Professional Documents
Culture Documents
Hal ini bisa terjadi karena alienasi (rasa keterasingan) pemeluk agama
terhadap agama yang dianutnya. Realitas keseharian Agama serasa tidak
cocok dengan Agama yang dipercaya.
Gambaran alienasi sendiri adalah seperti saat kita terbangun dari tidur
dan mendapati diri sudah berada di suatu tempat dengan situasi tertentu
yang tidak kita ketahui. Dalam situasi demikian, maka segala sesuatu di
luar-diri berusaha untuk dimengerti. Dan pada saat usaha tersebut kerap
kali menuai kegagalan, yang timbul adalah frustasi.
Pada akhirnya, manusia dihadapkan pada dua jalan. Apakah dia harus
menundukkan realitas atas gagasan ideal ataukah menundukkan yang
ideal atas realitas. Karena yang terjadi, tidak ada kenyataan yang berjalan
beriringan dengan gambaran ideal seorang manusia.
Sebenarnya ada alternative dari dua jalan tersebut. Kita sadar setiap
manusia memang mempunyai gambaran ideal akan tujuan hidup yang
diyakininya. Hanya saja kemampuan kita untuk menegosiasikan
gambaran tersebut dengan realitas amatlah penting. Kegagalan negosiasi
akan mengakibatkan satu pandangan yang ekstrim dan radikal. Jadi yang
terbaik adalah terus mendialogkan keduanya. Toh, gagasan ideal bisa
dibangun atas respon kita atas realitas.
Kembali ke kasus bom bunuh diri di atas. Saya yakin pelaku mempunyai
gagasan dalam alam idealnya. Dia percaya akan adanya Negara Islam.
Dan mengimani bahwa tidak ada Islam dalam Negara non-Islam. Realitas
Indonesia yang menganut asas Pancasila jelas bukan Negara Islam. Pre-
asumsi seperti ini berimplikasi bahwa dalam Negara yang tidak Islam
maka semua aparatnya adalah kafir. Sekalipun dia beribadah, sekalipun
berada di masjid. Karena hakikatnya, semuanya adalah tidak-seharusnya.
Kenapa harus tajug? Karena di tajug semua kegiatan ngaji bisa dilihat oleh
umum. Masyarakat sekitar mengawasi. Mengaktifkan fungsi tajug berarti
juga mengaktifkan peran pengawasan masyarakat terhadap pengajaran
agama anak-anak muda. Ini yang acapkali tidak terjangkau oleh pengurus
ranting sekalipun.
Ketiga, Selayaknya orang yang diberikan amanat. Kita sebagai orang yang
di-titipi harus menjaga kedua hal tersebut. Menjaga bukan dalam arti pasif
melainkan pro-aktif. Sejarah mengajarkan pada kita, realitas selalu saja
mendahului gerak langkah kaki. Di sini dibutuhkan kecerdasan menatap
masa depan dengan melihat pelajaran dari masa lalu.
Terakhir, Sunan Gunung Jati seakan sudah tahu bahwa pada tanggal 19
April 2011, hari Jumat pukul 12.30 di Cirebon, anak cucunya akan
mendapat cobaan dari Tuhan. Beliau hadir di dalam Masjid adz-Dzikro
pada saat kejadian di Mapolresta itu dan dengan sedih kembali ke masa
lalu. Untuk itu, sebelum meninggal, beliau mewasiatkan sesuatu yang
berguna untuk memahami peristiwa ganjil pada hari Jumat yang terkoyak
tersebut. Supaya anak cucunya tidak terlarut dalam kesedihan dan tidak
pernah tertidur untuk memahami sekelilingnya.
Penulis adalah aktivis LKM Rumba Grage (Rumpun Budaya Cirebon) di ISIF
(Institut Studi Islam Fahmina) Kota Cirebon