You are on page 1of 24

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Dan


kebahagian mereka tergantung pada permasalahan maknanya, pengetahuan
rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya.
Kemampuan setiap orang dalam memahami tafsir dan ungkapan Al-Qur’an
tidaklah sama. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang
tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-
makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang kalangan
cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat maenyimpulkan pula dari padanya
makna-makna yang menarik.1
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang
diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh
pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman
penafsiran. Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum
menyaksikan turunya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara
alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau
bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah
yang mereka dengar atau mereka baca.
Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penanfsiran atas
teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya,
Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan
(ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah
makna terdalam dari Al-Qur’an itu. Sehingga Al-Qur’an seolah menantang
dirinya untuk dibedah.2
Saat ini, banyak terjemah, tafsir, dan buku yang mengupas Al-Qur’an.
Setiap kali kita mendengar khutbah dan ceramah, kita juga acap kali telah hafal
ayat-ayat yang disampaikan. Kita pun melaksanakan nilai dan ajaran Al-Qur’an
dalam ibadah ritual maupun muammalah. Berbagai istilah seperti sabar,
1
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996),
455.
2
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum
Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005), 3.
tawakkal, amal, ilmu salam, bismillahirrahmanirrahiim, juga diucapkan sebagai
bahasa nasional dan bahasa sehari-hari. Tal pelak, kini situasinya sudah sangat
jauh berbeda dari masa lalu. Yang mana, sekarang, juga banyak orang sangat
akrab dengan bahasa Al-Qur’an, dan mengerti intisari ajarannya walaupun tak
menguasai bahasa Arab.3
Selama empat belas abad ini, khazanah intelektual Islam telah diperkaya
dengan berbagai macam perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Walaupun demikian terdapat kecenderungan yang umum untuk memahami Al-
Qur’an secara ayat per-ayat bahkan kata perkata. Selain itu, pemahaman akan Al-
Qur’an terutama didasarkan pada pendekatan filologis gramatikal. Pendekatan
ayat per-ayat atau kata per-kata tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial
(sepotong) tentang pesan Al-Qur’an. Bahkan, sering terjadi penafsiran semacam
ini secara tidak semena-mena menggagalkan ayat dari konteks dan dari aspek
kesejarahannya untuk membela sudut pandang tertentu. Dalam kasus-kasus
tertentu, seperti dalam penafsiran teologis, filosofis, dan sufistis, gagasan-
gagasan asing sering dipaksakan ke dalam Al-Qur’an tanpa memperhatikan
konteks kesejarahan dan kesusteraan kitab suci itu.4
Itulah sebabnya upaya meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat,
membutuhkan ilmu alat. Dengan ilmu alat, bisa lebih mudah mengaplikasikan
makna-makna Al-Qur’an dalam kehidupan sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat Al-
Qur’an yang berkategori mutasyabih, tentu kian rumit dan pelik. Dengan
demikian, penulis sangat tertarik untuk membahas tentang metode tafsir Al-
Qur’an dengan berbagai pembahasan antara lain pengertian, sejarah dan
perkembangan metode tafsir, serta macam-macam metode tafsir yang insya Allah
akan dibahas lebih luas dalam makalah ini.

3
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,
( Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005), 22.
4
Ahmad As-Shouwy, Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang IPTEK, (Jakarta: Gema
Insani Preass, 1995), 24.d
PEMBAHASAN
METODE TAFSIR AL-QUR’AN

A. PENGERTIAN METODE TAFSIR


Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti
cara atau jalan”.Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “Method” dan bangsa
Arab menerjemahkannya dengan “Thariqat” dan “Manhaj”. Di dalam
pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang
teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud {dalam ilmu
pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.5
Sedangkan tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari
akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan
menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya
mengikuti wazan “daraba-yadribu “ dan “nasara – yansuru”. Dikatakan “fasara
– yafsiru” dan yafsuru – fasran”, dan “fasrahu”, artinya “abanahu”
(menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan
menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr”
berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata “al-tafsir” berarti
menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil dan pelik.6 Sedangkan
para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).7
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan
ialah: “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur’an,
tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika
tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.
Jadi yang dimaksud metode tafsir Al-Qur’an adalah suatu cara yang
teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang
5
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat
yang beredaksi mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 54.
6
Manna’ Khalil al-Qattan, ibid., 455-456.
7
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bndung: Mizan, 1999), 75.
apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an atau lafadz-lafadz
yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN METODE TAFSIR


Sejak Rasulullah dikenal dua cara penafsiran Al-Qur’an. Pertama,
penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua, penafsiran berdasarkan
ijtihad atau ra’yi. Dimasa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat Al-
Qur’an di samping ayat Al-Qur’an sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad
mereka. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan ra’yi atau nalar mulai berkembang sejalan dengan kemajuan taraf
hidup manusia yang di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan yang tidak
selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an.8
Pada zaman Nabi dan para sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli
bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turun ayat (asbab an-
nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-
ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-
ayat Al-Qur’an itu secara benar, tepat, dan akurat. Berdasarkan kenyataan
sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak
begitu membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan
penjelasan global (ijmal). Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya
tafsir dengan metode global dalam penafsiran Al-Qur’an pada abad-abad
pertama.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk dengan
berbondong-bondong bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah
tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini
membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam;
berbagai peradaban dan kebudayaan non Islam masuk ke dalam khazanah
intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh
olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian para pakar tafsir ikut
mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Al-

8
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), 66.
Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan
umat yang semakin beragam.
Kondisi seperti yang digambarkan itulah yang merupakan salah satu
pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis (tahlili), sebagaimana
tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili, seperti Tafsir al-Thabari dan lain-
lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu karena dapat
memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-
ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, umat terasa terayomi oleh penjelasan-
penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an di dalam kitab tersebut. Kemudian metode penafsiran serupa itu diikuti
oleh ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat
pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’yi dengan
berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqh, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi
ijtima’I dan lain-lain.
Dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir dalam dua bentuk penafsiran
tersebut dengan berbagai coraknya, umat ingin mendapatkan informasi lebih
jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar
tafsir. Kecuali itu, umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-
Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal ia membawa pengertian yang
berbeda. Demikian ditemukannya hadits-hadits yang secara lahiriyah ada yang
tampak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, padahal secara teoritis hal
itu tak mungkin terjadi karena keduanya pada hakikatnya berasal dari sumber
yang sama, yakni Allah.
Kenyataan sebagaimana yang digambarkan itu mendorong para ulama
untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah
diberikan oleh para ulama sebelumnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
ataupun hadits-hadits Nabi. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode
perbandingan (muqarin) seperti yang diterapkan oleh al-Iskafi di dalam
kitabnya Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, dan oleh al-Karmani di
dalam kitabnya Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an, dan lain-lain.
Permasalahan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh
generasi terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat,
seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-
lain. Realitas kehidupan yang demikian membuat masyarakat, baik secara
individual maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara, menjadi
terasa seakan-akan tak punya waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir
yang besar-besar sebagaimana telah disebutkan tadi. Padahal untuk
mendapatkan petunjuk Al-Qur’an umat dituntut membaca kitab-kitab tafsir
tersebut.
Untuk menanggulangi permasalahan itu, ulama tafsir pada abad
modern menawarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut
dengan metode tematik (maudhu’i).
Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk Al-
Qur’an dalam suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk
membaca kitab-kitab tafsir yang besar itu, tetapi cukup membaca tafsir
tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat
dijumpai dalam kitab tafsir itu.9

C. METODE-METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN


Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan Al-Qur’an sejak
masa ulama salaf sampai masa modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah
penafsiran Al-Qur’an, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan
corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam tafsir, ulama
coba membuat mengklasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang berbeda-
beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Quraish Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir
dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur
dan tafsir yang menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode
tahlili dan maudhu’i.10
Al-Farmawi membagi tafsir dari segi metodenya menjadi empat bagian
yaitu: metode tahlili, ijmali, Muqaaran dan maudhu’i. sedangkan metode
tahlili dibagi menjadi beberapa corak tafsir yaitu: Tafsir bi al-ma’tsur, Tafsir

9
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2005), 3-8.
10
Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ibid., 83.
bi al-Ro’yi, Tafsir Sufi, Tafsir Fiqh, Tafsir Falsafi, Tafsir ilmi, Tafsir Adaby
dan ijtima’.11
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan
mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.
1. Metode Tafsir Tahlily
a. Pengertian
Metode Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh
aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat
sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai
uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan
penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan
munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud
ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas
mengenai sabab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil
yang berasal dari Rasul, atau Sahabat, atau para Tabi’in, yang kadang-
kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan
diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula
bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut.12
Muhammad Baqir al-Shadr menyebut tafsir metode tahlily ini
dengan tafsir tajzi’I, yang secara harfiah berarti “tafsir yang
menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial”.13
b. Bentuk Tafsir Al-Qur’an dengan metode Tahlily
Metode Tahlily kebanyakan dipergunakan para ulama masa-
masa klasik dan pertengahan. Diantara mereka, sebagian mengikuti
pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti
pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya

11
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), 11.
12
Ibid., 12.
13
Quraish Shihab dkk, Sejarah Dan ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), 172.
(musawah). Mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan
metode tahlily, namun dengan corak yang berbeda.14
Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode
tahlily kepada tujuh macam (bentuk) yaitu: Al-Tafsir bi al-Ma’Tsur,
Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Shufi, Al-Tafsir al-fiqhi, Al-Tafsir
al-falsafi, Al-Tafsir al-‘ilmi, dan Al-Tafsir al-Adab al-ijtima’i.
c. Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Tahlily
Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
• Tafsir al-Qur’an al-‘azhim karya Ibn Katsir.
• Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany.
• Ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir
karya al-Lusi, Fakhr al-Din al-Razi, dan Ibn Jarir al-Thabari;
• Ada yang sedang, seperti kitab Tafsir Imam al-Baidhawi dan
al-Naisaburi;
• dan ada pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat,
seperti kitab Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Din Suyuthi dan
Jalal al-Din al- Mahalli dan kitab Tafsir yang ditulis Muhammad
Farid Wajdi.
d. Kelebihan dan kekurangan metode Tahlily
1) Kelebihan metode Tahlily
a) Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau
ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan
sebagaimana terdapat dalam mushaf.
b) Mudah mengetahui relevansi/munasabah antara suatu
surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya.
c) Memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran
pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu
merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat
yang ditafsirkan sama atau hampir sama.

14
Said Agil Husin Al-munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), 70.
d) Mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi
hukum, sejarah, sains, dan lain-lain..15
2) Kelemahan metode Tahlily
a) Menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan
kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.16
b) Faktor subyektivitas tidak mudah dihindari misalnya
adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan
pendapatnya.
c) Terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama
terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama.17
d) Masuk pemikiran Israiliyyat.18
e. Urgensi metode Tahlily
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang
sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah
intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Berkat
metode ini, maka lahir karya-karya tafsir yang besar-besar
sebagaimana yang telah disebutkan di depan. Berdasarkan kenyataan
itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dapat dipungkiri oleh
siapapun. Dalam penafsiran Al-Qur’an, jika ingin menjelaskan dengan
firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqih,
teologi, filsafat, sains, dan sebagainya, maka di sini metode Tahlily
lebih berperan dan lebih dapat diandalkan dari pada metode-metode
yang lain.
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan, bahwa jika
menginginkan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan
15
Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005), 218-219.
16
Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Studi Atas
Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), (Semarang: CV. Gunung Jati, 2000), 24.
17
Didin Saefuddin Buchori, Ibid., 219.
18
Israiliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan
dengan tafsir maupun dengan hadits berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan
pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya. Dikatakan juga bahwa Israiliyyat
termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan
hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut
sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak Aqidah kaum Muslimin. (lihat di Supiana, dan M.
Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002),
198.)
melihatnya dari berbagai aspek, maka jalan yang ditempuh adalah
menggunakan metode tahlily. Dan inilah salah satu urgensi pokok bagi
metode ini dibandingkan dengan yang lain.
2. Metode Tafsir Ijmaly
a. Pengertian
Metode Tafsir Ijmaly adalah suatu metode Tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna
global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat
demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf; kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.19
Muffasir dengan metode ini, dalam penyampaiannya,
menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan
idiom yang mirip, bahkan sama dengan Al-Qur’an. Sehingga
pembacanya merasakan seolah-olah Al-Qur’an sendiri yang berbicara
dengannya. Sehingga dengan demikian dapatlah diperoleh
pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah kepada
tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan
bagus.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode ini,
mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbab al-nuzul atau
peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti
hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain
terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat
singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang

memadai. Penafsiran tentang( ), misalnya, dia hanya


berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula

penafsiran hanya dikatakan: Yang


dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian
sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.

19
Abdl Al-Hayy Al-Farmawi. Ibid., 29.
Sedangkan tafsir tahlili (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk
menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman.20

b. Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Ijmaly


Diantara kitab-kitab Tafsir dengan metode Ijmaly adalah:
Tafsir al-jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din
al-Mahalli, Shofwah al-bayan Lima’ani Al-Qur’an, karya Syeikh
Husnain Muhammad Mukhlut, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya
ustadz Muhammad Farid Wajdy, Tafsir al-Wasith, karya Tim Majma’
al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar Mesir.21
c. Kelebihan dan kekurangan metode Ijmaly
1) Kelebihan metode Ijmaly
a) Praktis dan mudah dipahami
b) Bebas dari penafsiran israiliat
c) Akrab dengan bahasa Al-Qur’an
2) Kekurangan metode ijmaly
Kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam metode ini antara
lain sebagai berikut:
a) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat Parsial.
b) Tidak mampu mengantarkan pembaca untuk
mendialogkan Al-Qur’an dengan permasalahan sosial maupun
keilmuan yang aktual dan problematis.
d. Urgensi Metode Ijmaly
Dalam kaitan ini, bagi para pemula atau mereka yang tidak
membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat, maka
tafsir yang menggunakan metode Ijmaly ini sangat membantu dan
tepat sekali untuk digunakan. Hal itu disebabkan uraian di dalam tafsir
yang menggunakan metode ini sangat ringkas dan tidak berbelit-belit,
sehingga relatif lebih mudah dipahami oleh mereka yang berada pada
tingkat ini.

20
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin). Diakses tanggal 12 Oktober 2009.
21
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005),46.
Kondisi tafsir Ijmaly yang ringkas dan sederhana ini juga lebih
cocok bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan rutin sehari-hari.
Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat urgen bagi mereka
yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir dan mereka yang
sibuk dalam mencari kehidupannya.
Dalam kondisi yang demikian akan dapat dirasakan betapa
cocoknya tafsir Ijmaly ini bagi mereka dalam rangka membimbing
mereka ke jalan yang benar serta diridhai Allah.
3. Metode Tafsir Muqaran
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para
mufassir. Disini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat Al-
Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah
mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka,
apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah
tafsir mereka itu tafsir bi al-ma’tsur maupun al-tafsir bi al-Ra’yi.22
Kemudian ia menjelaskan bahwa diantara mereka ada yang
corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya.
Ada diantara mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni
segi-segi I’rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak
penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang
balaghah, seperti Abdl al-Qahar al-Jurjany dalam kitab tafsirnya I’jaz
al-Qur’an dan Abu Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna dalam kitab
tafsirnya al-Majaz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu
ma’any, bayan,badi’,haqiqat dan majaz.23
Jadi metode tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok
ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antar ayat dengan ayat,
atau antara ayat dengan hadits, atau antara pendapat ulama tafsir
dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang
dibandingkan itu.
22
Abdl Al-Hayy Al-Farmawi. Ibid., 30.
23
Said Agil Husin al-Munawar, ibid., 73
b. Objek kajian metode Tafsir Muqaran
Objek kajian tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan
kepada tiga, yaitu:
1) Perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat lain
Contoh:
• Penafsiran disebabkan perbedaan redaksi namun peristiwa
yang dibicarakannya sama, diantaranya yang terdapat dalam
Q.S. al-An’am ayat 151 dan Q.S. al-Isra’ 31.
  
     
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena
takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan
kepada mereka”
  
   
  
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka
dan juga kepadamu”.24

• Penafsiran dengan redaksi yang hampir sama (mirip)


dengan pembicaraan masalah yang berbeda, diantaranya
terdapat Q.S Ali ‘Imran ayat 126 dan Q.S. al-Anfal ayat 10.
   
 
 
     
   
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu
melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan

24
Kedua ayat tersebut, menggunakan redaksi yang berbeda, namun membicarakan
masalah yang sama, yakni larangan membunuh anak-anak. Menurut al-Zarkasyi perbedaannya
tampak pada khitab. Ayat pertama khitabnya orang-orang fakir (fuqara’) dengan dhomir kum,
sehingga menggunakan redaksi min imlaq, yang berarti karena miskin. Sedangkan ayat kedua
khitabnya orang-orang kaya (aghniya’) dengan dhomir hum, sehingga memakai redaksi khasyyah
imlaq, yang berarti takut miskin. Jadi pada ayat pertama, dhomir kum didahulukan bertujuan untuk
menghilangkan kekhawatiran orang miskin karena tidak mampu memberi nafkah kepada anak-
anaknya, sedangkan pada ayat kedua dhomir hum didahulukan agar orang kaya yakin bahwa yang
memberi nafkah kepada anak-anaknya itu Allah bukan orang kaya (lihat Supiana dan Karman),
323.
agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
            
           
        
         
             
     
“Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu),
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi
tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.25

2) Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadits


Cara kerjanya adalah:
• Menentukan nilai hadits yang akan diperbandingkan
dengan ayat Al-Qur’an. Hadits itu haruslah shahih. Hadits dhaif
tidak diperbandingkan karena, disamping nilai otentisitasnya
rendah, dia justru semakin tertolak karena pertentangannya
dengan ayat Al-Qur’an.
• Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang
dijumpai di dalam kedua redaksi yaitu ayat dengan hadits itu.
• Membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam
menafsirkan ayat dan hadits tersebut.
Contohnya adalah: perbedaan antara ayat al-Qur’an surah al-
Nahl:32 dengan hadits riwayat Tirmidzi di bawah ini:
  
  
“Masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang Telah
kamu kerjakan". (Q.S. Nahl:32)
(‫لن يدخل أحدكم الجنة بعمله )رواه الترمذى‬
25
Ayat yang pertama berkaitan dengan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin
dalam perang Uhud, sedangkan pada ayat kedua berkaitan dengan perang Allah kepada kaum
Muslimin dalam perang Badr. Variasi didahulukannya penempatan kata bih dan penambahan inna
(taukid ), dimungkinkan sebagai penekanan atau penegasan kandungan ayat tersebut, yakni janjian
bantuan dari Allah bagi kaum muslimin dalam perang Badr yang masih lemah. Sedangkan ayat
yang berkaitan dengan perang Uhud tidak ada taukid, karena kaum muslimin sudah kuat dan
pertolongan Allah terbukti dalam perang Badr. (ibid,. 324.)
“Tidak akan masuk seorangpun diantara kamu ke dalam surga
disebabkan perbuatannya”. (H.R. Tirmidzi)26

3) Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir yang lain.


Contoh: Surat al-An’am ayat 103 yang berbunyi:
   
   
   
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi
Maha Mengetahui.”27

Sedangkan dalam perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan


yang lain, mufassir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan
mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu bila mungkin,
dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas
argumentasi masing-masing.28

c. Kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode muqaran


Diantara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah
• Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Tanwil, karya al-Iskafi yang
terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat.
• Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, karya al-Qurthubi yang
membandingkan penafsiran para mufassir.

26
Antara ayat al-Qur’an dan hadits diatas terkesan ada pertentangan. Untuk
menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara: Pertama, dengan menganut
pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya,
tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat diatas tidak disalahkan, karena
menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya.
Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini
sejalan dengan hadits lain, yaitu:
(‫إن أهل الجنة إذا دخلوها نزلوا فيها بفضل عملهم )رواه الترمذى‬
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya
berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (H.R. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat diatas berbeda konotasinya dengan yang
ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab. Jadi,
dengan penafsiran seperti itu, maka kesan kontradiksi antara ayat al-Qur’an dan hadits diatas dapat
dihilangkan. (lihat Quraish Shihab dkk., Sejarah Dan Ulum al-Qur’an), 190-191.
27
Ayat ini berbicara dalam konteks orang-orang mukmin melihat Allah di akhirat,
suatu diskursus teologis yang melibatkan banyak orang dalam perdebatan, khususnya kelompok
Salaf dan kaum Rasionalis. Menurut kaum Salaf, kendati di dunia Allah tidak bisa dilihat, namun
di akhirat nanti bisa. Tetapi menurut Mu’tazilah baik di dunia maupun di akhirat Allah tidak bisa
dilihat oleh kasat mata. (lihat Supiana dan M. Karman), 325.
28
Quraish shihab, .Ibid, 191.
• Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, karya ‘Ali al-
Shabuny.
• Qur’an and its Interpreters adalah satu karya tafsir yang lahir
di zaman modern ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyub.
d. Kelebihan dan kekurangan metode muqaran
1) Kelebihan metode Muqaran
• Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap
pendapat orang lain.
• Tafsir dengan metode muqaran ini amat berguna bagi
mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu
ayat.
• Dengan menggunakan metode muqaran ini, maka mufassir
didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta
pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
2) Kekurangan metode tafsir muqaran
Diantara kekurangan metode ini adalah:
• Penafsiran yang menggunakan metode ini, tidak dapat
diberikan kepada para pemula.
• Metode muqaran kurang dapat diandalkan untuk menjawab
permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu
disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan
daripada pemecahan masalah.
• Metode muqaran terkesan lebih banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan oleh ulama
daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.
Sebenarnya kesan serupa itu tak perlu timbul bila mufassirnya
kreatif.
e. Urgensi metode muqaran
Pada abad modern sekarang, tafsir dengan metode ini terasa
makin dibutuhkan oleh umat. Hal itu terutama dikarenakan timbulnya
berbagai paham dan aliran yang kadang-kadang jauh keluar dari
pemahaman yang benar. Dengan menggunakan metode muqaran ini,
akan dapat diketahui mengapa penafsiran yang menyimpang itu timbul
dan bahkan dapat membuat sikap ekstrim di kalangan sebagian
kelompok masyarakat.
Dengan metode muqaran ini amat penting posisinya, terutama
dalam rangka mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan
objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih
komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu
penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran
dalam mengembangkan penafsiran Al-Qur’an pada periode-periode
selanjutnya.
4. Metode tafsir maudhu’i
a. Pengertian
Metode tafsir maudhu’i juga disebut dengan dengan metode
tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai
maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik
masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya
ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan
dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir
melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’i, dimana ia
melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis
berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk
menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami
permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya,
sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang
terdalam dan dapat menolak segala kritik.29
b. Cara kerja tafsir maudhu’i
Al-Farmawi di dalam kitab al-Bidayah fi al-Tafsir al-
maudhu’i30 secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus
ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini.
Antara lain adalah sebagai berikut:

29
Abdl Al-Hayy Al-Farmawi. Ibid., 36-37.
30
Ibid., 45-46.
• Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an yang akan dikaji
secara maudhu’iy (tematik).
• Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah yang telah ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah.
• Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi
masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang
turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
• Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya.
• Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas,
sistematis, sempurna dan utuh (outline).
• Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila
dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna
dan semakin jelas.
• Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh
dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian
serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘am dan khash,
antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mengsingkronkan ayat-
ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh
dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu
muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan
terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.31
• Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-
Qur’an terhadap masalah yang dibahas.32
c. Bentuk kajian Tafsir Maudhu’iy
Disini tafsir maudhu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu:
1) Tafsir yang membahas satu surat secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan
khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang

31
Alf tih Suryadilaga, ibid., 48.
32
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (tt: Tafakur, tt), 116.
dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang
betul-betul utuh dan cermat.
Menurut Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu
surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut
bersumber dari informasi Rasulullah saw. Ia mencontohkan surah
al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat
berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari
kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui
bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang
menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum
surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di dalam
surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna
perlindungan itu.
Tafsir maudhu’iy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah
lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr
al-Din al-Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama
tafsir lebih menekuninya secara serius.
2) Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai
surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-
ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah
satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’iy.
Bentuk kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita
ketika mendengar istilah Tafsir maudhu’iy itu diucapkan.
Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya
itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada kesimpulan
yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-
Qur’an. Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan
menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan
tujuan menemukan pandangan Al-Qur’an mengenai hal tersebut.
Contoh: ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada
ayat-ayat di bawah ini:
   
    
  
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”. (al-
An’am:152).
 
    
   
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig)
harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk”.(Surat an-Nisa’:2)
Dan surat An-nisa’:6, 10 dan ayat 127.

d. Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy


Sebagian kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode
maudhu’iy ini adalah: al-mar’ah fi al-Qur’an dan al-Insan fi al-
Qur’an al-Karim karya Abbas Mahmud al-Aqqad; al-Riba fi al-
Qur’an al-Karim karya Abu al-‘A’la al-Maududi; al-Wasyaya al-‘Asyr
karya Syaikh Mahmud Syaltut; Tema-tema Pokok al-Qur’an karya
Fazlur Rahman; dan Wawasan al-Qur’an Tafsir maudhu’i atas
perbagai Persoalan umat karya M.Quraish Shihab.33
e. Kelebihan dan kekurangan metode Maudhu’iy
1) Kelebihan metode maudhu’iy
 Hasil tafsir maudhu’iy memberikan pemecahan terhadap
permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus
memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara
orang bahwa al-Qur’an hanya mengandung teori-teori
spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
 Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu
berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan
terhadap al-Qur’an.

33
Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, 194.
 Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik
tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fasahat
dan balaghah al-Qur’an.
 Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara
lebih mendalam dan lebih terbuka.
 Tafsir maudhu’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.
2) Kekurangan metode Maudhu’iy
 Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu
dalam.
 Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat,
tapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan
saja.
f. Urgensi metode maudhu’iy
Didepan telah penulis singgung bahwa tafsir dengan metode
maudhu’iy lebih dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan
kehidupan di muka bumi ini. Itu berarti, metode ini besar sekali artinya
dalam kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang
benar sesuai dengan maksud diturunkannya Al-Qur’an.
Berangkat dari pemikiran yang demikian, maka kedudukan
metode ini menjadi semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam.
Oleh karenanya metode ini perlu dimiliki oleh para ulama, khususnya
oleh para mufassir atau calon mufassir agar mereka dapat memberikan
kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan yang benar
demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
PENUTUP

Melihat kenyataan diatas, setiap metode mempunyai efektifitas masing-


masing. Dan karena al-Qur’an merupakan kitab untuk semua bangsa serta semua
tingkatan, maka kajian terhadap al-Qur’an perlu dilakukan dengan sangat hati-hati
dan proporsional.
Bahwa al-Qur’an berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk.
Agar fungsi ideal itu dapat teraplikasikan maka al-Qur’an harus dipelajari dan
diupayakan penafsirannya. Untuk kebutuhan penafsiran dimaksud diperlukan
adanya kerangka dasar yang relevan yaitu sebuah metode. Jadi, keberadaan
sebuah metode dalam penafsiran mutlak diperlukan. Dan yang paling populer dari
keempat metode penafsiran yang penulis sebutkan di muka adalah metode tahlily
yang bersifat parsial dan metode maudhu’iy yang bersifat integral.
Adalah suatu kenyataan bahwa tafsir al-Qur’an ditulis dengan metode dan
pendekatan yang bervarian. Ini suatu bukti dari kesungguhan para ulama untuk
terus berusaha memahami al-Qur’an dari berbagai aspek dan kemampuan yang
dimiliki. Dan ini belum final, karena usaha untuk lebih menyempurnakan metode
dan pendekatan tafsir terus dilakukan hingga sekarang, sehingga perlu disambut
dengan cukup setiap upaya untuk terus meningkatkan pemahaman terhadap al-
Qur’an
Tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap metode yang digunakan mufassir
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu upaya
untuk terus mencari alternatif metode tafsir dengan banyak belajar dari metode-
metode dan pendekatan-pendekatan tafsir yang sudah ada dan merupakan warisan
yang tak ternilai.
Untuk itu perlu dicari metode alternatif yang kiranya memiliki relevansi
dengan zaman sekarang, dan menjadikannya menyentuh pada realitas kehidupan.
Kita semua berkewajiban melihat al-Qur’an dan salah satu bentuk
pemeliharaannya adalah memfungsikan dalam kehidupan kontemporer, yakni
dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus
tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa dengan perkembangan
positifnya.
DAFTAR PUSTAKA

Agil Husin Al-munawar, Said, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,


Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, tt: Tafakur, tt.

Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 1996.

Arif Junaidi, Akhmad, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Studi Atas


Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), Semarang: CV. Gunung
Jati, 2000.

As-Shalih, Subhi , Membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta:Pustaka Firdaus,


1995.

As-Shouwy, Ahmad, Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang IPTEK, Jakarta:


Gema Insani Preass, 1995.

Baidan, Nashruddin Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka


pelajar, 2005.

_______, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat yang


beredaksi mirip, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Buchori,Didin Saefuddin Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor:


Granada Sarana Pustaka, 2005.

Khalil al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa,


1996.

Rahardjo, Dawam, Paradigma Al-Qur’an Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,


Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah,
2005.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam


Kehidupan Masyarakat, Bndung: Mizan, 1999.
---------, Sejarah Dan ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum


Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005.

Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir,


Bandung: Pustaka Islamika, 2002.

Suryadilaga, Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2007.

Watt, W. Montgomery, Pengantar Studi Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 1995.

You might also like