Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia. Bila virus HIV tersebut menjadi tak terkendali dan telah
menyerang tubuh dalam jangka waktu lama maka infeksi virus HIV tersebut dapat
berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Virus HIV berbahaya bagi tubuh karena menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan virus, bakteri dan jamur yang
menyebabkan penyakit infeksi. HIV menyebabkan tubuh menjadi rentan untuk terkena
beberapa jenis kanker & infeksi yang biasanya secara normal dapat dilawan oleh kekebalan
tubuh misalnya infeksi pneumonia & meningitis.
HIV sendiri dapat ditularkan melalui cairan vagina, air mani ataupun darah penderita HIV
yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini biasanya terjadi melalui hubungan seksual, baik secara
oral, anal maupun vaginal transfusi darah yang terinfeksi HIV pemakaian jarum suntik secara
bersama-sama ataupun dari ibu hamil yang terkena HIV kepada bayi yang di kandungnya
pada saat hamil ataupun saat melahirkan. HIV sendiri tidak dapat ditularkan melalui kontak
sehari-hari seperti : sentuhan, berpelukan, berciuman dan berjabat tangan.
Khusus untuk resiko penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayi yang di
kandungnya pada masa persalinan biasanya terjadi karena : adanya tekanan pada plasenta
sehingga terjadi sedikit pencampuran antara darah ibu dengan darah bayi (lebih sering terjadi
jika plasenta mengalami radang/infeksi), bayi terpapar darah & lendir serviks pada saat
melewati jalan lahir atau karena bayi kemungkinan terinfeksi akibat menelan darah & lendir
serviks pada saat resusitasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
Pada akhir 1999 diperkirakan bahwa terdapat sekitar 4,2 juta HIV positif Afrika Selatan,
hampir separuh di antaranya adalah perempuan dalam masa reproduksi. Diperkirakan bahwa
ada 50.000 anak-anak yang positif HIV, penularan HIVnya terutama melalui penularan dari
ibu mereka. Lebih dari 90% dari infeksi HIV pada anak-anak yang diakuisisi oleh penularan
dari ibu ke bayi mereka. Kebanyakan bayi yang terinfeksi mendapatkan infeksi mereka dekat
dengan menyusui. Risiko bayi mendapatkan virus dari ibu yang terinfeksi berkisar dari 25%
sampai 35%.
Di Indonesia, hingga akhir Juni 2005 tercatat 7.098 kasus HIV/AIDS (3.740 kasus HIV dan
3.358 kasus AIDS). Meskipun secara umum prevalensi HIV di Indonesia tergolong rendah
(kurang dari 0,1%), tetapi sejak tahun 2000 Indonesia telah dikatagorikan sebagai negara
dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung dengan prevalensi
lebih dari 5% pada beberapa populasi tertentu. Contohnya, kasus HIV/AIDS pada pengguna
narkoba suntikan sebesar 40%. Karena mayoritas pengguna narkoba suntikan yang terinfeksi
HIV berusia reproduksi aktif, maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan
meningkat di Indonesia.
C. ETIOLOGI
Seperti halnya penanggulangan penyakit pada umumnya, usaha pertama yang selalu harus
diusahakan adalah mencari penyebab resiko transmisi HIV antara ibu dan anak.
Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi transmisi HIV antara ibu dan anak,
• Faktor ibu
• Faktor kebiasaan
• Faktor obstetri
• Faktor viral
• Faktor lain
Faktor-faktor Ibu
Status kekebalan:
Risiko MTCT meningkat dengan tingkat keparahan defisiensi imun. Perempuan dengan
jumlah CD4 rendah (<200> partikel viral 50.000 atau lebih / ml).
PENELITIAN
Pengobatan antiretroviral (ART) bagi ibu yang dimulai selama kehamilan dan dilanjutkan
selama menyusui menghasilkan tingkat penularan HIV dari ibu-ke-bayi (mother to child HIV
transmission/MTCT) yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan penggunaan rejimen
baku jangka pendek. Hal itu berdasarkan laporan penelitian Kesho Bora dalam Konferensi
International AIDS Society (IAS) ke-5 di Cape Town.
Penelitian Kesho Bora, dilakukan di Kenya, Afrika Selatan dan Burkina Faso, menemukan
bahwa ART dengan rejimen berbasis PI untuk ibu lebih efektif secara bermakna
dibandingkan pengobatan jangka pendek dengan AZT dari minggu ke 28-36 kehamilan,
dengan AZT/3TC dan nevirapine dosis tunggal saat sakit kelahiran, dan AZT/3TC selama
satu minggu, sementara bayi menerima nevirapine dosis tunggal dengan AZT/3TC selama
satu minggu, dan bayi diberi susu formula atau disusui lalu disapih saat enam bulan.
Rejimen jangka pendek berbeda yang diteliti mencerminkan perbedaan dalam praktek yang
merupakan hasil uji coba klinis sebelumnya.
Dalam penelitian Kesho Bora 824 ibu hamil yang saat itu tidak memenuhi kriteria ART untuk
kesehatannya sendiri, dengan jumlah CD4 antara 200 dan 500, secara acak diberi satu dari
dua rejimen.
Ibu dalam kelompok terapi tiga jenis (n = 413) menerima AZT/3TC dan lopinavir/ritonavir
dari triwulan ketiga kehamilan hingga enam bulan pascakelahiran, titik saat menyusui
disarankan dihentikan.
Ibu dalam kelompok jangka pendek menerima AZT dari minggu ke 28 hingga 36 kehamilan
hingga saat sakit kelahiran, saat mereka menerima AZT/3TC dan nevirapine dosis tunggal.
Mereka tetap memakai AZT/3TC selama satu minggu setelah melahirkan, perubahan itu
dimasukkan dalam penelitian pada Desember 2007.
Seluruh bayi menerima nevirapine dosis tunggal dalam 72 minggu sejak kelahiran, dan satu
minggu pengobatan AZT ditambahkan sejak Desember 2007.
Ibu dikonseling tentang risiko penularan melalui menyusui dan ditawarkan pilihan susu
formula gratis, atau menyusui secara eksklusif dengan menyapih selama dua minggu yang
dimulai pada lima setengah bulan. Selama penelitian 76% dan 78% ibu dalam dua kelompok
penelitian menyusui pada beberapa titik, dengan kurang lebih 45% pada masing-masing
kelompok menyusui secara eksklusif selama tiga bulan pertama setelah kelahiran. Rata-rata
masa menyusui adalah 21 minggu.
Pendaftaran untuk penelitian dimulai pada Juni 2005 dan pendaftaran penuh pada Agustus
2008, dengan hasil sebagian besar kelahiran dalam penelitian terjadi sebelum perubahan
protokol pada Desember 2007.
Pada kelompok ART tiga jenis ada 402 kelahiran hidup, dan infeksi HIV pada bayi
sebagaimana diukur dengan PCR sesaat terdeteksi pada 1,8% saat kelahiran, 3,3% pada enam
minggu, 4,9% pada enam bulan dan 5,5% pada satu tahun. Penurunan risiko penularan pada
satu tahun adalah 42% apabila dibandingkan dengan rejimen jangka pendek. Tes log rank
pada 12 bulan menunjukkan perbedaan tersebut bermakna secara statistik (p = 0,039).
Dalam perbandingan itu ada 411 kelahiran hidup pada kelompok ART jangka pendek, dan
infeksi HIV pada bayi terdeteksi 2,2% pada saat kelahiran, 4,8% pada enam minggu, 8,5%
pada enam bulan dan 9,5% pada satu tahun.
Perbedaan pada ketahanan hidup bayi menjadi jelas setelah enam bulan: 6,3% pada kelompok
bayi yang lahir dari ibu dalam kelompok terapi tiga jenis meninggal setelah 12 bulan masa
tindak lanjut, dibandingkan 10% pada bayi dalam kelompok jangka pendek, penurunan risiko
37%. Namun, tes log rank pada 12 bulan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
secara statistik (p = 0,086).
Analisis subgroup menunjukkan bahwa penurunan tingkat infeksi HIV yang dikaitkan dengan
terapi rejimen tiga jenis menjadi bermakna secara statistik hanya pada kelompok ibu dengan
jumlah CD4 pada awal antara 200 dan 350. Pada bayi yang lahir dari ibu tersebut, tingkat
infeksi HIV kumulatif adalah 5,5% pada enam bulan dalam kelompok ART tiga jenis dan
10,5% dalam kelompok jangka pendek, meningkat menjadi 6,1% dan 11,1% pada 12 bulan (p
= 0,044).
Perbedaan yang bermakna tidak terdeteksi pada bayi yang lahir dari ibu dengan jumlah CD4
pada awal antara 350 dan 500, dan tidak ada perbedaan yang bermakna pada infeksi HIV
berdasarkan rejimen pada bayi dari ibu yang pernah menyusui selama penelitian) (5,9%
banding10,2%, p = 0,064).
Para penulis penelitian mencatat bahwa dampak terbesar ART tiga jenis terdeteksi antara
enam minggu dan enam bulan setelah kelahiran, dan pada ibu dengan jumlah CD4 antara 200
dan 350, menekankan pandangan bahwa pengobatan lebih dini agar disarankan di rangkaian
terbatas sumber daya, kelompok itu harus diprioritaskan. Median jumlah CD4 dalam populasi
penelitian itu adalah 335.
Para penulis juga mencatat bahwa sejumlah kecil penularan pascakelahiran terjadi setelah
enam bulan, titik saat menyusui disarankan untuk dihentikan, menunjukkan pentingnya
melanjutkan ART sampai menyusui dihentikan secara penuh.
PENATALAKSANAAN
Di daerah prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu hamil digunakan beberapa kriteria,
seperti memiliki penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan, pengguna narkoba, dll.
Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan perempuan yang
merencanakan untuk memiliki bayi.
Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela
dalam paket pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, harus
terdapat tenaga petugas yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Pada pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana yang memberikan
layanan konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi
perempuan HIV negatif memberikan bimbingan untuk tetap HIV negatif selama kehamilan,
menyusui, dan seterusnya. Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan tersebut harus terjamin
aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan bantuan
biaya konseling dan tes HIV bagi ibu hamil di tiap jenjang layanan kesehatan.
Kita mengetahui bayi bisa terinfeksi HIVV jika dites HIV, sebagian besar bayi yang
dilahirkan oleh ibu HIV-positif menunjukkan hasil positif. Ini berarti ada antibodi terhadap
HIV dalam darahnya. Namun bayi menerima antibodi dari ibunya, agar melindunginya
sehingga sistem kekebalan tubuhnya terbentuk penuh. Jadi hasil tes positif pada awal hidup
bukan berarti si bayi terinfeksi. Jika bayi ternyata terinfeksi, sistem kekebalan tubuhnya akan
membentuk antibodi terhadap HIV, dan tes HIV akan terus-menerus menunjukkan hasil
positif. Jika bayi tidak terinfeksi, antibodi dari ibu akan hilang sehingga hasil tes menjadi
negatif setelah kurang-lebih 6-12 bulan. Sebuah tes lain, serupa dengan tes viral load dapat
dipakai untuk menentukan apakah bayi terinfeksi, biasanya beberapa minggu setelah lahir.
Antenatal care
Perawatan antenatal pada wanita hamil positif HIV, tidaklah berbeda dengan wanita dengan
HIV negatif. Tetap harus dilakukan pemeriksaan fisik lengkap, penilaian kehamilan risiko
tinggi dan pengawasan janin antepartum.
Intervensi gizi
Suplemen vitamin harus dimulai pada kehamilan pertama kunjungan. Multivitamin dan
Vitamin A dalam tertentu telah terbukti efektif dalam meningkatkan kekebalan tubuh.
Rekomendasi
• Multivitamin 3x sehari
• Vitamin A 200 000 unit setiap hari
• Ferrous sulfat 2 kali sehari
• Asam folat 1dosis harian
Medical Intervention
Infeksi Spesifik
Infeksi saluran kemih (ringan
Perawatan
Amoxicillin 500 mg tiga kali sehari
Cotrimoxazole (untuk digunakan pada trimester kedua dan ketiga hanya - 80/400 mg) dua
tablet tiga kali sehari selama 7-10 hari.
Pneumocystis carinii pneumonia
Profilaksis
• Profilaksis harus dimulai ketika jumlah CD4 di bawah 200/ml, atau bila ada tanda-
tanda klinis defisiensi imun maju.
• Trimetoprim / sulfametoksazol (cotrimoxazole) (80/400mg) dua tablet sehari, atau
• Dapson 100 mg tiga kali seminggu, bagi perempuan sensitif terhadap cotrimoxazole
Pengobatan:
Berikut harus diberikan, sebaiknya melalui rute oral:
Cervicitis
Pengobatan:
Kandidiasis
Kandidiasis vagina atau vulva
Pengobatan:
Diare
Modus transmisi
• Hindari amniotomi
• Antibiotik profilaksis pada wanita dengan jumlah CD4 kurang dari 200/ml; dimana
terdapat tanda-tanda AIDS atau defisiensi kekebalan yang parah atau ketuban pecah
selama lebih dari 4 jam
• Hindari episiotomi, tindakan invasif dan prosedur lain
• Perhatikan teknik aseptik seluruh tenaga kerja.
• Gunakan Chlorhexidine 0,25% untuk vulva dan vagina toilet saat melakukan
pemeriksaan digital internal.
• Periksa dan mengelola infeksi saluran kemih
Caesarean section
Konsep dasar intervensi PMTCT (Prevention Mother To Child Transmission) sendiri adalah :
Dahulu setiap ibu dengan HIV positif pasti akan selalu dianjurkan untuk melahirkan secara
SC untuk menghindari resiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Tetapi
manfaat SC sendiri dapat terjadi bila yang dilakukan adalah prosedur SC elektif (bayi
dilahirkan melalui operasi section caesarean pada saat usia kandungan 38 minggu / belum
menunjukkan tanda-tanda kelahiran seperti pecah ketuban) dan apabila SC dilakukan sesudah
terjadinya pecah ketuban maka resiko penundaan yang terjadi setiap jamnya akan sama
dengan persalinan pervaginam. Dan karena persalinan pervaginam juga memiliki keuntungan
tersendiri maka untuk saat ini persalinan pervaginam dapat dilakukan oleh ibu dengan HIV
positif asalkan sang ibu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, yaitu:
1. Sebelumnya telah dilakukan konseling kepada ibu dengan HIV positif & pasangan
mengenai manfaat serta resiko dari persalinan pervaginam dan persalinan dengan SC
elektif.
2. Ibu dengan HIV positif selama masa kehamilannya teratur minum ARV, atau
3. Muatan virus / viral load tidak terdeteksi pada tubuh ibu dengan HIV positif (untuk
pemeriksaan muatan virus ini dianjurkan pada usia kehamilan 36 minggu keatas).
Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk
menjalani persalinan secara operasi seksio sesarea ataupun persalinan normal. Pelaksanaan
persalinan, baik secara operasi seksio sesarea maupun persalinan normal, harus
memperhatikan kondisi fisik dari ibu hamil HIV positif.
Tindakan menolong persalinan ibu hamil HIV positif, baik secara operasi seksio sesarea
maupun persalinan normal, mengikuti standar kewaspadaan universal yang biasa berlaku
untuk persalinan ibu hamil HIV negatif.
Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan bantuan
layanan persalinan gratis kepada ibu hamil HIV positif.
Profilaksis untuk sectio caesarian
• Metronidazol 400 mg secara oral tiga kali sehari selama 5 hari atau supositoria 500mg
setiap 12 jam selama tiga hari.
• Ampisilin 1 g IV di induksi anestesi umum,
• Cefazolin 1-2 g intravena pada induksi anestesi umum. Ini dapat diulangi setelah post
operasi
PASCA MELAHIRKAN
Penggunaan syntometrine, jika tidak kontraindikasi dapat digunakan untuk menghentikan
pendarahan. Perempuan HIV-positif dalam periode pasca-melahirkan harus diawasi secara
ketat. Perempuan dengan AIDS atau defisiensi kekebalan yang parah harus diberi antibiotik
selama 7-10 hari.
Makanan Bayi Pilihan
• Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan
keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif.
• Untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, ibu HIV positif bisa
memberikan susu formula kepada bayinya.
• Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan
AFASS dari WHO (Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan,
Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe = aman
penggunaannya), maka ibu HIV positif dianjurkan memberikan ASI eksklusif hingga
maksimal tiga bulan atau lebih pendek jika susu formula memenuhi AFASS sebelum
tiga bulan.
• Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula dan
menghentikan pemberian ASI.
• Sangat tidak direkomendasikan pemberian makanan campuran (mixed feeding) untuk
bayi dari ibu HIV positif, yaitu ASI bersamaan dengan susu formula dan
makanan/minuman lainnya.
• Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah menyediakan
susu formula generik secara gratis kepada ibu hamil HIV positif jika susu formula
memenuhi AFASS.
• Susu formula generik tersebut disimpan di pusat, dan didistribusikan secara rutin
sesuai dengan kebutuhan daerah. Depot di daerah difungsikan untuk menyimpan susu
formula. Pengadaan susu formula harus terpusat untuk menjamin ketersediaan susu
formula generik dan mencegah terjadinya promosi susu formula terhadap ibu yang
HIV negatif.
PENGHENTIAN KEHAMILAN
Wanita hamil positif HIV yang telah menjalani penghentian kehamilan harus menerima
antibiotik. Pengobatan infeksi kelamin yang jelas merupakan wajib sebelum prosedur
dilakukan.
Rekomendasi
• Cefazolin 1-2 g intravena pada induksi anestesi umum. Ini dapat diulangi setelah
selesai operasi
• Ampisilin 1 g IV di induksi anestesi umum,
• Metronidazol 400 mg secara oral tiga kali sehari selama 5 hari atau supositoria 500mg
setiap 12 jam selama tiga hari.