You are on page 1of 47

TUGAS

STUDI KASUS HUKUM INTERNASIONAL

Disusun oleh :
Bimo Setyo Bhaskoro 110110070198
Tonny Frangky 110110070270
Caprie Ardira Azhar 110110070280
Taufik Bagus Jayanto 110110070288
Rizmanta F P 110110070305

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Bandung
2010
THE ARREST WARRANT
(DEMOCRATIC REPUBLIC OF THE CONGO v. BELGIUM)

Fakta Hukum:
 Pada tahun 1993, Belgia membuat sesuatu hukum baru, yaitu Yurisdiksi Universal yang
bertujuan untuk semua Negara berhak menghukum seseorang yang tertuduh dalam
kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan genosida.
 Pada tahun 1998, Abdoulaye Yerodia Ndombasi, menghasut rakyat Kongo untuk
membunuh entis Tutsi, dikarenakan etnis tersebut bersikap mendukung pemerintah
Rwanda yang merupakan salah satu pihak yang mendukung pemberontak Kongo.
 Pada tanggal 11 April 2000 Belgia mengeluarkan surat perintah penangkapan secara in
absentia terhadap Abdoulaye Yerodia Ndombasi, yang menyatakan bahwa dirinya
sebagai pelaku atau membantu terhadap pelanggaran atas Konvensi Jenewa 1949 dan
protokol tambahannya dan kejahatan atas kemanusiaan. Surat penagkapan tersebut
beredar secara internasional atas nama Interpol.
 Belgia beranggapan bahwa dirinya berwenang berdasarkan Yurisdiksi Universal
 Pada saat surat perintah penangkapan itu dikeluarkan Yeroida masih menjabat sebagai
Menteri Luar Negeri Republik Kongo.
 Pada 17 Oktober 2000 Republik Kongo mengajukan tuntutan kepada Mahkamah
Internasional agar mendeklarasikan kepada Belgia untuk membatalkan surat
penangkapan tersebut, dan setelah tuntutan tersebut diajukan Yeroida berhenti dari
jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri – menteri lainnya di kemudian hari.

Permasalahan Hukum
 Apakah suatu Negara dapat menuntut seseorang atas suatu kejahatan yang dilakukannya
yang tidak ada kaitannya dengan Negara tersebut?
 Apakah seorang Menteri Luar Negeri (pejabat Negara) yang masih menjabat dapat
dituntut atas suatu kejahatan berdasarkan asas hukum yurisdiksi universal?
Putusan Hakim
 Menerima tuntutan yang diajukan oleh Republik Kongo dan menolak tuntutan dan
keberatan yang diajukan oleh Belgia yang berkaitan dengan yurisdiksi, peradilan dan
diterimanya
 Memutuskan bahwa Belgia harus membatalkan surat perintah penangkapan tertanggal 11
April 2000 atas Abdoulaye Yerodia Ndombasi. Menyatakan bahwa Belgia telah gagal
dalam menghargai kekebalan atas yurisdiksi pidana terhadap Abdoulaye Yerodia
Ndombasi dan hal itu tidak dapat diganggu gugat, karena berada dalam hukum
internasional.

Dasar Pertimbangan
Argumentasi Belgia
 Berdasar dari pasal 7 Undang-undang 19 Februari 1999 tentang
Hukuman atas Pelanggaran Serius Hukum Humaniter Internasional atau yang biasa
disebut sebagai hukum Belgia menyatakan bahwa negaranya mempunyai Yurisdiksi atas
suatu pelanggaran hukum, dimanapun pelanggaran tersebut dilakukan, yaitu yurisdiksi
universal
 Pasal 5 ayat 3 UU tersebut menyatakan bahwa kekebalan yang melekat secara resmi
terhadap seseorang tidak akan mencegah penerapan dari UU tersebut.
 Berdasarkan kasus Pinochet dimana terdapat pengecualian terhadap imunitas seseorang
apabila dihadapkan pada tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
 Mengambil pendapat Lord Millet pada kasus Pinochet Belgia berargumen “International
law cannot be supposed to have established a crime having the character of jus cogens
and at the same time to have provided an immunity which is co-extensive with the
obligation it seeks to impose”

Argumentasi Kongo
 Ada 3 pandangan Kongo, yaitu :
1. Jurisdiksi universal yand dibuat oleh Belgia dalam pasal 7 UU tersebut
merupakan sebuah pelanggaran atas prinsip – prinsip Negara tidak boleh
melaksanakan kewenangannya di wilayah Negara lain dan prinsip – prinsip
kesetaraan kedaulatan antar semua Negara anggota PBB berdasar pasal 2 ayat 1
Piagam PBB.
2. Tidak adanya pengakuan berdasar pasal 5 UU Belgia dari kekebalan jabatan
sebagai Menteri Luar Negeri merupakan suatu pelanggaran diplomatik terhadap
Menteri Luar Negeri yang beradulat, seperti yang diakui oleh yurisprudensi dari
pengadilan dan berdasar pasal 41 ayat 2 Konvensi Wina tentang Hubungan
Diplomatik pada tanggal 18 April 1961.
3. Mengambil pendapat dari Lord Browne-Wilkinson pada kasus pinochet Kongo
berargumen “this immunity enjoyed by a head of state in power and an
ambassador in post is a complete immunity attached to the person of the head of
state or ambassador and rendering him immune from all actions or
prosecutions…”

Pertimbangan Hakim
 Dalam hukum internasional ditegaskan bahwa pemegang jabatan tertinggi dari suatu
Negara, seperti Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Menteri Luar Negeri
mempunyai kekebalan atas yurisdiksi di Negara lain, baik perdata maupun pidana sama
halnya dengan yang dimiliki oleh agen diplomatik dan konsuler.
 Dalam hukum kebiasaan internasional, kekebalan yang diberikan kepada Menteri Luar
Negeri bukan dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk menjamin kerja
yang efektif atas fungsi mereka sebagai perwakilan dari masing – masing Negara.
 Para Pejabat Negara tidak memiliki kekebalan terhadap hukum internasional saat mereka
bertugas di dalam kantor, akan tetapi saat mereka berada di luar negeri, para pejabat
Negara tersebut memiliki kekebalan penuh dari penahanan di Negara lain atas dakwaan
kriminal, termasuk tuduhan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan
 Berdasar dari kekebalan yang diterima oleh mantan Menteri Luar Negeri dan yang
sedang menjabat tidak dapat dituntut dalam keadaan tertentu :
1. Orang tersebut tidak dapat memiliki kekebalan atas hukum internasional di dalam
Negara mereka sendiri, dan dengan demikian dapat diadili oleh suatu Negara yang
mempunyai hukum domestik yang relevan
2. Mereka tidak akan lagi mendapatkan kekebalan internasional, apabila Negara
yang mereka wakili memutuskan untuk menarik kekebalan tersebut.
3. Setelah seseorang tidak lagi memegang jabatan sebagai Menteri Luar Negeri, ia
tidak memiliki kekebalan atas hukum internasional di Negara lain. Apabila suatu
Negara mempunyai suatu yurisdiksi atas hukum Internasional, Negara tersebut
dapat mengadili mantan Menteri Luar Negeri tersebut atas apa yang dilaukannya
selama masa jabatanya.
4. Mahkamah telah mempelajari beberapa state practice mengenai hal ini dan
menemukan bahwa tidak ada menurut hukum kebiasaan internasional
pengecualian mengenai imunitas terhadap menteri luar negeri dalam mengahadapi
tuduhan melakukan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Analisis dan saran


 Yurisdiksi internasional ialah suatu prinsip – prinsip hukum internasional, dimana suatu
Negara mengklaim suatu yurisdiksi pidana atas seseorang yang diduga melakukan suatu
tindak pidana yang berada diluar wilayah Negara penuntut, terlepas dari kebangsaan,
Negara tempat tinggal, atau hubungan lain dengan Negara penuntut.
 Suatu Negara dapat menuntut seorang warga Negara yang bukan berasal dari wilayahnya
berdasar asas tersebut,dikarenakan tindakan tersebut dianggap sebagai delik jure gentium
yang bertentangan dengan masyarakat internasional, oleh karena itu semua Negara
berhak menangkap dan menghukum pelaku – pelakunya. Yurisdiksi internasional juga
menganut konsep jus cogens, bahwa kewajiban – kewajiban hukum internasional
mengikat semua Negara dan tidak dapat dirubah berdasarkan dengan perjanjian. Konsep
tersebut dibuat oleh Belgia pada tahun 1993 yang pada akhirnya disebut sebagai Hukum
Belgia.
 Dalam kasus diatas salah satu pihak, yaitu Belgia menganggap dirinya berwenang
melaksanakan yurisdiksi universal, yang dimaksudkan untuk mencegah agar tidak ada
terjadinya ancaman serius terhadap keseluruhan masyarakat internasional, baik berupa
genosida (pembunuhan masal),kejahatan perang, kejahatan dan penyiksaan terhdapa
kemanusian dan lain – lain. Akan tetapi pendapat tersebut ditolak oleh Mahkamah
Internasional yang menyatakan bahwa para pejabat Negara tersebut memiliki kekebalan
penuh dari penahanan di Negara lain atas dakwaan kejahatan. Prinsip yang menjadi dasar
kekebalan yurisdiksi ialah seorang pejabat Negara harus bebas untuk melaksanakan
urusan resmi atas negaranya, tanpa ada gangguan, campur tangan atau rintangan.
 Hal tersebut tepat dikarenakan para Menteri Luar negeri yang berada di luar wilayahnya
merupakan simbol dari Negara tersebut yang merupakan sama halnya Kepala Negara.
Negara tersebut dan dimaksudkan agar apa yang dilakukannya merupakan tujuan dari
Negara yang diwakilinya. Oleh karena itu pejabat tersebut tidak dapat diadili dikarenakan
Negara tersebut tidak memiliki kewenangan atasnya,.
 Namun seorang pejabat Negara dapat dituntut atas suatu tindak pidana internasional yang
telah dilakukannya, apabila ia sudah tidak lagi menduduki jabatan tersebut. Selain itu
juga ada fakta pada umumnya keputusan pengadilan nasional tidak dapat digunakan
secara praktis terhadap pejabat Negara asing. Karena hal tersebut dapat dianggap sebagai
salah satu tindakan yang kurang bersahabat.
 Salah satu faktor yang menjadi perbedaan antara kasus arrest warrant dan kasus pinochet
ialah bahwa, saat penahanan berlangsung Abdoulaye Yerodia Ndombasi masih menjabat
sebagai Menteri Luar Negeri Republik Kongo, sedangkan pada kasus Pinochet, Augoste
Pinochet adalah Mantan Kepala Pemerintahan atau sudah tidak lagi menjabat,
 Kemudian bila kita bandingkan dengan kasus Eichman, Adolf Eichman sudah tidak lagi
memliki kekebalan sebagai pejabat negara. Selain itu fakta bahwa kebangsaan mereka
yang menjadi korban genosida adolf eichmann adalah bangsa yahudi. Pada kasus ini
mahkamah berpendapat bahwa telah ada hubungan yang tidak perlu dijelaskan lagi antara
negara israel dengan bangsa yahudi. Sehingga mahkamah menyetujui jurisdiksi israel
pada kasus eichmann
BREMEN TOBACCO CASE 1959

Fakta Hukum

 Setelah Indonesia merdeka, perusahaan-perusahaan perkebunan tembakau di Sumatera


dan Jawa dinasionalisasikan.
 Hasil dari perkebunan tembakau tersebut dilelang di Pusat Pelelangan Tembakau Dunia
di Bremen, Jerman. Dalam kasus ini, Belanda selaku pemilik perusahaan sebelumnya
menuntut Indonesia pada Landgericht Bremen agar tembakau tersebut disita
revindikatoir. Diputuskan oleh hakim Jerman agar hukum Indonesia yang digunakan
dalam menyelesaikan kasus ini.

Permasalahan Hukum

 Apakah kompensasi bagi perusahaan-perusahaan Belanda atas dasar hukum nasional


Indonesia yang dinasionalisasikan harus bersifat adequate, prompt, dan effective?

Putusan

 Tuntutan Belanda tidak dikabulkan oleh putusan hakim untuk mengambil alih properti
milik Indonesia yang ada di Bremen. Pada kasus ini perkara dimenangkan oleh Indonesia.

Pertimbangan Hukum

 Nasionalisasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia merupakan tindakan sah karena atas
dasar undang-undang nasionalisasi yang menyatakan perusahaan-perusahaan milik
Belanda yang ada di Indonesia atas prinsip nasionalisasi tersebut dinyatakan sebagai
milik penuh dan bebas negara Republik Indonesia.

Analisis

Atas nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda oleh Indonesia tersebut dianggap sebagai


tindakan barbar oleh bangsa Belanda. Belanda mengajukan klaim kepemilikan karena menurut
mereka bangsa Indonesia tidak akan memberikan ganti kerugian atau kompensasi, sehingga yang
terjadi bukan nasionalisasi melainkan ekspropriasi. Menurut Indonesia, kompensasi yang bersifat
adequate, prompt, dan effective tidak bisa diterapkan secara kaku. Jika diterapkan secara kaku,
maka cita-cita luhur kemerdekaan yang antara lain memperbaiki perekonomian yang terpuruk
pasca kolonialisme hanya akan sia-sia akibat terkurasnya kas negara untuk membayar
kompensasi kepada pihak Belanda. Oleh karena itu, kompensasi yang wajib dibayar harus
memperhatikan kondisi perekonomian dan kemampuan Indonesia.

Kemudian juga dalam ILC draft, dinyatakan bahwa keadaan terpaksa tidak dapat digunakan oleh
negara apabila tindakan tersebut merupakan satu-satunya cara untuk menjaga kepentingan yang
fundamental dari negara terhadap sesuatu yang mengancam.1

1
Art. 25, para. 1-2, Internatinal Law Commission Draft on the Responsibility of State for Internationally Wrongful
Acts.
PINOCHET CASE

Fakta Hukum
 Augusto Pinochet merupakan seorang Presiden Chile yang berkuasa sejak 11 September
1973 – 11 Maret 1990. Ia dituntut melakukan berbagai macam kejahatan atas
kemanusian, seperti : penyiksaan, penyanderaan dan pembunuhan.
 Pada bulan Oktober 1998 Pinochet berkunjung ke Inggris untuk melakukan perawatan
medis.
 Pengadilan Spanyol mengeluarkan surat perintah penangkapan atas dirinya yang
memungkinkan dirinya diekstradisi ke Spanyol untuk menghadapi sidang dugaan atas
pelanggaran tersebut.
 Mahkama Agung Spanyol menyatakan bahwa pengadilan Spanyol mempunyai yurisdiksi
untuk membawanya ke pengadilan.
 Spanyol berpendapat bahwa seseorang Kepala Negara mempunyai kekebalan hukum
internasional pada saat ia masih menjabat, akan tetapi kekebalan tersebut hilang ketika ia
sudah tidak lagi menjabat sehingga dapat dituntut dan diadili. Oleh karena itu surat
perintah dan penagkapan yang dikeluarkan sekaligus agar dapat mengekstradisinya
dianggap sah.
 Pinochet berpendapat bahwa kekebalan internasional yang dimilikinya ketika ia menjabat
sebagai Presiden tetap ada, walau ia sudah tidak lagi menjadi Presiden.
 Di lain pihak, apabila Pinochet masih memliki kekebalan dari penahanan atas tuduhan
yang dihadapkan kepadanya, ia tidak dapt diekstradisi dan harus dibebaskan.

Permasalahan Hukum
 Apakah pengadilan Spanyol memiliki kompetensi untuk meminta pengadilan Inggris
untuk mengadili dan mengekstradisi Augusto Pinochet atas kejahatan-kejahatan yang
didakwakan kepadanya
Putusan
 Pengadilan Inggris memutuskan bahwa Presiden Pinochet tidak berhak atas kekebalan
hukum
 Pinochet diharuskan menetap sementara di Inggris sambil menuggu kelanjutan proses
ekstradisi.
 Pinochet akhirnya dibebaskan pada bulan Maret tahun 2000 dikarenakan alasan
kesehatan.

Dasar Pertimbangan.
 Dalam kasus ini Spanyol mengeluarkan surat perintah penangkapan yang meminta pihak
Inggris untuk mengadili dan mengekstradisi berdasarkan prinsip yurisdiksi universal
 Seorang Mantan Presiden dapat dituntut atas kejahatan terhadap kemanusiaan,
penyiksaan, dan lain – lain yang kekebalan., dalam kasus ini Pinochet hanya dapat
dituntut atas apa yang dilakukannya setelah tahun 1988, dimana Pengadilan Inggris
melaksanakan undang-undang untuk Konvensi PBB Tentang Perlawanan Terhadap
Penyiksaan dalam Criminal Justice Act 1988

Analisis
 Terhadap kejahatan – kejahatan ini dengan adanya juridiksi universal memperbolehkan
negara untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab
 Pada asasnya juridiksi universal menngizinkan setiap Negara untuk menuntut seseorang
yang teridentifikasi melakukan kejahatan internasional, walaupun Negara penuntut
tersebut tidak ada kaitannya atas kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut. Pada
walanya asas ini hanya berlaku terhadap kejahatan atas pembajakan dan penjualan budak,
dan kemudian berkembang meliputi kejahatan atas kemanusiaan, seperti genosida dan
kejahatan pernag lainnya.
 Penangkapan Pinochet ini membuka peluang bagi kemungkinan untuk menahan seorang
Diktator yang sedang melakukan perjalanan atas kejahatan yang dilakukannya
MORTENSEN v PETERS

Fakta hukum

 Inggris dan Denmark (tidak termasuk Norwegia) adalah pihak dalam “the North Sea
Fisheries Convention of 1883”.

 Konvensi ini menyatakan bahwa hak eklusif dari nelayan - nelayan bisa hanya bisa di
terapkan pada teluk yang lebarnya kurang dari 10 miles.

 Sekitar tahun 1898, armada kapal penjaring ikan (trawlers) berbendera Norwegia
memulai operasi pengkapan ikan berskala besar di Moray Firth.

 Kapal penjaring ikan tersebut menggunakan meode penangkapan ikan yang disebut “otter
trawling” yang dilarang oleh “the Sea Fisheries Acts and Herring Fisheries Acts.” Dalam
UU ini disebutkan bahwa “tidak ada seorang pun, kecuali dalam rangka tugas atau
memiliki izin tertulis dari " the Fishery Board for Scotland, boleh menggunakan “beam
trawl or otter trawl” untuk mengambil ikan laut” di Moray firth dalam batas garis yang
ditarik dari Duncansby Head sampai Rattray Point (berjalak sekitar 75 miles melewati
mulut dari the “).

 walaupun kapal ini memiliki registrasi Norwegia, kapal ini dimiliki, dioperasikan, dan
awaki oleh awak berkewarganegaraan Inggris. Beberapa kapten kapal ini dituntut dengan
tuduhan menjaring ikan dalam batas 3 mil, dan pada tahun 1905 pengadilan menguatkan
putusan terhadap kapal penjaring ikan beregistrasi Norwegia dengan tuduhan melakukan
pelanggaran yang dilakukan dalam batasan diluar jarak 3 mil dari pantai namun masih
dalam jarak 3 mil dilihat dari garis pangkal 10 mil melewati salah satu lengan dari Moray
firth- sebuah wilayah yang menjadi wilayah memancing eklusif untuk orang inggris
(exclusive British fishing) sesuai dengan the North Sea Convention.

 Mortensen adalah seorang warga Negara Denmark yang tinggal di Grimsby, Inggris,
dimana ia menjadi kapten dari salah satu kapal penjaring ikan yang diregistrasikan di
Norwegia. Daerah dimana Mortensen dituntut dengan tuduhan melakukan “otter
trawling” adalah dalam bagian wilayah Moray Firth yang berjarak lebih 3 mil dari
daratan, dan tidak masuk kedalam wilayah garis pangkal yang disebutkan dalam the
North Sea Convention.

 Mortensen dinyatakan bersalah oleh Sheriff, yang menjatuhkan hukuman sejumlah 50


Pound atau 15 hari penjara. Mortensen mengajukan banding, dan menyatakan bahwa
“the Fisheries Acts” hanya memberikan jurisdiksi kepada warga Negara Inggris atau
individu dalam wilayah territorial Inggris, dan berdasarkan hukum internasional, lokasi
tempat terjadinya pelanggaran yang dituduhkan adalah diluar wilayah territorial Inggris.

 The Procurator-Fiscal-Mr. Peters menyatakan bahwa pernyataan dalam Fisheries Acts


berlaku Universal dan tidak bersifat ambigu. Walaupun hukum internasional berlaku
dalam hal ini, namun Moray Firth seluruhnya berada dalam wilayah perairan territorial
dengan sikap baik menjadi intra fauces terrae. Lebih lanjut, walupun Moray Firth bukan
merupakan territorial, UU untuk perlindugan penangkapan ikan disana terdapat UU
perlindungan (protective acts) yang masih dapat di terapkan oleh pemerintah.

Permasalahan Hukum

Bagaimanakah hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dilihat dari kasus
Mortensen v. Peters?

Putusan pengadilan

 Hakim memutuskan dengan suara bulat menyetujui penghukuman Mortensen.

Dasar pertimbangan

 Lord Justice-General (Dunedin)

Tidak akan menjadi masalah ketika pihak yang mengajukan banding (Mortensen) adalah warga
negara Ingrris dan berada dalam kapal Inggris dia akan dapat di tuntut secara pasti. Lebih lanjut
dalam kasus Peters v. Olsen, ketika seseorang dituntut, seperti dalam kasus ini, adalah seorang
warga Negara asing dalam kapal asing, tuntutannya akan dilakukan secara benar. Satu-satunya
perbedaan dalam fakta-fakta di kasus tersebut adalah tempat terjadinya pelanggaran tersebut,
berdasarkan kepada bukti-bukti yang ada, adalah dalam batas 3 mil dari garis yang ditarik
melewati mulut sebuah teluk. Ketika lebar teluk tersebut tidaklah lebih dari 10 mil, dimana
bukan itu yang terjadi dalam hal ini, namun penuntutan tersebut dilanjutkan tanpa pertimbangan
semacam itu.

Kami disini tidak untuk memutuskan apakah sebuah UU telah Ultra vires ketika UU tersebut
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui dalam hukum internasional.

Sebuah tindakan dari parlemen yang telah melewati Lords and Commons dan telah disetujui oleh
raja adalah putusan yang tertinggi, Pengacara dari Mortensen mengajukan dalil bahwa UU yang
menghasilkan tuntutan tersebuthanya dapat diterapkan kepada 1. Warga Negara Inggris, 2.
Warga Negara asing dalam wilayah Inggris, dan pengundangan yang tegas tidak seharusnya
diperluas lebih jauh lagi.

Mortensen jelas bukan merupakan warga Negara Inggris yang mengecualikan ketetntuan
pertama, dan ia lebih lanjut berargumen bahwa locus delicti adalah laut diluar batas 3 mil,
adalah bukan wilayah territorial Inggris, sehingga Mortensen tidak termasuk kedalam pelarangan
yang disebutkan oleh UU tersebut.

Jika dilihat sebagai dalail umum, dua angapan yang diajukan oleh Mortensen (appellant) bisa
dianggap benar, walaupun begitu memajukan masalahnya sedikit, untuk semua anggapan yang
mereka coba ajukan kembali, dan pertanyaan yang tersisa adalah apakah merekan telah
mengajukan bantahan lagi dalam kesempatan kali ini.

Hal ini disampaikan oleh Mortensen bahwa semua ini harus memberikan jalan bahwa hukum
internasional secara jelas memperbaiki bahwa sebuah tempat terjadinya kejahatan adalah diluar
batas kedaulatan territorial dan karenanya hal ini tidaklah perlu diperdebatkan lagi bahwa dalam
hal ini pemerintah dapat melihat semua dampkanya kecuali masalahnya raja.

Hal ini sudah merupakan pengamatan yang biasa bahwa tidak ada suatu hal yang disebut standar
hukum internasional yang tidak berhunbungan dengan hukum nasional dari sebuah kerajaan,
dimana keberatan dapat diajukan. Hukum internasional, sejauh ini adalah badan doktrin
mengenai hak dan kewajiban internasional dari suatu Negara yang telah diadopsi dan dijadikan
bagian dari hukum Scotland.
Bahwa berdasarkan hukum Scotland bahwa temapt terjadinya kejahatan adalah diluar batas,
dimana pemerintah dapat menerapkan haknya berdasarkan UU terhadap siapa saja dan untuk
tujuan pengaturan metode penjaringan ikan.

Terdapat banyak contoh dalam hal memutuskan apakah hak dari Negara untuk mengatur masalah
perairan lebih atau kurang dikelilingi oleh daratan atau mencakup daratan, walaupun diluar batas
3 mil, telah diakui.

 Lord Kyllachy

Hal ini bukanlah suatu masalah , jika menurut UU, dalam pembuatannya untuk diartikan secara
harfiahdan tanpa qulaifikasi, appellant telah secara benar dituntut. Pengadilan ini tentu saja tidak
berwenang untuk mempertanyakan kekuasaan dari pemerintah untuk membuat suatu perundang-
undangan. Satu-satunya pertanyaan disni adalah hanya dalam hal pembuatannya, tidak mungkin
pula terdapt keragu-raguan tentang pembuatan UU tersebut jikan bahsanya adalah untuk
diartikan secara harfiah, atau dalam prinsip yang biasa dari pembuatan , dan terpisah dari
implikasi yang didapat dari luar.

The appellant menyatakan bahwa UU tersebut tidak dapat diartikan secara harfiah, tapi harus
dibaca dengan referensi terhadap beberapa peraturan tertentu dalam hukum internasional, dan
dalam pandangan tersebut tidak hanya dalam penerapan yang konstruktif, sepserti melihat
kepada setidaknya territorial orang asing, kepada area tertentu yang telah ditetapkan sesuai
dengan hukum internasional, atau setidaknya jurisdiksi territorial dari kerajaan inggris.

Spertinya sia-sia untuk menyarankan berdasarkan hukum internasional dimana terdapat bagian
dari Moray firth yang merupakan area laut lepas, dan hal ini sama keadaanya dengan situasi yang
terjasi di laut Jerman.

Analisis

Dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dikenal dua prima hukum
yaitu:

 Primat Hukum Nasional: Hukum Internasional adalah hukum nasional untuk urusan luar
negeri (hukum internasional bersumber dari Hukum Nasional)
 Primat Hukum Internasional: Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dengan
demikian hukum internasional memiliki kedudukan lebih tinggi

Pada prinsipnya: hukum internasional adalah hukum negara (international law is the law of the
land) atau dikenal juga dengan doktrin inkorporasi.

Namun terdapat Pengecualian yaitu dalam hal (praktik Negara Inggris):

 Hukum kebiasaan internasional

- Tidak bertentangan dengan undang-undang

- Sekali ruang lingkup kebiasaan ditetapkan keputusan mahkamah tertinggi


maka akan mengikat pengadilan di bawahnya

 Perjanjian internasional

o Memerlukan persetujuan Parlemen:

- Perubahan perundang-undangan nasional

- Perubahan batas wilayah

- Mempengaruhi hak sipil atau penambahan wewenang Raja/ Ratu

- Menambah beban keuangan pada pemerintah Inggris


MABO V. QUEENSLAND (1992)

Fakta-Fakta Hukum
 Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Mabo vs Queensland ini adalah Mabo dengan
pemerintah negara bagian Queensland, Australia yang memiliki yurisdiksi atas Pulau
Murray sebagai koloni dari Inggris.
 Kasus Mabo v. Queensland adalah mengenai Pulau Murray yang terletak di Selat Torres
yang termasuk dalam wilayah teritorial Queensland, Australia.
 Kasus ini terjadi karena penduduk lokal di Pulau Murray yaitu orang-orang Meriam
menolak Queensland Amendment Act 1982 yang dianggap bersifat diskriminatif dan
melanggar hukum kebiasaan internasional yang mengakui hak-hak milik adat penduduk
pribumi.
 Pada tahun 1985, pemerintah Queensland mengeluarkan Queensland Coast Island
Declaratory Act 1985 yang menyatakan bahwa aneksasi terhadap Pulau Murray pada
tahun 1879 bebas dari hak atau kepentingan manapun sehingga dapat disimpulkan
undang-undang ini tidak mengakui hak-hak penduduk Pulau Murray, dan dalam
putusannya pada kasus pertama tahun 1988, Pengadilan Tinggi Queensland menganggap
undang-undang ini bertentangan dengan Racial Discrimination Act tahun 1975.
Pemerintah Queensland berargumen bahwa semua tanah koloni yang berada dibawah
yurisdiksi Inggris secara mutlak menjadi milik Inggris.

Masalah Hukum
 Apakah hukum kebiasaan internasional dengan memberikan pengakuan terhadap hak-hak
adat penduduk setempat bisa diterapkan?

Putusan Mahkamah Tinggi Australia


 Majelis Hakim dari Mahkamah Tinggi Australia memutuskan mengabulkan banding
Mabo dan penduduk Pulau Murray yang menuntut untuk memberikan hak kepemilikan,
penguasaan, dan pengelolaan tanah di seluruh Pulau Murray kepada orang-orang Meriam
sebagai penduduk asli yang mendiami wilayah tersebut. Mahkamah juga menolak istilah
terra nullius yang digunakan Inggris ketika mengokupasi wilayah tersebut pada tahun
1788.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Tinggi Australia


 Mahkamah mengabulkan banding dari Mabo karena berdasarkan pernyataan Hakim
Moynihan dari Supreme Court of Queensland yaitu orang-orang Meriam memiliki
keterikatan batin dengan Pulau Murray tempat mereka tinggal sehingga mereka memiliki
hak atas tanah mereka.
 Terdapat konsep hak milik adat dalam hukum kebiasaan internasional.
 Sumber dari hak milik adat berhubungan secara tradisional dengan penguasaan tanah
adat.
 Makna dari hak milik adat berdasarkan karakter dari hubungan atau penguasaan dalam
hukum adat atau kebiasaan.
 Hak milik adat dapat dikesampingkan oleh kebijakan pemerintah yang memiliki dasar
dan pertimbangan hukum yang kuat berdasarkan perundang-undangan nasional.
 Mahkamah juga menyatakan bahwa hak milik Inggris atas tanah koloni bukan mutlak,
melainkan hanya hak radikal dan harus memperhatikan juga hak-hak penduduk setempat.

Analisis
Hak kepemilikan, penguasaan, dan pengelolaan tanah di seluruh Pulau Murray memang
seharusnya diberikan kepada orang-orang Meriam sebagai penduduk asli yang mendiami
wilayah tersebut. Argumen Inggris yang menyatakan bahwa semua tanah koloni yang berada
dibawah yurisdiksi Inggris secara mutlak menjadi milik Inggris tidak lebih kuat daripada
keterikatan batin orang-orang Meriam dengan Pulau Murray, yang kemudian menjadi hukum
kebiasaan internasional.
Kasus Windscale Islands (Kasus Hipotesis)

Fakta Hukum

1. Para pihak dalam kasus ini ialah Rydal dan Aspatria


2. Kasus ini bermula dengan ditemukannya windscale islands oleh kapten Geoffrey Parrish
berkebangsaan Rydal pada 1777. Kemudian ia memancangkan bendera Rydal dan
meninggalkannya.
3. Pada tahun 1778 Manuel Ricoy dari Aspatria sampai ke bagian lain dari kepulauan
windscale, menetap dan membangun benteng diatas pulau tersebut. Namun Manuel
Ricoy meninggalkan pulau pada tahun 1799. Sebelum ia pergi, Ricoy meninggalkan
prasasti dan bendera Aspatria.
4. Admiral George Aikton dari Rydal terdampar pada pulau tersebut pada tahun 1813 dan
kemudian ia mengeksplorasi seluruh pulau dan mendiami pulau tersebut
5. Kemudian aspatria, mengetahui adanya okupasi dari Rydal terhadap kepulauan yang
pernah ditinggali manuel Ricoy mengajukan protes kepada pemerintahan Rydal. Rydal
mengatakan bahwa kepulauan tersebut merupakan milik Rydal sejak pertama kali
ditemukan oleh Geoffrey Parrish.

Permasalahan hukum

Apakah Windscale islands berada di bawah kedaulatan Aspatria?

Putusan Hakim

Kepulauan Windscale Islands tidak merupakan wilayah kedaulatan Aspatria melainkan


merupakan wilayah kedaulatan Rydal

Argumentasi para pihak

Rydal

1. Kepulauan tersebut saat ditemukan oleh Parrish adalah terra nullius. Sehingga
pemancangan bendera merupakan aksi simbolis yang cukup untuk mendapatkan
kedaulatan atas windscale islands.
2. Hal tersebut juga terjadi pada clipperton island dimana aksi Perancis yang
memancangkan bendera cukup untuk mendapatkan kedaulatan atas clipperton island
3. Pendudukan yang dilakukan oleh admiral Aikton juga merupakan kelanjutan aksi Parrish
dalam mendapatkan kedaulatan atas windscale islands. Aikton telah menerapkan
effectivite dengan melakukan actual display of authority terhadap windscale island.
Sebagaimana diterapkan pada kasus eriteria vs yemen, eastern greenland dan pedra
branca.
Aspatria

1. Pada saat Geoffrey Parrish meninggalkan windscale islands, pulau tersebut sekali lagi
menjadi terra nullius
2. Pendudukan dan pembangunan benteng yang dilakukan oleh Manuel Ricoy telah cukup
untuk mendapatkan kedaulatan atas windscale islands. Sebagaimana yang dilakukan
belanda dalam island of palmas
3. Manuel Ricoy tidak pernah memiliki maksud untuk meninggalkan kepulauan tersebut
pada saat ia pergi dari windscale islands. Terbukti dengan fakta bahwa ia kembali lagi,
namun telah terdapat orang – orang Rydal yang secara ilegal menduduki pulau tersebut.

Pertimbangan hakim

Prinsip effectivite yang dilakukan Rydal telah cukup untuk Rydal mendapatkan kedaulatan atas
windscale islands. Terbukti dengan eksplorasi menyeluruh yang dilakukan Aikton dan
pembentukan pemerintahan atas titah Queen Constance of Rydal

Argumen Aspatria bahwa pendudukan mereka telah cukup untuk mendapatkan kedaulatan tidak
dapat diterima karena pada akhirnya mereka meniggalkan pulau tersebut dan tidak melakukan
aksi untuk memprotes keberadaan Rydal secara efektif. Hal ini tidak sesuai dengan yang
dilakukan meksiko pada kasus chamizal arbitration dimana protes meksiko efektif untuk
mengambil kembali kedaulatan atas daerah chamizal dari Amerika Serikat

Analisis

Mengenai kedaulatan atas suatu wilayah, salah satu kebiasaan internasional yang sering dipakai
adalah prinsip effectivites. Dimana suatu negara telah membangun pemerintahan yang efektif
dalam suatu wilayah dengan menunjukan adanya actual display of authority dan actual
possession. Hal ini sesuai dengan keputusan mahkamah pada kasus minquers and ecrehos antara
Prancis melawan Inggris dan kasus baru seperti sipadan ligitan dan pedra branca.

Mengenai efektif protes, salah satu bentuk yang dapat dilakukan adalah dengan membawa kasus
ini ke hadapan mahkamah internasional ataupun menyelesaikannya melalui badan arbitrase.
Namun protes ini tidak dilakukan oleh Aspatria secara segera sehingga secara tidak langsung
kedaulatan telah dimiliki oleh Rydal. Dapat kita lihat pada kasus british guiana venezuela
arbitration case dimana selang waktu 50 tahun telah memantapkan kedaulatan negara atas suatu
wilayah. Lebih lanjut lagi salah satu jurist international ternama, akehurst, dalam pembahasannya
mengenai kasus falkland island mengatakan bahwa absennya Argentina dalam melakukan suatu
protes dalam selang waktu 13 tahun telah cukup untuk mengatakan bahwa Argentina mengakui
kedaulatan Inggris atas Falkland islands.
VENEZUELA-US GASOLINE DISPUTE, WTO (1996)

FAKTA HUKUM
 Para pihak dalam kasus ini adalah Amerika Serikat dan Venezuela, keduanya anggota
GATT
 Tahun 1994, Pemerintah Amerika Serikat melakukan pembatasan impor minyak,
berdasarkan amandemen UU (Clean Air Act) 1990 yang, diantaranya, mengatur
persyaratan kadar olefin (zat dalam bensin yang menyebabkan polusi udara), dengan
standar yang berbeda antara minyak impor dan domestik
 23 januari 1995, Venezuela mengajukan keberatan kepada WTO dengan dasar
diskriminasi minyak impor oleh AS yang bertentangan dengan asas “national treatment”
yang juga diatur dalam pasal 3 perjanjian WTO/GATT.

MASALAH HUKUM
 Apakah Amerika Serikat telah melanggar aturan WTO dalam pembatasan impor
minyaknya?

PUTUSAN
 Dalam lreport yang dikeluarkan oleh DSB WTO, Amerika Serikat dinyatakan telah
melanggar aturan WTO terkait pasal 3 (national treatment). Implementasi laporan ini
diadopsi AS berdasarkan kesepakatan antara AS dengan Venezuela setelah itu.

DASAR PERTIMBANGAN
Pertimbangan Hakim :
 Hakim berpendapat bahwa tindakan Amerika yang menempatkan minyak dari Venezuela
sebagai “less favourably” dibanding dengan minyak yang ada di Amerika merupakan
suatu bentuk pelanggaran terhadap pasal III GATT. Sebagai negara Importir Amerika
diharuskan untuk tau bahwa standar barang yang di importnya dibawah standar Amerika
dan tidak ada kewajiban bagi Venezuela disini untuk mengolah ulang minyaknya.
 Dikaitkan dengan pasal 20 GATT tidak bisa diterapkan pada kasus ini, dikarenakan
tindakan yang Amerika merupakan suatu bentuk diskriminasi dan penolakan terselubung
terhadap hubungan perdagangan internasional antara Amerika dan Venezuela

ANALISIS
 Venezuela mempermasalahkan tindakan Amerika yang menerapkan UU mengenai
Lingkungan yang dinilai diskriminatif. Menurut pasal III.4 GATT, Pasal tersebut
menurut Hakim di WTO dilanggar oleh Amerika, karena menempatkan minyak
Venezuela sebagai barang yang tidak memenuhi standar padahal sebelumnya tindakan
tersebut tidak dilakukan. Tindakan ini tentunya dapat menimbulkan kerugian terhadap
Venezuela karena harus memproses ulang minyaknya hingga memenuhi standar yang
diperbolehkan di Amerika, ketentuan ini bertentangan dengan pasal diatas
yangmenghendaki tidak adanya perbedaan antara barang Impor dan barang asli sebuah
negara.
 Kasus ini bukanlah contoh yang baik atas praktek internasional terhadap isu lingkungan;
tapi di lain pihak sifat kasus ini juga bukan kasus yang cocok untuk dipelajari dibawah
topik lingkungan. Dari laporan WTO sendiri terlihat bahwa sudut pandang masing-
masing pihak (dan tentunya DSB WTO sendiri) dalam kasus ini adalah perdagangan
(contohnya, di AS sendiri, yang melobi kongres untuk hal ini adalah perusahaan minyak
AS, yang merasa bahwa Venezuela mencoba menyelundupkan minyak yang untuk
dibersihkan perlu biaya ratusan juta dolar; dalam laporan keberatannya, Venezuela
mengajukan bahwa “the US was using environmental rules to gain an unfair and
discriminatory trade advantage”).
CORFU CHANNEL CASE

Fakta Hukum

 Pihak yang bersengketa adalah Inggris dan Albania.

 selat Corfu berada dalam wilayah perairan Albania.

 Insiden pertama yaitu pada 15 mei 1946, 2 kapal Inggris, HMS Orion dan HMS
Superb menyeberangi selat Corfu.

 Ketika sedang menyeberangi selat, keluar api dari daerah pertahanan yang terletak di
pantai Albania.

 Meskipun tidak menderita kerugian, Pihak Inggris meminta Albania untuk


menyatakan permintaan maaf, namun Albania mengklaim bahwa Pihak Inggris
memasuki wilayah territorial Albania tanpa ijin.

 Kemudian, pada 22 Oktober 1946, kapal Inggris, Saumarez dan Volage kembali
melintas di Selat Corfu dan menabrak ranjau-ranjau laut yang tersebar di sepanjang
Selat Corfu.

 Hal ini menyebabkan kapal Inggris tersebut rusak, 44 orang tewas, 42 orang luka-
luka. Antara 42 atau 43 yang tewas adalah awak kapal Saumarez.

 Inggris meminta ganti kerugian kepada Albania, namun Albania menghiraukannya.


Akhirnya kasus ini dibawa ke ICJ

Permasalahan Hukum

1. Apakah Albania bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak Inggris?

2. Apakah Albania wajib mengganti kerugian yang diderita pihak Inggris?

3. Apakah Inggris bersalah telah melanggar hukum internasional dengan tindakannya pada
hari terjdinya ledakan pada bulan Oktober dan pada bulan November saat Inggris
membersihkan selat Corfu tersebut dari ranjau.?
Putusan

1. Ya, Albania bertanggung jawab terhadap Kerugian yang diderita pihak Inggris

2. Ya, Albania wajib mengganti kerugian yang diderita pihak Inggris. Dan pengadilan
memutuskan Albania wajib membayar ganti rugi atas rusaknya saumarez dan rusaknya
kapal Volage, serta atas kematian awak kapal Inggris, dengan total kompensasi sebesar
843,947 .

3. Untuk tindakan pada bulan Oktober, Inggris tidak melanggar kedaulatan dari Albania,
tetapi untuk tindakan pada Inggris pada bulan November dinyatakan bahwa Inggris
bersalah telah melanggar kedaulatan Albania.

Pertimbangan Putusan

Albania dinyatakan bersalah karena telah menyebarkan ranjau-ranjau laut di sepanjang Selat
Corfu tanpa memberitahukan pihak Inggris. Hal ini karena Inggris mempunyai hak lintas
damai untuk melintasi wilayah territorial Albania.

Analisis

Putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa Albania bersalah dan bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita Inggris serta diwajibkan membayar kompensasi kepada
pihak Inggris. Dalam putusan kasus Corfu Channel di atas, Mahkamah Internasional
menggunakan Teori Kesalahan dalam Tanggung Jawab Negara. Teori Kesalahan ada 2
macam yaitu :

1. Teori Subyektif

Menurut teori ini, tanggung jawab Negara ditentukan oleh adanya unsure keinginan atau
maksud untuk melakukan suatu perbuatan (kesengajaan atau dolus) atau kelalaian (culpa)
pada pejabat atau agen Negara yang bersangkutan.

2. Teori Obyektif

Menurut teori ini, tanggung jawab Negara adalah selalu mutlak (strict). Manakala suatu
pejabat atau agen Negara telah melakukan tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka
Negara bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan
tersebut terdapat unsur kesalahan atau kelalaian.
Dalam kasus Corfu Channel, Mahkamah Internasional menggunakan teori Obyektif dalam
memutuskan sengketa tersebut karena tidak adanya upaya dari pejabat Albania untuk
mencegah kecelakaan terhadap 2 kapal Inggris, Saumarez dan Volage. Seharusnya, Albania
memberi peringatan akan adanya ranjau terhadap kapal Inggris yang akan melintasi wilayah
teritorialnya karena Inggris mempunyai hak lintas damai untuk melewati perairan territorial
Albania.

Berdasarkan hukum intenasional suatu negara dapat diminta pertanggungjawaban untuk


tindakan-tindakannya yang menyalahgunakan kedaulatannya. Tidak ada satu negara pun
yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain.

Dalam kasus selat Corfu ini, Albania walaupun memiliki kedulatan atas selat Corfu, namun
dalam hal ini tetap bertanggung Jawab untuk memastikan bahwa kapal asing yang melintasi
perairan teritorialnya dengan damai dapat melintasi perairannya dengan aman.

 Karakteristik tanggung jawab negara tergantung dari:

– Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara
tertentu;

– Adanya suatu perbuatan melanggar hukum atau kelalaian yang melanggar


kewajiban tersebut dan melahirkan tanggung jawab negara;

– Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan melanggar hukum atau
kelalaian

Dalam kasus selat Corfu terdapat kelalaian dari Albania untuk memastikan bahwa
perairannya aman untuk dilewati ataupun kelalaian untuk memberi peringatan kepada Inggris
mengenai kondisi perairannya sehingga hal ini dapat mengakibatkan timbulnya tanggung
Jawab dari Albania atas kerusakan dan kerugian yang diderita Inggris atas kapalnya dan atas
kematian para awak kapalnya.
ST. PIERRE ET MIQUELON

Fakta Hukum

1. St. Pierre and Miquelon adalah sebuah pulau yang terletak 12 mil dari pantai selatan
provinsi Newfoundland, Kanada.
2. Ketika Perancis menyerahkan kepemilikan kolonialnya di tahun 1763, Inggris
menyerahkan pulau tersebut ke Perancis dengan klausul "to serve as a shelter to the
French fishermen."2
3. Sejak tahun 1763, hak memancing Perancis di perairan Kanada sudah dilindungi oleh
beberapa perjanjian, dan yang terbaru adalah Persetujuan antara Kanada dan Perancis
tentang Hubungan Memancing Mutual tahun 1972. Kekhawatiran Kanada di tahun 1972
adalah untuk menyingkirkan nelayan-nelayan asing dari teluk St. Lawrence. Maka
persetujuan 1972 tersebut memperbolehkan kapal-kapal dari Perancis metropolis untuk
terus memancing di teluk hingga Mei 1986, akan tetapi sebagai “pengaturan antara
negara tetangga” hak-hak memancing kapal-kapal yang didaftarkan di St. Pierre dan
Miquelon untuk hak tradisional mereka untuk memancing di teluk tetap diteruskan.
Terlebih lagi persetujuan 1972 tersebut mengatur bahwa zona memancing diperluas
sejauh lebih dari 12 mil dan warga negara Perancis yang memancing di zona ini menjadi
subjek control kuota memancing oleh pemerintah Kanada. Persetujuan itu juga mengakui
bahwa Perancis memiliki hak untuk memancing di perairan Kanada di Teluk St.
Lawrence, dan pada saat perluasan zona memancing, perairan Kanada di luar Teluk St.
Lawrence sudah tidak dapat diperdebatkan lagi keberadaanya, hak Perancis juga
dibedakan dari hak-hak yang muncul dari klaim yang melebihi batas.
4. Pada tahun 1977, menyadari bahwa klaim lepas pantai yang melebih batas dari
keberadaan St. Pierre dan Miquelon, dan karena kedua negara telah mengeluarkan izin
pengelolaan gas dan minyak diwilayah tersebut, beracuan pada perkembangan hukum
internasional tentang landas kontinen, dimana yurisdiksi nasional juga termasuk
landasan didekatnya, maka kedua negara memperpanjang zona memancing mereka
sampai 200 mil. Kedua negara tersebut akhirnya saling mencaplok wilayah memancing
mereka yang sejauh 200 mil tersebut, akan tetapi klaim melebihi batas yang hanya

2
Definitive Treaty of Peace, Feb. 10, 1763, France-Great Britain-Spain.
diterapkan awalnya hanya dapat diterapkan pada sumber daya di landas kontinen, kini
dapat diterapkan juga pada sumber daya hidup di perairan Kanada di bagian St. Pierre
dan Miquelon dimana Kanada mengklaim bahwa ditempat tersebut hanya diperbolehkan
menarik garis sejauh 12 mil zona lepas pantai.
5. Akhirnya setelah usaha-usaha untuk saling memahami antara kedua negara dengan
perjanjian-perjanjian, sengketa ini memuncak ketika Perancis masuk menjadi anggota
European Economic Community, karena pada dari tahun 1976 sampai Juni 1985, status
dari pulau tersebut adalah wilayah Perancis, akan tetapi kemudian setelah Perancis masuk
dan bergabung dengan EEC pada tahun 1985, status pulau tersebut kemudian berubah
menjadi wilayah kolektif Perancis, dengan konsekuensi bukan hanya perahu Perancis,
tetapi perahu perahu dari negara EEC lainnya mendapat hak atas sumber daya di perairan
ini, terlebih lagi menurut hukum EEC, St. Pierre dan Miquelon akan diperlakukan seperti
Antilles Belanda, Kaledonia baru, Mayotte, Monteserrat, dan Faroe, jadi wilayah non
Eropa dimana negara-negara EEC melakukan hubungan external tetapi hukum EEC tidak
serta merta berlaku.

Permasalahan Hukum

Apakah suatu negara dapat melanggar hukum konvensional dalam hal penetapan batas-batas
teritorialnya, dengan alasan kondisi geografis yang tidak sesuai dengan hukum konvensional
tersebut?

Keputusan Mahkamah

Ya, Special Court of Arbitration pada tahun 1992 memberikan hak kepada Perancis untuk
menarik garis ZEE-nya melebihi 200 mil, bahkan dengan menerobos ZEE milik Kanada, untuk
memberikan sebuah koridor bagi pulau Saint Pierre dan Miquelon kea rah laut lepas, dengan
konsekuensi memberikan wilayah kepada Perancis yang di kelilingi kedaulatan asing dari negara
asing.
Analisis

Ketika kemungkinan teknis untuk untuk mendefinisikan perpanjangan landas kontinen


untuk pulau Saint Pierre dan Miquelon relative mudah (karena tinggal ditarik lurus), situasi
menjadi rumit karena kenyataan menunjukkan bahwa wilayah klaim Perancis tersebut berada di
dalam 200 mil ZEE Kanada, oleh karena itu landas kontinen yuridis Perancis tidak akan
berlanjut ke pulau-pulau tersebut atau EEZ yang berlaku. UNCLOS tidak mengatur ketentuan
tentang hal demikian, dan sepertinya sampai saat ini tidak ada preseden yang dapat diaplikasikan
di dalam hukum internasional mengenai pengakuan dari perpanjangan landas kontinen yang
tidak secara langsung menyambung dengan negara pantai atau ZEE atau penggunaan hak
berdaulat di tempat tersebut.

Yang terjadi adalah apabila ZEE dua negara atau lebih bertabrakan, konsep berbagi
yurisdiksi dapat digunakan diwilayah-wilayah yang melewati batas tersebut, contohnya di Jan
Mayen3 antara Norwegia dan Denmark, dimana ICJ menyatakan di tahun 1993 bahwa tidak ada
alasan mengapa prinsip batasan terpisah tidak dapat ditentukan untuk zona memancing yang
terjadi di aliran air, atau untuk landas kontinen yang diaplikasikan ke dasar laut. Jadi dapat
dimungkinkan dimana satu negara memiliki yurisdiksi untuk memancing sementara yang satu
mengontrol dasar laut. ICJ juga memakai prinsip yang sama pada kasus Gulf of Maine4 antara
Kanada dan Amerika Serikat. Praktek negara juga menunjukkan hal yang serupa dimana negara
pantai (Indonesia) telah setuju untuk berbagi yurisdiksi terhadap ZEEnya dengan negara lain
(Australia).

BARCELONA TRACTION CASE


3
Maritime Boundary in the Area between Greenland and Jan Mayen (Denmark v Norway), I.C.J. Rep. 1993, p.34
4
Delimitation of the Maritime Boundary on the Gulf of Maine Area (Canada/United States of America), I.C.J. Rep.,
1984
Fakta Hukum

 The Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited, adalah suatu perusahaan
yang mengontrol penggunaan cahaya dan energy listrik di Spanyol,.
 Barcelona Traction didirikan oleh Frederick Stark Pearson pada tanggal 12 september
1911, dan berkantor utama di Toronto Canada.
 Tujuan dari perusahaan ini adalah untuk membuat dan membangun produksi listrik /
tenaga listrik dan distribution systemnya di Catalonia, Spain.
 Perusahaan ini mempunyai beberapa anak perusahaannya (cabang) yang sebagian
terdaftar di Canada dan sebagian lagi terdaftar di Spanyol.
 Perusahaan ini beroperasi di Spanyol tetapi pemegang saham terbesar adalah orang
Belgia.
 Pada tahun 1936 anak cabang perusahaan tersebut menjadi penyuplai utama tenaga
listrik di Catalonia, Spanyol.
 Pada tahun 1960 an pemerintah Spanyol mempersulit urusan bisnis bagi investor asing di
Spanyol.
 Pemegang saham (Orang-orang Belgia) perusahaan listrik di Spanyol tersebut kehilangan
uangnya dan ingin melakukan penuntutan ke International Court of Justice (ICJ).
 Tetapi di Pengadilan, hakim Judge Fornier ternyata berpihak pada Spanyol dan
menyatakan bahwa hanya warga negara dari perusahaan tersebut yaitu Canada
(Canadian) yang dapat melakukan penuntutan.
 Menurut Pemerintah Belgia, beberapa tahun setelah perang dunia pertama bagian saham
Barcelona Traction menjadi sangat besar yang dikelola kebangsaan Belgia, tetapi
Pemerintah Spanyol menentang bahwa pemegang saham kebangsaan Belgia adalah tidak
terbukti. Kemudian pemeliharaan (menyangkut) Obligasi Barcelona Traction tertunda
karena perang saudara Spanyol.
 Setelah peperangan itu, pengendalian devisa otoritas Spanyol menolak untuk memberi
hak perpindahan dari mata uang asing yang penting bagi penerusan dari pemeliharaan
uang sterling obligasi.sesudah itu,ketika Pemerintah Belgia mengeluh tentang ini,
Pemerintah Spanyol menyatakan bahwa perpindahan tidak bisa diberi hak kecuali jika ini
akan menunjukkan mata uang asing dapat digunakan untuk membayar kembali hutang
timbul dari barang impor modal asing yang asli ke dalam Spanyol dan bahwa ini belum
ditetapkan.
 Di tahun 1948 tiga pemilik Spanyol dari Barcelona Traction memperoleh obligasi uang
sterling dan mengajukan petisi ke pengadilan ( Provinsi Tarragona) untuk suatu deklarasi
memvonis perusahaan bangkrut, oleh karena kegagalan untuk membayar bunga pada
obligasi itu.
 Pada tanggal 12 Februari 1948, suatu keputusan diberikan dan mengumumkan
perusahaan yang bangkrut dan memerintahkan perampasan dari aset Barcelona Traction
dan juga dua cabang perusahaannya.
 Patuh pada putusan Ini personil manajemen utama dari dua perusahaan dipecat atau
dibubarkan dan para direktur Spanyol ditetapkan.
 Pemerintah Belgia menentang, bagaimanapun, penerbitan dan pemberitahuan tidak
mematuhi relevan ketentuan hukum dan batas waktu delapan hari itu tidak pernah
dimulai.
 Kepemimpinan Spanyol di tahun 1960 membuat bisnis lebih sulit untuk orang asing di
Spanyol. Pemegang saham Belgia kehilangan uang dan ingin menggugat di Mahkamah
internasional, tetapi pengadilan berpihak pada sisi Spanyol, memegang bahwa hanya
kebangsaan dari perusahaan (Kanada) yang dapat menggugat. Kasus Negeri Belgia vs.
Spanyol diputuskan di tahun 1970.
 Klaim yang diajukan pada tanggal 19 Juni 1962, muncul dari putusan hakim mengenai
kebangkrutan di Spanyol yaitu Barcelona Traction, suatu perusahaan yang bekerjasama
dengan Kanada. Obyek nya akan mencari perbaikan untuk kemungkinan kerusakan yang
dituduh oleh Negara Belgia untuk ditopang oleh pemegang saham kebangsaan Belgia di
perusahaan, sebagai hasil tindakan dikatakan bertentangan dengan hukum internasional
dilakukan ke perusahaan dari negara Spanyol.

Identifikasi Masalah

1. Apakah Belgia dapat mengajukan tuntutan atas kerugian yang diderita oleh Warga
negaranya di Negara Spanyol?

Putusan Hakim
 Dalam pertimbangan kedua tahap kasus mengenai Barcelona Traction, Light and Power
Company,Limited ( Negeri Belgia vs Spanyol), pengadilan menolak klaim Belgia oleh 15
banding 1.
 Pengadilan menemukan bahwa Negara Belgia kekurangan jus standi untuk mengajukan
perlindungan diplomatik untuk pemegang saham di suatu perusahaan Kanada berkenaan
perusahaan yang dimiliki oleh warga negaranya di Spanyol.

Dasar pertimbangan

 Pengadilan memandang pada jumlah besar pada bukti dalam bentuk dokumen, yang
disampaikan oleh pihak-pihak dan secara penuh menghargai pentingnya permasalahan
yang diangkat dari undang-undang yang merupakan dasar dari tuntuan Belgia dan terkait
pengingkaran terhadap keadilan menurut perkiraan yang dilakukan Spanyol.
 Mahkamah tidak menerima beberapa dalil tertentu yang diajukan, yaitu:
1. apabila penanaman modal itu menjadi bagian dari sumber-sumber daya ekonomi
nasional suatu negara dan hal yang merugikan terhadap penanaman modal ini membawa
akibat yang bertentangan terhadap hak-hak negara tersebut untuk memungkinkan para
warga negaranya menikmati beberapa standar perlakuan tertentu, maka negara yang
bersangkutan dapat mengajukan klaim karena pelanggaran hukum internasional yang
dilakukan terhadapnya. Suatu klaim yang memiliki sifat demikian harus didasarkan atas
traktat atau perjanjian khusus, yang mana hal ini tidak ada diantara Belgia dan Spanyol.
2. Karena alasan-alasan keadilan (equity), suatu negara akan memiliki hak dalam
beberapa kasus untuk melakukan perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi
pemegang saham-saham dalam suatu perusahaan, yang menjadi korban pelanggaran
hukum internasional. Suatu alasan pembenar bagi keadilan yang dikemukakan, itu akan
membuka pintu bagi klaim-klaim yang bersaing di pihak negara-negara yang berbeda,
yang dengan itu menciptakan ketiadaan jaminan dalam hubungan-hubungan ekonomi
internasional.
Pengaruh yang menguntungkan dari keputusan Mahkamah tersebut selanjutnya adalah
bahwa pengadilan internasional mesti segan untuk “menebus selubung perusahaan”
dengan maksud untuk memperbolehkan suatu negara selain negara kebangsaan
perusahaan mengupayakan ganti rugi karena suatu kesalahan internasional telah
dilakukan terhadap perusahaan itu. Maka, pengadilan menolak klaim Pemerintah Belgia
oleh 15 banding 1, 12 suara mayoritas yang didasarkan pada pertimbangan diperkenalkan
di atas.
 Kaidah umum mengenai pemberian hak eksekutif kepada negara kebangsaan perusahaan,
dalam hal-hal tertentu mungkin sekali memberikan jalan bagi hak negara kebangsaan
para pemegang saham, misalnya apabila perusahaan itu sendiri telah bubar, atau negara
kebangsaan yang melindungi perusahaan itu tidak memiliki kemampuan untuk
melaksanakan perlindungan diplomatik namun dalam kasus ini Barcelona Traction,Light
and Power Company Limited tidak bubar sebagai sebuah badan hukum perusahaan di
Kanada, juga pemerintah Kanada memiliki kemampua melaksanakan perlindungan
diplomatik, meskipun karena alasan-alasannya sendiri dan campur tangan atas nama
perusahaan itu telah diakhiri sejak tahun 1955.

Analisis

Kasus ini penting dalam perkembangan hukum internasional terkait tangung Jawab Negara
karena menunjukkan bagaimana konsep perlindungan diplomatic dibawah hukum internasional
dapat diterapkan tidak hanya terhadap individual tetapi juga pada suatu korporasi. Kasus ini juga
memperluas kewajiban Erga Omnes yang terdapat dalam masyarakat Internasional.

Orang-orang atau perusahaan yang atas namanya suatu negara berhak mengajukan klaim
internasional terutama haruslah warga negaranya, tetapi dapat juga meliputi subjek-subjek “ yang
dilindungi”, seperti orang-orang yang ditempatkan dibawah perlindungan diplomatik negara itu,
dan bahkan orang-orang asing yang telah memenuhi hampir semua persyaratan naturalisasi.

Dalam sejumlah besar kasus pengadilan arbitrase internasional telah menerapkan kaidah bahwa
orang yang dirugikan harus memiliki kebangsaan dari negara yang mengajukan klaim atau status
lain yang diakui pada saat kerugian tersebut diderita dan harus mempertahankan status tersebut
sampai saat klaim itu diputus, tetapi persyaratan-persyaratan dan perbaikan-perbaikan lain dalam
kaitan kebangsaan pihak yang dirugikan juga telah diterapkan oleh arbitor-arbitor lain.

Apabila pihak yang dirugikan itu adalah suatu perusahaan atau korporasi, maka masalah itu juga
diatur oleh norma “nasionalitas dari tuntutan” hanya negara yang menjadi kebangsaannya yang
berhak mendukung klaim perusahaan atau korporasi itu, namun demikian kesulitan-kesulitan
mungkin timbul dalam kasus yang disebut “triangular” (segitiga), yaitu:

a. Kerugian dalam hal pelanggaran hukum internasional yang dilakukan terhadap sebuah
perusahaan yang berbadan hukum dan kantor terdaftarnya dinegara Kanada.

b. Tindakan yang menimbulkan kerugian itu dilakukan oleh negara B Spanyol, dimana
perusahaan tersebut melakukan operasi.

c. Para pemegang saham utama perusahaan tersebut adalah warga negara dan bertempat tinggal
di negara Belgia.

Apakah negara Belgia berhak untuk mendukung klaim para pemegang saham yang menanggung
kerugian akibat tindakan negara Spanyol?

Prinsip-prinsip yang mengatur keadaan ini dijelaskan pada tahun 1970 oleh Internasional Court
of Justice dalam Barcelona Traction Case (Belgia-Spanyol), dimana Mahkamah memutuskan
putusan yang mendukung negara yang digugat, yaitu Spanyol. Berdasarkan pertimbangan bahwa
Belgia tidak memiliki locus standi untuk mendukung klaim dari warga-warga Belgia, dihadapan
Mahkamah yang menjadi pemegang saham dalam perusahaan yang menjadi perkara, yaitu
Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited, karena perusahaan ini berbadan hukum
Kanada dan dalam pengertian hukum internasional karenanya berkebangsaan Kanada. Dasar
pemikiran yang dipakai oleh Mahkmah dapat dikemukakan sebagai berikut.

Hukum internasional terikat untuk menghormati tujuan umum dari kaida-kaidah sistem hukum
nasional, yang kurang lebih menyatakan bahwa suatu pelanggaran terhadap hak-hak perusahaan
oleh pihak-pihak luar tidak melibatkan tanggung jawab terhadap para pemegang saham,
begitupun apabila kepentingan mereka terganggu oleh pelanggaran tersebut. Oleh karena itu,
kaidah umum hukum internasional tetap yaitu bahwa negara kebangsaan perusahaan itulah yang
berhak melakukan perlindungan diplomatik untuk tujuan mengupayakan ganti rugi atas
kesalahan internasional yang dilakukan terhadap perusahaan tersebut.
ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE (UNITED KINGDOM V. NORWAY), ICJ,
1951

Fakta Hukum :
 Dalam abad – abad sebelumnya, nelayan – nelayan Inggris melakukan serbuan di
perairan dekat pantai Norwegia. Dengan adanya complain yang dikeluarkan oleh Kerjaan
Norwegia, aktivitas yang dilakukan nelayan – nelayan Inggris itu sempat terhenti.
 Pada tahun 1906 aktivitas tersebut kembali dilaksanakan, dengan menggunakan kapal
pukat yang lebih canggih.
 Insiden pertama terjadi pada tahun 1911, ketika sebuah pukat yang dimiliki oleh Inggris
ditangkap dan dihukum oleh Norwegia karena telah melanggar peraturan yang dibuat
mengenai daerah perbatasan
 Tahun 1922 insiden ini berulang hingga tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun 1932 kapal
pukat Inggris memperluas jangkauan aktifitas mereka, sehingga muncul di lepas pantai
Norwegia Barat Tanjung Utara. Hal ini mengakibatkan Norwegia menambah jumlah
peringatan yang kemudian berimbas kepada meningkatnya jumlah penangkapan
 Pada 27 Juli 1933 Pemerintah Kerajaan Inggris mengirim sebuah memorandum kepada
Pemerintah Norwegia yang berisikan mengenai keluhan tentang luas laut teritorial serta
pemanfaatannya oleh Norwegia. Namun pemerintah Norwegia berpendapat bahwa
mereka berwenang dan telah memberikan dasar batas yang dibenarkan.
 Dekrit Norwegia pada tahun 1953 mengenai batat wilayah zona perikanan (laut
territorial)
 Inggris menyetujui zona tersebut sejauh 4 mil yang diukur bukan dari batas terendah air
pada setiap titik di sepanjang pantai, tapi berdasar garis lurus yang menghubungkan titik
terluar di sepanjang pantai.
 Dalam Dekrit yang dikeluarkan pada tanggal 12 July 1935, Pemerintah Norwegia
membatasi wilayahnya di bagian utara (bagian utara dari lngkaran kutub utara) yang
dilindungi undang – undang bagi warga negaranya. Membatasi zona perikanan Norwegia
(laut territorial)
 Pada 16 September 1948 Norwegia menjelaskan kepada Kerajaan Inggris bahwa mereka
tidak dapat melakukan perjanjian tersebut. Inggris memberikan jawaban bahwa batas –
batas zona perikanan yang ditetapkan dalam Dekrit 1935 tidak sesuai dengan hukum
internasional dan menolaknya sebagai mana berlaku bagi kapal nelayan Inggris.
 Sejak 16 September 1948 Norwegia mengganggu kapal nelayan Inggris yang melakukan
pemancingan di dalam garis batas 1935. Inggris mengklaim kerugian yang diakibatkan
oleh gangguan Norwegia tersebut

Permasalahan hukum :
 Penetapan batas perikanan ekslusif yang diterapkan oleh Norwegia dalam Royal Decree
ditahun 1935 menurut hukum Internasional yang digugat oleh Inggris bukanlah lebar
jalur wilayah Norwegia sebesar 4 mil akan tetapi cara penetapan batas perikanan ekslusif
yang diterapkan oleh Norwegia dengan cara penarikan garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada pantai Norwegia dan melalui deretan pulau
dipantai Inggris apakah sesuai dengan prinsip hukum internasional?

Putusan Pengadilan :
 Berpendapat bahwa tindakan pemerintah Norwegia dalam menentukan garis pangkal bagi
pembatasan zone perikanannya melalui Royal Decree 1935 tersebut tidak melanggar
ketentuan Hukum Internasional.
 Metode – metode yang digunakan dalam penereapan batas tersebut juga tidak
bertentangan dengan hukum internasional.
 Tidak dapat menerima dalil Inggris bahwa panjang Garis Pangkal Lurus tidak dapat
melebihi 10 mil. Alasannya, karena walupun ukuran 10 mil memang dianut dalam
beberapa praktik negara-negara dalam perjanjian antar mereka dan disebut pula dalam
beberapa putusan arbitrase, namun ukuran 10 mil bukan kaidah umum internasional
 Menolak pendapat Inggris bahwa GPL hanya dapat ditarik dari muka suatu teluk,
alasannya : jika cara penarikan GPL dapat dibenarkan sebagai salah satu cara penarikan
garis pangkal, maka tidak ada alasan mengapa garis-garis lurus yang demikian tidak
dapat ditarik dari (di antara) pulau-pulau kecil dan karang serta skjaergaard yang terdapat
antara dua titik dari pantai daratan (inter fauces terrarum).
Dasar pertimbangan :
Argumentasi Norwegia
 Dekrit 12 Juli 1935 mengenai pembatasan wilayah zona perikanan tersebut merupakan
sistem pembatasan tradisonal yang sesuai dengan hukum internasional
 Norwegia beranggapan bahwa daerah perairan itu adalah teritorial mereka dan tidak
melanggar hukum internasional.
 Sistem dari pembatasan tersebut, tidak bertentangan dengan prinsip hukum umum, dan
memang diperlukan oleh kondisi lokal.
 Gugusan pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Norwegia sehingga garis pangkal
dapat ditarik dari sana

Argumentasi Inggris
 Kerajaan Inggris mengakui bahwa Pemerintah Norwegia berhak mengklaim perairan
dalam konsepsi yang telah didefinisikan oleh hukum internasional garis batas teritorial
lebih atau kurang sepuluh mil laut lama. Kerajaan Inggris mengangap bahwa keputusan
Norwegia dalam menambah garis teritorial kekuasaan perairan hingga melewati 10 mil
merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
 Garis pangkal harus berdasar pada tanda air rendah, yang secara umum diadaptasi oleh
berabagai Negara. Garis yang relevan bukanlah bahwa dari daratan, melainkan bahwa
dari "skjaergaard" Skjaergaard (gugusan pulau yang terdapat di hadapan pantai
Norwegia) dimana garis pangkal tersebut tidak harus selalu mengikuti tanda air rendah.
Penentuan garis pangkal hanya dapat ditentukan dari penarikan garis secara geometris.
 Garis harus ditarik menurut garis pasang surut (low tide elevation) dari suatu tanah
daratan tetap (permanent dry land) dari bagian wilayah Norwegia. Skjaergaard (gugusan
pulau yang terdapat di hadapan pantai Norwegia) bukan merupakan bagian wilayah
daratan tetap Norwegia, oleh karenanya garis pangkal tidak dapat ditarik dari gugusan
pulau tersebut.

Pertimbangan hakim :
1. Wilayah perairan Norwegia yang terdiri dari deretan kepulauan, banyak teluk panjang
dan sempit, pulau-pulau kecil, pantai-pantai kecil, serta rangkaian karang maka kondisi
yang unik tersebut menjadikan laut yang menjadi penghubung diantara hal tersebut
termasuk dalam wilayah Norwegia.
2. Bahwa peraturan 10 mil bukan merupakan “general rule of international law” maka
penerapannya perlu mempertimbangkan kondisi dari negara yang bersangkutan.
3. Bahwa Norwegia telah menjalankan kebijakan tersebut atas dasar kondisi negaranya
serta secara konstan dan berkelanjutan dan kemudia telah diketahui oleh negara-negara
lain sebagai aktifitas keseharian tanpa ada sanggahan maka tidak dapat dikatakan
kebijakan tersebut melanggar hukum internasional.

Analisis :
Dalam hukum internasional garis pangkal merupakan acuan penarikan batas laut Negara
pantai yang didasarkan pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982, yang terbagi menjadi berbagai
macam, yaitu :
 Normal baseline (garis pangkal normal), yaitu: sebagai garis air rendah (surut)
sepanjang garis pantai yang ditandai secara jelas pada peta laut skala besar yang
diakui resmi oleh Negara pantai.
 Straight baseline (garis pangkal lurus) merupakan garis pangkal lurus yang ditarik
dari dua titik pangkal (basepoint) yang terletak pada garis pangkal normal
 Closing line (garis penutup) termasuk diantaranya garis penutup sungai, teluk, dan
pelabuhan
 Archipelagic baseline (garis pangkal kepulauan) merupakan garis pangkal lurus
yang ditarik menghubungkan titik – titik pangkal yang terletak pada pulau – pulau
terluar suatu Negara kepulauan.
Mahkamah Internasional membagi 3 cara dalam penarikan garis pangkal, yaitu :
 Trace parallele : yaitu garis batas luar mengikuti segala liku dari garis pasang
surut.
 Arc of circles : yaitu garis batas luar langgsung ditentukan tanpa adanya garis
pangkal terlebih dulu.
 Straight base-line : yaitu garis pangkal tidak ditarik tepat menurut segala liku garis
pasang surut, melainkan garis lurus ditarik dengan menghubungkan titik-titik
tertentu yang berbeda pada garis pasang surut.
Dalam kasus ini Mahkamah Internasional menolak pemakaian garis pangkal lurus yang
digunakan oleh Inggris dalam menentukan suatu batas wilayah perairan dimana Mahkamah
Internasional memandang perlu menunjukan bahwa ukuran sepuluh mil walaupun telah diadopsi
oleh negara-negara tertentu baik dalam hukum nasional, konvensi, dan perjanjian intenasional.
Namun, perlu dipahami bahwa masih banyak negara yang masih belum mengakui ukuran
sepuluh mil sebagai standard dalam mengukur luas wilayah perairan terutama perairan dalam,
serta dalam kasus ini, hal apapun mengenai peraturan sepuluh mil tidak dapat dijadikan dasar
bagi Inggris karena Norwegia masih menentang setiap usaha pelanggaran ke pantai Norwegia
dan ukuran 10 mil itu sendiri tidak termasuk dalam “general rule of international law” maka
mereka tidak menggunakan ukuran 10 mil sebagai standard pengukuran wilayah perairan
mereka.
Pada akhirnya hal ini menjadi sebuah hukum kebiasaan bagi negara-negara kepulauan
bahwa lautan penghubung antarwilayah daratannya merupakan termasuk dalam wilayah teritorial
mereka dan hal tersebut juga diakui oleh negara-negara lainnya.
THE ANGLO FRENCH CONTINENTAL SHELF CASE ARBITRATION

Fakta Hukum
- Para pihak dalam kasus ini ialah Inggris dan Perancis.
- Kedua Negara tersebut merupakan pihak dalam Geneva Convention on the Continental
Shelf of 29 April 1958.
- Pada Oktober 1970, Inggris dan Perancis memulai negosiasi untuk membuat perbatasan
landas kontinen diantara kedua Negara. Sekalipun menghasilkan beberapa kesepakatan,
masih terdapat masalah utama mengenai pembagian landas kontinen di sebelah barat
Greenwich.
- Masalah tersebut muncul dikarenakan Perancis melakukan reservasi terhadap pasal 6 dari
Geneva Convention 1958, memperhatikan specific geographical circumstances yang
dimiliki Perancis yang dapat mempengaruhi pembatasan landas kontinen bagi negaranya.
Dimana, pasal ini mengatur tentang pembagian landas kontinen terhadap Negara yang
berbatasan untuk membagi landas kontinen berdasarkan prinsip acquidistance, yang
ditarik dari garis terdekat dari baseline.
- Untuk menyelesaikan masalah tersebut keduanya sepakat mengajukan masalah ini ke
arbitrasi ad hoc, berdasarkan Arbitration Agreement pada tanggal 10 Juli 1975.

Permasalahan Hukum
Bagaimanakah seharusnya jalur perbatasan yang diberlakukan untuk membagi landas kontinen
diantara kedua Negara tersebut berdasarkan hukum internasional?

Putusan
- 30 Juni 1977
o Jalur perbatasan untuk landas kontinen yang digunakan Inggris dan Perancis,
masing-masing, 30 menit sebelah barat garis tengah Greenwich sejauh 1000 meter
isobaths haruslah diberi garis hitam sesuai dengan Boundary-Line Chart
sebagaimana ditetapkan oleh Putusan.
o Untuk Utara dan Barat Channel Island, pembagian perbatasan landas kontinen
antara Inggris dengan Perancis, masing-masing, harus membuat garis dari bagian
busur lingkaran (teluk) sejauh 12 mil yang ditarik dari baseline Bailiwick of
Guernsey dan diberi garis hitam sebagaiman ditetapkan oleh putusan.
- Perubahan putusan pada 14 Maret 1978
o Tuntutan yang diajukan Inggris kepada Mahkamah dibuat dengan menggunakan
batas waktu dan dapat diterima. Maka keberatan Perancis terhadap hal tersebut
ditolak.
o Mengenai wilayah Channel Islands, perbatasannya harus diralat sehingga putusan
mengenai basepoint sebelumnya dianggap tidak berlaku.
o Mengenai wilayah Atlantic, tidak ditemukan fakta yang membuktikan bahwa
pembatasan yang digunakan bertentangan dengan putusan pengadilan. Maka
permintaan Inggris tidak dapat diterima.

Pertimbangan Hakim
- Mengenai Hukum yang dapat digunakan (Applicable Law)
Mahkamah fokus terhadap efek dari reservasi yang dilakukan Perancis dan keberatan
yang diajukan Inggris terhadap hal tersebut. Reservasi yang dilakukan Perancis terhadap
tiga ayat dalam pasal 6 mengenai pembatasan landas kontinen tersebut, dianggap wajar
dan mengakibatkan perubahan akibat hukum dari pasal tersebut. Mahkamah menyatakan
bahwa pada saat terdapat reservasi yang mengakibatkan pasal tersebut tdak dapat
diberlakukan kepada kedua belah pihak, hukum kebiasaan internasional menjadi berlaku,
- Mengenai hubungan antara pasal 6 dengan equitable principles, mahkamah menyatakan
bahwa pasal 6 tidak membuat dua peraturan yang terpisah : equdistance rule dan special
circumstance rule, tapi mengkombinasikan equidistance-special circumstance rule dengan
prinsip hukum kebiasaan internasional mengenai landas kontinen yang diatur dengan
equitable principles. Lebih lanjut mahkamah menyatakan bahwa kedua prinsip
(equidistance-special circumstance rule dan hukum kebiasaan internasional) sama-sama
bertujuan untuk menyesuaikan pembatasan wilayah bersesuaian dengan equitable
principle.
Analisis
Reservasi Perancis terhadap pasal 6 Convention on the Continental Shelf 1958 mengakibatkan
Inggris keberatan sebagai Negara yang memiliki perbatasan langsung. Hal ini menyebabkan
keduanya, perlu membuat kesepakatan sendiri dalam menentukan batas landas kontinen
diantaranya.
Pada saat pembentukan Convention on the Continental Shelf 1958, pembatasan landas kontinen
menggunakan prinsip equidistance, dianggap lebih mudah dan pasti. 5 Namun, putusan dalam
North Sea Continental Shelf Cases yang diselesaikan di ICJ, membentuk hukum baru, dimana
dalam kasus tersebut Mahkamah menyatakan penggunaan prinsip euitable merupakan suatu
hukum kebiasaan internasional.
Reservasi dari Perancis memperlihatkan beberapa penolakan terhadap ketentuan penerapan
prinsip equidistance. Tidak hanya Perancis, Negara-negara yang keberatan terhadap penerapan
prinsip tersebut juga dinyatakan oleh Denmark dan Belanda dalam kasus North Sea Continental
Shelf Cases. Meskipun penerapan prinsip equidistance dalam pembatasan landas kontinen
memang lebih mudah dan pasti, namun bagi Negara-negara yang memiliki special
circumstances, hal ini dapat menjadi bentuk ketidakadilan. Pengecualian terhadap Negara yang
memiliki special circumstances pun, dapat dilihat dalam kasus Anglo Norwegian Fisheries Case
antara Inggris dengan Norwegia, dimana Norwegia yang memiliki special geographic
circumstance berupa fjords, dapat menerapkan straight baselines.

5
R. R. Churchill and A. V. Lowe, The Law of the Sea 3 rd ed, p 184.
ERITREA & YEMEN, TERRITORIAL SOVEREIGNTY OVER HANISH ISLANDS

Fakta Hukum
 Pihak dalam kasus ini adalah Republik Yemen dan Eritrea
 Pada tahun 1923, melalui traktat Lausanne, pemerintahan Utsmani Turki kehilangan
wilayahnya di Arab, termasuk kepulauan Hanish, dan kepulauan Hanish ditentukan oleh
Italia dan Inggris sebagai indeterminate.
 Tahun 1990 Yemen utara dan selatan bersatu menjadi Republik Yemen.
 Tahun 1995, saat sebuah perusahaan Jerman yang atas izin Yemen mengerjakan proses
pembangunan di salah satu pulau di kepulauan Hanish, Eritrea melakukan serangan
militer dan menaklukkan pulau itu. Sebelumnya, kedua Negara memberikan hak konsesi
pengeboran minyak di daerah Laut Merah, termasuk kepulauan Hanish (Eritrea ke
perusahaan Anadarko, Yemen dengan perusahaan Total).
 Pada 3 Oktober 1996, Yemen dan Eritrea mengajukan kasus ini ke Permanent Court of
Arbitration.

Masalah Hukum

Apakah Yemen atau Eriteria yang memiliki kedaulatan atas kepulauan Hanish?

Putusan

Permanent Court of Arbitration memutuskan bahwa sebagian besar kepulauan tersebut (Zuqar-
Hanish) adalah milik Yemen. Dan sebagian kecilnya (Mohabbaka dan Haycock), adalah milik
Eritrea.

Analisis

Argumen Eritrea dalam kasus ini didasarkan pada statusnya sebagai suksesor kepemilikan Italia
atas daerahnya di Laut Merah setelah perang dunia ke-2 (yang dilepaskan oleh Italia pada traktat
perdamaian tahun 1947; namun setelah itu Italia juga menerima status indeterminate pada
kepulauan Hanish).
Eritrea mengajukan kepemilikan Italia atas blok Mohabbakah melalui perjanjian dengan para
penguasa setempat sebagai kepemilikan yang diwarisinya; kepemilikan ini tidak disanggah oleh
Yemen maupun pemerintah Utsmani Turki.

Permanent Court of Arbitration memutusakan bahwa blok Mohabbakah sebagai daerah dibawah
kedaulatan Eritrea, tapi bukan karena perjanjian atau penerusan dari kepemilikan Italia, tapi
karena blok itu berada 12 mil dari garis pantai Eritrea. Untuk blok Mohabbakah, karena relatif
dekat dengan Eritrea, dipakai asas kedekatan geografis. Hal yang sama diaplikasikan pada blok
Haycock, selain karena kontiguitas dari koloni Italia waktu itu, juga karena kontrak konsesi
minyak yang meliputinya tidak diprotes oleh Yemen.

Kedaulatan pemerintahan Utsmani Turki yang sah inilah yang mendasari argumen pihak Yemen;
karena waktu itu Yemen adalah wilayah taklukan pemerintahan Utsmani Turki. Oleh karena itu,
saat traktat Lausanne ditandatangani, wilayah pemerintahan Utsmani Turki termasuk kepulauan
Hanish, sesuai doktrin reversi, menjadi milik Yemen. Namun Permanent Court of Arbitration
menolak menggunakan doktrin reversi, karena tidak diakui secara internasional.

Dalam hal pelaksanaan kedaulatan secara efektif (alasan yang telah terbukti efektif di kasus
pulau Palmas dan eastern Greenland), pihak Yemen terbukti telah menunjukkan otoritasnya
dengan pembangunan sebuah lapangan terbang sebagai bagian konsesi dengan perusahaan
minyak Total, dan pembangunan hotel oleh suatu perusahaan Jerman atas izin pemerintah
yemen. Dari faktor sejarah, blok Zuqhar-Hanish diletakkan oleh pemerintah Utsmani Turki
dalam administrasi arabnya (Eritrea berada di Afrika), dan pihak Inggris secara implisit
mengantisipasi suksesi wilayah kepada Yemen. Dari faktor-faktor diatas, Permanent Court of
Arbitration menyatakan bahwa blok Zuqhar-Hanish dibawah kedaulatan Yemen, walaupun kalau
ditarik garis median antara Yemen dan Eritrea, blok ini sebagian besar ada di pihak Eritrea
(berarti pembagian ini sesuai dengan pengecualian pada doktrin portico, yang terjadi bila Negara
lain mempunyai kepemilikan yang jelas-jelas lebih sah).

Dari putusan ini terlihat untuk masalah ini kontiguitas masih dilihat sebagai faktor yang penting,
tapi lebih karena ada suatu traktat (traktat Lausanne) yang menjadikan status hukum kepulauan
ini menjadi indeterminate. Oleh karena itu, para arbiter beralih ke prinsip efektivitas.
THE LAGRAND CASE (FEDERAL REPUBLIC OF GERMANY v. UNITED STATES
OF AMERICA

Fakta Hukum

- LaGrand bersaudara lahir di Jerman sebagai warga negara Jerman yang pindah ke
Amerika Serikat yang kemudian diadopsi oleh warga negara Amerika Serikat tetapi
mereka tidak pernah memperoleh status kewarganegaraan Amerika Serikat
- Pada bulan Januari 1982, mereka ditangkap dan dihukum pada tanggal 17 Februari 1984
dengan tuntutan pembunuhan dan perampokan sebuah Bank (The Valley National Bank)
di Marana, Arizona
- Pada tanggal 14 Desember 1984, pengadilan setempat memutuskan untuk menghukum
mati LaGrand bersaudara dan Karl LaGrand yang pertama dieksekusi
- Setelah melewati upaya diplomatik dan gagal untuk mencegah hukuman mati kepada
Karl LaGrand, Jerman mengajukan kasus ini ke Mahkamah Internasional
- Mahkamah Internasional memberikan putusan untuk menunda eksekusi mati Walter
LaGrand kepada Gubernur Arizona melalui pemerintah Amerika Serikat
- Pengadilan setempat mengacuhkan hal tersebut dan akhirnya mengeksekusi mati Walter
LaGrand

Identifikasi Masalah

1. Apakah Amerika Serikat dalam kasus ini melanggar hak LaGrand bersaudara
berdasarkan pasal 36(1)(b) Vienna Convention on Consular Relations (VCCR) dalam
melarang Jerman untuk memberikan bantuan konsuler?
2. Apakah Amerika Serikat melanggar pasal 36(2) VCCR terhadap LaGrand bersaudara?
3. Apakah Amerika Serikat melanggar melaksanakan kewajiban untuk mencegah eksekusi
mati Walter LaGrand?

Putusan
Mahkamah internasional memutuskan untuk menyatakan bahwa Amerika tidak mematuhi
permintaan Amerika Serikat untuk mengadakan langkah-langkah awal sebelum mengeksekusi
La Grand bersaudara.
Analisis
Amerika Serikat mengakui bahwa mereka melanggar pasal 36(1)(b) Vienna Convention on
Consular Relations(VCCR 1963). Namun dalam putusannya Mahkamah Internasional
menyatakan Amerika Serikat melanggar keseluruhan isi pasal 36(1) VCCR. Putusan tersebut
menyatakan bahwa pada saat negara asal orang yang dikenakan penjara itu tidak mengetahui
bahwa warga negaranya di penjara dikarenakan kelalaian negara yang memenjarakan untuk
memberikan notifikasi, hal tersebut dapat menimbulkan negara asal orang yang dipenjara
tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya seperti yang tertulis pada pasal 36(1) huruf a dan c.
Jadi kelalaian Amerika Serikat untuk memberikan informasi kepada Jerman membuat Amerika
tidak saja melanggar pasal 36(1) huruf b saja namun berimbas pada huruf a dan c.
Terlebih jauh lagi Jerman menyatakan bahwa pelangaran terhadap pasal 36(1) VCCR dan
Jerman tetapi juga pelanggaran terhadap hak-hak individual La Grand bersaudara. Selanjutnya
Jerman mengadopsi klaim La Grand bersaudara kemudian menempatkan permasalahan ini dalam
area perlindungan diplomatik. Di dalam hukum internasional sebuah negara dapat mengambil
klaim warga negaranya jika dikaitkan dengan kesalahan negara lain.
Kelompok kami sependapat bahwa dalam pasal 36 ini terdapat juga hak-hak individual, yang
membuat Amerika dalam konteks kasus ini tidak hanya melanggar suatu konvensi internasional
atau hukum kebiasaan internasional karena pasal ini sudah diakui sebagai hukum kebiasaan
internasional tetapi juga hak-hak individual yang terkandung dalam pasal ini. Walaupun Judge
Shi dalam separate opinionnya menyatakan bahwa terdapatnya unsur hak individual dalam pasal
masih dipertanyakan.
VCCR memang bukan merupakan “konvensi hak asasi manusia” namun dapat kami nyatakan
disini bahwa keterkaitan antara hak-hak individual dengan konvensi ini sangat erat, hal ini
dibuktikan oleh Inter American Court of Human Rights (IACHR) dalam advisory opinionnya
yang diminta oleh Meksiko menyatakan bahwa pasal 36 VCCR merupakan bagian dari hukum
hak asasi manusia Internasional
NUCLEAR TEST CASE, ICJ REPORTS, 1974

Fakta Hukum
 Dalam kasus ini pihak-pihak yang bersengketa adalah Australia v. Perancis dan Selandia
Baru v. Perancis mengenai percobaan nuklir yang dilakukan oleh Perancis di Samudera
Pasifik
 Pada tanggal 9 dan 14 Mei 1973, pemerintah Australia dan Selandia Baru meminta
Mahkamah Internasional untuk pemberlakuan tindakan perlindungan sementara
 Perancis menyatakan lewat Duta Besarnya bahwa Mahkamah Internasional tidak
memiliki yurisdiksi atas percobaan nuklir yang dilakukan oleh Perancis dan meminta
untuk proses peradilannya dihentikan
 Mahkamah Internasional menolak permintaan Perancis untuk mengehentikan proses
peradilan

Identifikasi Masalah
1. Apa yang menjadi dasar atas perlindungan sementara yang diberikan Mahkamah
Internasional kepada Australia dan Selandia Baru?
2. Apakah Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi untuk menangani kasus ini?

Putusan
 Dengan 8 dari 14 suara, pada tanggal 22 Juni 1973, Mahkamah Internasional memutuskan untuk
menunda keputusan akhir dari kasus tersebut dan memberikan perlindungan sementara kepada
Australia dan Selandia Baru, serta Perancis harus menghindari percobaan nuklirnya di wilayah
Samudera pasifik
 Pengadilan menyatakan pemberlakuan tindakan perlindungan sementara dengan dasar
article 41 Statuta Mahkamah Internasional, dan dengan beberapa pertimbangan, seperti :
1. Materi kasus yang dimasukkan kepada pengadilan menunjuk pada suatu kesimpulan,
bahwa ketentuan yang di libatkan menampakkan yurisdiksi pengadilan, dan memberi dasar bagi
di temukannya yurisdiksi pengadilan.
2. Tidak dapat di katakan bahwa klaim dari Australia dan Selandia Baru berada di luar
lapangan yurisdiksi pengadilan atau Australia tidak dapat membuktikan kepentingan hukum
terhadap klaim yang di masukkan olehnya.
3. Meninjau bahwa informasi yang di masukkan ke Mahkamah Internasional tidak
meniadakan kemungkinan kerugian Australia dan New Zealand sebagai akibat dari tumpukan
radio aktif yang di hasilkan dari percobaan semacamnya dan kerusakannya tidak dapat di
perbaiki di wilayah Australia dan Selandia Baru

 Dengan 9 dari 15 suara, Mahkamah Internasional memutuskan klaim dari Australi dan Selandia
Baru tidak lagi memiliki tujuan sehingga Mahkamah Internasional tidak dapat memberikan
putusannya serta dinyatakan bahwa Perancis mengumumkan maksudnya untuk menghentikan
percobaan nuklir tersebut
 Pada akhirnya sengketa ini menghilang dan Perancis telah membuktikan untuk menghentikan
percobaan nuklir tersebut sehingga tidak ada lagi yang harus diputus oleh Mahkamah
Internasional

Pertimbangan Hakim
 Bahwa percobaan penggunaan senjata nuklir di wilayah Samudera pasifik tidak konsisten dengan
ketentuan umum Hukum Internasional dan memerintahkan agar Perancis menghentikan
percobaannya tersebut
 Bahwa percobaan tersebut menurut Selandia Baru telah meningkatkan radio aktif di sekitar
wilayah Samudera Pasifik
 Bahwa kasus ini diajukan ke Mahkamah Internasional berdasarkan The General Act for The
Pacific Settlement of International Dispute yang bersangkutan dengan artcle 36 dan 37 Statuta
Mahkamah Internasional serta Geneva Convention 1928

Analisis
Menurut Statuta Mahkamaha Internasional article 36 dan 37, Mahkamah Internasional
memiliki yurisdiksi atas terjadinya kasus ini karena percobaan penggunaan senjata nuklir yang
dilakukan oleh Perancis tidaklah sesuai dengan ketentuan Hukum Internasional.
Sebelum proses peradilan dilanjutkan, Perancis berniat menghentikan percobaan
penggunaan nuklirnya tersebut di Samudera Pasifik. Hal tersebut kita kenal dengan prinsip good
faith yang maksudnya adalah bahwa dalam hal ini Perancis harus membuktikan apa yang telah
dinyatakan oleh mereka untuk menghentikan percobaan tersebut agar radio aktif dari nuklir
tersebut tidak meluas.
Pada akhirnya, kasus ini menghilang dan Perancis berhasil membuktikan atas
penghentian percobaan penggunaan senjata nuklirnya di Samudera Pasifik.

You might also like