You are on page 1of 43

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Refluks gastroesophageal atau gastroesophageal reflux (GER) adalah suatu
keadaan kembalinya isi lambung ke esophagus dengan atau tanpa regurgitasi dan
muntah. GER merupakan suatu keadaan fisiologis pada bayi, anak-anak dan
orang dewasa sehat. GER bisa terjadi beberapa kali dalam sehari, dengan episode
terbanyak kurang dari 3 menit, dan muncul setelah makan dengan sedikit atau
tanpa gejala. Berbeda dengan GER, jika refluks isi lambung menyebabkan
gangguan atau komplikasi, inilah yang di sebut dengan GERD.1
Pada bayi, gejala berupa muntah yang berlebih yang terjadi pada 85%
pasien selama seminggu pertama kehidupan, sedangkan 10% lainnya baru timbul
dalam waktu 6 minggu. Tanpa pengobatan gejala akan menghilang pada 60%
pasien sebelum umur 2 tahun pada posisi anak sudah lebih tegak dan makan
makanan padat, tetapi sisanya mungkin terus menerus mempunyai gejala sampai
sekurang-kurangnya berumur 4 tahun.2
Sebuah penelitian di Inggris pada tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak
dengan diagnosis GERD, dengan angka kejadian sekitar 0,84 per 1000 anak per
tahun. Insiden rendah pada anak umur 1-12 tahun dan meningkat kejadiannya
hingga berumur 16-17 tahun.3
Pada bayi dan balita, tidak ada gejala kompleks yang dapat menegakan
diagnosis GERD atau memprediksi respon terhadap terapi. Pada anak yang lebih
besar dan remaja, seperti pada pasien dewasa, anamnesa dan pemeriksaan fisik
mungkin cukup untuk mendiagnosis GERD, jika terdapat gejala yang khas. Gejala
dapat berupa mual, muntah, regurgitasi, sakit uluhati, gangguan pada saluran
pernafasan dan gejala-gejala lain.1 Sedangkan komplikasi pada GERD dapat
berupa perdarahan, striktur, Barret esophagus yang dapat berkembang menjadi
adenokarsinoma esophagus, dimana semua komplikasi tersebut dapat menggangu
pertumbuhan maupun perkembangan anak.4

1
1.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) pada anak

1.3. Tujuan Penulisan


Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang
patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD) pada anak.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan referat ini berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
literatur-literatur yang berkaitan dengan patogenesis, diagnosis dan
penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) pada anak.

1.5. Manfaat Penulisan


Penulisan refrat ini diharapkan bisa bermanfaat dan memberikan pengetahuan
tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksaan Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD) pada anak.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Sistem Pencernaan


Esophagus berkembang dari usus depan postpharyngeal dan dapat dibedakan dari
perut pada usia embrio minggu ke empat. Pada saat yang sama, trakea mulai
kuncup ke anterior esophagus yang berkembang. Gangguan tahap ini dapat
mengakibatkan kelainan bawaan seperti tracheoesophageal fistula. Panjang
esofagus adalah 8-10 cm pada saat lahir, dan dua kali lipat lebih panjang dalam 2-
3 tahun pertama kehidupan, dan mencapai 25 cm pada orang dewasa. Bagian
abdominal dari esofagus berukuran besar pada minggu ke 8 janin tetapi secara
bertahap memendek menjadi beberapa millimeter pada saat lahir, mencapai
panjang akhir = 3 cm setelah beberapa tahun.5
Lokasi intraabdominal pada kedua esofagus distal dan sphincter
esophageal letak rendah (LES) merupakan mekanisme antireflux yang penting,
karena peningkatan tekanan intra-abdominal juga ditularkan untuk sphincter,
untuk meningkatkan pertahanan. Menelan dapat terlihat dalam rahim sedini
mungkin pada usia 16-20 minggu kehamilan, untuk membantu sirkulasi cairan
ketuban. Polihidramnion adalah tanda khas dari kurangnya menelan normal atau
adanya obstruksi di esophagus atau di bagian atas saluran pencernaan. Mengisap
dan menelan tidak sepenuhnya terkoordinasi dengan baik sebelum minggu 3-4
kehamilan.5

2.2 Anatomi Sistem Pencernaan


Pada kedua ujung esophagus terdapat otot sfingter, sfingter esophagus bagian atas
(Upper Esophageal Sphincter/UES) pada otot cricopharingeus dan sfingter
esophagus bagian bawah (Lower Esophageal Sphincter/LES) pada
gastroesophageal junction (GEJ). Dalam keadaan normal berada dalam keadaan
tonik atau kontraksi kecuali waktu menelan. Sfingter esophagus bagian bawah
bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke esophagus.4

3
Dinding esophagus seperti juga bagian lain dari saluran cerna, terdiri dari
4 lapisan yaitu : mukosa, submokasa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa
terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini
mengalami perubahan mendadak pada berbatasan esophagus lambung (garis Z)
dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esophagus dalam keadaan normal
bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan
submukosa mengandung sel-sel sekretori yang menghasilkan mucus. Mukus
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melinduni mukosa dari
cedera akibat zat kimia.4
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular.
Otot pada 5% bagian atas esophagus merupakan otot rangka sedangkan otot pada
separuh bagian bawah merupakan otot polos. Bagian yang diantaranya itu terdiri
dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan saluran cerna lainnya,
bagian luar esophagus tidak memiliki lapisan serosa maupun selaput peritoneum,
melainkan lapisan luar yang terdiri dari lapisan ikat jarang yang menghubungkan
esophagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.6
Persarafan esophagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis dari
sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus yang
dianggap merupakan saraf motorik esophagus. Fungsi serabut simpatis kurang
diketahui. Selain persarafan ekstrinsik tersebut terdapat jala-jala serabut saraf
intramural intrinsic diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus
Aurbach atau Myenterikus) dan berperan untuk mengatur peristaltik esophagus
normal.6
Distribusi darah esophagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai
oleh cabang-cabang arteri tiroidea inferior dan subclavia. Bagian tengah disuplai
oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteri bronchial. Sedangkan bagian
subdiafragma disuplai oleh arteri gastrika sinistra dan frenika inferior. Aliran
darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena-vena esophagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azygous dan hemiazygous dan dibawah diafragma,
vena esofagia masuk ke dalam vena gasrika sinistra.6

2.3 Fisiologi Sistem Pencernaan

4
Transpor dan pencampuran makanan dalam saluran pencernaan

a. Mengunyah
Mengunyah makanan bersifat penting untuk pencernaan semua makanan, tetapi
terutama sekali untuk sebahagian besar buah dan sayur-sayuran mentah karena zat
ini mempunyai membran selulosa yang tidak dapat dicerna diantara bagian-
bagian zat nutrisi yang harus di uraikan sebelum makanan dapat di gunakan.
Selain itu, mengunyah akan membantu pencernaan makanan karena enzim-enzim
pencernaan hanya akan bekerja pada permukaan partikel makanan. Selain itu,
menggiling makanan hingga menjadi partikel-partikel dengan konsistensi sangat
halus akan mencegah ekskoriasi traktus gastrointestinal dan meningkatkan
kemudahan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus halus dan
kemudian ke semua segmen usus berikutnya.7

b. Menelan
Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang
mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan
membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3) tahap
esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari faring
ke lambung.7
- Tahap esofageal dari penelanan.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari faring ke
lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut.
Normalnya esofagus memperlihatkan dua tipe peristaltik : peristaltik primer
dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari
gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esofagus
selama tahap faringeal dari penelanan.7
Gelombang ini berjalan dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8 sampai
10 detik. Makanan yang ditelan seseorang dalam posisi tegak biasanya
dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih cepat dari gelombang
peristaltik itu sendiri, sekitar 5-8 detik, akibat adanya efek gravitasi tambahan

5
yang menarik makanan ke bawah. Jika gelombang peristaltik primer gagal
mendorong semua makanan yang telah masuk esofagus ke dalam lambung,
terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan
esofagus oleh makanan yang tertahan, dan terus berlanjut sampai semua
makanan dikosongkan ke dalam lambung. Gelombang sekunder ini sebagian
dimulai oleh sirkuit saraf mienterikus esofagus dan sebagian oleh refleks-
refleks yang dihantarkan melalui serat-serat aferen vagus dari esofagus ke
medula dan kemudian kembali lagi ke esofagus melalui serat-serat eferen
vagus. 7
Susunan otot faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot lurik.
Karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini hanya diatur oleh impuls saraf
rangka dalam saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada duapertiga bagian
bawah esofagus, ototnya merupakan otot polos, namun bagian esofagus ini
juga secara kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja melalui hubungannya
dengan sistem saraf mienterikus. Sewaktu saraf vagus yang menuju esofagus
terpotong, setelah beberapa hari pleksus saraf mienterikus esofagus menjadi
cukup terangsang untuk menimbulkan gelombang peristaltik sekunder yang
kuat bahkan tanpa bantuan dari refleks vagal. Karena itu, sesudah paralisis
refleks penelanan, makanan yang didorong dengan cara lain ke dalam
esofagus bagian bawah tetap siap untuk masuk ke dalam lambung.7
Relaksasi reseptif dari lambung. Sewaktu gelombang peristaltik esofagus
berjalan ke arah lambung, timbul suatu gelombang relaksasi, yang
dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului peristaltik.
Selanjutnya, seluruh lambung dan sedikit lebih luas bahkan duodenum
menjadi terelaksasi swaktu gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus
dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan
yang didorong ke bawah esofagus selama proses menelan.7
- Fungsi sfingter esofagus bagian bawah ( sfingter gastroesofageal)
Pada ujung bawah esofagus,meluas dari sekitar dua sampai lima sentimeter
diatas perbatasan dengan lambung, otot sirkular esofagus berfungsi sebagai
sfingter esofagus bagian bawah atau sfingter gastroesofageal. Secara

6
anatomis,sfingter ini tidak berbeda dengan bagian esofagus yang lain. Secara
fisiologis normalnya sfingter tetap berkonstriksi secara tonik (dengan tekanan
intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30 mmHg), berbeda dengan
bagian tengah esofagus antara sfingter bagian atas dan bagian bawah, yang
normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelanan
melewati esofagus, relaksasi reseptif akan merelaksasi sfingter esofagus
bagian bawah medahului gelombang peristaltik dan mempermudah dorongan
makanan yang ditelan ke dalam lambung. Sangat jarang, sfingter tidak
berelaksasi dengan baik, mengakibatkan keadaan yang disebut akalasia.7
Isi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim proteolitik.
Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah esofagus, tidak
mampu menahan kerja pencernaan yang lama dari sekresi getah lambung.
Konstriksi tonik dari sfingter esofageal bagian bawah akan membantu untuk
mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali
pada keadaan abnormal.7
Pencegahan tambahan terhadap refluks dengan penutupan seperti katup di
ujung distal esofagus. Faktor lain yang mencegah refluks adalah mekanisme
seperti katup pada bagian esofagus yang pendek yang terletak tepat di bawah
diafragma sebelum mencapai lambung. Peningkatan tekanan intraabdominal
akan mendesak esofagus pada titik ini ke dalam pada saat yang bersamaan
ketika tekanan ini meningkatkan tekanan intragastrik. Jadi, penutupan seperti
katup ini, pada esofagus bagian bawah akan mencegah tekanan abdominal
yang tinggi yang berasal dari desakan isi lambung ke dalam esofagus. Kalau
tidak, setiap kali kita berjalan, batuk atau bernafas kuat, kita mungkin
mengeluarkan asam ke dalam esofagus.7

2.4 Definisi
Gastroesofageal reflux (GER) atau Refluks Gastroesofageal (RGE) adalah suatu
keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga
menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus. Gastroesophageal reflux

7
disease (GERD) adalah GER yang dihubungkan dengan gejala patologis yang
mengakibatkan komplikasi dan gangguan kualitas hidup.8,9

2.5 Epidemiologi
Masih sedikit data yang ditemukan mengenai prevalensi dan insidensi GERD
pada anak. Di USA, dilaporkan prevalensi GERD adalah 1139 pasien berusia 3-17
tahun melalui kuesioner sebuah study. Sebuah studi di UK pada tahun 2000-2005
ditemukan 1700 anak dengan diagnosis awal GERD. Dan angka kejadiannya
adalah sekitar 0,84 per 1000 anak per tahun. Insiden ini menurun pada anak umur
1-12 tahun dan meningkat kejadiannya hingga berumur 16-17 tahun.3
GERD terdapat hampir lebih dari 75 % pada anak dengan kelainan
neurologi. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya koordinasi antara peristaltik
esophagus dan peningkatan tekanan intraabdominal yang berasal dari hipertonus
otot yang dihubungkan dengan spastisitas. Di Indonesia sendiri insidens RGE
sampai saat ini belum diketahui, tetapi menurut beberapa ahli, RGE terjadi pada
50% bayi baru lahir dan merupakan suatu keadaan yang normal.8,10

2.6 Etiologi
Inflamasi esophagus bagian distal terjadi ketika cairan lambung dan duedonum,
termasuk asam lambung, pepsin, tripsin, dan asam empedu mengalami regurgitasi
ke dalam esophagus. Penurunan tonus spingter esophagus bagian bawah dan
gangguan motilitas meningkatkan waktu pengosongan esophagus dan
menyebabkan GER. Inflamasi esophagus nantinya dapat mengakibatkan kedua
mekanisme diatas, seperti lingkaran setan.11
Walaupun penurunan tonus spingter bagian bawah terjadi pada bayi
dengan GER, GERD, dan kelainan dismotilitas, akan tetapi ada satu faktor yang
belakangan diakui sebagai pathogenesis terpenting pada GERD adalah terjadinya
relaksasi transien spingter esophagus bawah secara berulang. Faktor yang
meningkatkan waktu pengosongan esophagus termasuk didalamnya interaksi
antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi makanan yang dimakan, pengosongan
lambung abnormal, dan kelainan peristalsis esophagus.11

8
2.7 Patogenesis
Gastroesophageal reflux adalah suatu proses fisiologis normal yang mucul
beberapa kali sehari pada bayi, anak dan dewasa yang sehat. Pada umumnya
berlangsung kurang dari 3 menit, terjadi setelah makan, dan menyebabkan
beberapa gejala atau tanpa gejala. Hal ini disebabkan oleh relaksasi sementara
pada sfingter esofagus bawah atau inadekuatnya adaptasi tonus sfingter terhadap
perubahan tekanan abdominal. Kekuatan sfingter esofagus bawah, sebagai barier
antirefluks primer, normal pada kebanyakan anak dengan gastroesophageal
reflux.1, 12
Gastroesophageal reflux terjadi secara pasif karena “katup” antara
lambung dan esofagus tidak berfungsi baik, baik karena hipotonia sfingter
esofagus bawah, maupun karena posisi sambungan esofagus dan kardia tidak
sebagaimana lazimnya yang berfungsi sebagai katup. Kemungkinan terjadinya
refluks juga dipermudah oleh memanjangnya waktu pengosongan lambung.13
Jika sfingter esophagus bagian bawah tidak berfungsi baik, dapat timbul
refluks yang hebat dengan gejala yang menonjol. Meskipun dilaporkan bahwa
tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan refluks, tetapi
mekanisme yang lebih penting adalah peran tonus sfingter yang berkurang, baik
dalam keadaan akut maupun menahun.2
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) terjadi jika isi lambung refluks
ke esofafus atau orofaring dan menimbulkan gejala. Petogenesis GERD ini
multifaktorial dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks, asiditas lambung,
pengosongan lambung, mekanisme klirens esofagus, barier mukosa esofagus,
hipersensitivitas visceral, dan respon jalan napas.12
Refluks paling sering terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter esofagus
bawah tidak bersamaan dengan menelan, yang memungkinkan isi lambung
mengalir ke esofagus. Proporsi minor episode refluks terjadi ketika tekanan
sfingter esofagus bawah gagal meningkat saat peningkatan mendadak tekanan
intraabdominal atau ketika tekanan sfingter esofagus bawah saat istirahat
berkurang secara kronis. Perubahan pada beberapa mekanisme proteksi
memungkinkan refluks fisiologis menjadi Gastroesophageal Reflux Disease :

9
klirens dan pertahanan refluks yang tidak memadai, lambatnya pengosongan
lambung, kelainan pada pemulihan dan perbaikan epitel, dan menurunnya reflex
protektif neural pada saluran aerodigestif.1

2.8 Manifestasi Klinis


Anamnesis
Kita harus ingat bahwa gejala tipical / khas (misalnya, heartburn, muntah,
regurgitasi) pada orang dewasa tidak dapat langsung dinilai pada bayi dan anak-
anak. Pasien anak dengan refluks gastroesophageal (RGE) biasanya menangis dan
gangguan tidur serta penurunan nafsu makan. Berikut ini adalah beberapa dari
tanda-tanda umum dan gejala refluks gastroesofagus pada populasi anak-anak:14
Tanda dan gejala gastroesophageal reflux pada bayi dan anak kecil :
 Tangisan khas atau tidak khas / gelisah
 Apnea / bradikardi
 Kurang nafsu makan
 Peristiwa yang mengancam nyawa/ALTE (Apparent Life Threatening Event)
 Muntah
 Mengi (wheezing)
 Nyeri perut / dada
 Stridor
 Berat badan atau pertumbuhan yang buruk (failure to thrive)
 Pneumonitis berulang
 Sakit tenggorokan
 Batuk kronis
 Waterbrash
 Sandifer sindrom (yaitu, sikap dengan opisthotonus atau torticollis)
 Suara serak / laringitis

Tanda dan gejala pada anak yang lebih tua - Semua yang diatas, ditambah
heartburn dan riwayat muntah, regurgitasi, gigi tidak sehat, dan mulut berbau
(halitosis).14

10
Fisik
Tidak ada tanda-tanda fisik klasik refluks gastroesophageal ditemukan pada
populasi anak-anak. Satu pengecualian akan menjadi sindrom Sandifer relatif
tidak umum, yang sering salah diagnosis sebagai spastic torticollis. Pada balita
dan anak-anak yang lebih tua, regurgitasi yang berlebihan dapat mengakibatkan
masalah gigi signifikan disebabkan oleh efek asam pada enamel gigi.14
ALTEs yang melibatkan apnea berhubungan dengan bradikardi, muka
pucat, dan / atau sianosis telah dikaitkan dengan refluks gastroesophageal,
terutama pada bayi prematur. Dalam peristiwa ini, refluks ke hipofaring
dipostulatkan untuk mengarah ke laryngospasm dan apnea obstruktif. Namun,
data hanya menunjukkan hubungan yang lemah diantara fenomena. Setiap
hubungan tersebut hanya dapat ditentukan secara objektif dengan memantau pH
esofagus, dilakukan bersamaan dengan pneumography dan baik termistor hidung
atau merekam denyut oksimetri.14
Beberapa pasien memiliki gejala atipikal (misalnya, batuk malam hari,
mengi, atau suara serak sebagai keluhan utama saja). Refluks gastroesophageal
merupakan faktor penyulit pada asma. Mekanisme ini dapat mencakup
microaspiration, yang mengarah ke reflex bronkokonstriksi. Asosiasi
gastroesophageal reflux dan jalan nafas atau penyakit saluran pernapasan adalah
umum. Batuk, stridor, dan faringitis semuanya telah dikaitkan dengan refluks
gastroesophageal. Selain itu, asosiasi dengan ruminasi umumnya diamati pada
pasien dengan gangguan perkembangan.14
Regurgitasi makanan, salah satu gejala presentasi yang paling umum pada
anak-anak, berkisar dari air liur sampai muntah proyektil. Paling sering,
regurgitasi adalah postprandial, meskipun penundaan 1-2 jam terjadi. Kita juga
harus mempertimbangkan anomali anatomi dan alergi protein pada anak muntah,
serta gangguan metabolisme bawaan (jarang).14
Esophagitis dapat bermanifestasi sebagai menangis dan rewel pada bayi
yang belum bisa bicara. Kegagalan untuk berkembang dapat mengakibatan asupan
kalori yang tidak cukup karena muntah berulang. Cegukan, gangguan tidur, dan

11
sindrom Sandifer (melengkung) juga telah terbukti berhubungan dengan refluks
gastroesofagus dan esofagitis.14

2.9 Diagnosa
2.9.1. Riwayat dan Pemeriksaan Fisik
Peran utama dari mengetahui riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
dalam evaluasi GERD adalah untuk mengeliminasi kemungkinan penyakit lain
dengan gejala yang sama dan untuk mengidentifikasi komplikasi GERD. Gejala
khas dari penyakit refluks pada anak bervariasi sesuai dengan umur dan kondisi
medis yang mendasari, namun patofisiologi yang mendasari GERD dianggap
sama pada segala usia termasuk bayi prematur. Berdasarkan hasil studi,
regurgitasi atau muntah, sakit perut, dan batuk , kecuali heartburn, adalah gejala
yang paling sering dilaporkan pada anak-anak dan remaja dengan GERD. 1
Pada tahun 1993 dan 1996, Orenstein merumuskan sebuah kuisioner klinis
sebagai metode sederhana untuk mengidentifikasi anak dengan GERD.15

Tabel 2. Orenstein’s Modified

12
13
2.9.2. Fluoroskopi dengan kontras barium
Fluoroskopi dan kontras barium merupakan metode yang sudah lama
digunakan untuk mendiagnosis refluks gastroesofageal. Pemeriksaan dengan
kontras ini sering mengalami kegagalan dalam mendeteksi refluks gastroesofageal
secara dini, oleh karena refluks yang terjadi sering bersifat intermitten, jarang
bersifat kontinyu. Pemeriksaan barium kontras dilaksanakan secara seris dengan
mengamati refluks barium dari lambung ke esofagus.8
Dengan memakai fluoroskpi, refluks gasroesofageal lebih mudah
dideteksi.cara pemeriksaan dengan fluoroskopi : sebelum dilakukan pemeriksaan
fluoroskopi pada bayi pemberian makanan dan minuman dikurangi, sedangkan
pada anak yang lebih dewasa harus puasa, gerakana anak dikurangi. Dalam posisi
tidur barium diberikan sedikit demi sedikit dicampur dengan makanan atau
diberikan dengan memakai ‘nasogastric tube’.8
Pada bayi dapat diberikan dengan memakai botol susu. Pemberian barium
untuk mengevaluasi keadaan esofagus bagian atas terutama peristaltik esofagus
dan regurgitasi pada saat menelan. Setelah 1/3 dari total barium habis, dilakukan
pemotretan dengan sinar rontgen untuk mengevaluasi keadaan lambung dan
duodenum, stenosis pilorus, malrotasi intestinal dan melihat fungsi sfingter
gastroesofageal dengan mengganti-ganti posisi miring ke kiri dan ke kanan.8

2.9.3. PH monitoring16

Pemantauan pH esofagus adalah prosedur untuk mengukur reflux asam dari


lambung ke esofagus yang terjadi pada penyakit refluks gastroesophageal.
Monitoring pH esofagus digunakan untuk mendiagnosa efek GERD, untuk
menentukan efektivitas obat yang diberikan untuk mencegah refluks asam,
dan untuk menentukan apakah episode
refluks asam yang menyebabkan episode nyeri dada. Pemantauan pH esofagus
juga dapat digunakan untuk menentukan apakah asam mencapai faring
dan mungkin bertanggung jawab atas gejala seperti batuk, suara serak, dan sakit
tenggorokan.

14
Pemantauan pH esofagus dilakukan dengan melewatkan sebuah kateter
plastik tipis dengan diameter 1 / 16 inci melalui satu lubang hidung, terus ke
belakang tenggorokan, dan dan kedalam esofagus sejalan dengan gerakan
menelan. Ujung kateter berisi sensor yang bisa mendeteksi keadaan asam. Sensor
diposisikan dalam esofagus tepat di atas sfingter esofagus bagian bawah, sebuah
area khusus pada otot esofagus yang terletak di persimpangan antara esofagus dan
lambung yang mencegah asam mengalami refluks ke esofagus.
Kateter yang keluar dari hidung dihubungkan ke perekam yang bisa mendeteksi
refluks asam. Pasien dikirim rumah dengan kateter dan perekam terpasang dan
kembali keesokan harinya untuk melepaskan alat tersebut. Selama 24 jam kateter
terpasang, pasien bisa melakukan kegiatan seperti biasanya, misalnya, makan,
tidur, dan bekerja. Makanan, periode tidur, dan gejala dicatat oleh pasien dalam
buku harian dan atau dengan menekan tombol pada perekam. Setelah kateter
dilepaskan, perekam disambungkan ke komputer sehingga data yang telah
dikumpulkan bisa diunduh ke komputer untuk selanjutnya dianalisa dan
dimasukkan ke dalam bentuk grafis.

15
Gambar 1. pH monitoring16

Gambar 2. Continous pH monitoring; A. Refluks fisiologis; B. Refluks patologis16

16
Perangkat yang baru-baru ini dikembangkan untuk memantau pH esofagus
adalah dengan menggunakan kapsul. Kapsul tesebut berisi alat pendeteksi asam,
baterai, dan pemancar. Alat tersebut memantau asam di esofagus dan
mengirimkan informasi ke perekam yang dipasangkan pada ikat pinggang
pasien. Kapsul ini dimasukkan ke dalam esofagus dengan kateter melalui hidung
atau mulut dan melekat pada lapisan esofagus dengan sebuah klip. Kateter
kemudian dilepaskan dari kapsul, sehingga tidak ada kateter yang menonjol dari
hidung. Kapsul tersebut bekerja selama dua hari atau tiga hari, dan kemudian
baterai mati. Lima sampai tujuh hari kemudian, kapsul jatuh dari lapisan esofagus
dan keluar melalui tinja sebagai kapsul yang tidak dapat digunakan kembali.

Kelebihan dari perangkat kapsul terkait dengan tidak adanya kateter yang
menghubungkan alat ke perekam. Ada kenyamanan yang lebih besar tanpa kateter
di bagian belakang tenggorokan, dan pasien lebih mungkin untuk pergi bekerja
dan melakukan lebih banyak kegiatan normal. Kelemahan dari kapsul adalah tidak
dapat digunakan dalam faring dan, sejauh ini, belum pernah digunakan dalam
lambung.

2.9.4. Radio Nuclide Gastro Esofagosgrafi


Pemeriksaan ini dilakukan dengan Gastro esofageal scintigrafi dengan
mempergunakan “technetium 99m sulfur colloid”. Teknik ini memerlukan waktu
relatif lebih panjang dan non invasif. Pemberian secara oral dan bahannya tidak
diserap. Kemudian keadaan ini dimonitor dengan gamma kamera. Kepekaannya
70-80 %. Adanya aspirasi pada paru-paru dinyatakan dengan adanya radioaktifitas
positif pada paru.8
Dengan scintigrafi ini Heyman dkk. dapat menunjukkan adanya aspirasi
pada paru-paru sebesar 0,025 ml. Cara ini cukup baik karena tidak memerlukan
penenang yang menurunkan sfingter esofagus bagian bawah.8

17
2.9.5. Biopsi esofagus
Dengan esofagoskopi dan diperiksa PA. Pada GERD didapatkan
proliferasi lapisan basal esofagus yang meningkat.8
2.9.6. Keterlambatan waktu pengosongan lambung
Keterlambatan waktu pengosongan lambung pada bayi dengan RGE
diduga karena terdapat ketidakmampuan otot fundus lambung untuk mengadakan
kontraksi, untuk mengosongkan isi lambung. Waktu pengosongan lambung
dievaluasi 3-4 jam setelah makan. Heillemer AC dkk. mengadakan penelitian
terhadap 23 bayi pada usia 7-14 bulan dengan mempergunakan esofageal
manometer untuk melihat terjadinya refluks pada bayi, 3 jam sesudah diberi
minum atau makan. Pada makanan ditambahkan 100uTc sulfur koloid, ternyata
didapatkan pengosongan lambung pada penderita adalah 1 jam.8

2.10. Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding GERD, antara lain :
a. Hiatus hernia17
Hernia hiatus adalah suatu kelainan anatomi dimana terdapat bagian dari lambung
menonjol melalui diafragma masuk ke rongga thoraks. Pada keadaan normal,
esofagus atau tabung makanan lewat turun melalui dada,  dan memasuki rongga
abdomen melalui lubang di diafragma disebut hiatus esophagus.Tepat di
bawah diafragma, esofagus bergabung dengan lambung. Pada individu dengan
hernia hiatus, pembukaan hiatus esofagus (hiatal opening) lebih besar dari
biasanya, dan sebagian lambung bagian atas masuk  melalui hiatus ke rongga
thoraks. Diperkirakan penyebab dari hiatus hernia adalah karena hiatus esofagus
yang lebih besar dari normal,  sebagai akibat dari pembukaan besar
tersebut, bagian dari lambung masuk ke rongga thoraks. Faktor yang
berpotensi menyebabkan terjadinya hernia hiatus adalah:

a. Suatu pemendekan permanen pada esofagus (yang mungkin disebabkan karena


inflamasi atau jaringan parut akibat refluks atau regurgitasi asam lambung) yang
menyebabkan lambung tertarik keatas.

18
b. Perlekatan yang abnormal (longgar) dari esofagus ke diafragma sehingga
esofagus dan lambung naik keatas.

Gambar 3. Hernia hiatus17

19
b. Akhalasia
Merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya relaksasi esophagus terminal.
Spasme esophagus dapat menimbulkan sumbatan partial pada daerah
perbatasan gaster-esophagus, dimana dengan Ba kontras, tampak adanya
konstriksi esophagus bagian terminal dan bagian atasnya melebar. Keadaan
ini sering ditemukan pada anak lebih besar , jarang pada bayi. Pengobatannya
dengan melebarkan bagian yang mengalami konstriksi dan perlu tindakan
berulang.8
c. Stenosis pylorus hipertrofi kongenital
Pada penderita dengan stenosis pylorus terdapat muntah yang projektil terjadi
pada umur lebih dari 1 minggu. Pada permulaan gejala muntah tidak
mencolok tetapi pada usia lebih dari 1 minggu, muntah lebih sering dan lebih
jelas. Gejalanya makin berat, berat badan tidak naik. Penyebabnya tidak jelas,
diduga ada tendensi familier karena 1% dari penderita ternyata orang tuanya
juga menderita kelainan yang sama. Beberapa peneliti menduga adanya
hipertrofi otot pilorus akibat adanya spasme otot. Pendapat sarjana lain adalah
respon terhadap rangsangan atau iritasi terhadap n. vagus.8
d. Obstruksi / atresia duodenum
Atresia duodenum adalah suatu keadaan kegagalan kanalisasi pada masa
embrional disertai atresia di bagian usus lainnya. Gejala klinis yang sering
terjadi adalah muntah-muntah yang mengandung empedu. Bila atresia di
bawah ampula vateri, muntahnya berupa gumpalan susu atau muntahnya
keruh. Gejala lainnya yaitu mekonium tidak keluar dalam waktu lebih dari 24
jam. Pada penderita atresia duodenum, distensi abdomen terjadi pada bagian
atas. Bila penderita habis minum, tampak gerakan peristaltik melintasi garis
tengah, dari kiri ke kanan. Dengan foto abdomen polos, tampak adanya
gambaran “Double buble” yaitu tidak adanya gambaran udara di usus halus.
Pengobatan definitif adalah operasi.8
e. Mekonium ileus
Sering terjadi pada bayi dengan penyakit kista fibrosis yang dasar
penyakitnya adalah perubahan pada jaringan pankreas, asini atropi dan

20
inaktif, sehingga produksi enzim pankreas sangat berkurang. Juga disertai
perubahan pada kelenjer yang memproduksi lendir dari saluran pencernaan
dan saluran pernafasan. Penyumbatan usus oleh mekonium memberikan
gejala mekonium tidak keluar lebih dari 24 jam, perut gembung dan muntah-
muntah yang makin lama makin sering dan makin kental sehingga bayi akan
mengalami dehidrasi. Pada pemeriksaan dengan Ba kontras menunjukkan
gambaran kolon dibawah sumbatan mengecil. Pengobatan yang dikerjakan
pada dasarnya simptomatik dengan pemberian enzim pankreas dan mengatasi
masalah metabolik yang terjadi. Dapat dilakukan irigasi usus dengan
gastroprafin untuk melunakkan mekoneum yang kental. Bila pengobatan
tersebut gagal, maka dilakukan operasi.8

2.11. Penatalaksanaan GERD


Penatalaksanaan GERD mencakup beberapa aspek, antara lain :
2.11.1 Perubahan posisi

Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada esofagus


yang bisa dikteahui melalui pemeriksaan PH, dibandingkan dengan posisi
telungkup. Akan tetapi, posisi telentang dan posisi lateral berhubungan dengan
meningkatnya angka kejadian sindrom bayi mati mendadak atau sudden infant
death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka posisi telentang atau
lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GERD, tetapi sebagian
besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan posisi
telungkup.1
Bayi dengan GERD berat harus ditidurkan telungkup dengan posisi
kepala lebih tinggi (30o). Setelah menetek atau minum susu formula bayi
digendong setinggi payudara ibu, dengan muka menghadap dada ibu (seperti
metoda kangguru, hanya baju tidak perlu dibuka). Hal ini menyebabkan bayi
tenang sehingga mengurangi refluks.8

21
Gambar 4. Modifikasi posisi pada bayi.18

Gambar 5. Posisi telungkup dengan kepala ditinggikan.19

Cara menyusui : 8
a. Bayi hanya menetek pada satu payudara sampai habis
b. Biarkan bayi terus menghisap (walaupun payudara telah kosong)
sampai bayi tertidur. Selama bayi mengisap payudara, gerakan
mengisap lidah bayi merupakan trigger terhadap kontraksi lambung,
sehingga refluks tidak akan terjadi.
c. Hindari perlakuan yang kasar atau tergesa-gesa atau perlakuan yang
tidak perlu.
d. Setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru
ditidurkan dengan posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah kiri,
paling cepat setengah jam setelah menyusu atau minum susu formula.

22
Gambar 6. Posisi setelah menyusui pada bayi.20

e. Hindari paparan asap rokok dan konsumsi kopi pada ibu (caffein yang
berlebihan pada ibu mempengaruhi terjadinya GERD pada bayi).
f. Hindari pemakaian baju yang ketat.

Penambahan agen pengental seperti beras sereal pada susu formula tidak
mengurangi durasi pH < 4 (index refluks) yang terukur pada saat monitoring pH
esofagus, tetapi bisa menurunkan frekuensi dari kejadian regurgitasi. Studi dengan
kombinasi pH/MII menunjukkan bahwa tinggi refluks esofagus berkurang dengan
pemberian susu formula yang lebih kental meskipun dengan pemberian ini tidak
akan mengurangi frekuensi dari refluks.1
Di Amerika serikat, beras sereal adalah agen pengental yang paling sering
ditambahkan pada susu formula. Susu formula yang dikentalkan dengan beras
sereal menurunkan volume regurgitasi tetapi bisa menyebabkan batuk selama
pemberian. Susu formula yang dikentalkan dengan sereal bila diberikan melalui

23
botol dot maka lubang pada dot harus dilebarkan sehingga susu yang dikentalkan
tersebut bisa keluar dengan lancar. Intake energi yang berlebih adalah masalah
yang sering terjadi pada pemberian susu formula yang dikentalkan dengan sereal.
Pengentalan 20 kcal/ons susu formula dengan 1 sendok makan beras sereal untuk
setiap ons nya bisa meningkatkan densitas energi hingga 34 kcal/oz (1,1 kcal/mL).
Pengentalan dengan 1 sendok makan per 2 ons susu formula meningkatkan
densitas energi hingga 27 kcal/oz (0,95 kcal/mL).1

Gambar 7. Formula pengental makanan


komersial21

2.11.2 Perubahan pola hidup pada anak dan


dewasa
Pada anak yang lebih besar, tidak ada bukti yang jelas tentang pengurangan
konsumsi makanan-makanan tertentu. Pada dewasa, obesitas, makan berlebih, dan
makan pada malam hari sebelum tidur berhubungan dengan timbulnya gejala
GERD. Posisi tidur telentang atau posisi tidur pada sisi kiri dan atau peninggian
kepala tempat tidur, bs mengurangi gejala refluks.1

2.11.3 Terapi farmakologi


Agen farmakologi utama yang biasanya digunakan untuk mengatasi GERD pada
anak adalah agen buffering asam lambung, pertahanan mukosa, dan agen anti-
sekretorik lambung. Potensi efek samping dari penekanan sekresi asam lambung,
termasuk peningkatan resiko pneumonia community-acquired dan infeksi saluran
pencernaan, perlu diimbangi dengan manfaat terapi.1
Pada bayi yang didiagnosa GERD, diperlukan manajemen pengobatan
yang tepat. Obat penekan asam lambung berguna dalam mengobati esofagitis
yang disebabkan oleh refluks asam, bisa digunakan sebagai terapi tunggal maupun
kombinasi dengan agen prokinetik. Antagonis reseptor H2 (H2RAs; eg,

24
ranitidine, cimetidine, famotidine, nizatidine) dan penghambat pompa proton
inhibitors (PPIs; eg, omeprazole, esomeprazole, lansoprazole) terbukti efektif
dalam penatalaksanaan GERD. Sejumlah studi telah mendemonstrasikan
efektivitas dari H2RA pada orang dewasa dengan reflux, dan 3 uji coba acak
terkontrol pada anak menunjukkan bahwa H2RA efektif dalam mengurangi gejala
dan menyembuhkan esofagitis.22
Antagonis reseptor histamin H2 secara kompetitif menghambat aksi
histamin pada reseptor histamin H2 pada sel parietal lambung. Obat ini sangat
selektif pada reseptor histamin H2 dan memiliki sedikit atau tanpa efek pada
reseptor histamin H1. Sel parietal memiliki reseptor untuk histamin, asetilkolin,
dan gastrin, yang semuanya dapat merangsang sekresi asam hidroklorida ke dalam
lumen gaster. Antagonis reseptor histamin H2 menghambat sekresi asam yang
dihasilkan oleh reseptor histamin, tapi tidak memiliki efek pada sekresi asam yang
dihasilkan oelh asetilkolin atau gastrin.8
Obat yang termasuk golongan ini adalah Cimetidin, Ranitidine,
Famotidine, dan Nizatidine. Antagonis reseptor histamin H2 dapat menurunkan
penyerapan obat yang memerlukan suasana asam (ketokonasol, itrakonasol).
Simetidin menghambat enzim sitrokom P-450 dan memiliki potensi untuk
berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh isoenzim ini (misalnya
fenitoin, propanolol, teofilin, warfarin). 8
Ranitidin dan famotidin tampaknya sama efektifnya dengan simetidin dan
nizatidin. Suatu penelitian mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik
ranitidin (5mg/kg) pada bayi berusia 6 minggu sampai 6 bulanyang menderita
refluks gastroesofageal yang diberi ranitidin dengan dosis 5 mg/kg BB, ternyata
pH esofagus paralel dengan konsntrasi ranitidin dalam pH dan pH dalam lambung
tetap diatas 4 selama 9 jam setelah pemberian obat ini. Pada pasien anak-anak
berumur 6 bulan sampai 13 tahun dan mengalami esofagitis yang refrakter dengan
dosis normal ranitidin adalah 8 mg/kg/hari. Penggunaan ranitidin dosis tinggi (20
mg/kg/hari) dapat mengurangi gejala dan memberikan penyembuhan.8
Inhibitor pompa proton terikat dengan hydrogen/potassium adenosine
triphospatase, suatu enzim yang berperan sebagai pompa proton pada sel parietal,

25
karena itu dapat menghambat pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada
sekresi asam hidroklorida. Obat ini menghambat sekresi asam tanpa memandang
apakah distimulasi oleh histamine, asetilkolin, atau gastrin. Untuk sekresi dari sel
parietal inhibitor pompa proton memerlukan aktivasi dalam lingkungan. Supaya
makanan tidak dapat mempengaruhi absorpsi dan konsentrasi puncak obat dalam
plasma, obat ini paling baik diminum sekitar 30 menit sebelum makan. Obat ini
kurang efektif selama kondisi puasa saat kondisi asam lebih rendah.8
Inhibitor pompa proton dinonaktifkan oleh asam lambung. Oleh karena itu
obat ini diformulasi dengan enteric coating, sehingaa obat ini mampu melewati
lambung dalam keadaan utuh dan memasuki usus, dimana PH nya kurang asam
dan obat diserap. Inhibitor pompa proton memiliki elimanis waktu paruh yang
pendek namun durasi aksi yang panjang karena ikatan dengan pompa proton
irreversibel dan penghentian aktifitas farmakologi memerlukan sintesis enzim
yang baru. Inhibitor pompa proton tidak mempengaruhi motilitas lambung atau
sekresi enzim lambung yang lainnya.8
Inhibitor pompa proton dapat berinteraksi dengan obat yang memerlukan
lingkungan asam untuk penyerapan (misalnya ketokonazol, itrakonazol). Inhibitor
pompa proton dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2C19 dan 3A4 secara
bervariasi dan dapat berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim
ini. 8
Omeprasol dan lansoprasol golongan inhibitor pompa proton telah
diijinkan penggunaanya oleh FDA pada pasien anak. Keduanya tersedia dalam
bentuk kapsul yang mengandung granula salut enteric. Lansoprasol juga tersedia
dalam bentuk granual untuk penggunaanya dalam suspense oral dan secara oral
dalam betuk talet yang mengandung mikrogranula salut enteric. Oleh karena itu
obat ini tidak boleh dikunyah, harus ditelan dalam bentuk utuh karena akan
menurunkan efektifitasnya. Esomeprasol (bentuk isomer S dari omeprasol)
tersedia sebagai kapsul yang mengandung enteric coated pellet , dan rabeprasol,
sedangkan pantoprasol tersedia dalam bentuk enteric coated tablets.8

26
Pantoprasol, rabeprasol, dan esomeprasol tidka dibenarkan penggunaanya
oleh FDA pada anak-anak. Saat ini percobaan klinis pada pasien anak-anak
sedang dilaksanakan.8
Omeprasol dan lansoprasol sebaiknya diminum dengan sedikit jus buah
yang agak asam (jus apel, jeruk) atau yoghurt. Pada penelitian yang dilakukan
pada pasien anak-anak yang menderita esofagitis yang resisten terhadap antagonis
reseptor histamin H2, omeprasol efektif dalam memeperbaiki gejala dan
menyembuhkan esofagitis. Pengobatan selama 8 minggu dengan omeprasol 40
mg/hari/1,73 m2 luas permukaan tubuh atau ranitidin dosis tinggi (20 mg/kg/hari)
mengurangi paparan asam pada esofagus dan mempercepat kesembuhan pada 25
orang bayi dan anak-anak yang berusia 6 bulan sampai 13 tahun dengan refluks
esofagitis yang berat. Dosis omeprasol yang diperlukan untuk menyembuhkan
esofagitis kronik dan berat pada pasien anak-anak adalah 0,7-3,5 mg/kg/hari).8
Inhibitor pompa proton lebih efektif daripada antagonis reseptor histamine
H2 dalam mengurangi sekresi asam, mengurangi gejala RGE, dan emnyembuhkan
esofagitis. Inhibitor pompa proton juga lebih efektif daripada antagonis reseptor
histamine H2 dalam mempertahankan remisi.8
Perbaikan gejala bergantung pada dosis, dosis yang lebih tinggi dikaitkan
dengan perbaikan gejala yang lebih cepat. Namun, studi mengenai lansoprazol
juga menunjukkan bahwa bayi yang lebih muda dari 10 minggu mempunyai
farmakokinetik yang berbeda dan memerlukan dosis yang lebih rendah dan efek
samping yang mungkin lebih umum terjadi dibanding pada bayi yang lebih
muda dari 28 hari. Beberapa studi melaporkan bahwa PPI adalah pengobatan yang
efektif untuk esophagitis akibat refluks, tetapi belum ada studi yang
menunjukkan keunggulan H2RA dengan dosis yang tinggi.22
Agen Prokinetik meningkatkan gerakan peristaltik esofagus, mempercepat
pengosongan lambung, dan meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian distal.
Cisapride efektif dalam menurunkan refluks, namun obat tersebut telah ditarik
dari pasaran karena efek toksik pada jantung berpotensi menyebabkan
kematian dan tersedia hanya dalam protokol penggunaan yang terbatas.

27
Metoclopramid adalah obat antidopaminergik dan kholinomimetik yang telah
digunakan. medis pengelolaan GERD.22
Cisaprid merupakan campuran agen seratonergic yang memfasilitasi
pelepasan asetilkolin pada sinaps dalam pleksus mienterikus sehingga
meningkatkan pengosongan lambung dan esofagus, serta gerakan peristaltik
saluran cerna. Setelah diketahui bahwa cisapride bisa menyebabkan pemanjangan
inteval QT pada EKG, sehingga meningkatkan angka kematian mendadak. Oleh
karena itu obat ini penggunaanya terbatas pada program-program yang diawasi
oleh ahli gastroenterologi anak untuk percobaan klinis.1
Antasid menetralisir asam lambung, dan sodium alginate melindungi
mukosa esophagus dengan membentuk suatu gel pada permukaan. Sukralfat
(suatu kompleks aluminium dari sucrose sulfat) terikat pada dan melindungi
mukosa esofagus. Efikasi obat ini pada anak-anak yang mengalami refluks
estrofageal belum diketahui dengan pasti. Obat ini tidak dibenarkan penggunaan
pada bayi dan aank oleh FDA dalam pengobatan RGE. Penggunaan antacid yang
mengandung aluminium dalam jangka panjang harus dihindari karena resiko
toksisitas aluminium. Obat ini dapat digunakan secara intermitten untuk
meredakan gejala RGE pada anak yang berumur lebih besar.8

28
Gambar 8. Algoritma tatalaksana pada bayi dengan muntah berulang dan berat
badan tidak bertambah12
Jika bayi yang sering muntah dengan berat badan tidak bertambah, maka
penting untuk melakukan evaluasi dignostik lebih lanjut. Pemeriksaan untuk
menemukan penyebab muntah (seperti pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
bikarbonat, nitrogen urea, kreatinin, alanin aminotransferase, amonia, glukosa,

29
urinalisa, keton urin dan reduksi, dan skrining galaktosemia dan penyakit “maple
sugar urine”. Pemeriksaan anatomi saluran gastrointestinal atas juga dianjurkan.
Jika tidak ditemukan kelainan, tatalaksana termasuk terapi medis, rawat inap dan
biopsi endoskopi.
Rawat inap untuk observasi interaksi orangtua-anak dan mengoptimalkan
tatalaksana. Biopsi endoskopi bermanfaat untuk menemukan adanya esofagitis
dan untuk menyingkirkan penyebab lain yang menimbulkan muntah dan tidak
bertambahnya berat badan. Untuk meningkatkan asupan kalori pada bayi
dilakukan dengan meningkatkan densitas formula, dan penggunaan tube
nasogastrik atau transpilorik. Terapi bedah jarang dilakukan. Follow-up
diperlukan untuk memastikan penambahan berat badan yang adekuat.12

30
Gambar 9. Algoritma tatalaksana pada anak atau dewasa dengan Heartburn
kronis12
Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gambaran klinis dan lokalisasi
dari nyeri esofagus lebih kurang sama, tapi pada anak yang lebih kecil gambaran
klinis dan lokasi nyeri mungkin atipik. Regurgitasi dari asam lambung ke mulut

31
bisa terjadi. Intervesnsi awal dari perubahan pola hidup, menghindari faktor
pencetus, ditambah penggunaan terapi farmakologi selama 2-4 minggu dengan
H2RA atau PPI direkomendasikan. Jika tidak ada perbaikan, maka selanjutnya
anak bisa ditangani oleh ahli gastroenterologi untuk biopsi dengan endoskopi
saluran cerna atas. Jika terjadi perbaikan, terapi bisa dilanjutkan hingga 2-3 bulan,
jika gejala berulang ketika terapi dihentikan, sebaiknya dilakukan endoskopi
untuk mengetahui tingkat keparahan dari esofagitis.12

Gambar 10. Tatalaksana selanjutnya pada anak atau dewasa dengan esofagitis12
Para ahli menyarankan bahwa pada bayi dan anak dengan
esofagitis,efektivitas terapi bisa dipantau dengan melihat perbaikan gejala, kecuali
untuk pasien dengan esofagitis erosif, endoskopi berulang dianjurkan untuk
memastikan penyembuhan. Jika pasien tidak berespon terhadap terapi, terdapat 2

32
kemungkinan yang bisa menjelaskan hal tersebut: diagnosis tidak benar atau
penatalaksanaan yang inadekuat. Kemungkinan adanya diagnosa lain, seperti
esofagitis eosinofilik harus dipertimbangkan.12
Jika manifestasi klinis dan histopatologi berhubungan dengan diagnosa
refluks esofagitis, maka sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap kemanjuran terapi.
Monitoring pH esofagus pada saat pasien menjalani terapi bisa menginformasikan
apakah diperlukan penggunaan obat untuk menurunkan sekresi asam lambung.
Jika diagnosa tidak jelas, monitoring pH esofagus pada saat pasien tidak
menerima terapi mungkin berguna karena berdasarkan hasil studi esofagitis
biasanya berkaitan dengan GER.12

2.11.4 Terapi Bedah


Operasi antirefluks harus dipertimbangkan bila terapi medis gagal, misalnya,
gejala terus berlanjut atau timbul komplikasi GERD.
Pembedahan biasanya diindikasikan untuk pasien dengan refluks yang
berlanjut dan komplikasi esophagitis meskipun sudah diberi terapi medis. Nissen
fundoplication merupakan prosedur operasi yang paling umum dilakukan.
Tindakan yang dilakukan berupa pembungkusan fundus lambung 3600
sekitar esofagus distal.22
Alternatif dari nissen fundoplication adalah prosedur Thal (fundoplication
180° anterior), prosedur Toupet (fundoplication 2700 posterior),  prosedur Boix-
Ochoa (pemulihan esofagus intra-abdomen), dan Watson fundoplication
(fundoplication 1200 anterior ). Perbandingan antara berbagai operasi ini telah
menunjukkan tingkat setara dengan komplikasi, revisi, dan kepuasan jangka
panjang. Prosedur Nissen dan prosedur  terkait lainnya dapat dilakukan secara
laparoskopi. Fundoplication laparoskopik telah diteliti dengan baik dan telah
disetarakan dengan prosedur terbuka pada dewasa.22
Laparosopic Nissen Fundoplication (LNF) secara umum telah
menggantikan prosedur nissen fundoplication yang dilakukan secara terbuka
(ONF), ini dikarenakan LNF menurunkan angka kesakitan, memperpendek waktu

33
perawatan di rumah sakit, dan kemungkinan komplikasi pasca operasi yang lebih
sedikit. 1
Nissen fundoplication telah secara luas dilakukan sebagi terapi bedah
untuk kasus GERD, namun prosedur ini berhubungan dengan tingginya angka
kejadian disfagia pasca operasi dan angka kejadian rekuren yang tinggi pada anak
dengan disability. Oleh karena itu, prosedur Thal fundoplication pada kemudian
mulai dipopulerkan dan digunakan oleh banyak ahli bedah hingga saat ini. 23

Gambar 11. Prosedur nissen fundoplication23

34
Gambar 12. Prosedur Thal Fundoplication.24

35
Gambar 13. A. Nissen fundoplication B. Thal fudoplication C. Toupet
fundoplication25

36
2.12 Komplikasi GERD
Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain :
a. Esofagitis dan sekuelenya – striktur, Barret Esofagus, adenocarcinoma
Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau makan,
nyeri pada dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan jarang terjadi
hematemesis, anemia, atau sindrom Sandifer. Esofagitis yang berkepanjangan
dan parah dapat menyebabkan pembentukan striktura, yang biasanya
berlokasi di distal esophagus, yang menhasilkan disfagia, dan membutuhkan
dilatasi esophagus yang berulang dan fundoplikasi. Esofagitis yang
berlangsung lama juga bisa menyebabkan perubahan metaplasia dari epitel
skuamosa yang disebut dengan Barret Esofagus, suatu precursor untuk
terjadinya adenocarcinoma esophagus.4
b. Nutrisi
Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan gagal tumbuh
karena deficit kalori. Pemberian makanan melalui enteral (nasogastrik atau
nasoyeyunal atau perkutaneus gastric atau yeyunal) atau pemberian melalui
parenteral terkadang dibutuhkan untuk mengatasi deficit tersebut.4
c. Extra esophagus
GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak langsung
terhadap refluks dari isi lambung dengan saluran pernapasan (aspirasi atau
mikroaspirasi). Seringnya, terjadi interaksi antara GERD dan penyakit primer
saluran pernapasan, dan terciptalah lingkaran setan yang semakin
memperburuk kedua kondisi tersebut. Terapi untuk GERD harus lebih intens
(biasanya melibatkan PPI) dan lama (biasanya 3 sampai 6 bulan).4

37
2.13 Prognosis GERD pada anak21
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan, walaupun
relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang
lebih lama.
Identifikasi subgrup pasien yang kemungkinan besar berkembang
mengalami komplikasi GERD dan penting untuk dilakukan perawatan secara
agresif. Pada pasien ini kemungkinan besar diindikasikan untuk mendapatkan
terapi pembedahan pada staium awal. Setelah laparoskopi Nissen fundoplication,
gejala teratasi pada 92% pasien.
Kebanyakan kasus GER pada bayi dan balita adalah benigna dan berespon
terhadap terapi non farmakologi. 80% gejala berkurang pada umur 18 bulan.
Beberapa pasien memerlukan terapi menurunkan asam lambung dan hanya
sekelompok kecil yang memerlukan tindakan pembedahan karena gejala GER
setelah usia 18 tahun menunjukkan gejala yang kronik.Resiko jangka panjang
juga meningkat. Untuk pasien yang mengalami GER secara persisten periode
akhir usia anak selalunya memerlukan terapi agen anti sekretori.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi,
penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi
pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu,
mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah
medis yang kompleks.
Data jangka panjang pada anak sangat jarang, namun kesuksesan terhadap
pembedahan antirefluks pada umumnya akan menjadi baik. Pada lebih dari 1000
laparoskopi Nissen fundoplication lebih dari 10 tahun pada bayi dan anak
menunjukkan hasil yang baik, dengan 4% angka kegagalan.
Sebagian kecil laporan objektif setelah operasi mempertanyakan manfaat
dari pembedahan. Sebuah studi menemukan manfaat dari pembedahan yang
berhubungan dengan refluks pada anak usia 1-4 tahun, namun efek ini tidak
tercatat pada anak yang lebih tua. Kenyataannya, studi ini menujukkan bahwa
pada anak yang lebih tua dengan pengalaman gagal berkembang meningkatkan
angka rawat inap yang berhubungan dengan refluks setelah pembedahan.

38
Pemeriksaan pH dalam 24 jam biasanya digunakan untuk mengevaluasi
secara objektif hasil dari pembedahan antirefluks. Sebuah pemeriksaan prospektif
dari 53 pasien pediatri yang diterapi dengan laparoskopi Thal fundoplication
ditemukan bahwa 25 % terdapat refluks patologi pada follow-up, namun 90 %
pasien dilaporkan bebas dari gejala.
Kedua manajemen pembedahan dan terapi obat cenderung untuk
mendapatkan angka kegagalan yang tinggi pada anak dengan kelainan neurologi.
Kebanyakan dari pasien tersebut memiliki kemungkinan yang serius terhadap
morbiditas dan harapan hidup yang pendek. Sebuah studi pada 46 bayi yang
diperiksa 5 tahun setelah Nissenfundoplication ditemukan bahwa 24% meninggal
setelah gangguan medis lainnya. Yang lainnya, 74% tidak terdapat gejala
berulang, 12% membutuhkan operasi atau fundoplication berulang, dan 45%
mengalami komplikasi setelah operasi. Laporan lainnya dari 109 anak yang
menjalani prosedur Nissen or Boix-Ochoa antirefluks, setelah follow-up selama
10 tahun, ditemukan refluks rekuren pada 20% pasien.21

39
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Gastroesofageal reflux (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi
sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi
lambung ke dalam esofagus.
2. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah gejala-gejala atau kerusakan
jaringan yang terjadi sekunder akibat refluks isi lambung
3. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik tidak banyak yang khas. Namun terdapat
beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis.
4. Pilihan terapi GERD termasuk perubahan gaya hidup (misalnya, modifikasi
diet, posisi tubuh yang benar selama dan setelah makan), terapi farmakologi,
dan operasi antirefluks

3.2 Saran
Perlunya anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang tepat agar dapat dilakukan tatalaksana penyakit secara optimal dan
mencegah kecacatan atau kematian.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Yvan V. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines.


Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition Vol. 49, No. 4,
October 2009 : 498–547.
2. Sunoto. Esofagus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Editor : AH
Markum ; Ismail S, Alatas H, et al. Jakarta : FKUI, 1991; 415-21.
3. Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in primary
care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010; 45(2): 139-146.
Available from: MEDLINE with Full Text.
4. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus.
Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of
pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia : Sounders ; 2004. h.1217-27.
5. Sadler, T.W. Sistem Pencernaan. Dalam: Embriologi Kedokteran
Langman. Edisi ke-7. Jakarta: EGC ; 2000. hal 246-9
6. Wilson LM, Lindseth GN. Gangguan esofagus. Dalam: Price SA,Wilson
LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta
: EGC ; 2006. h. 404-16.
7. Guyton and Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC; 2000. hal 1050-2
8. Suraatmaja, Sudaryat. Refluks Gastroesofageal. Dalam: Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007; hal 229-35
9. Cezard J. Managing gastro-oesophageal reflux disease in children.
Digestion. 2004 ; 69 Suppl; 13-8.
10. Srivastava R, Jackson W, Barnhart D. Dysphagia and gastroesophageal
reflux disease: dilemmas in diagnosis and management in children with
neurological impairment. Pediatric Annals [serial on the Internet]. 2010 ;
39(4): 225-31.

41
11. Jayant Deodhar, MD: Pediatric Esophagitis.
http://emedicine.medscape.com/article/928891-overview#showall [diakses
13 April 2011].
12. North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition.
Pediatric GE Reflux Clinical Practice Guideline. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, Vol. 32, Supplement 2, 2001; 1-31.
13. Rusdi I. Gangguan Ingesti, Anoreksia, Disfagia, dan Regurgitasi.
Gastroenterologi Anak Praktis. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta 1988; 105-
8.
14. Schwarz, SM. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/930029-clinical#showall (diakses
14 april 2011).
15. Salvatore S. 2005. Gastroesophageal Reflux Disease in Infants: How
Much is Predictable with Questionnaires, pH-metry, Endoscopy and
Histology: Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 40:210–
215
16. Jay W. Marks, MD. Esophageal pH monitoring (Esophageal pH test).
http://www.medicinenet.com/esophageal_ph_monitoring/article.htm
(diakses 23 April 2011).
17. Jay W. Marks, MD. Hiatal Hernia.
http://www.medicinenet.com/hiatal_hernia/article.htm (diakses 23 April
2011)
18. Mount Nittany Medical Center. 2011. Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD) in Infant. http://www.mountnittany.org/wellness-
library/healthsheets (diakses 23April 2011)
19. Pollywog Baby. Practical Solutions for Infant Reflux and Colic.
http://www.pollywogbaby.com/refluxandcolic/babyproducts.html (diakses
23 April 2011
20. Pulse Pharmacy Richmond. Karicare Food Thickener.
http://www.pulsepharmacy.com.au/Product/Karicare-Food-Thickener-
380g.aspx (diakses 24 April 2011)

42
21. Jaksic T. Pediatric Gastroesophageal Reflux Surgery Treatment and
Management. 2010. http://emedicine.medscape.com/article/936596-
treatment#a1132 (diakses 23 April 2011)
22. Rainer Kubiak, James Andrews, Hugh W. Grant. Laparoscopic Nissen
Fundoplication Versus Thal Fundoplication in Children: Comparison of
Short-Term Outcomes. Journal of Laparoendoscopic & Advanced Surgical
Techniques. September 2010, 20(7): 665-669.
http://www.liebertonline.com/doi/abs/10.1089/lap.2010.0218 (diakses 23
April 2011)
23. Nissen Fundoplication Procedure. http://connect.in.com/hiatal-
hernia/photos-9752w-a94e8d87395b04a0.htm (diakses 23 APRIL 2011)
24. Georgeson,Steven S. Rothenberg. 2008. Endoscopic Surgery in Infants
and Children. http://books.google.co.id/ (diakses 24 April 2011)
25. Elsevier. 2010. Three Tipes of Fundoplication.
http://www.elsevierimages.com/image/24633.htm (diakses 24 April 2011)

43

You might also like