjukkan penggunaan pajak secara transparan dan
akuntanbilitas, maka wajib pajak tidak membayar pajak dengan benar. Dari segi penegakan
hukum, pemerintah harus menerapkan hukum dengan seadil-adilnya kepada setiap orang.
Apabila ada wajib pajak tidak membayar pajak baik secara disengaja ataupun tidk disengaja,
siapapun dia (termasuk para pejabat publik ataupun keluarganya) akan dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan ataupun ketentuan yang ada di negara ini.

Pada tanggal 1 Juli 2008, Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution menyampaikan
penjelasan mengenai Sunset Policy yang diamanatkan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) beserta peraturan pelaksanaannya.
Sunset Policy merupakan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau
badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dapat dinikmati oleh
masyarakat baik yang belum memiliki NPWP maupun yang telah memiliki NPWP pada
tanggal 1 Januari 2008.

Rumusan Masalah:
1. Bagaimana kepatuhan wajib pajak sebelum diberlakukannya sunset policy?
2. Bagaimana upaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui sunset
policy?

Tujuan:
1. Untuk mengetahui kepatuhan wajib pajak sebelum diberlakukannya sunset policy
2. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui sunset policy
PEMBAHASAN

Dengan adanya pertumbuhan perekonomian yang berarti juga adanya pertumbuhan


pendapatan, maka seharusnya menambah juga kewajiban untuk menjadi Wajib Pajak, karena
kewajiban perpajakan pada hakekatnya merupakan kewajiban kenegaraan bagi masyarakat
dalam kerangka pemikiran tentang keikut sertaan atau peran serta rakyat dalam pembiayaan
negara maupun pembangunan nasional Adalah sangat penting untuk diupayakan agar
kewajiban tersebut lebih di dasarkan pada kesadaran dan kepatuhan masyarakat yang timbul
dan dirasakan oleh wajib pajak Sendiri (kepatuhan secara sukarela), dari pada hanya sebagai
keharusan yang akan efektif apabila disertai dengan paksaan atau sanksi belaka. Hukum
berarti keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi yang pada dasarnya
merupakan konkretisasi dari sistim nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut H.C. Kelman, sebenarnya masalah kepatuhan yang merupakan derajad


secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses, yaitu :
1. Compliance
2. Identification
3. Internalization

Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang di dasarkan pada harapan akan suatu
imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan.
Kepatuhan ini sama sekali tidak di dasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaedah hukum
yang bersangkutan, dan lebih di dasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan.
Sebagai akibatnya maka kepatuhan akan ada, apabila ada pengawasan yang ketat terhadap
pelaksanaan kaedah-kaedah hukum tersebut.

Identification terjadi apabila kepatuhan terhadap kaedah hukum ada bukan karena nilai
intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik
dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaedahkaedah hukum tersebut.
Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut,
sehingga kepatuhan tergantung pada buruk-baiknya interaksi tadi. Walaupun seseorang tidak
menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan
mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan orang yang
bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan khawatirnya terhadap kekecewaan
tertentu, dengan jalan menguasai obyek frustasi tersebut dan dengan mengadakan identifikasi.
Penderitaan yang ada sebagai akibat pertentangan nilai-nilai di atasinya dengan menerima
nilai-nilai penegak hukum.

Internalisasi, seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh karena secara intrinsik


kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaedah-kaedah terebut adalah sesuai dengan nilai-
nilainya sejak semula pengaruh terjadi, atau oleh karena ia merubah nilainilai yang semula
dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang di dasarkan pada
motivasi secara intrinsik. Pusat kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap
tujuan dari kaedah-kaedah bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap
kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.

Menurut Bierstedt, dasar-dasar kepatuhan adalah :


1. Indoctrination
Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah adalah karena
dia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar
mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana halnya
dengan unsur-unsur kebudayan lainnya, dan semula menerimanya secara tidak sadar
Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk mengenal, mengetahui serta
mematuhi kaedah-kaedah tersebut.

2. Habituation :
Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi
suatu kebiasan untuk mematuhi kedah-kaedah yang berlaku. Memang pada mulanya
adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi yang seolah-olah mengekang
kebebasan, tetapi apabila hal itu setiap hari ditemui, maka lama kelamaan menjadi
suatu kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai
mengulangi perbuatan-perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama;

3. Utility :
Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur,
tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang belum tentu pantas dan teratur bagi
orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan
keterturan. Patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takarantakaran
tentang tingkah laku yang dinamakan kaedah. Dengan demikian maka salah satu
faktor yang menyebabkan orang taat pada kaedah karena kegunaan dari pada kaedah
tersebut. Manusia menyadari, bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka
diperlukan kaedah-kaedah;

4. Group Identification :
Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah adalah karena kepatuhan
merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok.
Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya bukan bukan
karena ia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya,
akan tetapi justru : karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi.

Menurut schuyt tentang alasan si wajib pajak mematuhi peraturan yang berlaku, yaitu :
1. Kepatuhan tersebut dipaksakan oleh sanksi (Teori Paksaan);
2. Kepatuhan tersebut diberikan atas dasar persetujuan yang diberikan oleh para anggota
masyarakat terhadap hukum yang diperlakukan untuk mereka (Teori persetujuan).

Dalam sistim perpajakan terdapat batasan-batasan sebagai indikator yang menunjukkan


tingkat kepatuhan wajib pajak. Di antaranya menyangkut waktu pelaksanaan kewajiban
perpajakan (time compliance) dan jumlah pajak yang harus dibayar (taxable compliance)
wajib pajak. dikatakan tidak atau kurang patuh apabila tidak melaksanakan kewajiban
perpajakannya (tidak mendaftarkan dirinya, tidak membayar/melaporkan pajaknya secara
benar ) sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, atau jumlah yang dibayarkan lebih
rendah dari yang sebenarnya.

Menurut Arinta Kusnadi dan Moh.Zain, penciptaan iklim kepatuhan dan kesadaran
membayar utang pajak tercermin dari keadaan :
1. WP. Paham atau berusaha untuk memahami Undang-undang pajak;
2. Mengisi formulir pajak dengan tepat;
3. Menghitung pajak dengan jumlah yang benar;
4. Membayar pajak tepat pada waktunya.
KEBIJAKSANAAN SUNSET POLICY
Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya di
tahun 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang
diatur dalam pasal 37A (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).
Yang melatarbelakangi adanya Sunset Policy adalah Undang-Undang KUP Tahun
2008 memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data
perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk
memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini memungkinkan Direktorat
Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah
dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi
perpajakan yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya
secara benar, Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2008 ini memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan
melaksanakannya dengan benar.

Yang dapat memanfaatkan Sunset Policy adalah :


1. Orang Pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang dalam
tahun 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan
menyampaikan SPT Tahunan PPh untuj tahun pajak 2007 dan tahun-tahun pajak
sebelumnya paling lambat 31 Maret 2009.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun
2008, yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan
tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum
diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan.

Keuntungan Wajib Pajak terhadap Sunset Policy


 Tidak dikenai sanksi administrasi berupa bunga
 Tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali SPT yang disampaikan menjadi Lebih Bayar
atau di kemudian hari ditemukan data atau keterangan lain yang ternyata belum
dilaporkan di SPT tersebut
 Apabila Wajib Pajak sedang diperiksa dan belum disampaikan Surat Pemberitahuan
Hasil Pemeriksaan (SPHP), pemeriksaan akan dihentikan.
 Data dan/atau informasi yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh terkait dengan
pemanfaatan Sunset Policy tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan
surat ketetapan pajak atas jenis pajak lainnya.

Kepatuhan Wajib Pajak Sebelum diberlakukannya Sunset Policy


Berdasarkan Pasal 4 (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.27/PJ.1995,
Tanggal 23 Maret 1995, “Tentang Jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha
Serta Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak”,
seharusnya seseorang yang di dalam setahunnya telah mempunyai/memperoleh penghasilan
yang jumlahnya melebihi besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka ia harus
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) selambat-
lambatnya pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Sedangkan dalam ayat 2 (dua) nya
disebutkan bahwa untuk Wajib Pajak Badan harus mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP. Selambatlambatnya satu bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
Penghitungan besarnya jumlah pajak (assessment system) sesuai dengan ketentuan
tersebut pada prinsipnya dilakukan sendiri oleh anggota masyarakat (self assessment), sedang
pelunasan jumlah dimaksud (payment system) dapat dilakukan oleh mereka sendiri (self
payment-installment system) atau melalui pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga
(withholding system). Yang dimaksud dengan Withholding System adalah suatu sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk
memotong/memungut besarnya pajak yang terhutang.
Dalam sistim Self Assessment yang berarti suatu system pemungutan yang memberi
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menetukan sendiri besarnya pajak yang terhutang,
sebagian besar prakarsa dan kegiatan perpajakan berada di tangan Wajib Pajak. Dalam sistim
ini sebenarnya ada dua fasilitas utama yang diberikan kepada Wajib Pajak yang kurang
difahami dan dirasakannya. Kedua fasilitas tersebut adalah :
1. Pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya;
2. Pemberian tempat yang terhormat sebagai warga negara yang baik dalam kehidupan
kenegaraan bagi mereka yang melaksanakan kewajiban pajaknya.
Adapun ciri-ciri dari system pemungutan pajak berdasarkan Self Assessment adalah :
1. Adanya kepastian hukum;
2. Perhitungannya sederhana dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak;
3. Pelaksanaannya mudah;
4. Lebih mencerminkan rasa keadilan dan merata;
5. Memperkecil kemungkinan Wajib Pajak tidak mampu membayar pajak akibat
perhitungan yang terlampau besar.

Dengan adanya sistim self assessment ini diharapkan kepatuhan yang ada dalam
masyarakat baik dalam mendaftarkan dirinya sebagai Wajib Pajak maupun dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya adalah merupakan kepatuhan yang sukarela (voluntary
compliance).
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan, ternyata belum semua WP. mematuhi
kewajiban perpajakannya, misalnya masih ada WP. yang tidak melaporkan SPT.nya, WP.
tidak menyetorkan pajak dengan jumlah yang sebenarnya, bahkan masih banyak Wajib Pajak
yang belum mendaftarkan dirinya, walaupun menurut ketentuan perundang-undangan mereka
seharusnya sudah memenuhi syarat untuk menjadi Wajib Pajak.
Untuk mengetahui tentang kepatuhan Wajib Pajak, utamanya dalam mendaftarkan
dirinya sebagai WP, membayar pajaknya dengan benar, serta melaporkannya dengan tepat
waktu, maka tingkat kepatuhan hukum tersebut dapat dijabarkan melalui indikatorindikator
yang ditetapkan, yaitu :
1. Pengetahuan tentang peraturan hukum (law awareness);
2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance);
3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude); dan
4. Pola-pola peri kelakuan hukum (legal behavior)

Upaya Untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Adanya Sunset Policy
Ada ketentuan baru dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 yang memberikan
semacam pengampunan pajak kepada Wajib Pajak tertentu. Kebijakan ini juga dikenal
sebagai Sunset Policy. Ketentuan diatur dalam Pasal 37A Undang-undang tersebut.
Ada dua jenis pengampunan yang diberikan oleh Undang-undang KUP yang baru ini.
Pertama adalah pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas
pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak sebelum tahun 2007. Yang kedua adalah
penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun
Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan NPWP.
Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Berupa Bunga Atas Pembetulan
SPT Tahunan. Pengampunan jenis ini diberikan kepada semua Wajib Pajak baik Badan
maupun Orang Pribadi yang membetulkan SPT Tahunan (PPh Badan, PPh Orang Pribadi dan
PPh Pasal 21) untuk tahun pajak sebelum tahun pajak 2007 dan hasil pembetulan tersebut
ternyata menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah. Pada umumnya kalau kasusnya
seperti ini Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga Pasal Ayat (2) KUP
yaitu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah
pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Kesempatan ini diberikan hanya satu tahun saja yaitu satu tahun sejak berlakunya Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2007 yaitu 31 Desember 2008. Dengan demikian, apabila
pembetulannya dilakukan setelah tanggal itu maka atas kekurangan pembayaran pajak
tersebut dikenakan sanksi sesuai Pasal 8 Ayat (2) di atas.
Jenis pengampunan yang diberikan berupa pengurangan atau penghapusan. Hal ini
berarti ketentuan ini masih memberikan ruang kepada aparat pajak untuk mengenakan sanksi,
walaupun tidak 100%. Untuk efektifitas ketentuan ini serta demi kepastian hukum sebaiknya,
kata “pengurangan” diperjelas artinya. Misalnya diberikan batas tertentu. Bisa juga besarnya
pengurangan didasarkan pada besaran-besaran tertentu seperti tingkat kepatuhan dan lain-
lain. Namun demikian, ternyata dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2008
tanggal 6 Pebruari 2008, kata-kata “pengurangan” ini direduksi sehingga jenis
pengampunannya hanya dihapuskan saja. Tentu saja ini menguntungkan bagi Wajib Pajak
karena lebih memberikan kepastian hukum.
Ismawan, mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas
menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela
merupakan tulang punggung sistem self assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab
menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu
membayar dan melaporkan pajak tersebut.
Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai ”suatu
iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi
sebagai berikut :
a) Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan
perundang- undangan perpajakan.
b) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
c) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
d) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen- elemen
kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen- elemen kunci tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak.
b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak.
c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
d. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.

Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang perpajakan. Kepatuhan material
adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan,
yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang- undang perpajakan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, wajib pajak dimasukkan
dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut.
a) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam
dua tahun terakhir.
b) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh
izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
c) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.
d) Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 UU KUP dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan
pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang
terutang paling banyak 5%.
e) Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan
publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian
sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam
bentuk panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial
dan fiskal. Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diadit oleh akuntan
publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada huruf a, b, c, dan d di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1977, hal. 226-
227
Ibid, hal. 226
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal 174
Pandiangan Liberti, “Kurang Bayar = Menunggak Pajak ? Perlu Konvergensi Terminologi”, Berita Pajak
No.1401/Tahun XXXII/15 Agustus, 1999, hal. 27
Kusnadi, Arinta, Zain Moh, Pembaharuan Perpajakan Nasional, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990, hal. 115
Salamun, AT. , Loc cit., hal.185102 ).
Indra Ismawan, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, Alex Media Komputindo, Jakarta, 2001, hal. 11
Soerjono Soekanto, Loc.Cit, hal. 239

You might also like