You are on page 1of 225

(DARWINISM REFUTED)

MENYANGGAH
DARWINISME

Bagaimana Teori Evolusi Runtuh


Di Bawah Ilmu Pengetahuan Modern

HARUN YAHYA
November, 2002

Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang
TENTANG PENULIS

Penulis, yang menulis dengan nama pena HARUN YAHYA, dilahirkan di Ankara pada tahun 1956.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar dan lanjutan di Ankara, penulis mempelajari seni di Universitas
Mimar Sinan Istambul dan filsafat di Universitas Istambul. Sejak tahun 1980an, penulis telah menerbitkan
banyak buku yang membahas masalah politik, agama, dan ilmu pengetahuan. Harun Yahya dikenal sebagai
penulis yang telah menghasilkan karya-karya sangat penting yang mengungkap kebohongan para
evolusionis, ketidakabsahan pernyataan mereka dan hubungan jahat antara Darwinisme dengan berbagai
ideologi berdarah seperti fasisme dan komunisme.
Nama pena beliau tersusun atas nama “Harun” dan “Yahya”, untuk mengenang dua Nabi mulia yang
berjuang melawan hilangnya keimanan. Stempel Nabi Muhammad pada sampul depan buku-buku karya
penulis memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan isi buku tersebut. Stempel ini bermakna: Alqur'an
sebagai Kitab dan Kalam Allah yang terakhir, dan Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi.
Berpedomankan Al Qur'an dan As Sunnah, penulis bertujuan utama untuk menyanggah setiap pokok
pikiran yang mendasari ideologi-ideologi anti-agama dan menjadi ‘kata penutup’, sehingga membungkam
semua keberatan yang ditumbuhkan terhadap agama. Stempel Nabi Muhammad, sosok yang memiliki
hikmah agung dan kesempurnaan moral, digunakan sebagai tanda bagi niatnya untuk menyatakan kata
penutup ini.
Seluruh karya penulis ini berpusat pada satu tujuan: untuk menyampaikan pesan Al Qur'an kepada
masyarakat dan mengajak mereka untuk berpikir mengenai hal-hal mendasar seputar keimanan, seperti
keberadaan Allah, ke-Esaan-Nya dan Hari Kemudian, serta mengungkap pijakan rapuh dan tipu daya dari
berbagai sistem anti-Tuhan.
Karya Harun Yahya dibaca secara luas di berbagai negara, dari India hingga Amerika, Inggris
hingga Indonesia, Polandia hingga Bosnia, dan dari Spanyol hingga Brazil. Beberapa bukunya tersedia
dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Portugis, Urdu, Arab, Albania, Rusia, Serbo-Kroasia
(Bosnia), Turki Uygur, dan Indonesia, dan buku-buku tersebut telah dinikmati oleh pembacanya di seluruh
dunia.
Selain mendapatkan penghargaan yang tinggi di seluruh dunia, karya-karya ini telah membantu
banyak orang menetapkan keimanan mereka kepada Allah dan pada sebagian yang lain mengokohkan
keimanan mereka. Kearifan, ketulusan dan gaya penulisannya yang mudah dipahami menjadikan buku-
buku tersebut memiliki sentuhan khas yang segera mengenai siapa pun yang membaca atau
mencermatinya. Tidak saja bebas dari sangkalan, karya-karya ini juga memiliki kekhasan dalam
pengaruhnya yang cepat, hasilnya yang pasti dan isinya yang tak terbantahkan. Sungguh sulit bagi mereka
yang telah membaca buku-buku ini dan merenungkannya secara mendalam untuk tetap mendukung filsafat
materialistik, atheisme dan ideologi ataupun filsafat menyesatkan lainnya. Bahkan jika mereka tetap
mendukung, itu hanyalah keyakinan sentimentil karena buku-buku ini telah menyanggah seluruh dasar
ideologi tersebut. Seluruh gerakan yang mengingkari keberadaan Allah sekarang ini telah terkalahkan
secara ideologi berkat hadirnya kumpulan buku yang ditulis oleh Harun Yahya.
Tak ada keraguan lagi bahwa segala kelebihan ini adalah hasil dari hikmah dan kejelasan Al Qur’an.
Penulis sudah barang tentu tidak merasa bangga dengan dirinya sendiri, ia hanya berupaya menjadi sarana
bagi seseorang dalam pencariannya atas jalan Allah yang lurus. Di samping itu, penulis tidak mencari
keuntungan materi dari penerbitan buku-bukunya.
Dengan mempertimbangkan hal ini, siapapun yang mengajak orang-orang untuk membaca buku-
buku ini, yang membuka ”mata” hati dan membimbing mereka agar menjadi hamba yang lebih bertakwa
kepada Allah, telah melakukan amal kebaikan yang tak ternilai.
Sementara itu, adalah pemborosan waktu dan tenaga untuk menyebarluaskan buku-buku yang hanya
menimbulkan kebingungan dalam pikiran masyarakat, menyebabkan manusia terjerumus dalam kekacauan
ideologis, dan yang nyata-nyata tidak memiliki pengaruh kuat dan pasti dalam menghilangkan
kebimbangan dalam hati manusia. Jelas mustahil bagi buku-buku yang lebih menekankan pada kekuatan
menulis pengarangnya untuk memiliki pengaruh yang sedemikian besar, dibandingkan dengan buku-buku
yang bertujuan mulia menyelamatkan manusia dari kekufuran. Siapapun yang meragukan hal ini dapat
segera melihat bahwa satu-satunya tujuan dari buku-buku Harun Yahya adalah untuk mengatasi kekufuran
dan menyemai nilai-nilai moral Al Qur’an. Keberhasilan, pengaruh, dan keikhlasan yang telah dicapai
melalui usaha ini tercermin dalam keyakinan para pembacanya.
Satu hal yang harus selalu diingat: Penyebab utama terjadinya kebiadaban dan pertikaian, dan semua
kesengsaraan yang terus menerus dialami kebanyakan orang adalah dominasi ideologis dari kekufuran. Hal
ini hanya akan berakhir dengan kekalahan ideologi kekufuran dan dengan memastikan bahwa setiap orang
memahami keajaiban penciptaan dan moral Al Qur’an, sehingga manusia dapat hidup dengannya. Melihat
kenyataan dunia saat ini, yang memaksa manusia ke dalam jurang kekerasan, kerusakan, dan pertikaian,
maka jelaslah bahwa usaha ini [kembali kepada Al Qur’an] harus dilakukan dengan lebih cepat dan efektif.
Kalau tidak, mungkin sudah sangat terlambat.
Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa seri Harun Yahya telah memegang peranan penting
dalam usaha ini. Atas ijin Allah, buku-buku ini akan menjadi sarana yang melaluinya masyarakat abad ke-
21 akan mendapatkan kedamaian dan keberkahan, keadilan dan kebahagiaan sebagaimana dijanjikan
dalam Al Qur’an.
Karya-karya penulis antara lain termasuk The New Masonic Order, Judaism and Freemasonry,
Global Freemasonry, Islam Denounces Terrorism, Terrorism:The Ritual of the Devil, The Disasters
Darwinism Brought to Humanity, Communism in Ambush, Fascism:The Bloody Ideology of Darwinism,
The 'Secret Hand' in Bosnia, Behind the Scenes of The Holocaust, Behind the Scenes of Terrorism, Israel's
Kurdish Card, The Oppression Policy of Communist China and Eastern Turkestan, Solution: The Values
of the Qur'an, The Winter of Islam and Its Expected Spring, Articles 1-2-3, A Weapon of
Satan:Romanticism, Signs from the Chapter of the Cave to the Last Times, Signs of the Last Day, The Last
Times and The Beast of the Earth, Truths 1-2, The Western World Turns to God, The Evolution Deceit,
Precise Answers to Evolutionists, The Blunders of Evolutionists, Confessions of Evolutionists, The Qur'an
Denies Darwinism, Perished Nations, For Men of Understanding, The Prophet Musa, The Prophet Yusuf,
The Prophet Muhammad (saas), The Prophet Sulayman, The Golden Age, Allah's Artistry in Colour, Glory
is Everywhere, The Importance of the Evidences of Creation, The Truth of the Life of This World, The
Nightmare of Disbelief, Knowing the Truth, Eternity Has Already Begun, Timelessness and the Reality of
Fate, Matter:Another Name for Illusion, The Little Man in the Tower, Islam and the Philosophy of Karma,
The Dark Magic of Darwinism, The Religion of Darwinism, The Collapse of the Theory of Evolution in 20
Questions, Allah is Known Through Reason, The Qur'an Leads the Way to Science, The Real Origin of
Life, Consciousness in the Cell, A String of Miracles, The Creation of the Universe, Miracles of the
Qur'an, The Design in Nature, Self-Sacrifice and Intelligent Behaviour Models in Animals, The End of
Darwinism, Deep Thinking, Never Plead Ignorance, The Green Miracle: Photosynthesis, The Miracle in
the Cell, The Miracle in the Eye, The Miracle in the Spider, The Miracle in the Gnat, The Miracle in the
Ant, The Miracle of the Immune System, The Miracle of Creation in Plants, The Miracle in the Atom, The
Miracle in the Honeybee, The Miracle of Seed, The Miracle of Hormone, The Miracle of the Termite, The
Miracle of the Human Body, The Miracle of Man's Creation, The Miracle of Protein, The Miracle of Smell
and Taste, The Secrets of DNA.
Buku karya penulis untuk konsumsi anak-anak antara lain: Wonders of Allah's Creation, The World
of Animals, The Splendour in the Skies, Wonderful Creatures, Let's Learn Our Islam, The World of Our
Little Friends: The Ants, Honeybees That Build Perfect Combs, Skillful Dam Builders:Beavers.
Kaya-karya penulis yang berkenaan dengan Al Quran antara lain: The Basic Concepts in the Qur'an,
The Moral Values of the Qur'an, Quick Grasp of Faith 1-2-3, Ever Thought About the Truth?, Crude
Understanding of Disbelief, Devoted to Allah, Abandoning the Society of Ignorance, The Real Home of
Believers: Paradise, Knowledge of the Qur'an, Qur'an Index, Emigrating for the Cause of Allah, The
Character of the Hypocrite in the Qur'an, The Secrets of the Hypocrite, The Names of Allah,
Communicating the Message and Disputing in the Qur'an, Answers from the Qur'an, Death Resurrection
Hell, The Struggle of the Messengers, The Avowed Enemy of Man: Satan, The Greatest Slander: Idolatry,
The Religion of the Ignorant, The Arrogance of Satan, Prayer in the Qur'an, The Theory of Evolution, The
Importance of Conscience in the Qur'an, The Day of Resurrection, Never Forget, Disregarded Judgements
of the Qur'an, Human Characters in the Society of Ignorance, The Importance of Patience in the Qur'an,
General Information from the Qur'an, The Mature Faith, Before You Regret, Our Messengers Say, The
Mercy of Believers, The Fear of Allah, Jesus WillReturn, Beauties Presented by the Qur'an for Life, A
Bouquet of the Beauties of Allah 1-2-3-4, The Iniquity Called "Mockery," The Mystery of the Test, The
True Wisdom According to the Qur'an, The Struggle with the Religion of Irreligion, The School of Yusuf,
The Alliance of the Good, Slanders Spread Against Muslims Throughout History, The Importance of
Following the Good Word, Why Do You Deceive Yourself?, Islam: The Religion of Ease, Enthusiasm and
Excitement in the Qur'an, Seeing Good in Everything, How do the Unwise Interpret the Qur'an?, Some
Secrets of the Qur'an, The Courage of Believers, Being Hopeful in the Qur'an, Justice and Tolerance in the
Qur'an, Basic Tenets of Islam, Those Who do not Listen to the Qur'an, Taking the Qur'an as a Guide, A
Lurking Threat: Heedlessness, Sincerity in the Qur'an.
KEPADA PEMBACA

Dalam semua buku karya penulis, hal-hal yang berkenaan dengan keimanan dijelaskan berdasarkan
ayat-ayat Al Quran, dan setiap orang diajak untuk mempelajari firman Allah dan hidup berdasarkannya.
Semua hal yang menyangkut ayat-ayat Allah dijelaskan dengan gamblang hingga tidak menyisakan ruang
bagi keraguan dan pertanyaan dalam benak pembaca. Ketulusan, kesederhanaan dan kefasihan dalam
penyampaian membuat setiap orang dari segala usia dan kalangan kelompok sosial mana pun bisa dengan
mudah mengerti dan memahami isi buku. Gaya bertutur yang efektif dan jelas ini memungkinkan untuk
membacanya dalam satu kali kesempatan. Bahkan mereka yang menolak nilai-nilai spiritual terpengaruhi
oleh fakta-fakta yang dijabarkan dalam buku-buku ini dan tidak bisa menyanggah kebenaran isinya.
Buku ini dan semua buku karya Harun Yahya bisa dibaca baik secara sendirian maupun didiskusikan
dalam kelompok. Para pembaca yang ingin mendapatkan manfaat dari buku ini akan menemukan bahwa
diskusi sangat berguna sebagai media untuk berbagi ilmu dan pengalaman satu sama lain.
Sebagai tambahan, adalah sebuah sumbangan yang besar bagi agama untuk berperan dalam
mengenalkan dan menyebarkan buku-buku ini, yang ditulis hanya untuk memperoleh ridha Allah semata.
Semua buku karya penulis sungguh sangat meyakinkan sehingga bagi siapa saja yang ingin
memperkenalkan agama [Islam] kepada orang lain, salah satu cara yang paling efektif adalah dengan
menganjurkan mereka membaca buku-buku ini.
Para pembaca diharapkan bisa melihat resensi dari beberapa buku lainnya pada halaman-halaman
terakhir buku ini, dan menyadari begitu banyaknya sumber mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
keimanan, yang sangat bermanfaat dan menyenangkan untuk dibaca.
Di dalamnya, anda tidak akan menemukan, seperti dalam buku-buku lain, pandangan pribadi
penulis, penjelasan berdasarkan sumber yang meragukan, penyampaian yang kurang sopan terhadap hal-
hal yang disucikan, atau keputusasaan, keragu-raguan, dan sikap pesimis yang menciptakan pengingkaran
dalam hati.
KATA PENGANTAR

Siapa pun yang mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana makhluk hidup, termasuk dirinya,
menjadi ada, akan menghadapi dua penjelasan yang berbeda. Yang pertama adalah “Penciptaan”, gagasan
bahwa semua makhluk hidup muncul sebagai hasil dari sebuah rancangan cerdas. Penjelasan kedua adalah
teori “Evolusi”, yang menyatakan bahwa makhluk hidup bukanlah hasil dari rancangan cerdas, tetapi dari
sebab-sebab yang serba kebetulan dan proses alamiah.
Selama satu setengah abad hingga sekarang, teori evolusi telah menerima dukungan luas dari
masyarakat ilmiah. Ilmu Biologi diterangkan dalam penjelasan-penjelasan berdasarkan konsep-konsep
evolusionis. Itulah mengapa, antara kedua penjelasan mengenai penciptaan dan evolusi, kebanyakan orang
beranggapan bahwa penjelasan evolusionis lebih ilmiah. Berdasarkan hal itu, mereka mempercayai evolusi
sebagai sebuah teori yang didukung oleh temuan-temuan ilmiah, sementara penciptaan dianggap sebagai
kepercayaan berlandaskan keimanan. Meskipun demikian, pada kenyataannya temuan-temuan ilmiah tidak
mendukung teori evolusi. Temuan-temuan dua dekade terakhir justru secara terbuka bertentangan dengan
anggapan dasar dari teori ini. Berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti paleontologi, biokimia, genetika
populasi, anatomi perbandingan dan biofisika, menunjukkan bahwa proses alamiah dan kebetulan tidak
bisa menjelaskan [asal-usul] kehidupan, sebagaimana yang diutarakan teori evolusi.
Dalam buku ini, kita akan mengkaji krisis ilmiah yang dihadapi oleh teori evolusi ini. Karya ini
semata-mata didasarkan pada temuan-temuan ilmiah. Mereka yang menganjurkan teori evolusi dengan
mengatasnamakan kebenaran ilmiah harus menghadapi temuan-temuan ini serta mempertanyakan berbagai
anggapan yang selama ini mereka pegang. Penolakan untuk melakukan hal ini akan berarti mengakui
secara terbuka bahwa kesetiaan mereka pada teori evolusi lebih bersifat dogmatis dari pada ilmiah.
SEJARAH SINGKAT

Meskipun berakar dari Yunani kuno, teori evolusi pertama kali menjadi perhatian dunia ilmiah pada
abad ke-19. Pandangan tentang evolusi yang paling luas dikaji dikemukakan oleh ahli biologi Perancis
Jean Baptiste Lamarck, dalam Zoological Philosophy (Filsafat Ilmu Hewan)–nya (1809). Lamarck
berpendapat bahwa semua makhluk hidup dilengkapi dengan kemampuan mendasar yang menyetir mereka
untuk berevolusi (berubah) menjadi lebih kompleks. Dia juga berpendapat bahwa suatu organisme bisa
menurunkan sifat-sifat yang diperoleh selama masa hidupnya kepada keturunannya. Sebagai contoh dari
jalan pemikiran ini, Lamarck berpendapat bahwa leher panjang jerapah berkembang ketika nenek moyang
yang berleher pendek memutuskan untuk meraih daun-daun pepohonan dari pada rerumputan .
Model evolusi Lamarck ini tersanggah oleh penemuan hukum penurunan sifat. Pada pertengahan
abad ke-20, penemuan struktur DNA mengungkap bahwa inti dari sel makhluk hidup memiliki informasi
genetik yang istimewa, dan bahwa informasi genetik ini tidak dapat dirubah oleh “sifat dapatan”. Dengan
kata lain, selama hidupnya, meskipun jerapah berhasil menjadikan lehernya beberapa sentimeter lebih
panjang dengan menjulurkan lehernya ke dahan yang lebih tinggi, sifat ini tidak akan diturunkan ke anak-
anaknya. Singkatnya, pandangan Lamarck secara sederhana telah tersanggah oleh temuan ilmiah, dan
tenggelam dalam sejarah sebagai sebuah anggapan cacat.
Meskipun demikian, teori evolusi yang dirumuskan oleh seorang ilmuwan alam yang hidup
beberapa generasi setelah Lamarck terbukti lebih berpengaruh. Ilmuwan alam ini adalah Charles Robert
Darwin, dan teori yang dirumuskannya dikenal sebagai “Darwinisme”.

Munculnya Darwinisme

Charles Darwin mendasarkan teorinya pada beberapa pengamatan yang dilakukannya sebagai
seorang ilmuwan alam muda di atas kapal H.M.S Beagle, yang berlayar pada akhir 1831 dalam perjalanan
resmi lima tahun keliling dunia. Darwin muda sangat terpengaruh oleh keanekaragaman jenis [binatang]
yang dia amati, terutama berbagai burung finch di kepulauan Galapagos. Perbedaan pada paruh burung-
burung ini, menurut Darwin adalah sebagai hasil dari penyesuaian diri terhadap lingkungan mereka yang
berbeda.
Setelah pelayaran ini, Darwin mulai mengunjungi pasar-pasar hewan di Inggris. Dia mengamati
bahwa pemulia sapi menghasilkan suatu keturunan sapi baru dengan mengawinkan sapi-sapi yang berbeda
sifat. Pengalaman ini, bersama dengan keanekaragaman jenis burung finch yang diamatinya di kepulauan
Galapagos, memberi andil dalam perumusan teorinya. Di tahun 1859, ia menerbitkan pandangannya dalam
bukunya The Origin of Species (Asal mula Spesies). Dalam buku ini dia merumuskan bahwa semua spesies
berasal dari satu nenek moyang, berevolusi dari satu jenis ke jenis yang lain sejalan dengan waktu melalui
perubahan-perubahan kecil.
Yang membuat Teori Drarwin berbeda dari Lamarck adalah penekanannya pada “seleksi alam”.
Darwin berteori bahwa terjadi persaingan untuk kelangsungan hidup di alam, dan bahwa seleksi alam
adalah bertahannya spesies terkuat, yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Darwin
mengambil alur berpikir sebagai berikut:
Di dalam satu spesies tertentu, terdapat keragaman alamiah dan karena kebetulan. Sebagai contoh
beberapa sapi lebih besar daripada yang lain, sementara beberapa memiliki warna lebih gelap. Seleksi alam
memilih sifat-sifat menguntungkan. Jadi, proses seleksi alam menyebabkan peningkatan gen-gen yang
menguntungkan dalam satu populasi, yang menjadikan sifat-sifat populasi itu lebih sesuai untuk
lingkungan di sekitarnya. Seiring dengan waktu perubahan-perubahan ini mungkin cukup berarti untuk
menyebabkan munculnya spesies baru.
Namun demikian, “Teori evolusi oleh seleksi alam” ini memunculkan keraguan sejak awalnya:
1. Apakah “keragaman alamiah dan karena kebetulan” yang dimaksud Darwin? Memang
benar beberapa sapi berukuran lebih besar daripada yang lain, sementara beberapa memiliki warna lebih
gelap, tetapi bagaimana keragaman ini dapat menyediakan penjelasan bagi keanekaragaman spesies hewan
dan tumbuhan?
2. Darwin menegaskan bahwa “Makhluk hidup berevolusi sedikit demi sedikit”. Jika
demikian, seharusnya akan hidup jutaan “bentuk peralihan”. Namun tidak terdapat bekas dari makhluk
teoritis ini dalam catatan fosil. Darwin berpikir keras pada masalah ini, dan akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa “penelitian lebih jauh akan menyediakan bukti fosil ini”.
3. Bagaimana seleksi alam menjelaskan organ-organ kompleks, seperti mata, telinga atau
sayap? Bagaimana dapat dipercaya bahwa organ-organ ini berkembang secara berangsur-angsur, sementara
harus diingat bahwa mereka akan gagal berfungsi jika satu bagiannya saja hilang?
4. Sebelum memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, simaklah hal berikut ini: Bagaimana
organisme pertama, yang disebut Darwin sebagai nenek moyang dari semua spesies, muncul menjadi ada?
Bisakah proses alamiah memberikan kehidupan kepada sesuatu yang asalnya benda mati?
Darwin setidaknya sadar atas beberapa pertanyaan ini, seperti yang dapat dilihat dalam bab yang
berjudul “Difficulties of The Theory (Ganjalan-ganjalan dari Teori ini).” Namun, jawaban yang ia sediakan
tidak memiliki keabsahan ilmiah. H.S. Lipson, ahli fisika Inggris, membuat catatan tentang “ganjalan”
Darwin ini sebagai berikut:
Saat membaca The Origin of Species, saya menemukan bahwa Darwin sendiri sangat kurang yakin
daripada yang biasa digambarkan orang; bab yang berjudul “Difficulties of The Theory” (Ganjalan-
ganjalan dari Teori Ini) misalnya, menunjukkan keraguan diri yang nyata. Sebagai seorang ahli fisika, saya
amat terganggu terutama terhadap pernyataannya tentang bagaimana mata bisa terbentuk.1
Darwin menggantungkan semua harapannya pada penelitian ilmiah yang lebih maju, yang
diharapnya mampu menghapuskan “ganjalan dari teori ini” Akan tetapi, berkebalikan dengan harapannya,
temuan-temuan ilmiah baru yang lebih banyak malahan semakin menambah ganjalan ini.

Masalah Asal Usul Kehidupan

Dalam bukunya, Darwin tidak pernah menyebutkan asal usul kehidupan. Pemahaman kuno ilmu
pengetahuan pada masanya mendasarkan pada anggapan bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang
sangat sederhana. Sejak abad pertengahan, spontaneous generation (pembentukan spontan), teori yang
menyatakan bahwa benda mati dapat berpadu untuk membentuk makhluk hidup, telah diterima secara luas.
Dipercayai bahwa serangga terwujud dari sisa-sisa makanan. Lebih jauh lagi digambarkan bahwa tikus
terwujud dari gandum. Beberapa percobaan menarik dilakukan untuk membuktikan teori ini. Sejumlah
gandum diletakkan di atas potongan kain kotor, dan dipercayai bahwa tikus akan muncul segera darinya.
Demikian juga, kenyataan bahwa belatung muncul dari daging dipercaya sebagai bukti dari
spontaneous generation (pembentukan spontan). Namun, beberapa waktu kemudian barulah disadari
bahwa belatung tidak tiba-tiba muncul dari daging, tetapi terbawa oleh lalat dalam bentuk larva, tak terlihat
oleh mata telanjang.
Bahkan pada masa di saat Darwin menulis Origin of Species, keyakinan bahwa bakteri dapat
mewujud dari benda mati masih tersebar luas. Namun demikian, lima tahun setelah penerbitan buku
Darwin, Louis Pasteur mengumumkan hasil penelitian dan pecobaan panjangnya, yang menyanggah
spontaneous generation (pembentukan spontan), satu batu fondasi dari teori Darwin. Dalam kuliah
kemenangannya di Sorbonne tahun 1864, Pasteur mengatakan, “Doktrin spontaneous generation
(pembentukan spontan) tidak akan mampu bangkit dari pukulan telak mematikan dari percobaan sederhana
ini”.2
Para pendukung teori evolusi tetap menolak menerima temuan Pasteur untuk waktu lama. Namun,
saat kemajuan ilmiah menyingkap struktur kompleks sel, gagasan bahwa kehidupan dapat terwujud secara
kebetulan menghadapi kebuntuan yang semakin besar. Kita akan mengkaji masalah ini secara lebih rinci
dalam buku ini.

Masalah Penurunan Sifat

Hal lain yang menjadi masalah bagi teori Darwin adalah penurunan sifat. Pada masa ketika Darwin
mengembangkan teorinya, pertanyaan tentang bagaimana makhluk hidup meneruskan sifat ke
keturunannya - yaitu, bagaimana penurunan sifat terjadi - tidaklah dipahami sepenuhnya. Itulah mengapa
keyakinan awam bahwa penurunan sifat terjadi melalui darah masih diterima luas.
Pengetahuan dangkal tentang penurunan sifat membawa Darwin mendasarkan teorinya pada
landasan yang sama sekali salah. Darwin beranggapan bahwa seleksi alam merupakan “mekanisme
evolusi”. Tetapi ada satu pertanyaan yang tetap tak terjawab: Bagaimana “sifat-sifat menguntungkan” ini
terpilih dan diteruskan dari satu keturunan ke berikutnya? Pada titik ini, Darwin menganut teori Lamarck,
yaitu “penurunan sifat-sifat dapatan”. Dalam bukunya The Great Evolution Mystery (Rahasia Besar
Evolusi), Gordon R. Taylor, seorang peneliti penganjur teori evolusi, menggambarkan pandangannya
bahwa Darwin sangat terpengaruh oleh Lamarck:
Lamarckisme… dikenal sebagai penurunan sifat-sifat dapatan… Sebenarnya, Darwin sendiri
cenderung mempercayai bahwa penurunan sifat seperti itu bisa terjadi dan menyebutkan laporan kejadian
seseorang yang kehilangan jarinya dan melahirkan anak tanpa jari… [Darwin], katanya, tidak mengambil
satu ide pun dari Lamarck. Hal ini sangat ironis, karena Darwin berulang kali memainkan gagasan
penurunan sifat dapatan dan, jika gagasan ini begitu buruk, Darwinlah yang seharusnya mendapatkan nama
jelek daripada Lamarck… Dalam edisi tahun 1859 karyanya, Darwin mengacu pada ‘perubahan keadaan
lingkungan luar’ menyebabkan keragaman tetapi kemudian keadaan ini dijelaskan sebagai mengarahkan
keragaman dan bekerja sama dengan seleksi alam dalam mengarahkannya… Setiap tahun ia semakin
mengacu kepada aktifitas penggunaan dan penyia-nyiaan… Pada tahun 1868 ketika ia menerbitkan
Varieties of Animals and Plants under Domestication (Keragaman Hewan dan Tumbuhan dalam
Pembudidayaan) segala contoh tentang penurunan sifat menurut Lamarck ia berikan: seperti seorang laki-
laki yang terpotong jari kelingkingnya dan semua anaknya terlahir dengan jari kelingking cacat, serta anak
laki-laki yang lahir dengan kulit khitan yang pendek sebagai akibat dari tradisi berkhitan secara turun
temurun.3
Namun, pandangan Lamarck, seperti yang telah kita lihat diatas, disangkal oleh hukum penurunan
sifat yang terungkap oleh seorang pendeta dan ahli tumbuhan Austria, Gregor Mendel. Karenanya, konsep
“sifat-sifat yang menguntungkan” tidak memperoleh dukungan. Hukum penurunan sifat menunjukkan
bahwa sifat-sifat dapatan tidak diturunkan, dan bahwa penurunan sifat terjadi berdasarkan hukum tetap
tertentu. Hukum ini mendukung pandangan bahwa spesies tetap tidak berubah. Berapakalipun sapi yang
dilihat oleh Darwin di pasar ternak Inggris beranak, jenisnya sendiri tidak akan pernah berubah: sapi akan
tetap menjadi sapi.
Gregor Mendel mengumumkan hukum penurunan sifat yang ia temukan sebagai hasil dari
percobaan dan pengamatan yang panjang dalam sebuah makalah ilmiah pada tahun 1865. Tetapi makalah
ini baru menarik perhatian dunia ilmiah pada akhir abad. Pada awal abad ke-20, kebenaran dari hukum ini
telah diterima oleh seluruh masyarakat ilmiah. Ini merupakan kebuntuan besar bagi teori Darwin, yang
mencoba mendasarkan konsep “sifat-sifat menguntungkan” pada [teori] Lamarck.
Disini kita harus meluruskan kesalahpahaman umum: Mendel tidak hanya menentang model evolusi
Lamarck, tetapi juga Darwin. Sebagaimana artikel “Mendel’s Opposition to Evolution and Darwin”
(Penentangan Mendel atas Evolusi dan Darwin), dalam Journal of Heredity, menjelaskan, “Ia [Mendel]
mengenal [buku] The Origin of Spesies (Asal Usul Spesies) …dan ia menentang teori Darwin; Darwin
mendukung penurunan [sifat] dengan perubahan melalui seleksi alam, sedangkan Mendel menyokong
doktrin tradisional tentang penciptaan khusus.”4
Hukum yang ditemukan Mendel menempatkan Darwinisme pada posisi yang amat sulit. Untuk itu,
para ilmuwan pendukung Darwinisme berusaha mengembangkan model evolusi lain pada perempat
pertama abad ke-20. Maka, lahirlah “neo-Darwinisme” (Darwinisme Baru).

Upaya Neo-Darwinisme

Sekelompok Ilmuwan yang memutuskan untuk mempertemukan Darwinisme dengan ilmu genetika,
dengan segala cara, berkumpul dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Perkumpulan Geologi
Amerika pada tahun 1941. Setelah diskusi panjang, mereka setuju pada cara untuk membuat penjelasan
baru dari Darwinisme; dan beberapa tahun setelah itu, para ahli menghasilkan sebuah rumusan dari
berbagai bidang mereka menjadi sebuah teori evolusi yang terkaji ulang.
Para ilmuwan yang berperan serta dalam membangun teori baru ini termasuk ahli genetika G.
Ledyard Stebbins dan Theodosius Dobzhansky, ahli ilmu hewan Ernst Mayr dan Julian Huxley, ahli
kepurbakalaan George Gaylord Simpson dan Glenn L. Jepsen, dan ahli genetika matematis Sir Ronald A.
Fisher dan Sewall Wright.5
Untuk menghadapi fakta “stabilitas genetik” (genetic homeostasis), kelompok ilmuwan ini
menggunakan konsep “mutasi”, yang telah diperkenalkan oleh ahli botani Belanda Hugo de Vries pada
awal abad ke-20. Mutasi adalah kerusakan yang terjadi, untuk alasan yang tidak diketahui, dalam
mekanisme penurunan sifat pada makhluk hidup. Organisme yang mengalami mutasi memperoleh bentuk
yang tidak lazim, yang menyimpang dari informasi genetik yang mereka warisi dari induknya. Konsep
“mutasi acak” diharapkan bisa menjawab pertanyaan tentang asal usul keragaman menguntungkan yang
menyebabkan makhluk hidup berevolusi sesuai dengan teori Darwin—sebuah kejadian yang Darwin
sendiri tidak bisa menjelaskannya, tetapi hanya mencoba menghindarinya dengan mengacu kepada teori
Lamarck. Kelompok Masyarakat Geologi Amerika menamai teori baru ini, yang dirumuskan dengan
menambahkan konsep mutasi pada gagasan seleksi alam Darwin, sebagai “teori evolusi sintesis” atau
“sintesis modern.” Dalam waktu singkat, teori ini mulai dikenal dengan nama “neo-Darwinisme” dan
pendukungnya sebagai “neo-Darwinis.”
Namun terdapat sebuah masalah serius: Memang benar bahwa mutasi merubah informasi genetik
makhluk hidup, tetapi perubahan ini selalu terjadi dengan dampak merugikan makhluk hidup
bersangkutan. Semua mutasi yang teramati menghasilkan makhluk yang cacat, lemah, atau sakit dan,
kadang kala, membawa kematian pada makhluk tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mendapatkan
contoh “mutasi menguntungkan” yang memperbaiki informasi genetik pada makhluk hidup, neo-Darwinis
melakukan banyak percobaan dan pengamatan. Selama beberapa dasawarsa, mereka melakukan percobaan
mutasi pada lalat buah dan berbagai jenis lainnya. Namun tak satupun dari percobaan ini memperlihatkan
mutasi yang memperbaiki informasi genetik pada makhluk hidup.
Saat ini permasalahan mutasi masih menjadi kebuntuan besar bagi Darwinisme. Meskipun teori
seleksi alam menganggap mutasi sebagai satu-satunya sumber dari “perubahan menguntungkan”, tidak ada
mutasi dalam bentuk apapun yang teramati yang benar-benar menguntungkan (yaitu, yang memperbaiki
informasi genetik). Dalam bab selanjutnya, kita akan mengkaji permasalahan ini secara rinci.
Kebuntuan lain bagi neo-Darwinis datang dari catatan fosil. Bahkan pada masa Darwin, fosil telah
menjadi rintangan yang penting bagi teori ini. Sementara Darwin sendiri mengakui tak adanya fosil
“spesies peralihan”, dia juga meramalkan bahwa penelitian selanjutnya akan menyediakan bukti atas
bentuk peralihan yang hilang ini. Namun, meskipun semua ahli kepurbakalaan telah berupaya, catatan fosil
tetap menjadi rintangan penting bagi teori ini. Satu persatu, gagasan semacam “organ peninggalan”,
“rekapitulasi embriologi” dan “homologi” kehilangan arti pentingnya oleh penemuan-penemuan ilmiah
terkini. Semua permasalahan ini diuraikan dengan lebih lengkap pada bab-bab selanjutnya dari buku ini.

Sebuah Teori dalam Krisis

Kita baru saja mengupas secara singkat kebuntuan yang ditemui Darwinisme sejak hari pertama ia
diajukan. Kini kita akan mulai mengkaji betapa besarnya kebuntuan ini. Dengan melakukan ini, tujuan
kami adalah menunjukkan bahwa teori evolusi bukanlah kebenaran ilmiah tak terbantahkan, seperti yang
banyak orang sangka atau coba untuk diyakinkan kepada orang lain. Sebaliknya, terdapat pertentangan
mencolok ketika teori evolusi dihadapkan dengan penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang
seperti asal usul kehidupan, genetika populasi, anatomi perbandingan, kepurbakalan, dan biokimia.
Singkatnya, evolusi adalah sebuah teori yang sedang dilanda “krisis.”
Itu tadi adalah gambaran dari Prof. Michael Denton, seorang ahli biokimia Australia dan seorang
kritikus terkenal atas Darwinisme. Dalam bukunya Evolution: A Theory in Crisis (Evolusi: Sebuah Teori
dalam Krisis) (1985), Denton menguji teori ini di bawah berbagai cabang ilmu, dan menyimpulkan bahwa
teori seleksi alam sangatlah jauh dari memberikan penjelasan bagi kehidupan di bumi.6 Tujuan Denton
dalam mengajukan kritiknya bukanlah untuk menunjukkan kebenaran dari pandangan lain, tetapi hanya
membandingkan Darwinisme dengan fakta-fakta ilmiah. Selama dua dasawarsa terakhir, banyak ilmuwan
lain menerbitkan karya-karya penting mempertanyakan keabsahan teori evolusi Darwin.
Dalam buku ini, kita akan mengkaji krisis ini. Tak peduli betapapun banyaknya bukti nyata yang
diberikan, sebagian pembaca mungkin tidak bersedia melepaskan posisi mereka, dan akan tetap bertahan
dengan teori evolusi. Namun, membaca buku ini masih akan bermanfaat bagi mereka, karena ini akan
membantu mereka melihat keadaan sebenarnya dari teori yang mereka yakini tersebut, di bawah
penemuan-penemuan ilmiah.
MEKANISME DARWINISME

Menurut teori evolusi, makhluk hidup terwujud melalui berbagai kebetulan, dan berkembang lebih
jauh sebagai sebuah hasil dari dampak yang tidak disengaja. Sekitar 3,8 miliar tahun lalu, ketika tidak ada
makhluk hidup di bumi, makhluk bersel satu (prokaryota) sederhana pertama muncul. Seiring dengan
perjalanan waktu, sel-sel yang lebih kompleks (eukaryota) dan organisme bersel banyak muncul. Dengan
kata lain, menurut Darwinisme, kekuatan alam membangun benda-benda mati sederhana menjadi
rancangan sangat kompleks dan sempurna.
Dalam menilai pernyataan ini, seseorang harus mengkaji apakah kekuatan semacam itu benar-benar
ada di alam. Lebih jelas lagi, apakah benar-benar ada mekanisme alam yang bisa menghasilkan evolusi
sesuai dengan sekenario Darwin?
Model neo-Darwinis, yang dapat kita anggap sebagai teori utama dari evolusi saat ini, menyatakan
bahwa kehidupan berkembang atau berevolusi melalui dua mekanisme alamiah: seleksi alam dan mutasi.
Pada dasarnya teori ini menekankan bahwa seleksi alam dan mutasi adalah dua mekanisme yang saling
melengkapi. Sumber dari perubahan secara evolusi adalah mutasi acak yang terjadi dalam struktur genetik
makhluk hidup. Sifat yang dihasilkan dari mutasi ini kemudian dipilah dengan mekanisme seleksi alam,
dan dengan cara inilah makhluk hidup berevolusi. Akan tetapi jika kita kaji lebih dalam teori ini, kita akan
menemukan bahwa tidak ada mekanisme evolusi seperti itu. Baik seleksi alam maupun mutasi tidak bisa
menyebabkan spesies yang berbeda berkembang menjadi spesies lain, dan pernyatan bahwa keduanya bisa
adalah benar-benar tidak berdasar.

Seleksi Alam

Konsep seleksi alam adalah landasan utama Darwinisme. Pernyataan ini ditegaskan bahkan pada
judul buku dimana Darwin mengajukan teorinya: The Origin of Species, by means of Natural Selection
(Asal usul Spesies, melalui Seleksi Alam)…
Seleksi alam didasarkan pada anggapan bahwa di alam selalu terdapat persaingan untuk
kelangsungan hidup. Ia memilih makhluk-makhluk dengan sifat-sifat yang paling membuat mereka mampu
mengatasi tekanan yang diberikan lingkungan. Pada akhir persaingan ini, yang terkuat, yang paling sesuai
dengan keadaan alam, akan bertahan. Sebagai contoh, pada sekawanan rusa yang berada di bawah
ancaman pemangsa, mereka yang mampu berlari lebih cepat secara alami akan bertahan hidup. Hasilnya,
kawanan rusa tersebut pada akhirnya hanya akan terdiri dari rusa-rusa yang mampu berlari cepat.
Meskipun demikian, betapapun lamanya hal ini berlangsung, ini tidak akan merubah rusa tersebut
menjadi jenis lain. Rusa lemah akan tersingkirkan, yang kuat bertahan, tetapi, karena tidak ada perubahan
yang terjadi dalam data genetik mereka, perubahan spesies pun tidak akan terjadi. Meskipun proses seleksi
ini terjadi terus-menerus, rusa tetap akan menjadi rusa.
Contoh tentang rusa tersebut berlaku untuk semua spesies. Dalam populasi manapun, seleksi alam
hanya menyingkirkan yang lemah, atau individu yang tidak cocok yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan kondisi alam dalam habitat mereka. Mekanisme seperti ini tidak akan menghasilkan spesies baru,
informasi genetik yang baru, atau organ baru. Artinya, seleksi alam tidak bisa menyebabkan apapun untuk
berevolusi. Darwin pun menerima fakta ini, sesuai dengan pernyataannya “Seleksi alam tidak bisa berbuat
apapun hingga perbedaan individu atau keragaman yang menguntungkan terjadi.”7 Itulah mengapa neo-
Darwinisme harus menambahkan mekanisme mutasi sebagai faktor pengubah informasi genetik dalam
konsep seleksi alam.
Kita akan membahas mutasi lebih jauh dalam bab selanjutnya. Tetapi sebelumnya, kita perlu
mengkaji lebih jauh konsep seleksi alam untuk melihat pertentangan yang sangat melekat di dalamnya.

Persaingan untuk kelangsungan hidup?

Anggapan mendasar dari teori seleksi alam adalah bahwa di alam selalu terdapat persaingan sengit
untuk kelangsungan hidup, dan setiap makhluk hidup hanya mempedulikan dirinya sendiri. Pada saat
Darwin mengajukan teori ini, gagasan Thomas Malthus, seorang ahli ekonomi klasik Inggris, berpengaruh
penting pada dirinya. Malthus menyatakan bahwa manusia tak terhindar dari persaingan dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ia mendasari pandangannya pada kenyataan bahwa populasi,
yang berarti juga kebutuhan akan sumber makanan, bertambah menurut deret ukur, sementara sumber
makanan itu sendiri bertambah menurut deret hitung. Alhasil, ukuran populasi mau tak mau akan dibatasi
oleh faktor-faktor lingkungan, seperti kelaparan dan penyakit. Darwin menerapkan pandangan Malthus
tentang persaingan sengit untuk kelangsungan hidup antar manusia kepada alam secara luas, dan
menyatakan bahwa “seleksi alam” adalah sebuah dampak persaingan ini.
Namun, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa tidak terdapat persaingan untuk hidup di
alam seperti yang dirumuskan Darwin. Sebagai hasil dari penelitian menyeluruh terhadap kelompok-
kelompok hewan pada tahun 1960-an hingga 1970-an, V. C. Wynne-Edward, seorang ahli ilmu hewan
Inggris, menyimpulkan bahwa makhluk hidup menyeimbangkan populasi mereka melalui suatu cara
menarik, yang mencegah persaingan untuk memperoleh makanan. Populasi diatur tidak melalui
penyingkiran yang lemah melalui hal-hal seperti wabah penyakit atau kelaparan, tetapi oleh sebuah
mekanisme pengatur naluriah. Dengan kata lain, hewan mengatur jumlah mereka tidak dengan persaingan
sengit, seperti diusulkan Darwin, tetapi dengan membatasi perkembangbiakan. 8
Bahkan tumbuhan menunjukkan contoh pengaturan populasi, yang menyanggah pernyataan Darwin
tentang seleksi melalui persaingan. Pengamatan seorang ahli ilmu tumbuhan, A. D. Bradshaw,
menunjukkan bahwa selama berkembangbiak, tumbuhan menyesuaikan diri dengan “kepadatan”
penanaman, dan membatasi perkembangbiakan mereka jika daerah itu telah penuh dengan tumbuhan. 9 Di
lain pihak, contoh pengorbanan yang teramati pada hewan seperti semut dan lebah menggambarkan sebuah
model yang sama sekali bertentangan dengan persaingan untuk kelangsungan hidup menurut Darwinis.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah mengungkap penemuan mengenai “pengorbanan
diri” bahkan pada bakteri. Makhluk hidup tanpa otak atau sistem syaraf ini, yang sama sekali tak
berkemampuan untuk berfikir, membunuh diri mereka sendiri untuk menyelamatkan bakteri lain ketika
mereka diserang virus.10
Contoh-contoh ini pastilah menyanggah anggapan dasar dari seleksi alam: persaingan untuk
kelangsungan hidup yang tidak bisa dihindari. Memang benar terdapat persaingan di alam; akan tetapi
terdapat juga model yang jelas dari “pengorbanan diri” dan “kesetiakawanan”.

Penelitian dan Percobaan

Terlepas dari kelemahan secara teori tersebut di atas, teori evolusi melalui seleksi alam kembali
menemui kebuntuan mendasar ketika berhadapan dengan penemuan-penemuan ilmiah yang nyata. Nilai
ilmiah sebuah teori harus dikaji berdasarkan berhasil atau tidaknya teori ini dalam percobaan dan
pengamatan. Evolusi melalui seleksi alam gagal dalam keduanya.
Sejak masa Darwin, tidak pernah dikemukakan sepotong bukti pun untuk menunjukkan bahwa
seleksi alam telah menyebabkan makhluk hidup berevolusi. Colin Patterson, seorang ahli purbakala senior
pada Museum Sejarah Alam (Museum of Natural Histroy) Inggris di London yang juga seorang
evolusionis terkemuka, menegaskan bahwa seleksi alam belum pernah teramati memiliki kemampuan
untuk menyebabkan makhluk hidup berevolusi:
Tak seorangpun pernah menghasilkan satu spesies melalui mekanisme seleksi alam. Tak seorangpun
pernah mendekatinya, dan kebanyakan dari perdebatan di dalam neo-Darwinisme adalah seputar
pertanyaan ini.11
Pierre-Paul Grasse, ahli ilmu hewan terkenal Perancis yang juga penguji Darwinisme, berkomentar
di dalam “Evolusi dan Seleksi Alam”, satu bab pada bukunya The Evolution of Living Organisms (Evlolusi
Makhluk Hidup).
“Evolusi sedang beraksi” menurut J. Huxley dan ahli biologi lainnya hanyalah pengamatan atas
fakta-fakta demografi, keragaman genotipe lokal, dan sebaran geografis. Sering kali spesies yang diamati
hampir tidak berubah selama ratusan abad! Keragaman akibat [perubahan] keadaan, dengan didahului
perubahan genom, tidak berarti evolusi, dan kita memiliki bukti nyata atas hal ini pada banyak spesies
panchronic [yaitu fosil hidup yang tidak berubah selama jutaan tahun].12
Sebuah tinjauan lebih dekat pada beberapa “contoh yang teramati dari seleksi alam” yang disajikan
oleh ahli biologi yang mendukung teori evolusi, akan mengungkapkan bahwa, pada kenyataannya, mereka
tidak menyediakan bukti apapun bagi evolusi.

Kisah Sebenarnya tentang Melanisme Industri

Ketika sumber-sumber evolusionis dikaji, seseorang pasti akan melihat bahwa contoh ngengat di
Inggris selama Revolusi Industri disebut-sebut sebagai contoh evolusi melalui seleksi alam. Hal ini
diajukan sebagai contoh paling nyata dari evolusi yang teramati, dalam buku-buku acuan, majalah dan
bahkan sumber-sumber akademis. Meskipun pada kenyataanya, contoh tersebut tidak berhubungan sama
sekali dengan evolusi.
Pertama, mari kita mengingat kembali apa yang dikatakan: Menurut catatan ini, pada permulaan
Revolusi Industri di Inggris, warna kulit pohon disekitar Manchester cukup terang. Oleh sebab itu, ngengat
berwarna gelap yang berada di pohon itu akan lebih mudah dilihat oleh burung pemangsa mereka, dan
karenanya mereka berkemungkinan kecil untuk bertahan hidup. Lima puluh tahun kemudian, di hutan-
hutan dimana polusi industri telah membunuh lumut kerak, kulit pohon menjadi lebih gelap, dan sekarang
ngengat berwarna terang menjadi paling banyak diburu, karena mereka paling mudah terlihat. Akibatnya,
perbandingan antara ngengat berwarna terang dengan berwarna gelap menurun. Evolusionis mempercayai
hal ini sebagai satu bukti besar bagi teori mereka. Mereka berlindung dan menghibur diri dengan bangga,
menunjukkan bagaimana ngengat berwarna terang “berevolusi” menjadi ngengat berwarna gelap.
Namun demikian, walaupun kita percaya bahwa fakta ini benar, seharusnya sudah jelas bahwa
ngengat-ngengat ini tidak bisa dijadikan bukti bagi teori evolusi, karena tidak ada bentuk baru yang
muncul yang sebelumnya tidak ada. Ngengat berwarna gelap telah ada dalam populasi ngengat sebelum
Revolusi Industri. Hanya perbandingan antar varietas ngengat yang ada saja yang berubah. Ngengat tidak
memperoleh suatu sifat atau organ baru, yang akan menyebabkan “spesiasi” [terbentuknya spesies baru]. 13
Agar satu spesies ngengat berubah menjadi satu spesies hidup lain, burung misalnya, harus ada
penambahan baru atas gen-gennya. Artinya, sebuah program genetik yang benar-benar baru harus
dimasukan termasuk informasi tentang ciri-ciri fisik dari burung.
Ini adalah jawaban yang diberikan untuk kisah “Melanisme Industri” kaum evolusionis. Namun,
masih ada sisi yang lebih menarik dari kisah ini: Tidak hanya penjelasannya, tetapi kisah itu sendiri tidak
sepenuhnya benar. Sebagai ahli biologi molekuler, Jonathan Wells menjelaskan dalam bukunya Icons of
Evolution (Lambang-lambang Evolusi), cerita ngengat berbintik ini, yang dimasukkan pada setiap buku
biologi evolusi dan karenanya, telah menjadi sebuah “lambang” dalam hal ini, tidak mencerminkan
kebenaran. Wells mengkaji di dalam bukunya bagaimana percobaan Bernard Kettlewell, yang dikenal
sebagai “bukti percobaan”, sebenarnya adalah skandal ilmiah. Beberapa unsur dasar dari skandal ini
adalah:
•Banyak percobaan yang dilakukan setelah Kettlewell mengungkap bahwa hanya ada satu jenis dari
ngengat ini yang hinggap pada batang pohon, dan semua jenis lainnya lebih suka hinggap di bawah dahan
kecil yang mendatar. Sejak 1980 menjadi teranglah bahwa ngengat umumnya tidak hinggap pada batang
pohon. Selama 25 tahun kerja lapangan, banyak ilmuwan seperti Cyril Clarke dan Rory Howlett, Michael
Majerus, Tony Liebert, dan Paul Brakefield menyimpulkan bahwa dalam percobaan Kettlewell, ngengat
dipaksa untuk bertingkah laku tidak umum, karenanya, hasil percobaan tersebut tidak bisa diterima secara
ilmiah.14
•Para Ilmuwan yang menguji kesimpulan Kettlewell muncul dengan hasil yang bahkan lebih
menarik: Walaupun jumlah ngengat berwarna terang diharapkan akan lebih banyak pada daerah yang
kurang berpolusi di Inggris, ngengat berwarna gelap di sana jumlahnya empat kali lebih banyak dari yang
terang. Ini berarti tidak terdapat hubungan antara populasi ngengat dan batang kayu seperti yang dikatakan
Kettlewell dan diulang-ulang oleh hampir semua sumber evolusionis.
•Ketika pengujian diperdalam, besarnya skandal ini semakin nyata: “Ngengat pada batang pohon”
yang difoto oleh Kettlewell, sebenarnya adalah ngengat mati. Kettle well menggunakan serangga mati
yang direkatkan atau ditusukkan pada batang kayu dan kemudian memfotonya. Pada dasarnya, sulit sekali
untuk mengambil gambar seperti itu karena ngengat tidak hinggap di batang pohon, melainkan di bawah
dedaunan.15
Fakta-fakta ini diungkapkan oleh masyarakat ilmiah baru di akhir 1990-an. Runtuhnya mitos
Melanisme Industri, yang telah menjadi salah satu bahasan berharga dalam kuliah-kuliah “Mengenal
Evolusi” di setiap Universitas selama beberapa dasawarsa, sangat mengecewakan para evolusionis. Salah
satu dari mereka, Jerry Coyne, bertutur:
Reaksi saya mirip dengan kekecewaan yang menyertai temuan saya, pada umur 6 tahun, bahwa
ternyata ayah sayalah dan bukan Santa yang membawa hadiah pada malam natal.16
Jadi, “contoh paling terkenal dari seleksi alam” telah dibuang ke tumpukan sampah sejarah sebagai
sebuah skandal ilmiah—sebuah hal yang tak terhindarkan, karena, berkebalikan dengan apa yang
dinyatakan evolusionis, seleksi alam bukanlah sebuah “mekanisme evolusi”.
Singkatnya, seleksi alam tidak mampu menambahkan organ baru pada makhluk hidup, atau
menghilangkan salah satunya, ataupun merubah organisme dari satu spesies menjadi spesies lain. Bukti
“terbesar” yang ada sejak Darwin hanya beranjak tidak lebih jauh dari “Melanisme Industri” ngengat di
Inggris.
Mengapa Seleksi Alam Tidak Bisa
Menjelaskan Kompleksitas

Seperti yang kami tunjukkan pada bagian awal, masalah terbesar bagi teori evolusi melalui seleksi
alam, adalah bahwa ia tidak bisa memunculkan organ atau sifat baru pada makhluk hidup. Seleksi alam
tidak bisa mengembangkan data genetik suatu spesies; karenanya, ia tidak bisa digunakan untuk
menjelaskan kemunculan spesies baru. Pembela terbesar teori Punctuated Equilibrium (Keseimbangan
Tersela), Stephen Jay Gould, menyatakan kebuntuan seleksi alam ini sebagai berikut:
Intisari Dawinisme terdapat dalam sebuah kalimat: seleksi alam adalah kekuatan kreatif dari
perubahan secara evolusi. Tak seorang pun menyangkal bahwa seleksi alam akan memainkan peran negatif
dengan menyisihkan yang lemah. Teori Darwin mensyaratkan seleksi alam juga menciptakan yang kuat.17
Metoda menyesatkan lainnya yang diterapkan para evolusionis dalam masalah seleksi alam adalah
usaha mereka untuk menghadirkan mekanisme ini sebagai sebuah perancang cerdas. Namun, seleksi alam
tidak memiliki kecerdasan. Seleksi alam tidak memiliki kehendak yang dapat menentukan mana yang baik
dan buruk bagi makhluk hidup. Akibatnya, seleksi alam tidak bisa menjelaskan system-sistem biologis dan
organ-organ yang memiliki “kompleksitas tak tersederhanakan”. Sistem-sistem dan organ-organ ini
tersusun atas banyak bagian yang bekerja sama, dan tidak akan berguna jika satu saja bagiannya hilang
atau rusak. (Sebagai contoh, mata manusia tidak akan berfungsi kecuali jika ia memiliki semua bagiannya
secara utuh).
Oleh karena itu, kehendak yang menyatukan semua bagian ini seharusnya mampu memperkirakan
masa depan dan secara langsung mengarahkan kepada manfaat yang akan didapat pada tahapan terakhir.
Karena seleksi alam tidak memiliki kesadaran atau kehendak, seleksi alam tidak bisa melakukan hal seperti
itu. Fakta ini, yang menghancurkan dasar dari teori evolusi, juga mengganggu Darwin, yang menulis:
“Jika bisa dibuktikan bahwa ada organ kompleks, yang tidak mungkin dapat terbentuk melalui banyak
perubahan kecil bertahap, maka teori saya akan sepenuhnya runtuh.”18

Mutasi

Mutasi diartikan sebagai pemutusan atau penggantian yang terjadi pada molekul DNA, yang
ditemukan dalam inti sel dari setiap makhluk hidup dan memuat semua informasi genetik darinya.
Pemutusan atau penggantian ini diakibatkan oleh pengaruh-pengaruh luar seperti radiasi atau reaksi
kimiawi. Setiap mutasi adalah sebuah “kecelakaan”, dan merusak nukleotida-nukleotida penyusun DNA
atau mengubah kedudukan mereka. Hampir selalu, mereka menyebabkan kerusakan dan perubahan yang
sedemikian besar sehingga sel tidak bisa memperbaikinya.
Mutasi, yang sering dijadikan tempat berlindung evolusionis, bukan sebuah tongkat sulap yang bisa
merubah makhluk hidup ke bentuk yang lebih maju dan sempurna. Dampak langsung mutasi adalah
membahayakan. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh mutasi hanya akan serupa dengan apa yang
dialami penduduk Hiroshima, Nagasaki, dan Chernobyl: yaitu kematian, cacat, dan kelainan tubuh…
Alasan di balik ini sangatlah sederhana: DNA memiliki struktur sangat kompleks, dan perubahan-
perubahan acak hanya akan merusakkannya. Ahli biologi B. G. Ranganathan menyatakan:
Pertama, mutasi asli sangat jarang terjadi di alam. Kedua, kebanyakan mutasi adalah berbahaya
karena terjadi secara acak, bukan secara teratur merubah struktur gen; setiap perubahan acak dalam suatu
sistem yang sangat tertata rapi hanya akan memperburuk, bukan memperbaiki. Sebagai contoh, jika gempa
bumi menggoncang struktur yang tertata rapi seperti gedung, akan terjadi perubahan acak pada kerangka
bangunan tersebut yang, dapat dipastikan, tidak akan merupakan suatu perbaikan.19
Tidak mengherankan, tak satupun mutasi bermanfaat telah teramati sejauh ini. Semua mutasi telah
terbukti berbahaya. Ilmuwan evolusionis, Warren Weaver, mengomentari laporan yang disusun oleh
Committee on Genetic Effects of Atomic Radiation (Komite Dampak Genetik dari Radiasi Atom), yang
dibentuk untuk menyelidiki mutasi yang mungkin terjadi akibat senjata nuklir pada Perang Dunia II :
Banyak yang akan tercengang oleh pernyataan bahwa hampir semua gen termutasi yang telah
dikenal ternyata membahayakan. Jika mutasi adalah bagian yang diperlukan dari proses evolusi,
bagaimana mungkin suatu pengaruh baik—evolusi ke bentuk kehidupan yang lebih tinggi—dihasilkan dari
mutasi yang umumnya membahayakan?20
Setiap usaha yang dilakukan untuk “menghasilkan mutasi yang bermanfaat” berakhir dengan
kegagalan. Selama puluhan tahun, evolusionis melakukan berbagai percobaan untuk menghasilkan mutasi
pada lalat buah, karena serangga ini berkembang biak sedemikian cepat sehingga mutasi akan lebih cepat
terlihat. Keturunan demi keturunan lalat buah ini dimutasikan, namun tak satu pun mutasi bermanfaat yang
teramati. Ahli genetika evolusionis, Gordon Taylor, akhirnya menulis:
Adalah sebuah kenyataan menarik, tetapi tidak sering disebutkan bahwa, meskipun para ahli
genetika telah mengembangbiakkan lalat buah selama lebih dari 60 tahun di laboratorium seluruh dunia—
lalat yang menghasilkan keturunan baru setiap sebelas hari—mereka tidak pernah melihat munculnya
spesies baru atau bahkan enzim baru.21
Peneliti lainnya, Michael Pitman, berkomentar tentang kegagalan percobaan-percobaan yang
dilakukan pada lalat buah:
Morgan, Goldschmidt, Muller, dan ahli genetika yang lain telah menghadapkan beberapa lalat buah
pada kondisi ekstrim seperti panas, dingin, terang, gelap dan perlakuan dengan zat kimia serta radiasi.
Semua jenis mutasi, semuanya hampir tak berarti atau benar-benar merugikan, telah dihasilkan. Inikah
evolusi buatan manusia? Tidak juga: Hanya sebagian kecil dari monster buatan para ahli genetika tersebut
yang mungkin mampu bertahan hidup di luar botol tempat mereka dikembangbiakkan. Pada kenyataannya
mutan-mutan tersebut mati, mandul, atau cenderung kembali ke jenis asalnya.22
Hal yang sama berlaku bagi manusia. Semua mutasi yang teramati pada manusia menghasilkan
kerugian. Semua mutasi yang terjadi pada manusia mengakibatkan cacat fisik, dalam bentuk penyakit
mongolisme, sindroma Down, albinisme (bulai), cebol atau kanker. Jelaslah, sebuah proses yang membuat
manusia cacat atau sakit tidak mungkin menjadi “mekanisme evolusi” - evolusi seharusnya menghasilkan
bentuk-bentuk yang lebih mampu bertahan hidup.
Ahli penyakit Amerika David A. Demick mencatat sebagai berikut dalam sebuah artikel ilmiah
tentang mutasi:
Ribuan penyakit manusia yang berhubungan dengan mutasi genetik telah dicatat pada beberapa
tahun terakhir, dan lebih banyak lagi yang sedang dikaji. Sebuah buku rujukan terbaru genetika kedokteran
mendaftar sekitar 4500 penyakit genetik yang berbeda. Beberapa gejala menurun yang diketahui secara
klinis di masa sebelum analisa genetika molekuler (seperti gejala Marfan) sekarang ternyata diketahui
berbeda jenis; yaitu berhubungan dengan berbagai mutasi yang berbeda… Dengan sederetan penyakit
manusia yang disebabkan oleh mutasi ini, apakah dampak baiknya? Dengan ribuan contoh mutasi
berbahaya yang ada, tentunya dimungkinkan memperlihatkan beberapa mutasi berguna jika saja evolusi
makro benar. Hal ini [mutasi berguna] akan diperlukan bukan hanya untuk evolusi ke bentuk lebih
kompleks, tapi juga untuk mengurangi dampak buruk dari banyak mutasi berbahaya. Tetapi, ketika tiba
saatnya untuk menunjukkan mutasi berguna, ilmuwan-ilmuwan evolusionis anehnya hanya
bungkam.23
Satu-satunya contoh “mutasi berguna” yang diberikan oleh ahli biologi evolusi adalah penyakit yang
dikenal sebagai anemia sel sabit. Pada penyakit ini, molekul hemoglobin, yang membawa oksigen dalam
darah, rusak karena mutasi, dan mengalami perubahan bentuk. Akibatnya, kemampuan molekul
hemoglobin untuk mengangkut oksigen benar-benar terganggu. Karena itu, penderita anemia sel sabit
mengalami kesulitan bernapas. Namun demikian, contoh mutasi ini, yang dijabarkan dalam bab kelainan
darah pada buku kedokteran, anehnya dinilai oleh sebagian ahli biologi evolusi sebagai “mutasi berguna”.
Mereka mengatakan bahwa kekebalan terbatas terhadap malaria pada penderita anemia sel sabit adalah
sebuah “hadiah” dari evolusi. Dengan alur pemikiran yang sama, seseorang bisa mengatakan bahwa,
karena orang yang dilahirkan dengan kelumpuhan kaki genetik tidak mampu berjalan dan jadinya selamat
dari kematian karena kecelakaan lalu lintas, maka kelumpuhan kaki genetik tersebut adalah sebuah ”sifat
genetik yang menguntungkan”. Pemikiran seperti ini jelas-jelas tidak berdasar.
Jelaslah bahwa mutasi hanyalah suatu mekanisme yang merusak. Pierre-Paul Grasse, mantan ketua
French Academy of Sciences, menjelaskan dengan gamblang dalam komentarnya tentang mutasi. Grasse,
mengibaratkan mutasi sebagai “kesalahan menulis huruf ketika menyalin sebuah tulisan”. Dan
sebagaimana mutasi, kesalahan huruf tidak bisa menghasilkan suatu informasi baru, tetapi hanya merusak
informasi yang telah ada. Grasse menjelaskan kenyataan ini sebagai berikut:
Mutasi, di suatu saat, terjadi secara terpisah. Mutasi tidak saling melengkapi satu sama lain, ataupun
menumpuk pada keturunan selanjutnya menuju arah tertentu. Mereka merubah apa yang telah ada
sebelumnya, tetapi, walau bagaimanapun, mereka melakukannya secara tidak teratur,… Segera setelah
beberapa ketidakteraturan, meskipun kecil, terjadi pada makhluk yang teratur, penyakit, dan kemudian
kematian, akan mengikuti. Tidak mungkin ada penyatuan antara fenomena kehidupan dengan
ketidakteraturan.24
Jadi berdasarkan alasan tersebut, seperti yang Grasse katakan, “Tidak peduli berapa sering terjadi,
mutasi tidak menghasilkan satu pun bentuk evolusi.”25

Efek Pleiotropik

Bukti terpenting bahwa mutasi membawa pada kerusakan adalah proses penyandian genetik. Hampir
semua gen pada makhluk hidup yang sepenuhnya berkembang membawa lebih dari satu macam informasi.
Sebagai contoh, satu gen mungkin mengatur sifat tinggi sekaligus warna mata pada suatu organisme. Ahli
mikrobiologi, Michael Denton, menjelaskan sifat gen pada organisme tingkat tinggi seperti manusia ini,
sebagai berikut:
Pengaruh dari gen pada perkembangan secara tak terduga sering kali beragam. Pada tikus rumah,
hampir semua gen warna kulit memiliki beberapa pengaruh pada ukuran tubuh. Dari tujuh belas mutasi
warna mata yang dipicu sinar X pada lalat buah Drosophila melanogaster, empat belas diantaranya
mempengaruhi bentuk organ kelamin betina, sifat yang orang akan kira tidak ada hubungannya dengan
warna mata. Hampir setiap gen yang telah dipelajari pada organisme tingkat tinggi diketahui
mempengaruhi lebih dari satu sistem organ, sebuah efek beragam yang dikenal sebagai pleiotropi. Seperti
pendapat Mayr dalam Population, Species and Evolution: “Sangat diragukan apakah ada gen yang tidak
pleiotropik pada organisme tingkat tinggi.”26
Karena sifat struktur genetik makhluk hidup ini, setiap perubahan tak disengaja karena mutasi, pada
gen mana saja dalam DNA, akan mempengaruhi lebih dari satu organ. Akibatnya, mutasi ini tidak akan
terbatas pada satu bagian tubuh saja, tetapi akan memperlihatkan lebih banyak dampak merusaknya.
Bahkan jika satu dari dampak ini ternyata menguntungkan, sebagai hasil dari kebetulan yang sangat jarang,
pengaruh yang tidak bisa dihindari dari kerusakan yang disebabkannya akan jauh lebih terasa daripada
manfaat tersebut.
Sebagai rangkuman, ada tiga alasan utama mengapa mutasi tidak memungkinkan terjadinya evolusi:
1. Pengaruh langsung dari mutasi adalah membahayakan: Karena terjadi secara acak, mutasi
hampir selalu merugikan makhluk hidup yang mengalaminya. Nalar kita mengatakan bahwa campur
tangan tak berkesadaran [atau perubahan acak] pada sebuah struktur yang sempurna dan kompleks tidak
akan memperbaiki struktur tersebut, tetapi malah merusaknya. Dan memang, tidak ada “mutasi berguna”
yang pernah teramati.
2. Mutasi tidak menambahkan informasi baru pada DNA suatu organisme: Unsur-unsur
penyusun informasi genetik menjadi terenggut dari tempatnya, hancur atau terbawa ke tempat lain. Mutasi
tidak dapat memberi makhluk hidup organ atau sifat baru. Mutasi hanya mengakibatkan kecacatan seperti
kaki yang muncul di punggung atau telinga di perut.
3. Agar dapat diwariskan kepada keturunan selanjutnya, mutasi harus terjadi pada sel-sel
perkembangbiakan organisme tersebut: Perubahan acak yang terjadi pada sel biasa atau organ tubuh tidak
dapat diwariskan ke keturunan berikutnya. Sebagai contoh, mata manusia yang berubah akibat pengaruh
radiasi atau sebab lain, tidak akan diwariskan kepada keturunan berikutnya.
Semua penjelasan yang diberikan di atas menunjukkan bahwa seleksi alam dan mutasi tidak
memiliki pengaruh evolusi sama sekali. Sejauh ini, belum ada contoh yang dapat diamati dari “evolusi”
yang diperoleh dengan cara ini. Kadang kala, ahli biologi evolusi menyatakan bahwa “mereka tidak bisa
mengamati pengaruh evolusi dari mekanisme seleksi alam dan mutasi karena mekanisme ini hanya terjadi
dalam jangka waktu yang sangat panjang”. Namun, alasan ini, yang hanya merupakan cara mereka
menghibur diri, tidaklah berdasar, dalam pengertian bahwa hal demikian tidak memiliki landasan ilmiah.
Selama hidupnya, seorang ilmuwan bisa mengamati ribuan keturunan makhluk hidup dengan masa hidup
singkat seperti lalat buah atau bakteri, dan tetap tidak mengamati adanya “evolusi”. Pierre-Paul Grasse
menyatakan hal berikut tentang tidak berubahnya bakteri secara alamiah, sebuah kenyataan yang
menyanggah evolusi:
Bakteri… adalah organisme yang, karena jumlah besar mereka, menghasilkan paling banyak mutan.
[B]akteri… menunjukkan kesetiaan besar pada spesies mereka. Bakteri Escherichia coli, yang mutan-nya
telah dipelajari dengan teliti, adalah contoh terbaik. Pembaca akan setuju bahwa sungguh mengejutkan,
paling tidak, [bahwa mereka] yang ingin membuktikan evolusi dan mengungkap mekanismenya ternyata
kemudian memilih bahan untuk dipelajari suatu makhluk yang tidak berubah selama miliaran tahun! Apa
gunanya mutasi mereka yang tak kenal berhenti, jika mereka tidak berubah [atau menghasilkan
perubahan secara evolusi]? Secara keseluruhan, mutasi pada bakteri dan virus hanyalah perubahan
warisan seputar kedudukan pertengahan; berayun ke kanan, ke kiri, tetapi pada akhirnya tidak ada
pengaruh evolusi. Kecoa, yang merupakan salah satu kelompok serangga paling maju, sedikit banyak tetap
tidak berubah sejak jaman Permian, tetapi mereka telah mengalami mutasi sebanyak Drosophila, serangga
jaman Tersier.27
Singkatnya, mustahil bagi makhluk hidup mengalami evolusi, karena tidak terdapat mekanisme di
alam yang bisa menyebabkan evolusi. Lebih jauh lagi, kesimpulan ini sesuai dengan bukti catatan fosil,
yang tidak menunjukkan adanya proses evolusi, tetapi malah sebaliknya.
ASAL USUL SPESIES YANG SEBENARNYA

Ketika buku The Origin of Species Darwin terbit pada tahun 1859, dipercayai bahwa ia telah
mengajukan sebuah teori yang dapat menjelaskan keanekaragaman luar biasa pada makhluk hidup. ia telah
mengamati bahwa terdapat berbagai keragaman dalam satu spesies. Sebagai contoh, ketika berkeliling
pasar ternak di Inggris, ia memperhatikan bahwa terdapat banyak ras sapi yang berbeda-beda, dan bahwa
para peternak sapi tersebut memilih dan mengawinkan mereka sehingga menghasilkan ras baru.
Mengambil contoh ini sebagai dasar, ia meneruskannya dengan penalaran bahwa “makhluk hidup secara
alamiah dapat bervariasi dengan sendirinya,” yang berarti bahwa dalam jangka waktu yang lama semua
makhluk hidup bisa jadi berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Namun, anggapan Darwin tentang “asal usul spesies” ini pada kenyataanya tidak mampu
menjelaskan asal usul mereka sama sekali. Berkat perkembangan ilmu genetika, sekarang telah dipahami
bahwa peningkatan keanekaragaman dalam satu spesies tidak akan pernah menuntun kepada kemunculan
spesies baru. Apa yang diyakini Darwin sebagai “evolusi”, sebenarnya adalah “variasi (keragaman)”.

Makna Variasi

Variasi, sebuah istilah yang digunakan dalam genetika, berarti sebuah peristiwa genetik yang
menyebabkan individu atau kelompok dari satu jenis atau spesies memiliki ciri yang berbeda satu sama
lain. Misalnya, semua manusia di bumi pada dasarnya membawa informasi genetik yang sama, namun
sebagian bermata sipit, sebagian berambut merah, sebagian berhidung mancung, dan sebagian lain
bertubuh pendek, semua tergantung dari seberapa besar potensi keragaman dari informasi genetik ini.
Variasi bukan merupakan bukti bagi evolusi karena variasi tidak lain hanyalah perwujudan dari
berbagai kombinasi dari informasi genetik yang telah ada, dan variasi tidak menambahkan ciri baru apapun
pada informasi genetik tersebut. Kemudian, pertanyaan penting bagi teori evolusi adalah bagaimana
informasi yang benar-benar baru dapat muncul untuk menghasilkan spesies yang baru pula.
Variasi selalu terjadi dalam batas informasi genetik [yang ada]. Dalam ilmu genetika, batasan ini
disebut “koleksi gen.” Semua sifat yang ada dalam koleksi gen suatu spesies mungkin akan muncul dalam
berbagai bentuk karena variasi. Sebagai contoh, sebagai akibat dari variasi, jenis dengan ekor yang lebih
panjang atau kaki lebih pendek mungkin akan muncul pada suatu spesies reptilia, karena informasi bagi
kedua bentuk kaki-panjang dan kaki-pendek ada dalam kumpulan gen spesies tersebut. Akan tetapi, variasi
tidak merubah reptilia menjadi burung dengan menambahkan sayap atau bulu pada mereka, atau dengan
merubah metabolisme mereka. Perubahan seperti itu memerlukan penambahan pada informasi genetik
makhluk hdup, yang tentunya tidak mungkin terjadi melalui variasi.
Darwin tidak menyadari kenyataan ini ketika ia merumuskan teorinya. Dia berpikir bahwa tidak ada
batasan dalam variasi. Dalam sebuah makalah yang ditulisnya pada tahun 1844, ia menyatakan: “Adanya
batasan dalam variasi di alam adalah anggapan dari sebagian besar penulis, namun saya tidak bisa
menemukan satu kenyataan pun yang mendasari keyakinan ini.”28 Dalam The Origin of Species ia
menyebutkan berbagai contoh variasi sebagai bukti paling penting bagi teorinya.
Misalnya, menurut Darwin, para peternak yang mengawinkan berbagai ras sapi untuk menghasilkan
ras baru yang menghasilkan susu lebih banyak, pada akhirnya akan mengubah mereka menjadi spesies
yang berbeda. Gagasan Darwin tentang “variasi tak terbatas” sangat jelas terlihat pada kalimat dari The
Origin of Species berikut ini:
Saya tidak melihat adanya masalah pada [gagasan tentang] suatu ras beruang yang berubah, oleh
seleksi alam, menjadi lebih [cocok hidup di] laut dalam bentuk dan perilaku mereka, dengan mulut yang
semakin melebar, sampai dihasilkan suatu makhluk sebesar paus.29
Alasan mengapa Darwin mengambil contoh yang tidak masuk akal ini adalah karena pemahaman
ilmu pengetahuan yang masih kuno pada masanya. Setelah itu, pada abad ke-20, ilmu pengetahuan telah
mengajukan prinsip “kestabilan genetik” (homeostasis genetik), berdasarkan hasil percobaan terhadap
makhluk hidup. Prinsip ini menyatakan bahwa, karena semua usaha pengawinan untuk mengubah suatu
spesies menjadi spesies lain tidak berhasil, terdapat batas tegas antar berbagai spesies makhluk hidup. Ini
berarti mustahil bagi peternak untuk mengubah sapi menjadi spesies lain dengan mengawinkan ras-ras
yang berbeda di antara mereka, sebagaimana dirumuskan Darwin.
Norman Macbeth, yang menyanggah Darwinisme dalam bukunya Darwin Retried, menyatakan:
Inti permasalahannya adalah apakah makhluk hidup sungguh [mampu] berubah hingga tingkat tak
terbatas… Spesies terlihat tetap. Kita semua telah mendengar kekecewaan pemulia yang telah bekerja
keras hanya untuk mendapatkan hewan atau tumbuhannya kembali ke bentuk seperti di awal kerja mereka.
Meskipun ada usaha keras selama dua atau tiga abad, tetap belum mungkin menghasilkan mawar berwarna
biru atau tulip berwarna hitam.30
Luther Burbank, salah seorang pemulia paling ahli, menggambarkan kenyataan ini ketika ia berkata,
“terdapat batasan untuk kemungkinan pengembangan, dan batasan ini mengikuti hukum tertentu.”31 Dalam
artikelnya berjudul “Some Biological Problems with the Natural Selection Theory (Beberapa Masalah
Biologis atas Teori Seleksi Alam),” Jerry Bergman berkomentar dengan mengutip ahli biologi Edward
Deevey yang menjelaskan bahwa variasi selalu terjadi dalam batas genetik yang tegas:
Deevey menyimpulkan, “Hal-hal luar biasa telah dihasilkan melalui “kawin silang”… tetapi gandum
tetaplah gandum, dan bukan anggur, misalnya. Kita tidak mungkin menumbuhkan sayap pada babi
sebagaimana juga membuat telur ayam seperti pipa.” Contoh yang lebih baru adalah pertambahan rata-rata
pada tinggi badan laki-laki yang telah terjadi sejak abad yang lalu. Melalui perawatan kesehatan yang lebih
baik (dan mungkin juga seleksi seksual, karena beberapa wanita lebih menyukai pria tinggi sebagai
pasangannya) laki-laki telah mencapai catatan tinggi badan dewasa tertinggi selama satu abad terakhir,
tetapi pertambahan ini dengan cepat menghilang, menunjukkan bahwa kita telah mencapai batasan kita.32
Singkatnya, variasi hanya membawa perubahan yang tetap dalam batasan informasi genetik suatu
spesies; mereka tidak pernah bisa menambahkan suatu data genetik baru kedalamnya. Untuk alasan ini,
tidak ada variasi yang bisa dianggap sebagai contoh evolusi. Tidak peduli berapa sering Anda
mengawinkan ras anjing atau kuda yang berbeda, hasil akhinya akan tetap anjing atau kuda, tanpa
kemunculan spesies baru. Ilmuwan Denmark, W.L. Johansen, menyimpulkan permasalahan ini sebagai
berikut:
Variasi yang ditekankan oleh Darwin dan Wallace tidak bisa secara selektif dipaksakan melampaui
titik tertentu, dan variasi semacam ini tidak mengandung rahasia dari ‘keberangkatan [menjadi spesies]
mana saja.33

Pengakuan tentang “Evolusi mikro”

Seperti yang telah kita lihat, ilmu genetika telah menemukan bahwa variasi, yang pikir Darwin bisa
menjelaskan “asal usul spesies”, sebenarnya tidak seperti itu. Untuk alasan ini, ahli biologi evolusi dipaksa
untuk memisahkan antara variasi dalam spesies dan pembentukan spesies baru, dan untuk mengajukan dua
gagasan berbeda untuk hal yang berbeda ini. Keanekaragaman dalam satu spesies—yaitu, variasi—mereka
sebut “evolusi mikro” dan hipotesis untuk perkembangan spesies baru disebut “evolusi makro.”
Dua gagasan ini telah ada dalam buku biologi sejak lama. Tetapi, sebenarnya terdapat pengelabuan
di sini, karena contoh variasi yang disebut sebagai “evolusi mikro” oleh ahli biologi evolusi sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan teori evolusi. Teori evolusi mengutarakan bahwa makhluk hidup bisa
berkembang dan memperoleh data genetik baru melalui mekanisme mutasi dan seleksi alam. Namun,
seperti yang baru saja kita lihat, variasi tidak pernah menciptkan informasi genetik baru, dan jadinya tidak
bisa menyebabkan terjadinya “evolusi”. Memberi nama variasi sebagai “evolusi mikro” sebenarnya
hanyalah kecenderungan ideologis dari sebagian penganut biologi evolusi.
Kesan yang diberikan kaum biologi evolusi dengan menggunakan istilah “evolusi mikro” adalah
penalaran salah: bahwa sejalan dengan waktu variasi dapat membentuk kelompok makhluk hidup baru.
Dan banyak orang yang belum tercerahkan tentang hal tersebut berpikir dangkal bahwa “sejalan dengan
perkembangannya, evolusi mikro bisa berubah menjadi evolusi makro.” Kita seringkali melihat contoh
pemikiran seperti itu. Beberapa evolusionis “amatir” mengajukan contoh penalaran semacam itu sebagai
berikut: karena tinggi rata-rata manusia bertambah sekitar 2 sentimeter hanya dalam satu abad, ini berarti
bahwa selama jutaan tahun bentuk evolusi apa saja bisa terjadi. Akan tetapi, seperti yang telah ditunjukkan
di atas, semua variasi semacam perubahan tinggi rata-rata terjadi pada batasan genetik tertentu, dan
merupakan kecenderungan yang tak berhubungan sama sekali dengan evolusi.
Kenyataannya, saat ini bahkan para pakar evolusionis pun menerima bahwa variasi yang mereka
sebut “evolusi mikro” tidak bisa membawa kepada terbentuknya kelompok baru makhluk hidup—dengan
kata lain, kepada “evolusi makro”. Pada artikel tahun 1996 dalam Jurnal terkemuka Developmental
Biology, ahli biologi evolusi S.F. Gilbert, J.M. Optiz, dan R.A. Raff menjelaskan permasalahan ini sebagai
berikut:
[Teori] Sintesa Modern adalah pencapaian yang mengagumkan. Akan tetapi, dimulai sejak tahun
1970-an, banyak ahli biologi mulai mempertanyakan kelengkapan informasi ini dalam menjelaskan
evolusi. Genetika mungkin memadai untuk menjelaskan evolusi mikro, tetapi perubahan melalui evolusi
mikro pada frekuensi gen tidak terlihat mampu merubah reptilia menjadi mamalia atau untuk merubah ikan
menjadi amfibia. Evolusi mikro melihat pada penyesuaian diri yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup [spesies] yang paling cocok, bukan kemunculan yang paling cocok. Seperti yang dikatakan
Goodwin, “asal usul spesies—permasalahan Darwin—tetap tidak terpecahkan.”34
Kenyataan bahwa “evolusi mikro” tidak bisa menghantarkan kita ke “evolusi makro”, atau dengan
kata lain bahwa variasi tidak memberikan penjelasan bagi asal usul spesies, telah diterima juga oleh ahli
biologi evolusi lainnya. Seorang penulis terkenal sekaligus pakar ilmu pengetahuan, Roger Lewin,
menggambarkan hasil dari simposium empat hari di Chicago Museum of Natural History pada November
1980, yang dihadiri oleh 150 evolusionis:
Pertanyaan utama dalam konferensi di Chicago itu adalah apakah mekanisme yang menyebabkan
evolusi mikro dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena evolusi makro.. Jawabannya dapat diberikan
dengan sangat jelas, Tidak.35
Kita dapat meringkas permasalahan ini sebagai berikut: Variasi, yang dilihat Darwin sebagai “bukti
evolusi” selama beberapa ratus tahun, sebenarnya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan “asal usul
spesies.” Sapi bisa dikawinkan satu sama lain selama jutaan tahun, dan ras sapi yang berbeda mungkin
muncul. Tetapi sapi tidak akan pernah berubah menjadi spesies yang berbeda—misalnya jerapah atau
gajah. Dengan cara yang sama, perbedaan yang terdapat pada burung pipit yang dilihat Darwin di
kepulauan Galapagos adalah contoh lain dari variasi yang bukan merupakan bukti bagi “evolusi.”
Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa burung pipit ini tidak mengalami variasi tanpa batas seperti
yang diajukan teori Darwin. Lebih jauh lagi, kebanyakan dari berbagai burung finch yang menurut Darwin
mewakili 14 spesies yang berbeda sebenarnya [mampu] kawin satu sama lain, yang berarti bahwa mereka
hanyalah variasi dari satu spesies yang sama. Pengamatan ilmiah menunjukkan bahwa paruh burung pipit,
yang telah melegenda dalam hampir semua sumber evolusionis, pada kenyataannya adalah satu contoh dari
“variasi”; karenanya hal ini bukanlah merupakan bukti bagi teori evolusi. Sebagai contoh, Peter dan
Rosemary Grant, yang menghabiskan waktu bertahun-tahun mengamati keanekaragaman burung pipit di
kepulauan Galapagos untuk mencari bukti bagi evolusi Darwin, terpaksa menyimpulkan bahwa “populasi
ini, dihadapkan pada seleksi alam, berayun maju mundur,” sebuah kenyataan yang secara tidak langsung
menunjukkan tidak ada “evolusi” yang membawa pada kemunculan sifat-sifat baru yang pernah terjadi.36
Jadi untuk alasan ini, evolusionis masih belum bisa memecahkan permasalahan Darwin tentang
“asal usul spesies”.

Asal-usul Spesies dalam Rekaman Fosil

Pernyataan evolusionis adalah bahwa setiap spesies di bumi berasal dari satu nenek moyang yang
sama melalui perubahan sedikit demi sedikit. Dengan kata lain, teori ini menganggap kehidupan sebagai
sebuah peristiwa yang berkelanjutan, tanpa ada pengelompokan tetap atau yang telah ditentukan
sebelumnya. Akan tetapi, pengamatan di alam dengan jelas tidak mengungkap gambaran berkelanjutan
semacam itu. Apa yang muncul dari dunia kehidupan adalah bahwa bentuk kehidupan benar-benar terpisah
dalam kelompok-kelompok yang benar-benar berbeda. Robert Carrol, seorang evolusionis yang
berpengaruh, mengakui kenyataan ini dalam bukunya Patterns and Processes of Vertebrate Evolution
(Pola dan Proses Evolusi Vertebrata):
Walaupun jumlah spesies yang hidup di bumi saat ini hampir tidak bisa dibayangkan, mereka tidak
membentuk sebuah rantai dengan sambungan yang hampir tidak bisa dibedakan. Malahan, hampir semua
spesies bisa dikenali sebagai anggota kelompok-kelompok besar yang sangat berbeda dan terbatas
jumlahnya, sangat sedikit yang menggambarkan bentuk atau cara hidup peralihan.37
Oleh karena itu, evolusionis beranggapan bahwa bentuk kehidupan “peralihan” yang menjadi
penghubung antar makhluk hidup pernah hidup di masa lalu. Inilah sebabnya mengapa disadari bahwa
ilmu pengetahuan dasar yang bisa memecahkan persoalan ini adalah paleontologi, ilmu yang mempelajari
fosil-fosil. Evolusi dikatakan sebagai sebuah proses yang terjadi di masa lalu, dan satu-satunya sumber
ilmiah yang bisa memberi kita informasi tentang sejarah kehidupan hanyalah penemuan fosil. Berkenaan
dengan hal ini, ahli paleontologi Perancis, Pierre-Paul Grasse, berkata:
Para Naturalis harus ingat bahwa proses evolusi hanya terungkap melalui bentukan fosil… hanya
paleontologi yang bisa menyediakan bukti evolusi bagi mereka dan mengungkap tata cara atau jalannya.38
Supaya rekaman fosil bisa memperjelas persoalan ini, kita hendaknya membandingkan hipotesis
teori evolusi dengan temuan-temuan fosil.
Menurut teori evolusi, setiap spesies muncul dari satu pendahulu. Satu spesies yang telah ada
sebelumnya berubah menjadi spesies lain sejalan dengan waktu, dan semua spesies telah mewujud dengan
cara ini. Menurut teori ini, perubahan bentuk ini berlangsung secara bertahap selama jutaan tahun.
Jika demikian kejadiannya, maka seharusnya telah hidup spesies peralihan yang tak terhitung
jumlahnya selama masa panjang ketika perubahan bentuk ini dianggap sedang berlangsung. Sebagai
contoh, seharusnya telah hidup di masa lalu makhluk setengah ikan-setengah reptilia yang yang telah
memperoleh beberapa ciri reptilia sebagai tambahan atas ciri ikan yang telah mereka miliki. Atau
seharusnya telah hidup makhluk reptilia-burung, yang telah memperoleh ciri burung sebagai tambahan atas
ciri reptilia yang telah mereka miliki. Evolusionis menyebut makhluk khayalan ini, yang mereka percaya
pernah hidup di masa lampau, sebagai “bentuk-bentuk peralihan.”
Jika hewan semacam itu benar-benar ada, seharusnya terdapat jutaan, bahkan milyaran, dari mereka.
Lebih penting lagi, sisa-sisa dari makhluk khayalan ini seharusnya ada dalam rekaman fosil. Jumlah bentuk
peralihan ini seharusnya lebih besar daripada spesies yang ada, dan sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan
di seluruh penjuru dunia. Dalam The Origin of Species, Darwin menerima kenyataan ini dan menjelaskan:
Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang
mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama… Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lalu
hanya dapat ditemukan pada peninggalan fosil.”39
Bahkan Darwin sendiri menyadari ketiadaan bentuk-bentuk peralihan tersebut. Ia berharap mereka
akan ditemukan di masa mendatang. Di balik harapan besarnya, ia sadar bahwa ketiadaan bentuk peralihan
ini adalah rintangan utama bagi teorinya. Itulah mengapa dalam buku The Origin of Species, pada bab
“Difficulties of The Theory” ia menulis:
… Mengapa, jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi
sedikit, kita tidak melihat sejumlah besar bentuk peralihan di manapun? Mengapa semua makhluk tidak
dalam keadaan [pengelompokan yang] membingungkan, tetapi justru seperti yang kita lihat, spesies berada
dalam bentuk-bentuk tertentu yang jelas?...Tetapi menurut teori ini bentuk peralihan yang tak terhitung
jumlahnya seharusnya ada, mengapa kita tak menemukan mereka dalam jumlah yang tak terhitung
terkubur dalam kerak bumi?... Dan pada daerah peralihan, yang memiliki lingkungan hidup peralihan,
mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan yang saling berhubungan erat? Permasalahan
ini, telah lama, sangat membingungkan saya.40
Satu-satunya penjelasan yang dapat diajukan Darwin untuk menghadapi keberatan ini adalah bahwa
rekaman fosil saat ini belum lengkap. Ia menyatakan bahwa ketika rekaman fosil telah dipelajari secara
teliti, mata rantai yang hilang akan ditemukan.

Pertanyaan tentang Bentuk peralihan dan Stasis

Mempercayai ramalan Darwin, para ahli paleontologi evolusi telah menggali fosil-fosil dan mencari
mata rantai yang hilang ini diseluruh dunia sejak pertengahan abad ke-19. Meskipun dengan upaya terbaik
mereka, belum ada bentuk peralihan yang ditemukan. Bertentangan dengan kepercayaan evolusionis,
semua fosil yang ditemukan dalam penggalian menunjukkan bahwa kehidupan muncul di bumi secara tiba-
tiba dan dalam bentuk lengkap.
Robert Carrol, seorang pakar paleontologi vertebrata yang juga seorang evolusionis, memberikan
pengakuan bahwa harapan Darwinis tidak terpuaskan dengan penemuan fosil:
Meski ada upaya keras mengumpulkan [fosil] lebih dari seratus tahun sejak masa kematian Darwin,
rekaman fosil masih belum menghasilkan gambaran adanya bentuk-bentuk peralihan tak terkira jumlahnya
yang ia harapkan.41
Ahli paleontologi yang lain, K. S. Thomson, menyatakan bahwa kelompok baru organisme muncul
dengan sangat tiba-tiba dalam rekaman fosil:
Ketika sebuah kelompok besar organisme muncul dan muncul pertama kali dalam rekaman fosil, ia
terlihat muncul lengkap dengan sejumlah sifat-sifat baru yang tidak terlihat pada kelompok terkait, yang
diduga sebagai pendahulunya. Perubahan besar dan cepat dalam bentuk dan fungsi ini sepertinya muncul
dengan sangat cepat…42
Ahli biologi Francis Hitching, dalam bukunya The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong
(Leher Jerapah: Tempat Darwin Melakukan Kesalahan), menyatakan:
Jika kita menemukan fosil, dan jika teori Darwin benar, kita bisa memperkirakan apa yang
seharusnya terkandung di bebatuan; fosil-fosil yang menunjukkan perubahan bertahap dari satu kelompok
makhluk hidup ke yang lain dengan tingkat kerumitan lebih tinggi. “Perubahan kecil” dari generasi ke
generasi seharusnya dapat terfosilkan juga sebagaimana spesies itu sendiri. Akan tetapi, sepertinya bukan
ini yang terjadi. Kenyataannya, kebalikannyalah yang benar, sebagaimana dikeluhkan Darwin; “Bentuk
peralihan yang tak terhitung jumlahnya seharusnya ada, mengapa kita tak menemukan mereka dalam
jumlah yang tak terhitung terkubur dalam kerak bumi?” Darwin merasa bahwa “ketidaksempurnaan nyata”
rekaman fosil hanyalah masalah penggalian lebih banyak fosil. Tetapi setelah semakin banyak fosil tergali,
terlihatlah bahwa hampir semuanya, tanpa pengecualian, sangat mirip dengan binatang yang hidup
sekarang.43
Rekaman fosil mengungkap bahwa spesies muncul secara tiba-tiba, dan dengan bentukan yang sama
sekali berbeda, dan tetap tak berubah dalam masa geologis terpanjang. Stephen Jay Gould, seorang ahli
paleontologi di Harvard University dan evolusionis terkemuka, mengakui kenyataan ini pada akhir 70-an:
Sejarah dari hampir semua fosil spesies mempunyai dua ciri yang tidak bersesuaian dengan
perubahan bertahap: 1) Stasis – sebagian besar spesies menunjukkan tidak adanya perubahan terarah
selama masa hidup mereka di bumi. Mereka muncul dalam rekaman fosil dengan penampakan sangat mirip
dengan ketika mereka menghilang; perubahan bentuk biasanya terbatas dan tidak terarah; 2) Kemunculan
tiba-tiba – dalam setiap daerah kecil, suatu spesies tidak muncul secara bertahap melalui perubahan kecil
terus-menerus dari pendahulunya; mereka muncul begitu saja dan dengan “bentuk yang sempurna.”44
Penelitan lebih jauh hanya memperkuat kenyataan stasis dan kemunculan tiba-tiba ini. Stephen Jay
Gould dan Niles Eldredge pada tahun 1993 menulis bahwa “sebagian besar spesies, selama sejarah
geologis mereka, tidak mengalami perubahan yang berarti, atau jika tidak, mereka mengalami sedikit
perubahan dalam bentuk, tanpa arah yang jelas.”45 Robert Carrol pada tahun 1997 terpaksa menyetujui
bahwa “sebagian besar kelompok utama sepertinya muncul dan menjadi beragam dalam masa geologis
yang sangat pendek, dan tetap ada selama masa yang jauh lebih lama tanpa perubahan bentuk atau
kelompok yang berarti.”46
Pada titik ini, perlu diperjelas apa sebenarnya makna dari gagasan “bentuk peralihan” ini. Bentuk
antara yang diharapkan oleh teori evolusi adalah makhluk hidup yang berada di antara dua spesies, tetapi
memiliki organ yang kurang sempurna atau setengah berkembang. Namun kadang kala gagasan bentuk
antara ini salah dipahami, dan makhluk hidup yang tidak memiliki ciri dari bentuk peralihan malah
diperlihatkan memiliki ciri seperti itu. Sebagai contoh, jika satu kelompok makhluk hidup memiliki ciri-
ciri yang dimiliki oleh yang lain, ini bukanlah ciri bentuk antara. Platipus, mamalia yang hidup di
Australia, berkembang biak dengan bertelur seperti reptilia. Sebagai tambahan, ia memiliki paruh seperti
bebek. Para ilmuwan menggambarkan makhluk seperti platipus ini sebagai “makhluk mosaik.” Bahwa
makhluk mosaik bukanlah bentuk antara juga diterima oleh ahli paleontologi terkemuka seperti Stephen
Jay Gould dan Niles Eldredge.47

Kecukupan Bukti dari Rekaman Fosil

Sekitar 140 tahun yang lalu Darwin mengajukan alasan berikut ini: “Saat ini tidak ada bentuk
peralihan, tetapi penelitian lebih lanjut akan mengungkap keberadaannya.” Apakah alasan ini masih
berlaku sekarang? Dengan kata lain, mengingat kesimpulan dari semua rekaman fosil, haruskah kita
menerima bahwa bentuk peralihan tidak pernah ada, atau kita harus menunggu hasil-hasil penelitian baru?
Banyaknya rekaman fosil yang ada tentunya akan bisa menjawab pertanyaan ini. Ketika kita melihat
penemuan-penemuan kepurbakalaan, kita dapati fosil-fosil yang berlimpah. Milyaran fosil telah ditemukan
di seluruh dunia.48 Berdasarkan fosil-fosil ini, 250,000 spesies berbeda telah dikenali, dan mereka memiliki
kesamaan dengan 1,5 juta spesies yang telah dikenal yang hidup di muka bumi.49 (Dari 1,5 juta spesies ini,
1 juta-nya adalah serangga.) Meskipun sumber fosil melimpah, tidak satu pun bentuk peralihan yang telah
ditemukan, dan sepertinya tidak akan ditemukan bentuk peralihan sebagai hasil dari penggalian baru.
Seorang professor paleontologi dari Glasgow University, T. Neville George, mengakui kenyataan ini
beberapa tahun yang lalu:
Kita tidak perlu beralasan lebih lama lagi atas miskinnya rekaman fosil. Dalam beberapa hal ia telah
sedemikian banyak sehingga sukar diatasi dan penemuannya pun melebihi pemahamannya… Meskipun
demikian rekaman fosil utamanya terus terdiri atas celah-celah.50
Dan Niles Eldredge, seorang paleontologi terkemuka yang juga pekerja pada American Museum of
Natural History, menggambarkan ketidakabsahan pernyataan Darwin bahwa ketidaklengkapan rekaman
fosil menjadi alasan mengapa tidak ada bentuk peralihan yang telah ditemukan sebagai berikut:
Rekaman fosil berloncatan [tidak bersambungan], dan semua bukti menunjukkan bahwa rekaman
fosil adalah nyata: celah yang kita lihat mencerminkan kejadian nyata dalam sejarah kehidupan – bukan
jejak dari miskinnya rekaman fosil.51
Sarjana Amerika yang lain, Robert Wesson, menyatakan dalam bukunya Beyond Natural Selection
pada tahun 1991, bahwa “celah dalam rekaman fosil adalah nyata dan bermakna.” Ia menguraikan
pernyataannya ini sebagai berikut:
Namun, celah dalam rekaman fosil adalah nyata. Tak adanya rekaman dari percabangan penting
sungguh luar biasa. Spesies biasanya tetap, atau hampir-hampir demikian, dalam waktu lama, spesies
jarang dan genus tidak pernah menunjukkan evolusi menjadi spesies atau genus baru melainkan
penggantian satu dengan yang lainnya, dan perubahan lebih kurang adalah tiba-tiba.52
Keadaan seperti ini menyanggah alasan di atas, yang telah dinyatakan oleh Darwinisme selama 140
tahun. Rekaman fosil sudah cukup lengkap bagi kita untuk memahami asal usul kehidupan, dan secara
nyata mengungkap bahwa berbagai spesies muncul di bumi secara tiba-tiba, dengan segala bentuk khas
mereka.

Kebenaran yang Terungkap oleh Rekaman Fosil

Tetapi dari manakah hubungan antara “evolusi-paleontologi”, yang tanpa disadari telah mengakar
dalam masyarakat selama beberapa dasawarsa, sebenarnya berasal? Mengapa kebanyakan orang memiliki
kesan bahwa terdapat hubungan positif antara teori Darwin dengan rekaman fosil kapan saja yang terakhir
ini disebutkan? Jawaban dari pertanyaan ini tersedia dalam sebuah artikel pada jurnal terkemuka Science :
Sejumlah besar ilmuwan berpengalaman di luar biologi evolusi dan paleontologi sayangnya
mempunyai bayangan bahwa rekaman fosil jauh lebih [menunjukkan] Darwinisme daripada yang
sebenarnya. Hal ini mungkin datang dari penyederhanaan berlebihan yang tak terhindarkan dalam sumber-
sumber kedua: buku acuan tingkat-dasar, artikel semipopuler, dan semacamnya. Juga, kemungkinan
terdapat beberapa khayalan yang dimasukkan di dalamnya. Dalam tahun-tahun setelah Darwin,
pendukungnya berharap menemukan kemajuan [perubahan spesies] yang teramalkan. Secara umum hal ini
masih belum ditemukan namun harapan ini belumlah mati, dan akhirnya beberapa khayalan murni telah
menyusup ke dalam buku-buku acuan.53
N. Eldredge dan I. Tattersall juga membuat komentar penting:
Bahwa fosil setiap jenis menampakkan kesamaan yang bisa dikenal selama kemunculan mereka
dalam rekaman fosil, telah diketahui ahli paleontolgi sejak lama sebelum Darwin menerbitkan buku
Origin-nya. Darwin sendiri,.. meramalkan bahwa generasi ahli paleontologi masa depan akan mengisi
celah ini melalui pencarian yang tekun …Seratus dua puluh tahun penelitian paleontologis kemudian, telah
sangat jelas bahwa rekaman fosil tidak akan membenarkan ramalan Darwin ini. Tidak pula masalahnya
pada miskinnya rekaman fosil. Hanya saja rekaman fosil menunjukkan bahwa ramalan ini salah.
Pengamatan bahwa spesies adalah sesuatu yang tidak berubah dan tetap selama masa yang lama
sesungguhnya seperti dongeng baju baru raja: setiap orang mengetahuinya tetapi memilih untuk
mengabaikannya. Ahli paleontologi dihadapkan pada rekaman [fosil] yang dengan keras kepala menolak
apa yang diramalkan Darwin, malah berpaling darinya.54
Demikian juga, ahli paleontologi Amerika Steven M. Stanley menggambarkan bagaimana dogma
Darwinis, yang telah merajai dunia ilmu pengetahuan, telah mengabaikan kenyataan yang ditunjukkan oleh
rekaman fosil ini:
Rekaman fosil yang telah diketahui tidak, dan tidak akan pernah, cocok dengan gagasan perubahan
bertahap. Yang luar biasa adalah bahwa, melalui berbagai peristiwa sejarah, bahkan sejarah pertentangan
ini telah dikaburkan. … ‘Sebagian besar ahli paleontologi merasa bahwa bukti yang mereka temukan jelas
bertentangan dengan penitikberatan Darwin pada perubahan kecil, lambat dan bertahap yang membawa
pada perubahan spesies.’ …cerita mereka telah ditutupi.55
Sekarang mari kita kaji sedikit lebih rinci, kenyataan-kenyataan rekaman fosil yang telah dibungkam
sekian lama. Untuk melakukan hal ini, kita akan memikirkan sejarah alam dari masa lampau hingga
sekarang, setahap demi setahap.
SEJARAH ALAM YANG SEBENARNYA - I
(DARI INVERTEBRATA HINGGA REPTILIA)

Bagi sebagian orang, gagasan sejarah alam itu sendiri berarti teori evolusi. Alasannya adalah
propaganda gencar yang telah dilakukan. Museum sejarah alam hampir di setiap negara berada dibawah
pengaruh ahli biologi evolusi materialis, dan merekalah yang menjelaskan pajangan-pajangan di dalamnya.
Mereka selalu menggambarkan makhluk-makhluk yang hidup di jaman prasejarah dan sisa-sisa fosil
mereka sesuai dengan gagasan Darwin. Salah satu akibatnya adalah kebanyakan orang berpikir bahwa
sejarah alam adalah sama dengan gagasan evolusi.
Akan tetapi, kenyataannya sangatlah berbeda. Sejarah alam mengungkap bahwa kelompok-
kelompok makhluk hidup muncul di bumi tidak melalui proses evolusi apapun, tetapi semuanya secara
tiba-tiba, dan lengkap dengan bentuk kompleks mereka, berkembang sempurna sejak dari awal. Berbagai
makhluk hidup muncul tanpa bergantung satu sama lain, dan tanpa “bentuk peralihan” di antara mereka.
Dalam bab ini, kita akan mengkaji sejarah alam yang sebenarnya, dengan mengambil rekaman fosil
sebagai landasan kita.

Pengelompokan Makhluk Hidup

Ahli biologi menempatkan makhluk hidup ke dalam berbagai kelompok. Pengelompokan ini, yang
dikenal sebagai “taksonomi”, atau “sistematika”, diperkenalkan oleh ilmuwan Swedia pada abad ke-18,
Carl von Linné, yang lebih dikenal sebagai Linnaeus. Tata cara pengelompokan yang dibangun oleh
Linnaeus telah diteruskan dan berkembang hingga saat ini.
Terdapat kategori bertingkat dalam sistem pengelompokan ini. Pertama, kelompok mahluk hidup
dibagi menjadi kingdom, seperti kingdom tumbuhan dan hewan. Kemudian kingdom dibagi lagi menjadi
filum. Filum lebih jauh dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari atas ke bawah,
pengelompokannya adalah sebagai berikut:
Kingdom
Filum (jamak Fila)
Kelas
Ordo
Famili
Genus (jamak Genera)
Spesies
Saat ini, sebagian besar ahli biologi menerima bahwa ada lima (atau enam) kingdom yang berbeda.
Selain tumbuhan dan hewan, mereka menganggap kapang, protista (makhluk bersel satu dengan inti sel,
seperti amoeba dan beberapa ganggang primitif), dan monera (makhluk bersel satu tanpa inti sel, seperti
bakteri), sebagai kingdom yang terpisah. Kadang bakteri dibagi lagi menjadi eubakteri dan archaebakteri,
sehingga menjadi enam kingdom, atau, dalam perhitungan yang lain, tiga “superkingdom” (eubakteri,
archaebakteri dan eukariot).
Yang paling utama dari semua kingdom ini tak diragukan lagi adalah kingdom hewan. Dan
pengelompokan terbesar dari kingdom hewan, seperti yang kita lihat sebelumnya, adalah dalam berbagai
filum. Ketika menentukan filum yang mana, kita harus selalu mengingat kenyataan bahwa setiap filum
memiliki struktur fisik yang benar-benar berbeda. Arthropoda (serangga, laba-laba, dan makhluk lain
dengan kaki berbuku-buku) sebagai contoh, adalah satu filum tersendiri, dan semua binatang dalam filum
ini mempunyai kesamaan struktur fisik yang mendasar. Filum yang disebut Chordata meliputi makhluk
dengan notokorda, atau, lebih dikenal, tulang belakang. Semua hewan dengan tulang belakang seperti ikan,
burung, reptilia, dan mamalia yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam sub-filum dari
Chordata yang dikenal sebagai vertebrata.
Ada 35 filum hewan yang berbeda, termasuk Mollusca, yang meliputi binatang bertubuh lunak
seperti siput dan gurita, atau Nematoda, yang meliputi cacing-cacing kecil. Ciri terpenting dari kelompok-
kelompok ini adalah, sebagaimana yang telah kita singgung, bahwa mereka memiliki ciri fisik yang sama
sekali berbeda. Kelompok-kelompok di bawah filum pada dasarnya memiliki kemiripan bentuk tubuh,
tetapi filum-filum sangat berbeda satu sama lain.
Setelah semua informasi umum tentang pengelompokan biologis ini, sekarang mari kita pikirkan
pertanyaan tentang bagaimana dan kapan filum-filum ini muncul di bumi.

Fosil Menyangkal “Pohon Kehidupan”


Pertama, marilah kita pikirkan gagasan para Darwinis. Sebagaimana kita tahu, Darwinisme
mengajukan bahwa kehidupan berkembang dari satu nenek moyang yang sama, dan berubah menjadi
berbagai ragamnya melalui serangkaian perubahan-perubahan kecil. Jika seperti itu, kehidupan seharusnya
pertama kali muncul dalam bentuk yang mirip dan sederhana. Dan menurut teori yang sama, perbedaan
antara, dan kompleksitas yang berkembang pada makhluk hidup haruslah terjadi dalam waktu bersamaan
sejalan dengan waktu.
Singkatnya, menurut Darwinisme, kehidupan haruslah seperti pohon, dengan satu akar yang sama,
kemudian terpisah menjadi cabang-cabang yang berbeda. Dan hipotesis ini terus ditekankan dalam sumber-
sumber Darwinis, di mana gagasan “pohon kehidupan” sering diterapkan. Menurut gagasan pohon ini,
filum—unit mendasar dalam pengelompokan makhluk hidup—muncul secara bertahap, seperti dalam
bagan di samping ini. Menurut Darwinisme, pertama kali pasti satu filum muncul, dan kemudian filum-
filum yang lain pastilah muncul secara perlahan dengan perubahan-perubahan kecil dalam jangka waktu
yang lama. Gagasan Darwinis adalah bahwa jumlah filum binatang pastilah bertambah secara bertahap.
Bagan di samping menunjukkan pertambahan bertahap jumlah filum hewan menurut pandangan Darwinis.
Menurut Darwinisme, kehidupan pastilah berkembang dengan cara seperti ini. Tapi apakah ini yang
sebenarnya terjadi?
Sama sekali bukan. Malah sebaliknya: binatang telah sangat berbeda dan kompleks sejak pertama
kali mereka muncul. Semua filum hewan yang dikenal saat ini muncul pada waktu yang sama, di tengah
era geologis yang dikenal sebagai Jaman Kambrium. Jaman Kambrium adalah era geologis yang
diperkirakan berlangsung selama 65 juta tahun, kira-kira antara 570 hingga 505 juta tahun yang lalu. Tetapi
era kemunculan tiba-tiba dari kelompok besar binatang terjadi dalam waktu yang lebih pendek dari
Kambrium, yang sering disebut sebagai “Ledakan Kambrium.” Stephen C. Meyer, P. A. Nelson, dan Paul
Chien, dalam sebuah artikel tahun 2001 yang berdasarkan sebuah kajian literatur terperinci di tahun 2001,
mencatat bahwa “ledakan Kambrium terjadi dalam jendela geologis yang teramat sempit, yang
berlangsung tidak lebih dari 5 juta tahun.”56
Sebelum itu, tidak ada jejak dalam rekaman fosil apapun selain dari makhluk bersel satu dan
beberapa makhluk bersel banyak yang primitif. Semua filum binatang muncul dengan bentuk lengkap dan
pada saat bersamaan, dalam masa teramat singkat yang diwakili oleh ledakan Kambrium. (Lima juta tahun
adalah waktu yang sangat singkat dalam istilah geologis!)
Fosil yang ditemukan dalam lapisan Kambrium termasuk dalam jenis binatang yang sangat berbeda,
seperti siput, trilobita, bunga karang, ubur-ubur, bintang laut, kerang, dan lain-lain. Kebanyakan dari
makhluk-makhluk ini dalam lapisan ini memiliki sistem kompleks dan struktur maju, seperti mata, insang,
dan sistem peredaran, sama persis dengan binatang modern. Struktur seperti ini pada satu waktu yang sama
telah sangat maju, dan sangat berbeda.
Richard Monastersky, seorang staff penulis pada majalah ScienceNews menyatakan tentang
“ledakan Kambrium” ini, yang merupakan perangkap mematikan bagi teori evolusi, sebagai berikut:
Setengah milyar tahun yang lalu, …bentuk kompleks menakjubkan dari hewan yang kita lihat saat
ini tiba-tiba muncul. Kejadian ini, tepat di awal Jaman Kambrium Bumi, sekitar 550 tahun yang lalu,
menandakan ledakan evolusi yang mengisi lautan dengan makhluk kompleks pertama bumi.57
Artikel yang sama juga merujuk Jan Bergström, seorang ahli paleontologi yang mempelajari
endapan Kambrium awal di Chengjiang, Cina, yang berkata, “Fauna di Chengjiang menunjukkan bahwa
filum besar dari hewan masa kini telah ada sejak Kambrium awal dan mereka telah berbeda satu sama lain
sebagaimana mereka saat ini.”58
Bagaimana bumi menjadi melimpah dengan sejumlah besar spesies hewan ini secara tiba-tiba, dan
bagaimana spesies yang berbeda-beda tanpa nenek moyang yang sama ini muncul, adalah pertanyaan yang
tetap tak terjawab oleh para evolusionis. Ahli zoologi di Oxford University, Richard Dawkins, salah satu
pendukung pemikiran evolusionis terkemuka di dunia, mengomentari kenyataan yang meruntuhkan
pondasi dari semua alasan yang telah ia pertahankan selama ini:
Sebagai contoh lapisan batuan Kambrium… adalah lapisan tertua di mana kami menemukan
sebagian besar kelompok utama invertebrata. Dan kami menemukan kebanyakan dari mereka sudah berada
pada tahap evolusi yang maju, saat pertama kali mereka muncul. Seolah-olah mereka tertanam begitu saja
di sana, tanpa ada sejarah evolusi.59
Philip Johnson, seorang professor di University of California di Barkeley yang juga salah seorang
pengkritik Darwinisme terkemuka, menggambarkan pertentangan antara kenyataan paleontologis ini
dengan Darwinisme:
Teori Darwin meramalkan sebuah “kerucut peningkatan keanekaragaman,” ketika organisme hidup
pertama, atau spesies hewan pertama, secara bertahap dan terus menerus berubah untuk membentuk
tingkatan taksonomi [kelompok hewan] lebih tinggi. Rekaman fosil hewan lebih menyerupai kerucut yang
terbalik, dengan berbagai filum muncul sejak awal dan setelah itu semakin berkurang [jenisnya].60
Seperti yang telah diungkap oleh Philip Johnson, filum ternyata tidaklah muncul secara bertahap,
dalam kenyataannya mereka muncul dalam waktu yang bersamaan, dan beberapa dari mereka bahkan
punah pada masa berikutnya. Bagan pada halaman 53 menunjukkan kebenaran yang diungkap rekaman
fosil mengenai asal usul filum.
Seperti yang kita lihat, dalam Jaman PraKambrium terdapat tiga filum yang berbeda dari makhluk
bersel satu. Tetapi pada Jaman Kambrium, sekitar 60 hingga 100 filum hewan yang berbeda muncul secara
tiba-tiba. Pada jaman setelah itu, beberapa filum ini menjadi punah, dan hanya sedikit yang masih bertahan
hingga saat ini.
Ahli paleontologi terkenal, Roger Lewin, mengkaji kenyataan luar biasa ini, yang benar-benar
melumpuhkan semua asumsi Darwinis tentang sejarah kehidupan:
Digambarkan baru-baru ini sebagai “peristiwa evolusi paling penting dalam keseluruhan sejarah
Metazoa,” ledakan Kambrium menghasilkan hampir semua bentuk utama tubuh hewan—Baupläne atau
filum—yang akan tetap ada setelahnya, termasuk sebagian besar yang “tersingkirkan” dan menjadi punah.
Dibandingkan dengan sekitar 30 filum yang masih ada, beberapa orang memperkirakan bahwa ledakan
Kambrium mungkin menghasilkan sebanyak 100-an filum.61

Fosil Burgess Shale

Lewin tetap saja menyebut peristiwa luar biasa dari Jaman Kambrium ini sebagai “peristiwa
evolusi,” karena kesetiaannya terhadap Darwinisme, tetapi jelaslah bahwa penemuan-penemuan tersebut
sejauh ini tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan evolusi apapun.
Yang menarik adalah bahwa penemuan-penemuan fosil baru membuat permasalahan Jaman
Kambrium semakin rumit saja. Dalam edisi Februari 1999, Trends in Genetics (TIG), sebuah jurnal ilmiah
terkemuka, membahas masalah ini. Dalam sebuah artikel tentang lapisan fosil pada daerah Burgess Shale
di British Colombia, Kanada, diakui bahwa penemuan fosil di daerah tersebut tidak menawarkan dukungan
bagi teori evolusi.
Lapisan fosil Burgess Shale telah diterima sebagai salah satu penemuan paleontologis yang
terpenting sepanjang waktu. Fosil berbagai macam spesies yang ditemukan di Burgess Shale muncul di
bumi secara tiba-tiba, tanpa melalui perkembangan dari spesies pendahulu yang ditemukan pada lapisan di
bawahnya. TIG menggambarkan permasalahan penting ini sebagai berikut:
Mungkin terlihat aneh bahwa fosil dari suatu daerah kecil, betapapun menariknya, ternyata menjadi
pusat perdebatan sengit tentang permasalahan seluas itu dalam biologi evolusi. Alasannya adalah bahwa
hewan muncul dalam rekaman fosil dengan kelimpahan mengherankan selama Kambrium, sepertinya
muncul begitu saja. Penentuan tanggal secara radiometrik yang semakin tepat dan penemuan fosil baru
yang semakin banyak hanya mempertajam ketiba-tibaan dan cakupan revolusi biologis ini. Besarnya
perubahan dalam biota [makhluk hidup] bumi ini menuntut suatu penjelasan. Walaupun banyak penjelasan
telah diajukan, kesimpulan umumnya adalah bahwa tidak ada satupun yang sepenuhnya meyakinkan.62
Penjelasan yang “tidak sepenuhnya meyakinkan” ini disampaikan oleh ahli paleontologi evolusi.
TIG menyebutkan dua orang penting dalam hal ini, Stephen Jay Gould dan Simon Conway Morris.
Keduanya telah menulis buku untuk menjelaskan “kemunculan tiba-tiba makhluk hidup” dari sudut
pandang evolusionis. Namun demikian, sebagaimana yang juga ditekankan oleh TIG, buku Wonderful Life
karya Gould ataupun The Crucible of Creation: The Burgess Shale and the Rise of Animals karya Simon
Conway Morris tidak menyediakan sebuah penjelasan bagi fosil Burgess Shale, atau bagi rekaman fosil
dari jaman Kambrium secara umum.
Penelitian lebih mendalam pada ledakan Kambrium menunjukkan betapa besar dilema yang
dihadirkannya bagi teori evolusi. Penemuan terbaru menunjukkan bahwa hampir semua phylum, kelompok
hewan paling dasar, muncul dengan tiba-tiba pada Jaman Kambrium. Sebuah artikel yang diterbitkan
dalam jurnal Science tahun 2001 menyebutkan: “Awal Jaman Kambrium, sekitar 545 juta tahun lalu,
menyaksikan kemunculan tiba-tiba dalam rekaman fosil dari hampir semua jenis hewan (filum) yang masih
mendominasi biota saat ini.”63 Artikel yang sama menyebutkan bahwa untuk bisa menjelaskan
[keberadaan] kelompok makhluk hidup yang sedemikian kompleks dan beragam berdasarkan teori evolusi,
lapisan kaya fosil yang menunjukkan proses perkembangan bertahap seharusnya telah ditemukan, tetapi
hal ini terbukti masih belum dimungkinkan:
Evolusi dan penyebaran yang bercelah ini tentunya juga memerlukan adanya sejarah kelompok
sebelumnya yang untuk itu tidak terdapat rekaman fosil.64
Gambaran yang dihadirkan oleh fosil Kambrium dengan jelas menyangkal anggapan-anggapan teori
evolusi, dan memberikan bukti kuat bagi keterlibatan suatu dzat “supranatural” dalam penciptaan mereka.
Douglas Futuyama, seorang ahli biologi evolusi kawakan, mengakui kenyataan ini:
Organisme bisa muncul di bumi dalam keadaan sudah berkembang atau tidak. Jika tidak, mereka
pastilah berkembang dari spesies yang ada sebelumnya melalui proses perubahan. Jika mereka muncul
dalam keadaan sempurna, mereka pastilah telah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang Maha Kuasa.65
Rekaman fosil dengan jelas menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berevolusi dari bentuk
primitif menjadi maju, tetapi muncul secara tiba-tiba dalam bentuk sempurna. Ini memberikan bukti bagi
pernyataan bahwa kehidupan tidak muncul melalui proses acak alamiah, tetapi melalui suatu kerja
penciptaan yang cerdas. Dalam sebuah tulisan berjudul “The Big Bang of Animal Evolution” pada jurnal
terkemuka Scientific American, ahli paleontologi evolusi Jeffrey S. Levinton menerima kenyataan ini,
meski dengan berat hati, dengan mengatakan “Oleh karena itu, ada sesuatu yang istimewa dan sangat
misterius –semacam “kekuatan” berkreatifitas tinggi.”66

Perbandingan Molekuler Memperdalam


Kebuntuan Evolusi Kambrium

Kenyataan lain yang menempatkan kaum evolusionis dalam kebingungan mendalam tentang
Ledakan Kambrium adalah perbandingan antara berbagai kelompok makhluk hidup. Hasil perbandingan
ini mengungkapkan bahwa kelompok hewan yang dianggap sebagai “kerabat dekat” oleh evolusionis
hingga baru-baru ini, pada kenyataannya secara genetik sangat berbeda, yang membuat gagasan “bentuk
peralihan”—yang hanya ada secara teoritis—menjadi semakin meragukan. Sebuah artikel yang
dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, USA, pada tahun 2000
melaporkan bahwa analisa DNA terkini telah menata ulang kelompok-kelompok yang dulunya dianggap
sebagai “bentuk peralihan”:
Analisa urutan DNA memberi pemahaman baru atas pohon kekerabatan. Kelompok yang pernah
dianggap mewakili derajat kompleksitas yang berurutan pada dasar pohon [kekerabatan] metazoa telah
dipindahkan ke kedudukan yang jauh lebih tinggi dalam pohon tersebut. Hal ini tidak menyisakan tempat
bagi “bentuk peralihan” evolusi dan memaksa kita untuk memikirkan kembali asal usul kompleksitas
bilateral.67
Dalam artikel yang sama, penulis evolusionis mencatat bahwa beberapa kelompok yang dianggap
“peralihan” antar kelompok seperti bunga karang, cnidarian dan ctenophore, tidak bisa lagi dianggap
seperti itu karena penemuan genetik baru ini. Penulis ini mengatakan bahwa mereka telah “kehilangan
harapan” untuk membuat pohon kekerabatan evolusi semacam itu:
Kekerabatan baru berdasar molekuler memiliki beberapa akibat penting. Yang paling utama adalah
hilangnya kelompok “peralihan” antara bunga karang, cnidarian, ctenophora dan nenek moyang terakhir
bilaterian [hewan bersisi dua] atau “Urbilateria.” …Akibatnya kita memiliki celah besar pada cabang
menuju Urbilateria. Kita telah kehilangan harapan, sebagaimana yang sudah umum dalam pemikiran
evolusi sebelumnya, dalam menata ulang morfologi dari “nenek moyang coelomate” melalui sebuah
gagasan yang melibatkan perubahan derajat kompleksitas yang semakin meningkat berdasarkan anatomi
garis keturunan ‘primitif’ yang masih ada.68
Trilobita dan Darwin

Salah satu spesies paling menarik dari berbagai spesies yang muncul tiba-tiba pada Jaman
Kambrium adalah trilobita yang sekarang telah punah. Trilobita termasuk ke dalam filum Arthropoda, dan
merupakan makhluk sangat rumit dengan cangkang keras, tubuh khas, dan organ kompleks. Rekaman fosil
memungkinkan dilakukannya pengkajian rinci atas mata trilobita. Mata trilobita tersusun atas ratusan mata
kecil, dan setiap mata kecil ini mengandung dua lapis lensa. Struktur mata ini benar-benar merupakan
keajaiban sebuah rancangan. David Raup, seorang profesor geologi di Universitas Harvard, Rochester, dan
Chicago, mengatakan, “trilobita, 450 tahun yang lalu, menggunakan rancangan mantap yang akan
membutuhkan seorang ahli lensa terlatih dan penuh imajinasi untuk bisa mengembangkannya saat ini.”69
Bahkan struktur kompleks luar biasa pada trilobita ini sudah cukup untuk sendirian meruntuhkan
Darwinisme, karena tidak ada makhluk kompleks dengan struktur mirip yang hidup pada masa geologis
sebelumnya, yang dengan demikian menunjukkan bahwa trilobita muncul tanpa proses evolusi di belakang
mereka. Sebuah artikel Science tahun 2001 mengatakan:
Analisa cladistic atas kekerabatan arthropoda mengungkapkan bahwa trilobita, seperti eucrustacea,
adalah “ranting” yang lumayan baru dalam pohon arthropoda. Tetapi, fosil-fosil dari nenek moyang
arthropoda ini tidak ada. ..Bahkan jika bukti adanya nenek moyang sebelumnya ditemukan, tetaplah
merupakan tantangan untuk menjelaskan mengapa begitu banyak hewan telah bertambah ukuran dan
memperoleh cangkang dalam waktu yang sedemikian singkat pada awal Kambrium.70
Sangat sedikit yang diketahui tentang keadaan luar biasa dalam Jaman Kambrium ini ketika Charles
Darwin menulis The Origin of Species. Hanya sejak masa Darwinlah rekaman fosil telah mengungkap
bahwa kehidupan muncul secara tiba-tiba dalam Jaman Kambrium, dan bahwa trilobita dan invertebrata
lainnya muncul secara tiba-tiba. Karena itulah, Darwin tidak bisa membahas hal ini secara utuh dalam
bukunya. Tetapi ia menyinggung hal ini di bawah bab “Mengenai kemunculan tiba-tiba kelompok-
kelompok spesies yang berkerabatan dalam lapisan fosil paling bawah,” dimana ia menulis mengenai
Jaman Silurian (sebuah nama yang pada saat itu meliputi apa yang sekarang kita sebut Kambrium) sebagai
berikut:
Sebagai contoh, saya tidak ragu bahwa semua trilobita Silurian berasal dari beberapa crustacea
sejenis, yang seharusnya hidup jauh sebelum Jaman Silurian, dan kemungkinan sangat jauh berbeda dari
hewan apapun yang telah dikenal… Karenanya, jika teori saya benar, tidak bisa disangkal lagi bahwa
sebelum lapisan terbawah Silurian mengendap, masa yang panjang berlalu, selama, atau mungkin jauh
lebih lama dari, seluruh masa dari jaman silurian hingga hari ini; dan bahwa selama masa sedemikian
panjang, namun belum diketahui ini, bumi dipenuhi oleh makhluk hidup. Atas pertanyaan mengapa kita
tidak menemukan rekaman dari masa awal yang panjang ini, saya tidak bisa memberi jawaban yang
memuaskan.71
Darwin berkata “Jika teori saya benar, Jaman [Kambrium] seharusnya penuh dengan makhluk
hidup.” Atas pertanyaan mengapa tidak ada fosil makhluk-makhluk ini, ia mencoba memberi jawaban di
sepanjang bukunya, menggunakan alasan bahwa “rekaman fosil sangat tidak lengkap.” Tetapi saat ini
rekaman fosil sudah lumayan lengkap, dan jelas terungkap bahwa makhluk hidup dari Jaman Kambrium
tidak memiliki nenek moyang. Ini berarti bahwa kita harus menolak kalimat Darwin yang diawali dengan
“Jika teori saya benar.” Pemikiran Darwin tidak dapat diterima, dan untuk alasan tersebut, teorinya adalah
salah.
Rekaman dari jaman Kambrium meruntuhkan Darwinisme, baik dengan kekompleksan tubuh
trilobita, dan dengan kemunculan makhluk-makhluk yang teramat berbeda pada saat yang sama. Darwin
menulis “jika banyak spesies, dari satu genus atau famili, benar-benar memulai kehidupan secara
bersamaan, maka kenyataan ini akan mematikan teori penurunan dengan perubahan lambat melalui seleksi
alam.”72—yaitu, teori yang menjadi inti bukunya. Tetapi seperti yang telah kita lihat sebelumnya, sekitar
60 filum hewan yang berbeda, belum lagi kelompok yang lebih kecil seperti spesies, mulai hidup pada
Jaman Kambrium, semuanya dan pada waktu yang bersamaan. Ini membuktikan bahwa gambaran yang
disampaikan Darwin sebagai “mematikan teori ini” benar-benar terjadi. Itulah sebabnya mengapa ahli
paleoantropologi evolusi dari Swiss, Stefan Bengston, yang mengakui tidak adanya penghubung peralihan
ketika menggambarkan Jaman Kambrium, berkomentar sebagai berikut: “Menyulitkan (dan memalukan)
bagi Darwin, peristiwa ini masih membingungkan kita.”73
Satu hal lagi yang perlu dikaji berkenaan dengan trilobita adalah bahwa struktur gabungan berumur
530-juta tahun pada mata makhluk ini tidak berubah sama sekali hingga sekarang. Beberapa serangga masa
kini, seperti lebah dan capung, memiliki struktur mata yang benar-benar sama. 74 Penemuan ini merupakan
satu “pukulan mematikan” lagi bagi pernyataan teori evolusi bahwa makhluk hidup berkembang dari
primitif ke yang kompleks.

Asal Usul Vertebrata


Seperti yang telah kami sebutkan di muka, salah satu filum yang muncul tiba-tiba pada jaman
Kambrium adalah Chordata, makhluk yang memiliki sistem saraf pusat yang terlindung dalam suatu
tengkorak dan notochord atau tulang belakang. Vertebrata adalah satu bagian dari chordata. Vertebrata
dibagi lagi menjadi beberapa kelas dasar seperti ikan, amfibia, reptilia, burung, dan mamalia. Mereka
mungkin adalah makluk yang paling dominan dalam dunia hewan.
Karena ahli paleontologi evolusi mencoba melihat setiap filum sebagai kelanjutan evolusi dari filum
yang lain, mereka menyatakan bahwa filum Chordata berevolusi dari phylum yang lain, yaitu invertebrata.
Tetapi, kenyataannya adalah, seperti semua filum, anggota Chordata yang muncul di jaman Kambrium
menyangkal pernyataan ini sejak awal. Anggota tertua filum Chordata yang dapat dikenali dari jaman
Kambrium adalah makhluk laut yang disebut Pikaia, yang tubuh panjangnya, pada pandangan pertama,
mengingatkan kita pada cacing.75 Pikaia muncul pada saat yang bersamaan dengan spesies lain dalam
filum tersebut yang diajukan sebagai nenek moyang mereka, dan tanpa bentuk peralihan di antara mereka.
Profesor Mustafa Kuru, seorang ahli biologi evolusi Turki, mengatakan dalam bukunya Vertebrata:
Tidak ada keraguan bahwa chordata telah berevolusi dari invertebrata. Akan tetapi, ketiadaan
bentuk peralihan antara invertebrata dan chordata mengakibatkan orang mengajukan berbagai dugaan.76
Jika tidak ada bentuk peralihan antara choradata dan invbertebrata, lalu mengapa seseorang bisa
berkata “tidak ada keraguan bahwa chordata telah berevolusi dari invertebrata?” Menerima anggapan tanpa
bukti yang mendukungnya, tanpa terbersit keragu-raguan, jelaslah bukan sebuah pendekatan ilmiah, tetapi
sebuah dogma. Setelah pernyataan ini, Profesor Kuru mengkaji dugaan kaum evolusionis berkenaan
dengan asal usul vertebrata, dan sekali lagi mengakui bahwa rekaman fosil chordata hanya terdiri atas
celah-celah:
Pandangan yang disebutkan di atas tentang asal usul chordata dan evolusi selalu ditanggapi dengan
prasangka, karena tidak berlandaskan pada rekaman fosil.77
Ahli biologi evolusi terkadang menyatakan bahwa alasan mengapa tidak ada rekaman fosil
berkenaan dengan asal usul vertebrata adalah karena invertebrata memiliki jaringan lunak dan karenanya
tidak meninggalkan jejak fosil. Akan tetapi penjelasan ini sungguh tidak realistis, karena terdapat banyak
sekali fosil invertebrata. Hampir semua organisme dalam Kala Kambrium adalah invertebrata, dan puluhan
ribu contoh fosil dari spesies-spesies ini telah dikumpulkan. Sebagai contoh, terdapat banyak fosil hewan
berjaringan lunak di lapisan Burgess Shale Kanada. (Para ilmuwan berpikir bahwa invertebrata menjadi
fosil, dan jaringan lunak mereka tetap utuh pada daerah semacam Burgess Shale, karena secara tiba-tiba
tertutupi oleh lumpur dengan kandungan oksigen sangat rendah.78)
Teori evolusi beranggapan bahwa Chordata pertama, seperti Pikaia, berevolusi menjadi ikan. Akan
tetapi, sama halnya dengan yang dianggap sebagai evolusi Chordata, teori evolusi ikan juga kekurangan
bukti fosil yang mendukungnya. Sebaliknya, semua kelas yang berbeda dari ikan muncul dalam rekaman
fosil secara tiba-tiba dan dalam bentuk sempurna. Terdapat jutaan fosil invertebrata dan jutaan fosil ikan;
namun tidak satu fosil pun yang merupakan peralihan antara mereka.
Robert Carroll mengakui kebuntuan evolusionis pada asal usul beberapa kelompok di antara
vertebrata-vertebrata awal:
Kita masih belum memiliki bukti atas terjadinya peralihan antara cephalochordata dan craniata.
Makhluk paling awal yang dikenali sebagai vertebrata telah memiliki semua ciri-ciri pasti dari craniata
yang bisa kita harapkan tertinggal dalam fosil. Tidak diketahui fosil yang menunjukkan asal usul vertebrata
berahang.79
Seorang ahli paleontologi lainnya, Gerald T. Todd, mengakui kenyataan yang serupa dalam sebuah
artikel yang berjudul “Evolusi Paru-paru dan Asal Usul Ikan Bertulang”:
Ketiga sub divisi dari ikan bertulang muncul pertama kali dalam rekaman fosil kira-kira pada waktu
yang sama. Mereka telah sangat berbeda dalam bentuk, dan telah sepenuhnya berkerangka. Bagaimana
mereka muncul? Apa yang membuat mereka bisa sedemikian berbeda? Bagaimana mereka semua muncul
dengan kerangka pelindung? Dan mengapa tidak ada jejak bentuk peralihan yang lebih awal?80

Asal Usul Tetrapoda

Quadrupeda (atau Tetrapoda) adalah nama umum yang diberikan untuk hewan vertebrata yang
hidup di darat. Amfibia, reptilia, burung dan mamalia termasuk dalam kelompok ini. Anggapan teori
evolusi berkenaan dengan tetrapoda adalah bahwa makhluk ini berevolusi dari ikan yang hidup di laut.
Akan tetapi, pernyataan ini mengandung pertentangan, baik dalam fisiologi maupun anatomi. Lebih jauh
lagi, ia tidak memiliki dasar apa pun dari rekaman fosil.
Seekor ilkan harus mengalami perubahan besar untuk bisa beradaptasi di darat. Sistem pernafasan,
pengeluaran dan rangka, semuanya harus berubah. Insang harus berubah menjadi paru-paru, sirip harus
mendapatkan ciri-ciri kaki sehingga mereka bisa menopang berat tubuh, ginjal dan semua sistem
pengeluaran harus dirubah agar berfungsi di lingkungan darat, dan kulit akan memerlukan tambahan
tekstur baru untuk mencegah kehilangan air. Jika semua ini tidak terjadi, seekor ikan hanya bisa bertahan
di darat dalam beberapa menit.
Jadi, bagaimana pandangan evolusionis bisa menjelaskan asal usul hewan-hewan darat? Beberapa
komentar dangkal dalam literatur evolusionis sebagian besar berpijak pada dasar pemikiran Lamarck.
Sebagai contoh, berkenaan dengan perubahan sirip menjadi kaki, mereka mengatakan, “Pada saat ikan
mulai merangkak ke darat, sirip secara bertahap berubah menjadi kaki.” Bahkan Ali Demirsoy, salah
seorang evolusionis yang berpengaruh di Turki, menulis: “Mungkin sirip ikan berparu-paru berubah
menjadi kaki amfibia ketika mereka merangkak di air yang berlumpur.”81
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, komentar seperti ini berlandaskan pada pemikiran
Lamarck, karena komentar ini pada dasarnya berlandaskan pada peningkatan fungsi suatu organ melalui
penggunaan dan pewarisan ciri-ciri ini ke generasi berikutnya. Sepertinya teori yang dirumuskan Lamarck,
yang runtuh satu abad yang lalu, masih memiliki pengaruh kuat pada pemikiran bawah sadar para ahli
biologi evolusi saat ini.
Jika kita kesampingkan skenario Lamarck, dan karena itu tidak ilmiah, ini, kita harus beralih kepada
skenario berdasarkan mutasi dan seleksi alam. Namun demikian, ketika mekanisme ini dikaji, akan terlihat
bahwa peralihan dari air ke darat benar-benar merupakan kebuntuan yang sempurna.
Mari kita bayangkan bagaimana seekor ikan bisa muncul dari laut dan menyesuaikan dirinya untuk
[hidup di] darat: Jika ikan tidak mengalami perubahan cepat pada sistem pernafasan, pengeluaran dan
rangka, maka kematian tak akan terhindarkan. Serangkaian mutasi yang perlu terjadi haruslah
menyediakan paru-paru dan ginjal “daratan” bagi ikan, sesegera mungkin. Demikian pula, mekanisme ini
haruslah merubah sirip menjadi kaki dan menghasilkan jenis kulit yang akan menahan air di dalam tubuh.
Terlebih lagi, serangkaian mutasi ini harus terjadi selama masa hidup dari seekor binatang.
Tidak ada satu pun ahli biologi evolusi yang akan pernah mengajukan serangkaian mutasi seperti itu.
Kemustahilan dan ketidakmasukakalan dari gagasan ini terlihat sangat jelas. Mengingkari kenyataan ini,
evolusionis mengajukan gagasan “preadaptasi,” yang menyatakan bahwa ikan memperoleh ciri-ciri baru
yang akan mereka butuhkan sejak mereka masih di air. Singkatnya, teori ini mengatakan bahwa ikan
mendapatkan sifat-sifat hewan darat bahkan sebelum mereka merasa memerlukan sifat-sifat ini, sejak
mereka masih hidup di laut.
Meskipun demikian, sekenario seperti ini tidaklah masuk akal bahkan ketika dipandang dari sudut
teori evolusi itu sendiri. Tentu saja, mendapatkan sifat-sifat hewan darat tidak akan bermanfaat bagi seekor
hewan laut. Oleh karena itu, pemikiran bahwa sifat-sifat ini terjadi karena seleksi alam tidaklah
berlandaskan akal sehat. Sebaliknya, seleksi alam seharusnya menyisihkan setiap makhluk yang
mengalami “preadaptasi,” karena dengan memperoleh sifat-sifat yang membuatnya bisa bertahan di darat
tentunya akan menyebabkannya tidak berguna di laut.
Singkatnya, skenario “peralhan dari air ke darat” berada pada kebuntuan yang sempurna. Hal ini
diterima oleh para evolusionis sebagai keajaiban alam yang tidak bisa di uji kembali. Inilah mengapa
Henry Gee, editor Nature, menganggap skenario ini sebagai cerita yang tidak ilmiah:
Cerita konvensional tentang evolusi, tentang “mata rantai yang hilang”, tidak bisa diuji, karena
hanya terdapat satu kemungkinan alur peristiwa—yaitu yang tersirat dalam cerita itu. Jika cerita Anda
tentang bagaimana kelompok ikan merangkak ke darat dan memunculkan kaki, Anda akan dipaksa melihat
hal ini sebagai sebuah kejadian yang hanya sekali terjadi, karena begitulah alur ceritanya . Anda bisa
mengikuti alur cerita tersebut atau tidak—tidak ada pilihan.82
Kebuntuan tidak hanya datang dari mekanisme evolusi, tetapi juga dari rekaman fosil atau studi pada
tetrapoda hidup. Robert Carrol harus mengakui bahwa “baik rekaman fosil maupun studi tentang
perkembangan pada genus modern belum memberikan gambaran lengkap bagaimana anggota badan yang
saling berpasangan pada tetrapoda berevolusi…”83
Calon klasik bagi bentuk peralihan dalam evolusi ikan-tetrapoda adalah beberapa genus ikan dan
amfibia.
Evolusionis mengacu pada coelacanth (dan yang berkerabat dekat, Rhipidistians yang telah punah)
sebagai nenek moyang yang paling mungkin bagi quadruped. Ikan ini berada di bawah sub kelas
Crossopterygian. Evolusionis mencurahkan segala harapan mereka pada makhluk ini karena sirip-sirip
mereka memiliki struktur yang sedikit “berotot.” Namun ikan ini bukanlah bentuk peralihan; terdapat
perbedaan anatomis dan fisiologis antara kelas ini dengan amfibia.
Pada kenyataannya, yang disebut sebagai “bentuk peralihan” antara ikan dan amfibia bukanlah
peralihan dalam pengertian bahwa keduanya memiliki sangat sedikit perbedaan, tetapi hanya karena
mereka bisa menjadi contoh terbaik bagi skenario evolusi. Terdapat perbedaan anatomis besar antara ikan
yang paling mungkin diambil sebagai nenek moyang amfibia dan amfibia yang dianggap sebagai
turunannya. Contohnya adalah Eusthenopteron (seekor ikan yang telah punah) dan Acanthostega (seekor
amfibia yang telah punah), dua subyek favorit bagi skenario evolusi terkini berkenaan dengan asal usul
tetrapoda. Robert Carroll, dalam Pattern and Processes of Vertebrata Evolution, berkomentar mengenai
kedua spesies yang dianggap berhubungan ini sebagai berikut:
Eusthenopteron dan Acanthostega dapat diambil sebagai titik akhir dalam peralihan antara ikan dan
amfibia. Dari 145 ciri-ciri anatomis yang bisa dibandingkan antara dua genus ini, 91 menunjukkan
perubahan yang berhubungan dengan adaptasi untuk hidup di darat… Ini jauh lebih banyak daripada
jumlah perubahan yang terjadi dalam setiap [bentuk] transisi yang menjadi asal usul lima belas kelompok
tetrapoda Paleozoic.84
Sembilan puluh satu perbedaan dari 145 ciri-ciri anatomi… Dan para evolusionis percaya bahwa
semua [perbedaan] ini adalah hasil desain ulang melalui sebuah proses mutasi acak selama kira-kira 15 juta
tahun.85 Mempercayai skenario semacam itu mungkin perlu bagi kepentingan teori evolusi, tetapi hal ini
tidak tepat secara ilmiah dan rasional. Hal ini berlaku juga bagi semua bentuk skenario ikan-amfibia
lainnya, yang berbeda menurut kandidat yang dipilih sebagai bentuk peralihan tersebut. Henry Gee, editor
majalah Nature, membuat komentar serupa mengenai skenario berdasarkan Ichtyostega, satu amfibia
punah lainnya yang amat mirip dengan Acanthostega:
Pernyataan bahwa Ichtyostega adalah sebuah mata rantai yang hilang antara ikan dan tetrapoda yang
muncul kemudian mengungkapkan lebih banyak prasangka kita daripada makhluk yang seharusnya kita
pelajari. Ini menunjukkan seberapa keras kita memaksakan pandangan sempit atas suatu kenyataan
berdasarkan pengalaman pribadi kita yang terbatas, padahal kenyataan tersebut mungkin lebih besar, lebih
asing, dan lebih berbeda daripada yang mampu kita bayangkan.86
Satu ciri mengagumkan lainnya mengenai asal usul amfibia adalah kemunculan tiba-tiba dari ketiga
kelompok dasar amfibia . Carrol memberi catatan bahwa “Fosil paling awal dari kodok, caecilian, dan
salamander semua muncul di Jaman Jurassic Awal hingga Tengah. Semua menunjukkan sebagian besar
ciri-ciri penting dari keturunan mereka yang hidup sekarang.”87 Dengan kata lain, hewan-hewan ini muncul
secara tiba-tiba dan tidak mengalami “evolusi” apapun sejak saat itu.

Spekulasi mengenai Coelacanth

Ikan yang berada dalam famili coelacanth pernah diterima sebagai bukti kuat bagi bentuk peralihan.
Menyandarkan alasan mereka pada fosil coelacanth, ahli biologi evolusi mengemukakan bahwa ikan ini
memiliki paru-paru primitif (belum berfungsi secara penuh). Banyak terbitan ilmiah mengemukakan fakta
ini, lengkap dengan gambar yang menunjukkan bagaimana coelacanth beralih dari air ke darat. Semua ini
bersandar pada anggapan bahwa coelacanth adalah spesies yang telah punah.
Akan tetapi pada 22 Desember 1983, sebuah penemuan yang sangat menarik terjadi di lautan
Hindia. Seekor anggota famili coelacanth, yang sebelumnya digambarkan sebagai bentuk peralihan yang
telah punah 70 juta tahun yang lalu, tertangkap hidup-hidup! Tidak diragukan lagi, penemuan contoh
“hidup” dari coelacanth memberikan kejutan bagi para evolusionis. Ahli paleontologi evolusionis J. L. B.
Smith mengatakan, “kalaupun saya bertemu dengan dinosaurus di jalan saya tidak akan lebih terkejut.” 88
Dalam tahun-tahun berikutnya, 200 coelacanth ditemukan di berbagai tempat di dunia.
Coelacanth hidup menunjukkan begitu tidak berlandaskannya spekulasi yang berkenaan dengan
mereka. Bertentangan dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya, coelacanth tidak memiliki paru-paru
primitif ataupun otak yang besar. Organ yang oleh peneliti evolusionis dikemukakan sebagai paru-paru
primitif ternyata hanyalah sebuah kantung berenang yang penuh lemak.89 Lebih jauh lagi, coelacanth, yang
sebelumnya diperkenalkan sebagai “calon reptilia yang siap beralih dari laut ke darat,” pada kenyataannya
adalah seekor ikan yang hidup di kedalaman samudra dan tidak pernah mencapai lebih dekat dari 180
meter dari permukaan laut.90
Setelah penemuan ini, coelacanth tiba-tiba kehilangan semua popularitasnya dalam publikasi
evolusionis. Peter Forey, seorang ahli paleontologi evolusionis, dalam artikelnya di majalah Nature,
mengatakan:
Penemuan Latimeria memunculkan harapan untuk mengumpulkan informasi langsung atas peralihan
ikan menjadi amfibia, karena pada saat itu ada keyakinan bahwa coelacanth merupakan kerabat dekat
nenek moyang tetrapoda. …Tetapi studi tentang anatomi dan fisiologi dari Latimeria telah menunjukkan
bahwa teori mengenai hubungan ini menjadi dangkal dan reputasi coelacanth hidup sebagai mata rantai
yang hilang terlihat tidak tepat.91
Ini berarti satu-satunya pernyataan serius mengenai bentuk peralihan antara ikan dengan amfibia
telah diruntuhkan.

Kendala Fisik atas Peralihan dari Air ke Darat


Pernyataan bahwa ikan adalah nenek moyang dari makhluk-makhluk darat telah disangkal oleh
pengamatan anatomi dan fisiologi sebagaimana rekaman fosil. Ketika kita mengkaji besarnya perbedaan
anatomi dan fisiologi antara hewan air dan darat, kita bisa melihat bahwa perbedaan ini tidak mungkin
menghilang melalui sebuah proses evolusi dengan perubahan bertahap berdasarkan kebetulan. Kita bisa
mendaftar pebedaan-perbedaan yang paling nyata sebagai berikut:
Penopangan beban: makhluk laut tidak bermasalah dalam menopang berat badannya sendiri di laut,
meskipun struktur tubuh mereka tidak dibentuk untuk kondisi di darat. Akan tetapi, kebanyakan makhluk
yang hidup di darat menkonsumsi 40 persen energi mereka hanya untuk membawa tubuh mereka sendiri.
Makhluk-makhluk yang mangalami peralihan dari air ke darat pada saat yang sama harus mengalami
perkembangan baru pada sistem otot dan rangka mereka untuk memenuhi kebutuhan energi ini, dan hal ini
tidak akan mungkin terjadi melalui mutasi secara kebetulan.
Alasan mendasar mengapa evolusionis membayangkan coelacanth dan ikan serupa sebagai nenek
moyang hewan-hewan darat adalah bahwa sirip-sirip mereka memiliki tulang. Diasumsikan bahwa sejalan
dengan waktu sirip-sirip ini berubah menjadi kaki penopang beban. Akan tetapi, terdapat perbedaan
mendasar antara tulang-tulang ikan ini dengan kaki hewan darat. Tidak mungkin tulang ikan ini mengambil
fungsi penopang beban, karena mereka tidak tersambung dengan tulang punggung. Kaki hewan darat, pada
sisi lain, berhubungan langsung dengan tulang punggung. Dengan alasan ini, pernyataan bahwa sirip-sirip
ini perlahan-lahan berkembang menjadi kaki sangat tidak berdasar.
2-Penyimpanan panas: Di darat, suhu bisa berubah dengan cepat, dan naik turun dalam rentang yang
lebar. Hewan-hewan darat memiliki suatu mekanisme fisik yang mampu menahan perubahan suhu
sedemikian besar. Akan tetapi, di laut, suhu berubah secara perlahan, dan dalam rentang yang lebih sempit.
Organisme hidup dengan sistem tubuh diatur sesuai dengan dengan suhu tetap lautan akan membutuhkan
sistem pertahanan untuk menghindari sekecil mungkin kerusakan karena perubahan temperatur di darat.
Sungguh tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa ikan mendapatkan sistem seperti itu melalui mutasi
acak ketika mereka beralih ke darat.
3- Air: Sangat penting bagi metabolisme, air perlu digunakan secara ekonomis karena
kelangkaannya di darat. Sebagai contoh, kulit harus bisa membiarkan air dalam jumlah tertentu keluar,
tetapi harus juga mencegah penguapan yang berlebihan. Itulah mengapa binatang darat mengalami
kehausan, sesuatu yang tidak dialami binatang laut. Atas alasan ini, kulit hewan-hewan laut tidak cocok
untuk habitat selain air.
4- Ginjal: Organisme laut mengeluarkan zat-zat sisa, khususnya ammonia, melalui lingkungan air
mereka. Pada ikan air tawar, sebagian besar sampah nitrogennya (termasuk sejumlah besar ammonia, NH3)
dikeluarkan dengan difusi dari insangnya. Ginjal secara umum lebih merupakan alat untuk menjaga
keseimbangan air pada hewan, daripada suatu organ pengeluaran. Ikan air laut memiliki dua tipe. Hiu,
skates, dan ikan pari bisa memiliki kandungan urea yang sangat tinggi dalam darahnya. Darah hiu bisa
mengandung 2,5% urea yang sangat berbeda dengan 0,01-0,03% pada vertebrata lainnya. Jenis ikan
lainnya, misalnya ikan laut bertulang, juga sangat berbeda. Mereka terus kehilangan air tetapi digantinya
dengan minum air laut yang kemudian dikurangi kadar garamnya. Mereka lebih mengandalkan
pengeluaran tubular untuk menghilangkan kelebihan atau sisa-sisa zat terlarut.
Setiap sistem pengeluaran ini sangat berbeda dengan yang dimiliki oleh hewan-hewan vertebrata
darat. Oleh karena itu, supaya terjadi peralihan dari air ke darat, makhluk hidup tanpa ginjal harus
mengembangkan sebuah sistem ginjal seluruhnya pada saat yang bersamaan.
5- Sistem pernafasan: Ikan “bernafas” dengan mengambil oksigen yang terlarut dalam air yang
mereka lewatkan melalui insang. Mereka tak bisa hidup lebih dari beberapa menit di luar air. Untuk
bertahan di darat, mereka harus memiliki sistem paru-paru yang sempurna dengan segera.
Tentunya sangatlah tidak mungkin bahwa semua perubahan fisiologis yang sedemikian besar bisa
terjadi pada organisme yang sama pada waktu yang sama, dan semuanya karena kebetulan.

Asal Usul Reptilia

Dinosaurus, kadal, kura-kura, buaya—semuanya yermasuk dalam kelas reptilia. Beberapa, seperti
dinosaurus, telah punah, tetapi sebagian besar spesies ini masih hidup di bumi. Reptilia memiliki beberapa
ciri yang khas. Misalnya, tubuh mereka ditutupi oleh sisik, dan mereka berdarah dingin, artinya mereka
tidak mampu mengatur suhu tubuh secara fisiologis (itulah sebabnya mereka berjemur dibawah sinar
matahari untuk menghangatkan tubuh). Kebanyakan dari mereka bereproduksi dengan bertelur.
Berkenaan dengan asal usul makhluk-makhluk ini, evolusi sekali lagi berada pada kebuntuan.
Darwinisme menyatakan bahwa reptilia berevolusi dari amfibia. Akan tetapi, belum pernah ada penemuan
untuk membuktikan pernyataan seperti itu. Sebaliknya, perbandingan antara amfibia dengan reptilia
mengungkap adanya perbedaan fisiologis yang besar antara keduanya, dan makhluk “setengah reptilia-
setengah amfibia” tidak akan memiliki kesempatan untuk bertahan hidup.
Salah satu contoh perbedaan fisiologis antara dua kelompok ini adalah struktur yang berbeda pada
telur mereka. Amfibia menempatkan telur mereka di air, dan telur-telur mereka bagaikan jelly, dengan
selaput tembus pandang dan tembus air. Telur seperti itu memiliki struktur ideal bagi perkembangan di air.
Reptilia, di sisi lain, menempatkan telur mereka di darat, dan karenanya telur mereka dirancang untuk
bertahan di sana. Cangkang keras dari telur reptilia, juga dikenal sebagai “telur amniota,” memungkinkan
udara untuk masuk, tetapi tidak tembus air. Dengan cara ini, air yang dibutuhkan oleh hewan yang sedang
tumbuh tetap tersimpan di dalam telur.
Jika telur amfibia ditempatkan di darat, mereka akan segera mengering, membunuh embrio di
dalamnya. Hal ini tidak bisa dijelaskan secara evolusi, yang menyatakan bahwa reptilia telah berevolusi
sedikit demi sedikit dari amfibia. Hal ini karena, untuk memulai suatu kehidupan di darat, telur amfibia
haruslah berubah menjadi telur amniota dalam masa hidup satu generasi. Bagaimana proses semacam ini
bisa terjadi melalui seleksi alam dan mutasi—mekanisme evolusi—sungguh tidak bisa dijelaskan. Ahli
biologi Michael Denton menjelaskan secara rinci kebuntuan para evolusionis dalam permasalahan ini:
Setiap buku acuan evolusi menyatakan bahwa reptilia bervolusi dari amfibia tetapi tidak ada
penjelasan bagaimana adaptasi penting yang membedakan reptilia, telur amniota, muncul secara bertahap
sebagai hasil dari perubahan kecil yang terus menerus berakumulasi. Telur amniota reptilia jauh lebih
kompleks dan sama sekali berbeda dengan telur amfibia. Dalam kingdom hewan, hampir tidak ada dua
telur [lainnya] yang lebih berbeda secara mendasar … Asal usul telur amniota dan amfibia – peralihan
[menjadi] reptilia hanyalah satu lagi [contoh dalam] kelompok utama vertebrata di mana belum pernah
diberikan skema evolusi yang jelas. Berusaha menjelaskan, misalnya, bagaimana jantung dan lengkung
aorta dari amfibia berubah secara bertahap menjadi seperti yang dimiliki reptilia dan mamalia adalah
benar-benar masalah besar.92
Rekaman fosil pun tidak menyediakan bukti apapun untuk memperkuat hipotesis evolusionis
berkenaan dengan asal usul reptilia.
Robert L. Carrol, seorang ahli paleontologi evolusi yang juga ahli paleontologi vertebrata, bersedia
menerima kenyataan ini. Ia menulis dalam karya klasiknya, Vertebrate Paleontology and Evolution, bahwa
“Amniota awal telah cukup berbeda dari semua amfibia jaman Paleozoic sehingga nenek moyan mereka
yang sebenarnya belum bisa ditentukan.”93 Dalam bukunya yang lebih baru, Patterns and Processes of
Vertebrate Evolution, yang diterbitkan tahun 1997, ia mengakui bahwa “Asal usul ordo amfibia modern,
(dan) peralihan antara tetrapoda awal” adalah “masih samar” sebagaimana juga asal usul dari berbagai
kelompok utama lainnya.94
Kenyataan yang sama juga diakui oleh Stephen Jay Gould:
Tidak ada fosil amfibia yang terlihat jelas sebagai pendahulu dalam silsilah vertebrata darat (reptilia,
burung, dan mamalia).95
Sejauh ini, hewan terpenting yang diajukan sebagai “nenek moyang reptilia” adalah Seymouria, satu
spesies amfibia. Akan tetapi, kenyataan bahwa Seymouria tidak bisa dijadikan sebagai bentuk peralihan
diungkap oleh penemuan bahwa reptilia telah ada di bumi sekitar 30 juta tahun sebelum Seymouria
pertama kali muncul. Fosil tertua Seymouria ditemukan dalam lapisan Permian Bawah, atau 280 juta tahun
yang lalu. Namun spesies reptilia tertua yang dikenal, Hylonomus dan Paleothyris, ditemukan di lapisan
Pennsylvania Bawah, sekitar 315-330 juta tahun yang lalu.96 Tentunya sangatlah tidak beralasan,
setidaknya, jika “nenek moyang reptilia” hidup lebih belakangan dari pada reptilia yang pertama.
Singkatnya, bertentangan dengan pernyataan evolusionis bahwa makhuk hidup berevolusi secara
bertahap, fakta ilmiah mengungkap bahwa makhluk-makhluk ini muncul di bumi secara tiba-tiba dan
terbentuk sempurna.

Ular dan Kura-kura

Lebih jauh lagi, terdapat batas yang tidak bisa dilewati antara berbagai ordo reptilia seperti ular,
buaya, dinosaurus, dan kadal. Setiap ordo yang berbeda ini muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil,
dan dengan struktur yang sangat berbeda. Melihat berbagai struktur dalam kelompok yang sangat berbeda
ini, evolusionis membayangkan proses evolusi yang mungkin terjadi. Tetapi hipotesis tersebut tidak
tercerminkan dalam rekaman fosil. Sebagai contoh, salah satu anggapan umum evolusi adalah bahwa ular
berevolusi dari kadal yang secara bertahap kehilangan kaki mereka. Tetapi evolusionis tidak bisa
menjawab pertanyaan apa “manfaat” yang akan didapat kadal yang mulai kehilangan kakinya dan
bagaimana makhluk ini bisa “terpilih” oleh seleksi alam.
Perlu diingat bahwa ular tertua yang pernah diketahui dalam rekaman fosil tidak memiliki ciri-ciri
“bentuk peralihan”, dan tidak berbeda dengan ular di masa kita. Fosil ular tertua yang diketahui adalah
Dinilysia, ditemukan pada bebatuan Cretaceous Atas di Amerika Selatan. Robert Carrol mengakui bahwa
makhluk ini “menunjukkan tahapan evolusi yang lumayan maju pada ciri-ciri ini [ciri-ciri khas dari
tengkorak ular],”97 dengan kata lain, ular ini telah memiliki semua ciri ular modern.
Satu ordo reptilia yang lain adalah kura-kura, yang muncul dalam rekaman fosil bersama-sama
dengan cangkang yang khas dari mereka. Sumber-sumber evolusionis menyatakan bahwa “Sayangnya, asal
usul dari ordo yang sukses ini dikaburkan oleh ketidaklengkapan fosil-fosil terdahulu meskipun kura-kura
meninggalkan fosil yang lebih banyak dan lebih baik daripada vertebrata-vertebrata lainnya. Hingga
pertengahan Era Triassic (sekitar 200.000.000 tahun yang lalu) kura-kura sangatlah melimpah dan
memiliki ciri-ciri dasar kura-kura… Peralihan antara kura-kura dan cotylosaurus, reptilia primitif yang
mungkin menjadi nenek moyang kura-kura, benar-benar tidak ditemukan.”98
Demikianlah Robert Carrol terpaksa menyebutkan asal usul kura-kura di mana “[bentuk] peralihan
penting dan sebarannya masih belum diketahui.”99
Semua jenis makhluk hidup ini muncul secara tiba-tiba dan tidak bergantung satu sama lain.
Kenyataan ini adalah bukti ilmiah bahwa mereka telah diciptakan.

Reptilia Terbang

Satu kelompok menarik dalam kelas reptilia adalah reptilia terbang. Kelompok ini pertama kali
muncul sekitar 200 juta tahun yang lalu pada jaman Triassic Atas, tetapi kemudian menjadi punah.
Makhluk-makhluk ini semuanya reptilia, karena mereka memiliki semua ciri dasar dari kelas reptilia.
Mereka adalah hewan berdarah dingin (artinya, mereka tidak bisa mengatur suhu tubuh sendiri) dan tubuh
mereka ditutupi oleh sisik. Tetapi mereka memiliki sayap yang kuat, dan diperkirakan sayap ini membuat
mereka bisa terbang.
Reptilia terbang digambarkan dalam beberapa publikasi populer evolusionis sebagai temuan
paleontologis yang mendukung Darwinisme—setidaknya, inilah kesan yang dimunculkan. Akan tetapi,
asal usul reptilia terbang sebenarnya memberi masalah yang nyata bagi teori evolusi. Petunjuk terang dari
hal ini adalah bahwa reptilia terbang muncul secara tiba-tiba dan sempurna, tanpa ada bentuk peralihan
antara mereka dan reptilia darat. Reptilia terbang memiliki desain sayap yang sangat baik, yang tidak
dimiliki oleh reptilia darat. Tidak ada makhluk dengan setengah-sayap yang pernah ditemukan dalam
rekaman fosil.
Dalam setiap kasus, tidak ada makhluk setengah-sayap yang pernah hidup, karena jika makhluk
khayalan ini pernah ada, mereka seharusnya dalam kerugian besar dibandingkan dengan reptilia lain
[karena] telah kehilangan kaki depan namun masih belum bisa terbang. Dalam keadaan seperti ini, menurut
kaidah evolusi itu sendiri, mereka akan telah tersingkirkan dan punah.
Kenyataannya, ketika sayap reptilia terbang diteliti, mereka memiliki desain sedemikian sempurna
yang tidak akan pernah dapat dijelaskan dengan evolusi. Sebagaimana reptilia lain memiliki lima jari pada
kaki depan mereka, reptilia terbang memiliki lima jari pada sayap mereka. Tetapi jari ke empatnya sekitar
20 kali lebih panjang dari jari lainnya, dan sayapnya terentang di bawah jari ini. Jika reptilia darat telah
berevolusi menjadi reptilia terbang, maka jari ke empat ini seharusnya tumbuh secara bertahap sedikit demi
sedikit. Tidak hanya jari ke empat, tetapi semua struktur sayap, haruslah berkembang melalu mutasi asal,
dan semua proses ini haruslah memberi suatu manfaat bagi makhluk tersebut. Duane T. Gish, salah
seorang pengkritik terkemuka teori evolusi pada tataran ilmu tentang fosil, berkomentar sebagai berikut:
Pemikiran bahwa reptilia darat dapat secara bertahap diubah menjadi reptilia terbang tidaklah masuk
akal. Struktur awal yang setengah jadi, daripada menguntungkan bentuk peralihan tersebut, akan lebih
merupakan kerugian yang besar. Sebagai contoh, evolusionis beranggapan bahwa, meskipun terlihat aneh,
mutasi terjadi dan hanya berpengaruh pada empat jari sedikit demi sedikit. Tentunya, mutasi acak lainnya
yang terjadi secara bersamaan, meskipun terlihat luar biasa, menjadi sebab kemunculan secara bertahap
dari selaput sayap, otot terbang, tendon, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya yang diperlukan untuk
membentuk sayap. Pada suatu tahapan, reptilia terbang yang sedang berkembang akan memiliki 25 persen
sayap. Namun demikian, makhluk aneh ini tidak akan mampu bertahan hidup. Apa manfaat dari sayap
yang baru 25 persen? Yang jelas makhluk ini tidak bisa terbang, dan tidak akan lagi bisa berlari…100
Singkatnya, tidak mungkin menjelaskan asal usul reptilia terbang melalui mekanisme evolusi
Darwin. Dan kenyataannya. rekaman fosil mengungkapkan bahwa tidak pernah terjadi proses evolusi
seperti itu. Lapisan-lapisan fosil hanya menyimpan reptilia darat seperti yang kita lihat sekarang, dan
reptilia terbang yang telah berkembang sempurna. Tidak ada bentuk peralihan. Carrol, salah seorang yang
disegani di dunia paleontologi vertebrata, membuat pengakuan berikut ini sebagai seorang evolusionis:
…semua pterosaurus jaman Triassic telah dikhususkan untuk terbang… Mereka menyediakan
sedikit bukti mengenai nenek moyang langsung mereka dan tidak memberi bukti sama sekali bagi tahap-
tahap awal dalam asal usul [kemampuan] terbang.101
Carrol, baru-baru ini, dalam tulisannya Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, menetapkan
asal usul pterosaurus di antara peralihan penting yang seluk beluknya tidak banyak diketahui.102
Singkatnya, tidak ada bukti bagi evolusi reptilia terbang. Karena istilah “reptilia” bagi kebanyakan
orang hanya berarti reptilia yang hidup di darat, publikasi populer evolusionis mencoba menanamkan
kesan mengenai reptilia terbang bahwa reptilia menumbuhkan sayap dan mulai terbang. Akan tetapi,
kenyataannya adalah bahwa reptilia darat dan reptilia terbang muncul tanpa ada hubungan evolusi di antara
mereka.

Reptilia Laut

Satu lagi kelompok menarik dalam klasifikasi reptilia adalah reptilia laut. Sebagian besar reptilia
yang termasuk dalam kelompok ini telah punah, walaupun kura-kura adalah contoh yang masih bertahan
hingga sekarang. Sama halnya dengsn reptilia terbang, asal usul reptilia laut adalah sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan dengan pendekatan evolusi. Reptilia laut terpenting yang telah diketahui adalah makhluk yang
dinamakan Ichthyosaurus. Dalam bukunya Evolution of the Vertebrates, Edwin H. Colbert dan Michael
Morales mengakui fakta bahwa tidak ada penjelasan evolusi mengenai asal usul makhluk-makhluk ini yang
dapat diberikan:
Ichthyosaurus, yang dalam berbagai hal merupakan reptilia akuatik yang paling maju, muncul
sekitar jaman Triassic Awal. Kahadiran mereka dalam sejarah geologis reptilia adalah tiba-tiba dan
dramatis; tidak terdapat petunjuk pada sedimen sebelum jaman Triassic yang mungkin menjadi pendahulu
dari Ichthyosaurus… Permasalahan mendasar mengenai hubungan Ichthyosaurus adalah tidak
ditemukannya bukti meyakinkan yang bisa menghubungkan kelompok reptilia ini dengan kelompok
reptilia lainnya.103
Semacam itu pula, Alfred S. Romer, salah seorang pakar dalam Sejarah Alam Vertebrata, menulis:
Tidak ada bentuk pendahuluan [dari ichthyosaurus] yang telah diketahui. Keganjilan struktur
Ichthyosaurus kelihatannya memerlukan waktu yang lama bagi perkembangan mereka dan karenanya
menunjukkan asal usul yang sangat tua bagi kelompok ini, tetapi tidak ditemukan reptilia jaman Permian
sebagai nenek moyang mereka.104
Carrol sekali lagi harus mengakui bahwa asal usul Ichthyosaurus dan Nothosaurus (famili reptilia
akuatik yang lain) adalah termasuk dalam kasus-kasus yang “kurang dipahami” bagi evolusionis.105
Singkatnya, berbagai makhluk yang termasuk dalam kelompok reptilia muncul di bumi tanpa
hubungan evolusi di antara mereka. Seperti yang akan kita lihat dalam bagian selanjutnya, situasi yang
sama berlaku pada mamalia: terdapat mamalia terbang (kelelawar) dan mamalia laut (ikan lumba-lumba
dan paus). Namun demikian, kelompok-kelompok yang berbeda ini jauh untuk disebut sebagai bukti bagi
evolusi. Sebaliknya, mereka merupakan masalah nyata tidak bisa dijelaskan oleh evolusi karena dalam
segala hal, berbagai kelompok taksonomi ini muncul di bumi secara tiba-tiba, tanpa ada bentuk peralihan
di antara mereka, dan dengan berbagai struktur mereka yang telah utuh.
Ini adalah bukti ilmiah yang jelas bahwa semua makhluk ini sebenarnya diciptakan.
SEJARAH ALAM YANG SEBENARNYA – II
(BURUNG DAN MAMALIA)

Terdapat ribuan spesies burung di bumi. Setiap spesies memiliki ciri-ciri khusus. Sebagai contoh,
elang memiliki penglihatan yang sangat tajam, sayap lebar dan kuku tajam, sementara kolibri, dengan
paruhnya yang panjang, menghisap nektar dari bunga.
Lainnya berpindah menempuh jarak jauh ke tempat-tempat tertentu di dunia. Tetapi ciri terpenting
yang membedakan burung dari hewan lain adalah terbang. Sebagian besar burung memiliki kemampuan
untuk terbang.
Bagaimana burung muncul? Teori evolusi mencoba memberikan jawaban dengan sebuah skenario
panjang. Menurut teori ini, reptilia adalah nenek moyang burung. Sekitar 150-200 juta tahun yang lalu,
burung berevolusi dari nenek moyang reptilia mereka. Burung pertama memiliki kemampuan terbang yang
sangat terbatas. Kemudian, selama proses evolusi, bulu-bulu menggantikan kulit tebal dari burung primitif
ini, yang pada mulanya tertutupi oleh sisik. Kaki depan mereka juga seluruhnya tertutupi oleh bulu, dan
berubah menjadi sayap. Sebagai hasil dari evolusi bertahap, beberapa reptilia beradaptasi untuk terbang,
dan jadilah burung seperti sekarang ini.
Skenario ini ditampilkan dalam sumber-sumber evolusi sebagai fakta yang diterima. Akan tetapi,
sebuah kajian mendalam tentang rincian dan data-data ilmiahnya menunjukkan bahwa skenario ini lebih
dilandaskan pada khayalan daripada kenyataan.

Asal Usul Kemampuan Terbang Menurut Evolusionis

Bagaimana reptilia, sebagai hewan darat, bisa terbang adalah sebuah persoalan yang telah
menimbulkan banyak spekulasi di antara evolusionis. Ada dua teori utama. Yang pertama berpendapat
bahwa nenek moyang burung turun ke tanah dari pepohonan. Akibatnya, nenek moyang ini dianggap
sebagai reptilia yang hidup di atas pohon dan memiliki sayap secara bertahap ketika mereka melompat dari
satu dahan ke dahan yang lain. Teori ini dikenal sebagai teori arboreal. Teori yang lain, teori kursorial
(atau “berlari”), mengusulkan bahwa burung berkembang ke udara dari daratan.
Namun, kedua teori ini berpijak pada tafsiran spekulatif, dan tidak ada bukti yang mendukung
keduanya. Para evolusionis telah membuat pemecahan sederhana bagi persoalan tersebut: mereka hanya
membayangkan bahwa bukti tersebut ada. Profesor John Ostrom, Kepala Departemen Geologi pada Yale
University, yang mengajukan teori kursorial, menjelaskan pendekatan ini sebagai berikut:
Tidak ada bukti fosil apapun bagi pendahulu-burung. [Adanya] pendahulu-burung ini adalah murni
hipotesis ,tetapi sesuatu yang seharusnya benar-benar ada.106
Akan tetapi, bentuk peralihan ini, yang menurut teori arboreal “seharusnya pernah hidup”, tidak
pernah ditemukan. Teori kursorial malah lebih bermasalah. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa kaki
depan beberapa reptilia berkembang secara bertahap menjadi sayap ketika mereka mengayun-ayunkan
lengan mereka untuk menangkap serangga. Akan tetapi, tidak ada penjelasan tentang bagaimana sayap,
sebuah organ yang sangat kompleks, menjadi ada sebagai hasil dari ayunan lengan ini.
Salah satu permasalahan besar bagi teori evolusi adalah kompleksitas sayap yang tak
tersederhanakan. Hanya sebuah desain sempurna yang bisa membuat sayap bisa berfungsi, sayap yang
“setengah berkembang” tidak akan berfungsi. Dalam konteks ini, model “perkembangan bertahap”—satu-
satunya mekanisme yang dirumuskan teori evolusi—tidaklah masuk akal. Karenanya Robert Carroll
terpaksa mengakui bahwa, “Sulit untuk menjelaskan evolusi awal dari bulu sebagai bagian dalam
perlengkapan terbang karena sulit dijelaskan bagaimana bulu-bulu tersebut bisa berfungsi hingga mereka
mencapai ukuran yang besar seperti pada Archaeopteryx.”107 Kemudian ia berpendapat bahwa bulu-bulu
bisa berevolusi untuk [fungsi] penghangat, tetapi hal ini tidak menjelaskan desain kompleks bulu yang
terbentuk secara khusus untuk terbang.
Sayap tidak bisa tidak haruslah melekat erat dengan rangka dada, dan memiliki struktur yang bisa
mengangkat burung ke atas dan membuatnya bisa bergerak ke segala arah, sekaligus bisa menjaganya tetap
melayang di udara. Sayap dan bulu haruslah memiliki struktur yang ringan, lentur dan seimbang. Dalam
hal ini, evolusi sekali lagi berada dalam kebuntuan. Evolusi tidak bisa menjawab pertanyaan tentang
bagaimana desain tanpa cacat pada sayap ini bisa muncul sebagai hasil dari mutasi acak. Demikian pula
halnya, evolusi tidak menawarkan penjelasan apa pun tentang bagaimana kaki depan reptilia berubah
menjadi sayap yang sempurna sebagai akibat dari kerusakan (mutasi) di dalam gen.
Sayap yang setengah terbentuk tidak bisa terbang. Oleh karena itu, bahkan jika kita menganggap
bahwa mutasi benar-benar menghasilkan perubahan kecil pada kaki depan reptilia, tetaplah tidak masuk
akal untuk beranggapan bahwa mutasi selanjutnya secara kebetulan berperan dalam berkembangnya sayap
yang sempurna. Itu karena mutasi pada kaki depan tidak akan menghasilkan sayap baru; sebaliknya, hal ini
hanya akan menyebabkan hewan tersebut kehilangan kaki depannya. Hal ini akan menempatkannya dalam
kerugian dibandingkan dengan anggota lain dari spesiesnya. Menurut kaidah teori evolusi, seleksi alam
akan segera menyingkirkan makhluk cacat ini.
Menurut peneltian biofisika, mutasi adalah perubahan yang sangat jarang terjadi. Karenanya, tidak
mungkin seekor hewan cacat bisa menunggu jutaan tahun agar sayapnya berkembang sempurna melalui
mutasi-mutasi kecil, khususnya ketika mutasi-mutasi ini memiliki pengaruh merusak sejalan dengan
waktu…

Burung dan Dinosaurus

Teori evolusi berpendirian bahwa burung berevolusi dari theropoda karnifora. Akan tetapi,
perbandingan antara burung dan reptilia menunjukkan bahwa keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat
berbeda, yang karenanya mustahil bahwa yang satu telah berevolusi dari yang lain.
Ada banyak perbedaan bentuk antara burung dan reptilia, salah satunya adalah mengenai struktur
tulang. Karena badannya yang besar, dinosaurus—nenek moyang burung menurut evolusionis—memiliki
tulang yang besar dan kokoh. Burung, sebaliknya, baik yang telah punah ataupun yang masih hidup,
memiliki tulang berongga yang sangat ringan, yang sudah semestinya, agar bisa terbang.
Perbedaan lain antara reptilia dan burung adalah struktur metabolik mereka. Reptilia memiliki
struktur metabolik yang paling lambat dalam kingdom hewan. (Pernyataan bahwa dinosaurus berdarah
panas dan bermetabolisme cepat hanyalah persangkaan). Burung, di sisi lain, berada pada ujung yang
berlawanan dari spektrum metabolik. Sebagai contoh, suhu tubuh burung gereja bisa meningkat hingga 48
derajat karena metabolismenya yang cepat. Sementara itu, reptilia tidak memiliki kemampuan untuk
mengatur suhu tubuh mereka. Sebagai gantinya, mereka berjemur di bawah sinar matahari untuk
menghangatkan diri. Secara sederhana, reptilia memakai paling sedikit energi di antara semua hewan dan
burung paling banyak.
Salah satu ahli Ornitologi terkemuka di dunia, Alan Feduccia, dari University of North Carolina,
menentang teori yang menyatakan bahwa burung berkerabat dengan dinosaurus, meskipun pada
kenyataannya ia sendiri adalah seorang evolusionis. Feduccia menyampaikan hal berikut ini berkenaan
dengan ide evolusi reptilia-burung:
Baiklah, saya telah mempelajari tengkorak burung selama 25 tahun dan saya tidak melihat adanya
kesamaan sama sekali. Saya sungguh tidak melihatnya… Asal-usul burung dari theropod, menurut
pendapat saya, akan menjadi hal paling memalukan bagi dunia paleontologi abad ke-20.108
Larry Martin, seorang spesialis dalam burung purba dari University of Kansas, juga menyanggah
teori bahwa burung adalah keturunan dinosaurus. Mencermati pertentangan yang ditunjukkan evolusi
mengenai hal tersebut, ia menyatakan:
Sejujurnya, jika saya harus mendukung dinosaurus sebagai nenek moyang burung dengan ciri-ciri
tersebut, saya akan malu setiap kali saya harus berdiri dan berbicara tentang hal ini.109
Namun, dengan mengabaikan semua penemuan ilmiah, skenario “evolusi dinosaurus-burung” yang
tidak berdasar ini masih terus digemborkan. Terbitan populer pada khususnya menyukai skenario ini.
Sementara itu, gagasan yang tidak memberi dukungan apapun bagi skenario ini ditunjukkan sebagai bukti
bagi “evolusi dinosaurus-burung.”
Pada beberapa publikasi evolusionis, sebagai contoh, penekanan diberikan pada perbedaan antar
tulang pinggul dinosaurus untuk mendukung pendapat bahwa burung berasal dari dinosaurus. Apa yang
disebut perbedaan ini didapati antara kelompok dinosaurus yang disebut Saurischian (spesies mirip
reptilia, dengan paha berikat) dan Ornithischian (spesies mirip burung, dengan paha berikat). Gagasan
bahwa dinosaurus dengan paha berikat sebagaimana yang dimiliki burung diambil sebagai bukti atas
hubungan dinosaurus-burung. Akan tetapi, perbedaan pada hip girdles sama sekali bukanlah bukti bagi
pernyataan bahwa burung berevolusi dari dinosaurus. Hal ini karena dinosaurus Ornithischian tidaklah
mirip dengan burung dalam ciri-ciri anatomi lainnya. Sebagai contoh, Ankylosaurus adalah seekor
dinosaurus yang dikelompokkan sebagai Ornithischian, dengan kaki pendek, tubuh raksasa, dan kulit yang
tertutupi sisik bagaikan perisai. Di sisi lain, Struthiomimus, yang mirip dengan burung pada beberapa ciri
anatomisnya (kaki panjang, kaki depan pendek, dan stuktur yang ramping), sebenarnya adalah
Saurischian.110
Singkatnya, struktur dari hip gidle bukanlah bukti bagi hubungan evolusi antara burung dengan
dinosaurus. Pernyataan bahwa dinosaurus mirip dengan burung karena hip girdles mereka mirip
mengaibaikan perbedaan anatomis penting lainnya antara kedua spesies yang menjadikan hubungan
evolusi antara keduanya lemah dari sudut pandang evolusionis.

Struktur Unik Paru-paru Burung

Faktor lain yang menunjukkan kemustahilan dari skenario evolusi reptilia-burung adalah struktur
paru-paru burung, yang tidak bisa dijelaskan oleh teori evolusi.
Pada hewan-hewan darat, aliran udara adalah dua arah. Saat menarik napas, udara mengalir melalui
saluran dalam paru-paru (rongga bronkhial), berakhir pada kantung-kantung udara kecil (alveolus).
Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi di sini. Kemudian, pada saat mengeluarkan napas, udara
yang telah dipakai ini berbalik arah dan kembali keluar dari paru-paru melalui jalur yang sama.
Akan tetapi pada burung, [alur] udara adalah satu arah. Udara baru masuk pada ujung yang satu, dan
keluar melalui ujung yang lain. Berkat kantung udara khusus di sepanjang saluran, udara selalu mengalir
dalam satu arah melalui paru-paru burung. Dengan cara ini, burung mampu menghirup udara tanpa
berhenti. Ini memenuhi kebutuhan energi yang tinggi dari burung. Sistem pernafasan yang istimewa ini
dijelaskan oleh Michael Denton dalam bukunya A Theory in Crisis:
Pada burung, bronkhus utama terpecah menjadi saluran-saluran kecil yang menembus jaringan paru-
paru. Struktur yang disebut parabronkhus ini akhirnya berhubungan satu sama lain, membentuk sistem
sirkulasi yang utuh sehingga udara mengalir satu arah melalui paru-paru. ..Struktur paru-paru dari burung
dan keseluruhan tata kerja sistem pernafasan ini cukup unik. Tidak ada paru-paru spesies vertebrata lain
yang diketahui mendekati sistem [pernafasan] burung. Lebih jauh lagi, sistem ini dalam semua bagian
utamanya adalah sama pada berbagai burung seperti kolibri, burung unta dan elang.111
Hal yang penting adalah bahwa paru-paru reptilia, dengan aliran udara dua arahnya, tidak mungkin
berevolusi menjadi paru-paru burung beraliran satu arah, karena tidak mungkin ada sebuah bentuk
peralihan di antara mereka. Supaya suatu hewan bisa hidup, mereka harus tetap bernafas, dan berbaliknya
struktur paru-paru melalui perubahan pada desainnya tak ayal lagi akan berakhir pada kematian. Menurut
teori evolusi, perubahan ini harus terjadi secara bertahap selama jutaan tahun, sementara itu hewan dengan
paru-paru yang tidak bekerja akan mati dalam beberapa menit.
Ahli biologi molekuler Michael Denton, dari University of Otago di Selandia Baru, menyatakan
bahwa tidak mungkin menjelaskan secara evolusi mengenai paru-paru burung:
Bagaimana suatu sistem pernafasan yang sama sekali berbeda ini dapat berevolusi secara bertahap
dari desain baku vertebrata adalah sungguh-sungguh tak terbayangkan, khususnya dengan mengingat
bahwa fungsi pernafasan sungguhlah vital bagi kehidupan suatu organisme hingga kegagalan terkecil
dalam fungsinya akan membawa kepada kematian dalam beberapa menit. Sebagaimana bulu yang tidak
bisa berfungsi sebagai suatu organ terbang sampai bagian pengait dan duri-duri kecil bulunya beradaptasi
secara bersamaan untuk berkaitan secara sempurna, demikian pula paru-paru burung tidak bisa berfungsi
sebagai organ pernafasan hingga sistem parabronkhus yang memenuhinya serta sistem kantung udara yang
menjamin pasokan udara bagi parabronkhus benar-benar telah berkembang dan bisa berfungsi bersamaan
dalam paduan yang sempurna.112
Singkatnya, perubahan dari paru-paru darat menjadi paru-paru burung adalah mustahil, karena
bentuk peralihan tidak akan bermanfaat.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa reptilia memiliki sistem pernafasan tipe
diafragma, sedangkan burung memiliki sistem kantung udara perut bukan diafragma. Struktur yang
berbeda ini juga membuat evolusi antara dua tipe paru-paru ini menjadi mustahil, seperti yang dikatakan
John Ruben, seorang pakar dalam bidang fisiologi pernafasan, sebagai berikut:
Tahap paling awal dari perubahan sistem kantung udara abdominal burung dari ventilasi-diafragma
pendahulunya akan memerlukan seleksi atas hernia-diafragma pada taksa peralihan antara theropoda
dengan burung. Kondisi yang melemahkan itu akan segera membahayakan seluruh perangkat ventilasi
paru-paru dan sepertinya sangat tidak mungkin menjadi suatu keuntungan selektif apa pun.113
Satu lagi desain struktur menarik lain dari paru-paru burung yang menyangkal teori evolusi adalah
kenyataan bahwa paru-paru burung tidak pernah kosong dari udara, dan karenanya tidak pernah dalam
bahaya karena kempis. Michael Denton menjelaskan hal ini:
Bagaimana sistem pernafasan yang berbeda ini bisa berevolusi secara bertahap dari desain baku
vertebrata tanpa ada semacam arah tujuan adalah, sekali lagi, sangat sulit untuk dibayangkan, khususnya
mengingat bahwa pemeliharaan fungsi sistem pernafasan benar-benar vital bagi kehidupan suatu
organisme. Lebih jauh lagi, fungsi dan bentuk yang unik dari paru-paru burung mengharuskan tambahan
sejumlah adaptasi khusus selama perkembangan burung. Sebagaimana H. R. Dunker, salah seorang ahli
dalam bidang ini, menjelaskan, karena pertama, paru-paru burung melekat dengan kokoh pada dinding
tubuh dan oleh karena itu volumenya tidak bisa mengembang , dan kedua, karena diameter kapiler paru-
paru yang kecil dan tingginya tekanan permukaan yang dihasilkan dari cairan apapun didalamnya, paru-
paru burung tidak bisa mengembang lagi dari keadaan mengempis seperti yang terjadi pada semua
vertebrata lainnya setelah lahir. Kapiler udaranya tidak pernah mengempis seperti alveolus spesies
vertebrata yang lain; tetapi, saat mereka tumbuh menjadi jaringan paru-paru, parabronkhusnya sejak awal
merupakan saluran terbuka yang terisi udara atau cairan.114
Dengan kata lain, saluran di dalam paru-paru burung sangatlah sempit sehingga kantung udara di
dalam paru-paru mereka tidak bisa penuh dengan udara dan kosong lagi, sebagaimana pada hewan darat.
Jika paru-paru seekor burung mengempis habis, burung itu tidak akan pernah bisa
mengembangkannya lagi, atau paling tidak akan sangat kesulitan untuk melakukannya. Untuk alasan ini,
kantung udara yang terdapat pada keseluruhan paru-paru menjadikan aliran udara yang tetap selalu
mengalir, inilah yang melindungi paru-paru dari mengempis.
Tentu saja sistem ini, yang sangat berbeda dari paru-paru reptilia dan vertebrata yang lain, dan
didasarkan pada keseimbangan yang amat lembut, tidak mungkin muncul dari mutasi tanpa “kesadaran”,
setahap demi setahap, seperti yang dinyatakan teori evolusi. Beginilah cara Denton menggambarkan
struktur paru-paru burung ini, yang, sekali lagi, membantah Darwinisme:
Paru-paru burung membawa kita sangat dekat untuk menjawab tantangan Darwin: “Jika bisa
ditunjukkan bahwa setiap organ kompleks yang ada, yang tidak mungkin terbentuk oleh banyak perubahan
kecil bertahap, maka teori saya akan benar-benar runtuh.”115

Bulu Burung dan Sisik Reptilia

Satu lagi jurang pemisah lain antara burung dan reptilia adalah bulu, yang khas pada burung. Tubuh
reptilia ditutupi oleh sisik, sedangkan burung oleh bulu. Hipotesis bahwa bulu burung telah berevolusi dari
sisik reptilia adalah sama sekali tak berdasar, dan sebenarnya dibantah oleh rekaman fosil, sebagaimana
yang diakui oleh ahli paleontologi evolusi Barbara Stahl:
Bagaimana [bulu] muncul pertama kali, yang diduga dari sisik reptilia, bertentangan dengan
analisa… Nampaknya, dari konstruksi bulu yang kompleks, bahwa evolusinya dari sisik reptilia akan
memerlukan satu jangka waktu yang panjang sekali dan melibatkan serentetan struktur peralihan. Sejauh
ini, rekaman fosil tidak mendukung anggapan tersebut.116
A. H. Brush, seorang professor fisiologi dan neurobiologi di University of Connecticut, menerima
kenyataan ini, walaupun ia sendiri seorang evolusionis: “Setiap ciri dari struktur dan organisasi gen, hingga
perkembangan, morphogenesis dan organisasi jaringan adalah berbeda [pada bulu dan sisik].”117 Ditambah
lagi, Profesor Brush mengamati struktur protein dari bulu burung dan mengatakan bahwa ia “unik di antara
vertebrata yang lain.”118
Tidak satu pun fosil yang membuktikan bahwa bulu burung berevolusi dari sisik reptilia. Malah
sebaliknya, bulu muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil, Profesor Brush mengamati, sebagai sifat
“yang tak dapat disangkal lagi, unik” yang mencirikan burung. 119 Disamping itu, pada reptilia, belum
ditemukan jaringan epidermis yang bisa menjadi titik awal bagi [munculnya] bulu burung.120
Sejauh ini banyak fosil yang menjadi subyek dalam spekulasi “dinosaurus berbulu”, tetapi kajian
lebih rinci selalu menyangkal semua ini. Seorang ahli ornitologi terkemuka, Alan Feduccia, menulis
sebagai berikut dalam sebuah artikel yang berjudul “On Why Dinosaurs Lacked Feathers” (Mengapa
Dinosaurus Tidak Berbulu):
Bulu adalah ciri khas pada burung, dan tidak pernah ada struktur peralihan antara sisik reptilia dan
bulu. Meskipun ada spekulasi apakah sisik panjang yang ditemukan pada beberapa hewan seperti
Longisquama ..adalah struktur mirip bulu, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa itu adalah
benar-benar bulu.121
Desain Bulu

Disisi lain, terdapat desain yang sedemikian kompleks pada bulu burung sehingga hal ini tidak akan
pernah bisa dijelaskan melalui proses evolusi. Seperti yang telah kita ketahui, terdapat batang yang
memanjang di tengah bulu. Yang melekat pada batang tersebut adalah vanes. Vanes tersusun atas helaian-
helaian kecil mirip-benang, yang disebut barbs. Barbs ini, dengan panjang dan kekakuan yang berbeda,
adalah yang memberi burung ciri aerodinamiknya. Tetapi yang justru lebih menarik adalah bahwa setiap
barbs ini memiliki ribuan benang yang lebih kecil yang melekat pada mereka yang disebut barbules.
Barbules disambungkan ke barbicels, dengan kait mikroskopik mungil, yang disebut hamuli. Setiap helai
terkait pada helai yang berlawanan, sangat mirip dengan kait pada resleting.
Satu bulu burung bangau memiliki sekitar 650 barbs pada setiap sisi dari batang bulu. Sekitar 600
barbules menjadi cabang barbs. Masing-masing barbules ini berkaitan dengan 390 kait. Kait-kait tersebut
terpasang seperti gigi pada resleting. Jika kaitan tersebut berpisah karena sesuatu hal, burung bisa dengan
mudah mengembalikan bulu ke bentuk semula dengan menggoncang dirinya atau dengan meluruskan bulu
dengan paruhnya.
Menyatakan bahwa desain yang kompleks pada bulu ini muncul dari evolusi sisik reptilia melalui
mutasi acak hanyalah sebuah kepercayaan dogmatis tanpa landasan ilmiah. Bahkan salah satu dari lusinan
evolusionis, Ernst Mayr, membuat pengakuan sebagai berikut beberapa tahun lalu:
Adalah pertanyaan yang patut diajukan atas kepercayaan seseorang yang berasumsi bahwa sistem
yang sangat seimbang seperti organ penginderaan tertentu (mata vertebrata, atau bulu burung) bisa
diperbaiki melalui mutasi acak.122
Desain pada bulu juga mendorong Darwin untuk mengaguminya. Lebih jauh lagi, keindahan
sempurna dari bulu merak telah membuat ia “sakit” (istilah dia sendiri). Dalam sebuah surat yang
ditulisnya untuk Asa Gray pada 3 April 1860, ia mengatakan, “Saya ingat betul saat memikirkan mengenai
mata membuat saya demam, tetapi saya telah mengatasi tahap keluhan ini..” Dan kemudian ia melanjutkan:
”…dan sekarang bagian-bagian kecil tak penting dari suatu struktur sering membuat saya sangat tidak
nyaman. Pemandangan bulu pada ekor merak, setiap kali saya menatapnya, membuat saya sakit!”123
Singkatnya, perbedaan struktur yang begitu banyak antara bulu burung dengan sisik reptilia, dan
desain kompleks bulu yang tak terbayangkan, dengan jelas menunjukkan tidakberlandasannya pernyataan
bahwa bulu telah berevolusi dari sisik.

Kesalahpahaman tentang Archaeopteryx

Menanggapi pertanyaan apakah terdapat bukti fosil bagi “evolusi reptilia-burung,” evolusionis
mengajukan satu nama makhluk hidup. Dialah fosil burung yang disebut Archaeopteryx, salah satu yang
dianggap sebagai bentuk peralihan yang paling dikenal luas di antara sedikit bukti yang masih
dipertahankan evolusionis.
Archaeopteryx, yang disebut sebagai nenek moyang burung modern menurut evolusionis, hidup
sekitar 150 juta tahun yang lalu. Teori menyebutkan bahwa beberapa dinosaurus kecil, seperti Velocariptor
atau Dromaeosaurus, berevolusi dengan memperoleh sayap dan kemudian mulai mencoba untuk terbang.
Begitulah, Archaeopteryx dianggap sebagai bentuk peralihan yang muncul dari nenek moyang dinosaurus
dan mulai terbang untuk pertama kalinya.
Akan tetapi, kajian terbaru tentang fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak
memiliki landasan ilmiah apapun. Ini sama sekali bukanlah bentuk peralihan, tetapi satu spesies burung
yang telah punah, yang memiliki beberapa perbedaan tak berarti dengan burung-burung modern.
Pendapat bahwa Archaeopteryx adalah “setengah burung” yang tidak bisa terbang dengan sempurna
sangat popular di kalangan evolusionis hingga beberapa waktu yang lalu. Ketiadaan sternum (tulang dada)
pada hewan ini dijadikan sebagai bukti terpenting bahwa burung ini tidak bisa terbang dengan baik.
(Sternum adalah tulang yang terletak di bawah dada tempat melekatnya otot untuk terbang. Pada saat ini,
tulang dada semacam ini telah teramati pada setiap burung baik yang bisa terbang ataupun tidak, dan
bahkan pada kelelawar, mamalia terbang yang termasuk dalam famili yang jauh berbeda.) Akan tetapi,
fosil Archaeopteryx ke tujuh, yang ditemukan pada tahun 1992, menyangkal pendapat ini. Alasannya
adalah dalam penemuan fosil terbaru ini, tulang dada yang telah lama dianggap evolusionis tidak ada
akhirnya ditemukan masih ada. Fosil ini digambarkan dalam jurnal Nature sebagai berikut:
Spesimen ke tujuh Archaeopteryx yang baru-baru ini ditemukan masih memiliki sebagian sternum
berbentuk persegi panjang, yang telah lama diperkirakan ada tetapi tak pernah terdokumentasikan. Ini
menegaskan pada keberadaan otot terbangnya, tetapi kemampuannya untuk terbang lama patut
dipertanyakan.124
Penemuan ini menggugurkan pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk setengah burung
yang tidak bisa terbang dengan baik.
Ditambah lagi, struktur bulu burung ini menjadi potongan bukti terpenting yang memperkuat bahwa
Archaeopteryx adalah burung yang benar-benar bisa terbang. Struktur bulu yang asimetris pada
Archaeopteryx tidak bisa dibedakan dari burung modern, dan menunjukkan bahwa Archaeopteryx bisa
terbang secara sempurna. Sebagai seorang ahli paleontologi terkenal, Carl O. Dunbar menyatakan, “Karena
bulunya, [Archaeopteryx] secara pasti mestinya dikelompokkan sebagai burung.” 125 Ahli paleontologi
Robert Carroll menjelaskan permasalahan ini lebih jauh:
Bentuk geometri dari bulu-bulu terbang Archaeopteryx adalah serupa dengan burung modern yang
bisa terbang, sementara burung yang tidak bisa terbang memiliki bulu-bulu yang simetris. Cara bulu-bulu
ini tersusun pada sayap juga termasuk dalam kisaran burung-burung modern… Menurut Van Tyne dan
Berger, ukuran dan bentuk relatif dari sayap Archaeopteryx mirip dengan yang dimiliki burung yang
bergerak di antara celah-celah pepohonan, seperti burung gallinaceous, merpati, woodcocks, burung
pelatuk, dan sebagian besar burung passerine … Bulu untuk terbang ini telah tidak berubah selama
sedikitnya 150 juta tahun…126
Kenyataan lain yang terungkap dari struktur bulu Archaeopteryx adalah bahwa hewan ini berdarah
panas. Seperti yang telah dibahas diatas, reptilia dan dinosaurus adalah hewan berdarah dingin yang suhu
tubuhnya naik turun mengikuti suhu lingkungannya, tidak diatur secara tetap. Satu fungsi sangat penting
dari bulu burung adalah menjaga suhu tubuh agar tetap. Kenyataan bahwa Archaeopteryx memiliki bulu
menunjukkan bahwa Archaeopteryx adalah benar-benar seekor burung berdarah panas yang perlu
mempertahankan suhu tubuhnya, sangat berbeda dengan dinosaurus.

Gigi dan Cakar Archaeopteryx

Dua hal penting yang diandalkan oleh para ahli biologi evolusi ketika mereka menyatakan
Archaeopteryx sebagai bentuk peralihan, adalah cakar pada sayap burung itu dan giginya.
Memang benar bahwa Archaeopteryx memiliki cakar pada sayapnya dan gigi pada mulutnya, tetapi
ciri ini tidak berarti bahwa hewan ini memiliki hubungan dengan reptilia. Disamping itu, dua spesies
burung yang hidup sekarang ini, touraco dan hoatzin, memiliki cakar yang membuat mereka bisa
berpegangan pada dahan pohon. Hewan-hewan ini adalah burung sepenuhnya, tanpa ciri reptilia. Itulah
sebabnya sangatlah tidak berasalan untuk menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah bentuk peralihan
hanya karena cakar pada sayapnya.
Tidak pula gigi dalam paruh Archaeopteryx yang berarti bahwa hewan ini adalah bentuk peralihan.
Evolusionis telah salah ketika mengatakan bahwa gigi-gigi ini adalah ciri-ciri reptilia, karena gigi bukan
merupakan ciri khas dari reptilia. Saat ini, beberapa reptilia memiliki gigi sementara yang lain tidak. Lebih
jauh lagi, Archaeopteryx bukanlah satu-satunya spesies burung yang memiliki gigi. Memang benar bahwa
tidak ada burung bergigi yang hidup saat ini, tetapi ketika kita melihat pada rekaman fosil, kita melihat
bahwa selama masa Archaeopteryx dan sesudahnya, dan bahkan hingga hampir baru-baru ini, terdapat satu
kelompok burung yang bisa dikategorikan sebagai “burung dengan gigi.”
Hal terpenting adalah bahwa struktur gigi Archaeopteryx dan burung-burung yang mempunyai gigi
lainnya sangat berbeda dengan gigi yang dimiliki hewan yang dianggap sebagai nenek moyang mereka,
yaitu dinosaurus. Ahli Ornitologi terkenal, L.D. Martin, J.D. Stewart, dan K.N. Whetstone meneliti bahwa
Archaeopteryx dan burung-burung sejenis lainnya memiliki gigi tak berceruk dengan dasar sempit dan
berakar luas. Sementara gigi dinosaurus theropoda, yang dianggap sebagai nenek moyang burung ini,
bergerigi dengan akar yang lurus.127 Para peneliti ini juga membandingkan tulang pergelangan kaki
Archaeopteryx dengan yang dimiliki oleh hewan yang dianggap sebagai nenek moyang mereka,
dinosaurus, dan tidak menemukan adanya kesamaan di antara mereka.128
Studi yang dilakukan oleh ahli anatomi seperti S. Tarsitano, M.K. Hecht, dan A.D. Walker telah
mengungkapkan bahwa beberapa persamaan yang terlihat oleh John Ostrom dan yang lainnya antara
tungkai Archaeopteryx dengan dinosaurus pada kenyataannya adalah kesalahan penafsiran. 129 Sebagai
contoh, A.D. Walker telah menganalisa bagian telinga dari Archaeopteryx dan menemukan bahwa ia
sangat mirip dengan yang dimiliki burung-burung modern.130
Lebih jauh lagi, J. Richard Hinchliffe, dari Institute of Biological Sciences pada University of
Wales, mempelajari anatomi burung dan reptilia yang dianggap sebagai nenek moyangnya dengan
menggunakan teknik isotop moderen dan menemukan bahwa tiga jari tungkai depan dari dinosaurus adalah
I-II-III, sementara jari sayap burung adalah II-III-IV. Hal ini menjadi masalah besar bagi para pendukung
mata rantai Archaeopteryx-dinosaurus.131 Hinchliffe menerbitkan kajian dan pengamatannya dalam majalah
Science pada tahun 1997, di mana ia menulis:
Keraguan tentang homologi antara jari theropoda dan burung mengingatkan kita pada beberapa
permasalahan dalam hipotesis “berasal dari-dinosaurus.” Ini meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) Tungkai
depan theropoda yang jauh lebih kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) jika dibandingkan dengan sayap
Archaeopteryx. Tungkai sekecil itu tidak meyakinkan sebagai bakal sayap bagi asal mula terbang
dinosaurus yang relatif besar. (ii) Jarangnya ditemukan pada theropoda tulang pergelangan semilunate,
hanya diketahui pada empat spesies (termasuk Deinonychus). Kebanyakan theropoda mempunyai banyak
bagian penyusun pergelangan, yang sulit untuk dicari padanannya dengan yang dimiliki Archaeopteryx.
(iii) Adanya paradoks waktu karena kebanyakan dinosaurus theropoda dan khususnya domaeosaurus yang
mirip burung semuanya muncul dalam rekaman fosil jauh setelah Archaeopteryx.
Seperti yang ditulis Hinchliffe, “paradoks waktu” adalah salah satu kenyataan yang memberikan
pukulan telak pada anggapan para evolusionis tentang Archaeopteryx. Dalam bukunya Icons of Evolution,
ahli biologi Amerika Jonathan Wells mengatakan bahwa Archaeopteryx telah menjadi “simbol” bagi teori
evolusi, sementara bukti dengan jelas menunjukkan bahwa hewan ini bukan nenek moyang primitif
burung. Menurut Wells, salah satu petunjuk dalam hal ini adalah bahwa dinosaurus theropoda—yang
dianggap sebagai nenek moyang Archaeopteryx—sebenarnya lebih muda dari pada Arhcaeopteryx:
”Reptilia berkaki dua yang berlari di atas tanah, dan memiliki ciri-ciri lain yang diharapkan ada pada nenek
moyang Archaeopteryx, [ternyata] muncul lebih kemudian.”132
Semua penemuan ini menunjukkan bahwa Archaeopteryx bukanlah mata rantai peralihan, melainkan
hanyalah sejenis burung yang termasuk dalam kelompok “burung bergigi.” Menghubungkan hewan ini
dengan dinosaurus theropoda sama sekali tidaklah berdasar. Dalam sebuah artikel yang berjudul “The
Demise of the 'Birds Are Dinosaurs' Theory” ahli biologi Amerika Richard L. Deem menulis tentang
Archaeopteryx dan pernyataan evolusi burung-dinosaurus sebagai berikut:
Hasil dari kajian terbaru menunjukkan bahwa tangan dinosaurus theropoda berasal dari jari I, II, dan
III, sedangkan sayap burung, walaupun terlihat mirip dalam hal struktur, sebenarnya berasal dari jari II, III,
IV… Ada permasalahan lain dengan teori “burung adalah dinosaurus.” Tungkai depan theropoda lebih
kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) daripada Archaeopteryx. “Bakal-sayap” yang kecil dari theropoda
tidaklah begitu meyakinkan, khususnya mengingat besarnya bobot dari dinosaurus ini. Sebagian besar dari
theropoda tidak memiliki tulang pergelangan semilunate, dan memiliki banyak unsur penyusun
pergelangan yang lain yang tidak ada hubungan padanannya dengan tulang-tulang Archaeopteryx. Sebagai
tambahan, pada hampir semua theropoda, saraf V1 keluar dari tengkorak melalui samping, bersama dengan
beberapa saraf yang lain, sementara pada burung, saraf-saraf ini keluar dari depan tengkorak, melalui
lubang khusus. Ada juga permasalahan kecil karena sebagian besar theropoda muncul setelah kemunculan
dari Archaeopteryx.133

Archaeopteryx dan Fosil Burung Purba Lainnya

Beberapa fosil yang baru ditemukan juga menyangkal skenario evolusionis berkenaan dengan
Archaeopteyx dalam sisi yang lain.
Lianhai Hou dan Zhonghe Zhou, dua ahli paleontologi di Chinese Institute of Vertebrate
Paleontology, menemukan fosil burung baru pada tahun 1995, dan menamakannya Confuciusornis. Fosil
ini hampir seumur dengan Archaeopteryx (sekitar 140 juta tahun), tetapi tidak memiliki gigi dalam
mulutnya. Selain itu, paruh dan sayapnya memiliki struktur yang sama dengan burung masa kini.
Confuciusornis memiliki struktur rangka yang sama dengan burung modern, tetapi juga memiliki cakar
pada sayapnya, sama seperti Archaeopteryx. Struktur lainnya yang khas pada burung yang disebut
“pigostil,” yang menopang bulu-bulu ekor, juga ditemukan pada Confuciusornis.134 Singkatnya, fosil ini—
yang seumur dengan Archaeopteryx, yang sebelumnya dianggap sebagai burung pertama dan diterima
sebagai semi-reptilia—terlihat sangat mirip dengan burung modern. Kenyataan ini telah menggugurkan
semua pemikiran evolusionis yang menyatakan Archaeopteryx sebagai nenek moyang primitif dari semua
burung.
Satu lagi fosil yang tergali di Cina menimbulkan kebingungan yang lebih besar lagi. Pada November
1996, adanya burung yang berumur 130 juta tahun yang disebut Liaoningornis diumumkan di majalah
Science oleh L. Hou, dan Alan Feduccia. Liaoningornis memiliki tulang dada tempat melekatnya otot-otot
untuk terbang, sama seperti pada burung modern.135 Burung ini tidak bisa dibedakan dari burung modern
dalam hal yang lain juga. Satu-satunya perbedaan adalah adanya gigi dimulutnya. Ini menunjukkan bahwa
burung dengan gigi tidak memiliki struktur primitif seperti anggapan para evolusionis. Bahwa
Liaoningornis memiliki ciri-ciri burung modern dinyatakan dalam sebuah artikel pada majalah Discover,
yang mengatakan, “Kapankah burung muncul? Fosil ini menunjukkan bahwa bururng tidaklah berasal dari
stok dinosaurus.”136
Fosil lain yang membantah pernyataan evoluisionis berkenaan dengan Archaeopteryx adalah
Eoalulavis. Struktur sayap Eoalulavis, yang dikatakan 25 sampai 30 juta tahun lebih muda dari
Archaeopteryx, juga teramati pada burung modern yang terbang-lambat. 137 Ini membuktikan bahwa 120
juta tahun yang lalu, terdapat burung yang tidak bisa dibedakan dengan burung modern dalam banyak hal,
terbang di udara.
Kenyataan ini sekali lagi menunjukkan dengan pasti bahwa baik Archaeopteryx maupun burung
purba lain yang mirip dengannya bukanlah bentuk peralihan. Fosil-fosil ini tidak menunjukkan bahwa
spesies burung yang berbeda berevolusi dari satu sama lain. Sebaliknya, rekaman fosil membuktikan
bahwa burung modern masa kini dan beberapa burung purba seperti Archaeopteryx sebenarnya hidup pada
saat yang sama. Memang benar bahwa beberapa dari spesies burung ini, seperti Archaeopteryx dan
Confuciusornis, telah punah, tetapi kenyataan bahwa hanya beberapa spesies yang pernah hidup masih
mampu bertahan hidup hingga saat ini tidak dengan sendirinya mendukung teori evolusi.

Archaeoraptor: Bualan Burung-Dino

Tidak mampu menemukan apa yang mereka cari dari Archaeopteryx, para penganjur teori evolusi
menggantungkan harapan mereka pada fosil lain pada tahun 1990 dan sejumlah laporan yang disebut fosil
“burung-dino” muncul di media-media Internasional. Belakangan diketahui bahwa pernyataan ini hanyalah
kesalahan penafsiran, atau lebih buruk lagi, pemalsuan.
Pernyataan burung-dino pertama adalah cerita tentang “fosil dinosaurus berbulu ditemukan di Cina,”
yang terjadi pada tahun 1996 dengan liputan media yang menghebohkan. Sebuah fosil reptilia yang disebut
Sinosauropteryx telah ditemukan, tetapi beberapa ahli paleontolgi yang menguji fosil tersebut mengatakan
bahwa fosil ini memiliki bulu-bulu burung, tidak seperti reptilia modern. Pengujian yang dilakukan setahun
kemudian, akan tetapi, menunjukkan bahwa fosil ini sebenarnya tidak memiliki struktur yang mirip dengan
bulu burung. Sebuah artikel dalam Science yang berjudul “Mencabuti Dinosaurus Berbulu” menyatakan
bahwa struktur yang dinamakan “sayap” oleh ahli paleontologi evolusionis secara pasti tidak ada
hubungannya dengan bulu:
Tepat setahun yang lalu, ahli paleontologi dikejutkan dengan sebuah foto “dinosaurus berbulu,”
yang diedarkan ke seluruh aula pada pertemuan Perkumpulan Paleontologi Vertebrata. Spesimen
Sinosauropteryx dari fosmasi Yixian di Cina ini dimuat pada halaman depan New York Times, dan telah
digambarkan oleh beberapa orang sebagai menegaskan asal usul burung dari dinosaurus. Tetapi pada
pertemuan Paleontologi Vertebrata di Chicago tahun ini akhir bulan lalu, kesimpulan yang diambil sedikit
berbeda. Struktur tersebut bukanlah sayap modern, kata sekitar setengah lusin ahli paleontologi barat yang
telah melihat spesimen tersebut. …Ahli paleontologi Larry Martin dari Kansas University, Lawrence,
berpikir bahwa struktur tersebut adalah serat kolagen yang tercerabut di bawah kulit—dan karenanya tidak
ada hubungannya dengan burung.138
Kasus yang lebih sensasional dari burung-dino muncul pada tahun 1999. Pada edisi November 1999,
National Geographic menurunkan sebuah artikel tentang spesimen fosil yang tergali di Cina yang
dinyatakan memiliki ciri-ciri burung dan dinosaurus. Penulis National Geographic, Christopher P. Sloan,
penulis artikel tersebut, melangkah demikian jauh dengan menyatakan, “kita sekarang bisa mengatakan
bahwa burung adalah theropoda dengan keyakinan yang sama ketika kita mengatakan bahwa manusia
adalah mamalia.” Spesies ini, yang dikatakan pernah hidup 125 juta tahun yang lalu, segera diberi nama
ilmiah Archaeoraptor liaoningensis.139
Akan tetapi, fosil ini adalah palsu dan telah dengan terampil disusun dari lima spesimen yang
terpisah. Sekelompok peneliti, di antara mereka terdapat tiga orang ahli paleontologi, membuktikan
pemalsuan ini setahun kemudian dengan bantuan tomography hasil perhitungan dengan sinar X. Burung-
dino sebenarnya adalah hasil kerja para evolusionis Cina. Para amatir Cina menyusun burung-dino dengan
menggunakan lem dan semen dari 88 tulang dan batu. Peneliti menduga bahwa Archaeoraptor dibentuk
dari bagian depan rangka burung purba, sedangkan tubuh dan tulang ekornya diambil dari empat spesimen
yang berbeda.
Menariknya, National Geographic menurunkan sebuah artikel penting tentang pemalsuan kasar
semacam itu—dan lebih jauh lagi, menggunakannya sebagai dasar pernyataan bahwa skenario “evolusi
burung” telah terbukti—tanpa menunjukkan sedikitpun keraguan atau kehati-hatian dalam artikel tersebut.
Dr. Storrs Olson, dari Smithsonian Institute Natural History Museum yang terkenal di Amerika, kemudian
mengatakan bahwa ia sebelumnya telah memperingatkan National Geographic bahwa fosil ini adalah
palsu, tetapi pihak manajemen majalah tidak menghiraukannya. Menurut Olson, “National Geographic”
telah mencapai masa suramnya dengan menganut jurnalisme tabloid yang sensasional dan tidak terbukti
kebenarannya. “140
Dalam sebuah surat yang ditulisnya kepada Peter Raven dari National Geographic, Olson
menggambarkan dengan sangat rinci cerita sebenarnya dari “dinosaurus bersayap”, yang menjadi bahan
pembicaraan sejak dipublikasikannya dalam sebuah artikel pada National Geographic tahun 1998:
Sebelum penerbitan artikel “Dinosaurus Memperoleh Sayap” dalam National Geographic edisi Juli
1998, Lou Mazzatenta, fotografer untuk artikel Sloan, mengundang saya ke Perkumpulan National
Geographic untuk membahas fotonya atas fosil-fosil dari Cina dan untuk memberi komentar pada sudut
pandang yang diberikan pada cerita. Pada saat itu, saya mencoba menyampaikan kenyataan yang
mendukung kuat pandangan yang berbeda dengan apa yang akan dimunculkan oleh National Geographic,
tetapi akhirnya jelaslah bagi saya bhawa National Geographic tidak tertarik pada apapun selain dogma
umum bahwa burung telah berevolusi dari Dinosaurus.
Artikel Sloan menempatkan prasangka pada tataran baru dan sebagian besar mengandung informasi
yang tidak terbukti atau tak terdokumentasikan yang sekedar “membuat” berita daripada melaporkannya.
Pernyataan dangkalnya bahwa “sekarang kita bisa dengan yakin mengatakan bahwa burung adalah
theropoda sama yakinnya dengan kita mengatakan bahwa manusia adalah mamalia” bahkan tidak tampak
sebagai cerminan dari pandangan sebagian ilmuwan atau sekelompok ilmuwan, jadi ia menggambarkan
tidak lebih dari sekedar propaganda editorial. Pernyataan yang dibesar-besarkan ini telah disangkal oleh
kajian terbaru embriologi dan morfologi perbandingan, yang mana tentunya, tidak pernah diberitakan.
Akan tetapi yang lebih penting lagi, tidak satupun struktur-struktur yang digambarkan dalam artikel
Sloan sebagai bulu memang benar-benar terbukti sebagai bulu. Mengatakan bahwa itu adalah bulu tidak
lebih dari sekedar harapan yang dihadirkan sebagai kenyataan. Pernyataan pada halaman 103 bahwa
“struktur berongga, mirip rambut mencirikan bakal-bulu” adalah mengada-ada mengingat bahwa bakal-
bulu hanya ada sebagai gagasan teoritis, jadi struktur internalnya pun lebih merupakan perkiraan saja.
Propaganda tentang dinosaurus bersayap yang dipamerkan pada acara Perkumpulan National
Geographic bahkan lebih buruk, dan membuat pernyataan palsu yang menyatakan bahwa ada bukti kuat
bahwa berbagai dinosaurus karnivora memiliki sayap. Sebuah model dari dinosaurus sejati Deinonychus
dan ilustrasi dari bayi tyrannosaurus digambarkan tertuptup bulu, yang kesemuanya hanyalah imajinasi
belaka dan tidak memiliki tempat di luar fiksi ilmiah.
Hormat saya,
Storrs L. Olson
Kurator Burung
National Museum of Natural History
Smithsonian Institution141
Kasus yang membuka mata ini menampakkan dua kenyataan penting. Pertama, ada orang yang tidak
merasa ragu mengambil jalan pemalsuan dalam upaya menemukan bukti bagi teori evolusi. Kedua,
beberapa jurnal ilmiah populer ternama, yang telah mengambil misi untuk menanamkan teori evolusi
kepada masyarakat, tidak segan-segan mengenyampingkan berbgai fakta yang mungkin tidak sesuai atau
mempunyai penafsiran lain. Demikianlah, mereka telah menjadi tidak lebih dari sekedar alat propaganda
untuk menyebarkan teori evolusi. Mereka tidak mengambil sikap ilmiah, tetapi dogmatis, dan dengan sadar
melecehkan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan teori evolusi yang sangat mereka yakini.
Sisi penting lainnya dari permasalahan ini adalah bahwa tidak ada bukti bagi gagasan bahwa burung
telah berevolusi dari dinosaurus. Karena kurangnya bukti, bukti palsu pun dibuat, atau bukti sebenarnya
disalahtafsirkan. Pada kenyataannya, tidak ada bukti bahwa burung telah berevolusi dari spesies hidup
lainnya. Sebaliknya, semua penemuan menunjukkan bahwa burung telah muncul di muka bumi lengkap
dengan struktur tubuh mereka yang khas.

Asal Usul Serangga


Dalam pembahasan asal usul burung, kami menyebutkan teori kursorial yang diajukan oleh ahli
biologi evolusi. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, pertanyaan bagaimana reptilia
menumbuhkan sayap melibatkan spekulasi tentang “reptilia yang mencoba menangkap serangga dengan
kaki depan mereka.” Menurut teori ini, kaki depan reptilia tersebut seiring dengan waktu secara perlahan
berubah menjadi sayap saat mereka mencoba berburu serangga.
Kita telah tekankan bahwa teori ini tidak berpijak pada penemuan ilmiah sama sekali. Tetapi ada sisi
menarik lain dari hal ini, yang belum kita sentuh sebelumnya. Lalat sejak awal sudah bisa terbang. Jadi
bagaimana mereka memperoleh sayap? Dan secara umum, apa asal mula serangga, yang mana lalat
hanyalah satu kelompok di dalamnya?
Dalam pengelompokan makhluk hidup, serangga membentuk satu subfilum, yaitu Insecta, dari filum
Arthropoda. Fosil serangga tertua berasal dari Jaman Devonian (410 hingga 360 juta tahun yang lalu).
Pada Jaman Pennsylvanian yang mengikutinya (325 sampai 286 juta tahun yang lau), terjadi kemunculan
besar-besaran sejumlah spesies serangga. Sebagai contoh, kecoak muncul secara tiba-tiba, dan dengan
struktur yang sama seperti yang ada saat ini. Betty Faber, pada American Museum of Natural History,
melaporkan bahwa fosil kecoa dari 350 juta tahun yang lalu adalah sama persis dengan kecoak yang hidup
saat ini.142
Binatang seperti laba-laba, kutu, dan kaki seribu bukanlah serangga, tetapi termasuk subfilum lain
dari Arthropoda. Penemuan penting fosil dari binatang-binatang ini dilaporkan pada pertemuan tahunan
American Association for the Advancement of Science tahun 1983. Hal yang menarik dari fosil laba-laba,
kutu dan kelabang berumur 380 juta tahun ini, adalah kenyataan bahwa mereka tidak berbeda dengan
spesimen hidup saat ini. Salah satu ilmuwan yang menguji fosil tersebut menyebutkan, “mereka terlihat
seperti baru mati kemarin.”143
Serangga bersayap juga muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil, dan dengan semua ciri khas
mereka. Sebagai contoh, sejumlah besar fosil capung dari Jaman Pennsylvanian telah ditemukan. Dan
capung-capung ini memiliki struktur yang sama persis dengan capung yang ada saat ini.
Satu hal menarik di sini adalah kenyataan bahwa capung dan lalat muncul secara tiba-tiba, bersama-
sama dengan serangga tak bersayap. Ini menyangkal teori bahwa serangga tak bersayap mengembangkan
sayap dan berevolusi secara bertahap menjadi serangga yang bisa terbang. Dalam salah satu artikel mereka
dalam buku Biomechanics in Evolution, Robin Wootton dan Charles P. Ellington mengatakan hal sebagai
berikut:
Ketika fosil serangga pertama muncul, pada [Jaman] Carboniferous Tengah dan Atas, mereka telah
beragam dan sebagian besar memiliki sayap yang sempurna. Ada sebagian kecil bentuk primitif tak
bersayap, tetapi tidak ditemukan adanya bentuk peralihan yang meyakinkan.144
Sala satu ciri umum dari lalat, yang muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil, adalah teknik
terbang mereka yang mengagumkan. Sementara manusia tidak mampu membuka dan menutup lengan
mereka 10 kali sedetik, rata-rata lalat mampu mengepakkan sayap 500 kali dalam rentang waktu tersebut.
Lebih jauh lagi, lalat menggerakkan kedua sayapnya secara bersamaan. Sedikit saja ketidaksesuaian pada
getaran sayapnya akan menyebabkan lalat kehilangan keseimbangan, tetapi hal ini tak pernah terjadi.
Dalam sebuah artikel berjudul “The Mechanical Design of Fly Wings,” Wootton lebih jauh
menerangkan:
Semakin kita mengerti fungsi dari sayap serangga, semakin terlihat lembut dan indah desain pada
mereka… Struktur biasanya dirancang untuk berubah bentuk sekecil mungkin; mekanisme biasanya
dirancang untuk menggerakkan bagian-bagian penyusunnya dalam gerakan yang dapat diperkirakan. Sayap
serangga menyatukan keduanya, menggunakan komponen dengan bermacam-macam sifat kelenturan, yang
terakit dengan sempurna untuk memungkinkan perubahan bentuk yang tepat sebagai respon atas gaya yang
tepat dan untuk memanfaatkan udara sebaik mungkin. Mereka memiliki sedikit, jika ada, teknologi yang
menyamainya.145
Tentunya kemunculan tiba-tiba dari makhluk hidup dengan desain sesempurna ini tidak bisa
dijelaskan dengan penjelasan evolusionis manapun. Itulah sebabnya mengapa Pierre-Paul Grassé
mengatakan, “Kita berada di dalam kegelapan mengenai asal usul serangga.”146 Asal usul serangga
dengan jelas membuktikan fakta penciptaan.

Asal usul Mamalia

Seperti yang telah kami utarakan sebelumnya, teori evolusi mengajukan gagasan bahwa beberapa
makhluk khayalan muncul dari laut berubah menjadi reptilia, dan bahwa burung berevolusi dari reptilia.
Menurut skenario yang sama, reptilia bukan hanya nenek moyang bangsa burung, tetapi juga mamalia.
Akan tetapi, terdapat perbedaan besar antara dua kelompok ini. Mamalia adalah hewan berdarah panas (ini
berarti mereka bisa menghasilkan panas tubuh sendiri dan menjaganya pada tataran yang tetap), mereka
melahirkan, menyusui anak mereka, dan tubuh mereka ditutupi oleh bulu kulit atau rambut. Reptilia, disisi
lain, adalah hewan berdarah dingin (artinya, mereka tidak bisa menghaslkan panas tubuh sendiri, dan suhu
tubuh mereka berubah mengikuti suhu lingkungan luar), mereka bertelur, tidak menyusui anak mereka, dan
tubuh mereka ditutupi oleh sisik.
Dengan semua perbedaan ini, lalu, bagaimana reptilia mulai mengatur suhu tubuh mereka sendiri
dan memperoleh mekanisme berkeringat untuk memungkinkan menjaga suhu tubuh mereka sendiri?
Apakah mungkin reptilia mengganti sisik dengan bulu atau rambut dan mulai menghasilkan susu? Sebelum
teori evolusi menjelaskan asal usul mamalia, teori ini harus memberikan jawaban ilmiah atas pertanyaan-
pertanyaan ini.
Namun, ketika kita melihat sumber-sumber evolusionis, kita menemukan skenario yang benar-benar
khayalan dan tidak ilmiah, atau jika tidak, sebuah kebungkaman. Salah satu skenario ini adalah sebagai
berikut:
Beberapa reptilia di daerah dingin mulai mengembangkan cara untuk menjaga kehangatan tubuh
mereka. Keluaran panas tubuh mereka meningkat ketika dingin dan hilangnya panas tubuh mereka kurangi
ketika sisik-sisik menjadi lebih kecil dan memanjang, dan berevolusi menjadi rambut. Berkeringat adalah
salah satu adaptasi untuk menjaga suhu tubuh, suatu perlengkapan untuk mendinginkan tubuh ketika
dibutuhkan melalui penguapan air. Namun suatu ketika reptilia muda ini mulai menjilati keringat dari
induknya sebagai makanan. Kalenjar keringat tertentu mulai mengeluarkan zat-zat yang semakin
bermanfaat, yang pada akhirnya menjadi susu. Akhirnya anak-anak mamalia awal ini mempunyai
kesempatan hidup yang lebih baik.147
Kutipan diatas tidak lebih dari khayalan belaka. Skenario fantastis seperti ini tidak hanya tidak
didukung oleh bukti, ini juga jelaslah tidak mungkin. Sangat tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa
makhluk hidup menghasilkan nutrisi sedemikian kompleks seperti susu dengan menjilati keringat tubuh
induknya.
Alasan mengapa skenario seperti ini diajukan adalah kenyataan bahwa terdapat perbedaan yang
sangat besar antara reptilia dan mamalia. Salah satu contoh dari rintangan struktural antara reptilia
dengan mamalia adalah struktur rahang mereka. Rahang mamalia hanya mempunyai satu tulang
mandibular tempat melekatnya gigi. Pada reptilia, terdapat tiga tulang kecil pada kedua sisi mandibula. Sat
perbedaan mendasar lainnya adalah bahwa semua mamalia memiliki tiga tulang pada telinga bagian tengah
mereka (tulang martil, tulang sanggurdi, dan tulang landasan). Reptilia hanya memiliki satu tulang pada
telinga bagian tengah. Evolusionis menyatakan bahwa rahang reptilia dan telinga bagian tengah berevolusi
secara bertahap menjadi rahang dan telinga mamalia. Pertanyaan bagaimana telinga dengan satu tulang
berevolusi menjadi telinga dengan tiga tulang, dan bagaimana indera pendengaran tetap berfungsi saat
perubahan terjadi tidaklah pernah bisa dijelaskan. Tidak mengherankan, tidak ditemukan satu fosil pun
yang menghubungkan reptilia dengan mamalia. Inilah sebabnya mengapa penulis ilmiah terkenal
evolusionis, Roger Lewin, terpaksa mengatakan, “Peralihan menjadi mamalia pertama, …masih
merupakan teka-teki.”148
George Gaylord Simpson, salah seorang pakar terpenting evolusi dan seorang pendiri teori neo-
Darwinis, berkenaan dengan kesulitan yang membingungkan para evolusionis membuat komentar sebagai
berikut:
Peristiwa yang paling membingungkan dalam sejarah kehidupan di muka bumi adalah perubahan
dari Mesozoic, Jaman Reptilia, ke Jaman Mamalia. Seakan-akan tirai diturunkan secara mendadak
untuk menutup panggung di mana seluruh peran utama dimainkan oleh reptilia, terutama dinosaurus,
dalam jumlah besar dan keragaman yang menakjubkan, dan kemudian dinaikkan kembali untuk
memperlihatkan panggung yang sama tetapi dengan susunan pemain yang sepenuhnya baru, di mana
dinosaurus tidak muncul sama sekali, dan reptilia lain hanya sebagai figuran, dan semua peran utama
dimainkan berbagai jenis mamalia yang hampir tidak pernah disinggung dalam babak-babak
sebelumnya.149
Lebih jauh lagi, ketika mamalia secara tiba-tiba muncul, mereka telah sangat berbeda satu sama lain.
Hewan yang sedemikian berbeda seperti kelelawar, kuda, tikus dan paus adalah mamalia, dan mereka
semua muncul selama rentang geologis yang sama. Membuat suatu hubungan evolusi di antara mereka
adalah mustahil bahkan dengan khayalan yang luas sekalipun. Ahli zoologi evolusionis, R. Eric Lombard
menjelaskan hal ini dalam sebuah artikel yang muncul pada jurnal Evolution:
Mereka yang mencari informasi khusus yang berguna untuk membangun pohon kekerabatan
mamalia akan kecewa.150
Singkatnya, asal usul mamalia, seperti kelompok organisme yang lain, gagal bersesuaian dengan
teori evolusi dalam cara apapun. George Gaylord Simpson mengakui kenyataan tersebut bertahun-tahun
yang lalu:
Ini berlaku benar bagi 32 ordo mamalia… Anggota termuda dan paling primitif dari setiap ordo [dari
mamalia] telah memiliki ciri dasar aslinya, dan dalam hal apapun tidak merupakan urutan yang
berkelanjutan dari satu ordo ke ordo yang lain. Kadang kala perbedaan ini begitu tajam dan celahnya
begitu besar sehingga asal usul ordo lebih bersifat spekulatif dan sering diperdebatkan… Ketiadaan bentuk
peralihan yang sudah biasa ini tidak terbatas pada mamalia, tetapi ini adalah fenomena yang hampir
universal, yang telah lama teramati oleh para ahli paleontologi. Ini berlaku pada hampir semua kelas
hewan, baik vertebrata maupun invertebrata… ini berlaku pada kelompok kelas, dan pada filum utama
hewan, dan sepertinya berlaku juga pada pengelompokan yang sepadan dalam dunia tumbuh-tumbuhan.151

Mitos Evolusi Kuda

Satu subyek penting dalam asal-usul mamalia adalah mitos tentang “evolusi kuda,” yang juga
merupakan sebuah topik yang padanya publikasi evolusionis memberi perhatian luas untuk kurun waktu
yang lama. Ini adalah sebuah mitos, karena lebih didasarkan pada khayalan daripada temuan ilmiah.
Hingga baru-baru ini, urutan imajiner yang dimaksudkan untuk menggambarkan evolusi kuda telah
dimajukan sebagai bukti fosil utama bagi teori evolusi. Akan tetapi saat ini, banyak evolusionis sendiri
dengan jujur mengakui bahwa skenario evolusi kuda telah runtuh. Pada tahun 1980, sebuah simposium
empat hari digelar di Field Museum of Natural History di Chicago, dengan kehadiran 150 evolusionis,
untuk membahas permasalahan teori evolusi bertahap. Dalam sambutannya pada pertemuan ini,
evolusionis Boyce Rensberger memberi catatan bahwa skenario evolusi kuda tidak memiliki landasan
dalam rekaman fosil, dan tidak ada proses evolusi yang telah teramati yang mampu menjelaskan evolusi
kuda secara bertahap:
Contoh populer dari evolusi kuda, menunjukkan urutan perubahan bertahap dari hewan berkuku-
empat seukuran-rubah yang hidup sekitar 50 juta tahun yang lalu menjadi kuda masa kini yang lebih besar
dan berkuku-satu, telah lama diketahui keliru. Bertentangan dengan perubahan bertahap, fosil dari setiap
spesies peralihan muncul dengan sangat berbeda, tidak berubah bentuk, dan kemudian menjadi punah.
Bentuk peralihan tidak diketahui.152
Sementara membahas dilema penting dalam skenario evolusi kuda ini, dengan sangat jujur,
Rensberger membawa permasalahan bentuk peralihan ini ke dalam pembahasan sebagai permasalahan
terbesar.
Ahli paleontologi terkenal Colin Patterson, direktur dari Natural History Museum di London, tempat
diagram “evolusi kuda” sedang dipamerkan pada saat itu di lantai dasar museum, mengatakan hal berikut
ini tentang pajangan tersebut:
Telah begitu banyak cerita, sebagian lebih imajinatif daripada yang lain, tentang
bagaimanakah sebenarnya sejarah [kehidupan] itu,. Contoh yang paling terkenal, masih dipamerkan di
lantai bawah, adalah skema evolusi kuda yang dibuat barangkali 50 tahun lalu. Hal itu telah dihadirkan
sebagai kebenaran harfiah dalam berbagai buku acuan. Kini, saya pikir itu perlu disesali, terutama jika
mereka yang mengajukan cerita semacam itu sendiri menyadari adanya hal yang masih spekulatif pada
sebagian skema tersebut.153
Lalu, apa yang mendasari skenario evolusi kuda? Skenario ini dirumuskan melalui diagram yang
menipu yang dibuat dengan mengurutkan fosil-fosil spesies yang berbeda yang hidup pada jaman yang
sangat berlainan di India, Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Eropa, melulu hanya berdasarkan daya
imajinasi evolusionis yang kaya . Lebih dari 20 skema evolusi kuda, yang sebenarnya sama sekali berbeda
satu sama lain, telah diajukan oleh berbagai peneliti. Jadi, jelaslah bahwa evolusionis tidak mencapai
kesepakatan dalam hal silsilah ini. Satu-satunya persamaan di antara skema ini adalah keyakinan bahwa
makhluk seukuran anjing yang disebut Eohippus (Hyracotherium), yang pernah hidup pada Jaman Eocene
55 juta tahun yang lalu, adalah nenek moyang kuda. Namun demikian, kenyataannya adalah bahwa
Eohippus, yang telah punah jutaan tahun yang lalu, sangat mirip dengan hyrax, hewan kecil mirip kelinci
yang masih hidup di Afrika dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kuda.154
Ketidakkonsistenan dari teori evolusi kuda semakin bertambah jelas sejalan dengan semakin
banyaknya penemuan-penemuan fosil. Fosil dari spesies kuda modern (Equus nevadensis dan Equus
occidentalis) telah ditemukan pada lapisan yang sama dengan Eohippus.155 Ini adalah petunjuk bahwa kuda
modern dan hewan yang dikatakan nenek moyangnya hidup pada waktu yang sama.
Penulis ilmiah evolusionis Gordon R. Taylor menjelaskan kebenaran yang jarang diakui ini dalam
bukunya, The Great Evolution Mysteri:
Namun barangkali kelemahan yang paling serius dari Darwinisme adalah kegagalan ahli
paleontologi untuk menemukan filogeni yang meyakinkan atau urutan dari organisme yang
memperlihatkan perubahan evolusi besar… Kuda sering dirujuk sebagai satu-satunya contoh yang lengkap.
Tetapi kenyataannya adalah bahwa silsilah dari Eohippus ke Equus sangatlah tidak bisa diandalkan.
Silsilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan pertambahan ukuran yang berurutan, tetapi sejatinya
sebagian malah lebih kecil dari Eohippus, tidak lebih besar. Spesimen-spesimen dari berbagai sumber bisa
disusun dalam sebuah urutan yang terlihat meyakinkan, tetapi tidak terdapat bukti kalau sebenarnya
mereka berada dalam urutan seperti itu pada masa [hidupnya].156
Semua kenyataan ini adalah bukti kuat bahwa skema evolusi kuda, yang dihadirkan sebagai salah
satu bukti paling kokoh bagi Darwinisme, tidak lain hanyalah dongeng fantastik dan tidak masuk akal.
Seperti spesies lainnya, kuda juga muncul tanpa nenek moyang dalam pengertian evolusi.

Asal usul Kelelawar

Salah satu makhluk paling menarik dalam kelas mamalia, tak diragukan lagi, adalah sang mamalia
terbang, kelelawar.
Di puncak urutan ciri khas kelelawar adalah sistem “sonar” kompleks yang mereka miliki. Berkat
ini, kelelawar bisa terbang dalam kegelapan yang pekat, tidak bisa melihat apapun, tetapi mampu
melakukan gerakan yang sangat sulit. Mereka bahkan bisa mengindera dan menangkap seekor ulat di lantai
ruangan yang gelap.
Sonar kelelawar bekerja sebagai berikut. Binatang ini secara terus menerus memancarkan aliran
sinyal suara berfrekuensi tinggi, mencerna pantulan dari sinyal suara ini, dan sebagai hasilnya membentuk
gambaran detail mengenai lingkungan di sekitarnya. Lebih jauh lagi, ia mampu melakukan semua ini
dengan kecepatan yang luar biasa, terus menerus dan tidak pernah keliru sambil terbang di udara.
Penelitian pada sistem sonar kelelawar bahkan telah menelurkan hasil yang lebih mengejutkan.
Kisaran frekuensi yang bisa didengar binatang ini sangat sempit, dengan kata lain kelelawar hanya bisa
mendengar suara dengan frekuensi tertentu, yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan yang sangat
penting. Karena suara yang menumbuk benda bergerak berubah frekuensinya (“efek Doppler” yang
terkenal itu), saat kelelawar mengirim sinyal pada seekor lalat, katakanlah, yang bergerak menjauh darinya,
gelombang suara yang dipantulkan dari lalat seharusnya memiliki frekuensi yang berbeda yang tidak bisa
didengar oleh kelelawar. Karena alasan ini, kelelawar seharusnya mengalami kesulitan besar dalam
mengindera benda-benda yang bergerak.
Namun hal ini tidak terjadi. Kelelawar masih saja mampu menangkap segala jenis binatang kecil
yang bergerak cepat tanpa kesulitan sama sekali. Alasannya adalah bahwa kelelawar mengatur frekuensi
gelombang suara yang dikirimnya ke benda yang bergerak dalam lingkungannya seolah-olah ia paham
betul tentang efek Doppler. Sebagai contoh, kelelawar mengirim sinyal suara berfrekuensi tinggi ke arah
seekor lalat yang bergerak menjauh darinya, jadi pada saat sinyal tersebut kembali, frekuensinya tidak
berada di bawah ambang batas pendengaran binatang ini.
Lalu bagaimana pengaturan ini terjadi?
Ada dua kelompok neuron (sel saraf) dalam otak kelelawar yang mengatus sistem sonar. Salah
satunya menerima pantulan gelombang ultrasonik, dan satu lagi memberikan instruksi pada otot-otot untuk
menghasilkan suara pemantul lokasi. Bagian-bagian dalam otak ini bekerja bersama, sedemikian rupa
hingga jika frekuensi dari pantulan berubah, bagian pertama merasakan hal ini, dan memperingatkan
bagian yang satu lagi, membuatnya mampu mengubah frekuensi dari suara yang dikeluarkan berdasarkan
pantulan tersebut. Alhasil, frekuensi suara ultrasonik kelelawar berubah sesuai dengan lingkungannya, dan
sistem sonar sebagai satu kesatuan digunakan dengan seefisien mungkin.
Tidak mungkin kita menutup mata pada pukulan telak yang diberikan sistem sonar kelelawar atas
teori evolusi bertahap melalui mutasi acak. Ini adalah struktru yang sangat kompleks, dan tidak mungkin
dihasilkan oleh mutasi secara kebetulan. Supaya sistem ini berfungsi sepenuhnya, semua penyusunnya
harus bekerja sama dengan sempurna sebagai satu kesatuan. Adalah tidak masuk akal untuk mempercayai
bahwa sistem sedemikian terpadu ini bisa dijelaskan dengan kebetulan; Sebaliknya, kenyataan ini
sebenarnya menunjukkan bahwa kelelawar diciptakan tanpa cacat.
Bahkan rekaman fosil juga mendukung bahwa kelelawar mucul secara tiba-tiba dan dengan struktur
kompleks seperti yang ada saat ini. Dalam bukunya Bats: A Natural History, ahli paleontologi evolusi John
E. Hill dan James D. Smith mengungkap kenyataan ini dalam pengakuannya sebagai berikut:
Rekaman fosil dari kelelawar ditemukan hingga dari awal Eocene… dan telah didokumentasikan…
pada lima benua … Semua fosil kelelawar, bahkan yang tertua sekalipun, jelaslah merupakan
kelelawar yang telah berkembang sepenuhnya dan mereka tidak banyak memberi petunjuk atas
peralihan dari hewan darat nenek moyang mereka.157
Dan ahli paleontologi evolusi, L. R. Godfrey, dalam hal yang sama berkata sebagai berikut:
Ada beberapa fosil kelelawar Jaman Tersier Awal yang terawetkan dengan baik, seperti
Icaronycteris index, tetapi Icaronycteris tidak menunjukkan apapun tentang evolusi terbang pada kelelawar
karena ia adalah kelelawar terbang yang sempurna.158
Ilmuwan evolusionis, Jeff Hecht, mengakui permasalahan yang sama pada sebuah artikel New
Scientist tahun 1998:
Asal usul kelelawar telah menjadi teka-teki. Bahkan fosil kelelawar paling awal, dari sekitar 50 juta
tahun yang lalu, telah memiliki sayap yang benar-benar mirip dengan kelelawar moderen.159
Singkatnya, sistem tubuh kompleks kelelawar ini tidak mungkin muncul melalui mekanisme evolusi,
dan rekaman fosil menunjukkan bahwa hal semacam itu tidak terjadi. Sebaliknya, kelelawar pertama yang
muncul di muka bumi adalah sama persis dengan yang ada saat ini. Kelelawar selalu ada sebagai
kelelawar.
Asal usul Mamalia Laut

Paus dan lumba-lumba termasuk dalam kelompok mamalia laut yang dikenal sebagai Cetacea.
Makhluk ini dikelompokkan sebagai mamalia karena, sebagaimana mamalia darat, mereka melahirkan dan
merawat anak mereka, mereka memiliki paru-paru untuk bernafas, dan mereka mengatur suhu tubuh
mereka sendiri. Bagi evolusionis, asal usul mamalia laut telah menjadi salah satu permasalahan tersulit
untuk dijelaskan. Dalam berbagai sumber evolusionis, dinyatakan bahwa nenek moyang cetacea
meninggalkan daratan dan kemudian berevolusi menjadi mamalia laut dalam kurun waktu yang lama.
Berdasarkan hal ini, mamalia laut menempuh jalur yang bertentangan dengan peralihan dari air ke darat,
dan menjalani proses evolusi ke dua, kembali ke air. Kedua teori ini tidak memiliki bukti paleontologis dan
saling bertentangan. Karenanya, evolusionis telah bungkam dalam permasalahan ini untuk waktu yang
lama.
Akan tetapi, publikasi evolusinis tentang mamalia laut muncul secara besar-besaran pada tahun 90-
an, dinyatakan sebagai berlandaskan atas beberapa penemuan fosil baru pada tahun 80-an seperti Pakicetus
dan Ambulocetus. Mamalia daratan berkaki empat yang telah punah ini diakui sebagai nenek moyang paus
dan karenanya banyak sumber evolusionis tanpa ragu-ragu menyebutnya sebagai “paus berjalan.” (Bahkan
nama lengkapnya, Ambulocetus natans, berarti “paus yang berjalan dan berenang.”) Indoktrinasi
evolusionis dengan cara populer semakin mengada-adakan cerita ini. Edisi November 2001 National
Geographic akhirnya mengumumkan keseluruhan skenario evolusionis mengenai “evolusi paus.”
Meskipun demikian, skenario tersebut dilandasi oleh prasangka evolusionis, bukan dengan bukti
ilmiah.

Mitos Paus Berjalan


Sisa fosil mamalia yang telah punah Pakicetus inachus, demikianlah namanya yang tepat, pertama
muncul dalam agenda di tahun 1983. P. D. Gingerich dan asistennya, yang menemukan fosil tersebut,
tanpa keraguan segera menyatakan bahwa bahwa ini adalah “paus primitif,” meskipun sebenarnya mereka
hanya menemukan sebuah tengkorak.
Namun fosil tersebut benar-benar tidak memiliki hubungan apapun dengan paus. Kerangkanya
ternyata merupakan hewan berkaki empat, mirip dengan serigala biasa. Ia ditemukan di daerah yang penuh
bijih besi, dan mengandung fosil hewan daratan seperti keong, kura-kura, dan buaya. Dengan kata lain,
fosil ini merupakan bagian dari sebuah lapisan daratan, bukan lapisan laut.
Lalu, mengapa seekor hewan darat berkaki empat dikatakan sebagai “paus primitif” dan mengapa ia
tetap ditampilkan seperti itu oleh sumber-sumber evolusionis seperti National Geographic? Majalah ini
memberikan jawaban sebagai berikut:
Apa yang menyebabkan ilmuwan menyatakan makhluk ini adalah paus? Petunjuknya kecil dalam
kombinasi—susunan gigi gerahamnya, lipatan pada tulang telinga bagian tengah, dan kedudukan tulang
telinga dalam tengkorak—tidak terdapat pada mamalia daratan lainnya tetapi merupakan ciri paus jaman
Eocene Akhir.160
Dengan kata lain, berdasarkan pada beberapa bagian kecil gigi dan tulang telinganya, National
Geographic merasa bisa menggambarkan hewan darat berkaki empat mirip srigala ini sebagai “paus
berjalan.” Namun demikian, ciri-ciri ini bukanlah bukti kuat untuk dijadikan dasar bagi hubungan antara
Pakicetus dengan paus:
▪ Seperti yang juga secara tidak langsung dinyatakan oleh National Geographic ketika menulis
“petunjuk kecil dalam kombinasi,” sebenarnya beberapa ciri ini ditemukan juga pada hewan-hewan darat.
▪ Tidak satu pun dari ciri-ciri yang dipertanyakan ini adalah bukti bagi suatu hubungan evolusi.
Bahkan evolusionis mengakui bahwa hubungan teoritis yang dibangun atas dasar kemiripan anatomi antar
binatang sama sekali tidak dapat dipercaya. Jika serigala Tasmania marsupial dan serigala biasa yang
menyusui keduanya telah punah sejak dahulu kala, maka tak diragukan lagi para evolusionis akan
menggambarkan mereka dalam takson yang sama dan menyatakan mereka sebagai kerabat yang sangat
dekat. Akan tetapi, kita tahu bahwa dua hewan yang berbeda ini, walaupun secara anatomi terlihat serupa,
sebenarnya sangat berjauhan satu sama lain dalam pohon kekerabatan evolusi. (Sesungguhnya kemiripan
mereka menunjukkan persamaan desain—bukan persamaan nenek moyang.) Pakicetus, yang diumumkan
evolusionis sebagai “paus berjalan,” adalah spesies unik yang memiliki ciri-ciri khusus pada tubuhnya.
Carrol, seorang pakar dalam paleontologi vertebrata, menggambarkan keluarga Mesonychild, yang mana
Pakicetus seharusnya menjadi salah satu anggotanya, sebagai “memperlihatkan gabungan unik dari
berbagai ciri.”161
Dalam artikelnya “The Overselling of Whale Evolution,” seorang penulis kreasionis Ashby L. Camp
mengungkap benar-benar tidak sahnya pernyataan bahwa kelas Mesonychid, yang seharusnya meliputi
mamalia darat seperti Pakicetus, bisa jadi adalah nenek moyang Archaeocetea, atau paus punah, sebagai
berikut:
Alasan evolusionis yakin bahwa Mesonychid menurunkan Archaeoceta, meskipun tidak mampu
menunjukkan spesies apapun dalam garis keturunannya, adalah bahwa Mesonychid dan Archaeoceta yang
dikenal memiliki beberapa kemiripan. Akan tetapi, kemiripan ini tidak cukup menyelesaikan masalah garis
keturunan ini, khususnya mengingat perbedaannya yang sangat besar. Subyektifitas dari perbandingan
seperti ini jelas terlihat dari fakta begitu banyaknya kelompok mamalia dan bahkan reptilia yang telah
diusulkan sebagai nenek moyang paus.162
Fosil kedua setelah Pakicetus dalam skenario asal usul paus adalah Ambulocetus natans. Fosil ini
sebenarnya adalah hewan darat yang para evolusionis bersikeras telah berubah menjadi paus.
Nama Ambulocetus natans diambil dari bahasa latin “ambulare” (berjalan), ”cetus” (paus) dan
“natans” (berenang), dan berarti “seekor paus yang berjalan dan berenang.” Jelaslah hewan ini mampu
berjalan karena memiliki empat kaki, seperti semua mamalia yang lain, dan bahkan cakar lebar pada
kakinya dan jari-jari pada tungkai belakangnya. Akan tetapi, terlepas dari prasangka evolusionis,
sebenarnya tidak ada landasan sama sekali bagi pernyataan bahwa ia berenang di air, atau hidup baik di
darat dan di air (seperti amfibia).
Setelah Pakicetus dan Ambulocetus, rancangan evolusionis terus berlanjut pada apa yang disebut
mamalia laut dan mengajukan spesies (paus punah) seperti Procetus, Rodhocetus, dan Archaeocetea.
Hewan-hewan ini adalah mamalia yang dulunya hidup di laut dan sekarang telah punah. (Kita akan
membahas hal ini kemudian.) Akan tetapi, terdapat perbedaan anatomi nyata antara spesies-spesies ini
dengan Pakicetus dan Ambulocetus. Ketika kita melihat fosil-fosil ini, jelaslah bahwa mereka bukanlah
“bentuk peralihan” yang berhubungan satu sama lain:
▪ Tulang belakang mamalia berkaki empat Ambulocetus berakhir pada tulang pelvis, dan kaki
belakang yang kuat bermula dari sini. Ini adalah ciri dasar anatomi mamalia darat. Aka tetapi pada paus,
tulang belakang memanjang hingga ke ekor, dan tidak ada tulang pelvis sama sekali. Kenyataannya,
Basilosaurus, yang dipercaya pernah hidup sekitar 10 juta tahun setelah Ambulocetus, memiliki anatomi
seperti yang terakhir. Dengan kata lain, ini adalah paus biasa. Tidak ada bentuk peralihan antara
Ambulocetus, seekor mamalia darat, dan Basilosaurus, seekor paus.
▪ Di bawah tulang belakang Basilosaurus dan paus biru, terdapat tulang-tulang kecil yang terpisah.
National Geographic menyatakan bahwa tulang ini adalah sisa kaki. Namun majalah yang sama
menyebutkan bahwa tulang ini sebenarnya memiliki fungsi lain. Pada Basilosaurus, tulang ini berfungsi
sebagai pemandu kopulasi dan pada paus biru “[bertindak] sebagai tempat melekat otot organ genitalia.” 163
Menggambarkan tulang ini, yang sebenarnya melaksanakan fungsi penting, sebagai “organ sisa” tidak lain
hanyalah prasangka Darwinis.
Kesimpulannya, mengenyampingkan propaganda evolusionis, kenyataanya tetap tidak berubah
bahwa tidak terdapat bentuk peralihan antara mamalia darat dan laut dan bahwa keduanya telah muncul
dengan ciri-ciri mereka masing-masing. Tidak ada hubungan evolusi. Robert Carroll menerima hal ini,
meskipun tidak secara tegas dan dalam bahasa evolusionis: “Tidak mungkin menemukan satu urutan dari
mesonychild yang secara langsung menghasilkan paus.”164
Meskipun ia seorang evolusionis, pakar paus terkenal Russia, G. A. Mchedlidze, juga tidak
mendukung penggambaran Pakicetus, Ambulocetus natans, dan binatang berkaki empat yang serupa
sebagai “nenek moyang paus yang mungkin,” dan [sebaliknya] menggambarkan mereka sebagai kelompok
yang sama sekali berbeda.165

Masalah Urutan yang Dikira-kira


Seiringan dengan fakta yang telah kita bahas di atas, tanggal-tanggal yang diberikan oleh National
Geographic pada spesies-spesies tadi telah dipilih sejalan dengan prasangka Darwinis. Hewan-hewan ini
diperlihatkan saling bermunculan dalam sebuah garis geologis, meskipun hal ini masih bisa dipertanyakan.
Ashby L. Camp menjelaskan situasi ini, berdasarkan data peleontologis:
Dalam skema baku, Pakicetus inachus dinyatakan berasal dari Jaman Ypresian Akhir, tetapi
sebagian ahli berpendapat bahwa hewan ini mungkin berasal dari Lutetian Awal. Jika tanggal yang lebih
muda (Lutetian Awal) diterima, maka Pakicetus adalah hampir, jika tidak sebenarnya, sejaman dengan
Rodhocetus, fosil Lutetia Awal dari lapisan lain di Pakistan. Lebih jauh lagi, masa hidup Ambulocetus,
yang ditemukan pada lapisan yang sama dengan Pakicetus tetapi 120 meter lebih atas, seharusnya
dikoreksi menjadi lebih muda sebagaimana Pakicetus. Hal ini akan membuat Ambulocetus lebih muda
daripada Rodhocetus dan mungkin lebih muda daripada Indocetus dan bahkan Protocetus.166
Singkatnya, terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai kapan hewan-hewan yang oleh
National Geographic secara kronologis dimunculkan berurutan satu sama lain benar-benar hidup. Jika
pandangan ke dua diterima, maka Pakicetus dan Ambulocetus, yang digambarkan oleh National
Geographic sebagai “paus berjalan,” berada pada jaman yang sama, atau bahkan yang lebih muda daripada
paus sebenarnya. Dengan kata lain, tidak ada mungkin ada “alur evolusi”.

Takhayul Evolusionis Berbau Lamarckisme yang Mengejutkan


Satu masalah penting lainnya mengenai asal usul mamalia laut adalah perbedaan anatomis dan
fisiologis yang besar antara mereka dan hewan darat yang diakui sebagai nenek moyang mereka.
Evolusionis beranggapan bahwa proses setahap demi setahap terjadi pada setiap peralihan, tetapi ini adalah
gagasan yang tidak masuk akal karena banyak dari sistem yang sedang dibahas ini merupakan struktur
kompleks yang tak tersederhanakan yang tidak mungkin terbentuk secara setahap demi setahap.
Mari kita pikirkan satu saja contoh: struktur telinga. Seperti kita, mamalia darat menangkap suara
dari luar melalui telinga luar, memperkuatnya dengan tulang-tuland dalam telinga bagian tengah, dan
merubahnya menjadi sinyal dalam telinga bagian dalam. Mamalia laut tidak memiliki telinga luar. Mereka
mendengar suara melalui penerima getaran yang peka dalam rahang bagian bawah. Hal terpenting adalah
bahwa setiap evolusi secara bertahap antara satu sistem telinga yang sempurna ke sistem pendengaran lain
yang sangat berbeda adalah mustahil. Tahap-tahap perubahannya tidak akan menguntungkan. Seekor
hewan yang secara perlahan kehilangan kemampuan mendengar dengan telinganya, tetapi masih belum
juga mengembangkan kemampuan mendengar melalui rahangnya, akan berada dalam kerugian.
Pertanyaan bagaimana “perkembangan” semacam ini bisa muncul adalah suatu dilema yang tak
terpecahkan bagi evolusionis. Mekanisme yang diajukan evolusionis adalah mutasi dan ini tidak pernah
terlihat menambahkan informasi baru dan berarti bagi informasi genetik hewan tersebut. Tidaklah
beralasan untuk menyatakan bahwa sistem pendengaran yang kompleks pada mamalia laut ini bisa muncul
sebagai hasil mutasi.
Tetapi evolusionis sungguh mempercayai skenario yang tidak masuk akal ini dan masalah ini
berpangkal pada semacam takhayul mengenai asal usul makhluk hidup. Takhayul ini adalah “kekuatan
alam” ajaib yang membuat makhluk hidup memperoleh organ, perubahan biologis, atau sifat anatomis
yang mereka butuhkan. Mari kita perhatikan beberapa bagian menarik dari artikel “Evolusi Paus” dalam
National Geographic:
…Saya mencoba membayangkan berbagai ragam nenek moyang paus yang telah ditemukan di
daerah ini dan sekitarnya… Sejalan dengan mengecilnya kaki belakang, mengecil pula tulang pinggul yang
menopang mereka. Hal ini membuat tulang belakang menjadi lebih lentur untuk menghentakkan ekor yang
sedang berkembang. Lehernya memendek, merubah ujung depan tubuh menjadi lebih berbentuk tabung
yang meruncing untuk menembus air dengan gesekan minimum, sementara lengan berubah bentuk seperti
kayuh. Karena sudah tidak begitu memerlukan telinga luar lagi, beberapa paus menerima suara yang
merambat dalam air langsung melalui rahang bawah mereka dan mengirimkannya ke telinga bagian dalam
melalui lapisan lemak khusus. Setiap paus dalam urutan ini sedikit lebih ramping daripada model
sebelumnya dan menjelajah lebih jauh dari pantai.167
Dilihat lebih dekat, dalam seluruh penjelasan ini mental evolusionis mengatakan bahwa makhluk
hidup merasakan perubahan kebutuhan sesuai dengan perubahan lingkungan tempat mereka tinggal, dan
kebutuhan ini dianggap sebagai “mekanisme evolusi.” Berdasarkan logika ini, organ yang tidak terlalu
diperlukan mulai menghilang, dan organ yang dibutuhkan muncul sesuai dengan keinginan mereka sendiri!
Siapa saja dengan pengetahuan biologi sekecil apapun akan tahu bahwa kebutuhan kita tidak
membentuk organ kita. Sejak teori Lamarck tentang pewarisan sifat dapatan ke generasi berikutnya
terbukti keliru, dengan kata lain telah satu abad atau lebih, hal tersebut merupakan fakta yang dikenal.
Namun ketika seseorang mengamati publikasi evolusionis, mereka terlihat masih berpikir sealur dengan
Lamarck. Jika Anda menggugat hal ini, mereka akan mengatakan “Tidak, kita tidak percaya pada
Lamarck. Yang kami katakan adalah bahwa kondisi alamiah memberi tekanan evolusi pada makhluk
hidup, dan bahwa akibatnya, sifat yang cocok akan terseleksi, dan dengan cara inilah spesies berevolusi.”
Namun di sinilah titik kritisnya: Apa yang disebut evolusionis sebagai “tekanan evolusi” tidak bisa
menjadikan makhluk hidup memperoleh sifat-sifat baru sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini karena dua
hal yang disebut sebagai mekanisme evolusi yang dianggap merespon tekanan ini, seleksi alam dan mutasi,
tidak bisa menghasilkan organ baru bagi hewan:
▪ Seleksi alam hanya bisa menyeleksi sifat-sifat yang telah ada, ia tidak bisa menciptakan sifat-sifat
baru.
▪ Mutasi tidak bisa menambahkan informasi genetis baru, ia hanya bisa merusak yang sudah ada.
Tidak ada mutasi yang telah teramati yang menambahkan informasi yang sama sekali baru dan berarti ke
dalam genom (dan karena itu membentuk organ atau struktur biokimia baru).
Jika kita melihat sekali lagi pada mitos National Geographic tentang paus berjalan yang janggal
berdasarkan fakta ini, kita akan melihat bahwa mereka sebenarnya menganut Lamarckisme yang masih
primitif. Melihat lebih dekat, penulis National Geographic, Douglas H. Chadwick “menggambarkan”
bahwa “Setiap paus dalam urutan adalah sedikit lebih ramping daripada model sebelumnya.” Bagaimana
satu perubahan morfologis bisa terjadi pada suatu spesies dari generasi ke generasi dalam satu arah
tertentu? Supaya hal itu bisa terjadi, perwakilan dari spesies dalam setiap “urutan“tersebut haruslah
mengalami mutasi untuk memendekkan lengan mereka, mutasi ini haruslah tidak membahayakan hewan
tersebut, jadi mutan tersebut haruslah memperoleh suatu keuntungan di atas yang normal, generasi
berikutnya, secara sangat kebetulan, haruslah mengalami mutasi serupa pada titik yang sama dari gennya,
hal ini haruslah berlangsung tanpa perubahan dari generasi ke generasi, dan semua hal di atas haruslah
terjadi secara kebetulan dan cukup lancar.
Jika seorang penulis National Geographic mempercayai hal tersebut, tentunya mereka juga akan
percaya pada seseorang yang mengatakan: “Keluarga saya senang terbang. Putra saya mengalami suatu
mutasi dan bentukan kecil seperti bulu burung tumbuh di bawah lengannya. Cucu saya akan mengalami
mutasi yang sama dan bulu tersebut akan bertambah. Hal ini akan terjadi dari generasi ke generasi, dan
akhirnya keturunan saya akan mempunyai sayap dan bisa terbang.” Kedua cerita tersebut sama-sama tidak
masuk akal.
Seperti yang telah kami sebutkan pada bagian awal, evolusionis memperlihatkan cerita khayal
bahwa kebutuhan makhluk hidup bisa dipenuhi oleh sebuah kekuatan ajaib di alam. Penetapan adanya
kehendak pada alam, sebuah kepercayaan yang ditemukan dalam kebudayaan animisme, dengan menarik
muncul kepermukaan di depan mata kita pada abad ke-21 dibalik kedok ”ilmiah.” Henry Gee, editor
majalah Nature dan seorang evolusionis terkemuka yang tak perlu dipertanyakan lagi, menunjukkan fakta
yang sama dan mengakui bahwa menjelaskan asal usul sebuah organ karena dibutuhkannya organ tersebut
adalah seperti mengatakan:
...hidung kita dibuat untuk menopang kacamata, maka jadilah kita memiliki kacamata. Maka ahli
biologi evolusi pun melakukan hal yang sama ketika mereka menjelaskan [asal usul] setiap struktur
sebagai hasil adaptasi pada kegunaannya yang sekarang namun pada saat yang sama gagal untuk mengakui
bahwa kebutuhan akan kegunaan yang sekarang tidak menjelaskan kepada kita tentang bagaimana sebuah
struktur berevolusi, atau tentu saja bagaimana sejarah evolusi sebuah struktur itu sendiri bisa
mempengaruhi bentuk dan sifat dari struktur tersebut.168

Struktur Khas Mamalia Laut


Untuk melihat kemustahilan dari skenario evolusionis pada mamalia laut, mari kita telaah secara
singkat beberapa ciri khas lainnya dari hewan ini. Ketika adaptasi yang harus terjadi pada mamalia darat
agar berevolusi menjadi mamalia laut ditelaah, bahkan kata “mustahil” pun kelihatannya tidak cukup.
Selama perubahan seperti itu, bahkan jika salah satu dari tahapan peralihan gagal terjadi, makhluk tersebut
tidak akan bisa bertahan hidup, dan ini akan mengakhiri keseluruhan proses tersebut. Adaptasi yang harus
dijalani mamalia laut selama peralihan ke air adalah sebagai berikut:
1. Penyimpanan-air: Tidak seperti hewan laut lainnya, mamalia laut tidak bisa
menggunakan air laut untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Mereka butuh air segar untuk bertahan
hidup. Meskipun informasi yang kita miliki tentang sumber air segar bagi mamalia laut terbatas, diyakini
bahwa mereka memakan organisme yang mengandung kadar garam relatif rendah (sekitar sepertiga dari air
laut). Oleh karena itu, bagi mamalia laut, peyimpanan air dalam tubuh mereka sangatlah penting. Itulah
sebabnya mengapa mereka memiliki mekanisme penyimpanan air yang mirip dengan yang dimiliki unta.
Seperti unta, mamalia laut tidak berkeringat; akan tetapi, ginjal mereka berfungsi secara sempurna,
menghasilkan urine teramat pekat yang membuat mereka mampu menghemat air. Dengan cara ini,
kehilangan air dicegah hingga batas minimum.
Desain dari penyimpanan air ini bisa terlihat bahkan pada hal-hal kecil. Sebagai contoh, induk paus
memberi makan anaknya dengan susu yang berbentuk padat seperti keju. Susu ini mengandung sepuluh
kali lebih banyak lemak dibandingkan susu manusia. Terdapat beberapa alasan kimiawi mengapa susu ini
mengandung begitu banyak lemak. Air dikeluarkan pada saat anak paus mencerna susu. Dengan cara ini,
induk mereka bisa memenuhi kebutuhan air anaknya tetapi dengan sedikit mungkin kehilangan air.
2. Penglihatan dan komunikasi: Mata lumba-lumba dan paus menjadikan mereka memiliki
penglihatan yang sangat tajam pada lingkungan yang berbeda-beda. Mereka mimiliki penglihatan
sempurna di air dan juga di luar air. Sedangkan hampir semua makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki
penglihatan yang terbatas di luar lingkungan alamiah mereka.
Mata mamalia laut dan darat canggihnya sedemikian mengagumkan. Di darat, mata menghadapi sejumlah
potensi bahaya. Itulah mengapa mata hewan darat memiliki kelopak untuk melindunginya. Di lautan,
ancaman terbesar bagi mata datang dari kadar garam yang tinggi dan tekanan arus. Untuk menghindari
tumbukan langsung dengan arus, mata ditempatkan di sisi kepala. Sebagai tambahan, suatu lapisan keras
melindungi mata hewan yang menyelam hingga amat dalam. Mata mamalia laut dilengkapi dengan piranti
canggih yang membuat mereka mampu melihat di ke dalaman laut di mana hanya terdapat sedikit cahaya.
Sebagai contoh, lensa mereka benar-benar bulat bentuknya, sementara pada retina mereka, sel batang (sel
yang sensitif terhadap cahaya) jauh lebih banyak daripada sel kerucut (sel yang sensitif terhadap warna dan
detil). Lebih jauh lagi, mata cetacea juga mengandung sebuah lapisan fosfor, yang juga membantu mereka
melihat dengan baik khususnya dalam kegelapan.
Meskipun demikian, penglihatan bukanlah kemampuan indera terpenting dari mamalia laut. Mereka
mengandalkan indera pendengaran lebih dari yang biasanya dilakukan mamalia darat. Cahaya adalah
utama bagi penglihatan, sementara pendengaran tidak memerlukan bantuan semacam itu. Banyak paus dan
lumba-lumba berburu di ke dalaman laut yang sama sekali gelap dengan menggunakan mekanisme sonar
yang mereka miliki. Paus bergigi, khususnya, “melihat” dengan gelombang suara. Sebagaimana yang
terjadi dengan gelombang cahaya pada sistem penglihatan, gelombang suara difokuskan untuk kemudian
dianalisa dan dicerna di otak. Ini memberikan informasi akurat bagi cetacea berkenaan dengan bentuk,
ukuran, kecepatan dan kedudukan dari benda di depannya. Sistem sonar ini benar-benar peka—sebagai
contoh, seekor lumba-lumba bisa merasakan seseorang yang terjun ke dalam laut. Gelombang suara juga
digunakan untuk menentukan arah dan untuk komunikasi. Sebagai contoh, dua paus yang terpisah ratusan
kilometer bisa berkomunikasi melalui suara.
Pertanyaan tentang bagaimana hewan-hewan ini menghasilkan suara yang membuat mereka mampu
menentukan arah atau berkomunikasi masih belum terpecahkan. Sejauh yang kita ketahui, satu ciri pada
tubuh lumba-lumba pantas mendapat perhatian khusus: yaitu, tengkorak hewan ini terisolasi dari suara,
suatu ciri yang melindungi otak dari gangguan bunyi yang terus menerus dan intensif.
Sekarang mari kita pikirkan pertanyaan berikut: Apakah mungkin semua ciri mengagumkan pada
mamalia laut ini menjadi ada melalui seleksi alam dan mutasi? Mutasi seperti apa yang bisa menghasilkan
sistem sonar pada tubuh lumba-lumba dan otak yang terisolasi dari suara? Mutasi seperti apa yang bisa
memungkinkan mata mereka mampu melihat di kegelapan air? Mutasi apa yang bisa menghasilkan
mekanisme yang memungkinkan penggunaan air paling efektif?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak akan ada akhirnya, dan evolusi tidak memiliki jawaban
bagi pertanyaan manapun. Sebagai gantinya, teori evolusi membuat suatu cerita yang tak bisa dipercaya.
Pikirkanlah segala kebetulan yang ada dalam semua cerita mengenai mamalia laut ini. Pertama-tama, ikan
secara kebetulan muncul di air. Selanjutnya, mereka melakukan peralihan ke darat semata-mata secara
kebetulan. Setelah itu, mereka berevolusi di darat menjadi reptilia dan mamalia, juga karena kebetulan
belaka. Akhirnya, terjadilah dengan begitu saja bahwa beberapa dari makhluk ini kembali ke air di mana
secara kebetulan mereka memperoleh semua ciri-ciri yang diperlukan untuk bertahan hidup di sana.
Bisakah teori evolusi membuktikan satu saja dari tahapan ini? Tentu saja tidak bisa. Jauh dari bisa
menjelaskan pernyataan ini secara keseluruhan, teori evolusi bahkan tidak bisa menunjukkan bagaimana
salah satu dari berbagai tahapan ini bisa terjadi.

Skenario Mamalia Laut itu Sendiri


Sejauh ini kita telah menelaah skenario evolusionis bahwa mamalia laut berevolusi dari mamalia
darat. Bukti ilmiah menunjukkan tidak ada hubungan antara dua mamalia darat (Pakicetus dan
Ambulocetus) yang diajukan evolusionis dalam permulaan cerita ini. Lalu bagaimana dengan bagian lain
dari skenario ini? Di sini, teori evolusi kembali berada dalam kesulitan besar. Teori ini mencoba
membangun hubungan kekerabatan antara Archaeocetea (paus kuno), mamalia laut yang diketahui telah
punah, dengan paus dan lumba-lumba hidup. Akan tetapi, ahli paleontologi evolusi, Barbara J. Stahl
mengakui bahwa, “ciri tubuh seperti ular dan gigi samping tajam yang unik ini memperjelas bahwa
archaeoceta ini tidak mungkin menjadi nenek moyang bagi paus moderen.”169
Penjelasan evolusionis mengenai asal usul mamalia laut menghadapi kebuntuan besar dalam bentuk
penemuan-penemuan di bidang biologi molekuler. Skenario evolusionis klasik beranggapan bahwa dua
kelompok utama paus, paus bergigi (Odontoceti) dan paus ber-baleen (Mysticeti), berevolusi dari satu
nenek moyang. Namun Michael Milinkovitch dari University of Brussels telah menentang pandangan ini
dengan teori baru. Ia menekankan bahwa anggapan ini, yang berdasarkan pada kemiripan anatomis, telah
terbantahkan oleh penemuan molekuler:
Hubungan evolusi di antara kelompok-kelompok utama cetacea menjadi lebih bermasalah karena
analisa morfologis dan molekuler mencapai kesimpulan yang sangat berbeda. Sesungguhnya, berdasarkan
pada tafsiran konvensional dari kumpulan data morfologis dan perilaku, paus bergigi yang ber-ekolokasi
(sekitar 67 spesies) dan paus ber-baleen yang makan dengan menyaring (10 spesies) dianggap sebagai dua
kelompok monofiletik yang berbeda… Di lain pihak, analisa filogenetik dari rangkaian DNA… dan asam
amino… bertentangan dengan pengelompokan taksonomi yang telah lama diterima ini. Satu kelompok
paus bergigi, paus sperm, terlihat lebih berkerabat dengan paus ber-baleen, yang secara morfologis jauh
berbeda, daripada dengan odontoceta yang lain.170
Singkatnya, mamalia laut tidak mengikuti skenario evolusi yang dipaksakan terhadap mereka.
Bertentangan dengan pernyataan ahli paleontologi, Hans Thewissen, yang berperan penting dalam
propaganda evolusionis mengenai asal usul mamalia laut, [berkata:] kita tidak melihat proses evolusi yang
didukung oleh bukti empiris, tetapi oleh bukti yang dipaksakan untuk sesuai dengan pohon kekerabatan
evolusi yang telah dikira-kira sebelumnya, meskipun banyak pertentangan di antara keduanya.
Apa yang kemudian muncul, jika bukti tersebut dilihat secara lebih obyektif, adalah bahwa
kelompok makhluk hidup yang berbeda muncul secara sendiri-sendiri di masa lampau. Ini adalah bukti
empiris yang nyata untuk menerima bahwa semua binatang ini telah diciptakan.

Kesimpulan
Semua penemuan yang telah kita telaah sejauh ini mengungkap bahwa spesies muncul di muka bumi
secara tiba-tiba dan sempurna, tanpa ada proses evolusi terlebih dahulu. Jika memang demikian, maka
inilah bukti nyata bahwa makhluk hidup telah diciptakan, seperti yang telah diakui oleh ahli biologi
evolusio Douglas Futuyama. Ingat ketika ia menulis: “Jika mereka memang muncul dalam keadaan yang
telah berkembang sempurna, mereka tentunya telah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang Maha
Kuasa.”171 Evolusionis, di lain pihak, mencoba menafsirkan urutan kemunculan makhluk hidup di muka
bumi sebagai bukti evolusi. Namun, karena proses evolusi semacam itu tidak pernah terjadi, urutan ini
hanya bisa diartikan sebagai suatu urutan penciptaan. Fosil-fosil mengungkap bahwa makhluk hidup
muncul di muka bumi pertama kali di laut, dan kemudian di daratan, diikuti oleh kemunculan manusia,
yang memiliki desain yang sempurna dan di atas semuanya.
KETIDAKABSAHAN PUNCTUATED
EQUILIBRIUM

Dalam bab sebelumnya, kita menelaah bagaimana rekaman fosil dengan jelas membantah hipotesis
teori Darwinis. Kita melihat bahwa berbagai kelompok makhluk hidup muncul secara tiba-tiba dalam
rekaman fosil, dan tetap sama selama jutaan tahun tanpa mengalami perubahan apapun. Penemuan besar
paleontologi ini menunjukkan bahwa makhluk hidup ada tanpa proses evolusi sebelumnya.
Fakta ini telah diabaikan selama bertahun-tahun oleh ahli paleontologi, yang tetap berharap bahwa
“bentuk peralihan” khayalan suatu hari akan ditemukan. Pada tahun 1970-an, beberapa ahli paleontolgi
menyadari bahwa ini adalah harapan tanpa dasar dan “celah” yang ada dalam rekaman fosil harus diterima
sebagai sebuah kenyataan. Namun demikian, karena para ahli paleontologi ini tidak mampu melepaskan
teori evolusi, mereka mencoba menjelaskan kenyataan ini dengan mengubah teori tersebut. Dengan
demikian lahirlah model evolusi “punctuated equilibrium (keseimbangan yang terganggu)”, yang
berbeda dari neo-Darwinisme dalam beberapa hal.
Model ini mulai dipromosikan secara gencar pada permulaan tahun 1970-an oleh ahli paleontoligi
Stephen Jay Gould dari Harvard University dan Niles Eldredge dari American Museum of Natural History.
Mereka menyimpulkan bahwa bukti yang dihadirkan oleh rekaman fosil menampakkan dua ciri dasar
yaitu:
1. Stasis (Kesetimbangan)
2. Kemunculan tiba-tiba172
Untuk menjelaskan dua fakta ini dengan teori evolusi, Gould dan Eldredge menyarankan bahwa
spesies hidup muncul tidak melalui serangkaian perubahan kecil, seperti yang dinyatakan Darwin, tetapi
melalui perubahan yang besar dan tiba-tiba.
Teori ini sebenarnya sebuah bentuk modifikasi dari teori “Monster yang menjanjikan” yang
diajukan oleh ahli paleontologi Jerman, Otto Schindewolf, pada tahun 1930-an. Schindewolf berpendapat
bahwa makhluk hidup berevolusi, tidak seperti yang diajukan oleh neo-Darwinisme, secara bertahap
melalui mutasi-mutasi kecil, tetapi secara tiba-tiba melaui mutasi raksasa. Ketika memberikan contoh bagi
teorinya, Schindewolf menyatakan bahwa burung pertama dalam sejarah telah muncul dari sebuah telur
reptil melalui mutasi yang sangat besar—dengan kata lain, melalui sebuah perubahan besar yang tidak
disengaja dalam struktur genetis.173 Menurut teori ini, beberapa hewan darat mungkin secara tiba-tiba
berubah menjadi paus raksasa melalui perubahan menyeluruh yang mereka alami. Teori Schindewolf yang
fantastis ini telah diterima dan dipertahankan oleh ahli genetika di Berkeley University, Richard
Goldschmidt. Tetapi teori ini sungguh tidak konsisten sehingga menyebabkannya dengan cepat diabaikan.
Faktor yang membuat Gould dan Eldredge mengambil kembali teori ini adalah, seperti yang telah
kita buktikan, bahwa rekaman fosil tidak sesuai dengan gagasan Darwinistik tentang evolusi setahap demi
setahap melalui perubahan kecil. Fakta adanya stasis dan kemunculan tiba-tiba dalam rekaman fosil
didukung secara empiris dengan sungguh baik sehingga mereka terpaksa harus kembali ke versi yang lebih
baik dari teori “monster yang menjanjikan” untuk menjelaskan keadaan tersebut. Artikel terkenal Gould
berjudul “Kembalinya Monster yang Menjanjikan” adalah sebuah pernyataan atas kemunduran yang
diharuskan ini.174
Tentunya, Gould dan Eldredge tidak mengulang begitu saja teori fantastis Schindewolf. Untuk
memberikan penampilan yang “ilmiah” bagi teori ini, mereka mencoba mengembangkan semacam
mekanisme bagi lompatan evolusi yang tiba-tiba ini. (Istilah yang menarik, “punctuated equilibrium,” yang
mereka pilih untuk teori ini adalah sebuah tanda dari perjuangan untuk memberikan teori ini pulasan
ilmiah) Pada tahun-tahun berikutnya, teori Gould dan Eldredge diterima dan disebarluaskan oleh beberapa
ahli paleontologi yang lain. Akan tetapi, teori evolusi punctuated equilibrium ini berlandaskan pada hal
yang lebih bertentangan dan tidak konsisten daripada teori evolusi neo-Darwinis.

Mekanisme Punctuated Equilibrium


Teori evolusi punctuated equilibrium ini, dalam bentuknya yang kini, beranggapan bahwa populasi
makhluk hidup tidak menunjukkan adanya perubahan dalam jangka waktu yang lama, tetapi tetap dalam
semacam kesetimbangan. Menurut sudut pandang ini, perubahan evolusi terjadi dalam rentang waktu yang
singkat dan dalam populasi yang sangat terbatas—artinya, kesetimbangan ini terbagi menjadi beberapa
perioda yang terpisah atau, dengan kata lain, “terganggu.” Karena populasi tersebut sangat kecil, mutasi
besar terpilih oleh seleksi alam dan alhasil memungkinkan munculnya spesies baru.
Sebagai contoh, menurut teori ini, satu spesies reptilia bertahan hidup selama jutaan tahun, tanpa
mengalami perubahan. Tetapi satu kelompok kecil reptilia ini entah bagaimana meninggalkan spesiesnya
dan mengalami serangkaian mutasi besar, dengan penyebab yang tidak begitu jelas. Mutasi-mutasi yang
menguntungkan dengan cepat menyebar dalam kelompok terbatas ini. Kelompok ini berevolusi dengan
cepat, dan dalam waktu singkat berubah menjadi spesies reptilia yang lain, atau bahkan mamalia. Karena
proses ini terjadi sangat cepat, dan dalam populasi yang kecil, sangat sedikit fosil bentuk peralihan yang
tersisa, atau mungkin tidak ada.
Jika melihat lebih dekat, teori ini sebenarnya diajukan untuk mengembangkan sebuah jawaban bagi
pertanyaan berikut, “Bagaimana bisa seseorang membayangkan sebuah jangka evolusi yang begitu
cepat sehingga tidak meninggalkan satu fosil pun?” Ada dua hipotesa dasar yang diterima ketika
mengembangkan jawaban ini:
1. bahwa mutasi makro—mutasi berskala luas yang membawa pada perubahan besar dalam
susunan genetis makhluk hidup—membawa keuntungan dan menghasilkan informasi genetis baru; dan
2. bahwa populasi hewan yang kecil memiliki potensi yang lebih besar bagi perubahan
genetis.
Akan tetapi, kedua hipotesa ini jelaslah tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

Kekeliruan tentang Mutasi Makro


Hipotesis pertama—bahwa mutasi makro terjadi dalam jumlah yang besar, dan memungkinkan
kemunculan spesies baru—bertentangan dengan fakta genetis yang telah diketahui.
Satu kaidah, yang diajukan oleh R. A. Fisher, salah satu ahli genetika terkenal abad yang lalu, dan
berdasarkan pengamatan, dengan jelas membantah hipotesis ini. Fisher menyatakan dalam bukunya The
Genetical Theory of Natural Selection bahwa kemungkinan satu mutasi tertentu akan menetap dalam
sebuah populasi adalah berbanding terbalik dengan pengaruhnya pada fenotipe. 175 Atau, dengan kata lain,
semakin besar mutasi, semakin kecil kemungkinan mutasi itu menjadi satu sifat tetap dalam kelompok
tersebut.
Tidak sulit untuk melihat alasan bagi hal ini. Mutasi, seperti yang telah kita lihat dalam bab-bab
sebelumnya, terdiri atas perubahan-perubahan serba kebetulan dalam kode genetik, dan tidak pernah
memberi pengaruh menguntungkan bagi data genetis organisme. Malah sebaliknya: individu yang
termutasi akan menderita penyakit dan kecacatan yang serius. Karenanya, semakin termutasi suatu
individu, semakin sedikit kesempatannya untuk bertahan hidup.
Ernst Mayr, penentang Darwinisme, membuat komentar berikut ini:
Terjadinya keganjilan genetis karena mutasi … memang benar-benar ada, tetapi peristiwa ini
sungguh mengerikan sehingga monster-monster ini hanya bisa disebut sebagai “tak bermasa depan”..
Mereka sungguh benar-benar tidak seimbang sehingga tidak akan memiliki kesempatan sekecil apapun
untuk menghindar dari dari disingkirkan melalui seleksi yang menstabilkan… semakin besar sebuah
mutasi mempengaruhi fenotipe, semakin besar kemungkinannya mengurangi kebugaran. Mempercayai
bahwa mutasi sebesar itu akan menghasilkan jenis baru yang bisa bertahan hidup, berkemampuan
menempati daerah adaptasi baru, adalah sama dengan mempercayai sebuah keajaiban … Menemukan
pasangan yang sesuai bagi ‘monster tak bermasa depan’ ini dan terjadinya isolasi reproduktif dari anggota
normal populasi induknya bagi saya terlihat sebagai kesulitan yang tidak dapat di atasi.176
Jelaslah bahwa mutasi tidak bisa menghasilkan perkembangan evolusi, dan fakta ini menempatkan
baik neo-Darwinisme dan teori evolusi punctuated equilibrium dalam kesulitan yang luar biasa. Karena
mutasi merupakan suatu mekanisme yang merusak, maka mutasi makro yang disampaikan oleh para
pendukung teori punctuated equilibrium seharusnya memiliki pengaruh merusak yang “makro.” Beberapa
evolusionis menempatkan harapan mereka pada mutasi pada gen-gen pengatur dalam DNA. Tetapi sifat
merusak yang berlaku pada mutasi lain, berlaku juga di sini, Permasalahannya adalah bahwa mutasi adalah
sebuah perubahan acak: setiap perubahan acak pada struktur sekompleks data genetik akan menghasilkan
sesuatu yang membahayakan.
Dalam buku mereka, The Natural Limits to Biological Change, ahli genetika Lane Lester dan ahli
biologi populasi Raymond Bohlin menggambarkan alur [pikiran] membuta yang diperlihatkan oleh
gagasan makromutasi:
Faktor umum yang muncul lagi dan lagi adalah bahwa mutasi tetaplah sumber utama dari semua
variasi genetik dalam model evolusi manapun. Setelah tidak puas dengan prospek akumulasi mutasi-mutasi
kecil, banyak orang beralih ke mutasi makro untuk menjelaskan asal usul sifat baru secara evolusi. Monster
yang menjanjikan dari Goldschmidt telah benar-benar kembali. Akan tetapi, walaupun mutasi makro
dari berbagai varietas menghasilkan perubahan besar, sebagian besar tidak akan mampu bertahan
hidup, apalagi menunjukkan tanda-tanda pertambahan kompleksitas. Jika mutasi gen-gen struktural
tidak memadai karena ketidakmampuan mereka mengahasilkan perubahan yang cukup berarti, maka
mutasi [pada gen-gen] pengatur dan pertumbuhan bahkan terlihat lebih tidak bermanfaat karena
kemungkinan munculnya dampak yang tidak adaptif atau bahkan merusak akan lebih besar… Tetapi satu
hal yang terlihat pasti: pada saat ini, gagasan bahwa mutasi, besar ataupun kecil, bisa menghasilkan
perubahan biologi yang tidak terbatas adalah lebih seperti sebuah keyakinan daripada fakta.177
Baik penelitian maupun percobaan keduanya menunjukkan bahwa mutasi tidak memperbaiki data
genetik, tetapi malah merusaknya. Oleh karena itu, jelas tidak masuk akal jika para pendukung teori
punctuated equilibrium mengharapkan sukses dari “mutasi” yang lebih besar daripada yang telah
diharapkan oleh neo-Darwinis.

Kesalahpahaman Tentang Populasi Terbatas


Konsep kedua yang ditekankan oleh para pendukung teori punctuated equilibrium adalah “populasi
terbatas.” Dengan ini, yang mereka maksudkan adalah bahwa kemunculan spesies baru terjadi dalam
komunitas yang sangat sedikit jumlah tumbuhan atau hewannya. Menurut pernyataan ini, populasi besar
hewan tidak menunjukkan perkembangan evolusi dan menjaga “stasis” mereka. Tetapi kelompok-
kelompok kecil biasanya terpisah dari komunitas ini, dan kelompok “terisolasi” ini hanya kawin di antara
mereka sendiri. (Hal ini diduga biasanya disebabkan oleh keadaan geografis.) Mutasi makro diharapkan
paling efektif dalam kelompok kecil, yang saling kawin antar sesamanya semacam itu, dan seperti itulah
bagaimana “pembentukan spesies” yang cepat dapat terjadi.
Tetapi mengapa para pendukung teori punctuated equilibrium begitu bersikeras pada konsep
populasi terbatas? Alasannya jelas. Tujuan mereka adalah untuk memberikan penjelasan atas ketiadaan
bentuk peralihan dalam rekaman fosil.
Akan tetapi, percobaan dan pengamatan ilmiah yang dilakukan dalam tahun-tahun belakangan ini
telah mengungkap bahwa berada dalam populasi yang terbatas bukanlah suatu keuntungan dari sudut
pandang genetika, tetapi malah suatu kerugian. Alih-alih berkembang sedemikian rupa untuk
memunculkan spesies baru, populasi kecil malah membawa pada kerusakan genetik yang serius.
Alasannya adalah bahwa dalam populasi terbatas individu haruslah terus menerus kawin dalam keragaman
genetik yang sempit. Dengan alasan ini, individu yang biasanya heterzigot menjadi semakin homozigot. Ini
berarti bahwa gen cacat yang biasanya resesif menjadi dominan, dan hasilnya adalah meningkatnya
kecacatan dan penyakit genetik dalam populasi.178
Untuk menguji permasalahan ini, sebuah studi selama 35 tahun telah dilakukan pada populasi kecil
ayam yang saling kawin antar sesamanya. Diitemukan bahwa individu-individu ayam menjadi semakin
lemah dari sisi genetik dari waktu ke waktu. Produksi telur mereka menurun dari 100 ke 80 persen
individu, dan kesuburan mereka menurun dari 93 menjadi 74 persen. Tetapi ketika ayam-ayam dari
kelompok lain ditambahkan ke dalam populasi ini, kecenderungan genetik yang melemah ini menjadi
terhenti dan bahkan berbalik. Dengan pemasukan gen-gen baru dari luar kelompok terbatas tersebut,
akhirnya indikator kesehatan populasi menjadi kembali normal.179
Penelitian ini dan penemuan-penemuan serupa lainnya dengan jelas telah mengungkap bahwa
pernyataan oleh para pendukung teori punctuated equilibrium bahwa populasi-populasi kecil adalah
sumber evolusi, tidak memiliki kekuatan ilmiah.

Kesimpulan
Penemuan-penemuan ilmiah tidak mendukung pernyataan teori evolusi punctuated equilibrium.
Pernyataan bahwa organisme dalam populasi kecil bisa berevolusi dengan cepat melalui mutasi makro
sebenarnya bahkan kurang meyakinkan daripada model evolusi yang diajukan oleh kebanyakan neo-
Darwinis.
Lalu, mengapa teori ini menjadi begitu populer dalam tahun-tahun belakangan? Pertanyaan ini bisa
dijawab dengan melihat pada perdebatan di antara komunitas Darwinis. Hampir semua pendukung teori
evolusi punctuated equilibrium adalah ahli paleontologi. Kelompok ini, dipimpin oleh beberapa ahli
paleontologi terkenal semacam Steven Jay Gould, Niles Eldredge, dan Steven M. Stanley, yang melihat
dengan jelas bahwa rekaman fosil menyangkal teori evolusi. Akan tetapi, mereka teah mengkondisikan diri
mereka sendiri untuk percaya pada evolusi, apapun masalahnya. Jadi dengan alasan ini mereka beralih
kepada teori punctuated equilibrium sebagai satu-satunya cara untuk menjelaskan, meskipun hanya
sebagian, fakta-fakta rekaman fosil.
Di sisi lain, ahli genetika, ahli zoologi, dan anatomi melihat bahwa tidak terdapat mekanisme di
alam yang bisa menghasilkan adanya “punctuatios (gangguan),” dan dengan alasan ini mereka bersikeras
mempertahankan model evolusi bertahap Darwinis. Ahli zoologi dari Oxford University, Richard
Dawkins, mengkritik dengan keras para pendukung model evolusi punctuated equilibrium, dan menuduh
mereka telah “menghancurkan kredibilitas teori evolusi.”
Hasil dari dialog orang-orang tuli ini adalah krisis ilmiah yang kini dihadapi teori evolusi. Kita
berurusan dengan mitos evolusi yang tidak sesuai dengan pengamatan atau penelitian, dan penemuan-
penemuan paleontologis. Setiap penggagas evolusionis mencoba mencari dukungan bagi teori ini dari
bidang keahlian masing-masing, tetapi kemudian menemui pertentangan dengan penemuan-penemuan dari
cabang ilmu pengetahuan yang lain. Beberapa orang mencoba memoles kebingungan ini dengan komentar-
komentar dangkal semacam “ilmu pengetahuan berkembang melalui pertentangan akdemis semacam ini.”
Akan tetapi, permasalahannya bukanlah bahwa semangat pertarungan para pelaku perdebatan ini dibawa
untuk menemukan teori ilmiah yang benar, tetapi permasalahan adalah bahwa spekulasi diutamakan secara
dogmatis dan tidak masuk akal untuk mempertahankan secara keras kepala teori yang jelas sekali salah.
Namun demikian, penggagas teori punctuated equilibrium tanpa disadari telah membuat suatu peran
penting bagi ilmu pengetahuan: Mereka telah menunjukkan dengan jelas bahwa rekaman fosil
bertentangan dengan konsep evolusi. Philip Johnson, salah satu pengkritik teori evolusi terkemuka di
dunia, telah menggambarkan Stephen Jay Gould, salah satu penggagas terpenting teori punctuated
equilibrium, sebagai “Gorbachev-nya Darwinisme.”180 Gorbachev berpikir bahwa ada kecacatan dalam
sistem tata negara Komunis Uni Soviet dan mencoba “mereformasi” sistem tersebut. Akan tetapi, masalah
yang Ia pikir cacat sebenarnya fundamental bagi sistem itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa komunisme
runtuh di tangannya.
Nasib yang sama akan segera terjadi pada Darwinisme dan model evolusi yang lain.
ASAL USUL MANUSIA

Darwin mengajukan penyataannya bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang yang
sama dalam bukunya The Descent of Man, terbitan tahun 1871. Sejak saat itu hingga sekarang, para
pengikut jalan Darwin telah mencoba mendukung pernyataannya. Tatapi meskpun berbagai penelitian
telah dilakukan, pernyataan mengenai “evolusi manusia” tidak didukung oleh penemuan ilmiah yang
nyata, khususnya dalam hal fosil.
Kebanyakan masyarakat awam tidak menyadari kenyataan ini, dan berfikir bahwa pernyataan
evolusi manusia didukung oleh banyak bukti yang kuat. Penyebab adanya opini yang keliru ini adalah
bahwa permasalahan ini sering dibahas dalam media dan dihadirkan sebagai fakta yang terbukti. Tetapi
yang benar-benar ahli dalam masalah ini menyadari bahwa tidak ada landasan ilmiah bagi pernyataan
evolusi manusia. David Pilbeam, ahli paleoanthropologi dari Harvard University, mengatakan:
Jika Anda mengundang seorang ilmuwan dari bidang ilmu yang lain dan menunjukkan padanya
sedikitnya bukti yang kita miliki ia tentu akan mengatakan, “Lupakan saja; itu tidak cukup untuk
diteruskan.”181
Dan William Fix, seorang penulis sebuah buku penting dalam bidang paleoanthropologi,
berkomentar:
Seperti yang telah kita lihat, ada banyak ilmuwan dan orang-orang populer saat ini yang memiliki
nyali untuk mengatakan bahwa ‘tidak ada keraguan’ tentang bagaimana manusia berasal. Jika saja mereka
memiliki bukti…182
Pernyataan evolusi ini, yang “miskin akan bukti,” memulai pohon kekerabatan manusia dengan satu
kelompok kera yang telah dinyatakan membentuk satu genus tersendiri, Australopithecus. Menurut
pernyataan ini, Australopithecus secara bertahap mulai berjalan tegak, otaknya membesat, dan ia melewati
serangkaian tahapan hingga mencapai tahapan manusia sekarang (Homo sapiens). Tetapi rekaman fosil
tidak mendukung skenario ini. Meskipun dinyatakan bahwa semua bentuk peralihan ada, terdapat
rintangan yang tidak dapat dilalui antara jejak fosil manusia dan kera. Lebih jauh lagi, telah terungkap
bahwa spesies yang digambarkan sebagai nenek moyang satu sama lain sebenarnya adalah spesies masa itu
yang hidup pada periode yang sama. Ernst Mayr, salah satu pendukung utama teori evolusi abad ke-20,
berpendapat dalam bukunya One Long Argument bahwa “khususnya [teka-teki] bersejarah seperti asal usul
kehidupan atau Homo sapiens, adalah sangat sulit dan bahkan mungkin tidak akan pernah menerima
penjelasan akhir yang memuaskan.”183
Tetapi apakah landasan gagasan evolusi manusia yang diajukan oleh para evolusionis? Ialah adanya
banyak fosil yang dengannya para evolusionis bisa membangun tafsiran-tafsiran khayalan. Sepanjang
sejarah, telah hidup lebih dari 6.000 spesies kera, dan kebanyakan dari mereka telah punah. Saat ini, hanya
120 spesies yang hidup di bumi. Enam ribu atau lebih spesies kera ini, di mana sebagian besar telah punah,
merupakan sumber yang melimpah bagi evolusionis.
Di lain pihak, terdapat perbedaan yang berarti dalam susunan anatomi berbagai ras manusia.
Terlebih lagi, perbedaannya semakin besar antara ras prasejarah, karena seiring dengan waktu ras manusia
setidaknya telah bercampur satu sama lain dan terasimilasi. Meskipun demikian, perbedaan penting masih
terlihat antara berbagai kelompok populasi yang hidup di dunia saat ini, seperti, sebagai contoh, ras
Scandinavia, suku pigmi Afrika, Inuits, penduduk asli Australia, dan masih banyak lagi yang lain.
Tidak terdapat bukti untuk menunjukkan bahwa fosil yang disebut hominid oleh ahli paleontologi
evolusi sebenarnya bukanlah milik spesies kera yang berbeda atau ras manusia yang telah punah. Dengan
kata lain, tidak ada contoh bagi satu bentuk peralihan antara manusia dan kera yang telah ditemukan.
Setelah semua penjelasan umum ini, sekarang mari kita telaah bersama hipotesis evolusi manusia.

Pohon Kekerabatan Manusia Yang Dibuat-Buat


Pernyataan Darwinis mendukung bahwa manusia moderen berevolusi dari sejenis makhluk yang
mirip kera. Selama proses evolusi tanpa bukti ini, yang diduga telah dimulai dari 5 atau 6 juta tahun yang
lalu, dinyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk peralihan antara manusia moderen dan nenek
moyangnya. Menurut skenario yang sungguh dibuat-buat ini, ditetapkanlah empat kelompok dasar sebagai
berikut:
1. Australophithecines (berbagai bentuk yang termasuk dalam genus Australophitecus)
2. Homo habilis
3. Homo erectus
4. Homo sapiens
Genus yang dianggap sebagai nenek moyang manusia yang mirip kera tersebut oleh evolusionis
digolongkan sebagai Australopithecus, yang berarti “kera dari selatan.” Australophitecus, yang tidak lain
adalah jenis kera purba yang telah punah, ditemukan dalam berbagai bentuk. Beberapa dari mereka lebih
besar dan kuat (“tegap”), sementara yang lain lebih kecil dan rapuh (“lemah”)
Para evolusionis menggolongkan tahapan selanjutnya dari evolusi manusia sebagai genus Homo,
yaitu “manusia.” Menurut pernyataan evolusionis, makhluk hidup dalam kelompok Homo lebih
berkembang daripada Australopithecus, dan tidak begitu berbeda dengan manusia moderen. Manusia
moderen saat ini, yaitu spesies Homo sapiens, dikatakan telah terbentuk pada tahapan evolusi paling akhir
dari genus Homo ini. Fosil seperti “Manusia Jawa,” “Manusia Peking,” dan “Lucy,” yang muncul dalam
media dari waktu ke waktu dan bisa ditemukan dalam media publikasi dan buku acuan evolusionis,
digolongkan ke dalam salah satu dari empat kelompok di atas. Setiap pengelompokan ini juga dianggap
bercabang menjadi spesies dan sub-spesies, mungkin juga. Beberapa bentuk peralihan yang diusulkan
dulunya, seperti Ramapithecus, harus dikeluarkan dari rekaan pohon kekerabatan manusia setelah disadari
bahwa mereka hanyalah kera biasa.184
Dengan menjabarkan hubungan dalam rantai tersebut sebagai “Australopithecus > Homo Habilis >
Homo erectus > Homo sapiens,” evolusionis secara tidak langsung menyatakan bahwa setiap jenis ini
adalah nenek moyang jenis selanjutnya. Akan tetapi, penemuan terbaru ahli paleoanthropologi
mengungkap bahwa australopithecines, Homo habilis dan Homo erectus hidup di berbagai tempat di bumi
pada saat yang sama. Lebih jauh lagi, beberapa jenis manusia yang digolongkan sebagai Homo erectus
kemungkinan hidup hingga masa yang sangat moderen. Dalam sebuah artikel berjudul “Latest Homo
erectus of Java: Potential Contemporaneity with Homo sapiens ini Southeast Asia,” dilaporkan bahwa fosil
Homo erectus yang ditemukan di Jawa memiliki “umur rata-rata 27 ± 2 hingga 53.3 ± 4 juta tahun yang
lalu” dan ini “memunculkan kemungkinan bahwa H. erectus hidup semasa dengan manusia beranatomi
moderen (H. sapiens) di Asia tenggara”185
Lebih jauh lagi, Homo sapiens neanderthalensis (manusia Neanderthal) dan Homo sapiens sapiens
(manusia moderen) juga dengan jelas hidup bersamaan. Hal ini sepertinya menunjukkan ketidakabsahan
pernyataan bahwa yang satu merupakan nenek moyang bagi yang lain.
Pada dasarnya, semua penemuan dan penelitian ilmiah telah mengungkap bahwa rekaman fosil tidak
menunjukkan suatu proses evolusi seperti yang diusulkan para evolusionis. Fosil-fosil, yang dinyatakan
sebagai nenek moyang manusia oleh evolusionis, sebenarnya bisa milik ras lain manusia atau milik spesies
kera.
Lalu fosil mana yang manusia dan mana yang kera? Apakah mungkin salah satu dari mereka
dianggap sebagai bentuk peralihan? Untuk menemukan jawabannya, mari kita lihat lebih dekat pada setiap
kelompok.

Australopithecus
Kelompok pertama, genus Australopithecus, berarti “kera dari selatan,” seperti yang telah kita
katakan. Diperkirakan makhluk ini pertama kali muncul di Afrika sekitar 4 juta tahun yang lalu, dan hidup
hingga 1 juta tahun yang lalu. Terdapat banyak spesies yang berlainan di antara Australopithecine.
Evolusionis beranggapan bahwa spesies Australopithecus tertua adalah A. afarensis. Setelah itu muncul A.
africanus, dan kemudian A. robustus, yang memiliki tulang relatif lebih besar. Khusus untuk A. Boisei,
beberapa peneliti menganggapnya sebagai spesies lain, sementara yang lainnya sebagai sub-spesies dari A.
Robustus.
Semua spesies Australopithecus adalah kera punah yang mirip dengan kera masa kini. Volume
tengkorak mereka adalah sama atau lebih kecil daripada simpanse masa kini. Terdapat bagian menonjol
pada tangan dan kaki mereka yang mereka gunakan untuk memanjat pohon, persis seperti simpanse saat
ini, dan kaki mereka terbentuk untuk mencengkeram dan bergelantung pada dahan pohon. Banyak
karakteristik yang lain—seperti detail pada tengkorak mereka, dekatnya jarak antara kedua mata, gigi
geraham yang tajam, struktur rahang, lengan yang panjang, dan kaki yang pendek—merupakan bukti
bahwa makhluk ini tidaklah berbeda dengan kera masa kini. Namun demikian, evolusionis menyatakan
bahwa, meskipun australopithecine memiliki anatomi kera, mereka berjalan tegak seperti manusia, tidak
seperti kera.
Pernyataan bahwa australopithecine berjalan tegak ini adalah suatu pendapat yang dipegang oleh
ahli paleoanthropologi seperti Richard Leakey dan Donald C. Johnson selama beberapa dasawarsa. Namun
banyak ilmuwan yang melakukan banyak penelitian pada struktur tengkorak australopithecine telah
mengungkap ketidakabsahan dari pendapat tersebut. Penelitian luas terhadap berbagai spesimen
Australopithecus oleh dua ahli anatomi terkenal dari Inggris dan Amerika, Lord Solly Zuckerman dan Prof.
Charles Oxnard, menunjukkan bahwa makhluk ini tidak berjalan tegak seperti manusia. Setelah
mempelajari tulang-tulang fosil makhluk ini selama 15 tahun atas dana dari pemerintah Inggris, Lord
Zuckerman dan timnya yang terdiri dari lima orang spesialis, mencapai kesimpulan bahwa
australopithecine hanyalah spesies kera biasa, dan sama sekali tidak berjalan tegak, walaupun
Zuckerman sendiri adalah seorang evolusionis.186 Bersamaan dengan itu, Charles E. Oxnard, seorang ahli
anatomi evolusi yang terkenal di bidangnya, juga mempersamakan struktur rangka australopithecine
dengan orang utan moderen.187
Bahwa Australopithecus tidak bisa dijadikan sebagai nenek moyang manusia belakangan ini telah
diterima oleh sumber-sumber evolusionis. Majalah ilmiah populer terkenal dari Perancis, Science et Vie,
menjadikan hal ini sebagai sampul depan edisi Mei 1999. Dengan tajuk “Adieu Lucy (Selamat tinggal
Lucy)”—Lucy merupakan contoh fosil terpenting dari spesies Australopithecus afarensis—majalah
tersebut melaporkan bahwa kera-kera spesies Australopithecus seharusnya disingkirkan dari pohon
kekerabatan manusia. Dalam artikel ini, berdasarkan pada penemuan satu lagi fosil Australopithecus yang
dikenal sebagai St W573, kalimat yang muncul adalah sebagai berikut:
Sebuah teori baru menyatakan bahwa genus Australopithecus bukanlah cikal bakal ras
manusia… Hasil ini didapat dari satu-satunya wanita yang diberi kewenangan untuk meneliti, St W573
berbeda dari teori normal berkenaan dengan nenek moyang manusia: ini meruntuhkan pohon kekerabatan
hominid. Primata besar, yang dianggap sebagai nenek moyang manusia, telah dihilangkan dari susunan
pohon kekerabatan ini… Australopithecus dan spesies Homo (manusia) tidak muncul dalam cabang yang
sama. Nenek moyang langsung manusia masih menunggu untuk ditemukan.188

Homo habilis
Kemiripan besar antara rangka dan struktur tengkorak dari australopithecine dan simpanse, serta
ditolaknya pernyataan bahwa makhluk ini berjalan tegak, telah menyebabkan kesulitan besar bagi ahli
paleoanthroppologi evolusi. Alasannya adalah, sesuai dengan skema evolusi rekaan, Homo erectus muncul
setelah Australopithecus. Sebagaimana yang tersirat dari nama genusnya, Homo (berarti “manusia”),
Homo erectus adalah spesies manusia, dan kerangkanya tegak. Kapasitas tengkoraknya dua kali lebih besar
daripada Australopithecus. Peralihan langsung dari Australopithecus, kera yang mirip dengan simpanse, ke
Homo erectus, yang rangkanya tidak berbeda dengan manusia moderen, adalah tidak mungkin, bahkan
menurut teori evolusionis sekalipun. Oleh karena itu, dibutuhkan “penghubung”—yaitu, bentuk peralihan.
Gagasan mengenai Homo habilis muncul dari kebutuhan ini.
Pengelompokan Homo habilis diajukan pada tahun 1960 oleh keluarga Leakey, sebuah keluarga
“pemburu fosil.” Menurut Leakey, spesies baru ini, yang mereka kelompokkan sebagai Homo habilis,
memiliki kapasitas tengkorak yang relatif besar, kemampuan untuk berjalan tegak dan menggunakan
perkakas batu dan kayu. Oleh karena itu, ia mungkin merupakan nenek moyang manusia.
Fosil baru dari spesies yang sama yang digali pada akhir tahun 1980-an ternyata benar-benar
merubah pandangan ini. Beberapa peneliti, seperti Bernard Wood dan C. Loring Brace, yang bersandar
pada fosil baru ini, menyatakan bahwa Homo habilis (yang berarti “manusia terampil,” yaitu, manusia
yang mampu menggunakan perkakas), seharusnya digolongkan sebagai Australopithecus habilis, atau
“kera terampil dari selatan,” karena Homo habilis memiliki banyak ciri yang sama dengan kera
australopithecine. Ia memiliki lengan panjang, kaki pendek dan struktur rangka yang mirip kera persis
seperti Australopithecus. Jari tangan dan kakinya cocok untuk memanjat. Rahang mereka sangat mirip
dengan kera masa kini. Kapasitas rata-rata 600 cc tengkorak mereka juga menunjukkan bukti bahwa
mereka adalah kera. Singkatnya, Homo habilis, yang dihadirkan sebagai spesies tersendiri oleh para
evolusionis, pada kenyataannya adalah spesies kera sama seperti australopithecine yang lain.
Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun setelah penemuan Wood dan Brace menunjukkan bahwa
Homo habilis sebenarnya tidaklah berbeda dengan Australopithecus. Tengkorak dan kerangka fosil OH62
yang ditemukan oleh Tim White menunjukkan bahwa spesies ini memiliki kapasitas tengkorak yang kecil,
dan juga lengan yang panjang dan kaki yang pendek, yang memudahkan mereka memanjat pohon sama
seperti kera moderen.
Analisa terperinci yang dilakukan oleh ahli anthropologi Amerika, Holly Smith di tahun 1994
menunjukkan bahwa Homo habilis sama sekali bukanlah Homo atau, manusia, ,tetapi tak diragukan lagi
adalah seekor kera. Berbicara tentang analisa yang dilakukannya pada gigi Australopithecus, Homo habilis,
Homo erectus dan Homo neanderthalensis, Smith menyatakan sebagai berikut:
Dengan membatasi analisa fosil pada spesimen-spesimen yang memenuhi kriteria ini, pola
perkembangan gigi dari australopithecus yang mungil dan Homo habilis tetap segolongan dengan kera
Afrika. Sedangkan pola dari Homo erectus dan Neanderthal adalah segolongan dengan manusia.189
Pada tahun yang sama, Fred Spoor, Bernard Wood dan Frans Zonneveld, semuanya adalah ahli
anatomi, mencapai kesimpulan yang serupa melalui metode yang sama sekali berbeda. Metode ini
didasarkan pada analisa perbandingan saluran setengah lingkaran dari telinga dalam manusia dan kera,
[saluran] yang membuat mereka mampu menjaga keseimbangan. Spoor, Wood dan Zonneveld
menyimpulkan bahwa:
Di antara fosil hominid, spesies paling awal yang menunjukkan morfologi manusia moderen adalah
Homo erectus. Sebaliknya, bentuk dan ukuran saluran setengah lingkaran pada tengkorak dari Afrika
selatan yang dimiliki oleh Australopithecus dan Paranthropus mirip dengan yang dimiliki kera besar yang
masih ada saat ini.190
Spoor, Wood dan Zonneveld juga mempelajari spesimen Homo habilis, yang dinamakan Stw 53,
dan menemukan bahwa “Stw 53 lebih tidak mengandalkan perilaku berdiri di atas kedua kaki
dibandingkan australopithecine.” Ini berarti bahwa spesimen H. habilis lebih mirip kera daripada spesies
Australopithecus. Oleh karena itu mereka menyimpulkan bahwa “Stw 53 bukanlah merupakan bentuk
peralihan secara morfologis antara australopithecine dan H. erectus.”191
Penemuan ini membuahkan dua hasil penting:
1. Fosil yang disebut sebagai Homo habilis sebenarnya bukan tergolong genus Homo, atau
manusia, tetapi tergolong Australopithecus, atau kera.
2. Homo habilis dan Australopithecus adalah makhluk yang berjalan membungkuk ke depan
—jadi bisa dikatakan mereka memiliki kerangka seekor kera. Mereka sama sekali tidak memiliki
hubungan dengan manusia.

Kesalahpahaman tentang Homo rudolfensis


Istilah Homo rudolfensis adalah nama yang diberikan untuk beberapa potongan kecil fosil yang
tergali di tahun 1972. Spesies yang dianggap sebagai perwujudan fosil ini disebut sebgai Homo rudolfensis
karena potongan fosil ini ditemukan di sekitar danau Rudolf di Kenya. Kebanyakan ahli paleontologi
setuju bahwa fosil ini bukanlah milik spesies yang berbeda, tetapi makhluk yang disebut Homo rudolfensis
ini pada dasarnya tidak bisa dibedakan dari Homo habilis.
Richard Leakey, sang penemu fosil, menggambarkan tengkorak yang dinamai KNM-ER 1470, yang
dikatakannya berumur 2.8 juta tahun, sebagai penemuan terbesar dalam sejarah anthropologi. Menurut
Leakey, makhluk ini, yang memiliki kapasitas tengkorak kecil seperti Australopithecus dengan wajah yang
mirip dengan manusia masa kini, merupakan mata rantai yang hilang antara Australopithecus dan manusia.
Namun, tak berapa lama, diketahui bahwa wajah mirip manusia dari tengkorak KNM-ER 1470, yang
sering muncul pada sampul jurnal ilmiah dan majalah ilmiah populer, adalah hasil dari penyusunan
potongan-potongan tengkorak yang salah, yang mungkin saja memang disengaja. Profesor Tim Bromage,
yang melakukan kajian pada anatomi wajah manusia, mengungkap hal ini dengan bantuan simulasi
komputer pada tahun 1992:
Ketika [KNM-ER 1470] direkonstruksi untuk pertama kalinya, wajahnya dipaskan dengan
tengkorak dalam kedudukan yang hampir vertikal, amat mirip dengan wajah manusia moderen. Tetapi
kajian terbaru pada hubungan anatomis menunjukkan bahwa dalam kenyataan wajah tersebut pastilah
cukup menonjol, menghasilkan bentuk mirip kera, hampir seperti wajah Australopithecus.192
Ahli paleontologi evolusi, J. E. Cronin dalam hal ini menyatakan sebagai berikut: …wajah yang
dikonstruksi relatif lebih tegak, flattish naso-alveolar clivus, (merujuk pada wajah rata australopithecine),
lebar tengkorak yang maksimum (di bagian pelipis), gigi taring yang kuat dan geraham yang besar
(sebagaimana ditunjukkan oleh akar gigi yang tersisa) semuanya adalah sifat yang relatif primitif yang
menjadikan spesimen tersebut tergolong sebagai anggota kelompok A. africanus.193
C. Loring Brace dari Michigan Unversity muncul dengan kesimpulan yang sama. Sebagai hasil dari
analisa yang ia lakukan terhadap struktur rahang dan gigi tengkorak 1470, ia melaporkan bahwa “dari
ukuran langit-langit mulut dan pelebaran daerah yang menjadi tempat akar geraham, akan terlihat bahwa
ER 1470 sepenuhnya masih memiliki wajah dan gigi seukuran Australopithecus.”194
Profesor Alan Walker, seorang ahli paleoanthropologi dari John Hopkins University yang telah
melakukan penelitian terhadap KNM-ER 1470 sebagaimana Leakey, mengatakan bahwa makhluk ini
seharusnya tidak digolongkan sebagai anggota Homo—atau sebagai spesies manusia—tetapi lebih tepat
ditempatkan dalam genus Australopithecus.
Singkatnya, penggolongan semacam Homo habilis atau Homo rudolfensis, yang dihadirkan sebagai
rantai peralihan antara australopithecine dan Homo erectus, seluruhnya hanyalah rekaan. Telah diakui oleh
banyak peneliti saat ini bahwa makhluk ini adalah anggota kelompok Australopithecus. Semua ciri
anatomis mereka mengungkap bahwa mereka adalah spesies kera.
Fakta ini telah dibuktikan lebih jauh oleh dua ahli anthropologi evolusionis, Bernard Wood dan
Mark Collard, yang penelitiannya diterbitkan pada tahun 1999 dalam majalah Science. Wood dan Collard
menjelaskan bahwa taksa Homo habilis dan Homo rudolfensis (tengkorak 1470) adalah rekaan, dan bahwa
fosil yang dikatakan termasuk dalam kategori ini seharusnya dimasukkan ke dalam genus
Australopithecus.
Labih baru lagi, fosil spesies telah ditetapkan sebagai Homo berdasarkan ukuran absolut otaknya,
perkiraan tentang kemampuan berbahasa dan fungsi tangan, serta pengamatan tentang kemampuan mereka
menghasilkan perkakas batu. Hanya dengan sedikit pengecualian, definisi dan penggunaan genus ini dalam
evolusi manusia, dan pembatasan Homo, telah diperlakukan seolah-olah tidak ada yang dipermasalahkan.
Tetapi …data terbaru, tafsiran baru atas bukti yang ada, dan keterbatasan dari catatan paleoanthropologi
membantah kriteria yang ada yang dipakai untuk menentukan suatu taksa sebagai Homo… Dalam
prakteknya, fosil spesies hominid ditetapkan sebagai Homo berdasarkan salah satu atau lebih dari empat
kriteria. ...Namun, telah jelas sekarang bahwa tak satu pun kriteria ini yang memuaskan. Cerebral Rubicon
dipermasalahkan karena kapasitas absolut tengkorak dipertanyakan artinya secara biologis. Demikian juga,
terdapat bukti yang kuat bahwa kemampuan berbahasa tidak bisa dengan pasti diperkirakan dari
penampakan luar otak, dan bahwa bagian yang berhubungan dengan bahasa pada otak tidaklah diketahui
tempatnya dengan baik seperti yang ditunjukkan oleh kajian-kajian sebelumnya...
…Dengan kata lain, dengan ditetapkannya H. habilis dan H. rudolfensis sebagai anggotanya, genus
Homo bukanlah genus yang bagus. Oleh karena itu, H. habilis dan H. rudolfensis (atau Homo habilis sensu
lato bagi mereka yang tidak mengikuti pengelompokan taksonomik “Homo awal”) seharusnya dihilangkan
dari Homo. Alternatif taksonomi yang jelas, yaitu memindahkan satu atau dua kelompok tadi pada salah
satu genus hominid awal yang ada, bukanlah tanpa masalah, tetapi kami menyarankan bahwa, untuk saat
ini baik H. habilis dan H. rudolfensis seharusnya dipindahkan ke genus Australopithecus.196
Kesimpulan Wood dan Collard membenarkan kesimpulan yang telah kita tekankan di sini: “nenek
moyang primitif manusia” tidak ada dalam sejarah. Makhluk yang dianggap sebagai nenek moyang
manusia sebenarnya adalah kera yang seharusnya masuk ke dalam genus Australopithecus. Rekaman fosil
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan evolusi antara kera punah ini dengan Homo, yaitu. spesies
manusia yang muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil.

Homo erectus
Menurut skema ‘indah’ yang diajukan oleh evolusionis, evolusi internal dari genus Homo adalah
sebagai berikut: Pertama Homo erectus, kemudian apa yang disebut sebagai Homo sapiens “kuno” dan
manusia Neanderthal (Homo sapiens neanderthalensis), dan akhirnya manusia Cro-Magnon (Homo
sapiens sapiens). Akan tetapi semua pengelompokan ini sebenarnya hanyalah variasi dan ras-ras yang khas
dalan keluarga manusia. Perbedaan antara mereka tidak lebih besar daripada perbedaan antara suku Inuit
dengan suku Afrika, atau suku pygmi dengan orang Eropa.
Mari kita kaji terlebih dahulu Homo erectus, yang dikatakan sebagai spesies manusia paling primitif.
Seperti yang tersirat dalam namanya, Homo erectus berarti “manusia yang berjalan tegak.” Evolusionis
harus memisahkan fosil-fosil ini dengan yang sebelumnya dengan menambahkan ciri “ketegakan,” karena
semua fosil Homo erectus yang ada benar-benar tegak dan tidak terlihat dalam spesimen australopithecine
atau yang dikatakan sebagai Homo habilis. Tidak ada perbedaan kerangka di luar tengkorak antara
manusia moderen dengan yang dimiliki oleh Homo erectus.
Alasan utama evolusionis mendefinisikan Homo erectus sebagai “primitif” adalah kapasitas otak
tengkorak mereka (900 – 1.100 cc), yang lebih kecil daripada rata-rata manusia moderen, dan alis mata
tebal mereka yang menonjol. Akan tetapi, banyak orang yang hidup saat ini di bumi yang memiliki
kapasitas tengkorak yang sama dengan Homo erectus (suku pygmi, contohnya) dan ras lain memiliki alis
yang menonjol (penduduk asli Australia, misalnya). Ada fakta yang secara umum disetujui bahwa
perbedaan pada kapasitas tengkorak tidak selalu menunjukkan perbedaan dalam kecerdasan dan
kemampuan. Kecerdasan lebih bergantung pada organisasi internal otak, daripada volumenya.197
Fosil yang telah membuat Homo erectus terkenal diseluruh dunia adalah fosil dari manusia Peking
dan manusia Jawa di Asia. Namun kemudian disadari bahwa kedua fosil ini tidak dapat dipercaya. Manusia
Peking tersusun atas beberapa elemen buatan yang mana aslinya telah hilang, dan manusia Jawa tersusun
atas pecahan tulang tengkorak ditambah tulang panggul yang ditemukan beberapa meter darinya tanpa ada
petunjuk bahwa potongan ini berasal dari makhluk yang sama. Inilah mengapa fosil Homo erectus yang
ditemukan di Afrika semakin dianggap penting. (Perlu dicatat bahwa beberapa fosil yang dikatakan
sebagai Homo erectus dimasukkan di bawah spesies kedua yang dinamakan Homo ergaster oleh beberapa
evolusionis. Terdapat pertentangan di antara para ahli dalam hal ini. Kita akan memperlakukan semua
fosil-fosil ini di bawah kelompok Homo erectus.)
Spesimen Homo erectus paling terkenal yang ditemukan di Afrika adalah fosil “Homo erectus
Narikotome,” atau “Turkana Boy,” yang ditemukan di dekat Danau Turkana di Kenya. Dipastikan bahwa
fosil ini adalah dari seorang anak laki-laki berusia 12 tahun ini, yang mungkin tingginya 1.83 meter saat
dewasa. Struktur rangka tegak dari fosil ini tidak ada bedanya dengan manusia moderen. Ahli
paleoanthropologi Amerika, Alan Walker, mengatakan bahwa Ia meragukan jika “rata-rata ahli
pa[leon]tologi bisa mengatakan adanya perbedaan antara kerangka fosil tersebut dengan kerangka manusia
moderen.” Mengenai tengkoraknya, Walker menulis bahwa Ia tertawa ketika melihatnya karena “ia mirip
sekali dengan Neanderthal.”198 Seperti yang akan kita lihat pada bab selanjutnya, Neanderthal adalah ras
manusia moderen.
Bahkan evolusionis Richard Leakey menyatakan bahwa perbedaan antara Homo erectus dan
manusia moderen tidak lebih dari variasi ras:
Seseorang juga akan melihat perbedaan: pada bentuk tengkorak, pada besarnya tonjolan wajah,
[tulang] alisnya yang kokoh dan seterusnya. Perbedaan ini mungkin tidak lebih nyata daripada yang
kita lihat saat ini antara ras manusia moderen yang dipisahkan secara geografis. Variasi biologis
semacam ini muncul ketika populasi terpisah secara geografis satu sama lain dalam jangka waktu yang
cukup lama.199
Profesor William Laughlin dari University of Connecticut melakukan pemeriksaan anatomis yang
luas atas suku Inuit dan penduduk kepulauan Aleut, dan melihat bahwa orang-orang ini benar-benar serupa
dengan Homo erectus. Kesimpulan yang dicapai Laughlin adalah bahwa semua ras yang berlainan ini pada
dasarnya merupakan ras-ras Homo sapiens (manusia moderen):
Ketika kita memperhatikan perbedaan besar yang terlihat antara kelompok yang saling berjauhan
seperti Eskimo dan Bushmen, yang diketahui sebagai satu spesies Homo sapiens, kelihatannya wajar untuk
menyimpulkan bahwa Sinanthropus [suatu spesimen erectus] tergolong ke dalam spesies yang beragam
ini.200
Adalah merupakan fakta yang semakin nyata dalam komunitas ilmiah saat ini bahwa Homo erectus
adalah pengelompokan yang tidak diperlukan dan bahwa fosil ini dikatakan sebagai kelas Homo erectus
sebenarnya tidaklah begitu berbeda dari Homo sapiens untuk dianggap sebagai spesies yang berbeda.
Dalam majalah American Scientist, diskusi mengenai hal ini dan hasil dari konferensi yang diadakan
tentang hal ini pada tahun 2000 diringkaskan sebagai berikut:
Sebagian besar peserta pada konferensi Senckenberg larut dalam debat panas mengenai status
taksonomi Homo erectus, dimulai oleh Milford Wolpoff dari University of Michigan, Alan Thorne dari
University of Canberra dan kolega mereka. Mereka dengan kuat berpendapat bahwa Homo erectus tidak
memiliki keabsahan sebagai satu spesies dan seharusnya dihilangkan sama sekali. Semua anggota genus
Homo, dari sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga sekarang, adalah spesies Homo sapiens yang sangat
bervariasi dan menyebar luas tanpa ada pemutusan atau pembagian alami. Subyek dari konferensi ini,
Homo erectus, tidak ada.201
Kesimpulan yang dicapai oleh para ilmuwan yang mempertahankan pendapat di atas bisa
disimpulkan sebagai berikut “Homo erectus bukanlah spesies yang berbeda dengan Homo sapiens, tetapi
lebih merupakan satu ras dalam Homo sapiens.” Di lain pihak, ada celah besar antara Homo erectus, ras
manusia, dan kera yang mendahului Homo erectus dalam skenario “evolusi manusia” (Australopithecus,
Homo habilis, dan Homo rudolfensis). Ini berarti bahwa manusia pertama muncul dalam rekaman fosil
secara tiba-tiba dan tanpa adanya sejarah evolusi yang mendahului.

Neanderthal: Anatomi dan Kebudayaan Mereka


Neanderthal (Homo neanderthalensis) adalah manusia yang secara tiba-tiba muncul 100.000 tahun
yang lalu di Eropa, dan kemudian menghilang, atau terasimilasi dengan ras yang lain, dengan tenang tetapi
cepat sekitar 35.000 tahun yang lalu. Satu-satunya perbedaan mereka dari manusia moderen adalah bahwa
rangka mereka lebih tegak dan kapasitas tengkorak mereka sedikit lebih besar.
Neanderthal adalah satu ras manusia, sebuah fakta yang diakui oleh hampir semua orang saat ini.
Para evolusionis telah dengan keras mencoba untuk menghadirkan mereka sebagai “spesies primitif,”
namun semua penemuan menunjukkan bahwa mereka tidak berbeda dengan seorang manusia ‘kekar’ yang
berlalu-lalang di jalan saat ini. Seorang ahli terkemuka dalam hal ini, Erik Trinkaus, seorang
paleoanthropologi, dari New Mexico University, menulis:
Perbandingan yang teliti dari sisa-sisa kerangka Neanderthal dengan manusia moderen telah
menunjukkan bahwa tidak ada satupun dalam anatomi Neanderthal yang secara meyakinkan
menunjukkan kemampuan bergerak, berkarya, intelektual, atau berbahasa yang lebih rendah daripada
manusia moderen.202
Banyak peneliti masa kini mendefinisikan manusia Neanderthal sebagai subspesies dari manusia
moderen, dan menyebutnya Homo sapiens neanderthalensis.
Disisi lain, rekaman fosil menunjukkan bahwa Neanderthal memiliki kebudayaan yang telah maju.
Salah satu contoh yang paling menarik adalah seruling yang terfosilkan buatan orang-orang Neanderthal.
Seruling ini, terbuat dari tulang paha seekor beruang, ditemukan oleh arkeolog Ivan Turk dalam sebuah
gua di Utara Yugoslavia pada bulan Juli 1995. Ahli musik Bob Fink kemudian menelitinya. Fink
membuktikan bahwa seruling ini, yang menurut test karbon radioaktif berusia antara 43,000 dan 67,000
tahun, menghasilkan empat nada serta memiliki nada setengah dan nada penuh. Penemuan ini
menunjukkan bahwa Neanderthal telah menggunakan skala tujuh nada, ramuan dasar dari musik barat.
Fink, yang mengkaji seruling tersebut, menyatakan bahwa “jarak antara lubang kedua dan ketiga pada
seruling tua ini adalah dua kali dari jarak antara yang ketiga dan keempat.” Ini berarti bahwa jarak pertama
mewakili nada penuh, dan jarak disebelahnya adalah nada setengah. Fink mengatakan, “Tiga nada ini…
adalah tdak bisa tidak adalah diatonis dan akan dengan sempurna berbunyi tepat dalam skala diatonis
acuan manapun, moderen maupun antik.” Hal tersebut mengungkap bahwa Neanderthal adalah orang
dengan telinga dan pengetahuan musik.203
Beberapa penemuan fosil lain menunjukkan bahwa Neanderthal mengubur orang yang telah mati,
merawat yang sakit, serta menggunakan kalung dan perhiasan serupa.204
Sebuah jarum jahit berusia 26,000 tahun, yang terbukti telah digunakan oleh orang-orang
Neanderthal, juga ditemukan selama penggalian fosil. Jarum ini, yang terbuat dari tulang, sangat lurus dan
memiliki sebuah lubang untuk dilalui benang.205 Orang yang memakai pakaian dan membutuhkan sebuah
jarum jahit tidak bisa dianggap “primitif.”
Penelitian terbaik pada kemampuan membuat perkakas Neanderthal adalah yang dilakukan Steven
L. Kuhn dan Mary C. Stiner, yang secara berturut-turut, seorang profesor antrophologi dan arkeologi, ,
pada University of New Mexico. Walaupun kedua orang ilmuwan ini adalah pendukung teori evolusi, hasil
dari penelitian dan analisa arkeologis mereka menunjukkan bahwa Neanderthal yang hidup di dalam gua
pada pantai barat daya Italia selama ribuan tahun melakukan aktifitas yang membutuhkan kapasitas berfikir
yang sama kompleksnya dengan manusia moderen saat ini.206
Kuhn dan Stiner menemukan sejumlah perkakas di dalam gua ini. Penemuan ini adalah alat
pemotong yang tajam dan runcing, termasuk mata tombak, yang dibuat dengan menipiskan secara hati-hati
lapisan di pinggiran batu. Membuat sisi tajam semacam ini dengan menipiskan lapisannya tak diragukan
lagi merupakan pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan dan keterampilan. Penelitian telah menunjukkan
bahwa salah satu permasalahan terpenting yang dihadapi dalam pekerjaan tersebut adalah pecah yang
terjadi sebagai hasil dari tekanan pada sisi batu tersebut. Dengan alasan ini, orang yang melakukannya
harus membuat mengukur dengan tepat besarnya tenaga yang digunakan untuk menjaga sisi-sisinya agar
tetap lurus dan sudut yang tepat untuk memukulnya, jika ia membuat sebuah perkakas yang tajam.
Margaret Conkey dari University of Carolina menjelaskan bahwa perkakas yang dibuat pada masa
sebelum Neanderthal juga dibuat oleh komunitas orang-orang cerdas yang sepenuhnya paham apa yang
mereka lakukan:
Jika anda melihat pada benda-benda yang dbuat oleh tangan-tangan manusia kuno, inti Levallois dan
lain-lain, itu bukanlah sesuatu yang main-main. Mereka memiliki pengetahuan terhadap bahan yang
mereka kerjakan dan memahami seluk beluknya.207
Singkatnya, penemuan ilmiah menunjukkan bahwa Neanderthal adalah satu ras manusia yang tidak
berbeda dari kita dalam tingkat kecerdasan dan keterampilan. Ras ini bisa jadi menghilang dari sejarah
dengan berasimilasi dan bercampur dengan ras yang lain, atau menjadi punah karena sesuatu hal yang
belum diketahui. Tetapi secara pasti mereka tidaklah “primitif” atau “setengah-kera.”

Homo sapiens Kuno, Homo heidelbergensis


dan Manusia Cro-Magnon
Homo sapien kuno adalah tahapan terakhir sebelum manusia masa kini dalam skema evolusi rekaan.
Kenyataannya, evolusionis tidak bisa berkata banyak tentang fosil-fosil ini karena terdapat hanya sedikit
sekali perbedaan antara mereka dan manusia moderen. Beberapa peneliti bahkan menyatakan bahwa wakil
dari ras ini masih hidup saat ini, dan menunjuk penduduk asli Australia sebagai contohnya. Seperti Homo
sapiens (kuno), penduduk asli Australia juga memiliki alis mata tebal yang menonjol, struktur rahang
bawah yang melengkung ke dalam, dan kapasitas tengkorak yang sedikit lebih kecil.
Kelompok yang dicirikan sebagai Homo heidelbergensis dalam literatur evolusionis pada
kenyataannya adalah sama dengan Homo sapiens kuno. Alasan mengapa dua istilah berlainan ini
digunakan untuk mendefinisikan tipe ras manusia yang sama adalah adanya perselisihan pendapat di antara
para evolusionis. Semua fosil yang dimasukkan di bawah kelompok Homo heidelbergensis menunjukkan
bahwa manusia yang secara anatomis sangat mirip dengan manusia Eropa moderen pernah hidup 500,000
bahkan 740,000 tahun yang lalu, di Inggris dan Spanyol.
Diperkirakan bahwa manusia Cro-Magnon hidup 30,000 tahun yang lalu. Ia memiliki tengkorak
berbentuk kubah dan dahi yang lebar. Tengkorak 1,600 cc-nya adalah di atas rata-rata manusia saat ini.
Tengkoraknya memiliki penonjolan alis mata yang tebal dan tonjolan tulang di bagian belakang yang
merupakan ciri dari manusia Neanderthal dan Homo erectus.
Walaupun Cro-Magnon dianggap sebagai salah satu ras Eropa, struktur dan volume tengkorak Cro-
Magnon terlihat sangat mirip dengan beberapa ras yang hidup di Afrika dan daerah tropis saat ini.
Bersandar pada kesamaan ini, diperkirakan bahwa Cro-Magnon adalah ras Afrika kuno. Beberapa ahli
paleoanthropologi yang lain menunjukkan bahwa Cro-Magnon dan ras Neanderthal bercampur satu sama
lain dan merupakan pendahulu bagi ras-ras yang ada saat ini.
Alhasil, tidak satu pun dari manusia ini adalah “spesies primitif.” Mereka merupakan manusia lain
yang pernah hidup pada jaman dulu dan bisa jadi telah berasimilasi dan bercampur dengan ras yang lain,
atau telah punah dan menghilang dalam sejarah.

Runtuhnya Pohon kekerabatan Manusia


Apa yang telah kita selidiki sejauh ini membentuk sebuah gambar yang jelas: Skenario “evolusi
manusia” sepenuhnya hanyalah fiksi. Agar pohon kekerabatan seperti itu bisa menggambarkan kebenaran,
suatu evolusi bertahap dari kera ke manusia harus terjadi dan suatu rekaman fosil dari proses ini
seharusnya bisa ditemukan. Namun demikian, pada kenyataannya terdapat celah lebar antara kera dan
manusia. Struktur rangka, kapasitas tengkorak, dan kriteria-kriteria seperti berjalan tegak atau
membungkuk kedepan membedakan manusia dari kera. (Kita telah menyebutkan bahwa berdasarkan pada
penelitian terbaru yang dilakukan pada tahun 1994 pada telinga bagian dalam, Australopithecus dan Homo
habilis digolongkan sebagai kera, sementara Homo erectus digolongkan sebagai manusia moderen
sepenuhnya.)
Satu lagi penemuan penting lain yang membuktikan bahwa tidak mungkin ada hubungan
kekerabatan antara berbagai spesies ini adalah bahwa spesies yang digambarkan sebagai nenek moyang
dari yang lain pada kenyataannya hidup bersamaan. Jika, seperti yang dinyatakan evolusionis,
Australopithecus berubah menjadi Homo habilis, yang kemudian berubah menjadi Homo erectus, jaman di
mana mereka hidup seharusnya berurutan satu sama lain. Akan tetapi, tidak terlihat adanya urutan
kronologis semacam itu dalam rekaman fosil.
Menurut perkiraan evolusionis, Australopithecus pernah hidup dari 4 juta tahun hingga 1 juta tahun
yang lalu. Makhluk yang digolongkan sebagai Homo habilis, di lain pihak, diperkirakan pernah hidup 1.7
hingga 1.9 juta tahun yang lalu. Homo rudolfensis, yang dikatakan telah lebih “maju” daripada Homo
habilis, diketahui berusia sekitar 2.5 hingga 2.8 juta tahun! Jadi bisa dikatakan Homo rudolfensis adalah
kira-kira 1 juta tahun lebih tua daripada Homo habilis, yang dianggap merupakan sebagai “nenek
moyangnya”. Di sisi lain, umur Homo erectus mundur sekitar 1.6 – 1.8 juta tahun yang lalu, yang berarti
bahwa Homo erectus telah muncul di bumi dalam rentang waktu yang sama dengan Homo habilis yang
dianggap sebagai nenek moyangnya.
Alan Walker memperkuat fakta ini dengan mengatakan bahwa “ada bukti dari Afrika Timur
mengenai adanya individu-individu Australopithecus kecil yang bertahan hingga sejaman, pertama, dengan
H. habilis, kemudian dengan H. erectus.”208 Louis Leakey telah menemukan fosil Australopithecus, Homo
habilis dan Homo erectus hampir berdekatan satu sama lain di daerah Olduvai Gorge, Tanzania, dalam
lapisan Bed II.209
Secara pasti, tidak terdapat silsilah semacam itu. Stephen Jay Gould, ahli paleontologi dari Harvard
University, menjelaskan jalan buntu yang dihadapi oleh evolusionis ini, meskipun ia sendiri seorang
evolusionis:
Apa lagi yang tersisa dari pijakan kita jika terdapat tiga garis keturunan hominid yang hidup
bersamaan (A. africanus, australopithecine kekar, dan H. habilis), tidak satu pun yang jelas-jelas
menurunkan yang lain? Terlebih lagi, tidak satu pun dari ketiganya yang memperlihatkan hubungan
evolusi selama kemunculan mereka di bumi.210
Ketika kita beranjak dari Homo erectus ke Homo sapiens, kita akan melihat lagi bahwa tidak ada
pohon kekerabatan untuk dibicarakan. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Homo erectus dan Homo
sapiens kuno terus hidup hingga 27,000 tahun dan bahkan hingga 10,000 tahun sebelum masa kita. Di rawa
Kow Australia, beberapa tengkorak Homo erectus berusia 13,000 tahun telah ditemukan. Di pulau Jawa,
ditemukan sisa Homo erectus berusia 27,000 tahun.
Salah satu penemuan paling mengejutkan dalam hal ini adalah fosil Homo erectus berumur 30,000
tahun, Neanderthal, dan Homo sapiens yang ditemukan di Jawa pada tahun 1996. Harian New York Times
menulis dalam berita utamanya: “Hingga sekitar dua dekade yang lalu, para ilmuwan membayangkan
silsilah manusia sebagai urutan rapi dari satu spesies ke spesies selanjutnya dan umumnya berpikir tidak
mungkin dua spesies ada dalam tempat atau waktu yang bersamaan.”212
Penemuan ini sekali lagi mengungkap ketidakabsahan dari skenario “pohon evolusi” berkenaan
dengan asal usul manusia.

Bukti Terbaru: Sahelanthropus tchadensis dan Mata Rantai


yang Hilang yang Tidak Pernah Ada
Bukti terakhir yang meruntuhkan pernyataan teori evolusi tentang asal usul manusia adalah fosil
baru Sahelantrophus tchadensis yang tergali di kota Chad, Afrika Tengah pada musim panas 2002.
Fosil ini seolah ‘meletakkan kucing di antara merpati’ bagi dunia Darwinisme. Dalam sebuah artikel
yang memberitakan penemuan ini, jurnal terkemuka Nature mengakui bahwa “Tengkorak yang baru
ditemukan bisa jagi menenggelamkan gagasan kita selama ini tentang evolusi manusia.”213
Daniel Lieberman dari Harvard University mengatakan bahwa “[Penemuan] ini akan memberikan
pengaruh seperti sebuah bom nuklir kecil.”214
Alasan untuk hal ini adalah bahwa meskipun fosil yang dibicarakan berumur 7 juta tahun, ia
memiliki struktur yang lebih “mirip-manusia” (menurut kriteria yang selama ini digunakan evolusionis)
daripada spesies kera Australopithecus berumur 5 juta tahun yang dianggap sebagai “nenek moyang tertua
manusia.” Ini menunjukkan bahwa hubungan evolusi yang dibangun antara spesies kera punah yang
didasarkan pada kriteria “kemiripan dengan manusia” yang sangat subjektif dan penuh perkiraan adalah
rekaan belaka.
John Whitfield, dalam artikelnya “Anggota Tertua Keluarga Manusia Ditemukan” yang diterbitkan
dalam jurnal Nature pada 11 Juli 2002, memperkuat pandangan ini dengan mengutip Bernard Wood,
seorang antropolog evolusionis dari George Washington University di Washington:
Ia [bernard Wood] berkata “Ketika saya masuk ke sekolah kedokteran pada tahun 1963, evolusi
manusia terlihat seperti tangga.” Tangga tersebut beranjak dari kera ke manusia melalui perubahan bentuk-
bentuk peralihan, masing-masing lebih tidak mirip kera daripada yang sebelumnya. Sekarang evolusi
manusia terlihat seperti semak. Kita telah mempunyai segudang fosil hominid… Bagaimana mereka
berhubungan satu sama lain dan yang mana, jika ada di antara mereka, adalah nenek moyang manusia
masih diperdebatkan.215
Komentar Henry Gee, editor senior Nature dan seorang ahli paleoanthropologi terkemuka, tentang
penemuan fosil kera terbaru ini sangatlah perlu diperhatikan. Dalam artikelnya yang diterbitkan oleh The
Guardian, merujuk pada debat mengenai fosil ini, Gee menulis:
Apapun hasilnya, tengkorak ini menunjukkan, untuk selamanya, bahwa gagasan lama tentang “mata
rantai yang hilang” adalah omong kosong… Seharusnya sekarang cukup jelas bahwa gagasan mata rantai
yang hilang, yang sebelumnya juga tidak kokoh, sekarang sepenuhnya tidak dapat dipertahankan.216

Sejarah Rahasia dari Homo sapiens


Fakta paling menarik dan penting yang mementahkan gagasan dasar dari pohon kekerabatan rekaan
teori evolusi adalah sejarah dari manusia moderen yang, tidak diduga, amat kuno. Penemuan
paleoanthropologis mengungkap bahwa manusia Homo sapiens yang terlihat sangat mirip dengan kita
telah hidup hingga 1 juta tahun yang lalu.
Adalah Louis Leakey, ahli paleoanthropologi evolusi terkenal, yang mengungkap penemuan pertama
mengenai hal ini. Pada tahun 1932, di daerah Kanjera sekitar Danau Victoria di Kenya, Leakey
menemukan beberapa fosil yang berasal dari jaman Pleistocene Tengah dan tidak berbeda dari manusia
moderen. Akan tetapi, Pleistocene Tengah adalah satu juta tahun yang lalu.217 Karena penemuan ini
menjungkirbalikkan pohon kekerabatan evolusionis, ia ditolak oleh beberapa paleoanthropolog evolusi.
Tetapi Leakey selalu bertahan bahwa perkiraannya benar.
Tepat ketika kontroversi ini hampir terlupakan, sebuah fosil yang tergali di Spanyol pada tahun 1995
mengungkap dengan cara yang luar biasa bahwa sejarah Homo sapiens jauh lebih tua dari anggapan
sebelumnya. Fosil tersebut ditemukan di dalam sebuah gua yang disebut Gran Dolina di daerah Atapuerca,
Spanyol, oleh tiga orang paleoanthropolog Spanyol dari University of Madrid. Fosil tersebut
menampakkan wajah seorang anak laki-laki berumur 11 tahun yang secara keseluruhan terlihat seperti
manusia moderen. Namun, telah berlalu 800.000 tahun sejak anak itu mati. Majalah Discover memuat
cerita ini secara lengkap pada edisi Desember 1997.
Fosil ini bahkan menggoyahkan keyakinan Juan Luis Arsuge Ferreras, yang memimpin penggalian
Gran Dolina. Ferrera berkata:
Kami berharap sesuatu yang besar, kokoh, dan raksasa—Anda tahu, sesuatu yang primitif…
Perkiraan kami dari fosil anak laki-laki berumur 800.000 tahun ini adalah sesuatu seperti Turkana Boy.
Namun apa yang kami temukan benar-benar wajah moderen… Bagi saya ini paling spektakuler—ini
adalah sesuatu yang menggoncangmu. Menemukan sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan seperti itu.
Bukan penemuan fosil; menemukan fosil tidak diharapkan juga, dan ini tidak masalah. Tetapi yang paling
luar biasa adalah menemukan sesuatu yang Anda kira berasal dari masa kini, di masa lampau. Ini seperti
menemukan sesuatu semacam—semacam kaset di Gran Dolina. Itu akan sangat mengejutkan. Kami tidak
berharap kaset dan alat perekam pada lapisan Pleistocene Bawah. Menemukan sebuah wajah
moderen 800.000 tahun yang lalu—ini adalah hal yang sama. Kami sangat terkejut ketika kami
melihatnya.218
Fosil ini menyingkap fakta bahwa sejarah Homo sapiens harus dimundurkan hingga 800.000 tahun
yang lalu. Setelah sembuh dari keterkejutan awal, evolusionis yang menemukan fosil tersebut memutuskan
bahwa fosil ini milik spesies yang berbeda, karena menurut pohon kekerabatan evolusi, Homo sapiens
tidak hidup pada 800.000 tahun yang lalu. Oleh karena itu, mereka membuat suatu spesies rekaan yang
disebut Homo antecessor dan memasukkan tengkorak Atapuerca ke dalam kelompok ini.
Pondok dan Jejak Kaki
Telah banyak penemuan yang menunjukkan bahwa Homo sapiens sebenarnya berasal lebih awal
dari 800.000 tahun. Salah satunya adalah penemuan oleh Louis Lleakey pada awal tahun 1970-an di
Olduvai Gorge. Di sini pada lapisan Bed II, Leakey menemukan bahwa spesies Australopithecus, Homo
habilis dan Homo erectus telah hidup pada waktu yang sama. Yang lebih menarik adalah struktur yang
ditemukan Leakey dalam lapisan yang sama (Bed II). Di sini, ia menemukan sisa sebuah pondok batu. Hal
yang tidak biasa dalam penemuan tersebut adalah bahwa konstruksi ini, yang masih dipakai di beberapa
tempat di Afrika, hanya mungkin dibangun oleh Homo sapiens! Jadi, menurut penemuan Leakey,
Australopithecus, Homo habilis, Homo erectus dan manusia moderen pastilah telah hidup bersama sekitar
1,7 juta tahun yang lalu.219 Penemuan ini sudah tentu membantah teori evolusi yang menyatakan bahwa
manusia moderen berevolusi dari spesies mirip-kera seperti Australopithecus.
Bahkan beberapa penemuan lain melacak asal usul manusia moderen kembali ke 1,7 juta tahun yang
lalu. Salah satu penemuan penting ini adalah jejak kaki yang ditemukan di Laetoli, Tanzania, oleh Mary
Leakey pada tahun 1977. Jejak kaki ini ditemukan pada lapisan yang diperkirakan berumur 3,6 juta tahun,
dan lebih penting lagi, jejak itu tidak berbeda dengan jejak kaki yang ditinggalkan oleh manusia jaman
sekarang.
Jejak kaki yang ditemukan oleh Mary Leakey kemudian diteliti oleh sejumlah ahli paleoanthropologi
terkenal, seperti Donald Johanson dan Tim White. Hasilnya tetap sama. White menulis:
Tidak ada kesalahan tetntangnya,… Mereka mirip dengan jejak kaki manusia moderen. Jika
jejak itu ditinggalkan di pasir pantai California saat ini, dan seorang anak berusia empat tahun ditanyai
jejak apakah itu, ia dengan segera akan mengatakan bahwa seseorang pernah berjalan di situ. Dia tidak
akan mampu membedakannya dengan ratusan jejak lain di pantai, tidak juga Anda.220
Setelah meneliti jejak kaki itu, Louis Robbins dari University of North Carolifornia berkomentar
sebagai berikut:
Telapaknya melengkung naik—individu yang lebih kecil memiliki lengkungan yang lebih tinggi
daripada saya—dan jempolnya besar dan sejajar dengan jari kedua… Jari-jari kakinya mencengkram tanah
sama seperti jari manusia. Anda tidak akan melihat hal ini pada hewan yang lain.221
Pengujian bentuk morfologis dari jejak kaki itu menunjukkan sekali lagi bahwa mereka harus
diterima sebagai jejak kaki manusia, dan terlebih lagi, manusia moderen (Homo sapiens). Russel Tuttle,
yang juga meneliti jejak kaki tersebut, menulis:
Sebuah kaki telanjang Homo sapiens bisa jadi telah membuatnya… Dalam semua ciri-ciri morfologi
yang terlihat, kaki dari individu yang telah membuat jejak ini tidak bisa dibedakan dari kaki
manusia moderen.222
Pengamatan jujur terhadap jejak kaki tersebut mengungkap siapa pemilik sebenarnya. Pada
kenyataannya, jejak kaki ini terdiri atas 20 fosil jejak kaki dari manusia moderen berusia 10 tahun dan 27
jejak kaki dari yang, bahkan, lebih muda. Mereka pastilah manusia moderen seperti kita.
Keadaan ini membawa jejak kaki Laetoli menjadi topik utama diskusi selama bertahun-tahun. Ahli
paleoanthropologi evolusi berusaha mati-matian untuk mengajukan suatu penjelasan, karena sulit bagi
mereka untuk menerima bahwa seorang manusia moderen telah berjalan di muka bumi sejak 3,6 juta tahun
yang lalu. Selama 1990-an, “penjelasan” berikut mulai memperoleh bentuk: Evolusionis memutuskan
bahwa jejak kaki ini pasti telah ditinggalkan oleh Australopithecus, karena menurut teori mereka, tidak
mungkin spesies Homo telah ada sejak 3,6 juta tahun yang lalu. Namun, Russel H. Tuttle menulis hal
berikut ini dalam sebuah artikel tahun 1990:
Singkatnya, fosil jejak kaki berumur 3,5 juta tahun di situs G, Lateoli mirip dengan manusia
moderen yang biasa tak beralas kaki. Tidak satu pun ciri-ciri mereka menunjukkan bahwa hominid Lateoli
memiliki kemampuan bipedal yang kurang daripada kita. Jika jejak kaki G tidak diketahui sangat
tuanya, kita akan dengan segera telah menyimpulkan bahwa mereka dibuat oleh anggota dari genus
kita, yaitu Homo… Apapun keadaannya, kita harus mengesampingkan anggapan rapuh bahwa jejak kaki
Laetoli dibuat oleh sejenis Lucy, Australopithecus afarensis.223
Singkatnya, jejak kaki yang diperkirakan berumur 3,6 juta tahun ini tidak mungkin milik
Australopithecus. Satu-satunya alasan mengapa jejak kaki tersebut dianggap sebagai peninggalan
Australopithecus adalah lapisan vulkanik berumur 3,6 juta tahun di mana jejak kaki tersebut ditemukan.
Jejak tersebut dianggap milik Australopithecus hanya berdasarkan pada anggapan bahwa manusia tidak
mungkin telah hidup sejak masa itu.
Penafsiran mengenai jejak kaki Laetoli ini menunjukkan satu fakta penting. Evolusionis mendukung
teori mereka tidak berdasarkan penemuan ilmiah, tetapi malah mengenyampingkannya. Di sini kita melihat
teori yang secara buta dipertahankan apapun yang terjadi, dengan mengabaikan atau membelokkan semua
penemuan baru yang menghadapkan teori ini pada keraguan.
Singkatnya, teori evolusi bukanlah ilmu pengetahuan, tetapi sebuah dogma yang dipelihara dengan
mengabaikan ilmu pengetahuan.

Permasalahan Bipedalisme
Terlepas dari rekaman fosil yang yang telah kita uraikan begitu jauh, perbedaan anatomis yang tidak
bisa dijembatani antara manusia dan kera juga membantah cerita fiksi evolusi manusia. Salah satunya
adalah berhubungan dengan cara berjalan.
Manusia berjalan tegak dengan dua kaki. Ini adalah cara berjalan yang sangat khas yang tidak
terlihat pada spesies mamalia yang lain. Beberapa hewan lain juga memiliki kemampuan terbatas untuk
berjalan sambil berdiri di atas dua kaki belakang mereka. Hewan seperti beruang dan kera bisa berjalan
dengan cara ini hanya pada saat-saat tertentu, seperti ketika mereka mencoba meraih sumber makanan, dan
ini pun hanya untuk waktu singkat. Secara normal, rangka mereka condong ke depan dan mereka berjalan
dengan empat kaki.
Lalu, apakah bipedalisme (berjalan di atas dua kaki) telah berevolusi dari gaya berjalan quadrupedal
(berjalan di atas empat kaki) kera, seperti yang dinyatakan oleh evolusionis?
Tentu saja tidak. Penelitian telah menunjukkan bahwa evolusi bipedalisme tidak pernah
terjadi, dan juga tidak mungkin terjadi. Pertama, bipedalisme bukanlah suatu keuntungan secara
evolusi. Cara kera bergerak adalah jauh lebih mudah, cepat, dan lebih efisien daripada cara bipedal
manusia. Manusia tidak bisa melompat dari pohon ke pohon tanpa jatuh ke tanah, seperti simpanse, tidak
juga lari dengan kecepatan 125 km per jam, seperti cheetah. Sebaliknya, karena manusia berjalan dengan
dua kaki, ia bergerak lebih lambat di atas tanah. Untuk alasan ini, manusia adalah spesies yang paling tidak
terlindungi di antara semua spesies di alam dalam hal pergerakan dan pertahanan. Menurut logika evolusi,
kera seharusnya tidak berevolusi untuk memperoleh cara berjalan bipedal; sebaliknya, manusialah yang
seharusnya berevolusi menjadi quadrupedal.
Satu lagi kebuntuan lain dari pernyataan evolusi adalah bahwa bipedalisme tidak sesuai dengan
model “perubahan bertahap” dari Darwinisme. Model ini, yang merupakan landasan evolusi,
mengharuskan adanya “gabungan” cara berjalan antara bipedalisme dan quadrupedalisme. Akan tetapi,
Robi Crompton, seorang dosen anatomi senior pada Liverpool University, dengan penelitiannya yang
menggunakan komputer pada tahun 1996, menunjukkan bahwa cara berjalan “gabungan” seperti itu tidak
mungkin. Crompton mencapai kesimpulan sebagai berikut: Makhluk hidup bisa berjalan tegak atau
dengan empat kaki.224 Cara berjalan antara keduanya adalah tidak mungkin karena akan menghabiskan
energi yang berlebihan. Inilah sebabnya mengapa cara berjalan setengah bipedal tidak mungkin ada.
Celah lebar antara manusia dan kera tidak terbatas hanya pada bipedalisme saja. Masih banyak
permasalahan lain yang belum terjelaskan, seperti kapasitas otak, kemampuan berbicara dan seterusnya.
Elaine Morgan, seorang paleoanthropolog evolusi, membuat pengakuan sebagai berikut berkenaan dengan
permasalahan ini:
Empat dari misteri yang paling tak terpecahkan tentang manusia adalah: 1) Mengapa mereka
berjalan dengan dua kaki? 2) Mengapa mereka tidak berbulu? 3) Mengapa mereka memiliki kapasitas otak
yang besar? 4) Mengapa mereka belajar berbicara?
Jawaban umum dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah: 1) Kita masih belum tahu, 2) Kita masih
belum tahu, 3) Kita masih belum tahu, 4) Kita masih belum tahu. Daftar pertanyaan tersebut bisa
diperpanjang tanpa mempengaruhi kesamaan jawabannya.225

Evolusi: Sebuah Kepercayaan yang Tidak Ilmiah


Lord Solly Zuckerman adalah salah satu ilmuwan paling terkenal dan dihormati di Inggris. Selama
bertahun-tahun, ia mempelajari rekaman fosil dan melakukan banyak penelitian mendalam. Ia telah
dihormati atas sumbangannya pada ilmu pengetahuan. Zuckerman adalah seorang evolusionis. Oleh karena
itu, komentarnya atas evolusi tidak bisa dianggap sebagai hal bodoh atau prasangka. Namun, setelah
penelitian bertahun-tahun pada fosil-fosil yang dimasukkan dalam skenario evolusi manusia ia mencapai
kesimpulan bahwa tidak ada kebenaran pada pohon kekerabatan yang diajukan.
Zuckerman juga mengajukan sebuah konsep menarik tentang “spektrum ilmu pengetahuan,” dengan
kisaran dari yang ia anggap bersifat ilmiah ke yang tidak ilmiah. Menurut spektrum Zukcerman, yang
paling “ilmiah”—yaitu berdasarkan pada data nyata—adalah kimia dan fisika. Setelahnya baru ilmu
biologi dan kemudian ilmu sosial. Pada ujung spekstrum, yang merupakan bagian yang paling “tidak
ilmiah,” adalah indera tambahan—konsep seperti telepati dan “indera keenam”—dan akhirnya evolusi
manusia. Zuckerman menjelaskan pemikirannya sebagai berikut:
Kemudian kita beranjak dari kebenaran obyektif ke daerah ilmu biologi yang penuh perkiraan,
seperti indera tambahan atau penafsiran sejarah fosil manusia, di mana bagi orang-orang yang setia
semuanya adalah mungkin – dan di mana penganut buta tersebut kadang-kadang bisa mempercayai
beberapa hal yang saling bertentangan pada saat yang sama.226
Robert Locke, editor Discovering Archaeology, sebuah terbitan penting mengenai asal usul manusia,
menulis dalam jurnal tersebut, “Pencarian terhadap nenek moyang manusia memberikan lebih banyak
pertanyaan daripada jawaban,” dengan mengutip pengakuan seorang paleoanthropolog evolusionis
terkenal, Tim White:
Kami semua frustasi dengan “semua pertanyaan yang belum bisa kami jawab.”227
Artikel Locke mengulas kebuntuan teori evolusi mengenai asal usul manusia dan tidak berdasarnya
propaganda yang disebarkan tentang permasalahan ini:
Mungkin tidak ada bidang ilmu yang lebih sering diperdebatkan daripada pencarian asal usul
manusia. Para ahli paleontologi terkemuka bahkan tidak menyepakati urutan dasar dari pohon kekerabatan
manusia. Cabang-cabang [spesies] baru muncul dengan sambutan besar hanya untuk layu dan hilang ketika
dihadapkan pada penemuan-penemuan fosil baru.228
Fakta yang sama juga baru-baru ini diterima oleh Henry Gee, editor dari jurnal terkenal, Nature.
Dalam bukunya In Search of Deep Time, yang diterbitkan tahun 1999, Gee menekankan bahwa semua
bukti bagi evolusi manusia “antara sekitar 10 dan 5 juta tahun yang lalu—beberapa ribu generasi makhluk
hidup–bisa dimasukkan ke dalam sebuh kotak kecil.” Ia menyimpulkan bahwa teori konvensional
mengenai asal usul dan perkembangan manusia adalah “sepenuhnya hanyalah rekaan manusia, yang dibuat
setelah melihat fakta, dibentuk untuk disesuaikan dengan prasangka manusia,’ dan menambahkan:
Untuk membuat sebuah urutan fosil dan menyatakan bahwa mereka mewakili suatu silsilah
bukanlah sebuah hipotesis ilmiah yang bisa diuji, tetapi sebuah pernyataan yang keabsahannya seperti
cerita pengantar tidur-menghibur, bahkan mungkin mendidik, tetapi tidak ilmiah.229
Seperti yang telah kita lihat, tidak ada penemuan ilmiah yang mendukung atau menopang teori
evolusi, hanya beberapa ilmuwan yang secara buta mempercayainya. Para ilmuwan ini mempercayai mitos
evolusi, walaupun tidak memiliki landasan ilmiah, dan juga membuat orang lain percaya dengan
menggunakan media, yang bekerja sama dengan mereka. Dalam halaman-halaman selanjutnya, kita akan
mengkaji beberapa contoh dari propaganda yang menipu yang dilontarkan atas nama evolusi ini.

Rekonstruksi yang Menipu


Bahkan jika evolusionis gagal dalam menemukan bukti ilmiah untuk mendukung teori mereka,
mereka sangat berhasil pada satu hal: propaganda. Bagian terpenting dari propaganda ini adalah usaha
menciptakan desain yang menipu yang dikenal sebagai “rekonstruksi.”
Rekonstruksi bisa dijelaskan sebagai membuat sebuah gambar atau membangun sebuah model dari
suatu makhluk hidup berdasarkan satu tulang—kadang hanya sebuah potongan—yang telah berhasil digali.
“Manusia kera” yang kita lihat di koran, majalah, dan film-film semuanya adalah rekonstruksi.
Karena fosil biasanya terpotong-potong dan tidak lengkap, setiap perkiraan berdasarkan fosil
tersebut akan sangat mungkin hanyalah perkiraan belaka. Kenyataannya, rekonstruksi (gambar atau model)
yang dibuat oleh evolusionis berdasarkan sisa fosil dipersiapkan secara kira-kira dan disesuaikan dengan
gagasan evolusi. David R. Pilbeam, seorang ahli antropologi terkenal dari Harvard menekankan fakta ini
ketika berkata, “Setidaknya dalam paleoanthropologi, data sungguh masih sangat jarang sehingga teori
sangat mempengaruhi penafsiran. Teori, di masa lampau, telah mencerminkan dengan jelas ideologi
yang kita anut daripada data sebenarnya.”230 Karena orang sangat terpengaruh oleh informasi visual,
rekonstruksi ini dengan sangat baik memenuhi tujuan evolusionis, yaitu untuk meyakinkan orang bahwa
makhluk-makhluk rekontruksi ini benar-benar ada di masa lalu.
Pada titik ini, kita harus menyoroti satu bagian penting: Rekonstruksi berdasarkan pada sisa tulang
hanya bisa mengungkap ciri paling umum dari makhluk hidup, karena ciri-ciri morfologi yang benar-benar
khas dari setiap hewan adalah jaringan lunak yang segera hancur setelah mereka mati. Oleh karena itu,
karena penafsiran jaringan lunak sifatnya penuh perkiraan, gambar atau model yang direkonstruksi menjadi
sepenuhnya tergantung pada imajinasi dari orang yang membuatnya. Enst A. Hooten dari Harvard
University menjelaskan keadaan ini sebagai berikut:
Berusaha merekonstruksi jaringan lunak adalah usaha yang lebih berresiko. Bibir, mata, telinga, dan
ujung hidung tidak meninggalkan bekas apapun pada tulang di bawahnya. Dengan bahan yang sama, Anda
bisa membuat dari tengkorak Neanderthal model dengan ciri-ciri simpanse atau roman muka
seorang pemikir. Yang diakui sebagai rekonstruksi manusia kuno ini memiliki nilai ilmiah yang sangat
sedikit, kalaupun ada, dan kemungkinan besar hanya akan menyesatkan masyarakat… Jadi, Anda
jangan mempercayai rekonstruksi.231
Kenyataannya, evolusionis membuat-buat cerita yang sungguh konyol sehingga mereka bahkan
memberikan wajah yang berbeda pada tengkorak yang sama. Sebagai contoh, tiga gambar rekonstruksi
berlainan yang dibuat untuk fosil yang dinamakan Australopithecus robustus (Zinjanthropus) adalah
contoh populer dari pengelabuan ini.
Penafsiran yang subyektif dari fosil dan pemalsuan dari berbagai rekonstruksi rekaan adalah sebuah
gambaran tentang betapa seringnya evolusionis mencari jalan keluar dengan pengelabuan. Namun
sepertinya ini tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan penipuan disengaja yang pernah dilakukan
dalam sejarah evolusi.
Tidak ada bukti fosil nyata untuk mendukung gambaran “manusia-kera,” yang tak henti-hentinya
disebarkan oleh media dan lingkungan akademis evolusionis. Dengan kuas di tangan mereka, evolusionis
menghasilkan makhluk-makluk rekaan; akan tetapi, fakta bahwa penggambaran ini tidak cocok dengan
fosil manapun merupakan permasalahan serius bagi mereka. Salah satu metode menarik yang mereka
terapkan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan “menciptakan” fosil yang tidak bisa mereka temukan.
Manusia Piltdown, yang mungkin merupakan skandal terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan, adalah
sebuah contoh dari metode ini.

Skandal Manusia Piltdown


Pada tahun 1912, seorang dokter terkenal yang juga ahli paleoanthropologi amatir bernama Charles
Dawson muncul dengan pernyataan bahwa ia telah menemukan tulang rahang dan potongan tengkorak
dalam sebuah lubang di Piltdown, Inggris. Walaupun tulang rahang ini lebih mirip kera, gigi dan
tengkoraknya mirip dengan manusia. Spesimen ini diberi nama “Manusia Piltdown.” Diakui berumur
500,000 tahun, ia ditampilkan sebagai sebuah bukti nyata dari evolusi manusia pada beberapa museum.
Selama lebih dari 40 tahun, banyak ditulis artikel ilmiah tentang “Manusia Piltdown,” banyak penafsiran
dan penggambaran telah dibuat, dan fosil ini ditampilkan sebagai bukti penting bagi evolusi manusia.
Tidak kurang dari 500 tesis doktor telah dtulis dalam masalah ini. 232 Ketika mengunjungi British Musem
pada tahun 1921, ahli paleontologi Amerika terkemuka, Henry Fairfiled Osborn, berkata “Kita harus selalu
ingat bahwa alam penuh dengan paradoks” dan menyatakan Piltdown “sebuah penemuan yang sangat
penting bagi prasejarah manusia.”233
Pada tahun 1949, Kenneth Oakley, dari Departemen Paleontologi British Museum, berusaha
menggunakan “uji fluorin,” sebuah tes baru yang digunakan untuk mengetahui umur fosil. Sebuah
percobaan dilakukan pada fosil manusia Piltdown. Hasilnya sangat mengejutkan. Selama pengujian,
disadari bahwa tulang rahang manusia Piltdown tidak mengandung fluorin. Ini menunjukkan bahwa tulang
ini terkubur tidak lebih dari beberapa tahun. Tengkoraknya, yang mengandung sedikit flourin,
menunjukkan bahwa ia hanya berumur beberapa ribu tahun.
Kemudian diketahui bahwa gigi pada tulang rahangnya, milik seekor orangutan, telah dibuat lebih
tua dan bahwa perkakas “primitif” yang ditemukan bersama fosil ini hanyalah tiruan sederhana yang telah
dipertajam dengan peralatan baja. Dalam analisa teliti oleh Joseph Weiner, pemalsuan ini diungkap ke
depan umum pada tahun 1953. Tengkorak tersebut adalah milik manusia berumur 500 tahun, dan tulang
rahangnys berasal dari kera yang baru saja mati! Giginys telah disusun secara khusus dalam susunan
tertentu dan ditambahkan pada rahang tersebut, dan permukaan geraham telah dihaluskan supaya
menyerupai geraham manusia. Kemudian semua potongan ini diwarnai dengan potasium dikromat untuk
memberi kesan tua pada mereka. Warna ini mulai menghilang ketika dimasukkan ke dalam larutan asam.
Sir Wilfred Le Gros Clark, yang termasuk dalam tim yang mengungkap penipuan ini, tidak bisa
menyembunyikan keheranannya atas hal ini, dan berkata: “Bukti-bukti goresan buatan dengan segera
terbuka di hadapan mata. Bahkan sungguh jelas terlihat, hingga perlu dipertanyakan—bagaimana mereka
bisa lepas dari pengamatan sebelumnya?”234 Setelah semua ini terungkap, “manusia Piltdown” dengan
segera dikeluarkan dari British Museum, di mana ia telah dipamerkan selama lebih dari 40 tahun.

Skandal Manusia Nebraska


Pada tahun 1922, Henry Fairfield Osborn, direktur American Museum of Natural History,
mengumumkan bahwa ia telah menemukan sebuah fosil gigi geraham yang berasal dari jaman Pliocene di
Nebraska Barat dekat Snake Brook. Gigi ini diakui memiliki ciri-ciri gabungan antara manusia dan kera.
Sebuah debat ilmiah yang luas segera terjadi seputar fosil ini, yang dinamai “manusia Nebraska,” di mana
beberapa menafsirkan gigi ini milik Pithecanthropus erectus, sementara yang lain menyatakan bahwa gigi
ini lebih serupa dengan milik manusia. Manusia Nebraska dengan segera juga diberi sebuah “nama
ilmiah,” Hesperopithecus haroldcooki.
Banyak ahli memberikan dukungan mereka kepada Osborn. Berdasarkan satu gigi ini, rekonstruksi
dari kepala manusia Nebraska dan tubuhnya digambarkan. Terlebih lagi, manusia Nebraska bahkan
digambarkan bersama dengan istri dan anaknya, sebagai sebuah keluarga dalam lingkungan yang alami.
Semua skenario ini dikembangkan hanya dari satu gigi. Lingkaran evolusionis menempatkan
kepercayaan yang sungguh-sungguh pada “manusia hantu” ini hingga ketika seorang peneliti bernama
William Bryan menentang kesimpulan subyektif yang hanya berdasarkan pada satu gigi ini, ia dikritik
dengan keras.
Pada tahun 1972, bagian lain dari kerangka tersebut juga ditemukan. Berdasarkan penemuan
potongan baru ini, gigi tersebut bukanlah milik manusia ataupun kera. Disadari bahwa gigi tersebut berasal
dari spesies babi liar Amerika yang telah punah yang dinamakan Prosthennops. William Gregory memberi
judul artikelnya yang diterbitkan dalam majalah Science dimana ia mengungkapkan kebenaran ini,
“Hesperopithecus Ternyata Bukan Seekor Kera ataupun Seorang Manusia.” Kemudian semua gambar
Hesperopithecus haroldcooki dan “keluarga” nya dengan segera dihapus dari literatur evolusionis.

Kesimpulan
Semua penipuan ilmiah dan pengkajian penuh rekaan yang dibuat untuk mendukung teori evolusi
menunjukkan bahwa teori ini adalah semacam ideologi, dan sama sekali tidak ilmiah. Seperti semua
ideologi, ia juga memiliki pendukung fanatik, yang berusaha mati-matian untuk membuktikan evolusi,
apapun caranya. Atau jika tidak mereka begitu terikat secara dogmatis pada teori ini sehingga setiap
penemuan baru dipandang sebagai bukti besar bagi teori tersebut, bahkan jika penemuan tersebut tidak
berhubungan sama sekali dengan evolusi. Ini benar-benar sebuah gambaran yang amat menyedihkan bagi
ilmu pengetahuan, karena ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sedang dijerumuskan atas nama
sebuah dogma.
Dalam bukunya Darwinism: The Refutation of a Myth, ilmuwan Swedia, Soren Lovtrup,
mengatakan hal sebagai berikut:
Saya kira tidak seorang pun akan menolak bahwa adalah sebuah kemalangan besar jika keseluruhan
cabang ilmu pengetahuan menjadi terikat pada teori yang keliru. Tetapi inilah yang terjadi dalam biologi;
hingga sekarang telah cukup lama orang membahas permasalahan evolusi dalam kosakata “Darwinian”
yang aneh—“adaptasi,” “tekanan seleksi,” “seleksi alam,” dll.—yang dengannya mempercayai bahwa
mereka berperan dalam menjelaskan fenomena-fenomena alam. Mereka tidak… Saya percaya bahwa suatu
hari mitos Darwinian akan diranking sebagai penipuan terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan.236
Bukti lebih jauh bahwa Darwinisme adalah penipuan terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan
diberikan oleh biologi molekuler.
BIOLOGI MOLEKULER DAN ASAL
USUL KEHIDUPAN

Pada bab-bab sebelumnya, kami telah menunjukkan bagaimana catatan fosil membantah teori
evolusi. Sebenarnya, tak perlu kami bercerita apa-apa soal fosil, sebab teori evolusi telah lama runtuh
sebelum orang sampai ke pernyataan apa pun tentang petunjuk fosil. Perihal yang sedari awal menjadikan
teori ini tidak bermakna adalah masalah cara kehidupan kali pertama muncul di muka bumi.
Ketika membahas masalah ini, teori evolusi menyatakan bahwa kehidupan berawal dari sebuah sel
yang terbentuk secara kebetulan. Menurut skenario ini, empat miliar tahun yang lalu, berbagai macam
senyawa kimia mengalami suatu reaksi di dalam atmosfer purba di bumi saat kekuatan petir dan tekanan
atmosfer mendorong terbentuknya sel hidup pertama.
Hal pertama yang mesti dikatakan adalah pernyataan bahwa zat-zat mati bisa bergabung membentuk
kehidupan sungguh sebuah pernyataan yang tak ilmiah, yang tak didukung oleh satu pun percobaan atau
pengamatan. Kehidupan hanya bangkit dari kehidupan. Setiap sel hidup terbentuk dari penggandaan sel
hidup lainnya. Tak seorang pun di dunia ini pernah berhasil membuat sebuah sel hidup dengan
menggabungkan zat-zat mati, bahkan di laboratorium tercanggih sekalipun.
Teori evolusi menyatakan bahwa sebuah sel hidup—yang tak bisa dihasilkan bahkan dengan
menyatukan segenap daya kecerdasan, ilmu pengetahuan, dan teknologi manusia—bagaimana juga
berhasil dibentuk secara kebetulan di dalam lingkungan purba di bumi. Pada halaman-halaman berikut, kita
akan menelaah mengapa pernyataan ini bertentangan dengan azas-azas paling dasar dari ilmu pengetahuan
dan nalar.

Sebuah Contoh Cara Berpikir “Kebetulan”


Jika orang meyakini bahwa sebuah sel hidup bisa mewujud secara kebetulan, maka tidak ada yang
menghalanginya dari memercayai cerita serupa yang akan kami uraikan berikut ini. Ini kisah sebuah kota.
Suatu hari, sebongkah tanah liat, yang terhimpit di antara bebatuan di sebidang lahan tandus,
menjadi basah sehabis hari hujan. Tanah liat basah itu mengering dan mengeras ketika matahari bersinar,
dan menjadi berbentuk kaku dan ulet. Setelah itu, bebatuan, yang juga bertindak sebagai cetakan, dengan
suatu cara hancur berkeping-keping, dan lalu sebiji batu bata yang rapi, bagus bentuknya, dan kuat,
muncul. Dalam keadaan alamiah yang sama, batu bata ini menunggu selama bertahun-tahun demi
terbentuknya batu bata lain yang serupa. Ini terus berlanjut hingga ratusan bahkan ribuan batu bata
terbentuk di lahan itu. Akan tetapi, secara kebetulan, tak satu pun batu bata yang sudah terbentuk rusak.
Meskipun terpapar badai, hujan, angin, matahari yang membakar, dan dingin yang mencekam selama
ribuan tahun, batu-batu bata ini tidak retak, pecah, atau tergeser, tetapi terus menunggu di tempat yang
sama dengan ketabahan yang sama demi terbentuknya batu bata berikutnya.
Ketika jumlahnya telah mencukupi, batu-batu bata mendirikan sebuah gedung dengan saling
menyusun diri ke samping dan ke atas, akibat terseret secara acak oleh kekuatan-kekuatan alam seperti
angin, badai, atau tornado. Sementara itu, bahan-bahan seperti semen atau campuran tanah terbentuk di
dalam “keadaan alamiah,” pada waktu yang tepat, dan menyelusup di antara batu-batu bata, lalu
merekatkan batu-batu itu. Selagi semua ini berlangsung, bijih besi di bawah tanah terbentuk di dalam
“keadaan alamiah” dan meletakkan pondasi bagi gedung yang akan dibangun batu-batu bata itu. Pada
tahap akhir proses ini, sebuah gedung yang utuh berdiri beserta segenap bahan-bahan, kusen-kusen kayu,
dan perangkat-perangkatnya.
Tentu saja, sebuah gedung tak hanya terdiri dari pondasi, batu bata, dan semen. Lalu, bagaimanakah
bahan-bahan yang belum ada harus diperoleh? Jawabannya sederhana: pelbagai bahan yang dibutuhkan
bagi pembangunan gedung ada di dalam bumi di tempatnya didirikan. Silikon untuk kaca, tembaga untuk
kabel listrik, besi untuk pilar, tiang, pipa air, dan lain-lain. Semua ada di bawah tanah dengan jumlah yang
melimpah. Hanya diperlukan keterampilan sang “keadaan alamiah” untuk membentuk dan menempatkan
bahan-bahan ini di dalam gedung. Semua perangkat, kusen kayu, dan pernak-pernik ditempatkan di antara
batu-batu bata dengan bantuan hembusan angin, hujan, dan gempa bumi. Semuanya berjalan begitu
sempurna sehingga batu bata tersusun dengan cara yang menyisakan ruang bagi jendela, seakan
mengetahui sesuatu yang disebut kaca nantinya akan dibentuk oleh keadaan alamiah. Terlebih lagi, batu-
batu ini tak lupa menyisakan sedikit ruang untuk menyisipkan perangkat-perangkat air, listrik, dan sistem
pemanas, yang nanti juga akan dibentuk oleh kebetulan. Semuanya berjalan demikian baik sehingga
“kebetulan” dan “keadaan alamiah” menghasilkan sebuah rancangan yang sempurna.
Jika Anda sejauh ini berhasil mempertahankan keyakinan Anda terhadap cerita ini, seharusnya Anda
tak menghadapi kesulitan memperkirakan bagaimana gedung-gedung lain, pabrik-pabrik, jalan-jalan raya,
trotoar-trotoar, bangunan-bangunan penunjang, sistem-sistem perhubungan dan pengangkutan kota
terwujud. Jika Anda berpengetahuan teknik dan fasih dalam masalah ini, Anda dapat menulis buku yang
amat “ilmiah” beberapa jilid untuk menguraikan teori-teori Anda tentang “proses evolusi sistem
pembuangan dan keserasiannya dengan bangunan-bangunan yang ada.” Anda mungkin akan diberi
penghargaan akademis bagi kajian yang Anda lakukan, dan boleh menganggap diri orang yang mumpuni
yang memberi pencerahan tentang sifat kemanusiaan.
Teori evolusi, yang menyatakan bahwa kehidupan mewujud secara kebetulan, tak kurang ganjilnya
dari kisah kami itu, sebab, dengan segenap sistem kerja, dan sistem-sistem perhubungan, pengangkutan,
dan pengelolaan, sebuah sel tidak kalah rumitnya dari sebuah kota. Di dalam bukunya Evolution: A Theory
in Crisis (Evolusi: Teori dalam Kegentingan), ahli biologi molekuler Michael Denton membahas struktur
rumit sel:
Untuk memahami keniscayaan kehidupan sebagaimana diungkapkan oleh biologi molekuler, kita
harus memperbesar sebuah sel ribuan juta kali hingga garis tengahnya mencapai 20 kilometer dan
menyerupai sebuah kapal udara raksasa yang cukup besar untuk menutupi sebuah kota raya sekelas
London atau New York. Yang akan kita lihat adalah sebuah benda dengan rancangan tiada tara rumitnya
dan mudah menyesuaikan diri. Di permukaan sel, kita akan melihat jutaan celah, bak jendela-jendela di
lambung kapal induk antariksa, membuka dan menutup untuk menjaga aliran zat keluar-masuk dengan
sinambung. Bila kita masuki salah satu celah ini, akan kita dapati diri kita di dalam dunia berteknologi
canggih dan kerumitan mencengangkan… Dapatkah dipercaya bahwa suatu proses yang acak telah
membangun keniscayaan ini, yang unsur terkecilnya—sepotong protein atau gen fungsional—rumit di
luar jangkauan pembayangan kita, keniscayaan yang bertolak belakang dengan kebetulan, yang
dalam segala hal melampaui apa pun yang dihasilkan kecerdasan manusia?237

Struktur dan Sistem-Sistem Rumit di dalam Sel


Struktur rumit sel hidup tidak diketahui di zaman Darwin dan pada saat itu, mengasalkan kehidupan
kepada “kebetulan dan keadaan alamiah” dipandang cukup meyakinkan oleh para evolusionis. Darwin
menggagas bahwa sel pertama dapat dengan mudah terbentuk “di dalam suatu kolam kecil yang hangat.”238
Seorang pendukung Darwin, ahli biologi Jerman Ernst Haeckel, meneliti di bawah mikroskop suatu
campuran lumpur yang dikeruk dari dasar laut oleh sebuah kapal penelitian, dan menyatakan bahwa inilah
zat-zat mati yang berubah menjadi hidup. Yang disebut “lumpur yang menjadi hidup” ini, dikenal sebagai
Bathybius haeckelii (lumpur Haeckel dari kedalaman), adalah sebuah tanda betapa sederhananya
kehidupan digagas oleh para pelopor teori evolusi.
Teknologi abad ke-20 telah menyelami hingga ke partikel terkecil kehidupan, dan mengungkapkan
bahwa sel adalah sistem paling rumit yang pernah ditemukan manusia. Saat ini, kita mengetahui bahwa sel
terdiri dari pembangkit-pembangkit daya yang menghasilkan tenaga untuk dipakai sel, pabrik-pabrik yang
menghasilkan enzim dan hormon yang penting bagi kehidupan, sebuah bank data tempat menyimpan
segenap informasi penting tentang semua yang harus dihasilkan, sistem-sistem dan pipa-pipa
pengangkutan rumit yang menyalurkan bahan-bahan mentah dan hasil-hasil dari satu tempat ke tempat
lainnya, laboratorium-laboratorium dan kilang-kilang canggih untuk menguraikan bahan-bahan mentah
dari luar menjadi bagian-bagian yang berguna, dan protein-protein membran sel khusus untuk mengatur
keluar-masuknya bahan. Dan semua ini membentuk hanya sebagian kecil dari sistem yang luar biasa rumit
ini.
W.H. Thorpe, seorang ilmuwan evolusionis, mengakui bahwa “Jenis sel yang paling dasar
membentuk sebuah ‘mekanisme’ yang tak terbayangkan lebih rumitnya daripada mesin apa pun yang
pernah dipikirkan, apalagi yang dibuat, oleh manusia.”239
Sel begitu rumit sampai-sampai bahkan taraf teknologi tinggi yang dicapai saat ini tak mampu
menghasilkannya satu saja. Tak satu pun upaya menciptakan sel buatan pernah berhasil. Malah, semua
upaya ke sana telah dihentikan.
Teori evolusi menyatakan bahwa sistem ini—yang manusia, dengan seluruh kecerdasan,
pengetahuan, dan teknologi di tangannya, tak bisa berhasil menirunya—mewujud “secara kebetulan” di
dalam keadaan-keadaan bumi purba. Sebenarnya, peluang terbentuknya satu sel secara kebetulan sama
dengan peluang menghasilkan satu salinan sempurna sebuah buku selepas sebuah ledakan di suatu
percetakan.
Pakar matematika sekaligus astronom Inggris, Sir Fred Hoyle, membuat perbandingan serupa dalam
sebuah wawancara yang disiarkan majalah Nature terbitan 12 November 1981. Meskipun dirinya seorang
evolusionis, Hoyle menyatakan bahwa kemungkinan munculnya suatu bentuk kehidupan tingkat tinggi
dengan cara [kebetulan] ini dapat disamakan dengan kemungkinan sebuah tornado yang menyapu sebidang
lahan pembuangan membentuk sebuah pesawat Boeing 747 dari bahan-bahan yang ada di sana. 240 Berarti,
sel tidak mungkin mewujud secara kebetulan, dan karena itu, sel semestinya “diciptakan.”
Salah satu alasan dasar mengapa teori evolusi tak bisa menjelaskan cara sel mewujud adalah
“kerumitan tak teruraikan” di dalamnya. Sebuah sel hidup merawat dirinya dengan keserasian kerjasama
berbagai organel. Jika satu organel saja tak berfungsi, sel tak dapat bertahan hidup. Sel tidak mempunyai
kesempatan menunggu mekanisme-mekanisme tak sadar seperti seleksi alam atau mutasi mengizinkan
organel itu berkembang. Karena itu, sel pertama di bumi harus sebuah sel utuh beserta semua organel dan
fungsi yang dibutuhkannya, dan ini pastilah berarti sel itu harus diciptakan.

Masalah Asal Usul Protein


Jangankan sel, evolusi bahkan tak mampu menjelaskan blok-blok pembangun sebuah sel.
Pembentukan, di dalam keadaan alamiah, satu saja dari ribuan molekul protein rumit yang menyusun sel
adalah mustahil.
Protein adalah molekul raksasa yang terdiri dari satuan-satuan lebih kecil yang disebut asam amino,
yang ditata dalam urutan tertentu dengan jumlah dan struktur tertentu. Satuan-satuan ini membentuk blok-
blok pembangun sebuah protein hidup. Protein paling sederhana terdiri dari 50 asam amino, namun
beberapa protein berisi hingga ribuan asam amino.
Berikut ini sebuah hal yang amat penting. Ketiadaan, penambahan, atau penggantian satu asam
amino di dalam struktur mengubah protein menjadi timbunan molekuler tak berguna. Setiap asam amino
harus berada di tempat dan urutan yang tepat. Teori evolusi, yang menyatakan bahwa kehidupan muncul
sebagai hasil kebetulan, sangat tak berdaya menghadapi masalah ini karena terlalu mencengangkan untuk
dijelaskan dengan ketaksengajaan. (Lebih jauh lagi, teori evolusi bahkan tak bisa membuktikan pernyataan
tentang pembentukan tak sengaja asam amino, sebagaimana nanti akan dibahas.)
Fakta bahwa sangat mustahil struktur fungsional seperti protein muncul secara kebetulan dapat
dengan mudah dijelaskan bahkan melalui perhitungan peluang biasa yang dimengerti oleh siapa pun.
Misalnya, sebuah molekul protein ukuran rata-rata yang terdiri dari 288 buah asam amino dari 12
jenis, dapat dirangkaikan dengan 10300 cara berbeda. (Ini angka yang amat sangat besar, terdiri dari angka
“1” yang diikuti oleh 300 angka “0”.) Dari semua urutan yang mungkin ini, hanya satu yang membentuk
molekul protein yang diinginkan. Sisanya adalah rantai-rantai asam amino yang tak berguna sama sekali,
atau mungkin membahayakan makhluk hidup.
Dengan kata lain, peluang pembentukan hanya satu molekul protein adalah “1 per 10 300.” Peluang
“1” ini sebenarnya boleh dianggap nol. (Pada praktiknya, peluang yang lebih kecil dari 1 per 1050 dianggap
“peluang nol”).
Lebih jauh lagi, sebuah molekul protein dengan 288 asam amino adalah sangat sederhana jika
dibandingkan dengan beberapa molekul protein raksasa dengan ribuan asam amino. Jika menggunakan
perhitungan peluang yang sama pada molekul raksasa ini, kita akan melihat bahwa bahkan kata “mustahil”
pun tak cukup untuk menguraikan keadaan yang sebenarnya.
Saat maju selangkah lagi dalam ancangan kehidupan evolusi, kita mengamati bahwa protein tak
berarti apa-apa jika berdiri sendiri. Salah satu bakteri terkecil yang pernah ditemukan, Mycoplasma
hominis H39, mengandung 600 jenis protein. Dalam hal ini, kita harus mengulangi perhitungan peluang
yang kita buat untuk satu protein di atas bagi tiap-tiap dari 600 jenis ini. Hasilnya menggerogoti bahkan
konsep kemustahilan.
Sebagian orang yang membaca kalimat-kalimat ini dan sampai saat ini menerima teori evolusi
sebagai suatu penjelasan ilmiah, mungkin menengarai bahwa angka-angka ini terlalu dibesar-besarkan dan
tidak mencerminkan kebenaran sejati. Bukan demikian yang terjadi: inilah fakta-fakta yang nyata. Tak
seorang evolusionis jua mampu membantah angka-angka ini.
Keadaan ini ternyata diakui oleh banyak evolusionis. Misalnya, Harold F. Blum, seorang ilmuwan
evolusionis terkemuka, menyatakan bahwa ”Pembentukan tiba-tiba suatu polipeptida seukuran
protein terkecil yang diketahui tampak di luar semua kemungkinan.”241
Kaum evolusionis menyatakan bahwa evolusi molekuler terjadi dalam waktu sangat lama dan
membuat kemustahilan menjadi mungkin. Namun demikian, tak peduli berapa lama waktu yang dapat
diberikan, mustahil bagi asam amino membentuk protein secara kebetulan. William Stokes, seorang ahli
geologi Amerika, mengakui fakta ini di dalam bukunya Essentials of Earth History (Saripati Sejarah
Bumi), dengan menulis bahwa peluangnya begitu kecil “sehingga tak akan terjadi selama miliaran tahun di
miliaran planet, yang masing-masing diselimuti selapis larutan encer asam amino yang diperlukan.”242
Jadi apakah arti semua ini? Perry Reeves, seorang profesor kimia, menjawab pertanyaan ini:
Jika orang meneliti besarnya jumlah struktur yang mungkin dihasilkan sebuah penggabungan acak
asam amino di suatu kolam beruap purba, memercayai bahwa kehidupan telah muncul dengan cara ini
adalah membingungkan. Lebih masuk akal bahwa diperlukan seorang Tukang yang Agung dengan
sebuah rencana besar bagi tugas semacam itu.243
Jika pembentukan tak sengaja bahkan satu protein saja mustahil, miliaran kali “lebih mustahil” bagi
sekitar sejuta protein itu bergabung secara kebetulan membentuk satu sel utuh manusia. Terlebih lagi,
pastilah mustahil sel terdiri dari timbunan protein belaka. Di samping protein, sel juga mengandung asam
nukleat, karbohidrat, lemak, vitamin, dan banyak lagi senyawa kimia seperti elektrolit-elektrolit yang
diatur dengan kadar, keseimbangan, dan rancangan khusus, baik struktur maupun fungsinya. Setiap unsur
ini berfungsi sebagai blok pembangun atau molekul mitra di dalam beraneka organel.
Robert Shapiro, seorang profesor kimia di New York University sekaligus pakar DNA, menghitung
peluang pembentukan secara kebetulan dari dua ribu jenis protein yang ditemukan pada satu bakteri. (Ada
200 ribu jenis protein pada satu sel manusia.) Angka yang ditemukan adalah 1 per 1040,000.244 (Ini sebuah
angka yang luar biasa yang didapat dengan meletakkan 40 ribu angka 0 setelah angka 1.)
Seorang profesor matematika terapan dan astronomi dari University College Cardiff di Wales,
Chandra Wickramasinghe, mengulas:
Peluang terjadinya pembentukan seketika kehidupan dari benda mati adalah satu diikuti 40 ribu
nol… Angka ini cukup besar untuk mengubur Darwin dan keseluruhan teori evolusi. Tiada kabut purba,
baik di planet ini maupun di planet-planet lain; dan jika tidak acak, awal-awal kehidupan haruslah hasil
kecerdasan yang bertujuan.245
Sir Fred Hoyle mengulas angka yang tak masuk akal ini:
Memang, teori seperti itu (bahwa kehidupan dirakit oleh suatu kecerdasan) demikian jelas
sehingga orang bertanya-tanya mengapa teori tidak diterima luas sebagai terbukti langsung. Alasannya
lebih psikologis daripada ilmiah.246
Sebuah artikel yang diterbitkan di dalam Science News terbitan Januari 1999 mengungkapkan bahwa
belum ditemukan penjelasan tentang cara asam amino bisa berubah menjadi protein:
… tak seorang pun secara memuaskan pernah menjelaskan bagaimana bahan-bahan yang tersebar
luas ini terangkai menjadi protein. Keadaan bumi purba sebagaimana yang diramalkan menggiring asam-
asam amino ke keterkucilan yang sepi.247

Protein-Protein Tangan Kiri


Kini, marilah kita telaah lebih rinci mengapa skenario evolusionis tentang pembentukan protein itu
mustahil. Urutan yang benar dari asam-asam amino yang tepat bahkan masih belum cukup bagi
pembentukan sebuah molekul protein fungsional. Di samping syarat-syarat ini, tiap-tiap dari 20 jenis asam
amino yang ada dalam susunan protein haruslah bertangan kiri. Ada dua jenis asam amino—sebagaimana
molekul-molekul organik lainnya—yang disebut "tangan kiri" and "tangan kanan.” Perbedaan di antara
keduanya terletak pada simetri pantul struktur tiga dimensinya, yang mirip dengan tangan kanan dan kiri
kita.
Asam-asam amino dari kedua jenis dapat saling mengikat dengan mudah. Tetapi, satu fakta
mencengangkan yang telah diungkapkan oleh penelitian adalah semua protein pada tumbuhan dan hewan
di planet ini, dari organisme tersederhana hingga terrumit, disusun dari asam amino tangan kiri. Jika ada
satu saja asam amino tangan kanan terikat ke struktur sebuah protein, protein itu akan tidak berguna.
Dalam serangkaian percobaan, bakteri yang terpapar asam-asam amino tangan kanan dengan mengejutkan
segera menguraikan asam-asam amino itu. Dalam beberapa kejadian, bakteri menghasilkan asam amino
tangan kiri yang berguna dari komponen-komponen hasil penguraian.
Mari untuk sementara kita anggap bahwa kehidupan muncul secara kebetulan sebagaimana
dinyatakan oleh evolusionis. Dalam hal ini, asam-asam amino tangan kanan dan tangan kiri yang tak
sengaja terbentuk seharusnya secara umum tersedia dalam kadar yang sama di alam. Karena itu, semua
makhluk hidup seharusnya memiliki kedua jenis asam amino di dalam tubuhnya, sebab secara kimiawi
tidak mustahil bagi kedua jenis asam amino saling mengikat. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui, di
dunia nyata, protein-protein pada semua organisme hidup hanya tersusun dari asam-asam amino tangan
kiri.
Pertanyaan tentang cara protein dapat memilih hanya yang tangan kiri dari semua asam amino, dan
mengapa tak satu pun asam amino tangan kanan terlibat di dalam proses kehidupan, adalah sebuah masalah
yang masih membingungkan kaum evolusionis. Seleksi khusus dan sadar seperti itu membentuk salah satu
kebuntuan terbesar yang dihadapi teori evolusi.
Terlebih lagi, tabiat protein ini membuat masalah yang dihadapi evolusionis dengan “kebetulan”
malah lebih buruk. Supaya sebuah protein “berguna” dihasilkan, tak cukup bagi asam-asam amino ada
dalam jumlah dan urutan tertentu, dan bergabung dengan rancangan tiga dimensi yang tepat. Di samping
itu, semua asam amino ini harus tangan kiri: tak satu pun yang tangan kanan. Dan tiada mekanisme seleksi
alam yang dapat mengenali bahwa suatu asam amino tangan kanan telah dimasukkan ke dalam urutan dan
mengetahui bahwa asam amino ini harus dicopot dari rangkaian. Keadaan ini sekali lagi melenyapkan
untuk selamanya peluang bagi ketaksengajaan dan coba-coba.
The Britannica Science Encyclopedia, yang merupakan pembela evolusi yang lantang, menyatakan
bahwa asam amino semua organisme hidup di bumi, dan blok-blok pembangun polimer rumit seperti
protein, memiliki asimetri tangan kiri yang sama. Buku ini menambahkan bahwa hal ini mirip dengan
melontarkan sekeping koin jutaan kali dan selalu mendapatkan sisi muka. Ensiklopedi yang sama
menyebutkan bahwa mustahil memahami mengapa molekul menjadi tangan kiri atau tangan kanan, dan
bahwa pilihan ini secara mencengangkan terkait dengan asal mula kehidupan di muka bumi.248
Jika sekeping koin selalu menampakkan sisi muka ketika dilontarkan jutaan kali, lebih masuk
akalkah menghubungkannya dengan kebetulan, atau sebaliknya, menerima bahwa campur tangan yang
sadar berlangsung? Jawabannya seharusnya sudah jelas. Akan tetapi, walaupun jelas, para evolusionis
masih berlindung di balik kebetulan, sekadar karena tak ingin menerima adanya campur tangan yang sadar.
Keadaan yang serupa dengan kekirian asam amino juga terjadi pada nukleotida, satuan terkecil asam
nukleat, DNA dan RNA. Berbeda dengan protein, yang hanya memilih asam amino tangan kiri, pada asam
nukleat, bentuk yang lebih disukai komponen-komponen nukleotida selalu tangan kanan. Inilah fakta lain
yang tak akan pernah bisa dijelaskan dengan kebetulan.
Sebagai kesimpulan, telah dibuktikan tanpa sedikit pun keraguan melalui peluang-peluang yang
telah kita telaah bahwa asal mula kehidupan tak bisa dijelaskan dengan kebetulan. Jika kita berupaya
menghitung peluang sebuah protein berukuran rata-rata yang tersusun dari 400 asam amino yang semuanya
tangan kiri, kita akan sampai ke peluang 1 per 2 400, atau 10120. Sekadar perbandingan, ingatlah bahwa
jumlah elektron di alam semesta diperkirakan sekitar 1079, yang meskipun sangat besar, tetap sebuah angka
yang jauh lebih kecil. Peluang asam-asam amino membuat urutan dan bentuk berguna yang diperlukan
akan menghasilkan angka yang jauh lebih besar. Jika kita tambahkan semua peluang ini, dan terus
menghitung peluang protein-protein dengan jenis dan jumlah asam amino yang lebih banyak,
perhitungannya menjadi tak terbayangkan.

Keharusan Ikatan Peptida


Kesulitan-kesulitan yang tak bisa diatasi teori evolusi tentang perkembangan satu protein tak
terbatas pada yang kami sampaikan sejauh ini. Tak cukup bagi asam-asam amino sekadar tersusun dalam
jumlah, urutan, dan struktur tiga dimensi yang benar. Pembentukan sebuah protein juga mensyaratkan
molekul-molekul asam amino dengan lebih dari satu lengan saling terikat dengan cara tertentu saja. Ikatan
itu disebut “ikatan peptida.” Asam amino dapat membentuk beraneka ikatan, tetapi protein terbentuk dari
—dan hanya dari—asam-asam amino yang disatukan oleh ikatan-ikatan peptida.
Sebuah perbandingan akan menjelaskan hal ini. Anggaplah semua bagian mobil tersedia dan dirakit
dengan benar, dan satu-satunya pengecualian adalah salah satu rodanya terpasang tidak dengan mur dan
baut yang biasa, melainkan seutas kawat, dengan suatu cara sehingga sumbunya tegak lurus ke tanah.
Mustahil bagi mobil itu menempuh bahkan jarak terpendek, secanggih apa pun teknologinya atau
setangguh apa pun mesinnya. Kali pertama, semuanya terlihat ada di tempat yang benar, tetapi kekeliruan
pemasangan satu saja roda membuat keseluruhan mobil tak berguna. Dengan cara yang sama, pada sebuah
molekul protein, gabungan bahkan satu asam amino dengan yang lain dengan ikatan yang bukan ikatan
peptida membuat keseluruhan molekul tak berguna.
Penelitian telah menunjukkan bahwa asam amino yang berikatan secara acak akan berikatan peptida
hanya dalam 50 persen kejadian, dan selebihnya muncul ikatan lain yang tak dikenal di dalam protein.
Agar berguna selayaknya, setiap asam amino yang menyusun protein harus digabungkan dengan asam-
asam amino lain hanya dengan ikatan peptida, sama seperti asam amino harus dipilih hanya dari bentuk-
bentuk tangan kiri.
Peluang hal ini terjadi sama dengan peluang setiap protein menjadi tangan kiri. Oleh karena itu,
ketika kita memikirkan sebuah protein dengan 400 asam amino, peluang semua asam amino saling
berikatan hanya dengan ikatan peptida adalah 1 per 2399.

Peluang Nol
Jika kita menggabungkan ketiga peluang (bahwa asam amino terbentuk dengan tepat, semua asam
amino berbentuk tangan kiri, dan semuanya bergabung dengan ikatan peptida), maka kita akan menghadapi
angka astronomis 1 per 10950. (Angka astronomis adalah angka amat besar atau amat kecil) Ini hanya
peluang di atas kertas. Bisa dikatakan, peluang ini terwujud adalah nol. Sebagaimana telah kita lihat, dalam
matematika, sebuah peluang yang kurang dari 1 per 1050 secara statistik berpeluang “nol” untuk
berlangsung.
Bahkan jika kita menganggap bahwa asam amino bergabung dan terurai oleh sejenis cara “coba-
coba”, tanpa kehilangan sedikit pun waktu sejak pembentukannya di bumi, demi membentuk satu molekul
protein saja, waktu yang dibutuhkan oleh sesuatu yang berpeluang 1 per 10950 masih sangat melampaui
taksiran umur bumi.
Kesimpulan yang ditarik dari semua ini adalah evolusi terperosok ke sumur tanpa dasar
kemustahilan ketika berhadapan dengan pembentukan satu protein.
Seorang pendukung teori evolusi terkemuka, Profesor Richard Dawkins, menyatakan sebagai berikut
tentang kemustahilan ke dalam mana teori telah terjatuh:
Jadi, jenis kejadian mujur yang kita cari dapat begitu sangat mustahil sampai-sampai peluang
terjadinya, di suatu tempat di alam semesta, sekecil satu per satu trilyun miliar pada tahun kapan pun. Jika
ini memang terjadi hanya di satu planet, di suatu tempat di alam semesta ini, planet itu haruslah planet kita
—karena di sinilah kita sedang membicarakannya.249
Pengakuan seorang pendukung terkemuka evolusi ini dengan jelas memperlihatkan kekacauan nalar
teori evolusi. Pernyataan di dalam buku Dawkins Climbing Mount Improbable (Mendaki Gunung
Kemustahilan) ini sebuah contoh telak penalaran berputar-putar yang sebenarnya tak menjelaskan apa pun:
“Jika kita ada di sini, maka itu berarti evolusi terjadi.”
Sebagaimana telah kita lihat, bahkan pendukung paling terkemuka evolusi mengakui bahwa teori ini
telah terkubur ke dalam kemustahilan ketika berhadapan dengan tahap pertama kehidupan. Namun, betapa
menariknya bahwa, bukannya menerima kemustahilan teori yang mereka bela, mereka lebih memilih
berpegang teguh pada evolusi dengan sikap dogmatis! Inilah sebuah kerasukan ideologis sepenuh-
penuhnya.
Adakah Mekanisme Coba-Coba di Alam?
Akhirnya, kita bisa menyimpulkan satu butir amat penting terkait dengan penalaran dasar dari
perhitungan peluang, yang beberapa contohnya telah kita lihat. Kami telah menunjukkan bahwa
perhitungan peluang yang dibuat di atas mencapai tingkat astronomis, dan bahwa kejanggalan-kejanggalan
astronomis ini tak berpeluang untuk benar-benar terjadi.
Namun demikian, ada lebih banyak fakta penting dan menghancurkan yang menghadang evolusionis
di sini. Dalam keadaan-keadaan alamiah, bahkan masa untuk coba-coba tak dapat dimulai, lepas dari
kejanggalan-kejanggalan astronomisnya, sebab tiada mekanisme coba-coba di alam dari mana protein bisa
muncul.
Perhitungan yang kami berikan di atas menunjukkan peluang pembentukan suatu molekul protein
dengan 500 asam amino berlaku hanya untuk sebuah lingkungan coba-coba ideal, yang sebenarnya tak ada
di dalam kehidupan nyata. Yakni, peluang mendapat satu protein fungsional adalah “1” berbanding 10950
hanya jika kita menganggap bahwa ada mekanisme khayalan di dalam mana sebuah tangan gaib
menyatukan 500 asam amino secara acak dan lalu, melihat hasilnya bukan gabungan yang benar,
melepaskan asam-asam itu satu demi satu, lalu menyusun kembali secara berbeda, dan begitu seterusnya.
Dalam tiap percobaan, asam amino harus dilepaskan satu per satu, dan disusun kembali dengan cara baru.
Sintesis seharusnya berhenti setelah asam amino ke-500 ditambahkan, dan harus dipastikan bahwa tak satu
pun asam amino tambahan terlibat. Penggabungan seharusnya dihentikan untuk melihat apakah protein
yang berfungsi telah terbentuk, dan, jika terjadi kegagalan, semuanya harus dicopot dan dicoba kembali
dengan urutan lain. Di samping itu, dalam tiap percobaan, tak satu pun zat asing boleh terlibat. Yang juga
penting adalah rantai yang terbentuk selama coba-coba seharusnya tidak diuraikan dan dihancurkan
sebelum mencapai ikatan ke-499. Syarat seperti ini berarti bahwa peluang yang telah kami sebutkan di atas
hanya bisa terjadi dalam suatu lingkungan yang terkendali dengan sebuah mekanisme sadar yang
mengarahkan awal, akhir, dan setiap tahap peralihan proses itu, dan hanya “asam amino pilihan” yang
mendapat kesempatan. Sudah jelas tak mungkin ada lingkungan seperti itu di dalam keadaan-keadaan
alamiah. Oleh karena itu, pembentukan suatu protein di lingkungan alamiah secara nalar dan teknis tak
mungkin.
Karena tak bisa melihat gambaran besar masalah ini, namun mendekatinya dari sudut pandang
dangkal dan menganggap pembentukan protein adalah reaksi kimia sederhana, sebagian orang mungkin
menarik kesimpulan tak wajar seperti “asam amino bergabung lewat reaksi dan lalu membentuk protein.”
Namun demikian, reaksi-reaksi kimia yang kebetulan terjadi pada struktur mati ini hanya bisa membawa
ke perubahan sederhana dan mendasar. Jumlahnya telah diketahui dan terbatas. Untuk bahan kimia yang
agak lebih rumit, pabrik-pabrik raksasa, kilang-kilang kimia, dan laboratorium-laboratorium harus
dilibatkan. Obat-obatan dan banyak senyawa kimia yang kita gunakan sehari-hari dibuat dengan cara ini.
Protein berstruktur lebih rumit daripada senyawa kimia yang dihasilkan industri. Karena itu, mustahil bagi
protein, yang masing-masing merupakan keajaiban rancangan dan rekayasa, yang setiap bagiannya
menempati tempatnya dalam urutan yang pasti, bermula sebagai hasil reaksi kimia yang serampangan.
Mari sejenak kita kesampingkan semua kemustahilan yang telah kami utarakan sejauh ini, dan
anggaplah bahwa suatu molekul protein yang berguna masih berevolusi tiba-tiba “secara kebetulan.”
Walaupun demikian, evolusi lagi-lagi tak memiliki jawaban, sebab agar bisa bertahan, protein ini harus
tersekat dari lingkungan alamiahnya dan terlindung di bawah keadaan yang sangat khusus. Jika tidak,
protein akan hancur karena pengaruh keadaan alamiah bumi, atau bersatu dengan asam, asam amino, atau
senyawa kimia lain, dan dengan begitu kehilangan sifat-sifat khususnya dan mengubahnya menjadi zat
yang sama sekali lain dan tak berguna.
Yang telah kita bahas sejauh ini adalah kemustahilan kemunculan hanya satu protein secara
kebetulan. Akan tetapi, dalam tubuh manusia saja ada sekitar 100 ribu protein yang berfungsi. Lebih-lebih,
ada sekitar 1,5 juta spesies yang sudah dikenali, dan diperkirakan masih 10 juta yang belum. Walau banyak
protein yang mirip digunakan dalam banyak bentuk kehidupan, diperkirakan bahwa setidaknya ada 100
juta atau lebih jenis protein di dunia tumbuhan dan hewan. Dan jutaan spesies yang telah punah tidak
tercakup di dalam perhitungan ini. Dengan kata lain, ratusan juta kode protein telah ada di dunia. Jika
seseorang menyadari bahwa tak satu pun dari protein ini bisa dijelaskan dengan kebetulan, jelaslah apa
makna ratusan juta jenis protein.
Dengan mengingat kebenaran ini, bisa dipahami secara jernih bahwa konsep-konsep seperti
“kebetulan” dan “coba-coba” tak berkaitan apa pun dengan keberadaan makhluk hidup.

Pandangan Evolusi tentang Asal Usul Kehidupan


Di atas segalanya, ada satu hal penting yang harus diperhatikan: jika sembarang tahap dalam proses
evolusi terbukti mustahil, sudah cukup membuktikan bahwa keseluruhan teori ini sepenuhnya keliru dan
tidak sahih. Misalnya, dengan membuktikan bahwa pembentukan protein secara serampangan mustahil,
semua pernyataan lain tentang langkah-langkah selanjutnya juga terbantahkan. Setelah ini, mengambil
beberapa tengkorak manusia dan kera dan terlibat dalam tebak-menebak tengkorak-tengkorak itu menjadi
tanpa makna.
Cara organisme hidup mewujud dari zat mati adalah sebuah persoalan yang bahkan tak diinginkan
evolusionis disebut-sebut untuk waktu lama. Akan tetapi, masalah ini, yang terus-menerus dihindari,
akhirnya harus ditanggapi, dan upaya-upaya menyelesaikannya dilakukan dengan sederet percobaan di
perempat kedua abad ke-20.
Pertanyaan utama adalah: bagaimanakah sel hidup pertama muncul dalam keadaan atmosfer bumi di
purba? Dengan kata lain, penjelasan seperti apakah yang bisa ditawarkan evolusionis?
Orang pertama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah seorang ahli biologi Rusia,
Alexander I. Oparin, penemu konsep “evolusi kimia.” Sekalipun didukung semua kajiannya teoretisnya,
Oparin tak mampu menghasilkan apa pun yang memberikan setitik cahaya tentang asal usul kehidupan. Ia
mengatakan yang berikut di dalam bukunya The Origin of Life (Asal Usul Kehidupan) yang diterbitkan di
tahun 1936:
Akan tetapi, sayangnya, masalah asal usul sel mungkin titik tersuram dalam keseluruhan kajian
tentang evolusi organisme.250
Sejak Oparin, kaum evolusionis telah melakukan tak terhitung percobaan, melaksanakan penelitian,
dan membuat pengamatan untuk membuktikan bahwa satu sel bisa terbentuk secara kebetulan. Akan tetapi,
setiap upaya semacam itu hanya membuat kerumitan rancangan sel kian jelas, dan malah kian membantah
hipotesis evolusionis. Profesor Klaus Dose, presiden Institute of Biochemistry di University of Johannes
Gutenberg, menyatakan:
Lebih dari 30 tahun percobaan tentang asal usul kehidupan di bidang kimia dan evolusi molekuler
telah membawa kita ke penghayatan lebih baik atas besarnya masalah asal usul kehidupan di bumi, bukan
pemecahannya. Saat ini, semua pembahasan tentang teori dan percobaan utama di bidang ini berakhir
dengan kebuntuan atau pengakuan akan kebodohan.251
Di dalam bukunya The End of Science (Akhir Ilmu Pengetahuan), penulis ilmiah evolusi John
Horgan mengatakan tentang asal usul kehidupan, “Sejauh ini, inilah pegas terlemah dari rangka (sasis)
biologi mutakhir.”252
Pernyataan berikut dari ahli geokimia Jeffrey Bada, dari Scripps Institute yang berpangkalan di San
Diego, membuat ketakberdayaan evolusionis makin jelas:
Saat ini, selagi meninggalkan abad ke-20, kita masih menghadapi masalah tak terpecahkan yang
terbesar yang kita miliki ketika memasuki abad ke-20: bagaimanakah kehidupan berasal di
bumi?”253
Sekarang, mari kita lihat lebih rinci “masalah tak terpecahkan yang terbesar” dari teori evolusi.
Pokok pertama yang harus kita perhatikan adalah percobaan Miller yang tersohor.

Percobaan Miller
Kajian yang paling terpandang tentang asal usul kehidupan adalah percobaan Miller yang dilakukan
oleh Stanley Miller, seorang peneliti Amerika, pada tahun 1953. (Percobaan ini juga disebut “percobaan
Urey-Miller” karena sumbangan dosen Miller di University of Chicago, Harold Urey.) Percobaan ini satu-
satunya “petunjuk” yang dimiliki kaum evolusionis untuk katanya membuktikan “tesis evolusi kimia;”
mereka mengajukannya sebagai tahap awal proses evolusi yang diperkirakan yang mengantarkan ke
kehidupan. Meskipun hampir setengah abad berlalu, dan berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, tak
seorang pun membuat kemajuan lebih jauh. Walau demikian, percobaan Miller masih digunakan di dalam
buku-buku acuan sebagai penjelasan evolusi generasi pertama makhluk hidup. Itu karena para peneliti
evolusionis, yang menyadari fakta bahwa kajian-kajian semacam itu bukan mendukung, tetapi malah
membantah tesis mereka, sengaja menghindari terlibat dalam percobaan-percobaan sejenis.
Tujuan Stanley Miller adalah menunjukkan lewat percobaan bahwa asam-asam amino, unsur
penyusun protein, bisa mewujud “secara kebetulan” di bumi yang tanpa kehidupan miliaran tahun yang
lalu. Dalam percobaannya, Miller menggunakan campuran gas yang diperkirakannya ada pada keadaan
bumi purba (yang kemudian terbukti tidak mendekati kenyataan), terdiri dari amonia, metana, hidrogen
dan uap air. Karena dalam keadaan alamiah gas-gas ini tak saling bereaksi, ia menambahkan energi ke
campuran itu untuk memulai reaksi di antara gas-gas. Dengan menganggap bahwa energi mungkin datang
dari petir dalam atmosfer purba, Miller menggunakan arus listrik untuk tujuan ini.
Miller memanaskan campuran gas ini pada 100° C selama sepekan dan menambahkan arus listrik.
Di akhir pekan, ia menganalisis senyawa-senyawa kimia yang terbentuk di dasar tabung, dan mengamati
bahwa 3 dari 20 asam amino yang menyusun unsur-unsur dasar protein telah terbentuk.
Percobaan ini menimbulkan kegembiraan besar di kalangan evolusionis, dan disiarkan sebagai
keberhasilan luar biasa. Terlebih lagi, dalam kegembiraan yang memuncak, beraneka media cetak
menurunkan kepala berita seperti “Miller menciptakan kehidupan.” Akan tetapi, yang telah dihasilkan
Miller hanyalah sebagian kecil dari molekul mati.
Disemangati oleh percobaan ini, para evolusionis segera membuat skenario baru. Tahap-tahap
berikutnya perkembangan asam amino segera disusun. Diperkirakan, asam-asam amino lalu bergabung
dengan urutan yang benar secara kebetulan untuk membentuk protein. Sebagian protein yang muncul
secara kebetulan ini menggabungkan diri menjadi struktur mirip membran sel yang “entah bagaimana”
mewujud dan membentuk suatu sel sederhana. Lalu, seiring dengan waktu, sel-sel ini diperkirakan
bergabung membentuk organisme hidup bersel banyak. Akan tetapi, percobaan Miller sejak itu terbukti
keliru dalam berbagai segi.

Empat Fakta yang Membantah Percobaan Miller


Percobaan Miller mencoba membuktikan bahwa asam amino bisa terbentuk sendiri dalam keadaan-
keadaan bumi purba, tetapi mengandung ketidakserasian di beberapa bidang:
1-Dengan menggunakan suatu mekanisme yang disebut “perangkap dingin,” Miller memisahkan
asam-asam amino dari lingkungannya sesaat setelah terbentuk. Jika saja ia tidak melakukannya, keadaan-
keadaan lingkungan tempat asam-asam amino terbentuk akan segera menghancurkan molekul-molekul ini.
Tak pelak lagi, mekanisme pemisahan seperti ini tidak ada dalam keadaan bumi purba. Tanpa
mekanisme demikian, bahkan jika satu asam amino diperoleh, zat-zat itu akan segera dihancurkan. Ahli
kimia Richard Bliss mengutarakan pertentangan ini dengan mengamati bahwa “Sebenarnya, tanpa
perangkap ini, hasil-hasil kimia akan dihancurkan oleh sumber energi.”254 Dan, cukup pasti, dalam
percobaan-percobaan sebelumnya, Miller tak mampu membuat bahkan satu asam amino menggunakan
bahan yang sama tanpa mekanisme perangkap dingin.
2- Atmosfer purba yang direkacipta Miller dalam percobaannya tidak wajar. Pada tahun 1980-an,
para ilmuwan setuju bahwa nitrogen dan karbon dioksida seharusnya dipakai dalam lingkungan
buatan ini, bukannya metana dan amonia.
Jadi, mengapa Miller bersikukuh dengan gas-gas ini? Jawabannya sederhana: tanpa amonia, tak
mungkin menyusun asam amino apa pun. Kevin McKean berbicara tentang hal ini dalam sebuah artikel
yang diterbitkan dalam majalah Discover:
Miller dan Urey meniru atmosfer kuno di bumi dengan mencampurkan metana dan amonia. ..Akan
tetapi dalam penelitian-penelitian terbaru, diketahui bahwa pada masa itu bumi sangat panas, dan
mengandung lelehan nikel dan besi. Oleh karena itu, susunan senyawa kimia di atmosfer pada masa itu
seharusnya sebagian besar nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2) dan uap air (H2O). Akan tetapi, gas-gas ini
tidak selayak metana dan amonia bagi pembentukan molekul-molekul organik.255
Ilmuwan Amerika JP Ferris dan CT Chen mengulangi percobaan Miller dengan lingkungan atmosfer
yang mengandung karbon dioksida, nitrogen, dan uap air, dan tidak mampu mendapatkan bahkan satu saja
molekul asam amino.256
3-Hal penting lainnya yang membantah percobaan Miller adalah bahwa tersedia cukup oksigen
untuk menghancurkan semua asam amino di atmosfer pada masa ketika senyawa-senyawa ini
diperkirakan terbentuk. Fakta ini, yang diabaikan oleh Miller, disingkapkan oleh jejak-jejak besi
teroksidasikan yang ditemukan di bebatuan yang ditaksir berumur 3,5 miliar tahun.257
Masih ada temuan-temuan lain yang menunjukkan bahwa jumlah oksigen di atmosfer pada masa itu
lebih tinggi daripada yang awalnya dinyatakan oleh para evolusionis. Beraneka penelitian juga
menunjukkan bahwa jumlah radiasi sinar ultra-ungu yang dipaparkan ke bumi adalah 10 ribu kali yang
diperkirakan para evolusionis. Tak bisa dipungkiri, radiasi kuat ini telah membebaskan oksigen dengan
menguraikan uap air dan karbon dioksida di atmosfer.
Keadaan ini membantah sepenuhnya percobaan Miller, yang mengabaikan oksigen sama sekali. Jika
oksigen digunakan di dalam percobaan, metana akan diuraikan menjadi karbon dioksida dan air, dan
amonia menjadi nitrogen dan air. Di sisi lain, di dalam suatu lingkungan yang tidak ada oksigen,
seharusnya juga tidak ada lapisan ozon; maka, asam amino akan langsung dihancurkan karena terpapar
sinar ultra-ungu yang paling kuat tanpa perlindungan lapisan ozon. Dengan kata lain, dengan atau tanpa
oksigen di zaman bumi purba, hasilnya tetap lingkungan maut bagi asam amino.
4- Pada akhir percobaan Miller, banyak asam organik juga terbentuk dengan sifat-sifat yang merusak
bagi struktur dan fungsi makhluk hidup. Jika asam-asam amino tidak dipisahkan dan dibiarkan di
lingkungan yang sama dengan senyawa-senyawa kimia ini, kehancuran atau perubahan menjadi senyawa
lain melalui reaksi kimia tidak terelakkan.
Lebih-lebih, percobaan Miller juga menghasilkan asam amino tangan kanan. 258 Keberadaan asam-
asam amino membantah teori evolusi bahkan menurut kaidah-kaidahnya sendiri, sebab asam amino tangan
kanan tak berfungsi dalam susunan organisme hidup. Kesimpulannya, keadaan-keadaan di dalam mana
asam amino terbentuk pada percobaan Miller tidak layak bagi kehidupan. Nyatanya, medium ini berbentuk
campuran asam yang menghancurkan dan membakar molekul-molekul berguna yang dihasilkan.
Semua fakta ini mengarah ke satu kebenaran yang kokoh: percobaan Miller tak bisa menyatakan
telah membuktikan bahwa makhluk hidup terbentuk secara kebetulan di dalam keadaan yang mirip bumi
purba. Keseluruhan percobaan tak lebih dari percobaan laboratorium yang sengaja dan terkendali untuk
mensintesis asam amino. Jumlah dan jenis gas yang digunakan dalam percobaan secara ideal diarahkan
agar memungkinkan asam amino terbuat. Jumlah energi yang dipasok ke sistem tak terlalu banyak dan tak
terlalu sedikit, namun diatur dengan tepat supaya reaksi-reaksi penting dapat berlangsung. Peralatan
percobaan disekat sehingga tak memungkinkan kebocoran unsur-unsur yang membahayakan, merusak,
atau lainnya yang menghalangi pembentukan asam amino. Tiada unsur, mineral, atau senyawa yang
mungkin ada pada masa bumi purba, namun bisa mengubah jalannya reaksi, dilibatkan di dalam
percobaan. Oksigen, yang bisa mencegah pembentukan asam amino lewat oksidasi, adalah salah satu unsur
merusak ini. Bahkan, dalam keadaan ideal laboratorium seperti itu, asam amino yang dihasilkan mustahil
bertahan dan menghindari kerusakan tanpa mekanisme “perangkap dingin.”
Nyatanya, dengan percobaannya, Miller menghancurkan pernyataan evolusi bahwa “kehidupan
muncul sebagai hasil kebetulan yang tak sadar.” Yakni, jika percobaan ini membuktikan sesuatu, itulah
bahwa asam amino hanya bisa dihasilkan dalam suatu lingkungan laboratorium yang terkendali dengan
semua syarat dirancang khusus oleh campur-tangan yang sadar.
Saat ini, percobaan Miller diabaikan sama sekali bahkan juga oleh para ilmuwan evolusionis. Pada
terbitan Februari 1998 majalah ilmiah evolusionis Earth, pernyataan berikut muncul pada sebuah artikel
berjudul “Life’s Crucible” (Periuk Kehidupan):
Ahli geologi kini berpikir bahwa kandungan utama atmosfer purba adalah karbon dioksida dan
nitrogen, gas-gas yang kurang reaktif daripada yang dipakai dalam percobaan tahun 1953. Dan bahkan jika
atmosfer Miller memang benar ada, bagaimanakah Anda bisa memperoleh molekul-molekul sederhana
seperti asam amino lewat perubahan-perubahan kimia yang diperlukan yang akan mengubahnya menjadi
senyawa yang lebih rumit, atau polimer, seperti protein? Miller sendiri angkat tangan pada kepingan teka-
teki yang satu ini: “Ini sebuah masalah, “ ia menarik napas panjang dengan putus asa.
“Bagaimanakah Anda membuat polimer? Itu tidak mudah.”259
Sebagaimana terlihat, bahkan Miller sendiri telah menerima bahwa percobaannya tidak
mengantarkan ke sebuah penjelasan tentang asal usul kehidupan. Pada terbitan Maret 1998, National
Geographic, dalam artikel berjudul “The Emergence of Life on Earth” (Kemunculan Kehidupan di Bumi)
ulasan berikut muncul:
Banyak ilmuwan kini menengarai bahwa atmosfer awal berbeda dengan yang dulu
diperkirakan Miller. Mereka berpikir bahwa atmosfer itu mengandung karbon dioksida dan nitrogen,
bukan hidrogen, metana dan amonia. Itu berita buruk bagi ahli kimia. Ketika mencoba menyalakan karbon
dioksida dan nitrogen, mereka mendapatkan sedikit sekali molekul organik—setara dengan melarutkan
setetes pewarna makanan ke dalam air satu kolam renang. Para ilmuwan merasa sulit membayangkan
kehidupan muncul dari sup encer seperti itu.260
Singkatnya, baik percobaan Miller maupun percobaan serupa lainnya yang telah diupayakan, tak
bisa menjawab pertanyaan tentang cara kehidupan muncul di bumi. Semua penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa kehidupan mustahil mewujud secara kebetulan, dan karenanya membenarkan bahwa
kehidupan itu diciptakan. Alasan mengapa para evolusionis tak menerima kenyataan yang jelas ini adalah
ketaatan buta mereka pada prasangka yang sama sekali tak ilmiah. Cukup menarik, Harold Urey, yang
menyelenggarakan percobaan Miller bersama mahasiswanya Stanley Miller, membuat pengakuan berikut
tentang hal ini:
Semua kita yang mempelajari asal usul kehidupan menemukan bahwa kian kita selami, kian
kita merasa bahwa kehidupan terlalu rumit untuk berevolusi di mana pun. Kita semua percaya
sebagai sebuah keyakinan yang mendalam bahwa kehidupan berevolusi dari benda mati di planet ini.
Hanya saja kerumitannya begitu besar, sukar bagi kita membayangkan [evolusi] itu terjadi.261

Atmosfer Purba dan Protein


Buku-buku evolusionis menggunakan percobaan Miller, sekalipun dengan semua ketimpangannya,
untuk mencoba menyamarkan masalah asal usul asam amino. Dengan memberikan kesan bahwa masalah
ini telah lama dipecahkan oleh percobaan tidak sah itu, mereka mencoba menambal celah pada teori
evolusi.
Akan tetapi, untuk menjelaskan tahap kedua asal usul kehidupan, evolusionis menghadapi suatu
masalah yang justru lebih besar daripada pembentukan asam amino—yakni, asal usul protein, blok
pembangun kehidupan, yang terdiri dari ratusan jenis asam amino yang saling terikat dengan susunan
tertentu.
Menyatakan bahwa protein terbentuk secara kebetulan dalam keadaan alamiah lebih tidak wajar dan
tidak beralasan daripada bahwa asam amino terbentuk secara kebetulan. Di halaman-halaman sebelumnya,
melalui perhitungan peluang kita telah melihat kemustahilan matematis dari penggabungan serampangan
asam amino ke dalam urutan yang tepat untuk membentuk protein. Kini, kita akan menelaah kemustahilan
protein untuk dihasilkan secara kimiawi di dalam keadaan-keadaan bumi purba.

Masalah Sintesis Protein di dalam Air


Sebagaimana kita lihat sebelumnya, ketika bergabung membentuk protein, asam-asam amino saling
membentuk ikatan khusus yang disebut ikatan peptida. Sebuah molekul air dilepaskan selama
pembentukan ikatan peptida ini.
Fakta ini dengan tegas menyangkal penjelasan evolusionis bahwa kehidupan purba bermula di air,
sebab menurut “azas Le Châtelier” dalam ilmu kimia, mustahil sebuah reaksi yang melepaskan air (reaksi
kondensasi) berlangsung di suatu lingkungan berair. Kemungkinan jenis reaksi ini berlangsung di suatu
lingkungan berair dikatakan “berpeluang terjadi paling kecil” dari semua reaksi kimia.
Oleh karena itu, lautan, yang dikatakan sebagai tempat kehidupan bermula dan asam amino berasal,
pasti bukan lingkungan yang pas bagi asam amino untuk membentuk protein. 262 Di sisi lain, seharusnya tak
masuk akal bagi para evolusionis untuk mengubah pemikiran mereka dan menyatakan bahwa kehidupan
berasal dari daratan, sebab satu-satunya lingkungan tempat asam amino bisa terlindung dari radiasi ultra-
ungu adalah samudra dan lautan. Di daratan, asam amino akan dihancurkan oleh sinar ultra-ungu. Di sisi
lain, Azas Le Châtelier, membatalkan pernyataan pembentukan kehidupan di laut. Inilah dilema lain yang
menghadang evolusi.

Percobaan Fox
Tertantang oleh dilema di atas, para evolusionis mulai menciptakan skenario-skenario tak wajar
yang didasarkan pada “masalah air” ini yang demikian tegas menyangkal teori mereka. Sydney Fox adalah
salah seorang yang paling terkenal dari para peneliti ini. Fox mengajukan teori berikut untuk memecahkan
masalah. Menurutnya, asam amino pertama telah dipindahkan ke lereng-lereng dekat gunung berapi sesaat
setelah terbentuk di samudra purba. Air yang dikandung campuran yang berisi asam amino ini pasti telah
menguap ketika suhu meningkat di atas titik didih pada lereng-lereng itu. Asam-asam amino yang
“mengering” ini, lalu dapat bergabung membentuk protein.
Akan tetapi cara “rumit” ini tak diterima oleh banyak orang di bidang ini karena asam amino tak
bisa menahan suhu setinggi itu. Penelitian membenarkan bahwa asam-asam amino akan segera hancur
pada suhu yang sangat tinggi.
Tetapi Fox tidak menyerah. Ia menggabungkan asam-asam amino yang dimurnikan di laboratorium,
“dengan syarat-syarat sangat khusus,” lewat memanaskannya di suatu lingkungan kering. Asam-asam
amino bersatu, namun belum juga protein dihasilkan. Yang sebenarnya diperoleh Fox adalah simpul-
simpul asam amino yang sederhana dan tak teratur, bergabung acak satu sama lain, dan simpul-simpul ini
jauh dari menyerupai protein hidup mana pun. Lebih jauh lagi, jika Fox menyimpan asam-asam amino
pada suatu suhu tetap, maka simpul-simpul tak berguna ini juga akan terurai.
Masalah lain yang menihilkan percobaan ini adalah bahwa Fox tidak memakai hasil-hasil akhir tak
berguna yang diperoleh percobaan Miller; malahan Fox menggunakan asam-asam amino murni dari
organisme hidup. Akan tetapi, percobaan ini, yang dimaksudkan menjadi kelanjutan percobaan Miller,
seharusnya berangkat dari hasil-hasil percobaan yang dilakukan Miller. Namun, baik Fox maupun para
peneliti lain, tidak memakai asam-asam amino tak berguna yang dihasilkan Miller.
Percobaan Fox bahkan tidak diterima di kalangan evolusionis, sebab sudah jelas bahwa rantai-rantai
asam amino tak berguna yang diperoleh Fox (yang disebutnya “proteinoid”) mustahil terbentuk di dalam
keadaan alamiah. Lebih-lebih, protein, satuan dasar kehidupan, masih belum bisa dihasilkan. Masalah asal
usul protein masih belum terpecahkan. Dalam sebuah artikel majalah ilmiah populer, Chemical
Engineering News, yang muncul di tahun 1970-an, percobaan Fox disebutkan sebagai berikut:
Sydney Fox dan para peneliti lainnya berhasil menggabungkan asam-asam amino dalam bentuk
“proteinoid” menggunakan teknik-teknik pemanasan khusus di dalam keadaan yang ternyata tidak terjadi
sama sekali pada tahap-tahap purba bumi. Juga, asam-asam ini sama sekali tak serupa dengan protein yang
ada pada makhluk hidup sekarang. Molekul-molekul ini tak lebih dari regen-regen kimia tak berguna dan
tak teratur. Bahkan dijelaskan bahwa jika telah terbentuk di masa-masa awal, molekul-molekul seperti itu
pasti akan dihancurkan.263
Malah, proteinoid yang dihasilkan Fox berbeda sama sekali dengan protein yang sebenarnya, baik
struktur maupun fungsi. Perbedaan antara protein dan proteinoid ini sebesar perbedaan antara sepotong
perangkat canggih dan seonggok besi yang belum diolah.
Lebih jauh lagi, rantai-rantai asam amino yang acak ini bahkan tidak memiliki kesempatan bertahan
dalam keadaan atmosfer purba. Pengaruh fisik dan kimia yang berbahaya dan merusak yang disebabkan
oleh paparan berkelanjutan sinar ultra-ungu dan keadaan alam lainnya yang tidak mantap akan membuat
proteinoid ini terurai. Karena azas Le Châtelier, asam amino juga mustahil berikatan di dalam air, tempat
sinar ultra-ungu tak bisa menjangkau. Karena hal ini, gagasan bahwa proteinoid itu dasar kehidupan
akhirnya kehilangan dukungan dari kalangan ilmuwan.

Asal Usul Molekul DNA


Telaah kita sejauh ini telah menunjukkan bahwa teori evolusi berada dalam kebingungan yang parah
di tingkat molekul. Kaum evolusionis belum sama sekali menerangkan pembentukan asam amino. Di sisi
lain, pembentukan protein adalah teka-teki tersendiri.
Namun, masalahnya bahkan tak terbatas pada asam amino dan protein saja: ini hanya permulaan.
Selain keduanya, struktur sel yang luar biasa rumit membawa evolusionis ke kebuntuan lain lagi.
Alasannya adalah sel bukan hanya kumpulan protein yang tersusun dari asam amino, melainkan juga
sebuah sistem paling rumit yang pernah dihadapi manusia.
Sementara teori evolusi mempunyai kesulitan sedemikian untuk menyediakan penjelasan yang
masuk akal bagi keberadaan molekul yang merupakan dasar struktur sel, perkembangan-perkembangan
dalam ilmu genetika dan penemuan asam-asam nukleat (DNA dan RNA) menghasilkan masalah-masalah
yang benar-benar baru bagi teori. Pada tahun 1953, James Watson dan Francis Crick membuka sejarah
baru dalam biologi dengan karya mereka tentang struktur DNA.
Molekul yang disebut DNA, yang ditemukan pada inti setiap sel yang berjumlah 100 triliun dalam
tubuh kita, mengandung cetakbiru lengkap bagi pembentukan tubuh manusia. Informasi tentang semua
sifat setiap orang, dari penampakan fisik hingga struktur organ-organ dalam terekam di DNA di dalam
urutan empat basa khusus yang menyusun molekul raksasa ini. Basa-basa ini dikenal sebagai A, T, G, dan
C, menurut huruf pertama nama masing-masing. Semua perbedaan struktural di antara manusia bergantung
pada keragaman urutan huruf-huruf ini. Di samping ciri-ciri seperti tinggi, mata, rambut, dan warna kulit,
DNA pada sebuah sel juga mengandung rancangan 206 tulang, 600 otot, dan 100 miliar sel syaraf
(neuron), 1,000 triliun sambungan antara neuron dan otak, 97 ribu kilometer pembuluh darah, dan 100
triliun sel pada tubuh manusia. Jika kita menulis semua informasi yang dikodekan dalam DNA, kita harus
menghimpun sebuah perpustakaan besar yang berisi 900 buku masing-masing 500 halaman tebalnya.
Namun, informasi yang ditampung perpustakaan yang luar biasa ini terkodekan di dalam molekul DNA
pada inti sel, yang jauh lebih kecil daripada sel yang panjangnya 1/100 milimeter itu sendiri.

DNA tidak bisa Dijelaskan dengan Selain Rancangan


Kini, sebuah rincian penting patut diperhatikan. Satu kesalahan dalam urutan nukleotida yang
menyusun suatu gen akan menyebabkan gen sama sekali tak berguna. Dengan menimbang bahwa ada 200
ribu gen dalam tubuh manusia, kian jelaslah bahwa mustahil bagi jutaan nukleotida yang menyusun semua
gen ini terbentuk dengan urutan yang benar secara kebetulan. Ahli biologi evolusi, Frank Salisbury,
mengulas kemustahilan ini:
Sebuah protein menengah mungkin mencakup kira-kira 300 asam amino. Gen DNA yang
mengendalikannya bisa memiliki kira-kira 1,000 nukleotida dalam rantainya. Karena ada empat macam
nukleotida dalam satu rantai DNA, rantai yang mengandung 1,000 mata rantai bisa terwujud dengan 4 1,000
cara. Dengan menggunakan sedikit aljabar (logaritma), kita mendapatkan bahwa 4 1,000 = 10600. Sepuluh
dikalikan dengan dirinya sendiri sebanyak 600 kali atau digambarkan dengan angka 1 yang diikuti 600
angka nol! Ini angka yang sepenuhnya di luar pemahaman kita.264
Angka 41,000 setara dengan 10600. Ini berarti angka 1 yang diikuti 600 angka nol. Sebagaimana 1
diikuti 12 angka nol menunjukkan satu triliun, 600 angka nol merupakan angka yang tak terbayangkan.
Kemustahilan pembentukan RNA dan DNA oleh penimbunan nukleotida secara kebetulan
diutarakan oleh ilmuwan Perancis, Paul Auger, sebagai berikut:
Kita harus membedakan dengan jelas dua tahap dalam pembentukan tak sengaja molekul-molekul
rumit seperti nukleotida oleh peristiwa-peristiwa kimia. Pembentukan nukleotida satu per satu—yang tidak
mustahil—dan penggabungannya menurut urutan yang sangat khusus. Yang kedua mutlak mustahil.265
Selama beberapa tahun, Francis Crick memercayai teori evolusi molekuler, namun pada akhirnya ia
sendiri harus mengakui bahwa molekul serumit itu tak mungkin muncul tiba-tiba secara kebetulan sebagai
hasil proses evolusi:
Seorang yang jujur, yang dibekali dengan semua ilmu pengetahuan yang kini tersedia, hanya
dapat mengatakan bahwa, dengan pemahaman tertentu, asal usul kehidupan saat ini hampir suatu
keajaiban.266
Evolusionis Turki, Profesor Ali Demirsoy terpaksa membuat pengakuan berikut tentang hal ini:
Nyatanya, kemungkinan pembentukan satu protein dan satu asam nukleat (DNA-RNA) adalah
sebuah kemungkinan yang di luar perkiraan. Lebih jauh lagi, kemungkinan munculnya rantai protein
tertentu demikian kecil sehingga dikatakan astronomis.267
Sebuah paradoks yang sangat menarik muncul di sini. Ketika DNA hanya bisa menggandakan diri
dengan bantuan protein khusus (enzim), sintesis protein ini hanya bisa terwujud dengan informasi yang
terkodekan dalam DNA. Karena saling bergantung, keduanya harus ada pada saat bersamaan untuk
penggandaan. Seorang penulis ilmiah, John Horgan, menjelaskan dilema ini sebagai berikut:
DNA tak bisa melakukan tugasnya, termasuk membentuk lebih banyak DNA, tanpa bantuan protein
katalis, atau enzim. Singkatnya, protein tak bisa terbentuk tanpa DNA, dan DNA juga tak bisa
terbentuk tanpa protein.268
Keadaan ini meruntuhkan sekali lagi skenario bahwa kehidupan muncul secara kebetulan. Homer
Jacobson, seorang guru besar kehormatan ilmu kimia, mengulas:
Petunjuk-petunjuk bagi penggandaan rencana, bagi energi dan pemilahan unsur-unsur dari
lingkungan saat ini, bagi urutan pertumbuhan, dan bagi mekanisme efektor yang menerjemahkan perintah
menjadi pertumbuhan—semuanya harus ada bersamaan pada saat itu [ketika kehidupan dimulai].
Gabungan peristiwa ini tampaknya suatu kebetulan yang luar biasa mustahil…269
Kutipan di atas ditulis dua tahun setelah penemuan struktur DNA oleh Watson dan Crick. Tetapi,
sekalipun dengan semua perkembangan ilmu pengetahuan, masalah bagi evolusionis ini masih belum
terpecahkan. Inilah mengapa ahli biokimia Jerman Douglas R. Hofstadter mengatakan:
‘Bagaimanakah Kode Genetis, bersama dengan mekanisme penerjemahannya (molekul ribosom dan
RNA), berasal?’ Untuk saat ini, kita harus memuaskan diri dengan rasa takjub dan tercengang,
ketimbang sebuah jawaban.270
Sahabat dekat Stanley Miller dan Francis Crick dari University of San Diego, California, evolusionis
tersohor Dr. Leslie Orgel mengatakan dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 1994:
Sangat mustahil bahwa protein dan asam nukleat, yang keduanya secara struktur rumit, muncul tiba-
tiba di tempat dan waktu yang sama. Namun, juga mustahil salah satunya ada tanpa yang lain. Maka, pada
pandangan pertama, orang mungkin harus menyimpulkan bahwa kehidupan tidak pernah,
senyatanya, bermula dengan cara-cara kimia.271
Di samping semua ini, secara kimiawi tak mungkin bagi asam nukleat seperti DNA dan RNA, yang
memiliki rangkaian informasi yang pasti, muncul secara kebetulan, atau bahkan salah satu nukleotida yang
menyusunnya mewujud kebetulan, bertahan hidup, dan menjaga kemurniannya di lingkungan bumi purba.
Bahkan majalah terkenal Scientific American, yang mengikuti garis evolusionis, terpaksa mengakui
keraguan para evolusionis tentang hal ini:
Bahkan molekul-molekul yang lebih sederhana dihasilkan hanya dalam jumlah sedikit pada
percobaan-percobaan wajar yang meniru keadaan bumi purba yang mungkin. Lebih buruk lagi, molekul-
molekul ini umumnya unsur-unsur kecil aspal: masih bermasalah bagaimana molekul-molekul bisa
dipilah dan dimurnikan lewat proses-proses geokimia yang pengaruh umumnya membuat
campuran organik makin campur aduk. Dengan molekul yang agak lebih rumit ini, kesulitan-kesulitan
meningkat cepat. Khususnya, suatu asal usul nukleotida (satuan pembentuk DNA dan RNA) yang
murni geokimiawi menghadirkan kesulitan besar.272
Tentunya, pernyataan “sangat mustahil bagi kehidupan muncul dengan cara-cara kimiawi” sekadar
berarti bahwa kehidupan adalah hasil suatu rancangan cerdas. “Evolusi kimia” yang telah dibicarakan oleh
evolusionis sejak permulaan abad lalu ini tak pernah terjadi, dan tak lebih dari sebuah dongeng.
Tetapi, sebagian besar evolusionis meyakini dongeng ini dan dongeng-dongeng tak ilmiah
sejenisnya seakan benar, sebab menerima gagasan rancangan cerdas berarti menerima penciptaan—dan
mereka telah menyiapkan diri untuk tidak menerima kebenaran ini. Seorang ahli biologi terkenal dari
Australia, Michael Denton, membahas masalah ini di dalam bukunya Evolution: A Theory in Crisis:
Bagi yang tidak percaya, gagasan bahwa program genetik organisme tingkat tinggi, yang mencakup
kira-kira 100 juta keping informasi, setara dengan urutan huruf dalam sebuah perpustakaan kecil dengan
1,000 buku, yang menyimpan berbentuk kode tak terhitung ribuan algoritma yang mengendalikan,
menentukan, serta menata pertumbuhan dan perkembangan bermiliar-miliar sel menjadi sebentuk
organisme rumit, disusun oleh suatu proses yang murni acak, benar-benar pelecehan terhadap akal sehat.
Namun, bagi para Darwinis, gagasan ini diterima tanpa sekelumit jua keraguan—kerangka berpikir lebih
diutamakan!273

Ketaksahihan Dunia RNA


Penemuan di tahun 1970-an bahwa gas-gas yang awalnya ada pada atmosfer purba bumi membuat
sintesis asam amino mustahil merupakan pukulan telak bagi teori evolusi molekuler. Evolusionis kemudian
harus menghadapi fakta bahwa “percobaan atmosfer purba” oleh Stanley Miller, Sydney Fox, Cyril
Ponnamperuma, dan lain-lainnya tidak sahih. Karena alasan ini, pada tahun 1980-an, para evolusionis
mencoba lagi. Sebagai hasilnya, hipotesis “Dunia RNA” diajukan. Skenario ini mengusulkan bahwa bukan
protein, tetapi molekul RNA yang mengandung informasi bagi protein, yang lebih dulu terbentuk.
Menurut skenario ini, yang diajukan pada tahun 1986 oleh Walter Gilbert, seorang ahli kimia
Harvard, dan diilhami penemuan “ribozim” oleh Thomas Cech, miliaran tahun yang lalu, suatu molekul
RNA yang mampu menggandakan diri terbentuk dengan suatu cara secara kebetulan. Lalu, molekul RNA
ini mulai menghasilkan protein, setelah dirangsang oleh pengaruh luar. Setelah itu, menyimpan informasi
ini ke sebuah molekul kedua menjadi penting, dan dengan suatu cara molekul DNA muncul untuk
melakukannya.
Tersusun dari rantai kemustahilan di setiap tahap, skenario yang sulit dipercaya ini, yang jauh dari
memberikan penjelasan apa pun tentang asal usul kehidupan, hanya memperbesar masalah dan
menimbulkan banyak pertanyaan yang tak terjawab:
1. Karena mustahil menerima pembentukan tak sengaja bahkan satu nukleotida saja yang menyusun
RNA, bagaimanakah mungkin nukleotida khayalan membentuk RNA dengan bergabung bersama dalam
urutan tertentu? Evolusionis John Horgan, mengakui kemustahilan pembentukan RNA ini:
Sambil para peneliti terus mempelajari lebih dalam konsep Dunia RNA, lebih banyak masalah
muncul. Bagaimanakah RNA kali pertama muncul? RNA dan unsur-unsurnya sulit disintesis pada sebuah
laboratorium dengan keadaan terbaik, apalagi pada keadaan wajar.274
2. Bahkan jika kita menganggap bahwa RNA terbentuk secara kebetulan, bagaimanakah RNA ini,
yang hanya terdiri dari satu rantai nukleotida, “memutuskan” untuk menggandakan diri, dan dengan
mekanisme seperti apakah RNA ini melakukan proses penggandaan dirinya? Di manakah RNA dapat
menemukan nukleotida yang dipakai melakukan penggandaan diri? Bahkan dua ahli mikrobiologi
evolusionis Gerald Joyce dan Leslie Orgel, menguraikan keputus-asaan ini di dalam buku mereka In the
RNA World (Di Dunia RNA):
Pembahasan ini… sedikit-banyak, telah dipusatkan kepada suatu kepura-puraan: dongeng molekul
RNA yang dapat menggandakan diri yang bangkit sejak awal dari adonan polinukleotida acak. Tak hanya
gagasan seperti itu tidak wajar menurut pemahaman kita tentang kimia sebelum kehidupan, tetapi juga
mengekang kecenderungan percaya bahkan dari mereka yang optimis terhadap daya katalitis RNA.275
3. Bahkan jika kita menganggap bahwa memang ada RNA yang dapat menggandakan diri di masa
bumi purba, bahwa tersedia sejumlah besar asam amino dari aneka jenis yang siap digunakan RNA, dan
bahwa dengan suatu cara semua kemustahilan ini terjadi, semua itu masih belum mampu membawa ke
pembentukan satu protein saja karena RNA hanya mengandung informasi tentang struktur protein. Di sisi
lain, asam amino adalah bahan mentah. Meskipun begitu, tidak ada mekanisme untuk pembentukan
protein. Menganggap keberadaan RNA cukup bagi pembentukan protein sama tak masuk akalnya dengan
mengharapkan sebuah mobil merakit dirinya sendiri sekadar dengan melemparkan cetakbiru ke atas
setumpukan suku cadang. Suatu cetakbiru tak bisa menghasilkan sebuah mobil dengan sendirinya tanpa
pabrik dan pekerja yang merakitnya sesuai dengan perintah di dalam cetakbiru itu; dengan cara yang sama,
cetakbiru yang terkandung dalam RNA tak bisa menghasilkan protein dengan sendirinya tanpa kerjasama
unsur-unsur sel yang mematuhi perintah di dalam RNA itu.
Protein dihasilkan di pabrik ribosom dengan bantuan berbagai macam enzim, dan sebagai hasil
proses di dalam sel yang luar biasa rumit. Ribosom adalah sebuah organel sel yang rumit dan tersusun dari
protein. Maka, ini membawa ke perkiraan lain yang tak masuk akal—bahwa ribosom juga seharusnya
mewujud secara kebetulan pada saat bersamaan. Bahkan peraih hadiah Nobel Jacques Monod, salah
seorang pembela paling fanatik evolusi—dan ateisme—menjelaskan bahwa sintesis protein sama sekali tak
bisa dianggap hanya bergantung kepada informasi di dalam asam nukleat:
Kode-kode itu tak bermakna kecuali diterjemahkan. Perangkat penerjemahan dari sel mutakhir
terdiri atas setidaknya 50 unsur molekul makro, yang turut terkodekan di dalam DNA: kode-kode itu tidak
dapat diterjemahkan kecuali oleh hasil-hasil penerjemahan itu sendiri. Inilah ungkapan mutakhir dari
omne vivum ex ovo (kehidupan berasal dari telur). Kapankah dan bagaimanakah daur ini menjadi
tertutup? Ini sangat sulit dibayangkan.276
Bagaimanakah satu rantai RNA di dunia purba mengambil keputusan yang demikian, dan cara
apakah yang dipakainya untuk mewujudkan produksi protein dengan melakukan sendiri pekerjaan 50
partikel khusus? Evolusionis tak mempunyai jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini. Salah satu tulisan di
dalam majalah ilmiah terkenal Nature memperjelas bahwa konsep “RNA yang dapat menggandakan diri”
sepenuhnya hasil berkhayal, dan bahwa sebenarnya RNA semacam itu belum pernah dihasilkan dalam
percobaan mana pun:
Penggandaan DNA sangat rentan keliru sehingga membutuhkan keberadaan enzim-enzim protein
untuk meningkatkan kecermatan penyalinan sepotong DNA seukuran gen. “Dilema,” kata Maynard Smith
dan Szathmary. Maka, bergulirlah RNA beserta sifat-sifatnya yang baru dikenali, yakni, menjalankan baik
kegiatan informasional maupun enzimatis, yang mendorong kedua penulis untuk berkata: “Intinya,
molekul-molekul RNA pertama tidak memerlukan suatu polimerase protein untuk menggandakan diri;
mereka melakukannya sendiri.” Apakah ini sebuah fakta atau harapan? Saya pikir ada sangkut-pautnya
untuk menunjukkan kepada “para ahli biologi secara umum” bahwa tak satu pun RNA yang dapat
menggandakan diri muncul dari satu kuadrilliun (1024) rantai RNA yang acak dan disintesis secara
buatan.277
Dr. Leslie Orgel, seorang sejawat Stanley Miller dan Francis Crick dari University of California di
San Diego, menggunakan istlah “skenario” bagi kemungkinan “awal kehidupan lewat dunia RNA.” Orgel
menggambarkan ciri-ciri apa saja yang harus dimiliki RNA ini dan betapa mustahilnya hal itu dalam
karangannya “The Origin of Life” (Asal Usul Kehidupan) yang diterbitkan Scientifc American Oktober
1994:
Kami mencatat bahwa skenario ini mungkin terjadi jika RNA sebelum kehidupan memiliki dua
unsur yang tidak tampak saat ini: kemampuan menggandakan diri tanpa bantuan protein dan kemampuan
mempercepat setiap tahap sintesis protein.278
Sebagaimana kini telah jelas, mengharapkan kedua proses yang rumit dan luar biasa penting ini dari
sebuah molekul seperti RNA bertentangan dengan pemikiran ilmiah. Di sisi lain, fakta-fakta ilmiah nyata
menegaskan bahwa hipotesis dunia RNA, yang merupakan sebuah model baru yang diajukan bagi
pembentukan kehidupan secara kebetulan, sama tak masuk akalnya dengan fabel (dongeng tentang hewan).
John Horgan, di dalam bukunya The End of Science, menuturkan bahwa Stanley Miller memandang
teori-teori yang kemudian diajukan tentang asal usul kehidupan sebagai amat tidak bermakna. (Anda akan
ingat bahwa Miller adalah perintis percobaan Miller yang terkenal itu, yang belakangan terungkap tak
sahih):
Ternyata, hampir 40 tahun setelah percobaan aslinya, Miller berkata kepada saya bahwa
memecahkan teka-teki asal usul kehidupan telah menjadi lebih sulit daripada yang pernah dibayangkannya
dan orang-orang… Miller tampak tidak terkesan dengan satu pun pandangan tentang asal usul kehidupan,
dan merujuk ke pandangan-pandangan itu sebagai “omong kosong” atau “kimia kertas.” Ia demikian jijik
kepada sebagian hipotesa sampai-sampai, ketika kuminta pendapatnya, hanya menggeleng-gelengkan
kepala, menarik napas panjang, dan menyeringai—seakan terpana pada kebodohan manusia. Teori
otokatalis Stuart Kauffman termasuk ke dalam golongan ini. “Menjalankan persamaan di sebuah komputer
tidak membangun sebuah percobaan,” Miller mendengus. Ia mengakui bahwa para ilmuwan mungkin tidak
akan pernah mengetahui persis kapan dan di mana kehidupan muncul.279
Pernyataan ini, yang dikemukakan seorang perintis perjuangan untuk menemukan sebuah penjelasan
evolusi bagi asal usul kehidupan, mencerminkan dengan gamblang keputus-asaan di kalangan ilmuwan
evolusionis terhadap jalan buntu tempat mereka menemukan diri berada.

Bisakah Rancangan Dijelaskan dengan Kebetulan?


Sejauh ini, kita telah menelaah betapa mustahil pembentukan kehidupan secara kebetulan. Marilah
kita abaikan sekali lagi kemustahilan ini sejenak. Anggaplah bahwa jutaan tahun yang lalu, sebuah sel
terbentuk dan memperoleh semua yang dibutuhkan bagi kehidupan, dan karena itu “menjadi hidup.”
Evolusi sekali lagi runtuh di sini. Sebab, sekalipun bertahan selama beberapa saat, sel ini akhirnya akan
mati dan setelah kematiannya, tidak ada yang tersisa, dan semuanya akan kembali ke titik awal. Ini karena
sel hidup pertama tersebut, yang tidak memiliki informasi genetis, tak mampu menggandakan diri dan
memulai sebuah generasi baru. Kehidupan akan berakhir bersama dengan kematian sel ini.
Sistem genetis tak hanya terdiri dari DNA. Unsur-unsur berikut juga harus ada di lingkungan yang
sama: enzim yang membaca kode di dalam DNA, RNA kurir yang dihasilkan setelah pembacaan kode itu,
ribosom tempat melekatnya RNA kurir sesuai dengan kodenya, RNA pemindah yang memindahkan asam
amino ke ribosom untuk dipakai dalam produksi, dan enzim yang amat rumit untuk melakukan sejumlah
besar proses perantara. Lingkungan seperti itu tak mungkin ada di suatu tempat yang terpisah dari
lingkungan yang terkucil dan terkendali sepenuhnya sebagaimana halnya sel, tempat semua bahan mentah
penting dan sumber energi tersedia.
Akibatnya, bahan organik dapat menggandakan diri hanya jika berada di dalam sel yang
berkembang sempurna, bersama dengan segenap organelnya. Ini berarti sel pertama di bumi terbentuk
“seketika,” bersama dengan struktur rumitnya yang luar biasa.
Maka, jika sebuah struktur rumit mewujud secara tiba-tiba, apakah artinya?
Mari kita ajukan pertanyaan ini dengan sebuah contoh. Anggaplah sebuah sel sama dengan sebuah
mobil berteknologi canggih yang setara kerumitannya. (Dalam kenyataan, sel itu sistem yang jauh lebih
rumit dan maju daripada mobil.) Kini, mari kita ajukan pertanyaan berikut: apakah yang Anda pikirkan jika
sedang berjalan di hutan belantara dan menemukan sebuah mobil baru di antara pepohonan? Dapatkah
Anda bayangkan bahwa berbagai macam unsur yang ada di hutan telah selama jutaan tahun bergabung dan
menghasilkan kendaraan semacam itu? Semua bagian pada mobil itu terbuat dari produk-produk besi,
tembaga, dan karet—bahan-bahan mentah yang semuanya dapat ditemukan di perut bumi—namun, apakah
fakta ini membuat Anda berpikir bahwa bahan-bahan itu telah disintesis “secara kebetulan” dan lalu
bergabung serta merakit sebuah mobil?
Tak pelak lagi bahwa setiap orang yang berakal sehat akan menyadari bahwa mobil itu hasil suatu
rancangan cerdas—dengan kata lain, sebuah pabrik—dan bertanya-tanya apakah yang dilakukannya di
tengah-tengah hutan. Kemunculan tiba-tiba suatu struktur rumit dalam bentuk yang sempurna, tanpa
pertanda apa pun, menunjukkan bahwa struktur ijtu karya suatu rancangan cerdas.
Memercayai bahwa kebetulan semata bisa menghasilkan rancangan sempurna adalah di luar batas
akal sehat. Namun, setiap “penjelasan” yang diajukan oleh teori evolusi menyangkut asal usul kehidupan
adalah seperti itu. Salah seorang tokoh yang blak-blakan tentang hal ini ialah ahli zoologi Perancis yang
terkenal Pierre-Paul Grassé, mantan presiden French Academy of Sciences. Grassé seorang evolusionis,
namun mengakui bahwa teori Darwinis tak mampu menjelaskan kehidupan dan membuat satu ulasan
tentang penalaran “ketaksengajaan,” yang merupakan tulang punggung Darwinisme:
Kemunculan tak sengaja mutasi-mutasi yang membuat hewan atau tumbuhan memenuhi
kebutuhannya agaknya sulit dipercaya. Namun teori Darwinian meminta lebih banyak lagi: sebatang
tumbuhan, seekor hewan akan memerlukan beribu-ribu peristiwa mujur dan tepat. Oleh karena itu,
keajaiban menjadi keharusan: peristiwa-peristiwa dengan peluang sangat kecil tak boleh gagal
terjadi… Tiada hukum yang melarang bermimpi indah, namun ilmu pengetahuan tak boleh terlena
olehnya.280
Semua makhluk hidup di dunia ini, semua yang merupakan contoh nyata perencanaan cerdas yang
baru saja kita bahas, pada saat bersamaan adalah petunjuk hidup bahwa ketaksengajaan tidak bisa berperan
dalam keberadaan mereka. Tiap-tiap unsur makhluk hidup—tidak usah keseluruhannya—mengandung
struktur-struktur dan sistem-sistem yang begitu rumit sehingga semua itu tidak mungkin hasil karya
kebetulan. Kita tidak melangkah lebih jauh dari tubuh kita sendiri untuk menemukan contohnya.
Salah satu contoh adalah mata kita. Mata manusia melihat karena kerjasama sekitar 40 bagian
terpisah. Jika satu bagian saja tidak ada, mata akan tidak berguna. Masing-masing dari 40 bagian ini
memiliki rancangan rumit sendiri. Retina di belakang mata, misalnya, tersusun dari 11 lapisan. Setiap
lapisan berfungsi sendiri-sendiri. Proses kimia yang terjadi di dalam retina begitu rumit sehingga hanya
bisa dijelaskan dengan halaman-halaman yang penuh rumus dan gambar.
Teori evolusi tak mampu menjelaskan kemunculan secara “kebetulan” bahkan struktur yang tanpa
cela dan rumit seperti sebiji mata, apalagi kehidupan itu sendiri, atau manusia.
Jadi, apakah yang dibuktikan kepada kita oleh rancangan yang luar biasa ini tentang asal usul
kehidupan? Seperti yang kami jelaskan di bagian pendahuluan buku ini, hanya dua macam cerita yang bisa
diberikan tentang asal usul kehidupan. Yang pertama adalah evolusi, yang lain penciptaan cerdas. Karena
pernyataan evolusi itu mustahil, maka penemuan-penemuan ilmiah membuktikan kebenaran penciptaan.
Kebenaran ini mungkin mengejutkan sebagian ilmuwan, yang sejak abad ke-19 sampai kini memandang
konsep “penciptaan” itu tidak ilmiah, namun, ilmu pengetahuan hanya bisa maju dengan mengatasi
kejutan-kejutan seperti ini dan menerima kebenaran. Chandra Wickramasinghe menguraikan kenyataan
yang dihadapinya sebagai seorang ilmuwan yang telah dicekoki seumur hidupnya bahwa kehidupan
muncul sebagai akibat peristiwa-peristiwa kebetulan:
Sejak pelatihan pertama sebagai ilmuwan, saya telah dicuci otak dengan sangat kuat untuk meyakini
bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa sejalan dengan macam apa pun penciptaan yang sengaja. Gagasan itu
harus dengan menyakitkan dilepaskan. Saat ini, saya tak bisa menemukan satu pun pendapat yang masuk
akal untuk memukul rubuh pandangan yang menyokong keberpalingan kepada Tuhan. Kami terbiasa
berpikiran terbuka; kini kami menyadari bahwa satu-satunya jawaban yang nalar bagi kehidupan adalah
penciptaan—dan bukan kocokan acak yang tak sengaja.281
DONGENG HOMOLOGI

Siapa pun yang mempelajari pelbagai makhluk hidup di bumi ini mungkin mengamati bahwa ada
sejumlah organ dan ciri yang serupa di antara spesies-spesies. Orang pertama yang menarik kesimpulan
materialistik dari fakta ini, yang telah menarik perhatian para ilmuwan sejak abad ke-18, adalah Charles
Darwin.
Darwin berpikir bahwa makhluk-makhluk hidup dengan organ serupa (homolog) saling berkaitan
evolusi, dan bahwa organ-organ ini pasti telah diturunkan dari moyang bersama. Menurut dugaannya,
merpati dan elang keduanya bersayap; karena itu, merpati, elang, dan tentunya burung-burung bersayap
lainnya diduga telah berevolusi dari moyang bersama.
Homologi adalah sebuah pernyataan tautologis, dibangun bukan berdasarkan petunjuk apa pun
selain kemiripan fisik yang terlihat. Pendapat ini tak pernah sekali saja diperkuat oleh penemuan nyata
kapan pun sejak masa Darwin. Tak seorang pun di dunia ini tampil dengan sisa fosil dari moyang khayal
makhluk-makhluk hidup berstruktur homolog. Lebih jauh lagi, butir-butir berikut memperjelas bahwa
homologi tidak menyediakan petunjuk bahwa evolusi pernah terjadi.
1. Orang menemukan organ homolog pada makhluk-makhluk hidup dari filum-filum yang sama
sekali berbeda, yang kaitan evolusinya tidak dapat dibangun oleh para evolusionis;
2. Kode-kode genetis beberapa makhluk hidup berorgan homolog sama sekali berbeda.
3. Perkembangan embriologis organ homolog sama sekali berbeda pada makhluk-makhluk yang
berbeda.
Sekarang, mari kita telaah satu per satu setiap butir bantahan ini.

Ketaksahihan Homologi Morfologis


Tesis homologi evolusionis didasarkan pada penalaran untuk membangun suatu kaitan evolusi di
antara makhluk-makhluk hidup yang bermorfologi (berbentuk) mirip, padahal sejumlah organ homolog
dimiliki bersama-sama oleh kelompok-kelompok yang sama sekali tak berhubungan. Sayap adalah satu
contohnya. Selain burung, kita menemukan sayap pada kelelawar, yang adalah mamalia, dan serangga dan
bahkan pada beberapa dinosaurus, yang merupakan reptil yang telah punah. Bahkan para evolusionis pun
tidak mengajukan suatu kaitan evolusi atau kekerabatan di antara keempat kelompok hewan ini.
Contoh menyolok lainnya adalah kemiripan mencengangkan dan kesamaan struktur yang teramati
pada mata dari makhluk-makhluk yang berbeda. Misalnya, gurita dan manusia adalah dua spesies yang
sama sekali berbeda, tiada kaitan evolusi apa pun mungkin bahkan sekadar diusulkan, namun mata kedua
spesies ini sangat mirip dalam struktur dan fungsi. Bahkan para evolusionis pun tak mencoba menjelaskan
kemiripan mata gurita dan manusia dengan mengajukan suatu moyang bersama.
Sebagai tanggapan, evolusionis mengatakan bahwa organ-organ ini bukan “homolog” (dengan kata
lain, dari moyang bersama), tetapi “analog” (sangat mirip satu sama lain, sekalipun tak berkaitan evolusi).
Misalnya, menurut pandangan mereka, mata manusia dan mata gurita adalah organ-organ analog. Akan
tetapi, pertanyaan ke golongan manakah suatu organ akan mereka masukkan, homolog atau analog,
dijawab sepenuhnya sesuai dengan prasangka teori evolusi. Dan ini menunjukkan bahwa pernyataan
evolusionis yang didasarkan pada kemiripan sama sekali tak ilmiah. Satu-satunya yang dilakukan
evolusionis adalah mencoba menafsirkan penemuan-penemuan baru dengan prasangka dogmatis evolusi.
Akan tetapi, tafsiran yang mereka ajukan sama sekali tidak benar. Sebab, organ-organ yang mereka
anggap “analog” kadang-kadang memiliki kemiripan yang demikian dekat, padahal merupakan struktur
yang sangat rumit, sehingga menyarankan bahwa kemiripan ini lahir berkat mutasi yang kebetulan
sepenuhnya tidak taat azas. Jika sebiji mata gurita muncul semata-mata tak sengaja, sebagaimana
dinyatakan evolusionis, lalu bagaimanakah mata vertebrata (hewan bertulang belakang) bisa muncul
dengan ketaksengajaan yang sama? Evolusionis terkenal Frank Salisbury yang merasa pening karena
memikirkan pertanyaan ini, menulis:
Bahkan sesuatu yang serumit mata telah muncul beberapa kali: misalnya, pada cumi-cumi,
vertebrata, dan artropoda. Sudah cukup buruk [mencoba] menjelaskan asal usul hal-hal ini satu kali, dan
membayangkan menghasilkannya berkali-kali sesuai dengan teori sintesis modern membuat kepala
saya pening.282
Menurut teori evolusi, sayap muncul saling lepas sebanyak empat kali: pada serangga, reptil terbang,
burung, dan mamalia terbang (kelelawar). Fakta bahwa sayap dengan struktur yang sangat mirip
berkembang empat kali—yang tak bisa dijelaskan dengan mekanisme seleksi alam/mutasi—adalah
kepeningan lain bagi para ahli biologi evolusi.
Salah satu contoh paling nyata rintangan di lintasan teori evolusi seperti itu dapat dilihat pada
mamalia. Menurut pandangan biologi mutakhir yang diterima, semua mamalia termasuk ke dalam salah
satu dari tiga kelompok dasar: plasental, marsupial, dan monotrem. Evolusionis menganggap pembedaan
ini terjadi ketika mamalia kali pertama muncul, dan bahwa setiap kelompok menjalani sejarah evolusinya
masing-masing yang sepenuhnya saling lepas. Tetapi, yang menarik adalah adanya “pasangan-pasangan”
pada plasental dan marsupial yang hampir sama. Serigala, kucing, bajing, trenggiling, tikus tanah, dan
tikus kecil plasental semuanya bermitra marsupial dengan morfologi yang amat mirip.283
Dengan kata lain, menurut teori evolusi, mutasi yang sepenuhnya saling lepas pasti telah
menghasilkan makhluk-makhluk ini “secara kebetulan” dua kali! Keniscayaan ini adalah sebuah
pertanyaan yang menghadirkan masalah bagi evolusionis yang lebih buruk daripada sakit kepala.
Salah satu kemiripan menarik antara mamalia plasental dan marsupial adalah antara serigala
Amerika Utara dan serigala Tasmania. Yang pertama masuk kelompok plasental, yang kedua marsupial.
Ahli biologi evolusi percaya bahwa kedua spesies ini bersejarah evolusi yang sama sekali berlainan. 284
(Sejak benua Australia dan pulau-pulau di sekelilingnya terpisahkan dari Gondwanaland, alias benua
raksasa yang diyakini sebagai cikal-bakal Afrika, Antartika, Australia dan Amerika Selatan, hubungan
antara mamalia plasental dan marsupial dianggap terputus, dan saat itu serigala belum ada). Tetapi, yang
menarik adalah struktur kerangka serigala Tasmania hampir sama dengan serigala Amerika Utara.
Terutama tengkorak keduanya, sebagaimana ditunjukkan pada halaman sebelah, memiliki derajat
kemiripan yang luar biasa.
Kemiripan-kemiripan luar biasa dan organ-organ serupa seperti ini, yang tak bisa diterima oleh para
ahli biologi evolusi sebagai contoh-contoh “homologi,” menunjukkan bahwa homologi tidak membentuk
petunjuk apa pun bagi tesis evolusi dari moyang bersama. Yang malah lebih menarik adalah keadaan yang
persis bertolak belakang ini juga teramati pada makhluk-makhluk hidup lain. Dengan kata lain, ada
makhluk-makhluk hidup yang sebagian organnya berstruktur sama sekali berbeda, walaupun dianggap
sebagai kerabat dekat oleh para evolusionis. Misalnya, kebanyakan krustasea berstruktur mata “lensa bias.”
Hanya pada dua spesies—udang karang (lobster) dan udang— terlihat jenis mata “pantul” yang
sepenuhnya berbeda. (Lihat Bab 6 Kerumitan tak Teruraikan.)

Kebuntuan Genetis dan Embriologis dari Homologi


Penemuan yang benar-benar menjungkalkan homologi adalah organ-organ yang dianggap
“homolog” hampir semuanya dikendalikan oleh kode genetis yang sangat berbeda. Seperti yang kita
ketahui, teori evolusi menyarankan bahwa makhluk hidup berkembang lewat perubahan-perubahan kecil
yang tak sengaja di dalam gen-gennya, dengan kata lain, mutasi. Karena alasan ini, struktur genetis
makhluk hidup yang terlihat sebagai kerabat dekat evolusi seharusnya saling mirip. Dan, khususnya,
organ-organ serupa seharusnya dikendalikan oleh struktur genetis serupa. Akan tetapi, ternyata para
peneliti genetika telah membuat berbagai penemuan yang membantah sepenuhnya tesis evolusi ini.
Organ-organ serupa biasanya diatur oleh kode-kode genetis (DNA) yang sangat berbeda. Lebih jauh
lagi, kode genetis yang mirip pada DNA makhluk-makhluk yang berbeda seringkali berkaitan dengan
organ-organ yang sama sekali berlainan. Bab berjudul “The Failure of Homology” (Kegagalan Homologi)
di dalam buku Michael Denton Evolution: A Theory in Crisis memberikan sejumlah contoh, dan
merangkum masalah ini sebagai berikut:
Struktur-struktur homolog seringkali ditentukan oleh sistem-sistem genetis yang tak homolog dan
konsep homologi jarang bisa direntang mundur ke embriologi.285
Masalah genetis ini juga telah diangkat oleh seorang ahli biologi evolusi terkenal, Gavin de Beer. Di
dalam bukunya Homology: An Unsolved Problem (Homologi: Sebuah Masalah yang tak Terpecahkan),
yang diterbitkan pada tahun 1971, de Beer mengajukan analisis yang sangat luas terhadap masalah ini. Ia
meringkaskan mengapa homologi itu sebuah masalah bagi teori evolusi sebagai berikut:
Mekanisme seperti apakah yang bisa menghasilkan organ-organ homolog, ‘pola-pola’ yang sama,
sekalipun tidak dikendalikan oleh gen-gen yang sama? Saya mengajukan pertanyaan ini di tahun 1938, dan
belum terjawab.286
Meskipun telah 30 tahun berlalu sejak de Beer menuliskannya, kata-kata itu masih belum menerima
jawaban.
Bukti ketiga yang melemahkan pernyataan homologi adalah masalah perkembangan embriologis,
yang kami sebutkan di muka. Supaya tesis evolusi tentang homologi dipandang dengan sungguh-sungguh,
masa perkembangan embriologis struktur-struktur yang serupa—dengan kata lain, tahap-tahap
perkembangan dalam telur atau rahim sang induk—harus bersamaan, yang pada kenyataannya, masa
embriologis bagi struktur-struktur yang mirip ini amat berbeda pada tiap makhluk hidup. Pere Alberch,
seorang ahli biologi perkembangan yang cemerlang, mencatat bahwa “struktur-struktur homolog terbentuk
dari keadaan-keadaan awal yang berbeda jauh” adalah “lebih menjadi kaidah daripada perkecualian” 287
Kemunculan struktur-struktur yang mirip sebagai hasil proses-proses yang sama sekali berbeda ini
sering terlihat pada tahap-tahap lanjutan dari masa perkembangan. Seperti yang kita ketahui, banyak
spesies hewan mengalami tahap yang disebut “perkembangan tak langsung” (dengan kata lain, tahap
larva), dalam perjalanan menuju kematangan. Misalnya, sebagian besar katak memulai kehidupannya
sebagai berudu yang berenang dan berubah menjadi hewan berkaki empat pada tahap akhir metamorfosis.
Namun, bersama dengan ini, ada beberapa spesies katak yang mengabaikan tahap larva dan berkembang
langsung. Tetapi, individu dewasa spesies-spesies yang berkembang langsung ini hampir tak bisa
dibedakan dengan yang mengalami tahap berudu. Gejala yang sama terlihat pada berangan air dan spesies
serupa lainnya.288
Sebagai kesimpulan, kita bisa mengatakan bahwa penelitian genetis dan embriologis telah
membuktikan bahwa konsep homologi yang diartikan Darwin sebagai “petunjuk evolusi makhluk hidup
dari moyang bersama” tidak dapat dengan cara apa pun dipandang sebagai petunjuk. Ketakserasian
homologi, yang tampak amat meyakinkan di permukaan, sangat jelas tersingkap ketika dipelajari lebih
dalam.

Kejatuhan Homologi di Kaki Tetrapoda


Kita telah memeriksa pernyataan morfologis dari homologi—dengan kata lain, ketaksahihan
pernyataan evolusionis yang didasarkan pada kesamaan bentuk pada makhluk-makhluk hidup—namun
mempelajari satu contoh terkenal masalah ini sedikit lebih dalam akan sangat bermanfaat. Yakni, “kaki
depan dan belakang tetrapoda (hewan berkaki empat),” yang disajikan sebagai bukti terang homologi
dalam hampir setiap buku evolusi.
Hewan berkaki empat, alias vertebrata darat, berjari lima pada kaki depan dan belakangnya.
Meskipun tak selalu terlihat seperti jari tangan atau kaki, semuanya dianggap “pentadaktili” (berjari lima)
sesuai dengan struktur tulangnya. Tangan dan kaki seekor katak, kadal, bajing, atau monyet semuanya
berstruktur sama. Bahkan struktur tulang burung dan kelelawar sesuai dengan rancangan dasar ini.
Evolusionis menyatakan bahwa semua makhluk hidup berasal dari moyang bersama, dan menyebut
kaki pentadaktili sebagai petunjuknya. Namun, mereka mengetahui bahwa pernyataan ini sebenarnya tak
memiliki kesahihan ilmiah.
Bahkan saat ini, evolusionis menerima ciri pentadaktilisme pada makhluk-makhluk hidup yang tak
mampu mereka bangun kaitan evolusinya. Misalnya, dalam dua makalah ilmiah terpisah yang terbit tahun
1991 dan 1996, ahli biologi evolusi M. Coates mengungkapkan bahwa pentadaktilisme secara terpisah
muncul dua kali, masing-masing saling lepas. Menurut Coates, struktur pentadaktili muncul saling lepas
pada anthracosaurus dan amfibi.289
Penemuan ini adalah tanda bahwa pentadaktilisme bukan petunjuk bagi keberadaan “moyang
bersama.”
Masalah lain yang menimbulkan kesulitan bagi tesis evolusionis dalam hal ini adalah bahwa
makhluk-makhluk ini berjari lima pada kaki depan dan belakang. Dalam kepustakaan evolusionis, tidak
digagaskan bahwa kaki depan dan belakang berasal dari “kaki bersama,” namun dianggap telah
berkembang secara terpisah. Karena alasan ini, seharusnya diharapkan bahwa struktur kaki depan dan
belakang berbeda, akibat mutasi-mutasi tak sengaja yang berbeda. Michael Denton mengatakan yang
berikut akan hal ini:
Kaki depan semua vertebrata terbentuk menurut rancangan pentadaktili yang sama, dan ini
dikatakan oleh ahli biologi evolusi sebagai menunjukkan bahwa semua makhluk diturunkan dari sumber
moyang bersama. Namun, kaki belakang semua vertebrata juga sesuai dengan pola pentadaktili dan secara
menyolok mirip dengan kaki bagian depan dalam hal struktur tulang dan rincian perkembangan
embriologis. Namun, tak seorang pun evolusionis mengakui bahwa kaki belakang berevolusi dari kaki
depan, atau bahwa kaki depan dan belakang telah berevolusi dari sumber yang sama… Pada akhirnya,
sambil pengetahuan biologi berkembang, genealogi umum sebagai sebuah penjelasan bagi kemiripan ini
cenderung kian melemah… Seperti demikian banyak “petunjuk” tak langsung lainnya bagi evolusi,
petunjuk yang ditarik dari homologi tak meyakinkan karena melibatkan terlalu banyak perkecualian,
terlalu banyak contoh yang menentang, amat terlalu banyak gejala yang sekadar tidak cocok dengan
gambaran yang biasa.290
Tetapi, pukulan sesungguhnya terhadap pernyataan evolusionis tentang homologi pentadaktilisme
datang dari biologi molekuler. Anggapan “homologi pentadaktilisme,” yang telah lama dipertahankan
dalam terbitan-terbitan evolusionis, dijungkirbalikkan ketika diketahui bahwa struktur-struktur kaki
dikendalikan oleh gen yang sama sekali berlainan pada makhluk-makhluk hidup yang memiliki struktur
pentadaktili ini. Ahli biologi evolusi William Fix menggambarkan keruntuhan tesis evolusionis tentang
pentadaktilisme ini sebagai berikut:
Buku-buku acuan evolusi yang lama banyak membahas gagasan homologi, menunjuk kepada
kemiripan menyolok di antara kerangka kaki hewan-hewan yang berbeda. Maka, pola kaki ‘pentadaktili’
[lima tulang] ini ditemukan pada lengan manusia, sayap burung, dan sirip ikan paus, dan kemiripan ini
diyakini menandakan asal usul yang sama. Kini, jika berbagai struktur ini diturunkan oleh pasangan-
pasangan gen yang sama, yang berubah dari waktu ke waktu karena mutasi dan terkena seleksi
lingkungan, teori akan masuk akal. Sayangnya, tidak demikian yang terjadi. Kini diketahui bahwa
organ-organ homolog dihasilkan oleh kelompok-kelompok gen yang sama sekali berbeda pada spesies
yang berbeda. Konsep homologi menurut kemiripan gen yang diturunkan dari moyang bersama telah
hancur.291
Pada pemeriksaan lebih dekat, William Fix mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan evolusionis
tentang “homologi pentadaktilisme” muncul di buku-buku acuan lama, namun pernyataan itu ditinggalkan
setelah petunjuk molekuler muncul. Namun, sayangnya, sebagian buku evolusionis masih terus
mengajukannya sebagai petunjuk utama bagi evolusi.

Ketaksahihan Homologi Molekuler


Pengajuan homologi sebagai petunjuk bagi evolusi oleh para evolusionis tidak sahih bukan hanya di
tingkat morfologis, namun juga molekuler. Evolusionis mengatakan bahwa kode-kode DNA, atau struktur-
struktur protein yang terkait, dari spesies-spesies hidup yang berbeda adalah mirip, dan bahwa kemiripan
ini merupakan petunjuk bahwa spesies-spesies ini telah berevolusi dari moyang bersama, atau berevolusi
dari satu ke yang lain. Misalnya, sering diutarakan dalam kepustakaan evolusionis bahwa “ada kemiripan
yang besar antara DNA manusia dengan kera,” dan kesamaan ini dijadikan petunjuk bagi pernyataan
evolusionis bahwa ada suatu kaitan evolusi antara manusia dan kera.
Kita harus menjernihkan sedari awal bahwa bukan kejutan jika makhluk-makhluk hidup di bumi
mesti berstruktur DNA yang sangat mirip. Proses-proses kehidupan dasar makhluk-makhluk hidup adalah
sama, dan karena memiliki tubuh yang hidup, manusia tak bisa diharapkan berstruktur DNA yang berbeda
dari makhluk lain. Seperti makhluk-makhluk hidup lain, manusia tumbuh dengan makan karbohidrat,
lemak, dan protein, oksigen beredar melalui darah di dalam tubuhnya, dan tenaga dihasilkan setiap detik di
setiap sel tubuhnya akibat penggunaan oksigen ini.
Karena alasan ini, fakta bahwa makhluk-makhluk hidup memiliki kesamaan genetis bukan bukti
pernyataan evolusionis bahwa mereka telah berevolusi dari moyang bersama. Jika ingin membuktikan teori
evolusi dari moyang bersama, evolusionis harus menunjukkan bahwa makhluk-makhluk yang disangka
sebagai moyang bersama masing-masing memiliki garis keturunan langsung dalam struktur molekulernya;
Akan tetapi, nyatanya, seperti yang akan segera kita pelajari, tiada penemuan nyata yang menunjukkan hal
seperti itu.
Pertama-tama, mari kita tangani masalah “kemiripan antara DNA manusia dan simpanse.” Penelitian
terbaru dalam masalah ini telah mengungkapkan bahwa propaganda evolusionis tentang “98%” atau
“99%” kesamaan antara manusia dan simpanse sama sekali keliru.
Jika penelitian yang sedikit lebih luas tentang hal ini dilakukan, dapat dilihat bahwa DNA makhluk-
makhluk yang jauh lebih mengherankan mirip dengan manusia. Salah satu kemiripan ini adalah antara
manusia dan cacing-cacing dari filum nematoda. Misalnya, analisis genetis yang diterbitkan majalah New
Scientist telah mengungkapkan bahwa “hampir 75% gen manusia memiliki kesamaan dengan
nematoda—cacing-cacing tanah yang panjangnya beberapa milimeter.”292 Ini tentunya bukan berarti
bahwa hanya ada 25% pebedaan antara manusia dan cacing-cacing itu! Menurut pohon kekerabatan yang
dibuat oleh evolusionis, filum Chordata, yang manusia termasuk di dalamnya, dan filum Nematoda sudah
berbeda bahkan sejak 530 juta tahun yang lalu.
Keadaan ini dengan jelas mengungkapkan bahwa kesamaan antara rantai-rantai DNA dua kelompok
kehidupan ini bukanlah petunjuk bagi pernyataan bahwa makhluk-makhluk ini berevolusi dari moyang
bersama.
Nyatanya, ketika hasil-hasil analisis DNA dari spesies-spesies dan kelas-kelas berbeda
dibandingkan, terlihat jelas bahwa urut-urutan DNA tidak cocok dengan pohon kekerabatan evolusionis
mana pun. Menurut tesis evolusionis, makhluk hidup pastilah mengalami kenaikan kerumitan yang
bertambah, dan, bersamaan dengan itu, dapat diharapkan bahwa jumlah gen yang menyusun data
genetisnya juga perlahan-lahan meningkat. Namun, data yang diperoleh menunjukkan bahwa tesis ini hasil
berkhayal.
Ilmuwan Rusia Theodosius Dobzhansky, seorang ahli teori evolusi paling terkenal, sekali waktu
menyatakan bahwa hubungan yang tidak beraturan antara makhluk hidup dan DNAnya merupakan sebuah
masalah besar yang tak bisa dijelaskan evolusi:
Organisme yang lebih rumit biasanya memiliki lebih banyak DNA per sel daripada organisme
sederhana, namun, kaidah ini memiliki pengecualian yang menyolok. Manusia tidak berada di puncak
daftar, karena diungguli oleh Amphiuma (sejenis amfibi), Protopterus (sejenis ikan berparu), dan bahkan
katak atau kodok biasa. Mengapa ini harus demikian telah lama menjadi teka-teki.293
Pembandingan-pembandingan lain di tingkat molekuler menghasilkan contoh-contoh lain
ketakserasian yang membuat pandangan evolusionis kehilangan makna. Ketika benang protein berbagai
makhluk hidup dianalisis di laboratorium, hasil-hasil yang muncul sama sekali di luar dugaan dari sudut
pandang evolusionis, dan beberapa di antaranya benar-benar mencengangkan. Misalnya, protein sitokrom-
C pada manusia berbeda 14 asam amino dari kuda, namun hanya 8 dari kangguru. Ketika untai yang sama
diteliti, kura-kura terlihat lebih dekat ke manusia daripada ke reptil seperti ular derik. Ketika keadaan ini
diamati dari sudut pandang evolusionis, hasil yang tanpa makna akan muncul, misalnya, kura-kura lebih
dekat berkerabat dengan manusia daripada dengan ular.
Misalnya, ayam dan ular laut berbeda 17 asam amino dalam 100 kodon, serta kuda dan ikan hiu
sebanyak 16, lebih besar daripada antara anjing dan lalat daging, yang bahkan berlainan filum dan berbeda
hanya 15 asam amino.
Fakta-fakta serupa telah ditemukan tentang hemoglobin. Protein hemoglobin yang ditemukan pada
manusia berbeda dengan yang ditemukan pada kukang sebanyak 20 asam amino, namun dengan babi
hanya sebanyak 14. Keadaan ini lebih kurang sama bagi protein-protein lain.294
Karena hal ini terjadi, para evolusionis seharusnya sampai kepada kesimpulan bahwa, menurut
evolusi, manusia lebih berkerabat dengan kangguru daripada kuda, atau dengan babi daripada kukang.
Namun, hasil-hasil ini bertentangan dengan semua rencana “pohon kekerabatan evolusi” yang telah lama
diterima. Kemiripan protein terus menghasilkan kejutan-kejutan yang mencengangkan. Misalnya:
Adrian Friday dan Martin Bishop dari Cambridge telah manganalisis data urutan protein yang
tersedia dari tetrapoda… Mengejutkan mereka, pada hampir setiap kejadian, manusia (mamalia) dan
ayam (burung) dipasangkan sebagai kerabat terdekat, dengan buaya sebagai yang terdekat
berikutnya…295
Lagi-lagi, ketika didekati dari sudut pandang penalaran evolusionis, kemiripan-kemiripan ini
membawa kita kepada kesimpulan yang menggelikan bahwa kerabat terdekat evolusi manusia adalah
ayam. Paul Erbrich menekankan fakta bahwa analisis molekuler memberikan hasil-hasil yang
menunjukkan kelompok-kelompok makhluk hidup yang sangat berbeda berkerabat sangat dekat dengan
cara berikut:
Protein-protein yang berstruktur dan fungsi sama (protein-protein homolog) ditemukan dengan
jumlah yang kian bertambah dalam kelompok-kelompok (takson) yang berbeda secara filogenetis, bahkan
sangat mudah dibedakan (misalnya, hemoglobin pada vertebrata, pada beberapa invertebrata, dan bahkan
pada tetumbuhan tertentu).296
Dr. Christian Schwabe, seorang peneliti biokimia dari Fakultas Kedokteran University of South
Carolina, adalah seorang ilmuwan yang menghabiskan bertahun-tahun mencoba menemukan petunjuk bagi
evolusi di bidang molekul. Pertama, ia mencoba membangun kaitan evolusi di antara makhluk-makhluk
hidup dengan melakukan penelitian pada protein seperti insulin dan relaksin. Namun, Schwabe beberapa
kali terpaksa mengakui bahwa ia tidak mampu menemukan petunjuk apa pun bagi evolusi dalam
penelitiannya. Ia mengatakan yang berikut ini dalam sebuah artikel majalah Science:
Evolusi molekuler akan diterima sebagai cara yang lebih unggul daripada paleontologi bagi
penemuan kaitan evolusi. Sebagai seorang evolusionis molekuler, saya seharusnya berbesar hati.
Sebaliknya, rasanya risih melihat banyak pengecualian bagi kemajuan beraturan spesies
sebagaimana yang ditentukan oleh homologi molekuler: nyatanya, demikian banyak sampai-sampai saya
berpikir bahwa pengecualian, kejanggalan-kejanggalan, mungkin membawa pesan yang lebih penting.297
Penelitian Schwabe pada relaksin memberikan hasil yang sangat menarik:
Berlatar belakang keanekaragaman yang tinggi di antara relaksin dari spesies-spesies yang terlihat
berkerabat dekat, relaksin babi dan ikan paus persis sama. Molekul-molekul yang diambil dari tikus,
marmut, manusia, dan babi sama jauhnya satu sama lain (sekitar 55%) sebagaimana juga relaksin semua
ikan bertulang rawan. …Akan tetapi, insulin membawa manusia dan babi secara filogenetis lebih
dekat daripada simpanse dan manusia.298
Schwabe menghadapi kenyataan yang sama ketika membandingkan susunan protein-protein lain di
samping insulin dan relaksin. Schwabe mengatakan yang berikut tentang protein-protein lain yang
membentuk pengecualian-pengecualian bagi perkembangan molekuler beraturan sebagaimana yang
diajukan evolusionis:
Keluarga relaksin dan insulin tak berdiri sendiri sebagai pengecualian bagi tafsiran beraturan atas
evolusi molekuler menurut monofiletik yang biasa. Dianjurkan agar melihat contoh-contoh tambahan
evolusi protein yang terlihat menyimpang dan memperhatikan bahwa penjelasan-penjelasan yang
diperbolehkan dalam teori-teori jam molekuler mencakup serangkaian penjelasan khusus yang tampaknya
dibatasi hanya oleh daya khayal.299
Schwabe mengungkapkan bahwa pembandingan susunan lisosom, sitokrom, serta berbagai hormon
dan asam amino menunjukkan “hasil yang tidak diharapkan dan penyimpangan” dari sudut pandang
evolusi. Berdasarkan pada semua petunjuk ini, Schwabe bersikukuh bahwa semua protein mendapatkan
bentuknya yang sekarang sedari awal, tak mengalami evolusi apa pun, dan tak ada bentuk peralihan telah
ditemukan di antara molekul-molekul ini, dengan cara yang sama dengan fosil.
Tentang temuan-temuan di bidang biologi molekuler ini, Dr. Michael Denton mengulas:
Setiap kelas pada tingkat molekuler adalah unik, terpisah, dan tak terhubung dengan bentuk
peralihan. Maka, molekul-molekul ini, seperti fosil, telah gagal memberikan bentuk peralihan yang pandai
bersembunyi dan telah demikian lama dicari biologi evolusi… Di tingkat molekuler, tiada organisme
yang “moyang” atau “sederhana” atau “maju” dibandingkan dengan kerabat-kerabatnya… Ada
sedikit keraguan bahwa jika petunjuk molekuler ini tersedia seabad yang lalu… gagasan evolusi organik
mungkin tak akan pernah diterima.300

“Pohon Kehidupan” sedang Tumbang


Di tahun 1990-an, penelitian ke dalam kode-kode genetis makhluk hidup memperburuk kebingungan
yang dihadapi oleh teori evolusi tentang hal ini. Dalam percobaan-percobaan ini, tidak seperti
pembandingan-pembandingan sebelumnya yang dibatasi pada urutan protein, urutan “RNA ribosom”
(rRNA) dibandingkan. Dari temuan-temuan ini, ilmuwan evolusionis mencoba membangun sebatang
“pohon evolusi.” Akan tetapi, mereka dikecewakan oleh hasil-hasilnya.
Menurut sebuah artikel tahun 1999 karangan dua ahli biologi Perancis, Hervé Philippe and Patrick
Forterre, “dengan semakin banyak urutan tersedia, ternyata sebagian besar filogeni protein saling
bertentangan sebagaimana pohon rRNA.”301
Di samping perbandingan rRNA, kode-kode DNA di dalam gen-gen makhluk hidup juga
diperbandingkan, namun hasil-hasilnya telah berkebalikan dengan “pohon kehidupan” yang sudah
dipersangkakan oleh evolusi. Para ahli biologi molekuler, James A. Lake, Ravi Jain dan Maria C. Rivera
merinci hal ini dalam sebuah artikel di tahun 1999:
…Para ilmuwan mulai menganalisis beraneka ragam gen dari organisme-organisme yang berbeda
dan menemukan bahwa hubungan di antara mereka bertentangan dengan pohon kehidupan evolusi yang
diturunkan hanya dari analisis rRNA.302
Baik pembandingan-pembandingan yang dilakukan pada protein, maupun pada rRNA atau gen,
tidak menegaskan dasar-dasar pemikiran teori evolusi. Carl Woese, seorang ahli biologi yang ternama dari
University of Illinois, mengakui bahwa konsep “filogeni” telah kehilangan arti pentingnya di hadapan
temuan-temuan molekuler dengan cara berikut:
Tiada filogeni organisme yang tetap telah muncul dari berbagai filogeni protein yang dihasilkan
sejauh ini. Ketidakselarasan filogenetis dapat dilihat di mana-mana pada pohon semesta, dari akar sampai
ke cabang-cabang utama, di dalam dan di antara berbagai [kelompok] sampai ke susunan kelompok-
kelompok utama sendiri.303
Fakta bahwa hasil-hasil pembandingan molekuler tidak menyokong, tetapi cenderung menentang,
teori evolusi juga diakui di dalam sebuah artikel berjudul “Is it Time to Uproot the Tree of Life?" (Inikah
Saatnya Mencabut Pohon Kehidupan?) yang diterbitkan Science pada tahun 1999. Artikel oleh Elizabeth
Pennisi ini menyatakan bahwa analisis dan pembandingan genetik yang dilakukan oleh para ahli biologi
Darwinis untuk menjelaskan “pohon kehidupan” sebenarnya memberikan hasil-hasil yang bertolak
belakang, dan selanjutnya dengan mengatakan bahwa “data baru sedang mengeruhkan lukisan evolusi.”
Setahun yang lalu, para ahli biologi yang memeriksa urutan genom-genom yang baru dirangkaikan
dari selusin lebih mikroorganisme, berpikir bahwa data ini mungkin mendukung alur-alur cerita sejarah
awal kehidupan yang telah diterima. Namun, yang mereka lihat membingungkan mereka. Pembandingan
genom-genom yang saat itu tersedia bukan hanya tidak menjelaskan gambaran bagaimana kelompok-
kelompok utama kehidupan berevolusi, namun malah mengacaukannya. Dan sekarang, dengan tambahan
delapan urutan genom mikroba di tangan, keadaan bahkan kian lebih membingungkan… Banyak ahli
biologi evolusi telah berpikir bahwa mereka bisa secara kasar melihat awal kehidupan dari tiga kerajaan
(kingdom) hewan… Ketika urutan lengkap DNA membuka jalan untuk membandingkan jenis-jenis lain
gen, para peneliti berharap bahwa urutan-urutan ini akan sekadar menambahkan rincian ke pohon ini.
Namun, “tiada yang lebih jauh dari kebenaran,” kata Claire Fraser, kepala TIGR (The Institute for
Genomic Research) di Rockville, Maryland. Sebaliknya, pembandingan-pembandingan telah menghasilkan
banyak macam pohon kehidupan yang berbeda dari pohon rRNA dan juga saling bertentangan…304
Singkatnya, sambil biologi molekuler berkembang, konsep homologi kian kehilangan pijakan.
Pembandingan-pembandingan yang telah dilakukan atas protein, rRNA, dan gen mengungkapkan bahwa
makhluk-makhluk yang disangka kerabat dekat menurut teori evolusi sebenarnya sama sekali berbeda satu
sama lain. Sebuah penelitian tahun 1996 menggunakan 88 urutan protein mengelompokkan kelinci ke
dalam primata, bukan rodensia; analisis tahun 1998 terhadap 13 gen pada 19 spesies hewan menempatkan
bulu babi ke dalam Chordata; dan penelitian lain di tahun 1998 pada 12 protein menempatkan sapi lebih
dekat ke ikan paus daripada kuda.
Sambil kehidupan diselidiki pada taraf molekul, hipotesis homologi teori evolusi runtuh satu persatu.
Ahli biologi molekuler, Jonathan Wells, menyimpulkan keadaan ini pada tahun 2000 sebagai berikut:
Ketakseragaman di antara pohon-pohon [kehidupan] menurut pelbagai molekul, dan pohon-pohon
ganjil yang dihasilkan sejumlah analisis molekuler, telah menceburkan filogeni molekuler ke dalam
krisis.305
Tetapi, dalam hal itu, penjelasan ilmiah seperti apakah yang bisa diberikan bagi struktur-struktur
yang mirip pada makhluk-makhluk hidup? Jawaban pertanyaan itu telah diberikan sebelum teori evolusi
Darwin muncul menguasai dunia ilmu pengetahuan. Tokoh ilmu pengetahuan seperti Carl Linnaeus dan
Richard Owen, yang kali pertama mengangkat masalah organ-organ yang mirip pada makhluk-makhluk
hidup, melihat organ-organ ini sebagai contoh-contoh “rancangan bersama.” Dengan kata lain, organ-
organ yang mirip atau gen-gen yang mirip bukanlah karena telah berevolusi secara kebetulan dari satu
moyang bersama, tetapi karena telah sengaja dirancang untuk melakukan fungsi-fungsi khusus.
Penemuan-penemuan ilmiah mutakhir menunjukkan pernyataan bahwa kemiripan pada makhluk
hidup disebabkan pewarisan dari “moyang bersama” tidak sahih, dan satu-satunya penjelasan yang masuk
akal bagi kemiripan-kemiripan itu adalah “rancangan bersama.”
KEKEBALAN, “ORGAN VESTIGIAL,”
DAN EMBRIOLOGI

Dalam ruas-ruas sebelumnya, kita telah mempelajari sejumlah ketidakserasian dan kesukaran yang
dihadapi teori evolusi di bidang paleontologi dan biologi molekuler sesuai dengan penemuan-penemuan
dan bukti ilmiah. Dalam bab ini, kita akan mempertimbangkan beberapa fakta biologis yang disajikan
sebagai petunjuk bagi teori di dalam buku-buku evolusionis. Bertentangan dengan kepercayaan yang
tersebar luas, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya tiada penemuan ilmiah yang mendukung
teori evolusi.

Ketahanan Bakteri terhadap Antibiotika


Salah satu konsep biologi yang coba disajikan evolusionis sebagai petunjuk bagi teori mereka adalah
ketahanan bakteri terhadap antibiotika. Banyak pustaka evolusionis menyebutkan ketahanan antibiotika
sebagai “sebuah contoh perkembangan makhluk hidup lewat mutasi bermanfaat.” Pernyataan serupa juga
diutarakan bagi serangga yang membangun kekebalan terhadap insektisida seperti DDT.
Akan tetapi, evolusionis juga keliru dalam hal ini.
Antibiotika adalah “molekul-molekul pembunuh” yang dihasilkan oleh mikroorganisme untuk
melawan mikroorganisme lain. Antibiotika pertama adalah penisilin, yang ditemukan oleh Alexander
Fleming di tahun 1928. Fleming menyadari bahwa jamur menghasilkan sejenis molekul yang membunuh
bakteri Staphylococcus, dan penemuan ini menandai sebuah titik balik dalam dunia kedokteran.
Antibiotika yang diambil dari mikroorganisme dipakai membunuh bakteri dan ternyata berhasil.
Segera setelah itu, sesuatu yang baru ditemukan. Bakteri membina kekebalan terhadap antibiotika
seiring dengan waktu. Mekanismenya bekerja seperti ini: sejumlah besar bakteri yang diberi antibiotika
mati, namun sebagian lain yang tidak terpengaruh oleh antibiotika itu, menggandakan diri dengan cepat
dan segera membentuk keseluruhan populasi. Maka dari itu, seluruh populasi menjadi kebal antibiotika.
Para evolusionis mencoba menyajikan hal ini sebagai “evolusi bakteri lewat penyesuaian dengan
keadaan.”
Akan tetapi, kejadian sebenarnya sangat berbeda dengan tafsiran dangkal ini. Salah seorang ilmuwan
yang telah melakukan penelitian paling rinci tentang masalah ini adalah ahli biofisika Israel Lee Spetner,
yang juga terkenal dengan bukunya Not by Chance (Bukan Kebetulan) yang diterbitkan pada tahun 1997.
Spetner menyebutkan bahwa kekebalan pada bakteri muncul melalui dua mekanisme berbeda, namun
keduanya tidak menyusun petunjuk bagi teori evolusi. Kedua mekanisme ini adalah:
1) Pemindahan gen-gen tahan yang sudah tersedia pada bakteri.
2) Pembangunan ketahanan sebagai hasil kehilangan data genetis karena mutasi.
Profesor Spetner menjelaskan mekanisme pertama dalam sebuah artikel terbitan 2001:
Sebagian mikroorganisme telah dianugerahi dengan gen-gen yang memberikan ketahanan terhadap
antibiotika ini. Ketahanan ini bisa berbentuk menguraikan atau menghalau molekul antibiotika dari sel …
Organisme yang memiliki gen-gen ini dapat menularkannya ke bakteri lain supaya membuatnya tahan
juga. Meskipun mekanisme ketahanan ini khusus terhadap antibiotika tertentu, sebagian besar bakteri
patogen (penyebab penyakit) telah… berhasil mengumpulkan beberapa himpunan gen yang menjamin
ketahanan terhadap berbagai antibiotika.306
Spetner kemudian melanjutkan bahwa ini bukanlah “petunjuk bagi evolusi”:
Perolehan ketahanan terhadap antibiotika dengan cara ini… bukan jenis yang dapat dijadikan
sebagai model awal bagi mutasi yang diperlukan untuk menjelaskan evolusi… Perubahan-perubahan
genetis yang dapat menggambarkan teori seharusnya tak hanya menambah informasi ke dalam genom
bakteri, namun juga menambah informasi baru kepada dunia kehidupan. Penyalinan gen ke sesama [jenis]
hanya menyebarkan gen yang sudah ada pada beberapa spesies.307
Jadi, kita tak dapat membicarakan evolusi apa pun di sini, sebab tiada data genetis baru yang
dihasilkan: informasi genetis yang telah ada sekadar ditularkan antarbakteri.
Jenis kekebalan kedua, yang muncul sebagai akibat mutasi, bukanlah sebuah contoh evolusi juga.
Spetner menulis:
… Suatu mikroorganisme kadang bisa memperoleh ketahanan terhadap antibiotika melalui
penggantian acak satu nukleotida… Streptomycin, yang ditemukan oleh Selman Walksman dan Albert
Schartz serta kali pertama dilaporkan pada tahun 1944, adalah antibiotika yang terhadapnya bakteri bisa
memperoleh ketahanan dengan cara ini. Tetapi, meskipun bermanfaat bagi mikroorganisme untuk
menghadapi streptomycin, mutasi yang dialami bakteri dalam proses ini tak bisa dijadikan sebagai model
awal mutasi yang dibutuhkan oleh NDT [Neo-Darwinian Theory – Teori Darwinian Baru]. Jenis mutasi
yang menjamin ketahanan terhadap streptomycin terwujud di ribosom dan menurunkan kecocokan
molekulernya dengan molekul antibiotika.308
Di dalam bukunya Not by Chance, Spetner menyerupakan keadaan ini dengan gangguan hubungan
kunci-gembok. Streptomycin, seperti sebuah kunci yang benar-benar pas dengan sebuah gembok,
mencengkeram ribosom suatu bakteri dan menghentikan kerjanya. Di sisi lain, mutasi menguraikan
ribosom sehingga mencegah streptomycin berikatan ke ribosom. Meskipun ditafsirkan sebagai “bakteri
mengembangkan kekebalan terhadap streptomycin,” hal ini tak bermanfaat bagi bakteri, justru
merugikannya. Spetner menulis:
Perubahan di permukaan ribosom mikroorganisme ini mencegah molekul streptomycin berikatan
dan menjalankan fungsi antibiotiknya. Ternyata, kerusakan ini merupakan suatu kehilangan kekhususan
dan, akibatnya, kehilangan informasi. Pokok utamanya adalah bahwa Evolusi… tak bisa dicapai dengan
mutasi jenis ini, betapa pun banyaknya. Evolusi tak bisa dibangun dengan menghimpun mutasi-mutasi
yang hanya mengurangi kekhususan.309
Sebagai kesimpulan, suatu mutasi yang berpengaruh pada ribosom bakteri membuat bakteri itu tahan
terhadap streptomycin. Alasan bagi hal ini adalah “penguraian” ribosom oleh mutasi. Yakni, tidak ada
informasi genetis baru ditambahkan ke bakteri. Sebaliknya, struktur ribosom teruraikan, dengan kata lain,
bakteri menjadi “cacat.” (Juga, telah ditemukan bahwa ribosom bakteri hasil mutasi kurang berfungsi
daripada ribosom bakteri biasa.) Karena “cacat” ini mencegah antibiotika mengikat ribosom, “ketahanan
antibiotika” berkembang.
Akhirnya, tiada contoh mutasi yang “mengembangkan informasi genetis.” Evolusionis, yang ingin
menyajikan ketahanan antibiotika sebagai petunjuk bagi evolusi, memperlakukan masalah ini secara sangat
dangkal dan justru keliru.
Hal yang sama juga berlaku bagi kekebalan yang dikembangkan serangga terhadap DDT dan
insektisida sejenis. Pada sebagian besar, gen-gen kekebalan yang telah ada digunakan. Ahli biologi evolusi
Francisco Ayala mengakui fakta ini dengan mengatakan, “Ragam-ragam genetis yang diperlukan bagi
ketahanan terhadap jenis-jenis pestisida yang paling beraneka tampaknya ada di setiap populasi yang
terpapar senyawa-senyawa buatan manusia ini.”310 Beberapa contoh lain yang dijelaskan dengan mutasi,
sama seperti mutasi ribosom tersebut di atas, adalah gejala yang menyebabkan “kerugian informasi
genetis” pada serangga.
Dalam hal ini, tidak bisa dinyatakan bahwa mekanisme kekebalan pada bakteri dan serangga
membentuk petunjuk bagi teori evolusi. Itu karena teori evolusi didasarkan pada anggapan bahwa
makhluk-makhluk hidup berkembang melalui mutasi. Akan tetapi, Spetner menjelaskan bahwa baik
kekebalan terhadap antibiotika maupun gejala-gejala biologis lain mengisyaratkan contoh mutasi yang
demikian:
Mutasi-mutasi yang diperlukan bagi evolusi makro belum pernah teramati. Tidak ada mutasi acak
yang bisa mewakili mutasi-mutasi yang diperlukan oleh Teori Neo-Darwinian dan telah diteliti di tingkat
molekuler menambahkan informasi apa pun. Pertanyaan yang saya singgung adalah: apakah mutasi-mutasi
yang telah teramati merupakan jenis yang dibutuhkan untuk mendukung teori evolusi? Jawabannya
ternyata BUKAN!311

Dongeng Organ Vestigial


Untuk waktu yang lama, konsep “organ vestigial” sering muncul dalam kepustakaan evolusionis
sebagai “petunjuk” bagi evolusi. Pada akhirnya, konsep ini secara diam-diam dikubur ketika terbukti tidak
sahih. Namun, sebagian evolusionis masih memercayainya, dan dari waktu ke waktu seseorang akan
mencoba mengajukan “organ vestigial” sebagai petunjuk penting evolusi.
Gagasan “organ vestigial” kali pertama dikemukakan sekitar seabad yang lalu. Sebagaimana
dikatakan para evolusionis, di dalam tubuh sebagian makhluk hidup, terdapat sejumlah organ yang tak
berfungsi. Organ-organ ini telah diwarisi dari para moyang dan secara bertahap menjadi vestigial
(kehilangan manfaat) karena jarang dipakai.
Keseluruhan anggapan ini tak ilmiah, dan sepenuhnya didasarkan pada ilmu pengetahuan yang tak
memadai. Organ-organ “tak berguna” ini pada dasarnya organ-organ yang “fungsi-fungsinya belum
diketahui.” Pertanda terbaik akan hal ini adalah pengurangan bertahap namun tajam daftar panjang organ
vestigial menurut evolusionis. SR Scadding, seorang evolusionis, menyetujui fakta ini dalam artikelnya
“Can vestigial organs constitute evidence for evolution?” (Dapatkah organ-organ vestigial membentuk
petunjuk bagi evolusi?) yang diterbitkan di dalam majalah Evolutionary Theory:
Karena mustahil mengenali secara pasti struktur-struktur tak berguna, dan karena bangun pendapat
yang diajukan tidak sahih secara ilmiah, saya menyimpulkan bahwa ‘organ-organ vestigial’ tidak
menyediakan petunjuk khusus bagi teori evolusi.312
Daftar organ vestigial yang telah dibuat oleh ahli anatomi Jerman R. Wiedersheim di tahun 1895
mencakup sekitar 100 organ, termasuk usus buntu dan tulang ekor. Seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, ditemukan bahwa semua organ di dalam daftar Wiedersheim sesungguhnya memiliki fungsi-
fungsi amat penting. Misalnya, ditemukan bahwa usus buntu, yang dikira “organ vestigial,” ternyatanya
organ limfoid (penghasil zat antikuman) yang melawan infeksi-infeksi di dalam tubuh. Fakta ini menjadi
jelas pada tahun 1997:
Organ-organ dan jaringan-jaringan penyusun tubuh lainnya—gondok, hati, limpa, usus buntu,
sumsum tulang, dan sekumpulan kecil jaringan limfatik seperti amandel di tenggorokan dan tonjolan Peyer
pada usus halus—juga bagian dari sistem limfatik. Mereka juga membantu tubuh melawan infeksi.313
Juga telah ditemukan bahwa amandel, yang masuk ke dalam daftar organ vestigial tersebut, berperan
penting melindungi tenggorokan dari infeksi, khususnya hingga masa remaja. Telah ditemukan bahwa
tulang ekor di ujung bawah tulang belakang menyokong tulang-tulang di sekitar panggul dan menjadi titik
temu beberapa otot kecil, dan karena itu, tanpa tulang ekor kita tak bisa duduk nyaman.
Pada tahun-tahun selanjutnya, diketahui bahwa kelenjar gondok merangsang sistem kekebalan di
dalam tubuh manusia dengan menghidupkan sel-sel T, bahwa kelenjar pineal berwewenang atas pelepasan
sejumlah hormon penting seperti melatonin yang menghambat pelepasan hormon reproduksi, bahwa
kelenjar tiroid berdaya guna dalam menjaga pertumbuhan yang tetap pada bayi dan anak-anak serta
metabolisme dan kegiatan tubuh, dan bahwa kelenjar pituitari mengendalikan pertumbuhan tulang dan
bekerjanya dengan benar kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, dan kelenjar reproduksi. Semua ini sekali waktu
dianggap “organ-organ vestigial.” Akhirnya, lipatan sabit di mata, yang dirujuk sebagai sebuah organ
vestigial oleh Darwin, telah ditemukan sebenarnya berwewenang membersihkan dan melumasi bola mata.
Terdapat kekeliruan pemikiran yang amat penting dalam pernyataan evolusionis tentang organ
vestigial. Sebagaimana telah kita lihat, pernyataan ini adalah bahwa organ-organ vestigial pada makhluk
hidup diturunkan dari moyang-moyangnya. Akan tetapi, sebagian organ yang disangka “vestigial” tidak
ditemukan pada spesies yang disangka moyang-moyang manusia! Misalnya, usus buntu tidak ada pada
beberapa spesies kera yang dikatakan sebagai moyang-moyang manusia. Ahli biologi ternama H. Enoch,
yang menentang teori organ vestigial, mengutarakan kekeliruan pemikiran ini sebagai berikut:
Kera memiliki usus buntu, sementara kerabat-kerabat jauhnya, kera tingkat rendah, tidak; namun,
usus buntu muncul pada mamalia yang lebih rendah lagi seperti oposum (sejenis tikus). Bagaimanakah
evolusionis bisa menjelaskan hal ini?314
Di samping semua ini, pernyataan bahwa suatu organ yang tidak dipakai menurun manfaatnya dan
menghilang seiring waktu mengandung ketakselarasan nalar. Darwin sadar akan ketakselarasan ini, dan
membuat pengakuan berikut di dalam buku The Origin of Species:
Akan tetapi, masih ada kesulitan ini. Setelah suatu organ berhenti dipakai, dan sebagai akibatnya
menjadi amat diperkecil, bagaimanakah bisa masih terus dikurangi ukurannya hingga sisa ala kadarnya
yang tinggal, dan bagaimanakah bisa sepenuhnya dilenyapkan? Hampir mustahil bahwa ketidak-terpakaian
masih bisa menghasilkan pengaruh lebih lanjut setelah organ ini sekali waktu dibuat tak berfungsi.
Beberapa penjelasan tambahan diperlukan di sini yang tidak mampu saya berikan.315
Ringkasnya, skenario organ vestigial yang dikemukakan oleh para evolusionis mengandung
sejumlah cacat pemikiran yang parah, dan bagaimana pun telah terbukti tidak benar secara ilmiah. Tidak
ada organ vestigial yang diwariskan di dalam tubuh manusia.

Pukulan Lain Lagi bagi "Organ-Organ Vestigial": Kaki Kuda


Pukulan terbaru bagi dongeng organ vestigial datang dari sebuah penelitian baru-baru ini tentang
kaki kuda. Dalam sebuah artikel majalah Nature terbitan 20-27 Desember 2001 yang berjudul
"Biomechanics: Damper for bad vibrations" (Biomekanika: Peredam bagi Getaran Jahat), tercatat bahwa
“Sebagian serat otot pada kaki kuda terlihat seperti sisa-sisa evolusi yang tanpa fungsi. Namun, ternyata
serat-serat ini berfungsi meredam getaran merusak yang dihasilkan di kaki saat kuda berlari”. Artikel itu
berbunyi sebagai berikut:
Kuda dan unta memiliki otot-otot pada kaki dengan urat otot (tendon) yang lebih dari 600 milimeter
panjangnya dan terikat ke serat-serat otot yang kurang dari 6 milimeter panjangnya. Otot-otot pendek
sepeti ini dapat memanjang hanya beberapa milimeter selagi hewan bergerak, dan tampak tak mungkin
banyak dipakai oleh mamalia besar. Urat-urat otot berfungsi sebagai pegas pasif, dan sebelumnya serat-
serat otot ini dianggap kesia-siaan, sisa dari serat-serat yang lebih panjang dan telah kehilangan fungsinya
selama evolusi. Tetapi Wilson dan para sejawatnya mendebat… bahwa serat-serat ini mungkin melindungi
tulang-tulang dan urat-urat otot dari getaran-getaran yang berpeluang merusak…
Percobaan-percobaan mereka menunjukkan bahwa serat-serat otot yang pendek ini dapat meredam
getaran-getaran merusak akibat benturan kaki ke tanah. Ketika kaki seekor hewan yang berlari menumbuk
tanah, tumbukan itu membuat kaki bergetar; frekuensi getaran ini lumayan tinggi—misalnya, 30-40 Hz
pada kuda—demikian banyak daur getaran akan terjadi ketika kaki di atas tanah jika tidak ada peredaman.
Getaran-getaran ini bisa menyebabkan kerusakan karena tulang dan urat otot rentan terhadap
gangguan kelelahan. Kelelahan pada tulang dan urat otot adalah timbunan dari kerusakan yang dihasilkan
penerapan terus-menerus peregangan otot. Kelelahan tulang berperan pada retak tulang karena tekanan
yang diderita para atlet maupun kuda balap, dan kelelahan urat otot mungkin menerangkan setidaknyanya
sebagian kasus radang urat otot (tendonitis). Wilson dan kawan-kawan berpendapat bahwa dengan
meredam getaran, serat-serat otot yang sangat pendek ini melindungi baik tulang maupun urat otot dari
kerusakan akibat kelelahan … 316
Singkatnya, pengamatan yang lebih dekat pada anatomi kuda mengungkapkan bahwa struktur-
struktur yang danggap tak berfungsi oleh para evolusionis memiliki fungsi-fungsi yang sangat penting.
Dengan kata lain, kemajuan ilmiah menunjukkan bahwa yang dianggap petunjuk bagi evolusi
sebenarnya petunjuk bagi rancangan. Para evolusionis seharusnya menangkap isyarat dari fakta ini jika
saja mereka mau. Pengulas majalah Nature tampaknya beralasan untuk berkata:
Wilson dan kawan-kawan telah menemukan sebuah peran penting bagi otot yang tampak seperti
peninggalan sebuah struktur yang telah kehilangan fungsi selama evolusi. Karya mereka membuat kita
bertanya apakah organ-organ sisa lainnya (seperti usus buntu manusia) sama tak bergunanya sebagaimana
kelihatannya.317
Ini tidaklah mengherankan. Semakin kita pelajari alam, semakin kita lihat petunjuk bagi penciptaan.
Sebagaimana dikatakan Michael Behe, “kesimpulan rancangan datang bukan dari yang tidak kita ketahui,
namun dari yang telah kita pelajari selama 50 tahun terakhir.”318 Dan Darwinisme ternyatalah sebuah
pandangan yang datang dari kebodohan, atau, dengan kata lain, “ateisme kesenjangan.”

Kekeliruan Pemikiran tentang Rekapitulasi


Yang disebut dengan “teori rekapitulasi” telah lama dihapus dari kepustakaan ilmiah, namun masih
disajikan sebagai sebuah kenyataan ilmiah oleh sebagian media evolusionis. Istilah “rekapitulasi”
(rangkuman) adalah pemadatan istilah “ontogeni merangkum filogeni” yang diajukan oleh ahli biologi
evolusi Ernst Haeckel pada akhir abad ke-19.
Teori Haeckel ini menganggap bahwa embrio hidup mengalami ulangan proses evolusi seperti yang
dialami moyang-palsunya. Haeckel berteori bahwa selama perkembangan di dalam rahim ibunya, embrio
manusia kali pertama memperlihatkan sifat-sifat seekor ikan, lalu reptil, dan akhirnya manusia.
Sejak itu telah dibuktikan bahwa teori ini sepenuhnya omong kosong. Kini telah diketahui bahwa
“insang-insang” yang disangka muncul pada tahap-tahap awal embrio manusia ternyata adalah taraf-taraf
awal saluran telinga dalam, kelenjar paratiroid, dan kelenjar gondok. Bagian embrio yang diserupakan
dengan “kantung kuning telur” ternyata kantung yang menghasilkan darah bagi si janin. Bagian yang
dikenali sebagai “ekor” oleh Haeckel dan para pengikutnya sebenarnya tulang belakang, yang mirip ekor
hanya karena tumbuh mendahului kaki.
Inilah fakta-fakta yang diterima luas di dunia lmiah, dan bahkan telah diterima oleh para evolusionis
sendiri. Dua pemimpin neo-Darwinis, George Gaylord Simpson dan W. Beck telah mengakui:
Haeckel keliru menyatakan azas evolusi yang terlibat. Kini telah benar-benar diyakini bahwa
ontogeni tidak mengulangi filogeni.319
Berikut ini tertulis di dalam sebuah artikel New Scientist tertanggal 16 Oktober 1999:
[Haeckel] menyebutnya hukum biogenetis, dan gagasan ini menjadi dikenal luas sebagai
rekapitulasi. Nyatanya, hukum Haeckel yang keras itu segera diperlihatkan sebagai keliru. Misalnya,
embrio awal manusia tak pernah memiliki insang-insang yang berfungsi seperti ikan, dan tak
pernah melalui tahap-tahap yang terlihat seperti seekor reptil dewasa atau kera.320
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada American Scientist, kita membaca:
Tentunya hukum biogenetis benar-benar mati. Hukum ini akhirnya dibersihkan dari buku-buku
acuan biologi pada tahun [19]50-an. Sebagai sebuah pokok penyelidikan teoretis yang sungguh-sungguh,
hukum ini punah di tahun [19]20-an…321
Segi menarik lain dari “rekapitulasi” adalah Ernst Haeckel sendiri, seorang pemalsu yang mereka-
reka gambar-gambar demi mendukung teori yang diajukannya. Pemalsuan Haeckel bermaksud
menunjukkan bahwa embrio-embrio ikan dan manusia mirip satu sama lain. Ketika tertangkap basah, satu-
satunya pembelaan yang diberikan Haeckel adalah bahwa para evolusionis lain telah melakukan kejahatan
serupa:
Sesudah pengakuan “pemalsuan” ini, saya wajib menganggap diri saya terkutuk dan sirna jika saja
tidak merasa lega saat melihat di kiri-kanan saya di dalam ruang tahanan ratusan teman–para bajingan, di
antara mereka banyak peneliti paling terpercaya dan ahli biologi paling terhormat. Sebagian terbesar
gambar di dalam buku-buku acuan, makalah-makalah, dan majalah-majalah biologi terbaik akan menuai
tuduhan ‘pemalsuan’ dengan derajat yang sama, sebab semuanya tidak pasti, serta lebih kurang diubah-
ubah, diatur-atur, dan direka-reka.322
Pada terbitan 5 September 1997 majalah ilmiah Science, sebuah artikel diterbitkan yang
mengungkapkan bahwa gambar-gambar embrio Haeckel adalah karya penipuan. Artikel berjudul
“Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered” (Embrio-embrio Haeckel: Mengungkap Ulang Sebuah
Penipuan) ini mengatakan:
Kesan yang dipancarkan [gambar-gambar Haeckel] itu, bahwa embrio-embrio persis serupa, adalah
keliru, kata Michael Richardson, seorang ahli embriologi pada St. George’s Hospital Medical School di
London… Maka, ia dan para sejawatnya melakukan penelitian perbandingan, memeriksa kembali dan
memfoto embrio-embrio yang secara kasar sepadan spesies dan umurnya dengan yang dilukis Haeckel.
Sim salabim dan perhatikan! Embrio-embrio “sering dengan mengejutkan tampak berbeda,” lapor
Richardson dalam Anatomy and Embryology terbitan Agustus [1997].323
Science menjelaskan bahwa, demi menunjukkan bahwa embrio-embrio memiliki kemiripan, Haeckel
sengaja menghilangkan beberapa organ dari gambar-gambarnya atau menambahkan organ-organ khayalan.
Belakangan, di dalam artikel yang sama, informasi berikut ini diungkapkan:
Bukan hanya menambahkan atau mengurangi ciri-ciri, lapor Richardson dan para sejawatnya,
namun Haeckel juga mengubah-ubah ukuran untuk membesar-besarkan kemiripan di antara spesies-
spesies, bahkan ketika ada perbedaan 10 kali dalam ukuran. Haeckel mengaburkan perbedaan lebih jauh
dengan lalai menamai spesies dalam banyak kesempatan, seakan satu wakil sudah cermat bagi keseluruhan
kelompok hewan. Dalam kenyataannya, Richardson dan para sejawatnya mencatat, bahkan embrio-
embrio hewan yang berkerabat dekat seperti ikan cukup beragam dalam penampakan dan urutan
perkembangannya. “Itu (gambar-gambar Haeckel) agaknya menjadi salah satu pemalsuan paling
tersohor dalam biologi,” Richardson menyimpulkan.324
Artikel Science membahas bagaimana pengakuan-pengakuan Haeckel atas masalah ini ditutup-tutupi
sejak awal abad ke-20, dan bagaimana gambar-gambar palsu ini mulai disajikan sebagai fakta ilmiah di
dalam buku-buku acuan:
Pengakuan Haeckel lenyap setelah gambar-gambarnya kemudian digunakan dalam sebuah buku
tahun 1901 berjudul Darwin and After Darwin (Darwin dan Sesudahnya) dan dicetak ulang secara luas di
dalam buku-buku acuan biologi berbahasa Inggris.325
Singkatnya, fakta bahwa gambar-gambar Haeckel dipalsukan telah muncul di tahun 1901, tetapi
seluruh dunia ilmu pengetahuan terus diperdaya olehnya selama satu abad.
ASAL USUL TETUMBUHAN

Kehidupan di bumi dikelompokkan ke dalam lima (atau enam) kerajaan (kingdom) oleh para
ilmuwan. Sejauh ini, kita telah memusatkan perhatian terutama pada kerajaan terbesar, yakni hewan. Pada
bab-bab sebelumnya, kita membahas asal usul kehidupan itu sendiri, mempelajari protein, informasi
genetis, struktur sel dan bakteri, masalah-masalah seputar dua kerajaan lainnya, yaitu Prokaryotae dan
Protista. Namun, sampai di sini, masih ada masalah penting lain yang perlu kita perhatikan—asal usul
kerajaan tetumbuhan (Plantae).
Kita mendapatkan gambar yang sama tentang asal usul tumbuhan seperti yang kita temui ketika
mengkaji asal usul hewan. Tumbuhan memiliki struktur-struktur yang sangat rumit, dan mustahil struktur-
struktur ini muncul karena pengaruh kebetulan dan berevolusi dari yang satu ke yang lain. Catatan fosil
menunjukkan bahwa pelbagai kelas tumbuhan muncul tiba-tiba di dunia, dengan sifat-sifat khas masing-
masing, dan tanpa didahului masa evolusi.

Asal Usul Sel Tumbuhan


Seperti sel-sel hewan, sel-sel tumbuhan termasuk ke jenis sel yang disebut “eukariotis.” Ciri yang
sangat khusus sel-sel ini adalah memiliki inti sel dan di dalam inti ini, terletak molekul DNA tempat
informasi genetis dikodekan. Di sisi lain, beberapa makhluk bersel tunggal seperti bakteri tak memiliki inti
sel, dan molekul DNA mengapung bebas di dalam sel. Jenis sel kedua ini disebut “prokariotis.” Jenis
struktur sel ini, dengan DNA bebas yang tidak terkurung di dalam inti, adalah suatu rancangan ideal bagi
bakteri, karena memungkinkannya melakukan proses yang sangat penting—dari sudut pandang bakteri—
yakni, proses pemindahan plasmida (alias pemindahan DNA antarsel).
Karena diharuskan menata makhluk-makhluk hidup menurut deretan “dari yang sederhana ke yang
rumit,” teori evolusi menganggap bahwa sel prokariotis itu sederhana, dan sel eukariotis berevolusi
darinya.
Sebelum melangkah ke ketaksahihan pernyataan ini, akan bermanfaat untuk menunjukkan
bahwa sel-sel prokariotis sama sekali tidak “sederhana.” Suatu bakteri memiliki sekitar 2 ribu gen;
setiap gen mengandung sekitar seribu huruf (rantai). Berarti, informasi di dalam DNA satu bakteri
itu sekitar 2 juta huruf panjangnya. Menurut perhitungan ini, informasi itu setara dengan 20 buku
cerita, masing-masing dengan 100 ribu kata.326 Setiap perubahan informasi dalam di kode DNA
bakteri akan demikian merusak sampai-sampai meruntuhkan keseluruhan sistem kerja bakteri.
Sebagaimana telah kita lihat, suatu kesalahan dalam kode genetis bakteri berarti bahwa sistem
kerja akan salah berjalan—yakni, sel akan mati.
Di samping struktur yang peka ini, yang menolak perubahan coba-coba, fakta bahwa tidak
ditemukan “bentuk peralihan” antara bakteri dan sel-sel eukariotis membuat pernyataan evolusionis tidak
beralasan. Misalnya, evolusionis terkenal Turki, Profesor Ali Demirsoy, mengakui ketiadaan dalil bagi
skenario bahwa sel-sel bakteri berevolusi menjadi sel-sel eukariotis, dan lalu menjadi organisme rumit
yang tersusun dari sel-sel ini:
Salah satu tahap tersulit untuk dijelaskan di dalam evolusi adalah menerangkan secara ilmiah
bagaimana organel-organel dan sel-sel rumit berkembang dari makhluk-makhluk sederhana ini. Tiada
bentuk peralihan telah ditemukan di antara kedua bentuk. Makhluk-makhluk bersel tunggal dan banyak
mempunyai semua struktur rumit ini, dan, dengan cara apa pun, belum ada makhluk atau kelompok telah
ditemukan berorganel dengan susunan yang lebih sederhana atau lebih mendasar. Dengan kata lain,
organel-organel yang dimiliki telah berkembang sebagaimana adanya. Organel-organel ini tak memiliki
bentuk-bentuk sederhana dan mendasar.327
Orang bertanya-tanya, apakah yang mendorong Profesor Ali Demirsoy, seorang penganut setia teori
evolusi, membuat pengakuan yang demikian terbuka? Jawaban pertanyaan ini dapat diberikan dengan amat
jelas ketika perbedaan-perbedaan struktural besar antara bakteri dan sel tumbuhan dipelajari.
Perbedaan-perbedaan itu adalah:
1- Sementara dinding-dinding sel bakteri tersusun dari polisakarida dan protein, dinding-dinding sel
tumbuhan tersusun dari selulosa, struktur yang sama sekali berbeda.
2- Sementara sel-sel tumbuhan berorganel banyak, berlapis membran dan berstruktur sangat rumit,
sel-sel bakteri tidak memiliki organel biasa. Pada sel bakteri, terdapat ribosom ukuran kecil yang bergerak
bebas. Sedangkan ribosom-ribosom pada sel tumbuhan berukuran lebih besar dan terikat ke membran sel.
Lebih jauh lagi, sintesis protein terjadi dengan cara-cara yang berbeda pada kedua jenis ribosom ini.
3- Struktur DNA pada sel tumbuhan dan sel bakteri berbeda.
4- Molekul DNA pada sel-sel tumbuhan dilindungi oleh membran lapis rangkap, sementara DNA
pada sel-sel bakteri berdiri bebas di dalam sel.
5- Molekul DNA pada sel-sel bakteri menyerupai simpul tertutup; dengan kata lain, melingkar. Pada
tumbuhan, molekul DNA berbentuk memanjang.
6- Molekul DNA pada sel-sel bakteri membawa informasi milik satu sel saja, sedangkan pada sel-sel
tumbuhan, molekul DNA membawa informasi tentang keseluruhan tumbuhan. Misalnya, semua informasi
tentang akar, batang, daun, bunga, dan buah dari pohon buah-buahan bisa ditemukan sendiri-sendiri pada
DNA di dalam inti satu sel saja.
7- Beberapa spesies bakteri bersifat fotosintetik, dengan kata lain, melakukan fotosintesis. Tetapi,
tidak seperti pada tumbuhan, pada bakteri fotosintetik (cyanobacteria, misalnya), tidak ada kloroplas yang
mengandung klorofil dan pigmen fotosintetik. Pada tumbuhan, molekul-molekul ini tersimpan di berbagai
membran di seluruh sel.
8- Susunan biokimia RNA kurir pada sel-sel prokariotis (bakteri) dan pada sel-sel eukariotis
(mencakup tumbuhan dan hewan) sangat berbeda satu sama lain.328
RNA kurir berperan penting bagi sel untuk hidup. Tetapi, meskipun RNA kurir dianggap berperan
sama pada sel prokariotis maupun eukariotis, struktur biokimianya berbeda. J. Darnell menulis yang
berikut di dalam sebuah artikel yang diterbitkan majalah Science:
Perbedaan-perbedaan pada biokimia susunan RNA kurir dalam eukariot jika dibandingkan dengan
prokariot demikian besarnya sampai-sampai menggagaskan bahwa evolusi beruntun prokariotis ke
eukariotis tampaknya tak mungkin.329
Perbedaan-perbedaan struktural antara sel bakteri dan tumbuhan, yang beberapa contohnya telah kita
lihat di atas, membawa ilmuwan evolusionis ke kebuntuan lain. Meskipun sel-sel tumbuhan dan hewan
memiliki beberapa segi yang sama, kebanyakan strukturnya sangat berbeda satu sama lain. Nyatanya,
karena tiada organel berlapis membran atau sitoskeleton (jaringan dalam serabut protein dan mikrotubula)
pada sel bakteri, kehadiran beberapa organel dan susunan sangat rumit pada sel-sel tumbuhan membantah
habis pernyataan bahwa sel tumbuhan berevolusi dari sel bakteri.
Ahli biologi Ali Demirsoy secara terbuka mengakui hal ini dengan berkata, “Sel-sel rumit tak pernah
berkembang dari sel-sel sederhana dengan suatu proses evolusi.”330
Hipotesis Endosimbiosis dan Ketidaksahihannya
Kemustahilan sel tumbuhan berevolusi dari sel bakteri tak mencegah para ahli biologi evolusi dari
menghasilkan hipotesis-hipotesis rekaan. Namun, percobaan-percobaan membantah semua itu.331 Hipotesis
yang paling terkenal adalah hipotesis “endosimbiosis.”
Hipotesis ini diajukan oleh Lynn Margulis pada tahun 1970 di dalam bukunya The Origin of
Eukaryotic Cells (Asal Usul Sel-Sel Eukariotis). Di dalam buku ini, Margulis menyatakan bahwa sebagai
akibat kehidupan berkoloni dan parasit, sel-sel bakteri berubah menjadi sel-sel tumbuhan dan sel hewan.
Menurut teori ini, sel-sel tumbuhan muncul ketika bakteri fotosintetik dimakan oleh sel bakteri lain.
Bakteri fotosintetik berevolusi di dalam sel inang menjadi kloroplas. Akhirnya, organel-organel dengan
struktur yang sangat rumit seperti inti, badan Golgi, retikulum endoplasma, dan ribosom berkembang,
dengan satu atau lain cara. Maka, sel tumbuhan pun lahir.
Sebagaimana telah kita lihat, tesis evolusionis ini tak lain dari hasil berkhayal. Tidak mengherankan,
tesis ini dikecam oleh para ilmuwan yang melakukan penelitian yang sangat penting atas masalah ini pada
sejumlah segi: kami bisa menyebutkan sebagai contoh di antaranya D. Lloyd332, M. Gray dan W.
Doolittle333, serta R. Raff dan H. Mahler.
Hipotesis endosimbiosis didasarkan pada fakta bahwa mitokondria sel hewan dan kloroplas sel
tumbuhan mengandung DNA tersendiri, yang terpisah dari DNA di dalam inti sel inang. Jadi, atas dasar
ini, digagas bahwa mitokondria dan kloroplas sekali waktu adalah sel-sel mandiri yang hidup bebas. Akan
tetapi, ketika kloroplas dipelajari lebih dalam, bisa dilihat bahwa pernyataan ini tidak sesuai.
Di bawah ini sejumlah hal yang membantah hipotesis endosimbiosis:
1- Jika kloroplas, khususnya, dulunya sel mandiri, lalu seharusnya hanya ada satu hasil ketika
kloroplas dimakan oleh sel yang lebih besar: yaitu, dicerna oleh sel inang dan digunakan sebagai makanan.
Ini yang seharusnya terjadi, sebab bahkan jika kita menganggap bahwa sel inang yang bersangkutan tak
sengaja menelan masuk suatu sel dari luar, bukan sengaja mencernanya sebagai makanan, bagaimana pun
enzim-enzim percernaan sel inang seharusnya menghancurkannya. Tentu saja, beberapa evolusionis telah
memperkirakan rintangan ini dengan mengatakan, “enzim-enzim pencernaan telah lenyap.” Tetapi, inilah
pertentangan yang nyata, sebab jika enzim pencernaan lenyap, sel akan mati karena kekurangan gizi.
2- Kembali, mari kita anggap semua kemustahilan itu terjadi dan sel yang dinyatakan sebagai
moyang kloroplas ditelan sel inangnya. Dalam hal ini, kita dihadapkan dengan masalah lain: cetakbiru
semua organel di dalam sel terkodekan di dalam DNA. Jika sel inang menggunakan sel-sel lain itu yang
dimakannya sebagai organel, maka semua informasi yang dibutuhkan tentang sel-sel itu telah ada dan
terkodekan di dalam DNA. DNA sel-sel yang dimakan akan memiliki informasi milik sel inangnya. Tak
hanya keadaan seperti ini mustahil, dua DNA yang berbeda milik sel inang dan sel yang dimakan harus
juga saling cocok setelah itu, suatu hal yang juga jelas mustahil.
3- Ada keselarasan besar di dalam sel yang tidak bisa dijelaskan oleh mutasi acak. Ada lebih dari
satu kloroplas dan satu mitokondria di dalam sel. Jumlah keduanya naik dan turun sesuai dengan tingkat
kegiatan sel, sama seperti organel-organel lain. Keberadaan DNA dalam badan organel-organel ini juga
bermanfaat di dalam perkembanganbiakan. Sambil sel membelah, semua kloroplas yang berjumlah banyak
itu juga membelah, dan pembelahan sel terjadi dalam waktu yang lebih singkat dan lebih teratur.
4- Kloroplas adalah pembangkit tenaga yang mutlak pentingnya bagi sel tumbuhan. Jika organel-
organel ini tak menghasilkan energi, banyak fungsi sel tidak akan berjalan, yang berarti bahwa sel tak bisa
hidup. Fungsi-fungsi ini, yang begitu penting bagi sel, berlangsung dengan protein-protein hasil sintesis di
kloroplas. Namun, DNA kloroplas sendiri tak cukup untuk mensintesis protein-protein ini. Sebagian
terbesar protein disintesis menggunakan DNA inang di dalam inti sel.334
Sementara keadaan yang dibayangkan oleh hipotesis endosimbiosis ini terjadi lewat sebuah proses
coba-coba, pengaruh apakah yang akan mengenai DNA sel inang? Sebagaimana telah kita lihat, setiap
perubahan pada suatu molekul DNA pasti tidak menghasilkan manfaat pada organisme itu; sebaliknya,
mutasi yang demikian sudah pasti membahayakan. Di dalam bukunya, The Roots of Life (Akar-akar
Kehidupan), Mahlon B. Hoagland menjelaskan keadaan ini:
Anda akan teringat bahwa kita belajar bahwa hampir selalu sebuah perubahan pada DNA organisme
merugikan organisme itu; yakni, membawa ke penurunan kemampuan bertahan hidup. Dengan analogi,
penambahan ucapan yang acak pada drama-drama Shakespeare tidak mungkin menambah keindahannya! ..
Azas bahwa perubahan-perubahan DNA berbahaya karena mengurangi peluang bertahan hidup berlaku
apakah sebuah perubahan pada DNA disebabkan oleh mutasi, atau pun oleh sejumlah gen asing yang
sengaja kita masukkan.335
Pernyataan yang diajukan oleh evolusionis tidak didasarkan pada percobaan ilmiah, sebab belum
pernah teramati satu bakteri memakan. Dalam timbangan atas buku lain Margulis, Symbiosis in Cell
Evolution (Simbiosis dalam Evolusi Sel), ahli biologi molekuler P. Whitfield menggambarkan situasi ini:
Endositosis prokariotis adalah mekanisme sel di dalam mana keseluruhan SET (Serial
Endosymbiotic Theory—Teori Endosimbiotis Beruntun) agaknya berhenti. Jika satu prokariot tidak bisa
menelan prokariot lain, sulit membayangkan cara endosimbiosis bisa terbentuk. Sayangnya bagi Margulis
dan SET, tidak ada contoh mutakhir endositosis prokariotis atau endosimbiosis …336

Asal Usul Fotosintesis


Masalah lain tentang asal usul tumbuhan yang menempatkan teori evolusi ke dalam kebingungan
yang mengerikan adalah cara sel-sel tumbuhan mulai melakukan fotosintesis.
Fotosintesis adalah salah satu proses yang paling dasar bagi kehidupan di bumi. Berkat kloroplas di
dalamnya, sel-sel tumbuhan menghasilkan zat tepung dengan menggunakan air, karbon dioksida, dan
cahaya matahari. Hewan tak bisa menghasilkan gizinya sendiri dan harus menggunakan zat tepung dari
tetumbuhan. Karena alasan ini, fotosintesis adalah syarat dasar bagi kehidupan yang rumit. Sisi yang
bahkan lebih mengejutkan dari masalah ini adalah fakta bahwa proses fotosintesis yang rumit ini belum
sepenuhnya dipahami. Teknologi maju masih belum mampu mengungkapkan semua rinciannya, jangankan
menirunya.
Mungkinkah proses serumit fotosintesis hasil proses-proses alamiah, sebagaimana dikatakan teori
evolusi?
Menurut skenario evolusi, untuk melakukan fotosintesis, sel-sel tumbuhan memakan sel-sel bakteri
yang bisa berfotosintesis dan mengubahnya menjadi kloroplas. Jadi, bagaimanakah bakteri belajar
melakukan proses yang serumit fotosintesis? Dan mengapakah bakteri tidak mulai melakukannya
sebelumnya? Sama seperti pertanyaan yang lain, skenario ini tak bisa memberikan jawaban ilmiah.
Lihatlah bagaimana sebuah terbitan evolusionis menjawab pertanyaan ini:
Hipotesis heterotrof menggagas bahwa organisme-organisme paling awal adalah heterotrof yang
memakan larutan molekul organik di samudra purba. Karena heterotrof pertama ini memakan asam amino,
protein, lemak, dan gula yang tersedia, larutan gizi menyusut dan tidak bisa lagi mendukung jumlah
heterotrof yang bertambah. … Organisme-organisme yang dapat menggunakan sumber energi lain akan
memiliki keuntungan besar. Ingatlah bahwa bumi dulu (dan kini masih) dihujani energi surya yang
sebenarnya mengandung aneka bentuk radiasi. Radiasi ultra-ungu bersifat merusak, namun cahaya tampak
kaya akan energi dan tak merusak. Maka, sambil senyawa-senyawa organik makin langka, suatu
kemampuan yang sudah dimiliki untuk menggunakan cahaya tampak sebagai sumber energi pengganti
mungkin telah membuat organisme-organisme ini dan keturunannya bisa bertahan.337
Buku Life on Earth (Kehidupan di Bumi), buku evolusionis yang lain, mencoba menjelaskan
kemunculan fotosintesis:
Bakteri awalnya memakan beraneka senyawa karbon yang memerlukan jutaan tahun untuk
tertimbun di lautan purba. Tetapi, setelah bakteri berkembang biak, sumber makanan ini pasti kian
menipis. Bakteri mana pun yang mampu menyadap sumber makanan lain pasti akan sangat berhasil dan
akhirnya sejumlah bakteri mampu. Tidak lagi mengambil makanan siap santap dari lingkungan sekitar,
bakteri-bakteri mulai membuat sendiri makanan di dalam dinding-dinding sel dengan menyerap energi
yang diperlukan dari matahari.338
Singkatnya, buku-buku evolusionis mengatakan bahwa fotosintesis dengan suatu cara tak sengaja
“ditemukan” oleh bakteri, padahal manusia, dengan seluruh teknologi dan ilmu pengetahuannya, tak
mampu melakukannya. Penjelasan-penjelasan ini, yang tak lebih baik daripada cerita-cerita dongeng, tak
bernilai ilmiah. Orang yang mengkaji masalah ini sedikit lebih dalam akan menerima bahwa fotosintesis
itu sebuah dilema besar bagi evolusi. Profesor Ali Demirsoy misalnya, membuat pengakuan berikut ini:
Fotosintesis adalah peristiwa yang sangat rumit, dan tampak mustahil muncul hanya pada sebuah
organel di dalam sel (karena mustahil semua tahap muncul bersamaan, dan tak ada gunanya jika semuanya
muncul terpisah).339
Ahli biologi Jerman Hoimar von Ditfurth mengatakan bahwa fotosintesis itu sebuah proses yang
mungkin tak bisa dipelajari:
Tidak ada sel yang memiliki kemampuan ‘mempelajari’ sebuah proses dalam pengertian yang
sebenarnya. Mustahil bagi sel mana pun muncul dengan kemampuan mempelajari fungsi-fungsi seperti
pernapasan atau fotosintesis, baik ketika kali pertama mewujud, atau pun sesudahnya di dalam
kehidupan.340
Karena fotosintesis tak bisa berkembang sebagai hasil ketaksengajaan, dan setelah itu tak bisa
dipelajari oleh sel, tampaknya sel-sel tumbuhan pertama yang hidup di bumi dirancang khusus melakukan
fotosintesis. Dengan kata lain, tetumbuhan diciptakan dengan kemampuan berfotosintesis.

Asal Usul Ganggang


Teori evolusi berhipotesis bahwa makhluk bersel tunggal mirip tumbuhan, yang asal usulnya tak
bisa dijelaskan, muncul tepat waktu untuk membentuk ganggang. Asal usul ganggang mundur ke waktu
yang amat lampau. Demikian lampau sehingga fosil bekas-bekas ganggang berumur 3,1 hingga 3,4 milyar
tahun telah ditemukan. Yang menarik adalah bahwa tiada perbedaan struktural antara makhluk hidup yang
luar biasa kuno ini dan spesimen yang masih hidup saat ini. Sebuah artikel yang diterbitkan Science News
mengatakan:
Baik fosil ganggang biru-hijau dan bakteri dari 3,4 miliar tahun telah ditemukan di batu karang dari
Afrika Selatan. Yang lebih merangsang minat adalah [fosil] ganggang pleurocapsalean ternyata hampir
serupa dengan ganggang pleurocapsalean masa kini di tingkat keluarga dan bahkan mungkin di tingkat
genetis.341
Ahli biologi Jerman Hoimar von Ditfurth membuat ulasan berikut ini tentang struktur rumit yang
disebut ganggang “kuno:”
Fosil-fosil tertua yang sejauh ini telah ditemukan adalah benda-benda yang memfosil di dalam
mineral dan tergolong ganggang biru-hijau, berumur 3 miliar tahun lebih. Betapa pun sederhananya,
ganggang masih menyajikan bentuk kehidupan yang amat rumit dan tersusun secara piawai .342
Para ahli biologi evolusi menganggap bahwa seiring dengan waktu ganggang itu memunculkan
tetumbuhan laut lainnya dan berpindah ke darat sekitar 450 juta tahun yang lalu. Akan tetapi, sama seperti
skenario peralihan hewan dari air ke darat, gagasan bahwa tumbuhan beralih dari air ke darat adalah
sebuah khayalan lagi. Kedua skenario ini tidak benar dan tidak selaras. Buku-buku evolusionis seperti
biasa mencoba memberikan penjelasan masalah ini dengan ulasan yang mencengangkan dan tak ilmiah
seperti “ganggang dengan suatu cara beralih ke darat dan menyesuaikan diri.” Namun, ada rintangan-
rintangan besar yang membuat peralihan ini mustahil. Mari kita lihat sekilas yang terpenting di antaranya:

1- Bahaya mengering. Bagi tumbuhan yang hidup di air agar bisa hidup di darat, permukaannya
terlebih dahulu harus terlindungi dari kehilangan air. Jika tidak, tumbuhan mengering. Tumbuhan darat
diberi sistem-sistem khusus untuk melindunginya dari kejadian ini. Ada rincian-rincian penting dalam
sistem-sistem itu. Misalnya, perlindungan ini harus sedemikian sehingga gas-gas penting seperti oksigen
dan karbon dioksida dapat keluar-masuk tumbuhan secara bebas. Pada saat bersamaan, mencegah
penguapan sangat penting. Jika tak memiliki sistem yang demikian, tumbuhan tak akan dapat menunggu
jutaan tahun untuk mengembangkannya. Dalam keadaan demikian, tumbuhan akan segera mengering dan
mati.

2- Makanan: Tumbuhan laut mengambil air dan mineral yang dibutuhkan secara langsung dari air
tempat tinggalnya. Oleh karena itu, setiap ganggang yang mencoba hidup di darat akan mendapat masalah
dengan makanan. Ganggang tidak akan bertahan hidup tanpa memecahkan masalah ini.

3- Reproduksi: Ganggang, dengan umur hidupnya yang pendek, tak berkesempatan berkembang
biak di darat, karena, seperti dalam semua fungsinya, ganggang juga menggunakan air untuk menyebarkan
sel-sel reproduktifnya. Supaya bisa berkembang biak di darat, ganggang harus bersel reproduktif yang
banyak sebagaimana yang dimiliki oleh tumbuhan darat, dan dilindungi oleh lapisan pelindung sel. Jika
tidak memiliki lapisan ini, setiap ganggang yang beralih ke darat tak akan bisa melindungi sel
reproduktifnya dari bahaya.

4- Perlindungan dari oksigen: Setiap ganggang yang beralih ke darat harus mengambil
oksigen dalam bentuk terurai hingga saat peralihan itu. Menurut skenario evolusionis, kini ganggang
harus mengambil oksigen dalam bentuk yang belum pernah ditemuinya, dengan kata lain, langsung
dari atmosfer. Seperti yang kita ketahui, dalam keadaan biasa, oksigen di atmosfer berpengaruh
meracuni bagi senyawa organik. Makhluk hidup darat memiliki sistem yang mencegahnya terkena
bahaya ini. Namun, ganggang adalah tumbuhan laut, yang berarti tidak memiliki enzim yang
menjaganya dari pengaruh membahayakan oksigen. Jadi, seketika beralih ke darat, mustahil bagi
ganggang menghindari pengaruh ini. Tidak juga ada kesempatan menunggu sistem seperti itu
berkembang karena ganggang tak akan bisa bertahan hidup di darat cukup lama sampai sistem
terbentuk.

Masih ada alasan lain mengapa pernyataan bahwa ganggang beralih dari laut ke darat tidak selaras—
yaitu, ketiadaan pendorong alamiah yang membuat peralihan itu diperlukan. Bayangkanlah lingkungan
alamiah ganggang 450 juta tahun yang lalu. Air laut menyediakan lingkungan ideal bagi ganggang.
Misalnya, air menjauhkan dan melindunginya dari panas yang berlebih, dan menyediakan semua mineral
yang dibutuhkan. Dan, pada saat bersamaan, ganggang bisa menyerap sinar matahari untuk dipakai dalam
fotosintesis dan membuat karbohidrat (gula dan zat tepung) sendiri dengan karbon dioksida yang terlarut di
air. Karena alasan ini, tidak ada yang kurang bagi ganggang di lautan, dan oleh karena itu, tak ada alasan
beralih ke darat, tempat tak ada “keuntungan selektif” baginya, sebagaimana diistilahkan evolusionis.
Semua ini menunjukkan hipotesis evolusionis bahwa ganggang naik ke darat dan membentuk
tumbuhan darat sama sekali tak ilmiah.

Asal Usul Angiospermae


Ketika kita meneliti sejarah fosil dan ciri-ciri struktural tetumbuhan yang hidup di darat, gambaran
lain yang tidak sesuai dengan ramalan evolusionis muncul. Tiada satu fosil pun membenarkan bahkan satu
saja cabang “pohon evolusi” tumbuhan yang Anda lihat pada hampir setiap buku pegangan biologi.
Sebagian besar tumbuhan memiliki bekas-bekas yang berlimpah dalam catatan fosil, namun tidak satu pun
fosil adalah bentuk peralihan antara satu dan lain spesies. Semua diciptakan khusus dan dari awal sebagai
spesies yang sepenuhnya tersendiri, dan tiada kaitan evolusi di antara spesies. Sebagaimana diakui ahli
paleontologi evolusi, EC Olson, “Banyak kelompok baru tumbuhan dan hewan muncul tiba-tiba,
kelihatannya tanpa moyang yang dekat.”343
Ahli botani Chester A. Arnold, yang mengkaji fosil tumbuhan di University of Michigan, membuat
ulasan berikut ini:
Telah lama diharapkan bahwa tetumbuhan yang punah pada akhirnya akan mengungkapkan
sebagian tahap yang dilalui kelompok-kelompok yang kini ada selama perjalanan perkembangannya, tetapi
harus diakui secara terbuka bahwa idam-idaman ini telah dipenuhi sampai ke taraf yang amat sedikit,
meskipun penelitian paleobotani telah mengalami kemajuan selama lebih dari seratus tahun.344
Arnold mengakui bahwa paleobotani (ilmu pengetahuan tentang fosil tumbuh-tumbuhan) tak
menghasilkan apa-apa yang mendukung evolusi: “Kami belum bisa melacak sejarah filogenetis satu pun
kelompok tumbuhan masa dari awalnya hingga saat ini.”345
Penemuan-penemuan fosil yang paling jelas membantah pernyataan-pernyataan tentang evolusi
tumbuhan adalah fosil-fosil tumbuhan berbunga, atau angiospermae. Tetumbuhan ini dibagi menjadi 43
keluarga (famili), masing-masing muncul tiba-tiba, tanpa jejak “bentuk peralihan” sederhana apa pun
sebelumnya dalam catatan fosil. Hal ini disadari pada abad ke-19, dan karena itu, Darwin melukiskan asal
usul angiospermae sebagai “teka-teki yang mengerikan.” Semua penelitian yang dilakukan sejak masa
Darwin sekadar menaikkan tingkat kegelisahan yang ditimbulkan teka-teki ini. Di dalam bukunya The
Paleobiology of Angiosperm Origins (Paleobiologi Asal Usul Angiospermae), ahli paleobotani evolusi NF
Hughes membuat pengakuan ini:
… Akan tetapi, dengan beberapa pengecualian rincian, kegagalan menemukan penjelasan yang
memuaskan masih terjadi, dan banyak ahli botani telah menyimpulkan bahwa masalah ini tak bisa dicari
pemecahannya dengan memanfaatkan petunjuk fosil.346
Di dalam bukunya The Evolution of Flowering Plants (Evolusi Tetumbuhan Berbunga), Daniel
Axelrod mengatakan hal ini tentang asal usul tetumbuhan berbunga:
Kelompok moyang yang memunculkan angiospermae belum ditemukan di dalam catatan fosil, dan
tak satu jua angiospermae hidup menunjuk ke kaitan moyang sedemikian.”347
Semua ini membawa kita hanya ke satu kesimpulan: seperti semua makhluk hidup, tetumbuhan juga
diciptakan. Dari saat kali pertama diciptakan, semua mekanisme tetumbuhan telah ada dalam bentuk akhir
dan lengkap. Istilah-istilah seperti “perkembangan seiring dengan waktu,” “perubahan-perubahan yang
bergantung pada kebetulan,” dan “penyesuaian-penyesuaian yang muncul sebagai akibat kebutuhan,” yang
ditemukan orang dalam kepustakaan evolusionis, tak memiliki kebenaran sama sekali dan secara ilmiah tak
bermakna.
KERUMITAN TAK TERURAIKAN

Salah satu konsep terpenting yang harus dipakai seseorang ketika mempertanyakan teori Darwinis
sesuai dengan penemuan-penemuan ilmiah adalah, tak diragukan, syarat yang dipakai Darwin sendiri. Di
dalam buku The Origin of Species, Darwin meletakkan sejumlah syarat nyata yang menganjurkan cara
menguji dan, jika diinginkan, membantah teorinya. Banyak kalimat di dalam bukunya dimulai dengan,
“Jika teori saya benar,” dan di dalamnya Darwin menguraikan penemuan-penemuan yang dibutuhkan
teorinya. Salah satu syarat terpenting menyangkut fosil-fosil dan “bentuk-bentuk peralihan.” Dalam bab-
bab sebelumnya, kita telah mempelajari bagaimana ramalan-ramalan Darwin ini tidak terwujud, dan
bagaimana, sebaliknya, catatan fosil membantah sepenuhnya Darwinisme.
Di samping itu, Darwin memberikan satu lagi syarat sangat penting untuk menguji teorinya. Syarat
ini begitu penting, tulis Darwin, sehingga dapat menyebabkan teorinya mutlak runtuh:
Jika dapat dibuktikan bahwa ada organ rumit apa saja, yang tak mungkin terbentuk melalui
perubahan-perubahan yang banyak, berlanjut, dan sedikit-sedikit, teori saya akan mutlak runtuh.
Namun, saya tak mampu menemukan yang demikian.348
Kita harus menguji maksud Darwin di sini dengan sangat hati-hati. Seperti kita ketahui, Darwinisme
menjelaskan asal usul kehidupan dengan dua mekanisme alam yang tak sadar: seleksi alam dan perubahan
acak (dengan kata lain, mutasi). Menurut teori Darwinis, kedua mekanisme ini membawa kepada
kemunculan struktur rumit sel hidup dan sistem-sistem anatomis makhluk hidup yang rumit, seperti mata,
telinga, sayap, paru-paru, sonar kelelawar, serta jutaan rancangan sistem rumit lainnya.
Akan tetapi, bagaimana sistem-sistem ini, yang berstruktur luar biasa rumitnya, dapat dianggap hasil
dua pengaruh alamiah yang tak sadar? Di sini, konsep yang diterapkan Darwinisme adalah konsep
“keteruraian.” Dikatakan bahwa semua sistem ini bisa diuraikan hingga keadaan yang amat dasar, dan
karena itu berkembang secara bertahap. Setiap tahap memberi makhluk hidup sedikit tambahan kelebihan,
dan karena itu, dipilih oleh seleksi alam. Lalu, belakangan, akan ada perkembangan kecil lain yang
kebetulan, dan perkembangan itu juga disukai karena memberikan sebuah keuntungan, dan proses akan
terus berlanjut dengan cara ini. Berkat proses ini, menurut pernyataan Darwinis, suatu spesies yang aslinya
tak bermata akan bermata sempurna, dan spesies lain yang awalnya tak bisa terbang, akan menumbuhkan
sayap dan bisa terbang.
Cerita ini dituturkan dengan cara yang sangat meyakinkan dan masuk akal di dalam buku-buku
evolusionis. Tetapi, ketika orang membacanya lebih cermat, kekeliruan besar tampak. Segi pertama
kekeliruan ini adalah masalah yang telah kita pelajari pada halaman-halaman sebelumnya buku ini. Mutasi
bersifat merusak, bukan membangun. Dengan kata lain, mutasi acak yang terjadi pada makhluk hidup tidak
memberikan “keuntungan” apa-apa bagi makhluk itu, dan lebih jauh lagi, gagasan bahwa makhluk hidup
bermutasi ribuan kali, satu demi satu, adalah mimpi yang bertentangan dengan semua pengamatan ilmiah.
Namun, masih ada segi sangat penting lain dari kekeliruan ini. Teori Darwinis mensyaratkan
masing-masing tahap dari satu titik ke titik lainnya harus “menguntungkan”. Dalam sebuah proses evolusi
dari A ke Z (misalnya, dari makhluk tak bersayap menjadi bersayap), semua tahap “peralihan” B, C, D, …
V, W, X, dan Y haruslah memberikan keuntungan bagi makhluk bersangkutan. Karena tidak mungkin bagi
seleksi alam dan mutasi secara sadar menentukan terlebih dulu sasaran-sasarannya, keseluruhan teori
didasarkan pada hipotesis bahwa sistem-sistem hidup dapat diuraikan menjadi sifat-sifat kecil yang bisa
ditambahkan ke organisme sedikit demi sedikit, setiap kali memberikan sedikit keuntungan selektif. Itulah
mengapa Darwin mengatakan, “Jika dapat dibuktikan bahwa ada organ rumit apa saja, yang tak mungkin
terbentuk melalui perubahan-perubahan yang banyak, berlanjut, dan sedikit-sedikit, teori saya akan mutlak
runtuh.”
Dengan taraf ilmu pengetahuan abad ke-19 yang masih sederhana, Darwin mungkin berpikir bahwa
makhluk-makhluk hidup berstruktur yang teruraikan. Tetapi, penemuan-penemuan abad ke-20 telah
menunjukkan bahwa banyak sistem dan organ pada makhluk hidup tak bisa diuraikan. Kenyataan ini,
disebut “kerumitan yang tak teruraikan,” dengan telak meruntuhkan Darwinisme, sebagaimana
dikhawatirkan oleh Darwin sendiri.

Flagel Bakteri
Orang terpenting yang membawa konsep kerumitan tak teruraikan ke latar depan agenda ilmiah
adalah ahli biokimia Michael J. Behe dari Lehigh University, Amerika Serikat. Di dalam bukunya
Darwin's Black Box: The Biochemical Challenge to Evolution (Kotak Hitam Darwin: Tantangan
Biokimiawi terhadap Evolusi), yang diterbitkan pada tahun 1996, Behe meneliti struktur rumit tak
teruraikan sel dan sejumlah struktur biokimia lainnya, dan mengungkapkan bahwa semua itu mustahil
dijelaskan oleh evolusi. Menurut Behe, penjelasan sejati tentang kehidupan adalah rancangan cerdas.
Buku Behe adalah sebuah pukulan telak bagi Darwinisme. Malahan, Peter van Inwagen, profesor
filsafat dari University of Notre Dame, menekankan pentingnya buku ini dengan cara berikut:
Jika kaum Darwinian menanggapi buku penting ini dengan mengabaikan, menyalah-artikan, atau
mencemoohkannya, hal itu akan menjadi petunjuk yang menyokong kecurigaan luas saat ini bahwa
Darwinisme berfungsi lebih sebagai sebuah ideologi daripada teori ilmiah. Jika mereka berhasil menjawab
pandangan-pandangan Behe, hal itu akan menjadi petunjuk penting yang menyokong Darwinisme.349
Salah satu contoh menarik kerumitan tak teruraikan yang diberikan Behe di dalam bukunya adalah
flagel bakteri. Flagel adalah organ mirip cambuk yang digunakan sebagian bakteri untuk bergerak di dalam
lingkungan cair. Organ ini tertanam pada membran sel, dan memungkinkan bakteri bergerak ke arah yang
dipilih dengan laju tertentu.
Para ilmuwan telah cukup lama mengenal flagel. Akan tetapi, struktur rincinya, yang hanya muncul
pada akhir dasawarsa ini, datang sebagai kejutan besar bagi mereka. Telah ditemukan bahwa flagel
bergerak dengan “motor organik” yang sangat rumit, bukan dengan mekanisme getar sederhana seperti
yang diyakini sebelumnya. Mesin mirip baling-baling ini dibangun atas azas-azas mekanis yang sama
dengan motor listrik. Ada dua bagian utama: bagian bergerak (“rotor”) dan bagian bergeming (“stator”).
Flagel bakteri berbeda dengan semua sistem organik yang menghasilkan gerak mekanis. Sel bakteri
tidak memanfaatkan cadangan energi yang disimpan sebagai molekul ATP. Tetapi, flagel memiliki sumber
energi khusus: bakteri menggunakan energi dari aliran ion yang melewati membran luar selnya. Struktur
dalam dari motor ini sangat rumit. Sekitar 240 jenis protein menyusun flagel. Setiap protein berada pada
tempat yang tepat. Para ilmuwan telah mengetahui bahwa semua protein ini membawa isyarat untuk
menghidupkan dan mematikan motor penggerak, membentuk engsel-engsel untuk memudahkan gerakan di
tingkat atom, dan menghidupkan protein-protein lain yang menghubungkan flagel ke membran sel. Model-
model yang dibangun untuk merangkum cara kerja sistem ini cukup menggambarkan sifat rumitnya.
Struktur rumit flagel bakteri sendiri saja sudah cukup menghancurkan teori evolusi karena flagel
berstruktur rumit yang tak teruraikan. Jika satu molekul pada struktur rumit yang menakjubkan ini hilang,
atau cacat, flagel tak akan bekerja maupun berguna bagi bakteri. Flagel harus bekerja secara sempurna dari
kali pertama keberadaannya. Fakta ini kembali mengungkapkan kehampaan pernyataan teori evolusi
tentang “perkembangan langkah demi langkah.” Malah, sejauh ini tak satu pun ahli biologi evolusi berhasil
menjelaskan asal usul flagel bakteri walau segelintir orang mencobanya.
Flagel bakteri adalah petunjuk nyata bahwa bahkan pada makhluk yang dianggap “sederhana”, ada
rancangan yang luar biasa. Sambil manusia mempelajari lebih banyak rinciannya, kian bertambah jelas
bahwa organisme-organisme yang dipandang sebagai yang tersederhana oleh para ilmuwan abad ke-19,
termasuk Darwin, sebenarnya sama rumitnya dengan organisme-organisme lain.

Rancangan Mata Manusia


Mata manusia adalah sistem yang sangat rumit yang mencakup penggabungan halus sekitar 40
komponen terpisah. Amatilah satu saja dari komponen-komponen ini: misalnya, lensa. Kita biasanya tidak
menyadari, namun yang membuat kita mampu melihat benda-benda dengan jelas adalah penyesuaian
otomatis terus-menerus fokus lensa. Jika Anda kehendaki, Anda bisa melakukan sebuah percobaan kecil
tentang hal ini: acungkan jari telunjuk Anda. Pandanglah ujung jari Anda, lalu pandanglah dinding di
belakangnya. Setiap kali mengalihkan pandangan dari jari ke dinding, Anda akan merasakan suatu
penyesuaian.
Penyesuaian ini dilakukan oleh otot-otot kecil di sekitar lensa. Setiap kali kita melihat pada sesuatu,
otot-otot ini akan bekerja dan membuat kita mampu melihat dengan jelas apa yang sedang kita pandangi
lewat mengubah-ubah ketebalan lensa dan menempatkannya pada sudut yang tepat terhadap cahaya. Lensa
melakukan pengaturan ini setiap detik dalam kehidupan kita, dan tak pernah membuat kesalahan. Para
fotografer melakukan pengaturan yang sama pada kamera mereka dengan tangan, dan kadang-kadang
menemui kesulitan mendapatkan fokus yang tepat. Selama 10 sampai 15 tahun terakhir, teknologi maju
telah menghasilkan kamera yang bisa memfokus otomatis, namun tiada kamera yang bisa memfokus
secepat dan sebaik mata.
Supaya mata dapat melihat, ke-40 atau lebih komponen dasar yang menyusunnya harus ada pada
saat bersamaan dan bekerjasama dengan sempurna. Lensa hanyalah salah satunya. Jika semua komponen
lain, seperti kornea, selaput pelangi, orang-orangan, retina, dan otot-otot mata, semuanya hadir dan
berfungsi sebagaimana mestinya, namun hanya kelopak mata yang tidak ada, maka mata akan segera
mengalami kerusakan yang parah dan berhenti menjalankan fungsinya. Dengan cara serupa, jika semua
subsistem ada, tetapi produksi air mata terhenti, maka mata akan mengering dan menjadi buta dalam
beberapa jam.
Pernyataan teori evolusi tentang “keteruraian” kehilangan semua maknanya di hadapan struktur
mata yang pelik. Alasannya adalah, agar mata bisa berfungsi, semua komponennya harus ada pada saat
bersamaan. Tentunya, mustahil bagi mekanisme seleksi alam dan mutasi memunculkan lusinan subsistem
mata jika tidak memberikan keuntungan sampai subsistem terakhir terwujud. Profesor Ali Demirsoy
menerima kebenaran ini dengan mengatakan:
Agak sulit menjawab keberatan yang ketiga. Bagaimanakah mungkin bagi sebuah organ rumit
muncul tiba-tiba meskipun membawa manfaat? Misalnya, bagaimanakah lensa, retina, syaraf penglihatan,
dan semua bagian lain pada vertebrata yang berperan penting dalam penglihatan, tiba-tiba muncul? Karena
seleksi alam tak bisa memilih secara terpisah antara syaraf penglihatan dan retina. Perkembangan yang
bersamaan segenap struktur penglihatan tak bisa dielakkan. Karena bagian-bagian yang berkembang
secara terpisah tak bisa digunakan, bagian-bagian ini akan tanpa makna, dan juga mungkin lenyap seiring
dengan waktu. Pada saat bersamaan, perkembangan semua bagian secara bersama-sama membutuhkan
penyatuan peluang-peluang yang kecilnya terbayangkan.350
Yang dimaksud dengan “peluang-peluang yang kecilnya tak terbayangkan” oleh Profesor Ali
Demirsoy adalah pada dasarnya sebuah “kemustahilan.” Jelas, sebuah kemustahilan bagi mata menjadi
hasil kebetulan. Darwin juga menghadapi kesulitan besar dalam hal ini, dan mengakui, “Saya ingat betul
saat-saat pikiran tentang mata membuat saya menggigil di sekujur tubuh.”351
Di dalam The Origin of Species, Darwin mengalami sebuah kesulitan besar di hadapan rancangan
rumit mata. Satu-satunya pemecahan yang diperolehnya adalah menunjuk ke struktur mata yang lebih
sederhana yang ditemukan pada beberapa makhluk hidup sebagai asal usul mata rumit yang ditemukan
pada makhluk lainnya. Ia berhipotesis bahwa mata yang lebih rumit berkembang dari mata yang lebih
sederhana. Akan tetapi, pernyataan ini tidak mencerminkan kebenaran. Paleontologi menunjukkan bahwa
makhluk-makhluk hidup muncul di bumi dengan struktur utuh yang sangat rumit. Sistem penglihatan
tertua yang dikenal adalah mata trilobita. Struktur mata majemuk yang berumur 530 juta tahun ini, yang
kita singgung pada bab sebelumnya, adalah sebuah “keajaiban penglihatan” yang bekerja dengan sistem
lensa ganda. Fakta ini sama sekali membantah anggapan Darwin bahwa mata rumit berevolusi dari mata
“sederhana.”

Struktur tak Teruraikan dari Mata ”Sederhana”


Tetap dikatakan bahwa organ-organ yang digambarkan Darwin sebagai mata “sederhana”
sebenarnya berstruktur rumit dan tak teruraikan yang tak akan pernah bisa dijelaskan dengan
ketaksengajaan. Bahkan pada bentuk yang tersederhana pun, untuk bisa melihat, sebagian sel makhluk
hidup harus peka terhadap cahaya—yakni, sel-sel itu perlu memiliki kemampuan menghantarkan kepekaan
terhadap cahaya ini menjadi isyarat-isyarat listrik; suatu jaringan syaraf dari sel-sel ini menuju otak
haruslah ada; dan sebuah pusat penglihatan di otak untuk mengolah informasi harus terbentuk. Sangat tak
beralasan jika mengusulkan bahwa semua ini mewujud secara kebetulan, pada saat bersamaan, dan pada
makhluk hidup yang sama. Di dalam bukunya yang ditulis untuk membela teori evolusi, Evrim Kurami ve
Bagnazlik (Teori Evolusi dan Kefanatikan), penulis evolusionis Cemal Yildirim mengakui fakta ini sebagai
berikut:
Sejumlah besar mekanisme harus bekerjasama demi penglihatan: sebagaimana mata dan
mekanisme-mekanisme di dalamnya, kita bisa menyebutkan hubungan antara pusat-pusat khusus di otak
dan mata. Bagaimanakah penciptaan sistem yang rumit ini terjadi? Menurut ahli biologi, tahap pertama
kemunculan mata selama proses evolusi adalah lahirnya suatu daerah kecil yang peka cahaya di permukaan
kulit beberapa makhluk hidup sederhana. Namun, keuntungan apakah yang bisa diberikan oleh
perkembangan kecil ini bagi makhluk hidup dalam seleksi alam? Sama dengan ini, diperlukan suatu
pusat penglihatan yang terbentuk di otak dan sebuah sistem syaraf yang terhubung dengannya. Selama
mekanisme yang amat rumit ini tidak saling terhubung, kita tak bisa mengharapkan yang kita sebut
“penglihatan” mewujud. Darwin percaya bahwa variasi terjadi secara kebetulan. Jika ini masalahnya,
tidakkah kemunculan semua variasi yang dibutuhkan penglihatan di berbagai bagian tubuh organisme pada
saat bersamaan dan bekerja bersama menjadi teka-teki yang ajaib?... Akan tetapi, sejumlah perubahan yang
saling melengkapi dan bekerjasama secara serasi dan saling membantu dibutuhkan demi penglihatan…
Beberapa mata moluska memiliki retina, kornea, dan sebuah lensa dari jaringan selulosa sama seperti mata
kita. Sekarang, bagaimanakah bisa kita menjelaskan proses evolusi dari dua jenis yang sangat berbeda ini
dengan serangkaian peristiwa kebetulan hanya karena seleksi alam? Menjadi bahan perdebatan apakah
Darwinis mampu memberikan sebuah jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan ini…352
Masalah ini begitu besar dari sudut pandang evolusionis sehingga semakin kita cermati rincian-
rinciannya, semakin parah kebingungan yang dialami teori ini. Satu “rincian” penting yang perlu ditelaah
adalah pernyataan tentang “sel yang menjadi peka terhadap cahaya.” Kaum Darwinis menjelaskan hal ini
dengan mengatakan,”Penglihatan mungkin dimulai oleh satu sel yang menjadi peka terhadap cahaya.”
Namun, rancangan seperti apakah yang diharapkan dimiliki struktur seperti itu?
Proses Kimiawi Penglihatan
Di dalam bukunya Darwin's Black Box, Michael Behe menekankan bahwa struktur sel hidup dan
semua sistem biokimia lainnya merupakan “kotak hitam” yang tak diketahui bagi Darwin dan orang-orang
yang sezaman dengannya. Darwin menganggap bahwa kotak-kotak hitam ini berstruktur sangat sederhana
dan dapat mewujud secara kebetulan. Akan tetapi, saat ini, biokimia mutakhir telah membuka kotak-kotak
hitam ini dan mengungkapkan struktur rumit kehidupan yang tak teruraikan. Behe menyatakan bahwa
ulasan-ulasan Darwin tentang lahirnya mata terlihat begitu meyakinkan karena taraf ilmu pengetahuan
abad ke-19 yang masih sederhana:
Darwin meyakinkan sebagian besar orang bahwa mata yang maju berevolusi perlahan-lahan dari
struktur yang lebih sederhana, namun tidak berupaya menjelaskan di mana titik awalnya—daerah peka
cahaya yang agaknya sederhana—berasal. Sebaliknya, Darwin mengabaikan pertanyaan tentang asal usul
paling awal mata… Ia beralasan kuat menolak pertanyaan ini, sebab, sepenuhnya di luar jangkauan ilmu
pengetahuan abad ke-19. Cara mata bekerja—yakni, apakah yang terjadi ketika sebutir foton cahaya kali
pertama mencapai retina—tak bisa diterangkan saat itu.353
Jadi, bagaimanakah sebenarnya sistem ini, yang disamarkan Darwin sebagai sebuah struktur
sederhana, bekerja? Bagaimanakah sel-sel pada lapisan retina mata mengesani berkas cahaya yang jatuh
padanya?
Jawaban pertanyaan ini amat pelik. Ketika mengenai sel-sel retina, foton-foton membangkitkan aksi
berantai, yang agak mirip sebuah efek domino. Kartu domino pertama adalah molekul yang disebut “11-
cis-retinal” yang peka terhadap foton. Ketika terkena foton, molekul ini berubah bentuk, yang lalu
mengubah bentuk sebuah protein yang disebut “rodopsin” yang terikat kuat kepadanya. Rodopsin
mengambil bentuk yang memungkinkannya melekat ke protein diam lain di dalam sel yang disebut
“transdusin.”
Sebelum bereaksi dengan rodopsin, transdusin terikat ke molekul yang disebut GDP. Ketika
berhubungan dengan rodopsin, transdusin melepaskan molekul GDP dan terikat ke molekul baru yang
disebut GTP. Itulah mengapa susunan baru yang mengandung dua protein (rodopsin dan transdusin) dan
sebuah molekul kecil (GTP) disebut “GTP-transdusin-rodopsin.”
Tetapi, prosesnya baru saja dimulai. Susunan baru GTP-transdusin-rodopsin kini bisa dengan cepat
terikat ke protein lain yang tinggal di dalam sel yang disebut “fosfodiesterase.” Senyawa ini membuat
protein fosfodiesterase mampu memotong molekul lain di dalam sel yang disebut cGMP. Karena proses ini
terjadi pada jutaan protein di dalam sel, kadar cGMP mendadak menurun.
Bagaimanakah semua ini membantu penglihatan? Unsur terakhir dari reaksi berantai ini memberikan
jawabannya. Penurunan kadar cGMP mempengaruhi saluan-saluran ion di dalam sel. Yang disebut saluran
ion adalah suatu struktur yang tersusun dari protein-protein yang mengatur jumlah ion natrium di dalam
sel. Dalam keadaan normal, saluran ion membiarkan ion natrium masuk ke sel sementara molekul lain
melepaskan kelebihannya untuk menjaga keseimbangan. Ketika jumlah molekul cGMP menurun, jumlah
ion natrium ikut menurun. Ini menyebabkan ketakseimbangan muatan di seluruh membran, yang
merangsang sel syaraf yang terhubung ke sel, membentuk yang kita sebut “impuls listrik.” Syaraf
membawa impuls ini ke otak dan “melihat” terjadi di sana.354
Singkatnya, sebutir foton membentur satu sel, dan lewat sederetan reaksi berantai, sel menghasilkan
impuls listrik. Kekuatan rangsangan ini dipengaruhi oleh energi foton—yakni, tingkat terang dari cahaya.
Fakta lain yang mengagumkan adalah bahwa semua proses yang sejauh ini diuraikan terjadi tak lebih dari
satu milidetik. Segera setelah reaksi berantai ini selesai, protein-protein khusus lain di dalam sel mengubah
unsur-unsur seperti 11-cis-retinal, rodopsin, dan transdusin kembali ke keadaan awalnya. Mata terus-
menerus berada di bawah siraman foton, dan reaksi-reaksi berantai di dalam sel-sel mata yang peka
membuatnya mampu mengenali setiap foton.
Proses melihat sebenarnya jauh lebih rumit daripada garis besar yang dituliskan di sini. Akan tetapi,
bahkan uraian sesingkat ini sudah cukup menunjukkan sifat luar biasa sistem ini. Ada rancangan yang
sangat rumit dan cermat pada mata yang membuat tak masuk akal pernyataan bahwa sistem seperti ini bisa
muncul secara kebetulan. Sistem ini berstruktur yang sama sekali tak teruraikan. Jika satu saja dari banyak
bagian molekuler yang terlibat dalam reaksi berantai ini hilang, atau tak berstruktur yang tepat, maka
sistem ini tak akan berfungsi sama sekali.
Jelaslah bahwa sistem ini melontarkan pukulan telak terhadap penjelasan kehidupan karena
“kebetulan”-nya Darwin. Michael Behe mengulas yang berikut tentang proses kimiawi mata dan teori
evolusi:
Kini setelah kotak hitam penglihatan terbuka, sudah tidak memadai bagi penjelasan evolusi yang
setaraf itu memikirkan hanya struktur anatomis keseluruhan mata, sebagaimana dilakukan Darwin di
abad ke-19 (dan seperti yang diteruskan oleh para penganjur nevolusi hari ini). Masing-masing langkah
dan struktur anatomis yang dikira Darwin demikian sederhana sebenarnya melibatkan proses biokimia
yang menggetarkan rumitnya yang tidak bisa ditutupi kata-kata muluk.355
Struktur mata yang rumit tak teruraikan tak hanya dengan tegas membantah teori Darwinis, tetapi
juga menunjukkan bahwa kehidupan diciptakan dengan rancangan yang hebat.

Mata Udang Karang


Ada banyak jenis mata di dunia kehidupan. Kita terbiasa dengan mata jenis kamera pada vertebrata.
Struktur ini bekerja dengan azas pembiasan cahaya yang jatuh ke lensa dan dipusatkan ke satu titik di
belakang lensa di bagian dalam mata.
Akan tetapi, mata yang dimiliki oleh makhluk-makhluk lain bekerja dengan cara yang sangat
berbeda. Satu contohnya adalah udang karang. Mata udang karang bekerja dengan azas pemantulan,
bukan pembiasan.
Sifat paling mengagumkan dari mata udang karang adalah permukaannya, yang tersusun dari banyak
persegi. Sebagaimana ditunjukkan di dalam gambar, persegi-persegi ini ditempatkan dengan sangat teliti.
Sebagaimana diulas seorang astronom di dalam Science: “Udang karang adalah hewan paling tidak
bersudut yang pernah saya lihat. Namun, di bawah mikroskop, sebiji mata udang karang terlihat bagaikan
kertas grafik* yang sempurna.”356 (Catatan: kertas grafik berisi kumpulan persegi sama luas; biasa dipakai
menggambarkan, misalnya, cetakbiru suatu rancangan).
Persegi-persegi yang tersusun rapi ini sebenarnya ujung dari tabung-tabung persegi halus yang
membentuk sebuah struktur mirip sarang lebah. Pada pandangan sekilas, sarang lebah tampak seperti
tersusun dari astakona (segi delapan), meskipun sebenarnya itu sisi depan prisma-prisma astakona. Pada
mata udang karang, persegi menggantikan astakona.
Malah yang lebih merangsang keingintahuan adalah sisi-sisi setiap tabung persegi ini bagaikan
cermin-cermin yang memantulkan cahaya masuk. Cahaya yang terpantulkan ini dipusatkan ke retina
dengan sempurna. Sisi tabung-tabung di dalam mata disisipkan pada sudut-sudut yang tepat sehingga
semuanya memusat ke satu titik.
Sifat luar biasa rancangan sistem ini amat tidak terbantahkan. Semua tabung persegi yang sempurna ini
memiliki lapisan yang bekerja bak cermin. Lebih jauh lagi, masing-masing sel ini ditempatkan dengan
penyelarasan geometris yang cermat, sehingga semuan memusatkan cahaya ke satu titik.
Michael Land, seorang ilmuwan dan peneliti pada University of Sussex di Inggris, adalah orang
pertama yang meneliti struktur mata udang karang secara rinci. Land mengatakan bahwa struktur mata ini
memiliki rancangan yang paling menakjubkan.357
Sudah jelas bahwa rancangan pada mata udang karang menyajikan suatu kesulitan besar bagi teori
evolusi. Yang terpenting, struktur ini mencontohkan konsep “kerumitan tak teruraikan.” Jika saja salah
satu ciri—seperti faset-faset (permukaan) mata, yang berbentuk persegi sempurna, sisi-sisi pantul setiap
faset, atau lapisan retina di bagian belakang—dihilangkan, mata tak akan pernah berfungsi. Oleh karena
itu, mustahil mengatakan bahwa mata berevolusi tahap demi tahap. Secara ilmiah, tak dapat dibenarkan
mendebat bahwa rancangan yang sempurna seperti ini dapat mewujud secara serampangan. Amat jelas
bahwa mata udang karang telah diciptakan sebagai sistem yang menakjubkan.
Orang bisa menemukan ciri-ciri lebih jauh mata udang karang yang menihilkan pernyataan-
pernyataan evolusionis. Mata pantul, yang salah satu contohnya adalah mata udang karang, ditemukan
hanya pada satu kelompok krustasea, yang disebut dekapoda bertubuh panjang. Keluarga ini
mencakup udang karang dan udang.
Anggota lain dari kelas Crustacea memperlihatkan “struktur mata bias,” yang bekerja dengan azas
yang sama sekali berbeda dengan mata pantul. Pada jenis ini, mata tersusun dari ratusan sel seperti sebuah
sarang lebah. Tak seperti sel-sel persegi pada mata udang karang, sel-sel ini berbentuk astakona atau
bundar. Lebih jauh lagi, bukannya memantulkan cahaya, lensa-lensa kecil di dalam sel membiaskan cahaya
ke titik pusat retina.
Sebagian besar krustasea berstruktur mata bias. Menurut anggapan evolusionis, semua makhluk
yang termasuk di dalam kelas Crustacea seharusnya telah berevolusi dari moyang yang sama. Oleh karena
itu, evolusionis menyatakan bahwa mata pantul telah berevolusi dari mata bias, yang jauh lebih umum di
kalangan krustasea dan rancangan yang secara mendasar lebih sederhana.
Akan tetapi, penalaran demikian itu mustahil, sebab kedua struktur mata berfungsi sempurna dengan
sistem masing-masing dan tidak menyisakan ruang bagi tahap “peralihan” apa pun. Seekor krustasea akan
tanpa penglihatan dan tersisihkan oleh seleksi alam jika lensa bias harus dihilangkan dan digantikan
permukaan pantul.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kedua struktur mata ini dirancang dan diciptakan secara terpisah.
Ada kecermatan geometris yang demikian canggih pada kedua mata ini sehingga menimbang-nimbang
peluang “kebetulan” sekadar menggelikan.

Rancangan pada Telinga


Contoh menarik lainnya dari organ rumit yang tak teruraikan pada makhluk hidup adalah telinga
manusia.
Sebagaimana diketahui, proses mendengar dimulai dari getaran-getaran di udara. Getaran-getaran ini
diperkuat di telinga luar. Penelitian telah menunjukkan bahwa bagian dari telinga luar yang disebut konkha
bekerja seperti semacam pengeras suara, dan gelombang suara diperkuat di saluran telinga luar. Dengan
cara ini, kekerasan gelombang suara amat meningkat.
Suara yang diperkuat dengan cara ini memasuki saluran telinga luar. Ini adalah daerah dari telinga
luar hingga gendang telinga. Satu ciri menarik saluran telinga, yang panjangnya sekitar tiga setengah
sentimeter, adalah lilin yang terus-menerus dihasilkannya. Lilin ini mengandung sifat antiseptik yang
mencegah bakteri dan serangga masuk. Lebih jauh lagi, sel-sel pada permukaan saluran telinga ini disusun
berbentuk spiral yang diarahkan langsung ke luar, sehingga lilin ini selalu mengalir keluar telinga ketika
dilepaskan.
Getaran-getaran suara yang melewati saluran telinga dengan cara ini mencapai gendang telinga.
Membran ini begitu peka sampai bisa mengenali bahkan getaran-getaran di tingkat molekul. Berkat
kepekaan gendang telinga yang sangat hebat, Anda dapat mendengar dengan mudah seseorang yang
berbisik-bisik dari beberapa meter jauhnya. Atau mendengar getaran-getaran yang dihasilkan ketika Anda
menggesek-gesekkan dua jari secara perlahan. Ciri luar biasa lainnya dari gendang telinga adalah bahwa
setelah menerima satu getaran, ia kembali ke keadaan awalnya. Perhitungan-perhitungan telah
menyingkapkan bahwa setelah menerima getaran terhalus, gendang telinga kembali bergeming lagi kurang
dari 4 milidetik. Jika gendang telinga tidak bergeming secepat itu, setiap suara yang kita dengar akan
bergema di telinga kita.
Gendang telinga memperkuat getaran-getaran yang diterimanya, dan mengirimkannya ke daerah
tengah telinga. Di sini, ada tiga tulang yang satu sama lain dalam keseimbangan yang sangat peka. Ketiga
tulang ini disebut tulang martil, landasan, dan sanggurdi; ketiganya berfungsi memperkuat getaran yang
diterima dari gendang telinga.
Namun, telinga tengah juga memiliki semacam “penyangga” untuk mengurangi getaran suara yang
sangat tinggi. Fungsi ini dilakukan oleh dua dari otot-otot tubuh terkecil, yang mengendalikan tulang-
tulang martil, landasan dan sanggurdi. Otot-otot ini memungkinkan suara yang terlalu keras diredam
sebelum mencapai telinga dalam. Berkat mekanisme ini, kita mendengar suara yang cukup keras untuk
mengguncang sistem pada tingkat yang telah diredam. Otot-otot ini otot tak sadar, dan bekerja otomatis
sedemikian sehingga bahkan jika kita tertidur dan lalu ada suara keras di samping kita, otot-otot ini segera
mengerut dan mengurangi kekuatan getaran yang mencapai telinga dalam.
Telinga tengah, yang memiliki rancangan sesempurna ini, perlu mempertahankan sebuah
keseimbangan penting. Tekanan udara di dalam telinga tengah harus sama dengan tekanan di luar gendang
telinga, yakni, sama dengan tekanan udara atmosfer. Namun, keseimbangan ini telah dipikirkan, dan
sebuah saluran antara telinga tengah dan dunia luar yang memungkinkan pertukaran udara telah dibangun.
Saluran ini adalah saluran eustakhius, sebuah rongga yang merentang dari telinga dalam sampai rongga
mulut.

Telinga Dalam
Yang kita uraikan sejauh ini tampaknya baru mencakup getaran-getaran di telinga luar dan tengah.
Getaran terus-menerus dilewatkan, tetapi sejauh ini belum ada sesuatu selain gerakan mekanis. Dengan
kata lain, belum ada suara.
Proses tempat gerakan mekanis mulai berubah menjadi suara diawali di dalam daerah yang disebut
telinga dalam. Di telinga dalam, ada organ berbentuk spiral yang berisi sejenis cairan. Organ ini disebut
rumah siput (kokhlea).
Bagian terakhir telinga tengah adalah tulang sanggurdi, yang dihubungkan dengan rumah siput oleh
suatu membran. Getaran-getaran mekanis di telinga tengah diteruskan ke cairan di telinga dalam lewat
hubungan ini.
Getaran yang mencapai cairan di telinga dalam menimbulkan pengaruh gelombang pada cairan.
Dinding-dinding sebelah dalam rumah siput ditutupi oleh struktur-struktur halus mirip rambut, disebut
stereosilia, yang peka terhadap pengaruh gelombang. Rambut-rambut halus ini bergerak sesuai dengan
gerak cairan. Jika suara keras dipancarkan, maka lebih banyak rambut akan merunduk dengan lebih kuat.
Setiap frekuensi berbeda dari dunia luar menimbulkan pengaruh berbeda pada rambut-rambut ini.
Tetapi, apakah arti pergerakan rambut ini? Apakah kaitan gerakan rambut halus pada rumah siput di
telinga dalam dengan mendengarkan suatu konser musik klasik, mengenali suara seorang teman,
mendengar suara sebuah mobil, atau membedakan jutaan jenis suara lainnya?
Jawabannya sangat menarik, dan sekali lagi mengungkapkan kerumitan rancangan pada telinga.
Setiap rambut halus yang menutupi dinding sebelah dalam rumah siput sebenarnya sebuah mekanisme
yang berdiri di atas 16 ribu sel rambut. Ketika merasakan sebuah getaran, rambut-rambut ini bergerak dan
saling mendorong, mirip seperti kartu domino. Gerakan ini membuka saluran pada membran sel-sel yang
terletak di bawah rambut. Dan hal ini memungkinkan arus masuk ion ke dalam sel. Ketika rambut bergerak
ke arah yang berlawanan, saluran ini kembali menutup. Maka, gerakan rambut yang terus-menerus
menyebabkan perubahan terus-menerus keseimbangan kimiawi pada sel-sel di bawahnya, yang lalu
membuat sel-sel menghasilkan isyarat listrik. Isyarat listrik ini diteruskan ke otak oleh syaraf, dan otak lalu
mengolahnya, mengubahnya menjadi suara.
Ilmu pengetahuan masih belum mampu menjelaskan semua rincian teknis sistem ini. Sambil
membangkitkan isyarat-isyarat listrik, sel-sel pada telinga dalam juga berhasil menyalurkan frekuensi,
kekuatan, dan irama yang datang dari luar. Prosesnya begitu rumit sehingga sejauh ini masih belum
dipastikan oleh ilmu pengetahuan apakah sistem pembeda frekuensi terjadi di telinga dalam atau di otak.
Kini, ada fakta menarik yang harus kita pikirkan tentang gerakan rambut halus pada sel-sel telinga
dalam. Sejak awal, kami mengatakan bahwa rambut-rambut bergoyang maju-mundur, saling mendorong
bak kartu domino. Tetapi, biasanya gerakan rambut-rambut halus ini sangat halus. Penelitian telah
menunjukkan bahwa satu gerakan rambut yang sejauh satu atom saja sudah cukup menimbulkan reaksi di
dalam sel. Para pakar yang telah meneliti masalah ini memberikan contoh sangat menarik untuk
menggambarkan kepekaan rambut-rambut ini: jika kita bayangkan sehelai rambut sama tingginya dengan
Menara Eiffel, pengaruh ke sel yang melekat padanya dimulai dengan sebuah gerakan yang sejauh hanya 3
sentimeter dari puncak menara.358
Sama menariknya adalah pertanyaan berapa sering rambut-rambut halus ini mampu bergerak per
detiknya. Kemampuan ini sesuai dengan frekuensi suara. Semakin tinggi, jumlah gerakan rambut-rambut
ini mencapai tingkat yang tak terbayangkan: misalnya, suara berfrekuensi 20 MHz menyebabkan rambut-
rambut halus ini bergerak 20 ribu kali per detik.
Semua yang telah kita telaah sejauh ini menunjukkan bahwa telinga memiliki sebuah rancangan luar
biasa. Pada pengamatan lebih dekat, ternyata rancangan ini rumit tak teruraikan, sebab, untuk bisa
mendengar, semua komponen sistem pendengaran mesti ada dan dalam keadaan utuh yang siap bekerja.
Hilangkan satu saja—misalnya, tulang martil di telinga tengah—atau rusak strukturnya, dan Anda tidak
lagi bisa mendengar apa-apa. Supaya Anda bisa mendengar, beraneka unsur seperti gendang telinga,
tulang-tulang martil, landasan, dan sanggurdi, membran telinga dalam, rumah siput, dan cairan di dalam
rumah siput, rambut-rambut halus yang meneruskan getaran dari cairan ke sel-sel indera di bawahnya, sel-
sel indera itu sendiri, jaringan syaraf yang menghubungkannya ke otak, dan pusat pendengaran di otak
semuanya harus ada dalam keadaan utuh yang siap bekerja. Sistem ini tak bisa dikembangkan secara
“bertahap” karena tahap-tahap peralihan tak berguna sama sekali.

Asal Usul Telinga Menurut Evolusionis


Sistem rumit yang tak teruraikan pada telinga adalah sesuatu yang tak pernah bisa dijelaskan dengan
memuaskan oleh evolusionis. Ketika melihat pada teori-teori yang jarang-jarang diajukan evolusionis, kita
akan bertemu dengan sebuah pemikiran yang meremehkan dan dangkal. Misalnya, seorang penulis Veysel
Atayman, yang menerjemahkan ke bahasa Turki buku Im Anfang War der Wasserstoff (Awalnya adalah
Hidrogen) karya ahli biologi Jerman Hoimar von Ditfurth, dan yang telah dihormati sebagai “pakar
evolusi” oleh media Turki, merangkum teori “ilmiah” nya tentang asal usul telinga dan petunjuknya
sebagai berikut:
Organ pendengaran kita, telinga, muncul sebagai hasil evolusi lapisan-lapisan endoderm dan
eksoderm, yang kita sebut kulit. Satu bukti bagi hal ini adalah kita merasakan suara-suara rendah
di kulit perut kita!359
Dengan kata lain, Atayman berpikir bahwa telinga berevolusi dari kulit biasa di bagian lain tubuh
kita, dan menganggap penginderaan suara rendah pada kulit kita sebagai buktinya.
Marilah kita terima dulu ‘teori’ Atayman, lalu ‘bukti’ yang diajukannya. Kita baru saja melihat
bahwa telinga adalah suatu struktur rumit yang tersusun dari lusinan bagian. Mengatakan bahwa struktur
ini muncul melalui “evolusi lapisan kulit” adalah, singkatnya, membangun istana di udara. Mutasi atau
pengaruh seleksi alam apakah yang bisa menyebabkan evolusi seperti ini terjadi? Bagian mana dari telinga
yang terbentuk pertama? Bagaimanakah bagian itu, sebagai hasil ketaksengajaan, telah dipilih oleh seleksi
alam sekalipun tak berfungsi? Bagaimanakah kebetulan melahirkan semua keseimbangan mekanis yang
peka pada telinga: gendang telinga, tulang-tulang martil, landasan dan sanggurdi, otot-otot yang
mengendalikannya, telinga dalam, rumah siput, cairan di dalamnya, rambut-rambut halus, sel-sel yang
peka gerakan, sambungan syarafnya, dan lain-lain?
Tidak ada jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini. Malah, menggagaskan bahwa semua struktur
rumit ini hanyalah “kebetulan” sebenarnya sebuah penghinaan atas kecerdasan manusia. Akan tetapi,
menurut kata-kata Michael Denton, bagi para Darwinis, “gagasan ini diterima tanpa sekelumit pun
keraguan—kerangka berpikir adalah lebih utama!”360
Di luar mekanisme seleksi alam dan mutasi, evolusionis sangat percaya pada sebuah “tongkat ajaib”
yang melahirkan rancangan-rancangan terumit ini secara kebetulan.
“Bukti” yang disediakan Atayman untuk teori khayalan ini malah lebih menarik. Ia mengatakan,
“kita merasakan suara-suara rendah di kulit kita adalah buktinya.” Yang kita sebut suara sebenarnya terdiri
dari getaran-getaran di udara. Karena suatu akibat fisik, getaran tentu saja bisa dirasakan oleh indera
peraba kita. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kita mampu merasakan suara tinggi dan rendah secara
fisik. Lebih jauh lagi, suara juga mempengaruhi tubuh secara fisik. Pecahan kaca berkekuatan suara tinggi
di dalam ruangan adalah sebuah contohnya. Yang menarik adalah bahwa penulis evolusionis Atayman
bisa-bisanya berpikir bahwa akibat-akibat ini bukti evolusi telinga. Jalan pikiran Atayman adalah sebagai
berikut: “Telinga merasakan gelombang-gelombang suara, kulit kita terpengaruh oleh getaran-getaran ini,
oleh karena itu, telinga berevolusi dari kulit.” Jika mengikuti pemikiran Atayman, seseorang juga bisa
mengatakan, ”Telinga menerima gelombang-gelombang suara, kaca juga terpengaruh oleh gelombang-
gelombang ini, oleh karena itu, telinga berevolusi dari kaca.” Sekali seseorang meninggalkan batas-batas
akal sehat, tiada “teori” yang tak bisa diajukan.
Skenario-skenario lain yang diajukan evolusionis tentang asal usul telinga secara mengherankan
bertentangan. Evolusionis menyatakan bahwa semua mamalia, termasuk manusia, berevolusi dari reptil.
Tetapi, sebagaimana sudah kita lihat, struktur telinga reptil sangat berbeda dengan mamalia. Semua
mamalia berstruktur telinga tengah yang tersusun dari tiga tulang yang baru saja diuraikan di atas,
sementara hanya ada satu tulang di telinga tengah semua reptil. Sebagai tanggapan terhadap hal ini,
evolusionis menyatakan bahwa empat tulang terpisah pada rahang reptil berubah kedudukan secara
kebetulan dan “berpindah” ke telinga tengah, dan juga secara kebetulan berubah menjadi tulang-tulang
landasan dan sanggurdi. Menurut skenario khayalan ini, tulang tunggal pada telinga tengah reptil berubah
bentuk dan menjadi tulang martil, dan keseimbangan sangat peka di antara ketiga tulang telinga tengah
terbentuk secara kebetulan.361
Pernyataan mencengangkan ini, yang sama sekali tak didasarkan pada penemuan ilmiah (tanpa
kaitan apa pun dalam catatan fosil), sangat bertentangan sendiri. Pokok terpenting di sini adalah perubahan
khayalan seperti itu akan membuat tuli makhluk hidup. Secara alamiah, makhluk hidup tak bisa terus
mendengar jika tulang rahangnya perlahan-lahan memasuki telinga dalamnya. Spesies seperti itu akan
dirugikan jika dibandingkan dengan makhluk hidup lain dan tersisih, menurut yang diyakini oleh
evolusionis sendiri.
Di sisi lain, makhluk hidup yang tulang-tulang rahangnya bergerak ke arah telinganya akhirnya akan
memiliki rahang yang cacat. Kemampuan mengunyah makhluk seperti itu menurun tajam, dan bahkan
hilang sama sekali. Ini juga merugikan makhluk itu, dan berakibat pada ketersisihannya.
Singkatnya, hasil-hasil yang muncul ketika seseorang meneliti struktur-struktur telinga dan asal
usulnya tegas-tegas membantah anggapan-anggapan evolusionis. Sebuah buku evolusionis, Grolier
Encyclopedia, membuat pengakuan bahwa “asal usul telinga diselubungi oleh ketidakpastian.”362
Sebenarnya, setiap orang yang mempelajari sistem pada telinga dengan akal sehat bisa dengan mudah
melihat bahwa telinga adalah hasil sebuah penciptaan yang sadar.

Perkembangbiakan Rheobatrachus Silus


Kerumitan tak teruraikan bukanlah satu ciri yang hanya kita lihat pada tingkat biokimiawi atau
dalam organ-organ yang rumit. Banyak sistem kehidupan yang dimiliki makhluk-makhluk hidup
merupakan kerumitan yang tak teruraikan, dan karena itu membantah teori evolusi. Cara berkembang biak
luar biasa Rheobatrachus silus, satu spesies katak yang hidup di Australia, merupakan sebuah contohnya.
Betina-betina spesies ini menggunakan cara yang mengagumkan untuk menjaga telur setelah
pembuahan. Para induk ini menelan telur-telurnya. Berudu tinggal dan tumbuh di dalam perut selama enam
minggu pertama setelah menetas. Bagaimanakah mungkin berudu bisa tinggal di dalam perut induknya
demikian lama tanpa tercernakan?
Sebuah sistem tanpa cela telah diciptakan untuk membuat katak ini mampu melakukannya. Pertama,
betina berhenti makan dan minum selama enam minggu itu, yang berarti perut disisihkan hanya untuk
berudu-berudu. Akan tetapi, bahaya lain adalah pelepasan berkala asam klorida dan pepsin di dalam perut.
Senyawa-senyawa kimia ini biasanya dengan cepat membunuh para cikal-bakal. Akan tetapi, hal ini
dicegah dengan perhitungan yang sangat khusus. Cairan-cairan di dalam perut induk dinetralkan oleh zat
mirip hormon prostaglandin E2, yang dilepaskan kali pertama oleh cangkang telur dan lalu oleh berudu.
Oleh karena itu, sang cikal-bakal tumbuh sehat, meskipun berenang di kolam asam.
Bagaimanakah berudu mencari makan di dalam perut yang kosong? Pemecahan masalah ini
tentunya telah juga dipikirkan. Telur-telur spesies ini lebih besar secara menyolok daripada spesies-spesies
katak lain, sebab mengandung kuning telur yang amat kaya protein dan cukup memberi makan berudu
selama enam minggu. Waktu kelahiran juga dirancang secara sempurna. Kerongkongan katak betina
mengembang selama melahirkan, persis seperti vagina mamalia selama persalinan. Setelah sang anak
muncul, baik kerongkongan maupun perut kembali ke keadaan sebelumnya, dan si betina mulai mencari
makan lagi.363
Keajaiban sistem perkembangbiakan Rheobatrachus silus terang-terangan membantah teori evolusi,
karena keseluruhan sistem ini sebuah kerumitan tak teruraikan. Setiap tahap harus terjadi lengkap supaya
katak bisa bertahan. Induk harus menelan telurnya, dan berhenti makan sama sekali selama enam minggu.
Telur harus melepaskan zat mirip hormon yang menetralkan asam lambung. Penambahan kuning telur
yang lebih kaya protein adalah syarat lainnya. Pelebaran kerongkongan betina tak bisa kebetulan. Jika
semua ini gagal terjadi dengan urutan yang benar, katak-katak kecil tak akan bertahan hidup, dan spesies
ini akan menghadapi kepunahan.
Oleh karena itu, sistem ini tak mungkin telah berkembang tahap demi tahap, seperti yang dinyatakan
teori evolusi. Spesies telah ada dengan seluruh sistemnya utuh sejak anggota-anggota pertamanya
terwujud. Cara lain mengatakannya adalah spesies ini diciptakan.

Kesimpulan
Pada bab ini, kita mempelajari hanya sedikit contoh konsep kerumitan tak teruraikan. Sebenarnya,
kebanyakan organ dan sistem pada makhluk hidup berciri demikian. Pada tingkat biokimia khususnya,
sistem-sistem berfungsi dengan kerjasama sejumlah bagian terpisah dan tak bisa dengan cara apa pun
diuraikan menjadi lebih sederhana. Fakta ini membantah Darwinisme, yang mencoba menjelaskan
rancangan pada kehidupan oleh kekuatan-kekuatan alamiah. Darwin mengatakan bahwa “Jika dapat
dibuktikan bahwa ada organ rumit apa saja, yang tak mungkin terbentuk melalui perubahan-perubahan
yang banyak, berlanjut, dan sedikit-sedikit, teori saya akan mutlak runtuh.” Saat ini, biologi mutakhir telah
mengungkapkan tak terhitung contohnya. Maka, orang hanya bisa menyimpulkan bahwa Darwinisme telah
“mutlak” runtuh.
EVOLUSI DAN TERMODINAMIKA

Hukum Kedua Termodinamika, yang diterima sebagai salah satu hukum dasar fisika, mengatakan
bahwa dalam keadaan wajar, semua sistem yang dibiarkan sendiri cenderung menjadi acak, terurai, dan
rusak berbanding lurus dengan jumlah waktu yang berlalu. Segala sesuatu, baik hidup maupun mati, akan
aus, rusak, lapuk, terurai, dan hancur. Inilah akhir yang mutlak yang akan dihadapi oleh semua makhluk
dengan satu atau lain cara, dan menurut hukum ini, proses ini tidak bisa dihindari.
Inilah sesuatu yang kita semua telah amati. Misalnya, jika Anda membawa sebuah mobil ke gurun
dan meninggalkannya di sana, Anda hampir pasti tidak mengharapkannya dalam keadaan yang lebih baik
ketika kembali beberapa tahun kemudian. Sebaliknya, Anda akan melihat bahwa ban-bannya telah kempis,
jendela-jendelanya pecah, kerangkanya berkarat, dan mesinnya mogok. Proses tak terelakkan yang sama
juga terjadi pada semua makhluk hidup.
Hukum Kedua Termodinamika adalah cara menetapkan proses alamiah ini dengan persamaan-
persamaan dan perhitungan-perhitungan fisika.
Hukum fisika yang terkenal ini juga disebut “hukum entropi.” Dalam fisika, entropi adalah ukuran
kekacauan suatu sistem. Entropi sistem meningkat seiring dengan bergeraknya sistem dari keadaan teratur,
tersusun, dan terencana ke keadaan yang lebih acak, terurai, dan tak terencana. Semakin banyak kekacauan
di dalam sistem, semakin tinggi entropinya. Hukum entropi mengatakan bahwa keseluruhan alam semesta
tanpa bisa dihindari berjalan menuju ke keadaan yang lebih tak teratur, tak terencana, dan tak tersusun.
Kebenaran hukum kedua termodinamika, atau hukum entropi, telah dibuktikan lewat percobaan dan
teori. Semua ilmuwan terkemuka sepakat bahwa hukum entropi tetap kerangka berpikir dasar bagi masa
depan yang dekat. Albert Einstein, ilmuwan terbesar zaman kita, menggambarkannya sebagai “hukum
utama segenap cabang ilmu pengetahuan.” Sir Arthur Eddington juga merujuknya sebagai “hukum
metafisika yang agung di sekalian alam.”364
Teori evolusi mengabaikan hukum dasar fisika ini. Mekansime yang ditawarkan oleh evolusi
menentang habis hukum kedua. Teori evolusi mengatakan bahwa atom-atom dan molekul-molekul yang
acak, tersebar, dan mati secara tiba-tiba bersatu seiring dengan waktu, dengan tata tertentu, membentuk
molekul-molekul yang luar biasa rumit seperti protein, DNA, dan RNA, dan setelahnya jutaan jenis spesies
hidup yang berstruktur bahkah lebih rumit muncul satu per satu. Menurut teori evolusi, proses yang
diperkirakan ini—yang menghasilkan struktur yang lebih terencana, lebih teratur, lebih rumit, dan lebih
tersusun pada setiap tahap—terbentuk dengan sendirinya di dalam keadaan-keadaan alamiah. Hukum
entropi membuat terang bahwa proses yang dikatakan alamiah ini sepenuhnya bertentangan dengan
hukum-hukum fisika.
Para ilmuwan evolusionis juga menyadari fakta ini. J.H. Rush menyatakan:
Dalam perjalanan evolusinya yang rumit, kehidupan menunjukkan perbedaan menyolok dengan
kecendrungan yang dinyatakan Hukum Kedua Termodinamika. Sementara Hukum Kedua menyatakan
gerak searah (irreversible) menuju entropi yang dan kekacauan yang meningkat, kehidupan berevolusi
terus-menerus ke tingkat keteraturan yang lebih tinggi.365
Penulis evolusionis Roger Lewin mengungkapkan kebuntuan termodinamis evolusi di dalam sebuah
artikel majalah Science:
Salah satu masalah yang dihadapi para ahli biologi adalah penentangan nyata evolusi terhadap
Hukum Kedua Termodinamika. Sistem-sistem melapuk seiring dengan waktu, memberikan lebih sedikit,
bukan lebih banyak, keteraturan.366
Pembela lainnya teori evolusi, George Stravropoulos, menyatakan kemustahilan termodinamis
pembentukan seketika kehidupan dan kemustahilan menjelaskan keberadaan mekanisme kehidupan yang
rumit dengan hukum-hukum alam dalam majalah evolusionis terkenal American Scientist:
Namun, dalam keadaan alamiah, tiada molekul organik yang rumit dapat terbentuk tiba-tiba, malah
cenderung teruraikan, sesuai dengan hukum kedua termodinamika. Bahkan, semakin rumit suatu molekul,
semakin ia tidak mantap, dan semakin pasti, cepat atau lambat, keteruraiannya. Fotosintesis dan semua
proses kehidupan, dan bahkan kehidupan itu sendiri, masih belum bisa dipahami menurut termodinamika
atau ilmu pasti lainnya, sekalipun dengan penggunaan bahasa yang tanpa atau dengan sengaja
membingungkan.367
Sebagaimana telah kita lihat, pernyataan evolusi sama sekali tidak sejalan dengan hukum fisika.
Hukum kedua termodinamika meletakkan suatu rintangan yang tak teratasi bagi skenario evolusi, secara
ilmiah maupun nalar. Tak mampu mengajukan penjelasan apa pun yang ilmiah dan serasi untuk mengatasi
rintangan ini, para evolusionis hanya bisa melakukannya dalam khayalan mereka. Misalnya, evolusionis
terkenal Jeremy Rifkin menuliskan yang diyakininya bahwa evolusi mengatasi hukum fisika ini dengan
suatu “daya ajaib”:
Hukum entropi mengatakan bahwa evolusi melenyapkan keseluruhan energi yang tersedia bagi
kehidupan di planet ini. Konsep evolusi kami persis kebalikannya. Kami percaya bahwa evolusi entah
bagaimana secara ajaib menciptakan nilai dan keteraturan menyeluruh yang lebih besar di bumi.368
Kata-kata ini menandakan bahwa evolusi lebih sebuah keyakinan fanatik daripada tesis ilmiah.

Kekeliruan Pandangan tentang Sistem Terbuka


Beberapa pendukung evolusi mendapat jalan keluar dengan sebuah pandangan bahwa hukum kedua
termodinamika hanya berlaku bagi “sistem tertutup,” dan “sistem terbuka” berada di luar jangkauan hukum
ini. Pernyataan ini tak beranjak jauh dari sebagai suatu usaha oleh beberapa evolusionis untuk memelintir
fakta-fakta ilmiah yang membantah teori mereka. Malah, sejumlah besar ilmuwan menyatakan secara
terbuka bahwa pernyataan tersebut tidak sahih dan melanggar termodinamika. Salah satunya adalah
ilmuwan Harvard John Ross, yang juga berpandangan evolusionis. Ia menjelaskan bahwa pernyataan yang
tak wajar itu mengandung sebuah kekeliruan ilmiah penting dalam ulasan berikut di dalam majalah
Chemical and Engineering News:
…tidak ada pelanggaran terhadap Hukum Kedua Termodinamika yang diketahui. Biasanya hukum
kedua dinyatakan bagi sistem-sistem tersekat, namun hukum kedua ini juga sama benarnya bagi
sistem-sistem terbuka. … gagasan bahwa hukum kedua termodinamika dengan suatu cara tak berlaku
bagi sistem-sistem seperti itu terkait dengan bidang gejala jauh-dari-keseimbangan. Memastikan bahwa
kekeliruan ini tidak berulang adalah penting.369
“Sistem terbuka” adalah sistem termodinamika dengan energi dan materi mengalir keluar-masuk.
Evolusionis mengatakan bahwa bumi sebuah sistem terbuka: bahwa bumi terus-menerus terpapar aliran
energi dari matahari, bahwa hukum entropi tak berlaku bagi bumi secara keseluruhan, dan bahwa makhluk-
makhluk hidup yang teratur dan rumit dapat dihasilkan dari struktur-struktur acak, sederhana, dan mati.
Akan tetapi, ada penyesatan yang nyata di sini. Fakta bahwa sebuah sistem memiliki arus masuk
energi tidak cukup membuatnya teratur. Dibutuhkan mekanisme khusus untuk membuat energi bermanfaat.
Misalnya, sebuah mobil membutuhkan mesin, sistem transmisi, dan mekanisme kendali yang terkait untuk
mengubah energi di dalam bahan bakar agar bekerja. Tanpa sistem pengubah energi seperti itu, mobil tak
akan dapat memakai energi yang tersimpan di dalam bahan bakar.
Syarat yang sama juga berlaku pada kehidupan. Benar bahwa kehidupan memperoleh energi dari
matahari. Akan tetapi, energi matahari hanya bisa diubah menjadi energi kimia oleh sistem pengubah
energi yang luar biasa rumit pada makhluk hidup (misalnya, fotosintesis pada tumbuhan serta sistem
pencernaan pada manusia dan mamalia). Tidak ada makhluk hidup dapat hidup tanpa sistem pengubah
energi seperti itu. Tanpa sistem itu, matahari tak lebih dari sebuah sumber energi berbahaya yang
membakar, mengeringkan, atau meleburkan.
Sebagaimana bisa dilihat, sebuah sistem termodinamika tanpa suatu mekanisme pengubah energi tak
menguntungkan bagi evolusi, baik terbuka maupun tertutup. Tak seorang pun menyatakan bahwa
mekanisme-mekanisme yang rumit dan sadar seperti itu dapat ada di alam di dalam keadaan bumi purba.
Padahal, masalah nyata yang menantang para evolusionis adalah cara mekanisme pengubah-energi yang
rumit seperti fotosintesis pada tumbuhan, yang tak bisa ditiru bahkan dengan teknologi mutakhir, bisa
mewujud dengan sendirinya.
Arus masuk energi matahari ke bumi tidak akan mampu melahirkan keteraturan dengan sendirinya.
Terlebih lagi, betapa pun tinggi suhu bumi, asam-asam amino tetap menolak berikatan dengan urutan yang
benar. Energi sendiri tak mampu membentuk asam-asam amino menjadi molekul-molekul protein yang
lebih rumit, atau membuat protein membentuk struktur-struktur organel sel yang jauh lebih rumit dan
tersusun.

Ilya Prigogine dan Dongeng “Materi yang Swasusun”


Menyadari bahwa hukum kedua termodinamika membuat evolusi mustahil, beberapa ilmuwan
evolusionis telah melakukan upaya coba-coba untuk menjembatani keduanya agar bisa menyatakan bahwa
evolusi itu mungkin.
Salah seorang yang teristimewa karena upayanya mengawinkan termodinamika dan evolusi adalah
ilmuwan Belgia Ilya Prigogine.
Beranjak dari teori kekacauan (chaos), Prigogine mengajukan sejumlah hipotesis yang di dalamnya
keteraturan berkembang dari ketakteraturan. Akan tetapi, meskipun dengan segenap upaya terbaiknya,
Prigogine tak mampu menyatukan termodinamika dan evolusi.
Dalam penelitiannya, ia mencoba mengaitkan proses-proses fisik yang searah dengan skenario
evolusionis tentang asal usul kehidupan, tetapi tidak berhasil. Buku-bukunya, yang sepenuhnya hanya teori
dan melibatkan sejumlah besar gagasan matematis yang tak bisa diterapkan dalam kehidupan nyata dan tak
berpeluang untuk diteliti, telah dikecam oleh para ilmuwan yang diakui sebagai pakar-pakar bidang fisika,
kimia, dan termodinamika, sebab tak bernilai praktis dan nyata.
Misalnya, P. Hohenberg, seorang ahli fisika yang dipandang sebagai pakar bidang mekanika statistik
dan pembentukan pola, dan salah seorang penulis buku Review of Modern Physics (Telaah Fisika
Mutakhir), menggelar ulasannya atas penelitian-penelitian Prigogine di dalam majalah Scientific American
Mei 1995:
Saya tak mengetahui satu pun gejala yang dijelaskan teorinya.370
Dan Cosma Shalizi, seorang ahli fisika teoretis dari Wisconsin University, mengatakan yang berikut
ini tentang fakta bahwa penelitian-penelitian Prigogine tak mencapai kesimpulan atau penjelasan yang
tegas:
… dalam kurang dari 500 halaman bukunya Self-Organization in Nonequilibrium Sistems
(Swasusun pada Sistem-sistem tak Seimbang; swasusun: menyusun diri secara mandiri), hanya ada empat
grafik data dunia nyata, dan tak ada pembandingan satu pun modelnya dengan hasil-hasil
percobaan. Juga, gagasannya tentang kesearahan sama sekali tidak terkait dengan perihal swasusun,
kecuali bahwa keduanya adalah pokok bahasan fisika statistik.371
Penelitian-penelitian di bidang fisika oleh seorang materialis bertekad kuat Prigogine juga
bermaksud memberikan dukungan bagi teori evolusi, sebab, sebagaimana telah kita lihat di halaman-
halaman sebelumnya, teori evolusi sudah jelas bertentangan dengan azas entropi, alias Hukum Kedua
Termodinamika. Hukum entropi, sebagaimana kita ketahui, tegas menyatakan bahwa ketika suatu struktur
rumit dan tersusun ditinggalkan dalam keadaan alamiah, maka lenyapnya ketersusunan, kerumitan, dan
informasi akan terjadi. Bertentangan dengan ini, teori evolusi menyatakan bahwa atom-atom dan molekul-
molekul yang tak teratur, terpencar, dan tak sadar bergabung dan memunculkan makhluk-makhluk hidup
beserta sistem-sistem tersusunnya.
Prigogine bertekad mencoba menemukan rumus yang membuat proses-proses sedemikian layak.
Akan tetapi, segenap usaha ini tak menghasilkan apa-apa selain sederet percobaan teoretis.
Dua teori terpenting yang lahir sebagai hasil dari upaya itu adalah teori “swasusun” dan teori
“struktur melesap (disipatif).” Teori pertama berpendapat bahwa molekul-molekul sederhana dapat
bersama-sama menyusun diri membentuk sistem-sistem kehidupan yang rumit; yang kedua menyatakan
bahwa sistem-sistem rumit dapat muncul dari sistem-sistem yang tak teratur dan berentropi tinggi. Namun,
teori-teori ini tak bernilai praktis dan ilmiah selain menciptakan dunia-dunia khayal baru bagi para
evolusionis.
Faktanya bahwa teori-teori ini tak menjelaskan dan memberikan hasil apa pun, diakui oleh banyak
ilmuwan. Ahli fisika terkenal Joel Keizer menulis: “Syarat yang diperkirakannya untuk meramalkan
kemantapan struktur acak yang jauh-dari-keseimbangan gagal—kecuali untuk keadaan-keadaan yang
sangat dekat dengan keseimbangan.”372
Ahli fisika teoretis Cosma Shalizi mengatakan yang berikut tentang masalah ini: “Kedua, ia
mencoba mengajukan kajian pembentukan pola dan swasusun yang amat lengkap dan berlandasan kuat
hampir sebelum siapa pun. Ia gagal, namun upayanya memberikan ilham.”373
F. Eugene Yates, penyunting Self-Organizing Systems: The Emergence of Order (Sistem-sistem
Swasusun: Lahirnya Keteraturan), merangkum kecaman yang diarahkan kepada Prigogine oleh Daniel L.
Stein dan ilmuwan pemenang Hadiah Nobel Philip W. Anderson dalam sebuah karangan majalah yang
sama:
Para penulis [Anderson dan Stein] membandingkan keruntuhan simetri pada sistem-sistem seimbang
termodinamis (yang mengarah ke perubahan fasa) dengan sistem-sistem yang jauh dari keseimbangan
(yang mengarah ke struktur melesap). Maka, kedua penulis tak percaya bahwa duga-dugaan tentang
struktur melesap dan pemutusan simetrinya dapat, pada saat ini, berkaitan dengan masalah-
masalah asal usul dan kelangsungan kehidupan.374
Singkatnya, penelitian-penelitian teoretis Prigogine tak bernilai dalam menjelaskan asal usul
kehidupan. Para penulis yang sama membuat ulasan berikut tentang teori-teori Prigogine:
Bertentangan dengan pernyataan-pernyataan di dalam sejumlah buku dan artikel di bidang ini, kami
percaya bahwa tiada teori yang sedemikian, dan bahkan mungkin tiada struktur sebagaimana
diisyaratkan oleh Prigogine, Haken, dan para sejawat mereka.375
Intinya, para pakar masalah ini menyatakan bahwa tak satu pun tesis yang diajukan Prigogine
memiliki kebenaran atau kesahihan, dan bahwa struktur-struktur dari jenis yang dibahasnya (struktur
melesap) bahkan mungkin tak pernah ada.
Pernyataan-pernyataan Prigogine dikupas lebih rinci dalam artikel Jean Bricmont berjudul "Science
of Chaos or Chaos in Science?” (Ilmu tentang Kekacauan atau Kekacauan dalam Ilmu?) yang membuat
ketaksahihannya jelas.
Meskipun fakta bahwa Prigogine tak berhasil menemukan jalan untuk mendukung evolusi, sekadar
fakta bahwa ia berprakarsa seperti ini cukup bagi para evolusionis untuk menghormatinya sebesar-
besarnya. Sejumlah besar evolusionis telah menyambut konsep “swasusun” Prigogine dengan harapan
besar dan prasangka dangkal. Teori-teori dan konsep-konsep khayalan Prigogine bagaimana pun telah
meyakinkan orang-orang yang tak tahu banyak mengenai masalah ini bahwa evolusi telah memecahkan
dilema termodinamika, sementara Prigogine sendiri malah telah mengakui bahwa teori-teori yang
dibuatnya bagi tingkat molekul tak berlaku pada sistem-sistem hidup—misalnya, sebuah sel hidup:
Masalah keteraturan biologis meliputi peralihan dari kegiatan molekuler ke keteraturan molekul
raksasa dari sel. Masalah ini masih jauh dari terpecahkan.376
Inilah duga-dugaan, didorong oleh teori-teori Prigogine, yang memabukkan para evolusionis dan
dimaksudkan untuk menyelesaikan pertentangan antara evolusi dan hukum-hukum fisika lainnya.

Perbedaan antara Sistem Tersusun dan Sistem Teratur


Jika kita tinjau secara saksama pernyataan-pernyataan Prigogine dan para evolusionis lainnya, kita
akan melihat bahwa mereka telah terjerembab ke dalam perangkap yang amat penting. Demi membuat
evolusi serasi dengan termodinamika, evolusionis terus-menerus mencoba membuktikan bahwa suatu
keteraturan tertentu dapat muncul dari sistem-sistem terbuka.
Dan di sini, mengemukakan dua konsep kunci adalah penting demi mengungkapkan cara-cara licik
yang dipakai para evolusionis. Muslihat ini terletak pada pencampur-adukan dengan sengaja dua konsep:
“teratur” (ordered) dan “tersusun” (organized)
Hal ini dapat dijernihkan dengan sebuah contoh. Bayangkan suatu pantai yang benar-benar datar di
tepi laut. Ketika gelombang besar menghempas pantai, bongkah-bongkah pasir, besar dan kecil,
membentuk gundukan-gundukan di permukaan pantai.
Ini sebuah proses “pengaturan.” Tepi laut adalah sebuah sistem terbuka, dan arus energi
(gelombang) yang memasukinya mampu membentuk pola-pola sederhana di pasir, yang tampak biasa-
biasa saja. Dari sudut pandang termodinamika, gelombang mampu membuat keteraturan di tempat yang
sebelumnya tak ada keteraturan. Namun, kami harus menegaskan bahwa gelombang-gelombang yang sama
tak dapat membangun istana pasir di pantai. Jika melihat sebuah istana pasir di sana, kita tidak ragu bahwa
seseorang telah membuatnya, sebab istana itu sebuah sistem yang “tersusun.” Dengan kata lain, istana itu
memiliki rancangan dan informasi yang jelas. Setiap bagiannya telah dibuat oleh suatu wujud cerdas secara
terencana.
Perbedaan antara istana dan pola pasir adalah yang pertama itu suatu kerumitan yang tersusun,
sementara yang terakhir memiliki hanya keteraturan yang dihasilkan oleh pengulangan remeh. Keteraturan
yang dibentuk oleh pengulangan adalah seakan sebuah benda (dengan kata lain, arus energi yang
memasuki sistem) telah terjatuh ke huruf “a” pada mesin ketik, menuliskan “aaaaaaaa” ratusan kali.
Namun, untaian “a” dalam sebuah urutan yang diulang dengan cara ini tak mengandung informasi apa pun,
dan tak memiliki kerumitan. Untuk menulis suatu rangkaian rumit huruf yang benar-benar mengandung
informasi (dengan kata lain, sebuah kalimat, paragraf, atau buku yang bermakna), kehadiran kecerdasan
adalah penting.
Hal yang sama terjadi jika satu sapuan kuat angin berhembus ke sebuah ruangan berdebu. Ketika
angin berhembus masuk, debu-debu yang tersebar merata mungkin terkumpul di satu sudut ruangan. Ini
juga suatu keadaan yang lebih teratur daripada sebelumnya menurut pengertian termodinamika, tetapi,
butir-butir debu itu tak bisa membentuk lukisan seseorang di lantai secara tersusun.
Ini berarti bahwa sistem yang rumit dan tersusun tak akan pernah muncul sebagai hasil proses-proses
alamiah. Meskipun contoh-contoh sederhana keteraturan bisa muncul dari waktu ke waktu, semua itu tidak
bisa beranjak keluar batas-batas tertentu.
Tetapi, para evolusionis menunjuk kepada swa-atur yang muncul lewat proses-proses alamiah ini
sebagai sebuah bukti penting evolusi dengan menggambarkan hal-hal seperti itu sebagai contoh-contoh
“swasusun.” Akibat pencampur-adukan konsep ini, mereka mengusulkan bahwa sistem-sistem kehidupan
dapat berkembang sendiri dari kejadian-kejadian di alam dan reaksi-reaksi kimia. Cara-cara dan penelitian-
penelitian yang dipakai Prigogine dan para pengikutnya yang kita bahas di atas didasarkan pada penalaran
yang memperdaya ini.
Akan tetapi, sebagaimana telah diperjelas sejak awal, sistem tersusun adalah struktur yang sama
sekali berbeda dengan sistem teratur. Sementara sistem teratur mencakup struktur-struktur hasil
pengulangan sederhana, sistem tersusun mencakup struktur-struktur dan proses-proses yang sangat rumit,
yang sering kali saling membungkus. Supaya struktur seperti itu bisa mewujud, diperlukan kecerdasan,
pengetahuan, dan perencanaan. Jeffrey Wicken, seorang ilmuwan evolusionis, menjelaskan perbedaan
penting di antara dua konsep ini dengan cara berikut:
Sistem ‘tersusun’ mesti saksama dibedakan dengan sistem ‘teratur’. Kedua macam sistem sama-
sama tidak ‘acak’, tetapi, sementara sistem teratur dibangkitkan sesuai dengan algoritma-algoritma
sederhana dan oleh karena itu tidak memiliki kerumitan, sistem tersusun harus dirakit unsur demi unsur
menurut ‘bagan pengawatan’ dari luar dengan kandungan informasi yang tinggi… Maka, penyusunan
adalah kerumitan fungsional dan membawa informasi.337
Ilya Prigogine—mungkin sebagai akibat pikiran bermimpi evolusionis—mengandalkan kepada
pencampur-adukan kedua konsep ini, dan memajukan contoh-contoh molekul yang menyusun diri-sendiri
di bawah pengaruh arus masuk energi sebagai “swasusun.”
Ilmuwan-ilmuwan Amerika Charles B. Thaxton, Walter L. Bradley, dan Roger L. Olsen, di dalam
buku mereka The Mystery of Life's Origin (Teka-Teki Asal Usul Kehidupan), menjelaskan fakta ini sebagai
berikut:
… Pada tiap-tiap kejadian, gerakan acak molekul di dalam cairan tiba-tiba digantikan oleh perilaku
yang sangat teratur. Prigogine, Eigen, dan banyak lainnya telah menggagaskan bahwa macam swasusun
yang serupa mungkin sifat bawaan di dalam kimia organik, dan berpeluang menjelaskan molekul-molekul
besar yang rumit yang penting bagi sistem-sistem hidup. Akan tetapi, analogi seperti itu tak cukup
berkaitan dengan masalah asal usul kehidupan. Alasan utamanya adalah mereka gagal membedakan antara
keteraturan dan kerumitan… 378
Dan inilah cara ilmuwan-ilmuwan yang sama menjelaskan kedangkalan dan penyimpangan
penalaran dari menyatakan air yang menjadi es sebagai contoh bagaimana keteraturan biologis dapat
muncul tiba-tiba:
Sering dikemukakan lewat analogi mengristalnya air menjadi es bahwa monomer-monomer
sederhana mungkin bergabung menjadi polimer molekul-molekul rumit seperti protein dan DNA. Akan
tetapi, analogi ini jelas-jelas tidak layak. Gaya ikat atom menarik molekul-molekul air menjadi larik
kristal yang teratur ketika rangsangan panas (atau gaya peningkat entropi) dibuat cukup kecil dengan cara
menurunkan suhu. Akan tetapi, pada suhu berapa pun, monomer-monomer organik seperti asam
amino menolak sama sekali penggabungan, apalagi penataan yang teratur.379
Prigogine mengabdikan seluruh karirnya untuk mengawinkan evolusi dan termodinamika, namun
tetap ia mengakui bahwa tiada kemiripan antara pengristalan air dan kemunculan struktur-struktur rumit
biologis:
Intinya adalah pada sistem yang tak tersekat, ada peluang pembentukan struktur-struktur teratur dan
berentropi rendah pada suhu yang cukup rendah. Azas pengaturan ini berperan pada kemunculan struktur-
struktur teratur seperti kristal maupun gejala peralihan fasa. Sayangnya, azas ini tak bisa menjelaskan
pembentukan struktur-struktur biologis.380
Singkatnya, tidak ada pengaruh kimia atau fisika dapat menjelaskan asal usul kehidupan, dan konsep
“swasusun materi” tetap sebuah khayalan.

Swasusun: Sebuah Dogma Materialis


Pernyataan yang dipertahankan evolusionis dengan konsep “swasusun” adalah keyakinan bahwa
materi mati dapat menyusun diri dan menghasilkan suatu makhluk hidup yang rumit. Ini sebuah keyakinan
yang sepenuhnya tak ilmiah: pengamatan dan percobaan telah tak terbantahkan membuktikan bahwa
materi tak bersifat demikian. Astronom dan ahli matematika Inggris terkenal Sir Fred Hoyle menulis
bahwa materi tak bisa menghasilkan kehidupan sendirian tanpa campur tangan yang disengaja:
Jika ada azas dasar materi yang dengan suatu cara mendorong sistem organik ke arah
kehidupan, keberadaannya haruslah dengan mudah bisa ditunjukkan di laboratorium. Misalnya,
Anda dapat menggunakan kolam renang untuk mewakili kolam purba. Mengisinya dengan sembarang
bahan kimia alami tak hidup sesuka Anda. Memompakan gas apa pun ke atasnya, atau ke dalamnya,
sesuka Anda, dan menyinarinya dengan berbagai radiasi sesuai dengan khayalan Anda. Biarkan pecobaan
berjalan selama setahun dan lihatlah berapa banyak dari 2 ribu enzim [protein-protein yang dihasilkan oleh
sel-sel hidup] telah muncul di kolam. Saya akan berikan jawabannya, sehingga akan menghemat waktu dan
tenaga dan biaya untuk benar-benar melakukan percobaan ini. Anda tak akan menemukan apa pun, kecuali
mungkin sejenis lumpur lengket yang tersusun dari asam-asam amino dan senyawa-senyawa organik
sederhana lainnya.381
Ahli biologi evolusi Andrew Scott mengakui fakta yang sama:
Ambillah beberapa bahan, panaskan sambil diaduk dan tunggu. Inilah versi mutakhir Genesis.
Gaya-gaya ‘dasar’ gravitasi, elektromagnetisme, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah dianggap
mengerjakan bagian selebihnya… Tetapi, seberapa banyakkah dari cerita indah ini benar-benar terjadi, dan
seberapa banyakkah tetap duga-dugaan penuh harap? Pada kenyataannya, mekanisme dari hampir
setiap tahap utama, dari bahan-bahan kimia awal sampai ke sel-sel pertama yang bisa dikenali, adalah
bahan bagi perdebatan atau kebingungan mutlak.382
Jadi, mengapakah evolusionis terus memercayai skenario-skenario seperti “swasusun materi,” yang
tak berlandasan ilmiah? Mengapakah mereka demikian kukuh menolak kecerdasan dan perencanaan yang
bisa dilihat dengan jelas pada sistem-sistem hidup?
Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini tersembunyi dalam filsafat materialis di atas mana teori evolusi
secara mendasar dibangun. Filsafat materialis memercayai bahwa hanya materi yang ada, oleh sebab itu,
makhluk hidup harus bisa dijelaskan dengan cara yang berdasarkan materi. Kesulitan inilah kyang
melahirkan teori evolusi, dan betapa pun bertentangan dengan petunjuk ilmiah, kepercayaan ini
dipertahankan hanya demi alasan itu. Seorang profesor kimia dari New York University sekaligus pakar
DNA, Robert Shapiro, menjelaskan kepercayaan evolusionis tentang “swasusun materi” dan dogma
materialis yang terletak di intinya sebagai berikut:
Karena itu, azas evolusi lainnya diperlukan untuk membawa kita menyeberangi jurang dari
campuran bahan kimia alamiah sederhana ke pengganda berdaya guna pertama. Azas ini belum pernah
diuraikan atau ditunjukkan, tetapi diperkirakan, dan diberi nama-nama seperti evolusi kimia dan swasusun
materi. Keberadaan azas ini diterima tanpa bertanya dalam filsafat materialisme dialektis,
sebagaimana yang diterapkan pada asal usul kehidupan oleh Alexander Oparin.383
Kebenaran-kebenaran yang telah kita telaah di dalam bab ini dengan jelas menunjukkan
kemustahilan evolusi di depan Hukum Kedua Termodinamika. Konsep “swasusun” adalah dogma lain
yang coba dipertahankan tetap hidup oleh para ilmuwan evolusionis sekalipun segenap petunjuk ilmiah
membantahnya.
TEORI INFORMASI DAN AKHIR DARI
MATERIALISME

Filsafat materialis terletak di dasar teori evolusi. Materialisme bersandar pada anggapan bahwa
segala sesuatu yang ada adalah materi. Menurut filsafat ini, materi telah ada sejak kapan pun, akan terus
ada selamanya, dan tak ada apa pun selain materi. Untuk memberikan dukungan bagi pernyataan mereka,
para materialis memakai satu penalaran yang disebut “reduksionisme.” Inilah gagasan bahwa benda-benda
yang tak bisa diamati dapat juga dijelaskan dengan azas-azas materi.
Untuk menjernihkan masalah, mari kita ambil contoh pikiran manusia. Jelas bahwa pikiran tak bisa
disentuh atau dilihat. Lebih jauh lagi, tidak ada pusat di otak manusia. Keadaan ini tak bisa dipungkiri
membawa kita kepada kesimpulan bahwa pikiran adalah sebuah konsep di luar materi. Oleh karena itu,
wujud yang kita rujuk sebagai “saya,” yang berpikir, mencintai, takut, khawatir, dan merasa senang atau
sedih, bukanlah suatu wujud materi seperti halnya seperangkat sofa, sebilah meja, atau sebongkah batu.
Akan tetapi, para materialis menyatakan bahwa pikiran “bisa diuraikan menjadi materi.” Menurut
pernyataan materialis, berpikir, mencintai, mencemaskan dan semua kegiatan mental kita tak lain reaksi-
reaksi kimia yang terjadi di antara atom-atom di dalam otak. Mencintai seseorang adalah suatu reaksi
kimia pada beberapa sel dalam otak kita, dan takut adalah reaksi yang lain. Seorang filsuf materialis
terkenal Karl Vogt menjadi kondang karena pernyataannya bahwa “otak melepaskan gagasan sama
seperti hati melepaskan empedu.”384 Akan tetapi, empedu itu materi, sementara tiada petunjuk bahwa
gagasan juga materi.
Reduksionisme adalah adalah penyimpulan yang nalar. Akan tetapi, suatu penyimpulan yang nalar
dapat didasarkan pada pijakan yang kuat maupun yang rapuh. Karena alasan ini, pertanyaan yang harus
kita ajukan adalah: apakah yang terjadi ketika reduksionisme dibandingkan dengan data ilmiah?
Para ilmuwan dan pemikir materialis abad ke-19 beranggapan bahwa jawabannya adalah ilmu
pengetahuan akan membenarkan reduksionisme. Akan tetapi, ilmu pengetahuan abad ke-20 telah
mengungkapkan suatu gambaran yang amat berbeda.
Salah satu ciri paling menonjol dari gambaran ini adalah “informasi,” yang hadir di alam dan tak
bisa diuraikan menjadi materi.

Perbedaan antara Materi dan Informasi


Sebelumnya kami menyebutkan bahwa ada informasi yang luar biasa lengkap terkandung di dalam
DNA makhluk-makhluk hidup. Sesuatu yang panjangnya sekecil seperseratus ribu milimeter berisi sejenis
“bank data” yang menentukan semua rincian fisik dari tubuh makhluk hidup. Terlebih lagi, tubuh juga
berisi suatu sistem yang membaca informasi ini, menerjemahkannya, dan menjalankan “produksi”
berdasarkan data itu. Pada setiap sel hidup, informasi di dalam DNA “dibaca” oleh berbagai macam enzim,
lalu protein-protein dihasilkan. Sistem ini memungkinkan pembuatan jutaan protein dalam setiap detik,
sesuai dengan yang dibutuhkan tepat di tempatnya diperlukan di dalam tubuh kita. Dengan cara ini, sel-sel
mata yang mati digantikan oleh yang hidup, dan sel-sel darah yang tua oleh yang baru.
Di sini, mari kita renungkan pernyataan materialisme: apakah mungkin informasi di dalam DNA
dapat diuraikan menjadi materi, seperti yang digagas kaum materialis? Atau, dengan kata lain, bisakah
diterima bahwa DNA hanyalah sekumpulan materi, dan informasi yang dikandungnya muncul sebagai
hasil percampuran acak serpih-serpih materi?
Semua penelitian, percobaan, dan pengamatan ilmiah yang dilakukan pada abad ke-20 menunjukkan
bahwa jawaban pertanyaan adalah tegas-tegas “tidak.” Pemimpin German Federal Physics and Technology
Institute, Profesor Werner Gitt, mengatakan yang berikut:
Sistem pengodean selalu melibatkan proses cerdas nonmateri. Suatu materi fisik tak bisa
menghasilkan suatu kode informasi. Segenap pengalaman menunjukkan bahwa setiap serpih informasi
kreatif mewakili sejumlah upaya mental dan dapat ditelusuri ke penggagas pribadi yang menjalankan
kehendaknya sendiri, dan yang dianugerahi pikiran cerdas… Tidak ada hukum alam yang diketahui,
tidak ada proses yang diketahui, dan tidak ada urutan kejadian yang diketahui, yang bisa
menyebabkan informasi memunculkan dirinya di dalam materi…385
Kata-kata Werner Gitt merangkum kesimpulan-kesimpulan “teori informasi” yang telah
dikembangkan sejak 50 tahun terakhir dan diterima sebagai bagian dari termodinamika. Teori informasi
menyelidiki asal usul dan sifat informasi di alam semesta. Kesimpulan yang dicapai oleh para ahli teori
informasi sebagai hasil penelitian-penelitian panjang adalah bahwa “informasi itu sesuatu yang berbeda
dengan materi. Informasi tak akan pernah bisa diuraikan menjadi materi. Asal usul informasi dan
materi fisik harus diselidiki secara terpisah.”
Misalnya, mari kita renungi sumber sebuah buku. Sebuah buku terdiri dari kertas, tinta, dan
informasi yang dikandungnya. Kertas dan tinta adalah unsur materi. Sumber keduanya juga materi. Kertas
terbuat dari selulosa, dan tinta dari aneka bahan kimia. Akan tetapi, informasi di dalam buku bukan materi,
dan tentu saja tak memiliki sumber material. Sumber informasi pada setiap buku adalah pikiran orang yang
menulisnya.
Terlebih lagi, pikiran ini menentukan cara kertas dan tinta digunakan. Sebuah buku awalnya
dibentuk di pikiran penulisnya. Sang penulis membangun serangkaian nalar dalam pikirannya, dan lalu
mengurutkan kalimat-kalimatnya. Sebagai langkah kedua, ia menaruhnya ke dalam bentuk materi, atau
dengan kata lain, menerjemahkan informasi di dalam pikirannya menjadi huruf-huruf, menggunakan
sebuah pena, mesin ketik atau komputer. Kemudian, tulisan-tulisan ini dicetak pada sebuah penerbitan dan
mengambil bentuk sebuah buku dari kertas dan tinta.
Oleh karena itu, kita bisa mengatakan kesimpulan umum ini: jika materi fisik mengandung
informasi, maka materi itu pastilah telah dirancang oleh suatu pikiran yang memiliki informasi tersebut.
Pertama, harus ada pikiran. Lalu, pikiran itu menerjemahkan informasi yang dimilikinya menjadi materi,
yang berarti tindakan merancang.

Asal Usul Informasi di Alam


Ketika kita menerapkan batasan ilmiah informasi di alam, suatu hasil yang sangat penting terjadi. Ini
karena alam dibanjiri oleh kumpulan informasi yang besar sekali (sebagaimana, misalnya, pada hal DNA),
dan selama tak bisa diuraikan menjadi materi, tentunya informasi ini berasal dari suatu sumber di luar
materi.
Seorang pendukung utama teori evolusi, George C. Williams, mengakui kenyataan ini, yang
sebagian besar materialis dan evolusionis enggan melihatnya. Williams telah membela mati-matian
materialisme selama bertahun-tahun, tetapi di dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada tahun 1995, ia
menyatakan kekeliruan pendekatan materialis (reduksionis) yang menyatakan segala sesuatu itu materi.
Ahli biologi evolusi telah gagal menyadari bahwa mereka bekerja dengan dua domain yang kurang
lebih tak bisa dibandingkan: domain informasi dan domain materi… Kedua domain ini tak akan pernah
disatukan menurut pemikiran apa pun seperti yang biasanya disiratkan oleh istilah “reduksionisme.” …
Gen adalah sebuah kemasan informasi, bukan sebuah benda.. Dalam biologi, ketika Anda berbicara tentang
hal-hal seperti gen dan genotip dan kelompok gen, Anda berbicara tentang informasi, bukan kenyataan
fisik sebenarnya… Ketiadaan istilah bersama ini membuat materi dan informasi sebagai dua domain
keberadaan yang terpisah, yang harus dibahas terpisah, menurut kaidah masing-masing.386
Oleh karena itu, bertentangan dengan anggapan materialis, sumber informasi di alam bukan materi
itu sendiri. Sumber informasi bukan materi, tetapi suatu Kebijaksanaan Ulung di luar materi.
Kebijaksanaan ini ada mendahului materi. Pemilik Kebijaksanaan ini adalah Allah, Tuhan Semesta Alam.
Materi diwujudkan, diberi bentuk, dan disusun olehNya.

Pengakuan-Pengakuan Materialis
Kami telah menggambarkan bagaimana salah satu azas mendasar yang membangun kehidupan
adalah “pengetahuan,” dan sudah jelas bahwa pengetahuan ini membuktikan keberadaan Pencipta Yang
Cerdas. Teori evolusi, yang mencoba menjelaskan kehidupan sebagai hasil kebetulan di dunia yang murni
materi, dan filsafat materialis tempatnya berpijak, amat tak berdaya di hadapan kenyataan ini.
Ketika membaca tulisan-tulisan evolusionis, kadang-kadang kita melihat bahwa ketakberdayaan ini
diakui secara terbuka. Seorang berwibawa yang terang-terangan tentang hal ini adalah ahli zoologi terkenal
Perancis Pierre-Paul Grassé. Ia seorang materialis sekaligus evolusionis, meskipun terkadang mengakui
secara terbuka kebuntuan-kebuntuan yang dihadapi teori Darwinis. Menurut Grassé, kebenaran terpenting
yang membantah penjelasan Darwinis adalah pengetahuan yang membangkitkan kehidupan:
Setiap makhluk hidup memiliki jumlah “kecerdasan” yang luar biasa, yang lebih dari cukup untuk
membangun katedral-katedral yang paling hebat. Saat ini, “kecerdasan” ini disebut informasi, tetapi pada
dasarnya tetap benda yang sama. Kecerdasan tidak diprogramkan seperti pada komputer, tetapi
dimampatkan pada taraf molekul di dalam DNA kromosom atau setiap organel lain pada setiap sel.
“Kecerdasan” ini adalah sine qua non [tak bisa tidak]-nya kehidupan. Dari manakah kecerdasan datang?...
Inilah masalah yang memrihatinkan para ahli biologi dan filsafat, dan, saat ini, ilmu pengetahuan tampak
tak mampu memecahkannya.387
Alasan mengapa Pierre-Paul Grassé mengatakan, “ilmu pengetahuan tak mampu memecahkannya,”
adalah bahwa ia tak menginginkan penjelasan nonmaterialis apa pun dipikirkan sebagai “ilmiah.” Akan
tetapi, ilmu pengetahuan itu sendiri membantah hipotesis-hipotesis filsafat materialis, dan membuktikan
keberadaan sesosok Pencipta. Grassé dan para “ilmuwan” materialis lain mengabaikan kenyataan ini, atau
mengatakan “Ilmu pengetahuan tidak menjelaskan hal ini.” Mereka melakukannya karena mereka
materialis lebih dulu dan ilmuwan kemudian, dan terus memercayai materialisme, bahkan jika ilmu
pengetahuan menunjukkan yang sebaliknya.
Karena alasan ini, supaya memiliki sikap ilmiah yang benar, orang harus membedakan antara ilmu
pengetahuan dan filsafat materialis.
MEMBEDAKAN ANTARA ILMU PENGETAHUAN
DAN MATERIALISME

Informasi yang kita pelajari sepanjang buku ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa teori
evolusi tak berlandasan ilmiah, dan bahwa, sebaliknya, pernyataan-pernyataan evolusionis bertentangan
dengan fakta-fakta ilmiah. Dengan kata lain, kekuatan yang menjaga evolusi tetap hidup bukan ilmu
pengetahuan. Evolusi mungkin dipertahankan oleh sebagian “ilmuwan,” tetapi di belakangnya ada
pengaruh lain yang bekerja.
Pengaruh lain ini adalah filsafat materialis. Teori evolusi sekadar filsafat materialis yang diterapkan
pada alam, dan mereka yang mendukung filsafat itu tetap mendukungnya sekalipun petunjuk-petunjuk
ilmiah membantahnya.
Hubungan antara materialisme dan teori evolusi ini diterima oleh “para ahli” konsep-konsep ini.
Misalnya, penemuan Darwin dilukiskan Leon Trotsky sebagai “kemenangan terbesar dialektika di segenap
bidang materi organik.”388
Ahli biologi evolusi Douglas Futuyma menulis, “Bersama dengan teori sejarah dan kemasyarakatan
materialisnya Marx… Darwin membelah papan-papan terakhir tataran mekanisme dan
materialisme.”389 Dan seorang ahli paleontologi evolusi Stephen Jay Gould mengatakan,”Darwin
menerapkan filsafat materialisme yang teguh pada tafsirannya tentang alam.”390
Filsafat materialis adalah salah satu pemikiran tertua di dunia, serta memandang keberadaan materi
yang mutlak dan tersendiri sebagai azas dasarnya. Menurut pandangan ini, materi selalu ada, dan segala
sesuatu yang ada tersusun dari materi. Tentu saja, ini memustahilkan kepercayaan kepada Sang Pencipta,
sebab jika materi selalu ada, dan jika segala sesuatu tersusun dari materi, maka tidak mungkin ada Sang
Pencipta yang supramaterial (di atas materi) yang menciptakan materi.
Jadi, masalahnya menjadi apakah sudut pandang materialis ini benar. Satu cara menguji apakah
suatu filsafat benar atau tidak adalah menyelidiki pernyataan-pernyataan yang dibuatnya tentang ilmu
pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah. Misalnya, seorang filsuf pada abad ke-10 dapat
menyatakan bahwa ada pohon keramat di permukaan bulan, dan semua makhluk hidup sebenarnya tumbuh
bak buah di cabang-cabang pohon besar ini, lalu jatuh ke bumi. Sebagian orang mungkin menganggap
filsafat ini menarik dan memercayainya. Namun, pada abad ke-21, ketika manusia telah berhasil
melangkahkan kaki di bulan, tidak lagi mungkin sungguh-sungguh meyakini kepercayaan seperti itu. Ada-
tidaknya pohon semacam itu dapat ditentukan dengan cara-cara ilmiah, yakni, dengan pengamatan dan
percobaan.
Karena itu, kita dapat menyelidiki dengan cara-cara ilmiah pernyataan bahwa materi telah ada
selamanya dan dapat menyusun diri tanpa sesosok Pencipta yang supramaterial serta menyebabkan
kehidupan dimulai. Ketika melakukan hal ini, kita akan melihat bahwa materialisme telah runtuh, sebab
gagasan bahwa materi ada sejak awal waktu telah dijungkalkan oleh Teori Ledakan Besar yang
menunjukkan bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan. Pernyataan bahwa materi menyusun diri dan
menciptakan kehidupan adalah pernyataan yang kita sebut sebagai teori evolusi—yang ditelaah oleh buku
ini—dan yang telah ditunjukkan keruntuhannya.
Akan tetapi, jika seseorang bertekad memercayai materialisme dan memberikan pengabdiannya
kepada filsafat materialis ini di atas segalanya, maka ia akan bersikap lain. Jika ia materialis lebih dulu dan
ilmuwan kemudian, ia tak akan melepaskan materialisme ketika melihat bahwa evolusi dibantah oleh ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, ia akan berupaya menegakkan dan mempertahankan materialisme dengan
mencoba mendukung evolusi, biar bagaimana pun. Inilah sebenarnya kesulitan yang di dalamnya
evolusionis yang membela teori evolusi mendapati diri berada saat ini.
Yang cukup menarik, mereka pun mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Seorang ahli genetika
terkenal sekaligus evolusionis yang blak-blakan, Richard C. Lewontin dari Harvard University, mengakui
bahwa ia “materialis lebih dulu dan ilmuwan kemudian,” dengan kata-kata berikut:
Bukan cara-cara atau lembaga-lembaga ilmiah yang memaksa kami menerima penjelasan material
gejala-gejala di dunia ini, tetapi malah sebaliknya, kami dipaksa oleh ketaatan a priori kami kepada
azas-azas material untuk menciptakan seperangkat penyelidikan dan sekumpulan konsep yang
menghasilkan penjelasan material, betapa pun melawan kata hati, betapa pun membingungkan bagi
yang tidak berpengetahuan. Lagi pula, materialisme itu mutlak, jadi kami tak bisa mengizinkan Kaki
Tuhan di depan pintu.391
Istilah “a priori” yang digunakan Lewontin di sini sangat penting. Istilah filsafat ini merujuk ke
praduga yang tak didasarkan pada sesuatu pengetahuan dari percobaan. Sebuah pemikiran adalah “a priori”
ketika Anda menganggapnya benar dan menerimanya bahkan sekalipun tak tersedia informasi yang
membenarkannya. Sebagaimana secara jujur diungkapkan Lewontin, materialisme adalah sebuah janji “a
priori” bagi evolusionis, yang lalu mencoba menyesuaikan ilmu pengetahuan ke prasangka ini. Karena
materialisme tegas-tegas mengharuskan pengingkaran keberadaan Sang Pencipta, mereka mencengkam
satu-satunya pilihan yang mereka miliki, yaitu teori evolusi. Tak masalah bagi ilmuwan seperti mereka
bahwa evolusi telah gagal dibenarkan oleh fakta-fakta ilmiah karena mereka telah menerimanya “a priori”
sebagai benar.
Sikap berprasangka ini membawa para evolusionis kepada sebuah keyakinan bahwa “materi tak
sadar menyusun dirinya sendiri,” yang bertentangan tak hanya dengan ilmu pengetahuan, namun juga
dengan akal sehat. Konsep “swasusun materi” yang telah kita telaah pada bab sebelumnya, adalah
ungkapan kepercayaan ini.
Propaganda evolusionis, yang selalu kita temui pada media Barat serta majalah-majalah ilmiah
terkenal dan bergengsi, adalah hasil kewajiban ideologis ini. Karena dirasakan mutlak diperlukan, evolusi
telah dijadikan sapi keramat oleh kalangan yang menetapkan standar-standar ilmu pengetahuan.
Sebagian ilmuwan menemukan diri dalam kedudukan yang memaksa mereka membela teori yang
tak meyakinkan ini, atau setidaknya menghindari mengatakan apa-apa yang menentangnya. Para akademisi
di negara-negara barat diharuskan menerbitkan artikel-artikel mereka di majalah-majalah ilmiah tertentu
untuk meraih dan mempertahankan jabatan akademis. Semua majalah yang membahas biologi ada di
bawah kendali para evolusionis, dan mereka tak mengizinkan artikel anti evolusi apa pun muncul di
dalamnya. Karenanya, para ahli biologi harus melakukan penelitiannya di bawah pengaruh teori evolusi.
Mereka juga bagian dari tatanan mapan yang memandang evolusi sebagai suatu keharusan ideologis, yang
menjadi alasan mereka membela membabi-buta semua “kebetulan-kebetulan mustahil” yang telah kita
telaah di dalam buku ini.

Pengertian “Maksud Ilmiah”


Ahli biologi Jerman Hoimar von Ditfurth, seorang evolusionis terkemuka, merupakan contoh bagus
pemahaman materialis yang fanatik ini. Setelah Ditfurth mengutip sebuah contoh susunan kehidupan yang
sangat rumit, inilah yang dikatakannya mengenai pertanyaan apakah susunan itu bisa muncul secara
kebetulan atau tidak:
Apakah keserasian seperti yang muncul hanya dari kebetulan-kebetulan mungkin dalam
kenyataannya? Inilah pertanyaan dasar bagi keseluruhan evolusi biologis. …Secara cermat, kami bisa
mengatakan bahwa seseorang yang menerima ilmu pengetahuan alam mutakhir tak memiliki pilihan selain
mengatakan “ya,” sebab ia bertujuan menjelaskan gejala alam dengan cara-cara yang dapat dimengerti dan
mencoba menurunkannya dari hukum-hukum alam tanpa berpaling ke campur tangan
adikodrati.392
Ya, seperti yang dikatakan Ditfurth, pendekatan ilmiah materialis diambil sebagai azas dasar
menjelaskan kehidupan dengan menolak “campur tangan adikodrati,” yakni, penciptaan. Sekali azas ini
diambil, bahkan skenario-skenario yang paling mustahil sekalipun dengan mudahnya bisa diterima. Sangat
mudah menemukan contoh-contoh pola sikap dogmatis ini pada hampir setiap buku evolusionis. Profesor
Ali Demirsoy, pendukung teori evolusi terkenal di Turki, adalah salah satunya. Sebagaimana telah kami
sebutkan, menurut Demirsoy, peluang pembentukan tak sengaja sitokrom-C, sebuah protein penting bagi
kehidupan, “sama mustahilnya dengan peluang seekor kera menuliskan sejarah kemanusiaan pada
sebuah mesin ketik tanpa membuat kesalahan sedikit pun.”393
Tiada keraguan bahwa menerima kemungkinan seperti itu sebenarnya menolak azas-azas dasar
penalaran dan akal sehat. Bahkan satu saja huruf yang terbentuk dengan benar pada sehelai halaman
memastikan bahwa itu ditulis oleh seseorang. Ketika seseorang melihat sebuah buku sejarah dunia,
menjadi lebih pasti bahwa buku itu telah ditulis seorang pengarang. Tak ada orang yang berpikir nalar akan
percaya bahwa huruf-huruf di dalam buku sebesar itu telah terkumpul bersama secara “kebetulan.”
Akan tetapi, sangat menarik melihat bahwa ilmuwan evolusionis seperti Profesor Ali Demirsoy
menerima gagasan tak masuk akal semacam ini:
Intinya, peluang pembentukan urutan sitokrom-C sama dengan nol. Yakni, jika kehidupan
memerlukan suatu urutan tertentu, bisa dikatakan bahwa urutan ini berpeluang yang mungkin terwujud
sekali saja di alam semesta. Dengan kata lain, daya-daya metafisis di luar jangkauan kita mesti terlibat
dalam pembentukannya. Menerima yang terakhir tidak pantas bagi maksud ilmiah. Karena itu, kita
harus mendalami hipotesis pertama.394
Demirsoy menulis bahwa ia lebih memilih kemustahilan, agar tidak harus menerima daya-daya
adikodrati—dengan kata lain, keberadaan Sang Pencipta. Akan tetapi, tujuan ilmu pengetahuan bukanlah
menghindari penerimaan keberadaan daya-daya adikodrati. Ilmu pengetahuan tidak akan maju jika
bertujuan semacam itu. Ilmu pengetahuan mesti sekadar mengamati alam, bebas dari segala prasangka, dan
menarik kesimpulan dari pengamatan itu. Jika hasilnya menunjukkan bahwa ada perencanaan oleh suatu
kecerdasan adikodrati, maka ilmu pengetahuan harus menerima fakta ini.
Dengan pengkajian yang lebih dalam, yang mereka sebut sebagai “maksud ilmiah” sebenarnya dogma
materialis bahwa hanya materi yang ada dan semesta alam bisa dijelaskan dengan proses-proses material. Ini
bukan sebuah “maksud ilmiah,” atau sesuatu yang serupa itu; ini cuma filsafat materialis. Filsafat ini
berlindung di balik kata-kata dangkal seperti “maksud ilmiah” dan mengharuskan ilmuwan menerima
kesimpulan-kesimpulan yang amat tak ilmiah. Tak mengherankan, ketika mengutip masalah lain—yakni, asal
usul mitokondria di dalam sel— Demirsoy secara terbuka menerima kebetulan sebagai sebuah penjelasan,
meskipun “amat bertentangan dengan pemikiran ilmiah”:
Inti masalah adalah cara mitokondria memperoleh ciri ini, sebab memperolehnya secara kebetulan
bahkan oleh satu individu, akan membutuhkan peluang luar biasa yang sulit dipahami… Enzim-enzim
yang menyediakan pernapasan dan berfungsi sebagai katalis pada setiap tahap dalam bentuk yang berbeda
menyusun inti mekanisme. Sebuah sel harus mengandung rangkaian enzim ini secara lengkap, jika tidak,
rangkaian menjadi tak berguna. Di sini, sekalipun bertentangan dengan pemikiran biologi, demi
menghindari penjelasan atau duga-dugaan yang lebih dogmatis, kita harus menerima, sekalipun merasa
enggan, bahwa semua enzim pernapasan ada secara lengkap di dalam sel sebelum kali pertama sel
bersentuhan dengan oksigen.395
Kesimpulan yang harus ditarik dari pernyataan-pernyataan seperti itu adalah evolusi bukan sebuah
teori yang dicapai lewat penyelidikan ilmiah. Sebaliknya, bentuk dan intisari teori ini dipaksakan oleh
kebutuhan-kebutuhan filsafat materialistik. Teori ini lalu berubah menjadi sebuah kepercayaan atau dogma
sekalipun ada fakta-fakta ilmiah yang nyata. Sekali lagi, kita bisa membaca dengan jelas dari kepustakaan
evolusionis bahwa semua usaha ini memiliki sebuah “tujuan”—dan tujuan ini menafikan berapa pun
harganya setiap kepercayaan bahwa makhluk-makhluk hidup diciptakan.

Menerima Kejutan-Kejutan
Sebagaimana baru saja kami tekankan, materialisme adalah keyakinan yang langsung dan terbuka
menolak keberadaan sesuatu yang nonmaterial (atau “adikodrati”). Di sisi lain, ilmu pengetahuan tidak
wajib menerima dogma semacam itu. Tugas ilmu pengetahuan adalah mengamati alam dan menyampaikan
hasil-hasilnya. Jika hasil-hasil ini mengungkapkan bahwa alam diciptakan, ilmu pengetahuan harus
menerima fakta ini.
Dan ilmu pengetahuan memang mengungkapkan fakta bahwa makhluk-makhluk hidup diciptakan. Inilah
sesuatu yang ditunjukkan oleh penemuan-penemuan ilmiah, yang bisa kita sebut “rancangan.” Ketika menelaah
struktur-struktur rumit menakjubkan pada makhluk-makhluk hidup, kita melihat bahwa struktur-struktur itu
berciri-ciri rancangan yang demikian luar biasa yang tak akan pernah dapat diterangkan dengan proses-proses
dan kebetulan-kebetulan alamiah. Setiap contoh rancangan adalah petunjuk suatu kecerdasan; dan karena itu, kita
harus menyimpulkan bahwa kehidupan juga dirancang oleh suatu kecerdasan. Karena tidak ada di dalam materi,
kecerdasan ini pasti dimiliki oleh suatu kebijaksanaan nonmaterial—suatu kebijaksanaan yang unggul, suatu
daya tak terbatas, yang mengatur semesta alam… Singkatnya, kehidupan dan semua makhluk hidup diciptakan.
Ini bukanlah sebuah kepercayaan dogmatis seperti materialisme, tetapi hasil pengamatan dan percobaan ilmiah.
Kita melihat bahwa kesimpulan ini datang bak sebuah kejutan yang mengerikan bagi para ilmuwan
yang terbiasa memercayai materialisme dan bahwa materialisme itu ilmu pengetahuan. Lihatlah bagaimana
kejutan ini diuraikan oleh Michael Behe, salah seorang ilmuwan penting yang tegak menantang teori
evolusi di dunia saat ini:
Kesadaran yang dihasilkan bahwa kehidupan dirancang oleh suatu kecerdasan merupakan sebuah
kejutan di abad ke-20 bagi kita yang telah terbiasa memikirkan kehidupan sebagai hasil hukum-hukum
alam yang sederhana. Tetapi, abad-abad yang lain telah menerima kejutannya masing-masing, dan tiada
alasan mengharapkan bahwa kita mesti lari dari kejutan-kejutan ini.396
Manusia telah dibebaskan dari dogma-dogma seperti bumi itu datar, atau bumi itu pusat alam
semesta. Dan kini, manusia telah dibebaskan dari dogma materialis dan evolusionis bahwa kehidupan
muncul dengan sendirinya.
Tugas yang dibebankan kepada seorang ilmuwan sejati dalam hal ini adalah membuang dogma
materialis dan mengkaji asal usul kehidupan dan makhluk-makhluk hidup dengan kejujuran dan ketulusan
yang cocok untuk seorang ilmuwan yang sesungguhnya. Ilmuwan yang sesungguhnya harus menerima
“kejutan,” dan tidak mengikat diri dengan dogma abad ke-19 yang usang dan membela skenario-skenario
yang mustahil.
KESIMPULAN

Sepanjang buku ini kita telah menelaah petunjuk ilmiah bagi asal usul kehidupan, dan apa yang
muncul dengan jelas menunjukkan bahwa kehidupan bukanlah hasil kebetulan, sebagaimana secara umum
dinyatakan oleh Darwinisme dan filsafat materialis. Makhluk-makhluk hidup tak mungkin berevolusi dari
satu bentuk ke bentuk lain melalui serangkaian kebetulan. Sebaliknya, semua makhluk hidup diciptakan
sendiri-sendiri dan tanpa cela. Sambil abad ke-21 menjelang, ilmu pengetahuan memberikan hanya satu
jawaban bagi pertanyaan asal usul kehidupan: Penciptaan.
Hal yang penting adalah ilmu pengetahuan telah menegaskan kebenaran yang disaksikan oleh agama
dari sejak awal sejarah hingga sekarang. Allah menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup di
dalamnya dari ketiadaan. Dan Allah juga menciptakan manusia dari ketiadaan dan memberkatinya dengan
tak terhitung sifat. Kebenaran ini telah disampaikan kepada manusia sejak zaman dahulu oleh para nabi,
dan diungkapkan di dalam kitab-kitab suci. Setiap nabi telah mengabarkan kepada umatnya bahwa Allah
menciptakan manusia dan semua makhluk hidup. Injil dan Al Qur’an keduanya mengabarkan tentang
penciptaan dengan cara yang sama.
Di dalam Al Qur’an, Allah berfirman pada sejumlah ayat bahwa Dialah yang menciptakan alam
semesta dan semua makhluk di dalamnya dari ketiadaan, dan menata semuanya tanpa cela. Pada ayat
berikut, dinyatakan bahwa alam semesta dan apa-apa di dalamnya diciptakan:

Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya
dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang, (masing-masing)
tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al A’râf, 7: 54)

Sama seperti Allah menciptakan segala sesuatu yang ada, Dia juga menciptakan bumi yang kita huni
saat ini, dan membuatnya mampu mendukung kehidupan. Fakta ini diungkapkan di dalam ayat-ayat
tertentu:

Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung, dan Kami
tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi
keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali
bukan pemberi rizki kepadanya. (QS. Al Hijr, 15: 19-20)

Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan
Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. (QS. Qâf, 50: 7)

Ayat-ayat di atas menyampaikan bahwa semua tumbuhan diciptakan oleh Allah. Semua tumbuhan,
baik yang diketahui maupun yang tidak, semua pohon, rumput, buah, bunga, rumput laut, dan sayuran
diciptakan oleh Allah.
Dan hal yang sama pun berlaku untuk hewan. Semua jutaan spesies hewan yang hidup, atau pernah
hidup, di bumi, diciptakan oleh Allah. Ikan, reptil, burung, mamalia, kuda, jerapah, bajing, rusa, burung
gereja, elang, dinosaurus, paus, dan merak, semuanya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah, Tuhan yang
memiliki kemahiran dan pengetahuan tak terhingga. Penciptaan aneka ragam spesies makhluk hidup oleh
Allah disebutkan dalam sejumlah ayat:

Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada
yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nûr, 24: 45)

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya engkau makan. (QS. An Nahl, 16: 5)

Dan Allah menciptakan manusia dengan cara yang tepat sama. Hal ini diungkapkan di dalam Al
Qur’an bahwa Adam, manusia pertama, diciptakan dari tanah, dan semua manusia selanjutnya muncul dari
satu sama lain lewat sejenis cairan hina (mani). Lebih jauh lagi, manusia memiliki ruh yang ditiupkan ke
jasadnya, tidak seperti spesies-spesies lain di bumi. Al Qur’an mengatakan yang berikut tentang kebenaran
penciptaan manusia:

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya, dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina (air mani). (QS. As Sajdah, 32: 7-8)

Kewajian Manusia

Seperti yang telah kami jelaskan sejak awal, ilmu pengetahuan telah menegaskan kebenaran
penciptaan, sebagaimana diturunkan di dalam Al Qur’an, sebab penemuan-penemuan ilmiah menunjukkan
bahwa makhluk-makhluk hidup memiliki rancangan yang luar biasa, dan diadakan oleh suatu kecerdasan
dan pengetahuan yang hebat. Pengamatan-pengamatan biologi menunjukkan bahwa satu spesies hidup
tidak bisa beralih menjadi yang lain, dan karena alasan ini, jika seseorang bisa memutar balik waktu,
akhirnya akan ia temukan, bagi setiap spesies, individu pertama yang pernah ada dan diciptakan dari
ketiadaan. Misalnya, karena elang selalu menjadi elang, jika kita kembali ke masa lampau, kita akan
sampai ke pasangan atau kelompok pertama elang yang diciptakan dari ketiadaan. Nyatanya, catatan fosil
menegaskan hal ini, dan menunjukkan bahwa aneka spesies hidup muncul tiba-tiba beserta semua ciri khas
masing-masing. Makhluk-makhluk hidup ini mungkin telah diciptakan pada waktu yang berlainan dan
ditaruh di belahan bumi yang berlainan, tetapi semua ini terjadi atas kehendak Allah.
Singkatnya, ilmu pengetahuan menegaskan bukti yang telah kita kaji bahwa semua makhluk hidup
diciptakan oleh Allah.
Akan tetapi, ilmu pengetahuan tak beranjak lebih jauh dari itu. Al Qur’an-lah, kitab yang telah
diturunkan Allah kepada kita, yang mengenalkan kita kepada intisari Allah dan satu-satunya sumber
kebenaran bagi setiap persoalan serta mengabarkan kepada kita mengapa kita diciptakan dan apa tujuan
hidup kita.
Al Qur’an mengatakan bahwa tujuan penciptaan kita adalah supaya kita dapat mengenal Allah,
Tuhan kita, dan mengabdi kepadaNya. Dalam suatu ayat, Ia berfirman, “Aku menciptakan jin dan
manusia hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzâriyât, 51: 56) Kewajiban yang dilimpahkan
kepada setiap orang yang memahami kebenaran penciptaan adalah hidup menurut ayat itu, dan
mengatakan, sebagaimana setiap orang beriman, “Mengapakah aku tidak menyembah (Tuhan) yang
telah menciptakanku dan yang hanya kepadaNya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?” (QS.
Yassîn, 36: 22), sebagaimana diuraikan di dalam Al Qur’an.
Sedangkan bagi yang menolak keberadaan Allah dan kebenaran peciptaan, sekalipun semua
petunjuk di depan mata mereka, pikiran mereka telah ditaklukkan oleh kesombongan mereka sendiri. Salah
satu ayat suci Allah menguraikan betapa tak tertolong dan tak berdayanya orang-orang ini sesungguhnya:

Hai manusia! Telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat
pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari
mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al Hajj, 22: 37)
RAHASIA DI BALIK MATERI

PERINGATAN!

Bab yang kini akan Anda baca mengungkapkan rahasia penting kehidupan Anda. Anda mesti
membaca sepenuh perhatian dan seluruhnya karena menyangkut sebuah pokok yang berperan membuat
perubahan mendasar dalam pandangan Anda atas dunia luar. Pokok masalah bab ini bukan sekadar satu
sudut pandang, suatu pendekatan yang berbeda, atau suatu pemikiran filsafat biasa: inilah fakta yang
setiap orang, beriman atau tidak, harus mengakuinya dan juga telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan
masa kini.
Konsep “sifat materi” adalah satu konsep yang berperan menyebabkan perubahan pandangan
seseorang atas kehidupan, dan malah keseluruhan kehidupannya, sekali intisarinya diketahui. Pokok ini
terkait langsung dengan makna hidup Anda, harapan Anda pada masa depan, cita-cita Anda, nafsu-nafsu,
hasrat-hasrat, rencana-rencana, konsep-konsep yang Anda anut, dan benda-benda materi yang Anda miliki.
Pokok masalah bab ini, “sifat materi,” bukanlah suatu pokok yang muncul kali pertamanya saat ini.
Sepanjang sejarah manusia, banyak pemikir dan ilmuwan telah membahas konsep ini. Semenjak awal,
orang-orang telah terpisah menjadi dua kelompok dalam persoalan ini; satu kelompok, yang dikenal
sebagai materialis, mendasarkan filsafat dan kehidupan mereka pada keberadaan hakiki materi dan hidup
dengan memperdaya diri. Kelompok yang lain berbuat tulus, dan karena tak cemas untuk berpikir lebih
keras, mencurahkan hidup demi memahami intisari dari “benda-benda” kepada mana mereka terpapar dan
makna mendalam yang terletak di baliknya. Akan tetapi, kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi di zaman kita akhirnya menyudahi pertentangan ini dengan membuktikan tanpa terbantahkan
fakta yang terbukti dengan sendirinya bahwa materi tak memiliki keberadaan yang hakiki.

Pertanyaan yang Telah Lama Dibahas:


Apakah Sifat Sebenarnya Materi?
Seseorang yang sungguh-sungguh dan bijaksana merenungi alam semesta yang dihuninya, galaksi-
galaksi, planet-planet, keseimbangan-keseimbangan di dalamnya, daya tarik-menarik dalam struktur atom,
keteraturan yang ditemuinya di segenap pelosok alam, tak terhitung spesies di sekelilingnya, cara spesies-
spesies itu hidup, bakat-bakatnya yang mengagumkan, dan akhirnya, tubuhnya sendiri, akan seketika
menyadari bahwa ada sesuatu yang luar biasa tentang semua hal itu. Ia akan dengan mudah memahami
bahwa tatanan sempurna dan kepelikan-kepelikan di sekitar dirinya tak mungkin terwujud dengan
sendirinya, namun pasti memiliki seorang Pencipta. Nyatanya, Darwinisme dan filsafat materialis yang
menolak penciptaan adalah kekeliruan-kekeliruan terbesar sebagaimana telah kami uraikan sepanjang buku
ini.
Lalu, oleh siapakah semua hal ini diciptakan?
Jelaslah bahwa “fakta penciptaan,” yang terbukti dengan sendirinya pada setiap lingkungan di alam
semesta, tak mungkin suatu hasil alam semesta itu sendiri. Misalnya, seekor merak, dengan warna dan
rancangannya yang mengisyaratkan seni yang tiada tara, tak bisa menciptakan dirinya sendiri.
Keseimbangan-keseimbangan amat halus di alam semesta tak mungkin menciptakan atau menyusun
dirinya sendiri. Baik tumbuhan, manusia, bakteri, eritrosit (sel darah merah), maupun kupu-kupu, tak
mungkin menciptakan dirinya sendiri. Lebih lagi, peluang bahwa semua wujud ini mungkin muncul
“secara kebetulan” bahkan tak terbayangkan.
Nyatalah bahwa segala sesuatu yang kita lihat telah diciptakan, tetapi tak satu pun dari benda-benda
yang kita lihat dapat menjadi “pencipta.” Sang Pencipta berbeda dengan dan mengungguli semua yang kita
lihat dengan mata kita. Ia tak terlihat, namun segala sesuatu yang telah Ia ciptakan mengungkapkan
keberadaan dan sifat-sifatNya.
Inilah perihal terhadap mana mereka yang menolak keberadaan Allah berkeberatan. Orang-orang
seperti mereka telah dilatih agar tak memercayai keberadaanNya kecuali melihatNya dengan mata sendiri.
Menurut pandangan mereka, ada setumpuk materi di seantero alam semesta yang menyebar hingga
keabadian, dan Allah tidak berada di mana pun di dalam tumpukan materi itu. Bahkan jika berjalan ribuan
tahun cahaya, mereka pikir mereka tak akan menemukan Allah. Inilah mengapa mereka menolak
keberadaanNya. Oleh karena itu, orang-orang ini, yang mengabaikan fakta “penciptaan,” terpaksa menolak
kebenaran “penciptaan” yang terwujud di seantero alam dan mencoba membuktikan bahwa alam semesta
dan makhluk-makhluk hidup di dalamnya tidak pernah diciptakan. Akan tetapi, mustahil bagi mereka
melakukannya, sebab setiap sudut alam semesta dibanjiri petunjuk adanya Allah.
Kesalahan dasar mereka yang menolak Allah juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak benar-
benar menolak keberadaan Allah, tetapi mempunyai kesan yang salah tentangNya. Mereka tidak menolak
tanda-tanda “penciptaan” yang terwujud di mana-mana, namun memiliki keyakinan-keyakinan takhayul
tentang “tempat” Allah. Kebanyakan mereka berpikir bahwa Allah ada di atas, di “langit.” Mereka secara
tersirat dan keliru membayangkan bahwa Allah ada di balik planet yang sangat jauh dan mencampuri
“urusan duniawi” sesekali, atau mungkin tidak sama sekali. Mereka membayangkan bahwa Ia menciptakan
alam semesta dan lalu membiarkannya bergulir sendiri, membiarkan manusia menentukan nasibnya
sendiri.
Sementara yang lain telah mendengar fakta yang dinyatakan di dalam Al Qur’an bahwa Allah ada
“di mana-mana,” namun tak mampu menghayati makna sebenarnya fakta ini. Menurut pemikiran
menyimpang di bawah sadar mereka, mereka berpikir bahwa Allah melingkupi segala sesuatu—bak
gelombang radio atau gas yang tak nampak dan tak teraba.
Akan tetapi, keyakinan ini dan keyakinan-keyakinan lain yang tak pasti menyangkut “tempat” Allah
(dan mungkin karena itu, menolak keberadaanNya) berlandaskan pada kekeliruan serupa. Mereka
berprasangka tanpa alasan dan bersalah karena berpendapat keliru tentang Allah.

Prasangka Apakah Itu?


Prasangka itu adalah tentang alam dan tabiat materi. Manusia begitu terbiasa pada anggapannya
sendiri tentang keberadaan materi sehingga tidak pernah memikirkan apakah materi ada atau tidak, atau
apakah materi ini sekadar bayang-bayang. Ilmu pengetahuan mutakhir menghancurkan prasangka ini dan
menyingkapkan suatu kenyataan yang sangat penting dan mengilhami. Pada halaman-halaman berikut,
kami akan menjelaskan kenyataan agung yang ditunjukkan Al Qur’an ini.

Kita Hidup di Alam Semesta yang Disajikan oleh Indera Kita


Menurut Albert Camus, Anda bisa memahami dan menentukan kejadian-kejadian lewat ilmu
pengetahuan, namun tak bisa memahami alam semesta. Di sini ada pohon, Anda rasakan kekerasannya; di
sini air, Anda mencicipnya. Di sini angin, yang menyejukkan Anda. Anda harus puas dengan semua itu.397
Semua informasi yang kita miliki tentang keniscayaan dunia tempat kita hidup disampaikan oleh
panca indera kita. Dunia yang kita kenal terbangun dari apa yang mata kita lihat, tangan kita rasakan,
hidung kita cium, lidah kita cicipi, dan telinga kita dengar. Tak pernah kita berpikir bahwa “dunia luar”
mungkin sesuatu yang lain dari yang disajikan oleh indera-indera kita, sebab kita telah bergantung
sepenuhnya kepada segenap indera itu sejak lahir.
Penelitian mutakhir di berbagai bidang ilmu pengetahuan menunjuk ke fakta yang sangat berbeda
dan menimbulkan keraguan besar tentang indera kita dan dunia yang kita tangkap dengannya.
Sesuai dengan temuan-temuan ilmiah, yang kita tangkap sebagai “dunia luar” hanyalah hasil dari
otak yang terangsang oleh isyarat-isyarat listrik yang dikirimkan oleh organ-organ indera kita. Warna-
warna kaya nuansa yang Anda tangkap dengan indera penglihatan, kesan keras atau lunak yang
disampaikan indera peraba, rasa yang Anda alami di lidah, aneka nada dan suara yang Anda dengar dengan
telinga, bebauan yang Anda cium, pekerjaan Anda, rumah Anda, semua harta Anda, kalimat-kalimat di
dalam buku ini, dan terlebih-lebih, ibu Anda, ayah Anda, keluarga Anda, seluruh dunia yang Anda lihat,
kenal, terbiasa dengannya sepanjang hidup, terdiri semata-mata dari isyarat-isyarat listrik yang diteruskan
oleh organ-organ indera Anda ke otak. Meskipun tampaknya sukar pada analisis pertama, hal ini sebuah
fakta ilmiah. Pandangan filsuf-filsuf terkemuka seperti Bertrand Russel dan L. Witteinstein tentang
masalah ini adalah sebagai berikut:
Misalnya, apakah lemon benar-benar ada atau tidak dan bagaimanakah lemon menjadi ada tak dapat
dipertanyakan atau diselidiki. Sebutir lemon terdiri semata-mata dari rasa yang dicicipi lidah, bau yang
dicium hidung, warna dan bentuk yang dilihat mata; dan hanya ciri-ciri inilah yang dapat dijadikan bahan
pemeriksaan dan pengkajian. Ilmu pengetahuan tak akan pernah mengetahui dunia fisik.398
Frederick Vester menjelaskan pencapaian ilmu pengetahuan pada masalah ini:
Pernyataan ilmuwan-ilmuwan tertentu bahwa “manusia itu sebuah citra, segala yang dialaminya fana
dan memperdaya, dan alam semesta ini sebuah bayangan,” tampaknya dibuktikan oleh ilmu pengetahuan
zaman kita.399
Pemikiran seorang filsuf terkenal George Berkeley tentang hal ini dapat dirangkum sebagai berikut:
Kita memercayai keberadaan benda-benda karena kita melihat dan menyentuhnya, dan semua itu
dipantulkan kepada kita oleh kesan-kesan kita. Akan tetapi, kesan-kesan kita sekadar gagasan-gagasan di
benak kita.. Oleh karena itu, benda-benda yang kita kenali dengan indera-indera kita tak lebih dari sebuah
gagasan, dan gagasan ini pada dasarnya tidak di mana-mana melainkan di benak kita… karena semua ini
hanya terjadi di benak, berarti kita terpukau oleh tipuan-tipuan ketika membayangkan bahwa alam semesta
dan benda-benda mempunyai keberadaan di luar benak kita. Maka, tak satu pun benda di sekeliling kita
memiliki keberadaan di luar benak kita.400
Untuk menjernihkan masalah ini, renungkanlah indera penglihatan kita, yang menyediakan bagi kita
informasi terbanyak tentang dunia luar.

Bagaimanakah Organ-Organ Indera Kita Bekerja?


Sedikit orang berpikir mendalam tentang bagaimana tindakan melihat berlangsung. Setiap orang
menjawab pertanyaan “Bagaimanakah kita melihat?” dengan berkata “tentulah dengan mata.” Akan tetapi,
ketika kita mempelajari penjelasan teknis proses penglihatan, tampaknya tidak demikian yang terjadi.
Tindakan melihat disadari bertahap. Gugus cahaya (foton) bergerak dari benda ke mata dan melewati lensa
di bagian depan mata, lalu dibiaskan dan jatuh terbalik di retina di bagian belakang mata. Di sini, cahaya
yang menerobos ini diubah menjadi isyarat-isyarat listrik yang diteruskan oleh neuron-neuron ke bintik
kecil yang disebut pusat penglihatan di bagian belakang otak. Tindakan melihat sebenarnya terjadi di bintik
kecil di bagian belakang otak ini, yang sangat gelap dan kedap cahaya.
Kini, cobalah tinjau kembali proses yang tampak biasa dan sederhana ini. Ketika mengatakan, “kita
melihat,” kita sesungguhnya melihat pengaruh-pengaruh rangsangan yang mencapai mata dan disimpulkan
di otak kita, setelah diubah menjadi isyarat-isyarat listrik. Yakni, ketika mengatakan, “kita melihat,”
sebenarnya kita mengamati satu himpunan isyarat listrik di otak. Oleh karena itu, melihat bukanlah proses
yang berakhir di mata; mata hanya sebuah organ indera yang berperan sebagai sarana proses melihat.
Semua citra yang kita pandang di dalam hidup kita terbentuk di pusat penglihatan kita, yang
seukuran sebiji kacang dan membentuk beberapa kubik saja isi otak kita. Baik buku yang kini sedang Anda
baca, dan layar komputer Anda, dan bentang alam tak berbatas yang Anda lihat ketika menatap cakrawala,
dan laut yang tak bertepi, dan sekumpulan orang yang berlomba lari maraton, masuk ke ruang kecil ini.
Hal lain yang patut diingat adalah, seperti yang telah kami catat, otak itu kedap cahaya; bagian dalamnya
gelap gulita. Otak sendiri tak bersentuhan dengan cahaya. Tempat yang disebut pusat penglihatan adalah
sebuah tempat yang gelap gulita, cahaya tak pernah mencapainya, begitu gelap sehingga mungkin Anda
sendiri belum pernah berada di tempat seperti ini. Akan tetapi, Anda memirsa dunia benderang dan
berwarna-warni dalam kegelap-gulitaan ini. Alam aneka warna, bentang alam yang menyilaukan, semua
nuansa hijau, warna-warni buah-buahan, pola-pola bunga-bungaan, terangnya matahari, semua orang di
jalan yang ramai, kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang dengan cepat, ratusan pakaian di pusat-pusat
perbelanjaan, dan yang lain-lainnya, semuanya citra-citra yang terbentuk di tempat yang gelap gulita ini.
Bahkan pembentukan warna di kegelapan ini masih belum diketahui. Klaus Budzinski mengulas:
... Para ahli warna (kromatis) tak bisa menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah jaringan di mata
yang menangkap cahaya maupun warna menghantarkan informasi ini ke otak melalui syaraf penglihatan
dan apakah macam rangsangan fisik-fisiologis yang diciptakannya di otak.401
Kita bisa menjelaskan keadaan menarik ini lewat sebuah contoh. Anggaplah di depan kita ada lilin
yang sedang menyala. Kita dapat duduk di seberang lilin ini dan melihatnya dengan berjarak. Akan tetapi,
selama itu, otak kita tak pernah bersentuhan langsung dengan cahaya asli dari lilin itu. Bahkan ketika kita
merasakan panas dan cahaya lilin itu, bagian dalam otak kita gelap-gulita dan suhunya tak pernah berubah.
Kita memirsa dunia terang berwarna-warni di dalam otak kita yang gelap.
Hal yang sama terjadi pada cahaya matahari. Mata Anda silau oleh cahaya matahari atau kulit Anda
merasakan panasnya yang membakar tak mengubah kenyataan bahwa itu semua hanya kesan dan pusat
penglihatan di otak Anda gelap-gulita.
R.L. Gregory memberikan penjelasan berikut tentang segi-segi yang menakjubkan dari melihat—
sesuatu yang kita terima tanpa bertanya:
Kita demikian akrab dengan penglihatan, sampai-sampai memerlukan lompatan pembayangan untuk
menyadari bahwa ada masalah-masalah yang harus dipecahkan. Namun, pikirkanlah hal ini. Kita diberi
citra-citra kecil yang terbalik dan kacau di mata, dan kita melihat benda-benda utuh terpisah-pisah di dalam
ruangan sekeliling kita. Dari pola-pola tiruan di retina, kita mengesani dunia benda-benda, dan ini tak
kurang dari sebuah keajaiban.402
Keadaan yang sama terjadi pada semua indera kita. Suara, sentuhan, rasa, dan bau semuanya
dikesani sebagai isyarat-isyarat listrik di otak.
Indera pendengaran bekerja dengan cara yang serupa dengan penglihatan. Telinga luar menangkap
suara dengan daun telinga dan mengarahkannya ke telinga tengah. Telinga tengah meneruskan getaran-
getaran suara ke telinga dalam dan memperkuatnya. Telinga dalam menerjemahkan getaran-getaran
menjadi isyarat-isyarat listrik, yang lalu dikirimkan ke otak. Sama seperti mata, proses mendengar
akhirnya terjadi di pusat pendengaran di otak.
Apa yang benar untuk mata juga benar untuk telinga, yaitu, otak kedap suara sebagaimana kedap
cahaya. Oleh karena itu, betapa pun bisingnya di luar, bagian dalam otak sunyi-senyap. Walau demikian,
bahkan suara terhalus sekalipun dikesani di otak. Proses ini demikian cermatnya sehingga telinga orang
yang sehat mendengar apa pun tanpa derau atau gangguan atmosferik. Di dalam otak Anda, yang kedap
suara dan sunyi-senyap, Anda mendengar simfoni-simfoni sebuah orkestra, mendengar semua kebisingan
sebuah tempat yang ramai, dan mengesani semua suara di dalam kisaran frekuensi yang lebar, dari kerisik
daun hingga raung pesawat jet. Akan tetapi, jika pada saat itu tingkat suara di dalam otak Anda diukur
dengan sebuah peranti yang peka, kesunyi-senyapan akan terlihat meliputinya.
Kesan kita tentang bau bekerja dengan cara serupa. Molekul-molekul mudah-menguap dipancarkan
oleh benda-benda seperti vanili atau bunga mawar mencapai dan berinteraksi dengan reseptor-reseptor di
rambut-rambut halus pada daerah epitel hidung. Interaksi ini diteruskan ke otak sebagai isyarat-isyarat
listrik dan dikesani sebagai bau. Semua yang kita cium, yang menyenangkan atau pun tidak, tak lain
hanyalah kesan otak terhadap interaksi molekul-molekul mudah-menguap setelah diubah menjadi isyarat-
isyarat listrik. Anda mengesani wangi parfum, sekuntum bunga, makanan yang Anda sukai, laut, atau
bebauan lain yang Anda sukai atau tidak, di dalam otak Anda. Molekul-molekul itu sendiri tak pernah
mencapai otak. Sama seperti suara dan pemandangan, yang sampai ke otak ketika Anda mengesani
sesiratan bau adalah sekadar sekumpulan isyarat listrik. Dengan kata lain, semua bau yang telah Anda
kenal—sejak Anda dilahirkan—yang dimiliki benda-benda luar adalah sekadar isyarat-isyarat listrik yang
Anda alami lewat organ-organ indera Anda. Berkeley juga mengatakan:
Pada awalnya, diyakini bahwa warna, bau, dan sebagainya, “benar-benar ada,” tetapi kemudian,
pandangan seperti itu ditinggalkan, dan agaknya semua itu hanya ada bergantung pada penginderaan
kita.403
Serupa itu, ada empat jenis reseptor kimiawi di bagian depan lidah manusia. Reseptor-reseptor ini
terkait dengan empat rasa: asin, manis, asam dan pahit. Reseptor-reseptor rasa kita mengubah kesan-kesan
ini menjadi isyarat-isyarat listrik melalui serangkaian proses kimiawi dan meneruskannya ke otak. Isyarat-
isyarat ini dikesani sebagai rasa oleh otak. Rasa yang Anda alami ketika makan coklat atau buah yang
Anda sukai merupakan tafsiran isyarat listrik oleh otak. Anda tak pernah dapat menyentuh benda di dunia
luar; Anda tak pernah dapat melihat, mencium, atau mencicipi coklat. Misalnya, jika syaraf-syaraf perasa
yang berjalan ke otak dipotong, rasa benda-benda yang Anda makan tak akan mencapai otak; Anda akan
sepenuhnya kehilangan indera pencicip.
Di sini, kita menemui fakta lain:
Kita tak pernah dapat yakin bahwa yang kita alami ketika mencicipi rasa makanan dan yang dialami
orang lain ketika mencicipi makanan yang sama, atau yang kita kesani ketika mendengar suara dan yang
dikesani orang lain ketika mendengar suara yang sama, adalah sama. Lincoln Barnett mengatakan bahwa
tak seorang pun mengetahui apakah orang lain melihat warna merah atau mendengar nada C
dengan cara yang sama seperti dirinya.404
Kita hanya tahu sebanyak yang disampaikan organ indera kita kepada kita. Mustahil bagi kita
menggapai kenyataan fisik di luar diri kita secara langsung. Lagi-lagi otak kitalah yang menafsirkannya.
Kita tak pernah dapat meraih sumbernya. Oleh karena itu, bahkan ketika kita berbicara suatu hal yang
sama, otak orang lain mungkin mengeaninya sebagai sesuatu yang lain. Alasannya adalah bahwa apa yang
dikesani bergantung pada yang mengesani.
Penalaran yang sama juga benar bagi indera peraba kita. Ketika menyentuh sebuah benda, semua
informasi yang akan membantu kita mengenali dunia luar dan benda-benda di dalamnya diteruskan ke otak
oleh syaraf-syaraf indera di kulit. Kesan sentuhan terbentuk di dalam otak kita. Berlawanan dengan
keyakinan umum, tempat kita mengesani sentuhan bukan di ujung-ujung jari, atau di kulit, namun di pusat
pengesan sentuhan di dalam otak kita. Karena tafsiran otak atas rangsangan listrik yang berasal dari benda-
benda, kita mengalami benda-benda itu secara berbeda, misalnya, mungkin keras atau lunak, panas atau
dingin. Kita mendapatkan semua rincian yang membantu kita mengenali sebuah benda dari rangsangan-
rangsangan ini. Sehubungan dengan hal ini, seorang filsuf terkenal Bertrand Russel mengulas:
Mengenai kesan sentuhan ketika kita menekan meja dengan jari-jari, itu sebuah gangguan
listrik pada elektron dan proton di ujung-ujung jari kita, yang dihasilkan, menurut fisika mutakhir,
karena berdekatan dengan elektron dan proton pada meja. Jika gangguan yang sama pada ujung-
ujung jari kita muncul dengan cara yang lain, kita akan memiliki rasa-rasa yang sama, sekalipun tidak ada
mejanya.405
Bahwa dunia luar bisa dikenali hanya melalui indera adalah sebuah fakta ilmiah. Di dalam bukunya,
A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Karya Tulis Tentang Azas-Azas Pengetahuan
Manusia), George Berkeley mengulas sebagai berikut:
Dengan penglihatan, saya memiliki gagasan tentang cahaya dan warna, dengan beberapa derajat
terang dan ragamnya. Dengan sentuhan, saya mengesani keras dan lembut, panas dan dingin, gerakan dan
kelembaman. ..Penciuman memasok saya dengan berbagai bau; lidah dengan rasa; dan pendengaran
menyampaikan suara. …Dan karena beberapa kesan teramati bersama-sama, kesemuanya ditandai dengan
satu nama, dan dengan demikian dikenal sebagai satu benda. Maka, misalnya, warna, rasa, bau, bentuk,
dan susunan tertentu yang teramati bersama, dipandang sebagai satu benda tersendiri, yang
ditandai dengan nama apel; kumpulan-kumpulan gagasan lain membentuk sebutir batu, sebatang pohon,
sebuah buku, dan benda-benda lain yang dapat dikesani...406
Oleh karena itu, dengan mengolah data di pusat penglihatan, suara, bau, rasa, dan sentuhan, otak
kita, seumur kita hidup, tidak menyentuh “sumber” materi yang ada di luar kita melainkan salinannya yang
terbentuk di dalam otak kita. Di sinilah kita tersesatkan dengan menganggap salinan-salinan ini keadaan-
keadaan materi nyata di luar kita. Akan tetapi, sebagaimana terlihat sepanjang buku ini, masih ada pemikir
dan ilmuwan yang tidak tersesatkan oleh kekeliruan gagasan seperti itu, dan yang telah menyadari fakta
ini.
Bahkan Ali Demirsoy, salah seorang materialis Turki paling masyhur, juga mengakui kebenaran ini:
Nyatanya, di alam semesta, tidak ada cahaya sebagaimana kita melihatnya, maupun suara
sebagaimana kita mendengarnya, maupun panas sebagaimana kita merasakannya. Organ-organ
indera menyesatkan kita di antara dunia luar dan otak dan memunculkan di dalam otak tafsiran-tafsiran
yang tak berkaitan dengan kenyataan.407

Apakah Kita Menjalani Seluruh Hidup di dalam Otak?


Dari fakta-fakta fisik yang diuraikan sejauh ini, kita bisa menyimpulkan yang berikut ini. Semua
yang kita lihat, sentuh, dengar, dan rasakan sebagai “materi,” “dunia,” atau “alam semesta” hanyalah
isyarat-isyarat listrik yang terjadi di dalam otak kita. Oleh karena itu, seseorang yang minum air jeruk tak
menghadapi minumun yang sebenarnya, melainkan hanya kesannya di otak. Benda yang diyakini oleh
orang-orang yang menyaksikan sebagai “minuman” sebenarnya mencakup kumpulan kesan listrik dari
warna jingga, rasa manis, dan rasa cair jus jeruk di otak. Keadaan ini tak berbeda dengan ketika kita makan
coklat; data listrik yang terkait dengan bentuk, rasa, bau, dan kekerasan coklat dikesani di otak. Jika syaraf-
syaraf penglihatan yang berjalan ke otak tiba-tiba terputus, citra coklat juga mendadak hilang. Terputusnya
syaraf yang berjalan dari indera-indera pada hidung ke otak akan mematikan sepenuhnya indera
penciuman.
Ambil mudahnya, pohon yang Anda lihat, benda-benda yang Anda cium, coklat yag Anda cicipi,
dan jus jeruk yang Anda minum tak lebih dari tafsiran otak atas isyarat-isyarat listrik.
Hal lain yang perlu dipikirkan, yang dapat memperdaya, adalah kesan jarak. Misalnya, jarak antara
Anda dan buku ini hanyalah suatu perasaan atas ruang yang terbentuk di dalam otak Anda. Benda-benda
yang tampak jauh dari sudut pandang manusia juga ada hanya di dalam otak. Misalnya, seseorang yang
memandangi bintang-gemintang di langit menyangka bahwa semua itu berjarak jutaan tahun cahaya
darinya. Namun, yang ia “lihat” sebenarnya bintang-bintang di dalam dirinya, pada pusat penglihatannya.
Selama penerbangan, orang melihat dari sebuah pesawat ke kota di bawah dan berpikir bahwa kota itu
berjarak beberapa kilometer darinya. Akan tetapi, keseluruhan panjang dan lebar kota beserta segenap
orang-orang yang menghuninya itu berada di dalam otaknya.
Kini, semua data ilmiah membuktikan bahwa citra yang kita kesani terbentuk di dalam otak kita.
Masih satu lagi faktor yang menyesatkan, namun sangat penting. Ketika Anda membaca kalimat-
kalimat ini, sebenarnya Anda tak berada di ruangan yang Anda sangka Anda di dalam ruangan; sebaliknya,
ruangan itu ada di dalam Anda. Karena melihat tubuh Anda, Anda berpikir bahwa Anda ada di dalamnya.
Akan tetapi, Anda harus ingat bahwa tubuh Anda juga sebuah citra yang terbentuk di dalam otak
Anda. Bertrand Russel menyatakan yang berikut tentang hal ini:
Yang bisa kita katakan, atas dasar fisiknya sendiri, adalah bahwa yang sampai kini kita sebut
tubuh kita sebenarnya sebuah bangun ilmiah terinci yang tak berkaitan dengan kenyataan fisik apa
pun.408
Kebenarannya sangat jelas. Jika kita bisa merasakan dunia luar hanya melalui organ-organ indera
kita, maka tidak akan ada alasan yang taat azas bagi kita untuk menganggap tubuh kita terpisah dari dunia
luar, yaitu, mengakui bahwa tubuh kita memiliki keberadaan tersendiri.
Tubuh kita juga disajikan kepada kita oleh rangsangan listrik yang mencapai otak. Rangsangan ini,
sama seperti yang lain, diubah menjadi kesan atau rasa tertentu di dalam otak kita. Misalnya, rasa sentuhan
terjadi ketika kita menyentuh tubuh dengan tangan, rasa berat disebabkan oleh gaya gravitasi, rasa melihat
disebabkan oleh berkas-berkas cahaya yang terpantul dari tubuh kita, dst… semua ini dikaji sebagai suatu
“kumpulan rasa” oleh otak, dan kita “merasakan” tubuh kita. Sebagaimana diungkapkan oleh fakta ilmiah
ini, selama hidup, kita tak terpapar tubuh kita yang asli, melainkan rangsangan listrik yang terkait dengan
tubuh kita yang mencapai otak. Rangsangan ini dikenali sebagai “tubuh kita” menurut pengesanan kita
Hal yang sama juga benar bagi semua pengesanan Anda lainnya. Misalnya, ketika Anda pikir Anda
mendengar suara televisi di ruang sebelah, sebenarnya Anda mengalami suara itu di dalam otak Anda.
Anda tidak dapat membuktikan baik apakah sebuah ruang ada di sebelah ruang Anda, maupun apakah
suara itu berasal dari televisi di ruangan itu. Baik suara yang Anda pikir datang dari jarak beberapa meter
dan percakapan seseorang di samping Anda dikenali di pusat pendengaran di dalam otak Anda yang hanya
beberapa sentimeter persegi ukurannya. Di luar pusat kesan ini, tidak ada konsep seperti kanan, kiri, depan,
atau belakang. Jadi, suara tidak mendatangi Anda dari kanan, dari kiri, atau dari udara, tidak ada arah
dari mana suara datang.
Demikian juga bebauan yang Anda kesani, tak satu pun mencapai Anda dari sebuah jarak yang jauh.
Anda menganggap bahwa pengaruh-pengaruh akhir yang terbentuk di pusat penciuman Anda adalah bau
benda-benda di dunia luar. Akan tetapi, sama seperti citra sekuntum mawar di pusat penglihatan Anda,
wangi mawar itu juga ada di pusat penciuman; tidak ada sekuntum mawar maupun suatu bau yang terkait
dengannya di dunia luar.
Fakta-fakta yang sama juga berlaku untuk panas. Salah seorang filsuf terkemuka pada zamannya,
Geroge Berkeley, menjelaskan dengan contoh berikut ini bahwa kesan-kesan seperti dingin dan panas tak
bisa dinilai di luar benak:
Anggap saat ini satu tangan Anda panas, dan satunya lagi dingin, dan keduanya dimasukkan
berbarengan ke dalam bejana air yang sama, yang bersuhu sedang; tidakkah air terasa dingin bagi
tangan yang satu, dan hangat bagi yang lain?409
Berkeley benar dalam analisisnya. Jika panas atau dingin ada pada materi itu sendiri, kedua tangan
akan merasakan hal yang sama.
“Dunia luar” yang disajikan kepada kita oleh kesan-kesan kita semata-mata sekumpulan isyarat
listrik yang mencapai otak kita. Sepanjang hidup, otak kita mengolah dan menafsirkan isyarat-isyarat ini
dan kita hidup tanpa menyadari bahwa kita diperdaya dengan menganggap bahwa semua ini versi asli
benda-benda yang ada di “dunia luar.” Kita disesatkan karena kita tak pernah dapat mencapai benda-
benda ini lewat indera-indera kita. Hal ini benar-benar penting.
Lebih-lebih, otak kita lagi-lagi menafsirkan dan menetapkan makna bagi isyarat-isyarat yang kita
anggap “dunia luar.” Misalnya, mari kita renungi indera pendengaran. Otak kita mengubah gelombang-
gelombang suara di “dunia luar” menjadi suatu irama. Dengan kata lain, musik juga sebuah kesan yang
tercipta di dalam otak Anda. Dengan cara yang sama, ketika melihat warna-warna, yang mencapai mata
kita cuma sekumpulan isyarat-isyarat listrik dengan aneka panjang gelombang. Lagi-lagi otak kita
mengubah isyarat-isyarat ini menjadi warna-warna. Tidak ada warna di “dunia luar.” Lemon tidak
kuning, dan langit tidak biru, dan pepohonan tidak hijau. Semua itu demikian karena kita mengesaninya
demikian. “Dunia luar” bergantung sepenuhnya kepada si pengesan. Buta warna adalah petunjuk penting
hal ini. Bahkan kerusakan terkecil pada retina mata menyebabkan buta warna. Sebagian orang mengesani
biru sebagai hijau, dan sebagian lagi merah sebagai biru. Di sini, tak masalah apakah benda luar itu
berwarna atau tidak.
Menurut pemikir terkemuka Berkeley:
Jika benda yang sama bisa merah dan panas bagi sebagian orang dan sebaliknya bagi sebagian yang
lain, ini berarti bahwa kita di bawah pengaruh kesalahan pemahaman dan bahwa “benda-benda” hanya ada
di dalam otak kita.410
Kesimpulannya, alasan kita melihat benda-benda berwarna bukan karena semua itu berwarna atau
memiliki keberadaan hakiki tersendiri di luar diri kita. Jika saja warna-warni ada di luar kita, cacat seperti
buta warna tidak akan ada. Kebenaran materi itu lebih karena semua sifat yang kita sematkan ke benda-
benda ada di dalam diri kita dan bukan di “dunia luar.”

Apakah Keberadaan “Dunia Luar” Suatu Keharusan?


Sejauh ini, kita telah berkali-kali membicarakan keberadaan suatu dunia kesan yang terbentuk di
dalam otak kita, dan membuat pernyataan bahwa kita sebenarnya tak pernah dapat mencapai dunia ini.
Lalu, bagaimanakah kita bisa yakin dunia kesan seperti itu benar-benar ada?
Sebenarnya, kita tidak bisa. Karena setiap benda hanyalah sekumpulan kesan dan kesan-kesan itu
hanya ada di dalam pikiran, lebih cermat bagi kita untuk mengatakan bahwa dunia yang benar-benar ada
adalah dunia kesan. Satu-satunya dunia yang kita ketahui adalah dunia yang ada di dalam pikiran kita:
suatu dunia yang dirancang, direkam, dan dihidupkan di dalamnya; satu dunia yang, singkatnya, diciptakan
di dalam pikiran kita. Inilah satu-satunya dunia yang bisa kita yakini.
Kita tak pernah dapat membuktikan bahwa kesan-kesan yang kita amati di dalam otak memiliki
kaitan yang hakiki. Kesan-kesan itu mungkin saja datang dari sumber “buatan.”
Kita bisa membayangkan hal ini dengan contoh berikut:
Pertama, mari bayangkan bahwa otak Anda dikeluarkan dari tubuh Anda dan dijaga tetap hidup
secara buatan di dalam sebuah tabung kaca. Di sebelahnya, ditaruh sebuah komputer yang dengannya
semua jenis isyarat listrik dapat dihasilkan. Lalu, mari kita hasilkan dan rekam secara buatan data yang
terkait dengan suatu suasana, seperti citra, suara, bau, keras-lembut, rasa, dan citra tubuh. Percobaan
dengan otak Anda ini, yang dikeluarkan dari tubuh Anda, akan dilakukan di puncak gunung yang sunyi.
Akhirnya, mari kita sambungkan komputer ke otak dengan elektroda-elektroda yang akan berfungsi
sebagai syaraf dan meneruskan data hasil rekaman ke otak Anda yang kini berada tinggi di atas awan.
Sambil mengesani isyarat-isyarat ini, otak Anda (yang sejatinya adalah Anda) akan melihat dan mengalami
suasana yang bersangkutan. Misalnya, anggap bahwa setiap rincian yang timbul di dalam pikiran tentang
pertandingan sepak bola di sebuah stadion dihasilkan atau direkam—dengan cara yang akan dikesani lewat
organ-organ indera. Di dalam otak Anda, sendirian di puncak gunung, dengan alat perekam terhubungkan
dengannya, Anda akan merasa seakan sedang mengalami suasana buatan ini. Anda akan berpikir bahwa
Anda sedang di sebuah pertandingan. Anda akan bergembira, kadang geram dan kadang senang. Lebih
lagi, Anda akan sering bersinggungan dengan orang lain karena padatnya penonton, dan oleh karena itu,
merasakan keberadaan mereka juga. Yang paling menarik, semuanya demikian hidup sehingga Anda tak
pernah meragukan keberadaan suasana ini maupun tubuh Anda. Atau jika dikirimkan ke otak Anda isyarat-
isyarat listrik yang terkait dengan pemandangan, pendengaran, dan sentuhan yang Anda kesani ketika
duduk di sebuah meja, otak Anda akan berpikir tentang dirinya sebagai seorang pengusaha yang sedang
duduk di kantornya. Dunia khayalan ini akan berlangsung sepanjang rangsangan terus datang dari
komputer. Tidak akan pernah mungkin memahami bahwa Anda terdiri hanya dari otak saja. Ini karena
yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah dunia di dalam otak Anda bukanlah keberadaan sebuah dunia
nyata, melainkan rangsangan-rangsangan. Bahwa rangsangan-rangsangan ini berasal dari suatu sumber
buatan, seperti alat perekam atau sumber kesan lainnya, adalah sangat mungkin. Percobaan-percobaan
yang dilakukan tentang hal ini menunjukkan fakta tersebut.
Di Amerika Serikat, Dr. White dari Cleveland Hospital, bersama para sejawatnya, yang semuanya
pakar di bidang elektronik, membuat terobosan besar dalam menghidupkan “cyborg.” Yang berhasil
dilakukan Dr. White adalah memisahkan otak kera dari tengkoraknya dan memberinya oksigen dan darah.
Otak ini, yang dihubungkan ke “mesin jantung-paru-paru” buatan, dipertahankan hidup selama lima jam.
Peranti, yang disebut EEG (Electro Encephalogram), yang dihubungkan ke otak yang dipisahkan
ini, mencatat dalam rekaman EEG-nya bahwa bising yang dibuat di sekitaran didengar oleh otak ini
dan bahwa otak ini bereaksi terhadap bising itu.411
Sebagaimana telah kita lihat, sangat mungkin bahwa kita mengesani sebuah dunia luar lewat
rangsangan buatan yang dipasok dari luar. Lambang-lambang yang akan Anda kesani dengan kelima
indera Anda memadai untuk hal ini. Selain dari lambang-lambang ini, tiada lagi yang tersisa dari dunia
luar.
Memang kita sangat mudah disesatkan untuk memercayai kesan-kesan, tanpa kaitan yang hakiki,
sebagai nyata. Kita sering mengalami perasaan ini di dalam mimpi kita, tempat kita mengalami banyak
kejadian, menemui orang-orang, benda-benda, dan suasana-suasana yang tampak benar-benar nyata. Akan
tetapi, semua itu, tanpa kecuali, hanyalah kesan. Tiada perbedaan dasar antara dunia “mimpi” dan “nyata”;
keduanya dialami di dalam otak.

Siapakah Sang Pengesan?


Sebagaimana telah diuraikan sejauh ini, tiada keraguan bahwa dunia yang kita pikir kita tinggali dan
kenal sebagai “dunia luar” dikesani di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini muncul sebuah pertanyaan yang
sangat penting. Apakah kehendak yang menangkap semua kesan ini adalah sang otak sendiri?
Ketika mengurai otak, kita melihat bahwa otak tersusun dari molekul-molekul lemak dan protein,
yang juga ada pada organisme-organisme hidup lain. Sebagaimana telah diketahui, intisari protein-protein
ini sebenarnya adalah atom-atom. Ini berarti di dalam sekerat daging yang kita sebut “otak” kita, tak ada
sesuatu untuk mengamati citra, membentuk kesadaran, atau menciptakan suatu wujud yang kita sebut
“diriku.”
R.L. Gregory merujuk ke kekeliruan yang dibuat orang terkait dengan citra-citra di otak:
Ada godaan, yang harus dihindari, untuk mengatakan bahwa mata menghasilkan gambar-gambar di
dalam otak. Sebuah gambar di dalam otak menggagaskan adanya kebutuhan akan semacam mata dalam
(internal) untuk melihatnya—namun, gambar dari mata kedua akan memerlukan sebuah mata lagi untuk
melihatnya.. dan seterusnya, dalam suatu pusaran tak berujung mata dan gambar. Ini tak masuk akal.412
Inilah hal yang menempatkan para materialis, yang tak memercayai apa pun sebagai benar selain
materi, ke dalam kebingungan: milik siapakah “mata di dalam” yang melihat, yang menafsirkan apa yang
dilihatnya dan menanggapinya?
Karl Pribram juga memusatkan perhatian ke pertanyaan penting ini, tentang siapakah sang pengesan,
di dalam dunia ilmiah dan filsafat:
Para filsuf sejak zaman Yunani telah menduga-duga tentang “hantu” di dalam mesin, “manusia kecil
di dalam manusia kecil,” dst. Di manakah sang saya—benda yang menggunakan otak ini? Siapakah
yang melakukan pengenalan yang sebenarnya? Atau, sebagaimana pernah dikatakan St. Fransiskus dari
Assisi, “Yang sedang kita cari adalah yang sedang mencari.”413
Sekarang, renungkan hal ini: buku yang ada di tangan Anda, ruangan tempat Anda berada,
singkatnya, semua citra di hadapan Anda terlihat di dalam otak Anda. Apakah atom-atom yang melihat
semua citra ini? Atom-atom yang buta, bisu, dan tak sadar? Bagaimanakah atom-atom yang mati dan tak
sadar merasakan, bagaimanakah atom-atom melihat? Mengapakah sebagian atom memperoleh sifat-sifat
ini sementara sebagian lain tidak? Apakah tindakan-tindakan kita berpikir, memahami, mengingat, merasa
gembira, merasa sedih, dan semua lainnya tersusun dari reaksi-reaksi elektrokimiawi di antara atom-atom
ini? Tidak, otak tak bisa menjadi kehendak yang melakukan semua ini.
Dalam ruas-ruas sebelumnya, kami telah mengemukakan bahwa tubuh kita juga termasuk di dalam
kumpulan kesan yang kita sebut “dunia luar.” Maka, karena otak kita bagian dari tubuh kita, ia juga bagian
dari kumpulan kesan itu. Karena otak kita sendiri suatu kesan, otak tak mungkin menjadi kehendak yang
menangkap kesan-kesan lainnya.
Di dalam bukunya, The ABC of Relativity (Serba-Serbi Kenisbian), Bertrand Russel memusatkan
perhatian kepada masalah ini dengan mengatakan:
Tentu saja, jika materi secara umum harus diartikan sebagai sekumpulan peristiwa, ini harus
juga berlaku bagi mata, syaraf penglihatan, dan otak.414
Jelaslah bahwa wujud yang melihat, mendengar, menyentuh, dan merasakan wujud yang adiwujud
(supramaterial). Karena materi tidak bisa berpikir, merasa, bersenang, atau bersedih. Mustahil melakukan
semua ini hanya dengan tubuh saja. Oleh karena itu, wujud ini bukan materi, bukan juga citra, namun
“hidup.” Wujud ini bertutur kepada “layar” di depannya menggunakan citra tubuh kita.
Sebuah contoh tentang mimpi akan menerangkan lebih jauh masalah ini. Bayangkanlah (sesuai
dengan yang telah diuraikan sejauh ini) bahwa kita melihat mimpi di dalam otak kita. Di dalam mimpi, kita
memiliki sesosok tubuh khayalan, sebelah lengan khayalan, sebiji mata khayalan, dan sebuah otak
khayalan. Jika selama mimpi, kita ditanya, “Di manakah Anda melihat?” kita akan menjawab, “Saya
melihat di dalam otak saya.” Jika kita ditanya di manakah dan seperti apakah otak kita, kita akan
memegang kepala khayalan kita pada tubuh khayalan kita dengan tangan khayalan kita dan mengatakan,
“Otak saya adalah sebongkah daging di dalam kepala saya yang bobotnya tak lebih dari satu kilo.”
Namun, sebenarnya tidak ada otak apa pun untuk dibahas, melainkan sebuah kepala khayalan dan
sebuah otak khayalan. Si pemandang citra-citra ini bukanlah otak khayalan di dalam mimpi, namun
“wujud” yang jauh ”mengunggulinya.”
Kita mengetahui bahwa tak ada perbedaan fisik antara suasana sebuah mimpi dan suasana yang kita
sebut kehidupan nyata. Jadi, ketika kita disodori pertanyaan di atas di dalam suasana yang kita sebut
kehidupan nyata: “Di manakah Anda melihat?”, akan sama tanpa maknanya untuk menjawab “di dalam
otak saya” sebagaimana di dalam contoh di atas. Pada kedua keadaan, benda yang melihat dan mengesani
bukanlah otak, yang bagaimana pun cuma sebongkah daging. Menyadari fakta ini, Bergson mengatakan di
dalam bukunya, Matter and Memory (Materi dan Ingatan), secara ringkas, bahwa, “Dunia tersusun dari
citra-citra, citra-citra ini hanya ada di dalam kesadaran kita; dan otak salah satu dari citra-citra
itu.”415
Maka, karena otak kita bagian dari dunia luar, harus ada kehendak yang mengesani semua citra ini.
Wujud itu adalah “jiwa.”
Kumpulan kesan yang kta sebut “dunia materi” tak lebih dari sebuah mimpi yang diamati oleh jiwa
ini. Sama seperti tubuh yang kita miliki dan dunia materi yang kita lihat di dalam mimpi tak memiliki
kenyataan, alam semesta yang kita diami dan tubuh yang kita miliki juga tak memiliki kenyataan hakiki.
Filsuf terkenal Inggris David Hume mengungkapkan pemikirannya tentang fakta ini:
Di sisi saya, ketika sedalam-dalamnya memasuki yang saya sebut diri saya, selalu saya terantuk pada
satu atau lain kesan tertentu, panas atau dingin, terang atau suram, cinta atau benci, duka atau suka. Kapan
pun tak pernah saya dapat menangkap diri saya tanpa sebuah kesan, dan tak pernah saya dapat
mengamati sesuatu selain kesan.416
Wujud yang nyata itu adalah jiwa. Materi semata-mata terdiri dari kesan yang terlihat jiwa. Wujud
cerdas yang menulis dan membaca kalimat ini bukanlah sekumpulan atom dan molekul dan reaksi kimia di
antara keduanya, namun sesosok “jiwa.”

Wujud Mutlak yang Nyata


Semua fakta ini membawa kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan yang sangat penting. Jika
benda yang kita akui sebagai dunia hakiki semata-mata terdiri dari kesan-kesan yang dilihat oleh jiwa kita,
lalu apakah sumber kesan-kesan ini?
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus memikirkan yang berikut: materi tak memiliki
keberadaan dengan kuasanya sendiri. Karena sebuah kesan, materi adalah sesuatu “yang dibuat.” Yakni,
kesan ini harus disebabkan oleh kekuasaan lain, yang berarti bahwa materi harus diciptakan. Lebih lagi,
penciptaan ini harus sinambung. Jika tidak ada penciptaan yang sinambung dan tetap, maka yang kita sebut
materi akan menghilang dan lenyap. Ini bisa disamakan dengan layar televisi tempat sebuah gambar
ditayangkan selama gelombangnya terus dipancarkan. Jadi, siapakah yang membuat jiwa kita melihat
bintang-gemintang, bumi, tetumbuhan, manusia, tubuh kita, dan segala sesuatu yang kita lihat?
Nyatalah bahwa ada sesosok Pencipta, Yang menciptakan seluruh alam materi, yakni, himpunan
kesan, dan melanjutkan penciptaanNya tanpa henti. Karena Pencipta ini memperlihatkan penciptaan yang
demikian luar biasa, Ia pastilah memiliki kekuasaan dan kekuatan yang kekal.
Pencipta ini mengenalkan diriNya kepada kita. Ia menurunkan sebuah kitab dan lewat kitab ini telah
menguraikan diriNya, alam semesta, dan tujuan keberadaan kita.
Pencipta ini adalah Allah dan nama kitabnya adalah Al Qur’an.
Fakta-fakta bahwa langit dan bumi, yakni, alam semesta tidak baka, bahwa keberadaan semua itu
hanya mungkin karena Allah menciptakannya dan bahwa semua itu akan lenyap ketika Ia mengakhiri
penciptaan ini, semuanya dijelaskan di dalam sebuah ayat sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh, jika
keduanya akan lenyap, tak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir, 35: 41)
Sebagaimana kami sebutkan di awal, sebagian orang tidak memiliki pemahaman yang murni tentang
Allah dan karena itu membayangkan Allah sebagai suatu wujud yang ada di suatu tempat di langit dan tak
benar-benar mencampuri urusan duniawi. Landasan penalaran ini sebenarnya terletak pada gagasan bahwa
alam semesta ini sebuah kumpulan materi dan Allah ada “di luar” dunia materi ini, di suatu tempat nun
jauh.
Akan tetapi, sebagaimana telah kami uraikan sejauh ini, materi tersusun hanya dari kesan-kesan.
Dan satu-satunya wujud mutlak yang nyata adalah Allah. Ini berarti hanya Allah yang ada; segala
sesuatu selain Dia hanyalah wujud-wujud semu. Akibatnya, mustahil memahami Allah sebagai terpisah
dan di luar seluruh kumpulan materi ini. Sebab, sebenarnya tak ada sesuatu yang disebut materi dalam hal
kewujudan. Allah pasti “di mana-mana” dan meliputi segala sesuatu. Keniscayaan ini dijelaskan di
dalam Al Qur’an sebagai berikut:

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-
menerus mengurus (makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang ada
di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya. Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar. (QS. Al Baqarah, 2: 255)

Karena masing-masing wujud material itu sebuah kesan, semua wujud itu tak bisa melihat Allah;
tetapi Allah melihat materi yang Dia ciptakan dengan segala bentuknya. Di dalam Al Qur’an, hal ini
disebutkan demikian: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan.” (QS. Al An’âm, 6: 103)
Dengan kata lain, kita tak bisa memahami wujud Allah dengan mata kita, tetapi Allah sepenuhnya
meliputi sisi dalam, sisi luar, penglihatan, dan pikiran kita. Karena itu, Allah berfirman bahwa “Dialah
yang mengendalikan pendengaran dan penglihatan.” (QS. Yunus, 10: 31) Kita tak dapat mengucapkan
sepatah kata pun tanpa sepengetahuanNya, bahkan tidak juga kita dapat bernapas.
Ketika kita menyaksikan kesan-kesan inderawi dalam perjalanan hidup kita, wujud terdekat dengan
kita bukanlah salah satu kesan ini. Ayat Al Qur’an berikut ini menegaskan keniscayaan ini: “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya,
dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qâf, 50: 16) Ketika seseorang berpikir
bahwa tubuhnya hanya tersusun dari ”materi,” ia tak mampu memahami fakta penting ini. Jika ia
menganggap otaknya adalah “dirinya,” maka tempat yang dianggapnya sisi luar adalah 20-30 cm darinya.
Menurut penalaran ini, tiada yang bisa lebih dekat baginya daripada urat lehernya. Akan tetapi, jika ia
memahami bahwa tak ada sesuatu pun yang disebut materi, dan segala sesuatu sekadar khayalan, gagasan-
gagasan seperti sisi luar, sisi dalam, jauh atau dekat, kehilangan makna. Allah meliputi dirinya dan “amat
sangat dekat” dengannya.
Allah mengabari manusia bahwa Ia “amat sangat dekat” dengannya di dalam ayat: “Maka apabila
hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah
dekat (dengan mereka).” (QS. Al Baqarah, 2: 186) Ayat lain menuturkan fakta yang sama: “Dan
(ingatlah), ketika Kami mewahyukan kepadamu, ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala
manusia.’” (QS. Al Isrâ, 17: 60) Akan tetapi, manusia disesatkan dengan berpikir bahwa wujud terdekat
dengannya adalah dirinya sendiri. Sebenarnya, Allah bahkan lebih dekat dengan kita daripada diri kita
sendiri.
Dia telah menarik perhatian kita ke masalah ini dalam ayat: “Maka, mengapakah ketika nyawa
sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripadamu, tetapi kamu tidak melihat?” (QS. Al Wâqi’ah, 56: 83-85)
Satu-satunya kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan fakta yang disajikan di sini adalah
satu-satunya wujud yang mutlak dan nyata adalah Allah. Dengan pengetahuanNya, Allah meliputi
manusia, yang merupakan wujud semu, maupun juga semua yang lainnya.
Yang sebaliknya berlaku bagi manusia, yang bukan sesuatu melainkan wujud semu, dan yang
demikian bergantung kepada Allah, bahwa mustahil baginya memiliki kekuatan atau kehendak sendiri:
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. Al Insân, 76:
30) Ayat lain yang menunjukkan bahwa semua yang kita alami terjadi atas izin Allah terbaca: “Padahal
Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash Shâffaat, 37: 96) Di dalam
Al Qur’an, kenyataan ini disebutkan pada banyak ayat dan dengan ayat “Bukan kamu yang melempar
ketika melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS. Al Anfâl, 8: 17), ditekankan bahwa tidak ada
perbuatan yang lepas dari Allah.
Inilah kenyataannya. Seseorang mungkin tak ingin mengakuinya dan memikirkan dirinya sebagai
sesosok wujud yang tak bergantung kepada Allah; namun hal ini tak berpengaruh apa-apa. Tentu saja,
penolakannya yang tak bijaksana ini lagi-lagi atas kehendak dan keinginan Allah. Di dalam Al Qur’an,
fakta ini diterangkan demikian:

Maka, apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNya-lah
menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan
hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (QS. Ali Imran, 3: 83)

Kesimpulan
Masalah yang telah kami jelaskan sejauh ini adalah salah satu kebenaran terbesar yang pernah Anda
terima di dalam kehidupan Anda. Anda dapat menyelidiki lebih jauh lagi lewat perenungan pribadi. Karena
itu, Anda harus memusatkan pikiran, mencurahkan perhatian, dan merenungkan cara melilhat pada benda-
benda di sekitar Anda, serta cara Anda merasakan sentuhannya. Jika Anda berpikir dengan penuh
perhatian, Anda bisa merasakan bahwa wujud cerdas yang melihat, mendengar, menyentuh, berpikir, dan
membaca buku ini pada saat ini hanyalah sesosok jiwa, yang menyaksikan kesan-kesan yang disebut
“materi” pada sebuah layar. Seseorang yang memahami hal ini dianggap telah menjauhi alam materi yang
memperdaya sebagian besar manusia, dan memasuki alam keberadaan sejati.
Keniscayaan ini telah dipahami sejumlah agamawan dan filsuf sepanjang sejarah. Kaum
cendekiawan Islam seperti Imam Rabbani, Muhyidin Ibn al ‘Arabi, dan Maulana Jami menyadari hal ini
dari ayat-ayat Al Qur’an dan lewat menggunakan penalaran mereka. Beberapa filsuf barat seperti George
Berkeley telah menangkap kenyataan yang sama lewat penalaran. Imam Rabbani menulis di dalam kitab
Maktubat (Surat-Surat) bahwa keseluruhan alam materi adalah sebuah “khayalan dan kesan” dan bahwa
wujud yang mutlak adalah Allah:
Allah… hakikat wujud-wujud yang Ia ciptakan semata-mata ketiadaan… Ia menciptakan semua
yang ada di dalam ruang kesan dan khayalan… Keberadaan alam semesta adalah di dalam ruang kesan dan
khayalan, dan tidak hakiki… Dalam kenyataan, tak ada apa-apa di luar kecuali Sang Wujud Agung (Ialah
Allah).417
Maulana Jami mengatakan fakta yang sama, yang ditemukannya dari mengikuti tanda-tanda Al
Qur’an dan menggunakan kecerdikannya: “Semua gejala alam semesta adalah kesan dan khayalan. Semua
itu seperti pantulan di dalam cermin alias bayang-bayang.”
Akan tetapi, jumlah mereka yang telah memahami fakta ini sepanjang sejarah selalu terbatas.
Ulama-ulama besar seperti Imam Rabbani menulis bahwa mungkin tidak bijaksana untuk menyampaikan
fakta ini kepada masyarakat umum karena sebagian besar orang tak mampu memahaminya.
Di masa kita hidup ini, hal itu telah ditegaskan sebagai sebuah fakta empiris oleh serangkaian
petunjuk yang diajukan ilmu pengetahuan. Fakta bahwa alam semesta itu sesosok wujud semu diuraikan
kali pertama dalam sejarah dengan cara yang demikian nyata, jelas, dan gamblang.
Karena alasan ini, abad ke-21 akan menjadi titik balik sejarah, ketika masyarakat secara umum
memahami keniscayaan-keniscayaan ilahiah dan dibimbing beramai-ramai kepadaNya, satu-satunya
Wujud yang Mutlak. Kepercayaan-kepercayaan materialistik abad ke-19 akan dilemparkan ke onggokan
sampah sejarah, kewujudan dan penciptaan Allah akan diterima, ketiadaan ruang dan waktu akan
dipahami; manusia, singkatnya, akan menyibakkan tabir, penipuan, dan takhayul yang berumur berabad-
abad dan telah membingungkan mereka.
Mustahil jalan yang tak terelakkan ini dihalangi oleh wujud semu apa pun.
KETIADAAN WAKTU DAN HAKIKAT TAKDIR

Semua yang diuraikan sejauh ini menunjukkan bahwa “ruang tiga dimensi” pada hakikatnya tidak
ada, bahwa ruang itu sebuah prasangka yang sepenuhnya dibangun di atas kesan-kesan dan bahwa
seseorang menjalani seluruh hidupnya di dalam “ketiadaan ruang.” Sebab, tidak ada bukti yang sah tentang
keberadaan dunia materi tiga-dimensi. Alam semesta yang kita huni adalah sekumpulan citra yang tersusun
dari permainan cahaya dan bayangan. Mengatakan yang sebaliknya berarti menganut kepercayaan takhayul
yang jauh tercerai dari nalar dan kebenaran ilmiah.
Ini membantah anggapan utama filsafat materialis, yakni, bahwa materi mutlak dan abadi. Anggapan
kedua, di atas mana filsafat materialistik berdiri, adalah anggapan bahwa waktu mutlak dan abadi. Ini sama
takhayulnya dengan yang pertama.

Kesan tentang Waktu


Yang kita kesani sebagai waktu sebenarnya sebuah cara membandingkan satu peristiwa dengan
peristiwa lainnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan sebuah contoh. Misalnya, ketika menepuk sebuah benda,
seseorang mendengar suara tertentu. Ketika menepuk benda yang sama lima menit kemudian, ia
mendengar suara lagi. Ia mengesani bahwa ada jeda antara suara pertama dan kedua, dan menyebut jeda ini
“waktu.” Namun, pada saat mendengar suara kedua, suara pertama yang didengarnya tak lebih sebuah
pembayangan mental. Suara itu sekadar sekeping informasi di benaknya. Orang merumuskan konsep
“waktu” dengan membandingkan peristiwa yang dialaminya dengan peristiwa di dalam ingatannya.
Jika pembandingan ini tak dilakukan, tidak akan ada konsep waktu.
Serupa itu, penghuni sebuah ruangan membuat perbandingan ketika melihat seseorang masuk
melalui sebilah pintu dan duduk di sebuah kursi bersandaran tangan di tengah ruangan. Pada saat si
pendatang baru duduk di kursi, citra-citra yang terkait dengan peristiwa-peristiwa ia membuka pintu,
masuk ke ruangan, dan berjalan ke kursi disusun sebagai keping-keping informasi di dalam otak orang
pertama. Kesan waktu terjadi ketika membandingkan orang yang duduk di kursi dengan keping-keping
informasi itu.
Singkatnya, waktu menjadi ada sebagai hasil pembandingan yang dibuat di antara sejumlah
khayalan yang disimpan di otak. Jika orang tak memiliki ingatan, otaknya tak akan membuat tafsiran-
tafsiran yang demikian dan oleh karena itu tak akan pernah membentuk konsep waktu. Satu-satunya alasan
mengapa seseorang menetapkan bahwa dirinya berumur 30 tahun adalah karena telah menimbun informasi
yang terkait dengan 30 tahun itu di benaknya. Jika ingatannya tidak ada, maka ia tak akan berpikir tentang
keberadaan masa sebelumnya, dan hanya akan mengalami satu “peristiwa” saja di dalam hidupnya—dan
hal ini sangat penting.

Penjelasan Ilmiah tentang Kekekalan


Izinkan kami menjelaskan masalah ini dengan mengutip berbagai penjelasan ilmuwan dan
cendekiawan di bidang ini. Tentang masalah waktu yang mengalir mundur, seorang cendekiawan terkenal
sekaligus profesor genetika pemenang Nobel, François Jacob, menyatakan yang berikut di dalam bukunya
Le Jeu des Possibles (Yang Mungkin dan Yang Nyata):
Film-film yang diputar mundur memungkinkan kita membayangkan sebuah dunia dengan waktu
berjalan mundur. Sebuah dunia dengan susu memisahkan diri dari kopi dan melompat keluar cangkir
untuk mencapai periuk susu; sebuah dunia dengan gelombang cahaya dipancarkan dari tembok-tembok
untuk dikumpulkan di sebuah perangkap (pusat gravitasi), bukannya disebarkan dari sebuah sumber
cahaya; sebuah dunia dengan sebuah batu mendaki ke telapak tangan seorang laki-laki melalui kerjasama
mencengangkan tak terhitung tetesan air yang memungkinkan batu melompat keluar air. Namun, di dalam
dunia seperti itu dengan waktu memiliki sifat-sifat demikian berlawanan, proses-proses otak kita dan
cara ingatan kita menyusun informasi, akan sama-sama berfungsi mundur. Hal ini juga benar bagi
masa lalu dan masa depan, dan dunia akan tampak bagi kita persis sebagaimana ia tampak saat ini.418
Karena otak kita terbiasa ke urutan tertentu peristiwa, dunia tidak bekerja sebagaimana dijelaskan di
atas dan kita menganggap bahwa waktu selalu mengalir ke depan. Akan tetapi, ini sebuah keputusan yang
diambil di otak dan bersifat nisbi (relatif). Jika saja keping-keping informasi di dalam ingatan kita disusun
seperti dalam film-film yang diputar terbalik, bagi kita, aliran waktu akan seperti dalam film-film ini.
Dalam keadaan seperti ini, kita akan mulai mengesani masa lalu sebagai masa depan, dan masa depan
sebagai masa lalu, dan menjalani kehidupan kita di dalam urutan yang sepenuhnya terbalik.
Dalam kenyataan, kita tak pernah dapat mengetahui bagaimanakah waktu mengalir atau bahkan
benarkah waktu mengalir. Inilah sebuah tanda dari fakta bahwa waktu bukan sesuatu yang mutlak,
tetapi sekadar semacam kesan.
Kenisbian (relatifitas) waktu adalah sebuah fakta yang juga dibuktikan oleh seorang fisikawan
terpenting abad ke-20, Albert Einstein. Lincoln Barnett menulis di dalam bukunya The Universe and Dr.
Einstein (Alam Semesta dan Doktor Einstein):
Bersama-sama dengan ruang mutlak, Einstein membuang konsep waktu mutlak—tentang sebuah
aliran waktu universal (menjagat) yang tetap, tak berubah, tak terhentikan, yang mengalir dari masa lalu
yang tak hingga ke masa depan yang tak hingga. Banyak ketakjelasan seputar Teori Relatifitas berawal
dari keengganan manusia mengakui bahwa rasa waktu, seperti rasa warna, adalah sebentuk kesan. Sama
seperti ruang adalah sekadar suatu penataan yang mungkin dari sekumpulan benda, begitu juga waktu
adalah sekadar pengurutan yang mungkin dari sekumpulan peristiwa. Sifat perorangan (subjektif) waktu
paling baik dijelaskan dengan kata-kata Einstein sendiri. “Pengalaman-pengalaman seseorang,” kata
Einstein, “tampak bagi kita tersusun di dalam serangkaian peristiwa; di dalam rangkaian peristiwa ini,
kejadian tunggal yang kita ingat tampak terurut sesuai dengan pemilah ‘lebih dulu’ dan ‘lebih nanti’.
Karena itu, ada bagi seseorang, waktu-saya, atau waktu perorangan. Waktu ini sendiri tak dapat diukur.
Malah, saya bisa mengaitkan angka-angka dengan peristiwa-peristiwa, dengan cara sedemikian sehingga
angka yang lebih besar dikaitkan dengan peristiwa yang lebih nanti, bukannya yang lebih dulu.”419
Kata-kata Einstein mengisyaratkan bahwa gagasan waktu yang berjalan maju tak lebih dari
pembiasaan diri.
Einstein sendiri menyatakan, sebagaimana dikutip di dalam buku Barnett: “Ruang dan waktu adalah
bentuk-bentuk gerak nurani (intuisi), yang tak terceraikan dari kesadaran lebih daripada konsep-konsep
kita tentang warna, bentuk atau ukuran.” Menurut Teori Relatifitas Umum: “Waktu tak memiliki
keberadaan yang terpisah dari urutan peristiwa dengan mana kita mengukurnya.”420
Karena didasarkan pada kesan, waktu sepenuhnya bergantung kepada si pengesan dan karena itu
nisbi.
Laju waktu mengalir berbeda-beda menurut acuan yang kita gunakan untuk mengukurnya, sebab tak
ada jam alamiah di dalam tubuh manusia yang menandai secara cermat seberapa cepat waktu berlalu.
Seperti yang ditulis oleh Lincoln Barnett: “Sama seperti tiada sesuatu yang seperti warna jika tak ada mata
untuk mencernanya, maka, seketika atau satu jam atau satu hari bukan apa-apa tanpa satu peristiwa untuk
menandainya.”421
Kenisbian waktu dengan mudah kita alami di dalam mimpi. Meskipun yang kita lihat di dalam
mimpi tampak berlangsung berjam-jam, nyatanya semua itu berlangsung hanya beberapa menit, dan
bahkan beberapa detik.
Mari kita pikirkan tentang sebuah contoh untuk memperjelas masalah ini. Anggaplah bahwa kita
ditempatkan di sebuah ruangan dengan sebuah jendela yang dirancang khusus dan kita dikurung di sana
selama beberapa saat. Sebuah jam di ruangan memungkinkan kita melihat jumlah waktu yang telah berlalu.
Pada saat bersamaan, kita juga bisa melihat dari jendela matahari terbit dan terbenam pada selang tertentu.
Beberapa hari kemudian, jawaban yang akan kita berikan atas pertanyaan tentang lamanya waktu yang
telah kita habiskan di dalam ruangan akan didasarkan pada informasi yang kita kumpulkan dengan melihat
jam dari waktu ke waktu dan pada perhitungan yang kita buat dengan mengacu ke berapa kali matahari
terbit dan terbenam. Anggaplah, kita memperkirakan telah melewatkan tiga hari di dalam ruangan itu.
Akan tetapi, jika orang yang menempatkan kita di ruangan itu berkata bahwa kita menghabiskan hanya dua
hari di sana, bahwa matahari yang kita lihat dari jendela dihasilkan secara buatan dengan sebuah mesin
peniru, dan bahwa jam di ruangan diatur khusus agar berdetak lebih cepat, maka perhitungan yang telah
kita buat menjadi tak berarti.
Contoh ini menegaskan bahwa informasi yang kita miliki tentang laju perjalanan waktu didasarkan
pada pada acuan yang nisbi.
Dengan cara yang sama, fakta bahwa setiap orang mengesani laju aliran waktu berbeda pada suasana
berbeda merupakan petunjuk bahwa waktu tak lebih dari kesan psikologis. Misalnya, ketika Anda harus
bertemu seorang sahabat, keterlambatan 10 menit sang sahabat tampak bagi Anda seperti tiada akhir, atau
setidaknya, suatu waktu yang amat lama. Atau, bagi orang yang kurang tidur karena harus bangun untuk
pergi bersekolah atau bekerja, tambahan tidur 10 menit mungkin terasa sangat lama. Dia bahkan mungkin
akan berpikir telah menuntaskan tidurnya dalam 10 menit itu. Pada beberapa keadaan, yang sebaliknya
terjadi. Seperti yang Anda ingat dari tahun-tahun sekolah Anda, setelah 40 menit pelajaran yang terasa
bagaikan seabad, istirahat sepuluh menit mungkin tampak sangat cepat berlalu.
Kenisbian waktu adalah sebuah fakta ilmiah yang juga dibuktikan oleh metodologi ilmiah. Teori
Relatifitas Umum Einstein menyebutkan bahwa laju waktu berubah bergantung pada laju benda dan
kedudukannya di dalam medan gravitasi. Sambil laju meningkat, waktu memendek dan mengerut,
melambat seakan sedang menuju titik “henti.”
Mari kita perjelas hal ini dengan sebuah contoh yang diberikan oleh Einstein. Bayangkanlah dua
orang kembar, yang satu tinggal di bumi dan yang lainnya pergi menjelajah ruang angkasa dengan laju
yang mendekati laju cahaya. Ketika kembali, si penjelajah ini akan melihat bahwa saudara kembarnya
telah tumbuh jauh lebih tua daripada dirinya. Alasannya adalah waktu mengalir lebih lambat bagi
seseorang yang berjalan dengan laju yang mendekati laju cahaya. Yang sama juga terjadi pada seorang
ayah yang menjelajahi ruang angkasa dalam sebuah roket, dengan laju yang mendekati 99 persen laju
cahaya, dan putranya yang tinggal di bumi. Jika si ayah berumur 27 tahun ketika memulai penjelajahannya
dan putranya 3 tahun; ketika si ayah kembali ke bumi 30 tahun kemudian (waktu bumi), putranya akan
berusia 33 tahun sementara ia hanya 30 tahun.422
Kenisbian waktu ini bukan disebabkan oleh perlambatan atau percepatan jam, atau perlambatan
sebuah pegas mekanis. Ini hasil perbedaan masa kerja keseluruhan sistem yang ada secara material, yang
berlangsung sampai ke taraf partikel subatomis. Dengan kata lain, bagi yang mengalaminya, pemendekan
waktu tidak dirasakan seakan-akan berjalan pada sebuah film gerak lambat. Dalam suasana dengan waktu
memendek, detak jantung, penggandaan sel, dan fungsi otak, dll. seseorang, semuanya bekerja lebih
lamban. Meskipun demikian, ia tetap menjalani kehidupan sehari-harinya dan sama sekali tak melihat
pemendekan waktu.
Fakta-fakta yang diungkapkan Teori Relatifitas ini telah diperiksa beberapa kali oleh banyak
ilmuwan. Di dalam bukunya yang berjudul Frontiers (Perbatasan), Isaac Asimov, juga menyatakan bahwa
sudah 84 tahun sejak pengumuman Teori Relatifitas Einstein, dan setiap kali teori diuji, Einstein terbukti
benar sekali lagi.423

Kenisbian di dalam Al Qur’an


Kesimpulan ke arah mana kita dipandu oleh temuan-temuan ilmiah mutakhir adalah bahwa waktu
bukan fakta mutlak sebagaimana yang dianggap kaum materialis, tetapi hanyalah sebuah kesan
yang nisbi. Yang paling menarik adalah bahwa fakta yang tak terungkapkan hingga abad ke-20 oleh ilmu
pengetahuan ini telah disingkapkan kepada manusia di dalam Al Qur’an sejak 14 abad yang lalu. Ada
berbagai rujukan di dalam Al Qur’an tentang kenisbian waktu.
Mudah menemukan di dalam banyak ayat Al Qur’an fakta yang secara ilmiah terbukti bahwa waktu
itu sebuah kesan psikologis yang bergantung pada peristiwa, suasana, dan keadaan. Misalnya, seluruh
kehidupan seseorang adalah suatu masa yang sangat pendek, sebagaimana disampaikan Al Qur’an kepada
kita:

Yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu kamu mematuhiNya sambil memujiNya dan kamu
mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. Al Isrâ, 17: 52)

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa
di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di
waktu itu) mereka saling berkenalan satu sama lain. (QS. Yunus, 10: 45)

Beberapa ayat mengisyaratkan bahwa manusia berbeda-beda dalam mengesani waktu, dan
kadangkala dapat merasakan suatu masa yang amat pendek sebagai amat lama:

Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab:
“Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang
menghitung.” Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu
sesungguhnya mengetahui.” (QS. Al Mu’minûn, 23: 112-114)

Dalam beberapa ayat yang lain, Allah berfirman bahwa waktu bisa mengalir dengan laju berbeda
pada suasana yang berlainan:

…Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu sama dengan seribu tahun menurut perhitunganmu.
(QS. Al Hajj, 22: 47)

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya
limapuluh ribu tahun. (QS. Al Ma’ârij, 70: 4)

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu
hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. As Sajdah, 32: 5)
Ayat-ayat ini adalah ungkapan jelas tentang kenisbian waktu. Bahwa temuan ini, yang baru-baru
saja dipahami oleh para ilmuwan di abad ke-20, disampaikan kepada manusia sejak 1.400 tahun yang lalu
di dalam Al Qur’an adalah sebuah isyarat pewahyuan Al Qur’an oleh Allah, Yang meliputi segenap waktu
dan ruang.
Banyak ayat lain di dalam Al Qur’an yang mengungkapkan bahwa waktu itu sebuah kesan. Keadaan
yang diuraikan pada ayat di bawah ini yang juga petunjuk bahwa waktu sebenarnya sebuah kesan
psikologis.

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya)
telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri
ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya
kembali. Allah bertanya: “Berapa lamakah kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya telah tinggal
di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: ”Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus
tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah
kepada keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikanmu tanda
kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami
menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata
kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), ia pun berkata: “Aku yakin bahwa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah, 2: 259)

Ayat di atas dengan jelas menekankan bahwa Allah, Yang menciptakan waktu, tidak terikat olehnya.
Di sisi lain, manusia terikat oleh waktu, sebagaimana ditakdirkan oleh Allah. Seperti di dalam ayat itu,
manusia bahkan tak mampu mengetahui berapa lama ia telah tertidur. Karena itu, menyatakan bahwa
waktu itu mutlak (sebagaimana dilakukan para materialis dengan pemikiran menyimpang mereka) sangat
tak beralasan.

Takdir
Kenisbian waktu menjernihkan sebuah masalah yang sangat penting. Kenisbian begitu beragam
sehingga masa yang kita alami milliaran tahun lamanya mungkin berlangsung hanya sedetik dari sudut
pandang lain. Lebih lagi, suatu masa waktu yang sangat lama, mulai dari awal dunia hingga akhir zaman,
mungkin berlangsung seketika di dalam dimensi lain.
Inilah hakikat sejati konsep takdir—sebuah konsep yang tidak dimengerti dengan baik oleh
kebanyakan orang, khususnya para materialis yang menolaknya sepenuhnya. Takdir adalah pengetahuan
sempurna Allah tentang semua peristiwa masa lalu atau masa depan. Sebagian besar manusia
mempertanyakan cara Allah bisa mengetahui peristiwa-peristiwa yang belum dialami dan hal ini membawa
mereka ke kekeliruan memahami kebenaran takdir. Akan tetapi, “peristiwa-peristiwa yang belum dialami”
hanya berlaku bagi kita. Allah tidak terikat oleh waktu atau ruang, karena Ia yang menciptakan keduanya.
Karena alasan ini, masa lalu, masa depan, dan saat ini sama saja bagi Allah; bagiNya segala sesuatu
telah terjadi dan selesai.
Di dalam buku The Universe and Dr. Einstein, Lincoln Barnett menjelaskan bagaimana Teori
Relatifitas Umum mengarah ke kesimpulan ini. Menurut Barnett, alam semesta dapat “diliputi seluruh
keagungannya hanya oleh suatu kecerdasan semesta.”424 Kehendak yang disebut Barnett sebagai
“kecerdasan semesta” adalah kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, Yang mencakup semesta alam.
Sama seperti kita dengan mudah bisa melihat pangkal, tengah, dan ujung sebatang mistar, serta semua
penanda satuan yang ada di antaranya sebagai satu keseluruhan, Allah mengetahui waktu yang kita alami
seakan suatu peristiwa tunggal sejak dari awal hingga akhirnya. Akan tetapi, manusia mengalami
peristiwa-peristiwa hanya ketika saatnya tiba dan menyaksikan takdir yang telah diciptakan Allah
untuknya.
Juga penting menarik perhatian kepada kedangkalan dari pemahaman menyimpang tentang takdir
yang lazim di masyarakat. Kepercayaan menyimpang tentang takdir ini adalah sebuah takhayul bahwa
Allah telah menentukan “takdir” bagi tiap-tiap manusia, namun manusia kadang dapat mengubah
takdirnya. Misalnya, orang membuat pernyataan dangkal tentang seorang pasien yang bangkit dari
sakaratul maut seperti “ia mengalahkan takdirnya.” Tak seorang pun mampu mengubah takdirnya. Orang
yang bangkit dari sakaratul maut, tidak mati saat itu karena ditakdirkan demikian. Ironisnya, sudah takdir
bagi orang-orang yang memperdayakan diri dengan berkata “saya menaklukkan takdir saya” bahwa
mereka mesti berkata dan mempertahankan kerangka berpikir yang demikian. Di dalam ayat berikut,
“..Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula
dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab. Sesungguhnya yang demikian itu
bagi Allah adalah mudah.” (QS. Fathir, 35: 11), disebutkan bahwa semua hal tak lebih dari takdir. Takdir
adalah pengetahuan abadi Allah dan untuk Allah, Yang mengetahui waktu bagaikan satu peristiwa tunggal
dan Yang menguasai seluruh ruang dan waktu; segalanya ditentukan dan selesai di dalam takdir.
Kita juga memahami dari yang difirmankanNya di dalam Al Qur’an bahwa waktu adalah satu bagi
Allah: beberapa peristiwa yang tampak bagi kita terjadi di masa depan disebutkan dalam Al Qur’an
seakan-akan telah terjadi jauh sebelumnya. Misalnya, ayat-ayat yang menguraikan pertanggungjawaban
yang harus diberikan kepada Allah di akhirat dituturkan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dahulu
kala:

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang ada di langit dan di bumi kecuali siapa
yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, dan tiba-tiba mereka berdiri
menunggu! Dan terang-benderanglah bumi (Padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya,
dan diberikanlah buku dan didatangkanlah para nabi dan para saksi, dan diberi keputusan di
antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan… Dan orang-orang kafir dibawa ke
neraka Jahanam berombong-rombongan... Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya
dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula)… (QS. Az Zumar, 39: 68-73)

Seperti dapat dilihat, peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelah kita mati (dari sudut pandang kita)
diceritakan di dalam Al Qur’an sebagai peristiwa-peristiwa lampau yang telah dialami. Allah tak terikat
oleh kerangka waktu nisbi tempat kita terkurung. Allah menghendaki berbagai hal di dalam keabadian:
manusia telah menjalani semuanya dan semua peristiwa ini telah dialami dan berakhir. Ia berfirman di
dalam ayat di bawah ini bahwa setiap peristiwa, besar atau kecil, adalah sepengetahuan Allah dan dicatat di
dalam sebuah buku:

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur’an dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarrah (atom) di bumi
atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam kitab yang nyata. (QS. Yunus, 10: 61)

Dengan terbukanya rahasia ini, dunia menjadi seperti surga bagi orang yang beriman. Semua
kekhawatiran, kegelisahan, dan ketakutan material yang menyesakkan sirna. Ia memahami bahwa alam
semesta memiliki penguasa tunggal, bahwa Dia mengatur seluruh dunia fisik sesukaNya,dan bahwa yang
harus dilakukan manusia adalah berpaling kepadaNya. Lalu, ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
“untuk berkhidmat kepadaNya.” (QS. Ali Imran, 3: 35)
Memahami rahasia ini adalah keuntungan terbesar di dunia.

Maha Suci Engkau! Tiada yang kami ketahui selain dari yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al Baqarah, 2: 32)
CATATAN

1
H. S. Lipson, "A Physicist's View of Darwin's Theory", Evolution Trends in Plants, v. 2, no. 1, 1988, h. 6.
2
Sidney Fox, Klaus Dose. Molecular Evolution and The Origin of Life. W.H. Freeman and Company, San
Francisco, 1972, h. 4.
3
Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, h. 36, 41-
42.
4
B.E. Bishop, "Mendel's Opposition to Evolution and to Darwin," Journal of Heredity, 87, 1996, h. 205-
213; harap lihat juga: L.A. Callender, "Gregor Mendel: An Opponent of Descent with Modification,"
History of Science, 26, 1988, h. 41-75.
5
Lee Spetner, Not By Chance: Shattering the Modern Theory of Evolution, The Judaica Press, New York,
1997, h. 20.
6
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985.
7
Charles Darwin, The Origin of Species by Means of Natural Selection, The Modern Library, New York,
h. 127. (penekanan oleh Harun Yahya)
8
V. C. Wynne-Edwards, "Self Regulating Sistems in Populations of Animals, Science, v. 147, 26 Maret
1965, h. 1543-1548; V. C. Wynne-Edwards, Evolution Through Group Selection, London, 1986.
9
A. D. Bradshaw, "Evolutionary significance of phenotypic plasticity in plants," Advances in Genetics, v.
13, h. 115-155; dikutip di dalam: Lee Spetner, Not By Chance: Shattering the Modern Theory of
Evolution, The Judaica Press, Inc., New York, 1997, h. 16-17.
10
Andy Coghlan "Suicide Squad", New Scientist, 10 Juli 1999.
11
Colin Patterson, "Cladistics", wawancara oleh Brian Leek, pewawancara Peter Franz, 4 Maret 1982,
BBC. (penekanan oleh Harun Yahya)
12
Phillip E. Johnson, Darwin On Trial, Intervarsity Press, Illinois, 1993, h. 27.
13
Untuk rincian tentang melanisme industri, harap melihat: Phillip Johnson, Darwin on Trial, InterVarsity
Press, ed. 2, Washington D.C., h. 26.
14
Jonathan Wells, Icons of Evolution: Science or Myth? Why Much of What We Teach About Evolution is
Wrong, Regnery Publishing, Washington, 2000, h. 149-150.
15
Jonathan Wells, Icons of Evolution: Science or Myth? Why Much of What We Teach About Evolution is
Wrong, Regnery Publishing, Washington, 2000, h. 141-151.
16
Jerry Coyne, "Not Black and White", pembahasan tentang buku Michael Majerus Melanism: Evolution
in Action, Nature, no. 396, 1988, h. 35-36.
17
Stephen Jay Gould, "The Return of Hopeful Monster", Natural History, v. 86, Juni-Juli 1977, h. 28.
18
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 189. (penekanan oleh Harun Yahya)
19
B. G. Ranganathan, Origins?, Pennsylvania: The Banner Of Truth Trust, 1988. (penekanan oleh Harun
Yahya)
20
Warren Weaver et al., "Genetic Effects of Atomic Radiation", Science, v. 123, Juni 29, 1956, h. 1159.
(penekanan oleh Harun Yahya)
21
Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, h. 48.
22
Michael Pitman, Adam and Evolution, River Publishing, London, 1984, h. 70. (penekanan oleh Harun
Yahya)
23
David A. Demick, "The Blind Gunman", Impact, no. 308, Februari 1999. (penekanan oleh Harun Yahya)
24
Pierre-Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 97, 98.
25
Pierre-Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 88. (penekanan
oleh Harun Yahya)
26
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books Ltd., London, 1985, h. 149.
27
Pierre-Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 87. (penekanan
oleh Harun Yahya)
28
Loren C. Eiseley, The Immense Journey, Vintage Books, 1958, p. 186.; dikutip di dalam: Norman
Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 30.
29
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 184.
30
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 32-
33.
31
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 36.
32
Jerry Bergman, “Some Biological Problems With the Natural Selection Theory”, The Creation Research
Society Quarterly, v. 29, no. 3, Desember 1992.
33
Loren Eiseley, The Immense Journey, Vintage Books, 1958. p 227., dikutip di dalam: Norman Macbeth,
Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, Boston, 1971, h. 33.
34
Scott Gilbert, John Opitz, Rudolf Raff, "Resynthesizing Evolutionary and Developmental Biology",
Developmental Biology, 173, karangan no. 0032, 1996, h. 361. (penekanan oleh Harun Yahya)
35
R. Lewin, "Evolutionary Theory Under Fire", Science, v. 210, 21 November, 1980, h. 883.
36
H. Lisle Gibbs, Peter R. Grant, "Oscillating selection on Darwin's finches," Nature, 327, 1987, h. 513;
Untuk rincian lebih lanjut, harap melihat: Jonathan Wells, Icons of Evolution, 2000, h. 159-175.
37
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
9
38
Pierre Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 82.
39
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 179.
40
Charles Darwin, The Origin of Species by Means of Natural Selection, The Modern Library, New York,
h. 124-125. (penekanan oleh Harun Yahya)
41
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
25.
42
K. S. Thomson, Morphogenesis and Evolution, Oxford, Oxford University Press, 1988, h. 98.
43
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, Tichnor and Fields, New Haven,
1982, h. 40.
44
Stephen Jay Gould, "Evolution's Erratic Pace", Natural History, v. 86, Mei 1977. (penekanan oleh Harun
Yahya)
45
Stephen Jay Gould, Niles Eldredge, "Punctuated Equilibria: The Tempo and Mode of Evolution
Reconsidered", Paleobiology, 3 (2), 1977, h. 115.
46
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
146.
47
Stephen Jay Gould, Niles Eldredge, Paleobiology, v. 3, 1977, h. 147.
48
Duane T. Gish, Evolution: Fossils Still Say No, CA, 1995, h. 41
49
David Day, Vanished Species, Gallery Books, New York, 1989.
50
T. Neville George, "Fossils in Evolutionary Perspective," Science Progress, v. 48, Januari 1960, h. 1, 3.
(penekanan oleh Harun Yahya)
51
N. Eldredge, I. Tattersall, The Myths of Human Evolution, Columbia University Press, 1982, h. 59.
(penekanan oleh Harun Yahya)
52
R. Wesson, Beyond Natural Selection, MIT Press, Cambridge, MA, 1991, h. 45.
53
Science, Juli 17, 1981, h. 289. (penekanan oleh Harun Yahya)
54
N. Eldredge, I. Tattersall, The Myths of Human Evolution, Columbia University Press, 1982, h. 45-46.
(penekanan oleh Harun Yahya)
55
S. M. Stanley, The New Evolutionary Timetable: Fossils, Genes, the Origin of Species, Basic Books Inc.,
N.Y., 1981, h. 71. (penekanan oleh Harun Yahya)
56
Stephen C. Meyer, P. A. Nelson, Paul Chien, The Cambrian Explosion: Biology's Big Bang, 2001, h. 2.
57
Richard Monastersky, "Mysteries of the Orient," Discover, April 1993, h. 40. (penekanan oleh Harun
Yahya)
58
Richard Monastersky, "Mysteries of the Orient," Discover, April 1993, h. 40.
59
Richard Dawkins, The Blind Watchmaker, W. W. Norton, London, 1986, h. 229. (penekanan oleh Harun
Yahya)
60
Phillip E. Johnson, "Darwinism's Rules of Reasoning," di dalam Darwinism: Science or Philosophy oleh
Buell Hearn, Foundation for Thought and Ethics, 1994, h. 12. (penekanan oleh Harun Yahya)
61
R. Lewin, Science, v. 241, 15 Juli 1988, h. 291. (penekanan oleh Harun Yahya)
62
Gregory A. Wray, "The Grand Scheme of Life," Review of The Crucible Creation: The Burgess Shale
and the Rise of Animals oleh Simon Conway Morris, Trends in Genetics, Februari 1999, v. 15, no. 2.
63
Richard Fortey, "The Cambrian Explosion Exploded?," Science, v. 293, no. 5529, 20 Juli 2001, h. 438-
439.
64
Richard Fortey, "The Cambrian Explosion Exploded?," Science, v. 293, no. 5529, 20 Juli 2001, h. 438-
439.
65
Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, h. 197.
66
Jeffrey S. Levinton, "The Big Bang of Animal Evolution," Scientific American, v. 267, November 1992,
h. 84.
67
"The New Animal Phylogeny: Reliability And Implications", Proceeding of National Academy of
Science, 25 April 2000, v. 97, no. 9, h. 4453-4456.
68
"The New Animal Phylogeny: Reliability And Implications, Proceeding of National Academy of
Science, 25 April 2000, v. 97, no. 9, h. 4453-4456.
69
David Raup, "Conflicts Between Darwin and Paleontology," Bulletin, Field Museum of Natural History,
v. 50, Januari 1979, h. 24.
70
Richard Fortey, "The Cambrian Explosion Exploded?," Science, v. 293, no. 5529, 20 Juli 2001, h. 438-
439.
71
Charles Darwin, The Origin of Species, 1859, h. 313-314.
72
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
h. 302.
73
Stefan Bengston, Nature, v. 345, 1990, h. 765. (penekanan oleh Harun Yahya)
74
R. L. Gregory, Eye and Brain: The Physiology of Seeing, Oxford University Press, 1995, h. 31.
75
Douglas Palmer, The Atlas of the Prehistoric World, Discovery Channel, Marshall Publishing, London,
1999, h. 66.
76
Mustafa Kuru, Omurgal Hayvanlar (Hewan Bertulang Belakang), Gazi University Publications, ed. 5,
Ankara, 1996, h.
21. (penekanan oleh Harun Yahya)
77
Mustafa Kuru, Omurgal Hayvanlar (Hewan Bertulang Belakang), Gazi University Publications, ed. 5,
Ankara, 1996, h. 27.
78
Douglas Palmer, The Atlas of the Prehistoric World, Discovery Channel, Marshall Publishing, London,
1999, h. 64.
79
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
296.
80
Gerald T. Todd, "Evolution of the Lung and the Origin of Bony Fishes: A Casual Relationship,"
American Zoologist, v. 26, no. 4, 1980, h. 757.
84
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
301.
85
Jangka waktu ini juga diberikan oleh Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution,
Cambridge University Press, 1997, h. 304.
86
Henry Gee, In Search Of Deep Time: Going Beyond The Fossil Record To A Revolutionary
Understanding of the History Of Life, The Free Press, A Division of Simon & Schuster, Inc., 1999, h. 54.
81
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
495-496.
82
Henry Gee, In Search Of Deep Time: Going Beyond The Fossil Record To A Revolutionary
Understanding of the History Of Life, The Free Press, A Division of Simon & Schuster Inc., 1999, h. 7.
83
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
230.
87
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
292-93.
88
Jean-Jacques Hublin, The Hamlyn Encyclopædia of Prehistoric Animals, The Hamlyn Publishing Group
Ltd., New York, 1984, h. 120.
89
www.ksu.edu/fishecology/relict.htm
90
http://www.cnn.com/TECH/science/9809/23/living.fossil/index.html
91
P. L. Forey, Nature, v. 336, 1988, h. 727.
92
Michael Denton, Evolution: A Theory In Crisis, Adler and Adler, 1986, h. 218-219.
93
Robert L. Carroll, Vertebrate Paleontology and Evolution, W. H. Freeman and Co., New York, 1988, h.
198.
94
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
296-97.
95
Stephen Jay Gould, "Eight (or Fewer) Little Piggies," Natural History, v. 100, no. 1, Januari 1991, h. 25.
(penekanan oleh Harun Yahya)
96
Duane Gish, Evolution: The Fossils Still Say No!, Institute For Creation Research, California, 1995, h.
97.
97
Robert Carroll, Vertebrate Paleontology and Evolution, h. 235.
98
Encyclopaedia Britannica Online, "Turtle – Origin and Evolution."
99
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h.
296-97. (penekanan oleh Harun Yahya)
100
Duane T. Gish, Evolution: The Fossils Still Say No!, Institute For Creation Research, San Diego, 1998,
h. 103.
101
Robert L. Carroll, Vertebrate Paleontology and Evolution. h. 336. (penekanan oleh Harun Yahya)
102
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 296-97.
103
E. H. Colbert, M. Morales, Evolution of the Vertebrates, John Wiley and Sons, 1991, h. 193.
(penekanan oleh Harun Yahya)
104
A. S Romer, Vertebrate Paleontology, ed. 3, Chicago University Press, Chicago, 1966, h. 120.
(penekanan oleh Harun Yahya)
105
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 296-97.
106
John Ostrom, "Bird Flight: How Did It Begin?," American Scientist, Januari-Februari 1979, v. 67, h. 47.
107
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 314.
108
Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari 1997, h. 28.
109
Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari 1997, h. 28.
110
Duane T. Gish, Dinosaurs by Design, Master Books, AR, 1996, h. 65-66.
111
Michael Denton, A Theory in Crisis, Adler & Adler, 1986, h. 210-211.
112
Michael Denton, A Theory in Crisis, Adler & Adler, 1986, h. 211-212. (penekanan oleh Harun Yahya)
113
J. A. Ruben, T. D. Jones, N. R. Geist, W. J. Hillenius, "Lung Structure And Ventilation in Theropod
Dinosaurs and Early Birds," Science, v. 278, h. 1267.
114
Michael J. Denton, Nature's Destiny, Free Press, New York, 1998, h. 361.
115
Michael J. Denton, Nature's Destiny, Free Press, New York, 1998, h. 361-62.
116
Barbara J. Stahl, Vertebrate History: Problems in Evolution, Dover, 1985, h. 349-350. (penekanan oleh
Harun Yahya)
117
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.132.
118
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.131.
119
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.133.
120
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, v. 9, 1996, h.131.
121
Alan Feduccia, "On Why Dinosaurs Lacked Feathers," The Beginning of Birds, Eichstatt, West
Germany: Jura Museum, 1985, h. 76. (penekanan oleh Harun Yahya)
122
Ernst Meir, Sistematics and the Origin of Species, Dove, New York, 1964, h. 296.
123
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, 1971, h. 131.
124
Nature, v. 382, Agustus, 1, 1996, h. 401.
125
Carl O. Dunbar, Historical Geology, John Wiley and Sons, New York, 1961, h. 310.
126
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997,
h. 280-81.
127
L. D. Martin, J. D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, v. 97, 1980, h. 86.
128
L. D. Martin, J. D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, v. 97, 1980, p. 86; L. D. Martin, Origins of the
Higher Groups of Tetrapods, Ithaca, Comstock Publishing Association, New York, 1991, h. 485-540.
129
S. Tarsitano, M. K. Hecht, Zoological Journal of the Linnaean Society, v. 69, 1980, p. 149; A. D.
Walker, Geological Magazine, v. 117, 1980, h. 595.
130
A.D. Walker, sebagaimana diuraikan di dalam Peter Dodson, "International Archaeopteryx
Conference," Journal of Vertebrate Paleontology 5(2):177, Juni 1985.
131
Richard Hinchliffe, "The Forward March of the Bird-Dinosaurs Halted?," Science, v. 278, no. 5338, 24
Oktober 1997, h. 596-597.
132
Jonathan Wells, Icons of Evolution, Regnery Publishing, 2000, h. 117
133
Richard L. Deem, "Demise of the 'Birds are Dinosaurs' Theory,"
134
Pat Shipman, "Birds do it... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari, 1997, h. 31.
135
"Old Bird," Discover, Maret 21, 1997.
136
"Old Bird," Discover, Maret 21, 1997.
137
Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari, 1997, h. 28.
138
Ann Gibbons, "Plucking the Feathered Dinosaur," Science, v. 278, no. 5341, 14 November 1997, h.
1229 - 1230
139
"Feathers for T. Rex?,” National Geographic, v.. 196, No. 5, November 1999.
140
Tim Friend, "Dinosaur-bird link smashed in fossil flap," USA Today, 25 Januari 2000
141
"Open Letter: Smithsonian decries National Geographic's "editorial propagandizing" of dinosaur-to-bird
"evolution," http://www.trueorigin.org/ birdevoletter.asp
142
M. Kusinitz, Science World, 4 Februari, 1983, h. 19.
143
San Diego Union, New York Times Press Service, 29 Mei, 1983; W. A. Shear, Science, v. 224, 1984, h.
494. (penekanan oleh Harun Yahya)
144
R. J. Wootton, C. P. Ellington, "Biomechanics & the Origin of Insect Flight," Biomechanics in
Evolution, ed. J. M. V. Rayner, R. J. Wootton, Cambridge University Press, Cambridge, 1991, h. 99.
145
Robin J. Wootton, "The Mechanical Design of Insect Wings," Scientific American, v. 263, November
1990, h. 120. (penekanan oleh Harun Yahya)
146
Pierre-P Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 30. (penekanan
oleh Harun Yahya)
147
George Gamow, Martynas Ycas, Mr. Tompkins Inside Himself, The Viking Press, New York, 1967, h.
149.
148
Roger Lewin, "Bones of Mammals, Ancestors Fleshed Out," Science, v. 212, 26 Juni 1981, h. 1492.
(penekanan oleh Harun Yahya)
149
George Gaylord Simpson, Life Before Man, Time-Life Books, New York, 1972, h. 42. (penekanan oleh
Harun Yahya)
150
R. Eric Lombard, "Review of Evolutionary Principles of the Mammalian Middle Ear, Gerald Fleischer,"
Evolution, v. 33, Desember 1979, h. 1230.
151
George G., Simpson, Tempo and Mode in Evolution, Columbia University Press, New York, 1944, h.
105, 107.
152
Boyce Rensberger, Houston Chronicle, 5 November 5 1980, h. 15. (penekanan oleh Harun Yahya)
153
Colin Patterson, Harper's, Februari 1984, h. 60. (penekanan oleh Harun Yahya)
154
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, New American Library, New
York, 1982, h. 16-17, 19.
155
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, New American Library, New
York, 1982, h. 16-17, 19.
156
Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, h. 230.
(penekanan oleh Harun Yahya)
157
John E. Hill, James D Smith, Bats: A Natural History, British Museum of Natural History, London,
1984, h. 33. (penekanan oleh Harun Yahya)
158
L. R. Godfrey, "Creationism and Gaps in the Fossil Record," Scientists Confront Creationism, W. W.
Norton and Company, 1983, h. 199.
159
Jeff Hecht, "Branching Out," New Scientist, 10 Oktober 1998, v. 160, no. 2155, h. 14.
160
Douglas H. Chadwick, "Evolution of Whales," National Geographic, November 2001, h. 68.
161
Robert L. Carroll, Patterns and Process of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1998, h.
329.
162
Ashby L. Camp, "The Overselling of Whale Evolution," Creation Matters, berkala terbitan the Creation
Research Society, Mei/Juni 1998.
163
Douglas H. Chadwick, "Evolution of Whales," National Geographic, November 2001, h. 73.
164
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1998,
h. 329.
165
G. A. Mchedlidze, General Features of the Paleobiological Evolution of Cetacea, diterjemahkan dari
bahasa Rusia (Rotterdam: A. A. Balkema, 1986), h. 91.
166
Ashby L. Camp, "The Overselling of Whale Evolution," Creation Matters, berkala terbitan the Creation
Research Society, Mei/Juni 1998.
168
Henry Gee, In Search Of Deep Time: Beyond The Fossil Record To A New History Of Life, The Free
Press, A Division of Simon & Schuster Inc., 1999, h. 103.
169
B.J. Stahl, Vertebrate History: Problems in Evolution, Dover Publications Inc., 1985, h. 489.
170
Michel C. Milinkovitch, "Molecular phylogeny of cetaceans prompts revision of morphological
transformations," Trends in Ecology and Evolution, 10 Agustus 1995, h. 328-334.
171
Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, h. 197.
172
Stephen Jay Gould, "Evolution's Erratic Pace," Natural History, v. 86, Mei 1977, h. 14.
173
Stephen M. Stanley, Macroevolution: Pattern and Process, W. H. Freeman and Co., San Francisco,
1979, h. 35, 159.
174
Stephen Jay Gould, "Return of the Hopeful Monster," The Panda's Thumb, W. W. Norton Co., New
York, 1980, h. 186-193.
175
R. A. Fisher, The Genetical Theory of Natural Selection, Oxford University Press, Oxford, 1930.
176
Ernst Meir, Populations, Species, Evolution, Belknap Press, Cambridge, 1970, h. 235.
177
Lane P. Lester, Raymond G. Bohlin, The Natural Limits to Biological Change, Probe Books, Dallas,
1989, h. 141-142. (penekanan oleh Harun Yahya)
178
M. E. Soulé, L. S. Mills, "Enhanced: No need to isolate genetics," Science, 1998, v. 282, h. 1658.
179
R. L. Westemeier, J. D. Brawn, J. D. Brawn, S. A. Simpson, T. L. Esker, R. W. Jansen, J. W. Walk, E.
L. Kershner, J. L. Bouzat, K. N. Paige, "Tracking the long-term decline and recovery of an isolated
population", Science, 1998, v. 282, h. 1695.
180
Phillip Johnson, Objections Sustained, Intervarsity Press, Illinois, 1998, h. 77-85.
181
Richard E. Leakey, The Making of Mankind, Sphere Books Limited, Barcelona, 1982, h. 43.
182
William R. Fix, The Bone Peddlers, Macmillan Publishing Company, New York, 1984, h. 150-153.
183
"Could science be brought to an end by scientists' belief that they have final answers or by society's
reluctance to pay the bills?" Scientific American, Desember 1992, h. 20.
184
David Pilbeam, "Rearranging Our Family Tree," Human Nature, Juni 1978, h. 40.
185
C. C. Swisher III, W. J. Rink, S. C. Antón, H. P. Schwarcz, G. H. Curtis, A. Suprijo, Widiasmoro,
"Latest Homo erectus of Java: Potential Contemporaneity with Homo sapiens in Southeast Asia," Science,
v. 274, no. 5294, 13 Desember 1996, h. 1870-1874; juga lihat: Jeffrey Kluger, "Not So Extinct After All:
The Primitive Homo Erectus Mei Have Survived Long Enough To Coexist With Modern Humans, Time,
Desember 23, 1996
186
Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, Toplinger Publications, New York, 1970, h. 75-94.
187
Charles E. Oxnard, "The Place of Australopithecines in Human Evolution: Grounds for Doubt," Nature,
v. 258, 4 Desember 1975, h. 389.
188
Isabelle Bourdial, "Adieu Lucy," Science et Vie, Mei 1999, no. 980, h. 52-62. (penekanan oleh Harun
Yahya)
189
Holly Smith, American Journal of Physical Antropology, v. 94, 1994, h. 307-325. (penekanan oleh
Harun Yahya)
190
Fred Spoor, Bernard Wood, Frans Zonneveld, "Implications of Early Hominid Labyrinthine
Morphology for Evolution of Human Bipedal Locomotion," Nature, v. 369, 23 Juni 1994, h. 645
191
Fred Spoor, Bernard Wood, Frans Zonneveld, "Implications of Early Hominid Labyrinthine
Morphology for Evolution of Human Bipedal Locomotion," Nature, v. 369, 23 Juni 1994, h. 648
192
Tim Bromage, "Faces From the Past," New Scientist, v. 133, issue 1803, 11 Januari 1992, h. 41.
(penekanan oleh Harun Yahya)
193
J. E. Cronin, N. T. Boaz, C. B. Stringer, Y. Rak, "Tempo and Mode in Hominid Evolution," Nature, v.
292, 1981, h. 117.
194
C. L. Brace, H. Nelson, N. Korn, M. L. Brace, Atlas of Human Evolution, 2. b., Rinehart and Wilson,
New York, 1979.
195
Alan Walker, Richard E.F. Leakey, "The Hominids of East Turkana", Scientific American, v. 239 (2),
Agustus 1978, h. 54.
196
Bernard Wood, Mark Collard, "The Human Genus," Science, v. 284, No 5411, 2 April 1999, h. 65-71.
197
Marvin Lubenow, Bones of Contention: a creationist assessment of the human fossils, Baker Books,
1992, h. 83.
198
Boyce Rensberger, Washington Post, 19 Oktober 1984, h. A11.
199
Richard Leakey, The Making of Mankind, Sphere Books, London, 1981, h. 116.
200
Marvin Lubenow, Bones of Contention: a creationist assessment of the human fossils, Baker Books,
1992. h. 136.
201
Pat Shipman, "Doubting Dmanisi," American Scientist, November-Desember 2000, h. 491
202
Erik Trinkaus, "Hard Times Among the Neanderthals," Natural History, v. 87, Desember 1978, p. 10;
R. L. Holloway, "The Neanderthal Brain: What Was Primitive," American Journal of Physical
Anthropology Supplement, v. 12, 1991, h. 94. (penekanan oleh Harun Yahya)
203
"Neandertals Lived Harmoniously," The AAAS Science News Service, 3 April 1997.
204
Ralph Solecki, Shanidar, The First Flower People, Knopf, New York, 1971, p. 196; Paul G. Bahn, Jean
Vertut, Images in the Ice, Windward, Leichester, 1988, h. 72.
205
D. Johanson, B. Edgar, From Lucy to Language, h. 99.
206
S. L. Kuhn, "Subsistence, Technology, Adaptive Variation in Middle Paleolithic Italy," American
Anthropologist, v. 94, no. 2, Maret 1992, h. 309-310.
207
Roger Lewin, The Origin of Modern Humans, Scientific American Library, New York, 1993, h. 131.
208
R.E.F. Leakey, A. Walker, "On the Status of Australopithecus afarensis", Science, v. 207, issue 4435, 7
Maret 1980, h. 1103.
209
A. J. Kelso, Physical Antropology, ed. 1, J. B. Lipincott Co., New York, 1970, p. 221; M. D. Leakey,
Olduvai Gorge, v. 3, Cambridge University Press, Cambridge, 1971, h. 272.
210
Stephen Jay Gould, Natural History, v. 85, 1976, h. 30. (penekanan oleh Harun Yahya)
211
Jeffrey Kluger, "Not So Extinct After All: The Primitive Homo Erectus Mei Have Survived Long
Enough To Coexist With Modern Humans," Time, 23 Desember 1996.
212
John Noble Wilford, "3 Human Species Coexisted Eons Ago, New Data Suggest," The New York Times,
13 Desember 1996.
213
John Whitfield, "Oldest member of human family found," Nature, 11 Juli 2002.
214
D.L. Parsell, "Skull Fossil From Chad Forces Rethinking of Human Origins," National Geographic
News, 10 Juli 2002.
215
John Whitfield, "Oldest member of human family found," Nature, 11 Juli 2002.
216
The Guardian, 11 Juli 2002
217
L. S. B. Leakey, The Origin of Homo Sapiens, ed. F. Borde, UNESCO, Paris, 1972, h. 25-29; L. S. B.
Leakey, By the Evidence, Harcourt Brace Jovanovich, New York, 1974.
218
Robert Kunzig, "The Face of An Ancestral Child", Discover, Desember 1997, h. 97, 100. (penekanan
oleh Harun Yahya)
219
A. J. Kelso, Physical Anthropology, v. 1, 1970, p. 221; M.D. Leakey, Olduvai Gorge, v. 3, Cambridge:
Cambridge University Press, 1971, p. 272
220
Donald C. Johanson, M. A. Edey, Lucy, The Beginnings of Humankind, Simon & Schuster, New York,
1981, h. 250. (penekanan oleh Harun Yahya)
221
"The Leakey Footprints: An Uncertain Path," Science News, v. 115, 1979, h. 196.
222
Ian Anderson, "Who made the Laetoli footprints?" New Scientist, v. 98, 12 Mei 1983, h. 373.
(penekanan oleh Harun Yahya)
223
Russell H. Tuttle, "The Pitted Pattern of Laetoli Feet," Natural History, v. 99, Maret 1990, h. 64.
(penekanan oleh Harun Yahya)
224
Ruth Henke, "Aufrecht aus den Bäumen (Berjalan Tegak dari Pepohonan)," Focus, v. 39, 1996, h. 178.
225
Elaine Morgan, The Scars of Evolution, Oxford University Press, New York, 1994, h. 5.
226
Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, Toplinger Publications, New York, 1970, h. 19. (penekanan
oleh Harun Yahya)
227
Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, Juli/Agustus 1999, h. 36-39.
228
Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, Juli/Agustus 1999, h. 36-39.
229
Henry Gee, In Search of Time: Beyond the Fossil Record to a New History of Life, New York, The Free
Press, 1999, h. 126-127.
230
David R. Pilbeam, "Rearranging Our Family Tree," Human Nature, Juni 1978, h. 45. (penekanan oleh
Harun Yahya)
231
Earnest A. Hooton, Up From The Ape, McMillan, New York, 1931, h. 332. (penekanan oleh Harun
Yahya)
232
Malcolm Muggeridge, The End of Christendom, Grand Rapids, Eerdmans, 1980, h. 59.
233
Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's Folly," New Scientist, 5 April 1979, h. 44.
234
Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's Folly," New Scientist, 5 April 1979, h. 43. (penekanan oleh
Harun Yahya)
235
William K. Gregory, "Hesperopithecus Apparently Not An Ape Nor A Man," Science, v. 66, issue 1720,
16 Desember 1927, h. 579.
236
Søren Løvtrup, Darwinism: The Refutation of A Myth, Croom Helm, New York, 1987, h. 422.
237
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 328, 342.
238
Charles Darwin, Life and Letter of Charles Darwin, v. II, surat Charles Darwin kepada J. Do Hooker, 29
Maret 1863
239
W. R. Bird, The Origin of Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 298-99.
240
"Hoyle on Evolution," Nature, v. 294, 12 November 1981, h. 105.
241
H. Blum, Time's Arrow and Evolution, 158 (ed. 3, 1968), dikutip di dalam: W. R. Bird, The Origin of
Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 304. (penekanan oleh Harun Yahya)
242
W. Stokes, Essentials of Earth History, 186 (ed. 4, 1942), dikutip di dalam: W. R. Bird, The Origin of
Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 305.
243
J. D. Thomas, Evolution and Faith, ACU Press, Abilene, TX, 1988, h. 81-82. (penekanan oleh Harun
Yahya)
244
Robert Shapiro, Origins: A Skeptic's Guide to the Creation of Life on Earth, Summit Books, New York,
1986, h. 127.
245
Fred Hoyle, Chandra Wickramasinghe, Evolution from Space, Simon & Schuster, New York, 1984, h.
148. (penekanan oleh Harun Yahya)
246
Fred Hoyle, Chandra Wickramasinghe, Evolution from Space, Simon & Schuster, New York, 1984, h.
130. (penekanan oleh Harun Yahya)
247
Simpson, Sarah, "Life's First Scalding Steps," Science News, 9 Januari 1999, 155(2): 25.
248
Fabbri Britannica Bilim Ansiklopedisi (Fabbri Britannica Science Encyclopaedia), v. 2, no. 22, h. 519.
249
Richard Dawkins, Climbing Mount Improbable, W.W. Norton, New York, 1996, h. 283.
250
Alexander I. Oparin, Origin of Life, Dover Publications, NewYork, 1936, 1953 (cetak ulang), h. 196.
251
Klaus Dose, "The Origin of Life: More Questions Than Answers," Interdisciplinary Science Reviews, v.
13, no. 4, 1988, h. 348. (penekanan oleh Harun Yahya)
252
Horgan, John, The End of Science, MA Addison-Wesley, 1996, h. 138. (penekanan oleh Harun Yahya)
253
Jeffrey Bada, "Life's Crucible," Earth, Februari 1998, h. 40. (penekanan oleh Harun Yahya)
254
Richard B. Bliss, Gary E. Parker, Duane T. Gish, Origin of Life, C.L.P. Publications, ed. 3, California,
1990, h. 14-15.
255
Kevin Mc Kean, Bilim ve Teknik (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), no. 189, h. 7.
256
J. P. Ferris, C. T. Chen, "Photochemistry of Methane, Nitrogen, Water Mixture As a Model for the
Atmosphere of the Primitive Earth," Journal of American Chemical Society, v. 97:11, 1975, h. 2964.
257
"New Evidence on Evolution of Early Atmosphere and Life," Bulletin of the American Meteorological
Society, v. 63, November 1982, h. 1328-1330.
258
Richard B. Bliss, Gary E. Parker, Duane T. Gish, Origin of Life, C.L.P. Publications, ed. 3, California,
1990, h. 16.
259
"Life's Crucible," Earth, Februari 1998, h. 34. (penekanan oleh Harun Yahya)
260
"The Rise of Life on Earth," National Geographic, Maret 1998, h. 68. (penekanan oleh Harun Yahya)
261
W. R. Bird, The Origin of Species Revisited, Thomas Nelson Co., Nashville, 1991, h. 325. (penekanan
oleh Harun Yahya)
262
Richard Dickerson, "Chemical Evolution," Scientific American, v. 239:3, 1978, h. 75. Ahli kimia
Richard Dickerson menjelaskan alasannya sebagai berikut: "Jika rantai protein polimer dan asam nukleat
mesti dirakit dari monomer-monomer asalnya, satu molekul air harus dilepaskan dari tiap mata rantainya.
Oleh karena itu, sukar memikirkan cara pembentukan polimer berlangsung di lingkungan berair lautan
purba, sebab adanya air lebih cenderung menguraikan daripada mengikat polimer.”
263
S. W. Fox, K. Harada, G. Kramptiz, G. Mueller, "Chemical Origin of Cells," Chemical Engineering
News, Juni 22, 1970, h. 80.
264
Frank B. Salisbury, "Doubts about the Modern Synthetic Theory of Evolution," American Biology
Teacher, September 1971, h. 336.
265
Paul Auger, De La Physique Theorique a la Biologie, 1970, h. 118.
266
Francis Crick, Life Itself: It's Origin and Nature, New York, Simon & Schuster, 1981, h. 88. (penekanan
oleh Harun Yahya)
267
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
39.
268
John Horgan, "In the Beginning," Scientific American, v. 264, Februari 1991, h. 119. (penekanan oleh
Harun Yahya)
269
Homer Jacobson, "Information, Reproduction and the Origin of Life," American Scientist, Januari 1955,
h. 121.
270
Douglas R. Hofstadter, Gödel, Escher, Bach: An Eternal Golden Braid, Vintage Books, New York,
1980, h. 548. (penekanan oleh Harun Yahya)
271
Leslie E. Orgel, "The Origin of Life on Earth," Scientific American, v. 271, Oktober 1994, h. 78.
(penekanan oleh Harun Yahya)
272
Cairns-Smith, Alexander G., "The First Organisms," Scientific American, 252: 90, Juni 1985.
(penekanan oleh Harun Yahya)
273
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, London: Burnett Books, 1985, h. 351.
274
John Horgan, "In the Beginning," Scientific American, v. 264, Februari 1991, h. 119.
275
G. F. Joyce, L. E. Orgel, "Prospects for Understanding the Origin of the RNA World," In the RNA
World, Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York, 1993, h. 13.
276
Jacques Monod, Chance and Necessity, New York, 1971, h. 143. (penekanan oleh Harun Yahya)
277
Dover, Gabby L., “Looping the Evolutionary loop, review of the origin of life from the birth of life to
the origin of language”, Nature, 1999, v. 399, h. 218. (penekanan oleh Harun Yahya)
278
Leslie E. Orgel, "The Origin of Life on the Earth," Scientific American, Oktober 1994, v. 271, h. 78.
279
Horgan, John, The End of Science, MA Addison-Wesley, 1996, h. 139.
280
Pierre Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 103.
(penekanan oleh Harun Yahya)
281
Chandra Wickramasinghe, wawancara oleh harian London Daily Express, 14 Agustus 1981.
282
Frank Salisbury, "Doubts About the Modern Synthetic Theory of Evolution," American Biology
Teacher, September 1971, h. 338. (penekanan oleh Harun Yahya)
283
Dean H. Kenyon, Percival Davis, Of Pandas and People: The Central Question of Biological Origins,
Haughton Publishing, Dallas, 1993, h. 33.
284
Dean H. Kenyon, Percival Davis, Of Pandas and People: The Central Question of Biological Origins,
Haughton Publishing, Dallas, 1993, h. 117.
285
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 145.
286
Gavin De Beer, Homology: An Unsolved Problem, Oxford University Press, London, 1971, h. 16.
287
Pere Alberch, "Problems with the Interpretation of Developmental Sequences," Sistematic Zoology,
1985, v. 34 (1), h. 46-58.
288
Raff, Rudolf A., The Shape of Life: Genes, Development, the Evolution of Animal Form, The University
of Chicago Press, Chicago, 1996.
289
Coates M., "New paleontological contributions to limb ontogeny and phylogeny," di dalam: J. R.
Hinchcliffe (ed.), Developmental Patterning of the Vertebrate Limb, Plenum Press, New York, 1991, h.
325-337; Coates M. I., “The Devon tetrapod Acanthostega gunnari Jarvik: postcranial anatomy, basal
tetrapod interrelationships and patterns of skeletal evolution”, makalah untuk the Royal Society of
Edinburgh, 1996, v. 87, h. 363-421.
290
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Adler & Adler, Bethesda, MA, 1985, h. 151, 154.
(penekanan oleh Harun Yahya)
291
William Fix, The Bone Peddlers: Selling Evolution, Macmillan Publishing Co., New York, 1984, h.
189. (penekanan oleh Harun Yahya)
292
Karen Hopkin, "The Greatest Apes," New Scientist, v. 62, ed. 2186, 15 Mei 1999, h. 27.
293
Theodosius Dobzhansky, Genetics of the Evolutionary Process, Columbia University Press, New York
& London, 1970, h. 17-18.
294
Pierre Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 194.
295
Mike Benton, "Is a Dog More Like Lizard or a Chicken?," New Scientist, v. 103, 16 Agustus 1984, h.
19. (penekanan oleh Harun Yahya)
296
Paul Erbrich, "On the Probability of the Emergence of a Protein with a Particular Function," Acta
Biotheoretica, v. 34, 1985, h. 53.
298
Christian Schwabe, "Theoretical Limitations of Molecular Phylogenetics and the Evolution of
Relaxins," Comparative Biochemical Physiology, v. 107B, 1974, h.171-172. (penekanan oleh Harun
Yahya)
299
Christian Schwabe, Gregory W. Warr, "A Polyphyletic View of Evolution," Perspectives in Biology
and Medicine, v. 27, musim semi 1984, h. 473. (penekanan oleh Harun Yahya)
300
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 290-291. (penekanan
oleh Harun Yahya)
301
Hervé Philippe, Patrick Forterre, "The Rooting of the Universal Tree of Life is Not Reliable," Journal
of Molecular Evolution, v. 49, 1999, h. 510.
302
James Lake, Ravi Jain ve Maria Rivera, "Mix and Match in the Tree of Life," Science, v. 283, 1999, h.
2027.
303
Carl Woese, "The Universel Ancestor," Proceedings of the National Academy of Sciences, USA, 95,
(1998) h. 6854.
304
Elizabeth Pennisi, "Is It Time to Uproot the Tree of Life?" Science, v. 284, no. 5418, 21 Mei 1999, h.
1305.
305
Jonathan Wells, Icons of Evolution, Regnery Publishing, 2000, h. 51.
306
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
307
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
308
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
309
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
310
Francisco J. Ayala, "The Mechanisms of Evolution," Scientific American, v.. 239, September 1978, h.
64.
311
Dr. Lee Spetner, "Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing an exchange with Dr. Edward E.
Max," 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
312
S. R. Scadding, "Do 'Vestigial Organs' Provide Evidence for Evolution?," Evolutionary Theory, v. 5,
Mei 1981, h. 173.
313
The Merck Manual of Medical Information, Home edition, Merck & Co., Inc. The Merck Publishing
Group, Rahway, New Jersey, 1997.
314
H. Enoch, Creation and Evolution, New York, 1966, h. 18-19.
315
Charles Darwin, Origin of Species, http://www.zoo.uib.no/classics/darwin/origin.chap14.html.
316
R. Mcneill Alexander, "Biomechanics: Damper For Bad Vibrations," Nature, 20-27 Desember 2001.
317
R. Mcneill Alexander, "Biomechanics: Damper For Bad Vibrations," Nature, 20-27 Desember 2001.
318
Behe's Seminar in Princeton, 1997
319
G. G. Simpson, W. Beck, An Introduction to Biology, Harcourt Brace and World, New York, 1965, h.
241.
320
Ken McNamara, "Embryos and Evolution," New Scientist, v. 12416, 16 Oktober 1999. (penekanan oleh
Harun Yahya)
321
Keith S. Thomson, "Ontogeny and Phylogeny Recapitulated," American Scientist, v. 76, Mei/Juni 1988,
h. 273.
322
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, Ticknor and Fields, New York,
1982, h. 204.
323
Elizabeth Pennisi, "Haeckel's Embryos: Fraud Rediscovered," Science, 5 September 1997. (penekanan
oleh Harun Yahya)
324
Elizabeth Pennisi, "Haeckel's Embryos: Fraud Rediscovered," Science, 5 September 1997. (penekanan
oleh Harun Yahya)
325
Elizabeth Pennisi, "Haeckel's Embryos: Fraud Rediscovered," Science, 5 September 1997. (penekanan
oleh Harun Yahya)
326
Mahlon B. Hoagland, The Roots of Life, Houghton Mifflin Company, 1978, h.18
327
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Ankara, Meteksan Yayınları, h. 79.
328
Robart A. Wallace, Gerald P. Sanders, Robert J. Ferl, Biology, The Science of Life, Harper Collins
College Publishers, h. 283.
329
Darnell, "Implications of RNA-RNA Splicing in Evolution of Eukaryotic Cells," Science, v. 202, 1978,
h. 1257.
330
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publications, Ankara, h.79.
331
"Book Review of Symbiosis in Cell Evolution," Biological Journal of Linnean Society, v. 18, 1982, h.
77-79.
332
D. Lloyd, The Mitochondria of Microorganisms, 1974, h. 476.
333
Gray, Doolittle, "Has the Endosymbiant Hypothesis Been Proven?," Microbiological Review, v. 30,
1982, h. 46.
334
Wallace-Sanders-Ferl, Biology: The Science of Life, ed. 4, Harper Collins College Publishers, h. 94.
335
Mahlon B. Hoagland, The Roots of Life, Houghton Mifflin Company, 1978, h. 145.
336
Whitfield, Book Review of Symbiosis in Cell Evolution, Biological Journal of Linnean Society, 1982, h.
77-79.
337
Milani, Bradshaw, Biological Science, A Molecular Approach, D. C.Heath and Company, Toronto, h.
158 .
338
David Attenborough, Life on Earth, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1981, h. 20.
339
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publications, Ankara, h. 80.
340
Hoimar Von Ditfurth, Im Amfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), h. 60-61.
341
"Ancient Alga Fossil Most Complex Yet," Science News, v. 108, 20 September 1975, h. 181.
342
Hoimar Von Ditfurth, Im Amfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), h. 199.
343
E. C. Olson, The Evolution of Life, The New American Library, New York, 1965, h. 94.
344
Chester A. Arnold, An Introduction to Paleobotany, McGraw-Hill Publications in the Botanical
Sciences, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York, 1947, h. 7.
345
Chester A. Arnold, An Introduction to Paleobotany, McGraw-Hill Publications in the Botanical
Sciences, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York, 1947, h. 334.
346
N. F. Hughes, Paleobiology of Angiosperm Origins: Problems of Mesozoic Seed-Plant Evolution,
Cambridge University Press, Cambridge, 1976, h. 1-2.
347
Daniel Axelrod, The Evolution of Flowering Plants, in The Evolution Life, 1959, h. 264-274.
348
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press,
1964, h. 189. (penekanan oleh Harun Yahya)
349
Peter van Inwagen, timbang buku Michael Behe Darwin's Black Box.
350
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publications, Ankara, h. 475.
(penekanan oleh Harun Yahya)
351
Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, 1971, h. 131.
352
Cemal Yildirim, Evrim Kurami ve Bagnazlik (Teori Evolusi dan Kefanatikan), Bilgi Publications,
Januari 1989, h. 58-59. (penekanan oleh Harun Yahya)
353
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 18.
354
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 18-21.
355
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 22. (penekanan oleh Harun
Yahya)
356
J. R. P. Angel, "Lobster Eyes as X-ray Telescopes," Astrophysical Journal, 1979, No. 233, h. 364-373.
Lihat juga: B. K. Hartline (1980), "Lobster-Eye X-ray Telescope Envisioned," Science, No. 207, h. 47,
dikutip di dalam: Michael Denton, Nature's Destiny, The Free Press, 1998, h. 354.
357
M. F. Land, "Superposition Images are Formed by Reflection in the Eyes of Some Oceanic Decapod
Crustacea," Nature, 1976, v. 263, h. 764-765.
358
Jeff Goldberg, "The Quivering Bundles That Let Us Hear," Seeing, Hearing, Smelling the World, A
Laporan dari the Howard Hughes Medical Institute, h. 38.
359
Veysel Atayman, "Maddeci 'Madde', Evrimci Madde" (‘Materi’ Materialis, Materi Evolusionis),
Evrensel News Paper, 13 Juni 1999. (penekanan oleh Harun Yahya)
360
Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis, Burnett Books, London, 1985, h. 351.
361
Duane T. Gish, "The Mammal-like Reptiles," Impact, no. 102, Desember 1981.
362
"Ear / Evolution of the Ear", Grolier Academic Encyclopedia,1986, h. 6. (penekanan oleh Harun Yahya)
363
William E. Duellman, Linda Trueb, "The Gastric Brooding Frog," The Biology of Amphibians,
McGraw-Hill Book com., 1986.
364
Jeremy Rifkin, Entropy: A New World View, Viking Press, New York, 1980, h. 6.
365
J. H. Rush, The Dawn of Life, New York, Signet, 1962, h. 35.
366
Roger Lewin, "A Downward Slope to Greater Diversity," Science, v. 217, 24 September 1982, h. 1239.
367
George P. Stravropoulos, "The Frontiers and Limits of Science," American Scientist, v. 65, November-
Desember 1977, h. 674.
368
Jeremy Rifkin, Entropy: A New World View, Viking Press, New York, 1980, h. 55.
369
John Ross, Chemical and Engineering News, 27 Juli 1980, h. 40. (penekanan oleh Harun Yahya)
370
"From Complexity to Perplexity," Scientific American, Mei 1995.
371
Cosma Shalizi, "Ilya Prigogine," 10 Oktober 2001, www.santafe.edu/~shalizi/notebooks/prigogine.html.
(penekanan oleh Harun Yahya)
372
Joel Keizer, "Statistical Thermodynamics of Nonequilibrium Processes," Springer-Verlag, Berlin, 1987,
h. 360-1. (penekanan oleh Harun Yahya)
373
Cosma Shalizi, "Ilya Prigogine," 10 Oktober 2001, www.santafe.edu/~shalizi/notebooks/prigogine.html.
(penekanan oleh Harun Yahya)
374
F. Eugene Yates, Self-Organizing Sistems: The Emergence of Order, "Broken Symmetry, Emergent
Properties, Dissipative Structures, Life: Are They Related," Plenum Press, New York, 1987, h. 445-457.
(penekanan oleh Harun Yahya)
375
F. Eugene Yates, Self-Organizing Sistems: The Emergence of Order, "Broken Symmetry, Emergent
Properties, Dissipative Structures, Life: Are They Related" (NY: Plenum Press, 1987), h. 447.
376
Ilya Prigogine, Isabelle Stengers, Order Out of Chaos, Bantam Books, New York, 1984, h. 175.
377
Jeffrey S. Wicken, "The Generation of Complexity in Evolution: A Thermodynamic and Information-
Theoretical Discussion," Journal of Theoretical Biology, v. 77, April 1979, h. 349.
378
Charles B. Thaxton, Walter L. Bradley, Roger L. Olsen, The Mystery of Life's Origin: Reassessing
Current Theories, ed. 4, Dallas, 1992, h. 151.
379
C. B. Thaxton, W. L. Bradley, R. L. Olsen, The Mystery of Life's Origin: Reassessing Current Theories,
Lewis, Stanley, Texas, 1992, h. 120. (penekanan oleh Harun Yahya)
380
I. Prigogine, G. Nicolis ve A. Babloyants, "Thermodynamics of Evolution," Physics Today, November
1972, v. 25, h. 23. (penekanan oleh Harun Yahya)
381
Fred Hoyle, The Intelligent Universe, Michael Joseph, London, 1983, h. 20-21. (penekanan oleh Harun
Yahya)
382
Andrew Scott, "Update on Genesis," New Scientist, v. 106, 2 Mei 1985, h. 30. (penekanan oleh Harun
Yahya)
383
Robert Shapiro, Origins: A Sceptics Guide to the Creation of Life on Earth, Summit Books, New York,
1986, h. 207. (penekanan oleh Harun Yahya)
384
Encyclopædia Britannica, "Modern Materialism." (penekanan oleh Harun Yahya)
385
Werner Gitt, In the Beginning Was Information, CLV, Bielefeld, Germany, h. 107, 141. (penekanan
oleh Harun Yahya)
386
George C. Williams, The Third Culture: Beyond the Scientific Revolution, Simon & Schuster, New
York, 1995, h. 42-43. (penekanan oleh Harun Yahya)
387
Pierre P. Grassé, The Evolution of Living Organisms, 1977, h. 168.
388
Alan Woods, Ted Grant. "Marxism and Darwinism," Reason in Revolt: Marxism and Modern Science,
London, 1993 .
389
Douglas Futuyma, Evolutionary Biology, v. 2, MA: Sinauer, Sunderland, 1986, h. 4. (penekanan oleh
Harun Yahya)
390
Alan Woods, Ted Grant, "Marxism and Darwinism," Reason in Revolt: Marxism and Modern Science,
London, 1993. (penekanan oleh Harun Yahya)
391
Richard Lewontin, "The Demon-Haunted World," The New York Review of Books, 9 Januari 1997, h.
28. (penekanan oleh Harun Yahya)
392
Hoimar Von Dithfurth, Im Anfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), v. 2, h. 64.
(penekanan oleh Harun Yahya)
393
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
61. (penekanan oleh Harun Yahya)
394
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
61. (penekanan oleh Harun Yahya)
395
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), Meteksan Publishing Co., Ankara, 1984, h.
94-95. (penekanan oleh Harun Yahya)
396
Michael J. Behe, Darwin's Black Box, The Free Press, New York, 1996, h. 252-53.
397
Orhan Hançerlioğlu, Düşünce Tarihi (Sejarah Pemikiran), Remzi Kitabevi, İstanbul: 1987, h. 432.
398
Orhan Hançerlioğlu, Düşünce Tarihi (Sejarah Pemikiran), Remzi Kitabevi, İstanbul: 1987, h. 447.
399
Frederick Vester, Denken, Lernen, Vergessen (Berpikir, Belajar, Melupakan), vga, 1978, h. 6.
400
George Politzer, Principes Fondamentaux de Philosophie (Azas-Azas Dasar Filsafat), Editions Sociales,
Paris, 1954, h. 38-39-44.
401
Bilim ve Teknik (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), majalah, No. 227, h. 6-7.
402
R.L.Gregory, Eye and Brain: The Psychology of Seeing, Oxford University Press Inc. New York, 1990,
h. 9. (penekanan oleh Harun Yahya)
403
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 1710, Works of George
Berkeley, v. I, edt. A. Fraser, Oxford, 1871. (penekanan oleh Harun Yahya)
404
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 20.
(penekanan oleh Harun Yahya)
405
Bertrand Russell, ABC of Relativity, George Allen, Unwin, London, 1964, h. 161-162. (penekanan oleh
Harun Yahya)
406
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 1710, Works of George
Berkeley, v. I, edt. A. Fraser, Oxford, 1871 h. 35-36. (penekanan oleh Harun Yahya)
407
Ali Demirsoy, Kalıtım ve Evrim (Pewarisan dan Evolusi), h. 4. (penekanan oleh Harun Yahya)
408
Bertrand Russell, What is the Soul?, Works of George Berkeley, v. I, edt. A. Fraser, Oxford, 1871.
(penekanan oleh Harun Yahya)
409
Bertrand Russell, Three Dialogues Between Hylas and Philonous, Works of George Berkeley, v. I, edt.
A. Fraser, Oxford, 1871. (penekanan oleh Harun Yahya)
410
George Politzer, Principes Fondamentaux de Philosophie (Azas-Azas Dasar Filsafat), Editions Sociales,
Paris, 1954, h. 40.
411
Bilim ve Teknik (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), majalah, no.111, h.2. (penekanan oleh Harun
Yahya)
412
R.L.Gregory, Eye and Brain: The Psychology of Seeing, Oxford University Press Inc. New York, 1990,
h. 9
413
Ken Wilber, Holographic Paradigm and Other Paradoxes, h. 20. (penekanan oleh Harun Yahya)
414
Bertrand Russell, ABC of Relativity, George Allen and Unwin, London, 1964, h. 161-162. (penekanan
oleh Harun Yahya)
415
Henri Bergson, Matter and Memory, Zone Books, New York, 1991. (penekanan oleh Harun Yahya)
416
David Hume, A Treatise of Human Nature, v. I, s. IV: Of Personal Identity. (penekanan oleh Harun
Yahya)
417
İmam Rabbani, Hz. Mektupları (Surat-Surat Rabbani), v. II, surat 357, h. 163. (penekanan oleh Harun
Yahya)
418
François Jacob, Le Jeu Des Possibles, University of Washington Press, 1982, h. 111. (penekanan oleh
Harun Yahya)
419
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 52-53.
(penekanan oleh Harun Yahya)
420
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 17.
(penekanan oleh Harun Yahya)
421
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, p. 58.
422
Paul Strathern, The Big Idea:Einstein and Relativity, Arrow Books, 1997, h. 57.
423
Isaac Asimov, Frontiers.
424
Lincoln Barnett, The Universe and Dr. Einstein, William Sloane Associate, New York, 1948, h. 58.
(penekanan oleh Harun Yahya)
Caption of the pictures
H Caption
.
1 Jean-B. Lamarck
2
1 Charles Darwin mengembangkan teorinya ketika ilmu pengetahuan masih bersahaja. Dengan
3 mikroskop kuno seperti ini, kehidupan terlihat berstruktur sangat sederhana. Kekeliruan ini menjadi dasar
Darwinisme.
1 Louis Pasteur menghancurkan kepercayaan bahwa kehidupan dapat tercipta dari benda mati.
5
1 Hukum genetika yang ditemukan oleh Mendel ternyata amat merugikan teori evolusi.
7
1 Para pendiri Neo-Darwinisme: Ernst Mayr, Theodosius Dobzhansky, dan Julian Huxley.
8
2 Darwin telah terpengaruh oleh Thomas Malthus ketika mengembangkan tesisnya mengenai
2 pertarungan demi hidup. Namun, segenap pengamatan dan percobaan membuktikan bahwa Malthus keliru.

2 Gambar atas menunjukkan pohon-pohon dengan ngengat di atasnya sebelum revolusi industri, dan
4 gambar bawah menunjukkan keadaan sesudahnya. Karena pohon-pohon ini menjadi lebih gelap, burung-
burung dapat lebih mudah menangkap ngengat berwarna terang sehingga jumlah ngengat ini berkurang.
Akan tetapi, ini bukan contoh “evolusi”, sebab tiada spesies baru yang muncul; yang terjadi adalah
berubahnya perbandingan dua jenis yang ada dari spesies yang memang sudah ada.
2 Kaki yang cacat, hasil mutasi.
7

2 Sejak awal abad ke-20, ahli biologi evolusi telah mencari-cari contoh mutasi menguntungkan dengan
8 menciptakan lalat mutan. Tetapi, usaha ini selalu menghasilkan makhluk yang sakit dan cacat. Gambar kiri
menunjukkan kepala seekor lalat buah yang wajar, dan gambar kanan menunjukkan kepala lalat buah
dengan kaki yang keluar darinya, hasil mutasi.
Kiri ke kanan, Up to Down:
antena
mata
kaki
Mulut
2 Katak mutan lahir dengan kaki pincang.
9

2 Lalat mutan dengan sayap yang cacat.


9

3 Bentuk dan fungsi sel darah merah yang dirusak pada anemia sel-sabit. Akibatnya, daya ikat oksigen
0 sel berkurang.

3 Left to Right, Up to Down:


2 PERKEMBANGAN WAJAR
H Caption
.
PENGARUH PLEIOTROPIS
1. Sayap-sayap tidak berkembang.
1. 2. Tungkai belakang tumbuh sewajarnya, namun jari-jarinya tak berkembang sempurna.
3. Tiada bulu halus pelapis.
4. Walaupun saluran pernapasan ada, paru-paru dan kantung udara hilang.
5. Saluran kemih tidak tumbuh, dan tidak mendorong perkembangan ginjal.
Pada gambar kiri, kita dapat melihat perkembangan wajar burung hasil penangkaran, dan gambar
kanan menunjukkan pengaruh merugikan dari mutasi pada gen pleiotropik. Pemeriksaan saksama
menunjukkan bahwa mutasi pada satu gen saja dapat merusak banyak organ. Bahkan jika kita berpraduga
bahwa mutasi dapat juga berpengaruh menguntungkan, “pengaruh pleiotropik” ini akan menutupi
keuntungan itu dengan merusak lebih banyak organ.
3 Bakteri Escherichia coli tak berbeda dengan spesimen yang berumur satu miliar tahun. Tak terhitung
4 mutasi selama waktu yang panjang ini tidak mendorong ke perubahan struktur.

3 Paruh-paruh kutilang (finch) yang diamati Darwin di Kepulauan Galapagos dan disangkanya sebagai
9 petunjuk bagi teorinya, sebenarnya sebuah contoh keanekaragaman genetis, bukan petunjuk evolusi makro.

4 Cabang ilmu pengetahuan terpenting untuk menerangkan asal usul kehidupan di bumi adalah
1 paleontologi atau ilmu fosil. Lapisan-lapisan fosil, yang telah dipelajari dengan ketekunan tinggi selama
sekurang-kurang 200 tahun terakhir, menyingkapkan gambaran yang berbeda sama sekali dengan teori
Darwin. Spesies muncul tidak melalui himpunan perubahan-perubahan kecil, melakukan tiba-tiba dan
terbentuk sempurna.
4 Tiada perkembangan bertahap pada catatan fosil seperti yang diperkirakan Darwin. Spesies-spesies
4 muncul seketika, dengan struktur khas tubuh masing-masing.

4 KEMACETAN DALAM CATATAN FOSIL


6 Jika evolusi benar-benar terjadi, maka semua makhluk hidup seharusnya muncul lewat perubahan-
perubahan bertahap dan terus berubah sepanjang waktu, padahal catatan fosil menunjukkan kenyataan yang
sebaliknya. Kelompok-kelompok berbeda makhluk hidup tiba-tiba muncul tanpa moyang yang mirip
sebelumnya, dan tetap demikian selama jutaan tahun, tidak mengalami perubahan apa pun.
Left to Right, Up to Down:
Fosil bintang laut yang berumur 100-150 juta tahun
Fosil “kepiting tapal kuda” dari masa Ordovisium. Fosil yang berumur 450 juta tahun ini tak berbeda
dengan spesimen yang hidup sekarang.
Fosil tiram dari Zaman Ordovisium, tak berbeda dengan tiram masa kini.
Fosil bakteri berumur 1,9 juta tahun dari West Ontario, Amerika Serikat. Fosil ini berstruktur sama
dengan bakteri yang hidup sekarang.
Amonit muncul sekitar 350 juta tahun lalu dan punah 65 juta tahun lalu. Struktur yang tampak pada
fosil di atas tak berubah selama 300 juta tahun.
4 Left to Right, Up to Down:
7 Fosil serangga dalam ambar, berumur sekitar 170 juta tahun, ditemukan di pesisir Laut Baltik. Fosil
ini tak berbeda dengan mitra masa kininya.
Fosil kalajengking tertua yang diketahui, ditemukan di East Kirkton, Skotlandia. Spesies ini, dinamai
H Caption
.
Pulmonoscorpius kirktoniensis, berumur 320 juta tahun, dan tak berbeda dengan kalajengking masa kini.
Fosil capung yang berumur 140 juta tahun di Bavaria, Jerman. Sama dengan capung hidup.
Fosil udang yang berumur 170 juta tahun dari masa Jura. Tak berbeda dengan udang hidup.
Lalat yang berumur 35 juta tahun. Berstruktur tubuh sama dengan lalat masa kini.
4 Fosil rayap di dalam ambar yang berumur 25 juta tahun. Mirip dengan rayap hidup masa kini.
9
5 “Pohon kehidupan” yang digambarkan ahli biologi evolusi Ernst Haeckel pada tahun 1866.
2
5 “Pohon kehidupan” yang digambarkan ahli biologi evolusi Ernst Haeckel pada tahun 1866.
3 CATATAN FOSIL MENYANGKAL TEORI EVOLUSI
Diagram atas:
Masa Kini
WAKTU
JARAK MORFOLOGIS
SEJARAH ALAM MENURUT TEORI EVOLUSI
Diagram bawah
Masa Kini
WAKTU
Kambrium
Pra-Kambrium
JARAK MORFOLOGIS
SEJARAH SEJATI ALAM SEBAGAIMANA DITUNJUKKAN CATATAN FOSIL
Teori evolusi menyebutkan bahwa kelompok-kelompok makhluk hidup (filum) berkembang dari
moyang yang sama yang bertumbuh menyebar sejalan dengan waktu. Bagan di atas menegaskan
pernyataan ini: menurut Darwinisme, makhluk hidup tumbuh saling menjauh seperti cabang-cabang pada
sebatang pohon.
Namun, catatan fosil menunjukkan yang sebaliknya. Seperti terlihat pada bagan di bawah, aneka
kelompok makhluk hidup muncul tiba-tiba dengan struktur yang berbeda. Sekitar 100 filum seketika
muncul di Zaman Kambrium. Secara bertahap, jumlahnya berkurang, bukan meningkat (karena sebagian
filum punah). (sumber: www.arn.org)
5 Gambar ini melukiskan makhluk hidup dengan struktur rumit pada Zaman Kambrium. Kemunculan
4 aneka ragam makhluk hidup tanpa moyang pendahulu membantah habis teori Darwin.

5 Sebuah fosil Zaman Kambrium


6
5 TULANG BELAKANG YANG MENARIK: Salah satu makhluk hidup yang tiba-tiba muncul di
7 Zaman Kambrium, Hallucigenia, tampak di foto kiri. Dan, sebagaimana fosil Kambrium lainnya, seperti
yang di foto kanan, makhluk ini mempunyai tulang belakang atau cangkang keras untuk melindungi diri
dari serangan musuh. Pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh para evolusionis adalah “Bagaimanakah
makhluk ini bisa muncul dengan sebuah sistem pertahanan yang ampuh di masa tiada pemangsa di
sekelilingnya?” Ketiadaan pemangsa pada masa itu membuatnya mustahil menjelaskan persoalan ini
menurut seleksi alam.
5 Marrella: salah satu makhluk fosil yang ditemukan di lapisan fosil Burgess Shale.
H Caption
.
8
6 Lukisan lain yang menunjukkan makhluk-makhluk hidup Zaman Kambrium.
0
6 Mata trilobit, dengan struktur rangkap dan ratusan keping lensa kecil, adalah sebuah rancangan yang
2 menakjubkan.

6 Darwin mengatakan bahwa jika teorinya benar, masa yang panjang sebelum trilobit seharusnya
3 dipenuhi oleh moyang makhluk ini. Tetapi, tak satu pun makhluk hidup yang diramalkan Darwin itu
pernah ditemukan.
6 IKAN ZAMAN KAMBRIA
4 Hingga tahun 1999, pertanyaan apakah vertebrata (hewan bertulang belakang) ada di Zaman
Kambrium terbatas pada debat tentang Pikaia. Tetapi, di tahun itu, sebuah penemuan mengejutkan
memperdalam kebuntuan evolusi mengenai Ledakan Kambrium: para ahli paleontologi Cina di fauna
Chengjiang menemukan fosil dari dua spesies ikan yang berumur sekitar 530 juta tahun, zaman yang
disebut Kambrium Awal. Dengan demikian, jelaslah bahwa bersama-sama dengan filum lain, subfilum
vertebrata juga ada pada Zaman Kambrium, tanpa moyang evolusi apa pun.
Dua spesies ikan pada Zaman Kambrium, Haikouichthys ercaicunensis dan Myllokunmingia
fengiiaoa.
6 Left to Right, up to down
6 ASAL USUL IKAN
Catatan fosil menunjukkan bahwa ikan, seperti jenis makhluk hidup lainnya, juga muncul tiba-tiba
dan telah memiliki semua struktur uniknya. Dengan kata lain, ikan diciptakan, bukan berevolusi.
Fosil ikan yang disebut Birkenia dari Skotlandia. Makhluk ini, yang diperkirakan berumur 420 juta
tahun, panjangnya kira-kira 4 cm.
Fosil ikan hiu dari genus Stethacanthus, berumur sekitar 330 juta tahun.
6 Left to Right, up to down
7 Kelompok fosil ikan dari Zaman Mesozoikum.
Fosil ikan berumur 110 juta tahun dari lapisan fosil Santana di Brazil.
Fosil ikan berumur sekitar 360 juta tahun pada Zaman Devon. Dinamai Osteolepis panderi,
panjangnya sekitar 20 cm dan amat mirip dengan ikan masa kini.
6 Skenario “peralihan dari air ke darat”, sering disebutkan dalam buku-buku evolusionis dengan
9 diagram khayalan seperti di atas, sering ditampilkan dengan penalaran cara Lamarck, yang jelas-jelas ilmu
pengetahuan semu.
7 Tidak ada proses “evolusi” dalam asal usul katak. Katak tertua yang diketahui berbeda sama sekali
0 dengan ikan, dan muncul dengan seluruh sifat khasnya. Katak pada masa kita bersifat-sifat sama. Tiada
perbedaan antara katak yang terawetkan di dalam ambar di Republik Dominika dengan spesimen-spesimen
yang hidup sekarang.
7 Fosil Eusthenopteron foordi dari Zaman Devon Akhir ditemukan Kanada.
1
7 Ketika hanya mempunyai fosil-fosil Coelacanth, ahli paleontologi evolusi mengemukakan sejumlah
2 anggapan Darwinis tentang fosil-fosil itu; akan tetapi, ketika contoh-contoh hidup ditemukan, semua
anggapan ini hancur.
Di bawah adalah foto-foto Coelancanth hidup. Foto kanan menunjukkan spesimen terakhir
H Caption
.
Coelacanth, yang ditemukan di Indonesia pada tahun 1998.
7 Left to Right, up to down
3 PERBEDAAN ANTARA SIRIP DAN KAKI
1. Coelacanth
tulang tak menyambung ke tulang belakang
3. Sirip Coelacanth
2. Ichthyostega
tulang menyambung ke tulang belakang.
4. Kaki Ichthyostega
Alasan mendasar mengapa evolusionis membayangkan Coelacanth dan ikan yang serupa adalah
“moyang hewan darat” adalah karena ikan-ikan ini memiliki sirip bertulang. Mereka membayangkan
bahwa sirip-sirip ini secara bertahap menjadi kaki. Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara tulang sirip
ikan dan tulang kaki hewan darat seperti Ichthyosteg. Seperti ditunjukkan Gambar 1, tulang sirip
Coelacanth tak menyambung ke tulang belakang; sedangkan pada Ichthyostega terjadi sebaliknya,
sebagaimana ditunjukkan Gambar 2. Karena alasan ini, pernyataan bahwa sirip berkembang bertahap
menjadi kaki sangat tidak beralasan. Lebih jauh, struktur tulang sirip Coelacanth sangat berbeda dengan
tulang kaki Ichthyostega, sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan 4.
7 Up to down, Left to Right!
5 Biji (kapsul) ginjal
Korteks
Sumsum
Kolom
Piramida di dalam medula
Papila dari piramida
Sinus (seluruh daerah merah muda)
Nefron
Jalur pembuangan kemih
Pembuluh papiler pada piramida
Kaliks kecil
Kaliks besar
Pembuluh arteri
Rongga ginjal
Pembuluh balik
Saluran kemih
Kandung kemih
MASALAH GINJAL
Ikan membuang zat-zat berbahaya dari dalam tubuhnya langsung ke air, sedangkan hewan darat
memerlukan ginjal. Karena alasan ini, skenario peralihan dari air ke daratan membutuhkan ginjal yang
telah berkembang secara tak sengaja.
Akan tetapi, ginjal mempunyai struktur amat rumit, dan lebih lagi, seluruh bagiannya harus ada dan
dalam susunan yang lengkap agar berfungsi. Ginjal yang berkembang 50, atau 70, atau bahkan 90 persen
tak akan dapat berfungsi. Karena teori evolusi bergantung pada anggapan bahwa “organ yang tak
digunakan akan menghilang”, ginjal yang telah berkembang 50 persen akan menghilang dari tubuh pada
H Caption
.
tahap awal evolusi.
7 METAMORFOSIS
6 Katak dilahirkan dalam air, tinggal di sana untuk sementara, dan akhirnya muncul ke daratan dalam
proses yang disebut “metamorfosis”. Sebagian orang berpikir bahwa metamorfosis itu bukti evolusi,
padahal keduanya tak berhubungan sama sekali.
Satu-satunya mekanisme rekaan yang diajukan oleh evolusi hanyalah mutasi. Akan tetapi,
metamorfosis tidak terjadi karena pengaruh-pengaruh kebetulan seperti mutasi. Sebaliknya, perubahan ini
telah tertulis dalam kode genetik katak. Dengan kata lain, sudah jelas bahwa ketika baru lahir, seekor katak
akan berjenis tubuh yang memungkinkannya hidup di daratan. Penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun
belakangan ini menunjukkan bahwa metamorfosis itu sebuah proses rumit yang diatur oleh beraneka gen.
Lebih jauh, hilangnya ekor selama proses ini pun diatur, menurut majalah Science News, oleh lebih dari
selusin gen (Science News, 17 Juli 1999, h. 43).
Pernyataan evolusionis tentang peralihan dari air ke darat mengatakan bahwa ikan, dengan suatu
kode genetik yang dirancang selengkapnya agar memungkinkannya hidup di air, dapat berubah menjadi
makhluk darat sebagai hasil mutasi. Akan tetapi, karena alasan ini, metamorfosis sebenarnya telah
merontokkan evolusi, bukan mendukungnya, karena kesalahan terkecil dalam metamorfosis akan
mengakibatkan makhluk itu mati atau cacat. Terjadinya metamorfosis secara sempurna itu penting. Tak
mungkin suatu proses rumit, yang tak menyisihkan ruang bagi kesalahan, terjadi akibat mutasi tak sengaja,
sebagaimana yang dinyatakan oleh evolusi.
7 TELUR YANG BERBEDA
8 Salah satu ketidakselarasan pada skenario evolusi amfibi-reptil adalah struktur telur. Telur amfibi,
yang berkembang di dalam air, mempunyai struktur seperti agar-agar dan membran berpori, sedangkan
telur reptil, sebagaimana diperlihatkan dalam reka-ulang telur dinosaurus di foto kanan, keras dan kedap
cairan, agar sesuai dengan lingkungan darat. Jika amfibi berubah menjadi reptil, telurnya harus tak sengaja
menjadi telur reptil sempurna, namun, kesalahan terkecil dalam proses seperti ini akan membawa ke
kepunahan spesies itu.
8 KESALAHPAHAMAN TENTANG SEYMOURIA
0 Para evolusionis suatu kali menyatakan bahwa fosil Seymouria pada foto ini adalah bentuk peralihan
antara amfibi dan reptil. Berdasarkan skenario ini, Seymouria adalah “moyang purba reptil.” Akan tetapi,
penemuan-penemuan fosil selanjutnya menunjukkan bahwa reptil hidup di bumi sekitar 30 juta tahun
sebelum Seymouria. Dengan adanya petunjuk ini, para evolusionis harus menghentikan ulasan mereka
tentang Seymouria.
8 Fosil ular sanca dari genus Palaeopython yang berumur sekitar 50 juta tahun.
1
8 Kiri, kura-kura air tawar yang berumur sekitar 45 juta tahun, ditemukan di Jerman. Kanan, kura-kura
2 air laut tertua yang diketahui. Fosil berumur 110 juta tahun ini, yang ditemukan di Brazil, mirip dengan
spesimen-spesimen yang hidup saat ini.
8 Fosil Eudimorphodon, salah satu spesies reptil terbang tertua. Spesimen ini, ditemukan di Italia
3 Utara, berumur sekitar 220 juta tahun.

8 Sebuah fosil reptil terbang dari spesies Pterodactylus kochi. Spesimen ini, yang ditemukan di
4 Bavaria, berumur sekitar 240 juta tahun.
H Caption
.
8 Sayap reptil terbang mengembang sepanjang “jari keempat” sekitar 20 kali panjang jari-jari lainnya.
5 Yang penting di sini adalah struktur sayap yang menarik ini muncul tiba-tiba dan terbentuk sempurna
dalam catatan fosil. Tiada contoh yang menunjukkan bahwa ”jari keempat” ini tumbuh bertahap—dengan
kata lain, berevolusi.
8 Fosil Ichtyosaurus dari genus Stenopterygius, berumur sekitar 250 juta tahun.
6
8 Fosil Ichthyosaurus berumur 200 juta tahun.
6

8 TEORI KHAYALAN, MAKHLUK KHAYALAN


9 Teori pertama yang diajukan evolusionis untuk menjelaskan asal usul terbang menyatakan bahwa
reptil mengembangkan sayapnya sambil memburu lalat (atas); teori kedua adalah reptil menjadi burung
sambil meloncat dari dahan ke dahan (kiri). Akan tetapi, tiada fosil hewan yang mengembangkan sayap
secara bertahap, atau pun temuan lain yang menunjukkan bahwa kejadian ini bahkan mungkin bisa terjadi.
9 SISTEM KERANGKA BURUNG YANG UNIK
1 Tidak seperti kerangka dinosaurus dan reptil, kerangka burung berongga. Ini memberi tubuhnya
kemantapan dan keringanan. Struktur kerangka burung digunakan dalam merancang pesawat terbang,
jembatan, dan bangunan-bangunan mutakhir.
Tulang dinosaurus tebal dan padat karena struktur raksasa yang dimilikinya, sebaliknya kerangka
burung yang masih hidup maupun yang sudah punah berongga sehingga sangat ringan.
9 Left to Right, up to down
3 PARU-PARU REPTIL
aliran udara
alveolus
bronkhi
PARU-PARU BURUNG
aliran udara masuk
parabronkhi
aliran udara keluar
Paru-paru burung berfungsi dengan cara yang sepenuhnya berbeda dengan paru-paru hewan darat.
Hewan darat menghisap dan menghembuskan udara lewat saluran yang yang sama. Sebaliknya, udara di
paru-paru burung terus-menerus melalui paru-paru dalam satu arah. Ini dimungkinkan oleh kantung udara
khusus sepanjang paru-paru. Berkat sistem ini, yang rinciannya bisa dilihat di halaman sebelah, burung
bernapas tanpa henti. Rancangan ini khas milik burung, yang memerlukan oksigen dalam jumlah banyak
ketika terbang. Struktur seperti ini mustahil muncul dari paru-paru reptil, karena makhluk apa pun dengan
bentuk “peralihan” di antara kedua jenis paru-paru tak bisa bernapas.
9 SISTEM PERNAPASAN YANG KHAS PADA BURUNG
4 trakea
kantung udara depan
paru-paru
kantung udara belakang
Udara segar
Udara segar
H Caption
.
Udara kotor
Trakea
Udara segar tidak melewati kantung udara depan
Kantung udara belakang diisi dengan udara segar
Kantung udara depan diisi udara kotor dari paru-paru
Paru-paru
MENGHISAP NAPAS: Udara yang memasuki saluran pernapasan burung pergi ke paru-paru, dan
kantung-kantung udara di belakangnya. Udara yang digunakan dipindahkan ke kantung udara depan.
Udara kotor
Udara segar keluar dari kantung udara belakang ke paru-paru.
Udara kotor dikeluarkan dari kantung udara depan.
Paru-paru
MENGHEMBUSKAN NAPAS: Ketika seekor burung menghembuskan napas, udara segar di
kantung udara belakang masuk ke paru-paru. Dengan sistem ini, burung bisa menikmati pasokan
sinambung udara segar ke paru-paru.
Ada banyak rincian dalam sistem paru-paru ini, yang ditunjukkan dalam bentuk yang sangat
disederhanakan pada bagan-bagan di samping. Misalnya, ada katup-katup khusus tempat kantung udara
menyatu ke paru-paru, yang memungkinkan udara mengalir ke arah yang benar. Semua ini menunjukkan
bahwa ada rancangan yang jernih bekerja di sini. Rancangan ini tak hanya melontarkan pukulan telak
terhadap teori evolusi, namun juga bukti nyata penciptaan.
9 Pembuluh-pembuluh parabronkhi, yang memungkinkan udara beredar dengan arah yang benar
6 dalam paru-paru burung. Setiap pembuluh ini bergaris tengah hanya 0,5 mm.
9 SISIK REPTIL
7 Sisik-sisik yang menutupi tubuh reptil berbeda sama sekali dengan bulu burung. Tak seperti bulu,
sisik tidak menjangkau ke bawah kulit, tetapi sekadar satu lapisan keras di permukaan tubuh hewan. Secara
genetis, biokimiawi, dan anatomis, sisik tak memiliki kemiripan dengan bulu. Perbedaan besar di antara
kedua struktur ini menunjukkan sekali lagi bahwa skenario evolusi dari reptil ke burung tidak berdasar.
9 Fosil Sinosauropteryx, yang diumumkan oleh ahli paleontologi evolusi sebagai “dinosaurus
8 berbulu,” tetapi kemudian ternyata tidak demikian.

9 STRUKTUR RUMIT BULU BURUNG


9 Ketika bulu burung dipelajari lebih dekat, suatu rancangan yang rumit tampak. Bahkan ada bulu
lebih halus di setiap bulu halus, dan memiliki kait-kait istimewa, yang memungkinkan bulu-bulu saling
menggamit. Foto-foto menunjukkan bulu burung yang terus diperbesar.
1 Salah satu potongan petunjuk penting bahwa Archaeopteryx itu seekor burung terbang adalah
01 struktur bulunya yang tak-padan (asimetris). Foto salah satu sayap fosil makhluk ini.

1 Seperti Archaeopteryx, ada kuku-kuku mirip cakar pada sayap-sayap burung Opisthocomus hoazin,
03 yang hidup di zaman kita.

1 Confuciusornis, yang hidup di zaman yang sama dengan Archaeopteryx, memiliki banyak kemiripan
06 dengan burung masa kini
H Caption
.
1 Pencapaian besar National Geographic, “burung dino” yang sempurna. Archaeoraptor segera
08 ternyata sebuah penipuan. Semua calon “burung dino” lainnya bersifat duga-dugaan.

1 PETUNJUK TERAKHIR: PENELITIAN TENTANG BURUNG UNTA MEMBANTAH CERITA


10 BURUNG DINO
Pukulan terbaru bagi teori “burung berevolusi dari dinosaurus” datang dari kajian tentang embriologi
burung unta.
Dr. Alan Feduccia dan Julie Nowicki dari University of North Carolina di Chapel Hill mempelajari
sejumlah telur burung unta hidup dan, sekali lagi menyimpulkan bahwa mustahil ada hubungan evolusi
antara burung dan dinosaurus. EurekAlert, sebuah portal ilmiah yang dikelola oleh AAAS (American
Association for the The Advancement of Science), melaporkan yang berikut:
Dr. Alan Feduccia dan Julie Nowicki dari University of North Carolina di Chapel Hill... membuka
sederetan telur burung unta hidup pada berbagai tahap perkembangan dan menemukan yang mereka yakini
sebagai bukti bahwa burung tak mungkin berasal dari dinosaurus...
Apa pun moyang burung-burung, ia harus berjari lima, bukan berjari tiga seperti dinosaurus
teropoda,“ ia [Feduccia] mengatakan...”Para ilmuwan setuju bahwa dinosaurus mengembangkan ‘tangan’
dengan satu, dua, dan tiga jari... Akan tetapi, penelitian kami atas janin burung unta, menunjukkan secara
meyakinkan bahwa pada burung, hanya jari-jari kedua, ketiga, dan keempat, yang pada manusia setara
dengan jari kelingking, jari tengah, dan jari manis, berkembang, dan kami mempunyai foto-foto yang
membuktikannya”, kata Feduccia, seorang profesor dan mantan ketua jurusan biologi di UNC. “Ini
menciptakan masalah baru bagi mereka yang bersikeras bahwa dinosaurus adalah moyang burung-
burung masa kini.” Misalnya, bagaimanakah bisa tangan burung yang berjari dua, tiga, dan empat,
muncul dari tangan dinosaurus yang hanya berjari satu, dua, dan tiga ? Itu hampir mustahil.”1
Dalam laporan yang sama, Dr. Freduccia juga membuat ulasan penting tentang ketaksahihan—dan
kedangkalan—teori “burung berevolusi dari dinosaurus”:
“Ada masalah-masalah yang tak terpecahkan dengan teori itu,” ia [Dr. Feduccia] mengatakan. “Di
luar yang telah kami laporkan, ada masalah waktu dalam hal dinosaurus yang di permukaan mirip burung
hidup sekitar 25-80 juta tahun setelah burung tertua yang diketahui, yang berumur 150 juta tahun.”
Jika tulang ayam dan tulang dinousaurus diamati lewat mikroskop, keduanya terlihat sama, tetapi
pengamatan yang dekat dan rinci menyingkapkan banyak sekali perbedaan, kata Feduccia. Misalnya,
dinousaurus teropoda bergigi melengkung dan seperti gergaji, namun burung tertua bergigi lurus mirip
pasak, bukan gergaji. Keduanya juga mempunyai cara berbeda untuk penanaman dan pergantian gigi.”2
Petunjuk ini sekali lagi mengungkapkan bahwa ribut-ribut “burung dino” hanyalah “ikon” lain
Darwinisme: dongeng yang didukung hanya demi keyakinan dogmatis kepada teori itu.
1
David Williamson, “Scientit Says Ostrich Study Confirms Bird ‘Hands’ Unlike those of Dinosaurs,”
EurekAlert, 14 Agustus 2002, http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php,
2
David Williamson, “Scientit Says Ostrich Study Confirms Bird ‘Hands’ Unlike those of Dinosaurs,”
EurekAlert, 14 Agustus 2002, http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php.
Foto:
Dr. Feduccia: Kajian terbarunya cukup untuk mengubur dongeng “burung dino”.
1 Tiada perbedaan antara fosil lipas yang berumur 320 juta tahun dengan spesimen yang hidup
11 sekarang.
H Caption
.
1 Left to Right, Up to Down:
12 Luing Acantherpestes major ini, yang ditemukan di Kansas, Amerika Serikat, berumur sekitar 300
juta tahun, dan tak berbeda dengan luing masa kini.
Fosil lalat yang berumur 145 juta tahun. Fosil yang ditemukan di Liaoning, Cina ini serupa dengan
lalat dari spesies yang sama yang hidup sekarang.
Semua serangga bersayap muncul tiba-tiba dalam catatan fosil, dan sejak itu, semuanya telah
berstruktur sempurna sama seperti saat ini. Fosil capung yang berumur sekitar 320 juta tahun di atas
dikatakan sebagai spesimen tertua dan tak berbeda dengan capung yang hidup saat ini. Tiada “evolusi”
telah terjadi.
1 Fosil lalat, terjebak dalam ambar 35 juta tahun yang lalu. Fosil ini ditemukan di pantai Laut Baltik,
14 juga tak berbeda dengan lalat hidup di zaman kita.

1 Tiada perbedaan antara lusinan fosil mamalia yang berumur jutaan tahun di museum sejarah alam
16 dan mamalia yang hidup sekarang. Lebih lagi, fosil-fosil ini muncul tiba-tiba, tanpa kaitan dengan spesies
yang telah punah.
1 Evolusi kuda yang ditampilkan di Museum Sejarah Alam di London. Bagan ini dan bagan “evolusi
19 kuda” lainnya menunjukkan spesies mandiri yang hidup pada zaman dan tempat berbeda, dibariskan
dengan penyajian yang sangat sepihak. Padahal, tidak ada penemuan ilmiah tentang evolusi kuda.
1 Sistem sonar kelelawar lebih peka dan berdaya guna daripada sistem sonar hasil teknologi yang telah
21 dikembangkan sejauh ini.

1 Fosil kelelawar tertua yang diketahui, ditemukan di Wyoming, Amerika Serikat. Berumur 50 juta
22 tahun, tiada perbedaan antara fosil ini dengan kelelawar hidup masa kini.

1 Mamalia laut mempunyai sistem yang benar-benar khas. Sistem ini dirancang dengan cara terbaik
23 bagi lingkungan tempat makhluk-makhluk ini hidup.

1 PENYIMPANGAN DALAM REKA-ULANG NATIONAL GEOGRAPHIC


24 Ahli paleontologi percaya bahwa Pakicetus adalah mamalia berkaki empat. Struktur kerangka di
gambar kiri, yang disiarkan majalah Nature, memperlihatkan dengan jelas hal ini. Jadi, reka-ulang
Pakicetus (kiri bawah) oleh Carl Buell, yang didasarkan pada struktur itu, sesuai dengan kenyataan.
Akan tetapi, National Geographic memilih menggunakan sebuah gambar Pakicetus “berenang”
(bawah) dengan maksud melukiskan hewan ini sebagai “paus berjalan” dan menanamkan citra itu kepada
para pembacanya. Kesenjangan gambar yang dimaksudkan untuk membuat Pakicetus lebih terlihat “mirip
paus” segera tampak: hewan itu ditampilkan dalam sikap “berenang.” Kaki-kaki belakangnya digambarkan
sedang mengayuh, dan kesan “sirip” telah diberikan.
Reka-ulang Pakicetus oleh National Geographic
1 Ambulocetus-nya National Geographic: tungkai belakang hewan ini digambarkan bukan dengan
26 tungkai bawah yang mendukung berjalan, tetapi sebagai sirip yang akan membantunya berenang. Akan
tetapi, Carroll, yang mengamati tulang-tulang tungkai itu, mengatakan hewan ini berkemampuan bergerak
cepat di daratan.
Ambulocetus yang sebenarnya: tungkainya benar-benar tungkai, bukan “sirip,” dan tiada selaput
khayalan di antara jari-jari kakinya sebagaimana telah ditambahkan National Geographic. (Gambar dari
H Caption
.
buku Carroll: Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, h. 335).
1 PERBEDAAN MORFOLOGIS BESAR DI ANTARA HEWAN-HEWAN YANG DINYATAKAN
35 TELAH BERASAL DARI SATU SAMA LAIN
Sejauh ini, kita telah melihat bahwa aneka spesies muncul di bumi tanpa “bentuk peralihan”
evolusif. Spesies-spesies itu tampak dalam catatan fosil dengan perbedaan-perbedaan besar sehingga
mustahil membangun kaitan evolusi di antara mereka.
Ketika kita membandingkan struktur kerangka spesies-spesies ini, fakta ini sekali lagi tampak
dengan jelas. Hewan-hewan yang dikatakan berkaitan evolusi sangat berbeda. Kini kita akan menelaah
beberapa contoh. Semua gambar diambil dari buku-buku evolusionis oleh para pakar vertebrata.
(Sebagaimana juga diperbandingkan oleh Michael Denton di dalam bukunya Evolution: A Theory in Crisis,
1986)
Reptil laut Mesosaurus, disangkakan telah berevolusi dari Hylonomus.
Reptil laut Ichthyosaurus, disangkakan telah berevolusi dari Hylonomus.
Hylonomus, reptil laut tertua yang diketahui.
Dua spesies reptil laut, dan hewan darat yang dinyatakan para evolusionis sebagai moyang
terdekatnya. Perhatikan perbedaan sangat besar di antara ketiganya.
1 Kerangka Plesiosaurus tertua yang diketahui.
36 Kerangka Araeoscelis, reptil Zaman Perm Awal
Plesiosaurus, reptil laut tertua yang diketahui, dan kerabat darat terdekatnya menurut evolusionis.
Tiada kemiripan di antara keduanya.
1 Contoh biasa paus tertua yang diketahui, Zygorhiza kochii, dari Zaman Eosen.
36 Moyang paus adalah bahan perdebatan di kalangan tokoh evolusionis, tetapi sebagian mereka telah
memutuskan Ambulocetus. Gambar di samping adalah Ambulocetus, sejenis tetrapoda biasa.
Paus awal dan yang dinyatakan evolusionis sebagai moyang terdekatnya. Perhatikan bahwa tiada
kesamaan di antara keduanya. Bahkan calon terbaik yang telah ditemukan oleh evolusionis sebagai
moyang paus tak berkaitan sama sekali dengan ikan ini.
1 Dimorphodon, salah satu reptil terbang tertua yang diketahui, contoh biasa kelompok ini.
37 Archaeopteryx, burung tertua yang diketahui.
Reptil darat Euparkeria, dinyatakan oleh banyak tokoh evolusionis sebagai moyang burung dan
reptil terbang.
Burung tertua yang diketahui (Archaeopteryx), reptil terbang, dan reptil darat yang dinyatakan
evolusionis sebagai moyang terdekat hewan-hewan ini. Perbedaan di antara ketiganya sangat besar.
1 Kerangka kelelawar tertua yang diketahui (Icaronycteris) dari Zaman Eosen.
37 Cucurut masa kini, yang memiliki kesamaan sangat dekat dengan pemakan serangga kuno yang
dinyatakan sebagai moyang kelelawar.
Kelelawar tertua yang diketahui, dan yang dinyatakan evolusionis sebagai moyang terdekatnya.
Perhatikan perbedaan besar antara kelelawar dan makhluk yang dinyatakan sebagai moyangnya.
1 Kerangka anjing laut masa kini, sebenarnya sama dengan anjing laut tertua yang diketahui dari
38 Zaman Miosen.
Cynodictis gregarius, mamalia darat pemakan daging yang dipercaya evolusionis sebagai moyang
terdekat anjing laut.
Kerangka anjing laut biasa, dan yang dipercayai evolusionis sebagai moyang darat terdekatnya.
Lagi, ada perbedaan besar di antara keduanya.
H Caption
.
1 Halitherium, sapi laut awal dari Zaman Oligosen.
38 Hyrax, yang dianggap sebagai moyang darat terdekat dari sirenia (mamalia air bertubuh besar
pemakan tetumbuhan) yang mencakup juga sapi laut.
Sapi laut, dan makhluk yang dikatakan evolusionis sebagai moyang darat terdekatnya.
1 Dua tokoh terkenal pendukung model evolusi bersela: Stephen Jay Gould dan Niles Eldredge.
43
1 Richard Dawkins, sibuk mencuci otak kaum muda lewat propaganda Darwinis.
45
1 Tiada petunjuk ilmiah bagi pernyataan bahwa manusia berevolusi. Yang diajukan sebagai “bukti”
48 tidak lebih dari ulasan sepihak atas sedikit fosil.

1 Tengkorak dan kerangka Australopithecus sangat mirip dengan kera masa kini. Gambar di samping
51 menunjukkan simpanse di kiri dan kerangka Australopithecus afarensis di kanan. Adrienne L. Zhilman,
profesor anatomi yang menggambarnya, menekankan bahwa struktur kedua kerangka ini sangat mirip.
Tengkorak Australopithecus robustus. Memiliki kemiripan yang dekat dengan kera masa kini...
1 “SELAMAT TINGGAL LUCY”
52 Penemuan ilmiah telah membuat anggapan evolusionis tentang “Lucy”, yang kali pertama dijadikan
sebagai contoh penting genus Australopithecus, sama sekali tak berdasar. Majalah ilmiah terkenal di
Perancis, Science et Vie, mengakui kebenaran ini dengan judul sampul “Selamat Tinggal Lucy” pada
terbitan Februari 1999-nya, dan menegaskan bahwa Australopithecus tak bisa dijadikan sebagai moyang
manusia.
1 AFARENSIS DAN SIMPANSE
53 Gambar atas adalah tengkorak Australopithecus afarensis AL 444-2, dan di bawahnya tengkorak
simpanse masa kini. Kesamaan yang jelas di antara keduanya adalah sebuah tanda yang nyata bahwa A.
afarensis itu spesies kera biasa, tanpa sifat-sifat manusia.
1 Tulang paha KNM-ER 1472. Tulang paha ini tiada bedanya dengan manusia modern. Penemuan
55 fosil di lapisan tanah yang sama dengan fosil Homo habilis, walaupun berjarak beberapa kilometer,
memunculkan pandangan yang salah, misalnya bahwa Homo habilis berjalan tegak. Fosil OH 62,
ditemukan pada tahun 1987, menunjukkan bahwa Homo habilis tidak berjalan tegak, seperti yang telah
diyakini. Sebagian besar ilmuwan kini menerima bahwa Homo habilis adalah spesies kera yang sangat
mirip dengan Australopithecus.
1 Fred Spoor
56 Pernyataan bahwa Australopithecus dan Homo habilis berjalan tegak dibantah oleh analisis telinga
dalam yang dilakukan oleh Fred Spoor. Ia bersama kelompoknya membandingkan pusat-pusat
keseimbangan di telinga dalam, dan menunjukkan kedua spesies bergerak dengan cara yang sama seperti
kera masa kini.
1 Richard Leakey menyesatkan diri dan dunia paleontologi tentang Homo rudolfensis.
57
1 Tonjolan besar alis pada tengkorak Homo erectus, dan ciri-ciri seperti dahi yang condong ke
59 belakang, bisa dilihat dalam sejumlah ras zaman sekarang, seperti pribumi Malaysia yang ditunjukkan di
sini.
1 HOMO ERECTUS BERUSIA 10 RIBU TAHUN
61 Dua tengkorak ini, yang ditemukan pada tanggal 10 Oktober 1967 di Kow Swamp, Victoria,
H Caption
.
Australia, diberi nama Kow Swamp I dan Kow Swamp V.
Alan Thorne dan Philip Macumber yang menemukan kedua tengkorak ini, menafsirkan keduanya
sebagai tengkorak Homo sapiens, padahal keduanya memiliki banyak ciri yang mengingatkan kita pada
Homo erectus. Satu-satunya alasan mengapa keduanya dianggap Homo sapiens adalah fakta bahwa
keduanya diperkirakan berumur 10 ribu tahun. Para evolusionis tak berharap menerima fakta bahwa Homo
erectus, yang mereka anggap sebagai spesies “purba” dan hidup 500 ribu tahun sebelum manusia masa
kini, adalah suatu ras manusia yang hidup 10 ribu tahun yang lalu.
1 HOMO ERECTUS DAN ORANG ABORIGIN
62 Kerangka Pemuda Turkana (Turkana Boy) yang ditunjukkan di samping adalah contoh terbaik
Homo erectus yang sejauh ini telah ditemukan. Yang menarik adalah ketiadaan perbedaan besar antara
fosil yang berumur 1,6 juta tahun ini dan manusia zaman sekarang. Kerangka orang Aborigin Australia di
atas secara khusus menyerupai Pemuda Turkana. Keadaan ini menyingkapkan sekali lagi bahwa Homo
erectus benar-benar ras manusia, tanpa ciri-ciri “purba”.
1 KEBUDAYAAN BERLAYAR HOMO ERECTUS
63 “Ancient mariners: Early humans were much smarter than we suspected “ (Pelaut purba: manusia
kuno lebih pintar dari yang kita sangka). Menurut artikel New Scientist terbitan 14 Maret 1998 ini, manusia
yang dinamai Homo erectus oleh evolusionis, telah melakukan pelayaran sejak 700 ribu tahun yang lalu.
Tentu saja, mustahil menganggap manusia yang mempunyai pengetahuan, teknologi, dan budaya berlayar
sebagai purba.
1 NEANDERTHAL: RAS MANUSIA
65 Di samping, tampak tengkorak Homo sapiens neanderthalensis Amud I, ditemukan di Israel.
Tingginya diperkirakan 1,8 meter. Isi otaknya sama besar dengan manusia masa kini: 1,740 cc. Di bawah,
tampak sebuah fosil kerangka ras Neanderthal, dan sebuah alat batu yang diyakini telah digunakannya. Ini
dan penemuan-penemuan serupa menunjukkan bahwa Neanderthal benar-benar ras manusia yang punah
ditelan waktu.
1 JARUM JAHIT NEANDERTHAL
66 Jarum berumur 26 ribu tahun: temuan menarik ini menunjukkan bahwa manusia Neanderthal
berpengetahuan menjahit baju sejak puluhan ribu tahun yang lalu (D. Johanson, B. Edgar, From Lucy to
Language, h. 99).
SERULING NEANDERTHAL
Seruling Neanderthal terbuat dari tulang. Perhitungan yang dilakukan atas artefak ini menunjukkan
bahwa lubang-lubang dibuat agar menghasilkan nada yang benar, dengan kata lain, inilah alat musik yang
dirancang secara piawai.
Foto di atas adalah perhitungan Bob Fink atas seruling itu.
Bertentangan dengan propaganda evolusionis, penemuan-penemuan semacam ini menunjukkan
bahwa manusia Neanderthal telah berperadaban, bukan manusia gua kuno. (The AAAS Science News
Service, “Neanderthals Lived Harmoniously,” 3 April 1997).
1 PROPAGANDA FAKTA YANG TAK ADA
67 Meskipun penemuan-penemuan fosil menunjukkan bahwa manusia Neanderthal tak bersifat “purba”
jika dibandingkan dengan kita dan adalah satu ras manusia, prasangka para evolusionis terhadap mereka
berlanjut tanpa berkurang. Kadang kala Manusia Neanderthal masih digambarkan sebagai “manusia kera”
pada sejumlah museum evolusionis, sebagaimana ditunjukkan gambar di samping. Inilah suatu tanda
bahwa Darwinisme bersandar pada prasangka dan propaganda, bukan pada penemuan ilmiah.
H Caption
.
1 Sebuah tengkorak umum manusia Cro-Magnon.
69
1 Sebuah tulang muka yang ditemukan di Atapuerca di Spanyol, menunjukkan bahwa manusia dengan
73 struktur wajah yang sama dengan kita telah hidup pada 800 ribu tahun yang lalu.

1 Reka-ulang tengkorak dari fosil Atapuerca (kiri) menggambarkan kesamaan yang luar biasa dengan
74 manusia modern (kanan).

1 Jejak kaki manusia yang berumur 3,6 juta tahun di Laetoli, Tanzania.
76
1 AL 666-1: RAHANG MANUSIA YANG BERUMUR 2,3 JUTA TAHUN
77 Fosil AL 666-1 ditemukan di Hadar, Ethiopia, bersama-sama dengan fosil A. afarensis. Tulang
rahang yang berumur 2,3 juta tahun ini berciri-ciri sama dengan Homo sapiens.
AL 666-1 tidak sama dengan tulang rahang A. afarensis yang ditemukan bersamanya, dan juga tidak
sama dengan rahang Homo habilis yang berumur 1,75 juta tahun. Rahang kedua spesies ini, dengan bentuk
sempit dan perseginya, sama dengan kera yang hidup sekarang.
Walaupun tiada keraguan bahwa AL 666-1 milik spesies “Homo” (manusia), ahli paleontologi
evolusi tak menerima kenyataan ini. Mereka menahan diri membuat ulasan apa pun tentangnya, sebab
rahang ini dihitung berumur 2,3 juta tahun—dengan kata lain, jauh lebih tua daripada umur yang mereka
sepakati bagi ras Homo atau manusia.
Left to Right, Up to Down:
AL-666-1, rahang Homo sapiens (manusia) berumur 2,3 juta tahun.
Tampak samping AL 666-1
Fosil AL 222-1, sebuah rahang A. afarensis dari masa yang sama dengan AL 666-1.
AL 222-1—tampak samping. Tampak samping kedua rahang ini membuat perbedaan di antara
keduanya lebih menyolok. Rahang AL 222-1 menonjol. Inilah ciri mirip kera. Namun, rahang AL 666-1 di
atas sepenuhnya berciri manusia.
1 VARIASI KERANGKA DI ANTARA RAS MANUSIA MODERN
78 Ahli paleontologi evolusi menampilkan berbagai fosil manusia Homo erectus, Homo sapiens
neanderthalensis, dan Homo sapiens kuno sebagai menandakan pelbagai spesies atau subspesies pada garis
evolusi. Mereka mendasarkan ini pada perbedaan di antara tengkorak fosil-fosil ini. Akan tetapi,
perbedaan-perbedaan ini sebenarnya mencakup keanekaragaman di antara ras-ras manusia yang pernah
ada, sebagiannya telah punah atau berbaur. Perbedaan ini makin tidak menyolok sambil ras-ras manusia
saling bercampur sepanjang waktu.
Meskipun demikian, perbedaan yang cukup menyolok ini tetap dapat diamati di antara ras manusia
yang hidup sekarang. Semua tengkorak pada halaman ini, yang dimiliki oleh manusia masa kini (Homo
sapiens sapiens), adalah contoh perbedaan-perbedaan ini. Menunjukkan perbedaan struktur yang serupa di
antara ras-ras yang hidup di masa lalu sebagai petunjuk bagi evolusi sekadar sangat sepihak.
Pribumi Peru dari abad ke-15
Orang Bengali setengah baya
Laki-laki dari Pulau Solomon (Melanesia) yang mati di tahun 1893
Laki-laki Jerman berumur 25-30
Laki-laki Kongo berumur 35-40
H Caption
.
Laki-laki Inuit berumur 35-40
1 Up to Down:
80 Tulang belikat
Sendi panggul
Tulang panggul
Tulang duduk
Tulang kemaluan
Kerangka manusia dirancang berjalan tegak. Akan tetapi kerangka kera, dengan cara berdiri yang
condong ke depan, kaki yang pendek, dan tangan yang panjang, cocok untuk berjalan dengan empat kaki.
Tak mungkin ada “bentuk peralihan” di antara keduanya, sebab bentuk itu sama sekali tak bermanfaat.
1 Tangan dan kaki kera melengkung dengan cara yang sesuai untuk hidup di pohon.
81
1 Gambar-gambar reka-ulang hanya mencerminkan khayalan evolusionis, bukan penemuan ilmiah.
84
1 Selama 40 tahun, manusia Piltdown diterima sebagai petunjuk terbesar bagi evolusi manusia. Para
86 pakar fosil evolusionis menyatakan telah menemukan banyak ciri peralihan pada tengkorak ini. Tak berapa
lama kemudian diketahui bahwa fosil itu sebuah pemalsuan.
1 Manusia Nebraska, dan Henry Fairfield Osborn, yang menamainya.
88
1 Pada masa Darwin, telah terpikir bahwa sel mempunyai struktur yang sangat sederhana. Pendukung
92 kuat Darwin, Ernst Haeckel mengusulkan bahwa lumpur yang diangkat dari dasar laut pada gambar kanan
dapat menghasilkan kehidupan dengan sendirinya.
1 Fred Hoyle
93
1 Arah jarum jam, masing-masing UNSUR LUAR
94 RINCIAN 1: Membran Plasma (Lapis Rangkap Lipida)
• Mengatur pertukaran zat antara bagian dalam dan luar sel.
Glikoprotein
Protein Membran Permukaan
Protein Integral
Protein Tepian
Kolesterol
Protein Saluran Transmembran
Molekul Fosfolipida
RINCIAN 2: Selaput Inti
• Melapis membran lapis rangkap fosfolipida yang memisahkan isi inti dari sitoplasma.
Butiran-butiran Pori Inti
Butiran Tengah
Pori Inti
RINCIAN 3: Kerangka Sito
• Memberikan susunan struktural bagi sel
Mitokondria
Benang Mikrotabekular
H Caption
.
Mikrotubula
Polisom
Rincian 4 (tanpa nama)
Lengan Dinein
• Kegiatan enzimatis (protein) dinein melepaskan tenaga yang diperlukan untuk pergerakan dari
ATP
9 + 2 pasang Mikrotubula
Membran Plasma

Arah jarum jam INTI SEL


Badan Golgi
• Mengubah, menyebarkan, dan mengemas hasil-hasil yang dilepaskan
• Menyebarkan dan mendaur-ulang membran sel.
Butiran Pelepas
Lisosom
Saku Golgi
Muka Pembuat Masak dari Alat Golgi
Saku Golgi
Muka Pembentuk dari Alat Golgi
Sitosol
• Cairan dalam sel mirip agar-agar tempat banyak reaksi kimia sel terjadi
Membran Plasma (Lihat RINCIAN 1)
SER (Retikulum Endoplasma Halus)
• Sintesis lipida
• Peran dalam penawaran racun
• Tanpa ribosom
Ribosom
• Mengandung RNA dengan kadar tinggi
• Peran penting dalam sintesis protein
RER (Retikulum Endoplasma Kasar)
• Pemisahan, pengubahan, dan pengangkutan protein-protein dan enzim-enzim lisosom
• Membran yang ditutupi ribosom
Flagel
• Struktur mikrotubular yang tumbuh dari badan basal. Digunakan untuk gerak bolak-balik.
Badan Basal Flagel
• Secara struktur, sama dengan sentrosom
Krista
Ruang Matriks
Membran Luar dan Membran Dalam Mitokondria
Mitokondria
• Pembangkit daya bagi sel
• Memberikan tenaga berbentuk ATP lewat fosforilasi teroksidasi
Pori Inti
H Caption
.
• Tempat khusus mudah ditembus di permukaan inti yang memungkinkan molekul-molekul makro
tertentu lewat di antara inti dan sitoplasma
Selaput Inti (lihat RINCIAN 2)
Anak Inti (Nukleolus)
• Tempat RNA ribosom dirakit, diolah, dan dikemas dengan protein menjadi sub-subsatuan ribosom.
Inti
• Mengandung DNA kromosom yang dikemas menjadi serat warna
• Memainkan peran utama dalam pewarisan
• Mengendalikan kegiatan sel
Sentrosom / Sentriol
• Organel-organel yang mengandung 9 bungkus trio mikrotubula
• Berperan penting dalam pembelahan sel
Rongga pemindahan
Mikrotubula
1 Struktur rumit tiga dimensi protein sitokrom-C. Perbedaan kecil saja pada urutan asam aminonya,
96 yang diwakili bola-bola kecil, akan membuat protein tak berfungsi.

1 L – Asam amino tangan kiri


99 D – Asam amino tangan kanan
Isomer tangan kiri (L) dan kanan (D) protein yang sama. Protein pada makhluk hidup hanya
mengandung asam amino tangan kiri.
2 SINTESIS PROTEIN
02 Ribosom membaca RNA kurir (mRNA), dan menyusun asam amino menurut informasi yang
diterimanya di sini. Pada gambar, urutan berturut-turut asam-asam amino valin, sistein, dan alanin yang
disusun oleh ribosom dan RNA transfer (tRNA) dapat terlihat. Semua protein di alam dihasilkan melalui
proses rumit ini. Tak ada protein yang muncul karena “ketaksengajaan.”
Asam amino
RNA transfer
Kodon
RNA kurir
Ribosom
Urutan protein
Val –Valin
Sis –Sistin
Ala –Alanin
2 Stanley Miller dengan peralatan percobaannya.
07
2 Atmosfer buatan yang dibuat oleh Miller dalam percobaannya sebenarnya tak mirip sama sekali
09 dengan atmosfer bumi purba.

2 Saat ini, Miller juga mengakui bahwa percobaannya di tahun 1953 sangat jauh dari menerangkan
10 asal usul kehidupan.
H Caption
.
2 “PROTEINOID” FOX
14 Sydney Fox, yang terpengaruh oleh skenario Miller, membentuk molekul-molekul di atas, yang
disebutnya “proteinoid,” dengan menggabungkan asam-asam amino. Akan tetapi, ikatan asam amino yang
tak berfungsi ini tak memiliki kesamaan dengan protein sebenarnya yang membangun tubuh organisme
hidup. Sesungguhnya, semua usaha ini tak hanya menunjukkan bahwa kehidupan bukan hanya tak muncul
secara kebetulan, tetapi juga tak dapat dikembangbiakkan di lingkungan laboratorium.
2 Ketika menemukan struktur DNA, Watson dan Crick menunjukkan bahwa kehidupan lebih rumit
16 daripada yang pernah terpikirkan.

2 Kode-kode DNA dari gen beta-globin. Kode-kode ini menyusun salah satu bagian hemoglobin yang
18 mengangkut oksigen dalam darah. Yang penting adalah jika ada satu saja kesalahan pada kode-kode ini,
protein yang dihasilkan akan sama sekali tak berguna.
2 Informasi luar biasa yang disimpan di dalam DNA ini membuktikan bahwa kehidupan tak muncul
19 secara kebetulan, namun sengaja dirancang. Tiada proses alamiah yang dapat menjadi asal usul DNA.

2 Gambar ini menunjukkan sketsa reaksi kimia yang terjadi di dalam satu sel. Kegiatan-kegiatan
25 tumpang-tindih di dalam sel ini, yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron, berlangsung tanpa
cacat dan tanpa henti.
2 Menurut “pohon kehidupan” yang diajukan oleh evolusionis, gurita termasuk makhluk yang terjauh
29 dari manusia. Tetapi, mata gurita sebenarnya mempunyai struktur yang sama dengan mata kita. Inilah
sebuah pertanda bahwa kesamaan struktur bukan petunjuk bagi evolusi.
2 Sayap pada reptil terbang, burung, dan kelelawar. Sayap-sayap ini, yang mungkin tak berkaitan
30 evolusi, mempunyai kesamaan struktur.

2 Dimulai dari kangguru, semua mamalia di benua Australia termasuk ke subkelas “hewan
31 berkantung” atau marsupialia. Menurut evolusionis, semua makhluk ini tak berkaitan evolusi dengan
mamalia plasental di belahan lain bumi.
2 Kehadiran spesies “kembar” antara mamalia-mamalia marsupial dan plasental melontarkan pukulan
32 telak terhadap pernyataan homologi. Misalnya, serigala Tasmania yang marsupial (atas) dan serigala
plasental yang ditemukan di Amerika Utara saling menyerupai dengan derajat yang luar biasa. Di samping,
tampak tengkorak kedua hewan yang sangat mirip ini. Kemiripan sedemikian dekat di antara keduanya,
yang tak bisa dikatakan memiliki “kaitan evolusi”, membantah habis pernyataan homologi.
Tengkorak serigala Amerika Utara.
Tengkorak serigala Tasmania.
DUA MAMALIA PUNAH TAK BERKERABAT DENGAN GIGI RAKSASA
Contoh lain kemiripan luar biasa di antara “kembaran” mamalia plasental dan marsupial adalah
antara mamalia punah Smilodon (kanan) dan Thylacosmilus (kiri), keduanya pemangsa bergigi depan
sangat besar. Derajat kemiripan yang tinggi pada struktur tengkorak dan gigi di antara kedua mamalia yang
tidak mungkin dibangun kaitan evolusinya, menjungkalkan pandangan homologis bahwa kemiripan
struktur adalah petunjuk yang mendukung evolusi.
2 Fakta bahwa hampir semua vertebrata darat berstruktur tulang lima jari (pentadaktil) pada tangan
35 dan kakinya telah bertahun-tahun disajikan sebagai “petunjuk kuat bagi Darwinisme” dalam penerbitan-
penerbitan evolusionis. Akan tetapi, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa struktur tulang ini diatur
H Caption
.
oleh gen-gen yang amat berbeda. Karena alasan ini, anggapan “homologi pentadaktilisme” telah runtuh.
2 DONGENG KEMIRIPAN MANUSIA-SIMPANSE TELAH MATI
39 Dalam waktu yang cukup lama, kalangan evolusionis telah menyebarkan tesis yang tak terbukti
bahwa antara manusia dan simpanse, ada perbedaan genetis yang sangat kecil. Dalam setiap pustaka
evolusionis, Anda dapat membaca kalimat-kalimat semacam “kita 99 persen mirip simpanse” atau “hanya
satu persen DNA yang menjadikan kita manusia.” Meskipun tiada pembandingan yang meyakinkan antara
genom-genom manusia dan simpanse telah dilakukan, pemikiran Darwinis telah mendorong mereka
beranggapan bahwa hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua spesies.
Sebuah penelitian pada Oktober 2002 mengungkapkan bahwa propaganda evolusionis dalam hal ini,
seperti hal-hal yang lain, keliru sama sekali. Manusia dan simpanse tak “mirip 99%” seperti yang
didongengkan oleh para evolusionis. Kesamaan genetis tak lebih dari 95%. Sebuah kisah berita yang
dilaporkan oleh CNN.com, berjudul “Humans, chimps more different than thought” (Manusia, simpanse
lebih berbeda daripada yang disangka),” menuturkan yang berikut:
Antara manusia dan simpanse, ada lebih banyak perbedaan daripada yang pernah diyakini, menurut
sebuah penelitian genetis terbaru.
Para ahli biologi telah lama berpandangan bahwa gen-gen simpanse dan manusia sama sekitar 98,5
persen. Tetapi Roy Britten, seorang ahli biologi pada California Institute of Technology, mengatakan
dalam sebuah penelitian yang diterbitkan minggu ini bahwa suatu cara baru pembandingan gen
menunjukkan kesamaan genetis antara manusia dan simpanse hanya sekitar 95 persen. Britten
melakukannya dengan sebuah program komputer yang membandingkan 780 ribu dari 3 miliar pasang basa
dalam heliks DNA manusia dengan yang dari simpanse. Ia menemukan lebih banyak perbedaan daripada
para peneliti sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa setidaknya 3,9 persen basa DNA berbeda.
Ini membawanya ke kesimpulan bahwa ada perbedaan genetis mendasar di antara kedua spesies
kira-kira 5 persen.1
New Scientist, sebuah majalah ilmiah terkemuka dan pendukung kuat Darwinisme, melaporkan yang
berikut tentang hal itu dalam sebuah artikel berjudul “Human-chimp DNA difference trebled” (Perbedaan
DNA manusia-simpanse berlipat tiga):
Kita lebih unik daripada yang sebelumnya kita pikir, menurut pembandingan baru DNA manusia dan
simpanse. Telah lama disangka bahwa kita memiliki 98,5 persen bahan genetik yang sama dengan kerabat
terdekat kita. Kini, agaknya hal itu keliru. Ternyata, kita berbagi kurang dari 95 persen bahan genetik,
suatu kenaikan berlipat tiga dalam perbedaan di antara kita dan simpanse.2
Ahli biologi Roy Britten dan para evolusionis lain terus mencoba mengkaji hasil ini menurut teori
evolusi, tetapi sebenarnya tiada alasan ilmiah melakukannya. Teori evolusi tidak disokong baik oleh
catatan fosil maupun data genetis atau biokimiawi. Sebaliknya, petunjuk-petunjuk memperlihatkan bahwa
beraneka bentuk kehidupan muncul tiba-tiba di bumi tanpa adanya moyang evolusi dan bahwa sistem-
sistem rumit kehidupan membuktikan keberadaan suatu “rancangan cerdas.”
1
http://www.cnn.com/2002/TECH/science/09/24/humans.chimps.ap/index.html
2
http://www.newscientist.com/news/news.jsp?id=ns99992833
2 Pembandingan jumlah kromosom dan struktur DNA menunjukkan bahwa tiada kaitan evolusi di
40 antara spesies hidup yang berbeda.
2 Di tingkat molekuler, antara satu organisme dan organisme lainnya tiada hubungan “moyang”, atau
42 yang satu lebih “kuno” atau “maju” daripada yang lain.
2 Pembandingan-pembandingan yang telah dilakukan di antara protein, rRNA, dan gen
H Caption
.
45 mengungkapkan bahwa makhluk yang diduga berhubungan dekat menurut teori evolusi, sebenarnya sama
sekali berbeda antara satu dan lainnya. Berbagai penelitian menyatukan kelinci dengan primata, bukannya
rodensia, dan sapi dengan ikan paus, bukannya kuda.
2 Bakteri cepat kebal terhadap antibiotika dengan saling memindahkan gen-gennya yang tahan.
48 Gambar di atas menunjukkan suatu koloni bakteri E. coli.
2 Penelitian ilmiah tentang dongeng organ sisa (vestigial): “Vestigial Organs” Are Fully Functional
51 (Organ-organ Sisa Berfungsi Penuh).
2 Umbai cacing (atas), yang dikatakan para evolusionis sebagai organ sisa, saat ini diketahui berperan
52 penting dalam sistem kekebalan tubuh. Tulang ekor di ujung bawah tulang punggung juga bukan suatu
organ sisa, melainkan tempat menempelnya organ-organ panggul sehingga tak akan jatuh.
2 Dengan gambar-gambar embrio palsunya, Ernst Haeckel telah menipu dunia ilmiah selama seabad.
55
2 Gambar-gambar palsu Haeckel
56
2 Pada terbitan 5 September 1997, majalah terkemuka Science menyajikan sebuah artikel yang
57 menyingkapkan bahwa gambar-gambar embrio milik Haeckel telah dipalsukan. Artikel ini
menggambarkan bagaimana embrio-embrio sebenarnya sangat berbeda satu sama lain...
2 Penelitian di tahun-tahun terakhir telah menunjukkan bahwa embrio-embrio dari spesies yang
57 berbeda tidak saling mirip, seperti yang ditunjukkan Haeckel. Perbedaan besar di antara embrio-embrio
mamalia, reptil, dan kelelawar di atas adalah contoh nyata hal ini.
2 Tetumbuhan membentuk dasar terbawah kehidupan bumi. Tetumbuhan adalah syarat yang tak dapat
61 tidak bagi kehidupan, sebab menyediakan makanan dan melepaskan oksigen ke udara.

2 Hipotesis evolusionis bahwa sel-sel prokaryotis (kiri) berubah menjadi sel-sel eukaryotis sejalan
62 dengan waktu, tidak memiliki dasar ilmiah.

2 Kloroplas
66 Klorofil
Sel-sel tumbuhan melakukan suatu proses yang tak bisa ditiru laboratorium mutakhir mana pun–
fotosintesis. Berkat organel yang disebut “kloroplas” di dalam selnya, tetumbuhan menggunakan air,
karbondioksida, dan cahaya matahari untuk membuat karbohidrat. Makanan yang dihasilkan menjadi mata
pertama dalam rantai makanan di bumi, dan sumber gizi bagi semua makhluk hidup penghuninya. Rincian
proses yang sangat rumit ini masih belum seluruhnya dimengerti saat ini.
2 Alga yang berenang bebas di lautan.
68
2 Up to Down:
70 Tanaman dari Zaman Jura ini, kira-kira berumur 180 juta tahun, muncul dengan struktur uniknya
sendiri, dan tanpa moyang yang mendahuluinya.
Tanaman yang berumur 300 juta tahun dari akhir Zaman Karbon ini tak berbeda dari spesimen yang
tumbuh sekarang.
Fosil species Archaefructus yang berumur 140 juta tahun ini adalah fosil angiosperma (tumbuhan
berbunga) tertua yang diketahui. Tumbuhan ini berstruktur tubuh, bunga, dan buah yang sama dengan
tetumbuhan yang hidup saat ini.
H Caption
.
2 Fosil paku-pakuan dari Zaman Karbon ini ditemukan di daerah Jerada, Maroko. Yang menarik
72 adalah fosil ini, yang berumur 320 juta tahun, mirip dengan paku-pakuan yang ada sekarang.

2 Sebuah motor listrik–tetapi bukan dari salah satu perkakas rumah tangga atau kendaraan. Ini yang
75 ada di dalam bakteri. Berkat motor ini, bakteri bisa menggerakkan organ-organ yang disebut “flagel” dan
lalu berenang di air.
Hal ini diketahui pada tahun 1970 dan sangat mengejutkan dunia ilmiah, sebab organ “rumit tak
teruraikan” ini, yang tersusun dari 240 jenis protein, tak bisa dijelaskan dengan mekanisme kebetulan
sebagaimana yang diusulkan Darwin.
2 Mata manusia bekerja dengan berfungsinya bersama-sama sekitar 40 bagian berbeda. Jika satu saja
78 bagian tidak ada, mata tak akan berfungsi. Masing-masing dari 40 bagian ini berstruktur rumit. Misalnya,
retina di belakang mata, tersusun dari 11 lapisan (kanan atas), masing-masing berfungsi tersendiri. Teori
evolusi tak bisa menjelaskan perkembangan organ rumit seperti ini.
2 Mata udang karang tersusun dari banyak persegi. Persegi-persegi yang tersusun rapi ini sebenarnya
83 ujung dari tabung-tabung persegi halus. Sisi-sisi tiap tabung persegi ini bagaikan cermin untuk
memantulkan cahaya yang datang. Cahaya yang terpantulkan dipusatkan ke retina dengan sempurna. Sisi
tabung-tabung di dalam mata disisipkan pada sudut-sudut yang tepat sehingga semuanya memusat ke
satu titik
Keping pantul
Retina
2 Up to Down:
86 Tulang-tulang martil, landasan, dan sanggurdi
Saluran-saluran setengah lingkaran
Syaraf vestibular
Rumah siput (kokhlea)
Saluran eustakhius
Gendang telinga
Saluran telinga luar
2 Searah jarum jam::
88 Utrikulus
Sakulus
Saluran timpanis
Terowongan rumah siput
Saluran vestibular
Rumah siput
Syaraf vestibular
Jendela lonjong
Saluran setengah lingkaran belakang
Ampula
Saluran setengah lingkaran samping
Saluran setengah lingkaran atas
Cuping umum
Struktur rumit pada telinga dalam. Pada struktur tulang yang rumit ini, terletak sistem yang menjaga
H Caption
.
keseimbangan kita dan juga sistem pendengaran yang sangat peka yang mengubah getaran menjadi suara.
2 Dinding-dinding sebelah dalam rumah siput ditutupi oleh rambut-rambut halus. Rambut-rambut ini
89 bergerak searah dengan gerak gelombang yang terbentuk di cairan pada telinga dalam akibat getaran yang
datang dari luar. Dengan cara ini, keseimbangan listrik sel-sel yang melekat ke rambut-rambut itu berubah,
dan membentuk isyarat-isyarat yang kita kenali sebagai “suara.”
2 Betina dari spesies ini menyembunyikan anaknya di dalam perut selama masa pengeraman, dan lalu
92 melahirkan lewat mulutnya. Tetapi, supaya semua ini bisa terjadi, sejumlah penyesuaian harus dilakukan,
semuanya terjadi bersamaan dan tanpa satu pun kesalahan: struktur telur harus disesuaikan, asam lambung
harus dinetralkan, dan sang induk harus mampu hidup berminggu-minggu tanpa makan.
2 Jika Anda membiarkan mobil di luar dalam keadaan alam, mobil itu akan berkarat dan hancur.
95 Dengan cara yang sama, tanpa suatu penyusunan yang cerdas, semua sistem di alam semesta ini akan
hancur. Inilah sebuah hukum yang tak terbantahkan.
2 Ilya Prigogine
99
3 Mustahil informasi di dalam DNA muncul karena proses kebetulan dan alamiah.
08
3 Karl Marx
11
3 Rangsangan-rangsangan dari suatu benda diubah menjadi isyarat-isyarat listrik dan menyebabkan
23 suatu pengaruh di dalam otak. Ketika “melihat,” kita sebenarnya memandang pengaruh isyarat listrik ini di
benak kita. Apa pun yang kita lihat, dengar, ketahui, kenal, atau terbiasa di dunia ini di sepanjang hidup
kita semata-mata terdiri dari isyarat-isyarat listrik yang dihantarkan organ indera kita ke otak.
3 Berkas cahaya yang datang dari suatu benda jatuh terbalik pada retina. Di sini, gambar diubah
25 menjadi isyarat listrik dan diteruskan ke pusat penglihatan di bagian belakang otak. Karena otak tersekat
dari cahaya, cahaya tak mungkin mencapai pusat penglihatan. Artinya, kita memandang dunia cahaya dan
kedalaman yang luas di sebuah titik kecil yang kedap cahaya. Bahkan, saat kita merasakan cahaya dan
panas dari api, bagian dalam otak kita gelap gulita dan suhunya tak pernah berubah.
3 Temuan-temuan fisika mutakhir menunjukkan bahwa alam semesta itu kumpulan kesan. Oleh karena
33 itu, majalah ilmiah terkenal New Scientist bertanya: “Beyond Reality: Is the Universe Really a Frolic of
Primal Information and Matter Just a Mirage?” (Di Balik Kenyataan: Apakah Alam Semesta Benar-Benar
Tamasya Informasi Purba dan Materi Sekadar Tipuan Mata?)
3 DUNIA DALAM MIMPI
37 Bagi Anda, kenyataan adalah semua yang dapat disentuh tangan dan dilihat mata. Dalam mimpi,
Anda juga dapat “menyentuh dengan tangan dan melihat dengan mata,” tetapi nyatanya, Anda tak
bertangan maupun bermata, juga tidak ada apa-apa yang dapat Anda sentuh atau lihat. Tiada keniscayaan
material yang dapat membuat semua ini terjadi selain otak Anda. Anda sekadar sedang diperdaya.
Apakah yang memisahkan kehidupan nyata dari mimpi? Pada akhirnya, kedua bentuk kehidupan ini
diwujudkan di dalam otak. Jika kita mampu hidup dengan mudah di dunia yang tak nyata selama mimpi
kita, hal yang sama dapat juga terjadi di dunia tempat kita hidup. Ketika kita terjaga dari sebuah mimpi,
tiada alasan yang masuk akal untuk tak berpikir bahwa kita telah memasuki mimpi yang lebih panjang
yang kita sebut “kehidupan nyata.” Alasan mengapa kita menganggap bahwa mimpi kita sekadar lelucon
dan dunia ini kenyataan tak lain hasil kebiasaan dan prasangka kita. Ini berarti kita mungkin saja
dibangkitkan dari kehidupan di bumi yang kita pikir sedang kita jalani saat ini, seperti baru saja terjaga dari
H Caption
.
mimpi.

You might also like