Professional Documents
Culture Documents
MENYANGGAH
DARWINISME
HARUN YAHYA
November, 2002
Penulis, yang menulis dengan nama pena HARUN YAHYA, dilahirkan di Ankara pada tahun 1956.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar dan lanjutan di Ankara, penulis mempelajari seni di Universitas
Mimar Sinan Istambul dan filsafat di Universitas Istambul. Sejak tahun 1980an, penulis telah menerbitkan
banyak buku yang membahas masalah politik, agama, dan ilmu pengetahuan. Harun Yahya dikenal sebagai
penulis yang telah menghasilkan karya-karya sangat penting yang mengungkap kebohongan para
evolusionis, ketidakabsahan pernyataan mereka dan hubungan jahat antara Darwinisme dengan berbagai
ideologi berdarah seperti fasisme dan komunisme.
Nama pena beliau tersusun atas nama “Harun” dan “Yahya”, untuk mengenang dua Nabi mulia yang
berjuang melawan hilangnya keimanan. Stempel Nabi Muhammad pada sampul depan buku-buku karya
penulis memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan isi buku tersebut. Stempel ini bermakna: Alqur'an
sebagai Kitab dan Kalam Allah yang terakhir, dan Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi.
Berpedomankan Al Qur'an dan As Sunnah, penulis bertujuan utama untuk menyanggah setiap pokok
pikiran yang mendasari ideologi-ideologi anti-agama dan menjadi ‘kata penutup’, sehingga membungkam
semua keberatan yang ditumbuhkan terhadap agama. Stempel Nabi Muhammad, sosok yang memiliki
hikmah agung dan kesempurnaan moral, digunakan sebagai tanda bagi niatnya untuk menyatakan kata
penutup ini.
Seluruh karya penulis ini berpusat pada satu tujuan: untuk menyampaikan pesan Al Qur'an kepada
masyarakat dan mengajak mereka untuk berpikir mengenai hal-hal mendasar seputar keimanan, seperti
keberadaan Allah, ke-Esaan-Nya dan Hari Kemudian, serta mengungkap pijakan rapuh dan tipu daya dari
berbagai sistem anti-Tuhan.
Karya Harun Yahya dibaca secara luas di berbagai negara, dari India hingga Amerika, Inggris
hingga Indonesia, Polandia hingga Bosnia, dan dari Spanyol hingga Brazil. Beberapa bukunya tersedia
dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Portugis, Urdu, Arab, Albania, Rusia, Serbo-Kroasia
(Bosnia), Turki Uygur, dan Indonesia, dan buku-buku tersebut telah dinikmati oleh pembacanya di seluruh
dunia.
Selain mendapatkan penghargaan yang tinggi di seluruh dunia, karya-karya ini telah membantu
banyak orang menetapkan keimanan mereka kepada Allah dan pada sebagian yang lain mengokohkan
keimanan mereka. Kearifan, ketulusan dan gaya penulisannya yang mudah dipahami menjadikan buku-
buku tersebut memiliki sentuhan khas yang segera mengenai siapa pun yang membaca atau
mencermatinya. Tidak saja bebas dari sangkalan, karya-karya ini juga memiliki kekhasan dalam
pengaruhnya yang cepat, hasilnya yang pasti dan isinya yang tak terbantahkan. Sungguh sulit bagi mereka
yang telah membaca buku-buku ini dan merenungkannya secara mendalam untuk tetap mendukung filsafat
materialistik, atheisme dan ideologi ataupun filsafat menyesatkan lainnya. Bahkan jika mereka tetap
mendukung, itu hanyalah keyakinan sentimentil karena buku-buku ini telah menyanggah seluruh dasar
ideologi tersebut. Seluruh gerakan yang mengingkari keberadaan Allah sekarang ini telah terkalahkan
secara ideologi berkat hadirnya kumpulan buku yang ditulis oleh Harun Yahya.
Tak ada keraguan lagi bahwa segala kelebihan ini adalah hasil dari hikmah dan kejelasan Al Qur’an.
Penulis sudah barang tentu tidak merasa bangga dengan dirinya sendiri, ia hanya berupaya menjadi sarana
bagi seseorang dalam pencariannya atas jalan Allah yang lurus. Di samping itu, penulis tidak mencari
keuntungan materi dari penerbitan buku-bukunya.
Dengan mempertimbangkan hal ini, siapapun yang mengajak orang-orang untuk membaca buku-
buku ini, yang membuka ”mata” hati dan membimbing mereka agar menjadi hamba yang lebih bertakwa
kepada Allah, telah melakukan amal kebaikan yang tak ternilai.
Sementara itu, adalah pemborosan waktu dan tenaga untuk menyebarluaskan buku-buku yang hanya
menimbulkan kebingungan dalam pikiran masyarakat, menyebabkan manusia terjerumus dalam kekacauan
ideologis, dan yang nyata-nyata tidak memiliki pengaruh kuat dan pasti dalam menghilangkan
kebimbangan dalam hati manusia. Jelas mustahil bagi buku-buku yang lebih menekankan pada kekuatan
menulis pengarangnya untuk memiliki pengaruh yang sedemikian besar, dibandingkan dengan buku-buku
yang bertujuan mulia menyelamatkan manusia dari kekufuran. Siapapun yang meragukan hal ini dapat
segera melihat bahwa satu-satunya tujuan dari buku-buku Harun Yahya adalah untuk mengatasi kekufuran
dan menyemai nilai-nilai moral Al Qur’an. Keberhasilan, pengaruh, dan keikhlasan yang telah dicapai
melalui usaha ini tercermin dalam keyakinan para pembacanya.
Satu hal yang harus selalu diingat: Penyebab utama terjadinya kebiadaban dan pertikaian, dan semua
kesengsaraan yang terus menerus dialami kebanyakan orang adalah dominasi ideologis dari kekufuran. Hal
ini hanya akan berakhir dengan kekalahan ideologi kekufuran dan dengan memastikan bahwa setiap orang
memahami keajaiban penciptaan dan moral Al Qur’an, sehingga manusia dapat hidup dengannya. Melihat
kenyataan dunia saat ini, yang memaksa manusia ke dalam jurang kekerasan, kerusakan, dan pertikaian,
maka jelaslah bahwa usaha ini [kembali kepada Al Qur’an] harus dilakukan dengan lebih cepat dan efektif.
Kalau tidak, mungkin sudah sangat terlambat.
Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa seri Harun Yahya telah memegang peranan penting
dalam usaha ini. Atas ijin Allah, buku-buku ini akan menjadi sarana yang melaluinya masyarakat abad ke-
21 akan mendapatkan kedamaian dan keberkahan, keadilan dan kebahagiaan sebagaimana dijanjikan
dalam Al Qur’an.
Karya-karya penulis antara lain termasuk The New Masonic Order, Judaism and Freemasonry,
Global Freemasonry, Islam Denounces Terrorism, Terrorism:The Ritual of the Devil, The Disasters
Darwinism Brought to Humanity, Communism in Ambush, Fascism:The Bloody Ideology of Darwinism,
The 'Secret Hand' in Bosnia, Behind the Scenes of The Holocaust, Behind the Scenes of Terrorism, Israel's
Kurdish Card, The Oppression Policy of Communist China and Eastern Turkestan, Solution: The Values
of the Qur'an, The Winter of Islam and Its Expected Spring, Articles 1-2-3, A Weapon of
Satan:Romanticism, Signs from the Chapter of the Cave to the Last Times, Signs of the Last Day, The Last
Times and The Beast of the Earth, Truths 1-2, The Western World Turns to God, The Evolution Deceit,
Precise Answers to Evolutionists, The Blunders of Evolutionists, Confessions of Evolutionists, The Qur'an
Denies Darwinism, Perished Nations, For Men of Understanding, The Prophet Musa, The Prophet Yusuf,
The Prophet Muhammad (saas), The Prophet Sulayman, The Golden Age, Allah's Artistry in Colour, Glory
is Everywhere, The Importance of the Evidences of Creation, The Truth of the Life of This World, The
Nightmare of Disbelief, Knowing the Truth, Eternity Has Already Begun, Timelessness and the Reality of
Fate, Matter:Another Name for Illusion, The Little Man in the Tower, Islam and the Philosophy of Karma,
The Dark Magic of Darwinism, The Religion of Darwinism, The Collapse of the Theory of Evolution in 20
Questions, Allah is Known Through Reason, The Qur'an Leads the Way to Science, The Real Origin of
Life, Consciousness in the Cell, A String of Miracles, The Creation of the Universe, Miracles of the
Qur'an, The Design in Nature, Self-Sacrifice and Intelligent Behaviour Models in Animals, The End of
Darwinism, Deep Thinking, Never Plead Ignorance, The Green Miracle: Photosynthesis, The Miracle in
the Cell, The Miracle in the Eye, The Miracle in the Spider, The Miracle in the Gnat, The Miracle in the
Ant, The Miracle of the Immune System, The Miracle of Creation in Plants, The Miracle in the Atom, The
Miracle in the Honeybee, The Miracle of Seed, The Miracle of Hormone, The Miracle of the Termite, The
Miracle of the Human Body, The Miracle of Man's Creation, The Miracle of Protein, The Miracle of Smell
and Taste, The Secrets of DNA.
Buku karya penulis untuk konsumsi anak-anak antara lain: Wonders of Allah's Creation, The World
of Animals, The Splendour in the Skies, Wonderful Creatures, Let's Learn Our Islam, The World of Our
Little Friends: The Ants, Honeybees That Build Perfect Combs, Skillful Dam Builders:Beavers.
Kaya-karya penulis yang berkenaan dengan Al Quran antara lain: The Basic Concepts in the Qur'an,
The Moral Values of the Qur'an, Quick Grasp of Faith 1-2-3, Ever Thought About the Truth?, Crude
Understanding of Disbelief, Devoted to Allah, Abandoning the Society of Ignorance, The Real Home of
Believers: Paradise, Knowledge of the Qur'an, Qur'an Index, Emigrating for the Cause of Allah, The
Character of the Hypocrite in the Qur'an, The Secrets of the Hypocrite, The Names of Allah,
Communicating the Message and Disputing in the Qur'an, Answers from the Qur'an, Death Resurrection
Hell, The Struggle of the Messengers, The Avowed Enemy of Man: Satan, The Greatest Slander: Idolatry,
The Religion of the Ignorant, The Arrogance of Satan, Prayer in the Qur'an, The Theory of Evolution, The
Importance of Conscience in the Qur'an, The Day of Resurrection, Never Forget, Disregarded Judgements
of the Qur'an, Human Characters in the Society of Ignorance, The Importance of Patience in the Qur'an,
General Information from the Qur'an, The Mature Faith, Before You Regret, Our Messengers Say, The
Mercy of Believers, The Fear of Allah, Jesus WillReturn, Beauties Presented by the Qur'an for Life, A
Bouquet of the Beauties of Allah 1-2-3-4, The Iniquity Called "Mockery," The Mystery of the Test, The
True Wisdom According to the Qur'an, The Struggle with the Religion of Irreligion, The School of Yusuf,
The Alliance of the Good, Slanders Spread Against Muslims Throughout History, The Importance of
Following the Good Word, Why Do You Deceive Yourself?, Islam: The Religion of Ease, Enthusiasm and
Excitement in the Qur'an, Seeing Good in Everything, How do the Unwise Interpret the Qur'an?, Some
Secrets of the Qur'an, The Courage of Believers, Being Hopeful in the Qur'an, Justice and Tolerance in the
Qur'an, Basic Tenets of Islam, Those Who do not Listen to the Qur'an, Taking the Qur'an as a Guide, A
Lurking Threat: Heedlessness, Sincerity in the Qur'an.
KEPADA PEMBACA
Dalam semua buku karya penulis, hal-hal yang berkenaan dengan keimanan dijelaskan berdasarkan
ayat-ayat Al Quran, dan setiap orang diajak untuk mempelajari firman Allah dan hidup berdasarkannya.
Semua hal yang menyangkut ayat-ayat Allah dijelaskan dengan gamblang hingga tidak menyisakan ruang
bagi keraguan dan pertanyaan dalam benak pembaca. Ketulusan, kesederhanaan dan kefasihan dalam
penyampaian membuat setiap orang dari segala usia dan kalangan kelompok sosial mana pun bisa dengan
mudah mengerti dan memahami isi buku. Gaya bertutur yang efektif dan jelas ini memungkinkan untuk
membacanya dalam satu kali kesempatan. Bahkan mereka yang menolak nilai-nilai spiritual terpengaruhi
oleh fakta-fakta yang dijabarkan dalam buku-buku ini dan tidak bisa menyanggah kebenaran isinya.
Buku ini dan semua buku karya Harun Yahya bisa dibaca baik secara sendirian maupun didiskusikan
dalam kelompok. Para pembaca yang ingin mendapatkan manfaat dari buku ini akan menemukan bahwa
diskusi sangat berguna sebagai media untuk berbagi ilmu dan pengalaman satu sama lain.
Sebagai tambahan, adalah sebuah sumbangan yang besar bagi agama untuk berperan dalam
mengenalkan dan menyebarkan buku-buku ini, yang ditulis hanya untuk memperoleh ridha Allah semata.
Semua buku karya penulis sungguh sangat meyakinkan sehingga bagi siapa saja yang ingin
memperkenalkan agama [Islam] kepada orang lain, salah satu cara yang paling efektif adalah dengan
menganjurkan mereka membaca buku-buku ini.
Para pembaca diharapkan bisa melihat resensi dari beberapa buku lainnya pada halaman-halaman
terakhir buku ini, dan menyadari begitu banyaknya sumber mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
keimanan, yang sangat bermanfaat dan menyenangkan untuk dibaca.
Di dalamnya, anda tidak akan menemukan, seperti dalam buku-buku lain, pandangan pribadi
penulis, penjelasan berdasarkan sumber yang meragukan, penyampaian yang kurang sopan terhadap hal-
hal yang disucikan, atau keputusasaan, keragu-raguan, dan sikap pesimis yang menciptakan pengingkaran
dalam hati.
KATA PENGANTAR
Siapa pun yang mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana makhluk hidup, termasuk dirinya,
menjadi ada, akan menghadapi dua penjelasan yang berbeda. Yang pertama adalah “Penciptaan”, gagasan
bahwa semua makhluk hidup muncul sebagai hasil dari sebuah rancangan cerdas. Penjelasan kedua adalah
teori “Evolusi”, yang menyatakan bahwa makhluk hidup bukanlah hasil dari rancangan cerdas, tetapi dari
sebab-sebab yang serba kebetulan dan proses alamiah.
Selama satu setengah abad hingga sekarang, teori evolusi telah menerima dukungan luas dari
masyarakat ilmiah. Ilmu Biologi diterangkan dalam penjelasan-penjelasan berdasarkan konsep-konsep
evolusionis. Itulah mengapa, antara kedua penjelasan mengenai penciptaan dan evolusi, kebanyakan orang
beranggapan bahwa penjelasan evolusionis lebih ilmiah. Berdasarkan hal itu, mereka mempercayai evolusi
sebagai sebuah teori yang didukung oleh temuan-temuan ilmiah, sementara penciptaan dianggap sebagai
kepercayaan berlandaskan keimanan. Meskipun demikian, pada kenyataannya temuan-temuan ilmiah tidak
mendukung teori evolusi. Temuan-temuan dua dekade terakhir justru secara terbuka bertentangan dengan
anggapan dasar dari teori ini. Berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti paleontologi, biokimia, genetika
populasi, anatomi perbandingan dan biofisika, menunjukkan bahwa proses alamiah dan kebetulan tidak
bisa menjelaskan [asal-usul] kehidupan, sebagaimana yang diutarakan teori evolusi.
Dalam buku ini, kita akan mengkaji krisis ilmiah yang dihadapi oleh teori evolusi ini. Karya ini
semata-mata didasarkan pada temuan-temuan ilmiah. Mereka yang menganjurkan teori evolusi dengan
mengatasnamakan kebenaran ilmiah harus menghadapi temuan-temuan ini serta mempertanyakan berbagai
anggapan yang selama ini mereka pegang. Penolakan untuk melakukan hal ini akan berarti mengakui
secara terbuka bahwa kesetiaan mereka pada teori evolusi lebih bersifat dogmatis dari pada ilmiah.
SEJARAH SINGKAT
Meskipun berakar dari Yunani kuno, teori evolusi pertama kali menjadi perhatian dunia ilmiah pada
abad ke-19. Pandangan tentang evolusi yang paling luas dikaji dikemukakan oleh ahli biologi Perancis
Jean Baptiste Lamarck, dalam Zoological Philosophy (Filsafat Ilmu Hewan)–nya (1809). Lamarck
berpendapat bahwa semua makhluk hidup dilengkapi dengan kemampuan mendasar yang menyetir mereka
untuk berevolusi (berubah) menjadi lebih kompleks. Dia juga berpendapat bahwa suatu organisme bisa
menurunkan sifat-sifat yang diperoleh selama masa hidupnya kepada keturunannya. Sebagai contoh dari
jalan pemikiran ini, Lamarck berpendapat bahwa leher panjang jerapah berkembang ketika nenek moyang
yang berleher pendek memutuskan untuk meraih daun-daun pepohonan dari pada rerumputan .
Model evolusi Lamarck ini tersanggah oleh penemuan hukum penurunan sifat. Pada pertengahan
abad ke-20, penemuan struktur DNA mengungkap bahwa inti dari sel makhluk hidup memiliki informasi
genetik yang istimewa, dan bahwa informasi genetik ini tidak dapat dirubah oleh “sifat dapatan”. Dengan
kata lain, selama hidupnya, meskipun jerapah berhasil menjadikan lehernya beberapa sentimeter lebih
panjang dengan menjulurkan lehernya ke dahan yang lebih tinggi, sifat ini tidak akan diturunkan ke anak-
anaknya. Singkatnya, pandangan Lamarck secara sederhana telah tersanggah oleh temuan ilmiah, dan
tenggelam dalam sejarah sebagai sebuah anggapan cacat.
Meskipun demikian, teori evolusi yang dirumuskan oleh seorang ilmuwan alam yang hidup
beberapa generasi setelah Lamarck terbukti lebih berpengaruh. Ilmuwan alam ini adalah Charles Robert
Darwin, dan teori yang dirumuskannya dikenal sebagai “Darwinisme”.
Munculnya Darwinisme
Charles Darwin mendasarkan teorinya pada beberapa pengamatan yang dilakukannya sebagai
seorang ilmuwan alam muda di atas kapal H.M.S Beagle, yang berlayar pada akhir 1831 dalam perjalanan
resmi lima tahun keliling dunia. Darwin muda sangat terpengaruh oleh keanekaragaman jenis [binatang]
yang dia amati, terutama berbagai burung finch di kepulauan Galapagos. Perbedaan pada paruh burung-
burung ini, menurut Darwin adalah sebagai hasil dari penyesuaian diri terhadap lingkungan mereka yang
berbeda.
Setelah pelayaran ini, Darwin mulai mengunjungi pasar-pasar hewan di Inggris. Dia mengamati
bahwa pemulia sapi menghasilkan suatu keturunan sapi baru dengan mengawinkan sapi-sapi yang berbeda
sifat. Pengalaman ini, bersama dengan keanekaragaman jenis burung finch yang diamatinya di kepulauan
Galapagos, memberi andil dalam perumusan teorinya. Di tahun 1859, ia menerbitkan pandangannya dalam
bukunya The Origin of Species (Asal mula Spesies). Dalam buku ini dia merumuskan bahwa semua spesies
berasal dari satu nenek moyang, berevolusi dari satu jenis ke jenis yang lain sejalan dengan waktu melalui
perubahan-perubahan kecil.
Yang membuat Teori Drarwin berbeda dari Lamarck adalah penekanannya pada “seleksi alam”.
Darwin berteori bahwa terjadi persaingan untuk kelangsungan hidup di alam, dan bahwa seleksi alam
adalah bertahannya spesies terkuat, yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Darwin
mengambil alur berpikir sebagai berikut:
Di dalam satu spesies tertentu, terdapat keragaman alamiah dan karena kebetulan. Sebagai contoh
beberapa sapi lebih besar daripada yang lain, sementara beberapa memiliki warna lebih gelap. Seleksi alam
memilih sifat-sifat menguntungkan. Jadi, proses seleksi alam menyebabkan peningkatan gen-gen yang
menguntungkan dalam satu populasi, yang menjadikan sifat-sifat populasi itu lebih sesuai untuk
lingkungan di sekitarnya. Seiring dengan waktu perubahan-perubahan ini mungkin cukup berarti untuk
menyebabkan munculnya spesies baru.
Namun demikian, “Teori evolusi oleh seleksi alam” ini memunculkan keraguan sejak awalnya:
1. Apakah “keragaman alamiah dan karena kebetulan” yang dimaksud Darwin? Memang
benar beberapa sapi berukuran lebih besar daripada yang lain, sementara beberapa memiliki warna lebih
gelap, tetapi bagaimana keragaman ini dapat menyediakan penjelasan bagi keanekaragaman spesies hewan
dan tumbuhan?
2. Darwin menegaskan bahwa “Makhluk hidup berevolusi sedikit demi sedikit”. Jika
demikian, seharusnya akan hidup jutaan “bentuk peralihan”. Namun tidak terdapat bekas dari makhluk
teoritis ini dalam catatan fosil. Darwin berpikir keras pada masalah ini, dan akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa “penelitian lebih jauh akan menyediakan bukti fosil ini”.
3. Bagaimana seleksi alam menjelaskan organ-organ kompleks, seperti mata, telinga atau
sayap? Bagaimana dapat dipercaya bahwa organ-organ ini berkembang secara berangsur-angsur, sementara
harus diingat bahwa mereka akan gagal berfungsi jika satu bagiannya saja hilang?
4. Sebelum memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, simaklah hal berikut ini: Bagaimana
organisme pertama, yang disebut Darwin sebagai nenek moyang dari semua spesies, muncul menjadi ada?
Bisakah proses alamiah memberikan kehidupan kepada sesuatu yang asalnya benda mati?
Darwin setidaknya sadar atas beberapa pertanyaan ini, seperti yang dapat dilihat dalam bab yang
berjudul “Difficulties of The Theory (Ganjalan-ganjalan dari Teori ini).” Namun, jawaban yang ia sediakan
tidak memiliki keabsahan ilmiah. H.S. Lipson, ahli fisika Inggris, membuat catatan tentang “ganjalan”
Darwin ini sebagai berikut:
Saat membaca The Origin of Species, saya menemukan bahwa Darwin sendiri sangat kurang yakin
daripada yang biasa digambarkan orang; bab yang berjudul “Difficulties of The Theory” (Ganjalan-
ganjalan dari Teori Ini) misalnya, menunjukkan keraguan diri yang nyata. Sebagai seorang ahli fisika, saya
amat terganggu terutama terhadap pernyataannya tentang bagaimana mata bisa terbentuk.1
Darwin menggantungkan semua harapannya pada penelitian ilmiah yang lebih maju, yang
diharapnya mampu menghapuskan “ganjalan dari teori ini” Akan tetapi, berkebalikan dengan harapannya,
temuan-temuan ilmiah baru yang lebih banyak malahan semakin menambah ganjalan ini.
Dalam bukunya, Darwin tidak pernah menyebutkan asal usul kehidupan. Pemahaman kuno ilmu
pengetahuan pada masanya mendasarkan pada anggapan bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang
sangat sederhana. Sejak abad pertengahan, spontaneous generation (pembentukan spontan), teori yang
menyatakan bahwa benda mati dapat berpadu untuk membentuk makhluk hidup, telah diterima secara luas.
Dipercayai bahwa serangga terwujud dari sisa-sisa makanan. Lebih jauh lagi digambarkan bahwa tikus
terwujud dari gandum. Beberapa percobaan menarik dilakukan untuk membuktikan teori ini. Sejumlah
gandum diletakkan di atas potongan kain kotor, dan dipercayai bahwa tikus akan muncul segera darinya.
Demikian juga, kenyataan bahwa belatung muncul dari daging dipercaya sebagai bukti dari
spontaneous generation (pembentukan spontan). Namun, beberapa waktu kemudian barulah disadari
bahwa belatung tidak tiba-tiba muncul dari daging, tetapi terbawa oleh lalat dalam bentuk larva, tak terlihat
oleh mata telanjang.
Bahkan pada masa di saat Darwin menulis Origin of Species, keyakinan bahwa bakteri dapat
mewujud dari benda mati masih tersebar luas. Namun demikian, lima tahun setelah penerbitan buku
Darwin, Louis Pasteur mengumumkan hasil penelitian dan pecobaan panjangnya, yang menyanggah
spontaneous generation (pembentukan spontan), satu batu fondasi dari teori Darwin. Dalam kuliah
kemenangannya di Sorbonne tahun 1864, Pasteur mengatakan, “Doktrin spontaneous generation
(pembentukan spontan) tidak akan mampu bangkit dari pukulan telak mematikan dari percobaan sederhana
ini”.2
Para pendukung teori evolusi tetap menolak menerima temuan Pasteur untuk waktu lama. Namun,
saat kemajuan ilmiah menyingkap struktur kompleks sel, gagasan bahwa kehidupan dapat terwujud secara
kebetulan menghadapi kebuntuan yang semakin besar. Kita akan mengkaji masalah ini secara lebih rinci
dalam buku ini.
Hal lain yang menjadi masalah bagi teori Darwin adalah penurunan sifat. Pada masa ketika Darwin
mengembangkan teorinya, pertanyaan tentang bagaimana makhluk hidup meneruskan sifat ke
keturunannya - yaitu, bagaimana penurunan sifat terjadi - tidaklah dipahami sepenuhnya. Itulah mengapa
keyakinan awam bahwa penurunan sifat terjadi melalui darah masih diterima luas.
Pengetahuan dangkal tentang penurunan sifat membawa Darwin mendasarkan teorinya pada
landasan yang sama sekali salah. Darwin beranggapan bahwa seleksi alam merupakan “mekanisme
evolusi”. Tetapi ada satu pertanyaan yang tetap tak terjawab: Bagaimana “sifat-sifat menguntungkan” ini
terpilih dan diteruskan dari satu keturunan ke berikutnya? Pada titik ini, Darwin menganut teori Lamarck,
yaitu “penurunan sifat-sifat dapatan”. Dalam bukunya The Great Evolution Mystery (Rahasia Besar
Evolusi), Gordon R. Taylor, seorang peneliti penganjur teori evolusi, menggambarkan pandangannya
bahwa Darwin sangat terpengaruh oleh Lamarck:
Lamarckisme… dikenal sebagai penurunan sifat-sifat dapatan… Sebenarnya, Darwin sendiri
cenderung mempercayai bahwa penurunan sifat seperti itu bisa terjadi dan menyebutkan laporan kejadian
seseorang yang kehilangan jarinya dan melahirkan anak tanpa jari… [Darwin], katanya, tidak mengambil
satu ide pun dari Lamarck. Hal ini sangat ironis, karena Darwin berulang kali memainkan gagasan
penurunan sifat dapatan dan, jika gagasan ini begitu buruk, Darwinlah yang seharusnya mendapatkan nama
jelek daripada Lamarck… Dalam edisi tahun 1859 karyanya, Darwin mengacu pada ‘perubahan keadaan
lingkungan luar’ menyebabkan keragaman tetapi kemudian keadaan ini dijelaskan sebagai mengarahkan
keragaman dan bekerja sama dengan seleksi alam dalam mengarahkannya… Setiap tahun ia semakin
mengacu kepada aktifitas penggunaan dan penyia-nyiaan… Pada tahun 1868 ketika ia menerbitkan
Varieties of Animals and Plants under Domestication (Keragaman Hewan dan Tumbuhan dalam
Pembudidayaan) segala contoh tentang penurunan sifat menurut Lamarck ia berikan: seperti seorang laki-
laki yang terpotong jari kelingkingnya dan semua anaknya terlahir dengan jari kelingking cacat, serta anak
laki-laki yang lahir dengan kulit khitan yang pendek sebagai akibat dari tradisi berkhitan secara turun
temurun.3
Namun, pandangan Lamarck, seperti yang telah kita lihat diatas, disangkal oleh hukum penurunan
sifat yang terungkap oleh seorang pendeta dan ahli tumbuhan Austria, Gregor Mendel. Karenanya, konsep
“sifat-sifat yang menguntungkan” tidak memperoleh dukungan. Hukum penurunan sifat menunjukkan
bahwa sifat-sifat dapatan tidak diturunkan, dan bahwa penurunan sifat terjadi berdasarkan hukum tetap
tertentu. Hukum ini mendukung pandangan bahwa spesies tetap tidak berubah. Berapakalipun sapi yang
dilihat oleh Darwin di pasar ternak Inggris beranak, jenisnya sendiri tidak akan pernah berubah: sapi akan
tetap menjadi sapi.
Gregor Mendel mengumumkan hukum penurunan sifat yang ia temukan sebagai hasil dari
percobaan dan pengamatan yang panjang dalam sebuah makalah ilmiah pada tahun 1865. Tetapi makalah
ini baru menarik perhatian dunia ilmiah pada akhir abad. Pada awal abad ke-20, kebenaran dari hukum ini
telah diterima oleh seluruh masyarakat ilmiah. Ini merupakan kebuntuan besar bagi teori Darwin, yang
mencoba mendasarkan konsep “sifat-sifat menguntungkan” pada [teori] Lamarck.
Disini kita harus meluruskan kesalahpahaman umum: Mendel tidak hanya menentang model evolusi
Lamarck, tetapi juga Darwin. Sebagaimana artikel “Mendel’s Opposition to Evolution and Darwin”
(Penentangan Mendel atas Evolusi dan Darwin), dalam Journal of Heredity, menjelaskan, “Ia [Mendel]
mengenal [buku] The Origin of Spesies (Asal Usul Spesies) …dan ia menentang teori Darwin; Darwin
mendukung penurunan [sifat] dengan perubahan melalui seleksi alam, sedangkan Mendel menyokong
doktrin tradisional tentang penciptaan khusus.”4
Hukum yang ditemukan Mendel menempatkan Darwinisme pada posisi yang amat sulit. Untuk itu,
para ilmuwan pendukung Darwinisme berusaha mengembangkan model evolusi lain pada perempat
pertama abad ke-20. Maka, lahirlah “neo-Darwinisme” (Darwinisme Baru).
Upaya Neo-Darwinisme
Sekelompok Ilmuwan yang memutuskan untuk mempertemukan Darwinisme dengan ilmu genetika,
dengan segala cara, berkumpul dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Perkumpulan Geologi
Amerika pada tahun 1941. Setelah diskusi panjang, mereka setuju pada cara untuk membuat penjelasan
baru dari Darwinisme; dan beberapa tahun setelah itu, para ahli menghasilkan sebuah rumusan dari
berbagai bidang mereka menjadi sebuah teori evolusi yang terkaji ulang.
Para ilmuwan yang berperan serta dalam membangun teori baru ini termasuk ahli genetika G.
Ledyard Stebbins dan Theodosius Dobzhansky, ahli ilmu hewan Ernst Mayr dan Julian Huxley, ahli
kepurbakalaan George Gaylord Simpson dan Glenn L. Jepsen, dan ahli genetika matematis Sir Ronald A.
Fisher dan Sewall Wright.5
Untuk menghadapi fakta “stabilitas genetik” (genetic homeostasis), kelompok ilmuwan ini
menggunakan konsep “mutasi”, yang telah diperkenalkan oleh ahli botani Belanda Hugo de Vries pada
awal abad ke-20. Mutasi adalah kerusakan yang terjadi, untuk alasan yang tidak diketahui, dalam
mekanisme penurunan sifat pada makhluk hidup. Organisme yang mengalami mutasi memperoleh bentuk
yang tidak lazim, yang menyimpang dari informasi genetik yang mereka warisi dari induknya. Konsep
“mutasi acak” diharapkan bisa menjawab pertanyaan tentang asal usul keragaman menguntungkan yang
menyebabkan makhluk hidup berevolusi sesuai dengan teori Darwin—sebuah kejadian yang Darwin
sendiri tidak bisa menjelaskannya, tetapi hanya mencoba menghindarinya dengan mengacu kepada teori
Lamarck. Kelompok Masyarakat Geologi Amerika menamai teori baru ini, yang dirumuskan dengan
menambahkan konsep mutasi pada gagasan seleksi alam Darwin, sebagai “teori evolusi sintesis” atau
“sintesis modern.” Dalam waktu singkat, teori ini mulai dikenal dengan nama “neo-Darwinisme” dan
pendukungnya sebagai “neo-Darwinis.”
Namun terdapat sebuah masalah serius: Memang benar bahwa mutasi merubah informasi genetik
makhluk hidup, tetapi perubahan ini selalu terjadi dengan dampak merugikan makhluk hidup
bersangkutan. Semua mutasi yang teramati menghasilkan makhluk yang cacat, lemah, atau sakit dan,
kadang kala, membawa kematian pada makhluk tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mendapatkan
contoh “mutasi menguntungkan” yang memperbaiki informasi genetik pada makhluk hidup, neo-Darwinis
melakukan banyak percobaan dan pengamatan. Selama beberapa dasawarsa, mereka melakukan percobaan
mutasi pada lalat buah dan berbagai jenis lainnya. Namun tak satupun dari percobaan ini memperlihatkan
mutasi yang memperbaiki informasi genetik pada makhluk hidup.
Saat ini permasalahan mutasi masih menjadi kebuntuan besar bagi Darwinisme. Meskipun teori
seleksi alam menganggap mutasi sebagai satu-satunya sumber dari “perubahan menguntungkan”, tidak ada
mutasi dalam bentuk apapun yang teramati yang benar-benar menguntungkan (yaitu, yang memperbaiki
informasi genetik). Dalam bab selanjutnya, kita akan mengkaji permasalahan ini secara rinci.
Kebuntuan lain bagi neo-Darwinis datang dari catatan fosil. Bahkan pada masa Darwin, fosil telah
menjadi rintangan yang penting bagi teori ini. Sementara Darwin sendiri mengakui tak adanya fosil
“spesies peralihan”, dia juga meramalkan bahwa penelitian selanjutnya akan menyediakan bukti atas
bentuk peralihan yang hilang ini. Namun, meskipun semua ahli kepurbakalaan telah berupaya, catatan fosil
tetap menjadi rintangan penting bagi teori ini. Satu persatu, gagasan semacam “organ peninggalan”,
“rekapitulasi embriologi” dan “homologi” kehilangan arti pentingnya oleh penemuan-penemuan ilmiah
terkini. Semua permasalahan ini diuraikan dengan lebih lengkap pada bab-bab selanjutnya dari buku ini.
Kita baru saja mengupas secara singkat kebuntuan yang ditemui Darwinisme sejak hari pertama ia
diajukan. Kini kita akan mulai mengkaji betapa besarnya kebuntuan ini. Dengan melakukan ini, tujuan
kami adalah menunjukkan bahwa teori evolusi bukanlah kebenaran ilmiah tak terbantahkan, seperti yang
banyak orang sangka atau coba untuk diyakinkan kepada orang lain. Sebaliknya, terdapat pertentangan
mencolok ketika teori evolusi dihadapkan dengan penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang
seperti asal usul kehidupan, genetika populasi, anatomi perbandingan, kepurbakalan, dan biokimia.
Singkatnya, evolusi adalah sebuah teori yang sedang dilanda “krisis.”
Itu tadi adalah gambaran dari Prof. Michael Denton, seorang ahli biokimia Australia dan seorang
kritikus terkenal atas Darwinisme. Dalam bukunya Evolution: A Theory in Crisis (Evolusi: Sebuah Teori
dalam Krisis) (1985), Denton menguji teori ini di bawah berbagai cabang ilmu, dan menyimpulkan bahwa
teori seleksi alam sangatlah jauh dari memberikan penjelasan bagi kehidupan di bumi.6 Tujuan Denton
dalam mengajukan kritiknya bukanlah untuk menunjukkan kebenaran dari pandangan lain, tetapi hanya
membandingkan Darwinisme dengan fakta-fakta ilmiah. Selama dua dasawarsa terakhir, banyak ilmuwan
lain menerbitkan karya-karya penting mempertanyakan keabsahan teori evolusi Darwin.
Dalam buku ini, kita akan mengkaji krisis ini. Tak peduli betapapun banyaknya bukti nyata yang
diberikan, sebagian pembaca mungkin tidak bersedia melepaskan posisi mereka, dan akan tetap bertahan
dengan teori evolusi. Namun, membaca buku ini masih akan bermanfaat bagi mereka, karena ini akan
membantu mereka melihat keadaan sebenarnya dari teori yang mereka yakini tersebut, di bawah
penemuan-penemuan ilmiah.
MEKANISME DARWINISME
Menurut teori evolusi, makhluk hidup terwujud melalui berbagai kebetulan, dan berkembang lebih
jauh sebagai sebuah hasil dari dampak yang tidak disengaja. Sekitar 3,8 miliar tahun lalu, ketika tidak ada
makhluk hidup di bumi, makhluk bersel satu (prokaryota) sederhana pertama muncul. Seiring dengan
perjalanan waktu, sel-sel yang lebih kompleks (eukaryota) dan organisme bersel banyak muncul. Dengan
kata lain, menurut Darwinisme, kekuatan alam membangun benda-benda mati sederhana menjadi
rancangan sangat kompleks dan sempurna.
Dalam menilai pernyataan ini, seseorang harus mengkaji apakah kekuatan semacam itu benar-benar
ada di alam. Lebih jelas lagi, apakah benar-benar ada mekanisme alam yang bisa menghasilkan evolusi
sesuai dengan sekenario Darwin?
Model neo-Darwinis, yang dapat kita anggap sebagai teori utama dari evolusi saat ini, menyatakan
bahwa kehidupan berkembang atau berevolusi melalui dua mekanisme alamiah: seleksi alam dan mutasi.
Pada dasarnya teori ini menekankan bahwa seleksi alam dan mutasi adalah dua mekanisme yang saling
melengkapi. Sumber dari perubahan secara evolusi adalah mutasi acak yang terjadi dalam struktur genetik
makhluk hidup. Sifat yang dihasilkan dari mutasi ini kemudian dipilah dengan mekanisme seleksi alam,
dan dengan cara inilah makhluk hidup berevolusi. Akan tetapi jika kita kaji lebih dalam teori ini, kita akan
menemukan bahwa tidak ada mekanisme evolusi seperti itu. Baik seleksi alam maupun mutasi tidak bisa
menyebabkan spesies yang berbeda berkembang menjadi spesies lain, dan pernyatan bahwa keduanya bisa
adalah benar-benar tidak berdasar.
Seleksi Alam
Konsep seleksi alam adalah landasan utama Darwinisme. Pernyataan ini ditegaskan bahkan pada
judul buku dimana Darwin mengajukan teorinya: The Origin of Species, by means of Natural Selection
(Asal usul Spesies, melalui Seleksi Alam)…
Seleksi alam didasarkan pada anggapan bahwa di alam selalu terdapat persaingan untuk
kelangsungan hidup. Ia memilih makhluk-makhluk dengan sifat-sifat yang paling membuat mereka mampu
mengatasi tekanan yang diberikan lingkungan. Pada akhir persaingan ini, yang terkuat, yang paling sesuai
dengan keadaan alam, akan bertahan. Sebagai contoh, pada sekawanan rusa yang berada di bawah
ancaman pemangsa, mereka yang mampu berlari lebih cepat secara alami akan bertahan hidup. Hasilnya,
kawanan rusa tersebut pada akhirnya hanya akan terdiri dari rusa-rusa yang mampu berlari cepat.
Meskipun demikian, betapapun lamanya hal ini berlangsung, ini tidak akan merubah rusa tersebut
menjadi jenis lain. Rusa lemah akan tersingkirkan, yang kuat bertahan, tetapi, karena tidak ada perubahan
yang terjadi dalam data genetik mereka, perubahan spesies pun tidak akan terjadi. Meskipun proses seleksi
ini terjadi terus-menerus, rusa tetap akan menjadi rusa.
Contoh tentang rusa tersebut berlaku untuk semua spesies. Dalam populasi manapun, seleksi alam
hanya menyingkirkan yang lemah, atau individu yang tidak cocok yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan kondisi alam dalam habitat mereka. Mekanisme seperti ini tidak akan menghasilkan spesies baru,
informasi genetik yang baru, atau organ baru. Artinya, seleksi alam tidak bisa menyebabkan apapun untuk
berevolusi. Darwin pun menerima fakta ini, sesuai dengan pernyataannya “Seleksi alam tidak bisa berbuat
apapun hingga perbedaan individu atau keragaman yang menguntungkan terjadi.”7 Itulah mengapa neo-
Darwinisme harus menambahkan mekanisme mutasi sebagai faktor pengubah informasi genetik dalam
konsep seleksi alam.
Kita akan membahas mutasi lebih jauh dalam bab selanjutnya. Tetapi sebelumnya, kita perlu
mengkaji lebih jauh konsep seleksi alam untuk melihat pertentangan yang sangat melekat di dalamnya.
Anggapan mendasar dari teori seleksi alam adalah bahwa di alam selalu terdapat persaingan sengit
untuk kelangsungan hidup, dan setiap makhluk hidup hanya mempedulikan dirinya sendiri. Pada saat
Darwin mengajukan teori ini, gagasan Thomas Malthus, seorang ahli ekonomi klasik Inggris, berpengaruh
penting pada dirinya. Malthus menyatakan bahwa manusia tak terhindar dari persaingan dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ia mendasari pandangannya pada kenyataan bahwa populasi,
yang berarti juga kebutuhan akan sumber makanan, bertambah menurut deret ukur, sementara sumber
makanan itu sendiri bertambah menurut deret hitung. Alhasil, ukuran populasi mau tak mau akan dibatasi
oleh faktor-faktor lingkungan, seperti kelaparan dan penyakit. Darwin menerapkan pandangan Malthus
tentang persaingan sengit untuk kelangsungan hidup antar manusia kepada alam secara luas, dan
menyatakan bahwa “seleksi alam” adalah sebuah dampak persaingan ini.
Namun, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa tidak terdapat persaingan untuk hidup di
alam seperti yang dirumuskan Darwin. Sebagai hasil dari penelitian menyeluruh terhadap kelompok-
kelompok hewan pada tahun 1960-an hingga 1970-an, V. C. Wynne-Edward, seorang ahli ilmu hewan
Inggris, menyimpulkan bahwa makhluk hidup menyeimbangkan populasi mereka melalui suatu cara
menarik, yang mencegah persaingan untuk memperoleh makanan. Populasi diatur tidak melalui
penyingkiran yang lemah melalui hal-hal seperti wabah penyakit atau kelaparan, tetapi oleh sebuah
mekanisme pengatur naluriah. Dengan kata lain, hewan mengatur jumlah mereka tidak dengan persaingan
sengit, seperti diusulkan Darwin, tetapi dengan membatasi perkembangbiakan. 8
Bahkan tumbuhan menunjukkan contoh pengaturan populasi, yang menyanggah pernyataan Darwin
tentang seleksi melalui persaingan. Pengamatan seorang ahli ilmu tumbuhan, A. D. Bradshaw,
menunjukkan bahwa selama berkembangbiak, tumbuhan menyesuaikan diri dengan “kepadatan”
penanaman, dan membatasi perkembangbiakan mereka jika daerah itu telah penuh dengan tumbuhan. 9 Di
lain pihak, contoh pengorbanan yang teramati pada hewan seperti semut dan lebah menggambarkan sebuah
model yang sama sekali bertentangan dengan persaingan untuk kelangsungan hidup menurut Darwinis.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah mengungkap penemuan mengenai “pengorbanan
diri” bahkan pada bakteri. Makhluk hidup tanpa otak atau sistem syaraf ini, yang sama sekali tak
berkemampuan untuk berfikir, membunuh diri mereka sendiri untuk menyelamatkan bakteri lain ketika
mereka diserang virus.10
Contoh-contoh ini pastilah menyanggah anggapan dasar dari seleksi alam: persaingan untuk
kelangsungan hidup yang tidak bisa dihindari. Memang benar terdapat persaingan di alam; akan tetapi
terdapat juga model yang jelas dari “pengorbanan diri” dan “kesetiakawanan”.
Terlepas dari kelemahan secara teori tersebut di atas, teori evolusi melalui seleksi alam kembali
menemui kebuntuan mendasar ketika berhadapan dengan penemuan-penemuan ilmiah yang nyata. Nilai
ilmiah sebuah teori harus dikaji berdasarkan berhasil atau tidaknya teori ini dalam percobaan dan
pengamatan. Evolusi melalui seleksi alam gagal dalam keduanya.
Sejak masa Darwin, tidak pernah dikemukakan sepotong bukti pun untuk menunjukkan bahwa
seleksi alam telah menyebabkan makhluk hidup berevolusi. Colin Patterson, seorang ahli purbakala senior
pada Museum Sejarah Alam (Museum of Natural Histroy) Inggris di London yang juga seorang
evolusionis terkemuka, menegaskan bahwa seleksi alam belum pernah teramati memiliki kemampuan
untuk menyebabkan makhluk hidup berevolusi:
Tak seorangpun pernah menghasilkan satu spesies melalui mekanisme seleksi alam. Tak seorangpun
pernah mendekatinya, dan kebanyakan dari perdebatan di dalam neo-Darwinisme adalah seputar
pertanyaan ini.11
Pierre-Paul Grasse, ahli ilmu hewan terkenal Perancis yang juga penguji Darwinisme, berkomentar
di dalam “Evolusi dan Seleksi Alam”, satu bab pada bukunya The Evolution of Living Organisms (Evlolusi
Makhluk Hidup).
“Evolusi sedang beraksi” menurut J. Huxley dan ahli biologi lainnya hanyalah pengamatan atas
fakta-fakta demografi, keragaman genotipe lokal, dan sebaran geografis. Sering kali spesies yang diamati
hampir tidak berubah selama ratusan abad! Keragaman akibat [perubahan] keadaan, dengan didahului
perubahan genom, tidak berarti evolusi, dan kita memiliki bukti nyata atas hal ini pada banyak spesies
panchronic [yaitu fosil hidup yang tidak berubah selama jutaan tahun].12
Sebuah tinjauan lebih dekat pada beberapa “contoh yang teramati dari seleksi alam” yang disajikan
oleh ahli biologi yang mendukung teori evolusi, akan mengungkapkan bahwa, pada kenyataannya, mereka
tidak menyediakan bukti apapun bagi evolusi.
Ketika sumber-sumber evolusionis dikaji, seseorang pasti akan melihat bahwa contoh ngengat di
Inggris selama Revolusi Industri disebut-sebut sebagai contoh evolusi melalui seleksi alam. Hal ini
diajukan sebagai contoh paling nyata dari evolusi yang teramati, dalam buku-buku acuan, majalah dan
bahkan sumber-sumber akademis. Meskipun pada kenyataanya, contoh tersebut tidak berhubungan sama
sekali dengan evolusi.
Pertama, mari kita mengingat kembali apa yang dikatakan: Menurut catatan ini, pada permulaan
Revolusi Industri di Inggris, warna kulit pohon disekitar Manchester cukup terang. Oleh sebab itu, ngengat
berwarna gelap yang berada di pohon itu akan lebih mudah dilihat oleh burung pemangsa mereka, dan
karenanya mereka berkemungkinan kecil untuk bertahan hidup. Lima puluh tahun kemudian, di hutan-
hutan dimana polusi industri telah membunuh lumut kerak, kulit pohon menjadi lebih gelap, dan sekarang
ngengat berwarna terang menjadi paling banyak diburu, karena mereka paling mudah terlihat. Akibatnya,
perbandingan antara ngengat berwarna terang dengan berwarna gelap menurun. Evolusionis mempercayai
hal ini sebagai satu bukti besar bagi teori mereka. Mereka berlindung dan menghibur diri dengan bangga,
menunjukkan bagaimana ngengat berwarna terang “berevolusi” menjadi ngengat berwarna gelap.
Namun demikian, walaupun kita percaya bahwa fakta ini benar, seharusnya sudah jelas bahwa
ngengat-ngengat ini tidak bisa dijadikan bukti bagi teori evolusi, karena tidak ada bentuk baru yang
muncul yang sebelumnya tidak ada. Ngengat berwarna gelap telah ada dalam populasi ngengat sebelum
Revolusi Industri. Hanya perbandingan antar varietas ngengat yang ada saja yang berubah. Ngengat tidak
memperoleh suatu sifat atau organ baru, yang akan menyebabkan “spesiasi” [terbentuknya spesies baru]. 13
Agar satu spesies ngengat berubah menjadi satu spesies hidup lain, burung misalnya, harus ada
penambahan baru atas gen-gennya. Artinya, sebuah program genetik yang benar-benar baru harus
dimasukan termasuk informasi tentang ciri-ciri fisik dari burung.
Ini adalah jawaban yang diberikan untuk kisah “Melanisme Industri” kaum evolusionis. Namun,
masih ada sisi yang lebih menarik dari kisah ini: Tidak hanya penjelasannya, tetapi kisah itu sendiri tidak
sepenuhnya benar. Sebagai ahli biologi molekuler, Jonathan Wells menjelaskan dalam bukunya Icons of
Evolution (Lambang-lambang Evolusi), cerita ngengat berbintik ini, yang dimasukkan pada setiap buku
biologi evolusi dan karenanya, telah menjadi sebuah “lambang” dalam hal ini, tidak mencerminkan
kebenaran. Wells mengkaji di dalam bukunya bagaimana percobaan Bernard Kettlewell, yang dikenal
sebagai “bukti percobaan”, sebenarnya adalah skandal ilmiah. Beberapa unsur dasar dari skandal ini
adalah:
•Banyak percobaan yang dilakukan setelah Kettlewell mengungkap bahwa hanya ada satu jenis dari
ngengat ini yang hinggap pada batang pohon, dan semua jenis lainnya lebih suka hinggap di bawah dahan
kecil yang mendatar. Sejak 1980 menjadi teranglah bahwa ngengat umumnya tidak hinggap pada batang
pohon. Selama 25 tahun kerja lapangan, banyak ilmuwan seperti Cyril Clarke dan Rory Howlett, Michael
Majerus, Tony Liebert, dan Paul Brakefield menyimpulkan bahwa dalam percobaan Kettlewell, ngengat
dipaksa untuk bertingkah laku tidak umum, karenanya, hasil percobaan tersebut tidak bisa diterima secara
ilmiah.14
•Para Ilmuwan yang menguji kesimpulan Kettlewell muncul dengan hasil yang bahkan lebih
menarik: Walaupun jumlah ngengat berwarna terang diharapkan akan lebih banyak pada daerah yang
kurang berpolusi di Inggris, ngengat berwarna gelap di sana jumlahnya empat kali lebih banyak dari yang
terang. Ini berarti tidak terdapat hubungan antara populasi ngengat dan batang kayu seperti yang dikatakan
Kettlewell dan diulang-ulang oleh hampir semua sumber evolusionis.
•Ketika pengujian diperdalam, besarnya skandal ini semakin nyata: “Ngengat pada batang pohon”
yang difoto oleh Kettlewell, sebenarnya adalah ngengat mati. Kettle well menggunakan serangga mati
yang direkatkan atau ditusukkan pada batang kayu dan kemudian memfotonya. Pada dasarnya, sulit sekali
untuk mengambil gambar seperti itu karena ngengat tidak hinggap di batang pohon, melainkan di bawah
dedaunan.15
Fakta-fakta ini diungkapkan oleh masyarakat ilmiah baru di akhir 1990-an. Runtuhnya mitos
Melanisme Industri, yang telah menjadi salah satu bahasan berharga dalam kuliah-kuliah “Mengenal
Evolusi” di setiap Universitas selama beberapa dasawarsa, sangat mengecewakan para evolusionis. Salah
satu dari mereka, Jerry Coyne, bertutur:
Reaksi saya mirip dengan kekecewaan yang menyertai temuan saya, pada umur 6 tahun, bahwa
ternyata ayah sayalah dan bukan Santa yang membawa hadiah pada malam natal.16
Jadi, “contoh paling terkenal dari seleksi alam” telah dibuang ke tumpukan sampah sejarah sebagai
sebuah skandal ilmiah—sebuah hal yang tak terhindarkan, karena, berkebalikan dengan apa yang
dinyatakan evolusionis, seleksi alam bukanlah sebuah “mekanisme evolusi”.
Singkatnya, seleksi alam tidak mampu menambahkan organ baru pada makhluk hidup, atau
menghilangkan salah satunya, ataupun merubah organisme dari satu spesies menjadi spesies lain. Bukti
“terbesar” yang ada sejak Darwin hanya beranjak tidak lebih jauh dari “Melanisme Industri” ngengat di
Inggris.
Mengapa Seleksi Alam Tidak Bisa
Menjelaskan Kompleksitas
Seperti yang kami tunjukkan pada bagian awal, masalah terbesar bagi teori evolusi melalui seleksi
alam, adalah bahwa ia tidak bisa memunculkan organ atau sifat baru pada makhluk hidup. Seleksi alam
tidak bisa mengembangkan data genetik suatu spesies; karenanya, ia tidak bisa digunakan untuk
menjelaskan kemunculan spesies baru. Pembela terbesar teori Punctuated Equilibrium (Keseimbangan
Tersela), Stephen Jay Gould, menyatakan kebuntuan seleksi alam ini sebagai berikut:
Intisari Dawinisme terdapat dalam sebuah kalimat: seleksi alam adalah kekuatan kreatif dari
perubahan secara evolusi. Tak seorang pun menyangkal bahwa seleksi alam akan memainkan peran negatif
dengan menyisihkan yang lemah. Teori Darwin mensyaratkan seleksi alam juga menciptakan yang kuat.17
Metoda menyesatkan lainnya yang diterapkan para evolusionis dalam masalah seleksi alam adalah
usaha mereka untuk menghadirkan mekanisme ini sebagai sebuah perancang cerdas. Namun, seleksi alam
tidak memiliki kecerdasan. Seleksi alam tidak memiliki kehendak yang dapat menentukan mana yang baik
dan buruk bagi makhluk hidup. Akibatnya, seleksi alam tidak bisa menjelaskan system-sistem biologis dan
organ-organ yang memiliki “kompleksitas tak tersederhanakan”. Sistem-sistem dan organ-organ ini
tersusun atas banyak bagian yang bekerja sama, dan tidak akan berguna jika satu saja bagiannya hilang
atau rusak. (Sebagai contoh, mata manusia tidak akan berfungsi kecuali jika ia memiliki semua bagiannya
secara utuh).
Oleh karena itu, kehendak yang menyatukan semua bagian ini seharusnya mampu memperkirakan
masa depan dan secara langsung mengarahkan kepada manfaat yang akan didapat pada tahapan terakhir.
Karena seleksi alam tidak memiliki kesadaran atau kehendak, seleksi alam tidak bisa melakukan hal seperti
itu. Fakta ini, yang menghancurkan dasar dari teori evolusi, juga mengganggu Darwin, yang menulis:
“Jika bisa dibuktikan bahwa ada organ kompleks, yang tidak mungkin dapat terbentuk melalui banyak
perubahan kecil bertahap, maka teori saya akan sepenuhnya runtuh.”18
Mutasi
Mutasi diartikan sebagai pemutusan atau penggantian yang terjadi pada molekul DNA, yang
ditemukan dalam inti sel dari setiap makhluk hidup dan memuat semua informasi genetik darinya.
Pemutusan atau penggantian ini diakibatkan oleh pengaruh-pengaruh luar seperti radiasi atau reaksi
kimiawi. Setiap mutasi adalah sebuah “kecelakaan”, dan merusak nukleotida-nukleotida penyusun DNA
atau mengubah kedudukan mereka. Hampir selalu, mereka menyebabkan kerusakan dan perubahan yang
sedemikian besar sehingga sel tidak bisa memperbaikinya.
Mutasi, yang sering dijadikan tempat berlindung evolusionis, bukan sebuah tongkat sulap yang bisa
merubah makhluk hidup ke bentuk yang lebih maju dan sempurna. Dampak langsung mutasi adalah
membahayakan. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh mutasi hanya akan serupa dengan apa yang
dialami penduduk Hiroshima, Nagasaki, dan Chernobyl: yaitu kematian, cacat, dan kelainan tubuh…
Alasan di balik ini sangatlah sederhana: DNA memiliki struktur sangat kompleks, dan perubahan-
perubahan acak hanya akan merusakkannya. Ahli biologi B. G. Ranganathan menyatakan:
Pertama, mutasi asli sangat jarang terjadi di alam. Kedua, kebanyakan mutasi adalah berbahaya
karena terjadi secara acak, bukan secara teratur merubah struktur gen; setiap perubahan acak dalam suatu
sistem yang sangat tertata rapi hanya akan memperburuk, bukan memperbaiki. Sebagai contoh, jika gempa
bumi menggoncang struktur yang tertata rapi seperti gedung, akan terjadi perubahan acak pada kerangka
bangunan tersebut yang, dapat dipastikan, tidak akan merupakan suatu perbaikan.19
Tidak mengherankan, tak satupun mutasi bermanfaat telah teramati sejauh ini. Semua mutasi telah
terbukti berbahaya. Ilmuwan evolusionis, Warren Weaver, mengomentari laporan yang disusun oleh
Committee on Genetic Effects of Atomic Radiation (Komite Dampak Genetik dari Radiasi Atom), yang
dibentuk untuk menyelidiki mutasi yang mungkin terjadi akibat senjata nuklir pada Perang Dunia II :
Banyak yang akan tercengang oleh pernyataan bahwa hampir semua gen termutasi yang telah
dikenal ternyata membahayakan. Jika mutasi adalah bagian yang diperlukan dari proses evolusi,
bagaimana mungkin suatu pengaruh baik—evolusi ke bentuk kehidupan yang lebih tinggi—dihasilkan dari
mutasi yang umumnya membahayakan?20
Setiap usaha yang dilakukan untuk “menghasilkan mutasi yang bermanfaat” berakhir dengan
kegagalan. Selama puluhan tahun, evolusionis melakukan berbagai percobaan untuk menghasilkan mutasi
pada lalat buah, karena serangga ini berkembang biak sedemikian cepat sehingga mutasi akan lebih cepat
terlihat. Keturunan demi keturunan lalat buah ini dimutasikan, namun tak satu pun mutasi bermanfaat yang
teramati. Ahli genetika evolusionis, Gordon Taylor, akhirnya menulis:
Adalah sebuah kenyataan menarik, tetapi tidak sering disebutkan bahwa, meskipun para ahli
genetika telah mengembangbiakkan lalat buah selama lebih dari 60 tahun di laboratorium seluruh dunia—
lalat yang menghasilkan keturunan baru setiap sebelas hari—mereka tidak pernah melihat munculnya
spesies baru atau bahkan enzim baru.21
Peneliti lainnya, Michael Pitman, berkomentar tentang kegagalan percobaan-percobaan yang
dilakukan pada lalat buah:
Morgan, Goldschmidt, Muller, dan ahli genetika yang lain telah menghadapkan beberapa lalat buah
pada kondisi ekstrim seperti panas, dingin, terang, gelap dan perlakuan dengan zat kimia serta radiasi.
Semua jenis mutasi, semuanya hampir tak berarti atau benar-benar merugikan, telah dihasilkan. Inikah
evolusi buatan manusia? Tidak juga: Hanya sebagian kecil dari monster buatan para ahli genetika tersebut
yang mungkin mampu bertahan hidup di luar botol tempat mereka dikembangbiakkan. Pada kenyataannya
mutan-mutan tersebut mati, mandul, atau cenderung kembali ke jenis asalnya.22
Hal yang sama berlaku bagi manusia. Semua mutasi yang teramati pada manusia menghasilkan
kerugian. Semua mutasi yang terjadi pada manusia mengakibatkan cacat fisik, dalam bentuk penyakit
mongolisme, sindroma Down, albinisme (bulai), cebol atau kanker. Jelaslah, sebuah proses yang membuat
manusia cacat atau sakit tidak mungkin menjadi “mekanisme evolusi” - evolusi seharusnya menghasilkan
bentuk-bentuk yang lebih mampu bertahan hidup.
Ahli penyakit Amerika David A. Demick mencatat sebagai berikut dalam sebuah artikel ilmiah
tentang mutasi:
Ribuan penyakit manusia yang berhubungan dengan mutasi genetik telah dicatat pada beberapa
tahun terakhir, dan lebih banyak lagi yang sedang dikaji. Sebuah buku rujukan terbaru genetika kedokteran
mendaftar sekitar 4500 penyakit genetik yang berbeda. Beberapa gejala menurun yang diketahui secara
klinis di masa sebelum analisa genetika molekuler (seperti gejala Marfan) sekarang ternyata diketahui
berbeda jenis; yaitu berhubungan dengan berbagai mutasi yang berbeda… Dengan sederetan penyakit
manusia yang disebabkan oleh mutasi ini, apakah dampak baiknya? Dengan ribuan contoh mutasi
berbahaya yang ada, tentunya dimungkinkan memperlihatkan beberapa mutasi berguna jika saja evolusi
makro benar. Hal ini [mutasi berguna] akan diperlukan bukan hanya untuk evolusi ke bentuk lebih
kompleks, tapi juga untuk mengurangi dampak buruk dari banyak mutasi berbahaya. Tetapi, ketika tiba
saatnya untuk menunjukkan mutasi berguna, ilmuwan-ilmuwan evolusionis anehnya hanya
bungkam.23
Satu-satunya contoh “mutasi berguna” yang diberikan oleh ahli biologi evolusi adalah penyakit yang
dikenal sebagai anemia sel sabit. Pada penyakit ini, molekul hemoglobin, yang membawa oksigen dalam
darah, rusak karena mutasi, dan mengalami perubahan bentuk. Akibatnya, kemampuan molekul
hemoglobin untuk mengangkut oksigen benar-benar terganggu. Karena itu, penderita anemia sel sabit
mengalami kesulitan bernapas. Namun demikian, contoh mutasi ini, yang dijabarkan dalam bab kelainan
darah pada buku kedokteran, anehnya dinilai oleh sebagian ahli biologi evolusi sebagai “mutasi berguna”.
Mereka mengatakan bahwa kekebalan terbatas terhadap malaria pada penderita anemia sel sabit adalah
sebuah “hadiah” dari evolusi. Dengan alur pemikiran yang sama, seseorang bisa mengatakan bahwa,
karena orang yang dilahirkan dengan kelumpuhan kaki genetik tidak mampu berjalan dan jadinya selamat
dari kematian karena kecelakaan lalu lintas, maka kelumpuhan kaki genetik tersebut adalah sebuah ”sifat
genetik yang menguntungkan”. Pemikiran seperti ini jelas-jelas tidak berdasar.
Jelaslah bahwa mutasi hanyalah suatu mekanisme yang merusak. Pierre-Paul Grasse, mantan ketua
French Academy of Sciences, menjelaskan dengan gamblang dalam komentarnya tentang mutasi. Grasse,
mengibaratkan mutasi sebagai “kesalahan menulis huruf ketika menyalin sebuah tulisan”. Dan
sebagaimana mutasi, kesalahan huruf tidak bisa menghasilkan suatu informasi baru, tetapi hanya merusak
informasi yang telah ada. Grasse menjelaskan kenyataan ini sebagai berikut:
Mutasi, di suatu saat, terjadi secara terpisah. Mutasi tidak saling melengkapi satu sama lain, ataupun
menumpuk pada keturunan selanjutnya menuju arah tertentu. Mereka merubah apa yang telah ada
sebelumnya, tetapi, walau bagaimanapun, mereka melakukannya secara tidak teratur,… Segera setelah
beberapa ketidakteraturan, meskipun kecil, terjadi pada makhluk yang teratur, penyakit, dan kemudian
kematian, akan mengikuti. Tidak mungkin ada penyatuan antara fenomena kehidupan dengan
ketidakteraturan.24
Jadi berdasarkan alasan tersebut, seperti yang Grasse katakan, “Tidak peduli berapa sering terjadi,
mutasi tidak menghasilkan satu pun bentuk evolusi.”25
Efek Pleiotropik
Bukti terpenting bahwa mutasi membawa pada kerusakan adalah proses penyandian genetik. Hampir
semua gen pada makhluk hidup yang sepenuhnya berkembang membawa lebih dari satu macam informasi.
Sebagai contoh, satu gen mungkin mengatur sifat tinggi sekaligus warna mata pada suatu organisme. Ahli
mikrobiologi, Michael Denton, menjelaskan sifat gen pada organisme tingkat tinggi seperti manusia ini,
sebagai berikut:
Pengaruh dari gen pada perkembangan secara tak terduga sering kali beragam. Pada tikus rumah,
hampir semua gen warna kulit memiliki beberapa pengaruh pada ukuran tubuh. Dari tujuh belas mutasi
warna mata yang dipicu sinar X pada lalat buah Drosophila melanogaster, empat belas diantaranya
mempengaruhi bentuk organ kelamin betina, sifat yang orang akan kira tidak ada hubungannya dengan
warna mata. Hampir setiap gen yang telah dipelajari pada organisme tingkat tinggi diketahui
mempengaruhi lebih dari satu sistem organ, sebuah efek beragam yang dikenal sebagai pleiotropi. Seperti
pendapat Mayr dalam Population, Species and Evolution: “Sangat diragukan apakah ada gen yang tidak
pleiotropik pada organisme tingkat tinggi.”26
Karena sifat struktur genetik makhluk hidup ini, setiap perubahan tak disengaja karena mutasi, pada
gen mana saja dalam DNA, akan mempengaruhi lebih dari satu organ. Akibatnya, mutasi ini tidak akan
terbatas pada satu bagian tubuh saja, tetapi akan memperlihatkan lebih banyak dampak merusaknya.
Bahkan jika satu dari dampak ini ternyata menguntungkan, sebagai hasil dari kebetulan yang sangat jarang,
pengaruh yang tidak bisa dihindari dari kerusakan yang disebabkannya akan jauh lebih terasa daripada
manfaat tersebut.
Sebagai rangkuman, ada tiga alasan utama mengapa mutasi tidak memungkinkan terjadinya evolusi:
1. Pengaruh langsung dari mutasi adalah membahayakan: Karena terjadi secara acak, mutasi
hampir selalu merugikan makhluk hidup yang mengalaminya. Nalar kita mengatakan bahwa campur
tangan tak berkesadaran [atau perubahan acak] pada sebuah struktur yang sempurna dan kompleks tidak
akan memperbaiki struktur tersebut, tetapi malah merusaknya. Dan memang, tidak ada “mutasi berguna”
yang pernah teramati.
2. Mutasi tidak menambahkan informasi baru pada DNA suatu organisme: Unsur-unsur
penyusun informasi genetik menjadi terenggut dari tempatnya, hancur atau terbawa ke tempat lain. Mutasi
tidak dapat memberi makhluk hidup organ atau sifat baru. Mutasi hanya mengakibatkan kecacatan seperti
kaki yang muncul di punggung atau telinga di perut.
3. Agar dapat diwariskan kepada keturunan selanjutnya, mutasi harus terjadi pada sel-sel
perkembangbiakan organisme tersebut: Perubahan acak yang terjadi pada sel biasa atau organ tubuh tidak
dapat diwariskan ke keturunan berikutnya. Sebagai contoh, mata manusia yang berubah akibat pengaruh
radiasi atau sebab lain, tidak akan diwariskan kepada keturunan berikutnya.
Semua penjelasan yang diberikan di atas menunjukkan bahwa seleksi alam dan mutasi tidak
memiliki pengaruh evolusi sama sekali. Sejauh ini, belum ada contoh yang dapat diamati dari “evolusi”
yang diperoleh dengan cara ini. Kadang kala, ahli biologi evolusi menyatakan bahwa “mereka tidak bisa
mengamati pengaruh evolusi dari mekanisme seleksi alam dan mutasi karena mekanisme ini hanya terjadi
dalam jangka waktu yang sangat panjang”. Namun, alasan ini, yang hanya merupakan cara mereka
menghibur diri, tidaklah berdasar, dalam pengertian bahwa hal demikian tidak memiliki landasan ilmiah.
Selama hidupnya, seorang ilmuwan bisa mengamati ribuan keturunan makhluk hidup dengan masa hidup
singkat seperti lalat buah atau bakteri, dan tetap tidak mengamati adanya “evolusi”. Pierre-Paul Grasse
menyatakan hal berikut tentang tidak berubahnya bakteri secara alamiah, sebuah kenyataan yang
menyanggah evolusi:
Bakteri… adalah organisme yang, karena jumlah besar mereka, menghasilkan paling banyak mutan.
[B]akteri… menunjukkan kesetiaan besar pada spesies mereka. Bakteri Escherichia coli, yang mutan-nya
telah dipelajari dengan teliti, adalah contoh terbaik. Pembaca akan setuju bahwa sungguh mengejutkan,
paling tidak, [bahwa mereka] yang ingin membuktikan evolusi dan mengungkap mekanismenya ternyata
kemudian memilih bahan untuk dipelajari suatu makhluk yang tidak berubah selama miliaran tahun! Apa
gunanya mutasi mereka yang tak kenal berhenti, jika mereka tidak berubah [atau menghasilkan
perubahan secara evolusi]? Secara keseluruhan, mutasi pada bakteri dan virus hanyalah perubahan
warisan seputar kedudukan pertengahan; berayun ke kanan, ke kiri, tetapi pada akhirnya tidak ada
pengaruh evolusi. Kecoa, yang merupakan salah satu kelompok serangga paling maju, sedikit banyak tetap
tidak berubah sejak jaman Permian, tetapi mereka telah mengalami mutasi sebanyak Drosophila, serangga
jaman Tersier.27
Singkatnya, mustahil bagi makhluk hidup mengalami evolusi, karena tidak terdapat mekanisme di
alam yang bisa menyebabkan evolusi. Lebih jauh lagi, kesimpulan ini sesuai dengan bukti catatan fosil,
yang tidak menunjukkan adanya proses evolusi, tetapi malah sebaliknya.
ASAL USUL SPESIES YANG SEBENARNYA
Ketika buku The Origin of Species Darwin terbit pada tahun 1859, dipercayai bahwa ia telah
mengajukan sebuah teori yang dapat menjelaskan keanekaragaman luar biasa pada makhluk hidup. ia telah
mengamati bahwa terdapat berbagai keragaman dalam satu spesies. Sebagai contoh, ketika berkeliling
pasar ternak di Inggris, ia memperhatikan bahwa terdapat banyak ras sapi yang berbeda-beda, dan bahwa
para peternak sapi tersebut memilih dan mengawinkan mereka sehingga menghasilkan ras baru.
Mengambil contoh ini sebagai dasar, ia meneruskannya dengan penalaran bahwa “makhluk hidup secara
alamiah dapat bervariasi dengan sendirinya,” yang berarti bahwa dalam jangka waktu yang lama semua
makhluk hidup bisa jadi berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Namun, anggapan Darwin tentang “asal usul spesies” ini pada kenyataanya tidak mampu
menjelaskan asal usul mereka sama sekali. Berkat perkembangan ilmu genetika, sekarang telah dipahami
bahwa peningkatan keanekaragaman dalam satu spesies tidak akan pernah menuntun kepada kemunculan
spesies baru. Apa yang diyakini Darwin sebagai “evolusi”, sebenarnya adalah “variasi (keragaman)”.
Makna Variasi
Variasi, sebuah istilah yang digunakan dalam genetika, berarti sebuah peristiwa genetik yang
menyebabkan individu atau kelompok dari satu jenis atau spesies memiliki ciri yang berbeda satu sama
lain. Misalnya, semua manusia di bumi pada dasarnya membawa informasi genetik yang sama, namun
sebagian bermata sipit, sebagian berambut merah, sebagian berhidung mancung, dan sebagian lain
bertubuh pendek, semua tergantung dari seberapa besar potensi keragaman dari informasi genetik ini.
Variasi bukan merupakan bukti bagi evolusi karena variasi tidak lain hanyalah perwujudan dari
berbagai kombinasi dari informasi genetik yang telah ada, dan variasi tidak menambahkan ciri baru apapun
pada informasi genetik tersebut. Kemudian, pertanyaan penting bagi teori evolusi adalah bagaimana
informasi yang benar-benar baru dapat muncul untuk menghasilkan spesies yang baru pula.
Variasi selalu terjadi dalam batas informasi genetik [yang ada]. Dalam ilmu genetika, batasan ini
disebut “koleksi gen.” Semua sifat yang ada dalam koleksi gen suatu spesies mungkin akan muncul dalam
berbagai bentuk karena variasi. Sebagai contoh, sebagai akibat dari variasi, jenis dengan ekor yang lebih
panjang atau kaki lebih pendek mungkin akan muncul pada suatu spesies reptilia, karena informasi bagi
kedua bentuk kaki-panjang dan kaki-pendek ada dalam kumpulan gen spesies tersebut. Akan tetapi, variasi
tidak merubah reptilia menjadi burung dengan menambahkan sayap atau bulu pada mereka, atau dengan
merubah metabolisme mereka. Perubahan seperti itu memerlukan penambahan pada informasi genetik
makhluk hdup, yang tentunya tidak mungkin terjadi melalui variasi.
Darwin tidak menyadari kenyataan ini ketika ia merumuskan teorinya. Dia berpikir bahwa tidak ada
batasan dalam variasi. Dalam sebuah makalah yang ditulisnya pada tahun 1844, ia menyatakan: “Adanya
batasan dalam variasi di alam adalah anggapan dari sebagian besar penulis, namun saya tidak bisa
menemukan satu kenyataan pun yang mendasari keyakinan ini.”28 Dalam The Origin of Species ia
menyebutkan berbagai contoh variasi sebagai bukti paling penting bagi teorinya.
Misalnya, menurut Darwin, para peternak yang mengawinkan berbagai ras sapi untuk menghasilkan
ras baru yang menghasilkan susu lebih banyak, pada akhirnya akan mengubah mereka menjadi spesies
yang berbeda. Gagasan Darwin tentang “variasi tak terbatas” sangat jelas terlihat pada kalimat dari The
Origin of Species berikut ini:
Saya tidak melihat adanya masalah pada [gagasan tentang] suatu ras beruang yang berubah, oleh
seleksi alam, menjadi lebih [cocok hidup di] laut dalam bentuk dan perilaku mereka, dengan mulut yang
semakin melebar, sampai dihasilkan suatu makhluk sebesar paus.29
Alasan mengapa Darwin mengambil contoh yang tidak masuk akal ini adalah karena pemahaman
ilmu pengetahuan yang masih kuno pada masanya. Setelah itu, pada abad ke-20, ilmu pengetahuan telah
mengajukan prinsip “kestabilan genetik” (homeostasis genetik), berdasarkan hasil percobaan terhadap
makhluk hidup. Prinsip ini menyatakan bahwa, karena semua usaha pengawinan untuk mengubah suatu
spesies menjadi spesies lain tidak berhasil, terdapat batas tegas antar berbagai spesies makhluk hidup. Ini
berarti mustahil bagi peternak untuk mengubah sapi menjadi spesies lain dengan mengawinkan ras-ras
yang berbeda di antara mereka, sebagaimana dirumuskan Darwin.
Norman Macbeth, yang menyanggah Darwinisme dalam bukunya Darwin Retried, menyatakan:
Inti permasalahannya adalah apakah makhluk hidup sungguh [mampu] berubah hingga tingkat tak
terbatas… Spesies terlihat tetap. Kita semua telah mendengar kekecewaan pemulia yang telah bekerja
keras hanya untuk mendapatkan hewan atau tumbuhannya kembali ke bentuk seperti di awal kerja mereka.
Meskipun ada usaha keras selama dua atau tiga abad, tetap belum mungkin menghasilkan mawar berwarna
biru atau tulip berwarna hitam.30
Luther Burbank, salah seorang pemulia paling ahli, menggambarkan kenyataan ini ketika ia berkata,
“terdapat batasan untuk kemungkinan pengembangan, dan batasan ini mengikuti hukum tertentu.”31 Dalam
artikelnya berjudul “Some Biological Problems with the Natural Selection Theory (Beberapa Masalah
Biologis atas Teori Seleksi Alam),” Jerry Bergman berkomentar dengan mengutip ahli biologi Edward
Deevey yang menjelaskan bahwa variasi selalu terjadi dalam batas genetik yang tegas:
Deevey menyimpulkan, “Hal-hal luar biasa telah dihasilkan melalui “kawin silang”… tetapi gandum
tetaplah gandum, dan bukan anggur, misalnya. Kita tidak mungkin menumbuhkan sayap pada babi
sebagaimana juga membuat telur ayam seperti pipa.” Contoh yang lebih baru adalah pertambahan rata-rata
pada tinggi badan laki-laki yang telah terjadi sejak abad yang lalu. Melalui perawatan kesehatan yang lebih
baik (dan mungkin juga seleksi seksual, karena beberapa wanita lebih menyukai pria tinggi sebagai
pasangannya) laki-laki telah mencapai catatan tinggi badan dewasa tertinggi selama satu abad terakhir,
tetapi pertambahan ini dengan cepat menghilang, menunjukkan bahwa kita telah mencapai batasan kita.32
Singkatnya, variasi hanya membawa perubahan yang tetap dalam batasan informasi genetik suatu
spesies; mereka tidak pernah bisa menambahkan suatu data genetik baru kedalamnya. Untuk alasan ini,
tidak ada variasi yang bisa dianggap sebagai contoh evolusi. Tidak peduli berapa sering Anda
mengawinkan ras anjing atau kuda yang berbeda, hasil akhinya akan tetap anjing atau kuda, tanpa
kemunculan spesies baru. Ilmuwan Denmark, W.L. Johansen, menyimpulkan permasalahan ini sebagai
berikut:
Variasi yang ditekankan oleh Darwin dan Wallace tidak bisa secara selektif dipaksakan melampaui
titik tertentu, dan variasi semacam ini tidak mengandung rahasia dari ‘keberangkatan [menjadi spesies]
mana saja.33
Seperti yang telah kita lihat, ilmu genetika telah menemukan bahwa variasi, yang pikir Darwin bisa
menjelaskan “asal usul spesies”, sebenarnya tidak seperti itu. Untuk alasan ini, ahli biologi evolusi dipaksa
untuk memisahkan antara variasi dalam spesies dan pembentukan spesies baru, dan untuk mengajukan dua
gagasan berbeda untuk hal yang berbeda ini. Keanekaragaman dalam satu spesies—yaitu, variasi—mereka
sebut “evolusi mikro” dan hipotesis untuk perkembangan spesies baru disebut “evolusi makro.”
Dua gagasan ini telah ada dalam buku biologi sejak lama. Tetapi, sebenarnya terdapat pengelabuan
di sini, karena contoh variasi yang disebut sebagai “evolusi mikro” oleh ahli biologi evolusi sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan teori evolusi. Teori evolusi mengutarakan bahwa makhluk hidup bisa
berkembang dan memperoleh data genetik baru melalui mekanisme mutasi dan seleksi alam. Namun,
seperti yang baru saja kita lihat, variasi tidak pernah menciptkan informasi genetik baru, dan jadinya tidak
bisa menyebabkan terjadinya “evolusi”. Memberi nama variasi sebagai “evolusi mikro” sebenarnya
hanyalah kecenderungan ideologis dari sebagian penganut biologi evolusi.
Kesan yang diberikan kaum biologi evolusi dengan menggunakan istilah “evolusi mikro” adalah
penalaran salah: bahwa sejalan dengan waktu variasi dapat membentuk kelompok makhluk hidup baru.
Dan banyak orang yang belum tercerahkan tentang hal tersebut berpikir dangkal bahwa “sejalan dengan
perkembangannya, evolusi mikro bisa berubah menjadi evolusi makro.” Kita seringkali melihat contoh
pemikiran seperti itu. Beberapa evolusionis “amatir” mengajukan contoh penalaran semacam itu sebagai
berikut: karena tinggi rata-rata manusia bertambah sekitar 2 sentimeter hanya dalam satu abad, ini berarti
bahwa selama jutaan tahun bentuk evolusi apa saja bisa terjadi. Akan tetapi, seperti yang telah ditunjukkan
di atas, semua variasi semacam perubahan tinggi rata-rata terjadi pada batasan genetik tertentu, dan
merupakan kecenderungan yang tak berhubungan sama sekali dengan evolusi.
Kenyataannya, saat ini bahkan para pakar evolusionis pun menerima bahwa variasi yang mereka
sebut “evolusi mikro” tidak bisa membawa kepada terbentuknya kelompok baru makhluk hidup—dengan
kata lain, kepada “evolusi makro”. Pada artikel tahun 1996 dalam Jurnal terkemuka Developmental
Biology, ahli biologi evolusi S.F. Gilbert, J.M. Optiz, dan R.A. Raff menjelaskan permasalahan ini sebagai
berikut:
[Teori] Sintesa Modern adalah pencapaian yang mengagumkan. Akan tetapi, dimulai sejak tahun
1970-an, banyak ahli biologi mulai mempertanyakan kelengkapan informasi ini dalam menjelaskan
evolusi. Genetika mungkin memadai untuk menjelaskan evolusi mikro, tetapi perubahan melalui evolusi
mikro pada frekuensi gen tidak terlihat mampu merubah reptilia menjadi mamalia atau untuk merubah ikan
menjadi amfibia. Evolusi mikro melihat pada penyesuaian diri yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup [spesies] yang paling cocok, bukan kemunculan yang paling cocok. Seperti yang dikatakan
Goodwin, “asal usul spesies—permasalahan Darwin—tetap tidak terpecahkan.”34
Kenyataan bahwa “evolusi mikro” tidak bisa menghantarkan kita ke “evolusi makro”, atau dengan
kata lain bahwa variasi tidak memberikan penjelasan bagi asal usul spesies, telah diterima juga oleh ahli
biologi evolusi lainnya. Seorang penulis terkenal sekaligus pakar ilmu pengetahuan, Roger Lewin,
menggambarkan hasil dari simposium empat hari di Chicago Museum of Natural History pada November
1980, yang dihadiri oleh 150 evolusionis:
Pertanyaan utama dalam konferensi di Chicago itu adalah apakah mekanisme yang menyebabkan
evolusi mikro dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena evolusi makro.. Jawabannya dapat diberikan
dengan sangat jelas, Tidak.35
Kita dapat meringkas permasalahan ini sebagai berikut: Variasi, yang dilihat Darwin sebagai “bukti
evolusi” selama beberapa ratus tahun, sebenarnya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan “asal usul
spesies.” Sapi bisa dikawinkan satu sama lain selama jutaan tahun, dan ras sapi yang berbeda mungkin
muncul. Tetapi sapi tidak akan pernah berubah menjadi spesies yang berbeda—misalnya jerapah atau
gajah. Dengan cara yang sama, perbedaan yang terdapat pada burung pipit yang dilihat Darwin di
kepulauan Galapagos adalah contoh lain dari variasi yang bukan merupakan bukti bagi “evolusi.”
Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa burung pipit ini tidak mengalami variasi tanpa batas seperti
yang diajukan teori Darwin. Lebih jauh lagi, kebanyakan dari berbagai burung finch yang menurut Darwin
mewakili 14 spesies yang berbeda sebenarnya [mampu] kawin satu sama lain, yang berarti bahwa mereka
hanyalah variasi dari satu spesies yang sama. Pengamatan ilmiah menunjukkan bahwa paruh burung pipit,
yang telah melegenda dalam hampir semua sumber evolusionis, pada kenyataannya adalah satu contoh dari
“variasi”; karenanya hal ini bukanlah merupakan bukti bagi teori evolusi. Sebagai contoh, Peter dan
Rosemary Grant, yang menghabiskan waktu bertahun-tahun mengamati keanekaragaman burung pipit di
kepulauan Galapagos untuk mencari bukti bagi evolusi Darwin, terpaksa menyimpulkan bahwa “populasi
ini, dihadapkan pada seleksi alam, berayun maju mundur,” sebuah kenyataan yang secara tidak langsung
menunjukkan tidak ada “evolusi” yang membawa pada kemunculan sifat-sifat baru yang pernah terjadi.36
Jadi untuk alasan ini, evolusionis masih belum bisa memecahkan permasalahan Darwin tentang
“asal usul spesies”.
Pernyataan evolusionis adalah bahwa setiap spesies di bumi berasal dari satu nenek moyang yang
sama melalui perubahan sedikit demi sedikit. Dengan kata lain, teori ini menganggap kehidupan sebagai
sebuah peristiwa yang berkelanjutan, tanpa ada pengelompokan tetap atau yang telah ditentukan
sebelumnya. Akan tetapi, pengamatan di alam dengan jelas tidak mengungkap gambaran berkelanjutan
semacam itu. Apa yang muncul dari dunia kehidupan adalah bahwa bentuk kehidupan benar-benar terpisah
dalam kelompok-kelompok yang benar-benar berbeda. Robert Carrol, seorang evolusionis yang
berpengaruh, mengakui kenyataan ini dalam bukunya Patterns and Processes of Vertebrate Evolution
(Pola dan Proses Evolusi Vertebrata):
Walaupun jumlah spesies yang hidup di bumi saat ini hampir tidak bisa dibayangkan, mereka tidak
membentuk sebuah rantai dengan sambungan yang hampir tidak bisa dibedakan. Malahan, hampir semua
spesies bisa dikenali sebagai anggota kelompok-kelompok besar yang sangat berbeda dan terbatas
jumlahnya, sangat sedikit yang menggambarkan bentuk atau cara hidup peralihan.37
Oleh karena itu, evolusionis beranggapan bahwa bentuk kehidupan “peralihan” yang menjadi
penghubung antar makhluk hidup pernah hidup di masa lalu. Inilah sebabnya mengapa disadari bahwa
ilmu pengetahuan dasar yang bisa memecahkan persoalan ini adalah paleontologi, ilmu yang mempelajari
fosil-fosil. Evolusi dikatakan sebagai sebuah proses yang terjadi di masa lalu, dan satu-satunya sumber
ilmiah yang bisa memberi kita informasi tentang sejarah kehidupan hanyalah penemuan fosil. Berkenaan
dengan hal ini, ahli paleontologi Perancis, Pierre-Paul Grasse, berkata:
Para Naturalis harus ingat bahwa proses evolusi hanya terungkap melalui bentukan fosil… hanya
paleontologi yang bisa menyediakan bukti evolusi bagi mereka dan mengungkap tata cara atau jalannya.38
Supaya rekaman fosil bisa memperjelas persoalan ini, kita hendaknya membandingkan hipotesis
teori evolusi dengan temuan-temuan fosil.
Menurut teori evolusi, setiap spesies muncul dari satu pendahulu. Satu spesies yang telah ada
sebelumnya berubah menjadi spesies lain sejalan dengan waktu, dan semua spesies telah mewujud dengan
cara ini. Menurut teori ini, perubahan bentuk ini berlangsung secara bertahap selama jutaan tahun.
Jika demikian kejadiannya, maka seharusnya telah hidup spesies peralihan yang tak terhitung
jumlahnya selama masa panjang ketika perubahan bentuk ini dianggap sedang berlangsung. Sebagai
contoh, seharusnya telah hidup di masa lalu makhluk setengah ikan-setengah reptilia yang yang telah
memperoleh beberapa ciri reptilia sebagai tambahan atas ciri ikan yang telah mereka miliki. Atau
seharusnya telah hidup makhluk reptilia-burung, yang telah memperoleh ciri burung sebagai tambahan atas
ciri reptilia yang telah mereka miliki. Evolusionis menyebut makhluk khayalan ini, yang mereka percaya
pernah hidup di masa lampau, sebagai “bentuk-bentuk peralihan.”
Jika hewan semacam itu benar-benar ada, seharusnya terdapat jutaan, bahkan milyaran, dari mereka.
Lebih penting lagi, sisa-sisa dari makhluk khayalan ini seharusnya ada dalam rekaman fosil. Jumlah bentuk
peralihan ini seharusnya lebih besar daripada spesies yang ada, dan sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan
di seluruh penjuru dunia. Dalam The Origin of Species, Darwin menerima kenyataan ini dan menjelaskan:
Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang
mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama… Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lalu
hanya dapat ditemukan pada peninggalan fosil.”39
Bahkan Darwin sendiri menyadari ketiadaan bentuk-bentuk peralihan tersebut. Ia berharap mereka
akan ditemukan di masa mendatang. Di balik harapan besarnya, ia sadar bahwa ketiadaan bentuk peralihan
ini adalah rintangan utama bagi teorinya. Itulah mengapa dalam buku The Origin of Species, pada bab
“Difficulties of The Theory” ia menulis:
… Mengapa, jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi
sedikit, kita tidak melihat sejumlah besar bentuk peralihan di manapun? Mengapa semua makhluk tidak
dalam keadaan [pengelompokan yang] membingungkan, tetapi justru seperti yang kita lihat, spesies berada
dalam bentuk-bentuk tertentu yang jelas?...Tetapi menurut teori ini bentuk peralihan yang tak terhitung
jumlahnya seharusnya ada, mengapa kita tak menemukan mereka dalam jumlah yang tak terhitung
terkubur dalam kerak bumi?... Dan pada daerah peralihan, yang memiliki lingkungan hidup peralihan,
mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan yang saling berhubungan erat? Permasalahan
ini, telah lama, sangat membingungkan saya.40
Satu-satunya penjelasan yang dapat diajukan Darwin untuk menghadapi keberatan ini adalah bahwa
rekaman fosil saat ini belum lengkap. Ia menyatakan bahwa ketika rekaman fosil telah dipelajari secara
teliti, mata rantai yang hilang akan ditemukan.
Mempercayai ramalan Darwin, para ahli paleontologi evolusi telah menggali fosil-fosil dan mencari
mata rantai yang hilang ini diseluruh dunia sejak pertengahan abad ke-19. Meskipun dengan upaya terbaik
mereka, belum ada bentuk peralihan yang ditemukan. Bertentangan dengan kepercayaan evolusionis,
semua fosil yang ditemukan dalam penggalian menunjukkan bahwa kehidupan muncul di bumi secara tiba-
tiba dan dalam bentuk lengkap.
Robert Carrol, seorang pakar paleontologi vertebrata yang juga seorang evolusionis, memberikan
pengakuan bahwa harapan Darwinis tidak terpuaskan dengan penemuan fosil:
Meski ada upaya keras mengumpulkan [fosil] lebih dari seratus tahun sejak masa kematian Darwin,
rekaman fosil masih belum menghasilkan gambaran adanya bentuk-bentuk peralihan tak terkira jumlahnya
yang ia harapkan.41
Ahli paleontologi yang lain, K. S. Thomson, menyatakan bahwa kelompok baru organisme muncul
dengan sangat tiba-tiba dalam rekaman fosil:
Ketika sebuah kelompok besar organisme muncul dan muncul pertama kali dalam rekaman fosil, ia
terlihat muncul lengkap dengan sejumlah sifat-sifat baru yang tidak terlihat pada kelompok terkait, yang
diduga sebagai pendahulunya. Perubahan besar dan cepat dalam bentuk dan fungsi ini sepertinya muncul
dengan sangat cepat…42
Ahli biologi Francis Hitching, dalam bukunya The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong
(Leher Jerapah: Tempat Darwin Melakukan Kesalahan), menyatakan:
Jika kita menemukan fosil, dan jika teori Darwin benar, kita bisa memperkirakan apa yang
seharusnya terkandung di bebatuan; fosil-fosil yang menunjukkan perubahan bertahap dari satu kelompok
makhluk hidup ke yang lain dengan tingkat kerumitan lebih tinggi. “Perubahan kecil” dari generasi ke
generasi seharusnya dapat terfosilkan juga sebagaimana spesies itu sendiri. Akan tetapi, sepertinya bukan
ini yang terjadi. Kenyataannya, kebalikannyalah yang benar, sebagaimana dikeluhkan Darwin; “Bentuk
peralihan yang tak terhitung jumlahnya seharusnya ada, mengapa kita tak menemukan mereka dalam
jumlah yang tak terhitung terkubur dalam kerak bumi?” Darwin merasa bahwa “ketidaksempurnaan nyata”
rekaman fosil hanyalah masalah penggalian lebih banyak fosil. Tetapi setelah semakin banyak fosil tergali,
terlihatlah bahwa hampir semuanya, tanpa pengecualian, sangat mirip dengan binatang yang hidup
sekarang.43
Rekaman fosil mengungkap bahwa spesies muncul secara tiba-tiba, dan dengan bentukan yang sama
sekali berbeda, dan tetap tak berubah dalam masa geologis terpanjang. Stephen Jay Gould, seorang ahli
paleontologi di Harvard University dan evolusionis terkemuka, mengakui kenyataan ini pada akhir 70-an:
Sejarah dari hampir semua fosil spesies mempunyai dua ciri yang tidak bersesuaian dengan
perubahan bertahap: 1) Stasis – sebagian besar spesies menunjukkan tidak adanya perubahan terarah
selama masa hidup mereka di bumi. Mereka muncul dalam rekaman fosil dengan penampakan sangat mirip
dengan ketika mereka menghilang; perubahan bentuk biasanya terbatas dan tidak terarah; 2) Kemunculan
tiba-tiba – dalam setiap daerah kecil, suatu spesies tidak muncul secara bertahap melalui perubahan kecil
terus-menerus dari pendahulunya; mereka muncul begitu saja dan dengan “bentuk yang sempurna.”44
Penelitan lebih jauh hanya memperkuat kenyataan stasis dan kemunculan tiba-tiba ini. Stephen Jay
Gould dan Niles Eldredge pada tahun 1993 menulis bahwa “sebagian besar spesies, selama sejarah
geologis mereka, tidak mengalami perubahan yang berarti, atau jika tidak, mereka mengalami sedikit
perubahan dalam bentuk, tanpa arah yang jelas.”45 Robert Carrol pada tahun 1997 terpaksa menyetujui
bahwa “sebagian besar kelompok utama sepertinya muncul dan menjadi beragam dalam masa geologis
yang sangat pendek, dan tetap ada selama masa yang jauh lebih lama tanpa perubahan bentuk atau
kelompok yang berarti.”46
Pada titik ini, perlu diperjelas apa sebenarnya makna dari gagasan “bentuk peralihan” ini. Bentuk
antara yang diharapkan oleh teori evolusi adalah makhluk hidup yang berada di antara dua spesies, tetapi
memiliki organ yang kurang sempurna atau setengah berkembang. Namun kadang kala gagasan bentuk
antara ini salah dipahami, dan makhluk hidup yang tidak memiliki ciri dari bentuk peralihan malah
diperlihatkan memiliki ciri seperti itu. Sebagai contoh, jika satu kelompok makhluk hidup memiliki ciri-
ciri yang dimiliki oleh yang lain, ini bukanlah ciri bentuk antara. Platipus, mamalia yang hidup di
Australia, berkembang biak dengan bertelur seperti reptilia. Sebagai tambahan, ia memiliki paruh seperti
bebek. Para ilmuwan menggambarkan makhluk seperti platipus ini sebagai “makhluk mosaik.” Bahwa
makhluk mosaik bukanlah bentuk antara juga diterima oleh ahli paleontologi terkemuka seperti Stephen
Jay Gould dan Niles Eldredge.47
Sekitar 140 tahun yang lalu Darwin mengajukan alasan berikut ini: “Saat ini tidak ada bentuk
peralihan, tetapi penelitian lebih lanjut akan mengungkap keberadaannya.” Apakah alasan ini masih
berlaku sekarang? Dengan kata lain, mengingat kesimpulan dari semua rekaman fosil, haruskah kita
menerima bahwa bentuk peralihan tidak pernah ada, atau kita harus menunggu hasil-hasil penelitian baru?
Banyaknya rekaman fosil yang ada tentunya akan bisa menjawab pertanyaan ini. Ketika kita melihat
penemuan-penemuan kepurbakalaan, kita dapati fosil-fosil yang berlimpah. Milyaran fosil telah ditemukan
di seluruh dunia.48 Berdasarkan fosil-fosil ini, 250,000 spesies berbeda telah dikenali, dan mereka memiliki
kesamaan dengan 1,5 juta spesies yang telah dikenal yang hidup di muka bumi.49 (Dari 1,5 juta spesies ini,
1 juta-nya adalah serangga.) Meskipun sumber fosil melimpah, tidak satu pun bentuk peralihan yang telah
ditemukan, dan sepertinya tidak akan ditemukan bentuk peralihan sebagai hasil dari penggalian baru.
Seorang professor paleontologi dari Glasgow University, T. Neville George, mengakui kenyataan ini
beberapa tahun yang lalu:
Kita tidak perlu beralasan lebih lama lagi atas miskinnya rekaman fosil. Dalam beberapa hal ia telah
sedemikian banyak sehingga sukar diatasi dan penemuannya pun melebihi pemahamannya… Meskipun
demikian rekaman fosil utamanya terus terdiri atas celah-celah.50
Dan Niles Eldredge, seorang paleontologi terkemuka yang juga pekerja pada American Museum of
Natural History, menggambarkan ketidakabsahan pernyataan Darwin bahwa ketidaklengkapan rekaman
fosil menjadi alasan mengapa tidak ada bentuk peralihan yang telah ditemukan sebagai berikut:
Rekaman fosil berloncatan [tidak bersambungan], dan semua bukti menunjukkan bahwa rekaman
fosil adalah nyata: celah yang kita lihat mencerminkan kejadian nyata dalam sejarah kehidupan – bukan
jejak dari miskinnya rekaman fosil.51
Sarjana Amerika yang lain, Robert Wesson, menyatakan dalam bukunya Beyond Natural Selection
pada tahun 1991, bahwa “celah dalam rekaman fosil adalah nyata dan bermakna.” Ia menguraikan
pernyataannya ini sebagai berikut:
Namun, celah dalam rekaman fosil adalah nyata. Tak adanya rekaman dari percabangan penting
sungguh luar biasa. Spesies biasanya tetap, atau hampir-hampir demikian, dalam waktu lama, spesies
jarang dan genus tidak pernah menunjukkan evolusi menjadi spesies atau genus baru melainkan
penggantian satu dengan yang lainnya, dan perubahan lebih kurang adalah tiba-tiba.52
Keadaan seperti ini menyanggah alasan di atas, yang telah dinyatakan oleh Darwinisme selama 140
tahun. Rekaman fosil sudah cukup lengkap bagi kita untuk memahami asal usul kehidupan, dan secara
nyata mengungkap bahwa berbagai spesies muncul di bumi secara tiba-tiba, dengan segala bentuk khas
mereka.
Tetapi dari manakah hubungan antara “evolusi-paleontologi”, yang tanpa disadari telah mengakar
dalam masyarakat selama beberapa dasawarsa, sebenarnya berasal? Mengapa kebanyakan orang memiliki
kesan bahwa terdapat hubungan positif antara teori Darwin dengan rekaman fosil kapan saja yang terakhir
ini disebutkan? Jawaban dari pertanyaan ini tersedia dalam sebuah artikel pada jurnal terkemuka Science :
Sejumlah besar ilmuwan berpengalaman di luar biologi evolusi dan paleontologi sayangnya
mempunyai bayangan bahwa rekaman fosil jauh lebih [menunjukkan] Darwinisme daripada yang
sebenarnya. Hal ini mungkin datang dari penyederhanaan berlebihan yang tak terhindarkan dalam sumber-
sumber kedua: buku acuan tingkat-dasar, artikel semipopuler, dan semacamnya. Juga, kemungkinan
terdapat beberapa khayalan yang dimasukkan di dalamnya. Dalam tahun-tahun setelah Darwin,
pendukungnya berharap menemukan kemajuan [perubahan spesies] yang teramalkan. Secara umum hal ini
masih belum ditemukan namun harapan ini belumlah mati, dan akhirnya beberapa khayalan murni telah
menyusup ke dalam buku-buku acuan.53
N. Eldredge dan I. Tattersall juga membuat komentar penting:
Bahwa fosil setiap jenis menampakkan kesamaan yang bisa dikenal selama kemunculan mereka
dalam rekaman fosil, telah diketahui ahli paleontolgi sejak lama sebelum Darwin menerbitkan buku
Origin-nya. Darwin sendiri,.. meramalkan bahwa generasi ahli paleontologi masa depan akan mengisi
celah ini melalui pencarian yang tekun …Seratus dua puluh tahun penelitian paleontologis kemudian, telah
sangat jelas bahwa rekaman fosil tidak akan membenarkan ramalan Darwin ini. Tidak pula masalahnya
pada miskinnya rekaman fosil. Hanya saja rekaman fosil menunjukkan bahwa ramalan ini salah.
Pengamatan bahwa spesies adalah sesuatu yang tidak berubah dan tetap selama masa yang lama
sesungguhnya seperti dongeng baju baru raja: setiap orang mengetahuinya tetapi memilih untuk
mengabaikannya. Ahli paleontologi dihadapkan pada rekaman [fosil] yang dengan keras kepala menolak
apa yang diramalkan Darwin, malah berpaling darinya.54
Demikian juga, ahli paleontologi Amerika Steven M. Stanley menggambarkan bagaimana dogma
Darwinis, yang telah merajai dunia ilmu pengetahuan, telah mengabaikan kenyataan yang ditunjukkan oleh
rekaman fosil ini:
Rekaman fosil yang telah diketahui tidak, dan tidak akan pernah, cocok dengan gagasan perubahan
bertahap. Yang luar biasa adalah bahwa, melalui berbagai peristiwa sejarah, bahkan sejarah pertentangan
ini telah dikaburkan. … ‘Sebagian besar ahli paleontologi merasa bahwa bukti yang mereka temukan jelas
bertentangan dengan penitikberatan Darwin pada perubahan kecil, lambat dan bertahap yang membawa
pada perubahan spesies.’ …cerita mereka telah ditutupi.55
Sekarang mari kita kaji sedikit lebih rinci, kenyataan-kenyataan rekaman fosil yang telah dibungkam
sekian lama. Untuk melakukan hal ini, kita akan memikirkan sejarah alam dari masa lampau hingga
sekarang, setahap demi setahap.
SEJARAH ALAM YANG SEBENARNYA - I
(DARI INVERTEBRATA HINGGA REPTILIA)
Bagi sebagian orang, gagasan sejarah alam itu sendiri berarti teori evolusi. Alasannya adalah
propaganda gencar yang telah dilakukan. Museum sejarah alam hampir di setiap negara berada dibawah
pengaruh ahli biologi evolusi materialis, dan merekalah yang menjelaskan pajangan-pajangan di dalamnya.
Mereka selalu menggambarkan makhluk-makhluk yang hidup di jaman prasejarah dan sisa-sisa fosil
mereka sesuai dengan gagasan Darwin. Salah satu akibatnya adalah kebanyakan orang berpikir bahwa
sejarah alam adalah sama dengan gagasan evolusi.
Akan tetapi, kenyataannya sangatlah berbeda. Sejarah alam mengungkap bahwa kelompok-
kelompok makhluk hidup muncul di bumi tidak melalui proses evolusi apapun, tetapi semuanya secara
tiba-tiba, dan lengkap dengan bentuk kompleks mereka, berkembang sempurna sejak dari awal. Berbagai
makhluk hidup muncul tanpa bergantung satu sama lain, dan tanpa “bentuk peralihan” di antara mereka.
Dalam bab ini, kita akan mengkaji sejarah alam yang sebenarnya, dengan mengambil rekaman fosil
sebagai landasan kita.
Ahli biologi menempatkan makhluk hidup ke dalam berbagai kelompok. Pengelompokan ini, yang
dikenal sebagai “taksonomi”, atau “sistematika”, diperkenalkan oleh ilmuwan Swedia pada abad ke-18,
Carl von Linné, yang lebih dikenal sebagai Linnaeus. Tata cara pengelompokan yang dibangun oleh
Linnaeus telah diteruskan dan berkembang hingga saat ini.
Terdapat kategori bertingkat dalam sistem pengelompokan ini. Pertama, kelompok mahluk hidup
dibagi menjadi kingdom, seperti kingdom tumbuhan dan hewan. Kemudian kingdom dibagi lagi menjadi
filum. Filum lebih jauh dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari atas ke bawah,
pengelompokannya adalah sebagai berikut:
Kingdom
Filum (jamak Fila)
Kelas
Ordo
Famili
Genus (jamak Genera)
Spesies
Saat ini, sebagian besar ahli biologi menerima bahwa ada lima (atau enam) kingdom yang berbeda.
Selain tumbuhan dan hewan, mereka menganggap kapang, protista (makhluk bersel satu dengan inti sel,
seperti amoeba dan beberapa ganggang primitif), dan monera (makhluk bersel satu tanpa inti sel, seperti
bakteri), sebagai kingdom yang terpisah. Kadang bakteri dibagi lagi menjadi eubakteri dan archaebakteri,
sehingga menjadi enam kingdom, atau, dalam perhitungan yang lain, tiga “superkingdom” (eubakteri,
archaebakteri dan eukariot).
Yang paling utama dari semua kingdom ini tak diragukan lagi adalah kingdom hewan. Dan
pengelompokan terbesar dari kingdom hewan, seperti yang kita lihat sebelumnya, adalah dalam berbagai
filum. Ketika menentukan filum yang mana, kita harus selalu mengingat kenyataan bahwa setiap filum
memiliki struktur fisik yang benar-benar berbeda. Arthropoda (serangga, laba-laba, dan makhluk lain
dengan kaki berbuku-buku) sebagai contoh, adalah satu filum tersendiri, dan semua binatang dalam filum
ini mempunyai kesamaan struktur fisik yang mendasar. Filum yang disebut Chordata meliputi makhluk
dengan notokorda, atau, lebih dikenal, tulang belakang. Semua hewan dengan tulang belakang seperti ikan,
burung, reptilia, dan mamalia yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam sub-filum dari
Chordata yang dikenal sebagai vertebrata.
Ada 35 filum hewan yang berbeda, termasuk Mollusca, yang meliputi binatang bertubuh lunak
seperti siput dan gurita, atau Nematoda, yang meliputi cacing-cacing kecil. Ciri terpenting dari kelompok-
kelompok ini adalah, sebagaimana yang telah kita singgung, bahwa mereka memiliki ciri fisik yang sama
sekali berbeda. Kelompok-kelompok di bawah filum pada dasarnya memiliki kemiripan bentuk tubuh,
tetapi filum-filum sangat berbeda satu sama lain.
Setelah semua informasi umum tentang pengelompokan biologis ini, sekarang mari kita pikirkan
pertanyaan tentang bagaimana dan kapan filum-filum ini muncul di bumi.
Lewin tetap saja menyebut peristiwa luar biasa dari Jaman Kambrium ini sebagai “peristiwa
evolusi,” karena kesetiaannya terhadap Darwinisme, tetapi jelaslah bahwa penemuan-penemuan tersebut
sejauh ini tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan evolusi apapun.
Yang menarik adalah bahwa penemuan-penemuan fosil baru membuat permasalahan Jaman
Kambrium semakin rumit saja. Dalam edisi Februari 1999, Trends in Genetics (TIG), sebuah jurnal ilmiah
terkemuka, membahas masalah ini. Dalam sebuah artikel tentang lapisan fosil pada daerah Burgess Shale
di British Colombia, Kanada, diakui bahwa penemuan fosil di daerah tersebut tidak menawarkan dukungan
bagi teori evolusi.
Lapisan fosil Burgess Shale telah diterima sebagai salah satu penemuan paleontologis yang
terpenting sepanjang waktu. Fosil berbagai macam spesies yang ditemukan di Burgess Shale muncul di
bumi secara tiba-tiba, tanpa melalui perkembangan dari spesies pendahulu yang ditemukan pada lapisan di
bawahnya. TIG menggambarkan permasalahan penting ini sebagai berikut:
Mungkin terlihat aneh bahwa fosil dari suatu daerah kecil, betapapun menariknya, ternyata menjadi
pusat perdebatan sengit tentang permasalahan seluas itu dalam biologi evolusi. Alasannya adalah bahwa
hewan muncul dalam rekaman fosil dengan kelimpahan mengherankan selama Kambrium, sepertinya
muncul begitu saja. Penentuan tanggal secara radiometrik yang semakin tepat dan penemuan fosil baru
yang semakin banyak hanya mempertajam ketiba-tibaan dan cakupan revolusi biologis ini. Besarnya
perubahan dalam biota [makhluk hidup] bumi ini menuntut suatu penjelasan. Walaupun banyak penjelasan
telah diajukan, kesimpulan umumnya adalah bahwa tidak ada satupun yang sepenuhnya meyakinkan.62
Penjelasan yang “tidak sepenuhnya meyakinkan” ini disampaikan oleh ahli paleontologi evolusi.
TIG menyebutkan dua orang penting dalam hal ini, Stephen Jay Gould dan Simon Conway Morris.
Keduanya telah menulis buku untuk menjelaskan “kemunculan tiba-tiba makhluk hidup” dari sudut
pandang evolusionis. Namun demikian, sebagaimana yang juga ditekankan oleh TIG, buku Wonderful Life
karya Gould ataupun The Crucible of Creation: The Burgess Shale and the Rise of Animals karya Simon
Conway Morris tidak menyediakan sebuah penjelasan bagi fosil Burgess Shale, atau bagi rekaman fosil
dari jaman Kambrium secara umum.
Penelitian lebih mendalam pada ledakan Kambrium menunjukkan betapa besar dilema yang
dihadirkannya bagi teori evolusi. Penemuan terbaru menunjukkan bahwa hampir semua phylum, kelompok
hewan paling dasar, muncul dengan tiba-tiba pada Jaman Kambrium. Sebuah artikel yang diterbitkan
dalam jurnal Science tahun 2001 menyebutkan: “Awal Jaman Kambrium, sekitar 545 juta tahun lalu,
menyaksikan kemunculan tiba-tiba dalam rekaman fosil dari hampir semua jenis hewan (filum) yang masih
mendominasi biota saat ini.”63 Artikel yang sama menyebutkan bahwa untuk bisa menjelaskan
[keberadaan] kelompok makhluk hidup yang sedemikian kompleks dan beragam berdasarkan teori evolusi,
lapisan kaya fosil yang menunjukkan proses perkembangan bertahap seharusnya telah ditemukan, tetapi
hal ini terbukti masih belum dimungkinkan:
Evolusi dan penyebaran yang bercelah ini tentunya juga memerlukan adanya sejarah kelompok
sebelumnya yang untuk itu tidak terdapat rekaman fosil.64
Gambaran yang dihadirkan oleh fosil Kambrium dengan jelas menyangkal anggapan-anggapan teori
evolusi, dan memberikan bukti kuat bagi keterlibatan suatu dzat “supranatural” dalam penciptaan mereka.
Douglas Futuyama, seorang ahli biologi evolusi kawakan, mengakui kenyataan ini:
Organisme bisa muncul di bumi dalam keadaan sudah berkembang atau tidak. Jika tidak, mereka
pastilah berkembang dari spesies yang ada sebelumnya melalui proses perubahan. Jika mereka muncul
dalam keadaan sempurna, mereka pastilah telah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang Maha Kuasa.65
Rekaman fosil dengan jelas menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berevolusi dari bentuk
primitif menjadi maju, tetapi muncul secara tiba-tiba dalam bentuk sempurna. Ini memberikan bukti bagi
pernyataan bahwa kehidupan tidak muncul melalui proses acak alamiah, tetapi melalui suatu kerja
penciptaan yang cerdas. Dalam sebuah tulisan berjudul “The Big Bang of Animal Evolution” pada jurnal
terkemuka Scientific American, ahli paleontologi evolusi Jeffrey S. Levinton menerima kenyataan ini,
meski dengan berat hati, dengan mengatakan “Oleh karena itu, ada sesuatu yang istimewa dan sangat
misterius –semacam “kekuatan” berkreatifitas tinggi.”66
Kenyataan lain yang menempatkan kaum evolusionis dalam kebingungan mendalam tentang
Ledakan Kambrium adalah perbandingan antara berbagai kelompok makhluk hidup. Hasil perbandingan
ini mengungkapkan bahwa kelompok hewan yang dianggap sebagai “kerabat dekat” oleh evolusionis
hingga baru-baru ini, pada kenyataannya secara genetik sangat berbeda, yang membuat gagasan “bentuk
peralihan”—yang hanya ada secara teoritis—menjadi semakin meragukan. Sebuah artikel yang
dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, USA, pada tahun 2000
melaporkan bahwa analisa DNA terkini telah menata ulang kelompok-kelompok yang dulunya dianggap
sebagai “bentuk peralihan”:
Analisa urutan DNA memberi pemahaman baru atas pohon kekerabatan. Kelompok yang pernah
dianggap mewakili derajat kompleksitas yang berurutan pada dasar pohon [kekerabatan] metazoa telah
dipindahkan ke kedudukan yang jauh lebih tinggi dalam pohon tersebut. Hal ini tidak menyisakan tempat
bagi “bentuk peralihan” evolusi dan memaksa kita untuk memikirkan kembali asal usul kompleksitas
bilateral.67
Dalam artikel yang sama, penulis evolusionis mencatat bahwa beberapa kelompok yang dianggap
“peralihan” antar kelompok seperti bunga karang, cnidarian dan ctenophore, tidak bisa lagi dianggap
seperti itu karena penemuan genetik baru ini. Penulis ini mengatakan bahwa mereka telah “kehilangan
harapan” untuk membuat pohon kekerabatan evolusi semacam itu:
Kekerabatan baru berdasar molekuler memiliki beberapa akibat penting. Yang paling utama adalah
hilangnya kelompok “peralihan” antara bunga karang, cnidarian, ctenophora dan nenek moyang terakhir
bilaterian [hewan bersisi dua] atau “Urbilateria.” …Akibatnya kita memiliki celah besar pada cabang
menuju Urbilateria. Kita telah kehilangan harapan, sebagaimana yang sudah umum dalam pemikiran
evolusi sebelumnya, dalam menata ulang morfologi dari “nenek moyang coelomate” melalui sebuah
gagasan yang melibatkan perubahan derajat kompleksitas yang semakin meningkat berdasarkan anatomi
garis keturunan ‘primitif’ yang masih ada.68
Trilobita dan Darwin
Salah satu spesies paling menarik dari berbagai spesies yang muncul tiba-tiba pada Jaman
Kambrium adalah trilobita yang sekarang telah punah. Trilobita termasuk ke dalam filum Arthropoda, dan
merupakan makhluk sangat rumit dengan cangkang keras, tubuh khas, dan organ kompleks. Rekaman fosil
memungkinkan dilakukannya pengkajian rinci atas mata trilobita. Mata trilobita tersusun atas ratusan mata
kecil, dan setiap mata kecil ini mengandung dua lapis lensa. Struktur mata ini benar-benar merupakan
keajaiban sebuah rancangan. David Raup, seorang profesor geologi di Universitas Harvard, Rochester, dan
Chicago, mengatakan, “trilobita, 450 tahun yang lalu, menggunakan rancangan mantap yang akan
membutuhkan seorang ahli lensa terlatih dan penuh imajinasi untuk bisa mengembangkannya saat ini.”69
Bahkan struktur kompleks luar biasa pada trilobita ini sudah cukup untuk sendirian meruntuhkan
Darwinisme, karena tidak ada makhluk kompleks dengan struktur mirip yang hidup pada masa geologis
sebelumnya, yang dengan demikian menunjukkan bahwa trilobita muncul tanpa proses evolusi di belakang
mereka. Sebuah artikel Science tahun 2001 mengatakan:
Analisa cladistic atas kekerabatan arthropoda mengungkapkan bahwa trilobita, seperti eucrustacea,
adalah “ranting” yang lumayan baru dalam pohon arthropoda. Tetapi, fosil-fosil dari nenek moyang
arthropoda ini tidak ada. ..Bahkan jika bukti adanya nenek moyang sebelumnya ditemukan, tetaplah
merupakan tantangan untuk menjelaskan mengapa begitu banyak hewan telah bertambah ukuran dan
memperoleh cangkang dalam waktu yang sedemikian singkat pada awal Kambrium.70
Sangat sedikit yang diketahui tentang keadaan luar biasa dalam Jaman Kambrium ini ketika Charles
Darwin menulis The Origin of Species. Hanya sejak masa Darwinlah rekaman fosil telah mengungkap
bahwa kehidupan muncul secara tiba-tiba dalam Jaman Kambrium, dan bahwa trilobita dan invertebrata
lainnya muncul secara tiba-tiba. Karena itulah, Darwin tidak bisa membahas hal ini secara utuh dalam
bukunya. Tetapi ia menyinggung hal ini di bawah bab “Mengenai kemunculan tiba-tiba kelompok-
kelompok spesies yang berkerabatan dalam lapisan fosil paling bawah,” dimana ia menulis mengenai
Jaman Silurian (sebuah nama yang pada saat itu meliputi apa yang sekarang kita sebut Kambrium) sebagai
berikut:
Sebagai contoh, saya tidak ragu bahwa semua trilobita Silurian berasal dari beberapa crustacea
sejenis, yang seharusnya hidup jauh sebelum Jaman Silurian, dan kemungkinan sangat jauh berbeda dari
hewan apapun yang telah dikenal… Karenanya, jika teori saya benar, tidak bisa disangkal lagi bahwa
sebelum lapisan terbawah Silurian mengendap, masa yang panjang berlalu, selama, atau mungkin jauh
lebih lama dari, seluruh masa dari jaman silurian hingga hari ini; dan bahwa selama masa sedemikian
panjang, namun belum diketahui ini, bumi dipenuhi oleh makhluk hidup. Atas pertanyaan mengapa kita
tidak menemukan rekaman dari masa awal yang panjang ini, saya tidak bisa memberi jawaban yang
memuaskan.71
Darwin berkata “Jika teori saya benar, Jaman [Kambrium] seharusnya penuh dengan makhluk
hidup.” Atas pertanyaan mengapa tidak ada fosil makhluk-makhluk ini, ia mencoba memberi jawaban di
sepanjang bukunya, menggunakan alasan bahwa “rekaman fosil sangat tidak lengkap.” Tetapi saat ini
rekaman fosil sudah lumayan lengkap, dan jelas terungkap bahwa makhluk hidup dari Jaman Kambrium
tidak memiliki nenek moyang. Ini berarti bahwa kita harus menolak kalimat Darwin yang diawali dengan
“Jika teori saya benar.” Pemikiran Darwin tidak dapat diterima, dan untuk alasan tersebut, teorinya adalah
salah.
Rekaman dari jaman Kambrium meruntuhkan Darwinisme, baik dengan kekompleksan tubuh
trilobita, dan dengan kemunculan makhluk-makhluk yang teramat berbeda pada saat yang sama. Darwin
menulis “jika banyak spesies, dari satu genus atau famili, benar-benar memulai kehidupan secara
bersamaan, maka kenyataan ini akan mematikan teori penurunan dengan perubahan lambat melalui seleksi
alam.”72—yaitu, teori yang menjadi inti bukunya. Tetapi seperti yang telah kita lihat sebelumnya, sekitar
60 filum hewan yang berbeda, belum lagi kelompok yang lebih kecil seperti spesies, mulai hidup pada
Jaman Kambrium, semuanya dan pada waktu yang bersamaan. Ini membuktikan bahwa gambaran yang
disampaikan Darwin sebagai “mematikan teori ini” benar-benar terjadi. Itulah sebabnya mengapa ahli
paleoantropologi evolusi dari Swiss, Stefan Bengston, yang mengakui tidak adanya penghubung peralihan
ketika menggambarkan Jaman Kambrium, berkomentar sebagai berikut: “Menyulitkan (dan memalukan)
bagi Darwin, peristiwa ini masih membingungkan kita.”73
Satu hal lagi yang perlu dikaji berkenaan dengan trilobita adalah bahwa struktur gabungan berumur
530-juta tahun pada mata makhluk ini tidak berubah sama sekali hingga sekarang. Beberapa serangga masa
kini, seperti lebah dan capung, memiliki struktur mata yang benar-benar sama. 74 Penemuan ini merupakan
satu “pukulan mematikan” lagi bagi pernyataan teori evolusi bahwa makhluk hidup berkembang dari
primitif ke yang kompleks.
Quadrupeda (atau Tetrapoda) adalah nama umum yang diberikan untuk hewan vertebrata yang
hidup di darat. Amfibia, reptilia, burung dan mamalia termasuk dalam kelompok ini. Anggapan teori
evolusi berkenaan dengan tetrapoda adalah bahwa makhluk ini berevolusi dari ikan yang hidup di laut.
Akan tetapi, pernyataan ini mengandung pertentangan, baik dalam fisiologi maupun anatomi. Lebih jauh
lagi, ia tidak memiliki dasar apa pun dari rekaman fosil.
Seekor ilkan harus mengalami perubahan besar untuk bisa beradaptasi di darat. Sistem pernafasan,
pengeluaran dan rangka, semuanya harus berubah. Insang harus berubah menjadi paru-paru, sirip harus
mendapatkan ciri-ciri kaki sehingga mereka bisa menopang berat tubuh, ginjal dan semua sistem
pengeluaran harus dirubah agar berfungsi di lingkungan darat, dan kulit akan memerlukan tambahan
tekstur baru untuk mencegah kehilangan air. Jika semua ini tidak terjadi, seekor ikan hanya bisa bertahan
di darat dalam beberapa menit.
Jadi, bagaimana pandangan evolusionis bisa menjelaskan asal usul hewan-hewan darat? Beberapa
komentar dangkal dalam literatur evolusionis sebagian besar berpijak pada dasar pemikiran Lamarck.
Sebagai contoh, berkenaan dengan perubahan sirip menjadi kaki, mereka mengatakan, “Pada saat ikan
mulai merangkak ke darat, sirip secara bertahap berubah menjadi kaki.” Bahkan Ali Demirsoy, salah
seorang evolusionis yang berpengaruh di Turki, menulis: “Mungkin sirip ikan berparu-paru berubah
menjadi kaki amfibia ketika mereka merangkak di air yang berlumpur.”81
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, komentar seperti ini berlandaskan pada pemikiran
Lamarck, karena komentar ini pada dasarnya berlandaskan pada peningkatan fungsi suatu organ melalui
penggunaan dan pewarisan ciri-ciri ini ke generasi berikutnya. Sepertinya teori yang dirumuskan Lamarck,
yang runtuh satu abad yang lalu, masih memiliki pengaruh kuat pada pemikiran bawah sadar para ahli
biologi evolusi saat ini.
Jika kita kesampingkan skenario Lamarck, dan karena itu tidak ilmiah, ini, kita harus beralih kepada
skenario berdasarkan mutasi dan seleksi alam. Namun demikian, ketika mekanisme ini dikaji, akan terlihat
bahwa peralihan dari air ke darat benar-benar merupakan kebuntuan yang sempurna.
Mari kita bayangkan bagaimana seekor ikan bisa muncul dari laut dan menyesuaikan dirinya untuk
[hidup di] darat: Jika ikan tidak mengalami perubahan cepat pada sistem pernafasan, pengeluaran dan
rangka, maka kematian tak akan terhindarkan. Serangkaian mutasi yang perlu terjadi haruslah
menyediakan paru-paru dan ginjal “daratan” bagi ikan, sesegera mungkin. Demikian pula, mekanisme ini
haruslah merubah sirip menjadi kaki dan menghasilkan jenis kulit yang akan menahan air di dalam tubuh.
Terlebih lagi, serangkaian mutasi ini harus terjadi selama masa hidup dari seekor binatang.
Tidak ada satu pun ahli biologi evolusi yang akan pernah mengajukan serangkaian mutasi seperti itu.
Kemustahilan dan ketidakmasukakalan dari gagasan ini terlihat sangat jelas. Mengingkari kenyataan ini,
evolusionis mengajukan gagasan “preadaptasi,” yang menyatakan bahwa ikan memperoleh ciri-ciri baru
yang akan mereka butuhkan sejak mereka masih di air. Singkatnya, teori ini mengatakan bahwa ikan
mendapatkan sifat-sifat hewan darat bahkan sebelum mereka merasa memerlukan sifat-sifat ini, sejak
mereka masih hidup di laut.
Meskipun demikian, sekenario seperti ini tidaklah masuk akal bahkan ketika dipandang dari sudut
teori evolusi itu sendiri. Tentu saja, mendapatkan sifat-sifat hewan darat tidak akan bermanfaat bagi seekor
hewan laut. Oleh karena itu, pemikiran bahwa sifat-sifat ini terjadi karena seleksi alam tidaklah
berlandaskan akal sehat. Sebaliknya, seleksi alam seharusnya menyisihkan setiap makhluk yang
mengalami “preadaptasi,” karena dengan memperoleh sifat-sifat yang membuatnya bisa bertahan di darat
tentunya akan menyebabkannya tidak berguna di laut.
Singkatnya, skenario “peralhan dari air ke darat” berada pada kebuntuan yang sempurna. Hal ini
diterima oleh para evolusionis sebagai keajaiban alam yang tidak bisa di uji kembali. Inilah mengapa
Henry Gee, editor Nature, menganggap skenario ini sebagai cerita yang tidak ilmiah:
Cerita konvensional tentang evolusi, tentang “mata rantai yang hilang”, tidak bisa diuji, karena
hanya terdapat satu kemungkinan alur peristiwa—yaitu yang tersirat dalam cerita itu. Jika cerita Anda
tentang bagaimana kelompok ikan merangkak ke darat dan memunculkan kaki, Anda akan dipaksa melihat
hal ini sebagai sebuah kejadian yang hanya sekali terjadi, karena begitulah alur ceritanya . Anda bisa
mengikuti alur cerita tersebut atau tidak—tidak ada pilihan.82
Kebuntuan tidak hanya datang dari mekanisme evolusi, tetapi juga dari rekaman fosil atau studi pada
tetrapoda hidup. Robert Carrol harus mengakui bahwa “baik rekaman fosil maupun studi tentang
perkembangan pada genus modern belum memberikan gambaran lengkap bagaimana anggota badan yang
saling berpasangan pada tetrapoda berevolusi…”83
Calon klasik bagi bentuk peralihan dalam evolusi ikan-tetrapoda adalah beberapa genus ikan dan
amfibia.
Evolusionis mengacu pada coelacanth (dan yang berkerabat dekat, Rhipidistians yang telah punah)
sebagai nenek moyang yang paling mungkin bagi quadruped. Ikan ini berada di bawah sub kelas
Crossopterygian. Evolusionis mencurahkan segala harapan mereka pada makhluk ini karena sirip-sirip
mereka memiliki struktur yang sedikit “berotot.” Namun ikan ini bukanlah bentuk peralihan; terdapat
perbedaan anatomis dan fisiologis antara kelas ini dengan amfibia.
Pada kenyataannya, yang disebut sebagai “bentuk peralihan” antara ikan dan amfibia bukanlah
peralihan dalam pengertian bahwa keduanya memiliki sangat sedikit perbedaan, tetapi hanya karena
mereka bisa menjadi contoh terbaik bagi skenario evolusi. Terdapat perbedaan anatomis besar antara ikan
yang paling mungkin diambil sebagai nenek moyang amfibia dan amfibia yang dianggap sebagai
turunannya. Contohnya adalah Eusthenopteron (seekor ikan yang telah punah) dan Acanthostega (seekor
amfibia yang telah punah), dua subyek favorit bagi skenario evolusi terkini berkenaan dengan asal usul
tetrapoda. Robert Carroll, dalam Pattern and Processes of Vertebrata Evolution, berkomentar mengenai
kedua spesies yang dianggap berhubungan ini sebagai berikut:
Eusthenopteron dan Acanthostega dapat diambil sebagai titik akhir dalam peralihan antara ikan dan
amfibia. Dari 145 ciri-ciri anatomis yang bisa dibandingkan antara dua genus ini, 91 menunjukkan
perubahan yang berhubungan dengan adaptasi untuk hidup di darat… Ini jauh lebih banyak daripada
jumlah perubahan yang terjadi dalam setiap [bentuk] transisi yang menjadi asal usul lima belas kelompok
tetrapoda Paleozoic.84
Sembilan puluh satu perbedaan dari 145 ciri-ciri anatomi… Dan para evolusionis percaya bahwa
semua [perbedaan] ini adalah hasil desain ulang melalui sebuah proses mutasi acak selama kira-kira 15 juta
tahun.85 Mempercayai skenario semacam itu mungkin perlu bagi kepentingan teori evolusi, tetapi hal ini
tidak tepat secara ilmiah dan rasional. Hal ini berlaku juga bagi semua bentuk skenario ikan-amfibia
lainnya, yang berbeda menurut kandidat yang dipilih sebagai bentuk peralihan tersebut. Henry Gee, editor
majalah Nature, membuat komentar serupa mengenai skenario berdasarkan Ichtyostega, satu amfibia
punah lainnya yang amat mirip dengan Acanthostega:
Pernyataan bahwa Ichtyostega adalah sebuah mata rantai yang hilang antara ikan dan tetrapoda yang
muncul kemudian mengungkapkan lebih banyak prasangka kita daripada makhluk yang seharusnya kita
pelajari. Ini menunjukkan seberapa keras kita memaksakan pandangan sempit atas suatu kenyataan
berdasarkan pengalaman pribadi kita yang terbatas, padahal kenyataan tersebut mungkin lebih besar, lebih
asing, dan lebih berbeda daripada yang mampu kita bayangkan.86
Satu ciri mengagumkan lainnya mengenai asal usul amfibia adalah kemunculan tiba-tiba dari ketiga
kelompok dasar amfibia . Carrol memberi catatan bahwa “Fosil paling awal dari kodok, caecilian, dan
salamander semua muncul di Jaman Jurassic Awal hingga Tengah. Semua menunjukkan sebagian besar
ciri-ciri penting dari keturunan mereka yang hidup sekarang.”87 Dengan kata lain, hewan-hewan ini muncul
secara tiba-tiba dan tidak mengalami “evolusi” apapun sejak saat itu.
Ikan yang berada dalam famili coelacanth pernah diterima sebagai bukti kuat bagi bentuk peralihan.
Menyandarkan alasan mereka pada fosil coelacanth, ahli biologi evolusi mengemukakan bahwa ikan ini
memiliki paru-paru primitif (belum berfungsi secara penuh). Banyak terbitan ilmiah mengemukakan fakta
ini, lengkap dengan gambar yang menunjukkan bagaimana coelacanth beralih dari air ke darat. Semua ini
bersandar pada anggapan bahwa coelacanth adalah spesies yang telah punah.
Akan tetapi pada 22 Desember 1983, sebuah penemuan yang sangat menarik terjadi di lautan
Hindia. Seekor anggota famili coelacanth, yang sebelumnya digambarkan sebagai bentuk peralihan yang
telah punah 70 juta tahun yang lalu, tertangkap hidup-hidup! Tidak diragukan lagi, penemuan contoh
“hidup” dari coelacanth memberikan kejutan bagi para evolusionis. Ahli paleontologi evolusionis J. L. B.
Smith mengatakan, “kalaupun saya bertemu dengan dinosaurus di jalan saya tidak akan lebih terkejut.” 88
Dalam tahun-tahun berikutnya, 200 coelacanth ditemukan di berbagai tempat di dunia.
Coelacanth hidup menunjukkan begitu tidak berlandaskannya spekulasi yang berkenaan dengan
mereka. Bertentangan dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya, coelacanth tidak memiliki paru-paru
primitif ataupun otak yang besar. Organ yang oleh peneliti evolusionis dikemukakan sebagai paru-paru
primitif ternyata hanyalah sebuah kantung berenang yang penuh lemak.89 Lebih jauh lagi, coelacanth, yang
sebelumnya diperkenalkan sebagai “calon reptilia yang siap beralih dari laut ke darat,” pada kenyataannya
adalah seekor ikan yang hidup di kedalaman samudra dan tidak pernah mencapai lebih dekat dari 180
meter dari permukaan laut.90
Setelah penemuan ini, coelacanth tiba-tiba kehilangan semua popularitasnya dalam publikasi
evolusionis. Peter Forey, seorang ahli paleontologi evolusionis, dalam artikelnya di majalah Nature,
mengatakan:
Penemuan Latimeria memunculkan harapan untuk mengumpulkan informasi langsung atas peralihan
ikan menjadi amfibia, karena pada saat itu ada keyakinan bahwa coelacanth merupakan kerabat dekat
nenek moyang tetrapoda. …Tetapi studi tentang anatomi dan fisiologi dari Latimeria telah menunjukkan
bahwa teori mengenai hubungan ini menjadi dangkal dan reputasi coelacanth hidup sebagai mata rantai
yang hilang terlihat tidak tepat.91
Ini berarti satu-satunya pernyataan serius mengenai bentuk peralihan antara ikan dengan amfibia
telah diruntuhkan.
Dinosaurus, kadal, kura-kura, buaya—semuanya yermasuk dalam kelas reptilia. Beberapa, seperti
dinosaurus, telah punah, tetapi sebagian besar spesies ini masih hidup di bumi. Reptilia memiliki beberapa
ciri yang khas. Misalnya, tubuh mereka ditutupi oleh sisik, dan mereka berdarah dingin, artinya mereka
tidak mampu mengatur suhu tubuh secara fisiologis (itulah sebabnya mereka berjemur dibawah sinar
matahari untuk menghangatkan tubuh). Kebanyakan dari mereka bereproduksi dengan bertelur.
Berkenaan dengan asal usul makhluk-makhluk ini, evolusi sekali lagi berada pada kebuntuan.
Darwinisme menyatakan bahwa reptilia berevolusi dari amfibia. Akan tetapi, belum pernah ada penemuan
untuk membuktikan pernyataan seperti itu. Sebaliknya, perbandingan antara amfibia dengan reptilia
mengungkap adanya perbedaan fisiologis yang besar antara keduanya, dan makhluk “setengah reptilia-
setengah amfibia” tidak akan memiliki kesempatan untuk bertahan hidup.
Salah satu contoh perbedaan fisiologis antara dua kelompok ini adalah struktur yang berbeda pada
telur mereka. Amfibia menempatkan telur mereka di air, dan telur-telur mereka bagaikan jelly, dengan
selaput tembus pandang dan tembus air. Telur seperti itu memiliki struktur ideal bagi perkembangan di air.
Reptilia, di sisi lain, menempatkan telur mereka di darat, dan karenanya telur mereka dirancang untuk
bertahan di sana. Cangkang keras dari telur reptilia, juga dikenal sebagai “telur amniota,” memungkinkan
udara untuk masuk, tetapi tidak tembus air. Dengan cara ini, air yang dibutuhkan oleh hewan yang sedang
tumbuh tetap tersimpan di dalam telur.
Jika telur amfibia ditempatkan di darat, mereka akan segera mengering, membunuh embrio di
dalamnya. Hal ini tidak bisa dijelaskan secara evolusi, yang menyatakan bahwa reptilia telah berevolusi
sedikit demi sedikit dari amfibia. Hal ini karena, untuk memulai suatu kehidupan di darat, telur amfibia
haruslah berubah menjadi telur amniota dalam masa hidup satu generasi. Bagaimana proses semacam ini
bisa terjadi melalui seleksi alam dan mutasi—mekanisme evolusi—sungguh tidak bisa dijelaskan. Ahli
biologi Michael Denton menjelaskan secara rinci kebuntuan para evolusionis dalam permasalahan ini:
Setiap buku acuan evolusi menyatakan bahwa reptilia bervolusi dari amfibia tetapi tidak ada
penjelasan bagaimana adaptasi penting yang membedakan reptilia, telur amniota, muncul secara bertahap
sebagai hasil dari perubahan kecil yang terus menerus berakumulasi. Telur amniota reptilia jauh lebih
kompleks dan sama sekali berbeda dengan telur amfibia. Dalam kingdom hewan, hampir tidak ada dua
telur [lainnya] yang lebih berbeda secara mendasar … Asal usul telur amniota dan amfibia – peralihan
[menjadi] reptilia hanyalah satu lagi [contoh dalam] kelompok utama vertebrata di mana belum pernah
diberikan skema evolusi yang jelas. Berusaha menjelaskan, misalnya, bagaimana jantung dan lengkung
aorta dari amfibia berubah secara bertahap menjadi seperti yang dimiliki reptilia dan mamalia adalah
benar-benar masalah besar.92
Rekaman fosil pun tidak menyediakan bukti apapun untuk memperkuat hipotesis evolusionis
berkenaan dengan asal usul reptilia.
Robert L. Carrol, seorang ahli paleontologi evolusi yang juga ahli paleontologi vertebrata, bersedia
menerima kenyataan ini. Ia menulis dalam karya klasiknya, Vertebrate Paleontology and Evolution, bahwa
“Amniota awal telah cukup berbeda dari semua amfibia jaman Paleozoic sehingga nenek moyan mereka
yang sebenarnya belum bisa ditentukan.”93 Dalam bukunya yang lebih baru, Patterns and Processes of
Vertebrate Evolution, yang diterbitkan tahun 1997, ia mengakui bahwa “Asal usul ordo amfibia modern,
(dan) peralihan antara tetrapoda awal” adalah “masih samar” sebagaimana juga asal usul dari berbagai
kelompok utama lainnya.94
Kenyataan yang sama juga diakui oleh Stephen Jay Gould:
Tidak ada fosil amfibia yang terlihat jelas sebagai pendahulu dalam silsilah vertebrata darat (reptilia,
burung, dan mamalia).95
Sejauh ini, hewan terpenting yang diajukan sebagai “nenek moyang reptilia” adalah Seymouria, satu
spesies amfibia. Akan tetapi, kenyataan bahwa Seymouria tidak bisa dijadikan sebagai bentuk peralihan
diungkap oleh penemuan bahwa reptilia telah ada di bumi sekitar 30 juta tahun sebelum Seymouria
pertama kali muncul. Fosil tertua Seymouria ditemukan dalam lapisan Permian Bawah, atau 280 juta tahun
yang lalu. Namun spesies reptilia tertua yang dikenal, Hylonomus dan Paleothyris, ditemukan di lapisan
Pennsylvania Bawah, sekitar 315-330 juta tahun yang lalu.96 Tentunya sangatlah tidak beralasan,
setidaknya, jika “nenek moyang reptilia” hidup lebih belakangan dari pada reptilia yang pertama.
Singkatnya, bertentangan dengan pernyataan evolusionis bahwa makhuk hidup berevolusi secara
bertahap, fakta ilmiah mengungkap bahwa makhluk-makhluk ini muncul di bumi secara tiba-tiba dan
terbentuk sempurna.
Lebih jauh lagi, terdapat batas yang tidak bisa dilewati antara berbagai ordo reptilia seperti ular,
buaya, dinosaurus, dan kadal. Setiap ordo yang berbeda ini muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil,
dan dengan struktur yang sangat berbeda. Melihat berbagai struktur dalam kelompok yang sangat berbeda
ini, evolusionis membayangkan proses evolusi yang mungkin terjadi. Tetapi hipotesis tersebut tidak
tercerminkan dalam rekaman fosil. Sebagai contoh, salah satu anggapan umum evolusi adalah bahwa ular
berevolusi dari kadal yang secara bertahap kehilangan kaki mereka. Tetapi evolusionis tidak bisa
menjawab pertanyaan apa “manfaat” yang akan didapat kadal yang mulai kehilangan kakinya dan
bagaimana makhluk ini bisa “terpilih” oleh seleksi alam.
Perlu diingat bahwa ular tertua yang pernah diketahui dalam rekaman fosil tidak memiliki ciri-ciri
“bentuk peralihan”, dan tidak berbeda dengan ular di masa kita. Fosil ular tertua yang diketahui adalah
Dinilysia, ditemukan pada bebatuan Cretaceous Atas di Amerika Selatan. Robert Carrol mengakui bahwa
makhluk ini “menunjukkan tahapan evolusi yang lumayan maju pada ciri-ciri ini [ciri-ciri khas dari
tengkorak ular],”97 dengan kata lain, ular ini telah memiliki semua ciri ular modern.
Satu ordo reptilia yang lain adalah kura-kura, yang muncul dalam rekaman fosil bersama-sama
dengan cangkang yang khas dari mereka. Sumber-sumber evolusionis menyatakan bahwa “Sayangnya, asal
usul dari ordo yang sukses ini dikaburkan oleh ketidaklengkapan fosil-fosil terdahulu meskipun kura-kura
meninggalkan fosil yang lebih banyak dan lebih baik daripada vertebrata-vertebrata lainnya. Hingga
pertengahan Era Triassic (sekitar 200.000.000 tahun yang lalu) kura-kura sangatlah melimpah dan
memiliki ciri-ciri dasar kura-kura… Peralihan antara kura-kura dan cotylosaurus, reptilia primitif yang
mungkin menjadi nenek moyang kura-kura, benar-benar tidak ditemukan.”98
Demikianlah Robert Carrol terpaksa menyebutkan asal usul kura-kura di mana “[bentuk] peralihan
penting dan sebarannya masih belum diketahui.”99
Semua jenis makhluk hidup ini muncul secara tiba-tiba dan tidak bergantung satu sama lain.
Kenyataan ini adalah bukti ilmiah bahwa mereka telah diciptakan.
Reptilia Terbang
Satu kelompok menarik dalam kelas reptilia adalah reptilia terbang. Kelompok ini pertama kali
muncul sekitar 200 juta tahun yang lalu pada jaman Triassic Atas, tetapi kemudian menjadi punah.
Makhluk-makhluk ini semuanya reptilia, karena mereka memiliki semua ciri dasar dari kelas reptilia.
Mereka adalah hewan berdarah dingin (artinya, mereka tidak bisa mengatur suhu tubuh sendiri) dan tubuh
mereka ditutupi oleh sisik. Tetapi mereka memiliki sayap yang kuat, dan diperkirakan sayap ini membuat
mereka bisa terbang.
Reptilia terbang digambarkan dalam beberapa publikasi populer evolusionis sebagai temuan
paleontologis yang mendukung Darwinisme—setidaknya, inilah kesan yang dimunculkan. Akan tetapi,
asal usul reptilia terbang sebenarnya memberi masalah yang nyata bagi teori evolusi. Petunjuk terang dari
hal ini adalah bahwa reptilia terbang muncul secara tiba-tiba dan sempurna, tanpa ada bentuk peralihan
antara mereka dan reptilia darat. Reptilia terbang memiliki desain sayap yang sangat baik, yang tidak
dimiliki oleh reptilia darat. Tidak ada makhluk dengan setengah-sayap yang pernah ditemukan dalam
rekaman fosil.
Dalam setiap kasus, tidak ada makhluk setengah-sayap yang pernah hidup, karena jika makhluk
khayalan ini pernah ada, mereka seharusnya dalam kerugian besar dibandingkan dengan reptilia lain
[karena] telah kehilangan kaki depan namun masih belum bisa terbang. Dalam keadaan seperti ini, menurut
kaidah evolusi itu sendiri, mereka akan telah tersingkirkan dan punah.
Kenyataannya, ketika sayap reptilia terbang diteliti, mereka memiliki desain sedemikian sempurna
yang tidak akan pernah dapat dijelaskan dengan evolusi. Sebagaimana reptilia lain memiliki lima jari pada
kaki depan mereka, reptilia terbang memiliki lima jari pada sayap mereka. Tetapi jari ke empatnya sekitar
20 kali lebih panjang dari jari lainnya, dan sayapnya terentang di bawah jari ini. Jika reptilia darat telah
berevolusi menjadi reptilia terbang, maka jari ke empat ini seharusnya tumbuh secara bertahap sedikit demi
sedikit. Tidak hanya jari ke empat, tetapi semua struktur sayap, haruslah berkembang melalu mutasi asal,
dan semua proses ini haruslah memberi suatu manfaat bagi makhluk tersebut. Duane T. Gish, salah
seorang pengkritik terkemuka teori evolusi pada tataran ilmu tentang fosil, berkomentar sebagai berikut:
Pemikiran bahwa reptilia darat dapat secara bertahap diubah menjadi reptilia terbang tidaklah masuk
akal. Struktur awal yang setengah jadi, daripada menguntungkan bentuk peralihan tersebut, akan lebih
merupakan kerugian yang besar. Sebagai contoh, evolusionis beranggapan bahwa, meskipun terlihat aneh,
mutasi terjadi dan hanya berpengaruh pada empat jari sedikit demi sedikit. Tentunya, mutasi acak lainnya
yang terjadi secara bersamaan, meskipun terlihat luar biasa, menjadi sebab kemunculan secara bertahap
dari selaput sayap, otot terbang, tendon, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya yang diperlukan untuk
membentuk sayap. Pada suatu tahapan, reptilia terbang yang sedang berkembang akan memiliki 25 persen
sayap. Namun demikian, makhluk aneh ini tidak akan mampu bertahan hidup. Apa manfaat dari sayap
yang baru 25 persen? Yang jelas makhluk ini tidak bisa terbang, dan tidak akan lagi bisa berlari…100
Singkatnya, tidak mungkin menjelaskan asal usul reptilia terbang melalui mekanisme evolusi
Darwin. Dan kenyataannya. rekaman fosil mengungkapkan bahwa tidak pernah terjadi proses evolusi
seperti itu. Lapisan-lapisan fosil hanya menyimpan reptilia darat seperti yang kita lihat sekarang, dan
reptilia terbang yang telah berkembang sempurna. Tidak ada bentuk peralihan. Carrol, salah seorang yang
disegani di dunia paleontologi vertebrata, membuat pengakuan berikut ini sebagai seorang evolusionis:
…semua pterosaurus jaman Triassic telah dikhususkan untuk terbang… Mereka menyediakan
sedikit bukti mengenai nenek moyang langsung mereka dan tidak memberi bukti sama sekali bagi tahap-
tahap awal dalam asal usul [kemampuan] terbang.101
Carrol, baru-baru ini, dalam tulisannya Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, menetapkan
asal usul pterosaurus di antara peralihan penting yang seluk beluknya tidak banyak diketahui.102
Singkatnya, tidak ada bukti bagi evolusi reptilia terbang. Karena istilah “reptilia” bagi kebanyakan
orang hanya berarti reptilia yang hidup di darat, publikasi populer evolusionis mencoba menanamkan
kesan mengenai reptilia terbang bahwa reptilia menumbuhkan sayap dan mulai terbang. Akan tetapi,
kenyataannya adalah bahwa reptilia darat dan reptilia terbang muncul tanpa ada hubungan evolusi di antara
mereka.
Reptilia Laut
Satu lagi kelompok menarik dalam klasifikasi reptilia adalah reptilia laut. Sebagian besar reptilia
yang termasuk dalam kelompok ini telah punah, walaupun kura-kura adalah contoh yang masih bertahan
hingga sekarang. Sama halnya dengsn reptilia terbang, asal usul reptilia laut adalah sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan dengan pendekatan evolusi. Reptilia laut terpenting yang telah diketahui adalah makhluk yang
dinamakan Ichthyosaurus. Dalam bukunya Evolution of the Vertebrates, Edwin H. Colbert dan Michael
Morales mengakui fakta bahwa tidak ada penjelasan evolusi mengenai asal usul makhluk-makhluk ini yang
dapat diberikan:
Ichthyosaurus, yang dalam berbagai hal merupakan reptilia akuatik yang paling maju, muncul
sekitar jaman Triassic Awal. Kahadiran mereka dalam sejarah geologis reptilia adalah tiba-tiba dan
dramatis; tidak terdapat petunjuk pada sedimen sebelum jaman Triassic yang mungkin menjadi pendahulu
dari Ichthyosaurus… Permasalahan mendasar mengenai hubungan Ichthyosaurus adalah tidak
ditemukannya bukti meyakinkan yang bisa menghubungkan kelompok reptilia ini dengan kelompok
reptilia lainnya.103
Semacam itu pula, Alfred S. Romer, salah seorang pakar dalam Sejarah Alam Vertebrata, menulis:
Tidak ada bentuk pendahuluan [dari ichthyosaurus] yang telah diketahui. Keganjilan struktur
Ichthyosaurus kelihatannya memerlukan waktu yang lama bagi perkembangan mereka dan karenanya
menunjukkan asal usul yang sangat tua bagi kelompok ini, tetapi tidak ditemukan reptilia jaman Permian
sebagai nenek moyang mereka.104
Carrol sekali lagi harus mengakui bahwa asal usul Ichthyosaurus dan Nothosaurus (famili reptilia
akuatik yang lain) adalah termasuk dalam kasus-kasus yang “kurang dipahami” bagi evolusionis.105
Singkatnya, berbagai makhluk yang termasuk dalam kelompok reptilia muncul di bumi tanpa
hubungan evolusi di antara mereka. Seperti yang akan kita lihat dalam bagian selanjutnya, situasi yang
sama berlaku pada mamalia: terdapat mamalia terbang (kelelawar) dan mamalia laut (ikan lumba-lumba
dan paus). Namun demikian, kelompok-kelompok yang berbeda ini jauh untuk disebut sebagai bukti bagi
evolusi. Sebaliknya, mereka merupakan masalah nyata tidak bisa dijelaskan oleh evolusi karena dalam
segala hal, berbagai kelompok taksonomi ini muncul di bumi secara tiba-tiba, tanpa ada bentuk peralihan
di antara mereka, dan dengan berbagai struktur mereka yang telah utuh.
Ini adalah bukti ilmiah yang jelas bahwa semua makhluk ini sebenarnya diciptakan.
SEJARAH ALAM YANG SEBENARNYA – II
(BURUNG DAN MAMALIA)
Terdapat ribuan spesies burung di bumi. Setiap spesies memiliki ciri-ciri khusus. Sebagai contoh,
elang memiliki penglihatan yang sangat tajam, sayap lebar dan kuku tajam, sementara kolibri, dengan
paruhnya yang panjang, menghisap nektar dari bunga.
Lainnya berpindah menempuh jarak jauh ke tempat-tempat tertentu di dunia. Tetapi ciri terpenting
yang membedakan burung dari hewan lain adalah terbang. Sebagian besar burung memiliki kemampuan
untuk terbang.
Bagaimana burung muncul? Teori evolusi mencoba memberikan jawaban dengan sebuah skenario
panjang. Menurut teori ini, reptilia adalah nenek moyang burung. Sekitar 150-200 juta tahun yang lalu,
burung berevolusi dari nenek moyang reptilia mereka. Burung pertama memiliki kemampuan terbang yang
sangat terbatas. Kemudian, selama proses evolusi, bulu-bulu menggantikan kulit tebal dari burung primitif
ini, yang pada mulanya tertutupi oleh sisik. Kaki depan mereka juga seluruhnya tertutupi oleh bulu, dan
berubah menjadi sayap. Sebagai hasil dari evolusi bertahap, beberapa reptilia beradaptasi untuk terbang,
dan jadilah burung seperti sekarang ini.
Skenario ini ditampilkan dalam sumber-sumber evolusi sebagai fakta yang diterima. Akan tetapi,
sebuah kajian mendalam tentang rincian dan data-data ilmiahnya menunjukkan bahwa skenario ini lebih
dilandaskan pada khayalan daripada kenyataan.
Bagaimana reptilia, sebagai hewan darat, bisa terbang adalah sebuah persoalan yang telah
menimbulkan banyak spekulasi di antara evolusionis. Ada dua teori utama. Yang pertama berpendapat
bahwa nenek moyang burung turun ke tanah dari pepohonan. Akibatnya, nenek moyang ini dianggap
sebagai reptilia yang hidup di atas pohon dan memiliki sayap secara bertahap ketika mereka melompat dari
satu dahan ke dahan yang lain. Teori ini dikenal sebagai teori arboreal. Teori yang lain, teori kursorial
(atau “berlari”), mengusulkan bahwa burung berkembang ke udara dari daratan.
Namun, kedua teori ini berpijak pada tafsiran spekulatif, dan tidak ada bukti yang mendukung
keduanya. Para evolusionis telah membuat pemecahan sederhana bagi persoalan tersebut: mereka hanya
membayangkan bahwa bukti tersebut ada. Profesor John Ostrom, Kepala Departemen Geologi pada Yale
University, yang mengajukan teori kursorial, menjelaskan pendekatan ini sebagai berikut:
Tidak ada bukti fosil apapun bagi pendahulu-burung. [Adanya] pendahulu-burung ini adalah murni
hipotesis ,tetapi sesuatu yang seharusnya benar-benar ada.106
Akan tetapi, bentuk peralihan ini, yang menurut teori arboreal “seharusnya pernah hidup”, tidak
pernah ditemukan. Teori kursorial malah lebih bermasalah. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa kaki
depan beberapa reptilia berkembang secara bertahap menjadi sayap ketika mereka mengayun-ayunkan
lengan mereka untuk menangkap serangga. Akan tetapi, tidak ada penjelasan tentang bagaimana sayap,
sebuah organ yang sangat kompleks, menjadi ada sebagai hasil dari ayunan lengan ini.
Salah satu permasalahan besar bagi teori evolusi adalah kompleksitas sayap yang tak
tersederhanakan. Hanya sebuah desain sempurna yang bisa membuat sayap bisa berfungsi, sayap yang
“setengah berkembang” tidak akan berfungsi. Dalam konteks ini, model “perkembangan bertahap”—satu-
satunya mekanisme yang dirumuskan teori evolusi—tidaklah masuk akal. Karenanya Robert Carroll
terpaksa mengakui bahwa, “Sulit untuk menjelaskan evolusi awal dari bulu sebagai bagian dalam
perlengkapan terbang karena sulit dijelaskan bagaimana bulu-bulu tersebut bisa berfungsi hingga mereka
mencapai ukuran yang besar seperti pada Archaeopteryx.”107 Kemudian ia berpendapat bahwa bulu-bulu
bisa berevolusi untuk [fungsi] penghangat, tetapi hal ini tidak menjelaskan desain kompleks bulu yang
terbentuk secara khusus untuk terbang.
Sayap tidak bisa tidak haruslah melekat erat dengan rangka dada, dan memiliki struktur yang bisa
mengangkat burung ke atas dan membuatnya bisa bergerak ke segala arah, sekaligus bisa menjaganya tetap
melayang di udara. Sayap dan bulu haruslah memiliki struktur yang ringan, lentur dan seimbang. Dalam
hal ini, evolusi sekali lagi berada dalam kebuntuan. Evolusi tidak bisa menjawab pertanyaan tentang
bagaimana desain tanpa cacat pada sayap ini bisa muncul sebagai hasil dari mutasi acak. Demikian pula
halnya, evolusi tidak menawarkan penjelasan apa pun tentang bagaimana kaki depan reptilia berubah
menjadi sayap yang sempurna sebagai akibat dari kerusakan (mutasi) di dalam gen.
Sayap yang setengah terbentuk tidak bisa terbang. Oleh karena itu, bahkan jika kita menganggap
bahwa mutasi benar-benar menghasilkan perubahan kecil pada kaki depan reptilia, tetaplah tidak masuk
akal untuk beranggapan bahwa mutasi selanjutnya secara kebetulan berperan dalam berkembangnya sayap
yang sempurna. Itu karena mutasi pada kaki depan tidak akan menghasilkan sayap baru; sebaliknya, hal ini
hanya akan menyebabkan hewan tersebut kehilangan kaki depannya. Hal ini akan menempatkannya dalam
kerugian dibandingkan dengan anggota lain dari spesiesnya. Menurut kaidah teori evolusi, seleksi alam
akan segera menyingkirkan makhluk cacat ini.
Menurut peneltian biofisika, mutasi adalah perubahan yang sangat jarang terjadi. Karenanya, tidak
mungkin seekor hewan cacat bisa menunggu jutaan tahun agar sayapnya berkembang sempurna melalui
mutasi-mutasi kecil, khususnya ketika mutasi-mutasi ini memiliki pengaruh merusak sejalan dengan
waktu…
Teori evolusi berpendirian bahwa burung berevolusi dari theropoda karnifora. Akan tetapi,
perbandingan antara burung dan reptilia menunjukkan bahwa keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat
berbeda, yang karenanya mustahil bahwa yang satu telah berevolusi dari yang lain.
Ada banyak perbedaan bentuk antara burung dan reptilia, salah satunya adalah mengenai struktur
tulang. Karena badannya yang besar, dinosaurus—nenek moyang burung menurut evolusionis—memiliki
tulang yang besar dan kokoh. Burung, sebaliknya, baik yang telah punah ataupun yang masih hidup,
memiliki tulang berongga yang sangat ringan, yang sudah semestinya, agar bisa terbang.
Perbedaan lain antara reptilia dan burung adalah struktur metabolik mereka. Reptilia memiliki
struktur metabolik yang paling lambat dalam kingdom hewan. (Pernyataan bahwa dinosaurus berdarah
panas dan bermetabolisme cepat hanyalah persangkaan). Burung, di sisi lain, berada pada ujung yang
berlawanan dari spektrum metabolik. Sebagai contoh, suhu tubuh burung gereja bisa meningkat hingga 48
derajat karena metabolismenya yang cepat. Sementara itu, reptilia tidak memiliki kemampuan untuk
mengatur suhu tubuh mereka. Sebagai gantinya, mereka berjemur di bawah sinar matahari untuk
menghangatkan diri. Secara sederhana, reptilia memakai paling sedikit energi di antara semua hewan dan
burung paling banyak.
Salah satu ahli Ornitologi terkemuka di dunia, Alan Feduccia, dari University of North Carolina,
menentang teori yang menyatakan bahwa burung berkerabat dengan dinosaurus, meskipun pada
kenyataannya ia sendiri adalah seorang evolusionis. Feduccia menyampaikan hal berikut ini berkenaan
dengan ide evolusi reptilia-burung:
Baiklah, saya telah mempelajari tengkorak burung selama 25 tahun dan saya tidak melihat adanya
kesamaan sama sekali. Saya sungguh tidak melihatnya… Asal-usul burung dari theropod, menurut
pendapat saya, akan menjadi hal paling memalukan bagi dunia paleontologi abad ke-20.108
Larry Martin, seorang spesialis dalam burung purba dari University of Kansas, juga menyanggah
teori bahwa burung adalah keturunan dinosaurus. Mencermati pertentangan yang ditunjukkan evolusi
mengenai hal tersebut, ia menyatakan:
Sejujurnya, jika saya harus mendukung dinosaurus sebagai nenek moyang burung dengan ciri-ciri
tersebut, saya akan malu setiap kali saya harus berdiri dan berbicara tentang hal ini.109
Namun, dengan mengabaikan semua penemuan ilmiah, skenario “evolusi dinosaurus-burung” yang
tidak berdasar ini masih terus digemborkan. Terbitan populer pada khususnya menyukai skenario ini.
Sementara itu, gagasan yang tidak memberi dukungan apapun bagi skenario ini ditunjukkan sebagai bukti
bagi “evolusi dinosaurus-burung.”
Pada beberapa publikasi evolusionis, sebagai contoh, penekanan diberikan pada perbedaan antar
tulang pinggul dinosaurus untuk mendukung pendapat bahwa burung berasal dari dinosaurus. Apa yang
disebut perbedaan ini didapati antara kelompok dinosaurus yang disebut Saurischian (spesies mirip
reptilia, dengan paha berikat) dan Ornithischian (spesies mirip burung, dengan paha berikat). Gagasan
bahwa dinosaurus dengan paha berikat sebagaimana yang dimiliki burung diambil sebagai bukti atas
hubungan dinosaurus-burung. Akan tetapi, perbedaan pada hip girdles sama sekali bukanlah bukti bagi
pernyataan bahwa burung berevolusi dari dinosaurus. Hal ini karena dinosaurus Ornithischian tidaklah
mirip dengan burung dalam ciri-ciri anatomi lainnya. Sebagai contoh, Ankylosaurus adalah seekor
dinosaurus yang dikelompokkan sebagai Ornithischian, dengan kaki pendek, tubuh raksasa, dan kulit yang
tertutupi sisik bagaikan perisai. Di sisi lain, Struthiomimus, yang mirip dengan burung pada beberapa ciri
anatomisnya (kaki panjang, kaki depan pendek, dan stuktur yang ramping), sebenarnya adalah
Saurischian.110
Singkatnya, struktur dari hip gidle bukanlah bukti bagi hubungan evolusi antara burung dengan
dinosaurus. Pernyataan bahwa dinosaurus mirip dengan burung karena hip girdles mereka mirip
mengaibaikan perbedaan anatomis penting lainnya antara kedua spesies yang menjadikan hubungan
evolusi antara keduanya lemah dari sudut pandang evolusionis.
Faktor lain yang menunjukkan kemustahilan dari skenario evolusi reptilia-burung adalah struktur
paru-paru burung, yang tidak bisa dijelaskan oleh teori evolusi.
Pada hewan-hewan darat, aliran udara adalah dua arah. Saat menarik napas, udara mengalir melalui
saluran dalam paru-paru (rongga bronkhial), berakhir pada kantung-kantung udara kecil (alveolus).
Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi di sini. Kemudian, pada saat mengeluarkan napas, udara
yang telah dipakai ini berbalik arah dan kembali keluar dari paru-paru melalui jalur yang sama.
Akan tetapi pada burung, [alur] udara adalah satu arah. Udara baru masuk pada ujung yang satu, dan
keluar melalui ujung yang lain. Berkat kantung udara khusus di sepanjang saluran, udara selalu mengalir
dalam satu arah melalui paru-paru burung. Dengan cara ini, burung mampu menghirup udara tanpa
berhenti. Ini memenuhi kebutuhan energi yang tinggi dari burung. Sistem pernafasan yang istimewa ini
dijelaskan oleh Michael Denton dalam bukunya A Theory in Crisis:
Pada burung, bronkhus utama terpecah menjadi saluran-saluran kecil yang menembus jaringan paru-
paru. Struktur yang disebut parabronkhus ini akhirnya berhubungan satu sama lain, membentuk sistem
sirkulasi yang utuh sehingga udara mengalir satu arah melalui paru-paru. ..Struktur paru-paru dari burung
dan keseluruhan tata kerja sistem pernafasan ini cukup unik. Tidak ada paru-paru spesies vertebrata lain
yang diketahui mendekati sistem [pernafasan] burung. Lebih jauh lagi, sistem ini dalam semua bagian
utamanya adalah sama pada berbagai burung seperti kolibri, burung unta dan elang.111
Hal yang penting adalah bahwa paru-paru reptilia, dengan aliran udara dua arahnya, tidak mungkin
berevolusi menjadi paru-paru burung beraliran satu arah, karena tidak mungkin ada sebuah bentuk
peralihan di antara mereka. Supaya suatu hewan bisa hidup, mereka harus tetap bernafas, dan berbaliknya
struktur paru-paru melalui perubahan pada desainnya tak ayal lagi akan berakhir pada kematian. Menurut
teori evolusi, perubahan ini harus terjadi secara bertahap selama jutaan tahun, sementara itu hewan dengan
paru-paru yang tidak bekerja akan mati dalam beberapa menit.
Ahli biologi molekuler Michael Denton, dari University of Otago di Selandia Baru, menyatakan
bahwa tidak mungkin menjelaskan secara evolusi mengenai paru-paru burung:
Bagaimana suatu sistem pernafasan yang sama sekali berbeda ini dapat berevolusi secara bertahap
dari desain baku vertebrata adalah sungguh-sungguh tak terbayangkan, khususnya dengan mengingat
bahwa fungsi pernafasan sungguhlah vital bagi kehidupan suatu organisme hingga kegagalan terkecil
dalam fungsinya akan membawa kepada kematian dalam beberapa menit. Sebagaimana bulu yang tidak
bisa berfungsi sebagai suatu organ terbang sampai bagian pengait dan duri-duri kecil bulunya beradaptasi
secara bersamaan untuk berkaitan secara sempurna, demikian pula paru-paru burung tidak bisa berfungsi
sebagai organ pernafasan hingga sistem parabronkhus yang memenuhinya serta sistem kantung udara yang
menjamin pasokan udara bagi parabronkhus benar-benar telah berkembang dan bisa berfungsi bersamaan
dalam paduan yang sempurna.112
Singkatnya, perubahan dari paru-paru darat menjadi paru-paru burung adalah mustahil, karena
bentuk peralihan tidak akan bermanfaat.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa reptilia memiliki sistem pernafasan tipe
diafragma, sedangkan burung memiliki sistem kantung udara perut bukan diafragma. Struktur yang
berbeda ini juga membuat evolusi antara dua tipe paru-paru ini menjadi mustahil, seperti yang dikatakan
John Ruben, seorang pakar dalam bidang fisiologi pernafasan, sebagai berikut:
Tahap paling awal dari perubahan sistem kantung udara abdominal burung dari ventilasi-diafragma
pendahulunya akan memerlukan seleksi atas hernia-diafragma pada taksa peralihan antara theropoda
dengan burung. Kondisi yang melemahkan itu akan segera membahayakan seluruh perangkat ventilasi
paru-paru dan sepertinya sangat tidak mungkin menjadi suatu keuntungan selektif apa pun.113
Satu lagi desain struktur menarik lain dari paru-paru burung yang menyangkal teori evolusi adalah
kenyataan bahwa paru-paru burung tidak pernah kosong dari udara, dan karenanya tidak pernah dalam
bahaya karena kempis. Michael Denton menjelaskan hal ini:
Bagaimana sistem pernafasan yang berbeda ini bisa berevolusi secara bertahap dari desain baku
vertebrata tanpa ada semacam arah tujuan adalah, sekali lagi, sangat sulit untuk dibayangkan, khususnya
mengingat bahwa pemeliharaan fungsi sistem pernafasan benar-benar vital bagi kehidupan suatu
organisme. Lebih jauh lagi, fungsi dan bentuk yang unik dari paru-paru burung mengharuskan tambahan
sejumlah adaptasi khusus selama perkembangan burung. Sebagaimana H. R. Dunker, salah seorang ahli
dalam bidang ini, menjelaskan, karena pertama, paru-paru burung melekat dengan kokoh pada dinding
tubuh dan oleh karena itu volumenya tidak bisa mengembang , dan kedua, karena diameter kapiler paru-
paru yang kecil dan tingginya tekanan permukaan yang dihasilkan dari cairan apapun didalamnya, paru-
paru burung tidak bisa mengembang lagi dari keadaan mengempis seperti yang terjadi pada semua
vertebrata lainnya setelah lahir. Kapiler udaranya tidak pernah mengempis seperti alveolus spesies
vertebrata yang lain; tetapi, saat mereka tumbuh menjadi jaringan paru-paru, parabronkhusnya sejak awal
merupakan saluran terbuka yang terisi udara atau cairan.114
Dengan kata lain, saluran di dalam paru-paru burung sangatlah sempit sehingga kantung udara di
dalam paru-paru mereka tidak bisa penuh dengan udara dan kosong lagi, sebagaimana pada hewan darat.
Jika paru-paru seekor burung mengempis habis, burung itu tidak akan pernah bisa
mengembangkannya lagi, atau paling tidak akan sangat kesulitan untuk melakukannya. Untuk alasan ini,
kantung udara yang terdapat pada keseluruhan paru-paru menjadikan aliran udara yang tetap selalu
mengalir, inilah yang melindungi paru-paru dari mengempis.
Tentu saja sistem ini, yang sangat berbeda dari paru-paru reptilia dan vertebrata yang lain, dan
didasarkan pada keseimbangan yang amat lembut, tidak mungkin muncul dari mutasi tanpa “kesadaran”,
setahap demi setahap, seperti yang dinyatakan teori evolusi. Beginilah cara Denton menggambarkan
struktur paru-paru burung ini, yang, sekali lagi, membantah Darwinisme:
Paru-paru burung membawa kita sangat dekat untuk menjawab tantangan Darwin: “Jika bisa
ditunjukkan bahwa setiap organ kompleks yang ada, yang tidak mungkin terbentuk oleh banyak perubahan
kecil bertahap, maka teori saya akan benar-benar runtuh.”115
Satu lagi jurang pemisah lain antara burung dan reptilia adalah bulu, yang khas pada burung. Tubuh
reptilia ditutupi oleh sisik, sedangkan burung oleh bulu. Hipotesis bahwa bulu burung telah berevolusi dari
sisik reptilia adalah sama sekali tak berdasar, dan sebenarnya dibantah oleh rekaman fosil, sebagaimana
yang diakui oleh ahli paleontologi evolusi Barbara Stahl:
Bagaimana [bulu] muncul pertama kali, yang diduga dari sisik reptilia, bertentangan dengan
analisa… Nampaknya, dari konstruksi bulu yang kompleks, bahwa evolusinya dari sisik reptilia akan
memerlukan satu jangka waktu yang panjang sekali dan melibatkan serentetan struktur peralihan. Sejauh
ini, rekaman fosil tidak mendukung anggapan tersebut.116
A. H. Brush, seorang professor fisiologi dan neurobiologi di University of Connecticut, menerima
kenyataan ini, walaupun ia sendiri seorang evolusionis: “Setiap ciri dari struktur dan organisasi gen, hingga
perkembangan, morphogenesis dan organisasi jaringan adalah berbeda [pada bulu dan sisik].”117 Ditambah
lagi, Profesor Brush mengamati struktur protein dari bulu burung dan mengatakan bahwa ia “unik di antara
vertebrata yang lain.”118
Tidak satu pun fosil yang membuktikan bahwa bulu burung berevolusi dari sisik reptilia. Malah
sebaliknya, bulu muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil, Profesor Brush mengamati, sebagai sifat
“yang tak dapat disangkal lagi, unik” yang mencirikan burung. 119 Disamping itu, pada reptilia, belum
ditemukan jaringan epidermis yang bisa menjadi titik awal bagi [munculnya] bulu burung.120
Sejauh ini banyak fosil yang menjadi subyek dalam spekulasi “dinosaurus berbulu”, tetapi kajian
lebih rinci selalu menyangkal semua ini. Seorang ahli ornitologi terkemuka, Alan Feduccia, menulis
sebagai berikut dalam sebuah artikel yang berjudul “On Why Dinosaurs Lacked Feathers” (Mengapa
Dinosaurus Tidak Berbulu):
Bulu adalah ciri khas pada burung, dan tidak pernah ada struktur peralihan antara sisik reptilia dan
bulu. Meskipun ada spekulasi apakah sisik panjang yang ditemukan pada beberapa hewan seperti
Longisquama ..adalah struktur mirip bulu, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa itu adalah
benar-benar bulu.121
Desain Bulu
Disisi lain, terdapat desain yang sedemikian kompleks pada bulu burung sehingga hal ini tidak akan
pernah bisa dijelaskan melalui proses evolusi. Seperti yang telah kita ketahui, terdapat batang yang
memanjang di tengah bulu. Yang melekat pada batang tersebut adalah vanes. Vanes tersusun atas helaian-
helaian kecil mirip-benang, yang disebut barbs. Barbs ini, dengan panjang dan kekakuan yang berbeda,
adalah yang memberi burung ciri aerodinamiknya. Tetapi yang justru lebih menarik adalah bahwa setiap
barbs ini memiliki ribuan benang yang lebih kecil yang melekat pada mereka yang disebut barbules.
Barbules disambungkan ke barbicels, dengan kait mikroskopik mungil, yang disebut hamuli. Setiap helai
terkait pada helai yang berlawanan, sangat mirip dengan kait pada resleting.
Satu bulu burung bangau memiliki sekitar 650 barbs pada setiap sisi dari batang bulu. Sekitar 600
barbules menjadi cabang barbs. Masing-masing barbules ini berkaitan dengan 390 kait. Kait-kait tersebut
terpasang seperti gigi pada resleting. Jika kaitan tersebut berpisah karena sesuatu hal, burung bisa dengan
mudah mengembalikan bulu ke bentuk semula dengan menggoncang dirinya atau dengan meluruskan bulu
dengan paruhnya.
Menyatakan bahwa desain yang kompleks pada bulu ini muncul dari evolusi sisik reptilia melalui
mutasi acak hanyalah sebuah kepercayaan dogmatis tanpa landasan ilmiah. Bahkan salah satu dari lusinan
evolusionis, Ernst Mayr, membuat pengakuan sebagai berikut beberapa tahun lalu:
Adalah pertanyaan yang patut diajukan atas kepercayaan seseorang yang berasumsi bahwa sistem
yang sangat seimbang seperti organ penginderaan tertentu (mata vertebrata, atau bulu burung) bisa
diperbaiki melalui mutasi acak.122
Desain pada bulu juga mendorong Darwin untuk mengaguminya. Lebih jauh lagi, keindahan
sempurna dari bulu merak telah membuat ia “sakit” (istilah dia sendiri). Dalam sebuah surat yang
ditulisnya untuk Asa Gray pada 3 April 1860, ia mengatakan, “Saya ingat betul saat memikirkan mengenai
mata membuat saya demam, tetapi saya telah mengatasi tahap keluhan ini..” Dan kemudian ia melanjutkan:
”…dan sekarang bagian-bagian kecil tak penting dari suatu struktur sering membuat saya sangat tidak
nyaman. Pemandangan bulu pada ekor merak, setiap kali saya menatapnya, membuat saya sakit!”123
Singkatnya, perbedaan struktur yang begitu banyak antara bulu burung dengan sisik reptilia, dan
desain kompleks bulu yang tak terbayangkan, dengan jelas menunjukkan tidakberlandasannya pernyataan
bahwa bulu telah berevolusi dari sisik.
Menanggapi pertanyaan apakah terdapat bukti fosil bagi “evolusi reptilia-burung,” evolusionis
mengajukan satu nama makhluk hidup. Dialah fosil burung yang disebut Archaeopteryx, salah satu yang
dianggap sebagai bentuk peralihan yang paling dikenal luas di antara sedikit bukti yang masih
dipertahankan evolusionis.
Archaeopteryx, yang disebut sebagai nenek moyang burung modern menurut evolusionis, hidup
sekitar 150 juta tahun yang lalu. Teori menyebutkan bahwa beberapa dinosaurus kecil, seperti Velocariptor
atau Dromaeosaurus, berevolusi dengan memperoleh sayap dan kemudian mulai mencoba untuk terbang.
Begitulah, Archaeopteryx dianggap sebagai bentuk peralihan yang muncul dari nenek moyang dinosaurus
dan mulai terbang untuk pertama kalinya.
Akan tetapi, kajian terbaru tentang fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak
memiliki landasan ilmiah apapun. Ini sama sekali bukanlah bentuk peralihan, tetapi satu spesies burung
yang telah punah, yang memiliki beberapa perbedaan tak berarti dengan burung-burung modern.
Pendapat bahwa Archaeopteryx adalah “setengah burung” yang tidak bisa terbang dengan sempurna
sangat popular di kalangan evolusionis hingga beberapa waktu yang lalu. Ketiadaan sternum (tulang dada)
pada hewan ini dijadikan sebagai bukti terpenting bahwa burung ini tidak bisa terbang dengan baik.
(Sternum adalah tulang yang terletak di bawah dada tempat melekatnya otot untuk terbang. Pada saat ini,
tulang dada semacam ini telah teramati pada setiap burung baik yang bisa terbang ataupun tidak, dan
bahkan pada kelelawar, mamalia terbang yang termasuk dalam famili yang jauh berbeda.) Akan tetapi,
fosil Archaeopteryx ke tujuh, yang ditemukan pada tahun 1992, menyangkal pendapat ini. Alasannya
adalah dalam penemuan fosil terbaru ini, tulang dada yang telah lama dianggap evolusionis tidak ada
akhirnya ditemukan masih ada. Fosil ini digambarkan dalam jurnal Nature sebagai berikut:
Spesimen ke tujuh Archaeopteryx yang baru-baru ini ditemukan masih memiliki sebagian sternum
berbentuk persegi panjang, yang telah lama diperkirakan ada tetapi tak pernah terdokumentasikan. Ini
menegaskan pada keberadaan otot terbangnya, tetapi kemampuannya untuk terbang lama patut
dipertanyakan.124
Penemuan ini menggugurkan pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk setengah burung
yang tidak bisa terbang dengan baik.
Ditambah lagi, struktur bulu burung ini menjadi potongan bukti terpenting yang memperkuat bahwa
Archaeopteryx adalah burung yang benar-benar bisa terbang. Struktur bulu yang asimetris pada
Archaeopteryx tidak bisa dibedakan dari burung modern, dan menunjukkan bahwa Archaeopteryx bisa
terbang secara sempurna. Sebagai seorang ahli paleontologi terkenal, Carl O. Dunbar menyatakan, “Karena
bulunya, [Archaeopteryx] secara pasti mestinya dikelompokkan sebagai burung.” 125 Ahli paleontologi
Robert Carroll menjelaskan permasalahan ini lebih jauh:
Bentuk geometri dari bulu-bulu terbang Archaeopteryx adalah serupa dengan burung modern yang
bisa terbang, sementara burung yang tidak bisa terbang memiliki bulu-bulu yang simetris. Cara bulu-bulu
ini tersusun pada sayap juga termasuk dalam kisaran burung-burung modern… Menurut Van Tyne dan
Berger, ukuran dan bentuk relatif dari sayap Archaeopteryx mirip dengan yang dimiliki burung yang
bergerak di antara celah-celah pepohonan, seperti burung gallinaceous, merpati, woodcocks, burung
pelatuk, dan sebagian besar burung passerine … Bulu untuk terbang ini telah tidak berubah selama
sedikitnya 150 juta tahun…126
Kenyataan lain yang terungkap dari struktur bulu Archaeopteryx adalah bahwa hewan ini berdarah
panas. Seperti yang telah dibahas diatas, reptilia dan dinosaurus adalah hewan berdarah dingin yang suhu
tubuhnya naik turun mengikuti suhu lingkungannya, tidak diatur secara tetap. Satu fungsi sangat penting
dari bulu burung adalah menjaga suhu tubuh agar tetap. Kenyataan bahwa Archaeopteryx memiliki bulu
menunjukkan bahwa Archaeopteryx adalah benar-benar seekor burung berdarah panas yang perlu
mempertahankan suhu tubuhnya, sangat berbeda dengan dinosaurus.
Dua hal penting yang diandalkan oleh para ahli biologi evolusi ketika mereka menyatakan
Archaeopteryx sebagai bentuk peralihan, adalah cakar pada sayap burung itu dan giginya.
Memang benar bahwa Archaeopteryx memiliki cakar pada sayapnya dan gigi pada mulutnya, tetapi
ciri ini tidak berarti bahwa hewan ini memiliki hubungan dengan reptilia. Disamping itu, dua spesies
burung yang hidup sekarang ini, touraco dan hoatzin, memiliki cakar yang membuat mereka bisa
berpegangan pada dahan pohon. Hewan-hewan ini adalah burung sepenuhnya, tanpa ciri reptilia. Itulah
sebabnya sangatlah tidak berasalan untuk menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah bentuk peralihan
hanya karena cakar pada sayapnya.
Tidak pula gigi dalam paruh Archaeopteryx yang berarti bahwa hewan ini adalah bentuk peralihan.
Evolusionis telah salah ketika mengatakan bahwa gigi-gigi ini adalah ciri-ciri reptilia, karena gigi bukan
merupakan ciri khas dari reptilia. Saat ini, beberapa reptilia memiliki gigi sementara yang lain tidak. Lebih
jauh lagi, Archaeopteryx bukanlah satu-satunya spesies burung yang memiliki gigi. Memang benar bahwa
tidak ada burung bergigi yang hidup saat ini, tetapi ketika kita melihat pada rekaman fosil, kita melihat
bahwa selama masa Archaeopteryx dan sesudahnya, dan bahkan hingga hampir baru-baru ini, terdapat satu
kelompok burung yang bisa dikategorikan sebagai “burung dengan gigi.”
Hal terpenting adalah bahwa struktur gigi Archaeopteryx dan burung-burung yang mempunyai gigi
lainnya sangat berbeda dengan gigi yang dimiliki hewan yang dianggap sebagai nenek moyang mereka,
yaitu dinosaurus. Ahli Ornitologi terkenal, L.D. Martin, J.D. Stewart, dan K.N. Whetstone meneliti bahwa
Archaeopteryx dan burung-burung sejenis lainnya memiliki gigi tak berceruk dengan dasar sempit dan
berakar luas. Sementara gigi dinosaurus theropoda, yang dianggap sebagai nenek moyang burung ini,
bergerigi dengan akar yang lurus.127 Para peneliti ini juga membandingkan tulang pergelangan kaki
Archaeopteryx dengan yang dimiliki oleh hewan yang dianggap sebagai nenek moyang mereka,
dinosaurus, dan tidak menemukan adanya kesamaan di antara mereka.128
Studi yang dilakukan oleh ahli anatomi seperti S. Tarsitano, M.K. Hecht, dan A.D. Walker telah
mengungkapkan bahwa beberapa persamaan yang terlihat oleh John Ostrom dan yang lainnya antara
tungkai Archaeopteryx dengan dinosaurus pada kenyataannya adalah kesalahan penafsiran. 129 Sebagai
contoh, A.D. Walker telah menganalisa bagian telinga dari Archaeopteryx dan menemukan bahwa ia
sangat mirip dengan yang dimiliki burung-burung modern.130
Lebih jauh lagi, J. Richard Hinchliffe, dari Institute of Biological Sciences pada University of
Wales, mempelajari anatomi burung dan reptilia yang dianggap sebagai nenek moyangnya dengan
menggunakan teknik isotop moderen dan menemukan bahwa tiga jari tungkai depan dari dinosaurus adalah
I-II-III, sementara jari sayap burung adalah II-III-IV. Hal ini menjadi masalah besar bagi para pendukung
mata rantai Archaeopteryx-dinosaurus.131 Hinchliffe menerbitkan kajian dan pengamatannya dalam majalah
Science pada tahun 1997, di mana ia menulis:
Keraguan tentang homologi antara jari theropoda dan burung mengingatkan kita pada beberapa
permasalahan dalam hipotesis “berasal dari-dinosaurus.” Ini meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) Tungkai
depan theropoda yang jauh lebih kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) jika dibandingkan dengan sayap
Archaeopteryx. Tungkai sekecil itu tidak meyakinkan sebagai bakal sayap bagi asal mula terbang
dinosaurus yang relatif besar. (ii) Jarangnya ditemukan pada theropoda tulang pergelangan semilunate,
hanya diketahui pada empat spesies (termasuk Deinonychus). Kebanyakan theropoda mempunyai banyak
bagian penyusun pergelangan, yang sulit untuk dicari padanannya dengan yang dimiliki Archaeopteryx.
(iii) Adanya paradoks waktu karena kebanyakan dinosaurus theropoda dan khususnya domaeosaurus yang
mirip burung semuanya muncul dalam rekaman fosil jauh setelah Archaeopteryx.
Seperti yang ditulis Hinchliffe, “paradoks waktu” adalah salah satu kenyataan yang memberikan
pukulan telak pada anggapan para evolusionis tentang Archaeopteryx. Dalam bukunya Icons of Evolution,
ahli biologi Amerika Jonathan Wells mengatakan bahwa Archaeopteryx telah menjadi “simbol” bagi teori
evolusi, sementara bukti dengan jelas menunjukkan bahwa hewan ini bukan nenek moyang primitif
burung. Menurut Wells, salah satu petunjuk dalam hal ini adalah bahwa dinosaurus theropoda—yang
dianggap sebagai nenek moyang Archaeopteryx—sebenarnya lebih muda dari pada Arhcaeopteryx:
”Reptilia berkaki dua yang berlari di atas tanah, dan memiliki ciri-ciri lain yang diharapkan ada pada nenek
moyang Archaeopteryx, [ternyata] muncul lebih kemudian.”132
Semua penemuan ini menunjukkan bahwa Archaeopteryx bukanlah mata rantai peralihan, melainkan
hanyalah sejenis burung yang termasuk dalam kelompok “burung bergigi.” Menghubungkan hewan ini
dengan dinosaurus theropoda sama sekali tidaklah berdasar. Dalam sebuah artikel yang berjudul “The
Demise of the 'Birds Are Dinosaurs' Theory” ahli biologi Amerika Richard L. Deem menulis tentang
Archaeopteryx dan pernyataan evolusi burung-dinosaurus sebagai berikut:
Hasil dari kajian terbaru menunjukkan bahwa tangan dinosaurus theropoda berasal dari jari I, II, dan
III, sedangkan sayap burung, walaupun terlihat mirip dalam hal struktur, sebenarnya berasal dari jari II, III,
IV… Ada permasalahan lain dengan teori “burung adalah dinosaurus.” Tungkai depan theropoda lebih
kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) daripada Archaeopteryx. “Bakal-sayap” yang kecil dari theropoda
tidaklah begitu meyakinkan, khususnya mengingat besarnya bobot dari dinosaurus ini. Sebagian besar dari
theropoda tidak memiliki tulang pergelangan semilunate, dan memiliki banyak unsur penyusun
pergelangan yang lain yang tidak ada hubungan padanannya dengan tulang-tulang Archaeopteryx. Sebagai
tambahan, pada hampir semua theropoda, saraf V1 keluar dari tengkorak melalui samping, bersama dengan
beberapa saraf yang lain, sementara pada burung, saraf-saraf ini keluar dari depan tengkorak, melalui
lubang khusus. Ada juga permasalahan kecil karena sebagian besar theropoda muncul setelah kemunculan
dari Archaeopteryx.133
Beberapa fosil yang baru ditemukan juga menyangkal skenario evolusionis berkenaan dengan
Archaeopteyx dalam sisi yang lain.
Lianhai Hou dan Zhonghe Zhou, dua ahli paleontologi di Chinese Institute of Vertebrate
Paleontology, menemukan fosil burung baru pada tahun 1995, dan menamakannya Confuciusornis. Fosil
ini hampir seumur dengan Archaeopteryx (sekitar 140 juta tahun), tetapi tidak memiliki gigi dalam
mulutnya. Selain itu, paruh dan sayapnya memiliki struktur yang sama dengan burung masa kini.
Confuciusornis memiliki struktur rangka yang sama dengan burung modern, tetapi juga memiliki cakar
pada sayapnya, sama seperti Archaeopteryx. Struktur lainnya yang khas pada burung yang disebut
“pigostil,” yang menopang bulu-bulu ekor, juga ditemukan pada Confuciusornis.134 Singkatnya, fosil ini—
yang seumur dengan Archaeopteryx, yang sebelumnya dianggap sebagai burung pertama dan diterima
sebagai semi-reptilia—terlihat sangat mirip dengan burung modern. Kenyataan ini telah menggugurkan
semua pemikiran evolusionis yang menyatakan Archaeopteryx sebagai nenek moyang primitif dari semua
burung.
Satu lagi fosil yang tergali di Cina menimbulkan kebingungan yang lebih besar lagi. Pada November
1996, adanya burung yang berumur 130 juta tahun yang disebut Liaoningornis diumumkan di majalah
Science oleh L. Hou, dan Alan Feduccia. Liaoningornis memiliki tulang dada tempat melekatnya otot-otot
untuk terbang, sama seperti pada burung modern.135 Burung ini tidak bisa dibedakan dari burung modern
dalam hal yang lain juga. Satu-satunya perbedaan adalah adanya gigi dimulutnya. Ini menunjukkan bahwa
burung dengan gigi tidak memiliki struktur primitif seperti anggapan para evolusionis. Bahwa
Liaoningornis memiliki ciri-ciri burung modern dinyatakan dalam sebuah artikel pada majalah Discover,
yang mengatakan, “Kapankah burung muncul? Fosil ini menunjukkan bahwa bururng tidaklah berasal dari
stok dinosaurus.”136
Fosil lain yang membantah pernyataan evoluisionis berkenaan dengan Archaeopteryx adalah
Eoalulavis. Struktur sayap Eoalulavis, yang dikatakan 25 sampai 30 juta tahun lebih muda dari
Archaeopteryx, juga teramati pada burung modern yang terbang-lambat. 137 Ini membuktikan bahwa 120
juta tahun yang lalu, terdapat burung yang tidak bisa dibedakan dengan burung modern dalam banyak hal,
terbang di udara.
Kenyataan ini sekali lagi menunjukkan dengan pasti bahwa baik Archaeopteryx maupun burung
purba lain yang mirip dengannya bukanlah bentuk peralihan. Fosil-fosil ini tidak menunjukkan bahwa
spesies burung yang berbeda berevolusi dari satu sama lain. Sebaliknya, rekaman fosil membuktikan
bahwa burung modern masa kini dan beberapa burung purba seperti Archaeopteryx sebenarnya hidup pada
saat yang sama. Memang benar bahwa beberapa dari spesies burung ini, seperti Archaeopteryx dan
Confuciusornis, telah punah, tetapi kenyataan bahwa hanya beberapa spesies yang pernah hidup masih
mampu bertahan hidup hingga saat ini tidak dengan sendirinya mendukung teori evolusi.
Tidak mampu menemukan apa yang mereka cari dari Archaeopteryx, para penganjur teori evolusi
menggantungkan harapan mereka pada fosil lain pada tahun 1990 dan sejumlah laporan yang disebut fosil
“burung-dino” muncul di media-media Internasional. Belakangan diketahui bahwa pernyataan ini hanyalah
kesalahan penafsiran, atau lebih buruk lagi, pemalsuan.
Pernyataan burung-dino pertama adalah cerita tentang “fosil dinosaurus berbulu ditemukan di Cina,”
yang terjadi pada tahun 1996 dengan liputan media yang menghebohkan. Sebuah fosil reptilia yang disebut
Sinosauropteryx telah ditemukan, tetapi beberapa ahli paleontolgi yang menguji fosil tersebut mengatakan
bahwa fosil ini memiliki bulu-bulu burung, tidak seperti reptilia modern. Pengujian yang dilakukan setahun
kemudian, akan tetapi, menunjukkan bahwa fosil ini sebenarnya tidak memiliki struktur yang mirip dengan
bulu burung. Sebuah artikel dalam Science yang berjudul “Mencabuti Dinosaurus Berbulu” menyatakan
bahwa struktur yang dinamakan “sayap” oleh ahli paleontologi evolusionis secara pasti tidak ada
hubungannya dengan bulu:
Tepat setahun yang lalu, ahli paleontologi dikejutkan dengan sebuah foto “dinosaurus berbulu,”
yang diedarkan ke seluruh aula pada pertemuan Perkumpulan Paleontologi Vertebrata. Spesimen
Sinosauropteryx dari fosmasi Yixian di Cina ini dimuat pada halaman depan New York Times, dan telah
digambarkan oleh beberapa orang sebagai menegaskan asal usul burung dari dinosaurus. Tetapi pada
pertemuan Paleontologi Vertebrata di Chicago tahun ini akhir bulan lalu, kesimpulan yang diambil sedikit
berbeda. Struktur tersebut bukanlah sayap modern, kata sekitar setengah lusin ahli paleontologi barat yang
telah melihat spesimen tersebut. …Ahli paleontologi Larry Martin dari Kansas University, Lawrence,
berpikir bahwa struktur tersebut adalah serat kolagen yang tercerabut di bawah kulit—dan karenanya tidak
ada hubungannya dengan burung.138
Kasus yang lebih sensasional dari burung-dino muncul pada tahun 1999. Pada edisi November 1999,
National Geographic menurunkan sebuah artikel tentang spesimen fosil yang tergali di Cina yang
dinyatakan memiliki ciri-ciri burung dan dinosaurus. Penulis National Geographic, Christopher P. Sloan,
penulis artikel tersebut, melangkah demikian jauh dengan menyatakan, “kita sekarang bisa mengatakan
bahwa burung adalah theropoda dengan keyakinan yang sama ketika kita mengatakan bahwa manusia
adalah mamalia.” Spesies ini, yang dikatakan pernah hidup 125 juta tahun yang lalu, segera diberi nama
ilmiah Archaeoraptor liaoningensis.139
Akan tetapi, fosil ini adalah palsu dan telah dengan terampil disusun dari lima spesimen yang
terpisah. Sekelompok peneliti, di antara mereka terdapat tiga orang ahli paleontologi, membuktikan
pemalsuan ini setahun kemudian dengan bantuan tomography hasil perhitungan dengan sinar X. Burung-
dino sebenarnya adalah hasil kerja para evolusionis Cina. Para amatir Cina menyusun burung-dino dengan
menggunakan lem dan semen dari 88 tulang dan batu. Peneliti menduga bahwa Archaeoraptor dibentuk
dari bagian depan rangka burung purba, sedangkan tubuh dan tulang ekornya diambil dari empat spesimen
yang berbeda.
Menariknya, National Geographic menurunkan sebuah artikel penting tentang pemalsuan kasar
semacam itu—dan lebih jauh lagi, menggunakannya sebagai dasar pernyataan bahwa skenario “evolusi
burung” telah terbukti—tanpa menunjukkan sedikitpun keraguan atau kehati-hatian dalam artikel tersebut.
Dr. Storrs Olson, dari Smithsonian Institute Natural History Museum yang terkenal di Amerika, kemudian
mengatakan bahwa ia sebelumnya telah memperingatkan National Geographic bahwa fosil ini adalah
palsu, tetapi pihak manajemen majalah tidak menghiraukannya. Menurut Olson, “National Geographic”
telah mencapai masa suramnya dengan menganut jurnalisme tabloid yang sensasional dan tidak terbukti
kebenarannya. “140
Dalam sebuah surat yang ditulisnya kepada Peter Raven dari National Geographic, Olson
menggambarkan dengan sangat rinci cerita sebenarnya dari “dinosaurus bersayap”, yang menjadi bahan
pembicaraan sejak dipublikasikannya dalam sebuah artikel pada National Geographic tahun 1998:
Sebelum penerbitan artikel “Dinosaurus Memperoleh Sayap” dalam National Geographic edisi Juli
1998, Lou Mazzatenta, fotografer untuk artikel Sloan, mengundang saya ke Perkumpulan National
Geographic untuk membahas fotonya atas fosil-fosil dari Cina dan untuk memberi komentar pada sudut
pandang yang diberikan pada cerita. Pada saat itu, saya mencoba menyampaikan kenyataan yang
mendukung kuat pandangan yang berbeda dengan apa yang akan dimunculkan oleh National Geographic,
tetapi akhirnya jelaslah bagi saya bhawa National Geographic tidak tertarik pada apapun selain dogma
umum bahwa burung telah berevolusi dari Dinosaurus.
Artikel Sloan menempatkan prasangka pada tataran baru dan sebagian besar mengandung informasi
yang tidak terbukti atau tak terdokumentasikan yang sekedar “membuat” berita daripada melaporkannya.
Pernyataan dangkalnya bahwa “sekarang kita bisa dengan yakin mengatakan bahwa burung adalah
theropoda sama yakinnya dengan kita mengatakan bahwa manusia adalah mamalia” bahkan tidak tampak
sebagai cerminan dari pandangan sebagian ilmuwan atau sekelompok ilmuwan, jadi ia menggambarkan
tidak lebih dari sekedar propaganda editorial. Pernyataan yang dibesar-besarkan ini telah disangkal oleh
kajian terbaru embriologi dan morfologi perbandingan, yang mana tentunya, tidak pernah diberitakan.
Akan tetapi yang lebih penting lagi, tidak satupun struktur-struktur yang digambarkan dalam artikel
Sloan sebagai bulu memang benar-benar terbukti sebagai bulu. Mengatakan bahwa itu adalah bulu tidak
lebih dari sekedar harapan yang dihadirkan sebagai kenyataan. Pernyataan pada halaman 103 bahwa
“struktur berongga, mirip rambut mencirikan bakal-bulu” adalah mengada-ada mengingat bahwa bakal-
bulu hanya ada sebagai gagasan teoritis, jadi struktur internalnya pun lebih merupakan perkiraan saja.
Propaganda tentang dinosaurus bersayap yang dipamerkan pada acara Perkumpulan National
Geographic bahkan lebih buruk, dan membuat pernyataan palsu yang menyatakan bahwa ada bukti kuat
bahwa berbagai dinosaurus karnivora memiliki sayap. Sebuah model dari dinosaurus sejati Deinonychus
dan ilustrasi dari bayi tyrannosaurus digambarkan tertuptup bulu, yang kesemuanya hanyalah imajinasi
belaka dan tidak memiliki tempat di luar fiksi ilmiah.
Hormat saya,
Storrs L. Olson
Kurator Burung
National Museum of Natural History
Smithsonian Institution141
Kasus yang membuka mata ini menampakkan dua kenyataan penting. Pertama, ada orang yang tidak
merasa ragu mengambil jalan pemalsuan dalam upaya menemukan bukti bagi teori evolusi. Kedua,
beberapa jurnal ilmiah populer ternama, yang telah mengambil misi untuk menanamkan teori evolusi
kepada masyarakat, tidak segan-segan mengenyampingkan berbgai fakta yang mungkin tidak sesuai atau
mempunyai penafsiran lain. Demikianlah, mereka telah menjadi tidak lebih dari sekedar alat propaganda
untuk menyebarkan teori evolusi. Mereka tidak mengambil sikap ilmiah, tetapi dogmatis, dan dengan sadar
melecehkan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan teori evolusi yang sangat mereka yakini.
Sisi penting lainnya dari permasalahan ini adalah bahwa tidak ada bukti bagi gagasan bahwa burung
telah berevolusi dari dinosaurus. Karena kurangnya bukti, bukti palsu pun dibuat, atau bukti sebenarnya
disalahtafsirkan. Pada kenyataannya, tidak ada bukti bahwa burung telah berevolusi dari spesies hidup
lainnya. Sebaliknya, semua penemuan menunjukkan bahwa burung telah muncul di muka bumi lengkap
dengan struktur tubuh mereka yang khas.
Seperti yang telah kami utarakan sebelumnya, teori evolusi mengajukan gagasan bahwa beberapa
makhluk khayalan muncul dari laut berubah menjadi reptilia, dan bahwa burung berevolusi dari reptilia.
Menurut skenario yang sama, reptilia bukan hanya nenek moyang bangsa burung, tetapi juga mamalia.
Akan tetapi, terdapat perbedaan besar antara dua kelompok ini. Mamalia adalah hewan berdarah panas (ini
berarti mereka bisa menghasilkan panas tubuh sendiri dan menjaganya pada tataran yang tetap), mereka
melahirkan, menyusui anak mereka, dan tubuh mereka ditutupi oleh bulu kulit atau rambut. Reptilia, disisi
lain, adalah hewan berdarah dingin (artinya, mereka tidak bisa menghaslkan panas tubuh sendiri, dan suhu
tubuh mereka berubah mengikuti suhu lingkungan luar), mereka bertelur, tidak menyusui anak mereka, dan
tubuh mereka ditutupi oleh sisik.
Dengan semua perbedaan ini, lalu, bagaimana reptilia mulai mengatur suhu tubuh mereka sendiri
dan memperoleh mekanisme berkeringat untuk memungkinkan menjaga suhu tubuh mereka sendiri?
Apakah mungkin reptilia mengganti sisik dengan bulu atau rambut dan mulai menghasilkan susu? Sebelum
teori evolusi menjelaskan asal usul mamalia, teori ini harus memberikan jawaban ilmiah atas pertanyaan-
pertanyaan ini.
Namun, ketika kita melihat sumber-sumber evolusionis, kita menemukan skenario yang benar-benar
khayalan dan tidak ilmiah, atau jika tidak, sebuah kebungkaman. Salah satu skenario ini adalah sebagai
berikut:
Beberapa reptilia di daerah dingin mulai mengembangkan cara untuk menjaga kehangatan tubuh
mereka. Keluaran panas tubuh mereka meningkat ketika dingin dan hilangnya panas tubuh mereka kurangi
ketika sisik-sisik menjadi lebih kecil dan memanjang, dan berevolusi menjadi rambut. Berkeringat adalah
salah satu adaptasi untuk menjaga suhu tubuh, suatu perlengkapan untuk mendinginkan tubuh ketika
dibutuhkan melalui penguapan air. Namun suatu ketika reptilia muda ini mulai menjilati keringat dari
induknya sebagai makanan. Kalenjar keringat tertentu mulai mengeluarkan zat-zat yang semakin
bermanfaat, yang pada akhirnya menjadi susu. Akhirnya anak-anak mamalia awal ini mempunyai
kesempatan hidup yang lebih baik.147
Kutipan diatas tidak lebih dari khayalan belaka. Skenario fantastis seperti ini tidak hanya tidak
didukung oleh bukti, ini juga jelaslah tidak mungkin. Sangat tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa
makhluk hidup menghasilkan nutrisi sedemikian kompleks seperti susu dengan menjilati keringat tubuh
induknya.
Alasan mengapa skenario seperti ini diajukan adalah kenyataan bahwa terdapat perbedaan yang
sangat besar antara reptilia dan mamalia. Salah satu contoh dari rintangan struktural antara reptilia
dengan mamalia adalah struktur rahang mereka. Rahang mamalia hanya mempunyai satu tulang
mandibular tempat melekatnya gigi. Pada reptilia, terdapat tiga tulang kecil pada kedua sisi mandibula. Sat
perbedaan mendasar lainnya adalah bahwa semua mamalia memiliki tiga tulang pada telinga bagian tengah
mereka (tulang martil, tulang sanggurdi, dan tulang landasan). Reptilia hanya memiliki satu tulang pada
telinga bagian tengah. Evolusionis menyatakan bahwa rahang reptilia dan telinga bagian tengah berevolusi
secara bertahap menjadi rahang dan telinga mamalia. Pertanyaan bagaimana telinga dengan satu tulang
berevolusi menjadi telinga dengan tiga tulang, dan bagaimana indera pendengaran tetap berfungsi saat
perubahan terjadi tidaklah pernah bisa dijelaskan. Tidak mengherankan, tidak ditemukan satu fosil pun
yang menghubungkan reptilia dengan mamalia. Inilah sebabnya mengapa penulis ilmiah terkenal
evolusionis, Roger Lewin, terpaksa mengatakan, “Peralihan menjadi mamalia pertama, …masih
merupakan teka-teki.”148
George Gaylord Simpson, salah seorang pakar terpenting evolusi dan seorang pendiri teori neo-
Darwinis, berkenaan dengan kesulitan yang membingungkan para evolusionis membuat komentar sebagai
berikut:
Peristiwa yang paling membingungkan dalam sejarah kehidupan di muka bumi adalah perubahan
dari Mesozoic, Jaman Reptilia, ke Jaman Mamalia. Seakan-akan tirai diturunkan secara mendadak
untuk menutup panggung di mana seluruh peran utama dimainkan oleh reptilia, terutama dinosaurus,
dalam jumlah besar dan keragaman yang menakjubkan, dan kemudian dinaikkan kembali untuk
memperlihatkan panggung yang sama tetapi dengan susunan pemain yang sepenuhnya baru, di mana
dinosaurus tidak muncul sama sekali, dan reptilia lain hanya sebagai figuran, dan semua peran utama
dimainkan berbagai jenis mamalia yang hampir tidak pernah disinggung dalam babak-babak
sebelumnya.149
Lebih jauh lagi, ketika mamalia secara tiba-tiba muncul, mereka telah sangat berbeda satu sama lain.
Hewan yang sedemikian berbeda seperti kelelawar, kuda, tikus dan paus adalah mamalia, dan mereka
semua muncul selama rentang geologis yang sama. Membuat suatu hubungan evolusi di antara mereka
adalah mustahil bahkan dengan khayalan yang luas sekalipun. Ahli zoologi evolusionis, R. Eric Lombard
menjelaskan hal ini dalam sebuah artikel yang muncul pada jurnal Evolution:
Mereka yang mencari informasi khusus yang berguna untuk membangun pohon kekerabatan
mamalia akan kecewa.150
Singkatnya, asal usul mamalia, seperti kelompok organisme yang lain, gagal bersesuaian dengan
teori evolusi dalam cara apapun. George Gaylord Simpson mengakui kenyataan tersebut bertahun-tahun
yang lalu:
Ini berlaku benar bagi 32 ordo mamalia… Anggota termuda dan paling primitif dari setiap ordo [dari
mamalia] telah memiliki ciri dasar aslinya, dan dalam hal apapun tidak merupakan urutan yang
berkelanjutan dari satu ordo ke ordo yang lain. Kadang kala perbedaan ini begitu tajam dan celahnya
begitu besar sehingga asal usul ordo lebih bersifat spekulatif dan sering diperdebatkan… Ketiadaan bentuk
peralihan yang sudah biasa ini tidak terbatas pada mamalia, tetapi ini adalah fenomena yang hampir
universal, yang telah lama teramati oleh para ahli paleontologi. Ini berlaku pada hampir semua kelas
hewan, baik vertebrata maupun invertebrata… ini berlaku pada kelompok kelas, dan pada filum utama
hewan, dan sepertinya berlaku juga pada pengelompokan yang sepadan dalam dunia tumbuh-tumbuhan.151
Satu subyek penting dalam asal-usul mamalia adalah mitos tentang “evolusi kuda,” yang juga
merupakan sebuah topik yang padanya publikasi evolusionis memberi perhatian luas untuk kurun waktu
yang lama. Ini adalah sebuah mitos, karena lebih didasarkan pada khayalan daripada temuan ilmiah.
Hingga baru-baru ini, urutan imajiner yang dimaksudkan untuk menggambarkan evolusi kuda telah
dimajukan sebagai bukti fosil utama bagi teori evolusi. Akan tetapi saat ini, banyak evolusionis sendiri
dengan jujur mengakui bahwa skenario evolusi kuda telah runtuh. Pada tahun 1980, sebuah simposium
empat hari digelar di Field Museum of Natural History di Chicago, dengan kehadiran 150 evolusionis,
untuk membahas permasalahan teori evolusi bertahap. Dalam sambutannya pada pertemuan ini,
evolusionis Boyce Rensberger memberi catatan bahwa skenario evolusi kuda tidak memiliki landasan
dalam rekaman fosil, dan tidak ada proses evolusi yang telah teramati yang mampu menjelaskan evolusi
kuda secara bertahap:
Contoh populer dari evolusi kuda, menunjukkan urutan perubahan bertahap dari hewan berkuku-
empat seukuran-rubah yang hidup sekitar 50 juta tahun yang lalu menjadi kuda masa kini yang lebih besar
dan berkuku-satu, telah lama diketahui keliru. Bertentangan dengan perubahan bertahap, fosil dari setiap
spesies peralihan muncul dengan sangat berbeda, tidak berubah bentuk, dan kemudian menjadi punah.
Bentuk peralihan tidak diketahui.152
Sementara membahas dilema penting dalam skenario evolusi kuda ini, dengan sangat jujur,
Rensberger membawa permasalahan bentuk peralihan ini ke dalam pembahasan sebagai permasalahan
terbesar.
Ahli paleontologi terkenal Colin Patterson, direktur dari Natural History Museum di London, tempat
diagram “evolusi kuda” sedang dipamerkan pada saat itu di lantai dasar museum, mengatakan hal berikut
ini tentang pajangan tersebut:
Telah begitu banyak cerita, sebagian lebih imajinatif daripada yang lain, tentang
bagaimanakah sebenarnya sejarah [kehidupan] itu,. Contoh yang paling terkenal, masih dipamerkan di
lantai bawah, adalah skema evolusi kuda yang dibuat barangkali 50 tahun lalu. Hal itu telah dihadirkan
sebagai kebenaran harfiah dalam berbagai buku acuan. Kini, saya pikir itu perlu disesali, terutama jika
mereka yang mengajukan cerita semacam itu sendiri menyadari adanya hal yang masih spekulatif pada
sebagian skema tersebut.153
Lalu, apa yang mendasari skenario evolusi kuda? Skenario ini dirumuskan melalui diagram yang
menipu yang dibuat dengan mengurutkan fosil-fosil spesies yang berbeda yang hidup pada jaman yang
sangat berlainan di India, Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Eropa, melulu hanya berdasarkan daya
imajinasi evolusionis yang kaya . Lebih dari 20 skema evolusi kuda, yang sebenarnya sama sekali berbeda
satu sama lain, telah diajukan oleh berbagai peneliti. Jadi, jelaslah bahwa evolusionis tidak mencapai
kesepakatan dalam hal silsilah ini. Satu-satunya persamaan di antara skema ini adalah keyakinan bahwa
makhluk seukuran anjing yang disebut Eohippus (Hyracotherium), yang pernah hidup pada Jaman Eocene
55 juta tahun yang lalu, adalah nenek moyang kuda. Namun demikian, kenyataannya adalah bahwa
Eohippus, yang telah punah jutaan tahun yang lalu, sangat mirip dengan hyrax, hewan kecil mirip kelinci
yang masih hidup di Afrika dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kuda.154
Ketidakkonsistenan dari teori evolusi kuda semakin bertambah jelas sejalan dengan semakin
banyaknya penemuan-penemuan fosil. Fosil dari spesies kuda modern (Equus nevadensis dan Equus
occidentalis) telah ditemukan pada lapisan yang sama dengan Eohippus.155 Ini adalah petunjuk bahwa kuda
modern dan hewan yang dikatakan nenek moyangnya hidup pada waktu yang sama.
Penulis ilmiah evolusionis Gordon R. Taylor menjelaskan kebenaran yang jarang diakui ini dalam
bukunya, The Great Evolution Mysteri:
Namun barangkali kelemahan yang paling serius dari Darwinisme adalah kegagalan ahli
paleontologi untuk menemukan filogeni yang meyakinkan atau urutan dari organisme yang
memperlihatkan perubahan evolusi besar… Kuda sering dirujuk sebagai satu-satunya contoh yang lengkap.
Tetapi kenyataannya adalah bahwa silsilah dari Eohippus ke Equus sangatlah tidak bisa diandalkan.
Silsilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan pertambahan ukuran yang berurutan, tetapi sejatinya
sebagian malah lebih kecil dari Eohippus, tidak lebih besar. Spesimen-spesimen dari berbagai sumber bisa
disusun dalam sebuah urutan yang terlihat meyakinkan, tetapi tidak terdapat bukti kalau sebenarnya
mereka berada dalam urutan seperti itu pada masa [hidupnya].156
Semua kenyataan ini adalah bukti kuat bahwa skema evolusi kuda, yang dihadirkan sebagai salah
satu bukti paling kokoh bagi Darwinisme, tidak lain hanyalah dongeng fantastik dan tidak masuk akal.
Seperti spesies lainnya, kuda juga muncul tanpa nenek moyang dalam pengertian evolusi.
Salah satu makhluk paling menarik dalam kelas mamalia, tak diragukan lagi, adalah sang mamalia
terbang, kelelawar.
Di puncak urutan ciri khas kelelawar adalah sistem “sonar” kompleks yang mereka miliki. Berkat
ini, kelelawar bisa terbang dalam kegelapan yang pekat, tidak bisa melihat apapun, tetapi mampu
melakukan gerakan yang sangat sulit. Mereka bahkan bisa mengindera dan menangkap seekor ulat di lantai
ruangan yang gelap.
Sonar kelelawar bekerja sebagai berikut. Binatang ini secara terus menerus memancarkan aliran
sinyal suara berfrekuensi tinggi, mencerna pantulan dari sinyal suara ini, dan sebagai hasilnya membentuk
gambaran detail mengenai lingkungan di sekitarnya. Lebih jauh lagi, ia mampu melakukan semua ini
dengan kecepatan yang luar biasa, terus menerus dan tidak pernah keliru sambil terbang di udara.
Penelitian pada sistem sonar kelelawar bahkan telah menelurkan hasil yang lebih mengejutkan.
Kisaran frekuensi yang bisa didengar binatang ini sangat sempit, dengan kata lain kelelawar hanya bisa
mendengar suara dengan frekuensi tertentu, yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan yang sangat
penting. Karena suara yang menumbuk benda bergerak berubah frekuensinya (“efek Doppler” yang
terkenal itu), saat kelelawar mengirim sinyal pada seekor lalat, katakanlah, yang bergerak menjauh darinya,
gelombang suara yang dipantulkan dari lalat seharusnya memiliki frekuensi yang berbeda yang tidak bisa
didengar oleh kelelawar. Karena alasan ini, kelelawar seharusnya mengalami kesulitan besar dalam
mengindera benda-benda yang bergerak.
Namun hal ini tidak terjadi. Kelelawar masih saja mampu menangkap segala jenis binatang kecil
yang bergerak cepat tanpa kesulitan sama sekali. Alasannya adalah bahwa kelelawar mengatur frekuensi
gelombang suara yang dikirimnya ke benda yang bergerak dalam lingkungannya seolah-olah ia paham
betul tentang efek Doppler. Sebagai contoh, kelelawar mengirim sinyal suara berfrekuensi tinggi ke arah
seekor lalat yang bergerak menjauh darinya, jadi pada saat sinyal tersebut kembali, frekuensinya tidak
berada di bawah ambang batas pendengaran binatang ini.
Lalu bagaimana pengaturan ini terjadi?
Ada dua kelompok neuron (sel saraf) dalam otak kelelawar yang mengatus sistem sonar. Salah
satunya menerima pantulan gelombang ultrasonik, dan satu lagi memberikan instruksi pada otot-otot untuk
menghasilkan suara pemantul lokasi. Bagian-bagian dalam otak ini bekerja bersama, sedemikian rupa
hingga jika frekuensi dari pantulan berubah, bagian pertama merasakan hal ini, dan memperingatkan
bagian yang satu lagi, membuatnya mampu mengubah frekuensi dari suara yang dikeluarkan berdasarkan
pantulan tersebut. Alhasil, frekuensi suara ultrasonik kelelawar berubah sesuai dengan lingkungannya, dan
sistem sonar sebagai satu kesatuan digunakan dengan seefisien mungkin.
Tidak mungkin kita menutup mata pada pukulan telak yang diberikan sistem sonar kelelawar atas
teori evolusi bertahap melalui mutasi acak. Ini adalah struktru yang sangat kompleks, dan tidak mungkin
dihasilkan oleh mutasi secara kebetulan. Supaya sistem ini berfungsi sepenuhnya, semua penyusunnya
harus bekerja sama dengan sempurna sebagai satu kesatuan. Adalah tidak masuk akal untuk mempercayai
bahwa sistem sedemikian terpadu ini bisa dijelaskan dengan kebetulan; Sebaliknya, kenyataan ini
sebenarnya menunjukkan bahwa kelelawar diciptakan tanpa cacat.
Bahkan rekaman fosil juga mendukung bahwa kelelawar mucul secara tiba-tiba dan dengan struktur
kompleks seperti yang ada saat ini. Dalam bukunya Bats: A Natural History, ahli paleontologi evolusi John
E. Hill dan James D. Smith mengungkap kenyataan ini dalam pengakuannya sebagai berikut:
Rekaman fosil dari kelelawar ditemukan hingga dari awal Eocene… dan telah didokumentasikan…
pada lima benua … Semua fosil kelelawar, bahkan yang tertua sekalipun, jelaslah merupakan
kelelawar yang telah berkembang sepenuhnya dan mereka tidak banyak memberi petunjuk atas
peralihan dari hewan darat nenek moyang mereka.157
Dan ahli paleontologi evolusi, L. R. Godfrey, dalam hal yang sama berkata sebagai berikut:
Ada beberapa fosil kelelawar Jaman Tersier Awal yang terawetkan dengan baik, seperti
Icaronycteris index, tetapi Icaronycteris tidak menunjukkan apapun tentang evolusi terbang pada kelelawar
karena ia adalah kelelawar terbang yang sempurna.158
Ilmuwan evolusionis, Jeff Hecht, mengakui permasalahan yang sama pada sebuah artikel New
Scientist tahun 1998:
Asal usul kelelawar telah menjadi teka-teki. Bahkan fosil kelelawar paling awal, dari sekitar 50 juta
tahun yang lalu, telah memiliki sayap yang benar-benar mirip dengan kelelawar moderen.159
Singkatnya, sistem tubuh kompleks kelelawar ini tidak mungkin muncul melalui mekanisme evolusi,
dan rekaman fosil menunjukkan bahwa hal semacam itu tidak terjadi. Sebaliknya, kelelawar pertama yang
muncul di muka bumi adalah sama persis dengan yang ada saat ini. Kelelawar selalu ada sebagai
kelelawar.
Asal usul Mamalia Laut
Paus dan lumba-lumba termasuk dalam kelompok mamalia laut yang dikenal sebagai Cetacea.
Makhluk ini dikelompokkan sebagai mamalia karena, sebagaimana mamalia darat, mereka melahirkan dan
merawat anak mereka, mereka memiliki paru-paru untuk bernafas, dan mereka mengatur suhu tubuh
mereka sendiri. Bagi evolusionis, asal usul mamalia laut telah menjadi salah satu permasalahan tersulit
untuk dijelaskan. Dalam berbagai sumber evolusionis, dinyatakan bahwa nenek moyang cetacea
meninggalkan daratan dan kemudian berevolusi menjadi mamalia laut dalam kurun waktu yang lama.
Berdasarkan hal ini, mamalia laut menempuh jalur yang bertentangan dengan peralihan dari air ke darat,
dan menjalani proses evolusi ke dua, kembali ke air. Kedua teori ini tidak memiliki bukti paleontologis dan
saling bertentangan. Karenanya, evolusionis telah bungkam dalam permasalahan ini untuk waktu yang
lama.
Akan tetapi, publikasi evolusinis tentang mamalia laut muncul secara besar-besaran pada tahun 90-
an, dinyatakan sebagai berlandaskan atas beberapa penemuan fosil baru pada tahun 80-an seperti Pakicetus
dan Ambulocetus. Mamalia daratan berkaki empat yang telah punah ini diakui sebagai nenek moyang paus
dan karenanya banyak sumber evolusionis tanpa ragu-ragu menyebutnya sebagai “paus berjalan.” (Bahkan
nama lengkapnya, Ambulocetus natans, berarti “paus yang berjalan dan berenang.”) Indoktrinasi
evolusionis dengan cara populer semakin mengada-adakan cerita ini. Edisi November 2001 National
Geographic akhirnya mengumumkan keseluruhan skenario evolusionis mengenai “evolusi paus.”
Meskipun demikian, skenario tersebut dilandasi oleh prasangka evolusionis, bukan dengan bukti
ilmiah.
Kesimpulan
Semua penemuan yang telah kita telaah sejauh ini mengungkap bahwa spesies muncul di muka bumi
secara tiba-tiba dan sempurna, tanpa ada proses evolusi terlebih dahulu. Jika memang demikian, maka
inilah bukti nyata bahwa makhluk hidup telah diciptakan, seperti yang telah diakui oleh ahli biologi
evolusio Douglas Futuyama. Ingat ketika ia menulis: “Jika mereka memang muncul dalam keadaan yang
telah berkembang sempurna, mereka tentunya telah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang Maha
Kuasa.”171 Evolusionis, di lain pihak, mencoba menafsirkan urutan kemunculan makhluk hidup di muka
bumi sebagai bukti evolusi. Namun, karena proses evolusi semacam itu tidak pernah terjadi, urutan ini
hanya bisa diartikan sebagai suatu urutan penciptaan. Fosil-fosil mengungkap bahwa makhluk hidup
muncul di muka bumi pertama kali di laut, dan kemudian di daratan, diikuti oleh kemunculan manusia,
yang memiliki desain yang sempurna dan di atas semuanya.
KETIDAKABSAHAN PUNCTUATED
EQUILIBRIUM
Dalam bab sebelumnya, kita menelaah bagaimana rekaman fosil dengan jelas membantah hipotesis
teori Darwinis. Kita melihat bahwa berbagai kelompok makhluk hidup muncul secara tiba-tiba dalam
rekaman fosil, dan tetap sama selama jutaan tahun tanpa mengalami perubahan apapun. Penemuan besar
paleontologi ini menunjukkan bahwa makhluk hidup ada tanpa proses evolusi sebelumnya.
Fakta ini telah diabaikan selama bertahun-tahun oleh ahli paleontologi, yang tetap berharap bahwa
“bentuk peralihan” khayalan suatu hari akan ditemukan. Pada tahun 1970-an, beberapa ahli paleontolgi
menyadari bahwa ini adalah harapan tanpa dasar dan “celah” yang ada dalam rekaman fosil harus diterima
sebagai sebuah kenyataan. Namun demikian, karena para ahli paleontologi ini tidak mampu melepaskan
teori evolusi, mereka mencoba menjelaskan kenyataan ini dengan mengubah teori tersebut. Dengan
demikian lahirlah model evolusi “punctuated equilibrium (keseimbangan yang terganggu)”, yang
berbeda dari neo-Darwinisme dalam beberapa hal.
Model ini mulai dipromosikan secara gencar pada permulaan tahun 1970-an oleh ahli paleontoligi
Stephen Jay Gould dari Harvard University dan Niles Eldredge dari American Museum of Natural History.
Mereka menyimpulkan bahwa bukti yang dihadirkan oleh rekaman fosil menampakkan dua ciri dasar
yaitu:
1. Stasis (Kesetimbangan)
2. Kemunculan tiba-tiba172
Untuk menjelaskan dua fakta ini dengan teori evolusi, Gould dan Eldredge menyarankan bahwa
spesies hidup muncul tidak melalui serangkaian perubahan kecil, seperti yang dinyatakan Darwin, tetapi
melalui perubahan yang besar dan tiba-tiba.
Teori ini sebenarnya sebuah bentuk modifikasi dari teori “Monster yang menjanjikan” yang
diajukan oleh ahli paleontologi Jerman, Otto Schindewolf, pada tahun 1930-an. Schindewolf berpendapat
bahwa makhluk hidup berevolusi, tidak seperti yang diajukan oleh neo-Darwinisme, secara bertahap
melalui mutasi-mutasi kecil, tetapi secara tiba-tiba melaui mutasi raksasa. Ketika memberikan contoh bagi
teorinya, Schindewolf menyatakan bahwa burung pertama dalam sejarah telah muncul dari sebuah telur
reptil melalui mutasi yang sangat besar—dengan kata lain, melalui sebuah perubahan besar yang tidak
disengaja dalam struktur genetis.173 Menurut teori ini, beberapa hewan darat mungkin secara tiba-tiba
berubah menjadi paus raksasa melalui perubahan menyeluruh yang mereka alami. Teori Schindewolf yang
fantastis ini telah diterima dan dipertahankan oleh ahli genetika di Berkeley University, Richard
Goldschmidt. Tetapi teori ini sungguh tidak konsisten sehingga menyebabkannya dengan cepat diabaikan.
Faktor yang membuat Gould dan Eldredge mengambil kembali teori ini adalah, seperti yang telah
kita buktikan, bahwa rekaman fosil tidak sesuai dengan gagasan Darwinistik tentang evolusi setahap demi
setahap melalui perubahan kecil. Fakta adanya stasis dan kemunculan tiba-tiba dalam rekaman fosil
didukung secara empiris dengan sungguh baik sehingga mereka terpaksa harus kembali ke versi yang lebih
baik dari teori “monster yang menjanjikan” untuk menjelaskan keadaan tersebut. Artikel terkenal Gould
berjudul “Kembalinya Monster yang Menjanjikan” adalah sebuah pernyataan atas kemunduran yang
diharuskan ini.174
Tentunya, Gould dan Eldredge tidak mengulang begitu saja teori fantastis Schindewolf. Untuk
memberikan penampilan yang “ilmiah” bagi teori ini, mereka mencoba mengembangkan semacam
mekanisme bagi lompatan evolusi yang tiba-tiba ini. (Istilah yang menarik, “punctuated equilibrium,” yang
mereka pilih untuk teori ini adalah sebuah tanda dari perjuangan untuk memberikan teori ini pulasan
ilmiah) Pada tahun-tahun berikutnya, teori Gould dan Eldredge diterima dan disebarluaskan oleh beberapa
ahli paleontologi yang lain. Akan tetapi, teori evolusi punctuated equilibrium ini berlandaskan pada hal
yang lebih bertentangan dan tidak konsisten daripada teori evolusi neo-Darwinis.
Kesimpulan
Penemuan-penemuan ilmiah tidak mendukung pernyataan teori evolusi punctuated equilibrium.
Pernyataan bahwa organisme dalam populasi kecil bisa berevolusi dengan cepat melalui mutasi makro
sebenarnya bahkan kurang meyakinkan daripada model evolusi yang diajukan oleh kebanyakan neo-
Darwinis.
Lalu, mengapa teori ini menjadi begitu populer dalam tahun-tahun belakangan? Pertanyaan ini bisa
dijawab dengan melihat pada perdebatan di antara komunitas Darwinis. Hampir semua pendukung teori
evolusi punctuated equilibrium adalah ahli paleontologi. Kelompok ini, dipimpin oleh beberapa ahli
paleontologi terkenal semacam Steven Jay Gould, Niles Eldredge, dan Steven M. Stanley, yang melihat
dengan jelas bahwa rekaman fosil menyangkal teori evolusi. Akan tetapi, mereka teah mengkondisikan diri
mereka sendiri untuk percaya pada evolusi, apapun masalahnya. Jadi dengan alasan ini mereka beralih
kepada teori punctuated equilibrium sebagai satu-satunya cara untuk menjelaskan, meskipun hanya
sebagian, fakta-fakta rekaman fosil.
Di sisi lain, ahli genetika, ahli zoologi, dan anatomi melihat bahwa tidak terdapat mekanisme di
alam yang bisa menghasilkan adanya “punctuatios (gangguan),” dan dengan alasan ini mereka bersikeras
mempertahankan model evolusi bertahap Darwinis. Ahli zoologi dari Oxford University, Richard
Dawkins, mengkritik dengan keras para pendukung model evolusi punctuated equilibrium, dan menuduh
mereka telah “menghancurkan kredibilitas teori evolusi.”
Hasil dari dialog orang-orang tuli ini adalah krisis ilmiah yang kini dihadapi teori evolusi. Kita
berurusan dengan mitos evolusi yang tidak sesuai dengan pengamatan atau penelitian, dan penemuan-
penemuan paleontologis. Setiap penggagas evolusionis mencoba mencari dukungan bagi teori ini dari
bidang keahlian masing-masing, tetapi kemudian menemui pertentangan dengan penemuan-penemuan dari
cabang ilmu pengetahuan yang lain. Beberapa orang mencoba memoles kebingungan ini dengan komentar-
komentar dangkal semacam “ilmu pengetahuan berkembang melalui pertentangan akdemis semacam ini.”
Akan tetapi, permasalahannya bukanlah bahwa semangat pertarungan para pelaku perdebatan ini dibawa
untuk menemukan teori ilmiah yang benar, tetapi permasalahan adalah bahwa spekulasi diutamakan secara
dogmatis dan tidak masuk akal untuk mempertahankan secara keras kepala teori yang jelas sekali salah.
Namun demikian, penggagas teori punctuated equilibrium tanpa disadari telah membuat suatu peran
penting bagi ilmu pengetahuan: Mereka telah menunjukkan dengan jelas bahwa rekaman fosil
bertentangan dengan konsep evolusi. Philip Johnson, salah satu pengkritik teori evolusi terkemuka di
dunia, telah menggambarkan Stephen Jay Gould, salah satu penggagas terpenting teori punctuated
equilibrium, sebagai “Gorbachev-nya Darwinisme.”180 Gorbachev berpikir bahwa ada kecacatan dalam
sistem tata negara Komunis Uni Soviet dan mencoba “mereformasi” sistem tersebut. Akan tetapi, masalah
yang Ia pikir cacat sebenarnya fundamental bagi sistem itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa komunisme
runtuh di tangannya.
Nasib yang sama akan segera terjadi pada Darwinisme dan model evolusi yang lain.
ASAL USUL MANUSIA
Darwin mengajukan penyataannya bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang yang
sama dalam bukunya The Descent of Man, terbitan tahun 1871. Sejak saat itu hingga sekarang, para
pengikut jalan Darwin telah mencoba mendukung pernyataannya. Tatapi meskpun berbagai penelitian
telah dilakukan, pernyataan mengenai “evolusi manusia” tidak didukung oleh penemuan ilmiah yang
nyata, khususnya dalam hal fosil.
Kebanyakan masyarakat awam tidak menyadari kenyataan ini, dan berfikir bahwa pernyataan
evolusi manusia didukung oleh banyak bukti yang kuat. Penyebab adanya opini yang keliru ini adalah
bahwa permasalahan ini sering dibahas dalam media dan dihadirkan sebagai fakta yang terbukti. Tetapi
yang benar-benar ahli dalam masalah ini menyadari bahwa tidak ada landasan ilmiah bagi pernyataan
evolusi manusia. David Pilbeam, ahli paleoanthropologi dari Harvard University, mengatakan:
Jika Anda mengundang seorang ilmuwan dari bidang ilmu yang lain dan menunjukkan padanya
sedikitnya bukti yang kita miliki ia tentu akan mengatakan, “Lupakan saja; itu tidak cukup untuk
diteruskan.”181
Dan William Fix, seorang penulis sebuah buku penting dalam bidang paleoanthropologi,
berkomentar:
Seperti yang telah kita lihat, ada banyak ilmuwan dan orang-orang populer saat ini yang memiliki
nyali untuk mengatakan bahwa ‘tidak ada keraguan’ tentang bagaimana manusia berasal. Jika saja mereka
memiliki bukti…182
Pernyataan evolusi ini, yang “miskin akan bukti,” memulai pohon kekerabatan manusia dengan satu
kelompok kera yang telah dinyatakan membentuk satu genus tersendiri, Australopithecus. Menurut
pernyataan ini, Australopithecus secara bertahap mulai berjalan tegak, otaknya membesat, dan ia melewati
serangkaian tahapan hingga mencapai tahapan manusia sekarang (Homo sapiens). Tetapi rekaman fosil
tidak mendukung skenario ini. Meskipun dinyatakan bahwa semua bentuk peralihan ada, terdapat
rintangan yang tidak dapat dilalui antara jejak fosil manusia dan kera. Lebih jauh lagi, telah terungkap
bahwa spesies yang digambarkan sebagai nenek moyang satu sama lain sebenarnya adalah spesies masa itu
yang hidup pada periode yang sama. Ernst Mayr, salah satu pendukung utama teori evolusi abad ke-20,
berpendapat dalam bukunya One Long Argument bahwa “khususnya [teka-teki] bersejarah seperti asal usul
kehidupan atau Homo sapiens, adalah sangat sulit dan bahkan mungkin tidak akan pernah menerima
penjelasan akhir yang memuaskan.”183
Tetapi apakah landasan gagasan evolusi manusia yang diajukan oleh para evolusionis? Ialah adanya
banyak fosil yang dengannya para evolusionis bisa membangun tafsiran-tafsiran khayalan. Sepanjang
sejarah, telah hidup lebih dari 6.000 spesies kera, dan kebanyakan dari mereka telah punah. Saat ini, hanya
120 spesies yang hidup di bumi. Enam ribu atau lebih spesies kera ini, di mana sebagian besar telah punah,
merupakan sumber yang melimpah bagi evolusionis.
Di lain pihak, terdapat perbedaan yang berarti dalam susunan anatomi berbagai ras manusia.
Terlebih lagi, perbedaannya semakin besar antara ras prasejarah, karena seiring dengan waktu ras manusia
setidaknya telah bercampur satu sama lain dan terasimilasi. Meskipun demikian, perbedaan penting masih
terlihat antara berbagai kelompok populasi yang hidup di dunia saat ini, seperti, sebagai contoh, ras
Scandinavia, suku pigmi Afrika, Inuits, penduduk asli Australia, dan masih banyak lagi yang lain.
Tidak terdapat bukti untuk menunjukkan bahwa fosil yang disebut hominid oleh ahli paleontologi
evolusi sebenarnya bukanlah milik spesies kera yang berbeda atau ras manusia yang telah punah. Dengan
kata lain, tidak ada contoh bagi satu bentuk peralihan antara manusia dan kera yang telah ditemukan.
Setelah semua penjelasan umum ini, sekarang mari kita telaah bersama hipotesis evolusi manusia.
Australopithecus
Kelompok pertama, genus Australopithecus, berarti “kera dari selatan,” seperti yang telah kita
katakan. Diperkirakan makhluk ini pertama kali muncul di Afrika sekitar 4 juta tahun yang lalu, dan hidup
hingga 1 juta tahun yang lalu. Terdapat banyak spesies yang berlainan di antara Australopithecine.
Evolusionis beranggapan bahwa spesies Australopithecus tertua adalah A. afarensis. Setelah itu muncul A.
africanus, dan kemudian A. robustus, yang memiliki tulang relatif lebih besar. Khusus untuk A. Boisei,
beberapa peneliti menganggapnya sebagai spesies lain, sementara yang lainnya sebagai sub-spesies dari A.
Robustus.
Semua spesies Australopithecus adalah kera punah yang mirip dengan kera masa kini. Volume
tengkorak mereka adalah sama atau lebih kecil daripada simpanse masa kini. Terdapat bagian menonjol
pada tangan dan kaki mereka yang mereka gunakan untuk memanjat pohon, persis seperti simpanse saat
ini, dan kaki mereka terbentuk untuk mencengkeram dan bergelantung pada dahan pohon. Banyak
karakteristik yang lain—seperti detail pada tengkorak mereka, dekatnya jarak antara kedua mata, gigi
geraham yang tajam, struktur rahang, lengan yang panjang, dan kaki yang pendek—merupakan bukti
bahwa makhluk ini tidaklah berbeda dengan kera masa kini. Namun demikian, evolusionis menyatakan
bahwa, meskipun australopithecine memiliki anatomi kera, mereka berjalan tegak seperti manusia, tidak
seperti kera.
Pernyataan bahwa australopithecine berjalan tegak ini adalah suatu pendapat yang dipegang oleh
ahli paleoanthropologi seperti Richard Leakey dan Donald C. Johnson selama beberapa dasawarsa. Namun
banyak ilmuwan yang melakukan banyak penelitian pada struktur tengkorak australopithecine telah
mengungkap ketidakabsahan dari pendapat tersebut. Penelitian luas terhadap berbagai spesimen
Australopithecus oleh dua ahli anatomi terkenal dari Inggris dan Amerika, Lord Solly Zuckerman dan Prof.
Charles Oxnard, menunjukkan bahwa makhluk ini tidak berjalan tegak seperti manusia. Setelah
mempelajari tulang-tulang fosil makhluk ini selama 15 tahun atas dana dari pemerintah Inggris, Lord
Zuckerman dan timnya yang terdiri dari lima orang spesialis, mencapai kesimpulan bahwa
australopithecine hanyalah spesies kera biasa, dan sama sekali tidak berjalan tegak, walaupun
Zuckerman sendiri adalah seorang evolusionis.186 Bersamaan dengan itu, Charles E. Oxnard, seorang ahli
anatomi evolusi yang terkenal di bidangnya, juga mempersamakan struktur rangka australopithecine
dengan orang utan moderen.187
Bahwa Australopithecus tidak bisa dijadikan sebagai nenek moyang manusia belakangan ini telah
diterima oleh sumber-sumber evolusionis. Majalah ilmiah populer terkenal dari Perancis, Science et Vie,
menjadikan hal ini sebagai sampul depan edisi Mei 1999. Dengan tajuk “Adieu Lucy (Selamat tinggal
Lucy)”—Lucy merupakan contoh fosil terpenting dari spesies Australopithecus afarensis—majalah
tersebut melaporkan bahwa kera-kera spesies Australopithecus seharusnya disingkirkan dari pohon
kekerabatan manusia. Dalam artikel ini, berdasarkan pada penemuan satu lagi fosil Australopithecus yang
dikenal sebagai St W573, kalimat yang muncul adalah sebagai berikut:
Sebuah teori baru menyatakan bahwa genus Australopithecus bukanlah cikal bakal ras
manusia… Hasil ini didapat dari satu-satunya wanita yang diberi kewenangan untuk meneliti, St W573
berbeda dari teori normal berkenaan dengan nenek moyang manusia: ini meruntuhkan pohon kekerabatan
hominid. Primata besar, yang dianggap sebagai nenek moyang manusia, telah dihilangkan dari susunan
pohon kekerabatan ini… Australopithecus dan spesies Homo (manusia) tidak muncul dalam cabang yang
sama. Nenek moyang langsung manusia masih menunggu untuk ditemukan.188
Homo habilis
Kemiripan besar antara rangka dan struktur tengkorak dari australopithecine dan simpanse, serta
ditolaknya pernyataan bahwa makhluk ini berjalan tegak, telah menyebabkan kesulitan besar bagi ahli
paleoanthroppologi evolusi. Alasannya adalah, sesuai dengan skema evolusi rekaan, Homo erectus muncul
setelah Australopithecus. Sebagaimana yang tersirat dari nama genusnya, Homo (berarti “manusia”),
Homo erectus adalah spesies manusia, dan kerangkanya tegak. Kapasitas tengkoraknya dua kali lebih besar
daripada Australopithecus. Peralihan langsung dari Australopithecus, kera yang mirip dengan simpanse, ke
Homo erectus, yang rangkanya tidak berbeda dengan manusia moderen, adalah tidak mungkin, bahkan
menurut teori evolusionis sekalipun. Oleh karena itu, dibutuhkan “penghubung”—yaitu, bentuk peralihan.
Gagasan mengenai Homo habilis muncul dari kebutuhan ini.
Pengelompokan Homo habilis diajukan pada tahun 1960 oleh keluarga Leakey, sebuah keluarga
“pemburu fosil.” Menurut Leakey, spesies baru ini, yang mereka kelompokkan sebagai Homo habilis,
memiliki kapasitas tengkorak yang relatif besar, kemampuan untuk berjalan tegak dan menggunakan
perkakas batu dan kayu. Oleh karena itu, ia mungkin merupakan nenek moyang manusia.
Fosil baru dari spesies yang sama yang digali pada akhir tahun 1980-an ternyata benar-benar
merubah pandangan ini. Beberapa peneliti, seperti Bernard Wood dan C. Loring Brace, yang bersandar
pada fosil baru ini, menyatakan bahwa Homo habilis (yang berarti “manusia terampil,” yaitu, manusia
yang mampu menggunakan perkakas), seharusnya digolongkan sebagai Australopithecus habilis, atau
“kera terampil dari selatan,” karena Homo habilis memiliki banyak ciri yang sama dengan kera
australopithecine. Ia memiliki lengan panjang, kaki pendek dan struktur rangka yang mirip kera persis
seperti Australopithecus. Jari tangan dan kakinya cocok untuk memanjat. Rahang mereka sangat mirip
dengan kera masa kini. Kapasitas rata-rata 600 cc tengkorak mereka juga menunjukkan bukti bahwa
mereka adalah kera. Singkatnya, Homo habilis, yang dihadirkan sebagai spesies tersendiri oleh para
evolusionis, pada kenyataannya adalah spesies kera sama seperti australopithecine yang lain.
Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun setelah penemuan Wood dan Brace menunjukkan bahwa
Homo habilis sebenarnya tidaklah berbeda dengan Australopithecus. Tengkorak dan kerangka fosil OH62
yang ditemukan oleh Tim White menunjukkan bahwa spesies ini memiliki kapasitas tengkorak yang kecil,
dan juga lengan yang panjang dan kaki yang pendek, yang memudahkan mereka memanjat pohon sama
seperti kera moderen.
Analisa terperinci yang dilakukan oleh ahli anthropologi Amerika, Holly Smith di tahun 1994
menunjukkan bahwa Homo habilis sama sekali bukanlah Homo atau, manusia, ,tetapi tak diragukan lagi
adalah seekor kera. Berbicara tentang analisa yang dilakukannya pada gigi Australopithecus, Homo habilis,
Homo erectus dan Homo neanderthalensis, Smith menyatakan sebagai berikut:
Dengan membatasi analisa fosil pada spesimen-spesimen yang memenuhi kriteria ini, pola
perkembangan gigi dari australopithecus yang mungil dan Homo habilis tetap segolongan dengan kera
Afrika. Sedangkan pola dari Homo erectus dan Neanderthal adalah segolongan dengan manusia.189
Pada tahun yang sama, Fred Spoor, Bernard Wood dan Frans Zonneveld, semuanya adalah ahli
anatomi, mencapai kesimpulan yang serupa melalui metode yang sama sekali berbeda. Metode ini
didasarkan pada analisa perbandingan saluran setengah lingkaran dari telinga dalam manusia dan kera,
[saluran] yang membuat mereka mampu menjaga keseimbangan. Spoor, Wood dan Zonneveld
menyimpulkan bahwa:
Di antara fosil hominid, spesies paling awal yang menunjukkan morfologi manusia moderen adalah
Homo erectus. Sebaliknya, bentuk dan ukuran saluran setengah lingkaran pada tengkorak dari Afrika
selatan yang dimiliki oleh Australopithecus dan Paranthropus mirip dengan yang dimiliki kera besar yang
masih ada saat ini.190
Spoor, Wood dan Zonneveld juga mempelajari spesimen Homo habilis, yang dinamakan Stw 53,
dan menemukan bahwa “Stw 53 lebih tidak mengandalkan perilaku berdiri di atas kedua kaki
dibandingkan australopithecine.” Ini berarti bahwa spesimen H. habilis lebih mirip kera daripada spesies
Australopithecus. Oleh karena itu mereka menyimpulkan bahwa “Stw 53 bukanlah merupakan bentuk
peralihan secara morfologis antara australopithecine dan H. erectus.”191
Penemuan ini membuahkan dua hasil penting:
1. Fosil yang disebut sebagai Homo habilis sebenarnya bukan tergolong genus Homo, atau
manusia, tetapi tergolong Australopithecus, atau kera.
2. Homo habilis dan Australopithecus adalah makhluk yang berjalan membungkuk ke depan
—jadi bisa dikatakan mereka memiliki kerangka seekor kera. Mereka sama sekali tidak memiliki
hubungan dengan manusia.
Homo erectus
Menurut skema ‘indah’ yang diajukan oleh evolusionis, evolusi internal dari genus Homo adalah
sebagai berikut: Pertama Homo erectus, kemudian apa yang disebut sebagai Homo sapiens “kuno” dan
manusia Neanderthal (Homo sapiens neanderthalensis), dan akhirnya manusia Cro-Magnon (Homo
sapiens sapiens). Akan tetapi semua pengelompokan ini sebenarnya hanyalah variasi dan ras-ras yang khas
dalan keluarga manusia. Perbedaan antara mereka tidak lebih besar daripada perbedaan antara suku Inuit
dengan suku Afrika, atau suku pygmi dengan orang Eropa.
Mari kita kaji terlebih dahulu Homo erectus, yang dikatakan sebagai spesies manusia paling primitif.
Seperti yang tersirat dalam namanya, Homo erectus berarti “manusia yang berjalan tegak.” Evolusionis
harus memisahkan fosil-fosil ini dengan yang sebelumnya dengan menambahkan ciri “ketegakan,” karena
semua fosil Homo erectus yang ada benar-benar tegak dan tidak terlihat dalam spesimen australopithecine
atau yang dikatakan sebagai Homo habilis. Tidak ada perbedaan kerangka di luar tengkorak antara
manusia moderen dengan yang dimiliki oleh Homo erectus.
Alasan utama evolusionis mendefinisikan Homo erectus sebagai “primitif” adalah kapasitas otak
tengkorak mereka (900 – 1.100 cc), yang lebih kecil daripada rata-rata manusia moderen, dan alis mata
tebal mereka yang menonjol. Akan tetapi, banyak orang yang hidup saat ini di bumi yang memiliki
kapasitas tengkorak yang sama dengan Homo erectus (suku pygmi, contohnya) dan ras lain memiliki alis
yang menonjol (penduduk asli Australia, misalnya). Ada fakta yang secara umum disetujui bahwa
perbedaan pada kapasitas tengkorak tidak selalu menunjukkan perbedaan dalam kecerdasan dan
kemampuan. Kecerdasan lebih bergantung pada organisasi internal otak, daripada volumenya.197
Fosil yang telah membuat Homo erectus terkenal diseluruh dunia adalah fosil dari manusia Peking
dan manusia Jawa di Asia. Namun kemudian disadari bahwa kedua fosil ini tidak dapat dipercaya. Manusia
Peking tersusun atas beberapa elemen buatan yang mana aslinya telah hilang, dan manusia Jawa tersusun
atas pecahan tulang tengkorak ditambah tulang panggul yang ditemukan beberapa meter darinya tanpa ada
petunjuk bahwa potongan ini berasal dari makhluk yang sama. Inilah mengapa fosil Homo erectus yang
ditemukan di Afrika semakin dianggap penting. (Perlu dicatat bahwa beberapa fosil yang dikatakan
sebagai Homo erectus dimasukkan di bawah spesies kedua yang dinamakan Homo ergaster oleh beberapa
evolusionis. Terdapat pertentangan di antara para ahli dalam hal ini. Kita akan memperlakukan semua
fosil-fosil ini di bawah kelompok Homo erectus.)
Spesimen Homo erectus paling terkenal yang ditemukan di Afrika adalah fosil “Homo erectus
Narikotome,” atau “Turkana Boy,” yang ditemukan di dekat Danau Turkana di Kenya. Dipastikan bahwa
fosil ini adalah dari seorang anak laki-laki berusia 12 tahun ini, yang mungkin tingginya 1.83 meter saat
dewasa. Struktur rangka tegak dari fosil ini tidak ada bedanya dengan manusia moderen. Ahli
paleoanthropologi Amerika, Alan Walker, mengatakan bahwa Ia meragukan jika “rata-rata ahli
pa[leon]tologi bisa mengatakan adanya perbedaan antara kerangka fosil tersebut dengan kerangka manusia
moderen.” Mengenai tengkoraknya, Walker menulis bahwa Ia tertawa ketika melihatnya karena “ia mirip
sekali dengan Neanderthal.”198 Seperti yang akan kita lihat pada bab selanjutnya, Neanderthal adalah ras
manusia moderen.
Bahkan evolusionis Richard Leakey menyatakan bahwa perbedaan antara Homo erectus dan
manusia moderen tidak lebih dari variasi ras:
Seseorang juga akan melihat perbedaan: pada bentuk tengkorak, pada besarnya tonjolan wajah,
[tulang] alisnya yang kokoh dan seterusnya. Perbedaan ini mungkin tidak lebih nyata daripada yang
kita lihat saat ini antara ras manusia moderen yang dipisahkan secara geografis. Variasi biologis
semacam ini muncul ketika populasi terpisah secara geografis satu sama lain dalam jangka waktu yang
cukup lama.199
Profesor William Laughlin dari University of Connecticut melakukan pemeriksaan anatomis yang
luas atas suku Inuit dan penduduk kepulauan Aleut, dan melihat bahwa orang-orang ini benar-benar serupa
dengan Homo erectus. Kesimpulan yang dicapai Laughlin adalah bahwa semua ras yang berlainan ini pada
dasarnya merupakan ras-ras Homo sapiens (manusia moderen):
Ketika kita memperhatikan perbedaan besar yang terlihat antara kelompok yang saling berjauhan
seperti Eskimo dan Bushmen, yang diketahui sebagai satu spesies Homo sapiens, kelihatannya wajar untuk
menyimpulkan bahwa Sinanthropus [suatu spesimen erectus] tergolong ke dalam spesies yang beragam
ini.200
Adalah merupakan fakta yang semakin nyata dalam komunitas ilmiah saat ini bahwa Homo erectus
adalah pengelompokan yang tidak diperlukan dan bahwa fosil ini dikatakan sebagai kelas Homo erectus
sebenarnya tidaklah begitu berbeda dari Homo sapiens untuk dianggap sebagai spesies yang berbeda.
Dalam majalah American Scientist, diskusi mengenai hal ini dan hasil dari konferensi yang diadakan
tentang hal ini pada tahun 2000 diringkaskan sebagai berikut:
Sebagian besar peserta pada konferensi Senckenberg larut dalam debat panas mengenai status
taksonomi Homo erectus, dimulai oleh Milford Wolpoff dari University of Michigan, Alan Thorne dari
University of Canberra dan kolega mereka. Mereka dengan kuat berpendapat bahwa Homo erectus tidak
memiliki keabsahan sebagai satu spesies dan seharusnya dihilangkan sama sekali. Semua anggota genus
Homo, dari sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga sekarang, adalah spesies Homo sapiens yang sangat
bervariasi dan menyebar luas tanpa ada pemutusan atau pembagian alami. Subyek dari konferensi ini,
Homo erectus, tidak ada.201
Kesimpulan yang dicapai oleh para ilmuwan yang mempertahankan pendapat di atas bisa
disimpulkan sebagai berikut “Homo erectus bukanlah spesies yang berbeda dengan Homo sapiens, tetapi
lebih merupakan satu ras dalam Homo sapiens.” Di lain pihak, ada celah besar antara Homo erectus, ras
manusia, dan kera yang mendahului Homo erectus dalam skenario “evolusi manusia” (Australopithecus,
Homo habilis, dan Homo rudolfensis). Ini berarti bahwa manusia pertama muncul dalam rekaman fosil
secara tiba-tiba dan tanpa adanya sejarah evolusi yang mendahului.
Permasalahan Bipedalisme
Terlepas dari rekaman fosil yang yang telah kita uraikan begitu jauh, perbedaan anatomis yang tidak
bisa dijembatani antara manusia dan kera juga membantah cerita fiksi evolusi manusia. Salah satunya
adalah berhubungan dengan cara berjalan.
Manusia berjalan tegak dengan dua kaki. Ini adalah cara berjalan yang sangat khas yang tidak
terlihat pada spesies mamalia yang lain. Beberapa hewan lain juga memiliki kemampuan terbatas untuk
berjalan sambil berdiri di atas dua kaki belakang mereka. Hewan seperti beruang dan kera bisa berjalan
dengan cara ini hanya pada saat-saat tertentu, seperti ketika mereka mencoba meraih sumber makanan, dan
ini pun hanya untuk waktu singkat. Secara normal, rangka mereka condong ke depan dan mereka berjalan
dengan empat kaki.
Lalu, apakah bipedalisme (berjalan di atas dua kaki) telah berevolusi dari gaya berjalan quadrupedal
(berjalan di atas empat kaki) kera, seperti yang dinyatakan oleh evolusionis?
Tentu saja tidak. Penelitian telah menunjukkan bahwa evolusi bipedalisme tidak pernah
terjadi, dan juga tidak mungkin terjadi. Pertama, bipedalisme bukanlah suatu keuntungan secara
evolusi. Cara kera bergerak adalah jauh lebih mudah, cepat, dan lebih efisien daripada cara bipedal
manusia. Manusia tidak bisa melompat dari pohon ke pohon tanpa jatuh ke tanah, seperti simpanse, tidak
juga lari dengan kecepatan 125 km per jam, seperti cheetah. Sebaliknya, karena manusia berjalan dengan
dua kaki, ia bergerak lebih lambat di atas tanah. Untuk alasan ini, manusia adalah spesies yang paling tidak
terlindungi di antara semua spesies di alam dalam hal pergerakan dan pertahanan. Menurut logika evolusi,
kera seharusnya tidak berevolusi untuk memperoleh cara berjalan bipedal; sebaliknya, manusialah yang
seharusnya berevolusi menjadi quadrupedal.
Satu lagi kebuntuan lain dari pernyataan evolusi adalah bahwa bipedalisme tidak sesuai dengan
model “perubahan bertahap” dari Darwinisme. Model ini, yang merupakan landasan evolusi,
mengharuskan adanya “gabungan” cara berjalan antara bipedalisme dan quadrupedalisme. Akan tetapi,
Robi Crompton, seorang dosen anatomi senior pada Liverpool University, dengan penelitiannya yang
menggunakan komputer pada tahun 1996, menunjukkan bahwa cara berjalan “gabungan” seperti itu tidak
mungkin. Crompton mencapai kesimpulan sebagai berikut: Makhluk hidup bisa berjalan tegak atau
dengan empat kaki.224 Cara berjalan antara keduanya adalah tidak mungkin karena akan menghabiskan
energi yang berlebihan. Inilah sebabnya mengapa cara berjalan setengah bipedal tidak mungkin ada.
Celah lebar antara manusia dan kera tidak terbatas hanya pada bipedalisme saja. Masih banyak
permasalahan lain yang belum terjelaskan, seperti kapasitas otak, kemampuan berbicara dan seterusnya.
Elaine Morgan, seorang paleoanthropolog evolusi, membuat pengakuan sebagai berikut berkenaan dengan
permasalahan ini:
Empat dari misteri yang paling tak terpecahkan tentang manusia adalah: 1) Mengapa mereka
berjalan dengan dua kaki? 2) Mengapa mereka tidak berbulu? 3) Mengapa mereka memiliki kapasitas otak
yang besar? 4) Mengapa mereka belajar berbicara?
Jawaban umum dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah: 1) Kita masih belum tahu, 2) Kita masih
belum tahu, 3) Kita masih belum tahu, 4) Kita masih belum tahu. Daftar pertanyaan tersebut bisa
diperpanjang tanpa mempengaruhi kesamaan jawabannya.225
Kesimpulan
Semua penipuan ilmiah dan pengkajian penuh rekaan yang dibuat untuk mendukung teori evolusi
menunjukkan bahwa teori ini adalah semacam ideologi, dan sama sekali tidak ilmiah. Seperti semua
ideologi, ia juga memiliki pendukung fanatik, yang berusaha mati-matian untuk membuktikan evolusi,
apapun caranya. Atau jika tidak mereka begitu terikat secara dogmatis pada teori ini sehingga setiap
penemuan baru dipandang sebagai bukti besar bagi teori tersebut, bahkan jika penemuan tersebut tidak
berhubungan sama sekali dengan evolusi. Ini benar-benar sebuah gambaran yang amat menyedihkan bagi
ilmu pengetahuan, karena ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sedang dijerumuskan atas nama
sebuah dogma.
Dalam bukunya Darwinism: The Refutation of a Myth, ilmuwan Swedia, Soren Lovtrup,
mengatakan hal sebagai berikut:
Saya kira tidak seorang pun akan menolak bahwa adalah sebuah kemalangan besar jika keseluruhan
cabang ilmu pengetahuan menjadi terikat pada teori yang keliru. Tetapi inilah yang terjadi dalam biologi;
hingga sekarang telah cukup lama orang membahas permasalahan evolusi dalam kosakata “Darwinian”
yang aneh—“adaptasi,” “tekanan seleksi,” “seleksi alam,” dll.—yang dengannya mempercayai bahwa
mereka berperan dalam menjelaskan fenomena-fenomena alam. Mereka tidak… Saya percaya bahwa suatu
hari mitos Darwinian akan diranking sebagai penipuan terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan.236
Bukti lebih jauh bahwa Darwinisme adalah penipuan terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan
diberikan oleh biologi molekuler.
BIOLOGI MOLEKULER DAN ASAL
USUL KEHIDUPAN
Pada bab-bab sebelumnya, kami telah menunjukkan bagaimana catatan fosil membantah teori
evolusi. Sebenarnya, tak perlu kami bercerita apa-apa soal fosil, sebab teori evolusi telah lama runtuh
sebelum orang sampai ke pernyataan apa pun tentang petunjuk fosil. Perihal yang sedari awal menjadikan
teori ini tidak bermakna adalah masalah cara kehidupan kali pertama muncul di muka bumi.
Ketika membahas masalah ini, teori evolusi menyatakan bahwa kehidupan berawal dari sebuah sel
yang terbentuk secara kebetulan. Menurut skenario ini, empat miliar tahun yang lalu, berbagai macam
senyawa kimia mengalami suatu reaksi di dalam atmosfer purba di bumi saat kekuatan petir dan tekanan
atmosfer mendorong terbentuknya sel hidup pertama.
Hal pertama yang mesti dikatakan adalah pernyataan bahwa zat-zat mati bisa bergabung membentuk
kehidupan sungguh sebuah pernyataan yang tak ilmiah, yang tak didukung oleh satu pun percobaan atau
pengamatan. Kehidupan hanya bangkit dari kehidupan. Setiap sel hidup terbentuk dari penggandaan sel
hidup lainnya. Tak seorang pun di dunia ini pernah berhasil membuat sebuah sel hidup dengan
menggabungkan zat-zat mati, bahkan di laboratorium tercanggih sekalipun.
Teori evolusi menyatakan bahwa sebuah sel hidup—yang tak bisa dihasilkan bahkan dengan
menyatukan segenap daya kecerdasan, ilmu pengetahuan, dan teknologi manusia—bagaimana juga
berhasil dibentuk secara kebetulan di dalam lingkungan purba di bumi. Pada halaman-halaman berikut, kita
akan menelaah mengapa pernyataan ini bertentangan dengan azas-azas paling dasar dari ilmu pengetahuan
dan nalar.
Peluang Nol
Jika kita menggabungkan ketiga peluang (bahwa asam amino terbentuk dengan tepat, semua asam
amino berbentuk tangan kiri, dan semuanya bergabung dengan ikatan peptida), maka kita akan menghadapi
angka astronomis 1 per 10950. (Angka astronomis adalah angka amat besar atau amat kecil) Ini hanya
peluang di atas kertas. Bisa dikatakan, peluang ini terwujud adalah nol. Sebagaimana telah kita lihat, dalam
matematika, sebuah peluang yang kurang dari 1 per 1050 secara statistik berpeluang “nol” untuk
berlangsung.
Bahkan jika kita menganggap bahwa asam amino bergabung dan terurai oleh sejenis cara “coba-
coba”, tanpa kehilangan sedikit pun waktu sejak pembentukannya di bumi, demi membentuk satu molekul
protein saja, waktu yang dibutuhkan oleh sesuatu yang berpeluang 1 per 10950 masih sangat melampaui
taksiran umur bumi.
Kesimpulan yang ditarik dari semua ini adalah evolusi terperosok ke sumur tanpa dasar
kemustahilan ketika berhadapan dengan pembentukan satu protein.
Seorang pendukung teori evolusi terkemuka, Profesor Richard Dawkins, menyatakan sebagai berikut
tentang kemustahilan ke dalam mana teori telah terjatuh:
Jadi, jenis kejadian mujur yang kita cari dapat begitu sangat mustahil sampai-sampai peluang
terjadinya, di suatu tempat di alam semesta, sekecil satu per satu trilyun miliar pada tahun kapan pun. Jika
ini memang terjadi hanya di satu planet, di suatu tempat di alam semesta ini, planet itu haruslah planet kita
—karena di sinilah kita sedang membicarakannya.249
Pengakuan seorang pendukung terkemuka evolusi ini dengan jelas memperlihatkan kekacauan nalar
teori evolusi. Pernyataan di dalam buku Dawkins Climbing Mount Improbable (Mendaki Gunung
Kemustahilan) ini sebuah contoh telak penalaran berputar-putar yang sebenarnya tak menjelaskan apa pun:
“Jika kita ada di sini, maka itu berarti evolusi terjadi.”
Sebagaimana telah kita lihat, bahkan pendukung paling terkemuka evolusi mengakui bahwa teori ini
telah terkubur ke dalam kemustahilan ketika berhadapan dengan tahap pertama kehidupan. Namun, betapa
menariknya bahwa, bukannya menerima kemustahilan teori yang mereka bela, mereka lebih memilih
berpegang teguh pada evolusi dengan sikap dogmatis! Inilah sebuah kerasukan ideologis sepenuh-
penuhnya.
Adakah Mekanisme Coba-Coba di Alam?
Akhirnya, kita bisa menyimpulkan satu butir amat penting terkait dengan penalaran dasar dari
perhitungan peluang, yang beberapa contohnya telah kita lihat. Kami telah menunjukkan bahwa
perhitungan peluang yang dibuat di atas mencapai tingkat astronomis, dan bahwa kejanggalan-kejanggalan
astronomis ini tak berpeluang untuk benar-benar terjadi.
Namun demikian, ada lebih banyak fakta penting dan menghancurkan yang menghadang evolusionis
di sini. Dalam keadaan-keadaan alamiah, bahkan masa untuk coba-coba tak dapat dimulai, lepas dari
kejanggalan-kejanggalan astronomisnya, sebab tiada mekanisme coba-coba di alam dari mana protein bisa
muncul.
Perhitungan yang kami berikan di atas menunjukkan peluang pembentukan suatu molekul protein
dengan 500 asam amino berlaku hanya untuk sebuah lingkungan coba-coba ideal, yang sebenarnya tak ada
di dalam kehidupan nyata. Yakni, peluang mendapat satu protein fungsional adalah “1” berbanding 10950
hanya jika kita menganggap bahwa ada mekanisme khayalan di dalam mana sebuah tangan gaib
menyatukan 500 asam amino secara acak dan lalu, melihat hasilnya bukan gabungan yang benar,
melepaskan asam-asam itu satu demi satu, lalu menyusun kembali secara berbeda, dan begitu seterusnya.
Dalam tiap percobaan, asam amino harus dilepaskan satu per satu, dan disusun kembali dengan cara baru.
Sintesis seharusnya berhenti setelah asam amino ke-500 ditambahkan, dan harus dipastikan bahwa tak satu
pun asam amino tambahan terlibat. Penggabungan seharusnya dihentikan untuk melihat apakah protein
yang berfungsi telah terbentuk, dan, jika terjadi kegagalan, semuanya harus dicopot dan dicoba kembali
dengan urutan lain. Di samping itu, dalam tiap percobaan, tak satu pun zat asing boleh terlibat. Yang juga
penting adalah rantai yang terbentuk selama coba-coba seharusnya tidak diuraikan dan dihancurkan
sebelum mencapai ikatan ke-499. Syarat seperti ini berarti bahwa peluang yang telah kami sebutkan di atas
hanya bisa terjadi dalam suatu lingkungan yang terkendali dengan sebuah mekanisme sadar yang
mengarahkan awal, akhir, dan setiap tahap peralihan proses itu, dan hanya “asam amino pilihan” yang
mendapat kesempatan. Sudah jelas tak mungkin ada lingkungan seperti itu di dalam keadaan-keadaan
alamiah. Oleh karena itu, pembentukan suatu protein di lingkungan alamiah secara nalar dan teknis tak
mungkin.
Karena tak bisa melihat gambaran besar masalah ini, namun mendekatinya dari sudut pandang
dangkal dan menganggap pembentukan protein adalah reaksi kimia sederhana, sebagian orang mungkin
menarik kesimpulan tak wajar seperti “asam amino bergabung lewat reaksi dan lalu membentuk protein.”
Namun demikian, reaksi-reaksi kimia yang kebetulan terjadi pada struktur mati ini hanya bisa membawa
ke perubahan sederhana dan mendasar. Jumlahnya telah diketahui dan terbatas. Untuk bahan kimia yang
agak lebih rumit, pabrik-pabrik raksasa, kilang-kilang kimia, dan laboratorium-laboratorium harus
dilibatkan. Obat-obatan dan banyak senyawa kimia yang kita gunakan sehari-hari dibuat dengan cara ini.
Protein berstruktur lebih rumit daripada senyawa kimia yang dihasilkan industri. Karena itu, mustahil bagi
protein, yang masing-masing merupakan keajaiban rancangan dan rekayasa, yang setiap bagiannya
menempati tempatnya dalam urutan yang pasti, bermula sebagai hasil reaksi kimia yang serampangan.
Mari sejenak kita kesampingkan semua kemustahilan yang telah kami utarakan sejauh ini, dan
anggaplah bahwa suatu molekul protein yang berguna masih berevolusi tiba-tiba “secara kebetulan.”
Walaupun demikian, evolusi lagi-lagi tak memiliki jawaban, sebab agar bisa bertahan, protein ini harus
tersekat dari lingkungan alamiahnya dan terlindung di bawah keadaan yang sangat khusus. Jika tidak,
protein akan hancur karena pengaruh keadaan alamiah bumi, atau bersatu dengan asam, asam amino, atau
senyawa kimia lain, dan dengan begitu kehilangan sifat-sifat khususnya dan mengubahnya menjadi zat
yang sama sekali lain dan tak berguna.
Yang telah kita bahas sejauh ini adalah kemustahilan kemunculan hanya satu protein secara
kebetulan. Akan tetapi, dalam tubuh manusia saja ada sekitar 100 ribu protein yang berfungsi. Lebih-lebih,
ada sekitar 1,5 juta spesies yang sudah dikenali, dan diperkirakan masih 10 juta yang belum. Walau banyak
protein yang mirip digunakan dalam banyak bentuk kehidupan, diperkirakan bahwa setidaknya ada 100
juta atau lebih jenis protein di dunia tumbuhan dan hewan. Dan jutaan spesies yang telah punah tidak
tercakup di dalam perhitungan ini. Dengan kata lain, ratusan juta kode protein telah ada di dunia. Jika
seseorang menyadari bahwa tak satu pun dari protein ini bisa dijelaskan dengan kebetulan, jelaslah apa
makna ratusan juta jenis protein.
Dengan mengingat kebenaran ini, bisa dipahami secara jernih bahwa konsep-konsep seperti
“kebetulan” dan “coba-coba” tak berkaitan apa pun dengan keberadaan makhluk hidup.
Percobaan Miller
Kajian yang paling terpandang tentang asal usul kehidupan adalah percobaan Miller yang dilakukan
oleh Stanley Miller, seorang peneliti Amerika, pada tahun 1953. (Percobaan ini juga disebut “percobaan
Urey-Miller” karena sumbangan dosen Miller di University of Chicago, Harold Urey.) Percobaan ini satu-
satunya “petunjuk” yang dimiliki kaum evolusionis untuk katanya membuktikan “tesis evolusi kimia;”
mereka mengajukannya sebagai tahap awal proses evolusi yang diperkirakan yang mengantarkan ke
kehidupan. Meskipun hampir setengah abad berlalu, dan berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, tak
seorang pun membuat kemajuan lebih jauh. Walau demikian, percobaan Miller masih digunakan di dalam
buku-buku acuan sebagai penjelasan evolusi generasi pertama makhluk hidup. Itu karena para peneliti
evolusionis, yang menyadari fakta bahwa kajian-kajian semacam itu bukan mendukung, tetapi malah
membantah tesis mereka, sengaja menghindari terlibat dalam percobaan-percobaan sejenis.
Tujuan Stanley Miller adalah menunjukkan lewat percobaan bahwa asam-asam amino, unsur
penyusun protein, bisa mewujud “secara kebetulan” di bumi yang tanpa kehidupan miliaran tahun yang
lalu. Dalam percobaannya, Miller menggunakan campuran gas yang diperkirakannya ada pada keadaan
bumi purba (yang kemudian terbukti tidak mendekati kenyataan), terdiri dari amonia, metana, hidrogen
dan uap air. Karena dalam keadaan alamiah gas-gas ini tak saling bereaksi, ia menambahkan energi ke
campuran itu untuk memulai reaksi di antara gas-gas. Dengan menganggap bahwa energi mungkin datang
dari petir dalam atmosfer purba, Miller menggunakan arus listrik untuk tujuan ini.
Miller memanaskan campuran gas ini pada 100° C selama sepekan dan menambahkan arus listrik.
Di akhir pekan, ia menganalisis senyawa-senyawa kimia yang terbentuk di dasar tabung, dan mengamati
bahwa 3 dari 20 asam amino yang menyusun unsur-unsur dasar protein telah terbentuk.
Percobaan ini menimbulkan kegembiraan besar di kalangan evolusionis, dan disiarkan sebagai
keberhasilan luar biasa. Terlebih lagi, dalam kegembiraan yang memuncak, beraneka media cetak
menurunkan kepala berita seperti “Miller menciptakan kehidupan.” Akan tetapi, yang telah dihasilkan
Miller hanyalah sebagian kecil dari molekul mati.
Disemangati oleh percobaan ini, para evolusionis segera membuat skenario baru. Tahap-tahap
berikutnya perkembangan asam amino segera disusun. Diperkirakan, asam-asam amino lalu bergabung
dengan urutan yang benar secara kebetulan untuk membentuk protein. Sebagian protein yang muncul
secara kebetulan ini menggabungkan diri menjadi struktur mirip membran sel yang “entah bagaimana”
mewujud dan membentuk suatu sel sederhana. Lalu, seiring dengan waktu, sel-sel ini diperkirakan
bergabung membentuk organisme hidup bersel banyak. Akan tetapi, percobaan Miller sejak itu terbukti
keliru dalam berbagai segi.
Percobaan Fox
Tertantang oleh dilema di atas, para evolusionis mulai menciptakan skenario-skenario tak wajar
yang didasarkan pada “masalah air” ini yang demikian tegas menyangkal teori mereka. Sydney Fox adalah
salah seorang yang paling terkenal dari para peneliti ini. Fox mengajukan teori berikut untuk memecahkan
masalah. Menurutnya, asam amino pertama telah dipindahkan ke lereng-lereng dekat gunung berapi sesaat
setelah terbentuk di samudra purba. Air yang dikandung campuran yang berisi asam amino ini pasti telah
menguap ketika suhu meningkat di atas titik didih pada lereng-lereng itu. Asam-asam amino yang
“mengering” ini, lalu dapat bergabung membentuk protein.
Akan tetapi cara “rumit” ini tak diterima oleh banyak orang di bidang ini karena asam amino tak
bisa menahan suhu setinggi itu. Penelitian membenarkan bahwa asam-asam amino akan segera hancur
pada suhu yang sangat tinggi.
Tetapi Fox tidak menyerah. Ia menggabungkan asam-asam amino yang dimurnikan di laboratorium,
“dengan syarat-syarat sangat khusus,” lewat memanaskannya di suatu lingkungan kering. Asam-asam
amino bersatu, namun belum juga protein dihasilkan. Yang sebenarnya diperoleh Fox adalah simpul-
simpul asam amino yang sederhana dan tak teratur, bergabung acak satu sama lain, dan simpul-simpul ini
jauh dari menyerupai protein hidup mana pun. Lebih jauh lagi, jika Fox menyimpan asam-asam amino
pada suatu suhu tetap, maka simpul-simpul tak berguna ini juga akan terurai.
Masalah lain yang menihilkan percobaan ini adalah bahwa Fox tidak memakai hasil-hasil akhir tak
berguna yang diperoleh percobaan Miller; malahan Fox menggunakan asam-asam amino murni dari
organisme hidup. Akan tetapi, percobaan ini, yang dimaksudkan menjadi kelanjutan percobaan Miller,
seharusnya berangkat dari hasil-hasil percobaan yang dilakukan Miller. Namun, baik Fox maupun para
peneliti lain, tidak memakai asam-asam amino tak berguna yang dihasilkan Miller.
Percobaan Fox bahkan tidak diterima di kalangan evolusionis, sebab sudah jelas bahwa rantai-rantai
asam amino tak berguna yang diperoleh Fox (yang disebutnya “proteinoid”) mustahil terbentuk di dalam
keadaan alamiah. Lebih-lebih, protein, satuan dasar kehidupan, masih belum bisa dihasilkan. Masalah asal
usul protein masih belum terpecahkan. Dalam sebuah artikel majalah ilmiah populer, Chemical
Engineering News, yang muncul di tahun 1970-an, percobaan Fox disebutkan sebagai berikut:
Sydney Fox dan para peneliti lainnya berhasil menggabungkan asam-asam amino dalam bentuk
“proteinoid” menggunakan teknik-teknik pemanasan khusus di dalam keadaan yang ternyata tidak terjadi
sama sekali pada tahap-tahap purba bumi. Juga, asam-asam ini sama sekali tak serupa dengan protein yang
ada pada makhluk hidup sekarang. Molekul-molekul ini tak lebih dari regen-regen kimia tak berguna dan
tak teratur. Bahkan dijelaskan bahwa jika telah terbentuk di masa-masa awal, molekul-molekul seperti itu
pasti akan dihancurkan.263
Malah, proteinoid yang dihasilkan Fox berbeda sama sekali dengan protein yang sebenarnya, baik
struktur maupun fungsi. Perbedaan antara protein dan proteinoid ini sebesar perbedaan antara sepotong
perangkat canggih dan seonggok besi yang belum diolah.
Lebih jauh lagi, rantai-rantai asam amino yang acak ini bahkan tidak memiliki kesempatan bertahan
dalam keadaan atmosfer purba. Pengaruh fisik dan kimia yang berbahaya dan merusak yang disebabkan
oleh paparan berkelanjutan sinar ultra-ungu dan keadaan alam lainnya yang tidak mantap akan membuat
proteinoid ini terurai. Karena azas Le Châtelier, asam amino juga mustahil berikatan di dalam air, tempat
sinar ultra-ungu tak bisa menjangkau. Karena hal ini, gagasan bahwa proteinoid itu dasar kehidupan
akhirnya kehilangan dukungan dari kalangan ilmuwan.
Siapa pun yang mempelajari pelbagai makhluk hidup di bumi ini mungkin mengamati bahwa ada
sejumlah organ dan ciri yang serupa di antara spesies-spesies. Orang pertama yang menarik kesimpulan
materialistik dari fakta ini, yang telah menarik perhatian para ilmuwan sejak abad ke-18, adalah Charles
Darwin.
Darwin berpikir bahwa makhluk-makhluk hidup dengan organ serupa (homolog) saling berkaitan
evolusi, dan bahwa organ-organ ini pasti telah diturunkan dari moyang bersama. Menurut dugaannya,
merpati dan elang keduanya bersayap; karena itu, merpati, elang, dan tentunya burung-burung bersayap
lainnya diduga telah berevolusi dari moyang bersama.
Homologi adalah sebuah pernyataan tautologis, dibangun bukan berdasarkan petunjuk apa pun
selain kemiripan fisik yang terlihat. Pendapat ini tak pernah sekali saja diperkuat oleh penemuan nyata
kapan pun sejak masa Darwin. Tak seorang pun di dunia ini tampil dengan sisa fosil dari moyang khayal
makhluk-makhluk hidup berstruktur homolog. Lebih jauh lagi, butir-butir berikut memperjelas bahwa
homologi tidak menyediakan petunjuk bahwa evolusi pernah terjadi.
1. Orang menemukan organ homolog pada makhluk-makhluk hidup dari filum-filum yang sama
sekali berbeda, yang kaitan evolusinya tidak dapat dibangun oleh para evolusionis;
2. Kode-kode genetis beberapa makhluk hidup berorgan homolog sama sekali berbeda.
3. Perkembangan embriologis organ homolog sama sekali berbeda pada makhluk-makhluk yang
berbeda.
Sekarang, mari kita telaah satu per satu setiap butir bantahan ini.
Dalam ruas-ruas sebelumnya, kita telah mempelajari sejumlah ketidakserasian dan kesukaran yang
dihadapi teori evolusi di bidang paleontologi dan biologi molekuler sesuai dengan penemuan-penemuan
dan bukti ilmiah. Dalam bab ini, kita akan mempertimbangkan beberapa fakta biologis yang disajikan
sebagai petunjuk bagi teori di dalam buku-buku evolusionis. Bertentangan dengan kepercayaan yang
tersebar luas, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya tiada penemuan ilmiah yang mendukung
teori evolusi.
Kehidupan di bumi dikelompokkan ke dalam lima (atau enam) kerajaan (kingdom) oleh para
ilmuwan. Sejauh ini, kita telah memusatkan perhatian terutama pada kerajaan terbesar, yakni hewan. Pada
bab-bab sebelumnya, kita membahas asal usul kehidupan itu sendiri, mempelajari protein, informasi
genetis, struktur sel dan bakteri, masalah-masalah seputar dua kerajaan lainnya, yaitu Prokaryotae dan
Protista. Namun, sampai di sini, masih ada masalah penting lain yang perlu kita perhatikan—asal usul
kerajaan tetumbuhan (Plantae).
Kita mendapatkan gambar yang sama tentang asal usul tumbuhan seperti yang kita temui ketika
mengkaji asal usul hewan. Tumbuhan memiliki struktur-struktur yang sangat rumit, dan mustahil struktur-
struktur ini muncul karena pengaruh kebetulan dan berevolusi dari yang satu ke yang lain. Catatan fosil
menunjukkan bahwa pelbagai kelas tumbuhan muncul tiba-tiba di dunia, dengan sifat-sifat khas masing-
masing, dan tanpa didahului masa evolusi.
1- Bahaya mengering. Bagi tumbuhan yang hidup di air agar bisa hidup di darat, permukaannya
terlebih dahulu harus terlindungi dari kehilangan air. Jika tidak, tumbuhan mengering. Tumbuhan darat
diberi sistem-sistem khusus untuk melindunginya dari kejadian ini. Ada rincian-rincian penting dalam
sistem-sistem itu. Misalnya, perlindungan ini harus sedemikian sehingga gas-gas penting seperti oksigen
dan karbon dioksida dapat keluar-masuk tumbuhan secara bebas. Pada saat bersamaan, mencegah
penguapan sangat penting. Jika tak memiliki sistem yang demikian, tumbuhan tak akan dapat menunggu
jutaan tahun untuk mengembangkannya. Dalam keadaan demikian, tumbuhan akan segera mengering dan
mati.
2- Makanan: Tumbuhan laut mengambil air dan mineral yang dibutuhkan secara langsung dari air
tempat tinggalnya. Oleh karena itu, setiap ganggang yang mencoba hidup di darat akan mendapat masalah
dengan makanan. Ganggang tidak akan bertahan hidup tanpa memecahkan masalah ini.
3- Reproduksi: Ganggang, dengan umur hidupnya yang pendek, tak berkesempatan berkembang
biak di darat, karena, seperti dalam semua fungsinya, ganggang juga menggunakan air untuk menyebarkan
sel-sel reproduktifnya. Supaya bisa berkembang biak di darat, ganggang harus bersel reproduktif yang
banyak sebagaimana yang dimiliki oleh tumbuhan darat, dan dilindungi oleh lapisan pelindung sel. Jika
tidak memiliki lapisan ini, setiap ganggang yang beralih ke darat tak akan bisa melindungi sel
reproduktifnya dari bahaya.
4- Perlindungan dari oksigen: Setiap ganggang yang beralih ke darat harus mengambil
oksigen dalam bentuk terurai hingga saat peralihan itu. Menurut skenario evolusionis, kini ganggang
harus mengambil oksigen dalam bentuk yang belum pernah ditemuinya, dengan kata lain, langsung
dari atmosfer. Seperti yang kita ketahui, dalam keadaan biasa, oksigen di atmosfer berpengaruh
meracuni bagi senyawa organik. Makhluk hidup darat memiliki sistem yang mencegahnya terkena
bahaya ini. Namun, ganggang adalah tumbuhan laut, yang berarti tidak memiliki enzim yang
menjaganya dari pengaruh membahayakan oksigen. Jadi, seketika beralih ke darat, mustahil bagi
ganggang menghindari pengaruh ini. Tidak juga ada kesempatan menunggu sistem seperti itu
berkembang karena ganggang tak akan bisa bertahan hidup di darat cukup lama sampai sistem
terbentuk.
Masih ada alasan lain mengapa pernyataan bahwa ganggang beralih dari laut ke darat tidak selaras—
yaitu, ketiadaan pendorong alamiah yang membuat peralihan itu diperlukan. Bayangkanlah lingkungan
alamiah ganggang 450 juta tahun yang lalu. Air laut menyediakan lingkungan ideal bagi ganggang.
Misalnya, air menjauhkan dan melindunginya dari panas yang berlebih, dan menyediakan semua mineral
yang dibutuhkan. Dan, pada saat bersamaan, ganggang bisa menyerap sinar matahari untuk dipakai dalam
fotosintesis dan membuat karbohidrat (gula dan zat tepung) sendiri dengan karbon dioksida yang terlarut di
air. Karena alasan ini, tidak ada yang kurang bagi ganggang di lautan, dan oleh karena itu, tak ada alasan
beralih ke darat, tempat tak ada “keuntungan selektif” baginya, sebagaimana diistilahkan evolusionis.
Semua ini menunjukkan hipotesis evolusionis bahwa ganggang naik ke darat dan membentuk
tumbuhan darat sama sekali tak ilmiah.
Salah satu konsep terpenting yang harus dipakai seseorang ketika mempertanyakan teori Darwinis
sesuai dengan penemuan-penemuan ilmiah adalah, tak diragukan, syarat yang dipakai Darwin sendiri. Di
dalam buku The Origin of Species, Darwin meletakkan sejumlah syarat nyata yang menganjurkan cara
menguji dan, jika diinginkan, membantah teorinya. Banyak kalimat di dalam bukunya dimulai dengan,
“Jika teori saya benar,” dan di dalamnya Darwin menguraikan penemuan-penemuan yang dibutuhkan
teorinya. Salah satu syarat terpenting menyangkut fosil-fosil dan “bentuk-bentuk peralihan.” Dalam bab-
bab sebelumnya, kita telah mempelajari bagaimana ramalan-ramalan Darwin ini tidak terwujud, dan
bagaimana, sebaliknya, catatan fosil membantah sepenuhnya Darwinisme.
Di samping itu, Darwin memberikan satu lagi syarat sangat penting untuk menguji teorinya. Syarat
ini begitu penting, tulis Darwin, sehingga dapat menyebabkan teorinya mutlak runtuh:
Jika dapat dibuktikan bahwa ada organ rumit apa saja, yang tak mungkin terbentuk melalui
perubahan-perubahan yang banyak, berlanjut, dan sedikit-sedikit, teori saya akan mutlak runtuh.
Namun, saya tak mampu menemukan yang demikian.348
Kita harus menguji maksud Darwin di sini dengan sangat hati-hati. Seperti kita ketahui, Darwinisme
menjelaskan asal usul kehidupan dengan dua mekanisme alam yang tak sadar: seleksi alam dan perubahan
acak (dengan kata lain, mutasi). Menurut teori Darwinis, kedua mekanisme ini membawa kepada
kemunculan struktur rumit sel hidup dan sistem-sistem anatomis makhluk hidup yang rumit, seperti mata,
telinga, sayap, paru-paru, sonar kelelawar, serta jutaan rancangan sistem rumit lainnya.
Akan tetapi, bagaimana sistem-sistem ini, yang berstruktur luar biasa rumitnya, dapat dianggap hasil
dua pengaruh alamiah yang tak sadar? Di sini, konsep yang diterapkan Darwinisme adalah konsep
“keteruraian.” Dikatakan bahwa semua sistem ini bisa diuraikan hingga keadaan yang amat dasar, dan
karena itu berkembang secara bertahap. Setiap tahap memberi makhluk hidup sedikit tambahan kelebihan,
dan karena itu, dipilih oleh seleksi alam. Lalu, belakangan, akan ada perkembangan kecil lain yang
kebetulan, dan perkembangan itu juga disukai karena memberikan sebuah keuntungan, dan proses akan
terus berlanjut dengan cara ini. Berkat proses ini, menurut pernyataan Darwinis, suatu spesies yang aslinya
tak bermata akan bermata sempurna, dan spesies lain yang awalnya tak bisa terbang, akan menumbuhkan
sayap dan bisa terbang.
Cerita ini dituturkan dengan cara yang sangat meyakinkan dan masuk akal di dalam buku-buku
evolusionis. Tetapi, ketika orang membacanya lebih cermat, kekeliruan besar tampak. Segi pertama
kekeliruan ini adalah masalah yang telah kita pelajari pada halaman-halaman sebelumnya buku ini. Mutasi
bersifat merusak, bukan membangun. Dengan kata lain, mutasi acak yang terjadi pada makhluk hidup tidak
memberikan “keuntungan” apa-apa bagi makhluk itu, dan lebih jauh lagi, gagasan bahwa makhluk hidup
bermutasi ribuan kali, satu demi satu, adalah mimpi yang bertentangan dengan semua pengamatan ilmiah.
Namun, masih ada segi sangat penting lain dari kekeliruan ini. Teori Darwinis mensyaratkan
masing-masing tahap dari satu titik ke titik lainnya harus “menguntungkan”. Dalam sebuah proses evolusi
dari A ke Z (misalnya, dari makhluk tak bersayap menjadi bersayap), semua tahap “peralihan” B, C, D, …
V, W, X, dan Y haruslah memberikan keuntungan bagi makhluk bersangkutan. Karena tidak mungkin bagi
seleksi alam dan mutasi secara sadar menentukan terlebih dulu sasaran-sasarannya, keseluruhan teori
didasarkan pada hipotesis bahwa sistem-sistem hidup dapat diuraikan menjadi sifat-sifat kecil yang bisa
ditambahkan ke organisme sedikit demi sedikit, setiap kali memberikan sedikit keuntungan selektif. Itulah
mengapa Darwin mengatakan, “Jika dapat dibuktikan bahwa ada organ rumit apa saja, yang tak mungkin
terbentuk melalui perubahan-perubahan yang banyak, berlanjut, dan sedikit-sedikit, teori saya akan mutlak
runtuh.”
Dengan taraf ilmu pengetahuan abad ke-19 yang masih sederhana, Darwin mungkin berpikir bahwa
makhluk-makhluk hidup berstruktur yang teruraikan. Tetapi, penemuan-penemuan abad ke-20 telah
menunjukkan bahwa banyak sistem dan organ pada makhluk hidup tak bisa diuraikan. Kenyataan ini,
disebut “kerumitan yang tak teruraikan,” dengan telak meruntuhkan Darwinisme, sebagaimana
dikhawatirkan oleh Darwin sendiri.
Flagel Bakteri
Orang terpenting yang membawa konsep kerumitan tak teruraikan ke latar depan agenda ilmiah
adalah ahli biokimia Michael J. Behe dari Lehigh University, Amerika Serikat. Di dalam bukunya
Darwin's Black Box: The Biochemical Challenge to Evolution (Kotak Hitam Darwin: Tantangan
Biokimiawi terhadap Evolusi), yang diterbitkan pada tahun 1996, Behe meneliti struktur rumit tak
teruraikan sel dan sejumlah struktur biokimia lainnya, dan mengungkapkan bahwa semua itu mustahil
dijelaskan oleh evolusi. Menurut Behe, penjelasan sejati tentang kehidupan adalah rancangan cerdas.
Buku Behe adalah sebuah pukulan telak bagi Darwinisme. Malahan, Peter van Inwagen, profesor
filsafat dari University of Notre Dame, menekankan pentingnya buku ini dengan cara berikut:
Jika kaum Darwinian menanggapi buku penting ini dengan mengabaikan, menyalah-artikan, atau
mencemoohkannya, hal itu akan menjadi petunjuk yang menyokong kecurigaan luas saat ini bahwa
Darwinisme berfungsi lebih sebagai sebuah ideologi daripada teori ilmiah. Jika mereka berhasil menjawab
pandangan-pandangan Behe, hal itu akan menjadi petunjuk penting yang menyokong Darwinisme.349
Salah satu contoh menarik kerumitan tak teruraikan yang diberikan Behe di dalam bukunya adalah
flagel bakteri. Flagel adalah organ mirip cambuk yang digunakan sebagian bakteri untuk bergerak di dalam
lingkungan cair. Organ ini tertanam pada membran sel, dan memungkinkan bakteri bergerak ke arah yang
dipilih dengan laju tertentu.
Para ilmuwan telah cukup lama mengenal flagel. Akan tetapi, struktur rincinya, yang hanya muncul
pada akhir dasawarsa ini, datang sebagai kejutan besar bagi mereka. Telah ditemukan bahwa flagel
bergerak dengan “motor organik” yang sangat rumit, bukan dengan mekanisme getar sederhana seperti
yang diyakini sebelumnya. Mesin mirip baling-baling ini dibangun atas azas-azas mekanis yang sama
dengan motor listrik. Ada dua bagian utama: bagian bergerak (“rotor”) dan bagian bergeming (“stator”).
Flagel bakteri berbeda dengan semua sistem organik yang menghasilkan gerak mekanis. Sel bakteri
tidak memanfaatkan cadangan energi yang disimpan sebagai molekul ATP. Tetapi, flagel memiliki sumber
energi khusus: bakteri menggunakan energi dari aliran ion yang melewati membran luar selnya. Struktur
dalam dari motor ini sangat rumit. Sekitar 240 jenis protein menyusun flagel. Setiap protein berada pada
tempat yang tepat. Para ilmuwan telah mengetahui bahwa semua protein ini membawa isyarat untuk
menghidupkan dan mematikan motor penggerak, membentuk engsel-engsel untuk memudahkan gerakan di
tingkat atom, dan menghidupkan protein-protein lain yang menghubungkan flagel ke membran sel. Model-
model yang dibangun untuk merangkum cara kerja sistem ini cukup menggambarkan sifat rumitnya.
Struktur rumit flagel bakteri sendiri saja sudah cukup menghancurkan teori evolusi karena flagel
berstruktur rumit yang tak teruraikan. Jika satu molekul pada struktur rumit yang menakjubkan ini hilang,
atau cacat, flagel tak akan bekerja maupun berguna bagi bakteri. Flagel harus bekerja secara sempurna dari
kali pertama keberadaannya. Fakta ini kembali mengungkapkan kehampaan pernyataan teori evolusi
tentang “perkembangan langkah demi langkah.” Malah, sejauh ini tak satu pun ahli biologi evolusi berhasil
menjelaskan asal usul flagel bakteri walau segelintir orang mencobanya.
Flagel bakteri adalah petunjuk nyata bahwa bahkan pada makhluk yang dianggap “sederhana”, ada
rancangan yang luar biasa. Sambil manusia mempelajari lebih banyak rinciannya, kian bertambah jelas
bahwa organisme-organisme yang dipandang sebagai yang tersederhana oleh para ilmuwan abad ke-19,
termasuk Darwin, sebenarnya sama rumitnya dengan organisme-organisme lain.
Telinga Dalam
Yang kita uraikan sejauh ini tampaknya baru mencakup getaran-getaran di telinga luar dan tengah.
Getaran terus-menerus dilewatkan, tetapi sejauh ini belum ada sesuatu selain gerakan mekanis. Dengan
kata lain, belum ada suara.
Proses tempat gerakan mekanis mulai berubah menjadi suara diawali di dalam daerah yang disebut
telinga dalam. Di telinga dalam, ada organ berbentuk spiral yang berisi sejenis cairan. Organ ini disebut
rumah siput (kokhlea).
Bagian terakhir telinga tengah adalah tulang sanggurdi, yang dihubungkan dengan rumah siput oleh
suatu membran. Getaran-getaran mekanis di telinga tengah diteruskan ke cairan di telinga dalam lewat
hubungan ini.
Getaran yang mencapai cairan di telinga dalam menimbulkan pengaruh gelombang pada cairan.
Dinding-dinding sebelah dalam rumah siput ditutupi oleh struktur-struktur halus mirip rambut, disebut
stereosilia, yang peka terhadap pengaruh gelombang. Rambut-rambut halus ini bergerak sesuai dengan
gerak cairan. Jika suara keras dipancarkan, maka lebih banyak rambut akan merunduk dengan lebih kuat.
Setiap frekuensi berbeda dari dunia luar menimbulkan pengaruh berbeda pada rambut-rambut ini.
Tetapi, apakah arti pergerakan rambut ini? Apakah kaitan gerakan rambut halus pada rumah siput di
telinga dalam dengan mendengarkan suatu konser musik klasik, mengenali suara seorang teman,
mendengar suara sebuah mobil, atau membedakan jutaan jenis suara lainnya?
Jawabannya sangat menarik, dan sekali lagi mengungkapkan kerumitan rancangan pada telinga.
Setiap rambut halus yang menutupi dinding sebelah dalam rumah siput sebenarnya sebuah mekanisme
yang berdiri di atas 16 ribu sel rambut. Ketika merasakan sebuah getaran, rambut-rambut ini bergerak dan
saling mendorong, mirip seperti kartu domino. Gerakan ini membuka saluran pada membran sel-sel yang
terletak di bawah rambut. Dan hal ini memungkinkan arus masuk ion ke dalam sel. Ketika rambut bergerak
ke arah yang berlawanan, saluran ini kembali menutup. Maka, gerakan rambut yang terus-menerus
menyebabkan perubahan terus-menerus keseimbangan kimiawi pada sel-sel di bawahnya, yang lalu
membuat sel-sel menghasilkan isyarat listrik. Isyarat listrik ini diteruskan ke otak oleh syaraf, dan otak lalu
mengolahnya, mengubahnya menjadi suara.
Ilmu pengetahuan masih belum mampu menjelaskan semua rincian teknis sistem ini. Sambil
membangkitkan isyarat-isyarat listrik, sel-sel pada telinga dalam juga berhasil menyalurkan frekuensi,
kekuatan, dan irama yang datang dari luar. Prosesnya begitu rumit sehingga sejauh ini masih belum
dipastikan oleh ilmu pengetahuan apakah sistem pembeda frekuensi terjadi di telinga dalam atau di otak.
Kini, ada fakta menarik yang harus kita pikirkan tentang gerakan rambut halus pada sel-sel telinga
dalam. Sejak awal, kami mengatakan bahwa rambut-rambut bergoyang maju-mundur, saling mendorong
bak kartu domino. Tetapi, biasanya gerakan rambut-rambut halus ini sangat halus. Penelitian telah
menunjukkan bahwa satu gerakan rambut yang sejauh satu atom saja sudah cukup menimbulkan reaksi di
dalam sel. Para pakar yang telah meneliti masalah ini memberikan contoh sangat menarik untuk
menggambarkan kepekaan rambut-rambut ini: jika kita bayangkan sehelai rambut sama tingginya dengan
Menara Eiffel, pengaruh ke sel yang melekat padanya dimulai dengan sebuah gerakan yang sejauh hanya 3
sentimeter dari puncak menara.358
Sama menariknya adalah pertanyaan berapa sering rambut-rambut halus ini mampu bergerak per
detiknya. Kemampuan ini sesuai dengan frekuensi suara. Semakin tinggi, jumlah gerakan rambut-rambut
ini mencapai tingkat yang tak terbayangkan: misalnya, suara berfrekuensi 20 MHz menyebabkan rambut-
rambut halus ini bergerak 20 ribu kali per detik.
Semua yang telah kita telaah sejauh ini menunjukkan bahwa telinga memiliki sebuah rancangan luar
biasa. Pada pengamatan lebih dekat, ternyata rancangan ini rumit tak teruraikan, sebab, untuk bisa
mendengar, semua komponen sistem pendengaran mesti ada dan dalam keadaan utuh yang siap bekerja.
Hilangkan satu saja—misalnya, tulang martil di telinga tengah—atau rusak strukturnya, dan Anda tidak
lagi bisa mendengar apa-apa. Supaya Anda bisa mendengar, beraneka unsur seperti gendang telinga,
tulang-tulang martil, landasan, dan sanggurdi, membran telinga dalam, rumah siput, dan cairan di dalam
rumah siput, rambut-rambut halus yang meneruskan getaran dari cairan ke sel-sel indera di bawahnya, sel-
sel indera itu sendiri, jaringan syaraf yang menghubungkannya ke otak, dan pusat pendengaran di otak
semuanya harus ada dalam keadaan utuh yang siap bekerja. Sistem ini tak bisa dikembangkan secara
“bertahap” karena tahap-tahap peralihan tak berguna sama sekali.
Kesimpulan
Pada bab ini, kita mempelajari hanya sedikit contoh konsep kerumitan tak teruraikan. Sebenarnya,
kebanyakan organ dan sistem pada makhluk hidup berciri demikian. Pada tingkat biokimia khususnya,
sistem-sistem berfungsi dengan kerjasama sejumlah bagian terpisah dan tak bisa dengan cara apa pun
diuraikan menjadi lebih sederhana. Fakta ini membantah Darwinisme, yang mencoba menjelaskan
rancangan pada kehidupan oleh kekuatan-kekuatan alamiah. Darwin mengatakan bahwa “Jika dapat
dibuktikan bahwa ada organ rumit apa saja, yang tak mungkin terbentuk melalui perubahan-perubahan
yang banyak, berlanjut, dan sedikit-sedikit, teori saya akan mutlak runtuh.” Saat ini, biologi mutakhir telah
mengungkapkan tak terhitung contohnya. Maka, orang hanya bisa menyimpulkan bahwa Darwinisme telah
“mutlak” runtuh.
EVOLUSI DAN TERMODINAMIKA
Hukum Kedua Termodinamika, yang diterima sebagai salah satu hukum dasar fisika, mengatakan
bahwa dalam keadaan wajar, semua sistem yang dibiarkan sendiri cenderung menjadi acak, terurai, dan
rusak berbanding lurus dengan jumlah waktu yang berlalu. Segala sesuatu, baik hidup maupun mati, akan
aus, rusak, lapuk, terurai, dan hancur. Inilah akhir yang mutlak yang akan dihadapi oleh semua makhluk
dengan satu atau lain cara, dan menurut hukum ini, proses ini tidak bisa dihindari.
Inilah sesuatu yang kita semua telah amati. Misalnya, jika Anda membawa sebuah mobil ke gurun
dan meninggalkannya di sana, Anda hampir pasti tidak mengharapkannya dalam keadaan yang lebih baik
ketika kembali beberapa tahun kemudian. Sebaliknya, Anda akan melihat bahwa ban-bannya telah kempis,
jendela-jendelanya pecah, kerangkanya berkarat, dan mesinnya mogok. Proses tak terelakkan yang sama
juga terjadi pada semua makhluk hidup.
Hukum Kedua Termodinamika adalah cara menetapkan proses alamiah ini dengan persamaan-
persamaan dan perhitungan-perhitungan fisika.
Hukum fisika yang terkenal ini juga disebut “hukum entropi.” Dalam fisika, entropi adalah ukuran
kekacauan suatu sistem. Entropi sistem meningkat seiring dengan bergeraknya sistem dari keadaan teratur,
tersusun, dan terencana ke keadaan yang lebih acak, terurai, dan tak terencana. Semakin banyak kekacauan
di dalam sistem, semakin tinggi entropinya. Hukum entropi mengatakan bahwa keseluruhan alam semesta
tanpa bisa dihindari berjalan menuju ke keadaan yang lebih tak teratur, tak terencana, dan tak tersusun.
Kebenaran hukum kedua termodinamika, atau hukum entropi, telah dibuktikan lewat percobaan dan
teori. Semua ilmuwan terkemuka sepakat bahwa hukum entropi tetap kerangka berpikir dasar bagi masa
depan yang dekat. Albert Einstein, ilmuwan terbesar zaman kita, menggambarkannya sebagai “hukum
utama segenap cabang ilmu pengetahuan.” Sir Arthur Eddington juga merujuknya sebagai “hukum
metafisika yang agung di sekalian alam.”364
Teori evolusi mengabaikan hukum dasar fisika ini. Mekansime yang ditawarkan oleh evolusi
menentang habis hukum kedua. Teori evolusi mengatakan bahwa atom-atom dan molekul-molekul yang
acak, tersebar, dan mati secara tiba-tiba bersatu seiring dengan waktu, dengan tata tertentu, membentuk
molekul-molekul yang luar biasa rumit seperti protein, DNA, dan RNA, dan setelahnya jutaan jenis spesies
hidup yang berstruktur bahkah lebih rumit muncul satu per satu. Menurut teori evolusi, proses yang
diperkirakan ini—yang menghasilkan struktur yang lebih terencana, lebih teratur, lebih rumit, dan lebih
tersusun pada setiap tahap—terbentuk dengan sendirinya di dalam keadaan-keadaan alamiah. Hukum
entropi membuat terang bahwa proses yang dikatakan alamiah ini sepenuhnya bertentangan dengan
hukum-hukum fisika.
Para ilmuwan evolusionis juga menyadari fakta ini. J.H. Rush menyatakan:
Dalam perjalanan evolusinya yang rumit, kehidupan menunjukkan perbedaan menyolok dengan
kecendrungan yang dinyatakan Hukum Kedua Termodinamika. Sementara Hukum Kedua menyatakan
gerak searah (irreversible) menuju entropi yang dan kekacauan yang meningkat, kehidupan berevolusi
terus-menerus ke tingkat keteraturan yang lebih tinggi.365
Penulis evolusionis Roger Lewin mengungkapkan kebuntuan termodinamis evolusi di dalam sebuah
artikel majalah Science:
Salah satu masalah yang dihadapi para ahli biologi adalah penentangan nyata evolusi terhadap
Hukum Kedua Termodinamika. Sistem-sistem melapuk seiring dengan waktu, memberikan lebih sedikit,
bukan lebih banyak, keteraturan.366
Pembela lainnya teori evolusi, George Stravropoulos, menyatakan kemustahilan termodinamis
pembentukan seketika kehidupan dan kemustahilan menjelaskan keberadaan mekanisme kehidupan yang
rumit dengan hukum-hukum alam dalam majalah evolusionis terkenal American Scientist:
Namun, dalam keadaan alamiah, tiada molekul organik yang rumit dapat terbentuk tiba-tiba, malah
cenderung teruraikan, sesuai dengan hukum kedua termodinamika. Bahkan, semakin rumit suatu molekul,
semakin ia tidak mantap, dan semakin pasti, cepat atau lambat, keteruraiannya. Fotosintesis dan semua
proses kehidupan, dan bahkan kehidupan itu sendiri, masih belum bisa dipahami menurut termodinamika
atau ilmu pasti lainnya, sekalipun dengan penggunaan bahasa yang tanpa atau dengan sengaja
membingungkan.367
Sebagaimana telah kita lihat, pernyataan evolusi sama sekali tidak sejalan dengan hukum fisika.
Hukum kedua termodinamika meletakkan suatu rintangan yang tak teratasi bagi skenario evolusi, secara
ilmiah maupun nalar. Tak mampu mengajukan penjelasan apa pun yang ilmiah dan serasi untuk mengatasi
rintangan ini, para evolusionis hanya bisa melakukannya dalam khayalan mereka. Misalnya, evolusionis
terkenal Jeremy Rifkin menuliskan yang diyakininya bahwa evolusi mengatasi hukum fisika ini dengan
suatu “daya ajaib”:
Hukum entropi mengatakan bahwa evolusi melenyapkan keseluruhan energi yang tersedia bagi
kehidupan di planet ini. Konsep evolusi kami persis kebalikannya. Kami percaya bahwa evolusi entah
bagaimana secara ajaib menciptakan nilai dan keteraturan menyeluruh yang lebih besar di bumi.368
Kata-kata ini menandakan bahwa evolusi lebih sebuah keyakinan fanatik daripada tesis ilmiah.
Filsafat materialis terletak di dasar teori evolusi. Materialisme bersandar pada anggapan bahwa
segala sesuatu yang ada adalah materi. Menurut filsafat ini, materi telah ada sejak kapan pun, akan terus
ada selamanya, dan tak ada apa pun selain materi. Untuk memberikan dukungan bagi pernyataan mereka,
para materialis memakai satu penalaran yang disebut “reduksionisme.” Inilah gagasan bahwa benda-benda
yang tak bisa diamati dapat juga dijelaskan dengan azas-azas materi.
Untuk menjernihkan masalah, mari kita ambil contoh pikiran manusia. Jelas bahwa pikiran tak bisa
disentuh atau dilihat. Lebih jauh lagi, tidak ada pusat di otak manusia. Keadaan ini tak bisa dipungkiri
membawa kita kepada kesimpulan bahwa pikiran adalah sebuah konsep di luar materi. Oleh karena itu,
wujud yang kita rujuk sebagai “saya,” yang berpikir, mencintai, takut, khawatir, dan merasa senang atau
sedih, bukanlah suatu wujud materi seperti halnya seperangkat sofa, sebilah meja, atau sebongkah batu.
Akan tetapi, para materialis menyatakan bahwa pikiran “bisa diuraikan menjadi materi.” Menurut
pernyataan materialis, berpikir, mencintai, mencemaskan dan semua kegiatan mental kita tak lain reaksi-
reaksi kimia yang terjadi di antara atom-atom di dalam otak. Mencintai seseorang adalah suatu reaksi
kimia pada beberapa sel dalam otak kita, dan takut adalah reaksi yang lain. Seorang filsuf materialis
terkenal Karl Vogt menjadi kondang karena pernyataannya bahwa “otak melepaskan gagasan sama
seperti hati melepaskan empedu.”384 Akan tetapi, empedu itu materi, sementara tiada petunjuk bahwa
gagasan juga materi.
Reduksionisme adalah adalah penyimpulan yang nalar. Akan tetapi, suatu penyimpulan yang nalar
dapat didasarkan pada pijakan yang kuat maupun yang rapuh. Karena alasan ini, pertanyaan yang harus
kita ajukan adalah: apakah yang terjadi ketika reduksionisme dibandingkan dengan data ilmiah?
Para ilmuwan dan pemikir materialis abad ke-19 beranggapan bahwa jawabannya adalah ilmu
pengetahuan akan membenarkan reduksionisme. Akan tetapi, ilmu pengetahuan abad ke-20 telah
mengungkapkan suatu gambaran yang amat berbeda.
Salah satu ciri paling menonjol dari gambaran ini adalah “informasi,” yang hadir di alam dan tak
bisa diuraikan menjadi materi.
Pengakuan-Pengakuan Materialis
Kami telah menggambarkan bagaimana salah satu azas mendasar yang membangun kehidupan
adalah “pengetahuan,” dan sudah jelas bahwa pengetahuan ini membuktikan keberadaan Pencipta Yang
Cerdas. Teori evolusi, yang mencoba menjelaskan kehidupan sebagai hasil kebetulan di dunia yang murni
materi, dan filsafat materialis tempatnya berpijak, amat tak berdaya di hadapan kenyataan ini.
Ketika membaca tulisan-tulisan evolusionis, kadang-kadang kita melihat bahwa ketakberdayaan ini
diakui secara terbuka. Seorang berwibawa yang terang-terangan tentang hal ini adalah ahli zoologi terkenal
Perancis Pierre-Paul Grassé. Ia seorang materialis sekaligus evolusionis, meskipun terkadang mengakui
secara terbuka kebuntuan-kebuntuan yang dihadapi teori Darwinis. Menurut Grassé, kebenaran terpenting
yang membantah penjelasan Darwinis adalah pengetahuan yang membangkitkan kehidupan:
Setiap makhluk hidup memiliki jumlah “kecerdasan” yang luar biasa, yang lebih dari cukup untuk
membangun katedral-katedral yang paling hebat. Saat ini, “kecerdasan” ini disebut informasi, tetapi pada
dasarnya tetap benda yang sama. Kecerdasan tidak diprogramkan seperti pada komputer, tetapi
dimampatkan pada taraf molekul di dalam DNA kromosom atau setiap organel lain pada setiap sel.
“Kecerdasan” ini adalah sine qua non [tak bisa tidak]-nya kehidupan. Dari manakah kecerdasan datang?...
Inilah masalah yang memrihatinkan para ahli biologi dan filsafat, dan, saat ini, ilmu pengetahuan tampak
tak mampu memecahkannya.387
Alasan mengapa Pierre-Paul Grassé mengatakan, “ilmu pengetahuan tak mampu memecahkannya,”
adalah bahwa ia tak menginginkan penjelasan nonmaterialis apa pun dipikirkan sebagai “ilmiah.” Akan
tetapi, ilmu pengetahuan itu sendiri membantah hipotesis-hipotesis filsafat materialis, dan membuktikan
keberadaan sesosok Pencipta. Grassé dan para “ilmuwan” materialis lain mengabaikan kenyataan ini, atau
mengatakan “Ilmu pengetahuan tidak menjelaskan hal ini.” Mereka melakukannya karena mereka
materialis lebih dulu dan ilmuwan kemudian, dan terus memercayai materialisme, bahkan jika ilmu
pengetahuan menunjukkan yang sebaliknya.
Karena alasan ini, supaya memiliki sikap ilmiah yang benar, orang harus membedakan antara ilmu
pengetahuan dan filsafat materialis.
MEMBEDAKAN ANTARA ILMU PENGETAHUAN
DAN MATERIALISME
Informasi yang kita pelajari sepanjang buku ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa teori
evolusi tak berlandasan ilmiah, dan bahwa, sebaliknya, pernyataan-pernyataan evolusionis bertentangan
dengan fakta-fakta ilmiah. Dengan kata lain, kekuatan yang menjaga evolusi tetap hidup bukan ilmu
pengetahuan. Evolusi mungkin dipertahankan oleh sebagian “ilmuwan,” tetapi di belakangnya ada
pengaruh lain yang bekerja.
Pengaruh lain ini adalah filsafat materialis. Teori evolusi sekadar filsafat materialis yang diterapkan
pada alam, dan mereka yang mendukung filsafat itu tetap mendukungnya sekalipun petunjuk-petunjuk
ilmiah membantahnya.
Hubungan antara materialisme dan teori evolusi ini diterima oleh “para ahli” konsep-konsep ini.
Misalnya, penemuan Darwin dilukiskan Leon Trotsky sebagai “kemenangan terbesar dialektika di segenap
bidang materi organik.”388
Ahli biologi evolusi Douglas Futuyma menulis, “Bersama dengan teori sejarah dan kemasyarakatan
materialisnya Marx… Darwin membelah papan-papan terakhir tataran mekanisme dan
materialisme.”389 Dan seorang ahli paleontologi evolusi Stephen Jay Gould mengatakan,”Darwin
menerapkan filsafat materialisme yang teguh pada tafsirannya tentang alam.”390
Filsafat materialis adalah salah satu pemikiran tertua di dunia, serta memandang keberadaan materi
yang mutlak dan tersendiri sebagai azas dasarnya. Menurut pandangan ini, materi selalu ada, dan segala
sesuatu yang ada tersusun dari materi. Tentu saja, ini memustahilkan kepercayaan kepada Sang Pencipta,
sebab jika materi selalu ada, dan jika segala sesuatu tersusun dari materi, maka tidak mungkin ada Sang
Pencipta yang supramaterial (di atas materi) yang menciptakan materi.
Jadi, masalahnya menjadi apakah sudut pandang materialis ini benar. Satu cara menguji apakah
suatu filsafat benar atau tidak adalah menyelidiki pernyataan-pernyataan yang dibuatnya tentang ilmu
pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah. Misalnya, seorang filsuf pada abad ke-10 dapat
menyatakan bahwa ada pohon keramat di permukaan bulan, dan semua makhluk hidup sebenarnya tumbuh
bak buah di cabang-cabang pohon besar ini, lalu jatuh ke bumi. Sebagian orang mungkin menganggap
filsafat ini menarik dan memercayainya. Namun, pada abad ke-21, ketika manusia telah berhasil
melangkahkan kaki di bulan, tidak lagi mungkin sungguh-sungguh meyakini kepercayaan seperti itu. Ada-
tidaknya pohon semacam itu dapat ditentukan dengan cara-cara ilmiah, yakni, dengan pengamatan dan
percobaan.
Karena itu, kita dapat menyelidiki dengan cara-cara ilmiah pernyataan bahwa materi telah ada
selamanya dan dapat menyusun diri tanpa sesosok Pencipta yang supramaterial serta menyebabkan
kehidupan dimulai. Ketika melakukan hal ini, kita akan melihat bahwa materialisme telah runtuh, sebab
gagasan bahwa materi ada sejak awal waktu telah dijungkalkan oleh Teori Ledakan Besar yang
menunjukkan bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan. Pernyataan bahwa materi menyusun diri dan
menciptakan kehidupan adalah pernyataan yang kita sebut sebagai teori evolusi—yang ditelaah oleh buku
ini—dan yang telah ditunjukkan keruntuhannya.
Akan tetapi, jika seseorang bertekad memercayai materialisme dan memberikan pengabdiannya
kepada filsafat materialis ini di atas segalanya, maka ia akan bersikap lain. Jika ia materialis lebih dulu dan
ilmuwan kemudian, ia tak akan melepaskan materialisme ketika melihat bahwa evolusi dibantah oleh ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, ia akan berupaya menegakkan dan mempertahankan materialisme dengan
mencoba mendukung evolusi, biar bagaimana pun. Inilah sebenarnya kesulitan yang di dalamnya
evolusionis yang membela teori evolusi mendapati diri berada saat ini.
Yang cukup menarik, mereka pun mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Seorang ahli genetika
terkenal sekaligus evolusionis yang blak-blakan, Richard C. Lewontin dari Harvard University, mengakui
bahwa ia “materialis lebih dulu dan ilmuwan kemudian,” dengan kata-kata berikut:
Bukan cara-cara atau lembaga-lembaga ilmiah yang memaksa kami menerima penjelasan material
gejala-gejala di dunia ini, tetapi malah sebaliknya, kami dipaksa oleh ketaatan a priori kami kepada
azas-azas material untuk menciptakan seperangkat penyelidikan dan sekumpulan konsep yang
menghasilkan penjelasan material, betapa pun melawan kata hati, betapa pun membingungkan bagi
yang tidak berpengetahuan. Lagi pula, materialisme itu mutlak, jadi kami tak bisa mengizinkan Kaki
Tuhan di depan pintu.391
Istilah “a priori” yang digunakan Lewontin di sini sangat penting. Istilah filsafat ini merujuk ke
praduga yang tak didasarkan pada sesuatu pengetahuan dari percobaan. Sebuah pemikiran adalah “a priori”
ketika Anda menganggapnya benar dan menerimanya bahkan sekalipun tak tersedia informasi yang
membenarkannya. Sebagaimana secara jujur diungkapkan Lewontin, materialisme adalah sebuah janji “a
priori” bagi evolusionis, yang lalu mencoba menyesuaikan ilmu pengetahuan ke prasangka ini. Karena
materialisme tegas-tegas mengharuskan pengingkaran keberadaan Sang Pencipta, mereka mencengkam
satu-satunya pilihan yang mereka miliki, yaitu teori evolusi. Tak masalah bagi ilmuwan seperti mereka
bahwa evolusi telah gagal dibenarkan oleh fakta-fakta ilmiah karena mereka telah menerimanya “a priori”
sebagai benar.
Sikap berprasangka ini membawa para evolusionis kepada sebuah keyakinan bahwa “materi tak
sadar menyusun dirinya sendiri,” yang bertentangan tak hanya dengan ilmu pengetahuan, namun juga
dengan akal sehat. Konsep “swasusun materi” yang telah kita telaah pada bab sebelumnya, adalah
ungkapan kepercayaan ini.
Propaganda evolusionis, yang selalu kita temui pada media Barat serta majalah-majalah ilmiah
terkenal dan bergengsi, adalah hasil kewajiban ideologis ini. Karena dirasakan mutlak diperlukan, evolusi
telah dijadikan sapi keramat oleh kalangan yang menetapkan standar-standar ilmu pengetahuan.
Sebagian ilmuwan menemukan diri dalam kedudukan yang memaksa mereka membela teori yang
tak meyakinkan ini, atau setidaknya menghindari mengatakan apa-apa yang menentangnya. Para akademisi
di negara-negara barat diharuskan menerbitkan artikel-artikel mereka di majalah-majalah ilmiah tertentu
untuk meraih dan mempertahankan jabatan akademis. Semua majalah yang membahas biologi ada di
bawah kendali para evolusionis, dan mereka tak mengizinkan artikel anti evolusi apa pun muncul di
dalamnya. Karenanya, para ahli biologi harus melakukan penelitiannya di bawah pengaruh teori evolusi.
Mereka juga bagian dari tatanan mapan yang memandang evolusi sebagai suatu keharusan ideologis, yang
menjadi alasan mereka membela membabi-buta semua “kebetulan-kebetulan mustahil” yang telah kita
telaah di dalam buku ini.
Menerima Kejutan-Kejutan
Sebagaimana baru saja kami tekankan, materialisme adalah keyakinan yang langsung dan terbuka
menolak keberadaan sesuatu yang nonmaterial (atau “adikodrati”). Di sisi lain, ilmu pengetahuan tidak
wajib menerima dogma semacam itu. Tugas ilmu pengetahuan adalah mengamati alam dan menyampaikan
hasil-hasilnya. Jika hasil-hasil ini mengungkapkan bahwa alam diciptakan, ilmu pengetahuan harus
menerima fakta ini.
Dan ilmu pengetahuan memang mengungkapkan fakta bahwa makhluk-makhluk hidup diciptakan. Inilah
sesuatu yang ditunjukkan oleh penemuan-penemuan ilmiah, yang bisa kita sebut “rancangan.” Ketika menelaah
struktur-struktur rumit menakjubkan pada makhluk-makhluk hidup, kita melihat bahwa struktur-struktur itu
berciri-ciri rancangan yang demikian luar biasa yang tak akan pernah dapat diterangkan dengan proses-proses
dan kebetulan-kebetulan alamiah. Setiap contoh rancangan adalah petunjuk suatu kecerdasan; dan karena itu, kita
harus menyimpulkan bahwa kehidupan juga dirancang oleh suatu kecerdasan. Karena tidak ada di dalam materi,
kecerdasan ini pasti dimiliki oleh suatu kebijaksanaan nonmaterial—suatu kebijaksanaan yang unggul, suatu
daya tak terbatas, yang mengatur semesta alam… Singkatnya, kehidupan dan semua makhluk hidup diciptakan.
Ini bukanlah sebuah kepercayaan dogmatis seperti materialisme, tetapi hasil pengamatan dan percobaan ilmiah.
Kita melihat bahwa kesimpulan ini datang bak sebuah kejutan yang mengerikan bagi para ilmuwan
yang terbiasa memercayai materialisme dan bahwa materialisme itu ilmu pengetahuan. Lihatlah bagaimana
kejutan ini diuraikan oleh Michael Behe, salah seorang ilmuwan penting yang tegak menantang teori
evolusi di dunia saat ini:
Kesadaran yang dihasilkan bahwa kehidupan dirancang oleh suatu kecerdasan merupakan sebuah
kejutan di abad ke-20 bagi kita yang telah terbiasa memikirkan kehidupan sebagai hasil hukum-hukum
alam yang sederhana. Tetapi, abad-abad yang lain telah menerima kejutannya masing-masing, dan tiada
alasan mengharapkan bahwa kita mesti lari dari kejutan-kejutan ini.396
Manusia telah dibebaskan dari dogma-dogma seperti bumi itu datar, atau bumi itu pusat alam
semesta. Dan kini, manusia telah dibebaskan dari dogma materialis dan evolusionis bahwa kehidupan
muncul dengan sendirinya.
Tugas yang dibebankan kepada seorang ilmuwan sejati dalam hal ini adalah membuang dogma
materialis dan mengkaji asal usul kehidupan dan makhluk-makhluk hidup dengan kejujuran dan ketulusan
yang cocok untuk seorang ilmuwan yang sesungguhnya. Ilmuwan yang sesungguhnya harus menerima
“kejutan,” dan tidak mengikat diri dengan dogma abad ke-19 yang usang dan membela skenario-skenario
yang mustahil.
KESIMPULAN
Sepanjang buku ini kita telah menelaah petunjuk ilmiah bagi asal usul kehidupan, dan apa yang
muncul dengan jelas menunjukkan bahwa kehidupan bukanlah hasil kebetulan, sebagaimana secara umum
dinyatakan oleh Darwinisme dan filsafat materialis. Makhluk-makhluk hidup tak mungkin berevolusi dari
satu bentuk ke bentuk lain melalui serangkaian kebetulan. Sebaliknya, semua makhluk hidup diciptakan
sendiri-sendiri dan tanpa cela. Sambil abad ke-21 menjelang, ilmu pengetahuan memberikan hanya satu
jawaban bagi pertanyaan asal usul kehidupan: Penciptaan.
Hal yang penting adalah ilmu pengetahuan telah menegaskan kebenaran yang disaksikan oleh agama
dari sejak awal sejarah hingga sekarang. Allah menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup di
dalamnya dari ketiadaan. Dan Allah juga menciptakan manusia dari ketiadaan dan memberkatinya dengan
tak terhitung sifat. Kebenaran ini telah disampaikan kepada manusia sejak zaman dahulu oleh para nabi,
dan diungkapkan di dalam kitab-kitab suci. Setiap nabi telah mengabarkan kepada umatnya bahwa Allah
menciptakan manusia dan semua makhluk hidup. Injil dan Al Qur’an keduanya mengabarkan tentang
penciptaan dengan cara yang sama.
Di dalam Al Qur’an, Allah berfirman pada sejumlah ayat bahwa Dialah yang menciptakan alam
semesta dan semua makhluk di dalamnya dari ketiadaan, dan menata semuanya tanpa cela. Pada ayat
berikut, dinyatakan bahwa alam semesta dan apa-apa di dalamnya diciptakan:
Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya
dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang, (masing-masing)
tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al A’râf, 7: 54)
Sama seperti Allah menciptakan segala sesuatu yang ada, Dia juga menciptakan bumi yang kita huni
saat ini, dan membuatnya mampu mendukung kehidupan. Fakta ini diungkapkan di dalam ayat-ayat
tertentu:
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung, dan Kami
tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi
keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali
bukan pemberi rizki kepadanya. (QS. Al Hijr, 15: 19-20)
Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan
Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. (QS. Qâf, 50: 7)
Ayat-ayat di atas menyampaikan bahwa semua tumbuhan diciptakan oleh Allah. Semua tumbuhan,
baik yang diketahui maupun yang tidak, semua pohon, rumput, buah, bunga, rumput laut, dan sayuran
diciptakan oleh Allah.
Dan hal yang sama pun berlaku untuk hewan. Semua jutaan spesies hewan yang hidup, atau pernah
hidup, di bumi, diciptakan oleh Allah. Ikan, reptil, burung, mamalia, kuda, jerapah, bajing, rusa, burung
gereja, elang, dinosaurus, paus, dan merak, semuanya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah, Tuhan yang
memiliki kemahiran dan pengetahuan tak terhingga. Penciptaan aneka ragam spesies makhluk hidup oleh
Allah disebutkan dalam sejumlah ayat:
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada
yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nûr, 24: 45)
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya engkau makan. (QS. An Nahl, 16: 5)
Dan Allah menciptakan manusia dengan cara yang tepat sama. Hal ini diungkapkan di dalam Al
Qur’an bahwa Adam, manusia pertama, diciptakan dari tanah, dan semua manusia selanjutnya muncul dari
satu sama lain lewat sejenis cairan hina (mani). Lebih jauh lagi, manusia memiliki ruh yang ditiupkan ke
jasadnya, tidak seperti spesies-spesies lain di bumi. Al Qur’an mengatakan yang berikut tentang kebenaran
penciptaan manusia:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya, dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina (air mani). (QS. As Sajdah, 32: 7-8)
Kewajian Manusia
Seperti yang telah kami jelaskan sejak awal, ilmu pengetahuan telah menegaskan kebenaran
penciptaan, sebagaimana diturunkan di dalam Al Qur’an, sebab penemuan-penemuan ilmiah menunjukkan
bahwa makhluk-makhluk hidup memiliki rancangan yang luar biasa, dan diadakan oleh suatu kecerdasan
dan pengetahuan yang hebat. Pengamatan-pengamatan biologi menunjukkan bahwa satu spesies hidup
tidak bisa beralih menjadi yang lain, dan karena alasan ini, jika seseorang bisa memutar balik waktu,
akhirnya akan ia temukan, bagi setiap spesies, individu pertama yang pernah ada dan diciptakan dari
ketiadaan. Misalnya, karena elang selalu menjadi elang, jika kita kembali ke masa lampau, kita akan
sampai ke pasangan atau kelompok pertama elang yang diciptakan dari ketiadaan. Nyatanya, catatan fosil
menegaskan hal ini, dan menunjukkan bahwa aneka spesies hidup muncul tiba-tiba beserta semua ciri khas
masing-masing. Makhluk-makhluk hidup ini mungkin telah diciptakan pada waktu yang berlainan dan
ditaruh di belahan bumi yang berlainan, tetapi semua ini terjadi atas kehendak Allah.
Singkatnya, ilmu pengetahuan menegaskan bukti yang telah kita kaji bahwa semua makhluk hidup
diciptakan oleh Allah.
Akan tetapi, ilmu pengetahuan tak beranjak lebih jauh dari itu. Al Qur’an-lah, kitab yang telah
diturunkan Allah kepada kita, yang mengenalkan kita kepada intisari Allah dan satu-satunya sumber
kebenaran bagi setiap persoalan serta mengabarkan kepada kita mengapa kita diciptakan dan apa tujuan
hidup kita.
Al Qur’an mengatakan bahwa tujuan penciptaan kita adalah supaya kita dapat mengenal Allah,
Tuhan kita, dan mengabdi kepadaNya. Dalam suatu ayat, Ia berfirman, “Aku menciptakan jin dan
manusia hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzâriyât, 51: 56) Kewajiban yang dilimpahkan
kepada setiap orang yang memahami kebenaran penciptaan adalah hidup menurut ayat itu, dan
mengatakan, sebagaimana setiap orang beriman, “Mengapakah aku tidak menyembah (Tuhan) yang
telah menciptakanku dan yang hanya kepadaNya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?” (QS.
Yassîn, 36: 22), sebagaimana diuraikan di dalam Al Qur’an.
Sedangkan bagi yang menolak keberadaan Allah dan kebenaran peciptaan, sekalipun semua
petunjuk di depan mata mereka, pikiran mereka telah ditaklukkan oleh kesombongan mereka sendiri. Salah
satu ayat suci Allah menguraikan betapa tak tertolong dan tak berdayanya orang-orang ini sesungguhnya:
Hai manusia! Telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat
pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari
mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al Hajj, 22: 37)
RAHASIA DI BALIK MATERI
PERINGATAN!
Bab yang kini akan Anda baca mengungkapkan rahasia penting kehidupan Anda. Anda mesti
membaca sepenuh perhatian dan seluruhnya karena menyangkut sebuah pokok yang berperan membuat
perubahan mendasar dalam pandangan Anda atas dunia luar. Pokok masalah bab ini bukan sekadar satu
sudut pandang, suatu pendekatan yang berbeda, atau suatu pemikiran filsafat biasa: inilah fakta yang
setiap orang, beriman atau tidak, harus mengakuinya dan juga telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan
masa kini.
Konsep “sifat materi” adalah satu konsep yang berperan menyebabkan perubahan pandangan
seseorang atas kehidupan, dan malah keseluruhan kehidupannya, sekali intisarinya diketahui. Pokok ini
terkait langsung dengan makna hidup Anda, harapan Anda pada masa depan, cita-cita Anda, nafsu-nafsu,
hasrat-hasrat, rencana-rencana, konsep-konsep yang Anda anut, dan benda-benda materi yang Anda miliki.
Pokok masalah bab ini, “sifat materi,” bukanlah suatu pokok yang muncul kali pertamanya saat ini.
Sepanjang sejarah manusia, banyak pemikir dan ilmuwan telah membahas konsep ini. Semenjak awal,
orang-orang telah terpisah menjadi dua kelompok dalam persoalan ini; satu kelompok, yang dikenal
sebagai materialis, mendasarkan filsafat dan kehidupan mereka pada keberadaan hakiki materi dan hidup
dengan memperdaya diri. Kelompok yang lain berbuat tulus, dan karena tak cemas untuk berpikir lebih
keras, mencurahkan hidup demi memahami intisari dari “benda-benda” kepada mana mereka terpapar dan
makna mendalam yang terletak di baliknya. Akan tetapi, kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi di zaman kita akhirnya menyudahi pertentangan ini dengan membuktikan tanpa terbantahkan
fakta yang terbukti dengan sendirinya bahwa materi tak memiliki keberadaan yang hakiki.
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh, jika
keduanya akan lenyap, tak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir, 35: 41)
Sebagaimana kami sebutkan di awal, sebagian orang tidak memiliki pemahaman yang murni tentang
Allah dan karena itu membayangkan Allah sebagai suatu wujud yang ada di suatu tempat di langit dan tak
benar-benar mencampuri urusan duniawi. Landasan penalaran ini sebenarnya terletak pada gagasan bahwa
alam semesta ini sebuah kumpulan materi dan Allah ada “di luar” dunia materi ini, di suatu tempat nun
jauh.
Akan tetapi, sebagaimana telah kami uraikan sejauh ini, materi tersusun hanya dari kesan-kesan.
Dan satu-satunya wujud mutlak yang nyata adalah Allah. Ini berarti hanya Allah yang ada; segala
sesuatu selain Dia hanyalah wujud-wujud semu. Akibatnya, mustahil memahami Allah sebagai terpisah
dan di luar seluruh kumpulan materi ini. Sebab, sebenarnya tak ada sesuatu yang disebut materi dalam hal
kewujudan. Allah pasti “di mana-mana” dan meliputi segala sesuatu. Keniscayaan ini dijelaskan di
dalam Al Qur’an sebagai berikut:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-
menerus mengurus (makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang ada
di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya. Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar. (QS. Al Baqarah, 2: 255)
Karena masing-masing wujud material itu sebuah kesan, semua wujud itu tak bisa melihat Allah;
tetapi Allah melihat materi yang Dia ciptakan dengan segala bentuknya. Di dalam Al Qur’an, hal ini
disebutkan demikian: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan.” (QS. Al An’âm, 6: 103)
Dengan kata lain, kita tak bisa memahami wujud Allah dengan mata kita, tetapi Allah sepenuhnya
meliputi sisi dalam, sisi luar, penglihatan, dan pikiran kita. Karena itu, Allah berfirman bahwa “Dialah
yang mengendalikan pendengaran dan penglihatan.” (QS. Yunus, 10: 31) Kita tak dapat mengucapkan
sepatah kata pun tanpa sepengetahuanNya, bahkan tidak juga kita dapat bernapas.
Ketika kita menyaksikan kesan-kesan inderawi dalam perjalanan hidup kita, wujud terdekat dengan
kita bukanlah salah satu kesan ini. Ayat Al Qur’an berikut ini menegaskan keniscayaan ini: “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya,
dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qâf, 50: 16) Ketika seseorang berpikir
bahwa tubuhnya hanya tersusun dari ”materi,” ia tak mampu memahami fakta penting ini. Jika ia
menganggap otaknya adalah “dirinya,” maka tempat yang dianggapnya sisi luar adalah 20-30 cm darinya.
Menurut penalaran ini, tiada yang bisa lebih dekat baginya daripada urat lehernya. Akan tetapi, jika ia
memahami bahwa tak ada sesuatu pun yang disebut materi, dan segala sesuatu sekadar khayalan, gagasan-
gagasan seperti sisi luar, sisi dalam, jauh atau dekat, kehilangan makna. Allah meliputi dirinya dan “amat
sangat dekat” dengannya.
Allah mengabari manusia bahwa Ia “amat sangat dekat” dengannya di dalam ayat: “Maka apabila
hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah
dekat (dengan mereka).” (QS. Al Baqarah, 2: 186) Ayat lain menuturkan fakta yang sama: “Dan
(ingatlah), ketika Kami mewahyukan kepadamu, ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala
manusia.’” (QS. Al Isrâ, 17: 60) Akan tetapi, manusia disesatkan dengan berpikir bahwa wujud terdekat
dengannya adalah dirinya sendiri. Sebenarnya, Allah bahkan lebih dekat dengan kita daripada diri kita
sendiri.
Dia telah menarik perhatian kita ke masalah ini dalam ayat: “Maka, mengapakah ketika nyawa
sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripadamu, tetapi kamu tidak melihat?” (QS. Al Wâqi’ah, 56: 83-85)
Satu-satunya kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan fakta yang disajikan di sini adalah
satu-satunya wujud yang mutlak dan nyata adalah Allah. Dengan pengetahuanNya, Allah meliputi
manusia, yang merupakan wujud semu, maupun juga semua yang lainnya.
Yang sebaliknya berlaku bagi manusia, yang bukan sesuatu melainkan wujud semu, dan yang
demikian bergantung kepada Allah, bahwa mustahil baginya memiliki kekuatan atau kehendak sendiri:
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. Al Insân, 76:
30) Ayat lain yang menunjukkan bahwa semua yang kita alami terjadi atas izin Allah terbaca: “Padahal
Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash Shâffaat, 37: 96) Di dalam
Al Qur’an, kenyataan ini disebutkan pada banyak ayat dan dengan ayat “Bukan kamu yang melempar
ketika melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS. Al Anfâl, 8: 17), ditekankan bahwa tidak ada
perbuatan yang lepas dari Allah.
Inilah kenyataannya. Seseorang mungkin tak ingin mengakuinya dan memikirkan dirinya sebagai
sesosok wujud yang tak bergantung kepada Allah; namun hal ini tak berpengaruh apa-apa. Tentu saja,
penolakannya yang tak bijaksana ini lagi-lagi atas kehendak dan keinginan Allah. Di dalam Al Qur’an,
fakta ini diterangkan demikian:
Maka, apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNya-lah
menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan
hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (QS. Ali Imran, 3: 83)
Kesimpulan
Masalah yang telah kami jelaskan sejauh ini adalah salah satu kebenaran terbesar yang pernah Anda
terima di dalam kehidupan Anda. Anda dapat menyelidiki lebih jauh lagi lewat perenungan pribadi. Karena
itu, Anda harus memusatkan pikiran, mencurahkan perhatian, dan merenungkan cara melilhat pada benda-
benda di sekitar Anda, serta cara Anda merasakan sentuhannya. Jika Anda berpikir dengan penuh
perhatian, Anda bisa merasakan bahwa wujud cerdas yang melihat, mendengar, menyentuh, berpikir, dan
membaca buku ini pada saat ini hanyalah sesosok jiwa, yang menyaksikan kesan-kesan yang disebut
“materi” pada sebuah layar. Seseorang yang memahami hal ini dianggap telah menjauhi alam materi yang
memperdaya sebagian besar manusia, dan memasuki alam keberadaan sejati.
Keniscayaan ini telah dipahami sejumlah agamawan dan filsuf sepanjang sejarah. Kaum
cendekiawan Islam seperti Imam Rabbani, Muhyidin Ibn al ‘Arabi, dan Maulana Jami menyadari hal ini
dari ayat-ayat Al Qur’an dan lewat menggunakan penalaran mereka. Beberapa filsuf barat seperti George
Berkeley telah menangkap kenyataan yang sama lewat penalaran. Imam Rabbani menulis di dalam kitab
Maktubat (Surat-Surat) bahwa keseluruhan alam materi adalah sebuah “khayalan dan kesan” dan bahwa
wujud yang mutlak adalah Allah:
Allah… hakikat wujud-wujud yang Ia ciptakan semata-mata ketiadaan… Ia menciptakan semua
yang ada di dalam ruang kesan dan khayalan… Keberadaan alam semesta adalah di dalam ruang kesan dan
khayalan, dan tidak hakiki… Dalam kenyataan, tak ada apa-apa di luar kecuali Sang Wujud Agung (Ialah
Allah).417
Maulana Jami mengatakan fakta yang sama, yang ditemukannya dari mengikuti tanda-tanda Al
Qur’an dan menggunakan kecerdikannya: “Semua gejala alam semesta adalah kesan dan khayalan. Semua
itu seperti pantulan di dalam cermin alias bayang-bayang.”
Akan tetapi, jumlah mereka yang telah memahami fakta ini sepanjang sejarah selalu terbatas.
Ulama-ulama besar seperti Imam Rabbani menulis bahwa mungkin tidak bijaksana untuk menyampaikan
fakta ini kepada masyarakat umum karena sebagian besar orang tak mampu memahaminya.
Di masa kita hidup ini, hal itu telah ditegaskan sebagai sebuah fakta empiris oleh serangkaian
petunjuk yang diajukan ilmu pengetahuan. Fakta bahwa alam semesta itu sesosok wujud semu diuraikan
kali pertama dalam sejarah dengan cara yang demikian nyata, jelas, dan gamblang.
Karena alasan ini, abad ke-21 akan menjadi titik balik sejarah, ketika masyarakat secara umum
memahami keniscayaan-keniscayaan ilahiah dan dibimbing beramai-ramai kepadaNya, satu-satunya
Wujud yang Mutlak. Kepercayaan-kepercayaan materialistik abad ke-19 akan dilemparkan ke onggokan
sampah sejarah, kewujudan dan penciptaan Allah akan diterima, ketiadaan ruang dan waktu akan
dipahami; manusia, singkatnya, akan menyibakkan tabir, penipuan, dan takhayul yang berumur berabad-
abad dan telah membingungkan mereka.
Mustahil jalan yang tak terelakkan ini dihalangi oleh wujud semu apa pun.
KETIADAAN WAKTU DAN HAKIKAT TAKDIR
Semua yang diuraikan sejauh ini menunjukkan bahwa “ruang tiga dimensi” pada hakikatnya tidak
ada, bahwa ruang itu sebuah prasangka yang sepenuhnya dibangun di atas kesan-kesan dan bahwa
seseorang menjalani seluruh hidupnya di dalam “ketiadaan ruang.” Sebab, tidak ada bukti yang sah tentang
keberadaan dunia materi tiga-dimensi. Alam semesta yang kita huni adalah sekumpulan citra yang tersusun
dari permainan cahaya dan bayangan. Mengatakan yang sebaliknya berarti menganut kepercayaan takhayul
yang jauh tercerai dari nalar dan kebenaran ilmiah.
Ini membantah anggapan utama filsafat materialis, yakni, bahwa materi mutlak dan abadi. Anggapan
kedua, di atas mana filsafat materialistik berdiri, adalah anggapan bahwa waktu mutlak dan abadi. Ini sama
takhayulnya dengan yang pertama.
Yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu kamu mematuhiNya sambil memujiNya dan kamu
mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. Al Isrâ, 17: 52)
Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa
di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di
waktu itu) mereka saling berkenalan satu sama lain. (QS. Yunus, 10: 45)
Beberapa ayat mengisyaratkan bahwa manusia berbeda-beda dalam mengesani waktu, dan
kadangkala dapat merasakan suatu masa yang amat pendek sebagai amat lama:
Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab:
“Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang
menghitung.” Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu
sesungguhnya mengetahui.” (QS. Al Mu’minûn, 23: 112-114)
Dalam beberapa ayat yang lain, Allah berfirman bahwa waktu bisa mengalir dengan laju berbeda
pada suasana yang berlainan:
…Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu sama dengan seribu tahun menurut perhitunganmu.
(QS. Al Hajj, 22: 47)
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya
limapuluh ribu tahun. (QS. Al Ma’ârij, 70: 4)
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu
hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. As Sajdah, 32: 5)
Ayat-ayat ini adalah ungkapan jelas tentang kenisbian waktu. Bahwa temuan ini, yang baru-baru
saja dipahami oleh para ilmuwan di abad ke-20, disampaikan kepada manusia sejak 1.400 tahun yang lalu
di dalam Al Qur’an adalah sebuah isyarat pewahyuan Al Qur’an oleh Allah, Yang meliputi segenap waktu
dan ruang.
Banyak ayat lain di dalam Al Qur’an yang mengungkapkan bahwa waktu itu sebuah kesan. Keadaan
yang diuraikan pada ayat di bawah ini yang juga petunjuk bahwa waktu sebenarnya sebuah kesan
psikologis.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya)
telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri
ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya
kembali. Allah bertanya: “Berapa lamakah kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya telah tinggal
di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: ”Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus
tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah
kepada keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikanmu tanda
kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami
menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata
kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), ia pun berkata: “Aku yakin bahwa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah, 2: 259)
Ayat di atas dengan jelas menekankan bahwa Allah, Yang menciptakan waktu, tidak terikat olehnya.
Di sisi lain, manusia terikat oleh waktu, sebagaimana ditakdirkan oleh Allah. Seperti di dalam ayat itu,
manusia bahkan tak mampu mengetahui berapa lama ia telah tertidur. Karena itu, menyatakan bahwa
waktu itu mutlak (sebagaimana dilakukan para materialis dengan pemikiran menyimpang mereka) sangat
tak beralasan.
Takdir
Kenisbian waktu menjernihkan sebuah masalah yang sangat penting. Kenisbian begitu beragam
sehingga masa yang kita alami milliaran tahun lamanya mungkin berlangsung hanya sedetik dari sudut
pandang lain. Lebih lagi, suatu masa waktu yang sangat lama, mulai dari awal dunia hingga akhir zaman,
mungkin berlangsung seketika di dalam dimensi lain.
Inilah hakikat sejati konsep takdir—sebuah konsep yang tidak dimengerti dengan baik oleh
kebanyakan orang, khususnya para materialis yang menolaknya sepenuhnya. Takdir adalah pengetahuan
sempurna Allah tentang semua peristiwa masa lalu atau masa depan. Sebagian besar manusia
mempertanyakan cara Allah bisa mengetahui peristiwa-peristiwa yang belum dialami dan hal ini membawa
mereka ke kekeliruan memahami kebenaran takdir. Akan tetapi, “peristiwa-peristiwa yang belum dialami”
hanya berlaku bagi kita. Allah tidak terikat oleh waktu atau ruang, karena Ia yang menciptakan keduanya.
Karena alasan ini, masa lalu, masa depan, dan saat ini sama saja bagi Allah; bagiNya segala sesuatu
telah terjadi dan selesai.
Di dalam buku The Universe and Dr. Einstein, Lincoln Barnett menjelaskan bagaimana Teori
Relatifitas Umum mengarah ke kesimpulan ini. Menurut Barnett, alam semesta dapat “diliputi seluruh
keagungannya hanya oleh suatu kecerdasan semesta.”424 Kehendak yang disebut Barnett sebagai
“kecerdasan semesta” adalah kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, Yang mencakup semesta alam.
Sama seperti kita dengan mudah bisa melihat pangkal, tengah, dan ujung sebatang mistar, serta semua
penanda satuan yang ada di antaranya sebagai satu keseluruhan, Allah mengetahui waktu yang kita alami
seakan suatu peristiwa tunggal sejak dari awal hingga akhirnya. Akan tetapi, manusia mengalami
peristiwa-peristiwa hanya ketika saatnya tiba dan menyaksikan takdir yang telah diciptakan Allah
untuknya.
Juga penting menarik perhatian kepada kedangkalan dari pemahaman menyimpang tentang takdir
yang lazim di masyarakat. Kepercayaan menyimpang tentang takdir ini adalah sebuah takhayul bahwa
Allah telah menentukan “takdir” bagi tiap-tiap manusia, namun manusia kadang dapat mengubah
takdirnya. Misalnya, orang membuat pernyataan dangkal tentang seorang pasien yang bangkit dari
sakaratul maut seperti “ia mengalahkan takdirnya.” Tak seorang pun mampu mengubah takdirnya. Orang
yang bangkit dari sakaratul maut, tidak mati saat itu karena ditakdirkan demikian. Ironisnya, sudah takdir
bagi orang-orang yang memperdayakan diri dengan berkata “saya menaklukkan takdir saya” bahwa
mereka mesti berkata dan mempertahankan kerangka berpikir yang demikian. Di dalam ayat berikut,
“..Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula
dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab. Sesungguhnya yang demikian itu
bagi Allah adalah mudah.” (QS. Fathir, 35: 11), disebutkan bahwa semua hal tak lebih dari takdir. Takdir
adalah pengetahuan abadi Allah dan untuk Allah, Yang mengetahui waktu bagaikan satu peristiwa tunggal
dan Yang menguasai seluruh ruang dan waktu; segalanya ditentukan dan selesai di dalam takdir.
Kita juga memahami dari yang difirmankanNya di dalam Al Qur’an bahwa waktu adalah satu bagi
Allah: beberapa peristiwa yang tampak bagi kita terjadi di masa depan disebutkan dalam Al Qur’an
seakan-akan telah terjadi jauh sebelumnya. Misalnya, ayat-ayat yang menguraikan pertanggungjawaban
yang harus diberikan kepada Allah di akhirat dituturkan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dahulu
kala:
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang ada di langit dan di bumi kecuali siapa
yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, dan tiba-tiba mereka berdiri
menunggu! Dan terang-benderanglah bumi (Padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya,
dan diberikanlah buku dan didatangkanlah para nabi dan para saksi, dan diberi keputusan di
antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan… Dan orang-orang kafir dibawa ke
neraka Jahanam berombong-rombongan... Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya
dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula)… (QS. Az Zumar, 39: 68-73)
Seperti dapat dilihat, peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelah kita mati (dari sudut pandang kita)
diceritakan di dalam Al Qur’an sebagai peristiwa-peristiwa lampau yang telah dialami. Allah tak terikat
oleh kerangka waktu nisbi tempat kita terkurung. Allah menghendaki berbagai hal di dalam keabadian:
manusia telah menjalani semuanya dan semua peristiwa ini telah dialami dan berakhir. Ia berfirman di
dalam ayat di bawah ini bahwa setiap peristiwa, besar atau kecil, adalah sepengetahuan Allah dan dicatat di
dalam sebuah buku:
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur’an dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarrah (atom) di bumi
atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam kitab yang nyata. (QS. Yunus, 10: 61)
Dengan terbukanya rahasia ini, dunia menjadi seperti surga bagi orang yang beriman. Semua
kekhawatiran, kegelisahan, dan ketakutan material yang menyesakkan sirna. Ia memahami bahwa alam
semesta memiliki penguasa tunggal, bahwa Dia mengatur seluruh dunia fisik sesukaNya,dan bahwa yang
harus dilakukan manusia adalah berpaling kepadaNya. Lalu, ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
“untuk berkhidmat kepadaNya.” (QS. Ali Imran, 3: 35)
Memahami rahasia ini adalah keuntungan terbesar di dunia.
Maha Suci Engkau! Tiada yang kami ketahui selain dari yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al Baqarah, 2: 32)
CATATAN
1
H. S. Lipson, "A Physicist's View of Darwin's Theory", Evolution Trends in Plants, v. 2, no. 1, 1988, h. 6.
2
Sidney Fox, Klaus Dose. Molecular Evolution and The Origin of Life. W.H. Freeman and Company, San
Francisco, 1972, h. 4.
3
Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, h. 36, 41-
42.
4
B.E. Bishop, "Mendel's Opposition to Evolution and to Darwin," Journal of Heredity, 87, 1996, h. 205-
213; harap lihat juga: L.A. Callender, "Gregor Mendel: An Opponent of Descent with Modification,"
History of Science, 26, 1988, h. 41-75.
5
Lee Spetner, Not By Chance: Shattering the Modern Theory of Evolution, The Judaica Press, New York,
1997, h. 20.
6
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985.
7
Charles Darwin, The Origin of Species by Means of Natural Selection, The Modern Library, New York,
h. 127. (penekanan oleh Harun Yahya)
8
V. C. Wynne-Edwards, "Self Regulating Sistems in Populations of Animals, Science, v. 147, 26 Maret
1965, h. 1543-1548; V. C. Wynne-Edwards, Evolution Through Group Selection, London, 1986.
9
A. D. Bradshaw, "Evolutionary significance of phenotypic plasticity in plants," Advances in Genetics, v.
13, h. 115-155; dikutip di dalam: Lee Spetner, Not By Chance: Shattering the Modern Theory of
Evolution, The Judaica Press, Inc., New York, 1997, h. 16-17.
10
Andy Coghlan "Suicide Squad", New Scientist, 10 Juli 1999.
11
Colin Patterson, "Cladistics", wawancara oleh Brian Leek, pewawancara Peter Franz, 4 Maret 1982,
BBC. (penekanan oleh Harun Yahya)
12
Phillip E. Johnson, Darwin On Trial, Intervarsity Press, Illinois, 1993, h. 27.
13
Untuk rincian tentang melanisme industri, harap melihat: Phillip Johnson, Darwin on Trial, InterVarsity
Press, ed. 2, Washington D.C., h. 26.
14
Jonathan Wells, Icons of Evolution: Science or Myth? Why Much of What We Teach About Evolution is
Wrong, Regnery Publishing, Washington, 2000, h. 149-150.
15
Jonathan Wells, Icons of Evolution: Science or Myth? Why Much of What We Teach About Evolution is
Wrong, Regnery Publishing, Washington, 2000, h. 141-151.
16
Jerry Coyne, "Not Black and White", pembahasan tentang buku Michael Majerus Melanism: Evolution
in Action, Nature, no. 396, 1988, h. 35-36.
17
Stephen Jay Gould, "The Return of Hopeful Monster", Natural History, v. 86, Juni-Juli 1977, h. 28.
18
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 189. (penekanan oleh Harun Yahya)
19
B. G. Ranganathan, Origins?, Pennsylvania: The Banner Of Truth Trust, 1988. (penekanan oleh Harun
Yahya)
20
Warren Weaver et al., "Genetic Effects of Atomic Radiation", Science, v. 123, Juni 29, 1956, h. 1159.
(penekanan oleh Harun Yahya)
21
Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, h. 48.
22
Michael Pitman, Adam and Evolution, River Publishing, London, 1984, h. 70. (penekanan oleh Harun
Yahya)
23
David A. Demick, "The Blind Gunman", Impact, no. 308, Februari 1999. (penekanan oleh Harun Yahya)
24
Pierre-Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 97, 98.
25
Pierre-Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 88. (penekanan
oleh Harun Yahya)
26
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books Ltd., London, 1985, h. 149.
27
Pierre-Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 87. (penekanan
oleh Harun Yahya)
28
Loren C. Eiseley, The Immense Journey, Vintage Books, 1958, p. 186.; dikutip di dalam: Norman
Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 30.
29
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 184.
30
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 32-
33.
31
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 36.
32
Jerry Bergman, “Some Biological Problems With the Natural Selection Theory”, The Creation Research
Society Quarterly, v. 29, no. 3, Desember 1992.
33
Loren Eiseley, The Immense Journey, Vintage Books, 1958. p 227., dikutip di dalam: Norman Macbeth,
Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 33.
34
Scott Gilbert, John Opitz, Rudolf Raff, "Resynthesizing Evolutionary and Developmental Biology",
Developmental Biology, 173, karangan no. 0032, 1996, h. 361. (penekanan oleh Harun Yahya)
35
R. Lewin, "Evolutionary Theory Under Fire", Science, v. 210, 21 November, 1980, h. 883.
36
H. Lisle Gibbs, Peter R. Grant, "Oscillating selection on Darwin's finches," Nature, 327, 1987, h. 513;
Untuk rincian lebih lanjut, harap melihat: Jonathan Wells, Icons of Evolution, 2000, h. 159-175.
37
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
9
38
Pierre Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 82.
39
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 179.
40
Charles Darwin, The Origin of Species by Means of Natural Selection, The Modern Library, New York,
h. 124-125. (penekanan oleh Harun Yahya)
41
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
25.
42
K. S. Thomson, Morphogenesis and Evolution, Oxford, Oxford University Press, 1988, h. 98.
43
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, Tichnor and Fields, New Haven,
1982, h. 40.
44
Stephen Jay Gould, "Evolution's Erratic Pace", Natural History, v. 86, Mei 1977. (penekanan oleh Harun
Yahya)
45
Stephen Jay Gould, Niles Eldredge, "Punctuated Equilibria: The Tempo and Mode of Evolution
Reconsidered", Paleobiology, 3 (2), 1977, h. 115.
46
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
146.
47
Stephen Jay Gould, Niles Eldredge, Paleobiology, v. 3, 1977, h. 147.
48
Duane T. Gish, Evolution: Fossils Still Say No, CA, 1995, h. 41
49
David Day, Vanished Species, Gallery Books, New York, 1989.
50
T. Neville George, "Fossils in Evolutionary Perspective," Science Progress, v. 48, Januari 1960, h. 1, 3.
(penekanan oleh Harun Yahya)
51
N. Eldredge, I. Tattersall, The Myths of Human Evolution, Columbia University Press, 1982, h. 59.
(penekanan oleh Harun Yahya)
52
R. Wesson, Beyond Natural Selection, MIT Press, Cambridge, MA, 1991, h. 45.
53
Science, Juli 17, 1981, h. 289. (penekanan oleh Harun Yahya)
54
N. Eldredge, I. Tattersall, The Myths of Human Evolution, Columbia University Press, 1982, h. 45-46.
(penekanan oleh Harun Yahya)
55
S. M. Stanley, The New Evolutionary Timetable: Fossils, Genes, the Origin of Species, Basic Books Inc.,
N.Y., 1981, h. 71. (penekanan oleh Harun Yahya)
56
Stephen C. Meyer, P. A. Nelson, Paul Chien, The Cambrian Explosion: Biology's Big Bang, 2001, h. 2.
57
Richard Monastersky, "Mysteries of the Orient," Discover, April 1993, h. 40. (penekanan oleh Harun
Yahya)
58
Richard Monastersky, "Mysteries of the Orient," Discover, April 1993, h. 40.
59
Richard Dawkins, The Blind Watchmaker, W. W. Norton, London, 1986, h. 229. (penekanan oleh Harun
Yahya)
60
Phillip E. Johnson, "Darwinism's Rules of Reasoning," di dalam Darwinism: Science or Philosophy oleh
Buell Hearn, Foundation for Thought and Ethics, 1994, h. 12. (penekanan oleh Harun Yahya)
61
R. Lewin, Science, v. 241, 15 Juli 1988, h. 291. (penekanan oleh Harun Yahya)
62
Gregory A. Wray, "The Grand Scheme of Life," Review of The Crucible Creation: The Burgess Shale
and the Rise of Animals oleh Simon Conway Morris, Trends in Genetics, Februari 1999, v. 15, no. 2.
63
Richard Fortey, "The Cambrian Explosion Exploded?," Science, v. 293, no. 5529, 20 Juli 2001, h. 438-
439.
64
Richard Fortey, "The Cambrian Explosion Exploded?," Science, v. 293, no. 5529, 20 Juli 2001, h. 438-
439.
65
Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, h. 197.
66
Jeffrey S. Levinton, "The Big Bang of Animal Evolution," Scientific American, v. 267, November 1992,
h. 84.
67
"The New Animal Phylogeny: Reliability And Implications", Proceeding of National Academy of
Science, 25 April 2000, v. 97, no. 9, h. 4453-4456.
68
"The New Animal Phylogeny: Reliability And Implications, Proceeding of National Academy of
Science, 25 April 2000, v. 97, no. 9, h. 4453-4456.
69
David Raup, "Conflicts Between Darwin and Paleontology," Bulletin, Field Museum of Natural History,
v. 50, Januari 1979, h. 24.
70
Richard Fortey, "The Cambrian Explosion Exploded?," Science, v. 293, no. 5529, 20 Juli 2001, h. 438-
439.
71
Charles Darwin, The Origin of Species, 1859, h. 313-314.
72
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 302.
73
Stefan Bengston, Nature, v. 345, 1990, h. 765. (penekanan oleh Harun Yahya)
74
R. L. Gregory, Eye and Brain: The Physiology of Seeing, Oxford University Press, 1995, h. 31.
75
Douglas Palmer, The Atlas of the Prehistoric World, Discovery Channel, Marshall Publishing, London,
1999, h. 66.
76
Mustafa Kuru, Omurgal Hayvanlar (Hewan Bertulang Belakang), Gazi University Publications, ed. 5,
Ankara, 1996, h.
21. (penekanan oleh Harun Yahya)
77
Mustafa Kuru, Omurgal Hayvanlar (Hewan Bertulang Belakang), Gazi University Publications, ed. 5,
Ankara, 1996, h. 27.
78
Douglas Palmer, The Atlas of the Prehistoric World, Discovery Channel, Marshall Publishing, London,
1999, h. 64.
79
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
296.
80
Gerald T. Todd, "Evolution of the Lung and the Origin of Bony Fishes: A Casual Relationship,"
American Zoologist, v. 26, no. 4, 1980, h. 757.
84
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
301.
85
Jangka waktu ini juga diberikan oleh Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution,
Cambridge University Press, 1997, h. 304.
86
Henry Gee, In Search Of Deep Time: Going Beyond The Fossil Record To A Revolutionary
Understanding of the History Of Life, The Free Press, A Division of Simon & Schuster, Inc., 1999, h. 54.
81
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
495-496.
82
Henry Gee, In Search Of Deep Time: Going Beyond The Fossil Record To A Revolutionary
Understanding of the History Of Life, The Free Press, A Division of Simon & Schuster Inc., 1999, h. 7.
83
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
230.
87
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
292-93.
88
Jean-Jacques Hublin, The Hamlyn Encyclopædia of Prehistoric Animals, The Hamlyn Publishing Group
Ltd., New York, 1984, h. 120.
89
www.ksu.edu/fishecology/relict.htm
90
http://www.cnn.com/TECH/science/9809/23/living.fossil/index.html
91
P. L. Forey, Nature, v. 336, 1988, h. 727.
92
Michael Denton, Evolution: A Theory In Crisis, Adler and Adler, 1986, h. 218-219.
93
Robert L. Carroll, Vertebrate Paleontology and Evolution, W. H. Freeman and Co., New York, 1988, h.
198.
94
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
296-97.
95
Stephen Jay Gould, "Eight (or Fewer) Little Piggies," Natural History, v. 100, no. 1, Januari 1991, h. 25.
(penekanan oleh Harun Yahya)
96
Duane Gish, Evolution: The Fossils Still Say No!, Institute For Creation Research, California, 1995, h.
97.
97
Robert Carroll, Vertebrate Paleontology and Evolution, h. 235.
98
Encyclopaedia Britannica Online, "Turtle – Origin and Evolution."
99
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
296-97. (penekanan oleh Harun Yahya)
100
Duane T. Gish, Evolution: The Fossils Still Say No!, Institute For Creation Research, San Diego, 1998,
h. 103.
101
Robert L. Carroll, Vertebrate Paleontology and Evolution. h. 336. (penekanan oleh Harun Yahya)
102
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 296-97.
103
E. H. Colbert, M. Morales, Evolution of the Vertebrates, John Wiley and Sons, 1991, h. 193.
(penekanan oleh Harun Yahya)
104
A. S Romer, Vertebrate Paleontology, ed. 3, Chicago University Press, Chicago, 1966, h. 120.
(penekanan oleh Harun Yahya)
105
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 296-97.
106
John Ostrom, "Bird Flight: How Did It Begin?," American Scientist, Januari-Februari 1979, v. 67, h. 47.
107
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 314.
108
Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari 1997, h. 28.
109
Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari 1997, h. 28.
110
Duane T. Gish, Dinosaurs by Design, Master Books, AR, 1996, h. 65-66.
111
Michael Denton, A Theory in Crisis, Adler & Adler, 1986, h. 210-211.
112
Michael Denton, A Theory in Crisis, Adler & Adler, 1986, h. 211-212. (penekanan oleh Harun Yahya)
113
J. A. Ruben, T. D. Jones, N. R. Geist, W. J. Hillenius, "Lung Structure And Ventilation in Theropod
Dinosaurs and Early Birds," Science, v. 278, h. 1267.
114
Michael J. Denton, Nature's Destiny, Free Press, New York, 1998, h. 361.
115
Michael J. Denton, Nature's Destiny, Free Press, New York, 1998, h. 361-62.
116
Barbara J. Stahl, Vertebrate History: Problems in Evolution, Dover, 1985, h. 349-350. (penekanan oleh
Harun Yahya)
117
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.132.
118
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.131.
119
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.133.
120
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.131.
121
Alan Feduccia, "On Why Dinosaurs Lacked Feathers," The Beginning of Birds, Eichstatt, West
Germany: Jura Museum, 1985, h. 76. (penekanan oleh Harun Yahya)
122
Ernst Meir, Sistematics and the Origin of Species, Dove, New York, 1964, h. 296.
123
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, 1971, h. 131.
124
Nature, v. 382, Agustus, 1, 1996, h. 401.
125
Carl O. Dunbar, Historical Geology, John Wiley and Sons, New York, 1961, h. 310.
126
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 280-81.
127
L. D. Martin, J. D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, v. 97, 1980, h. 86.
128
L. D. Martin, J. D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, v. 97, 1980, p. 86; L. D. Martin, Origins of the
Higher Groups of Tetrapods, Ithaca, Comstock Publishing Association, New York, 1991, h. 485-540.
129
S. Tarsitano, M. K. Hecht, Zoological Journal of the Linnaean Society, v. 69, 1980, p. 149; A. D.
Walker, Geological Magazine, v. 117, 1980, h. 595.
130
A.D. Walker, sebagaimana diuraikan di dalam Peter Dodson, "International Archaeopteryx
Conference," Journal of Vertebrate Paleontology 5(2):177, Juni 1985.
131
Richard Hinchliffe, "The Forward March of the Bird-Dinosaurs Halted?," Science, v. 278, no. 5338, 24
Oktober 1997, h. 596-597.
132
Jonathan Wells, Icons of Evolution, Regnery Publishing, 2000, h. 117
133
Richard L. Deem, "Demise of the 'Birds are Dinosaurs' Theory,"
134
Pat Shipman, "Birds do it... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari, 1997, h. 31.
135
"Old Bird," Discover, Maret 21, 1997.
136
"Old Bird," Discover, Maret 21, 1997.
137
Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari, 1997, h. 28.
138
Ann Gibbons, "Plucking the Feathered Dinosaur," Science, v. 278, no. 5341, 14 November 1997, h.
1229 - 1230
139
"Feathers for T. Rex?,” National Geographic, v.. 196, No. 5, November 1999.
140
Tim Friend, "Dinosaur-bird link smashed in fossil flap," USA Today, 25 Januari 2000
141
"Open Letter: Smithsonian decries National Geographic's "editorial propagandizing" of dinosaur-to-bird
"evolution," http://www.trueorigin.org/ birdevoletter.asp
142
M. Kusinitz, Science World, 4 Februari, 1983, h. 19.
143
San Diego Union, New York Times Press Service, 29 Mei, 1983; W. A. Shear, Science, v. 224, 1984, h.
494. (penekanan oleh Harun Yahya)
144
R. J. Wootton, C. P. Ellington, "Biomechanics & the Origin of Insect Flight," Biomechanics in
Evolution, ed. J. M. V. Rayner, R. J. Wootton, Cambridge University Press, Cambridge, 1991, h. 99.
145
Robin J. Wootton, "The Mechanical Design of Insect Wings," Scientific American, v. 263, November
1990, h. 120. (penekanan oleh Harun Yahya)
146
Pierre-P Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 30. (penekanan
oleh Harun Yahya)
147
George Gamow, Martynas Ycas, Mr. Tompkins Inside Himself, The Viking Press, New York, 1967, h.
149.
148
Roger Lewin, "Bones of Mammals, Ancestors Fleshed Out," Science, v. 212, 26 Juni 1981, h. 1492.
(penekanan oleh Harun Yahya)
149
George Gaylord Simpson, Life Before Man, Time-Life Books, New York, 1972, h. 42. (penekanan oleh
Harun Yahya)
150
R. Eric Lombard, "Review of Evolutionary Principles of the Mammalian Middle Ear, Gerald Fleischer,"
Evolution, v. 33, Desember 1979, h. 1230.
151
George G., Simpson, Tempo and Mode in Evolution, Columbia University Press, New York, 1944, h.
105, 107.
152
Boyce Rensberger, Houston Chronicle, 5 November 5 1980, h. 15. (penekanan oleh Harun Yahya)
153
Colin Patterson, Harper's, Februari 1984, h. 60. (penekanan oleh Harun Yahya)
154
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, New American Library, New
York, 1982, h. 16-17, 19.
155
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, New American Library, New
York, 1982, h. 16-17, 19.
156
Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, h. 230.
(penekanan oleh Harun Yahya)
157
John E. Hill, James D Smith, Bats: A Natural History, British Museum of Natural History, London,
1984, h. 33. (penekanan oleh Harun Yahya)
158
L. R. Godfrey, "Creationism and Gaps in the Fossil Record," Scientists Confront Creationism, W. W.
Norton and Company, 1983, h. 199.
159
Jeff Hecht, "Branching Out," New Scientist, 10 Oktober 1998, v. 160, no. 2155, h. 14.
160
Douglas H. Chadwick, "Evolution of Whales," National Geographic, November 2001, h. 68.
161
Robert L. Carroll, Patterns and Process of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1998, h.
329.
162
Ashby L. Camp, "The Overselling of Whale Evolution," Creation Matters, berkala terbitan the Creation
Research Society, Mei/Juni 1998.
163
Douglas H. Chadwick, "Evolution of Whales," National Geographic, November 2001, h. 73.
164
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1998,
h. 329.
165
G. A. Mchedlidze, General Features of the Paleobiological Evolution of Cetacea, diterjemahkan dari
bahasa Rusia (Rotterdam: A. A. Balkema, 1986), h. 91.
166
Ashby L. Camp, "The Overselling of Whale Evolution," Creation Matters, berkala terbitan the Creation
Research Society, Mei/Juni 1998.
168
Henry Gee, In Search Of Deep Time: Beyond The Fossil Record To A New History Of Life, The Free
Press, A Division of Simon & Schuster Inc., 1999, h. 103.
169
B.J. Stahl, Vertebrate History: Problems in Evolution, Dover Publications Inc., 1985, h. 489.
170
Michel C. Milinkovitch, "Molecular phylogeny of cetaceans prompts revision of morphological
transformations," Trends in Ecology and Evolution, 10 Agustus 1995, h. 328-334.
171
Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, h. 197.
172
Stephen Jay Gould, "Evolution's Erratic Pace," Natural History, v. 86, Mei 1977, h. 14.
173
Stephen M. Stanley, Macroevolution: Pattern and Process, W. H. Freeman and Co., San Francisco,
1979, h. 35, 159.
174
Stephen Jay Gould, "Return of the Hopeful Monster," The Panda's Thumb, W. W. Norton Co., New
York, 1980, h. 186-193.
175
R. A. Fisher, The Genetical Theory of Natural Selection, Oxford University Press, Oxford, 1930.
176
Ernst Meir, Populations, Species, Evolution, Belknap Press, Cambridge, 1970, h. 235.
177
Lane P. Lester, Raymond G. Bohlin, The Natural Limits to Biological Change, Probe Books, Dallas,
1989, h. 141-142. (penekanan oleh Harun Yahya)
178
M. E. Soulé, L. S. Mills, "Enhanced: No need to isolate genetics," Science, 1998, v. 282, h. 1658.
179
R. L. Westemeier, J. D. Brawn, J. D. Brawn, S. A. Simpson, T. L. Esker, R. W. Jansen, J. W. Walk, E.
L. Kershner, J. L. Bouzat, K. N. Paige, "Tracking the long-term decline and recovery of an isolated
population", Science, 1998, v. 282, h. 1695.
180
Phillip Johnson, Objections Sustained, Intervarsity Press, Illinois, 1998, h. 77-85.
181
Richard E. Leakey, The Making of Mankind, Sphere Books Limited, Barcelona, 1982, h. 43.
182
William R. Fix, The Bone Peddlers, Macmillan Publishing Company, New York, 1984, h. 150-153.
183
"Could science be brought to an end by scientists' belief that they have final answers or by society's
reluctance to pay the bills?" Scientific American, Desember 1992, h. 20.
184
David Pilbeam, "Rearranging Our Family Tree," Human Nature, Juni 1978, h. 40.
185
C. C. Swisher III, W. J. Rink, S. C. Antón, H. P. Schwarcz, G. H. Curtis, A. Suprijo, Widiasmoro,
"Latest Homo erectus of Java: Potential Contemporaneity with Homo sapiens in Southeast Asia," Science,
v. 274, no. 5294, 13 Desember 1996, h. 1870-1874; juga lihat: Jeffrey Kluger, "Not So Extinct After All:
The Primitive Homo Erectus Mei Have Survived Long Enough To Coexist With Modern Humans, Time,
Desember 23, 1996
186
Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, Toplinger Publications, New York, 1970, h. 75-94.
187
Charles E. Oxnard, "The Place of Australopithecines in Human Evolution: Grounds for Doubt," Nature,
v. 258, 4 Desember 1975, h. 389.
188
Isabelle Bourdial, "Adieu Lucy," Science et Vie, Mei 1999, no. 980, h. 52-62. (penekanan oleh Harun
Yahya)
189
Holly Smith, American Journal of Physical Antropology, v. 94, 1994, h. 307-325. (penekanan oleh
Harun Yahya)
190
Fred Spoor, Bernard Wood, Frans Zonneveld, "Implications of Early Hominid Labyrinthine
Morphology for Evolution of Human Bipedal Locomotion," Nature, v. 369, 23 Juni 1994, h. 645
191
Fred Spoor, Bernard Wood, Frans Zonneveld, "Implications of Early Hominid Labyrinthine
Morphology for Evolution of Human Bipedal Locomotion," Nature, v. 369, 23 Juni 1994, h. 648
192
Tim Bromage, "Faces From the Past," New Scientist, v. 133, issue 1803, 11 Januari 1992, h. 41.
(penekanan oleh Harun Yahya)
193
J. E. Cronin, N. T. Boaz, C. B. Stringer, Y. Rak, "Tempo and Mode in Hominid Evolution," Nature, v.
292, 1981, h. 117.
194
C. L. Brace, H. Nelson, N. Korn, M. L. Brace, Atlas of Human Evolution, 2. b., Rinehart and Wilson,
New York, 1979.
195
Alan Walker, Richard E.F. Leakey, "The Hominids of East Turkana", Scientific American, v. 239 (2),
Agustus 1978, h. 54.
196
Bernard Wood, Mark Collard, "The Human Genus," Science, v. 284, No 5411, 2 April 1999, h. 65-71.
197
Marvin Lubenow, Bones of Contention: a creationist assessment of the human fossils, Baker Books,
1992, h. 83.
198
Boyce Rensberger, Washington Post, 19 Oktober 1984, h. A11.
199
Richard Leakey, The Making of Mankind, Sphere Books, London, 1981, h. 116.
200
Marvin Lubenow, Bones of Contention: a creationist assessment of the human fossils, Baker Books,
1992. h. 136.
201
Pat Shipman, "Doubting Dmanisi," American Scientist, November-Desember 2000, h. 491
202
Erik Trinkaus, "Hard Times Among the Neanderthals," Natural History, v. 87, Desember 1978, p. 10;
R. L. Holloway, "The Neanderthal Brain: What Was Primitive," American Journal of Physical
Anthropology Supplement, v. 12, 1991, h. 94. (penekanan oleh Harun Yahya)
203
"Neandertals Lived Harmoniously," The AAAS Science News Service, 3 April 1997.
204
Ralph Solecki, Shanidar, The First Flower People, Knopf, New York, 1971, p. 196; Paul G. Bahn, Jean
Vertut, Images in the Ice, Windward, Leichester, 1988, h. 72.
205
D. Johanson, B. Edgar, From Lucy to Language, h. 99.
206
S. L. Kuhn, "Subsistence, Technology, Adaptive Variation in Middle Paleolithic Italy," American
Anthropologist, v. 94, no. 2, Maret 1992, h. 309-310.
207
Roger Lewin, The Origin of Modern Humans, Scientific American Library, New York, 1993, h. 131.
208
R.E.F. Leakey, A. Walker, "On the Status of Australopithecus afarensis", Science, v. 207, issue 4435, 7
Maret 1980, h. 1103.
209
A. J. Kelso, Physical Antropology, ed. 1, J. B. Lipincott Co., New York, 1970, p. 221; M. D. Leakey,
Olduvai Gorge, v. 3, Cambridge University Press, Cambridge, 1971, h. 272.
210
Stephen Jay Gould, Natural History, v. 85, 1976, h. 30. (penekanan oleh Harun Yahya)
211
Jeffrey Kluger, "Not So Extinct After All: The Primitive Homo Erectus Mei Have Survived Long
Enough To Coexist With Modern Humans," Time, 23 Desember 1996.
212
John Noble Wilford, "3 Human Species Coexisted Eons Ago, New Data Suggest," The New York Times,
13 Desember 1996.
213
John Whitfield, "Oldest member of human family found," Nature, 11 Juli 2002.
214
D.L. Parsell, "Skull Fossil From Chad Forces Rethinking of Human Origins," National Geographic
News, 10 Juli 2002.
215
John Whitfield, "Oldest member of human family found," Nature, 11 Juli 2002.
216
The Guardian, 11 Juli 2002
217
L. S. B. Leakey, The Origin of Homo Sapiens, ed. F. Borde, UNESCO, Paris, 1972, h. 25-29; L. S. B.
Leakey, By the Evidence, Harcourt Brace Jovanovich, New York, 1974.
218
Robert Kunzig, "The Face of An Ancestral Child", Discover, Desember 1997, h. 97, 100. (penekanan
oleh Harun Yahya)
219
A. J. Kelso, Physical Anthropology, v. 1, 1970, p. 221; M.D. Leakey, Olduvai Gorge, v. 3, Cambridge:
Cambridge University Press, 1971, p. 272
220
Donald C. Johanson, M. A. Edey, Lucy, The Beginnings of Humankind, Simon & Schuster, New York,
1981, h. 250. (penekanan oleh Harun Yahya)
221
"The Leakey Footprints: An Uncertain Path," Science News, v. 115, 1979, h. 196.
222
Ian Anderson, "Who made the Laetoli footprints?" New Scientist, v. 98, 12 Mei 1983, h. 373.
(penekanan oleh Harun Yahya)
223
Russell H. Tuttle, "The Pitted Pattern of Laetoli Feet," Natural History, v. 99, Maret 1990, h. 64.
(penekanan oleh Harun Yahya)
224
Ruth Henke, "Aufrecht aus den Bäumen (Berjalan Tegak dari Pepohonan)," Focus, v. 39, 1996, h. 178.
225
Elaine Morgan, The Scars of Evolution, Oxford University Press, New York, 1994, h. 5.
226
Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, Toplinger Publications, New York, 1970, h. 19. (penekanan
oleh Harun Yahya)
227
Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, Juli/Agustus 1999, h. 36-39.
228
Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, Juli/Agustus 1999, h. 36-39.
229
Henry Gee, In Search of Time: Beyond the Fossil Record to a New History of Life, New York, The Free
Press, 1999, h. 126-127.
230
David R. Pilbeam, "Rearranging Our Family Tree," Human Nature, Juni 1978, h. 45. (penekanan oleh
Harun Yahya)
231
Earnest A. Hooton, Up From The Ape, McMillan, New York, 1931, h. 332. (penekanan oleh Harun
Yahya)
232
Malcolm Muggeridge, The End of Christendom, Grand Rapids, Eerdmans, 1980, h. 59.
233
Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's Folly," New Scientist, 5 April 1979, h. 44.
234
Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's Folly," New Scientist, 5 April 1979, h. 43. (penekanan oleh
Harun Yahya)
235
William K. Gregory, "Hesperopithecus Apparently Not An Ape Nor A Man," Science, v. 66, issue 1720,
16 Desember 1927, h. 579.
236
Søren Løvtrup, Darwinism: The Refutation of A Myth, Croom Helm, New York, 1987, h. 422.
237
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 328, 342.
238
Charles Darwin, Life and Letter of Charles Darwin, v. II, surat Charles Darwin kepada J. Do Hooker, 29
Maret 1863
239
W. R. Bird, The Origin of Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 298-99.
240
"Hoyle on Evolution," Nature, v. 294, 12 November 1981, h. 105.
241
H. Blum, Time's Arrow and Evolution, 158 (ed. 3, 1968), dikutip di dalam: W. R. Bird, The Origin of
Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 304. (penekanan oleh Harun Yahya)
242
W. Stokes, Essentials of Earth History, 186 (ed. 4, 1942), dikutip di dalam: W. R. Bird, The Origin of
Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 305.
243
J. D. Thomas, Evolution and Faith, ACU Press, Abilene, TX, 1988, h. 81-82. (penekanan oleh Harun
Yahya)
244
Robert Shapiro, Origins: A Skeptic's Guide to the Creation of Life on Earth, Summit Books, New York,
1986, h. 127.
245
Fred Hoyle, Chandra Wickramasinghe, Evolution from Space, Simon & Schuster, New York, 1984, h.
148. (penekanan oleh Harun Yahya)
246
Fred Hoyle, Chandra Wickramasinghe, Evolution from Space, Simon & Schuster, New York, 1984, h.
130. (penekanan oleh Harun Yahya)
247
Simpson, Sarah, "Life's First Scalding Steps," Science News, 9 Januari 1999, 155(2): 25.
248
Fabbri Britannica Bilim Ansiklopedisi (Fabbri Britannica Science Encyclopaedia), v. 2, no. 22, h. 519.
249
Richard Dawkins, Climbing Mount Improbable, W.W. Norton, New York, 1996, h. 283.
250
Alexander I. Oparin, Origin of Life, Dover Publications, NewYork, 1936, 1953 (cetak ulang), h. 196.
251
Klaus Dose, "The Origin of Life: More Questions Than Answers," Interdisciplinary Science Reviews, v.
13, no. 4, 1988, h. 348. (penekanan oleh Harun Yahya)
252
Horgan, John, The End of Science, MA Addison-Wesley, 1996, h. 138. (penekanan oleh Harun Yahya)
253
Jeffrey Bada, "Life's Crucible," Earth, Februari 1998, h. 40. (penekanan oleh Harun Yahya)
254
Richard B. Bliss, Gary E. Parker, Duane T. Gish, Origin of Life, C.L.P. Publications, ed. 3, California,
1990, h. 14-15.
255
Kevin Mc Kean, Bilim ve Teknik (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), no. 189, h. 7.
256
J. P. Ferris, C. T. Chen, "Photochemistry of Methane, Nitrogen, Water Mixture As a Model for the
Atmosphere of the Primitive Earth," Journal of American Chemical Society, v. 97:11, 1975, h. 2964.
257
"New Evidence on Evolution of Early Atmosphere and Life," Bulletin of the American Meteorological
Society, v. 63, November 1982, h. 1328-1330.
258
Richard B. Bliss, Gary E. Parker, Duane T. Gish, Origin of Life, C.L.P. Publications, ed. 3, California,
1990, h. 16.
259
"Life's Crucible," Earth, Februari 1998, h. 34. (penekanan oleh Harun Yahya)
260
"The Rise of Life on Earth," National Geographic, Maret 1998, h. 68. (penekanan oleh Harun Yahya)
261
W. R. Bird, The Origin of Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 325. (penekanan
oleh Harun Yahya)
262
Richard Dickerson, "Chemical Evolution," Scientific American, v. 239:3, 1978, h. 75. Ahli kimia
Richard Dickerson menjelaskan alasannya sebagai berikut: "Jika rantai protein polimer dan asam nukleat
mesti dirakit dari monomer-monomer asalnya, satu molekul air harus dilepaskan dari tiap mata rantainya.
Oleh karena itu, sukar memikirkan cara pembentukan polimer berlangsung di lingkungan berair lautan
purba, sebab adanya air lebih cenderung menguraikan daripada mengikat polimer.”
263
S. W. Fox, K. Harada, G. Kramptiz, G. Mueller, "Chemical Origin of Cells," Chemical Engineering
News, Juni 22, 1970, h. 80.
264
Frank B. Salisbury, "Doubts about the Modern Synthetic Theory of Evolution," American Biology
Teacher, September 1971, h. 336.
265
Paul Auger, De La Physique Theorique a la Biologie, 1970, h. 118.
266
Francis Crick, Life Itself: It's Origin and Nature, New York, Simon & Schuster, 1981, h. 88. (penekanan
oleh Harun Yahya)
267
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
39.
268
John Horgan, "In the Beginning," Scientific American, v. 264, Februari 1991, h. 119. (penekanan oleh
Harun Yahya)
269
Homer Jacobson, "Information, Reproduction and the Origin of Life," American Scientist, Januari 1955,
h. 121.
270
Douglas R. Hofstadter, Gödel, Escher, Bach: An Eternal Golden Braid, Vintage Books, New York,
1980, h. 548. (penekanan oleh Harun Yahya)
271
Leslie E. Orgel, "The Origin of Life on Earth," Scientific American, v. 271, Oktober 1994, h. 78.
(penekanan oleh Harun Yahya)
272
Cairns-Smith, Alexander G., "The First Organisms," Scientific American, 252: 90, Juni 1985.
(penekanan oleh Harun Yahya)
273
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, London: Burnett Books, 1985, h. 351.
274
John Horgan, "In the Beginning," Scientific American, v. 264, Februari 1991, h. 119.
275
G. F. Joyce, L. E. Orgel, "Prospects for Understanding the Origin of the RNA World," In the RNA
World, Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York, 1993, h. 13.
276
Jacques Monod, Chance and Necessity, New York, 1971, h. 143. (penekanan oleh Harun Yahya)
277
Dover, Gabby L., “Looping the Evolutionary loop, review of the origin of life from the birth of life to
the origin of language”, Nature, 1999, v. 399, h. 218. (penekanan oleh Harun Yahya)
278
Leslie E. Orgel, "The Origin of Life on the Earth," Scientific American, Oktober 1994, v. 271, h. 78.
279
Horgan, John, The End of Science, MA Addison-Wesley, 1996, h. 139.
280
Pierre Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 103.
(penekanan oleh Harun Yahya)
281
Chandra Wickramasinghe, wawancara oleh harian London Daily Express, 14 Agustus 1981.
282
Frank Salisbury, "Doubts About the Modern Synthetic Theory of Evolution," American Biology
Teacher, September 1971, h. 338. (penekanan oleh Harun Yahya)
283
Dean H. Kenyon, Percival Davis, Of Pandas and People: The Central Question of Biological Origins,
Haughton Publishing, Dallas, 1993, h. 33.
284
Dean H. Kenyon, Percival Davis, Of Pandas and People: The Central Question of Biological Origins,
Haughton Publishing, Dallas, 1993, h. 117.
285
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 145.
286
Gavin De Beer, Homology: An Unsolved Problem, Oxford University Press, London, 1971, h. 16.
287
Pere Alberch, "Problems with the Interpretation of Developmental Sequences," Sistematic Zoology,
1985, v. 34 (1), h. 46-58.
288
Raff, Rudolf A., The Shape of Life: Genes, Development, the Evolution of Animal Form, The University
of Chicago Press, Chicago, 1996.
289
Coates M., "New paleontological contributions to limb ontogeny and phylogeny," di dalam: J. R.
Hinchcliffe (ed.), Developmental Patterning of the Vertebrate Limb, Plenum Press, New York, 1991, h.
325-337; Coates M. I., “The Devon tetrapod Acanthostega gunnari Jarvik: postcranial anatomy, basal
tetrapod interrelationships and patterns of skeletal evolution”, makalah untuk the Royal Society of
Edinburgh, 1996, v. 87, h. 363-421.
290
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Adler & Adler, Bethesda, MA, 1985, h. 151, 154.
(penekanan oleh Harun Yahya)
291
William Fix, The Bone Peddlers: Selling Evolution, Macmillan Publishing Co., New York, 1984, h.
189. (penekanan oleh Harun Yahya)
292
Karen Hopkin, "The Greatest Apes," New Scientist, v. 62, ed. 2186, 15 Mei 1999, h. 27.
293
Theodosius Dobzhansky, Genetics of the Evolutionary Process, Columbia University Press, New York
& London, 1970, h. 17-18.
294
Pierre Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 194.
295
Mike Benton, "Is a Dog More Like Lizard or a Chicken?," New Scientist, v. 103, 16 Agustus 1984, h.
19. (penekanan oleh Harun Yahya)
296
Paul Erbrich, "On the Probability of the Emergence of a Protein with a Particular Function," Acta
Biotheoretica, v. 34, 1985, h. 53.
298
Christian Schwabe, "Theoretical Limitations of Molecular Phylogenetics and the Evolution of
Relaxins," Comparative Biochemical Physiology, v. 107B, 1974, h.171-172. (penekanan oleh Harun
Yahya)
299
Christian Schwabe, Gregory W. Warr, "A Polyphyletic View of Evolution," Perspectives in Biology
and Medicine, v. 27, musim semi 1984, h. 473. (penekanan oleh Harun Yahya)
300
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 290-291. (penekanan
oleh Harun Yahya)
301
Hervé Philippe, Patrick Forterre, "The Rooting of the Universal Tree of Life is Not Reliable," Journal
of Molecular Evolution, v. 49, 1999, h. 510.
302
James Lake, Ravi Jain ve Maria Rivera, "Mix and Match in the Tree of Life," Science, v. 283, 1999, h.
2027.
303
Carl Woese, "The Universel Ancestor," Proceedings of the National Academy of Sciences, USA, 95,
(1998) h. 6854.
304
Elizabeth Pennisi, "Is It Time to Uproot the Tree of Life?" Science, v. 284, no. 5418, 21 Mei 1999, h.
1305.
305
Jonathan Wells, Icons of Evolution, Regnery Publishing, 2000, h. 51.
306
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
307
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
308
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
309
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
310
Francisco J. Ayala, "The Mechanisms of Evolution," Scientific American, v.. 239, September 1978, h.
64.
311
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
312
S. R. Scadding, "Do 'Vestigial Organs' Provide Evidence for Evolution?," Evolutionary Theory, v. 5,
Mei 1981, h. 173.
313
The Merck Manual of Medical Information, Home edition, Merck & Co., Inc. The Merck Publishing
Group, Rahway, New Jersey, 1997.
314
H. Enoch, Creation and Evolution, New York, 1966, h. 18-19.
315
Charles Darwin, Origin of Species, http://www.zoo.uib.no/classics/darwin/origin.chap14.html.
316
R. Mcneill Alexander, "Biomechanics: Damper For Bad Vibrations," Nature, 20-27 Desember 2001.
317
R. Mcneill Alexander, "Biomechanics: Damper For Bad Vibrations," Nature, 20-27 Desember 2001.
318
Behe's Seminar in Princeton, 1997
319
G. G. Simpson, W. Beck, An Introduction to Biology, Harcourt Brace and World, New York, 1965, h.
241.
320
Ken McNamara, "Embryos and Evolution," New Scientist, v. 12416, 16 Oktober 1999. (penekanan oleh
Harun Yahya)
321
Keith S. Thomson, "Ontogeny and Phylogeny Recapitulated," American Scientist, v. 76, Mei/Juni 1988,
h. 273.
322
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, Ticknor and Fields, New York,
1982, h. 204.
323
Elizabeth Pennisi, "Haeckel's Embryos: Fraud Rediscovered," Science, 5 September 1997. (penekanan
oleh Harun Yahya)
324
Elizabeth Pennisi, "Haeckel's Embryos: Fraud Rediscovered," Science, 5 September 1997. (penekanan
oleh Harun Yahya)
325
Elizabeth Pennisi, "Haeckel's Embryos: Fraud Rediscovered," Science, 5 September 1997. (penekanan
oleh Harun Yahya)
326
Mahlon B. Hoagland, The Roots of Life, Houghton Mifflin Company, 1978, h.18
327
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Ankara, Meteksan Yayınları, h. 79.
328
Robart A. Wallace, Gerald P. Sanders, Robert J. Ferl, Biology, The Science of Life, Harper Collins
College Publishers, h. 283.
329
Darnell, "Implications of RNA-RNA Splicing in Evolution of Eukaryotic Cells," Science, v. 202, 1978,
h. 1257.
330
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publications, Ankara, h.79.
331
"Book Review of Symbiosis in Cell Evolution," Biological Journal of Linnean Society, v. 18, 1982, h.
77-79.
332
D. Lloyd, The Mitochondria of Microorganisms, 1974, h. 476.
333
Gray, Doolittle, "Has the Endosymbiant Hypothesis Been Proven?," Microbiological Review, v. 30,
1982, h. 46.
334
Wallace-Sanders-Ferl, Biology: The Science of Life, ed. 4, Harper Collins College Publishers, h. 94.
335
Mahlon B. Hoagland, The Roots of Life, Houghton Mifflin Company, 1978, h. 145.
336
Whitfield, Book Review of Symbiosis in Cell Evolution, Biological Journal of Linnean Society, 1982, h.
77-79.
337
Milani, Bradshaw, Biological Science, A Molecular Approach, D. C.Heath and Company, Toronto, h.
158 .
338
David Attenborough, Life on Earth, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1981, h. 20.
339
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publications, Ankara, h. 80.
340
Hoimar Von Ditfurth, Im Amfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), h. 60-61.
341
"Ancient Alga Fossil Most Complex Yet," Science News, v. 108, 20 September 1975, h. 181.
342
Hoimar Von Ditfurth, Im Amfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), h. 199.
343
E. C. Olson, The Evolution of Life, The New American Library, New York, 1965, h. 94.
344
Chester A. Arnold, An Introduction to Paleobotany, McGraw-Hill Publications in the Botanical
Sciences, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York, 1947, h. 7.
345
Chester A. Arnold, An Introduction to Paleobotany, McGraw-Hill Publications in the Botanical
Sciences, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York, 1947, h. 334.
346
N. F. Hughes, Paleobiology of Angiosperm Origins: Problems of Mesozoic Seed-Plant Evolution,
Cambridge University Press, Cambridge, 1976, h. 1-2.
347
Daniel Axelrod, The Evolution of Flowering Plants, in The Evolution Life, 1959, h. 264-274.
348
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press,
1964, h. 189. (penekanan oleh Harun Yahya)
349
Peter van Inwagen, timbang buku Michael Behe Darwin's Black Box.
350
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publications, Ankara, h. 475.
(penekanan oleh Harun Yahya)
351
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, 1971, h. 131.
352
Cemal Yildirim, Evrim Kurami ve Bagnazlik (Teori Evolusi dan Kefanatikan), Bilgi Publications,
Januari 1989, h. 58-59. (penekanan oleh Harun Yahya)
353
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 18.
354
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 18-21.
355
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 22. (penekanan oleh Harun
Yahya)
356
J. R. P. Angel, "Lobster Eyes as X-ray Telescopes," Astrophysical Journal, 1979, No. 233, h. 364-373.
Lihat juga: B. K. Hartline (1980), "Lobster-Eye X-ray Telescope Envisioned," Science, No. 207, h. 47,
dikutip di dalam: Michael Denton, Nature's Destiny, The Free Press, 1998, h. 354.
357
M. F. Land, "Superposition Images are Formed by Reflection in the Eyes of Some Oceanic Decapod
Crustacea," Nature, 1976, v. 263, h. 764-765.
358
Jeff Goldberg, "The Quivering Bundles That Let Us Hear," Seeing, Hearing, Smelling the World, A
Laporan dari the Howard Hughes Medical Institute, h. 38.
359
Veysel Atayman, "Maddeci 'Madde', Evrimci Madde" (‘Materi’ Materialis, Materi Evolusionis),
Evrensel News Paper, 13 Juni 1999. (penekanan oleh Harun Yahya)
360
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 351.
361
Duane T. Gish, "The Mammal-like Reptiles," Impact, no. 102, Desember 1981.
362
"Ear / Evolution of the Ear", Grolier Academic Encyclopedia,1986, h. 6. (penekanan oleh Harun Yahya)
363
William E. Duellman, Linda Trueb, "The Gastric Brooding Frog," The Biology of Amphibians,
McGraw-Hill Book com., 1986.
364
Jeremy Rifkin, Entropy: A New World View, Viking Press, New York, 1980, h. 6.
365
J. H. Rush, The Dawn of Life, New York, Signet, 1962, h. 35.
366
Roger Lewin, "A Downward Slope to Greater Diversity," Science, v. 217, 24 September 1982, h. 1239.
367
George P. Stravropoulos, "The Frontiers and Limits of Science," American Scientist, v. 65, November-
Desember 1977, h. 674.
368
Jeremy Rifkin, Entropy: A New World View, Viking Press, New York, 1980, h. 55.
369
John Ross, Chemical and Engineering News, 27 Juli 1980, h. 40. (penekanan oleh Harun Yahya)
370
"From Complexity to Perplexity," Scientific American, Mei 1995.
371
Cosma Shalizi, "Ilya Prigogine," 10 Oktober 2001, www.santafe.edu/~shalizi/notebooks/prigogine.html.
(penekanan oleh Harun Yahya)
372
Joel Keizer, "Statistical Thermodynamics of Nonequilibrium Processes," Springer-Verlag, Berlin, 1987,
h. 360-1. (penekanan oleh Harun Yahya)
373
Cosma Shalizi, "Ilya Prigogine," 10 Oktober 2001, www.santafe.edu/~shalizi/notebooks/prigogine.html.
(penekanan oleh Harun Yahya)
374
F. Eugene Yates, Self-Organizing Sistems: The Emergence of Order, "Broken Symmetry, Emergent
Properties, Dissipative Structures, Life: Are They Related," Plenum Press, New York, 1987, h. 445-457.
(penekanan oleh Harun Yahya)
375
F. Eugene Yates, Self-Organizing Sistems: The Emergence of Order, "Broken Symmetry, Emergent
Properties, Dissipative Structures, Life: Are They Related" (NY: Plenum Press, 1987), h. 447.
376
Ilya Prigogine, Isabelle Stengers, Order Out of Chaos, Bantam Books, New York, 1984, h. 175.
377
Jeffrey S. Wicken, "The Generation of Complexity in Evolution: A Thermodynamic and Information-
Theoretical Discussion," Journal of Theoretical Biology, v. 77, April 1979, h. 349.
378
Charles B. Thaxton, Walter L. Bradley, Roger L. Olsen, The Mystery of Life's Origin: Reassessing
Current Theories, ed. 4, Dallas, 1992, h. 151.
379
C. B. Thaxton, W. L. Bradley, R. L. Olsen, The Mystery of Life's Origin: Reassessing Current Theories,
Lewis, Stanley, Texas, 1992, h. 120. (penekanan oleh Harun Yahya)
380
I. Prigogine, G. Nicolis ve A. Babloyants, "Thermodynamics of Evolution," Physics Today, November
1972, v. 25, h. 23. (penekanan oleh Harun Yahya)
381
Fred Hoyle, The Intelligent Universe, Michael Joseph, London, 1983, h. 20-21. (penekanan oleh Harun
Yahya)
382
Andrew Scott, "Update on Genesis," New Scientist, v. 106, 2 Mei 1985, h. 30. (penekanan oleh Harun
Yahya)
383
Robert Shapiro, Origins: A Sceptics Guide to the Creation of Life on Earth, Summit Books, New York,
1986, h. 207. (penekanan oleh Harun Yahya)
384
Encyclopædia Britannica, "Modern Materialism." (penekanan oleh Harun Yahya)
385
Werner Gitt, In the Beginning Was Information, CLV, Bielefeld, Germany, h. 107, 141. (penekanan
oleh Harun Yahya)
386
George C. Williams, The Third Culture: Beyond the Scientific Revolution, Simon & Schuster, New
York, 1995, h. 42-43. (penekanan oleh Harun Yahya)
387
Pierre P. Grassé, The Evolution of Living Organisms, 1977, h. 168.
388
Alan Woods, Ted Grant. "Marxism and Darwinism," Reason in Revolt: Marxism and Modern Science,
London, 1993 .
389
Douglas Futuyma, Evolutionary Biology, v. 2, MA: Sinauer, Sunderland, 1986, h. 4. (penekanan oleh
Harun Yahya)
390
Alan Woods, Ted Grant, "Marxism and Darwinism," Reason in Revolt: Marxism and Modern Science,
London, 1993. (penekanan oleh Harun Yahya)
391
Richard Lewontin, "The Demon-Haunted World," The New York Review of Books, 9 Januari 1997, h.
28. (penekanan oleh Harun Yahya)
392
Hoimar Von Dithfurth, Im Anfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), v. 2, h. 64.
(penekanan oleh Harun Yahya)
393
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
61. (penekanan oleh Harun Yahya)
394
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
61. (penekanan oleh Harun Yahya)
395
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
94-95. (penekanan oleh Harun Yahya)
396
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 252-53.
397
Orhan Hançerlioğlu, Düşünce Tarihi (Sejarah Pemikiran), Remzi Kitabevi, İstanbul: 1987, h. 432.
398
Orhan Hançerlioğlu, Düşünce Tarihi (Sejarah Pemikiran), Remzi Kitabevi, İstanbul: 1987, h. 447.
399
Frederick Vester, Denken, Lernen, Vergessen (Berpikir, Belajar, Melupakan), vga, 1978, h. 6.
400
George Politzer, Principes Fondamentaux de Philosophie (Azas-Azas Dasar Filsafat), Editions Sociales,
Paris, 1954, h. 38-39-44.
401
Bilim ve Teknik (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), majalah, No. 227, h. 6-7.
402
R.L.Gregory, Eye and Brain: The Psychology of Seeing, Oxford University Press Inc. New York, 1990,
h. 9. (penekanan oleh Harun Yahya)
403
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 1710, Works of George
Berkeley, v. I, edt. A. Fraser, Oxford, 1871. (penekanan oleh Harun Yahya)
404
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 20.
(penekanan oleh Harun Yahya)
405
Bertrand Russell, ABC of Relativity, George Allen, Unwin, London, 1964, h. 161-162. (penekanan oleh
Harun Yahya)
406
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 1710, Works of George
Berkeley, v. I, edt. A. Fraser, Oxford, 1871 h. 35-36. (penekanan oleh Harun Yahya)
407
Ali Demirsoy, Kalıtım ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), h. 4. (penekanan oleh Harun Yahya)
408
Bertrand Russell, What is the Soul?, Works of George Berkeley, v. I, edt. A. Fraser, Oxford, 1871.
(penekanan oleh Harun Yahya)
409
Bertrand Russell, Three Dialogues Between Hylas and Philonous, Works of George Berkeley, v. I, edt.
A. Fraser, Oxford, 1871. (penekanan oleh Harun Yahya)
410
George Politzer, Principes Fondamentaux de Philosophie (Azas-Azas Dasar Filsafat), Editions Sociales,
Paris, 1954, h. 40.
411
Bilim ve Teknik (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), majalah, no.111, h.2. (penekanan oleh Harun
Yahya)
412
R.L.Gregory, Eye and Brain: The Psychology of Seeing, Oxford University Press Inc. New York, 1990,
h. 9
413
Ken Wilber, Holographic Paradigm and Other Paradoxes, h. 20. (penekanan oleh Harun Yahya)
414
Bertrand Russell, ABC of Relativity, George Allen and Unwin, London, 1964, h. 161-162. (penekanan
oleh Harun Yahya)
415
Henri Bergson, Matter and Memory, Zone Books, New York, 1991. (penekanan oleh Harun Yahya)
416
David Hume, A Treatise of Human Nature, v. I, s. IV: Of Personal Identity. (penekanan oleh Harun
Yahya)
417
İmam Rabbani, Hz. Mektupları (Surat-Surat Rabbani), v. II, surat 357, h. 163. (penekanan oleh Harun
Yahya)
418
François Jacob, Le Jeu Des Possibles, University of Washington Press, 1982, h. 111. (penekanan oleh
Harun Yahya)
419
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 52-53.
(penekanan oleh Harun Yahya)
420
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 17.
(penekanan oleh Harun Yahya)
421
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, p. 58.
422
Paul Strathern, The Big Idea:Einstein and Relativity, Arrow Books, 1997, h. 57.
423
Isaac Asimov, Frontiers.
424
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 58.
(penekanan oleh Harun Yahya)
Caption of the pictures
H Caption
.
1 Jean-B. Lamarck
2
1 Charles Darwin mengembangkan teorinya ketika ilmu pengetahuan masih bersahaja. Dengan
3 mikroskop kuno seperti ini, kehidupan terlihat berstruktur sangat sederhana. Kekeliruan ini menjadi dasar
Darwinisme.
1 Louis Pasteur menghancurkan kepercayaan bahwa kehidupan dapat tercipta dari benda mati.
5
1 Hukum genetika yang ditemukan oleh Mendel ternyata amat merugikan teori evolusi.
7
1 Para pendiri Neo-Darwinisme: Ernst Mayr, Theodosius Dobzhansky, dan Julian Huxley.
8
2 Darwin telah terpengaruh oleh Thomas Malthus ketika mengembangkan tesisnya mengenai
2 pertarungan demi hidup. Namun, segenap pengamatan dan percobaan membuktikan bahwa Malthus keliru.
2 Gambar atas menunjukkan pohon-pohon dengan ngengat di atasnya sebelum revolusi industri, dan
4 gambar bawah menunjukkan keadaan sesudahnya. Karena pohon-pohon ini menjadi lebih gelap, burung-
burung dapat lebih mudah menangkap ngengat berwarna terang sehingga jumlah ngengat ini berkurang.
Akan tetapi, ini bukan contoh “evolusi”, sebab tiada spesies baru yang muncul; yang terjadi adalah
berubahnya perbandingan dua jenis yang ada dari spesies yang memang sudah ada.
2 Kaki yang cacat, hasil mutasi.
7
2 Sejak awal abad ke-20, ahli biologi evolusi telah mencari-cari contoh mutasi menguntungkan dengan
8 menciptakan lalat mutan. Tetapi, usaha ini selalu menghasilkan makhluk yang sakit dan cacat. Gambar kiri
menunjukkan kepala seekor lalat buah yang wajar, dan gambar kanan menunjukkan kepala lalat buah
dengan kaki yang keluar darinya, hasil mutasi.
Kiri ke kanan, Up to Down:
antena
mata
kaki
Mulut
2 Katak mutan lahir dengan kaki pincang.
9
3 Bentuk dan fungsi sel darah merah yang dirusak pada anemia sel-sabit. Akibatnya, daya ikat oksigen
0 sel berkurang.
3 Paruh-paruh kutilang (finch) yang diamati Darwin di Kepulauan Galapagos dan disangkanya sebagai
9 petunjuk bagi teorinya, sebenarnya sebuah contoh keanekaragaman genetis, bukan petunjuk evolusi makro.
4 Cabang ilmu pengetahuan terpenting untuk menerangkan asal usul kehidupan di bumi adalah
1 paleontologi atau ilmu fosil. Lapisan-lapisan fosil, yang telah dipelajari dengan ketekunan tinggi selama
sekurang-kurang 200 tahun terakhir, menyingkapkan gambaran yang berbeda sama sekali dengan teori
Darwin. Spesies muncul tidak melalui himpunan perubahan-perubahan kecil, melakukan tiba-tiba dan
terbentuk sempurna.
4 Tiada perkembangan bertahap pada catatan fosil seperti yang diperkirakan Darwin. Spesies-spesies
4 muncul seketika, dengan struktur khas tubuh masing-masing.
6 Darwin mengatakan bahwa jika teorinya benar, masa yang panjang sebelum trilobit seharusnya
3 dipenuhi oleh moyang makhluk ini. Tetapi, tak satu pun makhluk hidup yang diramalkan Darwin itu
pernah ditemukan.
6 IKAN ZAMAN KAMBRIA
4 Hingga tahun 1999, pertanyaan apakah vertebrata (hewan bertulang belakang) ada di Zaman
Kambrium terbatas pada debat tentang Pikaia. Tetapi, di tahun itu, sebuah penemuan mengejutkan
memperdalam kebuntuan evolusi mengenai Ledakan Kambrium: para ahli paleontologi Cina di fauna
Chengjiang menemukan fosil dari dua spesies ikan yang berumur sekitar 530 juta tahun, zaman yang
disebut Kambrium Awal. Dengan demikian, jelaslah bahwa bersama-sama dengan filum lain, subfilum
vertebrata juga ada pada Zaman Kambrium, tanpa moyang evolusi apa pun.
Dua spesies ikan pada Zaman Kambrium, Haikouichthys ercaicunensis dan Myllokunmingia
fengiiaoa.
6 Left to Right, up to down
6 ASAL USUL IKAN
Catatan fosil menunjukkan bahwa ikan, seperti jenis makhluk hidup lainnya, juga muncul tiba-tiba
dan telah memiliki semua struktur uniknya. Dengan kata lain, ikan diciptakan, bukan berevolusi.
Fosil ikan yang disebut Birkenia dari Skotlandia. Makhluk ini, yang diperkirakan berumur 420 juta
tahun, panjangnya kira-kira 4 cm.
Fosil ikan hiu dari genus Stethacanthus, berumur sekitar 330 juta tahun.
6 Left to Right, up to down
7 Kelompok fosil ikan dari Zaman Mesozoikum.
Fosil ikan berumur 110 juta tahun dari lapisan fosil Santana di Brazil.
Fosil ikan berumur sekitar 360 juta tahun pada Zaman Devon. Dinamai Osteolepis panderi,
panjangnya sekitar 20 cm dan amat mirip dengan ikan masa kini.
6 Skenario “peralihan dari air ke darat”, sering disebutkan dalam buku-buku evolusionis dengan
9 diagram khayalan seperti di atas, sering ditampilkan dengan penalaran cara Lamarck, yang jelas-jelas ilmu
pengetahuan semu.
7 Tidak ada proses “evolusi” dalam asal usul katak. Katak tertua yang diketahui berbeda sama sekali
0 dengan ikan, dan muncul dengan seluruh sifat khasnya. Katak pada masa kita bersifat-sifat sama. Tiada
perbedaan antara katak yang terawetkan di dalam ambar di Republik Dominika dengan spesimen-spesimen
yang hidup sekarang.
7 Fosil Eusthenopteron foordi dari Zaman Devon Akhir ditemukan Kanada.
1
7 Ketika hanya mempunyai fosil-fosil Coelacanth, ahli paleontologi evolusi mengemukakan sejumlah
2 anggapan Darwinis tentang fosil-fosil itu; akan tetapi, ketika contoh-contoh hidup ditemukan, semua
anggapan ini hancur.
Di bawah adalah foto-foto Coelancanth hidup. Foto kanan menunjukkan spesimen terakhir
H Caption
.
Coelacanth, yang ditemukan di Indonesia pada tahun 1998.
7 Left to Right, up to down
3 PERBEDAAN ANTARA SIRIP DAN KAKI
1. Coelacanth
tulang tak menyambung ke tulang belakang
3. Sirip Coelacanth
2. Ichthyostega
tulang menyambung ke tulang belakang.
4. Kaki Ichthyostega
Alasan mendasar mengapa evolusionis membayangkan Coelacanth dan ikan yang serupa adalah
“moyang hewan darat” adalah karena ikan-ikan ini memiliki sirip bertulang. Mereka membayangkan
bahwa sirip-sirip ini secara bertahap menjadi kaki. Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara tulang sirip
ikan dan tulang kaki hewan darat seperti Ichthyosteg. Seperti ditunjukkan Gambar 1, tulang sirip
Coelacanth tak menyambung ke tulang belakang; sedangkan pada Ichthyostega terjadi sebaliknya,
sebagaimana ditunjukkan Gambar 2. Karena alasan ini, pernyataan bahwa sirip berkembang bertahap
menjadi kaki sangat tidak beralasan. Lebih jauh, struktur tulang sirip Coelacanth sangat berbeda dengan
tulang kaki Ichthyostega, sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan 4.
7 Up to down, Left to Right!
5 Biji (kapsul) ginjal
Korteks
Sumsum
Kolom
Piramida di dalam medula
Papila dari piramida
Sinus (seluruh daerah merah muda)
Nefron
Jalur pembuangan kemih
Pembuluh papiler pada piramida
Kaliks kecil
Kaliks besar
Pembuluh arteri
Rongga ginjal
Pembuluh balik
Saluran kemih
Kandung kemih
MASALAH GINJAL
Ikan membuang zat-zat berbahaya dari dalam tubuhnya langsung ke air, sedangkan hewan darat
memerlukan ginjal. Karena alasan ini, skenario peralihan dari air ke daratan membutuhkan ginjal yang
telah berkembang secara tak sengaja.
Akan tetapi, ginjal mempunyai struktur amat rumit, dan lebih lagi, seluruh bagiannya harus ada dan
dalam susunan yang lengkap agar berfungsi. Ginjal yang berkembang 50, atau 70, atau bahkan 90 persen
tak akan dapat berfungsi. Karena teori evolusi bergantung pada anggapan bahwa “organ yang tak
digunakan akan menghilang”, ginjal yang telah berkembang 50 persen akan menghilang dari tubuh pada
H Caption
.
tahap awal evolusi.
7 METAMORFOSIS
6 Katak dilahirkan dalam air, tinggal di sana untuk sementara, dan akhirnya muncul ke daratan dalam
proses yang disebut “metamorfosis”. Sebagian orang berpikir bahwa metamorfosis itu bukti evolusi,
padahal keduanya tak berhubungan sama sekali.
Satu-satunya mekanisme rekaan yang diajukan oleh evolusi hanyalah mutasi. Akan tetapi,
metamorfosis tidak terjadi karena pengaruh-pengaruh kebetulan seperti mutasi. Sebaliknya, perubahan ini
telah tertulis dalam kode genetik katak. Dengan kata lain, sudah jelas bahwa ketika baru lahir, seekor katak
akan berjenis tubuh yang memungkinkannya hidup di daratan. Penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun
belakangan ini menunjukkan bahwa metamorfosis itu sebuah proses rumit yang diatur oleh beraneka gen.
Lebih jauh, hilangnya ekor selama proses ini pun diatur, menurut majalah Science News, oleh lebih dari
selusin gen (Science News, 17 Juli 1999, h. 43).
Pernyataan evolusionis tentang peralihan dari air ke darat mengatakan bahwa ikan, dengan suatu
kode genetik yang dirancang selengkapnya agar memungkinkannya hidup di air, dapat berubah menjadi
makhluk darat sebagai hasil mutasi. Akan tetapi, karena alasan ini, metamorfosis sebenarnya telah
merontokkan evolusi, bukan mendukungnya, karena kesalahan terkecil dalam metamorfosis akan
mengakibatkan makhluk itu mati atau cacat. Terjadinya metamorfosis secara sempurna itu penting. Tak
mungkin suatu proses rumit, yang tak menyisihkan ruang bagi kesalahan, terjadi akibat mutasi tak sengaja,
sebagaimana yang dinyatakan oleh evolusi.
7 TELUR YANG BERBEDA
8 Salah satu ketidakselarasan pada skenario evolusi amfibi-reptil adalah struktur telur. Telur amfibi,
yang berkembang di dalam air, mempunyai struktur seperti agar-agar dan membran berpori, sedangkan
telur reptil, sebagaimana diperlihatkan dalam reka-ulang telur dinosaurus di foto kanan, keras dan kedap
cairan, agar sesuai dengan lingkungan darat. Jika amfibi berubah menjadi reptil, telurnya harus tak sengaja
menjadi telur reptil sempurna, namun, kesalahan terkecil dalam proses seperti ini akan membawa ke
kepunahan spesies itu.
8 KESALAHPAHAMAN TENTANG SEYMOURIA
0 Para evolusionis suatu kali menyatakan bahwa fosil Seymouria pada foto ini adalah bentuk peralihan
antara amfibi dan reptil. Berdasarkan skenario ini, Seymouria adalah “moyang purba reptil.” Akan tetapi,
penemuan-penemuan fosil selanjutnya menunjukkan bahwa reptil hidup di bumi sekitar 30 juta tahun
sebelum Seymouria. Dengan adanya petunjuk ini, para evolusionis harus menghentikan ulasan mereka
tentang Seymouria.
8 Fosil ular sanca dari genus Palaeopython yang berumur sekitar 50 juta tahun.
1
8 Kiri, kura-kura air tawar yang berumur sekitar 45 juta tahun, ditemukan di Jerman. Kanan, kura-kura
2 air laut tertua yang diketahui. Fosil berumur 110 juta tahun ini, yang ditemukan di Brazil, mirip dengan
spesimen-spesimen yang hidup saat ini.
8 Fosil Eudimorphodon, salah satu spesies reptil terbang tertua. Spesimen ini, ditemukan di Italia
3 Utara, berumur sekitar 220 juta tahun.
8 Sebuah fosil reptil terbang dari spesies Pterodactylus kochi. Spesimen ini, yang ditemukan di
4 Bavaria, berumur sekitar 240 juta tahun.
H Caption
.
8 Sayap reptil terbang mengembang sepanjang “jari keempat” sekitar 20 kali panjang jari-jari lainnya.
5 Yang penting di sini adalah struktur sayap yang menarik ini muncul tiba-tiba dan terbentuk sempurna
dalam catatan fosil. Tiada contoh yang menunjukkan bahwa ”jari keempat” ini tumbuh bertahap—dengan
kata lain, berevolusi.
8 Fosil Ichtyosaurus dari genus Stenopterygius, berumur sekitar 250 juta tahun.
6
8 Fosil Ichthyosaurus berumur 200 juta tahun.
6
1 Seperti Archaeopteryx, ada kuku-kuku mirip cakar pada sayap-sayap burung Opisthocomus hoazin,
03 yang hidup di zaman kita.
1 Confuciusornis, yang hidup di zaman yang sama dengan Archaeopteryx, memiliki banyak kemiripan
06 dengan burung masa kini
H Caption
.
1 Pencapaian besar National Geographic, “burung dino” yang sempurna. Archaeoraptor segera
08 ternyata sebuah penipuan. Semua calon “burung dino” lainnya bersifat duga-dugaan.
1 Tiada perbedaan antara lusinan fosil mamalia yang berumur jutaan tahun di museum sejarah alam
16 dan mamalia yang hidup sekarang. Lebih lagi, fosil-fosil ini muncul tiba-tiba, tanpa kaitan dengan spesies
yang telah punah.
1 Evolusi kuda yang ditampilkan di Museum Sejarah Alam di London. Bagan ini dan bagan “evolusi
19 kuda” lainnya menunjukkan spesies mandiri yang hidup pada zaman dan tempat berbeda, dibariskan
dengan penyajian yang sangat sepihak. Padahal, tidak ada penemuan ilmiah tentang evolusi kuda.
1 Sistem sonar kelelawar lebih peka dan berdaya guna daripada sistem sonar hasil teknologi yang telah
21 dikembangkan sejauh ini.
1 Fosil kelelawar tertua yang diketahui, ditemukan di Wyoming, Amerika Serikat. Berumur 50 juta
22 tahun, tiada perbedaan antara fosil ini dengan kelelawar hidup masa kini.
1 Mamalia laut mempunyai sistem yang benar-benar khas. Sistem ini dirancang dengan cara terbaik
23 bagi lingkungan tempat makhluk-makhluk ini hidup.
1 Tengkorak dan kerangka Australopithecus sangat mirip dengan kera masa kini. Gambar di samping
51 menunjukkan simpanse di kiri dan kerangka Australopithecus afarensis di kanan. Adrienne L. Zhilman,
profesor anatomi yang menggambarnya, menekankan bahwa struktur kedua kerangka ini sangat mirip.
Tengkorak Australopithecus robustus. Memiliki kemiripan yang dekat dengan kera masa kini...
1 “SELAMAT TINGGAL LUCY”
52 Penemuan ilmiah telah membuat anggapan evolusionis tentang “Lucy”, yang kali pertama dijadikan
sebagai contoh penting genus Australopithecus, sama sekali tak berdasar. Majalah ilmiah terkenal di
Perancis, Science et Vie, mengakui kebenaran ini dengan judul sampul “Selamat Tinggal Lucy” pada
terbitan Februari 1999-nya, dan menegaskan bahwa Australopithecus tak bisa dijadikan sebagai moyang
manusia.
1 AFARENSIS DAN SIMPANSE
53 Gambar atas adalah tengkorak Australopithecus afarensis AL 444-2, dan di bawahnya tengkorak
simpanse masa kini. Kesamaan yang jelas di antara keduanya adalah sebuah tanda yang nyata bahwa A.
afarensis itu spesies kera biasa, tanpa sifat-sifat manusia.
1 Tulang paha KNM-ER 1472. Tulang paha ini tiada bedanya dengan manusia modern. Penemuan
55 fosil di lapisan tanah yang sama dengan fosil Homo habilis, walaupun berjarak beberapa kilometer,
memunculkan pandangan yang salah, misalnya bahwa Homo habilis berjalan tegak. Fosil OH 62,
ditemukan pada tahun 1987, menunjukkan bahwa Homo habilis tidak berjalan tegak, seperti yang telah
diyakini. Sebagian besar ilmuwan kini menerima bahwa Homo habilis adalah spesies kera yang sangat
mirip dengan Australopithecus.
1 Fred Spoor
56 Pernyataan bahwa Australopithecus dan Homo habilis berjalan tegak dibantah oleh analisis telinga
dalam yang dilakukan oleh Fred Spoor. Ia bersama kelompoknya membandingkan pusat-pusat
keseimbangan di telinga dalam, dan menunjukkan kedua spesies bergerak dengan cara yang sama seperti
kera masa kini.
1 Richard Leakey menyesatkan diri dan dunia paleontologi tentang Homo rudolfensis.
57
1 Tonjolan besar alis pada tengkorak Homo erectus, dan ciri-ciri seperti dahi yang condong ke
59 belakang, bisa dilihat dalam sejumlah ras zaman sekarang, seperti pribumi Malaysia yang ditunjukkan di
sini.
1 HOMO ERECTUS BERUSIA 10 RIBU TAHUN
61 Dua tengkorak ini, yang ditemukan pada tanggal 10 Oktober 1967 di Kow Swamp, Victoria,
H Caption
.
Australia, diberi nama Kow Swamp I dan Kow Swamp V.
Alan Thorne dan Philip Macumber yang menemukan kedua tengkorak ini, menafsirkan keduanya
sebagai tengkorak Homo sapiens, padahal keduanya memiliki banyak ciri yang mengingatkan kita pada
Homo erectus. Satu-satunya alasan mengapa keduanya dianggap Homo sapiens adalah fakta bahwa
keduanya diperkirakan berumur 10 ribu tahun. Para evolusionis tak berharap menerima fakta bahwa Homo
erectus, yang mereka anggap sebagai spesies “purba” dan hidup 500 ribu tahun sebelum manusia masa
kini, adalah suatu ras manusia yang hidup 10 ribu tahun yang lalu.
1 HOMO ERECTUS DAN ORANG ABORIGIN
62 Kerangka Pemuda Turkana (Turkana Boy) yang ditunjukkan di samping adalah contoh terbaik
Homo erectus yang sejauh ini telah ditemukan. Yang menarik adalah ketiadaan perbedaan besar antara
fosil yang berumur 1,6 juta tahun ini dan manusia zaman sekarang. Kerangka orang Aborigin Australia di
atas secara khusus menyerupai Pemuda Turkana. Keadaan ini menyingkapkan sekali lagi bahwa Homo
erectus benar-benar ras manusia, tanpa ciri-ciri “purba”.
1 KEBUDAYAAN BERLAYAR HOMO ERECTUS
63 “Ancient mariners: Early humans were much smarter than we suspected “ (Pelaut purba: manusia
kuno lebih pintar dari yang kita sangka). Menurut artikel New Scientist terbitan 14 Maret 1998 ini, manusia
yang dinamai Homo erectus oleh evolusionis, telah melakukan pelayaran sejak 700 ribu tahun yang lalu.
Tentu saja, mustahil menganggap manusia yang mempunyai pengetahuan, teknologi, dan budaya berlayar
sebagai purba.
1 NEANDERTHAL: RAS MANUSIA
65 Di samping, tampak tengkorak Homo sapiens neanderthalensis Amud I, ditemukan di Israel.
Tingginya diperkirakan 1,8 meter. Isi otaknya sama besar dengan manusia masa kini: 1,740 cc. Di bawah,
tampak sebuah fosil kerangka ras Neanderthal, dan sebuah alat batu yang diyakini telah digunakannya. Ini
dan penemuan-penemuan serupa menunjukkan bahwa Neanderthal benar-benar ras manusia yang punah
ditelan waktu.
1 JARUM JAHIT NEANDERTHAL
66 Jarum berumur 26 ribu tahun: temuan menarik ini menunjukkan bahwa manusia Neanderthal
berpengetahuan menjahit baju sejak puluhan ribu tahun yang lalu (D. Johanson, B. Edgar, From Lucy to
Language, h. 99).
SERULING NEANDERTHAL
Seruling Neanderthal terbuat dari tulang. Perhitungan yang dilakukan atas artefak ini menunjukkan
bahwa lubang-lubang dibuat agar menghasilkan nada yang benar, dengan kata lain, inilah alat musik yang
dirancang secara piawai.
Foto di atas adalah perhitungan Bob Fink atas seruling itu.
Bertentangan dengan propaganda evolusionis, penemuan-penemuan semacam ini menunjukkan
bahwa manusia Neanderthal telah berperadaban, bukan manusia gua kuno. (The AAAS Science News
Service, “Neanderthals Lived Harmoniously,” 3 April 1997).
1 PROPAGANDA FAKTA YANG TAK ADA
67 Meskipun penemuan-penemuan fosil menunjukkan bahwa manusia Neanderthal tak bersifat “purba”
jika dibandingkan dengan kita dan adalah satu ras manusia, prasangka para evolusionis terhadap mereka
berlanjut tanpa berkurang. Kadang kala Manusia Neanderthal masih digambarkan sebagai “manusia kera”
pada sejumlah museum evolusionis, sebagaimana ditunjukkan gambar di samping. Inilah suatu tanda
bahwa Darwinisme bersandar pada prasangka dan propaganda, bukan pada penemuan ilmiah.
H Caption
.
1 Sebuah tengkorak umum manusia Cro-Magnon.
69
1 Sebuah tulang muka yang ditemukan di Atapuerca di Spanyol, menunjukkan bahwa manusia dengan
73 struktur wajah yang sama dengan kita telah hidup pada 800 ribu tahun yang lalu.
1 Reka-ulang tengkorak dari fosil Atapuerca (kiri) menggambarkan kesamaan yang luar biasa dengan
74 manusia modern (kanan).
1 Jejak kaki manusia yang berumur 3,6 juta tahun di Laetoli, Tanzania.
76
1 AL 666-1: RAHANG MANUSIA YANG BERUMUR 2,3 JUTA TAHUN
77 Fosil AL 666-1 ditemukan di Hadar, Ethiopia, bersama-sama dengan fosil A. afarensis. Tulang
rahang yang berumur 2,3 juta tahun ini berciri-ciri sama dengan Homo sapiens.
AL 666-1 tidak sama dengan tulang rahang A. afarensis yang ditemukan bersamanya, dan juga tidak
sama dengan rahang Homo habilis yang berumur 1,75 juta tahun. Rahang kedua spesies ini, dengan bentuk
sempit dan perseginya, sama dengan kera yang hidup sekarang.
Walaupun tiada keraguan bahwa AL 666-1 milik spesies “Homo” (manusia), ahli paleontologi
evolusi tak menerima kenyataan ini. Mereka menahan diri membuat ulasan apa pun tentangnya, sebab
rahang ini dihitung berumur 2,3 juta tahun—dengan kata lain, jauh lebih tua daripada umur yang mereka
sepakati bagi ras Homo atau manusia.
Left to Right, Up to Down:
AL-666-1, rahang Homo sapiens (manusia) berumur 2,3 juta tahun.
Tampak samping AL 666-1
Fosil AL 222-1, sebuah rahang A. afarensis dari masa yang sama dengan AL 666-1.
AL 222-1—tampak samping. Tampak samping kedua rahang ini membuat perbedaan di antara
keduanya lebih menyolok. Rahang AL 222-1 menonjol. Inilah ciri mirip kera. Namun, rahang AL 666-1 di
atas sepenuhnya berciri manusia.
1 VARIASI KERANGKA DI ANTARA RAS MANUSIA MODERN
78 Ahli paleontologi evolusi menampilkan berbagai fosil manusia Homo erectus, Homo sapiens
neanderthalensis, dan Homo sapiens kuno sebagai menandakan pelbagai spesies atau subspesies pada garis
evolusi. Mereka mendasarkan ini pada perbedaan di antara tengkorak fosil-fosil ini. Akan tetapi,
perbedaan-perbedaan ini sebenarnya mencakup keanekaragaman di antara ras-ras manusia yang pernah
ada, sebagiannya telah punah atau berbaur. Perbedaan ini makin tidak menyolok sambil ras-ras manusia
saling bercampur sepanjang waktu.
Meskipun demikian, perbedaan yang cukup menyolok ini tetap dapat diamati di antara ras manusia
yang hidup sekarang. Semua tengkorak pada halaman ini, yang dimiliki oleh manusia masa kini (Homo
sapiens sapiens), adalah contoh perbedaan-perbedaan ini. Menunjukkan perbedaan struktur yang serupa di
antara ras-ras yang hidup di masa lalu sebagai petunjuk bagi evolusi sekadar sangat sepihak.
Pribumi Peru dari abad ke-15
Orang Bengali setengah baya
Laki-laki dari Pulau Solomon (Melanesia) yang mati di tahun 1893
Laki-laki Jerman berumur 25-30
Laki-laki Kongo berumur 35-40
H Caption
.
Laki-laki Inuit berumur 35-40
1 Up to Down:
80 Tulang belikat
Sendi panggul
Tulang panggul
Tulang duduk
Tulang kemaluan
Kerangka manusia dirancang berjalan tegak. Akan tetapi kerangka kera, dengan cara berdiri yang
condong ke depan, kaki yang pendek, dan tangan yang panjang, cocok untuk berjalan dengan empat kaki.
Tak mungkin ada “bentuk peralihan” di antara keduanya, sebab bentuk itu sama sekali tak bermanfaat.
1 Tangan dan kaki kera melengkung dengan cara yang sesuai untuk hidup di pohon.
81
1 Gambar-gambar reka-ulang hanya mencerminkan khayalan evolusionis, bukan penemuan ilmiah.
84
1 Selama 40 tahun, manusia Piltdown diterima sebagai petunjuk terbesar bagi evolusi manusia. Para
86 pakar fosil evolusionis menyatakan telah menemukan banyak ciri peralihan pada tengkorak ini. Tak berapa
lama kemudian diketahui bahwa fosil itu sebuah pemalsuan.
1 Manusia Nebraska, dan Henry Fairfield Osborn, yang menamainya.
88
1 Pada masa Darwin, telah terpikir bahwa sel mempunyai struktur yang sangat sederhana. Pendukung
92 kuat Darwin, Ernst Haeckel mengusulkan bahwa lumpur yang diangkat dari dasar laut pada gambar kanan
dapat menghasilkan kehidupan dengan sendirinya.
1 Fred Hoyle
93
1 Arah jarum jam, masing-masing UNSUR LUAR
94 RINCIAN 1: Membran Plasma (Lapis Rangkap Lipida)
• Mengatur pertukaran zat antara bagian dalam dan luar sel.
Glikoprotein
Protein Membran Permukaan
Protein Integral
Protein Tepian
Kolesterol
Protein Saluran Transmembran
Molekul Fosfolipida
RINCIAN 2: Selaput Inti
• Melapis membran lapis rangkap fosfolipida yang memisahkan isi inti dari sitoplasma.
Butiran-butiran Pori Inti
Butiran Tengah
Pori Inti
RINCIAN 3: Kerangka Sito
• Memberikan susunan struktural bagi sel
Mitokondria
Benang Mikrotabekular
H Caption
.
Mikrotubula
Polisom
Rincian 4 (tanpa nama)
Lengan Dinein
• Kegiatan enzimatis (protein) dinein melepaskan tenaga yang diperlukan untuk pergerakan dari
ATP
9 + 2 pasang Mikrotubula
Membran Plasma
2 Saat ini, Miller juga mengakui bahwa percobaannya di tahun 1953 sangat jauh dari menerangkan
10 asal usul kehidupan.
H Caption
.
2 “PROTEINOID” FOX
14 Sydney Fox, yang terpengaruh oleh skenario Miller, membentuk molekul-molekul di atas, yang
disebutnya “proteinoid,” dengan menggabungkan asam-asam amino. Akan tetapi, ikatan asam amino yang
tak berfungsi ini tak memiliki kesamaan dengan protein sebenarnya yang membangun tubuh organisme
hidup. Sesungguhnya, semua usaha ini tak hanya menunjukkan bahwa kehidupan bukan hanya tak muncul
secara kebetulan, tetapi juga tak dapat dikembangbiakkan di lingkungan laboratorium.
2 Ketika menemukan struktur DNA, Watson dan Crick menunjukkan bahwa kehidupan lebih rumit
16 daripada yang pernah terpikirkan.
2 Kode-kode DNA dari gen beta-globin. Kode-kode ini menyusun salah satu bagian hemoglobin yang
18 mengangkut oksigen dalam darah. Yang penting adalah jika ada satu saja kesalahan pada kode-kode ini,
protein yang dihasilkan akan sama sekali tak berguna.
2 Informasi luar biasa yang disimpan di dalam DNA ini membuktikan bahwa kehidupan tak muncul
19 secara kebetulan, namun sengaja dirancang. Tiada proses alamiah yang dapat menjadi asal usul DNA.
2 Gambar ini menunjukkan sketsa reaksi kimia yang terjadi di dalam satu sel. Kegiatan-kegiatan
25 tumpang-tindih di dalam sel ini, yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron, berlangsung tanpa
cacat dan tanpa henti.
2 Menurut “pohon kehidupan” yang diajukan oleh evolusionis, gurita termasuk makhluk yang terjauh
29 dari manusia. Tetapi, mata gurita sebenarnya mempunyai struktur yang sama dengan mata kita. Inilah
sebuah pertanda bahwa kesamaan struktur bukan petunjuk bagi evolusi.
2 Sayap pada reptil terbang, burung, dan kelelawar. Sayap-sayap ini, yang mungkin tak berkaitan
30 evolusi, mempunyai kesamaan struktur.
2 Dimulai dari kangguru, semua mamalia di benua Australia termasuk ke subkelas “hewan
31 berkantung” atau marsupialia. Menurut evolusionis, semua makhluk ini tak berkaitan evolusi dengan
mamalia plasental di belahan lain bumi.
2 Kehadiran spesies “kembar” antara mamalia-mamalia marsupial dan plasental melontarkan pukulan
32 telak terhadap pernyataan homologi. Misalnya, serigala Tasmania yang marsupial (atas) dan serigala
plasental yang ditemukan di Amerika Utara saling menyerupai dengan derajat yang luar biasa. Di samping,
tampak tengkorak kedua hewan yang sangat mirip ini. Kemiripan sedemikian dekat di antara keduanya,
yang tak bisa dikatakan memiliki “kaitan evolusi”, membantah habis pernyataan homologi.
Tengkorak serigala Amerika Utara.
Tengkorak serigala Tasmania.
DUA MAMALIA PUNAH TAK BERKERABAT DENGAN GIGI RAKSASA
Contoh lain kemiripan luar biasa di antara “kembaran” mamalia plasental dan marsupial adalah
antara mamalia punah Smilodon (kanan) dan Thylacosmilus (kiri), keduanya pemangsa bergigi depan
sangat besar. Derajat kemiripan yang tinggi pada struktur tengkorak dan gigi di antara kedua mamalia yang
tidak mungkin dibangun kaitan evolusinya, menjungkalkan pandangan homologis bahwa kemiripan
struktur adalah petunjuk yang mendukung evolusi.
2 Fakta bahwa hampir semua vertebrata darat berstruktur tulang lima jari (pentadaktil) pada tangan
35 dan kakinya telah bertahun-tahun disajikan sebagai “petunjuk kuat bagi Darwinisme” dalam penerbitan-
penerbitan evolusionis. Akan tetapi, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa struktur tulang ini diatur
H Caption
.
oleh gen-gen yang amat berbeda. Karena alasan ini, anggapan “homologi pentadaktilisme” telah runtuh.
2 DONGENG KEMIRIPAN MANUSIA-SIMPANSE TELAH MATI
39 Dalam waktu yang cukup lama, kalangan evolusionis telah menyebarkan tesis yang tak terbukti
bahwa antara manusia dan simpanse, ada perbedaan genetis yang sangat kecil. Dalam setiap pustaka
evolusionis, Anda dapat membaca kalimat-kalimat semacam “kita 99 persen mirip simpanse” atau “hanya
satu persen DNA yang menjadikan kita manusia.” Meskipun tiada pembandingan yang meyakinkan antara
genom-genom manusia dan simpanse telah dilakukan, pemikiran Darwinis telah mendorong mereka
beranggapan bahwa hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua spesies.
Sebuah penelitian pada Oktober 2002 mengungkapkan bahwa propaganda evolusionis dalam hal ini,
seperti hal-hal yang lain, keliru sama sekali. Manusia dan simpanse tak “mirip 99%” seperti yang
didongengkan oleh para evolusionis. Kesamaan genetis tak lebih dari 95%. Sebuah kisah berita yang
dilaporkan oleh CNN.com, berjudul “Humans, chimps more different than thought” (Manusia, simpanse
lebih berbeda daripada yang disangka),” menuturkan yang berikut:
Antara manusia dan simpanse, ada lebih banyak perbedaan daripada yang pernah diyakini, menurut
sebuah penelitian genetis terbaru.
Para ahli biologi telah lama berpandangan bahwa gen-gen simpanse dan manusia sama sekitar 98,5
persen. Tetapi Roy Britten, seorang ahli biologi pada California Institute of Technology, mengatakan
dalam sebuah penelitian yang diterbitkan minggu ini bahwa suatu cara baru pembandingan gen
menunjukkan kesamaan genetis antara manusia dan simpanse hanya sekitar 95 persen. Britten
melakukannya dengan sebuah program komputer yang membandingkan 780 ribu dari 3 miliar pasang basa
dalam heliks DNA manusia dengan yang dari simpanse. Ia menemukan lebih banyak perbedaan daripada
para peneliti sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa setidaknya 3,9 persen basa DNA berbeda.
Ini membawanya ke kesimpulan bahwa ada perbedaan genetis mendasar di antara kedua spesies
kira-kira 5 persen.1
New Scientist, sebuah majalah ilmiah terkemuka dan pendukung kuat Darwinisme, melaporkan yang
berikut tentang hal itu dalam sebuah artikel berjudul “Human-chimp DNA difference trebled” (Perbedaan
DNA manusia-simpanse berlipat tiga):
Kita lebih unik daripada yang sebelumnya kita pikir, menurut pembandingan baru DNA manusia dan
simpanse. Telah lama disangka bahwa kita memiliki 98,5 persen bahan genetik yang sama dengan kerabat
terdekat kita. Kini, agaknya hal itu keliru. Ternyata, kita berbagi kurang dari 95 persen bahan genetik,
suatu kenaikan berlipat tiga dalam perbedaan di antara kita dan simpanse.2
Ahli biologi Roy Britten dan para evolusionis lain terus mencoba mengkaji hasil ini menurut teori
evolusi, tetapi sebenarnya tiada alasan ilmiah melakukannya. Teori evolusi tidak disokong baik oleh
catatan fosil maupun data genetis atau biokimiawi. Sebaliknya, petunjuk-petunjuk memperlihatkan bahwa
beraneka bentuk kehidupan muncul tiba-tiba di bumi tanpa adanya moyang evolusi dan bahwa sistem-
sistem rumit kehidupan membuktikan keberadaan suatu “rancangan cerdas.”
1
http://www.cnn.com/2002/TECH/science/09/24/humans.chimps.ap/index.html
2
http://www.newscientist.com/news/news.jsp?id=ns99992833
2 Pembandingan jumlah kromosom dan struktur DNA menunjukkan bahwa tiada kaitan evolusi di
40 antara spesies hidup yang berbeda.
2 Di tingkat molekuler, antara satu organisme dan organisme lainnya tiada hubungan “moyang”, atau
42 yang satu lebih “kuno” atau “maju” daripada yang lain.
2 Pembandingan-pembandingan yang telah dilakukan di antara protein, rRNA, dan gen
H Caption
.
45 mengungkapkan bahwa makhluk yang diduga berhubungan dekat menurut teori evolusi, sebenarnya sama
sekali berbeda antara satu dan lainnya. Berbagai penelitian menyatukan kelinci dengan primata, bukannya
rodensia, dan sapi dengan ikan paus, bukannya kuda.
2 Bakteri cepat kebal terhadap antibiotika dengan saling memindahkan gen-gennya yang tahan.
48 Gambar di atas menunjukkan suatu koloni bakteri E. coli.
2 Penelitian ilmiah tentang dongeng organ sisa (vestigial): “Vestigial Organs” Are Fully Functional
51 (Organ-organ Sisa Berfungsi Penuh).
2 Umbai cacing (atas), yang dikatakan para evolusionis sebagai organ sisa, saat ini diketahui berperan
52 penting dalam sistem kekebalan tubuh. Tulang ekor di ujung bawah tulang punggung juga bukan suatu
organ sisa, melainkan tempat menempelnya organ-organ panggul sehingga tak akan jatuh.
2 Dengan gambar-gambar embrio palsunya, Ernst Haeckel telah menipu dunia ilmiah selama seabad.
55
2 Gambar-gambar palsu Haeckel
56
2 Pada terbitan 5 September 1997, majalah terkemuka Science menyajikan sebuah artikel yang
57 menyingkapkan bahwa gambar-gambar embrio milik Haeckel telah dipalsukan. Artikel ini
menggambarkan bagaimana embrio-embrio sebenarnya sangat berbeda satu sama lain...
2 Penelitian di tahun-tahun terakhir telah menunjukkan bahwa embrio-embrio dari spesies yang
57 berbeda tidak saling mirip, seperti yang ditunjukkan Haeckel. Perbedaan besar di antara embrio-embrio
mamalia, reptil, dan kelelawar di atas adalah contoh nyata hal ini.
2 Tetumbuhan membentuk dasar terbawah kehidupan bumi. Tetumbuhan adalah syarat yang tak dapat
61 tidak bagi kehidupan, sebab menyediakan makanan dan melepaskan oksigen ke udara.
2 Hipotesis evolusionis bahwa sel-sel prokaryotis (kiri) berubah menjadi sel-sel eukaryotis sejalan
62 dengan waktu, tidak memiliki dasar ilmiah.
2 Kloroplas
66 Klorofil
Sel-sel tumbuhan melakukan suatu proses yang tak bisa ditiru laboratorium mutakhir mana pun–
fotosintesis. Berkat organel yang disebut “kloroplas” di dalam selnya, tetumbuhan menggunakan air,
karbondioksida, dan cahaya matahari untuk membuat karbohidrat. Makanan yang dihasilkan menjadi mata
pertama dalam rantai makanan di bumi, dan sumber gizi bagi semua makhluk hidup penghuninya. Rincian
proses yang sangat rumit ini masih belum seluruhnya dimengerti saat ini.
2 Alga yang berenang bebas di lautan.
68
2 Up to Down:
70 Tanaman dari Zaman Jura ini, kira-kira berumur 180 juta tahun, muncul dengan struktur uniknya
sendiri, dan tanpa moyang yang mendahuluinya.
Tanaman yang berumur 300 juta tahun dari akhir Zaman Karbon ini tak berbeda dari spesimen yang
tumbuh sekarang.
Fosil species Archaefructus yang berumur 140 juta tahun ini adalah fosil angiosperma (tumbuhan
berbunga) tertua yang diketahui. Tumbuhan ini berstruktur tubuh, bunga, dan buah yang sama dengan
tetumbuhan yang hidup saat ini.
H Caption
.
2 Fosil paku-pakuan dari Zaman Karbon ini ditemukan di daerah Jerada, Maroko. Yang menarik
72 adalah fosil ini, yang berumur 320 juta tahun, mirip dengan paku-pakuan yang ada sekarang.
2 Sebuah motor listrik–tetapi bukan dari salah satu perkakas rumah tangga atau kendaraan. Ini yang
75 ada di dalam bakteri. Berkat motor ini, bakteri bisa menggerakkan organ-organ yang disebut “flagel” dan
lalu berenang di air.
Hal ini diketahui pada tahun 1970 dan sangat mengejutkan dunia ilmiah, sebab organ “rumit tak
teruraikan” ini, yang tersusun dari 240 jenis protein, tak bisa dijelaskan dengan mekanisme kebetulan
sebagaimana yang diusulkan Darwin.
2 Mata manusia bekerja dengan berfungsinya bersama-sama sekitar 40 bagian berbeda. Jika satu saja
78 bagian tidak ada, mata tak akan berfungsi. Masing-masing dari 40 bagian ini berstruktur rumit. Misalnya,
retina di belakang mata, tersusun dari 11 lapisan (kanan atas), masing-masing berfungsi tersendiri. Teori
evolusi tak bisa menjelaskan perkembangan organ rumit seperti ini.
2 Mata udang karang tersusun dari banyak persegi. Persegi-persegi yang tersusun rapi ini sebenarnya
83 ujung dari tabung-tabung persegi halus. Sisi-sisi tiap tabung persegi ini bagaikan cermin untuk
memantulkan cahaya yang datang. Cahaya yang terpantulkan dipusatkan ke retina dengan sempurna. Sisi
tabung-tabung di dalam mata disisipkan pada sudut-sudut yang tepat sehingga semuanya memusat ke
satu titik
Keping pantul
Retina
2 Up to Down:
86 Tulang-tulang martil, landasan, dan sanggurdi
Saluran-saluran setengah lingkaran
Syaraf vestibular
Rumah siput (kokhlea)
Saluran eustakhius
Gendang telinga
Saluran telinga luar
2 Searah jarum jam::
88 Utrikulus
Sakulus
Saluran timpanis
Terowongan rumah siput
Saluran vestibular
Rumah siput
Syaraf vestibular
Jendela lonjong
Saluran setengah lingkaran belakang
Ampula
Saluran setengah lingkaran samping
Saluran setengah lingkaran atas
Cuping umum
Struktur rumit pada telinga dalam. Pada struktur tulang yang rumit ini, terletak sistem yang menjaga
H Caption
.
keseimbangan kita dan juga sistem pendengaran yang sangat peka yang mengubah getaran menjadi suara.
2 Dinding-dinding sebelah dalam rumah siput ditutupi oleh rambut-rambut halus. Rambut-rambut ini
89 bergerak searah dengan gerak gelombang yang terbentuk di cairan pada telinga dalam akibat getaran yang
datang dari luar. Dengan cara ini, keseimbangan listrik sel-sel yang melekat ke rambut-rambut itu berubah,
dan membentuk isyarat-isyarat yang kita kenali sebagai “suara.”
2 Betina dari spesies ini menyembunyikan anaknya di dalam perut selama masa pengeraman, dan lalu
92 melahirkan lewat mulutnya. Tetapi, supaya semua ini bisa terjadi, sejumlah penyesuaian harus dilakukan,
semuanya terjadi bersamaan dan tanpa satu pun kesalahan: struktur telur harus disesuaikan, asam lambung
harus dinetralkan, dan sang induk harus mampu hidup berminggu-minggu tanpa makan.
2 Jika Anda membiarkan mobil di luar dalam keadaan alam, mobil itu akan berkarat dan hancur.
95 Dengan cara yang sama, tanpa suatu penyusunan yang cerdas, semua sistem di alam semesta ini akan
hancur. Inilah sebuah hukum yang tak terbantahkan.
2 Ilya Prigogine
99
3 Mustahil informasi di dalam DNA muncul karena proses kebetulan dan alamiah.
08
3 Karl Marx
11
3 Rangsangan-rangsangan dari suatu benda diubah menjadi isyarat-isyarat listrik dan menyebabkan
23 suatu pengaruh di dalam otak. Ketika “melihat,” kita sebenarnya memandang pengaruh isyarat listrik ini di
benak kita. Apa pun yang kita lihat, dengar, ketahui, kenal, atau terbiasa di dunia ini di sepanjang hidup
kita semata-mata terdiri dari isyarat-isyarat listrik yang dihantarkan organ indera kita ke otak.
3 Berkas cahaya yang datang dari suatu benda jatuh terbalik pada retina. Di sini, gambar diubah
25 menjadi isyarat listrik dan diteruskan ke pusat penglihatan di bagian belakang otak. Karena otak tersekat
dari cahaya, cahaya tak mungkin mencapai pusat penglihatan. Artinya, kita memandang dunia cahaya dan
kedalaman yang luas di sebuah titik kecil yang kedap cahaya. Bahkan, saat kita merasakan cahaya dan
panas dari api, bagian dalam otak kita gelap gulita dan suhunya tak pernah berubah.
3 Temuan-temuan fisika mutakhir menunjukkan bahwa alam semesta itu kumpulan kesan. Oleh karena
33 itu, majalah ilmiah terkenal New Scientist bertanya: “Beyond Reality: Is the Universe Really a Frolic of
Primal Information and Matter Just a Mirage?” (Di Balik Kenyataan: Apakah Alam Semesta Benar-Benar
Tamasya Informasi Purba dan Materi Sekadar Tipuan Mata?)
3 DUNIA DALAM MIMPI
37 Bagi Anda, kenyataan adalah semua yang dapat disentuh tangan dan dilihat mata. Dalam mimpi,
Anda juga dapat “menyentuh dengan tangan dan melihat dengan mata,” tetapi nyatanya, Anda tak
bertangan maupun bermata, juga tidak ada apa-apa yang dapat Anda sentuh atau lihat. Tiada keniscayaan
material yang dapat membuat semua ini terjadi selain otak Anda. Anda sekadar sedang diperdaya.
Apakah yang memisahkan kehidupan nyata dari mimpi? Pada akhirnya, kedua bentuk kehidupan ini
diwujudkan di dalam otak. Jika kita mampu hidup dengan mudah di dunia yang tak nyata selama mimpi
kita, hal yang sama dapat juga terjadi di dunia tempat kita hidup. Ketika kita terjaga dari sebuah mimpi,
tiada alasan yang masuk akal untuk tak berpikir bahwa kita telah memasuki mimpi yang lebih panjang
yang kita sebut “kehidupan nyata.” Alasan mengapa kita menganggap bahwa mimpi kita sekadar lelucon
dan dunia ini kenyataan tak lain hasil kebiasaan dan prasangka kita. Ini berarti kita mungkin saja
dibangkitkan dari kehidupan di bumi yang kita pikir sedang kita jalani saat ini, seperti baru saja terjaga dari
H Caption
.
mimpi.