You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak
1,2,3
diketahui (idiopatik) dan bersifat akut.4 Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s
palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui.1
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau
pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa ia
mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah diri,
mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada wanita dan pada
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di muka umum.
Seringkali timbul pertanyaan didalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali secara normal
atau tidak.1,2,5
Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy diperlukan dengan tujuan membantu
memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan mengembalikan fungsi
yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga penderita dapat kembali
melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.

I. DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian
nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.6,7

II. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.1

III. ETIOLOGI
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu : 1,5
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi
sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV  (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

IV. PATOFISIOLOGI
Apapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang dianggap bertanggungjawab
atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi
nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi
edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler
kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah
sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini
mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan
pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat
terjadi kerusakan jaringan yang permanen.

V. GAMBARAN KLINIS
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada
salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gig/berkumur atau
diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bell’s palsy
hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter
pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga
lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air
menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar
serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka
kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata
berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi
bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan
angin, sehingga menimbulkan epifora.1,6 Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi
yang lumpuh tidak mengembung.6 Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi
dan gusi sisi yang lumpuh.1 Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati
gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat “Bell’s palsy”.6

VI. DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam
hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.

A. Anamnesa :
1. Rasa nyeri.
2. Gangguan atau kehilangan pengecapan.
3. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
4. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.
2. Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : 6,8
a) Mengerutkan dahi
b) Memejamkan mata
c) Mengembangkan cuping hidung
d) Tersenyum
e) Bersiul
f) Mengencangkan kedua bibir
3. Di instalasi Rehabilitasi Medik RSU Prof. dr. R. D. Kandou memakai SKALA
UGO FISCH untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bell’s palsy.
SKALA UGO FISCH

Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5  posisi :

Posisi Nilai Persentase (%) Skor

0, 30, 70, 100


Istirahat 20
Mengerutkan dahi 10
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total
Penilaian persentase :
0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit daripada
simetris normal.
70 %   : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal
100% : simetris, normal/komplit

C. Diagnosa Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral.
Umumnya unilateral

Diagnosa Topik :
Letak Lesi Kelaina Gangguan Gangguan Hiposekresi Hiposekresi
n pengecapan pendengaran saliva lakrimalis
motorik
Pons-meatus + + + + +
akustikus tuli/hiperakusis
internus
Meatus akustikus + + + + +
internus-ganglion
Hiperakusis
genikulatum
Ganglion + + + + -
genikulatum-N.
Hiperakusis
Stapedius
N.stapedius- + + + + -
chorda tympani
Chorda tympani + + - + -
Infra chorda + - - - -
tympani-sekitar
foramen
stilomastoideus

D. Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bell’s palsy yang jelas tidak diketahui.

VII. DIAGNOSA BANDING 1,6


1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
2. Herpes Zoster Oticus
3. Trauma kapitis
4. Sindroma Guillain – Barre
5. Miastenia Gravis
6. Tumor Intrakranialis
7. Leukimia

VIII. PROGNOSIS 9
Sembuh spontan pada 75-90 % dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-
kira 10-15 % sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.

IX. KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.1
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi.1,4 Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.1
3. Hemifacial spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. 1,4 Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi
bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun
kemudian.1
4. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas
terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya
fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi
menjadi jelas saat otot wajah bergerak.4

X. TERAPI
1. Terapi medikamentosa :  Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih kontroversi
1,2,3
Juga dapat diberikan neurotropik.3
2. Terapi operatif               :  Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi 1,2
3. Rehabilitasi Medik

XI. REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA BELL’S PALSY


Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan
dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO adalah
semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah : 10
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan
apa yang tertinggal.

Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka
diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis
prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk
mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial
serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari.
Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak
banyak berperan.
A. Program Fisioterapi
1. Pemanasan 1, 10
a) Pemanasan superfisial dengan infra red.
b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy
2. Stimulasi listrik 1,8
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat
sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan
konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.1,3
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak
volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap
pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam
laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan
meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.11
Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua
gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
B. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai
melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan
menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan
dahi di depan cermin.5
C. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan
umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat
kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.5
D. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas
sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.5
E. Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam
waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal
ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan
mencegah terjadinya kontraktur.

HOME PROGRAME

1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit


2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :
1. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
3. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

DAFTAR PUSTAKA
1. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81
2. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52
3. Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In : Rehabilitation Medicine. 2 nd ed. New
York : Mc Graw Hill, 1971 : 429-31
4. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004 : 55-60
5. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bell’s
Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991: 1-7
6. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
7. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-6
8. Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR,  
1991 : 31-49
9. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of
Neurology. 5th ed. New  York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5
10. Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3 th ed. Baltimore : William
& Wilkins, 1983 : 235-48
11. Reyes TM, Reyes OBL. Hydrotherapy, Massage, Manipulation and Traction. Volume
2 Philippines : U. S. T Printing Office, 1977 : 78-84, 210

You might also like