You are on page 1of 251

BAB I

POKJA – I
TATA RUANG DAN PERTANAHAN

I. LATAR BELAKANG
Kehadiran gempa bumi yang diikuti dengan badai tsunami dahsyat yang
terjadi akhir tahun lalu telah menimbulkan berbagai macam kerusakan di
kawasan pesisir barat Nanggroe Aceh Darussalam, seperti di Kabupaten Aceh
Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kota Banda
Aceh, dan Kabupaten Aceh Utara.
Musibah itu telah menimbulkan kerugian jiwa, harta benda, serta sarana
dan prasarana, yang sangat penting bagi kehidupan manusia, seperti jalan,
jembatan, pelabuhan, dsb. Rumah-rumah banyak yang hancur dan rusak,
yang mengakibatkan banyak warga yang kehilangan tempat tinggal. Mereka
umumnya mengungsi ke tempat-tempat yang tidak mempunyai dampak
langsung terhadap bencana.
Kerusakan yang terjadi umumnya diakibatkan oleh besarnya energi
yang menghantam kawasan pesisir, sehingga bangunan-bangunan yang
umumnya tahan gempa ikut ambruk akibat hempasan itu. Puing-puing
bangunan yang ikut serta dalam gelombang itu pun menjadi sangat berbahaya
bagi objek-objek yang dilaluinya. Keleluasaan gelombang itulah yang membuat
banyak kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.
Berpijak dari model dan banyaknya kerusakan yang terjadi, nampak
sekali bahwa sistem pengamanan kawasan pantai masih belum optimal.
Kawasan pesisir, yang umumnya disabuki oleh tanaman-tanaman pantai
seperti bakau, kelapa, dsb, keberadaannya sudah berkurang. Padahal
tanaman-tanaman tersebut memiliki manfaat yang cukup spesifik dalam
mengurangi energi hantaman tsunami.

1
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Belum adanya akses untuk menyelamatkan diri juga menjadi pemicu


jatuhnya korban yang banyak. Kepanikan warga semakin luar biasa oleh
karena jalan untuk menyelamatkan diri mencari tempat yang lebih tinggi atau
jauh dari pantai, menjadi sempit dan macet, oleh karena keramaian yang ada.
Warga pun tidak menemukan tempat aman atau tempat yang lebih tinggi
terdekat untuk menyelamatkan diri, terutama kawasan pesisir yang jauh dari
daerah perbukitan.
Untuk itu, kajian yang dilakukan ini adalah mengkaji dan mengusulkan
program-program strategis, untuk menata ulang kehidupan warga,
merehabilitasi kawasan, dan mengendalikan kawasan dalam meminimalisasi
dampak bencana yang sama di masa mendatang.

1.1 Tujuan
Berkaitan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ada
beberapa tujuan yang diharapkan sebagai produk dari Pokja I UAR+ ini, yaitu :
1. Memberikan gambaran terhadap kerusakan kawasan dan kondisi
sebenarnya pasca tsunami.
2. Memberikan penilaian dan pertimbangan kelayakan terhadap program tata
ruang yang akan dijalankan.
3. Menyusun strategi dan usulan program tata ruang untuk menata ulang
kehidupan masyarakat Aceh.

1.2 Sasaran
1. Menghasilkan program tata ruang yang dapat memperbaiki tatanan
kehidupan warga.
2. Menghasilkan langkah-langkah strategis untuk merehabilitasi kawasan
terkena bencana.

2
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3. Menghasilkan langkah-langkah strategis untuk mengendalikan kerusakan


kawasan.

1.3 Cara Penyusunan


Mekanisme penyusunan laporan ini adalah sebagai berikut :
1. Melakukan eksplorasi data dan informasi dari berbagai pihak terkait, untuk
mengetahui kondisi sebenarnya pasca bencana tsunami.
2. Mengadakan pertemuan dengan Pokja Tata Ruang Bappenas dan Pokja
Tata Ruang NAD, untuk mengetahui rencana-rencana yang akan disusun.
3. Melakukan survey ke beberapa daerah yang terkena bencana, untuk
mendapatkan aspirasi yang sebenarnya dari masyarakat.
4. Memberikan penilaian dan kelayakan terhadap program yang akan
dijalankan, untuk mendapatkan program rehabilitasi yang cocok.
5. Menyusun strategi dan usulan program, untuk seterusnya dijalankan
dalam upaya menata kembali kehidupan masyarakat, mengendalikan tata
ruang kawasan, dan meminimalisasai dampak bencana mendatang.
6. Hasil kajian di atas dirangkum dalam suatu produk Laporan.

1.4 Tantangan
1. Terbatasnya data-data yang representif yang digunakan dalam menilai
kebutuhan dan pertimbangan kelayakan.
2. Terbatasnya waktu dalam melakukan survey-survey.

II. RONA
Untuk memahami kondisi real suatu wilayah diperlukan adanya
gambaran diskripsi wilayah tersebut untuk menjelaskan penampakan yang ada.
Penjelasan tersebut akan terkait dengan kondisi sebelum tsunami, pasca
tsunami dan kemungkinan akan terjaid pada masa akan datang. Disamping itu

3
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kondisi yang ada akan memberikan gambaran kehidupan yang bagaimana


yang akan tumbuh, berkembang dan bertahan dengan kondisi yang ada.

2.1 Zona pesisir/Garis Pantai


Zona pesisir merupakan wilayah terdepan yang terkena langsung dari
gelombang tsunami. Dampak yang terjadi adalah hilangnya beberapa daerah
pesisir lama dan menjadikan garis pantai berubah. Umumnya garis pantai
bergeser semakin ke arah daratan.
Dibeberapa tempat, daerah pesisir merupakan daerah permukiman penduduk
dari skala besar (kota hingga skala kecil (dusun). Jika dilihat secara
kewilayahan, maka wilayah Barat merupakan wilayah yang banyak kehilangan
daerah pesisirnya dengan banyak hilang perkampungannya dibandingkan
dengan Wilayah lainnya dari propinsi NAD.
Adapun gambaran zona pantai sebagai berikut:

A. Pantai Barat: Terdapat 3 karakteristik:


1. Pantai dengan daratan tipis dan Tebing perbukitan. Pada saat tsunami,
umumnya gelombang menyapu bersih daratan tersebut dan menghantam
kaki-kaki perbukitan yang menyebabkan tergerus lapisan tanah dari
perbukitan tersebut. Jarak perbukitan dari pantai berkisar 0-1,5 Km,
sehingga perkampungan yang ada umumnya hilang, dan banyak
penduduk (korban sekitar 90%) tidak dapat menyelamatkan diri karena
umumnya tebing bukit/gunung hamper 90 derajat, dan berbatu cadas
(tidak bisa dipanjat). Hanya sedikit kawasan yang mempunyai akses ke
daratan tinggi melandai. Kawasan tersebut meliputi: Lho’nga, Leupung,
Jeumpa, Lhong,
2. Pantai dengan daratan dan terdapat beberapa bukit kecil di tengahnya.
Pada saat tsunami, gelombang selain menggerus bukit, juga menggerus

4
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

daratan di sekitar bukit, sehingga bukit membentuk pulau kecil.


Masyarakat banyak yang tidak dapat menyelamatkan diri (sekitar 85%)
karena bukit-bukit tersebut sedikit terjal. Kawasan tersebut meliputi:
Lamno, Lhok Krut, Calang, Panga.
3. Pantai dengan daratan berawa-rawa. Pada saat tsunami, gelombang
masuk ke darat dan menyatu dengan daerah rawa-rawa (gambut).
Wilayah ini hampir tidak terdapat daratan yang tinggi, sehingga luas
daerah yang terkena relative luas. Kawasan tersebut meliputi: Suak Timah,
Meulaboh, Pesisir pantai Kab. Abdya.

B. Pantai Timur, dengan karakter geografisnya relative landai, umumnya air


gelombang masuk ke darat 500m hingga 1500m. Kecuali kota banda Aceh
yang merupakan kombinasi dari semua karakter, sehingga wilayah yang
terkena meliputi 4000m. Zona pantai yang rusak juga sangat beragam
dari sedikit kerusakan (5%) hingga kerusakan total (100%: Kota Krueng
Raya).

2.2 Zona Pasang Surut Air


Zona pasang surut tidak sama karakternya untuk semua pantai Propinsi
NAD. Umumnya pantai Timur lebih jauh (sekitar 200m) dibanding kawasan
barat hanya 100 m. Sehingga pantai timur relative banyak terdapat daerah
rawa-rawa berupa tambak air asin. Sedang pantai Barat, rawa-rawa yang ada
dan sangat berdekatan dengan garis pantai merupakan genangan air hujan
(rawa-rawa gambut) yang tidak dapat mengalir ke laut (akibat muara
sungai/alur tertutup oleh pasir pantai karena gelombang laut yang relative
besar setiap saat).
Di Pantai Timur, zona ini umumnya berupa daerah tambak dengan
pohon bakau di antaranya yang dikelola oleh masyarakat dan bernilai ekonomi.

5
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Zona ini yang memisahkan antara perkampungan dengan garis pantai. Saat
tsunami, zona ini sebagian besar rusak, dan pohon bakau umumnya
terbongkar akarnya sehingga bertumbangan, bahkan terbawa air dan
menghantam perkampungan penduduk. Namun setelah tsunami, zona ini tidak
mengalami penurunan muka tanah, bahkan semakin meninggi oleh pasir laut.
Di Pantai Barat, zona ini umumnya berupa rawa-rawa (Daerah Gambut dengan
tanaman sejenis pohon nipah, bakau, sejenis pandan besar. Luas wilayah ke
darat terkadang hanya 500m dan secara lingkungan sering membentuk
Laguna. Saat tsunami, laguna hamper menyatu dengan laut, akibat terkikis
pantai. Sedang di pesisir yang kering dan air pasang laut sangat jarang naik
kecuali musim Barat, sering ditanami penduduk berupa perkebunan pohon
kelapa, yang luas wilayah ke arah darat sekitar 20-30 baris pohon kelapa. Saat
Tsunami, air laut melewati kawasan perkebunan kelapa dan hampir tidak ada
pohon kelapa yang rusak, namun tanaman lainnya hancur bersamaan
terbongkarnya permukaan tanah.
Di kawasan perkotaan sebelum tsunami, zona pasang surut hampir tertutupi
oleh pembangunan bangunan kota (lihat kota Banda Aceh: kawasan Uleleue,
Kp. Pande, Lampaseh, Lambaro Skep, Tibang, Lingke;), sehingga saat tsunami
kawasan ini hancur dan meninggalkan genangan air. Namun setelah 2 bulan
tsunami, kawasan tersebut sebagian menjadi tempat pembuangan bengkalai
yang menutup pertapakan rumah maupun tambak. Disamping itu beberapa
kawasan menampakkan kesuburan permukaan tanah yang ditandai
tumbuhnya rerumputan.

2.3 Zona Pusat Kota/ Kecamatan/Kampung


Kawasan Kota yang kena tsunami meliputi: Kota Banda Aceh dengan
kerusakan kota sekitar 40%, Kota Meulaboh (30%), Kota Calang (90%), Kota
Suak Timah (90%), Kota Sigli (10%), Kota Lhok Seumawe (20 %). Sehingga

6
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

secara zonase dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: kawasan kota Rusak
Berat, Rusak Sedang dan Rusak Ringan.
Kota Banda Aceh merupakan ibukota Propinsi NAD, mengalami ketiga
tingkatan kerusakan yang meliputi luasan cukup signifikan. Secara meruang
tsunami hanya melanda kawasan Utara kota yang dibatasi oleh poros jalan
Timur –Barat Kota Banda Aceh. Terdapat 3 tipe kerusakan yang dapat
diidentifikasi, yaitu:
• Kerusakan Berat ditandai dengan terbongkarnya pondasi bangunan dan
terjadi perubahan topografi kawasan. Hal tersebut terjadi pada kawasan yang
dekat dengan pantai, terdapat permukiman penduduk yang padat dan
sebagian bagian dari wilayah bersejarah kota Banda Aceh (masa Kesultanan
Aceh). Banyak terdapat peninggalan bersejarah berupa makam tua (masa
Kesultanan). Sebelum tsunami, perkampungan terbentuk umumnya secara
organic dan merupakan tanah turun menurun yang ditandai oleh adanya
perkuburan keluarga. Setelah tsunami kawasan ini hancur. Saat ini kawasan
tersebut telah dibersihkan (dilakukan Land Clearing). Kondisi tersebut telah
mengaburkan batas pemilikan lahan, pola-pola perkampungan, pusat kampong,
perkuburan, bahkan objek penting lainnya. Wilayah ini meliputi kawasan
Uleuleue, Pande. Namun beberapa bangunan mesjid selamat.
Sedang kawasan lainnya merupakan kawasan pertambakan/rawa-rawa yang
sekitar tahun 1980-an terjadi pertumbuhan permukiman dengan sistem
reklamasi mengikuti perkembangan kota Banda Aceh. Kawasan Lampaseh
(akibat pertumbuhan permukiman kota dan pertumbuhan Uleuleue), Kawasan
Kajhu (akibat perkembangan yang terkait dengan Unsyiah). Saat ini kawasan
tersebut menjadi daerah berair dan tempat pebuangan bengkalai.
• Kerusakan Sedang, ditandai dengan rusaknya sebagian konstruksi
bangunan, kondisi tanah secara umum tidak rusak. Kawasan ini umumnya

7
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

perumahan kota, padat. Secara fisik, lingkungan yang ada tidak berubah.
Contoh kawasan tersebut: Punge, Pelanggahan, Kp. Mulya, Lingke.
• Kerusakan Ringan, ditandai dengan rusaknya kualitas bangunan tanpa
kerusakan struktur bangunan (kerusakan arsitektural). Bangunan yang ada di
kawasan ini cepat mengalami normalisasi oleh pemilik bangunannya, sehingga
tidak ada kendala bagi dimulainya kehidupan perkotaan. Kawasan tersebut
berada di pusat Kota dan sepanjang koridor jalan utama kota
Kerusakan Kota Banda Aceh menyebabkan lumpuhnya kegiatan ekonomi,
social, budaya, masyarakat kota, sehingga terjadi perpindahan sementara
aktivitas kota ketempat yang lain. Untuk kegiatan Ekonomi berpindah ke arah
Lambaro, Kegiatan perkantoran berpindah ke arah Kawasan Geuce, Jl.
Sudirman. Sedang kegiatan budaya ke agamaan berkembang di setiap mesjid
yang ada. Bahkan beberapa mesjid yang selamat dari tsunami, menjadi pusat
kegiatan masyarakat.
Pusat Kota berfungsi kembali setelah sekitar 3 minggu setelah tsunami yang
ditandai dengan berfungsinya mesjid Raya Baiturrahman. Kota Meulaboh
sebagai ibukota Aceh Barat, mengalami kerusakan total dikawasan kota
lama(Ujung Karang, Kp. Belakang, Ujung Kalak, Padang Sirahet, Pesisir
Meireubo) dan sepanjang pesisir sejauh 500m-1500m. Namun secara
fungsional, fasilitas kota tidak mengalami kerusakan yang berarti, sehingga
kota Meulaboh tidak mengalami kelumpuhan karena fasilitas, namun lebih
karena factor manusianya.
Pusat Kota Meulaboh yang baru (RUTRK 1991) berada sekitar 3-4 Km dari
pantai yang ditandai oleh mesjid Agung (bangunan baru) yang berada pada
daerah Sineubok. Fasilitas pemerintahan baru, kesehatan, perumahan baru
berada di sekitar kawasan tersebut. Kawasan ini tidak mengalami kerusakan
sama sekali.

8
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kerusakan Bangunan terlihat total, karena kota lama Meulaboh umumnya


terdiri dari bangunan berkonstruksi kayu. Fasilitas yang mengalami kerusakan
berarti adalah: Oil Bunker, dan pelabuhan penyeberangan, dan Tempat
Pendaratan Ikan (TPI). Kawasan ini mengalami kehancuran dengan ditandai
hilangnya sedikit daratan dan bergesernya muara sungai Meureubo.
Kota Calang sebagai ibukota Kabupaten Abdya, mengalami kerusakan total
untuk keseluruhan kota, sehingga dapat dipikir ulang terhadap lokasi kota baru
yang benar-benar bebas dari tsunami. Kondisi geografi kota Calang yang
terdiri perbukitan dan sedikit daratan rendah, menjadi kendala utama
pengembangan kota.

2.4 Zona Permukiman Kota/Desa


Umumnya permukiman kota yang kena bencana adalah permukiman
lama/tua yang memiliki sejarah keberadaan kota tersebut, baik dimulai masa
kesultananAceh maupun masa Kolonial Belanda. Sehingga lingkungan relative
padat, bangunan berkonstruksi kayu dan campuran batu. Usia bangunan
banyak yang sudah tua, dan memiliki sistem fasilitas kota yang buruk. Sedang
permukiman baru, merupakan daerah pemekaran kota

III. PENILAIAN KEBUTUHAN


Masyarakat diharapkan dapat optimal dalam memberikan aspirasinya.
Aspirasi dari masyarakat itu perlu mendapat perhatian dalam menyusun
program-program untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Dari hasil survey
yang dilakukan di beberapa kawasan, ada beberapa kebutuhan diharapkan
oleh masyarakat, terkait dengan tanah, tata ruang kawasan, permukiman, dan
kawasan strategis lain.

3.1 Penataan Tanah


a. Penandaan Kembali Tanah

9
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Akibat bencana tsunami, banyak bangunan yang rusak berat dan


hilang, sehingga kesulitan dalam mengidentifikasi batas-batas dan
kepemilikan tanah yang merupakan kepunyaan warga. Untuk itu,
sebagian besar warga menginginkan untuk segera dilakukan
penandaan kembali tanah mereka, sehingga mereka dapat
membangun kembali rumahnya.
b. Pendataan Kembali Tanah
Pendataan ini diperlukan untuk mengidentifikasi kepemilikan tanah-
tanah yang ada, sehingga jelas siapa pemilik tanah tersebut, apakah
orangnya masih ada atau tidak, dan siapa-siapa saja ahli waris yang
berhak bila pemiliknya menjadi korban bencana.
c. Prediksi Tanah Yang Terpakai Untuk Zona Penyangga
Masyarakat membutuhkan informasi tentang luas zona penyangga
yang akan digunakan sebagai fasilitas perlindungan terhadap
bencana mendatang. Dengan adanya prediksi ini, maka masyarakat
bisa mendapatkan gambaran apakah tanahnya masuk dalam zona
tersebut atau tidak, dan bagaimana kompensasinya.
d. Penyediaan Tanah Cadangan Untuk Relokasi
Sekali pun keterikatan budaya, sejarah, pekerjaan, dan aspek-aspek
lain membuat sebagian besar masyarakat ingin kembali ke tempat
asal mereka, namun kemungkinan masyarakat yang ingin direlokasi
tetap ada. Untuk itu, penyediaan tanah cadangan menjadi hal yang
penting, sehingga penempatan tempat tinggal untuk mereka
menjadi jelas.
e. Menyuburkan Kembali Tanah
Ada tanah masyarakat yang merupakan perkebunan yang
menghasilkan. Akibat tsunami, tanaman-tanaman yang ada mati.
Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui kondisi

10
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

tanah yang terkena tsunami, untuk dikaji zat-zat yang terkandung di


dalamnya. Bila mengandung zat-zat berbahaya, maka perlu
dilakukan usaha-usaha peningkatan kesuburan tanah, dalam upaya
meningkatkan kembali produktivitas tanah dan tanaman-tanaman
yang sesuai.

3.2 Penataan Kawasan


a. Masyarakat menginginkan adanya kawasan perlindungan
Bencana tsunami memang tidak diketahui secara pasti kapan terjadi
lagi. Menurut para ahli, peristiwa itu akan terulang kembali puluhan
tahun mendatang karena sudah merupakan siklus dan sifat alam
yang selalu menyeimbangkan diri. Masyarakat sudah paham akan
hal ini, sehingga untuk melindungi diri mereka dan generasi
mendatang, mereka menginginkan agar lingkungan permukimannya
difasilitasi dengan zona perlindungan dan sistem peringatan dini.
Sehingga dampak bencana dapat diminimalisasi.
b. Perlindungan terhadap kawasan bernilai sejarah
Perkembangan suatu kota tidak terlepas dari sejarahnya di masa
lampau. Ada bagian-bagian kota yang merupakan awal dari
berdirinya kota tersebut, sehingga situs-situs sejarah kemungkinan
ada di tempat tersebut. Untuk itu, bagian-bagian ini harus tetap
dilestarikan, sehingga dapat menjadi daerah pendidikan dan wisata
sejarah yang sangat bermanfaat bagi generasi mendatang.
c. Sirkulasi yang aman ketika keadaan darurat
Banyak warga yang meninggal karena jalur menuju tempat tertentu
yang dianggap aman menjadi tempat yang penuh sesak hingga
sukar untuk bergerak. Semua orang menggunakan jalur tersebut
pada waktu yang sama dengan beragam moda. Untuk itu, perlu

11
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

ditata kembali sistem sirkulasi lalu lintas dan jalan, sehingga aman
dilalui ketika keadaan tiba-tiba menjadi darurat. Ini bisa dilakukan
dengan membuat sistem jalan grid pada bagian-bagian tertentu dan
meninjau kembali hirarki jalan yang ada.
d. Penempatan fasilitas penunjang
Fasilitas penunjang, seperti TPA, perlu mendapat perhatian. Karena
keadaannya akan mempengaruhi kawasan sekitar. Hal ini perlu
dilakukan untuk menghindari terjadinya pencemaran lingkungan
yang pada akhirnya membahayakan penduduk yang bermukim di
sekitar tempat tersebut.

3.3 Penataan Permukiman


a. Penyediaan rumah yang sesuai dengan karakter dan kebiasaan
masyarakat.
Penyediaan rumah bagi masyarakat yang kehilangan tempat tinggal
akibat tsunami perlu diperhatikan. Sekali pun masyarakat setuju saja
bila dibangun tipe standar 36, namun akan lebih baik bila rumah
yang ada disesuaikan dengan pola kehidupan mereka. Misalnya,
perumahan bagi kaum nelayan.
b. Penataan Tata Letak Rumah
Kondisi tata letak rumah sebelum bencana terjadi umumnya
semraut, tanpa kejelasan akses. Sehingga banyak masyarakat yang
meminta untuk diatur kembali lahan mereka, sehingga jalan menjadi
teratur dan rapi, dan ikut mempermudah ketika terjadi bencana atau
dalam keadaan darurat.
c. Penyediaan Tempat Untuk Menyelamatkan Diri
Pada permukiman yang tetap berada di daerah yang terkena
bencana, kehadiran tempat ini menjadi sangat penting. Mereka akan

12
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

langsung menuju tempat ini ketika tanda-tanda bencana sudah


mulai ada. Tempat ini bisa bangunan mau pun bukit buatan, yang
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan sosial dan
kemasyarakatan.

3.4 Penataan Kawasan Khusus


a. Menempatkan zona perlindungan dengan baik
Zona perlindungan yang diharapkan adalah berupa bakau, dan
tanaman-tanaman lain yang menghasilkan dan produktif, seperti
batang kelapa, mangga, dsb. Selain itu, perlu pula dibangun ruang-
ruang terbuka yang dapat berupa taman, lapangan bermain, jalur
hijau, dsb, yang tujuannya adalah untuk mengurangi energi yang
dihasilkan oleh gelombang.
b. Perbaikan Kembali Kawasan Pelabuhan (Laut & Udara), TPI, dan
Wisata
Untuk mempermudah transportasi, pengembangan kembali fasilitas
ini merupakan hal yang penting. Keberadaan pelabuhan harus
dintinjau kembali apakah masih dapat ditempatkan pada tempatnya
semula atau tidak. Bila berbahaya, dapat dicari lokasi lain yang tidak
berbahaya.

IV. PERTIMBANGAN KELAYAKAN


Masing-masing kebutuhan masyarakat seperti diillustrasikan dalam Bab
IV, selanjutnya dinilai kelayakannya. Ada beberapa pertimbangan dasar untuk
menentukan kelayakan kebutuhan itu, yaitu :
ƒ Menjangkau perspektif jangka panjang
ƒ Menghasilkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi
ƒ Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

13
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

4.1 Penataan Tanah


Masyarakat membutuhkan adanya penandaan kembali tanah,
pendataan kembali tanah, perkiraan tanah untuk zona penyangga, dan adanya
tanah cadangan untuk pengembangan kota.
Penataan kembali tanah dapat menjangkau perspektif jangka panjang,
dimana tanah yang ada merupakan aset yang dapat dimanfaatkan baik untuk
generasi saat ini mau pun generasi mendatang atau antar generasi. Selain itu,
manfaat dari segi ekonomi pun ada, dimana nilai tanah akan terus bertambah
seiring dengan pertambahan waktu.
Dari sudut pandang lingkungan, penataan kembali tanah akan membuat
tanah kembali produktif. Sehingga tidak ada tanah yang terbengkalai tanpa
pemanfaatan yang kurang baik dampaknya terhadap lingkungan. Kondisi sosial
masyarakat yang membuat masyarakat, walau bagaimanapun, tetap akan
kembali ke tempat semula. Sehingga prinsip lebih mengutamakan revitalisasi
daripada relokasi tetap bisa dijalankan, sekali pun harus difasilitasi dengan
daerah pengaman pantai dan escape facilities.
Dengan demikian, maka kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan
penataan tanah ini layak dilakukan.

4.2 Penataan Kawasan


Dalam penataan kawasan, kebutuhan masyarakat adalah adanya
adanya kawasan perlindungan, kawasan bernilai sejarah, sirkulasi yang aman
ketika keadaan darurat, dan penempatan fasilitas penunjang.
Penataan kawasan dibuat untuk dapat menjangkau perspektif jangka
panjang. Apalagi dengan adanya buffer zone, sebagai zona penyangga untuk
perlindungan, maka kejadian serupa dapat diminimalisasi dampaknya bila
dikemudian hari terjadi lagi.

14
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Selain itu, zona penyangga juga dapat berfungsi untuk kelestarian


lingkungan, dan memiliki nilai ekonomi bila tanaman yang ada didalamnya
merupakan tanaman yang produktif, kelapa misalnya. Demikian juga dengan
konservasi kawasan sejarah, dimana manfaatnya dapat dirasakan hingga
generasi mendatang atau antar generasi.
Sirkulasi lalu lintas yang aman ketika terjadi bencana juga untuk
kepentingan jangka panjang. Di satu sisi dapat menjadi tempat untuk sirkulasi
berbagai moda hingga bermanfaat sosial dan ekonomi. Escape facilities pun
memiliki manfaat lingkungan bila bukit (escape hill) dijadikan sebagai hutan
kota dengan tanaman-tanamannya dan/atau bangunan tinggi (escape
building), yang dapat dijadikan sebagai fungsi kegiatan sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, kebutuhan masyarakat yang menyangkut penataan
kawasan ini layak dilakukan.

4.3 Penataan Permukiman


Dalam hal penataan permukiman, kebutuhan masyarakat adalah
disediakannya rumah yang sesuai dengan karakter dan kebiasaan masyarakat,
penataan tata letak rumah, penyediaan tempat untuk menyelamatkan diri.
Kawasan permukiman yang ditata dengan baik umumnya dapat
bermanfaat bagi generasi mendatang. Rumah itu pun sebaiknya sesuai dengan
karakter dan kebiasaan masyarakat, misalnya nelayan. Penataan tata letak
rumah yang baik juga akan memperjelas letak jalan, sehingga akses untuk
melakukan evakuasi atau menyelamatkan diri tetap lancar. Dalam hal ini,
penataan menjangkau prespektif jangka panjang, dan memiliki manfaat yang
luas untuk sosial dan pendukung ekonomi masyarakat.
Perlindungan terhadap kawasan permukiman merupakan prioritas yang
sangat penting. Seperti yang sudah diuraikan di atas, kawasan pesisir akan
selalu dilindungi oleh buffer zone dengan tanaman-tanaman yang kokoh dalam

15
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

mengurangi energi tsunami, seperti beberapa jenis bakau, kelapa, dsb, yang
juga bermanfaat untuk tujuan konservasi lingkungan hidup.
Dengan demikian maka kebutuhan untuk menata permukiman ini layak
dilakukan.

V. STRATEGI DAN USULAN PROGRAM


Berikut ini akan diuraikan strategi dan usulan program yang perlu
dilakukan untuk menata kembali Aceh adalah sebagai berikut.

5.1 Strategi
Ada beberapa strategi yang dilakukan dalam kaitannya dengan tata ruang ini,
yaitu :
1. Menyiapkan rencana atau program-porgram untuk memfungsikan kembali
permukiman kota beserta lingkungannya yang terkena bencana.
2. Menyiapkan lahan cadangan untuk pengembangan kawasan-kawasan
perkotaan baru.
3. Menyiapkan areal yang akan dimanfaatkan untuk daerah konservasi dan
zona penyangga.

5.2 Usulan Program


1. Penataan Tanah
ƒ Kajian tentang kepemilikan tanah (land ouwnership)
ƒ Kajian tentang pelaksanaan konsolidasi tanah (land consolidation) /land
readjustment.
ƒ Kajian kesesuaian lahan dan struktur tanah untuk permukiman dan pertanian.
ƒ Kajian kesesuaian lahan untuk zona penyangga
ƒ Pembuatan site plan (lahan untuk pertanian, permukiman, lahan usaha, fsilitas
pendukung, dsb).

16
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

2. Penataan Kawasan
ƒ Pembuatan rencana detail zona
ƒ Pembuatan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) pada kawasan-
kawasan khusus (bangunan, taman, dsb).
ƒ Pembuatan Detail Engineering Design (konstruksi bangunan, buffer zone, dan
escape fasilities).
ƒ Pembuatan building code untuk bangunan tahan gempa dan tsunami.

3. Penataan Permukiman
ƒ Kajian konstruksi tahan gempa dan tsunami
ƒ Kajian bentuk rumah yang sesuai karakter pemilik, misalnya rumah nelayan,
petani, dsb.
ƒ Pembuatan site plan untuk buffer dan escape facilities
ƒ Penataan kembali hirarki jalan dan akses untu escape.
ƒ Kajian struktur tanah untuk permukiman
ƒ Perbaikan permukiman yang mengalami kerusakan

4. Penataan Kawasan Khusus


ƒ Pembuatan RDTRK dan RTBL
ƒ Kajian kesesuaian lahan untuk kawasan khusus
ƒ Desain TPA dan fasilitas pendukung
ƒ Desain buffer untuk kawasan khusus

VII. REVIEW TATA RUANG DAN PERTANAHAN


• Daerah pesisir Barat dan Utara Provinsi NAD/Kota Banda Aceh bagian utara,
beberapa waktu lalu (26 Desember 2004) hancur akibat terjangan tsunami,
dan mengurangi luas daratan yang ada (laut masuk ke daratan). Akibat di atas,
banyak lingkungan terbangun dan lahan-lahan permukiman yang hilang.

17
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Kota tidak berfungsi sebagaimana harusnya, bahkan ditinggali penghuninya. Di


sisi yang lain, Kota Banda Aceh harus kembali menjalankan perannya sebagai
mana sebelum tsunami: sebagai kota permukiman (masyarakat kota/jasa,
Nelayan), kota Bandar (kaitan dg IMT-GT), kota administrasi (ibukota Propinsi).
• Pemerintah melalui Bappenas telah melakukan tindakan aktif memulai
perencanaan bagi pembangunan kembali Aceh, bersama-sama masyarakat
Aceh Diharapkan Perencanaan pembangunan Aceh khususnya Rencana Tata
Ruang Kota Banda Aceh dan propinsi merupakan perencanaan yang berasal
dari masyarakat.
• Dalam kapasitas sebagai bagian dari masyarakat Aceh yang berasal dari unsur
perguruan tinggi (akademisi), maka Unsyiah dengan Task Force: Unsyiah For
Aceh Reconstruction (UAR+) merasa berkewajiban membantu Bappenas
melalui pemberian beberapa masukan yang khususnya menyangkut hal-hal
yang spesifik tentang Aceh.

HASIL REVIEW
Secara umum Draft Rencana Tata Ruang Kota Banda Aceh Pasca Tsunami
telah memenuhi beberapa pertimbangan, khususnya dari aspek geografis (lingkungan
Fisik). Berdasarkan hal di atas terdapat beberapa hal yang perlu dicermati:
1. Perencanaan Kota Banda Aceh yang dikerjakan oleh pusat, memiliki visi dan misi
yang kurang jelas. Produk yang dihasilkan adalah sebuah perencanaan yang
menghindari bahaya laut dan tidak bersahabat dengan kondisi alam yang telah
ada. Selain itu, kurang memfokuskan pada aspek Masyarakat Aceh yang islami)
2. Konsep Ruang Kota sangat teknis dan hanya pertimbangan efek dari Tsunami
3. Kota Banda Aceh terbagi dalam 3 zona yang peruntukannya sangat bernuansa
geografis (perhatikan dasar pertimbangannya)
4. Kawasan Buffer yang tidak jelas karakter pengembangannya,

18
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

5. BWK I, peruntukan bagi daerah perikanan, yang kurang memperhatikan aspek


sejarah lokasi.
6. Letak CBD Baru, hanya mengikuti gerak pasar (kegiatan ekonomi utama) yang
ada saat ini, (cermati kegiatan pasar ini sebelum Tsunami)
7. Penentuan Sub Orde Kota, (spt:Ule Kareng ), pertimbangan lokalitas yang kurang
terpahami
8. Kawasan Pendidikan yang dikelilingi daerah persawahan, yang tidak sesuai
dengan eksisting yang ada.

PEMBAHASAN
1. Pengembangan Kota Banda Aceh yang direncanakan terkesan tidak memiliki
visi yang jelas, seperti membangun kota baru yang takut dengan laut (laut hanya
dilihat sebagai ancaman). (Lihat latar belakang pada point 1.2. yang tidak
menyinggung aspek masyarakat Aceh yang Islami)

Kota Banda Aceh saat ini merupakan kota yang telah diletakkan dasar-
dasarnya sejak masa awal kerajaan kesultanan Aceh (abad XIII). Konsep kota yang
Islami (mungkin juga hasil percampuran dengan konsep kota Hindu), telah
menempatkan posisi strategis bagi: Mesjid Raya, Pendopo (dahulu Istana Sultan),
dan kawasan Bandar di sekitar sungai Kreung Aceh. Peran sentral Mesjid dan
pendopo bagi masyarakat kota Banda Aceh, terus berkembang hingga kini. Nilai
Islami terlihat bahwa tidak ada pemisahan antara kehidupan agama dan dunia yang
terlihat dalam zona kegiatan keduanya.
Hasil Studi tentang peran mesjid Raya (Elysa, 2000), masyarakat Aceh masih
sangat menghormati dan mengorientasikan diri bagi mesjid Raya ini, kemudian
kegiatan lainnya mengikuti.

Jika ingin membangun Kota Banda Aceh (Aceh secara umum), nilai yang
diemban mesjid harus menjadi focus utama. Pilihan tempat harus dimulai dari:

19
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dimana dan bagaimana meletakkan Mesjid Raya (note bene: harus mampu menyaingi
Mesjid Raya Yang Ada). Hal ini tidak perlu menjadikan kita pesimis, karena Sultan
awal Aceh, mampu memindahkan keseluruhan aktivitas dari kota Lamuri ke Kota
banda Aceh setelah 2 abad.

Di sisi lain, masyarakat Aceh sejak dahulu terkenal sebagai masyarakat bahari
yang sangat demokrasi, mandiri dan religi. Perdagangan antar pulau sudah
membentuk masyarakat Aceh sebagai pedagang antar pulau, dan budaya yang
berkembang adalah budaya kelautan. Sehingga laut bukan menjadi daerah belakang.
Laut merupakan harapan hidup. Artinya banyak kegiatan ekonomi dimulai dari
kawasan laut.

2. Konsep Ruang Kota sangat teknis dan hanya pertimbangan efek dari Tsunami.
Secara konsepsi ruang, tidak terlihat aspek Islami, karakter masyarakat dan
sejarah kota, demikian karena terkait dengan visi (lihat point 1.3).
Beberapa pemikiran yang memuat 3 aspek di atas, yaitu konsep:
• Mengembalikan kawasan jejak-jejak perjalanan sejarah kota Banda Aceh
• Pantai merupakan bagian “depan/ terpenting” dari kota.
• Ditambahkan membangun kota yang Islami dan Bersejarah (catt: Sejarah Kota
Banda Aceh terkait dengan sejarah pertama sekali Islam masuk ke Indonesia,
sehingga eksistensi Indonsesia juga nampak dari adanya peninggalan yang
terbuktikan).

3. Kota Banda Aceh terbagi dalam 3 zona yang peruntukannya sangat bernuansa
geografis (perhatikan dasar pertimbangannya).
Tampak sangat kasat mata, zona dibuat hampir mempertimbangkan jarak
jangkau tsunami. Pendekatan mengamankan asset pembangunan memang ada

20
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

benarnya, namun kehidupan yang telah berkembang di atasnya perlu


dipertimbangkan, seperti sejarah lokasi, karakter kehidupan masyarakat.
Zona kota tidak semata-mata mengarahkan karakter pembangunan fisik saja,
namun juga karakter masyarakat Kota. Sehingga akan terjadi beragam kegiatan yang
melintasi zona-zona tersebut.
Yang paling penting diperhatikan adalah harus tampak jelas zona jejak lintasan
perjalanan sejarah kota Banda Aceh sejak dari Kota Pancu –Lamuri- Kesultanan Aceh-
Kolonial Belanda-NKRI Orde Baru-NKRI Pasca Tsunami. Saat ini peninggalan kota-
kota ini masih ada walaupun hanya tinggal kawasan kosong, tapi perlu ditandai
dengan karakter aktivitas spesifik (daerah Wisata).
Disamping itu peran sungai yang besar dapat menarik aktivitas kelautan lebih
ke arah daratan. Sehingga aktivitas tersebut aman saat musim angin Barat.

4. Kawasan Buffer yang tidak jelas karakter pengembangannya,


Kawasan Buffer tidak lalu diartikan kawasan tanpa kehidupan, masyarakat
pantai sebenarnya ikut juga menjaga aktivitas di laut, artinya Pantai-pantai kita
menjadi bertuan. Sebagai Bandingan, di sepanjang Pantai Barat, kalau dari Udara kita
hanya melihat pohon kelapa yang ketebalan kawasannya sekitar 20 pohon kelapa,
namun dibawahnya terdapat hunian masyarakat. Masyarakat dapat berperan sebagai
penjaga pantai, mereka diberi pemahaman tentang peran terdepan mereka dalam
pengamanan bencana dari laut. Pohon Mangrove, hanya kombinasi ditempat-tempat
tertentu. Pengembangan pohon kelapa sudah dilakukan sejak masa kesultanan Aceh
dan banyak tanaman lainnya.
Yang terpenting, dalam pengembangan kawasan Buffer dengan kehidupan di
dalamnya, adalah Kepadatan rendah dan menerapkan pola permukiman tertentu dan
sistem perlindungan yang sesuai.

21
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

5. BWK I, peruntukan bagi daerah perikanan, yang kurang memperhatikan aspek


sejarah lokasi.
Terkait dengan pembahasan no I. Di dalam BWK I, merupakan lokasi dari
sejarah kota banda Aceh dan permukiman tradisional Aceh (petani, nelayan,
pedagang), justru beberapa tempat harus dipertahankan oleh kehendak pemerintah,
bukan karena kehendak rakyat saja. Rakyat harus kembali dan diberi modal untuk
mengembalikan sejarah yang hilang. Seperti kawasan Kampung Pande, dahulu
sebelum tahun 1970-an, daerah ini membuat kerajinan khas Aceh dari logam
(tembaga, Perunggu, emas, perak). Kerajinan ini hilang karena masyarakat lebih
“mencintai” produk Luar (India, Malaysia). Jika ini dibangkitkan kembali, perjalanan
sejarah kota Banda Aceh akan lebih mudah diujudkan.

6. Letak CBD Baru, hanya mengikuti gerak pasar (kegiatan ekonomi utama) yang
ada saat ini, (cermati kegiatan pasar ini sebelum Tsunami)
Lambaro menggeliat karena pasar Aceh dan Peunayong tidak berfungsi secara
fisik, namun sebagai “pasar” yang terkait dengan peran kota Banda Aceh dengan
Mesjid Raya Sebagai central kehidupan, maka kawasan Lambaro, akan sulit
berkembang. Kecuali akan ada mesjid Raya sekaliber yang sekarang di sekitarnya.
Kalaupun lokasi kawasan pemerintahan akan dikembangkan di sekitar lambaro,
namun kegiatan pemerintahan tidak menjadi orientasi masyarakat Aceh secara umum,
kecuali pegawai negeri. Aktivitas harian masyarakat termasuk rekreasi adalah di
sekitar mesjid raya, sehingga secara logika di mana banyak terdapat penumpukan
massa maka akan muncul kegiatan ekonomi dalam arti yang sebenarnya.

7. Kawasan Pendidikan yang direncanakan dikelilingi daerah persawahan, yang


tidak sesuai dengan eksisting yang ada.
Saat ini justru kawasan di sekitar luar kampus telah berkembang sebagai
daerah permukiman (mahasiswa). Jika benar CBD Baru akan ke Lambaro, yang jarak

22
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dengan kawasan pendidikan relative jauh, maka akan mendorong pertumbuhan


kawasan sekitar luar kampus. Secara eksisting, kampung-kampung lama juga
terdapat di sekitar kampus dan persawahan relative hampir hilang. Perkembangan
kawasan Selatan kampus terkait juga dengan adanya jalan inspeksi sungai Banjir
Kanal.

23
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB II
POKJA – 2
LINGKUNGAN DAN SUBER DAYA MANUSIA

I. LATAR BELAKANG
Gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada hari minggu, 26 Desember
2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara
(Sumut), telah meluluh lantakkan kehidupan masyarakat, struktur
perekonomian, dan infrastruktur. Gempa yang berkekuata 9.0 pada skala
richter dan berpusat di dasar laut dengan kedalaman antara 20 sampai dengan
530 km ini, diikuti oleh gelombang tsunami yang sangat tinggi, sehingga
menghancurkan lingkungan dan sumber daya alam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) sampai jarak 5 km dari garis pantai.
Gempa bumi dan tsunami tersebut yang telah melanda sebagian besar wilayah
pesisir Provinsi NAD dan sebagian Provinsi Sumatera Utara (Sumut), perlu
ditanggapi secara cepat, positif, konkret, konstruktif, dan terkoordinasi,
sehingga perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kembali wilayah
terlanda bencana dapat berjalan dengan baik. Bencana ini telah membawa
dampak semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengevaluasi
dan memformulasikan konsep penataan ruang yang terintegrasi, baik di
tingkat nasional maupun di tingkat di bawahnya, dengan memperhatikan
unsur lingkungan dan sumber daya alam.
Penyusunan rencana induk tata ruang selayaknya mengikuti
pendekatan ekologi lingkungan dengan memperhatikan potensi bencana dan
potensi dayadukung pada suatu wilayah. Aspek lingkungan dan sumber daya
alam perlu mendapatkan prioritas dalam penyusunan kerangka rehabilitasi dan
rekonstruksi kawasan yang terlanda bencana di NAD dan sebagian Sumut.
Perubahan garis pantai akibat tsunami telah menyebabkan pergeseran
tataruang pemukiman dan meningkatkan kebutuhan ruang baru untuk

24
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

masyarakat yang terkena bencana. Berbagai permukiman baru, fasilitas publik


harus dibangun dan tak terkecuali membuang/mengolah reruntuhan, lumpur
dan berbagai jenis sampah. Apabila tidak hati-hati, pemilihan lokasi atau
penentuan ruang baru ini dapat menimbulkan konflik dan persoalan
lingkungan baru, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Disamping itu
upaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang tidak terarah dikhawatirkan akan
melampaui daya dukung lingkungan.
Pendekatan perencanaan yang berwawasan lingkungan harus
diketengahkan dan dipertegas, karena aspek lingkungan sangat menentukan
keberlanjutan dan kenyamanan masyarakat yang tinggal disekitarnya dalam
jangka panjang. Prencanaan berbasis lingkungan tidak hanya menekankan
aspek ekosistim flora dan fauna, akan tetapi juga harus mencakup manusia
dan ekosistem alam secara keseluruhan. Namun, kendala yang dihadapi
terutama berkaitan dengan terbatasnya waktu yang tersedia untuk
penyusunan dokumen ini,sementara data-data lapangan yang tersedia hasil
dari berbagai environment rapid assesment lembaga pemerintah/non
pemerintah masih bersifat umum dan kurang lengkap. Untuk bisa
mengintegrasikan perencanaan lingkungan secara baik, perlu diusahakan
adanya data tentang lingkungan yang detail dan menyeluruh.

1.1 Tujuan dan Sasaran


Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyusun pedoman penyusunan
Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Sumber Daya Alam Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca
bencana gempa dan tsunami yang meliputi:
a. Penyusun Draft awal Blueprint (cetak biru) Rehabilitasi dan Rekonstruksi
NAD dan sebagian Sumut (Nias).

25
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

b. Penyusunan rencana induk (masterplan) maupun rencana rinci (detail plan)


pemanfaatan ruang kawasan perkotaan maupun kawasan pesisir lainnya
di NAD
c. Penyusunan rencana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan
perkotaan dan pesisir di NAD dan Sumut
d. Pedoman bagi Pokja lainnya yang terkait dalam penyusunan rencana buku
rinci masing-masing

Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini meliputi:


a. Tersusunnya kebijakan dan strategi Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Provinsi NAD
pasca bencana gempa dan tsunami. Informasi ini akan memberi masukan
untuk Pokja Tata Ruang dan Pertanahan, melalui kriteria kelayakan
lingkungan (termasuk untuk pokja lainnya);
b. Tersusunnya pedoman penyusunan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Wilayah Provinsi
NAD pasca bencana gempa dan tsunami.
c. Tersusunnya pedoman pelaksanaan pemberdayaan di bidang Lingkungan
Hidup dan Sumber Daya Alam masyarakat Provinsi NAD pasca bencana
gempa dan tsunami. Dengan demikian, konsep ini akan menjadi pedoman
bagi sektor/instansi terkait untuk merumuskan program rehabilitasi dan
rekonstruksi.

1.2 Ruang Lingkup


Pedoman penyusunan rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Provinsi NAD pasca
bencana gempa dan tsunami diperuntukkan bagi seluruh wilayah Provinsi NAD

26
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dan mencakup 16 kabupaten/kota di Provinsi NAD yang terkena dampak


bencana gempa dan tsunami, yaitu:
1) Banda Aceh,
2) Aceh Besar,
3) Aceh Jaya,
4) Aceh Barat,
5) Nagan Raya,
6) Aceh Barat Daya,
7) Aceh Selatan,
8) Aceh Tenggara,
9) Aceh Singkil
10) Aceh Timur,
11) Aceh Tamiang
12) Aceh Tengah,
13) Bener Meriah
14) Gayo Lues
15) Pidie,
16) Aceh Utara,
17) Bireuen,
18) Sabang,
19) Simeulue,
20) Lhokseumawe,
21) Langsa

1.3 Metode Pendekatan


Penyusunan pedoman rehabilitasi dan konstruksi lingkungan hidup dan
sumber daya alam Provinsi NAD pasca bencana gempa dan tsunami dilakukan
dengan menggunakan prinsip-prinsip perencanaan yang bersifat responsif,

27
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

partisipatif, dan terdapat integrasi horizontal dan vertikal. Perencanaan yang


bersifat responsif harus dapat menjawab secara cepat dan tepat persoalan
yang terjadi di daerah bencana gempa dan tsunami Provinsi NAD dengan
menentukan program yang tepat.
Pendekatan partisipatif dibutuhkan untuk dapat mengakomodasi aspirasi dan
kebutuhan masyarakat NAD yang terkena bencana gempa dan tsunami.
Integrasi horizontal dilakukan untuk menggabungkan berbagai program
Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber
Daya Alam di wilayah NAD yang dibutuhkan secara cepat untuk menjawab
kebutuhan pada masa sekarang sedangkan integrasi vertikal dilakukan untuk
menggabungkan berbagai program rehabilitasi dan rekonstruksi di Wilayah
NAD dalam skala makro dan mikro.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN LINGKUNGAN


HIDUP DAN SUMBER DAYA ALAM1

2.1 Total perkiraan nilai kerusakan dan kerugian

Berdasarkan makalah POKJA II Bappenas dalam Lokakarya


penjaringan aspirasi masyarakat bidang lingkungan dan sumber daya alam
pada tanggal 4 Maret 2005 di Banda Aceh, perkiraan nilai kerugian dan
kehancuran di NAD, adalah sebagaimana tertera dalam tabel rangkuman.
Potensi penurunan kualitas lingkungan juga terjadi selama kegiatan ‘relief’
(pertolongan) dan tanggap darurat. Dampak lingkungan tersebut mencakup
persoalan sanitasi di lokasi pengungsian, pencemaran lingkungan akibat
kegiatan pembersihan puing-puing, dan penimbunan sisa tsunami. Tanpa
pengelolaan dampak lingkungan paska tsunami dengan tepat, maka

1
Data pada bagian ini dikutip dari Makalah POKJA II Bappenas, yang disampaikan dalam Lokakarya
Penjaringan Aspirasi Masyarakat, pada tanggal 4 Maret 2005, di Banda Aceh.

28
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dikhawatirkan akan timbul dampak lebih lanjut terhadap kesehatan manusia


khususnya pekerja, relawan, pengungsi, dan masyarakat lainnya.

Table 1: Rangkuman Penilaian kerusakan dan kerugian


Sektor Kerusakan Kerugian Total
Sektor sosial, termasuk: perumahan, 15,657 532 16,186
pendidikan, kesehatan, agama dan
budaya
Sektor infrastruktur, termasuk : 5,915 2,239 8,154
transport, komunikasi, energy, air
dan sanitasi, bendungan
Sektor Produksi, termasuk : 3,273 7,721 8,154
agribisnis, perikanan, industri dan
perdagangan
Lintas Sektor , termasuk : 2,346 3,718 6,064
lingkungan, Pemerintahan, bank dan
Keuangan
Total (Rp. trilliun ) 27.191 14,210 41,401
Sumber : Bappenas dan WB 18 Januari 2004

Potensi penurunan kualitas lingkungan juga terjadi selama kegiatan ‘relief’


(pertolongan) dan tanggap darurat. Dampak lingkungan tersebut mencakup
persoalan sanitasi di lokasi pengungsian, pencemaran lingkungan akibat
kegiatan pembersihan puing-puing, dan penimbunan sisa tsunami. Tanpa
pengelolaan dampak lingkungan paska tsunami dengan tepat, maka
dikhawatirkan akan timbul dampak lebih lanjut terhadap kesehatan manusia
khususnya pekerja, relawan, pengungsi, dan masyarakat lainnya.
Perkiraan awal nilai kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat gempa
bumi dan tsunami di Provinsi NAD dan Provinsi Sumatera Utara hasil Analisis
Badan Donor melalui UNEP dapat dilihat pada tabel berikut ini.

29
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Table 2: Ringkasan Perkiraan Biaya Kerusakan dan Pencemaran


Lingkungan

No Jenis Dampak Lingkungan Perkiraan Biaya


(US$)
1 Pencemaran Air 2,5 – 4 juta
Perbaikan sungai 1,5 - 3 juta
Pencemaran air tanah 1 juta
2 Pencemaran Limbah Padat 3,44 juta
3 Pencemaran Udara Belum diketahui
4 Pencemaran dan kerusakan Terumbu US$ 9,4 - 245 juta
Karang dan Mangrove pertahun
5 Pertanian, kehutan dan ekosistem 86,24 – 172,68 juta
daratan lainnya pertahun
6 Kehilangan Potensi Kegunaan Lahan 23,5 – 47,1 juta
7 Potensi Kontaminasi dari Industri Belum diketahui
Total 127.58- 476.22 juta

30
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

2.2. Kerusakan/Kehilangan

2.2.1 Kematian/ Kehilangan Sumber Daya Manusia

Berdasarkan data Departemen Kehutanan per tanggal 17 Januari 2005 pukul


15.00 WIB, tercatat jumlah karyawan Departemen Kehutanan di Kabupaten &
Kota dan karyawan Dinas Kehutanan Provinsi NAD sebanyak 464 orang,
terdiri dari 173 orang karyawan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA)
NAD, 43 orang karyawan Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS)
Krueng Aceh, 26 orang karyawan Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan
(BSPHH) Wilayah I, 20 orang di Balai Taman Nasional Gunung Leuser
(BTNGL), dan 38 orang di Dinas Kehutanan. Pasca bencana gempa bumi dan
tsunami tercatat 115 orang selamat, 26 orang meninggal dan160 orang
belum diketahui.

2.2.2 Kerusakan Infrastruktur dan Sarana Pendukung

Data sementara kerusakan infrastruktur Departemen Kehutanan yang masuk


baru mencakup lingkup BKSDA NAD dan BP-DAS Krueng Aceh. BKSDA adalah
Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah Ditjen Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), sedangkan BP DAS Krueng Aceh
merupakan UPT dari Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS),
Departemen Kehutanan. Rincian jenis dan jumlah bangunan dan sarana
pendukung yang rusak terlihat pada tabel 2 berikut ini.

Table 3: Kerusakan infrastruktur di lingkungan BKSDA dan BP-DAS

No. JENIS BANGUNAN VOL KETERANGAN


1 Kantor Resort KSDA Banda Aceh 1 Hancur total, perlu bangunan
(Ex Kantor Sub Balai KSDA DI unit baru
Aceh) Luas tanah 1000M2,
Bangunan 350 M2

31
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1 Hancur total, perlu bangunan


2 Pondok kerja Banda Aceh, Tipe 70
unit baru
3 Kantor BKSDA Meulaboh, Aceh 1 Perlu direhap
Barat Luas tanah 600 M2, unit
Bangunan 120 M2
Pos jaga di Alue Bili dan Lami, 2 Hancur total, perlu bangunan
4
Aceh Barat unit baru
1
5 Pusat Informasi di Sabang Perlu direhab
unit
1
6 Kantor Resort KSDA Iboih Perlu direhab
unit
1 Hancur total, perlu bangunan
7 Pintu gerbang TWA P. Weh Sabang
unit baru
1 Hancur total, perlu bangunan
8 MCK di TWA P. Weh Sabang
unit baru
1 Hancur total, perlu bangunan
9 Shelter di TWA P. Weh Sabang
unit baru
10 Pembangunan rumah pegawai 42
Balai KSDA Prov, NAD yang unit
terkena bencana alam gempa bumi
dan tsunami
1
11 Kantor BP-DAS, 480 M2 Rusak 50 persen
unit
Gedung Kantor Pemerintah, 3000 1
12 Rusak 50 persen
M2 unit
2
13 Rumah Dinas Rusak 50 persen
unit
1
14 Lapangan tempat parker, 1.206 M2 Rusak 50 persen
unit
Sumber : Departemen Kehutanan

2.2.3 Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove

Menurut Wetlands International-Indonesia Programme hingga tahun 2000


hutan mangrove yang kondisinya baik di Nanggroe Aceh Darussalam hanya
seluas 30 ribu ha termasuk mangrove yang terdapat di pesisir P.Simeuleu.
Hutan mangrove yang rusak mencapai 25 ribu ha dan hutan mangrove yang
rusak sedang seluas 286 ribu ha.

32
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Table 4: Letak dan luas mangrove

Luas total mangrove


Letak pantai Panjang grs pantai (km)
(ha)
Pantai utara-timur 761 296,078

Pantai Barat - Selatan 706 49,760

Pulau-pulau Simeuleu 1000 1,000

Sumber : Siaran Pers Dephut No.S.32/II/PIK-1/2004 dan Data Dephut 2001


dan WI-IP

Luas hutan mangrove di NAD pada tahun 1996 menurut Departemen


Kehutanan adalah seluas 54.300 Ha dengan areal dominan berada di
Kabupaten Aceh Timur. Kondisi ekosistem mangrove yang berada di berbagai
daerah kabupaten dalam wilayah Propinsi Aceh Nanggroe Darussalam dapat
digolongkan menjadi a) rusak, b) rusak sedang dan c) rusak berat.
Kerusakan hutan manggrove lebih disebabkan oleh perluasan areal tambak,
pengambilan kayu mangrove untuk dijadikan arang dll, dan pengalihan untuk
lahan pemukiman dll. Hingga saat ini belum terlihat adanya upaya dari
pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan dari ekosistem
mangrove.
Demikian pula hingga saat ini belum terdapat informasi kuantitatif pasti
mengenai tingkat kerusakan ekosistem mangrove akibat Tsunami. Informasi
hanya dapat diperoleh dari laporan penduduk dan relawan kemanusiaan yang
sempat melihat kondisi lapangan serta intrepretasi terhadap foto-foto pesisir
yang sempat terekam. Berdasarkan informasi tersebut dapat diperkiraan
bahwa tingkat kerusakan mangrove adalah sbb:

33
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Table 5: Daerah dan tingkat kerusakan magrove

Tingkat Luas lahan manggrove


Daerah
kerusakan yang rusak

Aceh Besar, 100% 26,823 ha


Banda Aceh, 100% < 500 ha
Pidie 75% 17,000 ha
Aceh Utara dan Bireun 30% 26,000 ha
Aceh Barat, 50% 14,000 ha
Sumber : Wetlands International-Indonesia

Data kerusakan tersebut diatas mungkin lebih besar dari yang sebenarnya,
karena dipastikan adanya kerusakan yang terjadi sebelum bencana tsunami.
Mangrove termasuk jenis tanaman yang sulit mengatasi tantangan alam serta
rentan terhadap pencemaran. Selain itu, mangrove termasuk tanaman yang
tumbuhnya sangat lambat. Untuk mencapai ukuran yang relatif besar,
tanaman mangrove membutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun. Saat ini
terdapat 6 juta hektar hutan mangrove di Indonesia dan
600.000 hektar diantaranya rusak parah. Kawasan terparah kerusakannya
adalah di Pantai Utara Jawa serta Pantai Barat dan Timur NAD. Daerah-
daerah yang hutan mangrovenya terpelihara merasakan dampak tsunami
yang lebih ringan. Dengan demikian dipastikan bahwa kerusakan hutan
mangrove di NAD telah terjadi sebelum terjadi bencana tsunami.

34
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Table 6: Luas Kawasan Mangrove Berdasarkan Kerusakannya sebelum


Tsunami (2001)

Berdasarkan interpretasi citra satelit yang dikeluarkan WCMC, perkiraan


wilayah mangrove lebih banyak tersebar di pantai timur NAD, dan hanya
terdapat beberapa spot di wilayah barat dan pantai utara.
Data satelit hanya mengindikasikan mangrove di wilayah pantai timur dan
keberadaan spot mangrove di pantai Barat dan Utara NAD ditemukan melalui
observasi langsung di lapangan. Hal ini sesuai dengan laporan UNEP dan
World Bank untuk Bappenas. Diperkirakan total luasan mangrove di wilayah
pantai timur dan beberapa spot di wilayah pantai barat dan utara lebih

35
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

kurang 150.000 Ha (laporan World Bank tidak menyebutkan jumlah luasan).


Hampir bisa dipastikan hampir seluruh mangrove di wilayah
pantai barat dan utara NAD dikategorikan rusak berat karena tsunami.

2.3 Inventaris Kerusakan dan Kerugian Sektor Pertanian


2.3.1 Kematian / Kehilangan SDM
Dampak bencana alam gempa dan gelombang Tsunami juga telah
mengakibatkan lumpuhnya fungsi pelayanan pemerintah dalam bidang
pangan dan pertanian. Fungsi pelayanan pemerintah dalam bidang pangan
dan pertanian di wilayah bencana mengalami kelumpuhan karena beberapa
prasarana dan sarana kerja mengalami kerusakan serta beberapa aparatur
Dinas di tingkat propinsi dan kabupaten meninggal dunia dan belum diketahui
keberadaaanya, dan sebagian lagi mengalami trauma. Dari 1.083 orang
pegawai lingkup pertanian, sebanyak 98 orang meninggal, 63 orang cidera,
97 orang belum diketahui, dan 213 orang kehilangan rumah/tempat tinggal.
Dinas yang paling banyak kehilangan pegawainya karena meninggal dan
belum diketahui adalah Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan, yaitu masing-
masing 35 orang dan 34 orang. Jumlah pegawai yang kehilangan rumah
paling banyak terjadi pada Dinas Perkebunan dan Pertanian, yaitu masing-
masing 106 orang dan 51 orang. Selain itu, beberapa pegawai di Dinas-dinas
tersebut mengalami kehilangan anggota keluarganya. Seperti Dinas Pertanian
Kabupaten Aceh Besar kehilangan sebanyak 30 orang, dan keluarga dari para
pegawai BPTPH sebanyak 45 orang.

2.3.2 Kerusakan Infrastruktur dan Sarana Pendukung

Hasil assessment sementara menunjukkan bahwa gedung/kantor dan

36
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

saran kerja lingkup instansi pertanian di Banda Aceh yang mengalami rusak
berat dan perlu rehabilitasi total atau pembangunan kembali sebanyak 5 buah,
yang terdiri dari : (i) kantor Kimbun Dinas Perkebunan, (ii) Kantor Dinas
Peternakan, (iii) Balai Karantina Tumbuhan dan Hewan di pelabuhan laut, (iv)
kantor Badan Ketahanan Pangan, dan (v) Balai Proteksi Tanaman Pangan
dan Hortikultura. Selain bangunan gedung yang rusak, juga sarana penting
untuk menunjang fungsi pelayanan kantor tersebut mengalami kerusakan
seperti sarana furniture, pengolahan data, peralatan laboratorium dan
telekomunikasi. Selanjutnya gedung/kantor yang mengalami kerusakan
ringan meliputi kantor Dinas Pertanian Propinsi, dan kantor Balai
Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura
(BPSBTPH) beserta perumahannya. Sedangkan untuk kantor Dinas
Pertanian di kabupaten Meulaboh Aceh Barat diduga kuat mengalami
kerusakan total. Berdasarkan hasil assessment sementara oleh Departemen
Pertanian, lahan sawah milik masyarakat yang mengalami kerusakan berat
(puso) diperkirakan mencapai 23.330 Ha dan ladang 24.345 Ha. Lahan
ladang yang mengalami puso sebagian besar biasanya digunakan untuk
membudidayakan tanaman palawija dan hortikultura dan sedikit perkebunan
kelapa. Tercatat 9 kabupaten/ kota yang terkena tsunami dan mengalami
kerusakan lahan pertanian cukup besar yaitu di: di kabupaten Aceh Besar,
Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bireun, Piddie, Bireun. Sedangkan
jumlah ternak yang mati atau hilang diperkirakan mencapai 1,9 juta ekor yang
sebagian besar adalah ternak unggas, dan sisanya ternak ruminansia seperti
sapi, kerbau, kambing/domba. Kerusakan pada lahan usaha tani tersebut
terjadi juga kerusakan pada antara lain jaringan irigasi, bangunan irigasi,
jaringan saluran di tingkat usaha tani, jalan usaha tani, pematang (sawah),
terasering (lahan kering), serta bangunan petakan lahan usaha tani.
Kerusakan pada lahan akibat gempa dan gelombang tsunami , menyebabkan
masuknya air laut (salinitas) dan tebalnya sendimen, berdasarkan survey FAO

37
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

yang dilakukan pada tanggal 11-14 januari 2005 menyebabkan kerusakan


berat di wilayah Aceh bagian barat dengan tingkat salinitas lahan mencapai
lebih dari 1000 ppm atau sekitar 40 kali tingkat yang dapat ditoleransi oleh
1
tanaman . Pengaruh air laut masuk kedaratan sampai ketinggian 20 meter
diatas permukaan laut. Oleh karena itu upaya rehabilitasi di wilayah pantai
barat membutuhkan waktu sekitar 5 tahun. Kerusakan di wilayah pantai timur
relatif lebih ringan, dan membutuhkan waktu 1-2 th untuk merehabilitasi
lahan. Prakiraan kehilangan produksi bidang pertanian : US $78.8 juta dan
prakiraan kerusakan infrastruktur sebesar US$ 33.4 juta.

Kerusakan Lahan Pertanian Ternak Hilang


Kabupaten dan
NO Sawah Kebun Ladang (ekor)
Kota
(ha) (pohon) (ha)
1 Sabang 4,147 32,061
2 Banda Aceh 75 50 332,505
3 Aceh Besar 5,611 7,048 9,465 500,000
4 Pidis 1,859 11,304 3,072 238,301
5 Bireun 2,118 9,575 567 153,961
6 Aceh Utara 1,224 612 74,460
7 Kota Lhokseumawe 27,292
8 Aceh Timur 2,119
14 Aceh Barat 1,432 14,950 1,114 251,962
15 Nagan Raya 757 14,895 1,560 137,765
16 Aceh Jaya 1,645 12,240 3,068 156,280
17 Simelue 3,410 14,937 79
18 Aceh Selatan 9,636
19 Aceh Barat Daya 3,080 3,729 4,758

38
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

20 Aceh Singkil
Jumlah 23,330 102,461 24,345 1,904,587
Sumber : Tim Penanggulangan Bencana Nasional Departemen Pertanian

2.3.4 Inventarisasi Kerusakan dan Kerugian Sektor Perkebunan

Lahan perkebunan yang mengalami kerusakan diperkirakan mencapai


56 - 102 ribu Ha (FAO, Departemen Pertanian) yang meliputi lahan perkebunan
karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, cengkeh, pala, pinang, coklat, nilam, dan jahe.
Lahan perkebunan yang paling luas mengalami kerusakan adalah tanaman
kelapa yang tumbuh di sepanjang pesisir. Sedangkan berdasarkan wilayah,
lahan perkebunan yang paling banyak mengalami kerusakan berada di wilayah
kabupaten Aceh Barat, Simeulue, Nagan Raya, dan Aceh Jaya. Belum ada data
menganai prosentase dari kerusakan lahan perkebunan terhadap total lahan
perkebunan yang ada di NAD

2.5 Inventarisasi Kerusakan dan Kerugian Sektor Lingkungan Hidup


dan Sumber Daya Alam

2.5.1 Kerugian dan Kerusakan Institusi Pengelola Lingkungan Hidup

Tsunami juga mempengaruhi pengelolaan lingkungan hidup yang ada di


daerah bencana. Data yang ada baru terkait dengan kerusakan di Banda Aceh.
Data-data kerusakan terkait dengan institusi pengelolaan lingkungan hidup
dapat dilihat di tabel berikut ini :

Table 7: Kerusakan institusi pengelolaan lingkungan hidup di NAD


Dampak
meninggal Kerusakan keterangan
No Lembaga
1. Bapelda Propinsi di Banda 7 org
Aceh

39
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

2. Bapeldada Kota Banda 5 org Gedung kantor dan


Aceh seluruh peralatan
mengalami
kerusakan total
3. Laboratorium lingkungan Gedung dan seluruh Status masih
peralatan leb milik KLH
hancur 1 bobil lab karena belum
hancur 2 mbl diserahkan ke
operasional hancur bapeldada
Provinsi
4. LSM Lingkungan 2 org Kerusakan pd Direktur
kantor Peralatan WALHI Aceh
kantor hancur 1 meninggal.
mobil operasional
hancur/ hilang
Sumber : KLH

2.5.2 Pencemaran Air Permukaan dan Air Tanah

Secara umum gambaran awa pencemaran ir terjadi diidentifikasi karena :

terlepasnya material limbah tangki penimbunan bahan-bahan yang


a.
dari bersifat
limbah berbahaya dan beracun (B3)
kontaminasi dari jenazah manusia dan bangkai hewan di badan air, serta
b.
larian air
hujan yang terkontaminasi jenazah manusia dan bangkai hewan.
c. kontaminasi air laut ke dalam air tanah
d. genangan sisa air tsunami
kontaminasi mikroorganisme pathogen dan infeksius dalam air tanah dan
e.
air sumur

Pemantauan kualitas lingkungan telah dilaksanakan di Banda Aceh, dengan


mengambil sampel air sumur, air tanah, air sungai, air laut (pesisir pantai),
udara dan sedimen/lumpur, disertai dengan data pemetaan lokasi pengambilan
sampel tersebut. Sampel diambil dari wilayah yang rusak karena dampak
tsunami maupun wilayah yang tidak terkena banjir tsunami (sebagai kontrol).

40
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Parameter yang dipantau meliputi:

a. Sampel air: pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), DHL, warna, BOD,
COD, TSS, NH3, PO4, NO3, NO2, As, Hg, Sulfida, Fenol, Cu, Cd, Total
coliform, E.coli.

b. Sampel udara: partikel (TSP), kebauan (NH3, H2S)

c. Sampel sedimen/lumpur: pH, uji karakteristik dan logam berat (Pb, Cu, Cd,
Mn, Zn, As, Hg)

Hasil pengamatan terhadap kondisi air menunjukkan kondisi berwarna coklat


sampai kehitaman, keruh, berbau. Kondisi kualitas udara pada kondisi terang
hari cenderung berdebu. Lumpur menutup jalan, halaman kantor, rumah,
dengan ketebalan bervariasi antara 18 cm – 80 cm.
Hasil analisis laboratorium terhadap sampel air menunjukkan kecenderungan
(pada mayoritas sampel) konsentrasi amoniak (NH3, 8 – 19 mg/l) melebihi baku
mutu (1,5 mg/l). Konsentrasi Total coliform (74.105 – 107.106/100ml) dan
E.coli (1.104 – 9.104/100 ml) jauh melebihi baku mutu (1000/100ml dan
100/100ml) (Lihat Gambar 3). Tingginya konsentrasi Total coliform terdapat
pada sampel dari wilayah yang rusak maupun yang dari wilayah tidak rusak
akibat tsunami. Tingginya tingkat kedua parameter tersebut diduga terkait
dengan pencemaran limbah organik yang mengalami dekomposisi
(pembusukan).

41
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Gambar 1: Peta sebaran Amoniak di Banda Aceh

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2004


Gambar 2: Peta sebaran Ecoli di Banda Aceh

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup

42
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

2.5.3 Pencemaran Limbah Padat

Pemantauan kualitas lingkungan untuk pencemaran limbah padat telah


dilaksanakan di Banda Aceh, dengan mengambil sampel sedimen/lumpur,
disertai dengan data pemetaan lokasi pengambilan sampel tersebut. Sampel
diambil dari wilayah yang rusak karena dampak tsunami maupun wilayah yang
tidak terkena banjir tsunami (sebagai kontrol).
Parameter yang dipantau meliputi: Sampel sedimen/lumpur: pH, uji
karakteristik dan logam berat (Pb, Cu, Cd, Mn, Zn, As, Hg).
Pencemaran limbah padat terjadi sebagai akibat dari :
a. limbah puing-puing bangunan
b. limbah benda-benda dan bahan milik masyarakat
c. material laut
d. bangkai hewan
e. lumpur tsunami

Pembersihan sampah secara besar-besaran telah dilakukan di Banda Aceh dan


sekitarnya. Sampah yang tertumpuk tersebar dimana-mana terdiri dari berbagai
jenis sampah seperti , puing-puing bangunan, plastik, besi-besi, balok dan akar
kayu, pohon dan semak, kendaraan, barang-barang rumah tangga, sampai
jenazah. Pembersihan dilakukan secara cepat , karena itu material sampah
diletakkan di tepi jalan, di pinggir kota, di ruang-ruang terbuka sampai masuk
5 – 10 km masuk ke kota Banda Aceh.

Pada umumya kerugian dari penumpukan sampah adalah :

a. Tidak berfungsinya aliran air , drainase dan septic tank, sehingga terjadi
pencemaran pada sumber-sumber air oleh air laut ,lumpur,E-coli dan limbah
berbahaya.
b. Banyak genangan air yang menjadi sarang nyamuk dan bibit penyakit.

43
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

c. Puing-puing bangunan masih banyak terlihat diletakkan di pantai, sehingga


akan menghambat tahap rehabilitasi daerah tersebut.
d. Limbah berbahaya seperti dari rumah sakit dibuang di tempat-tempat umum
sehingga dapat menularkan berbagai penyakit.
e. Pembakaran sampah di tempat-tempat tertentu dapat mengancam
kesehatan masyarakat.Sampai sekarang belum ada tempat pembuangan
sampah yang pasti,sehingga akan timbul ancaman penyakit-penyakit infeksi
(epidemic) dan pencemaran yang meluas , apalagi dimusim hujan.

Pencemaran Udara

Pemantauan kualitas lingkungan khususnya aspek pencemaran udara


telah dilaksanakan di Banda Aceh, dengan mengambil sampel udara disertai
dengan data pemetaan lokasi pengambilan sampel tersebut. Sampel diambil
dari wilayah yang rusak karena dampak tsunami maupun wilayah yang tidak
terkena banjir tsunami (sebagai kontrol). Parameter yang dipantau meliputi
Sampel udara: partikel (TSP), kebauan (NH3, H2S)
Hasil analisis sampel udara menunjukkan tingkat debu partikulat (615 ug/m3) di
beberapa lokasi yang melebihi baku mutu (230 ug/m3).
Pencemaran udara terjadi melalui :
a. Bau, debu dan penyebaran mikroorganisme pathogen ke udara dari
berbagai sumber antara lain kegiatan pembersihan dan pengangkutan
material sisa tsunami
b. Kerusakan ekosistem terumbu karang dan mangrove
c. Kerusakan lahan pertanian, hutan, dan ekosistem daratan
d. Kehilangan potensi lahan, khususnya pada lahan sekitar garis pantai
e. Potensi kontaminasi limbah, berupa : limbah rumah sakit, laboratorium,
dan industri dari dua depot Pertamina (di Banda Aceh dan Meulaboh) dan

44
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

pabrik PT. Semen Andalas Indonesia, serta sekitar 1.300 industri kecil dan
menengah di Banda Aceh.

45
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

III. RONA LINGKUNGAN

Keadaan lingkungan dan Sumber Daya Alam di Provinsi NAD pasca tsunami
dapat di paparkan sebagai berikut:

3.1. Kawasan Pesisir dan Tambak

3.2. Kawasan Pertanian

3.3. Kawasan Pemukiman

IV. PENILAIAN KEBUTUHAN


4.1 Dasar Pemikiran
Dalam rangka menyusun rencana rehabilitasi dan rekonstruksi
lingkungan dan sumber daya alam, maka penilaian kebutuhannya sebaiknya
haruslah disusun atas dasar 5 (lima) pertimbangan, yaitu:
a. Mengembalikan kondisi lingkungan dan sumber daya alam kepada keadaan
dimana fungsi lingkungan menjadi normal atau lebih baik lagi untuk
pembangunan berkelanjutan.
b. Mengelola dan melindungi lingkungan hidup dan sumber daya alam sedini
mungkin (early pre-caution) guna mengantisipasi ancaman bencana alam
di masa depan.
c. Memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dengan meningkatkan nilai tambah
yang dapat diperoleh dari lingkungan dan sumber daya alamnya secara
sinergis antara konsep, kebijakan, dan kebutuhan.
d. Mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan oleh semua kegiatan
rehabilitasi dan rekontruksi masyarakat Aceh dan Nias (Sumut).
e. Mengintegrasikan konsep lingkungan hidup dan sumber daya alam dengan
pembangunan wilayah pantai, pertanian, kehutanan, perairan, dan udara
secara utuh sebagai suatu sistem yang saling bergantungan

46
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

4.2. Masukan dan Rekomendasi Masyarakat Aceh

Berdasarkan aspirasi masyarakat yang diperoleh dari hasil lokakarya


yang makalahnya masing-masing dari Pokja II Bappenas, Kementerian
Lingkungan Hidup, Working Group Aceh Recovery (IPB), IAGI, WALHI, lembaga
donor (UNDP), Bappeda NAD dan Universitas Syiah Kuala, Tokoh Masyarakat
(Kepala Desa Korban Tsunami), nara sumber serta masukan dari hasil diskusi
yang berkembang selama Lokakarya berlangsung terutama dari tokoh
masarakat, ulama, praktisi, cendekiawan, ilmuan, mahasiswa, lembaga sosial
masyarakat dan pengusaha, pemerintah daerah tingkat I, pemerintah daerah
tingkat II, berbagai organisasi nasional, dan internasional, serta undangan
lainnya, maka hasil Lokakarya Pokja II Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber
Daya Alam dapat disimpulkan, sebagai berikut :
1. Pembangunan kembali Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, bukan hanya
difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana, tetapi juga
membangun kembali lingkungan yang telah hancur menjadi lingkungan
yang lestari guna mewujudkan “green province”, untuk melindungi
kehidupan dan jaminan kesinambungan produktivitas masyarakat serta
dunia usaha agar perekonomian dapat ditingkatkan. Pembangunan ini harus
berorientasi kepada pembangunan nilai-nilai kemanusian dan sosial budaya
2. Akselerasi pembangunan lingkungan bagi masyarakat Aceh, diharapkan
dapat terlaksana secara sinergis dan terpadu antara kebijakan, konsep,
kondisi dan kebutuhan masyarakat, sehingga kerusakan lingkungan hidup
dan sumberdaya alam pasca Tsunami dapat dikendalikan.
3. Penataan lingkungan pasca Tsunami bukan hanya melakukan penataan
pembangunan lingkungan pada wilayah yang tersapu Tsunami, tetapi yang
lebih penting adalah melakukan penataan lingkungan secara keseluruhan
dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk itu selain

47
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

diperlukan mediasi antara masyarakat dengan pengambil kebijakan, juga


dibutuhkan kegiatan sosialisasi penataan lingkungan yang terpadu.
4. Konsep pembangunan berwawasan lingkungan bukan hanya dilakukan
untuk kawasan pesisir pantai yang terkena tsunami tetapi harus merupakan
satu kesatuan dengan kawasan yang terdapat di wilayah pertanian,
perkebunan dan kehutanan serta tidak mengganggu fungsi lahan dan
kawasan yang telah ada melalui konsep “agro-ecopolitan”.
5. Untuk memperbaiki ekosistem pantai, perlu adanya “buffer zone” berupa
tanaman pantai, seperti mangrove, cemara pantai, ketapang, kelapa, waru,
pandan dan lain-lain, yang dapat berfungsi sebagai pemicu perkembangan
ekosistem baru, perikanan pantai dan dapat mendukung perekonomian
masyarakat pesisir, disamping juga sebagai peredam energi gelombang
tsunami.
6. Usaha rehabilitasi mangrove dan tanaman pantai lainnya haruslah
mempunyai manfaat ganda dengan melibatkan masyarakat baik pada
pembibitan maupun penanamannya.
7. Rehabilitasi ekosistem pesisir termasuk terumbu karang dan habitat yang
terancam lainnya harus dilakukan sedini mungkin agar kelangsungan
kehidupan biota laut dapat terlindungi.
8. Perbaikan kembali permukiman nelayan perlu mempertimbangkan
keamanan lingkungan dan bila penempatan ke lokasi semula tidak
memungkinkan, maka relokasi harus dilakukan atas dasar kesepakatan
dengan para nelayan dan panglima laot, sehingga tidak meminimalisir
peluang nelayan untuk meneruskan profesinya. Untuk itu perlu adanya
percontohan desa nelayan yang ramah lingkungan.
9. Rehabilitasi wilayah pantai yang rusak akibat tsunami harus segera
dilakukan terutama untuk memperbaiki akses dari dan ke laut bagi para
nelayan dengan melakukan pengerukan kuala/muara yang menyempit dan

48
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dangkal, serta pembersihan pantai dan tambak dari sampah serta material
buangan.
10. Masalah utama dibidang lingkungan dan sumberdaya alam yang
memerlukan penanganan segera pasca Tsunami adalah sampah Tsunami
dan Domestik, persediaan sumber air bersih dan sanitasi, kerusakan
ekosistem, dampak pembangunan konstruksi terhadap lingkungan dan
sumberdaya alam serta keterbatasan sarana dan sumberdaya manusia.
11. Sampah tsunami yang relatif cukup banyak perlu ditangani dengan baik
melalui pengurangan volume dengan cara daur ulang, pemanfaatan dan
penggunaan kembali material yang masih baik, serta pemilahan menjadi
material pengolahan lainnya.
12. Sampah tsunami yang terlanjur dibuang pada lahan masyarakat seperti
sawah, tambak, pantai dan tanah rumah harus segera diselesaikan secara
arif sehingga tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari, dan perlu
segera dilakukan suvey lebih lanjut untuk mencari tempat pembuangan
akhir (TPA) sampah tsunami dan sampah domestik yang ramah lingkungan.
13. Selain penempatan TPA perlu dipertimbangkan pula kelengkapan Instalasi
Pengolah Limbah Tinja (IPLT) , Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) dan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta Insinerator bagi limbah
rumah sakit.
14. Penanganan dan pembersihan sampah tsunami mengakibatkan sejumlah
saluran pembuangan tersumbat, sehingga sistim drainase kota dan
pemukiman penduduk tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu perlu
penanggulangan segera, baik pembersihan, maupun pemeliharaan atau
perbaikan sistem, agar tidak memicu bahaya banjir dan menimbulkan
berbagai penyakit pada masyarakat di sekitarnya.
15. Pencemaran air, udara dan tanah pasca Tsunami di beberapa wilayah telah
menimbulkan pencemaran diatas baku mutu, sehingga perlu dilakukan

49
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

penelitian lebih lanjut agar hasilnya dapat segera diinformasikan secara


akurat kepada masyarakat untuk menghindari dampak yang dapat
ditimbulkannya.
16. Perlu dilakukan penelitian dan inventarisasi data tentang tingkat dan jenis
bahan yang mencemari air dan tanah serta tingkat kedalaman air tanah
yang layak dikonsumsi untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
penanganan selanjutnya.
17. Penyediaan peta dasar lingkungan untuk penyusunan status lingkungan dan
Neraca Kualitas Lingkungan Daerah perlu dilakukan sekaligus sebagai bahan
data dan informasi bagi semua pihak yang memerlukannya.
18. Pencemaran yang terjadi pada sumber air bersih yang dikonsumsi dari
sumur-sumur masyarakat perlu segera diatasi melalui “water treatment
“ atau upaya lainnya.
19. Pencemaran yang terjadi terhadap lahan pertanian/tambak yang digunakan
untuk kepentingan ekonomis oleh masyarakat perlu dilakukan “clean up”
agar fungsinya dapat digunakan kembali.
20. Pemulihan lingkungan dan sumberdaya alam kedepan harus
memperhatikan pula peningkatan kapasitas kelembagaan (Capacity Building).
Kegiatan yang perlu dilakukan adalah perbaikan tempat kerja dan sarananya,
rehabilitasi laboratorium dan kelengkapan penelitian, pelatihan, pendataan
dan penyediaan informasi termasuk melakukan sosialisasi program serta
meningkatkan kepedulian masyarakat.
21. Perlu adanya pelestarian sumber-sumber keanekaragaman hayati, khususnya
keanekaragaman hayati kawasan pantai dan terumbu karang baik secara in vivo
di ekosistemnya yang alami, maupun in vitro di laboratorium yang lebih efisien
dan mudah.
22. Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam mengimplementasikan kegiatan
perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian secara berkala dan

50
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

berkesinambungan agar upaya penanggulangan pencemaran lingkungan hidup


dan sumber daya alam dapat terwujud dengan baik.
23. Pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan merupakan kebijakan pemerintah yang harus
dilaksanakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam upaya
mewujudkan pelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.
24. Masyarakat segera ingin kembali ke desa asal dengan membangun
perumahan yang baru serta mendapatkan modal usaha pada
matapencaharian yang sama dengan sebelumnya
25. Masyarakat sangat mendambakan adanya sitem sanitasi lingkungan yang
bersih dan tertata rapi
26. Masyarakat sangat mengharapkan adanya sistem penyediaan air bersih yang
terjamin.
27. Masyarakat memahami fungsi mangrove dan mengharapkan wilayah sekitar
mareka segera dibangun buffer zone, tetapi dengan menghormati hak-hak
adat masyarakat setempat.
28. Partisipasi masyarakat sangat antusias untuk ikut serta dalam proses
rehabilitasi dan rekontruksi.
29. Keberlanjutan pengelolaan kawasan pantai sangat tergantung kepada peran
masyarakat yang berdasarkan kepada sosial budayanya.

Hasil suvey yang dilakukan dibeberapa lokasi bencana beberapa waktu lalu
menunjukkan bahwa masyarakat Aceh mengharapkan kepada pemerintah
dalam hal-hal sebagai berikut:

51
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

No Harapan msyarakat Persentase (%)


1 Modal usaha 23.46
2 Perumahan 23.17
3 Peralatan nelayan 7.33
4 Pengadaan ternak 4.40
5 Pengadaan bibit tanaman 4.11
6 Pengadaan perahu 4.40
7 Mesin jahit 3.81
8 Pembuatan tambak 3.52
9 Bantuan pakaian dan alat masak 3.52
10 Pemberian Sembako 3.23
11 Penanaman hutan bakau 2.64
12 Pemberian kredit 1.47
13 Penataan ulang lingkungan desa 1.18
14 Perbaikan ekonomi rakyat 1.18
15 Air bersih 0.88
16 Peralatan tani 0.88
17 Pembangunan sekolah/pasantren 0.88
18 Biaya sekolah 0.88
19 Tempat usaha/toko 0.88
20 Pembuatan tanggul di tepi sungai 0.88
21 Perbaikan jalan 0.59
22 Peralatan berdagang (timbangan dll) 0.59
23 Listrik yang stabil 0.29
24 Fasilitas MCK 0.29
25 Membuka lapangan kerja 0.29
26 Pembuatan dapur bata dan garam 0.29
27 Sumur bor 0.29
28 Alat pertukangan 0.29
29 Pembangunan Tempat Pendaratan Ikan 0.29
30 Pemecah ombak 0.29
Catatan: survei dilakukan di Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, dan
Banda Aceh dari tanggal 27 Februari s/d 7 Maret 2005 oleh Tim Pokja II Lingkungan Hidup dan
Sumber Daya Alam Unsyiah dengan jumlah sampel 180 orang dengan karakteristik 78% tinggal
di wilayah pantai, 17% persen kawasan pertanian, 5% di kawasan lain (rawa-rawa,
semak/hutan).

52
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

4.3. Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam


Rapid environment assesment yang disusun oleh KLH mengidentifikasi akar
masalah dan kegiatan yang sedang berlangsung dilapangan. Dengan table dibawah
ini disusun sebab dan implikasi serta rekomendasi terhadap isu lingkungan tertentu.

a. Air tanah

b. Persampahan

Ada 2 akar penyebab pencemaran (biologis, kimiawi), sebagai akibat dari


sampah tsunami, yaitu:

a) Barang hancur dalam jumlah yang besar dan tersebar pada area yang luas

b) terlalu cepatnya operasi pembersihan limbah dari satu lokasi ke lokasi yang
lain (termasuk ada yang dibuang kesungai atau laut).

Salah satu rekomendasi adalah pembuatan pengolahan sampah akhir (TPA) yang
fixed (tidak berpindah-pindah) untuk jangka waktu yang lama (minimal 30
tahun) dan hal tsb ditetapkan dalam rencana tata ruang, dimana penentuan
lokasinya harus berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan dengan mengacu
pada standar SNI, dan mempertimbangkan aspek kerentanan kawasan terhadap
bencana. Diusulkan untuk menggunakan teknologi sanitary landfill (bukan open
dumping), tempat pengolahannya selain fixed juga bersifat dapat diguna ulang
(reusable) dan proses pengolahannya menggunakan pendekatan 3R (reduce,
reuse, recycle). Selanjutnya analisa sebab dan implikasi serta rekomendasi dalam
aspek persampahan secara singkat dapat dilihat di tabel berikut ini

c. Pengolahan Limbah Cair

Perlu direncanakan lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadu untuk
limbah cair domestik dan rumah sakit skala kota yang fixed dan sesuai dengan
standar, yang didukung oleh jaringan saluran air limbah yang melayani seoptimal

53
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

mungkin pemukiman yang ada. Pembangunan IPAL Terpadu tersebut juga harus
didukung oleh disain sistem proses dan teknologi pengolahan air limbah yang
sesuai standard. ( sumber BPPT)

d. Pengadaan Kayu

Rehabilitasi dan rekonstruksi seluruh NAD diperkirakan membutuhkan bahan


baku kayu dalam jumlah besar. Penilaian kebutuhan awal yang dilakukan
Greenomics dan WWF Indonesia menyebutkan jumlah kebutuhan kayu untuk
barak penampungan, perumahan sederhana (panggung dan tidak panggung),
perkantoran, rumah sakit, sekolah, rumah ibadah, dan kapal penangkap ikan
3
mencapai 1,6 juta – 3,2 juta meter kayu gergajian atau setara dengan 4-8 juta
3
meter kayu bulat. Bila disasumsikan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut
dilakukan dalam waktu 5 tahun, maka kebutuhan rata-rata per tahun kayu bulat
adalah antara 814,5 – 1,58 juta meter.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, perlu adanya sumber kayu dalam negeri,
sehingga tidak menganggu keberadaan hutan lindung dan daerah konservasi.
Beberapa sumber yang tersedia adalah : a) kayu sitaan/temuan, b) sumbangan
propinsi sekitar, c) hasil landclearing, dan d) pelepasan hutan.

54
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

V. PERTIMBANGAN KELAYAKAN LINGKUNGAN2

5.1 Pertimbangan-pertimbangan lingkungan yang mendasar

a. Pertimbangan lingkungan yang terintegrasi untuk rekonstruksi berkelanjutan


Permasalahan lingkungan sebaiknya harus dipertimbangkan dalam semua
rencana dan pelaksanaan rekonstruksi sektoral. Mengikuti peraturan EIA
Indonesia, diterapkan dengan cara-cara yang tepat dengan demikian rencana
rekonstruksi proyek tidak akan mengalami penundaan dalam
implementasinya.
b. Tata Ruang yang ramah lingkungan dan tahan bencana alam Prinsip-prinsip
dan strategi dari Tata Ruang dikembangkan menjadi proyek rekonstruksi
sektoral. Setelah proyek rekonstruksi disusun tidak mudah untuk merubah
land use yang telah ditentukan. Selama merencanakan Tata Ruang perlu
menjadikan isu-isu seperti implikasi lingkungan dan ketahanan terhadap
bencana alam/gempa pertimbangan dalam perencanaannya.
c. Perencanaan perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan.
Lamanya penggunaan perumahan dan permukiman sementara, tergantung
pada proses rekonstruksi itu sendiri. Pemilihan lokasi untuk perumahan dan
permukiman sementara perlu mempertimbangkan potensi implikasi
lingkungan dalam waktu yang lama.
d. Peran- serta membangun kembali lingkungan hidup. Kebutuhan komunitas
dan organisasi masyarakat sipil menjadi dasar untuk memastikan supaya isu-
isu lingkungan menjadi pertimbangan dalam proses rekonstruksi, sehingga
dapat memastikan keberlanjutannya dalam jangka panjang.
e. Restorasi berdasarkan pada ekosistem. Kerusakan lingkungan dapat
diperbaiki. Sedapat mungkin restorasi dapat mengembangkan potensi

2
Dikutip sesuai dengan makalah yang disampaikan oleh POKJA II Bapenas, dalam Lokakarya Penjaringan
Aspirasi Masyarakat, tanggal 4 Maret di Banda Aceh.

55
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

pemulihan ekosistem dan cara bagaimana ekosistem dapat menciptakan


mata pencaharian bagi penduduk setempat.
f. Penilaian lingkungan yang komprehensif terhadap kerusakan yang
disebabkan oleh bencana alam. Suatu penilaian lingkungan yang
komprehensif ttg kerusakan yg disebabkan oleh bencana alam ,perlu menjadi
tindak-lanjut dari penilaian awal saat ini. Upaya penilaian ini dapat dilakukan
dengan cara mengembangkan kapasitas nasional dan lokal melalui penilaian.
Selanjutnya kapasitas monitoring lingkungan dapat dikembangkan untuk
memonitor faktor-faktor lingkungan untuk mengurangi dampak bencana alam
dan persiapannya.

g. Membentuk kelembagaan yg effektif pada tingkat nasional, propinsi dan


kabupaten. Dalam pembetukkan kembali struktur kelembagaan dalam
pengelolaan lingkungan suatu struktur ,dengan akuntabilitas yang effektif dan
tanggung jawab yang jelas, hendaknya dirumuskan pada tingkat nasional,
propinsi dan kabupaten

5.2 Pengertian dan Kriteria Kawasan

Table 6: Pengertian Dan Kriteria Kawasan

Pengertian Kriteria Kawasan


Kawasan Hutan Lindung adalah Harus memenuhi salah satu dan atau lebih
hutan yang memiliki sifat khas kriteria berikut.
dan mampu memberikan -Kelerengan rata-rata > 45
perlindungan bagi kawasan -Ketinggian di atas 2000 m dpl
sekitarnya maupun kawasan -Jenis tanah yang rentan terhadap erosi
bawahnya sebagai pengaturan dengan nilai 5 (tanah regosol, litosol,
tata air, pencegahan banjir dan organosol, dan rezina) dan lereng 15 % -

56
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

erosi, serta pemeliharaan tanah Kawasan memiliki skor > 175 menurut SK
Menteri Pertanian No. 837/Um/11/1980
Guna keperluan khusus ditentukan oleh
Menteri Kehutanan.
Kawasan Pertanian Tanaman Kawasan yang sesuai untuk pertanian
Pangan Lahan Basah : kawasan tanaman pangan lahan basah : Mempunyai
yang diperuntukkan bagi sistem dan atau Pengembangan Perairan
pertanian tanaman pangan yang meliputi :
lahan basah di mana -Ketinggian < 1000 m.
pengairannya dapat diperoleh - Kelerengan < 40
secara alami atau teknis. -Kedalaman efektif lapisan tanah > 30 cm -
Curah hutan antara 1500-4000 mm per
tahunan
Kawasan Tertanian Tanaman Kriteria Kawasan Yang Sesuai Untuk
Pangan Lahan Kering : kawasan Pertanian Tanaman Pangan Lahan Kering :
yang diperuntukkan bagi tidak mempunyai sistem dan atau
pertanian tanaman pangan Pengembangan Perairan yang meliputi: -
lahan kering, seperti palawija, Ketinggian < 1000 m
holtikultura atau tanaman - Kelerengan < 40
pangan lainnya. -Kedalaman efektif lapisan tanah > 30 cm -
Curah hutan antara 1500-4000 mm per
tahunan
Kawasan Perikanan : kawasan Kawasan yang sesuai untuk perikanan
yang diperuntukkan bagi secara fisik ditentukan oleh faktor utama
budidaya perikanan, baik adalah
berupa pertambakan (kolam) - Kelerengan < 8
atau perikanan darat lainnya - Persediaan air cukup
dan perikanan laut.

57
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kawasan Permukiman : Kawasan yang sesuai untuk kawasan


kawasan diperuntukkan bagi permukiman
permukiman baik kota maupun -Kesesuaian lahan dengan masukan
desa. teknologi yang ada
-Ketersediaan air terjamin
-Lokasi yang terkait dengan kawasan
hunian yang telah ada
-Tidak terletak di kawasan lindung,
kawasan pertanian lahan basah, kawasan
hutan produksi tetap dan kawasan hutan
produksi terbatas.
Kawasan industri : kawasan Kawasan industri yang sesuai adalah -
yang diperuntukkan bagi Kawasan memenuhi persyaratan industri -
industri berupa tempat Tersedia sumber air baku cukup
pemusatan industri dan atau -Adanya sistem pembuangan limbah yang
unit kegiatan industri. baik
-Tidak menimbulkan dampak sosial negatif
yang berat
-Tidak terletak di kawasan pertanian
pangan lahan basah yang teririgasi dan
yang berpotensi bagi pengembangan irigasi
- Tidak terletak di kawasan berfungsi
lindung dan hutan produksi tetap maupun
hutan produksi terbatas

58
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kawasan Pertambangan : Kawasan pertambangan yang sesuai


Kawasan yang diperuntukkan adalah
bagi pertambangan, baik -Tersedianya bahan baku yang cukup dan
wilayah yang sedang maupun bernilai tinggi
yang akan segera dilakukan -Adanya sistem pembuangan limbah yang
kegiatan pertambangan. baik
-Tidak menimbulkan dampak sosial negatif
yang berat
-Tidak terletak di kawasan pertanian
pangan lahan basah yang teririgasi dan
yang berpotensi bagi pengembangan ingasi
-Kriteria rinci ditentukan oleh Dept.
Pertambangan
Kawasan pariwisata : Kawasan Kawasan yang sesuai bagi kegiatan
yang dikembangkan untuk pariwisata adalah
kegiatan pariwisata. -Keindahan alam dan panorama alam yang
indah dan diminati wisatawan(wisata alam)
-Masyarakat dengan kebudayaan yang
bernilai tinggi
-Bangunan peninggalan sejarah / budaya
yang memiliki nilai sejarah/budaya tinggi
Kawasan Pantai Berhutan Kawasan minimal 130 kali rata-rata
Bakau : Kawasan pesisir laut tunggang air pasang tertinggi tahunan
yang merupakan habitat alami diukur dari garis air surut terendah ke arah
bakau (mangrove) yang darat.
memberi perlindungan
kehidupan pantai dan lautan

59
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Untuk buffer zone yang akan Tipe vegetasi hutan pantai yang dapat digunakan
dikembangkan, khususnya untuk antara lain adalah: bakau-bakauan, tancang
wilayah coastal forest buffer zone, (Broguiera spp.), dan ketapang.

Pada daerah berpasir sepanjang garis pantai dapat digunakan tumbuhan antara
lain: cemara laut (Casuarina equasitifolia), waru laut (Hibiscus tiliaceus) dan
pandan (Pandanus spp.).

Untuk zoning code, perlu dilakukan pembatasan alih fungsi lahan pada daerah
buffer zone, misalnya setidaknya 60% dari kawasan buffer zone sama sekali
tidak boleh dialihfungsikan.

5.3 Prinsip Dasar Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Sumut

5.3.1 Membangun kembali NAD dan Sumut secara berkelanjutan.

a. Penataan ruang yang mempertimbangkan factor-faktor geological hazard dan


sosiocultural;
(i) Indonesia berada di wilayah rawan bencana, baik tektonik maupun
vulkanik;
(ii) Nilai kearifan lokal dan nilai agama harus mewarnai penataan ruang

60
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

(iii) Keterikatan masyarakat setempat terhadap sejarah dan tanah NAD dan
SUMUT menjadi pertimbangan dalam penataan ruang.
b. Pembangunan kembali prasarana dan sarana perdesaan, perkotaan dan
regional tidak mengganggu wilayah/ kawasan dengan fungsi lindung;
c. Konversi lahan khususnya wilayah pertanian dan perikanan sedapat mungkin
tidak di lakukan, kecuali dengan selalu mempertimbang-kan unsur kapasitas
teknologi dan aspirasi masyarakat setempat;
d. Dalam penyusunan perencanaan tata ruang kota harus mengalokasikan ruang
terbuka hijau dengan selalu mempertimbangan aspirasi masyarakat setempat
e. Pemantauan kualitas udara dan variabilitas iklim di daerah yang terkena
bencana harus dilakukan secara kontinu sebagai bagian integral dari upaya
penataan ruang

5.3.2 Mengembalikan dan memulihkan kapasitas lingkungan

Mengembalikan dan memulihkan kapasitas lingkungan pada keadaan yang layak


dengan memperhatikan daya dukung lingkungan yang optimal dalam
meminimalisasikan dampak bencana alam (natural disaster) maupun bencana
yang disebabkan perilaku manusia (man-made disaster);

a. Pengembangan daerah penyangga hijau (green belt area) di wilayah pesisir


dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat:
(i)Pengembangan vegetasi perintis (formasi baringtonia dan rescaprae)
sebagai formasi awal ekosistem baru
(ii) Rehabilitasi terumbu karang (coral reef) di pantai barat (mayoritas) dan
hutan bakau atau mangrove di pantai timur
b. Air permukaan, Air Tanah dan Air Laut
(i) Pengembangan permukiman dan wilayah berbasis kegiatan ekonomi harus
membuat system pengolahan limbah baik individual atau pun komunal

61
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

(ii) Dalam fase rehabilitasi, Pengeboran air tanah dilakukan lebih dari 25 meter
c. Upaya pembersihan Lumpur, sampah dan puing dilaksankan melalui
pengelolaan (pengumpulan, pembuangan, dan pengolahan) yang
memperhatikan dampak terhadap kesehatan serta fungsi ekologis termasuk
upaya daur ulang.
d. Penanganan limbah B3 menjadi prioritas utama, dengan didahului oleh
identifikasi dan perkiraan tumpahan, baik jenis maupun kuantitas, yang
terpaparkan ke dalam ekosistem. Hal tersebut dilakukan dengan mengacu
kepada peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan B3.
e. Penetapan garis sepadan pantai yang aman terhadap bencana alam untuk
pemanfaatan kegiatan ekonomi;

5.3.3 Membangun kesadaran masyarakat

Membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan


dan kesiapan dalam mengantisipasi kejadian bencana alam:

a. Early warning system di NAD dan SUMUT yang akan dibangun harus
terintegrasi dengan early warning system pada tingkat nasional dan regional;
b. Pemanfaatan nilai kearifan local sebagai bagian yang melengkapi sistem
peringatan dini;
c. Standar, operasi dan prosedur (SOP) untuk respon darurat bencana alam
harus dikembangkan di NAD dan Sumut serta menjadi bahan pertimbangan
dalam penyusunan rencana tata ruang;
d. Pengetahuan umum tentang bencana alam dan SOP bagi respon darurat
bencana alam menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dasar dan menengah;

5.3.4 Memulihkan kembali kelembagaan SDM dan LH

Memulihkan kembali kelembagaan SDM dan LH pengelolaan sumber daya alam

62
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dan lingkungan hidup di daerah;

a. Melengkapi dan mengisi kembali formasi pegawai (tenaga ahli dan tenaga
pendukung) agar lembaga pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup
berfungsi kembali;
b. Memulihkan sarana dan prasarana kantor pengelola sumber daya alam dan
lingkungan daerah agar segera dapat beroperasi kembali;

5.3.5 Prinsip Dasar dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh

Prinsip utama merefleksikan kepedulian yang disampaikan Pemerintah Indonesia


kepada masyarakat internasional selama rapat awal laporan ini. Kesemuanya
juga sesuai dengan pelajaran yang didapat dari pengalaman intenasional
terhadap bencana alam dan emergensi lingkungan.

a. Rehabilitasi dan rekonstruksi lingkungan haruslah dipusatkan pada


kemanusiaan dengann keterlibatan alam: Titik tolak manajemen lingkungan
yang benar haruslah berangkat dari kepentingan untuk melibatkan dan
mengikutsertakan penduduk setempat.
b. Fokus pada yang papa: Penting sekali untuk memfokuskan upaya ini pada
segmen masyarakat termiskin, sering timbul kesulitan besar ketika mereka
harus menghadapi penyesuaian terhadap perubahan keadaan lingkungan dan
kebiasaannya. Karena itu pekerjaan dan pengaturan pendapatan mereka
menjadi hal penting dalam program merehabilitasi dan merekonstruksi
lingkungan.
c. Membangun kembali kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap
manajemen lingkungan: upaya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi harus fokus
tidak saja pada proyek tertentu, tetapi juga pada pembangunan kembali
pelayanan dan kelembagaan (publik, swasta maupun sipil) yang dapat
mewujudkan layanan dan manajemen lingkungan yang baik.

63
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

d. Ekologi Umum meliputi sekitar program rekonstruksi: isu lingkungan pada


umumnya cross-cutting terhadap alam, sehingga sangatlah penting untuk
2
memastikan konsistensi serta efektifitas sekitar program sektoral.
e. Transparansi Fiskal: keterlibatan monitoring yang efektif harus menjadi bagian
yang tidak terlepas dari desain proyek apapun.

5.4 Pertimbangan Kelayakan Lingkungan dalam Pengembangan Kawasan Pesisir


1
sebagai Kawasan Penyangga (Buffer Zone)

Dalam pengembangan penataan ruang NAD maka kawasan pesisir akan


diposisikan sebagai kawasan penyangga yang memiliki peran yang sangat
penting dalam mengurangi dampak kerusakan dan jumlah korban manusia
akibat bencana, khususnya bencana gempa dan tsunami. Pengembangan
kawasan penyangga di kawasan pesisir dilakukan melalui penetapan penggunaan
lahan yang didominasi oleh :

a. Ekosistem mangrove
b. Tanaman pantai
c. Perikanan/ Tambak

Mengingat bahwa kawasan peisir di Prop. NAD memiliki tipologi yang beragam,
mulai dari bertipologi berawa, berlumpur, bermeander, pedataran aluvial,
berpasir, berbatu dan bergunung, dan setiap tipologi pantai tersebut mengalami
tingkat kerusakan akibat gelombang tsunami yang berbeda-beda pula, maka
penataan zona pantai dan zona perikanan / tambak harus berdasarkan pada
analisa kesesuaian lahan yang memasukkan faktor tipologi pantai, dinamika
gelombang, dan kondisi bathymetri.

Dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tsunami maka perlu

64
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dilakukan terlebih dahulu penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir Laut
dan Pulau-Pulau Kecil, dengan mengacu pada pertimbangan eko sistem
lingkungan dan ancaman tsunami. Pertimbangan tingkat kerawanan tsunami,
yakni kawasan rawan bahaya limpasan tsunami pada pesisir, baik yang
berbentuk terbuka maupun teluk.

a. Pada kawasan pesisir berbentuk terbuka dng topografi landai diindikasi sbb :
(i) Pada kawasan yang mempunyai hutan mangrove (dengan ketebalan lebih
kurang 400m), maka kawasan bahaya hanya kurang lebih 400m.
(ii) Pada kawasan tanaman keras tanpa hutan mangrove, maka kawasan
bahaya dapat mencapai minimal 200m.
(iii) Pada kawasan semak belukar, tanpa mangrove dan tanaman keras, maka
kawasan bahaya dapat mencapai minimal 3,5 km.
b. Pada kawasan pesisir berbentuk teluk dengan topografi landai diindikasi sbb :
(i) Pada kawasan yang memiliki hutan mangrove (dng ketebalan 400m),
maka kawasan bahaya hanya 1000m
(ii) Pada kawasan tanaman keras, bangunan gedung tanpa hutan mangrove,
maka kawasan bahaya dapat mencapai minimal 3500m.
(iii) Pada kawasan semak belukar, tanpa mangrove dan tanaman keras,
maka kawasan bahaya dapat mencapai 550meter.

Belajar dari kasus tsunami di Banda Aceh dan Simeuleu, diperoleh fakta-fakta
berikut :

a. Gelombang tsunami akan semakin jauh ke daratan jika tipe pantai teluk. Pada
pantai terbuka dampaknya lebih kecil. (Aceh merupakan pantai teluk,
sedangkan Simeuleu merupakan pantai terbuka).
b. Gelombang tsunami akan semakin jauh ke daratan jika tipe pantai datar. Hal
sebaliknya pada pantai curam. (Aceh merupakan pantai datar, sedangkan

65
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Simeuleu merupakan pantai berbukit).


c. Gelombang tsunami akan semakin jauh ke daratan jika kondisi pesisirnya
miskin mangrove. Hal sebaliknya pada wilayah pesisir dengan mangrove
intensif. (Ketebalan mangrove sekitar 1200 m dapat mengurangi gelombang
tsunami sekitar 2 km).
d. Gelombang tsunami semakin pendek ke daratan pesisir pada lahan pesisir
dengan kebun ekstensif dan massa bangunan bertingkat yang memnuhi
persyaratan teknis bencana. Hal sebaliknya akan terjadi. (Massa bangunan di
kawasan perdagangan, perhotelan dan kantor-kantor pemerintahan dapat
bertahan dari kehancuran dibanding massa bangunan di kawasan perumahan.

2
5.4.2 Pertimbangan penetapan zonasi kawasan pesisir

Penentuan zona pemanfaatan di wilayah pesisir rawan tsunami dilakukan dengan


mempertimbangkan zona konservasi, zona penyangga dan zona pemanfaatannya.
Adapun pertimbangan yang perlu dilakukan dalam upaya menata ruang kawasan
pesisir di daerah rawan tsunami adalah;

a. Seberapa jauh batas minimal zona konservasi pada kawasan pesisir rawan
tsunami.
b. Seberapa jauh batas minimal zona penyangga pada kawasan pesisir rawan
tsunami.
c. Bagaimana menentukan pola dan struktur tata ruang pada kawasan pesisir
rawan tsunami dengan meminimasi kemungkinan bahayanya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, pola pemanfaatan ruang kawasan pesisir


rawan tsunami diklasifikasi menjadi 3 zona, yang meliputi;

a. Zona I, yaitu zona konservasi kawasan pesisir rawan tsunami.

66
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

(i) Fungsi kegiatan langsung berhubungan dengan laut atau ekosistem pesisir
dan laut, contoh : hutan mangrove, pertambakan, prasarana kelautan dan
perikanan.
(ii) Kegiatan tidak menciptakan munculnya perkembangan penduduk secara
besar-besaran, contoh : tempat latihan militer, pos keamanan, jalan dan
perkebunan.
(iii) Kegiatan tidak berperanan berperanan vital bagi wilayah yang lebih luas,
artinya jika terjadi kehancuran akan menyebabkan kelumpuhan total.
Misalnya tidak menempatkan fasilitas ; kelistrikan, telekomunikasi,
pemerintahan, keuangan, logistik, dan lain-lain.
b. Zona II, yaitu zona penyangga kawasan pesisir rawan tsunami.
(i) Fungsi kegiatan tidak langsung berhubungan dengan laut tetapi berkaitan
dengan produksi hasil laut dan perikanan, contoh : permukiman nelayan,
industri hasil perikanan, wisata bahari.
(ii) Kegiatan tidak menciptakan munculnya perkembangan penduduk secara
besar-besaran dalam 24 jam, contoh : perkebunan, perhotelan, pasar iakan,
fasilitas lingkungan.
(iii) Kegiatan tidak berperanan vital bagi wilayah yang lebih luas, artinya jika
terjadi kehancuran akan menyebabkan kelumpuhan total. Misalnya tidak
menempatkan fasilitas ; kelistrikan, telekomunikasi, pemerintahan,
keuangan, logistik, dan lain-lain.
c. Zona III, yaitu zona bebas bahaya tsunami.
(i) Fungsi kegiatan tidak langsung berhubungan dengan laut. Contoh :
perkotaan, perindustrian, pemerintahan, perdagangan dan jasa.
(ii) Kegiatan menciptakan munculnya perkembangan penduduk perkotaan,
contoh : fasilitas pendidikan, perdagangan dan jasa.
(iii) Kegiatan berperanan vital bagi wilayah yang lebih luas, contoh ;
kelistrikan, telekomunikasi, pemerintahan, keuangan, logistik, dan lain-

67
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

lain.

5.4.4 Kriteria Penataan Kawasan Pesisir sebagai Buffer Zone (usulan BPPT)

a. Berdasarkan hasil ekspedisi Tim KMNRT BPPT ke Propinsi NAD pada tanggal
16 Januari – 4 Februari 2005, diperoleh masukkan bahwa kerusakan pada
zona dengan pengaruh energi gelombang yang besar terjadi lebih parah pada
kawasan dengan jalur mangrove (lebar + 250 m), sedangkan kawasan dengan
jalur kelapa yang rapat (lebar 100-200 m) mengalami kerusakan yang lebih
ringan. Contoh: Jalur kelapa dan kelapa sawit yang rapat mampu melindungi
kawasan di belakangnya sejauh 0,5-1 km dari garis pantai. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan potensi gempa hingga 9 Skala Richter, fungsi
buffer zone tidak akan optimal bila tanaman maupun bangunan pelindung
pantai yang dibangun tidak mampu mereduksi intensitas dampak bencana.

b. Sebelumnya perlu dilakukan Detail Engineering Design (DED) untuk kawasan


buffer-zone yang diharapkan mampu mereduksi gelombang tsunami hingga
40% seperti yang disyaratkan dalam Konsep Tata Ruang yang diajukan oleh
Tim Rehab. Aspekaspek yang diatur dalam detail engineering design tersebut
antara lain meliputi : model / teknologi buffer zone yang sesuai (apakah
natural protection, hard protection, atau kombinasi keduanya), bila natural
protection : apa jenis tanaman yang sesuai, berapa kerapatannya, bagaimana
pola penanamannya, dsb.

c. Untuk meminimalkan dampak terhadap ekosistem pantai, kegiatan tambak


pada zona perikanan / tambak sebaiknya adalah yang sifatnya ramah
lingkungan (environmentally sound aquaculture) antara lain melalui penerapan

68
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

silvofishery, yaitu tambak tumpang sari dengan mangrove

3
5.4.5 Konsep pengembangan Agro Ecopolitan bagi Rehabilitasi Kawasan Pesisir

a. Wilayah pesisir direncanakan akan dibangun agro ecopolitan sebagai


penyangga vegetasi seperti penanaman hutan mangrove selebar 200 meter
dari garis pantai, dan penyangga fisik pemecah gelombang, dan perikanan
tambak. Kendalanya : kondisi areal yang rusak berat, struktur permukaan
tanah yang berubah, disepanjang pantai dipenuhi tumpukan puing banguan /
sampah (tempat pembuangan), sehingga perlu “konsep yang jelas” dalam
mengembalikan fungsi-fungsi lahan pertanian, konservasi wilayah pesisir
berbasis mitigasi bencana
b. Prinsip dasar konsep agro ecopolitan adalah memadukan antara unsur
pertanian dalam arti luas (perikanan, peternakan, tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan) dikaitkan dengan pengetahuan tentang bencana
gempa tsunami dan lingkungan hidup, dalam upaya membangun sistem
pembangunan berkelanjutan.
c. Kegiatan budidaya pertanian yang dapat dikembangkan : tambak dengan
sistem silvo-fishery pada jarak 500 meter dari garis pantai, kelapa diselingi
kemlanding, dan sayuran.
d. Zonasi dan tata letak : zona lindung, zona permukiman, zona perkantoran dan
pelayanan umum, zona khusus.

3
Disampaikan oleh Prof Hadi S Aliqodra dalam diskusi “pembangunan sector
pertanian pd wilayah terkena bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumut,
tgl 3 Februari 2005

5.4.6 Pengembangan mangrove dan habitat pantai

69
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Beberapa jenis mangrove yang dapat mendukung fungsi pesisir sebagai zona
penyangga adalah:

(i) Avicennia (tahan terhadap salinitasi tinggi)


(ii) Rhizopora Sp (sistem perakaran napas)
(iii) Bruguira (sistem perakaran lutut)
(iv) Soneratia
(v) Xylocarpus
(vi) Nipah.

Beberapa jenis tanaman lain yang dapat digunakan antara lain:

(i) Ketapang (Terminalia Catappa)


(ii) Waru (Hibicus Seleacius)
(iii) Camara pantai (Casuarina Sp)
(iv) Kelapa
(v) Pohon kuda-kuda
(vi) Jamblang
(vii) Mangga

Pola penanaman yang disarankan antara lain :

(i) Greenbelt buatan mangrove selebar 100-500 meter dengan jarak tanam
1x1 meter
(ii) Wana mina (silvo fishery) : empang, parit, kakao, kemplayan.

5.5 Konsep dan Kriteria Pengelolaan Persampahan

Sesuai dengan paradigma baru pengelolaan sampah saat ini, maka tempat
pembuangan sampah tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk membuang,
tetapi harus dapat menjadi tempat pengolahan sampah, dimana dapat dihasilkan
kembali produk-produk yang berguna seperti energi dan kompos. Dengan

70
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

demikian, tempat pengolahan sampah merupakan pusat kegiatan produksi yang


dapat menyerap tenaga kerja.

Mengingat bahwa sampah merupakan produk dari proses metabolisme


kota yang sifatnya kontinyu, tidak pernah berhenti berproduksi dan volumenya
terus bertambah sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk serta
meningkatnya kegiatan perkotaan, maka perlu ditetapkan lokasi pengolahan
sampah yang tetap, tidak berpindah-pindah serta secara kontinyu dapat
digunakan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya.

Rehabilitasi dan rekonstruksi kota-kota di Propinsi NAD pasca bencana


gempa dan tsunami merupakan kesempatan kepada untuk merencanakan lokasi
dan detail design tempat pengolahan sampah terpadu, serta merencanakan
detail design teknologi yang sesuai dengan standar teknis serta sesuai untuk
kota-kota yang rawan bencana.

5.5.1 Konsep Tempat Pengolahan Sampah Akhir – Reusable Sanitary Landfill


(TPSA-RSL)

a. Menyediakan tempat pengolahan sampah akhir untuk dapat diguna-ulang


(reusable) dengan teknologi sanitary landfill. Tempat Pengolahan Sampah
Akhir – reusable sanitary landfill tersebut merupakan kombinasi dan
penyempurnaan antara teknologi Sanitary Landfill, Anaerobic Bioreactor
*)
Landfill /Anaerobic Composting, Landfill-Mining dan Reuse/Pakai Ulang,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan tempat pembuangan sampah yang
dapat mengolah sampah secara kontinyu, sejalan dengan perilaku proses
produksi sampah padat yang juga kontinyu, sehingga sustainability layanan
kebersihan dan kesehatan lingkungan kota terjaga.
b. Model pengolahan sampah ini dilakukan pada sebidang lahan yang dibagi

71
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

minimal menjadi 2 bagian dengan luasan tertentu, dimana secara berurutan


Sampah Padat dari seluruh sumbernya pada akhirnya dikumpulkan pada
bagian 1, diolah sehingga komponen anorganik yang masih dapat
dimanfaatkan/diserap, sedangkan sisanya ditimbun, diratakan, dipadatkan
dan diamankan agar truk sampah, binatang pengganggu, gas sampah, air
lindi/leachate tidak mencemari lingkungan sekitarnya, dan akhirnya
ditinggalkan bila kapasitas tampung bagian 1 tersebut terpenuhi. Kemudian,
kegiatan yang sama dipindahkan pada bagian 2. Demikian seterusnya, bila
kapasitas tampung pada bagian 2 telah terpenuhi, kegiatan pengolahan
sampah dipindahkan kembali ke bagian 1. Gas Sampah (CH4) dihasilkan
dikendalikan, dimanfaatkan untuk pembangkit energi terbarukan.Bila produksi
Gas Sampah (CH4) pada bagian 1 telah mencapai produksi minimum,
dilakukan proses pengosongan ruang melalui proses Penambangan (Landfill-
Mining) dan Pengolahan Kompos Matang, proses rehabilitasi ruang
penampung sampah dan proses Pengisian Ulang Sampah Padat bagian 1,
demikian seterusnya secara bergantian. Fasilitas ini adalah akhir dari
rangkaian proses penanganan sampah padat yang berasal dari kawasan
pemukiman.
c. Lokasi tempat pengolahan akhir sampah ini harus tetap dan dialokasikan
dalam rencana tata ruang kota, serta berada pada kawasan yang layak
secara teknis untuk sanitary landfill (sesuai dengan standar SNI) dan sesuai
untuk kota yang rawan bencana. Untuk itu, penentuan lokasi tempat
pengolahan akhir sampah tersebut harus berdasarkan pada studi kelayakan
(feasibility study) yang pelaksanaannya dapat sejalan dengan proses
penyusunan Rencana Rinci Zoning (Site Plan) kota, dan hasilnya menjadi
masukan bagi penyusunan Site Plan kota tersebut.

5.5.2 Kriteria Spasial Untuk Penerapan Tempat Pengelolaan Sampah Akhir


Terpadu-Reuseable Sanitary (TPSA-RSL) dalam Sistem Tata Ruang.

72
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

a. Lokasi berada dalam radius 30 km dari pusat pemukiman. Semakin dekat


jarak dari pusat kota, semakin baik karena semakin ekonomis untuk biaya
transportasi.
b. Persyaratan lokasi sesuai dengan SK-SNI Pemilihan Lokasi TPA (slope, jenis
tanah / batuan, porositas tanah, jarak dari sumber air, jarak dari ground
water table, dan sebagainya)
c. Batas Lahan berjarak minimum 250 - 300 meter dari pemukiman.
d. Berada dihilir arus angin dominan yang melintasi pemukiman.
e. Tidak berada pada kawasan rawan banjir.
f. Kapasitas volume harus mampu menampung sampah padat terus-menerus
selama minimum 15 tahun dari kawasan pemukiman yang dilayaninya.
g. Kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kedalaman landfilling 10-25 meter,
dengan kepadatan sampah 800-1000 kg / m3, ditambah 2-4 ha untuk leachet
treatment pond, 2-4 ha untuk area penerimaan sampah, dan 10% dari luas
lahan untuk buffer zone berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH).
h. Ruang Terbuka Hijau (RTH) dibuat di sekeliling TPSA selebar minimum 100
meter.
i. Jalan Masuk-Keluar Utama sedapat mungkin tidak melewati kawasan
pemukiman padat dan mempunyai ROW sesuai untuk jalan 2 jalur Truk
Container 40 feet.
j. Lokasi TPSA-RSL harus dilengkapi dengan Sistem Pengendalian Air Lindi agar
tidak mencemari air tanah dan air permukaan disekitarnya, Sistem
Pengendalian Gas Sampah (CH4, CO2, H2S, bau dll), Sistem penampungan
air hujan untuk keperluan pencucian truk sampah dan pemeliharaan Buffer-
Zone (Ruang Terbuka Hijau/RTH), Sistem penutupan permukaan sampah
harian agar populasi lalat dan fauna pengganggu dapat dikurangi, fasilitas
recycling material anorganik yang laku di pasar (misalnya PVC, PET) dan
Fasilitas penunjang operasi TPSA-RSL.

73
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

k. Lokasi TPSA-RSL dapat diterima oleh masyarakat di sekitarnya.


Sesuai dengan kriteria di atas, maka sebaiknya TPSA-RSL tidak dilokasikan di
Zona Pantai dan Zona Perikanan / Tambak yang rawan bencana seperti pada
konsep yang diusulkan, karena selain tidak didukung oleh kondisi
geomorfologi yang sesuai untuk TPSA (rawan banjir, batuan bersifat porous,
intrusi air laut tinggi, kondisi tanah tidak rigid/aluvial), juga dapat
mengganggu kegiatan tambak/perikanan serta rentan terhadap dampak
tsunami sehingga potensial mencemari lingkungan bila terjadi bencana
tsunami. Oleh sebab itu, penentuan lokasi TPSA-RSL harus didahului dengan
studi kelayakan.

VI. STRATEGI DAN USUL PROGRAM JANGKA PENDEK, MENENGAH, &


PANJANG

6.1 Strategi Utama

Rencana rehabilitasi dan rekontruksi lingkungan hidup dan sumber daya


alam di Provinsi NAD, harus dilandaskan pada tata ruang, tata kawasan, tata
kota, tata guna dan sosial budaya masyarakat Aceh dengan memperhatikan
kepada prinsip-prinsip berikut:
a. Rekonstruksi Lingkungan dan SDA yang berbasis Keadilan Antargenerasi.

Prinsip ini bertolak dari suatu gagasan bahwa generasi masyarakat Aceh
sekarang menguasai sumberdaya alamnya sendiri yang ada di bumi Aceh
sebagai titipan atau warisan untuk dipergunakan generasi masyarakat Aceh
yang akan datang. Setiap generasi merupakan penjaga atau pengelola untuk
kemanfaatan generasi berikutnya, dan sekaligus sebagai penerima manfaat
dari generasi sebelumnya.

74
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

b. Rekonstruksi Lingkungan dan SDA yang berbasis Keadilan dalam Satu


Generasi

Prinsip keadilan dalam satu generasi masyarakat Aceh merupakan prinsip


tentang keadilan di antara satu atau sesama generasi, termasuk di dalamnya
upaya pengurangan kesenjangan antara individu dan kelompok-kelompok
dalam masyarakat untuk pemenuhan kualitas hidup.

c. Prinsip Pencegahan Dini

Prinsip ini mengandung suatu pengertian apabila terdapat ancaman yang


berarti atau ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat
dipulihkan, upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan secara dini
tersebut harus diprioritaskan. Prinsip ini merupakan respon terhadap
kebijakan lingkungan dan tata ruang yang konvensional dan sering tidak
mempertimbangkan aspek resiko bencana termasuk tsunami.

d. Perlindungan keanekaragaman hayati

Upaya perlindungan keanekaragaman hayati tidak saja menyangkut soal


moral dan etika akan tetapi juga soal hidup dan matinya manusia (survival
imperatives). Prinsip ini sangat terkait dengan prinsip-prinsip lainnya. Urgensi
perlindungan keanekaragaman hayati merupakan prasyarat bagi berhasil atau
tidaknya melaksanakan prinsip keadilan antargenerasi dan prinsip keadilan
dalam satu generasi.

e. Keseimbangan tiga pilar pembangunan yang meliputi unsur ekonomi, sosial


dan lingkungan.

Tujuan pembangunan berkelanjutan dalam Rencana rehabilitasi dan


rekonstruksi Aceh akan terfokus pada ketiga dimensi, keberlanjutan laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan
kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta

75
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang


(ecological balance). Rencana rehabilitasi dan rekonstruksi Lingkungan dan
SDA yang berkelanjutan mencakup antara lain: menjaga aktifitas penduduk
agar tetap seimbang dengan daya dukung lingkungan untuk berproduksi;
melakukan konservasi dan menambah sumberdaya yang tersedia;
mengintegrasikan kebijakan ekonomi dengan kebijakan lingkungan dalam
pengambilan keputusan.

Kelima strategi tersebut diintegrasikan secara spasial ke dalam strategi


pengembangan wilayah dan kota mencakup strategi tata ruang, pertanahan,
dan lingkungan hidup. Strategi penataan ruang diharapkan dapat menghasilkan
zonasi kawasan sebagai arahan untuk penetapan kawasan budidaya berbasis
bencana dan pelaksanaan pembangunan kembali infrastruktur wilayah pasca
bencana gempa dan tsunami.

6.2 Program Jangka Pendek (0 – 6 bulan) :

Tujuan: Memenuhi kebutuhan masyarakat akibat kerugian


lingkungan yang disebabkan Tsunami dan gempa bumi.

6.2.1. Pengelolaan Sampah dan Puing-Puing Bangunan

a. Tujuan : Membantu Pengumpulan dan pembuangan sampah dan


puing-puing bangunan dengan cara yang berwawasan
lingkungan.
b. Program:

• Membangun fasilitas pembuangan sementara


• Pemanduan dan pelatihan penanganan sampah
• Penyediaan perlengkapan/alat-alat penanganan sampah
• Membangun program daur ulang penanganan sampah
• Studi alternatif-alternatif perlindungan pantai dengan penimbunan

76
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• sampah gempa bumi dan tsunami

c. Mitra
• PEMDA
• Personil TNI
• Lembaga NGO
• Masyarakat Lokal

d. Dampak yang Diinginkan

• Mengurangi dampak lingkungan akibat pembuangan sampah


• Meningkatkan keamanan personel yang menangani sampah
• Berkurangnya aliran sampah dan biaya pembuangan akibat adanya
kegiatan daur ulang sampah
• Peningkatan keamanan dan perlindungan partai.

e. Waktu Pelaksanaan : 6 bulan (April - September 2005)

f. Perkiraan Biaya

• Fasilitas Pembuangan : US $ 150.000


• Pelatihan : US $ 20.000
• Perlengkapan : US $ 25.000
• Daur Ulang : US $ 10.000
• Studi : US $ 15.000
• f. Biaya Operasi : US $ 120.000
Total : US $ 340.000

6.2.2 Kajian Yang Komprehensif Tentang Kerusakan Lingkungan

a. Tujuan : Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang


kerusakan lingkuangan beserta faktor-faktor lingkungan yang berkaitan
dengan tsunami dan gempa bumi.
b. Program
• Melakukan suatu kajian yang menyeluruh terhadap kerusakan lingkungan
yang diakibatkan gempa bumi dan tsunami.

77
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Mengidentifikasi kondisi ekosistim pesisir, termasuk tingkat kerusakan


tanaman pantai dan kesesuaian lahan untuk tanaman pengganti pada
tahap rehabilitasi
• Mengkaji hubungan kondisi lingkungan dengan gempa bumi dan
tsunami melalui GIS dan perubahan ekosistem.
c. Mitra

• Lembaga dan organisasi nasional dan Internasional


• Perguruan Tinggi
• Pemda
• Lembaga masyarakat.

d. Waktu Dampak yang Diharapkan


• Ketersediaan Informasi/data yang lengkap untuk perencanaan tahap
rehabilitasi dan rekonstruksi

f. Perkiraan Biaya : US $ 700.000

6.2.3. Kajian Keterpaduan Lingkungan Dalam Seluruh Program


Rehabilitasi dan Rekonstruksi

a. Tujuan: Untuk menjamin seluruh rencana rehabilitasi dan rekonstruksi


adalah dikaji berdasarkan dampak yang ditimbulkan terhadap
lingkungan dan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan fasilitas
fasilitas kehidupan manusia.

b. Program
- Kajian dampak lingkungan akibat rehabilitasi dan rekonstruksi

c. Mitra
• Lembaga perencanaan,
• Lembaga pemerintahan,
• NGO
• Perguruan tinggi

d. Dampak yang Diharapkan


- Rencana menyeluruh untuk rehabilitasi dan rekonstruksi akan
meningkatkan kegiatan pembangunan berkesinambungan.

e. Waktu Pelaksanaan : 1-2 bulan (Juni-Juli 2005)

g. Perkiraan Biaya : US $ 300.000

78
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

6.2.4. Perencanaan Tata Ruang Sebagai Bangunan Terpadu dari


Perencanaan Rekonstruksi.

a. Tujuan :
Untuk menjamin bahwa implementasi rencana rekonstruksi adalah
berdasarkan kepada rencana tata ruang yang terpadu dan berwawasan
lingkungan

b. Program
• Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan fungsinya
• Perencanaan system zonasi untuk pencegahan bencana kemanusiaan
dan kerusakan yang sangat besar
• Review rencana tata ruang oleh ahli lingkungan

c. Mitra
• Masyarakat local
• Pihak penguasa terkait
• Lembaga nasional dan internasional
• Perguruan tinggi

d. Dampak
• Perbaikan rencana tata ruang
• Diketahuinya faktor-faktor pencegahan bencana dan kerusakan
lingkungan yang terukur.
• Adanya framework untuk menyediakan input bagi proses tata
ruang
e. Waktu pelaksanaan : 0 - 2 tahun (2005-2007)
f. Perkiraan Biaya : US $ 2.000.000

6.3. Program Jangka Menengah (6 bulan-2 tahun) :

Tujuan : Untuk mengendalikan kerusakan lingkungan akibat gempa bumi


dan tsunami

6.3.1 Rehabilitasi mangrove dan program pengelolaannya

a. Tujuan : Merehabilitasi, mencengah dan mengembangkan mangrove baik


untuk perlindungan pantai maupun pemanfaatannya sebagai

79
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

pemicu perkembangan perikanan pantai dan ekosistem baru yang


berkelanjutan.
b. Program

•Kajian prioritas lokasi penanaman mangrove yang dibutuhkan untuk


rehabilitasi
•Pengelolaan mangrove yang telah ditanami
• Membangun kelembagaan untuk pengelolaan mangrove
• Memasukkan program rehabilitasi dan pengelolaan mangrove kedalam
perencanaan tata ruang
•Pembangunan akuakultur dan kebijakan-kebijakan local
c. Mitra
• Perguruan Tinggi,
• Lembaga ilmiah,
• Lembaga pemerintah,
• NGO national dan international

d. Dampak

• Adanya progress yang terukur dari kegiatan rehabilitasi fungsi ekosistem.


• Meningkatnya keahlian lokal dalam pengelolaan mangrove
• Terbangun/teradapsinya kebijakan lokal dalam rehabilitasi dan
pengelolaan mangrove.
• Meningkatnya perlindungan dan keamanan pantai dan
perumahan sekitar pantai.

e. Waktu Pelaksanan : 6-12 buan (Juli 2005- Juni 2006)

f. Program Mitra Yang Sudah Ada

• LIPI, IMF, Wetland


• IPB, ISME, KEHATI,

80
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Mentri kelautan dan perikanan.


g. Perkiraan biaya : US $ 7.000.000

6.3.2. Pengelolaan dan Monitoring Terumbu Karang

a. Tujuan : Mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan dan konservasi


ekosistem terumbu karang.

b. Program

• Penilaian prioritas wilayah terumbu karang


• Membangun kelembagaab pengelolaan terumbu karang
• Pengelolaan dan monitoring ekosistim terumbu karang dijadikan
bagian yang tak terpisahkan dari manajemen pantai
• Memasukkan pengelolaan terumbu karang kedalam perencanaan tata
ruang.
• Pembangunan akuakultur dan kebijakan local.

c. Mitra
• Lembaga pemerintah
• Perguruan Tinggi
• Lembaga Ilmiah
• LSM
• Organisasi Nasional dan Internasional

d. Dampak Yang Diharapkan


• Tersedianya informasi pemulihan ekosistem terumbu karang
• Meningkatnya keahlian lokaldalam pengelolaan terumbu karang dan
• sumber daya kelautan.

b. Program
• Penyediaan infestasi produktif dan penyedian infrastruktur yang berbasis
pendekatan masyarakat.
• Membangun dan memberdayakan kelompok masyarakat yang
representatif
• Mengidentifikasi prioritas dan rencana pembangunan dengan bantuan
teknis dan proyek pengelolaan.
• Pemberian kredit kecil beserta bantuan teknis untuk individu bagi
pembangunan kehidupan berkelanjutan.

c. Mitra

81
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Organisasi nasional dan internasional


• Penyedia kredit kecil
• LSM

d. Dampak yang diharapkan


• Peningkatan pendapatan masyarakat
• Tertampungnya tenaga kerja di desa

e. Waktu pelaksanaan : 6-12 bulan

f. Program mitra yang ada:


• Pengelolaan rehabilitasi terumbu karang
• Proyek pengelolaan sumber daya pantai dan laut
• COFISH ( Proyek pengelolaan sumber daya perikanan dan masyarakat
pantai
• Pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan pedesaan
• Proyek pembangunan kecamatan (World Bank)
• Proyek Pembangunan Kawasan Miskin (World Bank)

g. Perkiraan Biaya: US $ 40.7 juta


I. Meliputi 27 ribu rumah tangga di 13 kawasan pedesaan (27 juta dolar)
a. 200 US dolar untuk pelatihan dan bantuan teknis
b. 300 US dolar untuk hibah biaya awal
c. 500 US dolar untuk kredit kecil
II. Skala masyarakat 10 juta dolar ( 200 x 50.000 US dolar)
III. Administrasi dan monitoring 10 % + 3.7 juta dolar

6.3.3. Program Pengelolaan Kawasan Pantai


a. Tujuan: Untuk menyediakan suatu pandangan landscape pantai dan bentuk
pembangunan alam untuk sekarang dan masa depan. Semua
kelanjutan pekerjaan rehabilitasi akan tergantung kepada hal ini.
Pandangan tersebut harus dibangun sebelum strategi perencanaan
zona pantai dimulai di dalam bentuk Rencana pengelolaan Kawasan
Pantai Tradisinal.

b. Program
• Penyediaan basis bagi rencana pembangunan jalan, rel kereta api,
jembatan, dan daerah perumahan
• Perencanaan dan relokasi dialamatkan di dalam framework Pengelolaan
Kawasan Pantai Terpadu (PKPT)
c. Mitra

82
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Penguasa Lokal dan Nasional


• Organisasi dan Pusat Pengetahuan nasional dan internasional
d. Dampak yang diharapkan
• perbaikan basis rencana tata ruang
• Rekonstruksi dan perlindungan masyarakat dan infrastruktur serta
ekosistem di kawasan pantai.
e. Waktu pelaksanaan
- Paling kurang satu tahun (8-12 bulan) untuk mempersiapkan PKPT
f. Program Mitra yang telah ada
• COFISH (Proyek Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Masyarakat
• Pantai)
• Pengelolaan Rehabilitasi Terumbu Karang
• Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pantai dan Kelautan

g. Perkiraan Biaya
Pembangunan PKPT: 12-15 juta dolar (20 orang staf ahli internasional, 30
orang staf ahli lokal, peralatan dsb.

6.4. Program Panjang (Di atas 5 tahun)

Tujuan: Meningkatkan Pembangunan Berkesinambungan yang berwawasan


lingkungan.

6.4.1. Pembangunan Kemampuan Penguasaan Pengelolaan


Lingkungan

a. Tujuan: penguatan dan pembangunan kembali lembaga pengelola


lingkungan, terutama daerah terkena bencana.

b. Program:
• Pelatihan tentang bagaimana mengorganisasi dan mengelola dampak
lingkungan, terutama di dalam screening dan analisis dampak lingkungan
(Eia-Andal)
• Pengumpulan data yang mendukung analisis dampak lingkungan
• Pengelolaan dampak dan monitoring dampak lingkungan akibat
rehabilitasi dan rekonstruksi.
c. Mitra:
• Lembaga pemerintahan,
• Lembaga akademik dan ilmiah,
• LSM,
• NGO nasional dan internasional
d. Waktu pelaksanaan : setelah 6 bulan- 5 tahun

83
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

e. Partner yang telah punya program


• Lembaga Pengelolaan Lingkungan Lokal
• Bangun Praja
• AMDAL
• USDRP (Urban Sector Development and Reform Project)-World Bank
• COFISH
• Proyek Pengelolaan sumber daya pantai dan kelautan fase 2,
• Pengelolaan terumbu karang
f. Perkiraan biaya: 1.5 juta dolar

6.4.2. Perbaikan koleksi data lingkungan dan monitoring rehabilitasi


dan rekonstruksi
a. Tujuan:
• Untuk menyediakan informasi lingkungan secara berkala untuk kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi kepada setiap perencana
• dan pelaksana
• untuk memonitor pengaruh lingkungan terhadap aktifitas
• rehabilitasi dan rekonstruksi
b. Program
• menciptakan suatu clearing house (database) untuk membangun data
lingkungan yang ada, termasuk informasi yang dihasilkan selama fase
bantuan.
• Membangun sistem informasi lingkungan yang berbasis Web
• Membangun network untuk memonitor kualitas lingkungan (udara, air,
tanah, daratan, dan keanekaragaman hayati, yang hasilnya
dipublikasikan melalui Web
c. Mitra
• Organisasi nasional dan internasional
• Universitas dan lembaga penelitian
• Pemda
• LSM
d. Waktu pelaksanaan:
• Database 0-6 bulan
• Sistem informasi lingkungan setelah 6 bulan
• Monitoring setahun pertama
e. Perkiraan biaya: 800 ribu dolar
• 50 ribu clearing house; personel dan office
• 250 ribu sistem informasi lingkungan
• monitoring 100 ribu x 5

6.4.3 Pengelolaan sampah padat Jangka panjang

84
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

a. Tujuan: untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat dan pihak swasta


untuk pengumpulan sampah.
b. Program
• Rehabilitasi sistem pengelolaan sampah padat kota
• Rehabilitasi dan modernisasi tempat pembuangan sampah.
• Meningkatkan program pengurangan, rekoveri, dan daur-ulang sampah.
c. Mitra
• Pemerintah lokal
• Sektor swasta
• LSM
d. Dampak yang diharapkan
• Perbaikan kualitas hidup untuk penghuni kota melalui kegiatan
pemindahan sampah yang tepat.
• Meningkatnya pelayanan coverage
• Mengurangi dampak lingkungan di TPA
e. Waktu pelaksanaan : 0-5 tahun
f. Mitra yang telah punya program
• Pengelolaan sampah padat jangka panjang
• Proyek Urban Poverty (World Bank)
• Proyek Urban Sector Development and Reform (Word Bank)
g. Perkiraan Biaya
• Pelayanan rehabilitasi 4 kota ( 1 x 5 tahun = 5 juta dollar)
• Rehabilitasi Tempat Pembuangan ( 4 tempat x 150 ribu = 600 ribu)
• 3R program (4x25.00 = 100 ribu dollar)
Total 5.7 juta dollar

6.4.4. Rehabilitasi Landscape Pantai

a. Tujuan: untuk merehabilitasi landscape pantai


b. Program
• Mengembalikan kondisi ekosistem pantai
• Reklamasi pantai
• Perlindungan pantai
• Rehabilitasi infrastruktur (tidak termasuk jalan, rel, jembatan, pelabuhan
dll)
c. Mitra
• Pemerintah Lokal
• Kontraktor swasta
• Masyarakat Lokal
• Organisasi nasional dan internasional
d. Waktu pelaksanaan (0-5 tahun)
e. Mitra yang sudah ada program

85
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• COFISH
• Pengelolaan rehabilitasi terumbu karang
f. Perkiraan Biaya : 147.8 juta dollar

6.4.5. Rehabilitasi ekosistem pantai dan habitat kritis

a. Tujuan : untuk mengembalikan fungsi ekologi pada ekosistem pantai, habitat


kritis, dan rawa guna memperbaiki basis kehidupan dari kemiskinan
dan nilai ekosistem.
b. Program
• Menyempurnakan proyek pengelolaan kawasan pantai
• merehabilitasi dan membangun kembali berbagai ekosistem, rawa, hutan
bakau dan terumbu karang.
c. Mitra
• Pemerintah lokal
• Kontraktor swasta
• Masyarakat lokal
• Organisasi lokal, nasional dan internasional
d. Dampak yang diharapkan
• Perbaikan dasar kehidupan bagi penduduk pantai yang miskin
• Terpeliharanya nilai keanekaragaman hayati di dalam ekosistem yang
kritis
e. Waktu pelaksanaan: 0.5 – 5 tahun
f. Mitra yang telah punya program
• COFISH
• Pengelolaan rehabilitasi terumbu karang
• Proyek pengelolaan sumber daya pantai dan kelautan fase 2
g. Perkiraan Biaya: 147.8 juta dolar

6.4.6. Pelestarian Keanekaragaman Hayati Mangrove

a. Tujuan : menyediakan alternatif bahan pembangunan untuk generasi


mendatang seandainya musnahnya keanekargaman hayati akibat
bencana alam maupun akibat tingkah manusia
b. Program
• Pelestarian ekosistem amngrove alamiah di suatu kawasan cagar alam
• Konservasi plasma di laboratorium yang lebih efesian
c. Mitra
• Perguruan Tinggi
• Lembaga Ilmiah

86
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Pemerintah Lokal
• Masyarakat lokal
• Organisasi nasional dan internasional
d. Dampak yang diharapkan
• Terpeliharanya nilai keanekaragaman hayati di dalam ekosistem yang
kritis
• Tersdianya bahan pemuliaan untuk menghasilkan tanaman baru
produktif
e. Waktu Pelaksanaan 0.5 – 5 tahun
f. Perkiraan Biaya yang dibutuhkan: 500 ribu dolar

Catatan: Perkiraan Biaya didasarkan kepada perkiraan yang dikeluarkan


oleh World Bank, Januari 2005.

87
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB III
POKJA – 3
PRASARANA DAN SARANA UMUM

A. SUB BIDANG GEDUNG DAN PERUMAHAN

I. LATAR BELAKANG

Bencana alam gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 telah


mendatangkan kerugian besar berupa kehilangan jiwa manusia lebih dari
200.000 orang dan berbagai jenis hewan, serta menghancurkan sarana dan
prasarana berupa gedung sekolah, perkantoran, rumah sakit, perumahan rakyat,
jembatan, jalan raya dan lain-lain di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Kerugian aset dan fasilitas diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah. Pasca
peristiwa ayat-ayat kauniyah ini, kita benar-benar harus mengambil
pelajaran untuk memperbaiki kualitas kehidupan kita dalam arti yang seluas-
luasnya. Sebagai wujud tanggung jawab bersama, kita harus mengevaluasi
keruntuhan bangunan, baik akibat gempa dan atau akibat tsunami dan apa
upaya kita guna mengurangi resiko bagi pengguna dan meningkatkan
keandalan struktur gedung dalam menghadapi bencana alam dalam lingkup
yang luas (gempa, tsunami, angin, dan lain-lain) yang bakal terjadi di masa
mendatang.

Tujuan laporan ini adalah untuk melahirkan rekomendasi dan kebijakan yang
berkenaan dengan pembangunan gedung dan perumahan dalam rangka
rehabilitasi dan rekonstruksi prasarana dan sarana umum yang rusak di
Nanggroe Aceh Darussalam. Output lain secara langsung adalah pengusulan
program-program dan kebutuhan dana untuk kedua tahapan kegiatan yaitu
rehabilitasi dan rekonstruksi.

88
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Lingkup dan sasaran laporan disini adalah terbatas pada fisik gedung saja
seperti, perkantoran, rumah sekolah, rumah sakit, pertokoan, rumah penduduk
dalam Nanggroe Aceh Darussalam, walaupun belum semua data dapat
dikumpulkan baik kondisi gedung dan perumahan sebelum maupun setelah
tsunami.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN RONA PASCA TSUNAMI

Sebagai pedoman dan keseragaman terminologi yang dipakai serta untuk


memudahkan pemahaman, maka evaluasi kerusakan gedung akibat gempa dan
atau tsunami, secara umum dibagi kedalam tiga katagori kerusakan yaitu:
a. Kerusakan berat, yaitu, kerusakan struktural dengan deformasi atau
perpindahan permanen, seperti keruntuhan total, runtuhnya salah satu
lantai bangunan, kolom yang patah atau miring, balok yang melendut yang
tidak mungkin diperbaiki (Severe damages or collapse);

__________________________________________________________________

*) Laporan ini sebagai bahan tambahan materi Lokakarya terpadu bidang


prasarana
dan sarana umum yang diselenggarakan oleh BAPPENAS, 11-13 Maret 2005
**) Anggota Pokja Infrastruktur, Unsyiah for Aceh Reconstruction
b. Kerusakan sedang, yaitu kerusakan struktural ringan seperti retak kecil/
sedang pada balok, kolom, dan elemen lainnya tanpa deformasi permanen
yang masih mungkin diperbaiki dan tidak mempengaruhi keseimbangan
struktural bangunan secara keseluruhan (medium damages); dan

c. Kerusakan ringan, yaitu kerusakan elemen non struktural, kelengkapan


ornament interior dan eksterior, seperti pintu, jendela, dinding, flavon yang
masih dapat diperbaiki atau diganti dengan elemen yang baru, tanpa
berpengaruh sama sekali pada elemen struktural bangunan (slight damages).

89
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Dalam bagian ini dipaparkan fakta keruntuhan dan kerusakan bangunan gedung
dalam lingkup NAD sesuai dengan data yang tersedia. Sesuai dengan data yang
telah terkumpul, maka kondisi gedung dan perumahan yang rusak akibat
gempa dan tsunami, jumlah unit masing-masing katagori rusak berat adalah
sebagai berikut:
***)
1. Gedung Kantor Pemerintah: 10
***)
2. Gedung Hotel/Super Market/Kantor swasta: 20
***)
3. Perguruan Tinggi:5
***)
4. Rumah Sakit/Puskesmas: 10
5. Sekolah SD/MIN; SMP/MTs; SMA/MA:639; 145; 358
6. Perumahan Permanen: 132.625
7. Perumahan Nonpermanen: 328.484.
***) Data belum lengkap

Wilayah kehancuran gedung dan perumahan diatas 90% akibat tsunami rata-
rata mencapai 2 km dari garis pantai untuk wilayah datar dan 0.5 -1 km untuk
daerah berbukit atau gunung, tergantung jaraknya bukit/kaki gunung dari tepi
pantai. Wilayah genangan tsunami daerah datar umum berkisar 3 – 5 km.
Kerusakan yang disebabkan oleh tsunami umumnya adalah gedung/rumah
hancur rata tanah atau tidak berbekas hanya terlihat pasangan keramik lantai
dasar dan sebagian kecil gedung/rumah yang masih berdiri dimana dindingnya
dibawa oleh tsunami.

Studi khasus dalam Kota Banda Aceh, kerusakan gedung yang disebabkan oleh
gempa, fakta menunjukkan tiga ragam (mode) keruntuhan yang sejalan
dengan tiga katagori kerusakan diatas yaitu:
a. Keruntuhan salah satu lantai atau lebih, termasuk keruntuhan total
(collapse) yang diawali dengan keruntuhan geser pada kolom-kolom lantai
lemah (weak story) akibat “open frame” yang dimulai dari lantai I dan

90
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

kemudian disusul lantai II dan seterusnya. Pada ragam keruntuhan ini,


balok dan system lantai beton bertulang tidak mengalami retak serius;
b. Keruntuhan pada struktur balok yaitu retak gaser dan atau retak lentur
pada balok dengan kombinasi retak atau tanpa retak pada kolom,
umumnya katagori kerusakan sedang;
c. Keruntuhan non structural yaitu retak dinding yang mengikuti bentuk
frame/portal dan retak geser/diagonal pada satu pias dinding dimana
frame (kolom dan balok) masih dalam kondisi baik atau retak halus. Dalam
katagori ini, terdapat ragam keruntuhan yang tidak lazim yaitu lepasnya
top gevel (pasangan batu bata dibelakang tolak angin) dari tempatnya
dengan kombinasi rusak bersama kuda- kuda atau tanpa kerusakan pada
kuda-kuda. Paling tidak ada lima gedung yang mengalami keruntuhan top
gavel yaitu: gedung PLN Wil. NAD, PLN Cab.Banda Aceh, Walikota Banda
Aceh (runtuh bersama kuda-kuda), Bappeda NAD dan Umar Diyan
Indrapuri.

Sebagai salah satu contoh, dilakukan diskusi tentang keruntuhan gedung


dengan frame beton bertulang akibat gempa yang difokuskan pada keruntuhan
salah satu lantai atau lebih dimana termasuk katagori ”collapse”. Dari fakta
lapangan dapat dikemukakan beberapa kemungkinan penyebab terjadinya
keruntuhan gedung, yaitu:
a. Lemahnya kekakuan (stiffness) kolom-kolom frame tanpa panel/dinding.
Hal ini tidak memenuhi filosofi desain frame kolom kuat balok lemah
(strong column weak beam). Hal ini perlu studi lanjutan untuk melihat
perilaku keruntuhan gedung per gedung;
b. Kemungkinan mutu material (beton dan baja) di bawah spesifikasi yang
ditetapkan, akibat kontrol mutu yang kurang baik pada saat pelaksanaan.
Hal ini diperlukan kontrol mutu material di lapangan dan atau di

91
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

laboratorium. Juga memerlukan investigasi lanjutan untuk memeriksa


material di lapangan dan menganalisa gambar pelaksanaan ( as built
drawing);
c. Spesifikasi baja beton yang tidak memenuhi standar (diameter begel
kurang dari D10 dan atau minimnya persentase tulangan pokok). Hal ini
harus mengacu pada SNI-03-2847-2002;
d. Lemah dalam hal details (sambungan, pertemuan kolom dan balok,
panjang penyaluran/penjangkaran, kait-kait dan lain-lain);
e. Kemungkinan terjadinya resonansi pada gedung tersebut; dan
f. Sistem monitoring dan control pembangunan gedung swasta belum
memadai, termasuk dalam hal keterlibatan yang menerbitkan IMB.

Kehancuran bangunan gedung akibat tsunami lebih disebabkan oleh kelebihan


beban atau overload. Peraturan beban belum mengkafer beban dinamik jenis
tsunami, sedangkan beban gempa dan angin telah didefinisikan dalam
peraturan pembebanan yang ada selama ini. Jadi perlu kajian lebih lanjut
bagaimana membuat simulasi beban tsunami yang bekerja pada gedung atau
bangunan lainnya.

Disamping masalah structural yang didiskusikan diatas, untuk mengisi cetak


biru (Blue Print) Aceh Baru, kiranya masalah standarisasi gedung perlu diatur
lebih lanjut. Misalnya masalah ketinggian lantai bangunan, ukuran pintu/jendela,
system evakuasi saat emergency, lahan hijau, jarak bangunan ke tepi jalan dan
lain-lain.

92
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

III. PENILAIAN KEBUTUHAN

Berikut ini beberapa kebijakan dan rekomendasi diusulkan untuk meningkatkan


keandalan struktur gedung dan perumahan di masa depan guna mengurangi
resiko bagi para pengguna, seperti uraian berikut ini:
a. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari semua unsur pelaksana
(perencana, pelaksana, suvervisi, pemerintah) untuk mengimplimen-
tasikan standar gedung (Codes) yang telah ada termasuk spesifikasi
minimum, ketentuan perencanaan, fasilitas evakuasi saat emergensi, dan
lain-lain;
b. Dalam penerbitan IMB, pertimbangan structural harus masuk dan prioritas,
terutama untuk gedung yang dibangun oleh pihak swasta, seperti
pertokoan, rumah penduduk dan lain-lain. Juga dilakukan monitoring saat
pelaksanaan bangunan oleh pihak pemberi izin, disamping mengikuti
prosedur pelaksanaan diatas (butir a);
c. Diperlukan standar praktek profesi, terutama detail elemen struktur untuk
menjamin pelaksanaan yang benar dan tidak keliru, misalnya dalam hal
penempatan tulangan struktur beton bertulang pada elemen kritis, seperti
sambungan, hubungan/joint dan lain-lain, begitu pula untuk konstruksi
baja dan konstruksi kayu;
d. Adanya penegasan pemerintah tentang penerbitan sertifikat mutu material
dari industri atau pabrik pembuat material bangunan, seperti baja, pipa
pralon, aluminium dan material lainnya serta larangan produksi untuk
material yang tidak memenuhi spesifikasi minimum material bangunan;
e. Perlu investigasi lebih lanjut mengenai penyebab keruntuhan gedung akibat
gempa, kasus perkasus dengan melakukan uji mutu material dilapangan
serta analisa gambar pelaksanaan gedung yang bersangkutan;

93
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

f. Perlu formulasi baru mengenai standar pembebanan akibat tsunami untuk


perencanaan struktur gedung di wilayah yang dekat dengan pantai (paling
tidak sampai jarak satu sampai tiga kilometer dari garis pantai berdasarkan
persitiwa tsunami 26 Desember 2004 yang lalu) atau mengikuti formulasi
tata ruang yang ada;
g. Perlu dibuat standarisasi gedung pada lingkup non structural, termasuk
masalah ketinggian bangunan, keseragaman bentuk bangunan, jarak
bangunan dengan tepi/as jalan, lahan hijau, dan lain-lain.

IV. PERTIMBANGAN KELAYAKAN

Untuk menentukan criteria gedung dan perumahan yang masih tersisa


diperlukan evaluasi cepat (tim terpadu yang ditunjuk oleh PEMDA NAD).
Umumnya gedung dan perumahan yang mengalami rusak berat harus
dibangunan baru. Sedangkan gedung dan perumahan dengan katagori rusak
sedang dan rusak ringan dilakukan rehab agar dapat berfungsi kembali dengan
baik.

a. STRATEGI DAN USULAN PROGRAM


Berpedoman kepada data yang ada program rehabilitasi dan rekonstruksi,
maka program yang diusulkan terbatas pada gedung sekolah dan perumahan
seperti uraian berikut ini:
• Sekolah SD/MIN; SMP/MTs; SMA/MA:639 rusak berat; 145 rusak
• sedang; 358 rusak ringan;
• Perumahan Permanen: 132.625 rusak berat
• Perumahan Nonpermanen: 328.484 rusak berat.

Dari kondisi gedung dan perumahan diatas maka usulan program dibagi dua:

94
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

a. Rehabilitasi gedung sekolah sebanyak 503 gedung sekolah, yaitu 145 rusak
sedang dan 358 rusak ringan.
b. Rekonstruksi gedung sekolah 639 unit, rumah permanen 132.625 unit dan
rumah non permanen 328.484 unit.

b. ESTIMASI PENDANAAN
Berpedoman kepada data yang ada program rehabilitasi dan rekonstruksi
diatas (Bagian 5), maka estimasi pendanaan gedung dan perumahan dalam
rupiah adalah sebagai berikut:
a. Rehabilitasi gedung sekolah 145 rusak sedang @ 100.000.000 sejumlah
14,5 milyar;
b. Rehabilitasi gedung sekolah 358 rusak ringan @ 50.000.000 sejumlah
17,9 milyar;
c. Rekonstruksi gedung sekolah 639 unit @ 200.000.000 sejumlah 127.8
milyar;
d. Rekonstruksi rumah permanen 132.625 unit @ 100.000.000 sejumlah
13 triliyun;
e. Rekonstruksi rumah non permanen 328.484 unit @ 50.000.000
sejumlah 16.4 triliyun.

B. SUB BIDANG TRANSPORTASI

1. LATAR BELAKANG
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri dari 21 Kabupaten/kota
dengan total luas daerah 57.365 km2, dilayani fasilitas transportasi darat, laut
dan udara. Panjang jalan yang melayani berjumlah 3.484,6 km, yang terdiri dari
jalan Nasional 1.782,78 km dan jalan Provinsi 1.701,82 km. terdapat 9

95
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

pelabuhan laut dan 8 pelabuhan penyeberangan. Dalam bidang transportasi


udara terdapat 9 Bandar Udara termasuk lapangan terbang Perintis.
Berdasar kawasan pelayanan, fasilitas transportasi tersebut dikelompokkan
menjadi 4 kawasan.
1. Kawasan pelayanan Pantai Utara – Timur;
2. Kawasan pelayanan Pantai Barat – Selatan;
3. Kawasan pelayanan Bagian Tengah Nanggroe Aceh Darussalam;
4. Kawasan pelayanan kepulauan.
Pelayanan transportasi pantai Utara – Timur relatif lancar, baik
transportasi darat, laut dan udara. Pada kawasan ini terdapat 5 pelabuhan laut
dan 3 lapangan terbang, juga sedang dibangun jalan kereta api, jarang terjadi
gangguan dan lalu lintas dapat dikatakan tak pernah terputus. Pemilihan
terhadap moda darat, laut dan udara masih mungkin dilakukan walaupun tidak
Kesemua tujuan perjalanan.
Pelayanan pantai Barat – Selatan, bagian Tengah Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan, belum lancar. Jalan darat pantai Barat – Selatan
dan bagian Tengah Nanggroe Aceh Darussalam sangat peka terhadap bencana
alam. Bila musim hujan tiba sering terjadi longsoran pada badan jalan hingga
lalu lintas terputus, karena memang lintasan tunggal tanpa ada lintasan
alternatif. Kondisi jalan juga dengan kualitas rendah, kecepatan rencana antara
40 – 60 km/jam.
Ada tiga lapangan terbang perintis di bagian pantai Barat – Selatan, yang
dilayani sekitar 4 kali penerbangan perminggu. Operasionalnya atas subsidi
pemerintah daerah, tapi sering terjadi gangguan pelayanan akibat
ketidaksiapan pesawat.
Pelabuhan laut pelayanan tidak efektif, utamanya karena ketiadaan
armada regular yang melayani. Pelayanan hanya untuk kebutuhan tertentu non

96
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

regular, kecuali ada pelayanan penyeberangan antara pantai barat dengan


kepulauan (Simeulue).
Pelayanan kawasan kepulauan sangat minim sekali, jalan darat belum
tersambung kesemua kota dan lokasi, masih merupakan lintasan terputus-putus.
Perjalanan antar kelompok masyarakat dilakukan transportasi laut secara
tradisional, yaitu perahu dan tongkang. Kelompok kepulauan ini adalah pulau
Beras dan pulau Nasi di Aceh Besar, pulau Simeulue di pantai Barat dan pulau-
pulau Banyak di pantai Selatan.
Akibat bencana gempa dan gelombang Tsunami 26 Desember 2004,
kerusakan terjadi terhadap Sarana dan Prasarana jalan nasional dan jalan
provinsi 32 % = 915 km dari 3484,6 km jalan yang ada. Kerusakan jembatan
mencapai 25 % dari 16.0687,70 m jembatan di jalan nasional dan 18.181,30 m
jembatan di jalan provinsi. Untuk ruas jalan kabupaten/kota kerusakannya
sedang diinventarisir.
Kondisi dan kerusakan sarana dan prasarana transportasi lainnya adalah
seperti dicantumkan pada tabel 5.1.

97
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Tabel 5.1
Kondisi Sarana Dan Prasarana
Sub-Bidang Transportasi

JUMLAH YANG TINGKAT KERUSAKAN


No PRASARANA ADA DI PROV. DI PROV NAD KET
NAD BERAT RINGAN
1. Transportasi Darat
a. Terminal Bus 10 1 9 - Terminal Meulaboh
b. Pengujian Kendaraan
1 1 - - PKB Banda Aceh
Bermotor (PKB)
c. Jembatan Timbang 3 - 3
d. Stasiun Bus DAMRI 1 1 - - DAMRI Banda Aceh
e. Halte Bus 30 - 30 - Tersebar
f. Pelabuhan Penyeberangan 8 2 6 - Pel. Ulee Lheu
- Pel. Meulaboh
2. Transportasi Laut
a. Pelabuhan Laut 9 3 6 - Pel. Malahayati
- Pel. Meulaboh
- Pel. Calang
b. Pelabuhan Rakyat 4 1 9 - Pelra. Kuala Tari
3. Pelabuhan Udara
a. Bandar Udara 9 1 7 - Bandara Cut Nyak Dhien -
Meulaboh
- Bandara Lasikin -
Sinabang
b. Kantor SAR dan
1 - -
Peralatannya

98
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Sedangkan kerusakan jalan kereta api yang telah dipasang tubuh jalan
sepanjang 33,806 km dari perbatasan Sumatera Utara ke Seuneubuk Punti
di Aceh Timur, belum dilaporkan kondisinya.
Akibat kerusakan-kerusakan tersebut lalu lintas terputus, banyak
masyarakat yang terkurung dan tak dapat dijangkau oleh tim penyelamat
apalagi untuk memberikan bantuan berupa bahan makanan, obat-obatan
dan sebagainya.
Untuk itu perlu dilakukan penanganan dalam tiga tahap sebagai berikut :
Tahap Pertama adalah :
1. Penanganan darurat dengan membuka “Entry Point” dan jalur jalan
utama;
2. Rehabilitasi prasarana dan sarana perhubungan yang rusak;
3. Perencanaan dan pembangunan kembali prasarana dan sarana
perhubungan hingga dapat berfungsi optimal dan meminimalisir gangguan
bencana alam tiap penggantian musim.

Tujuan penanganan darurat adalah untuk dapat membuka entry point


dan menjangkau masyarakat yang terisolir untuk penyelamatan dan
penyaluran bantuan.
Tujuan rehabilitasi adalah membangun kembali saranan dan prasarana
yang rusak pada lokasi yang sama hingga dapat berfungsi kembali seperti
sedia kala.
Tujuan perencanaan dan pembangunan prasarana dan sarana
perhubungan yang baru ialah :
a. untuk daerah yang terkena pengaturan tata ruang baru, memindahkan
fasilitas kelokasi baru sesuai dengan penataan ruang yang dilakukan;
b. khusus untuk jalan raya lintas Tengah Nanggroe Aceh Darussalam dan
pantai Barat – Selatan ialah :
• Agar alinemennya ditingkatkan hingga mencapai kecepatan
rencana paling kurang 80 km/jam;

99
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Untuk memfasilitasi jalur alternatif dengan asal dan tujuan


perjalanan yang sama, dengan demikian kerusakan yang terjadi
pada salah satu lintasan tidak sampai terjadi hubungan macet;
• Lebar tubuh jalan di pegunungan yang sebahagian besar masih 6
m (lebar perkerasan 4,5 m dan bahu kiri kanan 1,5 m), perlu
dilebarkan menjadi 10 m (lebar perkerasan 6 m dan bahu kiri
kanan 4 m).
c. Untuk lalu lintas kepulauan, selain yang dari syarat untuk bagian
Tengah dan pantai Barat – Selatan tersebut, diperlukan membangun
jalan baru hingga tersambung dari asal dan tujuan. Tidak ada lagi jalan
yang terputus.
Sasaran kegiatan tersebut adalah terselenggaranya, terpeliharanya
kapasitas dan kualitas pelayanan transportasi baik inter moda maupun
antar moda tanpa dampak yang berati dari gangguan musim dan
transportasi selalu lancar tidak pernah terputus, baik karena efektifnya
pelayanan antar moda maupun karena tersedianya lajur alternatif.

2. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN

Fasilitas jalan raya sepanjang 3.484,60 km tersebut tersebar pada


berbagai kawasan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penyebarannya oleh Dinas Praswil Nanggroe Aceh Darussalam dibagi
menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok Lintas Timur, Lintas Barat, Lintas
Tengah, Lintas Kepulauan, Lintas Strategis dan Lintas Perkotaan, seperti
diperlihatkan pada Tabel 5.2 dan Peta 5.1. Kualitas pelayanan dan kondisi
jalan pada masing-masing kawasan tersebut sangat bervariasi, yang pada
dasarnya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan lintasan dan mutu teknis
jalan yang ada. Lintas Timur yang melayani pantai Utara – Timur Nanggroe
Aceh Darussalam merupakan lintasan dengan kualitas pelayanan yang
terbaik.

100
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Akibat bencana gempa dan gelombang Tsunami 29 Desember 2004, lintasan


ini sepanjang 207,48 km mengalami rusak ringan dan 57,17 km mengalami
rusak berat. Secara rinci kondisi jalan tersebut pasca bencana 26 Desember
2004 dimuat pada Tabel 5.3.
Lintas Barat, Lintas Tengah dan Lintas Kepulauan merupakan lintasan
yang paling kritis. Lintas Barat yang melayani pantai Barat – Selatan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, membentang melintasi daerah pegunungan dan
dataran rendah.
Ketika terjadi bencana, gempa dan Tsunami 26 Desember 2004 jalan lintas
Barat sepanjang 684,29 km ini mengalami rusak berat sepanjang 309,09 km,
rusak ringan : 132,05 km. kerusakan yang terberat terjadi pada lintasan
Banda Aceh – Meulaboh dengan panjang jalan yang ada 245 km mengalami
kerusakan sepanjang 214 km. Sisa kerusakan secara sporadis terjadi pada
lintasan dari Meulaboh ke batas Sumatera Utara. Secara rinci daftar
kerusakan pada Lintas Barat ini dimuat pada Tabel 5.4.
Pada Lintas Tengah terdapat lintasan jalan sepanjang 509,92 km,
sepanjang 375,2 km sudah beraspal, 120,65 km jalan kerikil, sedang sisanya
14,07 km masih berupa jalan tanah. Ketika terjadi bencana gempa dan
Tsunami 26 Desember 2004, sepanjang 184,9 km jalan ini mengalami rusak
ringan sementara 155,96 km rusak berat. Oleh karenanya pemanfaatan jalan
ini sebagai jalan alternatif pasca bencana tidak terlalu mulus; hanya dapat
dilalui dengan susah payah oleh kendaraan roda dua. Secara rinci kondisi
jalan Lintas Tengah ini diperlihatkan pada Tabel 5.5
Lintas Kepulauan, merupakan jaringan jalan yang ada di pulau Weh, pulau
Simeulue, pulau – pulau Aceh dan pulau Banyak. Pada daerah kepulauan ini
jalan yang telah ada masih sangat minim. Akibat bencana alam gempa dan
Tsunami tanggal 26 Desember 2004; sepanjang 167,05 km jalan ini
mengalami rusak ringan dan sepanjang 87,56 km rusak berat. Secara rinci
kondisi jalan lintas kepulauan ini diperlihatkan pada Tabel 5.6.
Lintas Strategis, merupakan jalan-jalan strategis dalam kota, jalan
kepelabuhan, jalan tembus dari pantai Utara – Timur ke pantai Barat Selatan,

101
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

maupun jalan – jalan baru yang menghubungkan bagian Tengah Aceh ke


pesisir Utara – Timur atau pantai Barat Selatan. Ketika terjadi bencana 26
Desember 2004, sepanjang 508,53 km jalan ini rusak ringan serta 637,62
km rusak berat. Secara rinci kondisi jalan lintas strategis ini dimuat pada
Tabel 5.7.
Lintas perkotaan merupakan jalan-jalan dalam kota – kota Meulaboh,
Sabang, Banda Aceh, Takengon dan Sigli yang banyak mengalami kerusakan
akibat gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Panjang
jalan keseluruhan adalah 25,73 km dengan lebar perkerasan sebahagian
besar 4,5 m. sebahagian besar sudah di aspal, hanya 3,5 km jalan kerikil
dan 1,19 km jalan tanah.
Ketika bencana alam 26 Desember 2004, semua jalan mengalami kerusakan,
dengan kategori 21,51 km rusak ringan dan 4,22 km rusak berat. Secara
rinci kondisi jalan tersebut dimuat pada tabel 5.8.
Untuk kota Banda Aceh, kerusakan akibat bencana alam tanggal 26
Desember 2004 diperlihatkan pada Tabel 5.9 dan dimuat pada Peta 5.2
Kondisi sarana dan prasarana sub bidang transportasi, seperti terminal bus,
pengujian kendaraan bermotor (PKB), jembatan timbang, stasiun bus DAMRI
dan halte bus kota juga mengalami kerusakan akibat bencana alam 26
Desember 2004. jumlah fasilitas tersebut yang ada di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan jumlah kerusakannya diperlihatkan pada
Tabel 5.1 .Terdapat 8 pelabuhan penyeberangan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Akibat bencana 26 Desember 2004 2 buah yaitu Ule-Lheu dan
Meulaboh mengalami rusak berat, sedang 6 sisanya rusak ringan.

3. RONA
Akibat bencana gempa dan gelombang Tsunami 26 Desember 2004,
prasarana dan sarana perhubungan yang berlokasi di lintasan pantai Barat –
Selatan, khususnya dari Banda Aceh – Lamno – Calang – Meulaboh – Nagan
Raya mengalami kerusakan yang sangat parah. Jalan nasional sepanjang
245 km, mengalami kerusakan sepanjang 214 km, atau 88% rusak. Fasilitas

102
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

transportasi lainnya seperti bandar udara, pelabuhan laut mengalami


kerusakan 30%.
Akibatnya sangat fatal, hubungan terputus. Perbaikan dalam bentuk
rehabilitasi tanpa pemindahan tidak mungkin lagi. Perlu relokasi ke lintasan
yang lebih aman untuk memfungsikannya kembali.
Sementara kondisi sarana dan prasarana lalu lintas yang berada
diluar pantai, terutama yang melalui daerah pegunungan kondisinya belum
siap untuk menjadi lintasan alternatif, terutama prasarana jalan raya.
Kondisi ini disebabkan oleh :
1. Belum siapnya dibangun lintasan-lintasan alternatif tersebut; belum
beraspal dan sebagainya;
2. Rendahnya mutu perencanaan jalan yang diterapkan, seperti tanjakan
yang besar, lebar tubuh jalan 6 m dan sebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, jalur alternatif belum dapat


berfungsi menanggulangi kemacetan pada lintasan utama. Pembangunan
fasilitas baru perlu penyesuaian dengan perubahan tata ruang yang
diusulkan
4. PENILAIAN KEBUTUHAN

Akibat bencana gempa dan gelombang Tsunami 26 Desember 2004, kota-


kota Banda Aceh, Lamno, Meulaboh dan kota lain sepanjang pantai Barat
mengalami kerusakan sekitar 70%. Prasarana dan sarana transportasi rusak
dan tidak berfungsi.
Diperlukan strategi penanganan sebagai berikut :
a. Optimalisasi sarana dan prasarana transportasi yang telah ada melalui
rehabilitasi dan peningkatan. Pembangunan fasilitas baru dilakukan jika
dirasa lebih efektif dan efisien serta menyesuaikan dengan penataan
ruang;
b. Secepatnya meningkatkan fasilitas, lintasan alternatif untuk
mengantisipasi kelambatan dalam rehabilitasi;

103
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

c. Mendorong partisipasi masyarakat, Community – Based Development


untuk pekerjaan Low – Tech, skala kecil dan batas beneficiaries yang
jelas.

5. PERTIMBANGAN KELAYAKAN
Prinsip dasar usulan program rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai berikut :
a. Memantapkan pelayanan fasilitas pengganti (Lintasan alternatif) sambil
menunggu pekerjaan rekonstruksi yang memerlukan tahap – tahap
survey, perencanaan dan konstruksi sendiri;
b. Dalam hal penanganan hubungan jalan darat Banda Aceh – Meulaboh,
diupayakan memantapkan pelayanan jalan alternatif : Beureunun –
Tangse – Geumpang – Tutut – Meulaboh. Lintasan tidak terkendala
dengan penyesuaian tata ruang baru, hanya meningkatkan konstruksi
jalan yang sudah ada;
c. Rehabilitasi dan rekonstruksi jalan Banda Aceh – Meulaboh, pelabuhan
laut dan bandara yang rusak berat, dilakukan setelah ada penetapan
tentang tata ruang baru;
d. Melakukan peningkatan jalan – jalan lintas Tengah Nanggroe Aceh
Darussalam seperti jalan Ladia Galaska dan jalan – jalan di kawasan
kepulauan Nanggroe Aceh Darussalam.

6. STRATEGI DAN USULAN PROGRAM


Arah kebijakan pembangunan transportasi darat laut dan udara
pasca bencana 26 Desember 2004 adalah :
1. Merehabilitasi prasarana perhubungan darat yang mengalami
kerusakan akibat bencana 26 Desember 2004, sejauh lokasi, lintasan
dan pemanfaatannya mash sesuai dengan tata ruang baru yang
diterapkan.
2. Melakukan pemindahan, pengalihan lokasi dan lintasan prasarana
perhubungan darat, apabila lintasan dan pemanfaatannya sudah tidak
sesuai dengan tata ruang baru yang ditetapkan. Pembangunan

104
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

prasarana yang dipindahkan atau dialihkan tersebut diusahakan


dengan standar yang lebih baik; menyangkut kecepatan rencana,
lebar tubuh jalan, lebar daerah penguasaan jalan, jarak pandangan,
dan sebagainya.
3. Membangun jalan-jalan alternatif untuk setiap lintasan, sehingga bila
ada gangguan pada suatu lokasi, baik karena banjir, longsor tanah
dan sebagainya, yang biasa terjadi tiap tahun, lalu lintas tidak
terputus. Jalan alternatif ini dapat dilakukan dengan peningkatan
jalan-jalan Lintas Tengah yang saat ini kondisinya masih dibawah
standar, baik dari segi geometrik, lebar tubuh jalan dan tanjakannya.
4. Membuka bagian pedalaman dan kepulauan Nanggroe Aceh
Darussalam hingga mempunyai hubungan yang lancar, baik ke pantai
Utara – Timur, maupun ke pantai Barat – Selatan, atau antara
Kabupaten/Kota yang berbatasan langsung; hingga tidak perlu
dengan jalan melingkar, atau bahkan harus melalui provinsi tetangga
(Sumatera Utara)

Program – Program Pembangunan


A. Program Transportasi Darat
1. Lintas Timur
a. Perbaikan jalan rusak ringan sepanjang : 207,48 km;
b. Perbaikan jalan rusak berat sepanjang : 57,17 km.
2. Lintas Barat
a. Survey dan design lintasan baru, sepanjang : 214 km;
b. Membangun baru jalan Banda Aceh – Meulaboh sepanjang : 214
km;
c. Perbaikan jalan rusak berat : 95,09 km;
d. Perbaikan jalan rusak ringan : 132,05 km
3. Lintas Tengah
a. Relokasi lintasan untuk memperkecil tanjakan jalan sepanjang :
153 km (30%);

105
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

b. Perbaikan tubuh jalan dari 6 m menjadi 10 m sepanjang : 353,99


km; termasuk pembangunan parit kiri kanan dan pelebaran
perkerasan dari 4,5 m menjadi 6 m dan pengaspalan;
c. Perbaikan rusak ringan : 184,99 km;
d. Perbaikan rusak berat : 155,96 km.
4. Lintas Kepulauan
a. Pelebaran tubuh jalan dari 6 m menjadi 10 m sepanjang : 292,28
km; termasuk pembuatan parit kiri kanan jalan dan pelebaran
perkerasan dari 4,5 m menjadi 6 m dan pengaspalan;
b. Pemasangan perkerasan dan pengaspalan sepanjang : 163,21 km.
c. Melakukan perbaikan terhadap jalan yang rusak ringan,
sepanjang : 167,95 km;
d. Melakukan perbaikan terhadap jalan yang rusak berat sepanjang :
87,56 km.
5. Lintas Strategis
a. jalan dalam kota Banda Aceh :
- Perbaikan rusak berat : 12,77 km;
- Perbaikan rusak ringan : 19,50 km.
b. Perbaikan rusak berat (tersebar) : 625 km;
Perbaikan rusak ringan (tersebar) : 490,52 km.
c. Pembangunan jalan belum tembus : 77 km.
6. Lintas Perkotaan
a. Perbaikan rusak berat : 4,22 km;
b. Perbaikan rusak ringan : 21,51 km;
c. Pengaspalan dan perkerasan : 4,69 km.
Kota Banda Aceh
- Jaringan jangan terpusat;
- Perbanyak penyeberangan sungai jalan P. Nyak Makam teruskan
dengan jembatan ke Lhueng Bata, sehingga Lhoknga – Darussalam
tak perlu lewat Simpang Lima dan sampai dengan Jambo Tape;
- Pusat pembangunan kota terpencar :

106
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

- Ulee Kareng – Keutapang Dua – Lambaro tentu akan bergeser ke


selatan dan ke timur;
7. Perbaikan Terminal Bus :
a. Rusak ringan : 9 buah;
Rusak berat : 1 buah;
b. PKB rusak berat : 1 buah;
c. Jembatan timbang rusak ringan : 1 buah;
d. Stasiun bus DAMRI rusak berat : 1 buah;
e. Perbaikan Halte bus rusak ringan : 30 buah;
f. Perbaikan pelabuhan penyeberangan :
- rusak berat : 2 buah;
- rusak ringan : 6 buah.

B. Program Transportasi Laut


a. Perbaikan pelabuhan laut
- rusak berat : 3 buah;
- rusak ringan : 6 buah;
b. Perbaikan pelabuhan rakyat
- rusak berat : 1 buah;
- rusak ringan : 3 buah;

C. Program Transportasi Udara


a. Perbaikan Bandar Udara
- rusak berat : 2 buah;
- rusak ringan : 3 buah;
b. Perbaikan kantor SAR dan peralatannya : 1 buah.

7. ESTIMASI PENDANAAN
Perkiraan dana yang diperlukan untuk program sektoral, rehabilitasi dan
rekonstruksi infra struktur perhubungan adalah sebagai berikut :
a. Perhubungan Darat
1. Program pengembangan transportasi sungai, danau dan penyeberangan.

107
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

A. Peningkatan/Pengembangan Pelabuhan Penyeberangan


Rp. 23.165.000.000,-
B. Pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Rp. 123.789.700.000,-
2. Pembangunan Infra Struktur
A. Rehabilitasi Rp. 873.175.000,-
B. Rekonstruksi Rp. 2.196.000.000.000,-
3. Search And Rescue (SAR)
A. Rekonstruksi Rp. 26.610.000.000,-

b. Perhubungan Laut
1. Program Pengembangan Pelayanan Transportasi Laut
A. Pembangunan/Peningkatan Prasarana dan Sarana Transportasi Laut
Rp. 335.483.221.000,-
B. Rehabilitasi Pelabuhan Rakyat (PELRA) Rp . 2.272.170.000,-

c. Perhubungan Udara
1. Program Pengembangan Pelayanan Transportasi Udara
A. Rehabilitasi Banda Udara Rp. 17.012.648.000,-
B. Pengembangan/Pembangunan Banda Udara Rp. 710.660.179.270,-

d. Pos dan Telekomunikasi


1. Program Pengembangan Jasa Telekomunikasi
A. Pengembangan Fasilitas telekomunikasi pedesaan Rp. 3.843.750.000,-
Total Rp. 3.439.709.813.000,-
(Tiga Trilyun Empat Ratus Tiga Puluh Sembilan Milyar Tujuh Ratus Sembilan Juta
Delapan Ratus Tiga Belas Ribu Rupiah).

Secara Rinci Perkiraan (Tentative) dana yang diperlukan tersebut dicantumkan pada
Tabel 5.10.

108
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

C. SUB BIDANG SUMBER DAYA AIR

1.1 LATAR BELAKANG


PSA atau Pengembangan Sumberdaya Air (water resources
development) di Aceh mulai giat dilakukan sejak adanya program
pembangunan lima tahunan (Pelita). Kegiatannya meliputi meningkatkan
fungsi prasarana yang sudah ada, inventarisasi sumber-sumber air, dan
pembangunan prasarana dasar pengairan dan air baku. Lebih dari tiga
dekade, PSA di Aceh telah banyak berbuat dan telah menjangkau hampir
seluruh wilayah provinsi hingga ke wilayah kepulauan, termasuk pulau Weh
dan Simeulue.
Dalam programnya, PSA diarahkan pada pemanfaatan sumber air
untuk menunjang semua kegiatan masyarakat dan mengontrol atau
mengendalikan perilaku air, yaitu banjir. Dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan jenis aktivitas masyarakat yang berkait langsung dengan alam
atau sumber air, mengakibatkan beberapa usaha pemanfaatan PSA tidak
menunjukkan tingkat keberhasilan (peformance) yang masih dibawah
nilai rencana. Permasalahan pemeliharaan konstruksi dan manajemen
pengelolaannya juga merupakan dua hal yang masih menjadi masalah
dalam program PSA di Aceh.
Dengan adanya kejadian bencana alam gempa bumi dan tsunami
yang melanda Aceh tanggal 26 Desember 2004 dengan kerusakan akibat
bencana yang sifatnya total, maka hal ini memperpanjang permasalahan
PSA di Aceh. Banyaknya anggota masyarakat dari berbagai tingkatan yang
menjadi korban dan rusaknya prasarana dasar (PSD) baik pengairan dan air
baku, maka diperlukan penanganan secara sempurna dalam mencapai dan
memulihkan program PSA di Aceh. Luasnya permasalahan pada PSA
sehingga penanganannya harus dilakukan secara integral dalam sistem
manajemen dan holistik dalam hal penanganan fisik.

1.2 Tujuan dan Sasaran Program

109
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Tujuan penanganan PSA pasca bencana adalah untuk memposisikan


kembali program ini dalam koridor yang sudah ada dengan melakukan usaha
refunctioning and upgrading prasarana dasar yang sudah ada. Jadi
secara umum tujuan ini adalah menyiapkan tersedianya infrastruktur yang
handal untuk penunjang kegiatan pada pencapaian sasaran pembangunan.
Sasaran program adalah pembangunan PSA dalam mencapai
masyarakat yang adil makmur sejahtera melalui pemanfaatan sumbardaya
air dengan tetap memperhatikan kaidah kelestarian lingkungan yang
berkesinambungan.

1.3 Cara Penyusunan Program


Semua program merupakan bagian dari penjabaran masterplan PSA
untuk Aceh yang secara spesifik dikelompokkan dalam 8 (delapan) satuan
wilayah sungai (SWS). Jadi untuk pengembangan setiap SWS terus berjalan
baik inventarisasi, pemeliharaan, perencanaan, dan konstruksi. Dengan
adanya bencana ini maka perlu adanya recovery fungsi konstruksi yang perlu
dimasukkan dalam program pembangunan SWS. Hal yang belum
dilaksanakan dalam pengembangan SWS seperti manajemen pengelolaan
dan pemeliharaan konstruksi perlu dimasukkan dalam program
pengembangan SWS.
Penyusunan program PSA merupakan kegiatan siklus yaitu dengan
memberikan umpan balik hasil monitoring pada penyusunan program baru
untuk tahun mendatang. Karena terkait dengan kondisi sumberdaya dan
alam serta lingkungan maka dalam pengembangan PSA perlu diperhatikan
adanya daya dukung yang tidak boleh dilampaui oleh kemampuan
program pembangunan.

1.4 Tantangan Program


Tantangan program dapat dipastikan akan terkait dengan
Sumberdaya; seperti manusia, lahan, waktu, dana, teknologi, dan material,
serta peralatan. Masyarakat yang masih trauma dan kondisi tidak stabil akan

110
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

menjadi tantangan pokok dalam penanganan program karena masyarakatlah


yang merupakan subjek pembangunan ini. Lahan pembangunan akan
menjadi masalah karena faktor sistem kepemilikan tanah akan berbenturan
dengan pekerjaan fisik konstruksi.
Karena sifatnya adalah memfungsikan kembali dan meningkatkan
kualitas hasil pembangunan PSA, maka akan berpacu dengan waktu
sehingga waktu yang relatif singkat akan menjadi tantangan tersendiri.
Sumber dana, teknologi, material dan peralatan juga akan menjadi kendala
dalam menunjang program pembangunan sektor PSA ini. Banyaknya
tantangan maka diperlukan manajemen proyek yang ‘in order’ agar
tantangan ini dapat dilalui dan membuahkan hasil yang sesuai dengan
tujuan dan sasaran pembangunan.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN

2.1 Tingkat Kerusakan dan Kerugian


Bencana alam gempa dan tsunami mengakibatkan kerusakan mulai
dari tingkat terganggunya fungsi suatu sistem operasional konstruksi hingga
rusak total. Untuk memudahkan perlu dibuat kategori kerusakan mulai dari:
(1) rusak ringan (light damage);
(2) rusak sedang (medium damage);
(3) rusak berat (heavy damage); dan
(4) hancur (destroyed).
Suatu PSD dikatakan mengalami rusak ringan apabila secara
struktural tidak mengalami kerusakan hanya pada bagian-bagian tertentu
memerlukan usaha atau kegiatan pembersihan sampah-sampah dan kotoran.
Setelah usaha ini dilakukan maka sistem tersebut dapat difungsikan kembali.
Dikatakan rusak sedang apabila PSD memerlukan kegiatan perbaikan dan
rehabilitasi konstruksi untuk dapat memfungsikan kembali PSD tersebut.

111
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Suatu PSD dikatakan rusak berat apabila secara menyeluruh


bangunan pada sistem tersebut telah mengalami kerusakan dan perlu
perbaikan berat untuk strukturnya agar konstruksi dapat berfungsi kembali.
Apabila pembangunan menghendaki konstruksi baru dan bangunan yang
lama tidak dapat difungsikan sama sekali maka kerusakannya dikategorikan
sebagai hancur total.
Untuk memudahkan penanganan kerusakan maka pengelompokan
kerusakan menurut lokasinya dapat dilakukan. Untuk PSA lokasi kerusakan
dapat dikelompokkan dalam SWS atau Derah Tingkat II. Sektor kerusakan
dapat dikelompokkan menurut jenisnya, seperti:
(1) PSD Pengairan;
(2) PSD Air Baku;
(3) Drainase Kota;
(4) Perbaikan Sungai;
(5) Perbaikan Pantai.
Hasil kajian kerusakan PSD dan sektor pada PSA adalah sebagai
berikut. Ada sejumlah profil kegiatan sub-bidang Sumberdaya air dalam tiga
bidang yang direncanakan di luar bidang pengadaan airbaku dan drainase
kota, yaitu:
a. 20 kegiatan rehabilitasi dan 7 kegiatan rekonstruksi daerah
irigasi yang tersebar di seluruh wilayah prov. NAD;
b. rehabilitasi perbaikan sungai dan pengendalian banjir sungai-
sungai kecil (25 km), menengah (10 km), dan besar (5 km) serta
rekonstruksi normalisasi aliran sungai dan pengendalian banjir sungai-sungai
menengah (25 km), dan besar (64 km) serta kolam/waduk/polder 5 unit;
c. rehabilitasi pengamanan pantai: perlindungan abrasi 19795
km, tanggul pantai 1.9 km, tembok laut 8012 km, dan jetty 1400m serta
rekonstruksi pengamanan pantai: perlindungan abrasi 11.4 km, tanggul
pantai 5.5 km, tembok laut 8.75 km, jetty 2.3km dan floodway 2.3km.

112
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Secara umum tujuan, sasaran dan kegiatan pokok disajikan pada


masing-masing profil kegiatan seperti yang disajikan pada Tabel 3.1 sampai
dengan Tabel 3.5 untuk masing-masing sektor kerusakan yaitu PSD
Pengairan, PSD Air Baku, Drainase Kota, Perbaikan Sungai, dan Perbaikan
Pantai.
Lembaga kajian yang telah menganalisis hasil kerusakan tersebut di
atas adalah Dinas Sumber Daya Air Provinsi NAD dengan kondisi data
sampai akhir bulan Februari 2005.
Restrukturalisasi kembali PSD dan sektor pada PSA memerlukan
usaha dan dana yang tidak sedikit sehingga memerlukan ‘source of funds’
atau donor. Sebagai donor pembangunan kembali konstruksi dari kerusakan
akibat bencana alam gempa dan tsunami adalah negara-negara sahabat.

113
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

II. RONA FISIK PASCA BENCANA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI

3.1 PSD Pengairan


No Lokasi Nama PSD Kerusakan Tindak Lanjut
1 SWS 01.01 DI Krueng Jreue Jaringan Utama Rehabilitasi
Bangunan Bendung
2 SWS 01.01 DI Krueng Aceh Jaringan Utama Rehabilitasi
Waduk
Talang,
jaringan tersier
3 SWS 01.01 DI Geunteut Lamsujen & Jaringan Utama Rehabilitasi
Geupeu Saluran Drainase
4 SWS 01.01 DI Paya Seunara Jaringan Utama Rehabilitasi
Bangunan Bendung
Waduk
5 SWS 01.02 DI Lhok Keumudee Jaringan Utama Rehabilitasi
Bangunan utama
6 SWS 01.02 DI Krueng Baro Bangunan suplesi Rehabilitasi
Saluran Pembuang
7 SWS 01.02 DI Cubo/Trienggadeng Jaringan utama Rehabilitasi
8 SWS 01.03 DI Datar Diana Jaringan utama Rehabilitasi
Bendung Rekonstruksi
Jaringan
No Lokasi Nama PSD Kerusakan Tindak Lanjut
9 SWS 01.03 DI Pantee Lhoong Jaringan utama Rehabilitasi

Bangunan Bendung Rekonstruksi


Jaringan
10 SWS 01.03 DI Peudada Jaringan utama Rehabilitasi

Bangunan Bendung Rekonstruksi


Jaringan
No Lokasi Nama PSD Kerusakan Tindak Lanjut

114
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

11 SWS 01.03 DI Samalanga Jaringan utama Rehabilitasi

Bangunan Rekonstruksi
Jaringan
12 SWS 01.03 DI Krueng Tuan Jaringan Utama Rehabilitasi
13 SWS 01.03 DI Krueng Pase Jaringan Utama Rehabilitasi

Bangunan Rekonstruksi
Jaringan
14 SWS 01.03 DI Jembosei Jaringan Utama Rehabilitasi

Bangunan sandtrap Rekonstruksi


Jaringan
15 SWS 01.03 DI Beurawang Gadeng Bendung Rehabilitasi
Jaringan Utama
16 SWS 01.04 DI Peunaron Jaringan Utama Rehabilitasi
Waduk Rekonstruksi
17 SWS 01.05 DI Lhok Guci Bendung Rekonstruksi
Jaringan Utama
18 SWS 01.06 DI Tangan Tangan Jaringan Utama Rehabilitasi

19 SWS 01.06 DI Manggeng Jaringan Induk Rehabilitasi

20 SWS 01.06 DI Suak Lamatan Jaringan Utama Rehabilitasi

21 SWS 01.07 DI Sianjo-anjo Jaringan Utama Rehabilitasi


Embung
22 SWS 01.07 DI Rawa Singkil Saluran Pembuang Rehabilitasi

115
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3.2 PSD Air Baku


No Lokasi Nama PSD Kerusakan Tindak Lanjut
1 SWS 01.01 PDAM Tirta Daroy/ Jaringan Distribusi Rehabilitasi
Banda Aceh Instalasi air Bersih
Rumah Pompa
2 SWS 01.01 Sabang Rumah Pompa Rehabilitasi
3 SWS 01.01 Aceh Besar Instalasi Air bersih Rehabilitasi
3 SWS 01.02 PDAM Sigli Jaringan Utama Rekonstruksi
Jaringan distribusi
Instalasi air Bersih
4 SWS 01.03 PDAM Bireuen Instalasi air Bersih Rekonstruksi
5 SWS 01.03 Aceh Utara Instalasi air Bersih Rehabilitasi
6 SWS 01.04 PDAM Langsa Jaringan distribusi Rehabilitasi
Jaringan tersier
Instalasi air Bersih
7 SWS 01.04 PDAM Tamiang Instalasi air Bersih Rehabilitasi
8 SWS 01.05 PDAM Abdya Instalasi air Bersih Rehabilitasi
9 SWS 01.05 Aceh Barat Sistem Jaringan Rehabilitasi
Instalasi air Bersih
10 SWS 01.05 Nagan Raya Sistem Jaringan Rekonstruksi
Instalasi air Bersih
11 SWS 01.06 Aceh Selatan Sistem Jaringan Rekonstruksi
Instalasi air Bersih
12 SWS 01.06 Simeulue Sistem Jaringan Rekonstruksi
Instalasi air Bersih

116
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3.3 Drainase Perkotaan


No Lokasi Drainase Kota Kerusakan Tindak Lanjut
1 SWS 01.01 Kota Banda Aceh Sistem Jaringan Rehabilitasi

Bangunan Kolam pengumpul Rekonstruksi


Jaringan Pembuang utama
2 SWS 01.02 Kota Sigli Sistem Jaringan Rehabilitasi
Jaringan Pembuang utama Rekonstruksi
3 SWS 01.03 Kota Bireuen
4 SWS 01.03 Kota Lhok Sistem Jaringan Rehabilitasi
Seumawe Jaringan Pembuang utama Rekonstruksi
5 SWS 01.04 Kota Langsa Sistem Jaringan Rehabilitasi
Jaringan Pembuang utama Rekonstruksi
6 SWS 01.05 Kota Lamno ?
7 SWS 01.05 Kota Meulaboh ?
8 SWS 01.06 Kota Tapaktuan ?
9 SWS 01.07 Kota Subulussalam ?

117
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3.4 Penanggulangan Banjir

No Lokasi Konst. Banjir Kerusakan Tindak Lanjut


1 SWS 01.01 Krueng Aceh Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul Rekonstruksi
2 SWS 01.01 Krueng Neng Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul
3 SWS 01.01 Krueng Titi Panyang Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul
4 SWS 01.02 Krueng Baro Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul Rekonstruksi
5 SWS 01.02 Krueng Tiro Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul Rekonstruksi
6 SWS 01.02 Krueng Meuruedu Pelindung talud Rehabilitasi
7 SWS 01.03 Krueng Samalanga Pelindung talud Rehabilitasi
8 SWS 01.03 Krueng Peusangan Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul
9 SWS 01.03 Krueng Nalan Pelindung talud Rehabilitasi
10 SWS 01.04 Krueng Arakundo Pelindung talud Rehabilitasi
tanggul Rekonstruksi
11 SWS 01.04 Krueng Jambo Aye Pelindung talud Rehabilitasi
tanggul Rekonstruksi
12 SWS 01.04 Krueng Tamiang Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul
13 SWS 01.05 Krueng Teunom Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul Rekonstruksi
14 SWS 01.05 Krueng Sabee Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul Rekonstruksi
15 SWS 01.05 Krueng LamBeusoi Pelindung talud Rehabilitasi
Tanggul Rekonstruksi

118
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3.5 Perlindungan Pantai


No Lokasi Nama Pantai Kerusakan Tindak Lanjut
1 SWS 01.01 Syiah Kuala Jetty Rehabilitasi
/Muara Kr Aceh Revetment / Rekonstruksi
Breakwater
2 SWS 01.01 Ulee Lheue Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
Erosi (set off)
3 SWS 01.01 Alue Naga Jetty Rehabilitasi
Rekonstruksi
4 SWS 01.01 Krueng Raba Jetty Rehabilitasi
Rekonstruksi
5 SWS 01.01 Ujong Asam Revetment / Rehabilitasi
Rekonstruksi
Breakwater
6 SWS 01.01 Keuneukai Revetment / Rehabilitasi
Rekonstruksi
Breakwater
7 SWS 01.01 Balohan Revetment / Rehabilitasi
Rekonstruksi
Breakwater
8 SWS 01.02 Mantak Tari Revetment / Rehabilitasi
Rekonstruksi
Breakwater
9 SWS 01.03 Krueng Mane Perlindungan Rehabilitasi
Rekonstruksi
Muara/jetty
10 SWS 01.03 Samalanga Revetment / Rehabilitasi
Rekonstruksi
Breakwater
11 SWS 01.04 Kuala Idi Revetment Rehabilitasi
Jetty Rekonstruksi
12 SWS 01.05 Padang Sirahet Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
13 SWS 01.05 Ujong Kalak Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
14 SWS 01.05 Peunaga Revetment / Rehabilitasi

119
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Breakwater Rekonstruksi
15 SWS 01.05 Calang Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
16 SWS 01.05 Babah Nipah Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
17 SWS 01.05 Teunom Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
18 SWS 01.06 Ujong Kareung Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
19 SWS 01.06 Lhok Timun Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
20 SWS 01.06 Batu Putih Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
21 SWS 01.06 Sama Tiga Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
22 SWS 01.06 Kuala Tuha Revetment / Rehabilitasi
Breakwater Rekonstruksi
23 SWS 01.06 Pantai Kota Revetment / Rehabilitasi
Tapaktuan Breakwater Rekonstruksi

120
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

VI. PENILAIAN KEBUTUHAN REKONSTRUKSI


4.1 Usulan Masyarakat
Usul ini diperoleh melalui penjaringan aspirasi masyarakat baik yang
diperoleh melalui lokakarya pokja III pada tanggal 5 Maret 2005 ataupun di
luar forum tersebut.

4.2 Usulan Pusat Studi


Usulan dari Laboratorium Hidro Fakultas Teknik Unsyiah dan
Lembaga UP-PSDA FT Unsyiah adalah: arah kebijakan dalam rencana
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang sumberdaya air ini adalah
perlunya suatu perencanaan dan manajemen sumberdaya air yang
komprehensif dalam suatu ‘framework dari regional environmental plan’.
Konsep yang disarankan dalam IWRM (integrated water resource
management) yang mengkoordinasikan manajemen dan pengembangan
sumberdaya air, lahan, dan sumber terkait lainnya yang bertujuan
memaksimalkan hasil secara ekonomis dan kesejahteraan sosial
dalam suatu kondisi yang tetap masih mempertimbangkan
ekosistem penting berkelanjutan (GWP, 2000) perlu difahami untuk
aktivitas ini. Lebih terfokus lagi dalam mengatasi permasalahan dalam
kegiatan perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang sumberdaya air,
studi eko-hidrolik (pendekatan yang memadukan antara rekayasa hidrolik
dan pertimbangan ekologis pada penyelesaian masalah keairan) menjadi
bagian penting dalam kegiatan ini.

4.3 Usulan Dinas Terkait


(mengambil data dari paparan Ka. Dinas SDA Prov. NAD pada
Lokakarya Pokja III)

4.4 Masterplan (Program Pemerintah)


(mengambil data dari paparan pada Lokakarya Pokja III
Bappenas/Bappeda/ Dinas SDA Prov. NAD)

121
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

V. KELAYAKAN REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI

4.1 Kelayakan Teknis

4.2 Kelayakan Ekonomis

4.3 Kelayakan Lingkungan

4.4 Kelayakan Sumberdana

4.5 Kelayakan Kebijakan Pemerintah

VI. STRATEGI DAN USULAN PROGRAM

6.1 Program Penanggulangan Darurat (Rehabilitasi)


(mengambil data dari paparan Ka. Dinas SDA Prov. NAD pada
Lokakarya Pokja III)
6.2 Program Penanggulangan Jangka Menengah (Rekonstruksi)
(mengambil data dari paparan Ka. Dinas SDA Prov. NAD pada
Lokakarya Pokja III)
6.3 Program Pembangunan Jangka Panjang (Future Plan)
(mengambil data dari paparan Ka. Dinas SDA Prov. NAD pada
Lokakarya Pokja III)

VII. ESTIMASI PENDANAAN

7.1 Jenis Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi


Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada 8 SWS di Prov. NAD
dikelompokkan menurut jenisnya, yaitu:
(a) PSD Pengairan;
(b) PSD Air Baku;
(c) Drainase Kota;
(d) Perbaikan Sungai;

122
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

(e) Perbaikan Pantai.

7.2 Sumber Dana Pembangunan


Sumber dana pembangunan ini sebagian berasal dari RAPBN dan
RAPBD. Sebagian besar lagi berasal dari berbagai fihak ‘source of funds’
yang telah berjanji untuk membantu membangun Aceh Kembali. Sebagai
donor pembangunan kembali konstruksi dari kerusakan akibat bencana
alam gempa dan tsunami antara lain adalah negara-negara sahabat (yang
akan ditentukan kemudian berdasarkan persepakatan).

7.3 Kebutuhan Jumlah Dana Pembangunan


(mengambil data dari paparan Ka. Dinas SDA Prov. NAD pada
Lokakarya Pokja III)

123
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB I
POKJA – IV
EKONOMI DAN KETENAGAKERJAAN

I. PENDAHULUAN

Gempa bumi dan tsunami yang dahsyat terjadi di NAD pada ahad,
26 Desember 2004 mengakibatkan sebagian besar masyarakat
hilang/meninggal dunia dan sekaligus mengalami kegoncangan berbagai
aspek sosial, ekonomi, budaya, dan infrastruktur publik dan non publik.
Penduduk kehilangan mata pencaharian yang berdampak pada pendapatan
mereka nol. Rusaknya infrastruktur publik seperti pasar, sarana produksi,
dan transportasi telah mengakibatkan tingkat harga melambung tinggi dan
sejumlah barang menjadi langka. Terhentinya kegiatan industri karena
kerusakan berat pada fasilitas kerja yang kemudian menyebabkan
bertambahnya pengangguran. Terjadinya salinasi lahan sehingga lahan yang
tadinya produktif menjadi tidak produktif. Hancurnya ekonomi masyarakat
pesisir di mana terhentinya kegiatan rutin nelayan dan sektor perikanan.
Matinya kegiatan UMKM khususnya sektor perdagangan dan jasa di daerah-
daerah pusat perbelanjaan. Lumpuhnya sistem perbankan dan lembaga
keuangan non bank, dan sejumlah permasalahan lainnya (pendidikan,
pemerintahan, budaya, kegoncangan jiwa, dan lainnya). Taksiran kerugian
semua material akibat bencana ini mencapai Rp. 41,4 triliun, dan sebagian
besar (78 persen) merupakan milik masyarakat (Bappenas).
Penderitaan masyarakat Aceh yang demikian lama akibat konflik bersenjata
yang panjang, ditambah lagi dengan bencana gempa dan tsunami, telah
menempatkan mereka pada posisi yang semakin terpuruk. Sisi lain,
administrasi pemerintahan belum optimal, KKN masih berlangsung,
kemampuan (skill) SDM rendah, dukungan perbankan dan lembaga
keuangan non-bank masih rendah, mengakibatkan semakin beratnya
pemulihan dan pembangunan kembali Aceh yang baru.

124
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Namun di sisi lain, ada hikmah besar yang muncul secara spontan, yaitu
solidaritas yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dan masyarakat
internasional terhadap masyarakat Aceh yang menjadi korban. Solidaritas ini
menjadi modal yang kuat untuk masyarakat Aceh untuk bangkit dan
menyongsong masa depan mereka yang lebih cerah. Ini merupakan suatu
energi besar yang dapat mengantarkan masyarakat Aceh ke era baru
kemajuan di berbagai bidang. Aceh harus bangkit, semangat Iskandar Muda
harus tegak dan Roh Islam harus jalan di bumi serambi Mekkah. Untuk itu
perlu dibuat satu Cetak Biru (Blue Print) Provinsi NAD, sehingga Aceh dapat
tumbuh dan berkembang sebagai pemenuhan tuntutan globalisasi dengan
bantuan dari berbagai pihak.

1.1 Tujuan

Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang tergambarkan dalam


cetak biru ini bertujuan untuk memberikan arah kebijakan secara lebih
akurat dan dinamis dalam pembangunan masa depan baru yang bermuara
pada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan.

1.2 Sasaran
Sasaran rehabilitasi dan rekontruksi Aceh diutamakan kepada korban
tsunami baik langsung maupun tidak langsung serta kepada masyarakat
Aceh yang tidak terkena tsunami untuk merubah corak perekonomian Aceh
yang maju dan baru di masa depan secara bersama-sama dan komprehensif.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN

Dampak yang paling parah (43 persen dari nilai kerusakan sektor
produktif) dirasakan oleh para nelayan dan sektor perikanan. Diperkirakan,
sekitar 85 persen perumahan permanen dan non-permanen mengalami
kerusakan. Sebanyak 220.907 orang diperkirakan kehilangan pekerjaan.
Jumlah penduduk yang terkena Tsunami sebanyak 584.559 jiwa (14,42

125
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

persen), desa yang terkena Tsunami sebanyak 654 desa (11,4 persen).
Persentase keluarga miskin terkena Tsunami sebesar 15,16 persen (63.977
KK). UMKM yang terkena Tsunami sebanyak 20,88 persen (5.176 unit), hotel
30,41persen (59 unit), restoran 17,20 persen (1.119 unit), pasar 1,29 persen
(195 unit), dan warung sebanyak 16,71 persen (7.529 unit). Khusus
disektor perikanan, terdapat 19 unit (0,37 persen) TPI (tempat pelelangan
ikan) yang rusak dan PPI (pangkalan pendaratan ikan) 63 unit (1,24 persen).
Jumlah Bank Umum terkena Tsunami 17,61 persen (25 unit) dan BPR
sebanyak 8,89 persen (4 unit). Dari keseluruhan kredit yang diberikan sektor
perbankan sebesar Rp 3.9 triliun, sekitar Rp 2 triliun diperkirakan menjadi
kredit bermasalah (IDB, Januari 2005).

III. RONA

Banyak terjadi perubahan-perubahan pascatsunami, antara lain yang


dapat diamati adalah terciptanya pasar-pasar baru dengan intensitas
kegiatan yang padat dan tinggi, namun belum teratur dengan baik.
Munculnya lembaga-lembaga bantuan asing yang bekerjasama dengan
masyarakat (lokal dan nasional), yang mempunyai akses dana dan peralatan
yang tinggi. Tingginya arus mobilitas penduduk ke kota Banda Aceh dan
kota-kota lainnya untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan peluang-
peluang yang ada.

IV. PENILAIAN KEBUTUHAN

Masukan dan rekomendasi dari berbagai pihak/lembaga, pembangunan


kembali Aceh haruslah mengandung prinsip-prinsip pokok sebagai berikut:
1. Meminimalisasi dampak dislokasi korban gempa bumi dan tsunami. Ini
berarti bahwa upaya relokasi harus dilakukan dengan arif dengan
memperhatikan aspirasi masyakarat dan unsur keadilan

126
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

2. Memfasilitasi masyarakat dalam mendapatkan kembali pekerjaan, lokasi


usaha, dan tempat tinggalnya.
3. Mengupayakan agar berbagai kebijakan rehabilitasi sekaligus dapat
mengurangi ketimpangan yang ada.
4. Memberikan tekanan pada kegiatan padat karya
5. Memberikan perhatian utama pada masyarakat yang berada di berbagai
penampungan sementara (Internally Displaced Persons).
6. Memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat
Aceh dan masyarakat sipil pada umumnya.

V. PERTIMBANGAN KELAYAKAN

Berdasarkan pemahaman prinsip-prinsip dasar usulan program


rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami di atas, dapat
dipertimbangkan kelayakan program jangka pendek antara lain:

1. Menyesuaikan langkah relokasi dengan kebutuhan pengungsi.


2. Menyediakan berbagai opsi bantuan perumahan bagi masyarakat
terkena bencana.
3. Merehabilitasi dan menciptakan lapangan kerja
4. Melaksanakan crash program untuk vocational training secara massal
dalam berbagai bidang.
5. Melakukan operasi pasar yang efektif untuk mengendalikan harga
barang-barang kebutuhan pokok.
6. Pemulihan fungsi pasar dan TPI untuk menunjang pemulihan ekonomi
rakyat, terutama di kawasan pesisir.
7. Memberikan rangsangan untuk memulihkan berbagai kegiatan industri
dan investasi, khususnya industri yang menunjang kegiatan ekonomi
pesisir. Misalnya bantuan modal kerja (uang dan barang), kredit lunak,
pemutihan kredit, pengurangan rate pajak kepada investor dan subsidi
terhadap masyarakat korban tsunami.

127
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

8. Segera menyelesaikan masalah deposit dan kredit masyarakat.


9. Memperluas jaringan bank dan lembaga keuangan syari’ah untuk
menggerakkan kegiatan usaha khususnya UMKM.

Sementara itu, kelayakan program jangka panjang, perlu


mempertimbangkan aspek pembangunan ekonomi yang berbasis
kerakyatan seperti yang telah dirumuskan dalam Deklarasi Duek Pakat di
Takengon pada tanggal 6 September 2003. Pola pembangunan ekonomi ini
bertumpu pada core kompetensi masing-masing kabupaten/kota dengan
mengoptimalkan pusat pertumbuhan (Banda Aceh, Lhokseumawe, dan
Tapaktuan) dan menjadikan pelabuhan Sabang sebagai kawasan utama
peningkatan ekspor.

128
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

VI. STRATEGI DAN USULAN PROGRAM

Strategi dan usulan program dalam rencana rehabilitasi dan


rekonstruksi ekonomi dan ketenagakerjaan Provinsi NAD, dapat dilihat dalam
lampiran (matriks).

129
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

130
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

TAHAPAN PROGRAM DALAM RENCANA REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI EKONOMI

PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

No. Tahapan Program Target Indikator


I PROGRAM- 1. Rekonstruksi ƒ Memulihkan ƒ Kembalinya kegiatan ekonomi
PROGRAM asset-aset fisik transporasi, rakyat seperti sebelum tsunami,
PRIORITAS (kantor komunikasi, walaupun di lokasi yang berbeda
(Priority pemerintah, keuangan, pelayanan ƒ Adanya pendapatan sehingga
Reconstruction rumah penduduk, publik penduduk korban tidak lagi
Program=PRP) pusat-pusat ƒ Jump-start the tergantung pada bantuan
pelayanan umum) economy (bringing ƒ Mereka yang sebelumnya hilang
dan back livelihood) pekerjaan karena tsunami
menghilangkan ƒ Reviving the kembali mendapatakan
hambatan- Economy and pekerjaan
hambatan Creating jobs
infrastruktur dan
memulihkan
pelayanan
masyarakat.

2. Menumbuhkan Memunculkan kembali Adanya kegiatan ekonomi


kembali kegiatan- kegiatan ekonomi masyarakat yang memberikan
kegiatan ekonomi rakyat di sektor penghasilan tunai segera
lokal (jump-start) perikanan,
di sektor-sektor pertanian,
perikanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan
perkebunan, pariwisata

131
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

peternakan, dan
pariwisata. Juga
menumbuhkan
kegiatan-kegiatan
produktif yang
quick-yielding dan
menciptakan
pekerjaan agar
terjamin
penghidupan
(livelihood)
normal
penduduk.

3. Membangun Memberdayakan ƒ Semakin lancarnya arus barang


kelembagaan kelembagaan masuk dan keluar ke dan dari
(institution ekonomi perekonomian lokal di setiap
building) dan masyarakat, berupa kabupaten
melakukan kebiasaan- ƒ Bertambahnya kesempatan kerja
reformasi kebiasaan yang lokal
kebijakan (misal produktif, dan
kemudahan menghilangkan
prosedur kegiatan yang
perizinan, membebani biaya
menghapus ekonomi rakyat
pungutan liar,
KKN, dan
kebiasaan-
kebiasan yang

132
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

memberi beban
pada biaya
ekonomi, untuk
menjamin
berlangsungnya
momentum
pemulihan
ekonomi.

4. Melahirkan Memberikan Berkurangnya insentif bagi


rekonsiliasi agar kompensasi secara penduduk muda usia produktif
perdamaian abadi tidak langsung untuk mendukung insurgensi
dapat dimulai dan kepada mereka karena kesibukan bekerja
berlangsung yang terlibat
permanen. Harus insurgensi dalam
ada insentif- bentuk pekerjaan
insentif khusus produktif
untuk mendorong
hal ini terjadi baik
bagi pihak
pembuat
keputusan di
pemerintahan RI,
maupun bagi
pihak GAM

5. Dukungan bagi Menyediakan fasilitas ƒ Kembalinya penduduk korban


penyediaan umum dan sosial yang ke rumah-rumah (baik lama

133
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

pelayanan cukup maupun baru)


masyarakat bagi ƒ Tersedianya air bersih dan
penduduk yang sanitasi bagi pemukiman lama
akan kembali ke dan baru.
rumah-rumah
mereka (antara
lain perumahan,
air bersih dan
sanitasi,
pendidikan,
kesehatan, dan
transportasi)

II PROGRAM- ƒ . Memulihkan Menyediakan kondisi ƒ Masyarakat kembali bekerja


PROGRAM kegiatan ekonomi yang memungkinkan dan berusaha
JANGKA rakyat dengan perekonomian lokal, ƒ Pasar-pasar hidup kembali
MENENGAH penyediaan kredit daerah dan nasional
(5 ringan untuk UKM, dapat tumbuh lebih
TAHUN)=Medi kredit ringan dan cepat
um Term bahan baku untuk
Reconstruction pertanian,
Program) perkebunan,
perikanan, dan
proyek-proyek
public yang
menciptakan
lapangan kerja.

134
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

2. Memulihkan Mengembalikan ke ƒ Transportasi dan komunikasi


infrastruktur fisik keadaan normal lancar kembali
dan infrastruktur dasar dan ƒ Pelayanan sosial berfungsi
kelembagaan fasilitas pelayanan kembali
publik, kelembagaan
masyarakat,
perlindungan sosial
yang memadai

3. Mendukung Memfungsikan kembali Tidak ada penduduk yang


pemerintah roda pemerintahan di terabaikan pelayanannya oleh
daerah dengan daerah pemerintah daerah
dukungan fiscal
yang memadai Masyarakat mendapat pelayanan
untuk membiayai publik yang memadai
belanja
operasioanl
(recurrent
expenditures),
juga bantuan
social langsung
kepada
masyarakat tidak
mampu

4. Memperkuat Menggairahkan Kehidupan sosial ekonomi


kelembagaan ekonomi rakyat. masyarakat bergairah
masyarakat dan
reformasi Ekonomi pasar dapat

135
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

kebijakan untuk berlangsung kompetitif Investasi baru bertambah


mendukung
tumbuh Masyarakat menikmati
bergairahnya pelayanan yang
sektor swasta optimal.

III PROGRAM 1. Infrastruktur fisik Meningkatkan ƒ Tidak ada bottleneck untuk


JANGKA produktivitas investasi baru
PANJANG (20 ƒ Jaringan jalan masyarakat, struktur ƒ Investasi meningkat tajam
TAHUN) (perlu studi road ekonomi yang ƒ Perekonomian lokal tumbuh
(Long-Term network yang seimbang, dan ƒ Tercipta interregional linkages
Development tidak pertumbuhan jangka sehingga ekonomi Aceh semakin
Plan) mengganggu panjang yang integrated
Leuser sustainable
Ecosystem) dan Tidak terjadi backwash effect
paling optimal karena pertumbuhan ekonomi
dari sudut Sumut
pengembangan
pusat-pusat
pertumbuhan
yang ingin
dikembangkan
ƒ Highway Banda
Aceh-
Lhokseumawe
dan
Lhokseumawe-
Medan (perlu
studi)

136
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

ƒ Menjadikan
Pelabuhan
Krueng Geukuh
sebagai
pelabuhan
container untuk
ekspor, dan ada
kawasan industri
sebagai
pengganti
industri gas dan
pupuk di masa
depan
ƒ Membangun
pelabuhan-
pelabuhan lain
(Kuala Langsa,
Sabang, dll.)
ƒ Listrik
(meneruskan
proyek
Peusangan)
ƒ Air Bersih di tiap
kota
ƒ Telekomunikasi
ƒ Prasarana
Pendidikan dan
Kesehatan
ƒ Prasarana yang
mendukung

137
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

industri,
termasuk
industri
pariwisata
ƒ Dll.

2. Pendidikan Meningkatkan years of Produktivitas tenaga kerja


schooling sampai 9 meningkat
tahun
Pendapatan per kapita meningkat
Meningkatkan
produktivitas HDI meningkat
3. Kesehatan Meningkatkan derajat Kualitas hidup meningkat
kesehatan masyarakat
Life Expectancy Rate meningkat

HDI meningkat
4. Jaring Pengaman Meningkatkan Tidak ada penduduk yang tidak
Sosial pelayanan yang murah mendapat pelayanan pendidikan,
dan menjangkau kesehatan, dan jaminan hari tua
seluruh lapisan
masyarakat dan di
semua tempat

138
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB V
POKJA – V
SISTEM KELEMBAGAAN

I. PENDAHULUAN

Pada tanggal 26 Desember 2004 telah terjadi gempa bumi tektonik


dan disusul dengan gelombang pasang (Tsunami) yang menerjang wilayah
di lautan Hindia. Bencana alam ini telah merenggut ratusan ribu korban jiwa
meninggal dunia dan menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan tempat
tinggal. Becana ini merupakan salah satu musibah paling besar yang pernah
tercatat dalam sejarah.
Berdasarkan data terakhir dan penilaian dari Posko Penanggulangan
Bencana di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, dari
21 (dua puluh satu) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebanyak 16 (enam belas) Kabupaten/Kota mengalami
kerusakan. Dari seluruh Kabupaten/Kota yang terkena bencana Tsunami,
Kabupaten/Kota yang mengalami kerusakan terparah adalah Kota Banda
Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Besar.
Data juga menunjukkan bahwa korban jiwa meninggal dunia di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam mencapai 166.320 orang dan lebih dari 6.245
orang dinyatakan hilang serta sekitar 100.000 orang luka-luka. Bencana
tersebut juga mengakibatkan sekitar 617.000 orang kehilangan rumah dan
terpaksa hidup di pengungsian (penampungan) sementara. Dari sejumlah
korban meninggal dunia tersebut termasuk ribuan aparatur Pemerintah
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tersebar di berbagai
dinas/instansi juga menjadi korban.
Bencana Tsunami yang menimpa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
telah menimbulkan korban yang sangat besar dalam berbagai bidang
kehidupan. Besarnya bencana yang terjadi telah membuat lumpuh seluruh

139
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

sektor kehidupan yang ada, baik sektor perekonomian, sosial, agama,


pendidikan, kesehatan maupun sektor pemerintahan.
Kerusakan yang timbul pada berbagai sarana dan fasilitas kehidupan
tersebut telah mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan aparatur
pemerintahan dalam memberikan palayanan kepada masyarakat dan untuk
menangani dampak bencana alam yang begitu parah pada satu pihak,
sementara itu dilain pihak, bencama tersebut juga minimbulkan dampak
berupa penderitaan dan kesulitan hidup telah meningkatkan kebutuhan
pelayanan yang sangat besar. Untuk menangulangi permasalahan tersebut
Pemerintah Pusat telah melakukan langkah-langkah tertentu untuk
mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan umum.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN

Penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efisien dan


efektif oleh aparatur pemerintahan yang secara kuantitas mendukung
kebutuhan organisasi dan secara kualitas memenuhi persyaratan
kompetensi, disamping dukungan sarana dan prasarana yang memadai.
Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami yang terjadi pada tanggal 26
Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara
telah mengakibatkan perubahan terhadap; (a) Kuantitas dan kualitas sumber
daya aparatur; (b) Sarana prasarana dalam penyelenggaraan pemerintahan
mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan
Kelurahan/Desa; (c) Kepala daerah dan pimpinan daerah; (d) Anggota
DPRD; (e) Administrasi kependudukan; dan (f) Batas Administrasi yang
digambarkan sebagai berikut:

2.1 Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Aparatur.


Dari sejumlah 7.110 pegawai pada Pemerintah Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang tersebar di Sekretariat Daerah/Kantor dan
Dinas Provinsi, tercatat sebanyak 608 orang aparat meninggal dunia dan 519

140
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

orang dilaporkan hilang. Berdasarkan data di lapangan, jumlah aparat


pemerintah keseluruhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Provinsi,
Kabupaten/kota) berjumlah 78.303 orang aparat. Dari jumlah tersebut
aparat yang meninggal dunia sebanyak 2.010 orang, sementara yang
dilaporkan hilang sebanyak 2.222 orang. (Tabel 1).

Sedangkan kondisi aparatur di Daerah Kabupaten/Kota yang


menjadi korban terbesar terdapat pada empat kebupaten/kota, yaitu: (1)
Kota Banda Aceh, (2) Kabupaten Aceh Besar, (3) Kabuapten Aceh Barat, dan
(4) Kabupaten Aceh Jaya, dilaporkan sebagai berikut:

a. Kota Banda Aceh. Berdasarkan data yang masuk hingga saat ini, dari
6.292 pegawai Kota Banda Aceh terdapat 140 orang meninggal dunia
dan 1408 orang hilang;
b. Kabupaten Aceh Besar, dari 7.150 pegawai, 703 orang diantaranya
dilaporkan meninggal dan 230 orang hilang;
c. Kabupaten Aceh Barat, dari 3.986 pegawai, 165 orang meninggal dunia;
d. Kabupaten Aceh Jaya, dari 1.190 pegawai, 186 orang meninggal dunia.
Untuk instansi vertikal, kondisi kepegawaian yang berhasil dikumpulkan
adalah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kejaksaan Agung, TNI dan
Polri.

a. Badan Pertanahan Nasional (BPN)


- PNS meninggal 40 orang;
- Suami/isteri dan anak PNS meninggal 226 orang;
- PNS kehilangan anak 31 orang;
- PNS sakit 94 orang;
- PNS mengungsi 75 orang;
- PNS kehilangan rumah 35 orang
Dari data pegawai yang selamat pada umumnya mengalami trauma berat
kerena kehilangan suami/isteri/anak/sanak keluarga lain dan herta benda.

b. Kejaksaan Agung, PNS meninggal sebanyak 105 orang;


c. TNI, personil yang meninggal sebanyak 63 orang dan

141
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

hilang sebanyak 302 orang;


d. Polri, personil meninggal sebanyak 170 orang dan hilang
sebanyak 952 orang.

2.2 Bangunan Sarana Dan Prasarana Gedung Perkantoran


Di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana yang
mengalami tingkat kerusakan relatif tinggi terdapat di wilayah: (1)
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (2) Kota Banda Aceh, (3)
Kabupaten Aceh Barat, (4) Kabupaten Pidie dan (5) Kabupaten Aceh Jaya
(Tabel 2).
Sementara untuk Kantor Gubernur yang juga mengalami kerusakan
dengan indikasi tingkat kerusakan 70%, telah diupayakan untuk segera
difungsikan secara optimal dan saat ini telah dimanfaatkan sebagai pusat
pengendali bencana/Posko Bakornas PBP di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Kerusakan penampakan fisik wilayah dilapangan melalui pendekatan
guessestimate tertinggi terjadi di (1) Kabupaten Aceh Jaya, dengan
perkiraan tingkat kerusakan mencapai 85%. Kabupaten/Kota lainya yang
tingkat kerusakan cukup signifikan antara lain : (2) Kabupaten Aceh Besar
(80%), Kota Banda Aceh (75%) dan Kabupaten Aceh Barat (60%).
Kondisi faktual sampai dengan tanggal 28 Januari 2005 dapat
digambarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan baru
berfungsi pada 219 Kecamatan dari 241 kecamatan di wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten/Kota yang jumlah kecamatannya
lebih dari 50% masih belum berfungsi adalah Kabupaten Aceh Jaya.
Pada tingkat desa/kelurahan, dari 5.947 desa/kelurahan yang ada
sebanyak 430 belum dapat menjalankan fungsi pemerintahan, sedangkan
sebanyak 5.517 desa/kelurahan dilaporkan dengan status berfungsi.
(Lengkapnya lihat table 1).

142
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kerusakan pada instansi vertikal yang berhasil dikompilasi adalah BPN,


Kejaksaan, departemen Hukum dan HAM, Lembaga Komunikasi dan
Informasi serta kantor Polri seperti berikut ini:
a. Kerusakan gedung kantor BPN yang terjadi disebabkan oleh gempa dan
gelombang tsunami serta terendam air meliputi: (1) Gedung Kanwil BPN
Provinsi yang berlantai 3, terjadi kerusakan pada lantai dasar, (2)
Gedung kantor BPN Kota Banda Aceh berlantai 1(satu), rusak berat dan
tidak dapat digunakan; (3) Gedung Kantor BPN Kabupaten Aceh Barat
berlantai 1, mengalami kerusakan ringan.
b. Kator yang mengalami kerusakan sarana dan prasarana kerja adalah :
Kanwil BPN Provinsi (seluruh sarana dan prasarana, termasuk komputer
yang hilang karena penjarahan), kantor BPN Kota Banda Aceh
(mobiler, perlatan kantor, komputer dan alat ukur tanah), serta kantor
BPN Kabupaten Aceh Barat (AC 1 unit, komputer 7 unit, theodolit 2 unit,
mobiller dan kompas).
c. Kanwil BPN Provinsi : Dokumen keuangan, kepegawaian dan surat
menyurat yang terdapat dilantai dasar hilang dan rusak karena
terendam air. Dokumen Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah 20%
hilang/rusak.
d. Kantor BPN Kota Banda Aceh, keadaan sampai dengan tanggal 12
Januari 2005 warkah 40% rusak. Buku tanah, surat ukur, dan gambar
situasi sebanyak 10% sedang diupayakan penyelamatannya, selebihnya
dalam keadaan baik. Blanko sertifikat rusak karena terendam air.
e. Kantor BPN Kabupaten Aceh barat, Buku tanah dan warkah 10%
basah dan sementara ini dalam proses pengeringan dan seluruh blanko
sertifikat tidak dapat dimanfaatkan karena rusak terendam air.
f. Kantor Kejaksaan yang tidak berfungsi sebanyak 6 gedung.
g. Kantor Departemen Hukum dan HAM yang tidak berfungsi sebanyak 6
gedung.
h. Kantor Lembagai Komunikasi yang tidak berfungsi sebanyak 8 gedung.

143
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

i. Kantor Polri yang tidak berfungsi sebanyak 34 gedung dari jumlah total
174 gedung.

2.3 Kepala Daerah


Kepala Daerah/Pemerintah Daerah yang didata adalah yang
meninggal dunia, hilang dan akan berakhir masa jabatannya. Pejabat
pemerintah daerah yang meninggal adalah Walikota Banda Aceh, sedangkan
yang masih hilang adalah Bupati Aceh Barat Daya dan seorang Camat.
Kepala Daerah dan Pejabat Kepala Daerah di wilayah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam yang akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2005
adalah sebagai berikut:
a. Gebernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berakhir tanggal 25
November 2005;
b. Penjabat Bupati Benar Meriah berakhir tanggal 22 Januari 2005;
c. Walikota Sabang berakhir tanggal 8 Februari 2005;
d. Bupati Aceh Timur berakhir tanggal 13 Februari 2005;
e. Penjabat Walikota Banda Aceh, Bupati Aceh Tengah, Bupati Aceh
Utara, Bupati Aceh Besar, Bupati Aceh Barat, Walikota Lhokseumawe,
Walikota Langsa, Bupati Aceh Jaya, Bupati Nagan Raya, Bupati Gayo
Lues, Bupati Aceh Barat Daya, Bupati Aceh Tamiang, berakhir tanggal
18 Februari 2005;
f. Bupati Aceh Singkil berakhir tanggal 30 Mei 2005.

2.4 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)


Dari data yang berhasil dikumpulkan tercatat sebanyak 3 (tiga)
orang anggota DPRD Provinsi meninggal dunia, sedangkan anggota DPRD
Kabupaten/Kota yang meninggal adalah sebanyak 1 (satu) orang.

2.5 Administrasi Kependudukan


Jumlah keseluruhan penduduk di Kota Banda Aceh adalah sebesar
4.204.904 orang. Dari jumlah tersebut, penduduk yang meninggal terdapat

144
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

sebanyak 211.873 orang, hilang sebanyak 5.602 orang, luka-luka sebanyak


3.980 orang. Sedangkan pengungsi sampai tanggal 21 Februari 2005
sebesar 495.801 orang.

2.6 Administrasi Wilayah


Bencana yang terjadi telah menyebabkan adanya perubahan batas
administrasi wilayah. Dalam tabel 2 disajikan data yang menggambarkan
telah terjadinya perubahan batas administrasi wilayah, dengan hilang atau
tinggalnya beberapa desa di beberapa Kabupaten/Kota.

Tabel 2: Daftar Desa Yang Tenggelam Akibat Bencana Gelombang Tsunami


Di Kota Banda Aceh
Perkiraan
Sisa
No Kecamatan Desa Luas Tengelam
Luas
% Luas (Ha)
1. Ule Lhee 20 13.5 54
67.5
1 Meuraxa
2. Asoi 10 15.12
Nanggroe 16.8 1.668
1. Tibang 230.8 15 34.62 196.18
2 Syiah Kuala 2. Aleu Naga 242.6 20 48.52 194.08
3. Deah Raya 178.2 10 17.82 160.38
3 Kuta Raja 1. Gampong 150.6 10 15.06 135.54
Jawa
4 Jaya Baru 1. Ulee Pata 19 10 1.9 17.1
Jumlah 905.5 133.088 772.4

III. PENILAIAN KEBUTUHAN DAN PERTIMBANGAN KELAYAKAN

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas dan dalam rangka


pemenuhan harapan masyarakat terhadap berfungsinya kembali
penyelenggaraan pelayanan pemerintah daerah di wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam setelah bencana alam tsunami, pemerintah harus mengambil
langkah-langkah penanganan secara darurat dan tepat sasaran.

145
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3.1 Komponen Strategi


Ada 3 (tiga) komponen utama yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan kapasitas instansi pemerintahan. Pertama, adalah perlu
diidentifikasi terlebih dahulu keadaan yang ada sekarang melalui
assessment tata pemerintahan. Kedua, setelah dilakukan perkiraan
kebutuhan dilanjutkan dengan mengembangkan peningkatan kapasitas.
Peningkatan kapasitas ini mencakup peningkatan yang lebih permanen
(long term) dan yang segera/temporer.
Assessment tata pemerintahan (Governance Assessment)
Assesmen ini perlu dilakukan terlebih dahulu disemua Kabupaten
dan di Provinsi untuk mengetahui kapasitas pemerintahan yang ada
sekarang ini (setelah bencana Tsunami) dan tugas-tugas apa yang sekarang
perlu mereka laksanakan. Dari hasil assessment inilah kita baru dapat
menentukan apa yang perlu dilakukan untuk mendukung instansi tersebut
dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
Melalui assessment tersebut juga akan dapat ditentukan instansi
mana saja yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu untuk mendapatkan
peningkatan kapasitasnya. Karena pada kondisi darurat pasca bencana
tidak mungkin peningkatan kapasitas semua instansi pemerintahan
dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, hanya instansi-
instansi yang melayani kebutuhan darurat korban bencana yang perlu
segera ditingkatkan kapasitasnya dan hanya dengan assessment hal ini
dapat dilakukan.
Adapun tujuan assessment adalah untuk melihat personel (Staffing)
yang ada diinstansi seperti apa kedudukan, tugas serta keahlian mereka
saat ini dan sebelum bencana. Melihat kemampuan mereka menjalankan
pelayanan yang menjadi tugas mereka, paling tidak jika dibandingkan
dengan keadaan sebelum bencana. Mengindentifikasi instansi yang penting
untuk segera mendapatkan dukungan sehingga tidak menghambat
(bottleneck) pelayanan kepada masyarakat.

146
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Peningkatan kapasitas permanen tujuan peningkatan kapasitas


instansi pemerintah tidak hanya bersifat sementara tetapi yang lebih
penting adalah bersifat permanen (untuk jangka waktu yang lebih panjang)
yang dapat memberikan pelayanan optimal setelah masa pembangunan
kembali (reconstruction) selesai. Baik jangka pendek (sementara yang
permanen belum terbangun) maupun jangka panjang perlu dilakukan
sejak sekarang, tetapi pendekatan yang digunakan tentu berbeda.
Untuk kebutuhan yang mendesak sekarang, sangat boleh jadi ada
penyesuaian yang dilakukan sehingga hasilnya bisa dirasakan segera.
Tetapi untuk menciptakan kapasitas yang lebih permanen, tentu ada
sejumlah tahapan yang perlu dilalui dan mungkin tidak segera
memperlihatkan hasil, tetapi akan sangat bermanfaat untuk jangka
panjang, termasuk melihat peraturan yang ada. Meskipun demikian, skala
prioritas tetap dibutuhkan instansi mana dan jenis kapasitas apa yang
sebaiknya disiapkan terlebih dahulu sehingga dapat sejalan dengan
kebutuhan yang ada sekarang maupun yang akan datang.

3.2 Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Meningkatkan Kemampuan


Aparatur Pemerintah Daerah

1. Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia aparatur pemerintahan.

Aspek kemampuan sumber daya ini berkaitan dengan jumlah


(kuantitas) dan kompetensi (kualitas). Menyangkut dengan berkurangnya
jumlah aparatur pemerintahan karena menjadi korban bencana Tsunami
(meninggal dunia) dapat diatasi dengan tindakan pemutasian pegawai antar
bagian dalam satu instansi atau mutasi antar Kabupaten/Kota dalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hasil assessment akan sangat
bermanfaat bagi pemecahan masalah ini. Apabila ternyata dibutuhkan
penambahan pegawai baru, maka hal ini dapat dilakukan dengan
pengangkatan pegawai honorer atau guru-guru bakti menjadi PNS/guru.
Pertimbangannya adalah mereka adalah sudah memiliki kemampuan untuk

147
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

menjalankan tugas sebagai aparaur pemerintahan dan sudah mengenal


lingkungan dimana di ditempatkan.
Aspek kemampuan (kualitas) dapat dilakukan dengan
melaksanakan pendidikan dan pelatihan khusus. Untuk memenuhi
kemampuan optimal atau kompetensi yang dibutuhkan segera, baik dari
instansi/lembaga permanen maupun instansi/lembaga khusus yang
berfungsi melaksanakan fungsi rehabiliatsi dan rekonstruksi maka lembaga
administrasi negara dapat membantu mendesain pelatihan.
Disamping itu juga dapat dilakukan pemanfaatan tenaga-tenaga
ahli terlatih yang selama ini belum dimanfaatkan. Banyak alumni dari
berbagai pelatihan di daerah selama ini belum dipromosikan sesuai
dengan tujuan dan jenjang pelatihan, yang paling penting lagi adalah
pemerintah daerah harus mampu memproyeksikan kebutuhan terhadap
tenaga terlatih untuk kebutuhan pembangunan lebih lanjut dan rencana
pelatihannya.

2. Peningkatan Kemampuan Instansi Atau lembaga Aparatur Pemerintah


Upaya peningkatkan kemampuan dari lembaga permanen yang
berfungsi melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dilakukan dengan penyusunan organisasi yang proporsional
sesuai dengan fungsi dan tugasnya secara tepat (right-sizing).
Upaya peningkatan kemampuan lembaga pelaksana ditujukan untuk

meningkatkan kemampuan mengenai program-program rehabilitasi terhadap

kerusakan/kerugian yang timbul akibat gempa bumi dan Tsunami. Program

peningkatan kemampuan aparatur untuk menangani kegiatan rehabilitasi

harus singkron dengan program rehabilitasi itu sendiri.

148
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3. Perbaikan Prosedur
Upaya perbaikan prosedur ini menyangkut tiga pihak, yaitu pembuat
kebijakan, pelaksana dan masyarakat. Sebuah kebijakan akan menjadi baik
apabila pembuatan kebijakan itu berdasarkan data dan informasi yang
akurat. Kebijakan ini baik yang merupakan kebijakan pelayanan umum
maupun kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi.
Pelaksana akan melakukan kegiatan dengan baik apabila ada motivasi
untuk melakukan kegiatan pelayanan atau kegiatan rehabilitasi dan
pengawasan yang baik. Motivasi timbul apabila ada intentif dan rasa
kebersamaan kepentingan atau keprihatinan terhadap masyarakat.

Pengawasan dapat dilakukan melalui kesempatan dan prosedur yang


terbuka untuk menyampaikan keluhan dari masyarakat. Dengan demikian
kebijakan pelayanan umum dan rehabilitasi selalu terbuka untuk perbaikan.
Masyarakat harus mendapatkan tempat dan kesempatan untuk
menyampaikan keluhan dan informasi dari masyarakat.

3.3. Koordinasi Tentang Pelaksanaan Tugas


Dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, lembaga
permanen atau badan pelaksana harus melakukan koordinasi dan
melibatkan pihak-pihak dalam proses itu. Pihak yang harus terlibat itu
adalah instansi/lembaga permanen, privat sektor (stakeholder) dan civil
society. Hal ini sangat diperukan karena pemerintah tidak akan dapat
melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi tanpa melibatkan mereka.
Lagi pula keterlibatan stekholder dan sivil society tersebut merupakan
jaminan bagi adanya transparancy dan accuntability.

3.4. Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan

Dalam masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat


banyak lembaga-lembaga informal seperti:

149
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

- Imeum Mukim;
- Tuha Peut;
- Panglima Laot.
Lembaga-lembaga tersebut, meskipun informal tetapi masyarakat
memberikan pengakuan yang sangat tinggi. Orang yang menjadi pimpinan
lembaga ini adalah orang memiliki kharisma dan oleh karena itu masyarakat
menjadikannya sebagai panutan. Mereka dengan efektif dapat menjalankan
roda kepemimpinannya.
Sesungguhnya pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah
memformalkan keberadaan lembaga ini. Usaha itu dibuktikan dangan
mengatur eksistensi dari lembaga ini dalam berbagai peraturan di daerah
(Qanun). Dengan demikian lembaga ini sudah menjadi lembaga yang
memiliki dasar hukum yang jelas (legitimate). Akan tetapi dalam
kenyataanya keberadaan lembaga ini tidak berperan sebagaimana yang
diharapkan. Oleh karena itu, harus didorong oleh pemerintah dengan cara
memberikan tempat dan melibatkan lembaga ini dalam proses rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh pasca Tsunami.

3.5. Revisi Terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang


Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Perubahan terhadap undang-undang tersebut mendesak perlu
dilakukan terhadap beberapa pasal yang mengatur materi masing-masing.
Pasal -pasal yang perlu direvisi itu adalah pasal-pasal yang mengatur
tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, pasal tentang
bagi hasil dana minyak dan gas, pasal-pasal yang mengatur tentang
keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta pasal yang
mengatur tentang pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadasung) di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Khusus untuk pasal tenang pemilihan kepala daerah langsung perlu
segera di revisi dan disesuaikan dengan undang-undang yang baru yaitu
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tantang Pemerintahan Daerah, yang

150
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

dalam undang-undang baru ini juga terdapat pengaturan tentang


pemilihan secara langsung kepala daerah. Meskipun undang-undang ini
mengakaui keberadan Undang-undang No 18 Tahun 2001 sebagai acuan
bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, tetap saja perlu dilakukan penyesuaian
segera, revisi juga perlu dilakukan terhadap Qanun tentang Pemilihan
Kepala Daerah yang sudah disahkan yang dibetuk berdasarkan
kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang No. 18 Tahun 2001.
Masyarakat sangat merindukan kehadiran seorang pemimpin yang
jujur, memiliki integritas pribadi yang tinggi. Media yang diperlukan untuk
melahirkan kepemimpinan itu adalah melalui pelaksanaan pemilihan
kepala daerah secara langsung. Supaya pelaksanaan pemilihan kepala
daerah secara langsung di Provisni Nanggroe Aceh Darussalam itu
memiliki dasar hukum yang pasti, maka diperlukan tindakan-tindakan revisi
terhadap Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .

151
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Tabel 1 : Data Kondisi Aparat Di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Bencana Alam Gempa Bumi Dan Tsunami
KORBAN KORBAN KORBAN KORBAN KORBAN KORBAN
PROVINSI APARAT PEMDA PEGAWAI BPN PERSONIL TNI PERSONIL POLRI JAKSA ANGGOTA DPRD
No
KAB./KOTA
M H S JLH M H S JLH M H S JLH M H S JLH M H S JLH M H S JLH
1 KOTA BANDA ACEH 140 1408 4.744 6.292
2 KAB. ACEH SELATAN 14 - 1.303 1.321
3 KAB. BESAR 703 230 6.217 7.150
4 KAB. ACEH UTARA 18 6 6.315 6.339
5 KAB. ACEH BARAT 185 - 3.801 3.986 1
6 KAB. ACEH PIDIE 76 24 7.831 7.931
7 KAB. BIREUN 0 20 6.421 6.441
8 KOTA LHOKSEUMAWE 11 - 1.705 1.716
9 KAB. ACEH JAYA 186 - 1.004 1.190
10 KAB. NAGAN RAYA 7 - 1.909 1.916
11 KAB. ACEH BARAT DAYA 8 - 1.005 1.013
12 KAB. ACEH TIMUR 1 - 5.276 5.277
13 KOTA LANGSA - - 2.131 2.131
14 KAB. ACEH TENGGARA - 1 3.576 3.577
15 KAB. ACEH TENGAH - 7 4.803 4.810
16 KAB. SIMEULUE - 6 1.464 1.470
17 KAB. GAYO LUES 4 - 926 930
18 KAB. ACEH SINGKIL 0 0 1.944 1.944
19 KAB. ACEH TAMIANG 1 - 2.686 2.687
20 KOTA SABANG 48 - 1.399 1.447
21 KAB. BENER MERIAH - 1 1.624 1.625
22 PROVINSI NAD 608 519 5.983 7.110 3
JUMLAH 2.010 2.222 74.071 78.303 40 507 63 303 170 952 105 4

Ket: M : Meninggal; H : Hilang, S : Selamat.


Data Depdagri versi Ferbruari 2005

152
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB VI
POKJA – VI
PENDIDIKAN, SOSIAL BUDAYA & SDM SERTA KESEHATAN

A. SUB BIDANG PENDIDIKAN

I. LATAR BELAKANG

Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah pendidikan Islami,


pendidikan yang berlandaskan Al-Quran dan Al-Hadits, falsafah Pancasila,
UUD45, kebudayaan Aceh dan nilai-nilai universal.

Upaya pembangunan pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


Aceh telah gangguan hebat oleh bencana alam gempa dan tsunami.
Bencana tersebut telah memporak porandakan kehidupan masayarakat Aceh,
khususnya dalam bidang pendidikan. Karena itu, diperlukan upaya yang
serius untuk membangun kembali pendidikan di Aceh secara mendasar,
menyeluruh, terpadu, arif dan berencana. Penyiapan blue print (master plan)
pendidikan, dalam konteks ini karenanya harus dipahami sebagai langkah
konkret bagi pembangunan pendidikan Aceh ke depan kea rah yang lebih
baik.

Tujuan dan sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi pendidikan di Provinsi


Nangroe Aceh Darussalam pasca tsunami hendaknya mempertimbangkan:

1. Pembangunan pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


harus sejalan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
dan Qanun Pendidikan Aceh.
2. Ditujukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi lembaga pendidikan
ke tingkat normal sehingga memungkinkan anak-anak belajar
kembali dan secara terus menerus berupaya mengembangkannya ke
tingkat yang ideal.

153
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3. Tujuan pembangunan pendidikan Aceh adalah melahirkan manusia


yang beriman dan bertaqwa, berilmu pengetahuan dan
berketerampilan, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, mau dan
mampu mengamalkannya untuk kepentingan masyarakat, berakhlak
mulia serta bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, negara
dan agama.
4. Pembangunan pendidikan di Aceh mencakup pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan,
perbaikan/peningkatan manajemen pendidikan dan pemantapan
sistem pendidikan Islami.
5. Pembangunan pendidikan di Aceh secara fisik dan non fisik harus
memenuhi kebutuhan standar minimal penyelenggaraan pendidikan
yang diakui secara internasional.

Cara Penyusunan

Penyusunan blue print pembangunan Pendidikan ini seharusnya


menggunakan metode Synthesis Inquiry and Fit Design. Ia diawali oleh
kajian asumtif dalam kerangka berfikir teoritis tentang kebutuhan minimal
lembaga pendidikan. Pendekatan berikutnya berlandaskan pada kajian
empirik terhadap kondisi obyektif pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam baik sebelum maupun setelah musibah gempabumi dan tsunami
terjadi. Akan tetapi, karena situasi yang dihadapi tidak normal dan sangat
imerjensi maka rangkaian langkah dan kegiatan yang semestinya dilalui
terpaksa ditinggalkan. Pembahasan dalam draft ini difokuskan pada sistem
pendidikan, masalah–masalah yang dihadapi, program yang diusulkan,
strategi yang ditempuh dan sistem pendanaannya.

Secara operasional program kerja yang dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu:

154
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1. Persiapan, pencarian dan penganalisisan kelengkapan data pendukung


untuk kegiatan penyusunan draft blue print pendidikan Kegiatan-kegiatan di
atas berlandaskan pada prinsip partisipatoris.
2. Penyusunan draft blue print rehabilitasi dan rekonstruksi pendidikan Aceh .
3. Sosialisasi draft blue print pendidikan untuk penajaman draft sekaligus
untuk memperoleh legitimasi publik.
4. Mengadakan uji publik bagi legitimasi untuk dijadikannya sebagai master
plan pendidikan.
5. Penetapan Qanun tentang master plan pendidikan.

Tantangan:

Penyusunan blue print pembangunan Pendidikan ini seharusnya


menggunakan metode Synthesis Inquiry and Fit Design. Ia diawali oleh
kajian asumtif dalam kerangka berfikir teoritis tentang kebutuhan minimal
lembaga pendidikan. Pendekatan berikutnya berlandaskan pada kajian
empirik terhadap kondisi obyektif pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam baik sebelum maupun setelah musibah gempabumi dan tsunami
terjadi. Akan tetapi, karena situasi yang dihadapi tidak normal dan sangat
imajiner maka rangkaian langkah/tahapan penusunan draft yang semestinya
dilalui terpaksa ditinggalkan.

Tantangan lain yang dihadapi dalam penyusunan draft blue print ini adalah
dalam hal koordinasi. Blue print pembangunan Aceh kembali khususnya
dalam bidang pendidikan melibatkan banyak pihak, waktu yang tersedia
sangat singkat, problematika yang dihadapi beserta harapan yang
digantungkan kepada tim penyusun sangat besar sehingga untuk
menampung semua aspirasi menghadapi kendala koordinatif dan kendala
dalam uji publik.

155
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN

Realiata menunjukkan bahwa pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam sebelum gempa dan gelombang tsunami pun memang lemah.
Indikasi lemahnya pendidikan di Aceh antara lain ditandai oleh rendahnya
mutu pendidikan dan kurangnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat, pemerataan dan keadilan dalam pelayanan pendidikan belum
mampu diwujudkan. Adapun variable-variabel penting yang ikut
mempengaruhi lemahnya pendidikan di Aceh ini adalah faktor guru yang
secara kualitas dan kuantitas masih kurang, sarana dan parasarana
pendidikan yang tidak memadai, manajemen pendidikan lemah, motivasi dan
semangat belajar siswa rendah, koordinasi antar pihak terkait lemah, kondisi
social-ekonomi keluarga rendah dan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan amat kurang. Kondisi yang tidak kondusif
demikian semakin memburuk sebagai efek dari konflik di Aceh yang
berkepanjangan.

Gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 desember 2004 telah
menghancur-luluhkan sarana dan prasarana pendidikan di sejumlah daerah
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banyak guru dan siswa yang
meninggal, hilang dan mengalami trauma hebat. Sendi-sendi ekonomi
masyarakat hancur, tempat tinggal siswa, guru dan masyarakat hancur,
hilang dan rusak. Semua itu berdampak amat luas dalam bidang pendidikan,
sehingga proses pembelajaran tidak berlangsung sebagai mana mestinya
bahkan dengan terpaksa harus terhenti.

Dalam table berikut disajikan sebagian data tentang situasi pendidikan di


Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebelum dan sesudah tsunami.

156
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

III. KEBUTUHAN PROGRAM

Program rehabilitasi dan rekonstruksi pendidikan Aceh mencakup:


1. Pembangunan gedung, sarana dan prasarana pendidikan untuk semua jenis,
jenjang dan jalur pendidikan,termasuk Dayah, berlandaskan kepada
standard yang telah ditetapkan, dengan tidak mengulangi kembali
kekekeliruan yang telah dilakukan pada masa-masa lalu.
2. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka pelayanan
pendidikan di tempat-tempat pengungsian dan di masa tanggap
darurat.
3. Pemberian beasiswa, terutama kepada anak-anak korban dan siswa anak
orang miskin dan tidak mampu.
4. Penyempurnaan system pendidikan, dan kurikulum pendidikan sehingga
mendukung pelaksanaan aktivitas pendidikan dalam rangka
perwujudan dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
5. Pengadaan guru-guru bantu, baik untuk masa tanggap darurat maupun
untuk memelihara kelangsungan pendidikan di Aceh pada umumnya.
6. Peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru.
7. Pembenahan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) untuk
melahirkan calon-calon guru berkualitas dan professional.
8. Pemberdayaan dan peningkatan program-program Pendidikan Luar Sekolah
dan Pendidikan Dalam Keluarga, dan Masyarakat, yang difokuskan
kepada program pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pendidikan
nilai.
9. Mengupayakan santunan kepada keluarga guru/karyawan di lembaga-
lembaga pendidikan yang meninggal/hilang akibat tsunami.

157
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

IV. PRINSIP-PRINSIP DASAR

Pembangunan Pendidikan di Propinsi Nanggro Aceh Darussalam pasca


Tsunami haruslah berdasarkan prinsip-prinsip pokok sbb:

• Islami
• Komprehensif
• Sistemik dan Terpadu
• Berkesinambungan
• Fleksibel
• Skala perioritas
• Akuntabel dan transparan
• Berwawasan ke depan
• Kesetaraan (gender)
• Berpusat pada masyarakat

V. STRATEGI DAN USULAN PROGRAM


Rehabilitasi dan rekonstruksi pendidikan di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam haruslah mempertimbangkan strategi dan kebijakan-kebijakan
berikut:

a. Dilaksanakan secara simultan dalam tiga tahapan, yaitu tahap


emergensi, tahap rehabilitasi dan tahap rekonstruksi.
b. Dilaksanakan dengan kerjasama yang terkordinir, transparan,
akuntabel dan partisipatip.
c. Memberdayakan tenaga lokal semaksimal mungkin, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring, sekaligus memberi
peluang yang luas kepada institusi/pihak lain untuk berpartisipasi.

158
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

d. Memberi perhatian yang besar kepada pembenahan Lembaga


Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK ) dan peningkatan mutu dan
profesionalisme guru.
e. Mengembangkan dan memberdayakan pendidikan luar sekolah
sebagai pendidikan alternatif.
f. Pengadaan sarana, prasarana dan dana oendukung yang cukup
sehingga seluruh aktivitas pendidikan berjalan dengan baik dan lancar.
g. Untuk memaksimalkan penghimpunan dana yang sudah dijanjikan
(pledge) oleh donator di perlukan kebijakan yang mengatur standard,
norma-norma dan proses penggunaan dana pendidikan yang
akuntabel dan transparan.
h. Memberdayakan masyarakat khususnya korban gempa tsunami untuk
berperan aktif dalam pembangunan pendidikan.
i. Perlu mempertimbangkan pemenuhan hak dan akses pendidikan bagi
anak-anak cacat (difabel) pada sekolah-sekolah umum.
j. Mencakup semua jenis dan jenjang pendidikan, termasuk pendidikan
dayah.
k. Rehabilitasi dan rekonstruksi pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dilaksanakan oleh sebuah badan khusus yang sangat
kredibel di mata masyarakat, pemerintah daearah, pemerintah pusat,
donatur dan dunia internasional.
l. Badan tersebut melakukan kordinasi dengan semua unsur terkait
dengan menggunakan prinsip-prinsip pembangunan partisipatoris.
m. Badan tersebut melaksanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi
dengan mengikuti standard yang telah ditetapkan

VI. ESTIMASI PENDANAAN

Rehabilitasi dan rekonstruksi pendidikan Aceh secara mendasar dan


menyeluruh membutuhkan dana yang sangat besar. Dana tersebut
bersumber dari APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi, APBN, Donatur.

159
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

B. SUB BIDANG SOSIAL BUDAYA


I. LATAR BELAKANG
Bahwa nilai sebuah bangsa atau suku bangsa sangat ditentukan oleh budaya
yang dianutnya. Budaya yang baik akan melahirkan ethos yang baik. Ethos
yang baik akan melahirkan karakter bangsa yang baik, dan produktif
menurut kapasitasnya masing-masing.
Pembangunan budaya harus ditunjang oleh tiga pilar: rumah tangga,
lembaga pendidikan dan masyarakat. Dengan demikian maka, pembangunan
budaya harus dimulai di rumah tangga, disempurnakan di lembaga
pendidikan, dan difungsikan di masyarakat.
Sayangnya, sejauh ini, pembangunan budaya secara bersahaja dan terpadu
belum mendapat perhatian khusus dalam sistim negara kita. Merebaknya
kejahatan dan pelanggaran, meluasnya praktik korupsi, buruknya pelayanan
birokrasi adalah bukti bahwa pembinaan budaya bangsa belum berhasil.
Musibah gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004
telah menelan korban jiwa dan menghancurkan lingkungan hidup manusia
yang terbesar dalam sejarah manusia.

Maksud dan Tujuan


Pembangunan budaya adalah pembangunan manusia seutuhnya sehingga ia
bisa menjadi aset dan investasi bagi masyarakat dan bangsa. Dengan
demikian maka manusia sebagai sentral budaya akan melahirkan karya
budaya dalam berbagai bentuknya, baik fisik maupun non fisik.
Pembangunan manusia dimaksudkan agar penduduk Aceh, terutama yang
tertimpa musibah, baik sebagai pribadi atau masyarakat dapat berfungsi
kembali dan berkembang dengan baik untuk memenuhi kebutuhan diri dan
keluarganya serta juga dapat berkontrusi kepada masyarakat dan bangsa,
yang selanjutnya dapat berkontribusi kepada kedamaian dunia.

160
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Rehabilitasi pembangunan sosial budaya bertujuan mengembalikan lagi


kehidupan penduduk Aceh, terutama yang tertimba musibah, seraya
mengembangkannya lagi ke taraf yang lebih baik, baik sebagai pribadi atau
kelompok masyarakat

Sasaran rehabilitasi sosial budaya


- perorangan
- keluarga
- kelompok masyarakat
- lembaga-lembaga sosial
- sarana penunjang budaya

Strategi
- merevitalisasi potensi perorangan, keluarga dan masyarakat
- - merevitalisasi nilai-nilai budaya, tradisi, ksenian ke arah yang lebih
positif
- Mengembangkan sistim pewarisan budaya melalui pendidikan yang
islami
- Mengutamakan pendidikan nilai dan moral di samping kecerdasan
dan ketrampilan
- Menempatkan orang-orang, petugas, dan pejabat yang jujur dan
penuh dedikasi untuk menjalankan tugas-tugas di atas

II. PENILAIAN KERUSAKAN DAN KERUGIAN


1. non materil
124.505 jiwa yang meninggal
114921 jiwa yang hilang
3431 orang yang perlu perawatan jiwa
15.731 orang yang perlu pengobatan fisik
443.200 orang yang menjadi pengungsi
Runtuhnya rasa percaya diri perorangan dan masyarakat

161
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Terganggunya fungsi sosial, budaya dan agama yang telah berjalan


selama ini

2. Materil
Hilang dan rusaknya sumber mata pencaharian masyarakat
30.242 unit rumah yang runtuh total atau rusak
34 buah panti asuhan yang rusak
4 buah makam palawan rusak
2700 unit masjid/mushalla/meunasah rusak
169 unit dayah/pesantren rusak/runtuh
8 unit gereja rusak
2 unit vihara/pura rusak

Kondisi sosial budaya pasca tsunami sangatlah memprihatinkan. Ketika


sejumlah orang tercabut dari lingkungannya dan tinggal di tempat-
tempat penampungan atau menumpang di rumah keluarga terjadi hal-
hal sebagai berikut:
- kesedihan yang sangat dalam dialami oleh yang langsung tertimpa
musibah, baik karena kehilangan keluarga dan/atau harta benda
- terganggunya proses belajar mengajar
- terganggunya kegiatan keagamaan secara normal
- terganggunya kegiatan sosial
- Goncangnya jiwa sejumlah orang bahkan sampai mengalami
gangguan yang serius
- Tidak produktifnya sejumlah orang sebagaimana mestinya
- Tidak atau kurang berfungnya sejumlah kantor/lembaga pelayanan
umum atau swasta karena sejumlah karyawannya wafat/hilang atau
trauma.
- Berkurangnya rasa sosial dan setia kawan anggota masyarakat,
karena setiap orang mengalami musibah yang relatif hampir sama

162
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

- Bergesernya nilai-nilai standar dan moral masyarakat, terutama di


kalangan yang hidup dalam tenda-tenda dan barak-barak.
- Berkurangnya gizi terutama bagi anak-anak, karena terbatasnya
dukungan
- Menurunnya produktivitas perorangan atau masyarakat
- Menurunnya kegiatan intelektual akademisi
- Bertambahnya jumlah perorangan yang makin kurang kreatif dan
hanya menunggu belas kasihan

III. PENILAIAN KEBUTUHAN


Apa yang sangat dibutuhkan masyarakat saat ini, terutama yang
tercabut dari lingkungannya adalah:
- masing-masing orang atau kelompok masyarakat untuk kembali ke
habitatnya
- penyediaan/perbaikan sarana tempat tinggal sehingga layak
ditempati
- penyediaan/rehabilitasi sarana jalan, listrik dan air bersih
- pembangunan dan perbaikan sarana pendidikan
- pembangunan dan perbaikan sarana sosial budaya, seperti bale
gampong, meunasah, kantor keuchik/lurah, masjid, puskesmas,
pasar, rumah sekolah dsb.
- Pembinaan moralitas perorangan dan masyarakat
- Pendidikan agama yang memadai
- Pelatihan ketrampilan
- Penyadaran masyarakat pada pentingnya gizi dan kesehatan ibu
hamil dan balita
- Modal dan sarana kerja

IV. PERTIMBANGAN KELAYAKAN


Dari pengamatan lapangan dimaklumi bahwa apa yang sangat
dibutuhkan masyarakat (tercantum pada IV di atas) adalah sesuatu

163
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

yang sangat layak dan mendasar. Kalau itu semua dapat dipenuhi,
maka hasil yang akan diharapkan adalah:
- stabilitas perorangan dan kelompok masyarakat akan cepat
pulih
- fungsi-fungsi sosial akan berjalan normal kembali
- lembaga-lembaga pemerintah dan swasta akan dapat
dimaksimalkan perannya
- peroraangan dan kelompok masyarakat yang selama ini
konsumptif akan produktif kembali
- stabilitas sosial, ekonomi dan politik masyarakat akan
berangsur pulih

V. STRATEGI DAN USULAN PROGRAM


Program rehabilitasi ini hanya akan berhasil kalau dilakukan secara
lintas sektoral dan terpadu. Pelaksananya dapat berupa pemerintah,
swasta, masyarakat ataupun donor asing. Namun pelaksanaannya
haruslah berada dalam satu kordinasi yang sinergis yang berada pada
satu badan setingkat kementrian negara dan dipimpin oleh orang yang
memahami, mampu, terpercaya dan mempunya akses yang luas,
termasuk ke donor luar.

Program yang diusulkan sebagai berikut:


a. Pengembalian orang-orang atau kelompok ke habitatnya
b. penyediaan/perbaikan sarana tempat tinggal sehingga layak
ditempati
c. penyediaan/rehabilitasi sarana jalan, listrik dan air bersih
d. pembangunan dan perbaikan sarana pendidikan
e. pembangunan dan perbaikan sarana sosial budaya, seperti
bale gampong, meunasah, kantor keuchik/lurah, masjid,
puskesmas, pasar, rumah sekolah dsb.
f. Pembinaan moralitas perorangan dan masyarakat

164
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

g. Pendidikan agama yang memadai


h. Pelatihan ketrampilan sehingga mampu bersaing dalam
lapangan kerja
i. Penyadaran masyarakat pada pentingnya gizi dan kesehatan
ibu hamil dan balita
j. Pemberian modal dan sarana kerja bagi yang butuh dan
mampu mengelolanya
Lembaga donor yang akan terlibat ada yang dalam negeri dan ada yang
asing, antara lain:

a. Bazis pusat dan daerah


b. Indonesia Peduli
c. Organisasi Muhammadiyah
d. PMI
e. WALUBI
f. Global Peace, Malaysia
g. Turkish Foundation
h. WHO
i. UNICEF
j. IOM
k. UNHCR
l. FAO
m. German Aid
n. USAID
o. Australia Aid
p. European Union

V. ESTIMASI PENDANAAN
Sebagaimana halnya usulan program, maka pendanaan untuk bidang
sosial budaya juga terkait dengan bidang lain, seperti pendidikan,

165
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

kesehatan, dan agama. Khusus bidang sosial budaya dapat dirincikan


sebagai berikut:

a. Pengembalian 450 ribu pengungsi ke tempat tinggalnya


b. penyediaan/perbaikan sarana tempat tinggal sehingga layak
ditempati
c. Rehabilitasi sarana jalan,
d. Penyambungan fasilitas listrik
e. Penyediaan dan rehabilitasi fasilitas air bersih
f. pembangunan dan perbaikan sarana pendidikan
g. pembangunan dan perbaikan sarana sosial budaya, seperti
bale gampong, meunasah, kantor keuchik/lurah, masjid,
puskesmas, pasar, rumah sekolah dsb.
h. Program Pembinaan agama dan moralitas masyarakat
i. Pelatihan ketrampilan.
j. Program Penyadaran masyarakat pada pentingnya gizi dan
kesehatan ibu hamil dan balita
k. Pemberian modal dan sarana kerja

166
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

C. SUB BUDAYA
I. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya yang dinamakan etnis Aceh itu berasal dari bermacam ras
dan suku bangsa. Artinya yang menjadikan apa yang dikatakan sekarang
orang Aceh adalah campuran sejumlah pendatang baik dari luar Nusantara
maupun dari dalam Nusantara itu sendiri. Percampuran itu tentu saja terjadi
dengan masyarakat asli yang telah berada di bumi Aceh lebih dahulu. 3
Persentase campuran tentu tidah mudah melacaknya. 4 Paling kurang ia
dapat dilihat dari sub-budaya yang masih tersisa dan postur penampilan
kelompok tertentu. Dari segi bahasa (Aceh) dapat dilihat bahwa unsur
Melayu, Arab, Parsi, India, Campa, Cina, bahkan vocabulary Eropa ada di
dalamnya. Dari segi makanan dapat dirasa, adanya unsur, Melayu, Cina,
Keling, Batak, Minang, dll. Dari segi warna kulit ada yang hitam pekat, yang
sawo matang, sampai yang putih. Dari segi rambut, ada yang lurus,
setengah keriting dan yang sangat keriting. Dari postur tubuh ada yang kecil
mungil sampai yang tinggi besar. Dari segi pakaian, senjata, alat dan jenis
kesenian dan lain-lainnya, tutur kata dapat dibedakan dari mana asal
usulnya, tentu dengan pengkajian yang bersahaja.Ini semua menjelaskan
kepada kita bahwa yang disebut dengan orang Aceh berasal dari berbagai
keturunan anak manusia.

Berbilangnya asal muasal masyarakat Aceh cendrung telah menjadikan ia


lebih dinamis dibanding dari masyarakat yang lebih homogen. Dengan letak
geografis yang sangat strategis di penghujung utara pulau Sumatera dan di
persimpangan jalur yang menghubungkan antar benua menjadikan
percampuran ini seolah tidak pernah berhenti. Dengan demikian maka apa
yang menjadi budaya orang Aceh-pun berkembang sepanjang zaman.

3
Sangat mungkin orang Aceh yang telah lebih dahulupun berasal dari pendatang juga.
4
Untuk memproleh data yang lebih sahih tentu perlu kajian antropologis yang memadai.

167
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Budaya ini terbentuk dari unsur-unsur yang paling “primitive” sampai dengan
yang kontemporer. Di dalamnya terakomodir unsur-unsur yang berasal dari
peninggalan leluhur, tradisi, agama, peradatan dan sentuhan dengan orang
luar.
Dari sekian elemen yang menjadikan budaya Aceh: apakah itu yang berasal
dari unsur agama, adat istiadat, hubungan dengan unsure asing, maka
unsur agama Islam telah menjadikan budaya Aceh mencapai kulminasinya.
Artinya unsur primitive, Hindu, Budha, dan persentuhan dengan bangsa-
bangsa dan suku lain menjadi “final” dan mencapai bentuknya yang
sekarang setelah agama Islam mengakar di Aceh. Oleh karena itu apapun
pengaruh yang datang kemudian, baik itu Kristen, Katolik, atau ajaran
apapun tidak menjadikan budaya Aceh berubah bentuk, walau dia
mengalami pasang surut. Pola dan warna budaya itulah yang akan dijelaskan
di bawah ini untuk menjadi bahan pertimbangan perencanaan pembangunan
masyarakat dan negeri Aceh ke depan.

Budaya Aceh pada dasarnya adalah hasil rekayasa para petinggi kerajaan,
elit masyarakat, orang kaya, dan ‘ulama. Prilaku merekalah yang sebenarnya
sebahagian diterima dan kemudian diikuti oleh masyarakat. Namun dalam
perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari nilai-nilai yang telah berlaku
itu, baik ia bersumber dari agama, kebiasaan, atau interaksi dengan orang
lain. Untuk tetap konsistennya pola kehidupan bersama itu perlu penjagaan
yang kuat. Artinya bahwa langgengnya perjalanan budaya harus ada
orang/orang-orang yang terus bersikap dan memberikan tauladan yang baik
kepada masyarakat. Pembudayaan ini dapat disebut dengan ethos atau
“ethosisasi.” Adanya usaha meng ethoskan ini akan menjadikan anggota
masyarakat sadar akan pola hidup yang “wajar,” atau “baik” yang harus
dijalani. Untuk ethosisasi ini perlu media utama, antara lain:
1. Ketauladanan para pemimpin: eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh,
ulama, guru dan cendekia,
2. penegakan aturan hukum, atau sistim dan kebijakan yang pasti,

168
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3. penyelenggaraan pendidikan yang baik,


4. ketersediaan sarana dan dana yang memadai dan layak.

Tanpa ini semua maka apa yang dimaksudkan dengan pembinaan sosial
budaya masyarakat untuk menghasilkan sumber daya manusia (sdm) yang
memadai tidak akan pernah tercapai.

A. Pola realisasi budaya Aceh dalam kehidupan sehari-hari


Budaya Aceh baru dapat diindrai ketika ia teraktualisasi dalam beberapa
aspek kehidupan, antara lain: pendidikan, kehidupan rumah tangga,
lapangan kerja, keberagamaan, makan dan makanan, kesehatan,
peradatan, hubungan antar kerabat, hubungan antar gender, khanduri, dan
hubungan dengan orang luar.

I. Pendidikan
Pada dasarnya masyarakat Aceh sangat mementingkan pendidikan.
Lembaga pendidikan yang mulanya bernama dayah kemudian madrasah
dan selanjutnya sekolah itu menjadi bahagian dari kehidupan
masyarakat. Lembaga guru adalah sakral.5 Ini berarti bahwa kehidupan
anak Aceh harus melalui lembaga pendidikan dan peran guru dapat
menggantikan orang tua, bahkan dalam beberapa hal lebih dari itu.6
Ketika lembaga pendidikan tidak ada di kampungnya maka sang anak
akan dikirim untuk “meudagang,” yang berarti merantau ke tempat
yang jauh khusus untuk mencari ilmu, khususnya ilmu agama. Belajar
harus tuntas, artinya selesai sampai “jenjang” tertentu. Bagi yang tidak

5
Banyak sekali pepatah dan pantun yang meng-elu-elukan kemuliaan dan faedah berguru dan guru,
antara lain; Ta’ek u gle tajak koh kayee panyang ta koh lhee paneuk koh dua. Meuhan tapateh nasihat guree
akhee meuteumee apui nuraka.” “Ta‘zhim keu guree meuteumee ijazah, ta ‘zhim keu nangmBah meuteumee
areuta.”
6
Ketika orang tua menyerahkan anaknya untuk dididik pada sang guru maka kalimat yang
diucapkan ketika penyerahan kira-kira: “meunyo mantong udep teungku peurunoe, menyo kam mate teungku
peuleumah jrat.” Artinya ialah bahwa kalau seandainya sang muirid meninggal dunia dalam tangan guru
tidak akan dipersoalkan oleh orang tuanya.

169
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

menyelesaikannya, apapun alasannya, akan merasa terhina, atau


sekurangnya berani tampil dalam masyarakat.7

II. Pola mendidik anak dalam keluarga


Pendidikan anak dalam keluarga lebih banyak dilakukan oleh ibu. Ibulah
yang selalu berada di rumah bersama anak-anak. Sedangkan ayah
biasanya berada di luar untuk mencari nafkah. Sehaingga ada nuansa
hubungan anak dengan ayah agak renggang, terutama anak laki-laki.
Adakalanya anak-anak kalau mau berkomunikasi dengan orang tuanya
harus lewat ibunya. Ada gaya “serem” ayah di mata sang anak. Anak-
anak jarang makan bersama orang tuanya. Bahkan adakalanya suami
dan isteri tidak makan bersama, kecuali ketika baru jadi pengantin.

Tidak intimnya hubungan anak dengan orang tua (terutama ayah) telah
menimbulkan dampak tersendiri. Dalam hal begini maka, biasanya
profesi ayah tidak diikuti oleh anak. Kalau ayahnya guru, atau teungku
maka sang anak cendrung melanjutkan hidup dalam profesi lain, atau
kecuali lingkungannya yang tidak memungkinkan berbuat lain seperti
petamnak ikan atau petani. Kalau ayahnya toke (pedagang) maka sang
anak akan berjiwa royal, konsumtif. Makanya sangat jarang dayah di
Aceh yang berusia panjang, atau perusahaan orang Aceh yang tahan
lama, karena keturunan langsung biasanya sudah beralih profesi.

Rasanya tidak banyak waktu khusus di mana ayah dapat menurunkan


legasinya kepada anak-anak nya. Kalaupun ada sepertinya sambilan
saja. Kalau ada pertengkaran antara ayah dengan ibu maka sang anak
biasanya akan memihak ibunya, lebih-lebih anak laki-laki.

7
Ada kata petuah: ulok-ulok raya badan akai tan ubee pureh, dak na jibeut meu aleuham, hana
jipham meusilapeh.”

170
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

III. Pekerjaan/mencari nafkah/lapangan kerja


Secara tradisional maka lapangan kerja utama orang Aceh adalah
bertani, mencari ikan (di laut dan di darat), berternak, bertukang,
mencari rotan dan berdagang.
Pekerjaan pokok orang Aceh adalah bertani dan mencari ikan. Pertanian
dapat terjadi di sawah, di ladang, dan di bukit-bukit.8 Pertanian harus
didukung oleh ternak sapi dan kerbau, sebagai tenaga pembajak yang
kemudian juga berkembang sebagai komoditi dagang. Mencari ikan ada
dua cara menjadi nelayan (pelaut) di sungai, dan kemudian berkembang
dengan peternakan ikan di tebat-tebat. Hasilnyapun beragam, dari padi,
lada, cengkeh, pala, ikan bandeng, udang, sampai sapi dan kerbau.
Kecuali padi maka hasil pertanian/peternakan orang Aceh itu
diutamakan yang laku di pasar bahkan di pasar dunia.9 Dengan orientasi
ke pasar, maka orang Acehpun terlatih untuk jadi pedagang (mugee).
Medan, Pulo Pinang, Pulau Keuleumbu (Colombo) bahkan Istanbul
sudah dikenal orang Aceh sejak dulu.

IV. Pola Keberagamaan


‘Aqidah orang Aceh adalah Islam dengan pemahaman teologis yang
lebih dekat kepada jabariyah. Artinya adalah bahwa Tuhanlah yang
maha Kuasa dan manusia hanya melakoni apa yang sudah
ditetapkanNya. Peran manusia sangat terbatas dan peran Tuhan adalah
mutlaq. Apa yang terjadi pada manusia itu semua ada dalam ketetapan
Tuhan yang azali tanpa amandemen.
Pemahaman ‘aqidah ini sangat kuatnya, bahkan ada yang menyebutnya
fanataik, sehingga ia telah menjadi identitas orang Aceh. Bahwa yang
disebut Aceh adalah Islam, dan Islam adalah ruh orang Aceh. Tidak

8
“panghulee buet meugoe, pruet troe aneuk na.”
9
“Bek ‘oh trok kapai tapula lada.”

171
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

terbayangkan kalau ada orang Aceh yang bukan Islam.10 Oleh karena
itu orang Aceh akan bersedia mati membela diri kalau ia dikatakan
“kafir,” dan kata sejenisnya, walaupun ia tidak menjalankan ibadat,
seperti salat, puasa, dlsb. sesuai dengan tuntunan fiqh.

Amalan fiqih orang Aceh berdasarkan mazhab al-Syafi‘iyyah. Artinya


‘amalan itu mengikuti pemahaman pengikut imam Syafi‘i dan tidak
harus sama dengan Imam al-Syafi‘i itu sendiri. Pola ini tentu saja ada
kaitan dengan sejarah penyebaran Islam waktu dulu. Memang ada
keyakinan sejarah bahwa Islam itu datang ke Aceh dibawa oleh ‘ulama-
‘ulama yang datang dari Gujarat, India yang bermazhab Syafi‘i.

Dalam hal ‘amalan ‘ibadat orang Aceh tidak ketat. Mengambil kasus
puasa dan shalat maka dapat diamati bahwa yang meninggalkan ibadah
puasa lebih banyak laki-laki dan yang meninggalkan shalat lebih banyak
perempuan.11 Kalau masa kini di waktu shalat banyak warung masih
buka nampaknya ketekunan amal ‘ubudiyah orang Aceh tambah longgar.

Amalan agama orang Aceh itulah yang tercermin dalam dalam


peradatan. Makanya orang Aceh mengatakan: “adat ngon hukom lagee
zat ngon sifeut.” Artinya Adat Aceh adalah penjabaran agama dalam
prilaku se hari-hari masyarakat Aceh. Sayangnya zakat, puasa, haji,
shalat, adalah inti agama bukan menjadi amalan sehari-hari orang Aceh,
sehingga sering terabaikan. Cinta kepada Nabi Muhammad
direalisasikan dalam adapt khanduri mawlud, bukan dalam mengikuti
amaran Nabi.

10
Walau mungkin saja sekarang ini ada satu, dua orang Aceh yang berpindah agama.
11
Statemen ini mengikuti sebuah survey di sebuah kabupaten di Aceh lebih sepuiluh tahun yang lalu.

172
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

V. Pola Makan dan Makanan


Makanan orang Aceh cenderaung mengutamakan dan mengandalkan
karbo hidrat. Untuk ini maka nasi adalah makanan pokok. Di samping
itu baru didukung oleh ubi, ketela, sagu, boh gadong, sampai boh
janeng (masa paceklik). Ikan dan sayur dianggap penting tapi sekundair.
Ikan dan sayur dimakan sebagai pendamping untuk menselerakan
makan nasi.12 Ia tidak dimakan secara berlebihna. Kenyang nasilah yang
dianggap puncak makanan. Makanan lain dianggap pelengkap saja.
Daging dimakan (secara formal) setahun 3 kali, ma’meugang puasa,
ma’meugang uroe raya puasa dan ma’meugang uroe raya haji.13 Di luar
itu daging hanya ada kalau kebetulan ada khanduri orang kaya, baik
khanduri udeep atau khanduri matee.
Penganan umumnya dibuat yang tahan lama. Dodoi, wajeb, meuseukat,
haluwa dibuat dengan sangat manis untuk tahan berbulan. Bahkan kueh
loyang, keukarah, bungong pala, dapat bertahan berhari-hari dan
dibawa ke tempat yang jauh.
Ikan dan dagingpun sering dibuat tahan lama. Keumamah (dari tuna,
atau tongkol), dan sejumlah ikan sering dikeringkan untuk tahan lama.
Untuk tahan lama daging itu dikeringkan dan/atau dimasak khusus (sie
balu) dan masak pakai gapah supaya tahan lama berbulan.
Tumbuhnyan warung-warung (beng, keude klep, kok, panteu) pada
awalnya untuk mendukung para pekerja laki-laki yang jauh dari rumah.
Misalnya mereka membuka seuneubok baru, ladang baru, tebat, melaut.

12
Bahkan kepada anak-anak tidak sangat digalakkan makan ikan secara berlebihan. Bahkan sering
dikatakan, “jangan banyak makan ikan nanti cacingan.”
13
Makan daging tiga kali ini sudah dianggap seperti tradisi “sakral.” Siapapun kepala keluarga akan
berusaha membawa pulang daging ke rumah di pagi hari-hari tersebut. Akan merasa sangat ‘aib bagi yang
tidak mampu melakukannya.

173
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Yang paling utama dari fungsi warung ini adalah untuk minum/makan
pagi para pekerja tersebut.14
Pola makan orang Aceh sangat terikat dengan nasi oriented menu.
Bahwa tiga kali makan satu hari sangat dipentingkan, dan makanan
pokok nasi. Di ketiga waktu ini kalau belum makan nasi maka dianggap
seperti belum makan. Pada makan pagi ada sedikit variasi. Orang laki-
laki ada yang sarapan di warung kopi, dengan segala variasi
pelengkapnya.
Perihal minum, pada umumnya orang Aceh kurang minum. Artinya di
luar momen tertentu seperti waktu makan pagi, siang, malam, orang
Aceh tidak sering minum. Kebutuhan air minum minimum 2 liter perhari
sangat sedikit terpenuhi. Minuman plus adalah kopi. Orang Aceh sedikit
yang minum teh. Laki-laki diindentikkan dengan minum kopi. Minum teh
umumnya untuk anak-anak dan perempuan. Adanya warung kopi di
pinggir jalan seolah khusus untuk menunjang selera laki-laki untuk
mengopi setiap hari terutama pagi. Banyknya warong kopi telah
menimbulkan dampak baru, waktu senggang laki-laki Aceh terhabiskan
di warung kopi.

Selain itu rokok adalah santapan orang laki-laki Aceh bahkan tidak ada
pantangan masyarakat, asalkan ia sudah dewasa dan sanggup mencari
nafkah sendiri.15 Seolah image kejantanan itu ditandai dengan merokok.
Bagi anak-anak ada larangan merokok (dulunya) dari masyarakat.
Sayangnya selama ini pantangan ini sudah sangat mengendur, bahkan
hampir tidak ada lagi. Larangan orang tua sang anak sangat tidak
berarti, karena kehidupan anak lebih banyak di luar rumah.

14
Misalnya pelaut harus turun ke laut jam 5 pagi. Maka warung kopi dan penganan (biasanya bu
leukat, pulot) yang terbuat dari beras ketan, akan sangat membantu mereka dalam sarapan sebelum berangkat
kerja dan bisa tahan sampai siang.
15
Ketika sang ibu melarang anak laki-lakinya merokok mengatakan: “Hai aneuk bek ka meurukok,
luka cabok tutong ija,” sang anak akan menjawaaab: “pakon hai ma bek lon meurukok, tanoh lon catok
bakong lon pula.”

174
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

VI. Kesehatan, gizi, dan sanitasi


Penyakit yang sangat ditakuti orang Aceh adalah busung lapar dan
malaria. Para orang tua mengatakan: “yang penting anak saya kenyang
perutnnya dan tidak digigit nyamuk.16” Penyakit puru, teurijoe (eksim
kronis), kurap tidak jadi masalah. Bahkan pada suatu saat dulu,
(ber)puru dianggap sebagai bahagian dari keharusan hidup (rite of
passage), yang harus dialami oleh seseorang sebagai pertanda
menjelang dewasa.

Obat utama orang Aceh adalah herbal, khususnya peundang. Air


rebusan peundang (sejenis akar kayu gunung) diberikan kepada orang
yang sudah sakit kronis, dengan diet khusus yang ketat. Rajah adalah
obat ”generik” yang diberlakukan kepada pasien mana saja. Herbal lain
dikenal dengan ma’jun, ramuan daun 44, jadam, dan madu lebah.

Pola makanan yang kurag variatif membuat kesehatan masyarakat Aceh


juga kurang prima. Ketika kurang minum akan menimbulkan dampak
juga. Mau banyak minum tidak mudah mendapatkan tempat buang air
yang layak.

Sanitasi masyarakat Aceh sangat tidak memadai. Pembuangan air ke


luar rumah sangat sembangarangan, sehingga menimbulkan “aden.”
Tempat pembuangan itu sendiri disebut leubeung. Leubeung dan aden
berkonotasi kotor yang sangat luar biasa. Tapi seolah itu telah menjadi
bahagian dari rumah.

16
Takut jangan busung lapar maka sangat ditekankan agar makan nasi banyak-banyak; untuk tidak
kena malaria usahakan jangan digigit nyamuk pasang kelambu atau menghidupkan perapian (sale) di bawah
rumah, rangkang, atau di bawah tempat tidur.

175
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Masalah kakus lebih parah lagi. Fungsi kakus pada mulanya dilakukan di
belukar dekat rumah, sungai/selokan yang air mengalir, dan tepi pantai
(bagi yang tinggalnya dekat pantai. Kalau ada kakus yang dibuat maka
itu berkonotasi darurat dan tidak bersih, karena tidak ada air di situ.
Hanya kakus meunasah atau masjid yang ada sumurnya, tapi hampir
tidak pernah terawat kebersihannya. Ketika program pemerintah
memperkenalkan kakus porselin, kebersihan masih juga terabaikan.

Oleh karena itulah masalah kebersihan dan sanitasi masyarakat Aceh


dapat dikatakan seperti belum tersentuh “pembudayaan.”

VII. Hubungan dengan orang luar/asing


Pada awalnya Aceh adalah campuran ras dan bangsa. Dengan demikian
hubungan dengan “asing” adalah bahagian dari jati dirinya. Sebegitu
dominannya unsur atau pengaruh “asing” dalam masyarakat Aceh dapat
dilihat dalam penempatan petinggi kerajaan. Yang namanya sultan
Iskandar Muda (1606 – 1637) sangat mungkin keturunan Turki.17 Yang
namanya Sultan Iskandar Thani (1637-1642) adalah pangeran asal
Pahang. Yang namanya syech Syamsuddin Al-Sumatrani adalah orang
Pasei, asal Timur Tengah. Yang namanya Hamzah Fansuri adalah orang
Barus. Yang namanya Nuruddin Ar-Raniry adalah orang yang datang
dari Surat (India) yang lahir dan wafat di sana. Mereka semua telah
berperan sangat sentral dalam kerajaan, masyarakat, agama dan
budaya orang Aceh. Tidak pernah mereka dianggap orang asing di Aceh.

Suasana ini berjalan terus beratus tahun tanpa ada perubahan. Itulah
sifat keluasan budaya masyarakat yang receptive kepada, yang
namanya “luar.” Kapan rasa atau peka “asing” muncul di Aceh adalah
sejak sesudah tahun 50-an, ketika Aceh mulai melihat ke dalam, ketika

17
Menurut pendapat A. Hasjmy.

176
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

hubungan ke luar telah terbatas, ketika politik nasional telah dirasa


membelenggu, ketika pendidikan tidak dapat menyaingi daerah lain,
terutama pulau jawa, ketika kemakmuran rakyat tidak meningkat, ketika
muara produksi lokal berupa pelabuhan laut, satu-satu mati, ketika rel
kereta api yang menghubungkan secara langsung antara Aceh dan
Medan dibungkam, dan selanjutnya.
Dapat dikatakan factor (anti asing/anti luar) itu adalah sesuatu yang
baru dan ada faktor-faktor pendukungnya.

VIII. Pola Peradatan


Adat Aceh Mengacu kepada Islam. Yang dimaksud dengan adat Aceh
adalah kebiasaan yang telah menjadi tradisi masyarakat (yang
sebahagiannya berasal dari nenek moyang yang Hindu atau Budha, atau
primitif) yang telah disesuaikan atau dianggap sesuai dengan syari‘at
Islam. Dulunya adata sangat dipegang kuat. Sehingga martabat suatu
kaum diperhitungkan dengan seberapa kuat ia mengikuti adat yang
berlaku.

Ada beberapa tingkatan “adat.” Yang tertinggi adalah hukum,


kemudian adat, kemudian qanun, baru reusam. Masing-masing-punya
sumber referensi dan pola eksekusinya. Awal mulanya Adat bersumber
dari raja, Qanun dari permaisuri, Hukum dari ‘ulama dan Reusam dari
petinggi kerajaan.

IX. Pola hubungan antar kerabat


Hubungan antar kerabat ada dua sisi: sisi laki-laki dan sisi perempuan.
Sisi laki-laki disebut wali, dan sisi perempuan disebut karong. Yang
disebut wali adalah kerabat pihak ayah dan karong adalah kerabat pihak
ibu. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya hubungan karong lebih intim
dari hubungan wali. Ada hubungan saling memberi dan saling menerima.
Sedangkan hubungan wali agak sedikit kaku. Namun kelebihannya.

177
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kalau terjadi apa-apa pada seseorang maka wali-lah yang akan


membela mati-matian. Harga diri wali sangat tinggi. Sebaliknya kalau
berkaitan dengan warisan, maka wali pula yang lebih dahulu meminta
haknya. Seringkali terjadi ketegangan dengan pihak wali dalam masalah
warisan.

X. Pola khanduri/slametan/hajatan
Khanduri utama masyarakat Aceh adalah khanduri maulud. Ini sangat
erat kaitannya dengan pemahaman agama masyarakat. Sezhalim atau
sebodoh seseorang tapi tetap harus mencintai Nabinya. Realisasi
kecintaan itu adalah dengan berqurban dengan cara khanduri. Seringkali
khanduri mawlud ini dinamakan dengan “khanduri keu panghulee.”18
Semiskin-miskin orang akan ikut serta dalam khanduri maulud ini,
bahkan kalau ia harus mempersiapkannya selama satu tahun, sedikit
demi sedikit. Akan sangat ‘aib rasanya kalau tidak ikut dalam khanduri
ini.

Selain khanduri maulud adalah khanduri kematian, yang dilakukan pada


hari ke tujuh kematian seseorang. Walaupun ada juga pada hari-hari
lain seperti hari ke 3, ke 5, ke 15, ke 20, ke 30, ke 40, ke 100, dsb.
Yang telah sangat baku adalah hari ketujuh dan disebut dengan
seunujoh. Khanduri ini juga ada martabatnya sendiri. Bagi yang tidak
berkhanduri akan muncul satu ejekan bagi ahli warisnya: “seperti mati
kerabu saja, tidak dikhanduri,” atau: “takut hartanya atau hak
warisannya akan berkurang, maka dia tidak mau khanduri.” Tentu
ejekan ini akan sangat menyakitkan. Untuk itu tidak jarang orang akan
gadaikan kebun, atau sawah untuk memenuhi upacara ini. Sayangnya
kalau yang ditinggalkan si mati ada anak yatim dan miskin lagi.

18
Artinya berkhanduri untuk memuliakan dan mencintai Penghulu Segala Nabi, yatu Nabi
Muhammad SAW.

178
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Sesudah ini ada khanduri-khanduri lain, seperti khanduri peresmian


perkawinan, khanduri khitan, khanduri blang, khanduri la’ot. Sedangkan
khanduri ‘aqiqah, peutron aneuk, khanduri ‘asyura, ada juga dilakukan
tapi tidak banyak.

XI. Pola hubungan antar gender


Pada umumnya lelaki lebih dominant dalam masyarakat Aceh, namun
sinergis. Artinya walau laki-laki yang menentukan putusan akhir tapi
existensi dan keikut sertaan perempuanlah yang putusan itu jalan.
Dalam setiap pertemuan laki-laki musti di depan dan perempuan di
belakang. Laki-laki (saja) yang biasanya berbicara sedangkan
perempuan sangat sedikit yang angkat bicara. Dalam beberapa hal
perempuan seolah ta‘luk saja pada kemauan laki-laki. Namun tidak
selalu.

Ada kalanya perempuan sangat dominant dalam keluarga. Urusan


dalam dalam keluarga biasanya mutlak urusan isteri atau ibu dari anak-
anak. Ketika dalam keluarga terjadi kematian suami, maka anak-anak
yang tinggal akan diasuh oleh ibu dan biasanya akan jadi orang.
Alasannya sang ibu cukup kasih sayangnya dan (seandainya) dia kawian
lain akan mengutamakan anak-anak-nya di samping suaminya (yang
baru). Namun kalau dalam keluarga sang ibu yang meninggal dunia
maka anak biasanya akan kucar kacir, dan cendrung tidak jadi. Soalnya
si bapa akan kawin lain dan anak-anak nya biasanya akan ikut saudara
ibu atau saudara ayah. Sedikit anak-anak yang hidup bersama ibu
tirinya.

Dalam proses perkawinan laki-laki lah yang mencari perempuan bukan


sebaliknya. Makanya kalau terjadi sebaliknya disenut dengan “mon mita
tima” (sumur yang mencari timba).

179
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

XII. Pola kehidupan keluarga


Hubungan suami isteri atau ayah ibu dalam keluarga Aceh biasanya
sinergis. Artinya masing-masing sangat berperan untuk membina
keluarga. Dalam hal bertani maka pekerjaan membajak menjadi
tanggung jawablaki-laki. Pada kerja meuyuet-yuet (membuang rumput
sebelum ditabur benih) hampir mutlak perempuan. Pekerjaan lainnya
dalam bertani hampir sama porsi. Tapi cendrung yang lebih banyak
menggunakan tenaga seperti mu‘ue, meucreuh, angkot pade, cemeulho,
itu bahagian laki-laki yang lainnya perempuan atau sama-sama.

Dalam banyak hal kehidupan keluarga banyak dinamikanya. Persaingan


antar adik abang, kakak sering terjadi. Adakalanya peran orang tua
berfungsi, adakalanya harus turun tangan petuha dari kerabat.
Persaingan terjadi ketika sikap orang tua dirasa beda antara sang anak.
Hubungan abang adik (laki-laki) agak kaku, tidak saling bergurau seperti
dengan kerabat lain. Hal ini terjadi ketika anak-anak sudah beranjak
dewasa, sedangkan ketika masih kecil hubungan mereka biasa saja.

XIII. Pola berpakaian


Pada dasarnya pola berpakaian orang Aceh itu longgar, untuk mudah
bergerak dan bekerja. Oleh karena itu pakaian jenis celana itu telah
biasa dipakai oleh lelaki dan juga perempuan, sejak lama, walau dengan
cara ikat yang berbeda. Celana perempuan diikat dengan sedikit dililit di
pinggang. Seolah ada nuansa rok pada cara pakainya. Di atasnya baru
dipakai kain sarung. Bedanya kain sarung bagi laki-laki digantung
sebatas lutut dan kain sarung untuk perempuan diturunkan sampai ke
mata kaki. Pada laki-laki celana diikat langsung dengan tali/tali pinggang
yang dimasukkan dalam bahagian atas celana atau ditindih dengan ikat
pinggang yang lumayan besar. Baju laki-laki biasanya terbuka bahagian

180
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

depannya, terutama bahagian atas. Tutup kepala orang laki-laki terdiri


dari tangkulok, atau seureuban, atau kupiah hitam atau kupiah riman.
Bagi yang sudah pulang haji biasanya memakai kupiah haji warna putih
(skull cap). Perempuan Aceh tidak mengenal jilbab sebagai yang
dipahami sekarang. Penutup kepala perempuan Aceh adalah kain batik
atau (bahkan) kain sarung yang ditarik ke depan menutup dada mereka.
Dengan demikian tutup kepada agak sedikit longgar di bahagian depan.
Kain sarung terkenal dahulu adalah kain sarong Lamgugop atau kain
silong atau kain sarung Samarinda. Selain itu kain sarung palikat dari
India sangat digemari.

Anak-anak jarang dipakaikan baju di waktu kecil. Apa yang sangat


dipentingkan bagi bayi adalah tali pinggang “khusus.” Khusus di sini
berarti bukan tali pinggang biasa yang dipahami sekarang ini. Tali
pinggang ini terbuat dari emas, perak, tembaga, atau benang biasa,
tergantung status sosial sang orang tua. Tali pinggang ini kecil saja
berbentuk rantai atau benang yang dililitkan di pinggang sang bayi.
Biasanya pada bahagiang depan atau samping diikatkan sejenis ‘azimat
penangkal roh jahat. Khusus bagi bayi perempuan di bahagian
depannya diikatkan ceuping kira-kira sebesar telapak tangan bayi
tersebut sebagai penutup ‘aurat vitalnya. Ceuping juga ada klasnya, dari
emas sampai tempurung kelapa sesuai kemampuan sang orang tua.

XIV. Ethos kerja


Ethos kerja orang Aceh ada dualisme antara fatalisme dan percaya diri.
Kedua jenis ethos ini dalam banyak hal bersinergi, yang kadang logis
kadang tidak. Ada kalanya orang Aceh menyerahkan diri pada nasib, di
samping juga ada yang hanya mengandalkan usaha yang benar dan
sungguh-sungguh. Petuah-petuah orang tua telah berceritera banyak.19

19
Yang fatalis akan mengatakan: “Meunyo ka si kai han jeut si cupak beurangho tajak ka dup nan
kada.” Yang dinamis berpegang pada: “Tapak jak urat nari, na tajak na raseuki.” Meumeot-meot jaroe,

181
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kedua ethos ini telah menjiwai semangat kerja orang Aceh. Pada saat
tertentu di lingkungan tertentu ethos fatalis lebih dominant, pada saat
yang lain di lingkungan yang lain ethos dinamis yang lebih dominan.
Antara kedua itu etos ini dinamis percaya diri nampaknya lebih dominan,
paling kurang ia diamalkan oleh labih banyak orang dibandingkan
dengan fatalisme.Oleh karena itu pepatah tentang etos kerja ini lebih
banyak dengan pepatah fatalisme. Bukti konkritnya adalah banyak
orang Aceh yang keluar Aceh jadi pedagang dan ketika masa perang
bersedia melawan musuh dengan gigih dan tidak mudah
menyerah.Dalam hal ini peran ulama, pemimpin adat, keuchik, teungku
imum, atau guru pengajian di lingkungan tertentu sangatmenentukan.

B. Kesimpulan
1. Karena budaya masyarakat pada dasarnya berasal dari pemimpin,
orang kaya, ulama, tokoh adat, guru, maka untuk melestarikan dan
merawatnya diperlukan ketauladanan mereka.
2. Untuk menjadikan mereka tetap berperan sebagai tauladan, maka
siapapun yang akan menjadi pemimpin, tokoh, ulama, dsb haruslah
diberikan kompetensi yang memadai.
3. Kompetensi ini dapat dicapai melalui pendidikan, pembinaan,
pelatihan, dan percontohan. Dengan demikian maka lembaga
pendidikan (formal, informal, non formal), pembinaan, pelatihan dan
percontohan harus diadakan dan dimaksimalkan perannya dan
didukung oleh sistim yang baik.
4. Siapapun yang tidak memenuhi syarat dimaksud, maka ia tidak
berhak menempati atau menduduki posisi pemimpin, tokoh, ulama,
guru, dan sebagainya. Sebaliknya bagi siapa saja yang

meu’ek gigoe.” “Ta tangah u langet, langet, ta teukui u bumoe, bumoe.” “Meunyoe tan ta oseuha, pane teuka
rhet di manyang, meunyo na ta oseuha adak han kaya udeep seunang.” “Geutakot keu angkatan, geumalee
keu pakaian.”

182
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

melanggarnya harus diberi sanksi yang tegas sesuai dengan sifat


posisi dan tugas yang diembannya.

183
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

D. SUB BIDANG KESEHATAN

I. LATAR BELAKANG

Gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26


Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam, telah menyebabkan
kehancuran insfrastruktur, dan lumpuhnya sebagian sistem & tatanan
kegiatan masyarakat dan pemerintah, serta kehilangan sekitar ¼ juta
sumber daya manusia.

Dibidang kesehatan, banyak infrastruktur/fasilitas kesehatan hancur,


terutama di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie,
Biruen, Aceh Utara dan pulau Semelue. Kerusakan tersebut mulai
infrastruktur terendah seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pos
Bersalin Desa (Polindes) yang terdapat di hampir setiap desa, Puskesmas
Pembantu (Pustu), Puskesmas sampai Rumah Sakit. Sebanyak 41 dari 260
Puskesmas rusak dengan skala rusak total sampai rusak sedang. Di
Kabupaten Aceh Jaya, 7 dari 8 Puskesmas rusak total (totally destroyed).

Table 1
Health Infrastructure Pre and Post Tsunami
in Province of Nanggroe Aceh Darussalam

Health Infrastructures Pre-Tsunami Damaged by Tsunami


General Hospitals (RSU)
- Government 16 3
Hospitals 1 4 1
- Army/Policy 12 2
Hospitals 2
- Private Hospitals 3
Mental Hospital 4 1 1
Health Offices
- Provincial Health 1 1
Offices 5 21 2
- District Health
Offices 6
Port Health Offices 7 5 3
Drug Storage 8 22 3
Public Health Training 1 1

184
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Centre 9
Community Health 259 41
Centers 10
Auxiliary Com. H Centers 821 75
10

Village Maternity Posts 11 3758 n.a


Health Institution n.a 6
Academy 11
Village Health Posts 11 4478 n.a
Maternity Hospitals 11 60 n.a
Polyclinics 11 92 n.a
Doctor, private practices 399 n.a
11

Nurse, private practices 11 831 n.a


Pharmacy 11 152 n.a
Village drug outlets 11 299 n.a
Other drug sellers 11 256 n.a
Ambulance 11 n.a 14
Sources: Provincial/Districts Health Offices, Susenas, 2002/3, Assessment conducted by WB,
Gadjah Mada University & WHO, MOH and AusAIDS.
1. RSU Meuraxa totally destroyed, RSU Zainoel Abidin moderately damaged; and RSU Calang totally
destroyed (but the hospital still in construction phase, not finish and not operational yet when tsunami
destroyed it)
2. Police Hospital, severely damaged
3. RSU Permati Hati severely damaged and RSU Moderately damaged
4. Mental Hospital moderately damaged
5. Provincial health offices severely damaged
6. Banda Aceh health offices moderately damaged and Aceh Jaya district health offices, totally
destroyed.
7. Sabang Port Offices, Ujong Bate, Aceh Besar Port Office, and Melaboh Posrt Office
8. Provincial Drug Office and Banda Aceh Drug Offices severely damaged, Aceh Jaya Drug Offices
totally destroyed
9. Community health center at provincial level with function not only providing basic health services but
also as training center for other community health centers.
10. The highest percentages damage was in four districts: Aceh Jaya, Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh
Barat respectively.
11. A numbers these facilities damaged by tsunami but not such assessment was conducted

Beberapa Puskesmas tidak dapat diidentifikasi lagi lokasi semula, karena


sampai sekarang masih teremdam air laut (sebagian daratan telah menjadi
laut). Begitu juga Kantor Dinas Kesehatan, hancur total. Di Kota Banda Aceh,
Puskesmas dan RS Meuraxa juga totally destroyed. Sedangkan di Kab. Aceh
Besar sebanyak lima Puskesmas masuk dalam kategori totally destroyed.
Perincian kerusakan infraskruktur kesehatan, baik milik pemerintah maupun
swasta di tiap kabupaten/kota.

185
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Tujuan Umum
Tujuan umum kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi pembangunan kesehatan
di Nanggroe Aceh Darusslam adalah untuk menata kembali sistem
pembangunan & pelayanan kesehatan di Nanggroe Aceh Darusslam mulai
dari sistem perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
kegiatan-kegiatan pembangunan yang dapat menjamin masyarakat Aceh
untuk hidup lebih sehat dan lebih produktif.

Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi pembangunan
kesehatan adalah sebagai berikut:
a. untuk membangun infrastruktur kesehatan yang modern mulai dari
fasilitas kesehatan di desa sampai ke fasilitas kesehatan rujukan
tingkat puskesmas, kabupaten/kota dan propinsi dalam wilayah
Nanggroe Aceh Darussalam;
b. untuk membangunan sistem informasi kesehatan dan koordinasi yang
lebih efektif intra dan antar unit/fasilitas kesehatan yang ada dalam
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam;
c. untuk membangunan sistem perencanaan dan penganggaran
kesehatan yang terpadu dan efektif;
d. untuk mengembangkan sistem dan mekanisme pembiayaan kesehatan
yang lebih efisien dan efektif;
e. untuk meningkatkan health human capacity building dalam berbagai
aspek keahlian sehingga sistem kesehatan di Nanggroe Aceh
Darussalam dapat berjalan dengan baik;
f. untuk membangunan sistem pemberdayaan, keterlibatan dan
keikutsertaan aktif masyarakat dan stakeholders dalam kegiatan
pembangunan kesehatan di Nanggroe Aceh Darussalam;

186
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

g. mengembangkan sistem deteksi dini dan rapid response terhadap


kejadian berbagai kejadian penyakit, terutama yang berpotensi untuk
terjadinya wabah;
h. Membangunan sistem dan tatanan yang mampu menjamin mutu dan
kualitas pelayanan kesehatan.

Sasaran kegiatan yang akan dicapai mencakup:


a. Seluruh anggota masyarakat Aceh terutama yang menjadi korban
gempa bumi dan tsunami memperoleh pelayanan kesehatan baik
pelayanan fisik maupun pelayanan kejiwaan sesuai dengan kebutuhan;
b. Seluruh sumber daya manusia kesehatan yang bekerja di berbagai
fasilitas kesehatan;
c. Seluruh sarana dan prasarana kesehatan dapat berfungsi dan ditingkat
kembali;
d. Lingkungan fisik yang mempunyai efek langsung maupun tidak
langsung terhadap kesehatan;
e. Pranata sosial-budaya masyarakat yang mempunyai dampak terhadap
kesehatan masyarakat.

b. RONA

Selama ini (sebelum tsunami), pemerintah daerah sedang membenahi sistem


dan tatanan kesehatan di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka mencari
jawaban mengapa kinerja sistem kesehatan selama ini masih belum
mengembirakan, padahal fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas,
Pustu telah dibangun bahkan Polindes telah dibangun sampai ke polosok desa.
Berbagai stakeholder berpartisipatif aktif dalam mencari model dan
mendukung berbagai reform yang dilakukan untuk meningkatkan
performance system kesehatan di Nanggroe Aceh Darussalam yang masih
tertinggal jauh dibandingkan dengan propinsi lain, apalagi dengan Negara
tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Namun demikian, system dan

187
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

pranata yang telah dibangun belum begitu kuat dan membudaya (strong
culture). Sehingga dengan mudah system dan tatanan yang baru saja
dibangun tersebut terganggu dan tidak berfungsi lagi sejak tsunami
meluluhlantahkan sebagian besar daerah Aceh. Sehingga rehabilitasi dan
rekonstruksi yang akan dilakukan, tidak hanya membangun fasilitas
kesehatan kembali yang lebih modern, namun juga membangun sistem
kesehatan yang kuat, mampu mendongkrak kinerja sistem kesehatan serta
dapat meningkatkan derajat kesehatan ummat.

Cara pandang dalam membangun Aceh kembali juga perlu dirubah. Rakyat
Aceh yang jumlahnya sekitar 4 juta lebih harus dipandang sebagai asset
utama dalam pembangunan Aceh kembali. Pengalaman (lesson learned)
negara seperti Malaysia, Singapore, dan Korea Selatan yang memandang
manusia sebagai asset dalam membangun telah menunjukan pertumbuhan
ekonomi yang sangat mengesankan dan rakyatnya hidup dengan tingkat
kesejahteraan yang tinggi. Walaupun paradigma ini kurang popular bagi
pihak-pihak yang menginginkan return of investment dalam waktu singkat
(satu-dua tahun), namun pilihan ini merupakan alternatif terbaik bila kita
ingin melihat kemajuan Aceh 15-20 tahun ke depan.
Bila ingin membangunan sumber daya manusia, proses dan fokus
pembangunan harus dimulai sejak dalam kandungan, bahkan sejak akad
nikah. Pembangunan kesehatan harus mengikuti alur siklus hidup manusia.
Tiap phase kehidupan manusia mempunyai special needs terhadap program
dan pelayanan kesehatan. Program tersebut juga harus komprehensif yang
meliputi upaya promosi kesehatan (promotive), pencegahan (preventive),
pengobatan (curative) dan upaya rehabilitasi. Pembangunan kembali Aceh
juga harus mampu melahirkan sistem kesehatan yang kuat, dan mencetak
sumber daya yang mampu melaksanakan program kesehatan secara
komprehensif dan berkesinambungan.
Dengan demikian, arah dan kebijakan rehabilitasi dan rekontruksi kesehatan
juga tidak hanya menfokuskan pada aspek fisik semata, namun juga yang

188
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

lebih penting pada aspek non fisik, dan dilakukan secara komprehensif. Lebih
lanjut, pengembangan program-program kesehatan di Nanggroe Aceh
Darussalam harus mempertimbangkan aspek social cultural dan adat istiadat
masyarakat Aceh sehingga timbul sense of belonging dan sustainability dari
setiap kegiatan pembangunan kesehatan.

Langkah-langkah kegiatan

Langkah-langkah kegiatan mencakup tiga phase: 1. phase tanggap darurat; 2.


phase rehabilitasi, dan 3. phase rekontruksi. Namun fokus uraian berikut ini
pada phase rehabilitasi and rekontruksi. Phase tanggap darurat dianggap
sudah selesai.

Phase Rehabilitasi
Beberapa kegiatan yang perlu mendapatkan prioritas pada phase rehabilitasi:
1. Membangun jaringan sistem informasi kesehatan
2. Pengembangan sistem deteksi dini dan rapid response terhadap kejadian
berbagai kejadian penyakit
3. Peningkatan mutu sumber daya manusia
4. Pengembangan sistem perencanaan dan penganggaran kesehatan

Phase Rekonstruksi
Untuk kegiatan rekonstruksi yang perlu mendapatkan prioritas:
1. Pembangunan infrastruktur kesehatan
2. Pengembangan sistem dan mekanisme pembiayaan kesehatan
3. Pengembangan sistem peningkatan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan

Indikator Keberhasilan dan matrik kegiatan terlampir.

189
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1. Pembangunan Infrastruktur kesehatan

No URAIAN PENJELASAN
1 Latar Belakang • Beberapa daerah belum memiliki fasilitas
kesehatan yang memadai
• Banyak fasilitas kesehatan yang rusak akibat
gempa dan gelombang tsunami
2 Tujuan Untuk membangun infrastruktur kesehatan yang
modern mulai dari fasilitas kesehatan di desa
sampai ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat
puskesmas, kabupaten/kota dan propinsi dalam
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam;
3 Nama Pembangunan Infrastruktur kesehatan
Program/kegiatan
4 Sasaran Terlaksananya :
1) Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan
2) Pembangunan dan rehabilitasi :
1. Rumah Sakit Zainoel Abidin
2. Rumah Sakit Meuraxa
3. Rumah Sakit Calang
3) Pembangunan dan rehabilitasi dan relokasi:
1. Kantor Dinas Kesehatan Provinsi
2. Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh
Jaya.
4) Pembangunan dan Relokasi Puskesmas:
1. Puskesmas Lhong, Aceh Besar
2. Puskesmas Lhok Nga, Aceh Besar
3. Puskesmas Kajhu, Aceh Besar
4. Puskesmas Meuraxa, Kota Banda Aceh
5. Puskesmas Kuala Unga/Kolam Itek,
Cinamprong, Aceh Jaya
6. Puskesmas Lhok Kruet, Aceh Jaya
7. Puskesmas Pateek, Aceh Jaya
8. Puskesmas Lageum*, Aceh Jaya
9. Puskesmas Panga*, Aceh Jaya
10. Puskesmas Teunom, Aceh Jaya
11. Puskesmas Krueng Raya *, Aceh Besar
12. Leupung, Aceh Besar
13. Baitussalam*, Aceh Besar
14. Samatiga, Aceh Barat
15. Arongan Lambalek, Aceh Barat
16. Meurebo, Aceh Barat

5) Pembangunan Kembali Puskesmas:

190
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1. Puskesmas Latihan
2. Puskesmas Peukan Bada.
3. Puskesmas Pulau Aceh, Aceh Besar
4. Tanah Pasir, Aceh Utara
5. Seuneudon, Aceh Utara
6. Syiah Kuala, Banda Aceh
7. Kuta Alam, Banda Aceh
8. Trienggadeng, Pidie
9. Pante Raja, Pidie
10. Kuala, Nagan Raya
11. Muara Dua, Lhokseumawe
12. Simpang Jernih, Aceh Timar
13. Puskesmas Calang, Aceh Jaya

6) Rehabulitasi Sedang Puskesmas:


1. Simeulue Timur, Simeulue
2. Alapan, Simeulue
3. Peureulak, Aceh Timur
4. Darussalam, Aceh Besar
5. Kota Sigli, Pidie
6. Gandapura, Bireuen
7. Bendahara, Aceh Tamiang
8. Darul Makmur, Nagan Raya

7) Rehabilitasi berat Puskesmas:


1. Simeulu Barat, Simeulue
2. Pulau Banyak, Singkil
3. Kuala Batee, Aceh Selatan
4. Samalanga, Bireun
5. Iboih, Sukakarya, Sabang

8) Pembangunan dan Relokasi Puskesmas


Pembantu
9) Pembangunan Puskesmas Pembantu
10)Rehabilitasi Puskesmas
11)Pembangunan dan Relokasi Polindes
12)Pembangunan Polindes
13)Pembangunan dan Relokasi Kantor Kesehatan
Pelabuhan
14)Pembangunan Puskesmas Terapung
15)Pembangunan Gedung Obat:
• Gudang Obat Dinkes Provinsi NAD
• Gudang Obat Dinkes Aceh Jaya
• Gudang Obat Dinkes Kota Banda Aceh
16)Bantuan Pembangunan RS Swasta
• RS Permata Hati

191
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• RS Fakinah
• RS Malahayati

Kelompok Sasaran Rumah Sakit, Kantor Dinas Kesehatan, Puskesmas,


Pustu, Polindes, Gudang Obat, KKP
Lokasi Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Nagan Raya, Aceh Singkil, Semelue, Pidie,
Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timar,
Aceh Tamiang.
Cakupan Kegiatan Pembangaunan dan rehabilitasi fasilitas
kesehatan mulai dari fasilitas kesehatan primer
hingga tersier, pembangunan kantor Dinas,
fasilitas pendukung lainnya serta bantuan
terhadap pembangunan fasilitas swasta.
Indikator Keberhasilan Pembangunan fasilitas fisik terlaksana (progress
report), sarana kesehatan berfungsi minimal
seperti semula hingga 2008.
Jadwal Waktu Fase Rehabilitasi : Juni – Desember 2005
Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember 2008
Keterkaitan dengan 1. Pokja IV
Program Lain 2. Pokja VI
3. Pokja IX
Instansi Pelaksanaan Dinas Kimpraswil
dan Penanggung Dinas Kesehatan
Jawab
Perkiraan Biaya Fase Rehabilitasi : 50.000.000.000
Fase Rekontruksi : 270.000.000.000
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

2. Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan.

No URAIAN PENJELASAN
Latar Belakang • Belum memiliki fasilitas yang menunjang
Pengembangan Sistem Informasi Manajemen
kesehatan yang memadai baik diseluruh fasilitas
kesehatan.
• Belum dikembangkan system informasi
Kesehatan berbasis GIS diseluruh Daerah
kabupaten Kota dalam Privinsi NAD dalam
menangani akibat gempa dan gelombang tsunami
Tujuan Untuk membangunan sistem informasi kesehatan
dan koordinasi yang lebih efektif intra dan antar
unit/fasilitas kesehatan yang ada dalam wilayah
Nanggroe Aceh Darussalam;
Nama Program/kegiatan Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan .

192
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Sasaran 1) Pengangkatan dan penempatan diploma


computer di Puskesmas
2) Pelatihan Sistem Informasi Kesehatan SIM dan SIK
serta GIS
3) Pengadaaan Fasilitas Komputer dan jaringannya
untuk puskesmas, dinas Kes Kabupaten/Kota,
Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya
4) Pengadaan GPS untuk semua Kabupaten/Kota
dalam wilayah NAD.
5) Pertemuan 3 bulanan untuk Updating data di
tingkat Kabupaten dan Provinsi.
Kelompok Sasaran Petugas, fasilitas kesehatan di seluruh Puskesmas,
Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit dan Unit
Kesehatan lainnya
Lokasi Seluruh Kabupaten/Kota dalam Prov.NAD
Cakupan Kegiatan Pelatihan petugas dan pengadaan peralatan jaringan
pendukung SIK dan GIS di Prop NAD.
Indikator Keberhasilan 1) Tersedianya SDM pada seluruh Puskesmas, Dinas,
RS yang menangani kegiatan SIM, SIK GIS.
2) Tersedianya peralatan dan jaringan pendukung
SIK dan GIS
3) Terselenggaranya pertemuan tribulan
4) Tersedia profil dan data yang uptodate secara
berkala
Jadwal Waktu Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember 2008
Keterkaitan dengan Menunjang Pengembangan Kegiatan disemua sektor
Program Lain Kesehatan Masyarakat dan Perorangan
Instansi Pelaksanaan dan Dinas Kesehatan
Penanggung Jawab Dinas Infokom
Perkiraan Biaya 3.000.000.000
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

193
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3. Pengembangan Sistem Perencanaan dan Penganggaran Terpadu

No URAIAN PENJELASAN
Latar Belakang Belum adanya Sistem Perencanaan dan
Penganggaran kesehatan yang terpadu baik ditingkat
Kabupaten/Kota maupaun di Tingkat Dinas
Kesehatan Provinsi NAD dalam menangani akibat
gempa dan gelombang tsunami
Tujuan Untuk membangunan sistem perencanaan dan
penganggaran kesehatan yang terpadu dan efektif
Nama Program/kegiatan Pengembangan Sistem Perencanaan dan
Penganggaran Terpadu bidang Kesehatan
Sasaran 1) In house training P2KT untuk tenaga
Perencanaan Kesehatan ditingkat Puskesmas ,
Dinas Kesehatan kabupaten / Kota dan Prov dan
RS.
2) Pengadaan Modul Pelatihan untuk P2KT
3) Pelatihan Manajemen Keuangan dibidang
Kesehatan
4) Pengembangan model kabupaten/kota P2KT
5) Asistensi Kegiatan Perencanaan dan
Penganggaran
Kelompok Sasaran Petugas Puskesmas, Dinas Kesehatan dan Rumah
Sakit Kabupaten dalam Prov.NAD
Lokasi Seluruh Kabupaten/kota dalam Prov.NAD
Cakupan Kegiatan Pelatihan P2KT untuk tenaga Perencanaan
Kesehatan ditingkat Pukesmas , Dinas Kesehatan
kabupaten / Kota dan Provinsi, Pengadaan Modul
Pelatihan untuk P2KT dan pengembangan model
kabupaten P2KT.
Indikator Keberhasilan 1) Seluruh tenaga perencanaan puskesmas, dinas
pada akhir 2006
2) Perencanaan program Puskesmas, Dinas sudah
menerapkan prinsip P2K
3) MONEV dijalankan secara konsisten
Jadwal Waktu Fase Rehabilitasi : Juni 2005 – Desember 2005
Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember 2008
Keterkaitan dengan Pokja IX (Pendanaan)
Program Lain Poja Kelembangaan
Instansi Pelaksanaan dan Dinas Kesehatas
Penanggung Jawab Dirjen Anggaran
Perkiraan Biaya 500.000.000
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

194
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

4. Pengembangan Sistem dan Mekanisme Pembiayaan Kesehatan

No URAIAN PENJELASAN
Latar Belakang Sistem dan mekanisme pembiayaan kesehatan di
Kabupaten, Aceh besar, Pidie dan Aceh Utara masih
belum efektif dan efesien
Tujuan Untuk mengembangkan sistem dan mekanisme
pembiayaan kesehatan yang lebih efisien dan
efektif
Nama Program/kegiatan Pengembangan Sistem dan mekanisme pembiayaan
Kesehatan
Sasaran 1) Penelitian Model Pembiayaan kesehatan
2) Pengembangan model pembiayaan kesehatan
dengan model DRG (Diagnostic Related Group) di
salah satu Rumah Sakit
3) Pembahasan, pengesahan dan sosialisasi Qanun
(peraturan daerah) yang mengatur system dan
mekanisme pembiayaan kesehatan.
Kelompok Sasaran Tenaga dan fasilitas kesehatan
Lokasi Seluruh kabupaten/kota
Cakupan Kegiatan Pengembangan Sistem dan model pembiayaan
Kesehatan
Indikator Keberhasilan 1. Tersedianya rekomendasi model pembiayaan
kesehatan yang efektif
2. Adanya model pembiayaan kesehatan yang
efektif
3. Disahkan dan tersosialisasi Qanun sistem dan
mekanisme pembiayaan kesehatan
Jadwal Waktu Fase Rehabilitasi : Juni – Desember 2005
Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember 2008
Keterkaitan dengan Pokja IX (Pendanaan)
Program Lain Poja Kelembangaan
Instansi Pelaksanaan dan Dinas kesehatan
Penanggung Jawab
Perkiraan Biaya 50.000.000.000
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

195
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

5. Peningkatan SDM Kesehatan

No URAIAN PENJELASAN
Latar Belakang Jumlah dan kualitas SDM tenaga kesehatan
Puskesmas, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit
dan fasilitas kesehatan lainya masih kurang
dan belum memadai
Tujuan Untuk meningkatkan health human capacity
building dalam berbagai aspek keahlian
sehingga sistem kesehatan di Nanggroe Aceh
Darussalam dapat berjalan dengan baik
Nama Program/kegiatan Peningkatan SDM Kesehatan
Sasaran 1) Pelatihan dan pendidikan petugas
kesehatan baik dalam maupun luar negeri
2) Pendidikan Magister Kesehatan
Masyarakat
Kelompok Sasaran Tenaga Kesehatan
Lokasi Seluruh kabupaten/kota
Cakupan Kegiatan 1) Pelatihan dalam bidang kesehatan
lingkungan, kesehatan ibu dan anak, gizi,
P2M, akreditasi, dan lainya
2) Pendidikan bergelar: epidemiologi,
biostatistik, health financing, health
planning, untuk Dinas Kesehatan dan
Rumah sakit Umum Kabupaten/Kota
Indikator Keberhasilan 1) Adanya pelatihan, lokakarya, kursus
singkat dan Pendidikan S2 Kesmas
2) Minimal terdapat seorang tenaga ahli
dalam masing bidang dari seluruh
kab/kota pada akhir fase rekontruksi
Jadwal Waktu Fase Rehabilitasi : Juni – Desember 2005
Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember
2008
Keterkaitan dengan Pokja IV
Program Lain Pokja VI
Pokja X
Instansi Pelaksanaan dan Dinas Kesehatan
Penanggung Jawab
Perkiraan Biaya 300.000.000.000
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

196
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

6. Peningkatan Peran Serta Masyarakat (stakeholder)

No URAIAN PENJELASAN
Latar Belakang Keterlibatan dan keikutsertaan Stakeholder
secara aktif dalam pembangunan Kesehatan
diseluruh Daerah kabupaten Kota dalam
Provinsi NAD masih rendah dalam
pembangunan kesehatan
Tujuan untuk membangunan sistem pemberdayaan,
keterlibatan dan keikutsertaan aktif
masyarakat dan stakeholders dalam kegiatan
pembangunan kesehatan di Nanggroe Aceh
Darussalam
Nama Program/kegiatan Peningkatan Peran Serta Masyarakat
(stakeholder)
Sasaran 1) Pembentukan District Health Forum di
setiap Kabupaten / Kota.
2) Pembentukan Hospital Governing
Board/Badan
3) Pertemuan Berkala 3 bulanan..
Kelompok Sasaran Tokoh Masyarakat, LSM, Legislatif dan
stakeholder lainnya dalam Kabupaten /Kota
dalam Prov.NAD
Lokasi Di seluruh kabupaten/kota
Cakupan Kegiatan Peningkatan peran serta masyarakat pada
seluruh lini jajaran kesehatan.
Indikator Keberhasilan Terlibatnya anggota masyarakat dalam
perencanaan, dan monev baik pada tingkat
Puskesmas hingga RS dan Dinas Kesehatan
Jadwal Waktu Fase Rehabilitasi : Juni – Desember 2005
Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember
2008
Keterkaitan dengan Pokja IX (Pendanaan)
Program Lain Poja Kelembangaan
Instansi Pelaksanaan dan Dinas kesehatan
Penanggung Jawab
Perkiraan Biaya 300.000.000.
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

197
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

7. Peningkatan dan Pengembangan Surveilens Epidemiologi

No URAIAN PENJELASAN
Latar Belakang Belum berjalannya sistem deteksi dini dan
respons cepat terhadap kejadian kegawatan
berbagai jenis penyakit yang berpotensi
untuk wabah
Tujuan mengembangkan sistem deteksi dini dan
rapid response terhadap kejadian berbagai
kejadian penyakit, terutama yang berpotensi
untuk terjadinya wabah
Nama Program/kegiatan Peningkatan dan Pengembangan Surveilens
Epidemiologi
Sasaran 1) Pelatihan Tenaga surveilens Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dalam Provnsi
NAD.
2) Pengadaan peralatan penunjang
surveilans
3) Pengembangan sistem surveilans
4) Pembentukan SAR kesehatan
Kelompok Sasaran Tenaga surveilens puskesmas dan dinas
Kesehatan kabupaten / kota dalam provinsi
NAD
Lokasi Suluruh Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Kab/kota di Prop NAD
Cakupan Kegiatan Pelatihan dan monev dan pengadaan
peralatan penunjang surveilans pada seluruh
Kab/kota di Prop NAD
Indikator Keberhasilan 1) Terlaksana pelatihan bagi seluruh petugas
surveilans pada akhir 2007.
2) Adanya mata anggaran dalam APBD
3) Tersedianya informasi mengenai penyakit
dan status gizi yang uptodate
4) Terbentuknya tim SAR
Jadwal Waktu Fase Rehabilitasi : Juni – Desember 2005
Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember
2008
Keterkaitan dengan Pokja IX (Pendanaan)
Program Lain Poja Kelembangaan
Instansi Pelaksanaan dan Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit
Penanggung Jawab
Perkiraan Biaya 50.000.000.000
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

198
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

8. Pengembangan sistem peningkatan mutu dan kualitas pelayanan


kesehatan

No URAIAN PENJELASAN
Latar Belakang 1) Belum ada standar mutu pelayanan
kesehatan masyarakat
2) Masih rendahnya kualitas pelayanan
kesehatan
3) Masih rendahnya tingkat kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
Tujuan Membangun sistem dan tatanan yang mampu
menjamin mutu dan kualitas pelayanan
kesehatan masyarakat
Nama Program/kegiatan Pengembangan sistem peningkatan mutu dan
kualitas pelayanan kesehatan
Sasaran 1) Sosialisasi peningkatan mutu dan kualitan
pelayanan kesehatan masyarakat
2) Terbentuknya unit kendali mutu diseluruh
unit pelayanan kesehatan masyarakat
3) Pengembangan SOP di semua unit
pelayanan kesehatan masyarakat dan
perorangan
Kelompok Sasaran Seluruh unit pelayanan kesehatan di Prop
NAD.
Lokasi Seluruh Prop NAD
Cakupan Kegiatan Tersosialiasi dan terlakasana pelayanan
bermutu pada semua petugas.
Indikator Keberhasilan 1) Peningkatan tingkat kepuasan masyarakat
terhadap pelayanan
2) Terbentuknya gugus kendali mutu di setiap
unit pelayanan kesehatan
3) Adanya SOP di setiap unit pelayanan
kesehatan
Jadwal Waktu Fase Rekontruksi : Januari 2006- Desember
2008
Keterkaitan dengan Pokja IX (Pendanaan)
Program Lain Poja Kelembangaan
Instansi Pelaksanaan dan Dinas kesehatan dan rumah sakit
Penanggung Jawab
Perkiraan Biaya 1.000.000.000.
Sumber Pembiayaan APBN/APBD, BLN/Hibah, Donor

199
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

PROGRAM SFESIFIK BIDANG KESEHATAN

Upaya Kesehatan Masyarakat

1. Estimasi kebutuhan biaya Puskesmas untuk melaksanakan PKD, khususnya


biaya operasional pelayanan kuratif dan program kesehatan masyarakat
sehingga alokasi biaya yang sesuai dengan hasil estimasi.
2. Penempatan SKM di Puskesmas
3. Revitalisasi Posyandu dengan mengembangkan model-model baru yang
sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat
4. Reassessment keberadaan Pustu dalam konteks Pelayanan Kesehatan
Dasar (PKD)
5. Legitimasi klinik-klinik non-pemerintah dalam Sistem Kesehatan

Pembangunan Fisik Bidang Kesehatan

1. Untuk pembangunan RS baru, perlu studi kelayakan guna menentukan


model RS yang akan dibangun.
2. Pengembangan model pelayanan yang diwarnai oleh Syariah Islam
3. Peningkatan kemampuan manajemen RS (training)
4. Penerapan program QA/QI/Audit Medik di RS
5. Pengembangan Badan Perwakilan Masyarakat (Hospital Governing Board)
dalam sistem manajemen RS.

Pencegahan/pemberantasan Penyakit

1. Peningkatan kemampuan surveilans


2. Penggunaan LAN, IT dan GIS untuk data epidemiologi
3. Kerjasama lintas daerah dalam program PPMPL untuk pembentukan Badan
Kerjasama Kesehatan (BKK) atau di daerah lain disebut JHC
4. Pelatihan Manajemen PPMPL Terpadu Berbasis Wilayah utk staf Kabupaten
dan Puskesmas
5. Perkuat kemampuan Dinkes untuk melakukan analisis faktor resiko
lingkungan dan resiko perilaku

Program Tambahan

1. Pembentukan Forum Kesehatan (District Health Forum) pada tingkat Desa,


Kecamatan, Kabupaten.
2. Keterlibatan Ulama dalam Promosi Kesehatan
3. Pengembangan Program Promosi Kesehatan berbasis sosial budaya
masyarakat Aceh (PM Toh, Hikayat, Seudati, Didong, Rebana, Saman,
Laweut, dll)
4. Insentif utk dokter relawan: pengakuan sbg menjalankan program PTT

200
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

201
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB VII
POKJA – VII
HUKUM

I. LATAR BELAKANG
Gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalalam (NAD) pada tanggal 26 Desember 2004, telah menimbulkan derita
kemanusiaan yang tak terperikan. Bencana alam yang luar biasa tersebut telah
menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia, kehilangan tempat tinggal dan
harta benda, serta lumpuhnya sektor ekonomi, infra dan suprastruktur bidang
pertanahan. Semua ini mengakibatkan timbulnya keresahan dan kekhawatiran
masyarakat menyangkut status dan hak mereka atas tanah.
Selain dari pada itu telah menimbulkan persoalan pelik serta kompleks di bidang
hukum keluarga, misalnya, hilangnya sebagian atau seluruh ahliwaris, banyaknya
anak yang memerlukan pengasuhan/perwalian, serta hilangnya dokumen identitas
kependudukan, perkawinan, dan harta benda.
Secara kelembagaan, bencana gempa dan tsunami tersebut juga mengakibatkan
rusak/hancurnya pranata yang berfungsi sebagai penentu tegaknya status hukum
keluarga di Aceh, misalnya, rusaknya prasarana dan sarana di lingkungan
mahkamah syar’iyah.
Selain kerusakan terhadap prasarana dan sarana hukum di Provinsi NAD, juga
telah mengakibatkan meninggal/hilangnya sejumlah aparatur penegak hukum dan
tenaga administrasi dan tenaga teknis. Hal ini tentunya berpengaruh pada proses
pelayanan dan penegakan hukum di Provinsi NAD.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN


A. Bidang Hukum Pertanahan
Kerusakan infrastruktur di bidang pertanahan meliputi: kerusakan tanah +
68.966,60 hektare yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota se-Provinsi NAD,
serta hilang/rusaknya dokumen dan sertifikat hak atas tanah. Permasalahan

202
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

hukum bidang pertanahan yang paling mendesak dan harus segera ditangani
adalah bagaimana hak-hak keperdataan di bidang pertanahan dapat dipulihkan
kembali, dijamin, dan dilindungi, sementara banyak prasarana/sarana, serta
infrastruktur pertanahan yang hancur dan musnah. Rehabilitasi dan rekonstruksi
pertanahan harus segera diwujudkan dengan memperhatikan aspek-aspek
kultural, agama, adat, dan kondisi daerah.

Adapun inventarisasi kerusakan dan kerugian di bidang hukum pertanahan adalah


sebagai berikut
a. Musnah/rusaknya objek hak (tanah);
b. Hilang/rusaknya sertifikat hak atas tanah;
c. Hilangnya batas-batas tanah, baik yang disebabkan oleh bencana alam
gempa dan tsunami maupun perbuatan manusia;
d. Hilang/rusaknya dokumen-dokumen pertanahan;
e. Meninggal/hilang atau tidak diketahuinya keberadaan pemilik
tanah/ahliwaris;
f. Adanya tanah-tanah yang belum terdaftar;
g. Rusaknya sarana teknis dan nonteknis yang dipakai untuk mengetahui
batas-batas tanah, dan
h. Banyaknya saksi kepemilikan tanah dari masyarakat, tokoh
masyarakat, aparatur pemerintahan desa/gampong yang
meninggal/hilang atau tidak diketahui keberadaannya.

B. Bidang Hukum Keluarga


Akibat bencana alam gempa/tsunami telah menimbulkan kerugian yang cukup
besar terhadap prasarana dan sarana peradilan yang akan menyelesaikan masalah
hukum keluarga, meliputi:
a. Rusaknya Gedung Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD,
b. Rusaknya Gedung Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh,
c. Rusaknya Gedung Mahkamah Syar’iyah Meulaboh,

203
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

d. Hancurnya Gedung Mahkamah Syar’iyah Calang,


e. Hilangnya kendaraan opersaional baik roda dua maupun roda empat, dan
f. Mobiler dan sarana lainnya hancur total.

C. Bidang Sarana dan Prasarana

Kerusakan dan kerugian akibat gempa/tsunami di Aceh, mencakup:


a. Kanwil Hukum dan HAM serta unit pelaksana teknis (UPT) berupa LP, Rutan,

Cabang Rutan, Bapas, Kantor Imigrasi, dan Rumah Penyimpanan Barang


Sitaan Negara (Rupbasan). Dan Sarana lainnya.
b. 1 (satu) Mahkamah Syar’iyah Provinsi dan 7 (tujuh) Mahkamah Syar’iyah

kabupaten/kota Dan Sarana lainnya.


c. 1 (satu) Pengadilan Tinggi NAD dan 9 (sembilan) pengadilan negeri Dan
Sarana lainnya.
d. 1 (satu) Kejaksaan Tinggi dan 4 (empat) kejaksaan negeri Dan Sarana
lainnya.
e. Rumah dinas Kanwil Hukum dan HAM/jajarannya Dan Sarana lainnya.

f. Rumah dinas PT dan jajarannya serta Mobilernya.


g. Rumah dinas Mahkamah Syar’iyah Provinisi dan jajarannya serta Mobilernya.

h. Rumah dinas Kejaksaan Tinggi dan jajarannya serta Mobilernya.

D. Bidang SDM Hukum


Data mutakhir yang berhasil dihimpun, jumlah korban yang meninggal/hilang
adalah sbb:
- hakim : 4 orang,
- jaksa : 6 orang,
- tenaga fungsional : 15 orang,
- tenaga teknis/administratif :123 orang,

2. UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN PADA TAHAPAN TANGGAP DARURAT


A. Bidang Hukum Pertanahan

204
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

a. Penyuluhan tentang jaminan/perlindungan hukum terhadap hak atas tanah


masyarakat, baik melalui media cetak maupun elektronik;
b. Menerima laporan masyarakat tentang sertifikat hak atas tanah yang
hilang/rusak;
c. Menginventarisasi kerusakan-kerusakan tanah pascagempa dan tsunami;
d. Mengevakuasi dokumen-dokumen pertanahan yang masih tersisa, dan
e. Menginventarisasi subjek dan objek hak atas tanah.

B. Bidang Hukum Keluarga


Upaya yang telah dilakukan:

a. Pembentukan posko pelayanan hukum di bidang hukum keluarga,


b. Mengevakuasi dokumen yang masih tersisa, dan
c. Koordinasi dengan instansi terkait dalam penataan dokumen hukum keluarga.

C. Bidang Sarana dan Prasarana

Upaya yang telah dilakukan pada tahap tanggap darurat meliputi:


a. Pendataan korban dan kerusakan lainnya.
b. Pembentukan posko-posko pelayanan hukum.
c. Pembersihan kantor-kantor/rumah dinas.
d. Rehabilitasi yang bersifat darurat.

D. Bidang SDM
Hingga saat ini, upaya yang telah dilakukan baru bersifat pendataan serta
pelaporan ke induk instansi masing-masing.

3. TAHAPAN PENYUSUNAN RENCANA KEGIATAN


A. Bidang Hukum Pertanahan
a. Mengaktifkan kembali Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan
(Pokmasdartibnah),

205
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

b. Melakukan identifikasi subjek dan objek hak atas tanah baik terhadap tanah
yang telah terdaftar maupun yang belum terdaftar, dan
c. Membuat/mengeluarkan sertifikat pengganti bukti hak baru.

B. Bidang Hukum Keluarga


a. Inventarisasi masalah hukum keluarga,
b. Menyusun perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi,
c. Menjaring aspirasi yang berkembang dalam masyarakat tentang pembangunan
kembali tatanan hukum yang berlandaskan syariat Islam sesuai dengan UU
Nomor 44/1999 dan UU 18/2001, dan
d. Memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, terutama dalam hal
penetapan ahliwaris untuk keperluan pengurusan rekening pada bank dan
Taspen, pemeliharaan anak , serta penetapan status harta yang tak ada
pemiliknya.

C. Bidang Sarana dan Prasarana


Hingga saat ini, upaya yang telah dilakukan baru bersifat pendataan serta
pelaporan ke induk instansi masing-masing.

D. Bidang SDM

a. Pendataan,

b. Pelaporan,

c. Permintaan kebutuhan/penyusunan formasi,

d. Rekruitmen berbagai tenaga yang dibutuhkan.

4. DETAIL RENCANA KEGIATAN


A. Bidang Hukum Pertanahan
a. Bidang Pokja : - Pokja Hukum
- Jenis Prioritas: Bidang Hukum Pertanahan

206
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

b. Nama program : Pembangunan Hukum


c. Nama Kegiatan : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bidang Hukum
Pertanahan
d. Sasaran (Kualitatif)
1. Tata Ruang
a. Penggunaan ruang/tanah sesuai dengan fungsi dan kualitasnya,
b. Terciptanya akses semua elemen/kepentingan masyarakat terhadap
ruang/tanah yang memadai, termasuk untuk kepentingan umum dan
tempat ibadah, sesuai prinsip-prinsip ekologis.
c. Terjaminnya perlindungan hak-hak masyarakat pemilik tanah
sehubungan dengan adanya perubahan perencanaan dan
penggunaan ruang/tanah.
2. Jaminan kepastian hukum hak atas tanah (tanah yang telah terdaftar).
a. Melakukan inventarisasi subjek dan objek tanah,
b. Pembuatan kembali tugu titik dasar teknis yang rusak/hilang,
c. Pengembalian batas-batas tanah,
d. Pemberian sertikat pengganti, dan
e. Rehabilitasi dokumen pertanahan.
3. Perlindungan hukum hak atas tanah (tanah yang belum terdaftar).
a. Melakukan inventarisasi subjek dan objek tanah,
b. Pembuatan kembali tugu titik dasar teknis yang rusak/hilang,
c. Penetapan batas-batas tanah,
d. Pembuatan/pemberian alat bukti hak, dan
e. Rehabilitasi dokumen pertanahan.

e. Kelompok Sasaran:
1. Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan).
2. Masyarakat pemilik/pemegang hak atas tanah.

f. Lokasi Kegiatan:

207
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Mencakup seluruh wilayah yang terkena bencana gempa bumi dan gelombang
tsunami, meliputi:

1. Kota Banda Aceh,


2. Kota Sabang,
3. Kota Lhokseumawe,
4. Kabupaten Aceh Besar,
5. Kabupaten Pidie,
6. Kabupaten Bireuen,
7. Kabupaten Aceh Utara,
8. Kabupaten Aceh Barat,
9. Kabupaten Aceh Jaya, dan
10. Kabupaten Nagan Raya.

g. Cakupan Kegiatan:
- Meliputi pendaatan objek dan subjek tanah hingga pembuatan sertifikat.
h. Indikator Keberhasilan
1. Tersedianya ruang/tanah sesuai dengan fungsi dan kualitas ruang/tanah,
2. Tersedianya akses semua elemen/kepentingan masyarakat terhadap
ruang/tanah yang memadai,
3. Terlindunginya hak-hak masyarakat pemilik tanah akibat terjadinya
perubahan perencanaan dan penggunaan ruang/tanah,
4. Tersedianya data tentang subjek dan objek tanah yang terkena gempa
dan tsunami,
5. Tersedianya kembali tugu titik dasar teknis yang rusak/hilang,
6. Tersedianya kembali batas-batas bidang tanah,
7. Dimilikinya sertifikat pengganti oleh pemegang hak atas tanah (tanah
yang terdaftar),
8. Tersedianya kembali dokumen pertanahan, dan
9. Tersedianya alat bukti hak atas tanah yang belum terdaftar.

208
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

i. Jadwal Waktu Pelaksanaan: Tahun 2005


j. Keterkaitan dengan program/kegiatan lain
Sasaran kegiatan Pokja Hukum bidang prioritas pertanahan ini
sangat terkait dengan sasaran bidang prioritas hukum keluarga,
prasarana dan sarana, SDM, kebutuhan masyarakat terhadap keadilan
serta sasaran semua Pokja lainnya, terutama Pokja Tata Ruang dan
Pertanahan, Lingkungan hidup dan SDA, Pokja Prasarana dan Sarana
Umum, Pokja Agama, Sosbud, SDM dll.

k. Instansi pelaksana, penanggung jawab:


1. Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN dan Kantor Pertanahan).
2. Instansi terkait.
l. Perkiraan biaya (Rp)
m. Sumber pembiayaan: APBN, APBD, atau sumber lain.

B. Bidang Hukum Keluarga


a. Bidang Pokja : Hukum

b. Nama Program: Pembangunan Hukum


c. Nama Kegiatan: Rehabilitasi dan Rekonstrusi Bidang Hukum Keluarga

d. Sasaran

1. Penetapan tentang kepastian hilang/meninggalnya seseorang,

2. Penetapan mengenai status hukum ahliwaris dan objek warisan,

3. Penetapan hak pengasuhan/perwalian anak,

4. Penetapan status perkawinan,

5. Penetapan status kelahiran, dan

6. Penetapan status harta-benda yang tidak ada lagi pemiliknya.

e. Kelompok Sasaran
- Masyarakat yang menjadi korban gempa dan gelombang tsunami.

209
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

f. Lokasi Kegiatan

Kegiatan mencakup seluruh kabupaten/kota/kecamatan/desa dalam Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam yang mengalami musibah bencana.

g. Cakupan Kegiatan

Meliputi pendataan, penyediaan dan penggantian dokumen yang berkaitan


dengan hukum keluarga, dan penetapan status perkawinan, perwalian, dan
kewarisan.

h. Indikator Keberhasilan

1. Terlayaninya masyarakat yang memerlukan informasi dan pelayanan di


bidang hukum keluarga,Adanya penetapan tentang status orang
hilang/meninggal,
2. Adanya penetapan mengenai status hukum ahliwaris dan objek warisan;
3. Adanya penetapan hak pengasuhan/perwalian anak, Adanya penetapan
mengenai status perkawinan,
4. Adanya penetapan status kelahiran, dan
5. Adanya penetapan status harta-benda yang tidak ada lagi pemiliknya.
i. Jadwal waktu pelaksanaan

27 Maret 2005 – sebelum tahun 2008.

j. Keterkaitan dengan program/kegiatan lain

- Program ini terkait dengan instansi seperti Kepolisian, Kanwil BPN,

Kanwil Departemen Hukum dan HAM, dan pemerintah daerah.

k. Instansi pelaksana dan penanggung jawab

- Mahkamah Syar’iah Provinsi NAD beserta jajarannya.

l. Perkiraan biaya (Belum dikalkulasi)

m. Sumber Pembiayaan: APBD, ABPN, dan sumber lain.

C. Bidang Sarana dan Prasarana

210
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

b. Bidang Pokja Hukum


c. Nama Program Rehabilitasi Prasarana dan sarana hukum
d. Nama Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Hukum
e. Sasaran:
-. Membangun baru kantor yang hancur.
- Merehab kantor yang rusak berat.
- Merelokasi kantor yang rawan banjir/tsunami.
- Membangun Lapas khusus wanita.
- Membangun Lapas khusus untuk anak.
- Membangun/merehab rumah dinas.
- Pengadaan sarana kantor dan rumah dinas.

D. Bidang SDM
a. Bidang Pokja : Hukum
b. Nama Program : Penambahan dan Peningkatan Sumber Daya Manusia
c. Nama Kegiatan : Peningkatan SDM
d. Sasaran :
1. Penambahan tenaga hakim dan jaksa,
2. Penambahan tenaga fungsional dan administratif, dan
3. Peningkatan kualitas dan kapasitas hakim, jaksa, dan aparatur hukum
lainnya.

5. MEKANISME PELAKSANAAN:
A. Bidang Hukum Pertanahan
Secara teknis diatur oleh BPN Pusat dan Kanwil BPN Provinsi NAD.

B. Bidang Hukum Keluarga


Secara teknis diatur oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, antara lain, melalui
cara-cara berikut:

211
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1. Penyelesaian harta warisan pada hakikatnya dapat dilakukan secara


kekeluargaan oleh para ahliwaris secara damai di hadapan kepala
desa/lurah, tokoh masyarakat setempat. Namun, apabila penyelesaian
damai tidak membawa hasil, para ahliwaris atau salah satu seorang dari
ahliwaris dapat mengajukan gugatannya ke Mahkamah Syar’iyah di
kabupaten/kota, tempat objek tersebut berada.
2. Penetapan ahliwaris untuk keperluan pengurusan rekening pada bank dan
Taspen, pengesahan pemeliharaan anak yang dalam istilah hukum Barat
disebut adopsi, dapat diajukan langsung ke Mahkamah Syar’iyah. Demikian
pula perkara lain seperti pengesahan nikah, wakaf, dan lain-lain yang
menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
3. Status harta yang pemiliknya tidak ada lagi dan tidak pula meninggalkan
ahli waris, maka sesuai dengan ketentuan syariat Islam, harta tersebut
menjadi milik Baital Mal. Untuk kepastian hukumnya diperlukan penetapan
pengadilan (Mahkamah Syar’iyah).

C. Bidang Sarana dan Prasarana


Secara teknis operasional dilakukan oleh masing-masing instansi.

D. Bidang SDM
Secara teknis operasional dilakukan oleh masing-masing instansi. Khusus untuk
rekruitmen tenaga hakim dan jaksa, dilakukan melalui crash program. Sedangkan
untuk tenaga teknis dan administratif dilakukan dengan cara reguler.

6. MEKANISME MONITORING DAN EVALUASI:


Dilaksanakan oleh suatu tim yang dibentuk dan memiliki mandat khusus untuk itu.
Monitoring dan evaluasi dilakukan mulai dari tahap perencanaan sampai semua
program selesai dilaksanankan. secara bertahap dan kontinyu selama dan setelah
program dilaksanakan.

212
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB VIII
POKJA – VIII
PEMULIHAN KETERTIBAN, KEAMANAN DAN
REKONSILIASI

I. PENDAHULUAN

1.1. Ketertiban Pratsunami

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan salah satu


provinsi yang banyak menuai masalah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selama puluhan tahun rakyat di NAD hidup dari suatu kondisi
yang penuh dengan konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal.
Konflik yang berkepanjangan itu membawa akibat yang cukup dalam bagi
ketertiban dan keamanan, dan juga bagi terciptanya suatu rekonsiliasi
antara pihak-pihak yang bertikai, dan antara pemerintah dengan masyarakat
di NAD.
Kondisi ketertiban sebelum terjadinya tsunami adapat dijelaskan dalam 2
(dua) kategori, yaitu tertib sipil dan tertib birokrasi. Kedua bentuk
ketertiban ini juga mempunyai karakteristik yang dapat dibedakan lagi dalam
bentuk tertib sipil yang berasal dari kesadaran masyarakat sendiri dan tertib
sipil yang merupakan perintah atau kehendak dari penguasa. Selanjutnya
tertib birokrasi juga mempunyai karakteristik yang yang hampir sama
dengan tertib sipil di atas; ketertiban birokrasi kadang kala baru muncul jika
ada suatu paksaan atau tekanan dari pihak penguasa.
Tertib sipil yang muncul akibat dari kesadaran masyarakat adalah suatu
proses ketertiban dimana masyarakat menjadi pilot dari pelaksanaan
ketertiban. Maksudnya masyarakat menciptakan ketertiban demi menjaga
keutuhan dan ketentraraman hidup dalam lingkungan di tempat masyarakat
itu berada. Ini dapat terjadi misalnya karena adanya kesadaran masyarakat
itu sendiri untuk menjaga lingkungan meraka dari rasa ketidak-nyamanan
atau gangguan-gangguan keamanan. Ketertiban dalam konteks ini
mencerminkan bahwa masyarakat ingin selalu menjaga agar lingkungan

213
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

mereka jauh dari ganguan-gangguan pihak lain yang tidak bertanggung-


jawab. Kondisi tertib sipil ini biasanya didapati pada daerah-daerah yang
mempunyai sistem keamanan yang cukup baik misalnya di komplek-komplek
perumahan sebuah perusahaan.
Di lain sisi, kondisi tertib sipil yang bersifat perintah atau kehendak penguasa
biasanya terjadi di daerah-daerah yang menjalankan ketertiban itu atas
dasar suruhan atau perintah dari pihak penguasa di daerah. Ketertiban yang
demikian ini lebih dikarenakan adanya perintah dari penguasa, khususnya
aparat TNI/Polri dan aparat pemerintah yang berwenang lainnya. Jadi peran
penguasa darurat baik darurat militer/sipil cukup besar pada fase dan
kategori ini, sehingga ketertiban itu baru ada jika telah ada perintah dari
penguasa. Karena itu sebelum terjadi tsunami, kondisi ketertiban sipil di
provinsi NAD lebih disebabkan kepada ke dua hal tersebut.
Ketertiban birokrasi pada dasarnya hampir sama dengan kondisi ketertiban
sipil, dimana ketertiban birokrasi yang terjadi selama ini di NAD selain atas
dasar aparat pemerintah itu juga ada yang lebih banyak dipengaruhi oleh
adanya perintah dari penguasa darurat. Kehadiran penguasa darurat telah
mempengaruhi tatanan sistem pelayanan kepada masyarakat maupun
dalam lingkungan tata pemerintahan itu sendiri. Adanya perintah untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan dan aturan yang bermacam-macam
dalam pengurusan suatu dokumen dapat menyebabkan ketentraman
kehidupan masyarakat terganggu. Masyarakat merasa terpaksa dalam
melakukan suatu kegiatan yang berhubungan dengan proses birokrasi,
masyarakat dihadapkan pada masalah untuk memilih dalam proses birokrasi
ini, sehingga kadang kala masyarakat melakukan tindakan diluar dari
harapan yang selalu diinginkan yaitu proses birokrasi yang berjalan lancar.
Proses penyuapan dan sogokan untuk mempermudah urusan merupakan
salah satu indikasi dari kurang tertibnya birokrasi dalam pemerintahan dan
pelayanan. Kondisi ini sudah berlangsung cukup lama, dan sukar untuk
diberantaskan.

214
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1.2. Keamanan Pra-Tsunami

Hampir sama dengan aspek ketertiban, aspek keamanan pra-tsunami


sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari status NAD sebagai wilayah konflik
bersenjata dan dari peran kondisi berlakunya daeran NAD sebagai salah satu
daerah dibawah penguasa darurat militer/sipil. Kondisi keamanan sebelum
terjadinya tsunami sangat dipengaruhi oleh berlakunya dua masa keadaan
darurat yaitu masa darurat militer dan darurat sipil. Pada masa darurat
militer kondisi keamanan tentunya lebih buruk dibandingkan pada saat
berlakunya darurat sipil. Pada masa darurat militer bahkan kondisi
keamanan sempat menjurus kepada pemberlakuan jam malam, sehingga
masyarakat dalam melaksanakan aktivitasnya sedikit terganggu bahkan
untuk aktivitas di malam hari hampir lumpuh total. Kondisi keamanan masa
berlakunya darurat militer sangat buruk, dan untuk menjaga agar keamanan
di setiap desa/gampong masyarakat diwajibkan untuk jaga malam yang
tujuan dan sasarannya adalah untuk mengantisipasi adanya gangguan dari
pihak Geraka Aceh Merdeka (GAM) atau ada GAM yang masuk
desa/gampong. Kondisi ini telah membuat masyarakat serba ketakutan baik
dalam menghadapi GAM yang masuk desa/gampong maupun patroli aparat
yang jika mengetahui ada masyarakat yang tidak jaga malam maka
masyarakat itu mendapat perlakuan yang tidak wajar. Kondisi ini terus
berlanjut bahkan sampai akhir masa darurat militer.

Kondisi keamanan pada masa darurat sipil sedikit lebih membaik, ini dapat
dilihat dari tidak ada lagi pemberlakuan jam malam, dan masyarakat sudah
bisa melakukan beberapa aktivitas di malam hari. Hanya saja menyangkut
dengan keamanan desa/gampong tetap diberlakukan jaga malam seperti di
masa berlakunya darurat militer. Pemberlakuan jaga malam di masa DS
tetap mengacu kepada ketentuan yang berlaku di masa darurat militer,
namun ada beberapa desa/gampong ritme jaga malamnya tidak lagi seperti
di masa darurat militer.

215
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kehadiran masyarakat dalam melaksanakan kegiatan jaga malam tentunya


telah memberikan suasa tersendiri dalam kehidupan masayarakat di
desa/gampong. Karena konsep jaga malam sebenarnya jarang diberlakukan
di desa/gampong-gampong tempo dulu. Menyangkut keamanan, dulu
masyarakat desa/gampong sangat tergantung pada masyarakat itu sendiri;
masyarakat yang berada di desa/gampong, khususnya para pemuda, lebih
banyak menghabiskan malamnya di surau/meunasah di gampong-gampong.
Jagi keamanan di desa/gampong secara tidak langsung telah terjaga dengan
banyaknya pemuda tidur di Surau/Meunasah dan mereka selalu bersama-
sama menjaga keamanan gampong mereka dari pihak-pihak lain yang ingin
mengacaukan atau melakukan kejahatan.
Di lain sisi, kondisi yang cukup ideal yang terjadi di desa/gampong pada
masa lalu itu telah berubah dengan adanya konsep jaga malam yang
merupakan bentuk pelaksanaan keamanan yang diperintahkan bukan atas
dasar kesadaran sendiri warga masyarakatnya. Bahkan kondisi ini telah
meluas kembali dengan membentuk suatu institusi yang seperti dibentuk
atas keinginan dan dorongan pemerintah seperti adanya kekuatan rakyat
(ada yang menyebutnya dengan milisi) yang belum jelas maksud dan tujuan
pembentukannya. Di satu sisi kehadilan milisi dimaksudkan untuk menjaga
keamanan dari gangguan gerakan anti NKRI seperti GAM. Milisi sepertinya
menjadi suatu organisasi yang tidak resmi yang tujuannya untuk menjaga
kedaulatan negara NKRI dari gerakan saparatis GAM, namun kehadiran
mereka kadang kala juga menimbulkan persoalan lain di dalam masyarakat.
Masyarakat mulai tidak nyaman dan keamanannya terganggu, karena milisi
tidak hanya bertugas melawan, mencari dan menemukan GAM, tetapi juga
dapat menjadi informan bagi aparat untuk mendiskriminasikan seseorang di
desa/gampong. Bahkan dalam sejumlah kasus, milisi melakukan
penyanderaan terhadap anggota keluarga GAM. Benih-benih konflik
horizontal mulai tumbuh dan berkembang di beberapa wilayah di NAD.

216
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1.3. Rekonsiliasi pratsunami


Pada tataran akademik, rekonsiliasi (tidak sekedar proses resolusi atau
penyelesaian) diperlukan untuk memulihkan hubungan-hubungan sosial,
politik dan moral yang retak di dalam masyarakat. Konsekuensi dari tidak
terlaksananya rekonsiliasi adalah berlakunya suatu kondisi kerapuhan
kemasyarakatan yang kronis, berupa ketiadaan saling percaya antar anggota
masyarakat, masyarakat dengan pemerintah dan sebaliknya, yang terjadi
secara berkelanjutan sehingga melemahkan persatuan antara pemerintah
dan rakyat.
Rekonsiliasi dalam konsepnya yang ideal, belum pernah dilaksanakan di
NAD. Konflik bersenjata antara GAM dan Pemerintah RI, telah diupayakan
diselesaikan dengan cara dialog, dibawah fasilitasi Hendry Dunant Center
(HDC), sebuah lembaga yang berkedudukan di Switzerland. Sejak tahun
2000 sampai dengan 2002, telah dilangsungkan beberapa kali perundingan
antara Pemerintah RI dan GAM, yang diantaranya menghasilkan dua bentuk
perjanjian penting, yaitu (a) Joint Understanding for Humanitarian Pause
dan; (b) Cessation of Hostilities. Namun, sebagaimana kemudian dapat
dilihat, perjanjian-perjanjian tersebut tidak menghasilkan dampak positif
yang signifikan bagi penyelesaian konflik antara GAM dan Pemerintah RI.
Di pihak lain, ada masalah besar lainnya dalam hubungan antara pemerintah
(pusat) dengan rakyat di NAD. Masalah ini menyangkut dua hal;
pelanggaran HAM pada masa Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM),
dan imbas terkait dengan itu, yaitu ketidakadilan dalam bidang sosial dan
ekonomi. Kasus-kasus DOM ternyata tidak diselesaikan, namun dalam
bidang sosial ekonomi telah terlihat sejumlah perbaikan, khususnya setelah
adanya UU No. 18/2001 tentang Provinsi Dista Aceh sebagai NAD.

1.4. Kondisi Ketertiban, Keamanan dan Rekonsiliasi Pasca Tsunami


Pada dasarnya, kondisi ketertiban, keamanan dan rekonsiliasi pasca
tsunami, masih sulit untuk diukur dalam rentang waktu yang hanya dua
bulan, sampai dengan saat diajukan konsep-konsep untuk mendukung cetak

217
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

biru NAD setelah gempa dan tsunami. Namun, memang terlihat suasana
yang sangat tidak tertib karena faktor bencana, baik dalam hubungannya
dengan kehidupan masyarakat sehari-hari maupun dalam hubungannya
dengan pelayanan birokrasi.

Kehancuran prasarana dan sarana yang sedemikian besar, dan kehilangan


staf atau pegawai dan personil yang demikian banyak, telah secara
signifikan mempengaruhi segala aspek kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, khususnya masyarakat yang menjadi korban karena tsunami.
Di wilayah yang terkena dampak tsunami, berbagai bentuk hukum tidak
diindahkan, dan pelayanan hukum pun tidak berjalan. Fungsi hukum sebagai
alat kontrol masyarakat (social control), alat rekayasa sosial (social
engineering), dan sebagai alat penyelesaian sengketa (dispute settlement),
tidak terlihat implementasinya dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Masyarakat korban hidup tanpa identitas, yang sangat rawan bagi ketertiban,
sekaligus membahayakan keamanan pribadi korban itu sendiri. Pelayanan
birokrasi juga sangat tidak tertib, karena berbagai dokumen hilang dan rusak
karena tsunami.

Dari segi aspek keamanan, gangguan keamanan (khususnya dalam


kaitannya dengan kontak senjata antara GAM dan TNI/Polri) ternyata juga
tetap terjadi di berbagai tempat. Tsunami terlihat tidak memberi pengaruh
kepada aktivitas GAM, bahkan GAM seperti memanfaatkan kehadiran
berbagai lembaga asing untuk memperlihatkan bahwa GAM masih eksis di
NAD. Sejumlah anggota GAM dan beberapa anggota TNI/Polri tewas dalam
kontak senjata karena tsunami. Ini merupakan pertanda bahwa kondisi
bencana ternyata tidak memberi pengaruh kepada intensitas kontak senjata.

Satu halyang menarik adalah bahwa kedua pihak yang bertikai, GAM dan
Pemerintah RI secara tiba-tiba meneruskan kembali perundingan yang telah
pernah dilaksanakan oleh kedua pihak sebelumnya pada tahun 2000-2002.

218
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Kedua pihak melakukan pertemuan sebanyak dua kali di Helsinki, dan kali ini
difasilitasi oleh Crisis Management Initiative. Namun, sampai dengan akhir
pertengahan Maret 2005, belum ada hal yang signifikan yang dihasilkan dari
perundingan tersebut.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN, RONA


Belum diperoleh data yang komprehensif terhadap kerusakan dan
kerugian dalam sector ketertiban, keamanan dan rekonsiliasi pasca tsunami.
Namun, secara umum terdapat dua kategori kerusakan atau kehancuran:
infrastruktur dan korban jiwa. Ketertiban memerlukan dukungan administrasi
dan juga dukungan dari personil dan masyarakat, namun system
administrasi dan kehandalan personil hancur karena tsunami. Demikian juga
halnya dalam bidang keamanan, kehancuran yang demikian besar dalam
sector fisik dan jiwa manusia telah mengakibatkan terganggunya upaya
penegakan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Terjadi disorientasi
terhadap tugas dan fungsi aparat yang berkaitan dengan ketertiban dan
keamanan merupakan dampak lain dari tsunami. Untuk satu bulan lebih,
suasana tidak tertib sangat terasa di dalam berbagai kegiatan pemerintahan
dan public.

Di tengah-tengah masyarakat sendiri, terjadinya perubahan-perubahan


dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan social ekonomi masyarakat dan
birokrasi. Setelah tsunami, terjadi banyak kasus penjarahan harta benda
korban tsunami dan yang bukan korban tsunami, pengkaplingan tanah
secara tidak bertanggung jawab, pelecehan seksual di beberapa tempat
pengungsian, dan berbagai tindak criminal lainnya, yang diantaranya
disebabkan oleh kesulitan ekonomi. Sebagaimana disebutkan di atas, kondisi
keamanan juga tidak berubah, antara lain ditunjukkan dengan adanya
kontak senjata yang telah menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak
dan juga kepada masyarakat. Gangguan keamanan juga terjadi terhadap
sejumlah pekerja kemanusiaan di beberapa tempat di NAD.

219
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

III. PENILAIAN KEBUTUHAN, PROGRAM DAN STRATEGI

• Dari proses penjaringan pendapat dengan berbagai kelompok masyarakat


secara formal dan informal, maka setelah tsunami mutlak dibutuhkan
upaya-upaya untuk mengembalikan atau memulihkan ketertiban,
keamanan, dan juga upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik bersenjata
antara GAM dan TNI/Polri.

• Kebutuhan dalam berbagai aspek ini menyangkut dua hal; kebutuhan atas
strategi yang memungkinkan kondisi menjadi kembali aman dan tertib,
dan kebutuhan terhadap prasarana dan sarana yang akan memberi
dukungan kepada terimplementasinya strategi tersebut, khususnya
menyangkut kebutuhan dana.

• Dalam masa pascatsunami, penanganan potensi perselisihan dan


pertikaian di kalangan masyarakat perlu mendapatkan perhatian dari
pemerintah dan masyarakat. Perhatian khusus perlu diberikan kepada
masalah kepemilikan tanah, ketimpangan akses ke sumberdaya, dan
kecemburuan antar kelompok-kelompok masyarakat.

• Institusi POLRI, sebagai aparat penegak hukum dan pemelihara ketertiban


umum perlu ditingkatkan kapasitasnya, terutama dalam menangani dan
menyelesaikan masalah-masalah masyarakat. Paralel dengan peningkatan
kapasitas POLRI, adalah peningkatan kapasitas kejaksaan dan pengadilan,
yang merupakan institusi terpenting dalam criminal justice system.

• Pemerintahan yang baik dan bersih adalah sumber kepercayaan


masyarakat terhadap pemerintah dan aparat-aparatnya. Karena itu,
penegakan hukum hendaknya perlu dilakukan terhadap pelanggaran
termasuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI.
Kepercayaan masyarakat akan menguat apabila profesionalisme TNI dan
POLRI benar-benar menjadi sebuah kenyataan.

220
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3.1. Prinsip-prinsip dasar Program

• Menurut aspirasi yang berkembang, prinsip terpenting yang harus


diperhatikan adalah prinsip partisipatif, akuntabel, koordinatif dan
transparan, dengan memperhatikan nilai-nilai sosial budaya lokal dan
Islam.

• Konsep aman dan tertib merupakan dua konsep tak terpisahkan, karena
itu dalam kaitannya dengan upaya menciptakan ketertiban dan keamanan,
maka upaya itu harus dilakukan secara paralel, tidak terpisah satu sama
lain. Suasana tertib hanya akan muncul apabila ada rasa aman.

3.2. Program

Didasarkan pada masukan-masukan yang diperoleh dari masyarakat


dan diskusi-diskusi yang dengan sejumlah pihak, akademisi, aktivis LSM,
mahasiswa dan sebagainya, maka perlu dilakukan program-program dan
strategi yang dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu:

(a) Pemulihan Ketertiban dan Pemulihan Keamanan;

(b) Pelaksanaan Rekonsiliasi.

3.3. Strategi

Sebagaimana sudah diterangkan di atas, konsep ketertiban dan


keamanan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Sehubungan
dengan itu, maka perlu diterapkan strategi di dalam mana pemerintah,
khususnya aparat penegak hukum, dapat bersama-sama dengan masyarakat
membangun suasana aman dan tertib di dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kaitannya dengan ini, langkah-langkah berikut ini dapat merupakan


strategi ke arah tercapainya suasana tertib dan aman:

• Pertemuan dengan kelompok-kelompok masyarakat pada tingkat kampong,


dengan menggunakan strategi Focus Group Discussion (FGD), untuk
mengetahui apa konsep “tertib” dan “aman” menurut pemahaman
masyarakat.

221
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Pertemuan dengan kelompok-kelompok masyarakat untuk


mengidentifikasi strategi atau teknik menciptakan rasa aman dan tertib
dengan partisipasi penuh masyarakat, dan sekaligus mengidentifikasi
sumberdaya apa saja yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut.

• Membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya partisipasi


masyarakat untuk menciptakan rasa aman dan tertib melalui program
Radio, TV, dan surat kabar.

• Membentuk jaringan masyarakat sipil yang bertemu secara berkala untuk


melakukan rukar pendapat mengenai isu-isu ketertiban dan keamanan dan
mencari solusi terhadap masalah yang ada

• Melaksanakan program “policying community.”

Dalam kaitannya dengan rekonsiliasi, maka perlu ada kejelasan di dalam


blue print tentang siapa yang akan terlibat dalam rekonsiliasi, atau
rekonsiliasi antara siapa dengan siapa. Dari penjaringan pendapat, maka
rekonsiliasi harus terjadi dalam poros sebagai berikut:

• GAM-Pemerintah Indonesia (TNI/POLRI)

• GAM-Masyarakat NAD

• Pemerintah Indonesia-Masyarakat NAD

Dalam kaitannya dengan rekonsiliasi antara GAM-Pemerintah Indonesia


(TNI/POLRI) perlu dilakukan dengan dialog terlebih dahulu, dengan mediasi
dari lembaga yang dipercayakan oleh kedua belah pihak. Beberapa catatan
penting perlu diperhatikan dalam rekonsiliasi, khususnya dialog:

• Membangun mekanisme implementasi yang dapat menjamin terwujudnya


proses perdamaian yang berkelanjutan dengan melibatkan pihak ke tiga
yang bersifat netral serta memiliki kewenangan penuh untuk menjaga
perdamaian.

• Civil Society perlu diakui sebagai pihak yang berpihak pada perdamaian
dan kemanusiaan, dan oleh karena itu perlu diperkuat dan diberi ruang

222
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

partisipasi yang luas.

• Proses rekonsiliasi di NAD harus berangkat dari kesatuan NAD sebagai


satu unit administrasi.

• Proses rekonsiliasi di NAD perlu dilakukan di berbagai tingkat dan


menyangkut berbagai proses penanganan masalah-masalah mendasar. Ini
mencakup antara lain rekonsiliasi pemerintah RI-GAM, rekonsiliasi
pemerintah-masyarakat, dan implementasi peradilan HAM. Penerapan
otonomi khusus dengan menyeluruh dan berkesinambungan dapat
menjadi kerangka bagi proses rekonsiliasi tersebut.

• Proses rekonsiliasi di NAD yang menyeluruh memerlukan upaya


menghilangkan kesenjangan pembangunan antar-wilayah dan antar-sektor
yang selama ini terjadi di NAD. Upaya menghilangkan kesenjangan ini
perlu dilakukan supaya Aceh yang utuh, bersatu, dan setara dapat
terwujud.

Pengalaman Rekonsiliasi Afrika Selatan

Salah satu negara yang telah menerapkan rekonsiliasi (dengan membentuk


Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi—KKR) adalah Afrika Selatan, sekalipun
terdapat berbagai kekurangan di dalam implementasinya, khususnya dalam
hubungannya dengan ganti kerugian kepada para korban pelanggaran HAM.
Pada level praktis, KKR di Afsel itu adalah “Confess your crime, apply for
amnesty and you will go free. If you don’t come forward, you will be
prosecuted.” (Pelaku pelanggaran HAM harus mengakui perbuatannya di
hadapan KKR, dan minta pengampunan, yang jika diberikan maka mereka
akan bebas. Jika mereka tidak datang ke KKR, maka mereka akan dihukum).

KKR dianggap istimewa dalam hal ukuran dan cakupannya. KKR


dimaksudkan untuk memberi arti kepada suara korban secara individu,

223
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

pelurusan sejarah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar pelanggaran


HAM, pendidikan dan pengetahuan publik, memeriksa pelanggaran HAM
sistematis menuju reformasi kelembagaan, memberikan assesment tentang
akibat pelanggaran HAM terhadap korban, dan pertanggungjawaban pelaku
kejahatan. KKR juga erat kaitannya dengan konsep transitional justice
(keadilan transisional). Tidak sebagaimana ketentuan amandemen kedua
UUD 1945 yang tidak menganut asas retroaktif (berlaku surut), maka dalam
konsep keadilan transisi ini asas retroaktif tersebut dimungkinkan untuk
dilaksanakan guna menghindarkan terus terjadinya impunitas. Rejim
otokratik, baik secara institusional maupun individual, harus bisa diminta
pertanggungjawabannya secara terbuka atas pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukannya terhadap HAM pada waktu yang lalu.

Sekalipun disadari bahwa upaya-upaya yang dilakukan atas dasar


transitional justice pada asasnya lebih cenderung ke arah penyelesaian-
penyelesaian yang bersifat pragmatik untuk kepentingan jangka panjang,
demi integrasi bangsa, namun ada dua hal yang cukup jelas:
keberpihakannya pada korban menjadi dasar penyelesaian utama, dan
akuntabilitas para pelanggar tetap dituntut.

Khusus mengenai kompensasi kepada korban DOM di Aceh, pemerintah


pusat dan pemerintah daerah sebenarnya telah menjanjikan bantuan
misalnya membangun kembali rumah-rumah yang terbakar dan juga
memberikan kesempatan kepada anak yatim korban DOM untuk sekolah dan
atau mendapat pekerjaan. Namun harus diakui, bahwa realisasi bantuan
tersebut sangat tidak memuaskan, baik karena kendala birokrasi maupun
karena sesungguhnya program-program yang demikian itu lebih
berlandaskan pada belas kasihan, bukan dalam kerangka mencapai keadilan.
Para pelaku tetap tidak tersentuh, di samping juga adanya dugaan

224
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

penyelewengan dalam penyaluran bantuan dan dalam proses rekruitmen


korban DOM menjadi pegawai negeri.

Jika KKR dijadikan pilihan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM


di Aceh, maka siapapun yang telah melakukan pelanggaran HAM baik
semasa DOM maupun pascaDOM diminta untuk mengaku perbuatannya,
kemudian minta amnesti atau pengampunan, dan selanjutnya dibicarakan
kompensasi dan reparasi kepada para korban. Jika KKR telah disetujui, dan
masih didapati orang-orang yang melanggar HAM yang tidak melaporkan diri
dan atau tidak membuat pengakuan, maka orang tersebut kemudian ditahan
dan selanjutnya diproses menurut ketentuan hukum yang berlaku

Prasyarat rekonsiliasi

• Penyelesaian masalah keamanan dan pembangunan ketertiban


memerlukan efektifitas peran pemerintah, baikpusat maupun daerah,
dengan tidak mengesampingkan pentingnya keterbukaan ruang publik
bagi partisipasi masyarakat dalam menjalankan agenda-agenda
kemanusiaan dan sosial.
• Civil Society perlu diakui sebagai pihak yang berpihak pada perdamaian
dan kemanusiaan, dan oleh karena itu perlu diperkuat dan diberi ruang
partisipasi yang luas.
• Peran TNI hendaknya difokuskan pada upaya menjalankan fungsi-fungsi
pertahanan, sementara itu, peran POLRI difokuskan pada upaya
menjalankan fungsi-fungsi keamanan.
• Lembaga-lembaga masyarakat berpartisipasi dalam proses pemeliharaan
keamanan dan ketertiban serta dalam upaya-upaya rekonsiliasi.

Strategi untuk program rekonsiliasi

225
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Dalam kaitannya dengan strategi, maka perlu ada kesadaran bahwa


berbagai kelompok kerja yang lain memiliki pengaruh kepada lancar atau
tidaknya proses rekonsiliasi. Namun secara umum, rekonsiliasi dilakukan
dengan strategi sebagai berikut:
• Memfasilitasi perundingan antara GAM-Pemerintah RI, dan membahas lebih
lanjut penerapan otonomi khusus
• Menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, memberi pelatihan-pelatihan
kepada aparat kepolisian dan TNI mengenai HAM
• Melakukan pelatihan tentang prinsip-prinsip HAM dan toleransi sosial
kepada pemuda

226
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB IX
POKJA – IX
AKUNTANBILITAS DAN GOVERNANCE

I. LATAR BELAKANG
Bencana alam gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2005
pada pukul 07.58 WIB terjadi di wilayah pesisir Nanggroe Aceh Darussalam
& Sumatera Utara telah
menghancurkan Banda Aceh, Meulaboh, wilayah pantai Aceh Besar, Aceh
Jaya, Nagan Raya, Simeuleue, Aceh Utara, dan Aceh Timur dan 8 kab/kota
lainnya di NAD dan Kab Nias di Sumut. Wilayah yang rusak mencapai 10.000
km2 di 22 kab/kota. Gempa dan Tsunami tersebut merupakan yang terbesar
keempat setelah yang terjadi pada tahun 1900 dan yang terbesar setelah
Gempa di Prince William Sound, Alaska (1964)
Jika ditinjau dari data inventarisasi kerusakan dan kerugian akibat
musibah ini tercatat 1,3 juta rumah dan bangunan, 8 pelabuhan, 4 depot
BBM, 85% sarana air bersih, 92% sarana sanitasi, 120 km jalan,18 jembatan,
dan 20% jaringan distribusi listrik.
Dari data yang dikemukakan di atas dapat diperkirakan bahwa total
kerugian dan kerusakan adalah ± 4,5 Milyar Dollar (Rp 40 Trilyun). Angka ini
menggambarkan 2,2% dari GNP dan 97% dari GDP Provinsi NAD.
Ditinjau dari sektor yang terkena dampak musibah ini, berdasarkan data
yang diperoleh dari Bank Dunia dapat diperinci sebagai adalah Lingkungan
(11%), Sosial (termasuk perumahan) (34%), Infrastruktur (37%), dan
lainnya (2%).

227
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Tabel 1. Ringkasan Kerugian dan Kerusakan


(Dalam Milyar US)
Kerusakan Ke Total
rugia
n
Sektor Social 1,684 57 1,741
Perumahan 1,398 39 1,437
Pendidikan 119 9 128
Kesehatan 82 9 92
Agama dan 83 0 83
Budaya
Infrastruktur 636 24 877
Transportasi 391 1 536
Komunikasi 19 14 22
Energi 68 5 68
Air dan Sanitasi 27 3 30
Flood control 132 0 221
3
89
Sektor Produksi 352 83 1.182
PErtanian 84 0 225
PErikanan 102 14 511
Indusatri dan 167 1 447
perdagangan 40
9
28
0
Lintas sektoral 252 40 652
Lingkungan 155 0 549
Governance dan 84 39 89
administrasi. 14 4 14
Perbankan dan 5
keuanngan 0
Pengeluaran 0 0 0
darurat
TOTAL 2,924 1, 4,452
528

Ditinjau dari besarnya komitment dan besarnya realisasi sampai


dengan tanggal 18 Februari dapat dilihat pada Tabel 2.

228
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Tabel 2. Total Komitmen dan Realisasi Bantuan Asing

Jumlah Bantuan
No. Negara Total
Realiasi
Komitmen
Bantuan (juta)
(juta)
1. Jepang USD 500.00 USD 22.81
2. Amerika Serikat USD 350.00
3. Australia AUS$ 385.00 AUS$ 23.00
4. Kanada CDN$ 80.00
5. Selandia Baru US$ 7.20
6. Swedia US$ 75.00
7. Korea Selatan US$ 50.00 US$ 15.00
8. Uni Emirat Arab US$ 20.00
9. Cina RMB 107.17
10. Spanyol EUR
0.
00
11. Malaysia US$ 3.40

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa masih banyak komitmen


negara donor yang belum terealisir. Oleh sebab itu upaya mewujudkan
komitmen harus mulai dilakukan.

II. PERMASALAHAN

Alokasi APBN dan APBD yang tidak banyak berubah akan berdampak
pada minimnya dana untuk recovery dan reconstruction pembangunan Aceh.
Sumber terbesar APBD Aceh berasal dari transfer Pemerintah Pusat, berupa
dana migas dan DAU, juga tidak mampu meng-backup keperluan ini. Oleh
sebab itu pemaksimalan bantuan asing (foreign finance) perlu mendapat
perhatian serius, karena tingginya komitmen yang diberikan oleh negara
asing melalui forum CGI. Perwujudan komitmen-komitmen yang telah
dinyatakan oleh negara-negara donor perlu ditindaklanjuti dengan
pemenuhan syarat-syarat bantuan dari negara donor.

229
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Informasi yang diekspose dari hasil pertemuan Paris Club (CGI Forum)
menggambarkan estimasi komitmen dari donor berjumlah antara US$ 4
milyar sampai US$ 5 milyar. Pengalaman dari beberapa negara yang
mengalami bencana alam dalam mencairkan komitmen berada pada tingkat
5% - 16% dari plafon, hal ini disebabkan antara lain oleh kendala
perencanaan, prosedural dan ketidakmampuan memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh negara donor.
Dari total komitmen donor tersebut, proporsi untuk penanggulangan
bencana stunami untuk Aceh berada pada angka %0% sampai 60% (US$ 2
milyar sampai US$ 3 milyar) dan kemampuan memenuhi prasyarat untuk
merealiasikan komitmen tersebut berada pada kemampuan, misalnya, 20%
saja, maka dana yang dapat digunakan untuk rekonstruksi Aceh hanya
US$ 0,4 milyar samapi US$ 0,6 milyar (Rp 3,6 Trilyun sampai Rp 5,4 Trilyun)
dari taksiran kebutuhan dana awal untuk rekonstruksi Aceh sebesar Rp 40
Trilyun.
Selain kendala ketidakmampuan negara penerima komitmen memenuhi
prasyarat negara donor, kemungkinan gagalnya realisasi antara lain:
1. Perubahan politik negara dan komitmen, jadi kita harus cepat
merebutnya
2. Berakhirnya periode anggaran negara donor
3. Terjadinya bencana berskala internasional di negara lain
4. Terganggunya mekanisme akuntabilitas sehingga menurunkan
kepercayaan dari negara donor.
Oleh sebab itu usaha-usaha yang mengarah pada terealisasinya
komitmen negara donor harus segera dilakukan, antara lain dengan
membentuk special envoy (duta khusus) guna “me-remind” negara-negara
donor akan janji mereka. Special envoy juga bertugas mensosialilasikan
program-program kerja yang telah disusun oleh masing-masing kelompok
kerja. Output yang didapat dari kelompok kerja akan memberikan hasil
berupa:
o Keandalan data penyusunan program

230
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

o Keandalan daya penetapan angka yang dibutuhkan untuk


pendanaan
o Matching antara perencanaan dan freferensi negara donor.

III. PRINSIP-PRINSIP POKOK YANG DIPERLUKAN BAGI UPAYA


REKONSILIASI

Untuk menjalankan recovery dan reconstruction pembangunan Aceh


diperlukan prinsip-prinsip pokok, yaitu:
• Prinsip Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fatanah
Prinsip ini harus dijunjung tinggi oleh setiap individu, organisasi,
pemerintah, dan semua pihak yang terlibat dalam pembangunan
Aceh kembali yang bermartabat dan ber-Syariat Islam. Prinsip ini
adalah prinsip dasar yang menjadi “roh” dalam upaya rekonsiliasi.

• Prinsip Tranparansi dan Partisipasi


Prinsip ini dimaksudkan agar data/informasi recovery dan
reconstruction pembangunan aceh ini dapat dapat diakses oleh
stakeholders, termasuk perumusan kebijakan dan pelaksanaan kerja
organisasi. Sedangkan prinsip partisipasi dimaksudkan agar
stakeholders baik secara langsung maupun melalui institusi yang
mewakili kepentingannya dapat berpartisipasi aktif dan konstruktif
dalam pengambilan keputusan.
Penerapan prinsip transparansi dan partisipasi :
- Sumber dana
- Organisasi, manajemen dan personil
- Pelaksanaan
- Pengadaan barang dan jasa
- Penyaluran danabantuan kemanusiaan
- Pelaporan hasil
• Prinsip Akuntabilitas

231
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Prinsip ini adalah kjewajiban untuk mempertanggungjawabkan


pelaksanaan program termasuk keberhasilan dan kegagalan program
yang dijalankan.
• Prinsip Penegakan Hukum
Program ini harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Operasional terhadap prinsip-prinsip di atas dapat dilakukan dengan
ketentuan:
- Kejelasan tentang entitas penyelenggara proses rekonstruksi (Badan
Otorita Khusus vs Badan Pelaksana Pembangunan)
- Tersedianya cukup dana untuk di-manage.
- Adanya mekanisme penetapan prioritas
- Pengaturan (mekanisme) dana keluar:
- Procurement
- Disbursement
- Tersedianya system pengendalian yang efektif, melalui:
- Planning – participatory
- Accounting
- Monitoring – structural and social control
- Auditing – due diligence

IV. ARAH-ARAH KEBIJAKAN


Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tingginya komitmen yang
diberikan oleh negara asing bagi negara-negara yang terkena dampak
tsunami mengharuskan kita untuk lebih serius menggarapnya. Hal ini
disebabkan bahwa selain Indonesia terdapat negara lain yang terkena
dampak tsunami yaitu antara lain, Thailand, Srilangka, Maladewa,
Banglades. Oleh karena itu negara-negara yang terkena dampak tsunami
tersebut merupakan saingan negara kita untuk mengekploitasi komitmet
yang telah dijanjikan dalam sidang CGI tersebut. Memang diakui bahwa

232
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

negara yang paling besar terkena dampak tsunami adalah Indonesia, karena
itu lada logicnya bantuan itu lebih banyak mengalir ke negara kita, tetapi
kita musti kuatir bantuan asing tidak akan masuk kenegara kita karena
lemahnya kepercayaan negara luar terhadap Indonesia. Untuk itu diperlukan
upaya penyusunan suatu mekanisme pendanaan yang akuntable, sehingga
akan dapat memperbaiki citra negara Indonesia sebagai salah satu yang
kurang bersih.
Mekanisme pendanaan yang disusun diharapkan akana memaksimumkan
pencairan dana dari sejumlah komitmen yang telah disampaikan. Mekanisme
ini juga akan merangsang bantuan baru dari negara donor. Mekanisme
pendanaan tersebut melibatkan unsure dari negara donor, pemerintah dan
masyarakat local (local community).

V. MEKANISME DAN KELEMBAGAAN


Ada dua sudut pandang untuk mendesain mekanisme dan
kelembagaan dalam membangun kembali Aceh. Sudut pandang tersebut
adalah sumber dana (source of fund) dan alokasi dana (allocation of fund).
Sumber dana dapat dibagi dalam sumber dana dalam negeri dan sumber
dana luar negeri. Sumber dana dalam negeri menggunakan mekanisme dan
kelembagaan APBN dan APBD sebagaimana yanng tertuang dalam
perundang-undangan, namun untuk penggunaan APBN/APBD lebih
difokuskan untuk mempercepat proses recovery Sedangkan sumber dana
yang berasal dari luar negeri yang berbentuk kas harus dibentuk dalam
trust fund.
Trust fund yang mungkin dibentuk terbagi dalam Multi Donors
Trust Fund (MDTF) dan Aceh Trust Fund (ATF). MDTF adalah
mekanisme yang telah dikembangkan World Bank yang merupakan
konsensus beberapa negara untuk membentuk trust fund yang dilengkapi
dengan steering committe, yang terdiri dari wakil negara donor, Pemerintah
RI, dan masyarakat lokal. Mekanisme ini akan menjadikan MDTF sebagai

233
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

one stop center untuk mengakses dana multidonor. Namun perlu


diperhatikan bahwa MDTF memiliki keterbatasan, antara lain:
• Adanya batasan masa operasi
• Adanya individu (people) yang ingin langsung memberikan bantuan
tanpa melalui mekanisme MDTF.
• Should we put all eggs in one basket
• Perlu dikaji tentang bottleneck
• Perlu dikaji tentang kelemahan single authority
Untuk mengatasi keterbatasan MDTF di atas perlu dipikirkan
alternatif lain dalam trust fund, maka akan dibentuk Aceh Trust Fund
(ATF) yang juga dilengkapi dengan steering committe yang terdiri dari
masyarakat lokal. ATF dibentuk dengan alasan untuk menampung dana dari
individu (people) yang ingin menyalurkan dananya bagi pembangunan Aceh.
Individu (people) ini dapat berupa individu lokal, nasional, maupun
internasional.
Namun prasyarat utama dari dibentuknya trust fund adalah
dibentuknya executing egency sebagai badan independen yang mengelola
trust fund ini bekerja sama dengan steering committe. Badan ini mutlak
harus ada untuk memangkas hambatan-hambatan birokrasi guna percepatan
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Badan ini harus dibentuk dengan
ketentuan:
o Badan ini harus setingkat Menteri yang langsung
bertangngungjawab kepada Presiden
o Dapat mengkoordinasikan Menteri lain agar bisa melakukan
tugasnya dengan efektif.
o Mempunyai masa tugas tertentu
o Mampu memberdayakan seluruh sumber daya yang ada, termasuk
Pemerintah Lokal, guna percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh.

234
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Mekanisme dan kelembagaan pendanaan yang ditawarkan oleh


Kelompok Kerja IX tentang Akuntabiltas dan Governance adalah seperti yang
tergambar dalam flowcart berikut:

VI. AKUNTABILITAS PENDANAAN


Akuntabilitas pendanaan sangat berkaitan erat dengan empat pertimbangan
sebagai berikut:
1. Tumbuhnya kepercayaan dari negara-negara yang telah memberikan
comitmennya dan atau lembaga yang akan memberikan comitmennya
sehingga bantuan bantuan luar negeri dapat dimaksimalkan
(maximization of foreign finance)
2. Terbentuknya dukungan pembiayaan sepenuhnya terhadap proyek-
proyek yang telah disepakati dalam program rekonstruksi aceh (full
financing of the project).

235
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

3. Munculnya dorongan berbagai pihak yang terlibat dalam rekonstruksi


aceh untuk menyusun proposal pendanaan yang benar, sehingga
berperan sebagai alat komunikasi yang efektif dengan negara donor.
Penyusunan perencanaan, monitoring pelaksanaan, dan evaluai
kinerja perlu diefektifkan dengan cara:
a. Due process prosedure
b. Proses perencanaan diarahkan untuk menjadikan masyarakat Aceh
sebagai “champion” , jangan menjadikan masyarakat yang terkena
musibah menjadi objek.
c. Menumbuhkan minat kontraktor untuk memulai pekerjaan proyek
setelah mendapat approval (Proses building tuntas)
4. Memungkinkan masuknya unsur masyarakat (share holder) dalam
pendanaan, dan pengakuan kepemilikan masyarakat dalam proyek-
proyek yang dapat menciptakan penghasilan dan mempunyai dampak
jangka panjang.
5. Memberikan ruang akses untuk publik untuk mengakse informasi
mengenai recovery aceh pasca tsunami melalui media masa (surat
kabar, televisi, web, dan memasang display untuk informasi ditempat
proyek yang dilaksanakan.

Guna meningkatkan akuntabilitas dari entitas yang dibentuk melului trust


fund, maka diperlukan adanya Lembaga Pengawas yang bersifat Public
Oversight Boby.
Keanggotaan dari Lembaga Pengawas terdiiri dari:
- Wakil negara donor
- Pemerintah
- Tokoh Masyarakat
- Akademisi
- LSM
Standar Prosedur Operasional badan pengawas adalah :
- Mengembangkan operating prosedure pengawasan
- Mengembangkan audit program untuk kinerja dan keuangan
- Menyusun laporan pengawasan untuk berbagai pihak yang terlibat.

Pembentukan Badan Pengawas ini harus dilakukan melalui fit and profer test.
Hambatan-hambatan akuntabilitas pendanaan dapat dihindari dengan
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Membentuk executing agency (entitas) dengan stuktur organisasi yang
solid, kredibel, capable, dan acceptable.
2. Menciptakan suatu standar biaya yang baku.
3. Merumuskan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (manual) guna
memudahkan dalam pengevaluasian dan pertanggungjawaban.
4. Menghindari kebocoran akibat uji coba pekerjaan.
5. menetapkan standar gaji.
6. Memberi peluang sebesar-besarkan bagi prefernsi negara donor.

236
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB X
POKJA – X
SISTEM DAN MEKANISME PENDANAAN

I. PENDAHULUAN

Bencana alam gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2005


pada pukul 07.58 WIB terjadi di wilayah pesisir Nanggroe Aceh Darussalam
& Sumatera Utara telah
menghancurkan Banda Aceh, Meulaboh, wilayah pantai Aceh Besar,
Aceh Jaya, Nagan Raya, Simeuleue, Aceh Utara, dan Aceh Timur dan 8
kab/kota lainnya di NAD dan Kab Nias di Sumut. Wilayah yang rusak
mencapai 10.000 km2 di 22 kab/kota. Gempa dan Tsunami tersebut
merupakan yang terbesar keempat setelah yang terjadi pada tahun 1900
dan yang terbesar setelah Gempa di Prince William Sound, Alaska (1964).
Karena begitu dahsyatnya dampak tsunami ini sehingga merupakan
tantangan terbesar bagi Bangsa Indonesia agar dapat membantu warganya
yang kena musibah, baik bantuan moril maupun material. Hal ini tentu
terkait pula dengan keperluan dana yang amat besar dalam upaya
membantu warga Aceh yang terkena musibah ini.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN


Jika ditinjau dari data inventarisasi kerusakan dan kerugian akibat
musibah ini tercatat 1,3 juta rumah dan bangunan, 8 pelabuhan, 4 depot
BBM, 85% sarana air bersih, 92% sarana sanitasi, 120 km jalan,18 jembatan,
dan 20% jaringan distribusi listrik.
Dari data yang dikemukakan di atas dapat diperkirakan bahwa total
kerugian dan kerusakan adalah ± 4,5 Milyar Dollar (Rp 40 Trilyun). Angka ini
menggambarkan 2,2% dari GNP dan 97% dari GDP Provinsi NAD.

237
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Tabel 1. Ringkasan Kerugian dan Kerusakan


(Dalam Milyar US)
Kerusakan Kerugian Total
Sektor Sosial 1,684 57 1,741
Perumahan 1,398 39 1,437
Pendidikan 119 9 128
Kesehatan 82 9 92
Agama dan Budaya 83 0 83
Infrastruktur 636 241 877
Transportasi 391 145 536
Komunikasi 19 3 22
Energi 68 0 68
Air dan Sanitasi 27 3 30
Pengendalian banjir 132 89 221
Sektor Produksi 352 830 1.182
PErtanian 84 141 225
PErikanan 102 409 511
Indusatri dan perdagangan 167 280 447
Lintas sektoral 252 400 652
Lingkungan 155 394 549
Governance dan 84 5 89
administrasi. 14 0 14
Perbankan dan keuanngan
Pengeluaran darurat 0 0 0
TOTAL 2,924 1,528 4,452

III. PENILAIAN KEBUTUHAN

Ditinjau dari sektor yang terkena dampak musibah ini, berdasarkan


data yang diperoleh dari Bank Dunia dapat diperinci sebagai adalah
Lingkungan (11%), Sosial (termasuk perumahan) (34%), Infrastruktur
(37%), dan lainnya (2%). Dengan demikian, kebutuhan dana kedepan tentu
disesuaikan dengan sector yang terkena dampak.

238
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

IV. KOMITMEN DAN REALISASI BANTUAN ASING

Ditinjau dari besarnya komitmen dan besarnya realisasi komitmen

bantuan asing sampai dengan tanggal 18 Februari 2005 dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Total Komitmen dan Realisasi Bantuan Asing

Jumlah Bantuan
Total Total
Komitmen Realisasi Sisa Komitment
No. Negara (juta) (juta) (juta)
1 Jepang USD 500 22.81 477.19
2 Amerika USD 350
Serikat 350
3 Australia AUS$ 385 23 362
4 Kanada CDN$ 80 80
5 Selandia Baru US$ 7.2 7.2
6 Swedia US$ 75 75
7 Korea Selatan US$ 50 15 35
8 Uni Emirat US$ 20
Arab 20
9 Cina US$ 107.17 107.17
10 Spanyol EUR 50 50
11 Malaysia US$ 3.4 3.4

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa realisasi komitmen negara


donor masih sangat rendah. Oleh sebab itu diperlukan upaya yang lebih
serius dalam merealisasikan komitmen ini.

V. STRATEGI MEMAKSIMUMKAN REABILISASI KOMITMEN

Alokasi APBN dan APBD yang tidak banyak berubah akan berdampak pada

minimnya dana untuk recovery dan reconstruction pembangunan Aceh.

239
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Sumber terbesar APBD Aceh berasal dari transfer Pemerintah Pusat, berupa

dana migas dan DAU, juga tidak mampu meng-backup keperluan ini. Oleh

sebab itu pemaksimalan bantuan asing (foreign finance) perlu mendapat

perhatian serius, apalagi dengan tingginya komitmen yang diberikan oleh

negara asing melalui forum CGI. Perwujudan komitmen-komitmen yang

telah dinyatakan oleh negara-negara donor perlu ditindaklanjuti dengan

pemenuhan syarat-syarat bantuan dari negara donor.

Disamping itu pengalaman terdahulu di negara lain bahwa komitmen untuk


mencairkan dana hanya digunakan sebesar 20%. Ini berarti US$ 2 M – 3 M
menjadi US$ 0,4 M – 0,6 M atau Rp. 24 Triliun menjadi menjadi Rp. 4,8
Trilliun dari kebutuhan Rp. 40 Trilliun.

Pengeksploitasian komitmen mestilah dilakukan secara serius dan bersifat


segera, jika tidak, maka dikuatirkan akan amat rendah realiasi komitmen
tersebut. Karena, bagaimana pun galalnya komitmen bisa disebabkan oleh
antara lain:1) Perubahan politik negara dan komitmen, jadi kita harus cepat
merebutnya; 2) Berakhirnya periode anggaran negara donor; 3) Terjadinya
bencana berskala internasional di negara lain; dan 4) Terganggunya
mekanisme akuntabilitas sehingga menurunkan kepercayaan dari negara
donor.

Itu sebabnya, usaha-usaha yang mengarah pada terealisasinya komitmen


negara donor harus segera dilakukan, antara lain dengan membentuk
special envoy (duta khusus) guna “me-remind” negara-negara donor akan
janji mereka. Special envoy juga bertugas mensosialilasikan program-
program kerja yang telah disusun oleh masing-masing kelompok kerja.
Output yang didapat dari kelompok kerja akan memberikan hasil berupa:
• Keandalan data penyusunan program
• Keandalan daya penetapan angka yang dibutuhkan untuk
pendanaan

240
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Matching antara perencanaan dan freferensi negara donor.


Tingginya komitmen yang diberikan oleh negara asing bagi negara-
negara yang terkena dampak tsunami mengharuskan kita untuk lebih serius
menggarapnya. Hal ini disebabkan bahwa selain Indonesia terdapat negara
lain yang terkena dampak tsunami yaitu antara lain, Thailand, Srilangka,
Maladewa, Banglades. Oleh karena itu negara-negara yang terkena dampak
tsunami tersebut merupakan saingan negara kita untuk mengekploitasi
komitmet yang telah dijanjikan dalam sidang CGI tersebut. Memang diakui
bahwa negara yang paling besar terkena dampak tsunami adalah Indonesia,
karena itu lada logicnya bantuan itu lebih banyak mengalir ke negara kita,
tetapi kita musti kuatir bantuan asing tidak akan masuk kenegara kita
karena lemahnya kepercayaan negara luar terhadap Indonesia. Untuk itu
diperlukan upaya penyusunan suatu mekanisme pendanaan yang akuntable,
sehingga akan dapat memperbaiki citra negara Indonesia sebagai salah satu
yang kurang bersih.
Mekanisme pendanaan yang disusun diharapkan akana memaksimumkan
pencairan dana dari sejumlah komitmen yang telah disampaikan. Mekanisme
ini juga akan merangsang bantuan baru dari negara donor. Mekanisme
pendanaan tersebut melibatkan unsure dari negara donor, pemerintah dan
masyarakat local (local community).

VI. MEKANISME DAN KELEMBAGAAN


Ada dua sudut pandang untuk mendesain mekanisme dan
kelembagaan dalam membangun kembali Aceh. Sudut pandang tersebut
adalah sumber dana (source of fund) dan alokasi dana (allocation of fund).
Sumber dana dapat dibagi dalam sumber dana dalam negeri dan sumber
dana luar negeri. Sumber dana dalam negeri menggunakan mekanisme dan
kelembagaan APBN dan APBD sebagaimana yanng tertuang dalam
perundang-undangan, namun untuk penggunaan APBN/APBD lebih
difokuskan untuk mempercepat proses recovery Sedangkan sumber dana

241
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

yang berasal dari luar negeri yang berbentuk kas harus dibentuk dalam
trust fund.
Trust fund yang mungkin dibentuk terbagi dalam Multi Donors
Trust Fund (MDTF) dan Aceh Trust Fund (ATF). MDTF adalah
mekanisme yang telah dikembangkan World Bank yang merupakan
konsensus beberapa negara untuk membentuk trust fund yang dilengkapi
dengan steering committe, yang terdiri dari wakil negara donor, Pemerintah
RI, dan masyarakat lokal. Mekanisme ini akan menjadikan MDTF sebagai
one stop center untuk mengakses dana multidonor. Namun perlu
diperhatikan bahwa MDTF memiliki keterbatasan, antara lain:
• Adanya individu (people) yang ingin langsung memberikan bantuan
tanpa melalui mekanisme MDTF.
• Should we put all eggs in one basket
• Perlu dikaji tentang bottleneck
• Perlu dikaji tentang kelemahan single authority
Untuk mengatasi keterbatasan MDTF di atas perlu dipikirkan alternatif
lain dalam trust fund, maka akan dibentuk Aceh Trust Fund (ATF) yang
juga dilengkapi dengan steering committe yang terdiri dari masyarakat lokal.
ATF dibentuk dengan alasan untuk menampung dana dari individu (people)
yang ingin menyalurkan dananya bagi pembangunan Aceh. Individu (people)
ini dapat berupa individu lokal, nasional, maupun internasional.
Namun prasyarat utama dari dibentuknya trust fund adalah dengan melibat
para negara donatur, wakil pemerintah pusat, dan wakil kumuniti lokal.
Kemudian diperlukan badan yang mengkoordinasikan bantuan, baik bersifat
hibah baik uang maupun bersifat in-kind, loan, dan dana APBN/APBD yang
ditujukan untuk rekontruksikan pembangunan di daerah yang terkena
dampak tsunami. Badan ini mutlak harus ada untuk memangkas hambatan-
hambatan birokrasi guna percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
Badan yang dibentuk ini, apapun namanya, apakah Badan Otoritas Khusus
ataupun Badan Pelaksana Pembangunan ini harus dibentuk dengan
ketentuan:

242
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

• Badan ini harus setingkat Menteri yang langsung


bertangngungjawab kepada Presiden
• Dapat mengkoordinasikan Menteri lain agar bisa melakukan
tugasnya dengan efektif.
• Mempunyai masa tugas tertentu
• Mampu memberdayakan seluruh sumber daya yang ada, termasuk
Pemerintah Lokal, guna percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh.
Mekanisme dan kelembagaan pendanaan yang ditawarkan oleh Kelompok
Kerja Sistem dan Mekanisme Pendanaan adalah seperti yang tergambar
dalam flowcart berikut:

Lembaga Pengawas:
(Public Oversight
Body)

.Wakil negara donor


.Pemerintah
.Tokoh Masyarakat
.Akademisi
.LSM

243
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

BAB XI
POKJA – XI
SYARIAT ISLAM

I. LATAR BELAKANG

Peristiwa Gempa dan Gelombang Tsunami pada tanggal 26 Desember


2005,telah menyebabkan kerusakan yang dahsyat bagi rakyat Aceh.
Meninggal dan hilangnya jiwa melebihi 200.000,- jiwa, ditambah dengan
kehancuran pada harta benda; hilang tempat tinggal, tempat berusaha dan
sebagainya. Disamping itu, Sarana pendidikan, Masjid, sekolah, madrasah,
pesantren, balai pengajian (Meunasah). Dan juga kantor-kantor yang melayani
kehidupan keagamaan seperti KUA, Asrama haji, Kantor Dep. Agama
Kab./Kota dan Provinsi. Kondisi di atas telah menyebabkan banyak kegiatan
keagamaan menjadi porak poranda. Pelayanan terhadap masyarakat menjadi
tidak berjalan. Dan ketenangan masyarakat dalam beribadah menjadi
terganggu.
Berkaitan dengan kondisi diatas dan Aceh secara umum maka diperlukan
pembangunan kembali aceh dengan berbagai tahapan seperti Tanggap Darurat,
Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Untuk kondisi ini maka pembangunan kembali
Aceh harus didasrkan kepada Perauturan Perundang-undangan yang berlaku
sebagai yang telah berjalan yaitu UU No. 18 tahun 2001 ( Pasal 25 UU No. 18
tahun 2001) dan juga sebelumnya telah ada UU No. 44 tahun 1999 (Pasal 4
UU. No. 44/1999)
Dengan demikian Pembangunan kembali Nanggroe Aceh Darussalam harus
sesuai dengan semangat kedua UU tersebut diatas. Dan karena itu,
pembanguann diarahkan untuk mencakup hal-hal seperti berikut ini:
- Menjadikan Masjid sebagai pusat kota dan menjadikan meunasah Pusat
Kegiatan Masyarakat (Lingkungan Gampong) yang keberadaannya
mudah diakses oleh masyarakat.
- Integrasi kurikulum pendidikan pada tingkat dasar (SD dan SLTP) serta
penyediaan jam pelajaran yang memadai pada tingkat selanjutnya,

244
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

penyediaan tenaga guru, pembinaan lingkungan yang Islami pada


sekolah, Madrasah dan Dayah seperti internalisasi nilai-nilai Islami
melalui pakaian, ketekunan, disiplin, sportifitas, keterbukaan, shalat
berjamaah dan doa.
- Penyempurnaan kurikulum yang memadai untuk belajar Syariat Islam
pada semua Fakultas Hukum di Nanggroe Aceh Darussalam dan Hukum
Nasional (hukum Acara) pada Fakultas Syariah di Nanggroe Aceh
Darussalam.
- Memberikan fasilitas untuk berkembangnya pendidikan Ekonomi dan
Keuangan Syariah pada Fakultas Ekonomi di Nanggroe Aceh Darussalam.
- Mendukung berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah sehingga
menjadi pendukung utama dalam internalisasi nilai-nilai Syariah dalam
sistem ekonomi dan keuangan.
- Mendukung pemantapan program pelatihan bagi tenaga pelaksana
Syariat Islam pada lembaga resmi seperti hakim Mahkamah Syariah,
Jaksa, Polisi, Perasuransian, Pegadaian, Baitral Mal, dan sebagainya.
Penulisan qanun-qanun tentang Syariat Islam, termasuk kodifikasi
hukum materiil dan formilnya.
- Pembimbingan pelaksanaan Syariat Islam
- Penguatan lembaga pemerintahan Gampong dan Mukim melalui
penyempurnaan peraturan, pelatihan, penyediaan panduan dan
pedoman tugas seperti peran dalam proses perdamaian adat.
- Revitalisasi Kesenian Tradisional dengan penulisan ulang shalawat dalam
bahasa Aceh, peneguhan
- Menyediakan ruang khusus bagi perempuan ditempat-tempat umum
dengan memudahkan bagi mereka untuk beristirahat, menyusui, ganti
pakaian dan sebaginya.

245
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1.1 Tujuan dan Sasaran

Tujuan
Membangun kembali kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai
ke Islaman dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dalam semua aspek kehidupan dan pembangunan.
Sasaran
Penduduk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Tantangan
Kondisi umum di Nanggroe Aceh Darussalam adalah rusaknya
tatanan kehidupan masyarakat akibat gempa dan tsunami. Bencana
tersebut memberikan dampak psikologis yang cukup berat karena
masyarakat kehilangan sanak saudara, harta benda dan tempat
tinggal serta kesempatan untuk bekerja, dan ketenangan dalam
beribadah.

II. INVENTARISASI KERUSAKAN DAN KERUGIAN

Kerusakan yang terjadi pada aspek keagamaan adalah berupa


hancurnya Masjid/Meunasah/Mushalla 1.059 unit, Gedung berupa Kantor
Kanwil Agama Nanggroe Aceh Darussalam, Kantor Dep. Agama Kab/Kota 4
buah, KUA 58 unit, Gedung MPU Provinsi dan MPU Kab./Kota 3 unit, Balai
Observasi Hisab dan Rukyat 1 Unit, Gedung Asrama Haji Banda Aceh.
Ditambah dengan Kantor Dinas Syariat Islam Provinsi, 2 Kantor Dinas Syariat
Kabupaten/Kota
Dan juga hilangnya ribuan tokoh agama seperti ulama, guru
ngaji/guru agama, Imam Meunasah, Pendakwah dan Khatib Masjid. Bencana
ini telah menimbulkan hilangnya ketenangan dan ketenteraman batin, hilang
dan rusaknya simbol-simbol keagamaan, hilangnya kesempatan beribadah
secara normal dan belajar agama secara baik.

246
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

III. RONA

Masyarakat Aceh yang masih hidup dan menjadi korban tsunami


mengungsi ke berbagai titik pengungsian dan rumah sanak saudara mereka.
Kondisi kehidupan dipengungsian sangat memprihatinkan karena kurangnya
fasilitas sebagai tempat penampungan.
Di samping itu, kondisi kejiwaan mereka yang labil karena
kehilangan tempat tinggal, sanak keluarga, harta benda dan kesempatan
bekerja. Juga, terganggunya ketenangan beribadah secara normal.

IV. PENILAIAN KEBUTUHAN

Untuk memenuhi keperluan masyarakat di Nanggroe Aceh


Darussalam, maka hal penting yang perlu disediakan adalah:
1-Perbaikan Sarana ibadah seperti Masjid dan Meunasah
2-Memfungsikan kembali Tokoh Fungsinal Kampung seperti Imam
dan Tgk. Meunasah
3-Pelayanan keagamaan: nikah, ibadah sdan

V. PERTIMBANGAN KELAYAKAN

Disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan penduduk

VI. STRATEGI DAN USULAM PROGRAM

Strategi:
- Melibatkan masyarakat termasuk anak-anak dan perempuan
- Meningkatkan kualitas tokoh dan pimpinan masyarakat
- Pembinaan yang berkesinambungan

Usulan Program:

Program yang akan dilaksanakan dalam pembangunan kembali Aceh


meliputi empat aspek:

247
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

1. Rehabilitasi berupa pembangunan kembali sarana ibadah seperti Masjid


dan Meunasah serta gedung-gedung perkantoran
2. Pelayananan seperti:
- Penggantian dokumen yang hilang berupa buku nikah dan akta wakaf
- Peningkatan pelayanan peribadatan:
- Peningkatan kualitas petugas Masjid dan Meunasah melalui
pemberian insentif dan pelatihan
- Penyediaan guru-grur agama dan peningkatan biaya operasional
pengajian gampong
- Sosialisasi dan Pengawasan pelaksanaan syariat Islam
3. Pelatihan para :
-Khatib Masjid
-Ta’mir/Imam Masjid
-Petugas Baital Mal/Wakaf/Zakat
-KUA
-Penataran Penguatan dan Perluasan wawasan keagamaan bagi
tokoh/pimpinan ormas Islam
4. Penguatan Lembaga Keagamaan/Ormas Islam berupa insentif untuk
biaya operasional

VII. ESTIMASI PENDANAAN

Pembiayaan akan dilakukan terhadap berbagai kegiatan dan jumlah


dana yang diperlukan:

Kegiatan Satuan Jumlah Waktu Ktr.


Perbaikan Rp. 3 thn
1.059 x Rp.
Masjid dan 211.800.000.000
200.000.000,-
Meunasah .
Rp.
Kanwil Agama 1
2.000.000.000
Rp.
Kandepag 4
4.000.000.000
58 x Rp.
KUA
300.000.000 17.400.000.000

248
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

Observasi Rp.
1
hisab rakyat 1.000.000.000
Rp.10.000.000.0
Asrama Haji 1
00.
Gedung MPU:
- Gedung MPU 1 Rp.
Nanggroe 5.000.000.000
Aceh 3
Darussalam Rp.
- Gedung MPU 2.000.000.000
Kab/kota
Dinas Syari’at
1 Rp.
islam:
2 2.000.000.000
- NAD
Rp.
- Kab/Kota
2.000.000.000
Pelayanan:
a. 1 thn
Penggantian
25.000 x 2 x
Dokumen akta Rp. 250.000.000
Rp.50.000
nikah dan
wakaf
1000 Lbr Akta 1000x50x20.00 1 thn
Rp. 100.000.000
wakaf 0
b. 3000 x 2 orang
Rp.
Peningkatan x Rp. 3 thn
6.000.000.000
Kualitas 1.000.000,-
petugas : Rp.
- Masjid 3000 6000 x 1 orang 6.000.000.000
buah x Rp.
- Meunasah 1.000.000,-
6000 buah
c. Iinsentif Rp. 1 thn
6000 x 1 orang
guru agama 6.000.000.000
x Rp.
untuk 6000
1.000.000,-
desa
d. Sosialisasi
dan 3 thn
22 kab/kota x Rp.
pengawasan
Rp.100.000.000 2.200.000.000
pelaksanan
syariat Islam
Pelatihan:
a. Khatib 3000 2 orang x3000x Rp. 3 thn
Masjid Rp. 1.000.000,- 6.000.000.000

249
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

2 orang x 3000 3 thn


b.Imam Rp.
x Rp.
Masjid 3000 6.000.000.000
1.000.000,-
6000 meunasah 3 thn
c.Imam Rp.
x 1 orang x
Meunasah 6.000.000.000
Rp.1.000.000,-
d. Petugas 3 thn
22 Kab/Kota x
Baital
10 orang x Rp. Rp. 330.000.000
Mal/Zakat/Wa
1.500.000,-
kaf
e. Penataran 3 thn
perluasan
wawasan 22 Kab/kota x
keagamaan 12 orang x Rp. Rp. 264.000.000
bagi 1.000.000,-
tokoh/pimpina
n ormas Islam
Penguatan
Lembaga
Keagamaan/O
rmas Islam
22 Kab/Kota x 2 thn
a. Biaya 7 0rmas x Rp.
Rp. 770.000.000
operasional 5.000.000,-
/tahun

250
Usulan Program Blue Print Aceh – Univ. Syiah Kuala

251

You might also like